Anda di halaman 1dari 35

STEP 2

1. Anatomi sinus paranasal?


Anatomi Sinus Paranasal
Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan
sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang
kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara ke
rongga hidung.
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung
dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus
frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir, sedangkan sinus frontal
berkembang dari dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun.
Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-
superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksila 15-18 tahun

Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan
sinus paranasal yang terbesar.
Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8
ml, sinus kemudian berkembang
dengan cepat dan akhirnya
mencapai ukuran maksimal, yaitu 15
ml saat dewasa.
Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os
maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal
maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung dinding superiornya adalah
dasar orbita dan dinding inferior ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila
berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui
infindibulum etmoid.

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah
1.      Dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi
molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi
gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.
2.      Sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita.
3.      Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase kurang baik,
lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian
dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat
menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitus.

Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus,
berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus
frontal mulai berkembang pada usia 8-10 thn dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum
usia 20 thn.
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya
dan dipisahkan oleh sekret yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa
hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang.
Ukurannya sinus frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm dan dalamnya 2
cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berleku-lekuk. Tidak adanya
gambaran septumn-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan
adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisakan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa
serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini.
Sinus frontal berdraenase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal. Resesus
frontal adalah bagian dari sinus etmoid anteroir.

Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini
dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya.
Pada orang dewasa bentuk sinus etomid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior.
Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cmn dan lebarnya 0.5 cm di bagian
anterior dan 1.5 cm di bagian posterior.
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon,
yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media
dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi antara 4-17 sel (rata-rata 9 sel).
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di
meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus
etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di bawah perlekatan konka media,
sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan
terletak di postero-superior dari perlekatan konka media.
Di bagian terdepan sinus etmoid enterior ada bagian yang sempit, disebut resesus
frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula
etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum,
tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal
dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan
sisnusitis maksila.
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa.
Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid
dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatsan dengan sinus sfenoid.

Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus
sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalag 2 cmn
tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat
sinus berkembang, pembuluh darah dan nerbus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi
sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus
etmoid.
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar
hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus
kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah
posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.

