Anda di halaman 1dari 13

PENGARUH PENGGUNAAN GIS (Geographic Information System) DENGAN

METODE MULTIKRITERIA DALAM PENGEMBANGAN ARGOPOLITAN DI


KAWASAN AJIBATA, PARAPAT, KAB. TOBA PROVINSI SUMATERA UTARA

Mata Kuliah : Sistem Informasi Geografis

Disusun oleh:

Nama : Ari Syahbana Siregar, S.Tr.IP


NIM : 227003015
Prodi : Perencanaan Pembangunan Wilayah Dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2023
LATAR BELAKANG

Perkembangan teknologi dan globalisasi meningkat secara bertahap; oleh karena itu,
desa perlu beradaptasi secara tepat terhadap modernisasi. Meskipun pusat-pusat pertumbuhan
di pedesaan dibentuk untuk mengatasi keterbelakangan pembangunan desa, namun menjaga
kearifan lokal dan potensi ekonomi desa dari modernisasi sangatlah penting. Kebijakan
pembangunan kawasan perdesaan merupakan proyek berkelanjutan untuk melindungi budaya
dan kearifan lokal yang ada di desa masing-masing. Desa-desa di Indonesia mempunyai ciri
khas seperti perdesaan di Ajibata, Toba Sumatera Utara, dalam hal ini pengembangan
perdesaan menggunakan strategi pembangunan ekonomi daerah yang disebut pendekatan top-
down, sekaligus menjadikan kawasan perdesaan Ajibata sebagai pusat pertumbuhan dan
sebagai jembatan pemasaran ke perkotaan.

Keberhasilan pembangunan nasional tidak lepas dari peran daerah pedesaan. Namun,
pedesaan telah diidentikkan dengan kemiskinan dan pertanian. Banyak masyarakat miskin
dan petani kecil berasal dari pedesaan, namun di beberapa belahan dunia, mereka masih
menghadapi kelaparan dan kekurangan gizi. Ciri utama daerah pedesaan adalah adanya
pengelolaan pertanian yang masih tradisional dan letaknya jauh dari perkotaan . Sulitnya
akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan layanan penting lainnya menjadi permasalahan
yang belum terselesaikan ketika membahas pembangunan pedesaan. Program pemerintah
pusat terkait isu pertanian dan perdesaan ialah pada pembangunan desa akan menghadapi
konflik antara pertanian tradisional dan pembangunan ekonomi, pembangunan infrastruktur,
dan modernitas lainnya. Hal ini terjadi karena pertanian tradisional mengalami konflik
dengan pembangunan ekonomi dan pembangunan infrastruktur ketika daerah pedesaan
berkembang menuju modernitas (Setyo Pratiwi, 2023).

Di Indonesia, ciri-ciri desa yang pada hakikatnya penuh dengan permasalahan seperti
angka kemiskinan yang tinggi, pendapatan penduduk pertanian yang tidak terstandar,
ketimpangan kepemilikan tanah, dan permasalahan sosial lainnya. Pemerintah tidak akan
pernah bisa memperbaiki kesalahan dalam mengurus desa, sehingga kantong-kantong
kemiskinan nasional selalu berlindung di pedesaan. Saat ini, pemerintah mempunyai banyak
program pembangunan desa. Sayangnya, hal tersebut dinilai kurang berhasil dalam
mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan desa
akan berhasil jika masyarakat desa dijadikan subjek pembangunan dan memberikan banyak
kesempatan kepada desa untuk menentukan keputusan nasibnya sendiri .
Kebutuhan dan potensi desa di Indonesia beragam; Alhasil, kebijakan yang seragam
untuk seluruh desa hanya akan sia-sia dengan latar belakang tersebut, babak baru
pembangunan desa yang disahkan dengan undang-undang no. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Permasalahan utama yang dihadapi para pengambil kebijakan dan perencana pembangunan
adalah tidak adanya kolaborasi antara pembangunan pedesaan dan perkotaan; akibatnya
keharmonisan perekonomian tidak tercipta. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 juga
mengatur pembangunan kawasan pedesaan sebagai jembatan hubungan antara desa dan kota.
Undang-undang ini dengan jelas membedakan antara pembangunan pedesaan dan
pembangunan kawasan pedesaan. Oleh karena itu, tujuan dari penulisan ini adalah untuk
menunjukkan proses pembangunan ekonomi daerah melalui pengembangan kawasan
pedesaan di Indonesia. Berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014, desa memberikan harapan baru
bagi masyarakat desa.

