Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Proses perencanaan pembangunan desa dengan bottom up dan top down

merupakan sebuah harmoni dari partisipasi masyarakat dengan kegiatan pemerintah. Bahwa

pada hakekatnya pembangunan desa dilakukan oleh masyarakat sendiri sebagai pengakuan

akan kemampuan masyarakat desa, maka peran pemerintah sebenarnya hanya memberikan

bimbingan, bantuan, pembinaan, dan pengawasan (Ahmadi 2001: 222)

Dana Desa sebagai stimulas pembiayaan dalam pembangunan desa telah menjadi

harapan baru untuk mewujudkan salah satu strategi pembangunan nasional yaitu

membangun indonesia dari pinggiran. Sebagai salah sumber pendapatan desa, dana desa

yang dilahirkan dari Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, menjadi instrument

baru bagi Pemerintah untuk memperkuat posisi desa yang telah mempunyai kewenangan

untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dan pembangunannya. Seperti yang dikatakan

oleh Rahayu (2017: 108) bahwa desa sebagai wilayah otonom dipastikan mempunyai

pembiayaan yang memadai untuk mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya

sebagai dukungan pelaksanaan kewenangan desa.

Dana desa telah dkucurkan oleh Pemerintah kepada Desa mulai tahun 2015. Jika

tahun 2015 dana desa dialokasikan sebesar Rp 20,7 triliun, dengan rata-rata setiap desa

mendapatkan alokasi sebesar Rp 280 juta. Pada tahun 2016, meningkat menjadi Rp 46,98

triliun dengan rata-rata setiap desa sebesar Rp 628 juta, ditahun 2017 dan 2018 kembali

meningkat menjadi Rp 60 Triliun dengan rata-rata setiap desa sebesar Rp 800 juta,

1
sedangkan pada tahun 2019 sebesar Rp. 70 Triliun dan pada tahun 2020 meningkat lagi

menjadi Rp. 72 Triliun (Kemendesa PDTT, 2020). Diungkap oleh Eko Putro Sanjoyo yang

dikutip oleh Kompas.com 26 Februari 2019 jumlah dana desa tahun 2019 s.d 2024

diperkirakan mencapai Rp. 400 Triliun.

Potensi pembiayaan pembangunan pada tingkat desa yang cukup besar ini,

memerlukan pengelolaan yang profesional dan akuntabel. Pengelolaan dana desa untuk

pembangunan dan pemberdayaan masyarakat bukan suatu hal yang sederhana dan mudah.

Berbagai kebijakan pengeloaan dana desa telah dikeluarkan oleh Pemerintah, Kementerian

Keuangan mengatur proses penetapan dan pencairan dana, Kementerian Dalam Negeri dan

Kementerian Desa PDTT mengatur proses perencanaan dan penggunaan dana desa, yang

semuanya itu memiliki tujuan supaya dana desa bisa termanfaatkan dengan efektif, efisien

untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Salindeho, Kalangi & Warongan (2017:

129) mengatakan, pengelolaan dana desa yang dimulai dari perencanaan, dengan

musyawarah desa untuk menentukan belanja bagi Dana Desa, penatausahaannnya

menggunakan sistem yang telah memanfaatkan teknologi informasi dan Sumber Daya

Manusia (SDM) atau perangkat penyelenggara desa yang memiliki kapabilitas menjadi

variable penting untuk pengelolaan dana desa.

Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDesa) dan Anggaran Pembangunan dan

Belanja Desa (APBDes) menjadi dokumen perencanaan yang wajib dimiliki oleh Desa

sebagai bentuk partisipasi politik anggaran tingkat desa yang prosesnya melalui

musyawarah desa. Musyawarah perencanaan pembangunan desa sebagai forum strategis

desa untuk merencanakan program dan kegiatan, menjadi penting dan sangat berhubungan

dengan pengelolaan dan pemanfaatan dana desa.

2
Dana desa diberikan langsung kepada Desa melalui rekening desa oleh

Pemerintah memiliki tujuan agar desa dapat secara langsung menjalankan dan mengelola

dana desa untuk mengatur dan mengurus bidang pembangunan dan pemberdayaan

masyarakat sebagai prioritas penggunaan dana desa. Cita-cita besar dari pemberian dana

desa untuk peningkatan kualitas hidup manusia, peningkatan kesejahteraan masyarakat

Desa, penanggulangan kemiskinan, peningkatan pelayanan publik di tingkat Desa, dan

Peningkatan pendapatan asli Desa (Permendes 11 Tahun 2019) ini adalah bagian dari

pembangunan desa yang salah satu tujuannya adalah untuk mengurangi berbagai

kesenjangan desa dan kota dan peningkatan perekonomian di Desa. Pemberian Dana Desa

merupakan wujud dari pemenuhan hak desa untuk menyelenggarakan otonominya agar

tumbuh dan berkembang (Muslihah, Siregar & Sriniyati, 2019: 89-90).

Pengalokasian dana desa yang cukup besar menimbulkan pertentangan dalam

pemikiran. Sutoro Eko (2014: 269-272) mengatakan bahwa sikap pesimis dari kelompok

ini lebih pada pemikiran tentang ketidaksiapan SDM perangkat desa untuk mengelola dana

desa, resiko korupsi akan sampai ke desa. Sikap optimis dari kelompok yang lain, karena

ada keyakinan bahwa desa bukanlah tempat orang bodoh, statemen ini disampaikan oleh

Ibnu Mudzir (wakil ketua pansus desa).

Saya, Mas Budiman dan Pak Muqowam pernah menyaksikan langsung desa-desa
yang didampingi oleh IRE dan ACCESS di Indonesia Timur. Desa-desa sudah
punya IT, juga peta sosial desa yang menggambarkan dengan jelas tentang aset
desa dan kemiskinan. Mereka juga sudah membuat dan menjalankan perencanaan
dan penganggaran dengan baik. Ada juga yang memiliki BUMDesa. Kedepan
pemerintah harus melakukan pendampingan dan penguatan kapasitas desa.

Kelompok optimis berkeyakinan bahwa desa mampu mengelola dana desa dengan

peran pemerintah untuk melakukan penguatan kapasitas desa dan pendampingan. Oleh

3
karena itu menjadi hal penting apabila bisa diketahui peluang dan tantangan pengelolaan

dana desa.

1.2. Pembangunan Desa

Memahami tentang pembangunan bisa diawali dengan memahami berbagai teori

yang menjelaskan tentang pembangunan pada masa lalu dan era terkini. Wilis (2005: 2-3),

menjelaskan bahwa diskripsi dan penjelasan tentang pendekatan teori pembangunan dapat

berubah dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut sangat dipengruhi oleh situasi sosial dan

spasial ketika pendekatan teori pembangunan tersebut didiskripsikan. Pembangunan dapat

dikatakan sebagai sebuah bentuk usaha untuk mencapai kemajuan atau meningkatkan strata

sebuah negara. Kerap kali pembangunan dianggap sebagai simbol menuju keadaan yang

lebih modern atau menjadi lebih baik, namun tanpa disadari pembangunan menyebabkan

dampak negatif ataupun adanya pihak yang dirugikan.

Menurut Kartasasmita (1996: 50), bahwa pembangunan didefinisikan sebagai

sebuah proses untuk meningkatkan pendapatan perkapita yang dapat diartikan sebagai

sebuah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi inilah yang sampai saat ini masih

diyakini sebagai salah ukuran untuk melihat keberhasilan sebuah pembangunan.

Keberhasilan pembangunan dalam paradigma pertumbuhan ini tentunya adalah

pertumbuhan yang dapat dinikmati oleh masyarakat lapisan bawah, yang dalam konteks ini

adalah masyarakat perdesaan, baik dengan sendirinya ataupun karena intervensi dari

pemerintah.

Pembangunan desa dalam konteks penghormatan hak-hak asal asul dan pengakuan

akan kewenangan local berskala desa yang pelaksanaannya dengan pendekatan “desa

4
membangun” dan “membangun desa”. Pendekatan desa membangun dan membangun desa

ini dijelaskan oleh Soimin (2019: 2-3) bahwa desa membangun adalah penegasan akan hak

desa untuk merencanakan, melaksanakan, memonitoring dan mengevaluasi pembangunan

secara mandiri berdasarkan prakarsa local, sedangkan membangun desa menunjukkan

bahwa pembangunan desa dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat yang diberikan peran

dominan oleh supra desa dalam melaksanakan pembangunan perdesaaan dan kawasan.

Pembangunan desa adalah merupakan upaya untuk peningkatan kualitas hidup dan

kehidupan untuk sebesar besarnya kesejahteraan masyarakat desa, yang tujuannya adalah

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta

penanggulangan kemiskinan melalui penyediaan pemenuhan kebutuhan dasar,

pembangunan sarana dan prasarana, pengembangan potensi local, serta pemanfaatan

sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan (UU No. 6 Tahun 2014).

Menurut (Muslihah, Siregar, Sriniyati, 2019: 87) terdapat tiga kelompok pemikiran

yang menjelaskan tentang pembangunan perdesaan pada era orde baru s.d reformasi.

Kelompok pertama berpendapat bahwa wilayah perdesaan dan masyarakatnya adalah

subyek yang khas dan spesifik, dalam melakukan pembangunan wilayahnya dengan

pendekatan yang sedikit mungkin campur tangan pemerintah. Kelompok kedua sebagai

kelompok yang berada di lingkar kekuasaan yang memandang dengan pendekatan

homogenitas, sehingga akan digerakkan dengan kebijakan dari pemerintah secara seragam.

Pandangan ini menghasilkan peraturan-peraturan perdesaan yang menjadikan desa sebagai

suatu wilayah yang homogen serta menjadi alat pemerintah dalam pembangunan.

Kelompok ketiga berpandangan dengan menggabungkan kekuatan pada masyarakat dan

negara untuk pencapaian kesejateraan masyarakat di perdesaan.

5
Kritikal review dari Muslihah, Siregar, Sriniyati, (2019) pandangan-pandangan

tentang desa dari ketiga kelompok pemikir tersebut, belum dengan cermat melihat

masyarakat desa sebagi individu dan sebagai kominitas. Sebagai individu masyarakat desa

dengan budaya kelokalan yang masih kuat dengan keinginan untuk mendapatkan kebutuhan

dasar yang layak. Oleh karena kewajiban dari pemerintah menyediakan layanan dasar

pendidikan, kesehatan dan parasarana. Sebagai komunitas dan anggota masyarakat, maka

kebutuhan akan pelayanan public yang mendukung interaksi antar individu layak menjadi

perhatian. Apabila dua hal tersebut dilakukan dengan baik maka pentahapan pembangunan

pedesaan dapat dilakukan dengan melihat tingkat perkembangan kebutuhan mereka secara

individu dan sebagai sebuah komunitas.

Pelaksanaan pembangunan desa dengan adanya Undang-Undang 6 Tahun 2014

dengan strategi membanguan Indonesai dari pinggiran menjadi suatu hal yang tidak bisa

ditawar lagi. Kewajiban Negera menyediakan Dana Desa untuk seluruh desa di Indonesia

menjadi amanah yang harus direalisakan setiap tahunnya untuk memberdayakan dan

mensejahterakan masyarakat desa. Untuk dapat mencapai tujuan pembangunan desa,

pengalaman-pengalaman dari beberapa Negara dalam membangun perdesaan dapat

dijadikan media pembelajaran.

Pengalaman dari Negara-Negara lain, seperti dikutip oleh Kuncoro (2019: 35–48),

antara lain :

a. Australia

Kebijakan pembangunan wilayah perdesaan dipisahkan dengan kebijakan pada

sector pertanian, perikanan, perhutanan, pariwisati dan industry. Pembangunan

perdesaan direncanakan untuk menjaga daya saing, keuntungan dan keberlanjutan

6
industry yang didukung oleh komunitas melalui pembangunan infrastruktur dengan

jaminan dan pelayanan yang mencukupi.

