Anda di halaman 1dari 5

“Dana Desa: Membangun Harapan Dari Pesisir Indonesia”

Dhimas Ari Suhartono (Alumnus Universitas Brawijaya, Malang, Lulusan 2018)

Kebijakan merupakan serangkaian keputusan dan tindakan yang diambil oleh

berbagai tingkatan institusi pemerintahan sebuah negara dalam merespon dan

meyelesaikan permasalahan publik termasuk masalah pembangunan. Hingga saat

ini, isu pembangunan masih menjadi agenda strategis pemerintah Indonesia dari

generasi ke generasi. Ketimpangan dan kesenjangan baik dalam bidang ekonomi,

sosial, hingga pendidikan banyak dijumpai di wilayah nusantara. Kendati merupakan

sebuah produk pemerintahan, kebijakan pembangunan sangat dipengaruhi oleh

kondisi politik yang ada pada pemerintahan tersebut. Indonesia dengan sistem

pemerintahan demokratis telah melewati berbagai fase kehidupan bernegara dengan

arah kebijakan pembangunan yang berbeda baik pada era orde lama, orde baru,

maupun era reformasi.

Runtuhnya rezim orde baru menandai dimulainya era reformasi yang

membawa harapan untuk menciptakan sebuah tatanan negara yang benar – benar

demokratis. Optimisme ini muncul seiring dengan munculnya berbagai partai politik

baru, kebebasan berserikat, kebebasan berpendapat, dan kebebasan pers yang

merupakan ciri dari negara demokratis. Semangat memperbaiki implementasi

demokrasi ditularkan melalui berbagai tuntutan – tuntutan reformasi yang diyakini

dapat menciptakan tatanan kehidupan bernegara yang lebih baik, dengan mengubah

sistem sentralistik kepada sistem desentralistik dan otonomi.

Menurut Firdaus (2013), desentralisasi pada prinsipnya adalah pembagian

tugas dan wewenang secara vertikal dimana pembagian diurutkan berdasarkan

tingkatan kedudukan hirarki, yang mana petugas yang lebih tinggi kedudukannya
dapat melimpahkan tugas dan atau wewenang kepada petugas yang lebih rendah

kedudukannya. Dalam konteks tata negara, desentralisasi merupakan pelimpahan

kewenangan urusan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom

berdasarkan asas otonomi mengacu pada prinsip dasar penyelenggaraan pemerintah

daerah. Undang – Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah

menjelaskan bahwa pemberian kewenangan otonomi daerah kepada kabupaten/kota

didasaran atas desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung

jawab. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom

untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang – undangan.

Seiring dengan berjalannya era otonomi daerah, desa yang merupakan

wilayah terkecil dari Negara Kesatuan Republik Indonesia turut medapatkan

pengakuan dari Undang – Undang untuk menyelenggarakan roda pemerintahan

sendiri yang kemudian disebut sebagai otonomi desa. Dalam otonomi desa,

pemerintah desa diberikan kewenangan yang luas disegala bidang baik dalam bidang

penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan

kemasyarakatan, maupun pemberdayaan masyarakat. Lahirnya Undang – Undang

Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa selain sebagai bentuk pengakuan yang lebih luas

terhadap otonomi desa dan kewenangan Pemerintah Desa, juga memiliki tujuan untuk

membentuk pemerintahan desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka serta

bertanggung jawab dan mengatasi kesenjangan pembangunan nasional dengan

memperkuat desa sebagai subjek pembangunan.

Pembangunan desa merupakan salah satu dari Sembilan agenda prioritas

yang dicanangkan oleh pemerintahan era Presiden Joko Widodo yang selanjutnya

disebut dengan Nawacita. Poin ketiga dari Nawacita adalah “Membangun Indonesia
dari pinggiran dengan memperkuat daerah – daerah dan desa dalam kerangka negara

kesatuan”. Menurut Soleman dan Noer (2017) dalam sebuah jurnal ilmiah

menyatakan bahwa secara sederhana, program membangun dari pinggiran diartikan

sebagai kebijakan pembangunan yang difokuskan pada pengembangan atau

pembangunan di daerah dan desa – desa yang dilakukan secara masif dan

berimbang. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, pemerintah pusat

mengalokasikan dana yang besar dari APBN untuk pembangunan desa. Pada tahun

2015, Dana Desa dianggarkan sebesar Rp.20,7 triliun, dengan rata – rata setiap desa

mendapatkan alokasi sebesar Rp.280 juta. Pada tahun 2016, Dana Desa meningkat

menjadi Rp46,98 triliun dengan rata-rata setiap desa sebesar Rp.628 juta dan di

tahun 2017 kembali meningkat menjadi Rp 60 Triliun dengan rata – rata setiap desa

sebesar Rp.800 juta (Kementerian Keuangan, 2017).