Keberadaan peraturan desa oleh tata kelola yang mudah digunakan di desa harus
memadai, efisien, aman, dan tepat sasaran. UU Desa mengatasi permasalahan perekonomian
desa melalui anggaran desa dan lembaga keuangan desa berupa BUMDesa. Dana desa
merupakan dana transfer langsung dari pemerintah pusat ke desa yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan pokok desa. Lembaga perekonomian daerah yang disebut BUMDesa
diposisikan sebagai lembaga yang mendorong pembangunan perekonomian desa. Konsep
penting dalam undang-undang desa adalah pembangunan kawasan pedesaan. Kawasan
perdesaan merupakan kawasan yang mempunyai kegiatan utama di bidang pertanian,
meliputi pengelolaan sumber daya alam dengan penataan kawasan sebagai tempat
permukiman pedesaan, pelayanan administrasi, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi
(Desyka Prihantara, Mustika Oktaviani, Muhammad Iqbal SJ, 2023).

Pasal 83 (1) Pembangunan Kawasan Perdesaan merupakan gabungan pembangunan


desa dalam 1 (satu) Kabupaten/Kota. Pembangunan pedesaan dikelola dengan meningkatkan
kualitas pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat pedesaan di Perdesaan
melalui pembangunan partisipatif. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah
menyetujui pembangunan yang berfokus pada daerah pedesaan. Yang dimaksud dengan
pembangunan kawasan pedesaan adalah pembangunan desa sebagai pusat pertumbuhan pada
daerah yang paling kritis di daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T).

Kawasan perdesaan merupakan kawasan yang terdapat permukiman, pelayanan


pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan perekonomian yang berkaitan dengan sumber
daya alam di dalamnya .Pengembangan kawasan perdesaan melalui penggabungan beberapa
desa yang memiliki potensi serupa dengan lokasi terkait membantu meningkatkan
perekonomian. Pembangunan kawasan perdesaan dilakukan dengan mengembangkan
kawasan yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menambah luas wilayah
pembangunan, dan mengurangi kesenjangan antara desa dan kota. Pembangunan perkotaan
secara masif sudah menjadi hal yang lumrah dilakukan pemerintah saat ini. Selama ini sudah
banyak program pembangunan pedesaan, dan kesepakatan pembangunan pedesaan yang
disetujui dari pembangunan perkotaan.

Timbul perbedaan yang menonjol antara desa dan kota baik dari segi skala ekonomi,
perkembangan teknologi, tata kelola (ekonomi, sosial, dan politik), ekologi, dan konflik
sosial atas kepentingan yang tidak dapat ditangani secara tepat oleh pemerintah. Pertemuan
masyarakat memberikan angin segar yang dihadirkan sebagai jembatan kolaborasi antara
desa dan kota. Terbentuknya kawasan perdesaan akan memudahkan terjadinya kolaborasi
antara desa dan kota. Desa dan kota merupakan tumpuan pembangunan nasional, dan
harmonisasi akan saling melengkapi dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dalam
pembangunan daerah perdesaan muncul skala ekonomi karena telah masuk dalam
perencanaan pembangunan nasional sebagai pusat pertumbuhan (Shinta Widyaning Cipta,
2018).

Perkembangan teknologi menjadi landasan utama dalam menyusun strategi


pembangunan pedesaan. Telah dimulai perancangan kawasan pedesaan berbasis "smart
agriculture" yang didefinisikan sebagai terkonsentrasinya penggunaan informasi dan
komunikasi dalam berkomunikasi, mengkomunikasikan, menganalisis, dan
merepresentasikan karakteristik produksi pertanian dalam format digital untuk mendukung
pengambilan keputusan yang tepat dan meningkatkan petani.Kedua, pembangunan pedesaan
sebagai jembatan, yaitu membangun hubungan antara desa dan kota. Sebagai pusat
pertumbuhan daerah 3T, perdesaan telah menjembatani hubungan antara desa dan kota.
Harmonisasi kekuasaan antar desa dapat menjadi jembatan kesetaraan antara desa dan kota
(Alia Miranti, 2023).