Tujuan pembangunan desa di Australia adalah untuk mempromosikan ketahanan

(kemandirian), daya saing, keberlanjutan bisnis dan industry di desa melalui

pengembangan kebijakan dan program terintegrasi dalam area kapasitas, ketrampilan,

mendukung keluarga perdesaan yang berada pada posisi kemiskinan, penelitian-

pengembangan dan inovasi. Terdapat satu institusi pemerintah yang bertanggung jawab

pada pembangunan perdesaan, yaitu Departemen Infrastruktur, transportasi,

pembangunan wilayah dan pemerintah.

Keberhasilan pembangunan perdesaan di Australia ditentukan oleh : pertama,

pemisahan tugas dari institusi pemerintah yang bertanggung jawab pada pembangunan

perdesaan, sehingga institusi ini akan focus pada pembangunan desa; kedua

pembangunan desa diarahkan pada pendukung daya saing industry, sehingga memaksa

masyarakat perdesaan untuk bergerak maju mengikuti dinamika bisnis dan industri.

Pemerintah Australia memperhatikan wilayah terpencil yang terlihat dari Visi

pembangunan desa nya, yaitu:

Masyarakat perdesaan dan terpencil Australia sehat seperti orang Australia lain.
Tujuannya adalah perdesaan dan komunitas yang memiliki : i. peningkatan akses
pelayanan kesehatan yang memadahi dan konprehensif; ii. Pelayanan kesehatan yang
efektif, memadai dan keberlanjutan; iii. Tenaga kerja yang memiliki ketrampilan
memadai dan sehat; iv. Pengembangan perencanaan dan kebijakan kesehatan yang
kolaboratif; v. Kepemimpinan kuat, tata kelola yang transparan dan akuntabel.

b. Finlandia

Finlandia mengkatogorikan pembangunan desanya menjadi 3 cluster wilayah,

yakni :

7
1). Perdesaan yang dekat dengan wilayah perkotaan, yang dijelaskan bahwa

wilayah perkotaan memiliki kesempatan kerja yang lebih besar dan

pembangunan yang lebih baik. Dengan mengembangkan wilayah ini maka

sebagian masyarakat perdesaan yang memiliki ketrampilan dapat mudah

bekerja pada wilayah kota didekatnya. Tenaga kerja perdesaan akan mudah

terserap, pertanian dan bisnis memiliki pasar yang bagus dan beragam,

sehingga seperti ada keterpaduan ekonomi dalam wilayah desa kota ini;

2). Perdesaan yang utama (core rural municipalaties), wilayah ini diperankan

sebagai tempat produksi primer (utama) dengan pusat industry yang berbasis

lokasi atau local;

3). Perdesaan dengan penduduk yang jarang (sparsely populated rural

municipalities), wilayah ini diklusterkan sebagai wilayah dengan

permasalahan kemiskinan, penduduk usia tua, pengangguran, masalah

pelayan public dan stagnasi ekonomi.

Tangggung jawab pembangunan desa di Finlandia dilakukan oleh Menteri

Pertanian dan Kehutanan, Menteri Tenaga Kerja dan Ekonomi. Pada tingkat regional

terdapat komite perdesaan yang berpartisipasi dalam tataran pelaksanaan pembangunan

desa, dan yang paling dominan adalah dikenal dengan 55 Local Action Groups.

c. Uni Eropa

Pembangunan desa pada Negara-Negara Uni Eropa, basis kebijakan yang

dilakukan adalah mengembangkan sector pertanian untuk peningkatan efisiensi

produksi, proses dan pemasaran produk pertanian. Ketika terjadi reformasi common

agriculture policy, maka pembangunan perdesaan berkembang tidak hanya pada sector

8
pertanian, tetapi bervariasi pada sector ekonomi. Pokok-pokok reformasi kebijakan itu

antara lain :

1) Meningkatkan daya saing pertanian dan kehutanan, termasuk sumberdaya


manusia (tenaga kerja sector pertanian), sumberdaya fisik (investasi, proses,
infrastruktur, pemasaran), kualitas produk pertanian dan ukuran transisi
(dukungan petani subsisten).
2) Meningkatkan kualitas lingkungan melalui dukungan manajeman lahan,
termasuk keberlanjutan penggunaan lahan pertanian, dukungan investasi non
produktif, konservasi dan restorasi hutan.
3) Meningkatkan kualitas hidup di area perdesaan dan mempromosikan
keanekaragaman aktifitas ekonomi, terkait kualitas hidup, renovasi dan
pembangunan desa, diversifikasi ekonomi (ketrampilan pertanian modern
seperti agro tourism, agriculture for micro enterprise).

d. Jepang

Pembangunan desa di Jepang difokuskan pada sector pertanian. Kebijakan

Agricultural Basic Law berubah menjadi Basic Law on Food, Agricultural, and Rural

Areas, memiliki tujuan untuk melindungi stabiltas produksi bahan makanan dan

memenuhi peran multifunsi sector pertanian. Insitusi yang bertanggung jawab adalah

Kementerian Pertanian, Kehutanan dan Perikanan.

Pembangunan desa di Negara ini, direncanakan untuk mengurangi disparitas

ekonomi antar wilayah perdesaan dan perkotaan dengan empat indicator:

1) Konservasi sumberdaya perdesaan seperti lahan, air dan pemandangan;


2) Revitalisasi pembangunan ekonomi perdesaan dengan mengangkat keunikan
sumberdaya local;
3) Mempromosikan kerjasama antara desa dan kota;
4) Menentukan infrasruktur esensial untuk meningkatkan standart hidup
masyarakat perdesaan.

Konsep pembanguan perdesaan seringkali terdapat kebiasan antara pembangunan

pertanian dan pembangunan wilayah. Pembangunan pertanian mengarah pada

peningkatan produk pertanian, seperti hasil panen, peternakan, perikanan dan tanah

9
serta modal yang dianggap sebagai barang produksi dan sarana. Sedangkan

pembangunan desa esensinya adalah pada manusia dan kelembagaan dan pembangunan

pertanian adalah bagian dari pembangunan desa yang berisikan aktifitas pertanian untuk

merevitalisasi ekonomi bagi petani. Pembangunan wilayah merupakan rencana daerah

baik pembangunan perkotaan maupun pembangunan perdesaan (Niki, 2002 dalam

Kuncoro, 2019: 45).

e. Afrika Selatan

Afrika selatan adalah salah satu negara bekembang seperti Indonesia.

Permasalahan pembangunan desa hampir sama dengan Indonesia. Persoalan

kemiskinan, rendahnya produktifitas, sumberdaya manusia yang masih rendah, mata

pencahrian pertanian, minim akses produksi dan pasar, pemanfaatan teknologi terbatas.

Kebijakan di Afrika Selatan, adalah kolaborasi dan komitmen bersama

akademisi, masyarakat, pasar dalam mengembangkan UMKM untuk menjaga kualitas

dan sustainabilitas pengembangan produk hingga ke hilir sampai diterima masyarakat.

Kebijakan lain yaitu reformasi lahan secara agresif, diversifikasi dan peningkatan

ketahanan pangan rumah tangga desa, peningkatan pelayanan dan infrastruktur untuk

membangun kualitas hidup.

1.3. Kesejahteraan Masyarakat Desa

Pemberdayaan menurut Mas’oed (1990), adalah upaya untuk memberikan daya

(empowerment) atau penguatan (strengthening) kepada masyarakat. Oleh karena itu

menurut Soemodiningrat dalam Mardikanto dan Soebianto (2017: 26) keberdayaan

masyarakat dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan individual yang bersenyawa dengan

masyarakat dalam membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Sulistiyani

10
(2004) pemberdayaan diartikan sebagai proses menuju budaya atau proses untuk

memperolah daya atau proses untuk membuat pihak-pihak yang kurang berdaya menjadi

lebih mempunyai daya kemampuan untuk memperbaiki kesejahteraanya.

Pemberdayaan masyarakat dapat diartikan sebagai sebuah proses dari individu atau

komunitas/masyarakat dalam menggerakkan semua kemampuan dan kekuatannya, agar

bisa berpatisipasi, bernegosisi, mempengaruhi, mengelola sumberdaya yang ada untuk

memperoleh kualitas kehidupan yang lebih baik. Dalam konteks perbaikan kualitas hidup

atau kesejahteraan masyarakat diartikan oleh Mardikanto dan Soebianto, ( 2017: 28)

dalam : i) perbaikan ekonomi, terutama kecukupan pangan; ii) perbaikan kesejahteraan

social (pendidikan dan kesehatan); iii) kemerdekaan dalam segala bentuk penindasan; iv)

terjaminnya keamanan; v) terjaminnya hak asasi manusia yang bebas dari rasa takut dan

kekhawatiran.

Pencapaian kesejahteraan masyarakat desa yang menjadi cita-cita besar dari

pemberian dana desa disamping penanggulangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan

public akan mendorong peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat desa

apababila dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan pemberdayaan

masyarakat desa, sehingga akan mampu memenuhi kebutuhan material, spiritual dan

melakukan fungsi-fungsi social. Bila mencermati definisi dari kesejahteraan masyarakat

dari UU No. 11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan social, maka yang dikatakan kondisi

masyarakat yang sejahtera adalah terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan social

warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat

melaksanakan fungsi sosialnya.

11
Penelitian yang dilakukan oleh Sari dan Abdullah (2017: 46-47) menemukan bahwa

Dana Desa berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan desa di Kabupaten Tulungagung

pada Tahun 2015-2016 yang terjadi pada 13 desa lokasi penelitian yang dihitung dari

perbedaan kemiskinan desa Tahun 2015 dengan 2016. Penurunan kemiskinan di desa ini

mengindikasikan bahwa telah terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, walaupun

masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang seberapa besar kebutuhan materiil dan

spriritual serta social masyarakat desa. Mendukung hasil penelitian ini, Muslihah, Siregar,

Sriniyati, (2019), menyimpulkan hasil penelitiannya :

Dana desa digunakan oleh masyarakat untuk melakukan kegiatan pemberdayaan


dalam mendorong produktivitas. Kegiatan pemberdayaan tersebut dapat mendorong
tergalinya potensi yang dimiliki masyarakat sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dana desa juga memberikan dampak bagi pembangunan dan kesejahteraan
masyarakat di Kabupaten Bantul. Akan tetapi, beberapa permasalahan terkait dengan
pelaksanaan serta pelaporan Dana desa juga perlu mendapatkan perhatian khusus dari
Pemerintah. Hal tersebut dilakukan agar pelaksanaan Dana desa berjalan dengan tepat
sasaran serta pertanggungjawabannya dapat dilakukan dengan baik dan tepat waktu.

1.4. Efektifitas Dana Desa

Efektifitas menurut kamus besar Bahasa Indonesia dari kata efektif yang

mengandung arti efek, pengaruh, akibat atau dapat membawa hasil. Pada dasarnya

pengertian efektifitas yang umum menunjukkan pada taraf tercapainya hasil, sering atau

senantiasa dikaitkan dengan pengertian efisien, meskipun sebenarnya ada perbedaan diantara

keduanya. Efektifitas menekankan pada hasil yang dicapai, sedangkan efisiensi lebih melihat

pada bagaimana cara

mencapai hasil yang dicapai itu dengan membandingkan antara input dan outputnya (Julia,

2010: 23).