Kompleks Ostio-Meatal
Di meatus medius, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan
sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal
(KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus,
resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus
maksila.
SINUS PARANASALIS
Merupakan rongga-rongga yang terletak di sekitar hidung, tepatnya di dalam maxilla, os
frontal, os sphenoid dan os ethmoid. Sinus merupakan evaginasi/ penonjolan dari cavitas
nasi.
Macam-macam sinus paranasalis:
1. sinus frontal
 Terbentuk sejak bulan keempat fetus , berasal dari resessus frontal / sel
infundibulum etmoid. Sesudah lahir sinus mulai berkembang pada usia 8 –
10 th mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun
 Ukuran tinggi 2,8 cm, lebar 2,4 cm, dalam 2 cm
 Sinus biasanya bersekat sekat dan tepi berlekuk lekuk
Sinus dipisahkan oleh tulang yang relative tipis dari orbita dan fosa
cerebri anterior
Bermuara pada meatus nasi medius melalui ductus frontonasalis
Sinus berdrainase melalui ostium di recessus frontal berhubungan dengan
infundibulum etmoid
2. sinus maxillaris (kanan kiri)
 Terbesar, piramid
 Basis : dinding lateral rongga hidung
 Apek : proc zygomatikus
 Batas2 :
anterior : permk fasial sinus maxila
posteior : fossa infra temporal & pterigomaksila
medial : dinding lateral hidung
superior : dasar orbita
inferior : proc. Alveolaris dan palatum
 Klinik anatomi
dasar sinus dekat dengan akar gigi rahang atas, PM 1 & 2 kadang taring
(C) dan molar (M3)  akar gigi menonjol ke sinus  infeksi gigi naik ke
atas  sinusitis
batas superior dekat mata  komplikasi orbita
osteum sinus lebih tinggi dari dasarnya  drainase tergantung gerak silia
melalui infundibulum sempit  radang / bengkak  menghalangi
drainase sinus maxilla  sinusitis
 Terbentuk sejak lahir
 Pada anak : dasar sama/ > tinggi dari dasar rongga hidung
 Ukuran sinus
Lahir : 7-8 x 4-6 mm
Dewasa : mediolateral : 3-5 cm
anteroposterior : 2-5 cm
volume : 15-30 ml
 Bangunan disekitar nya
atap : vasa & n.infraorbitalis
dasar : tonjolan akar gigi PM 1,2 dan M atas
Lantai atau dasarnya ½ - 1 cm lebih rendah dari lantai cavitas nasi
Muaranya terdapat pada meatus nasi medius, yaitu pada hiatus
semilunaris
 Vaskularisasi
a. Maxila interna
a. Spenopalatina
a. Palatina mayor
a. Alveolaris ant-post
 Histologi dan fungsional
mukosa  lanjutan cavum nasal (>tipis)  epitel kolumner kompleks
bersilia
3. sinus sphenoidalis
 Terletak di dalam corpus sphenoidale (di belakang sinus ethmoid
posterior) dan dapat meluas ke os occipital
Bermuara pada recessus sphenoethmoidalis
Sinus dibagi 2 sekat : septum intersfenoid
Ukuran tinggi 2 cm, dalam 2,3 cm, lebar 1,7 cm
Volume : 5 – 7,5 ml
 Batas2 nya:
superior : fossa cerebri media dan kelenjar hipofisa
inferior : atap nasofaring
lateral : sinus cavernosus & a. Carotis interna
posterior : fossa cerebri posterior di daerah pons
4. sinus ethmoidalis (anterior posterior)
Pada dewasa seperti pyramid, dengan dasar di bagian posterior
Ukuran dari anterior ke posterior 4-5cm, tinggi 2,4 cm, lebar 0,5 cm
(anterior) dan 1,5 cm (posterior)
Sinus berongga – rongga terdiri dari sel – sel / beberapa ruangan ( 4-
17)menyerupai sarang lebah dalam massa bagian lateral os ethmoid,
diantara konka media dan dinding medial orbita
Terletak di dalam labyrinthus ethmoidalis, diantara orbita dan cavitas nasi
Muaranya terdapat pada meatus nasi medius
 Jumlah 2 kelompok berdasar letak :
S.E anterior  meatus media  kecil, banyak, depan lempeng yang
menghubungkan posterior konka media dengan dinding lateral (lamina
basalis)
S.E posterior  meatus superior  besar, sedikit di posterior lamina
basalis
 Batas2 nya:
Lateral : lamina papirasea sangat tipis membatasi sinus etmoid dari rongga
orbita
Atap (fóvea etmoidalis ) : lamina kribrosa
posterior : sinus spenoid
Resessus frontal  bagian sempit terdepan etmoid anterior berhubungan
dengan sinus frontal  bila bengkak / radang  sinusitis frontal
Infundibulum  penyempitan etmoid anterior  muara ostium sinus
maxilla  bila bengkak / radang  sinusitis maxilla
Bula etmoid  sel etmoid terbesar
Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT KL FKUI 2007
Ilmu Kesehatan THT FK Undip 2007
2. Fisiologi dari sinus paranasal?
Fisiologi
Fungsi Sinus Paranasal
Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal.
Beberapa pendapat:
a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak didapati
pertukaran udara yang definitive antara sinus dan rongga hidung. Lagipula mukosa sinus
tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.

b. Sebagai penahan suhu (termal insulators)


Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan
fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
c. Membantu keseimbangan kepala
bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan
berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori dianggap tidak bermakna.
d. Membantu resonansi suara
Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan
sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Lagipula tidak ada korelasi antara resonansi
suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.
e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
f. Membantu produksi mucus
jumlahnya kecil dibandingkan dengan mucus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mucus ini keluar dari
meatus medius, tempat yang paling strategis.
DAFTAR PUSTAKA