Hubungan antara desa-desa sangat penting dalam pembangunan perkotaan dan juga
penting dalam pembangunan pedesaan. Urbanisasi yang pesat, terbatasnya ruang, tingginya
biaya hidup menjadi permasalahan dalam pembangunan perkotaan. Sementara itu,
pembangunan desa menghadapi permasalahan terbatasnya akses sosial, kemiskinan, dan
terbatasnya perkembangan teknologi. Oleh karena itu, pembangunan pedesaan diperlukan
sebagai jembatan untuk mengatasi permasalahan pembangunan pedesaan. Fungsi selanjutnya
adalah kolaborasi dan kontrol. Kawasan pedesaan mempunyai fungsi untuk berkolaborasi
dengan seluruh pemangku kepentingan desa untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh
masyarakat desa. Dukungan kolaboratif dalam pembangunan pedesaan banyak digunakan
secara kooperatif dengan partisipasi semua kepentingan dalam desain inovatif dan
implementasi (Kurnia Ayu Puspita, 2023).

Model pembangunan kolaboratif ini memberikan ruang bagi desa-desa dengan


berbagai jenis karakter unik; berbagai kegiatan menjadi daya tarik investasi dalam
meningkatkan perekonomian daerah. Kolaborasi ini juga menekankan pada kelompok
musyawarah, pengembangan konsensus, dan dukungan wawasan yang beragam dari seluruh
pemangku kepentingan, baik sektor publik maupun sektor publik. Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pembangunan pedesaan bertujuan untuk
meningkatkan dan meningkatkan mutu pelayanan, pembangunan ekonomi, dan
pemberdayaan masyarakat pedesaan melalui partisipasi partisipatif. Kerangka kebijakan
pembangunan pedesaan ini dilaksanakan dengan desain yang kokoh. Dimana aspek sosial,
ekonomi, ekologi, dan administrasi pemerintahan dan perdesaan dikelola dengan baik.

Tata kelola yang baik diimbangi dengan desain kelembagaan yang unggul yang terdiri
dari organisasi masyarakat, norma atau aturan, nilai-nilai, dan pilihan atau proses kebijakan
yang memberdayakan masyarakat pedesaan, memajukan kawasan pedesaan, dan
meningkatkan modal sosial daerah. Outcome yang diharapkan dari kebijakan ini adalah
peningkatan APBD. Ada tiga informasi mengenai pembangunan pedesaan di Cina. Pertama,
pendekatan top-down atau eksogen, menekankan skala ekonomi dan konsentrasi. Kedua,
melihat dari bawah ke atas atau endogen, mengutamakan sumber daya lokal, dan
pembangunan berkelanjutan.

Ketiga, jaringan atau neo-endogen, mengedepankan identifikasi dan eksploitasi


berdasarkan potensi ekonomi dan juga kesetaraan ketiganya lebih lengkap tentang
menempatkan kawasan pedesaan pada fungsi yang berbeda dan fokus pembangunan yang
berbeda sesuai dengan potensi yang dibutuhkan oleh wilayah tersebut. Kajian ini akan
mengulas terkait fenomena pembangunan pedesaan di Indonesia, khususnya pengembangan
kawasan pedesaan dalam meningkatkan perekonomian daerah dalam agropolitan. Selain itu
penelitian ini juga menganalisis data kuantitatif dan kualitatif (metode campuran), penelitian
ini berlokasi di Ajibata, Toba, Sumatera Utara. Kawasan pedesaan ini memiliki infrastruktur
yang memadai. Salah satu infrastruktur yang dimiliki oleh kawasan pedesaan Ajibata adalah
jalan, mulai dari jalan lokal, jalan lingkungan hingga jalan pertanian yang dapat
menghubungkan desa satu dengan desa lainnya.

Selain itu, infrastruktur juga menjadi kebutuhan pokok masyarakat, termasuk sumber
air. Sumber daya air yang dimiliki kawasan ini antara lain mata air, waduk, dan bendungan.
Selain itu kawasan ini juga memiliki infrastruktur transportasi berupa bandara Sibisa,
pelabuhan penyeberangan ke Tomok. Kawasan ini juga memiliki aliran listrik yang
didominasi oleh PLN, serta jaringan komunikasi dan informasi telepon seluler berupa BTS.
Sektor unggulan kawasan Ajibata ini adalah pertanian dan pariwisata. Sektor pertanian di
ketujuh desa tersebut memiliki potensi pada produk kopi, jeruk, dan jagung. Kopi menjadi
komoditas andalan ketujuh desa dengan luas 294,6 hektar ini menghasilkan 140,29 ton kopi
dalam satu periode. Untuk jeruk mampu menghasilkan 203,4 ton. Sedangkan jagung dengan
luas tanam 695 ha mampu menghasilkan 4.268 ton. Potensi sektor pariwisata terdapat di
Rawa Hitam dan Hutan Adat, Bukit Senyum, Danau Singapura, Air Terjun Singapura, dan
kawasan terpadu otoritas Danau Toba.