12
Menurut Siagian (2001: 24) efektifitas adalah penggunaan sumberdaya, sarana

prasarana dalam jumlah tertentu yang telah direncanakan dan ditetapkan terlebih dahulu

untuk menghasilkan sejumlah barang dan jasa dalam suatu kegiatan untuk mencapai tujuan

dan sasaran yang telah ditetapkan. Efektivitas menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai

tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran,

berarti makin tinggi efektivitasnya. Sehingga efektiftas juga dapat dipahami sebagai tolok

ukur untuk membandingkan antara proses yang dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang

dicapai. Suatu program dikatakan efektif apabila usaha atau tindakan yang dilakukan sesuai

dengan hasil yang diharapkan. Efektivitas digunakan sebagai tolok ukur untuk

membandingkan antara rencana dan proses yang dilakukan dengan hasil yang dicapai

(Julia, 2010: 27).

Gibson, Ivancevich & Donnenly Jr (1984 : 26-33), menjelaskan bahwa efektifitas

adalah pencapaian sasaran yang telah disepakati atas usaha bersama, pencapaian sasaran

semakin mendekati tujuan yang telah ditetapkan oleh individu, kelompok dan organisasi

maka semakin efektif. Efektifitas dapat dinilai dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan

tujuan dan pendekatan teori system. Pendekatan tujuan untuk menilai dan mengevaluasi

bahwa sebuah organisasi diciptakan untuk pencapain tujuan tertentu. Pendekatan teori

system melihat bahwa efektifitas sebuah organisasi dengan mengurai perilaku organisasi

secara internal dan eksternal. Internal, untuk mengetahui perilaku personil dalam

organisasi, sedangkan eksternal adalah interaksi organisasi dengan organisasi lain.

Indikator-indikator yang dapat untuk mengetahui organisasi ini berjalan efektif atau

bertahan hidup, antara lain :

13
1. Produksi (production), menggambarkan kemampuan organisasi untuk

memproduksi sejumlah output dan mutu yang sesuai dengan permintaan pasar.

2. Efisiensi (efficience), perbandingan antara output yang berupa keuntungan dan

input yang dapat berupa biaya, waktu atau sumberdaya lain dalam organisasi.

3. Kepuasan (satisfaction), mengetahui keberhasilan organisasi memenuhi

kebutuhan pelanggan (karyawan dan costumer).

4. Adapatasi (adaptiveness), untuk mengetahui kemampuan organisasi pada

perubahan internal dan eksternal.

5. Perkembangan (development), kemampuan organisasi untuk mengembangkan

diri dan memperluas agar sustainable.

Steers (1985: 8-9) terdapat 4 (empat) factor yang mempuyai pengaruh pada

efektivitas organisasi yakni (a) karakteristik organisasi, seperti struktur dan teknologi; (b)

karakteristik lingkungan, lingkungan internal dan eksternal; (c) karakteristik karyawan,

seperti tingkat kinerja dan prestasi karyawan; (d) kebijakan dan praktek manajerial. Lebih

lanjut Muasaroh (2010) yang dikutip dari idtesis.com, efektivitas suatu program dapat

dilihat dari aspek-aspek antara lain:

1. Aspek tugas atau fungsi, yaitu lembaga dikatakan efektif jika melaksanakan
tugas atau fungsinya, suatu program akan efektiv jika tugas dan fungsinya dapat
dilaksanakan dengan baik;
2. Aspek rencana atau program, yang dimaksud dengan rencana atau program
disini adalah rencana yang terprogram, jika seluruh rencana dapat dilaksanakan
maka rencana atau program dikatakan efektif;
3. Aspek ketentuan dan peraturan, efektivitas suatu program juga dapat dilihat dari
berfungsi atau tidaknya aturan yang telah dibuat dalam rangka menjaga
berlangsungnya proses kegiatannya.
4. Aspek tujuan atau kondisi ideal, suatu program kegiatan dikatakan efektif dari
sudut hasil jika tujuan atau kondisi ideal program tersebut dapat dicapai.

14
Dari berbagai pendapat tentang efektivitas seperti diuraikan sebelumnya, dapat

dikatakan bahwa untuk mengukur efektivitas penggunaan dana desa, ada beberapa aspek

penting yang perhatikan, antara lain :

1. Pencapaian tujuan, penggunaan dana desa dapat dikatakan efektif bila

penggunaannya diprioritas pada bidang pembangunan dan bidang

pemberdayaan masyarakat yang ditujukan untuk peningkatan kualitas hidup

manusia, peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa, penanggulangan

kemiskinan, peningkatan pelayanan publik di tingkat Desa, dan Peningkatan

pendapatan asli Desa.

2. Kelembagaan melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai ketentuan,

kelembagaan mulai dari tingkat pusat sebagai pembuat kebijakan, pemerintah

kabupaten, pemerintah desa sebagai pelaksana dan pendamping desa

melaksanakan sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing.

3. Pelaksanaan dari peraturan/ketentuan/SOP, pengaturan tentang pengelolaan

dana desa yang telah ditetapkan oleh pemerintah yaitu Kementerian

Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa, kewajiban

dari pemerintah desa untuk memedomani pengaturan-pengaturan ini.

4. Tepat waktu, jumlah dan sasaran, proses penyaluran, penggunaan dan

pemanfaat dana sesuai dengan yang disepakati dalam musyawarah desa dan

waktu pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan hingga berakhirnya

kegiatan.

5. Kepuasan masyarakat, apakah hasil kegiatan sesuai harapan masyarakat atau

bermanfaat bagi masyarakat.

15
Beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui efektifitas dana desa, seperti

penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi, dkk (2020) di Kecamatan Kuala Kabupaten

Provinsi Aceh, bahwa dana desa sangat berpotensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat dan mengurangi angka kemiskinan di desa, yang ditunjukkan dengan regresi

model random effect, bahwa variabel dana desa berpengaruh positif dan signifikan terhadap

kemisikinan dengan Probabilitas sebesar 0,0000 = p-value α = 5%. Penelitian Saputra

(2016) di desa Lembean Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli, menjelaskan bahwa

pengelolaan Alokasi Dana Desa di desa Study selama tahun 2009 – 2014 dikagorikan

efektif dengan capaian 90 % - 100%. Aziz (2016), efektivitas penggunaan Dana Desa

belum optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga, diperlukan usaha

dan kerja keras semua pihak mulai dari pemerintah (kemendagri, kemenkeu, kemendes)

dan pemda kabupaten/kota serta pemerintah desa beserta masyarakat desa untuk terlibat

secara aktif dalam proses pembangunan desa. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh

Sari & Abdullah (2017), Dura (2016), dan Azwardi & Sukanto (2014) menyatakan bahwa

dana desa berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan.

Penelitian-penelitian tersebut memberikan sebuah penegasan bahwa tujuan

pemberian dana desa untuk kesejahteraan masyarakat desa dapat diwujudkan dengan jalan

melakukan pengelolaan dan pemanfaatan dana desa sesuai dengan peraturan-peraturan

yang telah ditetapkan dan hambatan-hambatan dalam pengelolaan dan pelaksanaan seperti

komunikasi, sumber daya, sikap pelaksana dan struktur birokrasi.

16
1.5. Peluang dan Tantangan Pelaksanaan Dana Desa

Tujuan pembangunan desa adalah meningkatkan kesejahteraan hidup manusia serta

penanggulangan kemiskinan melalui penyediaan pemenuhan kebutuhan dasar,

pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal dan

pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Pembangunan desa

dilaksanakan dengan mengedepankan semangat kebersamaan, kekeluargaan, dan

kegotongroyongan guna mewujudkan pengarusutamaan perdamaian serta keadilan social

(Wahyudin., dkk, 2020: 2).

Dana desa sebagai instrument dalam pembangunan desa tentunya diperlukan

pengelolaan yang efektif dan efisien sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah

ditetapkan oleh regulator. Peluang-peluang yang memberikan dorongan untuk mengelola

dana desa dengan efektif dan efisien menjadi pengetahuan penting disamping hambatan-

hambatan atau tantangan yang perlu diselesaikan.

1.5.1. Peluang

Dana Desa memiliki potensi sangat besar dalam upaya mempercepat pertumbuhan

dan pembangunan Desa dalam mengatasi berbagai persoalan pembangunan dan

pemberdayaan masyarakat desa yang selama ini ada. Namun demikian dibutukan upaya

yang kuat untuk menjaga supaya pemanfaatan tersebut tetap di koridor yang diharapkan.

Berbagai upaya dilakukan untuk memberikan peluang kemudahan pengelolaan dana

desa mulai dari pencairan dana desa, perencanaan, pelaksanaan, pelaporan dan pembinaan

dan pengawasan.

a. Pencairan

17
Sebagaimana diketahui bahwa dana desa bersumber dari APBN yang pencairan

mengikuti kaidah-kaidah yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 205

Tahun 2019 tentang Pengelolaan Dana Desa. Pencairan Dana Desa dilakukan dengan 3

kali pencairan yaitu:

i. Tahap 1 paling cepat pada bulan Januari dan paling lambat pada bulan Juni sebesar

40%, persyaratan yang diperlukan antara lain : Peratuaran Kepala Daerah tentang

Rincian Dana Desa, Peraturan Desa tentang APBDes dan, Surat Kuasa Pemindah

Bukuan.

ii. Tahap 2 paling cepat pada bulan Maret dan paling lambat pada bulan Agustus sebesar

40%, persyaratan yang diperlukan yaitu laporan pertanggung jawaban Dana Desa

tahun sebelumnya dan realisasi dana desa tahap 1, untuk penyerapan paling sedikit

50% dan capaian pengeluaran paling sedikit 35%.

iii. Tahap 3 paling cepat pada bulan Juli sebesar 20%, dengan syarat realisasi dana desa

tahap 2, untuk penyerapan paling sedikit 90% dan capaian pengeluaran paling sedikit

75%, laporan konvergensi stanting tahun sebelumnya.

iv. Desa Mandiri, penyaluran Dana Desa dilakukan dengan 2 tahap, yaitu tahap 1 paling

cepat pada bulan Januari dan paling lambat pada bulan Juni sebesar 60%, tahap 2

paling cepat pada bulan Juli sebesar 40%. Penyaluran dengan 2 tahap kepada desa

mandiri, sebagai reward dari Pemerintah pusat kepada desa yang telah mampu

melakukan proses pembangunan dan pemberdayaan masyarakat sehingga desa

tersebut mampu menjadi mandiri.

Kemudahan pengaturan pencairan Dana Desa dan proporsi besaran

pencairannya yang diatur dengan komposisi 40%, 40% dan 20%, memberikan peluang

18
bagi desa supaya dana desa dengan jumlah yang besar segera beredar di desa. Hal ini

akan memberikan peluang percepatan pembangunan desa pada semester 1 tahun

berjalan.

b. Perencanaan

Menurut Siagian (2004: 23-24), rencana adalah keputusan yang ditetapkan pada

saat sekarang akan akan dilaksanakan dan akan dilaksanakan pada periode waktu

tertentu dimasa yang akan dating. Teori perencanaan mengatakan bahwa suatu rencana

yang baik adalah yang memenuhi berbagai ciri, seperti : 1). Mempermudah usaha

pencapaian tujuan 2). Merupakan penjabaran yang sistematik dan strategi dasar

organisasi. 3). Dipahami oleh mereka yang akan terlibat dalam pelaksanannya. 4).

Komprehensif dalam arti mencakup semua segi kehidupan organisasional. 5). Disusun

oleh mereka yang memahami betul hakikat tujuan organisasi. 6). Disusun oleh mereka

yang benar-benar memahami teknik perencanaan. 7). Menggambarkan secara jelas apa

yang mungkin dan tidak mungkin dicapai. 8). Menunjukkan standar mutu kerja yang

dituntut. 9).Terdapat kejelasan kurun waktu yang menjadi cakupannya. 10). Disusun

sedemikian rupa sehingga mudah dijabarkan menjadi program kerja.