Demi tercapainya visi nawacita selain alokasi Dana Desa yang begitu besar

pemerintah juga telah berkoordinasi menyusun payung hukum berupa Surat

Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri (Menteri Keuangan, Menteri Desa,

Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri, dan

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas) dalam rangka

penyelarasan dan penguatan kebijakan Program Dana Desa (Hayyu, 2018).

Salah satu payung hukum yang dihasilkan antara lain Peraturan Menteri Desa,

Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2017 Tentang

Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2018, dimana tujuan dari

peraturan itu adalah memberikan acuan kepada kewenangan pemerintah berskala

desa dalam menyusun rencana pembangunan yang dibiayai oleh Dana Desa.

Indonesia yang memiliki banyak wilayah pedesaan yang potensial adalah

Kabupaten Malang. Daerah ini mempunyai wilayah yang sangat luas mencakup
dataran tinggi hingga daerah pesisir dengan potensi perikanan dan kelautannya.

Sumberdaya perikanan dan kelautan yang dimiliki cukup beragam seperti potensi

perikanan tangkap, budidaya tambak, industri pengolahan ikan, pertanian,

perkebunan, peternakan dan wisata pantai. Kekayaan potensial ini merupakan

lingkungan dan rumah bagi masyarakat pesisir yang tinggal di daerah tersebut, namun

dengan potensi tersebut kondisi sosial ekonomi masyarakat Malang selatan,

khususnya wilayah pesisir secara umum masih dalam taraf kemiskinan dan problem

sosial lainnya. Berbagai upaya pembangunan kawasan pesisir dalam rangka

peningkatan perekonomian dan keadaan sosial dengan konsep pemberdayaan

banyak bermunculan dan diinisiasi oleh berbagai kalangan baik institusi pemerintah,

universitas, bahkan dari masyarakat. Seperti pos pemberdayaan yang ada di Dusun

Bajulmati, Desa Gajahrejo, Kabupaten Malang yang diinisiasi oleh masyarakat luar

desa, dengan salah satu tokoh bernama Shohibul Izar. Amalia et al., (2017) dalam

sebuah penelitian menggambarkan Bapak Shohibul Izar sebagai sosok agen

perubahan yang tangguh dan ikhlas dalam membantu proses pembangunan

kemandirian masyarakat. Melalui Lembaga Sosial Pendidikan (LSP) Harapan, banyak

program dan kegiatan yang telah dilakukan dengan berfokus pada bidang pendidikan,

ekonomi, dan konservasi. Dibidang pendidikan LSP Harapan berupaya meningkatkan

kualitas pendidikan melalui pendirian Rumah Pintar Harapan, PAUD Harapan, TK

Harapan, dan Majelis Ta’lim. Sedangkan dibidang ekonomi dan konservasi, LSP

Harapan membuat alternatif wisata berbasis ekologis bernama “Lepen Adventure”.

LSP Harapan didirikan atas dasar rasa keprihatinan melihat keadaan

penddikan anak – anak Dusun Bajulmati yang tergolong memprihatinkan. Penduduk

dusun banyak yang menjadi TKI yang mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap

anak. Selain itu, jarak sekolah yang tergolong jauh juga ikut menghambat anak – anak
mendapatkan pendidikan. Selain bergerak dibidang pendidikan LSP Harapan meluas

kebidang ekonomi pariwisata berbasis ekologi dengan memanfaatkan sumberdaya

alam di sekitar dusun. Semua yang dilakukan oleh LSP Harapan atas dasar sukarela,

sehingga biaya berasal dari iuran atau bahkan dari keuangan pribadi. Munculnya

gerakan pemberdayaan yang berasal dari masyarakat luar menunjukkan adanya

kesenjangan antara apa yang diharapkan oleh Undang – Undang Desa tentang

pembangunan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah desa, apalagi didukung

dengan program dana desa. Banyak faktor penghambat yang mungkin menjadi

penghalang dilakukannya sebuah pembangunan yang maksimal, diantaranya karena

rendahnya kualitas sumberdaya manusia, sulitnya akses transportasi, hingga

kurangnya pemantauan dari pemerintah daerah.

Program Dana Desa dialokasikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara (APBN) dengan jumlah yang besar, oleh karena itu sebaiknya penggunaan

dari dana tersebut dilakukan secara maksimal dengan melibatkan berbagai elemen

masyarakat yang ada seperti gerakan yang dilakukan oleh bapak izar. Pembangunan

berbasis komunitas seperti yang ada di Dusun Bajulmati menurut penulis akan

berjalan lebih progresif dan yang paling penting dapat berkelanjutan. Semoga potret

kecil salah satu desa pesisir dari bumi arema dapat menginspirasi.

Anda mungkin juga menyukai