Strategi awal pengembangan kawasan Ajibata adalah dengan membangun skala


ekonomi dengan meningkatkan skala produksi komoditas kopi dari ketujuh desa tersebut.
Skala ekonomi didefinisikan sebagai produksi skala besar, yang menghasilkan biaya rendah.
Dengan kata lain, mereka meningkatkan produksi dengan menurunkan biaya produksi
sehingga meningkatkan keuntungan. Biaya produksi yang dikeluarkan akan rendah dengan
dibangunnya kawasan pedesaan karena harus dibagi-bagi, dan skala produksi akan
meningkat. Skala ekonomi dapat terjadi karena beberapa faktor. Pertama, skala ekonomi telah
memasuki biaya modal yang direncanakan. Kedua, skala ekonomi selalu dikaitkan dengan
efisiensi operasional dan peningkatan profitabilitas secara besar-besaran. Ketiga, skala
ekonomi membuktikan bahwa biaya administrasi umum bersifat konstan atau cenderung
lebih rendah .

Untuk menambah nilai tambah di kawasan ini dibangunlah pusat pengolahan kopi
sehingga produk kopi yang dijual tidak hanya dalam bentuk biji kopi namun juga kopi
olahan. Upaya peningkatan nilai tambah kopi daerah memerlukan kreativitas dan inovasi
yang tinggi agar berbeda dengan daerah lain. Pada akhirnya akan menciptakan lapangan kerja
baru dan meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat. Nilai tambah akan tercipta di
pedesaan, dan pendekatannya adalah kreativitas pada kegiatan ekonomi dan kerjasama yang
baik antar desa. Penelitian mengenai penciptaan nilai tambah di Turki . Penciptaan nilai
tambah sangat berkorelasi dengan faktor tenaga kerja informal, perekonomian informal,
kondisi keuangan, budaya, dan lain-lain.

Kawasan ini juga dirancang untuk pemasaran produk kopi dengan strategi penjualan
sebagai oleh-oleh khas Toba untuk pasar domestik dan internasional. Dalam memasarkan
produk lokal ini, masyarakat bekerjasama melalui BUMDESMA (BUMDesa Bersama). Di
kawasan ini pengolahan kopi sudah terjalin mulai dari hulu (produksi oleh petani) hingga
hilir (pemasaran). Semua proses ini melibatkan tenaga kerja lokal dari daerah tersebut.
Tujuan pengembangan kawasan ini adalah untuk meningkatkan perekonomian pedesaan
sehingga akan mendorong perekonomian di daerah tersebut. Tujuan utama pembangunan
pedesaan adalah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, daya saing, nilai tambah, dan
PDRB . Model pembangunan kawasan perdesaan berbasis pertanian akan meningkatkan daya
saing, nilai tambah, nilai tukar, dan kesejahteraan petani. Pergerakan perekonomian daerah
pedesaan merupakan tumpuan perekonomian nasional.

Oleh karena itu, kewirausahaan yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat lokal,
pemanfaatan potensi ekonomi, dan penggunaan tenaga kerja lokal merupakan strategi yang
baik. Kawasan pedesaan telah dapat berfungsi dengan baik; dapat meningkatkan skala
keekonomian petani kopi, nilai tambah produk kopi, daya tawar dengan menjadikan produk
kopi sebagai oleh-oleh lokal. Dengan adanya rasa kepemilikan bersama, maka tidak akan ada
lagi desa-desa yang saling bersaing melainkan mengedepankan kolaborasi antar desa.
Produksi yang rendah dan pasar yang kurang membuat skala ekonomi tidak optimal sehingga
seringkali merugikan. Tantangan utama daerah terpencil adalah kurangnya skala ekonomi
dan perusahaan yang hanya memproduksi sedikit dengan produk yang sama seringkali
menimbulkan persaingan (Mega Halmahera, 2023).