Proses perencanaan dana desa mengikuti proses perencanaan pembangunan

desa yang telah dirancang dalam peraturan Menteri Dalam Negeri Nomer 114 Tahun

2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa, semua tahapan perencanaan pembangunan

desa dengan jelas terpaparkan dalam kebijakan ini. Pemerintah Desa sebagai pengelola

dana desa dan Supra Desa dapat dengan mudah mempedomani untuk melakukan

tahapan perencanaan. Perencanaan pembangunan desa dimulai penyiapan Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMdesa) yang merupakan perencanaan pada

19
masa 6 tahunan dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPdes) merupakan rencana

dalam 1 tahun. Pengelolaan dana desa merupakan bagian dari rencana 1 tahun

pembangunan desa yang prioritasnya adalah untuk bidang pembangunan dan

pemberdayaan masyarakat. Peluang-peluang untuk memanfaatkan dana desa dalam 2

bidang prioritas memberikan kemudahan bagi desa untuk memilih kegiatan sesuai

dengan potensi wilayah. Menu-menu kegiatan pembangunan dan pemberdayaan

masyarakat yang disajikan dalam Peraturan Menteri Desa sebagai pedoman untuk

menggunakan dana desa sesuai prioritas, menjadi pengetahuan bagi Pemerintah Desa

dan Masyarakat untuk menentukan rencana-rencana kegiatan.

c. Pelaksanaan

Memahami prioritas penggunaan dana desa pada tataran pelaksanaan menjadi

sangat penting. Prioritas adalah suatu upaya mengutamakan sesuatu daripada yang lain.

Mahmudin dan Banurea, (2018: 5-6) menjelaskan bahw prioritas merupakan proses

dinamis dalam pembuatan keputusan yang saat ini dinilai paling penting dengan

komitmen untuk melaksanakan keputusan tersebut. Penentuan prioritas tidak hanya

mencakup keputusan apa yang penting untuk dilakukan tetapi juga menentukan skala

atau peringkat wewenang/urusan/fungsi atau program dan kegiatan yang harus

dilakukan.

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa prioritas penggunaan dana desa adalah

pada bidang pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Prinsip dari prioritas ini

seperti dijelaskan pada Peraturan Menteri Desa PDTT No. 11 Tahun 2019 tentang

prioritas penggunan dana desa adalah:

20
1. Keadilan dengan mengutamakan hak atau kepentingan seluruh warga desa tanpa
membeda-bedakan.
2. Kebutuhan prioritas dengan mendahulukan kepentingan desa yang lebih
mendesak, lebih dibutuhkan dan berhubungan langsung dengan kepentingan
sebagian besar masyarakat desa, dan;
3. Tipologi desa dengan mempertimbangkan keadaan antropologis, ekonomi, dan
ekologi desa yang khas serta perubahan atau perkembangan kemajuan desa.

Prinsip ini adalah sebuah penyataan tegas dari tujuan penggunaan dana desa

untuk mencapai kesejahteraan masyarakat desa. Dua bidang yang menjadi prioritas

adalah focus pilihan kegiatan dari pengelolan dana desa yang tidak bisa ditawar lagi.

Bahkan apabila pengelola kegiatan akan menentukan pilihan diluar 2 bidang prioritas,

maka kewajiban dari Kepala Daerah untuk membuat pernyataan bahwa prioritas

kegiatan sudah tercukupi.

Tidak dipungkiri bahwa sampai dengan tahun 2019, penggunaan dana desa

masih dominan untuk infrastruktur desa. Namun demikian pembangunan infrastruktur

ini masih memberikan kemanfaatan bagi masyarakat desa. Penelitian dari Sofianto

(2017: 29-30), memberikan penjelasan bahwa,

Kemanfaatan dari implementasi dana desa yang memberikan efek langsung maupun
tidak langsung terhadap meningkatnya pendapatan masyarakat. Hasil penelitian ini,
secara kuantitatif memang belum bisa memberikan data yang akurat tentang dampat
pada peningkatan pendapatan masyarakat ini, akan tetapi penilaian masyarakat pada
pembangunan fisik telah berkontribusi pada penyerapan tenaga kerja lokal dan ini
memberikan tambahan pendapatan bagi masyarakat. Dengan kegiatan perbaikan
sarana dan prasarana desa, proses pengangkutan hasil panen menjadi semakin
mudah, dan pemeliharaan irigasi menjadi semakin terkendali. Dengan demikian,
efek yang ditimbulkan dari pembangunan fisik adalah membuka akses ekonomi
masyarakat dan peluang pekerjaan yang pada akhirnya memberikan peningkatan
pendapatan masyarakat.

Kebutuhan akan kualitas sumberdaya manusia yang baik adalah tuntutan dalam

pengelolaan Dana Desa. Kemampuan dari perangkat desa sebagai pengelola dana desa

21
yang rata-rata tamat SMP atau SMA diperlukan pendampingan. Pendampingan dan

pemberdayaan masyarakat tidak bisa dipisahkan, pendampingan adalah bagian dari

memberdayakan masyarakat, oleh karena itu menurut Suharto (2009) yang dikutip oleh

Siswanti, dkk (2016: 135) pendampingan adalah berpusat pada empat tugus pokok dan

fungsi, yaitu pemungkinan atau fasilitasi (enabling), penguatan (empowerment),

perlindungan (protecting), dan pendukung (supporting). Peraturan Menteri Desa PDTT

nomer 3 tahun 2015 tentang Pendampingan Desa menjelaskan bahwa pendampingan

desa adalah kegiatan untuk melakukan tindakan pemberdayaan masyarakat melalui

asistensi, pengorganisasian, pengarahan dan fasilitasi Desa.

Kesadaran untuk memperkuat kapasitas pemerintah desa sebagai pengelola

dana desa memberikan ruang untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat.

Pendampingan desa dilakukan dengan: i. meningkatkan kapasitas, efektivitas dan

akuntabilitas pemerintahan desa dan pembangunan Desa; ii. meningkatkan prakarsa,

kesadaran dan partisipasi masyarakat Desa dalam pembangunan desa yang partisipatif;

iii. meningkatkan sinergi program pembangunan Desa antar sektor; dan iv.

Mengoptimalkan aset lokal Desa secara emansipatoris (Permendes PDTT No. 3, 2015).

Pada pelaksanaannya pendampingan desa dilakukan oleh pendamping professional yang

berkedukan di tingkatan pemerintahan. Pada tingkat Kabupaten dilakukan oleh Tenaga

Ahli, tingkat Kecamatan oleh Pendamping Desa dan pada tingkat desa dilakukan oleh

Pendamping Lokal Desa. Pedamping-pendamping inilah yang melakukan fasilitasi dan

penguatan untuk pengelolaan dana desa.

d. Pelaporan

22
Pelaporan dana desa merupakan bagian pertanggungjawaban pemerintah desa

kepada public dan supra desa. Pelaporan juga dapat dimaknai sebagai akuntabiltas dari

penyelengara pemerintahan. Menurut Rahardjo (2007: 31) akuntabilitas adalah

instrument pertanggungjawaban keberhasilan dan kegagalan tugas dan fungsi serta misi

organisasi Laporan terhadap kinerja instansi pemerintah merupakan media

pertanggungjawaban yang berisi informasi kinerja pemerintah dalam mencapai tujuan-

tujuan dan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Dalam akuntabilitas terkandung

kewajiban untuk menyajikan dan melaporkan segala kegiatan, terutama dalam bidang

administrasi keuangan kepada pihak yang lebih tinggi. Media pertanggungjawaban

akuntabilitas tidak terbatas pada laporan pertanggungjawaban, akan tetapi juga

mencakup aspek-aspek kemudahan pemberi mandat untuk mendapatkan informasi, baik

langsung maupun tidak langsung secara lisan maupun tulisan, sehingga akuntabilitas

dapat tumbuh pada lingkungan yang mengutamakan keterbukaan sebagai landasan

pertanggungjawaban (Sulistiyani, 2011: 71).

Pengelolaan dana desa harus berpedoman pada prinsip-prinsip berikut:

i. pengelolaan keuangan direncanakan secara terbuka melalui musyawarah perencanaan

pembangunan desa yang hasilnya dituangkan dalam Peraturan Desa tentang APBDesa,

serta dilaksanakan dan dievaluasi secara terbuka dan melibatkan seluruh unsur

masyarakat desa; ii. seluruh kegiatan harus dapat dipertanggungjawabkan secara

administrasi, teknis, dan hukum; iii. informasi tentang keuangan desa khususnya dana

desa secara transparan dapat diperoleh oleh masyarakat dan diwajibkan untuk

dipampangkan dalam papan informasi; iv. pengelolaan keuangan dilaksanakan dengan

prinsip hemat, terarah, dan terkendali (Hanifah & Praptoyo, 2015: 7).

23
1.5.2. Tantangan

Dana desa yang diberikan oleh Pemerintah dari Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara (APBN) adalah upaya pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat

diperdesaan. Dengan dana desa ruang besar sebagai dampak dari disparitas antara

kota dan desa akan terkurangi. Kesempatan desa untuk memenuhi sarana dan

prasarana desa sesuai kebutuhan dan potensi desa menjadi jembatan untuk

mendekatkan posisi desa dengan kota. Disamping itu, dana desa akan mempercepat

proses pemandirian masyarakat dengan program-progam pemberdayaannya.

Pencapaian tujuan pemberian dana desa ini, bukan hal yang mudah dan sederhana,

diperlukan pengatasan hambatan-hambatan yang menjadi tantangan dalam

pengeloaan dana desa. Hambatan-hambatan yang menjadi tantangan dalam

pengelolaan dana desa, antara lain:

a. Sumberdaya

Sumberdaya yang didalam terdapat sumberdaya manusia dan sumberdaya

non manusia yang berkenaan dengan barang dan jasa adalah alat organisasi dan orang

yang bekerja secara individual atau kelompok untuk mencapai tujuan. Sumberdaya

manusia memang merupakan elemen yang paling penting dalam sumberdaya, akan

tetapi tanpa ada pendukung yang optimal maka sumberdaya manusia ini tidak bisa

bekerja dengan baik untuk tujuan organisasi (Silalahi, 2017: 261).

Pengelola dana desa di tingkat desa adalah Pemerintahan Desa, yaitu

Pemerintah Desa dan Badan Pemusyawaratan Desa. Syarat menjadi Kepala Desa dan

24
Perangkat Desa adalah berpendikan minimal setingkat SMP dan Perangkat Desa

setingkat SMU. Dengan latar belakang Pendidikan seperti ini, maka kualitas SDM

dari pengelola Dana Desa masih sangat kurang. Demikian juga dengan Badan

Pemusyawaratan Desa sebagai Lembaga pengawas penyelanggaraan pembangunan

desa, persyaratan pendidikannya adalah SMP. Oleh karena itu tantangan pertama

untuk pengelolaan dana desa adalah dari rendahnya kualitas Sumberdaya Manusia.

Menurut Silalahi (2017: 242), Sumberdaya Manusia adalah asset yang paling penting

dalam organsasi. SDM akan menggerakan sumberdaya yang lain untuk pencapaian

tujuan.

Penelitian yang dilakukan oleh Saputra (2016) menemukan bahwa

pemahaman masyarakat terhadap Alokasi Dana Desa bahwa masyarakat yang

diperankan sebagai perencana, pelaksanan dan monitoring evaluasi, masih kurang,

sehingga partisipasinya menjadi kurang. Penelitian ini diperkuat oleh Sofianto (2017)

yang menemukan kendala dalam pengelolaan dana desa adalah berkaitan dengan

kapasitas perangkat desa dan masyarakat yang masih belum memahami prosedur

dana desa, kemudian Fitri (2019), menemukan bahwa sumber daya manusia yang

relatif rendah mempengaruhi kualitas kinerja pemerintah Desa Vatunonju Kecamatan

Biromaru Kabupaten Sigi.

Sumberdaya non manusia yang menjadi hambatan dalam pengelolaan dana

desa adalah :

i. Sarana dan prasarana desa yang kurang memadai, sehingga sebagian besar

dana desa hingga mencapai 85% untuk membiayai pembangunan sarana

25
prasarana, sehingga urusan pemberdayaan dan pengembangan ekonomi desa

belum dianggap penting.

ii. Kondisi geografis yang kurang menguntungkan misalnya wilayah kepulaan

atau wilayah terpencil, yang asesbilitasnya sulit. Kondisi ini akan

menyulitkan dalam proses distribusi barang dan jasa bahkan informasipun

akan terhambat. Akibatnya ekonomi desa lambat perkembangannya dan

dimungkinkan juga akuntabilatas pengelolaan dana desa dipertanyakan.

iii. Informasi yang relevan menjadi factor yang dalam mengimplementasikan

kebijakan. Menurut Widodo, (2017: 102) informasi akan menjadi bahan bagi

para pelaksanana untuk mengimplementasikan kebijakan, supaya dalam

pelaksanaanya tidak menyimpang dari tujuan. Lemahnya SDM perangkat

desa menjadi factor dari terhambatnya imformasi untuk pengeloaan dana

desa, informasi menjadi bias, karena pemahaman dari perangkat desa pada

kebijakan-kebijakan dana desa tidak sesuai dengan ketentuan yang ada.

b. Komunikasi, menurut Widodo (2017: 97) komunikasi kebijakan adalah proses

penyampaian infomasi dari pembuat kebijakan (policy maker) kepada pelaksana

kebijakan (policy implementor). Informasi kebijakan ini sangat penting untuk

disampaikan kepada pelaksana, agar pelaksana mengetahui dan memahami yang

menjadi isi, tujuan, sasaran dari kebijakan, sehingga implementor dapat

mempersiapkan pelaksanaan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai.

Komunikasi sangat penting perananya dalam organisasi. Komunikasi merupakan

alat bagi manager atau pimpinan untuk mentransmisikan informasi penting,

kebijakan dan feedback dari bawahan. Komunikasi diperlukan karena karena

26
berkepentingan pada fungsi control, fungsi motivasi, fungsi ekspresi emosi dan

fungsi informasi (Silalahi, 2017: 273-274). Tata cara pengelolaan dana desa yang

dibakukan dengan peraturan-peraturan, baik dari pemerintah maupun pemerintah

daerah, harus tersampaikan atau tersosialisasi dengan baik kepada pemerintah

desa sebagai policy implementor. Komunikasi melalui sosialiasasi seringkali tidak

bisa dipahami dengan baik oleh Pemerintah Desa, akibatnya ada informasi yang

bias dan miss komunikasi. Fakta yang ditunjukkan dalam penelitian Saputra

(2016), bahwa melaksanakan dana desa di Desa Lembean Kecamatan Kintamani

Kabupaten Bangli sering terjadi miss komunikasi yang disebabkan oleh

kurangnya koordinasi antar unit kerja. Miss komunikasi antar unit kerja sering

memicu terjadinya kesalahan dalam pelaksanaan program alokasi dana desa.

Berikutnya penelitian dari Salindeho, dkk (2017) menemukan bahwa terjadi

hambatan komunikasi antara kepala desa dengan perangkat dan masyarakat.

Kepala desa memaksakan kehendakanya pada proses perencanaan sampai dengan

pertanggungjawaban, sehingga partisipasi masyarakat adalah semu dan tidak

terjadi.

c. Keterlambatan Pencairan

Proses pencairan dana desa dari tahun ke tahun mengalami perubahan,

yang tujuannya adalah mensederhanakan proses tanpa kehilangan akutabilitas.

Rujukan yang terakhir untuk melakukan pencairan dana adalah Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 205 tahun 2019 tentang Pengelolaan Dana Desa. Terdapat

syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemerintah desa dan pemerintah

kabupaten atau kota untuk dapat mencairkan dan menyalurkan dana desa. Syarat-

27
syarat berhubungan erat dengan peroses perencanaan pembangunan desa, dengan

penyiapan dokumen perencanaan seperti Rencana Kerja Pembangunan Desa

(RKPdesa) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa).

Dalam Peraturan Menteri Keuangan nomer 205 tahun 2019, dijelaskan

bahwa untuk mencairkan dana desa khususnya tahap 1, diperlukan Peraturan

Bupati/Walikota tentang rincian dana desa, Peraturan Desa tentang APBDesa dan

Surat Kuasa dari kepala daerah untuk pemindahbukuan. Seharusnya dana desa

bisa dicairkan sejak bulan Januari tahun berjalan, akan tetapi pemenuhan syarat

pencairan dana belum dapat dipenuhi, sehingga terjadi kelambatan pencairan.

Pemenuhan Peraturan Desa tentang APBDes dan Peraturan Bupati/Walikota

seringkali terlambat.

Proses perencanaan desa yang akan melahirkan APBDesa, idealnya bila

memenuhi ketentuan pada Peraturan Meteri Dalam Negeri nomer 114 tahun 2014

tentang pedoman pembangunan desa, prosesnya diawali dengan penyusunan

Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDesa) yang dilakukan pada bulan juli –

September tahun sebelumnya. Sedangkan untuk APBDesa penetapannya pada 31

Desember tahun sebelumnya. Contoh data jumlah desa yang telah menyelesaikan

penetapan APBDesa pada tanggal 4 Maret 2020 ada 4.365 desa dari 7.724 desa.

Artinya pada posisi bulan maret tahun berjalan masih ada 3.359 desa yang belum

punya rencana belanja untuk membangun desa.

Kondisi inilah yang kemudian menjadi kendala dalam disposisi dan

Birokrasi, yang oleh Goerge Edward III dalam Agustino (2016: 139) dan Widodo

(2017: 104), bahwa disposisi atau sikap dari pelaksana kebijakan adalah salah

28
satu factor penting dalam dalam pendekatan pelaksanaan kebijakan public.

Kebijakan dapat dijalankan dengan afektif bila pelaksanan kebijakan tidak cukup

hanya mengetahui kebijakan tersebut akan tetapi harus memiliki kemampuan,

kecenderungan untuk melaksanakan kebijakan secara sungguh-sungguh. Disposi

ini akan muncul manakala pelaksana kegiatan mengetahui bahwa kebijakan

tersebut memilik manfaat bagi organisasi dan dirinya.

Berikutnya adalah birokasi, Edward III juga menjelaskan dalam

Agustino (2016), walaupun sumberdaya tersedia dengan baik, pelaksana

kebijakan mengetahui dan memiliki kemampuan untuk melaksanakan kebijakan

dengan baik, akan tetapi apabila struktur birokrasi tidak mendukung maka

kebijakan tidak dapat berjalan efektif. Misalnya, keharusan untuk evaluasi

Peraturan Kepala Daerah tentang dana desa kepada pemerintah provinsi akan

memperpanjang perjalanan Peraturan kepala daerah tersebut sehingga proses

penetapannya seringkali terlambat.

29
BAB II

PENELITIAN TERDAHULU

2.1. Village transfers for the environment: Lessons from community-based

development programs and the village fund. Oleh John D. Watts, Luca Tacconi, Silvia

Irawan, Aklan H. Wijaya (2019)

Penelitian ini mengeksplorasi bagaimana Dana Desa, Transfer Fiskal Antar

Pemerintah dirancang untuk membiayai pembangunan di tingkat masyarakat, dapat

digunakan untuk memberikan dukungan keuangan kepada masyarakat untuk konservasi

dan rehabilitasi hutan di Indonesia. Mempelajari contoh PNPM Green, yang merupakan

inisiatif jangka pendek untuk membiayai kegiatan lingkungan di tingkat desa, itu sendiri

merupakan sub-program dari program PNPM, pendahulu Dana Desa. Mengeksplorasi

bagaimana Dana Desa dapat digunakan untuk membiayai konservasi dan rehabilitasi

ekosistem, dan bagaimana pelajaran dari program PNPM-LMP dapat menginformasikan

rancangan transfer lingkungan. Menempatkan studi ini dalam bentuk diskusi yang lebih

luas tentang instrumen lingkungan, termasuk mekanisme pengaturan dan pembayaran, dan

mengusulkan beberapa desain alternatif untuk menggunakan Dana Desa untuk membiayai

konservasi dan rehabilitasi. Studi ini difokuskan pada provinsi Sulawesi Tenggara,

Indonesia, yang merupakan salah satu provinsi utama untuk program PNPM-

LMP. Wawancara dilakukan pada kepala desa di 38 desa dan empat kelurahan di Provinsi

30
Sulawesi Tenggara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun Dana Desa dapat

digunakan untuk membiayai kegiatan konservasi dan reboisasi, kecil kemungkinan

masyarakat akan memilih dana tersebut untuk tujuan itu. Ketika disajikan dengan pilihan

untuk kegiatan lingkungan yang berkelanjutan, masyarakat yang paling mungkin untuk

terlibat dalam kegiatan yang memberikan manfaat ekonomi langsung ke rumah tangga,

seperti agroforestri atau penanaman pohon.

2.2. The Village Fund Loan Programme: Who Gets It, Keeps It and Loses It?

Oleh : Carmen Kislat dan Lukas Menkhoff, (2014)

Studi sebelumnya menunjukkan bahwa program ini berhasil mewujudkan

ambisinya sampai tingkat tertentu. Memperluas pekerjaan dengan menganalisis gelombang

kedua dari survei rumah tangga dan menemukan bahwa peminjam dana desa secara

konsisten ditandai oleh status ekonomi yang lebih rendah. Namun, penelitian ini tidak dapat

mengidentifikasi substitusi yang signifikan antara pinjaman dana desa dan pinjaman

lainnya, yang menimbulkan keraguan tentang dampak jangka panjang dari program dana

desa. Berdasarkan dua kelompok peminjam rumah tangga di bagian timur laut, terdapat tiga

temuan pada dana desa di Thailand: pertama, meskipun penggunaan pinjaman dari dana

desa tersebar luas, ada beberapa struktur di seluruh rumah tangga, karena peminjam dana

desa memiliki status ekonomi yang lebih rendah dibandingkan bukan peminjam. Kedua,

pendekatan regresi menunjukkan bahwa peminjam dana desa tidak hanya ditandai oleh

status ekonomi yang lebih rendah tetapi juga dengan memiliki lebih banyak orang dewasa

dan lebih sering melakukan aktifitas usaha. Ketiga, pemeriksaan pinjaman baru selama dua

periode menunjukkan bahwa pinjaman dana desa tampaknya tidak berdampak permanen

pada perilaku pinjaman di tingkat rumah tangga. 

31
2.3. Management Model of Village Fund Allocation in Enhancing the Village’s

Productive Economic Activities. Oleh : Imran Rosman Hambali, Idris Yanto Niode,

(2018)

Studi ini bertujuan untuk mengelaborasi pengelolaan dana desa dari pemerintah

pusat dan daerah dan untuk merumuskan model manajemen dan dokumen rencana strategis

dalam pelaksanaan dana pada tahun kedua sebagai pengembangan lanjutan. Penelitian ini

melibatkan kepala desa dan petugas di Pemerintah Daerah Kabupaten Bone Bolango, tokoh

masyarakat setempat, dan warga yang menerima dukungan keuangan dari dana

desa. Penelitian kualitatif deskriptif menggunakan metode analisis Milles dan Huberman

dan melakukan diskusi kelompok terarah untuk memperoleh data. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa penerapan model manajemen berhasil memberdayakan masyarakat,

seperti ditinjau dari prestasi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bone

Bolango. Prestasi pemerintah menginspirasi pemerintah pusat untuk mengalokasikan lebih

banyak dana ke desa pada tahun berikutnya. Dana desa sebesar Rp. 122.344.494.000

didistribusikan sebagai berikut: 30% dari dana tersebut dialokasikan untuk anggaran

operasional pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa ( BPD); selain itu, 70%

dari dana tersebut disalurkan untuk pemberdayaan masyarakat dan

peningkatan kapasitas pemerintah desa . Untuk selanjutnya, terbukti bahwa  dana  desa

dilakukan secara optimal sebagai pengungkit ekonomi bagi desa untuk maju dan sebagai

bantuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Bone Bolango.