Perdesaan akan mendorong peningkatan skala perekonomian pedesaan, apalagi


produksi dari satu desa meningkat lebih dari satu desa. Belajar dari negara lain, kolaborasi
adalah kunci keberhasilan pembangunan pedesaan; misalnya di Thailand, kolaborasi
pembangunan infrastruktur, berbagi informasi, dan pengalaman memberikan kekuatan baru
dan menghilangkan keinginan bersaing antar desa. Berkaca dari pengalaman Tiongkok dalam
pembangunan pedesaan, dalam jangka panjang pembangunan pedesaan harus mampu
memperhatikan perlindungan lingkungan hidup, mengembangkan dan memanfaatkan sumber
daya alam secara rasional dengan menghindari pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.
Selain itu, desain tata ruang pembangunan pedesaan juga menjadi perhatian penting pada
tahap selanjutnya.

Desa adat, bangunan bersejarah, desa ikonik sangat penting untuk dilindungi sebagai
saksi sejarah kehidupan desa, dan pembangunan desa juga harus memperhatikan kepentingan
seluruh masyarakat, tidak hanya kelompok mayoritas tetapi juga kelompok etnis minoritas.
Pembangunan pedesaan harus mampu mengintegrasikan etnis tradisional tanpa meninggalkan
nasionalisme yang berbeda.Selain itu, di Tiongkok, pembangunan pedesaan dimulai dengan
pembangunan dari atas ke bawah, dengan membentuk organisasi antar desa dalam satu
wilayah yang bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian. Pendekatan top-down di sini
berarti membangun kerjasama antar desa dan mengambil keputusan untuk memproduksi
komoditas pertanian yang sama secara bersamaan (Retno Wijajanti, 2023).

Akan banyak terjadi transfer pengetahuan, pengalaman, informasi, dan teknologi


antar masyarakat dengan adanya kerjasama antara dua desa atau lebih. Banyak negara
mengembangkan kawasan pedesaan melalui pendekatan top-down dengan mengubah
pengetahuan tentang ekspansi pertanian. Berbagi kebaikan antar petani akan menghasilkan
produk unggulan yang mampu meningkatkan skala ekonomi. Daerah pedesaan di Ajibata
lebih mengarah pada pendekatan top-down, yang menempatkan kunci pembangunan pada
skala ekonomi dan spesialisasi. Kekuatan pembangunan di pedesaan Ajibata adalah pusat-
pusat pertumbuhan yang berperan sebagai produsen makanan dan minuman di perkotaan.
Dalam hal ini wilayah Ajibata dapat dipasarkan secara lokal maupun dipasarkan di perkotaan
sebagai penghasil kopi (Seri Wahyuni harahap, 2023).

TUJUAN

Melalui latar belakang diatas, maka adapun tujuan dalam penelitian ini ialah sebagai
berikut:

1. Pengaruh Penggunaan GIS dengan Metode Multikriteria dalam pengembangan


Argopolitan di Kawasan Ajibata, Parapat, Toba,Sumut
METODOLOGI PENELITIAN

Dalam metodologi penelitian yang digunakan ialah dengan cara evaluasi


menggunakan model multi-kriteria dalam GIS untuk cakupan wilayah Samosir yang
berkaitan dengan alokasi lahan agar sesuai dengan tujuan tertentu berdasarkan berbagai
atribut yang harus dimiliki oleh wilayah yang dipilih. Meskipun umumnya dilakukan dalam
GIS, terlihat bahwa pendekatan yang umum digunakan dalam sistem vektor dan raster
biasanya menghasilkan solusi yang berbeda. Selain itu, terdapat ambiguitas dalam cara
standarisasi dan pengumpulan kriteria untuk menghasilkan keputusan akhir dalam proses
alokasi lahan.