32
2.4. Appraising the Thailand Village Fund. Oleh : Jirawan Boonperm, Jonathan

Haughton, Shahidur R. Khandker, Pungpond Rukumnuaykit, (2014)

Dana Desa Thailand adalah skema kredit mikro terbesar kedua di dunia. Hampir

80.000 komite Dana Desa lokal terpilih mengelola pinjaman yang mencapai 30 persen dari

semua rumah tangga. Nilai pinjaman Dana Desa tetap stabil sejak 2006, bahkan tanpa

suntikan dana pemerintah baru, dan pinjaman tidak proporsional kepada orang

miskin. Didasarkan terutama pada survei yang dibuat khusus atas lebih dari 3.000 Dana

Desa yang dilakukan pada tahun 2010.

Hasil penelitian menunujukan bahwa kendala utamanya di sisi penyaluran. Dana

Desa tidak dapat beroperasi melintasi garis desa, yang secara inheren membatasi. Lebih

penting lagi, anggota komite Dana Desa berhati-hati dalam meminjam pada

pinjaman hanya 13% yang benar-benar ingin meminjam lebih banyak. Kerangka kerja

institusional ini membuat model Dana Desa mustahil untuk berkembang, bahkan ketika

menciptakan saluran untuk menyalurkan dana ke banyak rumah tangga, terutama mereka

yang berpenghasilan lebih rendah, yang tidak akan memiliki akses ke kredit sektor formal.

2.5. Financing village enterprises in rural Bangladesh: what determines non-farm

revenue growth? Oleh : Vange Mariet Ocasio , (2016)

Penelitian ini berkontribusi pada literatur tentang keuangan pedesaan dan

kewirausahaan dalam berbagai cara. Pertama, menggunakan data survei pada lebih dari

1.700 rumah tangga di Bangladesh, model data panel digunakan untuk mengeksplorasi

faktor-faktor yang menentukan pendapatan rumah tangga usaha nonpertanian dan apakah

akses ke kredit efektif dalam meningkatkan pendapatan untuk usaha nonpertanian. Kedua,

33
penelitian ini mengeksplorasi apakah sumber kredit penting dalam memastikan

keberhasilan usaha. Model efek tetap rumah tangga digunakan untuk memperkirakan efek

marginal dari karakteristik rumah tangga dan variabel sumber kredit terhadap rata-rata

pendapatan rumah tangga bulanan non-pertanian. Hasilnya menunjukkan bahwa

infrastruktur desa dan modal tenaga kerja merupakan penentu penting dari pendapatan

nonpertanian. Kredit mikro, khususnya kredit yang disalurkan oleh lembaga keuangan

mikro formal, berkorelasi positif dengan pendapatan usaha non-pertanian pedesaan. Dalam

hal efek gender, temuan menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan mendapat manfaat

dari kredit yang disalurkan dari lembaga kredit mikro formal, tetapi hanya laki-laki yang

mendapat manfaat dari kredit yang diperoleh melalui pemberi pinjaman

informal. Penelitian ini adalah yang pertama untuk melacak hubungan positif langsung

antara kredit mikro dan pendapatan rumah tangga non-pertanian di Bangladesh.

2.6. How Does the Million Baht Village Fund Impact Fertility in Thailand?

Oleh : Kaci B. Felstet (2017)

Studi ini mengevaluasi dampak program Million Baht Village Fund Thailand pada

angka kelahiran. Tingkat kelahiran di Thailand sangat rendah dan sangat penting untuk

mengenali konsekuensi dari rendahnya angka kelahiran. Dengan menggunakan data panel

dari sebelum dan sesudah program, penelitian ini mengidentifikasi perubahan jumlah bayi

dalam rumah tangga yang terkait dengan mendapatkan pinjaman mikro dari program Dana

Desa. Sifat semu-eksperimental dari program dan model variabel instrumental dengan efek

tetap mengidentifikasi hubungan negatif antara jumlah bayi dalam keluarga dan partisipasi

dalam program keuangan mikro. Meskipun dampaknya signifikan secara statistik,

34
penurunan pada bayi karena partisipasi tidak signifikan secara praktis. Hasil penelitian

menunjukkan bukti empiris menunjukkan bahwa mendapatkan pinjaman mikro dari Dana

Desa Sejuta Baht Thailand berdampak negatif pada jumlah bayi yang dimiliki rumah

tangga. Meskipun hasilnya signifikan secara statistik, sebuah keluarga harus meminjam 1

juta baht agar dana tersebut menghasilkan 1,60 bayi lebih sedikit. Jumlah ini jauh

melampaui apa yang bisa dipinjam oleh siapa pun dan karena itu tidak penting secara

praktis.

2.7. Does the Village Fund matter in Thailand? Evaluating the impact on incomes and

spending. Oleh : Jirawan Boonperm, Jonathan Haughton, Shahidur R. Khandker (2014)

Diluncurkan pada tahun 2001, Dana Desa dan Perkotaan Masyarakat Thailand

menyediakan hampir US $ 2 miliar - satu juta baht untuk masing-masing dari 78.000 desa

di Thailand - untuk menyediakan modal kerja yang dikelola secara lokal. Menggunakan

data dari Survei Sosial Ekonomi Thailand tahun 2002 dan 2004, menemukan bahwa

peminjam dana desa miskin dan pertanian tidak proporsional. 

Hasil penelitian menunjukkan kecocokan skor kecenderungan berdasarkan basis per

wilayah ke rumah tangga dalam komponen panel (pedesaan) dari Survei Sosial Ekonomi

2004, dan juga menerapkan perbedaan ganda pada kelompok ini. Mereka menemukan

bahwa program dana desa tidak memiliki dampak positif pada

pengentasan kemiskinan negara . Kurangnya efek seperti itu pada kemiskinan adalah

dampak yang tidak signifikan terhadap pendapatan dan pengeluaran

2.8. Akuntabilitas Dan Transparansi Pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan

Belanja Desa (APBDes). Oleh : Suci Indah Hanifah (2015)

35
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan akuntansi dan manajemen

keuangan serta hambatan dan upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan pencatatan

akuntansi dan manajemen keuangan desa yang ada di Desa Kepatihan Kecamatan

Menganti Kabupaten Gresik. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan

pendekatan kualitatif yang menggunakan data primer dan data sekunder sebagai sumber

datanya. Teknik pengumpulan data berupa penelitian lapangan (field research). Hasil

pengumpulan data dianalisis dengan metode kualitatif menggunakan paradigma deskriptif.

Manajemen keuangan Desa Kepatihan sudah berdasarkan Peraturan Menteri Dalam

Negeri No.37 tahun 2007 yang menunjukkan pelaksanaan yang akuntabel dan transparan

yang dilihat dari pelaporan pertangungjawaban Anggaran Pendapatan Belanja Desa

(APBDesa), namun dari sisi pencatatan akuntansi masih diperlukan adanya pembinaan dan

pelatihan lebih lanjut, karena belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan. Hambatan

utamanya adalah belum efektifnya pelatihan para perangkat desa dan kompetensi sumber

daya manusia, sehingga masih memerlukan perhatian khusus dari aparat pemerintah desa

secara berkelanjutan.

2.9. Evaluasi dan Optimalisasi Penggunaan Alokasi Dana Desa (ADD) Study Kasus

Desa Maju Jaya, Sumber Mulya dan Tirta Mulya Kecamatan Pelepat Ilir Kabupaten

Bungo. Oleh : Yunie Rahayu, Etik Winarni (2019)

Pengelolaan alokasi dana desa dalam memberdayakan masyarakat desa secara

normatif dan administratif baik. Namun secara substansi ada beberapa hal yang harus

diperbaiki, yaitu partisipasi masyarakat dalam tahap perencanaan, pengawasan dan

36
pertanggungjawaban, serta transparansi yang tidak maksimal karena masyarakat tidak tahu

banyak tentang keberadaan kegiatan ini. Peran pemangku kepentingan dalam pengelolaan

alokasi dana desa masih belum optimal, karena dominasi kepala desa. Hasil pemberdayaan

masyarakat desa masih berupa pembangunan infrastruktur jalan dan saluran irigasi untuk

pembangunan ruang dusun, yang semuanya masih atau tidak konsisten dalam

meningkatkan ekonomi masyarakat. Kurangnya sosialisasi mendalam kepada masyarakat

tentang alokasi dana desa sehingga tidak semua orang tahu tentang program ADD (Alokasi

Dana Desa), yang pada gilirannya menyebabkan rendahnya pengawasan masyarakat dalam

kegiatan ADD dan dominasi pemerintah kecamatan dalam persiapan ADD sehingga

menyebabkan kurangnya independensi desa.

2.10. Efektivitas Pengelolaan Alokasi Dana Desa Pada Desa Lembean Kecamatan

Kintamani, Kabupaten Bangli Tahun 2009-2014. Oleh : I Wayan Saputra, Drs. I

Nyoman Sujana,M.Si ., Dr. Iyus Akhmad Haris,M.Pd . (2016)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) tingkat efektivitas pengelolaan alokasi

dana desa pada Desa Lembean tahun 2009-2014, (2) hambatan yang dihadapi dalam

merealisasi alokasi dana desa pada Desa Lembean, (3) cara menanggulangi hambatan

dalam merealisasi alokasi dana desa pada Desa Lembean. Jenis penelitian ini adalah

deskriptif. Data dikumpulkan dengan metode dokumentasi dan wawancara. Analisis data

menggunakan teknik efektivitas dan rasio kreteria efektivitas. Hasil penelitian

menunjukkan (1) Efektivitas pengelolaan alokasi dana desa dari tahun 2009-2014 sudah

berada dalam kategori efektif. Tingkat efektivitas pengelolaan alokasi dana desa pada Desa

37
Lembean yaitu tahun 2009 (98,98%), 2010 (100%), 2011 (100%), 2012 (98,24%), 2013

(100%), dan 2014 (99,57%). (2) Hambatan yang dialami dalam merealisasi alokasi dana

desa pada Desa Lembean adalah pemahaman masyarakat terhadap ADD, miss komunikasi ,

dan pencairan alokasi dana desa yang terlambat. (3) menanggulangi hambatan dalam

merealisasi alokasi dana desa dapat dilakukan dengan pelatihan, meningkaatkan koordinasi

unit kerja, dan anggaran dana cadangan.

38
BAB III

KRITIKAL REVIEW PENELITIAN TERDAHULU

3.1. Village transfers for the environment: Lessons from community-based

development programs and the village fund. Oleh John D. Watts, Luca Tacconi, Silvia

Irawan, Aklan H. Wijaya (2019)

Penelitian John D. Watts, Luca Tacconi, Silvia Irawan, Aklan H. Wijaya melihat

bagaimana dana desa digunakan untuk membiayai program yang bersifat lingkungan.

Selama ini memang sangat jarang yang meneliti dana desa digunakan untuk pembangunan

lingkungan hidup untuk keberlanjutan kehidupan manusia. Namun dalam penelitian ini

tidak menyajikan hasil bagaimana hasil dari dana desa yang digunakan untuk membangun

lingkungan tersebut. Akankah dana desa yang digunakan untuk pembangunan lingkungan

akan berdampak ekonomi yang baik bagi masyarakat tidak disebutkan dalam penelitian ini.

3.2. The Village Fund Loan Programme: Who Gets It, Keeps It and Loses It?

Oleh : Carmen Kislat dan Lukas Menkhoff, (2014)

Penelitian Carmen Kislat dan Lukas Menkhoff melihat bagaimana dana desa dapat

meningkatkan kredit di pedesaan sehingga mempermudah masyarakat dalam mengakses

dana yang bisa digunakan untuk sehari hari. Namun penelitian ini menggunakan metode

survey sehingga tidak bisa membongkar fakta secara mendalam. Padahal belum tentu

dengan peningkatan pinjaman akan membuat masyarakat desa menjadi semakin sejahtera.

39
Sehingga perlu diperdalam dengan menggunakan wawancara terhadap siapa saja yang

meminjam dana tersebut.

3.3. Management Model of Village Fund Allocation in Enhancing the Village’s

Productive Economic Activities. Oleh : Imran Rosman Hambali, Idris Yanto Niode,

(2018)

Penelitian Imran Rosman Hambali, Idris Yanto Niode melihat alokasi dana desa

dari pemerintah pusat dan daerah dan untuk merumuskan model manajemen dan dokumen

rencana strategis dalam pelaksanaan dana pada tahun kedua sebagai pengembangan

lanjutan. Penelitian ini mempunyai kelemahan dimana dalam penelitian kualitatif tidak

dianjurkan untuk membuat ukuran atau indicator namun dalam penelitian ini mengunakan

ukuran.

3.4. Appraising the Thailand Village Fund. Oleh : Jirawan Boonperm, Jonathan

Haughton, Shahidur R. Khandker, Pungpond Rukumnuaykit, (2014)

Penelitian Jirawan Boonperm, Jonathan Haughton, Shahidur R. Khandker,

Pungpond Rukumnuaykit melihat bahwa kinerja Dana Desa, yang menurut pendapatnya

dimodelkan sebagai altruistik, dan tampaknya tidak sesuai dengan peraturan yang ada.

Seperti yang diharapkan, tingkat keuntungan sulit untuk dimodelkan, tetapi analisis regresi

menunjukkan bahwa tingkat pemulihan pinjaman, total pinjaman, peringkat kredit, dan

proporsi pinjaman kepada kaum miskin semuanya lebih tinggi ketika Dana Desa meminjam

dana tambahan dari bank formal. Penelitian ini mempunyai kelemahan dimana metode

dalam penelitian ini tidak konsisten. Sehingga hasil penelitian dengan juga tidak sinkron.

40
3.5. Financing village enterprises in rural Bangladesh: what determines non-farm

revenue growth? Oleh : Vange Mariet Ocasio , (2016)

Penelitian Vange Mariet Ocasio , (2016) berkontribusi pada literatur tentang

keuangan pedesaan dan kewirausahaan dalam berbagai cara. Penelitian ini menggunakan

metode kualitatif dimana informan yang digunakan cukup banyak. Selain itu juga

penelitian ini mengeksplorasi apakah sumber kredit penting dalam memastikan

keberhasilan usaha. Namun penelitian ini mempunyai kelemahan dimana hasilnya terlalu

luas dan tidak focus pada tujuan dari penelitian tersebut. Hasil dalam penelitian ini harus

lebih melihat sector pertanian.

3.6. How Does the Million Baht Village Fund Impact Fertility in Thailand?

Oleh : Kaci B. Felstet (2017)

Penelitian KACI B. FELSTET mengevaluasi dampak program Million Baht Village

Fund Thailand pada keputusan kelahiran di rumah tangga. Data yang digunakan dalam

penelitian ini menggunakan data ebelum dan sesudah program, penelitian ini

mengidentifikasi perubahan jumlah bayi dalam rumah tangga yang terkait dengan

mendapatkan pinjaman mikro dari program Dana Desa. Penelitian ini mempunyai

kelemahan dimana tidak focus pada satu permasahan, dimana melihat dampak ekonomi dan

atau hanya ingin focus pada dampak social.

3.7. Does the Village Fund matter in Thailand? Evaluating the impact on incomes and

spending. Oleh : Jirawan Boonperm, Jonathan Haughton, Shahidur R. Khandker (2014)

41
Penelitian Jirawan Boonperm, Jonathan Haughton, Shahidur R. Khandker Dana

Desa dan Perkotaan Masyarakat Thailand menyediakan hampir US $ 2 miliar - satu juta

baht untuk masing-masing dari 78.000 desa dan bangsal Thailand - untuk menyediakan

modal kerja bagi asosiasi kredit bergilir yang dikelola secara lokal. Menggunakan data dari

Survei Sosial Ekonomi Thailand tahun 2002 dan 2004, kami menemukan bahwa peminjam

dana desa untuk kemiskinan dan pertanian tidak proporsional. Penelitian ini mempunyai

kelemahan dimana data yang digunakan terlalu makro sehingga kesimpulan yang

dihasilkan tidak akurat.

3.8. Akuntabilitas Dan Transparansi Pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan

Belanja Desa (Apbdes). Oleh : Suci Indah Hanifah (2015)

Penelitian Suci Indah Hanifah bertujuan untuk mengetahui penerapan akuntansi dan

manajemen keuangan serta hambatan dan upaya yang dilakukan dalam mengatasi

hambatan pencatatan akuntansi dan manajemen keuangan desa yang ada di Desa Kepatihan

Kecamatan Menganti Kabupaten Gresik. Penelitian ini mempunyai kelemahan dimana

hanya normative tidak melihat lebih dalam bagaimana pelaksanaan dana desa. Padahal

pelaksanaan dana desa dalam praktiknya tidak hanya menggunkan Undang-Undang Desa.

3.9. Evaluasi dan Optimalisasi Penggunaan Alokasi Dana Desa (ADD) Study Kasus

Desa Maju Jaya, Sumber Mulya dan Tirta Mulya Kecamatan Pelepat Ilir Kabupaten

Bungo. Oleh : Yunie Rahayu, Etik Winarni (2019)

42
Penelitian Yunie Rahayu, Etik Winarni melihat Pengelolaan alokasi dana desa

dalam memberdayakan masyarakat desa secara normatif dan administratif baik. Namun

secara substansi ada beberapa hal yang harus diperbaiki, yaitu partisipasi masyarakat dalam

tahap perencanaan, pengawasan dan pertanggungjawaban, serta transparansi yang tidak

maksimal karena masyarakat tidak tahu banyak tentang keberadaan kegiatan ini. Penelitian

ini mempunyai kelemahan dimana hasil penelitian tidak konsisten dan terlalu sempit. Hasil

penelitina hanya menyajikan proses pembangunan infrastruktur namun tidak melihat

pemberdayaan masyarakat

3.10. Efektivitas Pengelolaan Alokasi Dana Desa Pada Desa Lembean Kecamatan

Kintamani, Kabupaten Bangli Tahun 2009-2014. Oleh : I Wayan Saputra, Drs. I

Nyoman Sujana,M.Si ., Dr. Iyus Akhmad Haris,M.Pd . (2016)

Penelitian I Wayan Saputra untuk mengetahui (1) tingkat efektivitas pengelolaan

alokasi dana desa pada Desa Lembean tahun 2009-2014, (2) hambatan yang dihadapi dalam

merealisasi alokasi dana desa pada Desa Lembean, (3) cara menanggulangi hambatan

dalam merealisasi alokasi dana desa pada Desa Lembean. Peneltian ini mempunai

kelemahan dimana metode yang digunakan masih samar samar. Tidak focus pada metode

kulaitaif atau kuantitatif.

43
BAB IV

IMPLIKASI TERHADAP PENELITIAN SAAT INI

4.1 Deskripsi Penelitian

Beberapa penelitian terdahulu merupakan referensi untuk menunjang penelitian

disertasi yang sedang dilaksanakan saat ini, mempertimbangkan keterkaitan permasalahan

yang akan diteliti. Dan implikasi penelitian yang akan dilaksanakan difokuskan pada hal-

hal yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan dana desa serta tantangan yang dihadapi

dalam implementasi dana desa.

4.2 Implikasi Terhadap Penelitian

4.2.1. Village transfers for the environment: Lessons from community-based

development programs and the village fund. Oleh John D. Watts, Luca Tacconi, Silvia

Irawan, Aklan H. Wijaya (2019)

Implikasi penelitian John D. Watts, Luca Tacconi, Silvia Irawan, Aklan H. Wijaya

dapat memberikan kontribusi pada penggunaan dana desa selain untuk mensejahterakan

masyarakat namun juga dapat digunakan untuk kepentingan membangun lingkungan.

Adanya hal ini memberikan perhatian lebih pada keberlangsungan masa depan masyarakat

tersebut, mengingat penelitian ke depan memfokuskan pada tantangan penggunaan dana

desa sehingga penelitian ini memberikan gambaran jika dana desa ternayata dapat

digunakan untuk keperluan yang tidak biasa.

44
4.2.2. The Village Fund Loan Programme: Who Gets It, Keeps It and Loses It?

Oleh : Carmen Kislat dan Lukas Menkhoff, (2014)

Implikasi penelitian Carmen Kislat dan Lukas Menkhoff memberikan kontribusi

bagaimana jangka panjang penggunaan dana desa untuk keperluan kredit bagi masyarakat

desa. Dana desa ternyata memberikan dampak yang baik bagi perkreditan masyarakat desa.

Mereka meinjam uang untuk keperluan bisnis namun juga karena untuk keperluan

kehidupan sehari-hari, mengingat penelitian ke depan menfokuskan pada bagaimana jangka

panjang penggunaan dana desa sehingga dapat mengerti menyikapi jika ada masalah yang

terjadi pada penggunaan dana desa.

4.2.3. Management Model of Village Fund Allocation in Enhancing the Village’s

Productive Economic Activities. Oleh : Imran Rosman Hambali, Idris Yanto Niode,

(2018)

Implikasi penelitian Imran Rosman Hambali, Idris Yanto Niode memberikan

kontribusi bagaimana pengelolaan model manajemen dan dokumen strategis dalam

pelaksanaan dana desa pada tahun kedua. Hal ini akan memberikan dampak yang positif

pada aktifitas ekonomi sehingga ekonomi masyarakat bisa meningkat, mengingat pnelitian

kedepan akan membahas tentang bagaimana dana desa dapat meningkatkan ekonomi

masyarakat sehingga hambatan-hambatan untuk mewujudkannya bisa diminimalisir.

4.2.4. Appraising the Thailand Village Fund. Oleh : Jirawan Boonperm, Jonathan

Haughton, Shahidur R. Khandker, Pungpond Rukumnuaykit, (2014)

45
Implikasi penelitian Jirawan Boonperm, Jonathan Haughton, Shahidur R. Khandker,

Pungpond Rukumnuaykit memberikan implikasi bahwa hasil temuan dalam penelitian ini

memberikan dampak positif bagi pemulihan pinjaman, total pinjaman, peringkat kredit, dan

proporsi pinjaman kepada kaum miskin. Adanya hal tersebut akan berdampak positif bagi

perekonomian masyarakat desa yang miskin, mengintat penelitian yang akan dilaksanakan

membahas tentang bagaimana meningkatkan perekoniman masyarakat dengan mengurangi

hambatan.

4.2.5. Financing village enterprises in rural Bangladesh: what determines non-farm

revenue growth? Oleh : Vange Mariet Ocasio , (2016)

Implikasi penelitian Vange Mariet Ocasio, (2016) yang mengunakan metode

kuantitaif dimana respondenya lebih dari 1.700 rumah tangga sehingga memberikan

literatur keuangan tentang pedesaan. Hal ini memberikan gambaran bagaimana trend

pengeluaran keuangan pada masyarakat desa sehingga dapat diketahui kendala yang

dihadapi masyarakat desa dalam mengakses keuangan, mengingat penelitian yang akan

dilaksanakan adalah melihat bagaimana hambatan masyarakat desa dalam mengakses

keuangan yang selama ini dilakukan untuk keperluan sehari-hari.