Secara khusus, dengan mempertimbangkan kriteria sebagai ekspresi keanggotaan


dalam himpunan fuzzy dengan proses agregasi kombinasi linier tertimbang yang umum pada
sistem raster terlihat terletak di sepanjang kontinum operator di tengah-tengah antara
persimpangan keras dan operator gabungan biasanya terkait dengan overlay Boolean dalam
sistem vektor. Prosedur penerapan kontinum ini ditinjau, beserta implikasinya terhadap
variasi tingkat dan trade-off antar kriteria. Selain itu, struktur teoritis pengukuran fuzzy
memberikan logika yang kuat untuk standarisasi kriteria dan evaluasi risiko keputusan
(kemungkinan keputusan yang diambil akan salah). Dalam GIS, evaluasi multi-kriteria
biasanya didekati dalam satu pendekatan. dari dua cara. Pada tahap pertama, semua kriteria
diubah menjadi pernyataan kesesuaian Boolean (yaitu logis benar/salah) untuk keputusan
yang sedang dipertimbangkan

. (Istilah Boolean berasal dari nama ahli matematika Inggris, George Boole, yang
pertama kali mengabstraksikan hukum dasar teori himpunan pada pertengahan tahun 1800an.
Istilah ini digunakan di sini untuk menunjukkan pemetaan spasial apa pun yang jelas di mana
area ditetapkan dengan bilangan biner sederhana. sistem bilangan sebagai milik atau bukan
milik himpunan yang ditentukan.) Dalam banyak hal, variabel Boolean ini dapat dianggap
sebagai batasan, karena berfungsi untuk menggambarkan area yang tidak sesuai untuk
dipertimbangkan. Batasan ini kemudian digabungkan dengan beberapa kombinasi operator
persimpangan (logis AND) atau gabungan (logis OR). Prosedur ini mendominasi MCE
dengan sistem perangkat lunak vektor, namun juga umum digunakan dengan sistem raster.
Melalui operasi overlay karakteristik GIS, dapat digunakan di sini untuk menemukan
semua kawasan yang cocok untuk pengembangan industri, dengan memenuhi kriteria berikut:
kawasan yang sesuai akan berada di dekat a jalan raya (dalam jarak 1 km – kiri atas), dekat
dengan tempat kerja (dalam jarak 7,5 km dari kota – kiri tengah), di lereng yang rendah
(kurang dari 5 persen – kanan atas), dan lebih dari 2,5 km dari suaka margasatwa yang
ditetapkan (kanan tengah). Selain itu, pembangunan di suaka margasatwa tidak diperbolehkan
(kiri bawah). Kriteria ini dikumpulkan melalui operator persimpangan , yang menghasilkan
hasil di kanan bawah. Perlu diperhatikan bahwa jarak ke tenaga kerja dihitung dari jarak
biaya permukaan yang memperhitungkan gesekan jalan raya dan off-road. Dalam prosedur
paling umum kedua untuk MCE, kriteria kuantitatif dievaluasi sebagai variabel kontinu
penuh dan bukannya dipecah menjadi batasan Boolean.

Pemanfaatan metode ini telah menyaksikan peningkatan signifikan dalam publikasi


penelitian dalam beberapa tahun terakhir. Setiap studi memasukkan kriteria berbeda dalam
proses pemilihan lokasi, disesuaikan dengan karakteristik spesifik wilayah studi dan spesies
yang ditargetkan untuk budidaya.Penggunaan metode MCE berbasis GIS dalam pemilihan
lokasi budidaya perairan memungkinkan pengambil keputusan untuk mempertimbangkan
berbagai faktor yang mempengaruhi kegiatan ini. Pendekatan ini membantu memastikan
bahwa fasilitas budidaya perikanan dikembangkan secara berkelanjutan dan bertanggung
jawab, dengan mempertimbangkan kebutuhan lingkungan dan masyarakat lokal.

Pemilihan lokasi yang cocok untuk budidaya perikanan melibatkan evaluasi beberapa
faktor yang menentukan lokasi yang paling menguntungkan untuk operasi. Faktor-faktor ini
bervariasi tergantung pada spesies yang dibudidayakan dan ekosistem, seperti kualitas air,
topografi, akses terhadap sumber daya, infrastruktur. Pendekatan empiris mengandalkan
observasi lapangan, pengambilan sampel air, dan data lingkungan untuk mengevaluasi
potensi suatu lokasi untuk produksi akuakultur. Pendekatan berbasis model menggunakan
model statistik dan matematika untuk mengevaluasi kesesuaian lokasi potensial.