4.2.6. How Does the Million Baht Village Fund Impact Fertility in Thailand?

Oleh : Kaci B. Felstet (2017)

Implikasi penelitian KACI B. FELSTET memberikan implikasi bahwa dana desa

memberikan kesempatan masyarakat desa untuk meminjam dana yang bisa digunakan

untuk keperluan anak-anak. Hal ini memberikan harapan bagi keluarga miskin untuk

46
mendapatkan uang ketika mereka memiliki tanggungan seorang anak lagi. Hal ini juga

berdampak positif terhadap pertumbuhan penduduk sehingga mereka tidak terlalu

memikirkan bayi yang akan menjadi tanggungan mereka. Mengingat penelitian yang akan

dilaksanakan adalah melihat bagaimana kesejahteraan masyarakat desa.

4.2.7. Does the Village Fund matter in Thailand? Evaluating the impact on incomes

and spending. Oleh : Jirawan Boonperm, Jonathan Haughton, Shahidur R. Khandker

(2014)

Implikasi penelitian Jirawan Boonperm, Jonathan Haughton, Shahidur R. Khandker

mempunyai implikasi bahwa dana desa menyediakan modal kerja bagi asosiasi kredit

bergilir yang dikelola secara lokal. Adanya hal ini berdampak pada sector pertanian yang

ada di Thailand sehingga dapat memberikan dampak positif pada perekonomian

masyarakat. Mengingat penelitian yang akan dilakukan tidak bisa dilepaskan dari sector

pertanian karena sebagaian besar masyarakat perdesaan adalah seorang petani sehingga

dapat diketahui hambatan apa saja yang dilalui untuk memajukan sector pertanian.

4.2.8. Akuntabilitas Dan Transparansi Pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan

Belanja Desa (Apbdes). Oleh : Suci Indah Hanifah (2015)

Hasil penelitian Suci Indah Hanifah mempunyai implikasi bahwa Manajemen

keuangan Desa Kepatihan sudah berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.37 tahun

2007 yang menunjukkan pelaksanaan yang akuntabel dan transparan yang dilihat dari

pelaporan pertangungjawaban Anggaran Pendapatan Belanja Desa (APBDesa), namun dari

47
sisi pencatatan akuntansi masih diperlukan adanya pembinaan dan pelatihan lebih lanjut,

mengingat penelitian yang akan dilakukan membahas tantangan dalam pengelolaan dana

desa terutama masalah akuntabilitas.

4.2.9. Evaluasi dan Optimalisasi Penggunaan Alokasi Dana Desa (ADD) Study Kasus

Desa Maju Jaya, Sumber Mulya dan Tirta Mulya Kecamatan Pelepat Ilir Kabupaten

Bungo. Oleh : Yunie Rahayu, Etik Winarni (2019)

Hasil peneitian Yunie Rahayu, Etik Winarni memberikan implikasi bahwa

penggunaan dana desa selama ini masih hanya berupa pembangunan infrastruktur jalan dan

saluran irigasi untuk pembangunan ruang dusun yang penentuannya didominasi oleh

Kepala Desa. Pembangunan perdesaab membutuhkan peran dan partisipasi masyarakat

desa untuk memberikan pendapat mereka, mengingat penelitian yang akan dilakukan

adalah juga melihat bagaimana hambatan yang dialami masyarakat desa dalam

menyalurkan aspirasi mereka.

4.2.10. Efektivitas Pengelolaan Alokasi Dana Desa Pada Desa Lembean Kecamatan

Kintamani, Kabupaten Bangli Tahun 2009-2014. Oleh : I Wayan Saputra, Drs. I

Nyoman Sujana,M.Si ., Dr. Iyus Akhmad Haris,M.Pd . (2016)

Hasil penelitian I Wayan Saputra memberikan implikasi bahwa hambatan yang

dialami dalam merealisasi alokasi dana desa pada Desa Lembean adalah pemahaman

masyarakat terhadap ADD, miss komunikasi, dan pencairan alokasi dana desa yang

48
terlambat dan menanggulangi hambatan dalam merealisasi alokasi dana desa dapat

dilakukan dengan pelatihan, meningkatkan koordinasi unit kerja, dan anggaran dana

cadangan. Mengingat penelitian yang akan dilakukan adalah melihat hambatan apa saja

yang di hadapai dalam implementasi dana desa.

49
Daftar Pustaka

Ahmadi, A., Uhbiyati., N. (2001). Ilmu pendidikan. Rineka Cipta, Jakarta.

Agustino, L.A. (2016). Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Alfabeta. Bandung.

Aziz,.N.L.L. (2016). Otonomi Desa Dan Efektivitas Dana Desa (The Village Autonomy
And The Effectiveness Of Village Fund). Jurnal Penelitian Politik. Volume 13 No. 2.

Boonperm, J., Haughton, J., & Khandker, S. R. (2014). Does the Village Fund matter in
Thailand? Evaluating the impact on incomes and spending. Journal of Asian
Economics, 25, 3-16.

Boonperm, J., Haughton, J., Khandker, S. R., & Rukumnuaykit, P. (2014). Appraising the
Thailand village fund. The World Bank.

Eko, Sutoro, dkk. (2014). Desa Membangun Indonesia. Forum Pengembangan


Pembaharuan Desa (FPPD). Yogyakarta.

Felstet, K. (2017). How Does the Million Baht Village Fund Impact Fertility in Thailand?.

Fitri. (2019). Kinerja Pemerintah Desa Dalam Pengelolaan Alokasi Dana Desa Pada Desa
Vatunonju Kecamatan Biromaru Kabupaten Sigi. E-Jurnal Katalogis, Vol. 3 No. 11.

Gibson, J.L., Ivancevich, J.M., & Donnely, J.H. (1984). Organisasi dan Manjemen.
Erlangga. Jakarta Pusat.

Hanifah, S. I., & Praptoyo, S. (2015). Akuntabilitas dan Transparansi


Pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan Belanja Desa (APBDes). Jurnal Ilmu &
Riset Akuntansi, Vol. 4 No. 8.

Hambali, I. R., & Niode, I. Y. (2018). Management Model of Village Fund Allocation in
Enhancing the Village¡¯ s Productive Economic Activities. Business and Economic
Research, 8(4), 1-12.

Julia.,S, (2010). Efektifitas Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di Kecamatan


Sanggrahan Kota Jakarta Selatan (Suatu Tinjauan Atas Peningkatan Mutu
Pendidikan 9 Tahun). Universitas Indonesia. Jakarta,

Kartasasmita, G. (1996). Pembangunan Untuk Rakyat. Memadukan Pertumbuhan dan


Pemerataan. Pustaka Cidesindo. Jakarta.

50
Kislat, C., & Menkhoff, L. (2014). The Village Fund Loan Programme: Who Gets It,
Keeps It and Loses It?. In Vulnerability to Poverty (pp. 283-304). Palgrave
Macmillan, London.

Kuncoro.,M. (2019). Ekonomika Desa Teori, Strategi & Realisasi Pembangunan Desa.
Unit Penerbitan dan Percetakan Sekolah Tinggi Manajemen YKPN. Yogyakarta.

Mariet Ocasio, V. (2016). Financing village enterprises in rural Bangladesh: What


determines non-farm revenue growth?. International Journal of Development
Issues, 15(1), 76-94.

Muasaroh., L. (2010). Aspek-aspek Efektifitas studi Tentang Efektifitas Pelsksanaan


Program Pelaksanaan PNPM-MP. Universitas Brawijaya Malang.
Muslihah, S.,Siregar., HO & Sriniyati. (2019). Dampak Alokasi Dana Desa Terhadap
Pembangunan Dan Kesejahteraan Masyarakat Desa Di Kabupaten Bantul Daerah
Istimewa Yogyakarta. Jurnal Akuntansi, Ekonomi Dan Manajemen Bisnis| E-Issn:
2548-9836, 7(1), 85-93.

Othenk. (2008). Pengertian Efektivitas dan Landasan Teori Efektivitas. Tersedia di


http://literaturbook.blogspot.co.id (diakses tanggal 16 April 2020)

Rahayu, Y., & Winarni, E. (2019). Evaluasi dan Optimalisasi Penggunaan Alokasi Dana
Desa (ADD) Study Kasus Desa Maju Jaya, Sumber Mulya dan Tirta Mulya
Kecamatan Pelepat Ilir Kabupaten Bungo. J-MAS (Jurnal Manajemen dan
Sains), 4(1), 184-189.

Rahayu., D. (2017). Strategi Pengelolaan Dana Desa untuk Meningkatkan Kesejahteraan


Masyarakat Desa Kalikayen Kabupaten Semarang. Economics Development
Analysis Journal Volume 6 (2) (2017).

Salindeho,.MM, Kalangi., L & Warongan., JDL. (2017). Analisis Pengelolaan Dan


Pemanfaatan Dana Desa Di Kecamatan Damau Kabupaten Kepulauan Talaud.
Jurnal Riset Akutansi dan Auditing “Goodwill”. Volumen 6 No. 2.

Sari, I.M., & Abdullah, M.F. (2017). Analisis Ekonomi Kebijakan Dana Desa Terhadap
Kemiskinan Desa di Kabupaten Tulungagung. Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol.15, No.01 Juni 2017.

Saputra, I. W., Sujana, I. N., Si, M., & Haris, I. A. (2016). Efektivitas Pengelolaan Alokasi
Dana Desa (ADD) Pada Desa Lembean Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli
Tahun 2009-2014. Jurnal Pendidikan Ekonomi Undiksha, 6(1).

51
Siagian, P. 2001. Organisasi dan Prilaku Administrasi. Gunung Agung. Jakarta.

Siswanti., A.D, Muadi.,S & Chawa.,A.F. (2016). Peran Pendampingan Dalam Program
Pemberdayaan Masyarakat (Studi Pada Program Pendampingan Keluarga Balita
Gizi Buruk di Kecamatan Semampir Kota Surabaya). Wacana. Vol. 19, No. 3.

Silalahi, U. (2017). Asas-Asas Manajemen. Refika Aditama. Bandung.

Steers, R.M. (1985). Efektifitas Organisasi. Erlangga. Jakarta Pusat.

Soimin. (2019). Pembangunan Berbasis Desa Kajian Konsep, Teori, Implementasi UU


Desa. Intrans Publising. Malang. Jawa Timur.

Sofianto.,A. (2017). Kontribusi Dana Desa terhadap Pembangunan dan Pemberdayaan


Masyarakat di Kebumen dan Pekalongan. Matra Pembaharuan, Vol. 1 No. 1.

Sulistiyani, A., T. (2004). Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan. Gaya Media:


Yogyakarta.

Sulistyani, A.T. (2011). Memahami Good Governance: Dalam Perspektif Sumber Daya
Manusia. Gava Media. Yogyakarta.

Watts, J., Tacconi, L., Irawan, S., & Wijaya, A. (2019). Village transfers for the
environment: lessons from community-based development programs and the village
fund. For. Policy Econ., 0-1.

Widodo, J. (2017). Analisis Kebijakan Publik Konsep dan Aplikasi Analisis Proses
Kebijakan Publik. Media Nusa Kreatif. Malang.

Willis, K. (2005). ‘Theory and Practices of Development’. Routledge the USA and Canada.

Idtesis.com. Teori Lengkap tentag Efektifitas Program menurut Para Ahli dan Contoh
Tesis Efektifitas (diakses 16 April 2020)

52

Anda mungkin juga menyukai