Namun, kedua pendekatan ini seringkali terbatas kemampuannya dalam


mempertimbangkan berbagai faktor dan menilai variabilitas spasial kondisi lingkungan
secara akurat. Metode MCE berbasis GIS telah muncul sebagai alat yang menjanjikan untuk
mengidentifikasi dan memprioritaskan lokasi budidaya perikanan yang potensial .
Penggunaan metode MCE berbasis GIS memberikan evaluasi komprehensif terhadap proses
pemilihan lokasi; metode ini menggunakan teknologi geospasial untuk mengintegrasikan
beberapa kumpulan data dan kriteria untuk menghasilkan peta kesesuaian yang menyoroti
kawasan yang potensial untuk agropolitan di SUMUT .Metode MCE berbasis GIS
melibatkan tiga langkah utama:

1. Identifikasi kriteria dan pengumpulan data


2. Pembobotan dan penilaian kriteria
3. Analisis spasial dan pemetaan kesesuaian.

Identifikasi kriteria dan pengumpulan data melibatkan identifikasi faktor-faktor yang


mempengaruhi kesesuaian dalam analisis spasial dan pemetaan melibatkan integrasi kriteria
yang diberi bobot dan skor untuk menghasilkan peta kesesuaian yang menyoroti kawasan
yang potensial untuk agropolitan di pulau samosir, SUMUT..Berikut rumus yang digunakan
sebagai berikut:

∑ Wi . Xi
S¿ i=0

Dimana:

S=SMCE /Suitability (kesesuaian)

Wi= Bobot faktor ke i

Xi= Skor faktor ke i (Try Sugiyarto Soeparyanto, 2023)


DAFTAR PUSTAKA

Alia Miranti. (2023). Pengembangan wilayah agropolitan untuk melaraskan kota dan desa.
Jurnal Kajian Ruang, 3(2). Retrieved from
https://jurnal.unissula.ac.id/index.php/kr/article/download/29506/8938

Desyka Prihantara, Mustika Oktaviani, Muhammad Iqbal SJ. (2023). Implementasi decision
support system di bidang data spasial: systematic literature review. Jurnal Sosial dan
Sains, 3(3). Retrieved from
https://sosains.greenvest.co.id/index.php/sosains/article/download/712/1263?inline=1

Kurnia Ayu Puspita. (2023). Analisis Pengembangan Kawasan Agropolitan Melalui Inovasi
BAMELE di Desa Banaran Kulon Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk. Jurnal
mahasiswa soetomo administraasi publik, 1(3). Retrieved from Analisis
Pengembangan Kawasan Agropolitan Melalui Inovasi BAMELE di Desa Banaran
Kulon Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk

Mega Halmahera. (2023). Evaluasi Sarana-Prasarana Dalam Mendukung Pengembangan


Kawasan Agropolitan di Kecamatan Baros Kabupaten Serang. Geo-Image : Spatial -
Ecological - Regional , 12(1). Retrieved from
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/geoimage/article/view/70061

Retno Wijajanti. (2023). Edukasi zoning aktivitas pemukiman agropolitan dan pendukung
wisata agro di desa munggur, kecamatan mojogedang, kabupaten karanganyar. Jurnal
Pasopati, 5(3). Retrieved from
https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/pasopati/article/view/19892

Seri Wahyuni harahap. (2023). Peran Strategis Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara
dalam Menopang Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. PESHUM : Jurnal
Pendidikan, Sosial dan Humaniora, 2(3). Retrieved from https://journal-
nusantara.com/index.php/PESHUM/article/download/1496/1282/2670
Setyo Pratiwi. (2023). Sistem Pendukung Keputusan untuk Optimasi Pemilihan Tanaman
Hortikultura pada Lahan Pertanian. Jurnal Keteknikan Pertanian, 11(2). Retrieved
from
https://www.researchgate.net/publication/373886918_Sistem_Pendukung_Keputusan
_untuk_Optimasi_Pemilihan_Tanaman_Hortikultura_pada_Lahan_Pertanian

Shinta Widyaning Cipta. (2018). Pengembangan komoditas unggulan di wilayah


pengembangan tumpang, kabupaten malang. Jurnal Kawisata, 7(2). Retrieved from
https://www.researchgate.net/publication/326407963_PENGEMBANGAN_KOMOD
ITAS_UNGGULAN_DI_WILAYAH_PENGEMBANGAN_TUMPANG_KABUPA
TEN_MALANG

Try Sugiyarto Soeparyanto. (2023). Pengembangan Jaringan Jalan Kota Kendari Berbasis
Multi Criteria Decision Making. Jurnal ilmiah teknik sipil, 27(2). Retrieved from
https://ojs.unud.ac.id/index.php/jits/article/view/106502

Anda mungkin juga menyukai