1.      Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala dan leher. FKUI. Jakarta 2007. Hal 150-3
2.      Damayanti dan Endang. Sinus Paranasal. Dalam : Efiaty, Nurbaiti, editor. Buku Ajar Ilmu
Kedokteran THT Kepala dan Leher, ed. 5, Balai Penerbit FK UI, Jakarta 2002, 115 – 119.
4.        Adam,Boies, Higler, Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6, EGC, Jakarta,1997
5.    Guyton,AC, Hall,JE, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, 1997, editor: irawati setiawan, ed. 9,
1997, Jakarta: EGC
6.        Pearce, Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Gramedia, Jakarta,2004
7.        Spanner, Spalteholz, Atlas Anatomi Manusia, Bagian ke II, edisi 16, Hipokrates,
Jakarta,1994.
8.        Soepardi, Efiaty Arsyad dkk, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher edisi 5, FK UI, 2006.

3. Apa saja yang menyebabkan si pasien pilek tidak sembuh sejak 4 bulan yang
lalu? (etiologi)
4. Patofisiologi keluar ingus kental, terasa keluar di tenggorok, hidung tersumbat,
batuk namun tidak berdahak?
Terasa keluar di tenggorokan
Hidung tersumbat
Batuk

5. Mengapa pendrita mengeluh sakit kepala disekitar mata?


6. Faktor resiko dan faktor predisposisi?
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39684/4/Chapter%20II.pdf
7. DD?

2.1.4 Klasifikasi Sinusitis


a. Secara klinis, sinusitis dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Sinusitis akut, yaitu suatu proses infeksi di dalam sinus yang berlansung selama 3
minggu. Macam-macam sinusitis akut adalah sinusitis maksila akut, sinusitis emtmoidal akut,
sinus frontal akut, dan sinus sphenoid akut
2. Sinu kronis, yaitu suatu proses infeksi di dalam sinus yang berlangsung selama 3-8
minggu tetapi dapat juga berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
b. Sedangkan berdasarkan penyebabnya, sinusitis dapat dibagi menjadi:
1. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala sesuatu yang
menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis.
2. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering menyebabkan
sinusitis infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan molar).
Terapi sinusitis seringkali berupa pengobatan terhadap infeksi traktus respiratorius
bagian atas, dengan sinusitis sebagai bagian yang penting. Seringkali infeksinya hanya
merupakan penyakit terbatas yang sembuh sendiri dalam waktu singkat, jika tidak
disertai komplikasi supurasi.3
Pengobatan sinusitis secara lokal intranasal dengan antibiotik tidak berguna, karena
obat-obat tersebut tidak cukup luas berkontak dengan permukaan mukosa yang
terinfeksi terinfeksi agar dapat berfungsi. Selain itu, dapat terjadi iritasi atau gangguan
aktivitas silia, sehingga fungsinya sebagai pembersih mukosa hidung justru semakin
terganggu.3
Karena itu antibiotika dapat diberikan secara sistemik per oral. Pada sinusitis akut
diberikan antibiotika selama 10-14 hari, meskipun gejala klinis telah hilang. Secara
empiris, antibiotika yang dapat diberikan misalnya Amoksisilin (3 x 500mg),
Trimetoprim dan Sulfametoksazol (2 x 960 mg), Amoksisilin dan Asam Klavulanat (2 x
500 mg), Klaritromisin (2 x 250 mg), dan Levofloksasin (4 x 500 mg). 1
Gejala nyeri akibat sinusitis diobati dengan analgetik. Diberikan juga dekongestan lokal
berupa tetes hidung, untuk memperlancar drainase sinus. Dekongestan ini hanya boleh
diberikan untuk waktu yang terbatas (5 sampai 10 hari), karena kalau terlalu lama
dapat menyebabkan rinitis medikamentosa.
Terapi bedah pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi komplikasi
ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada sekret yang
tertahan oleh sumbatan.
Pada sinusitis maksila dapat dilakukan tindakan pungsi dan irigasi. Pada sinusitis
etmoid, frontal atau sfenoid yang letak muaranya di bawah, dapat dilakukan tindakan
pencucian sinus cara Proetz (Proetz displacement therapy).
Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar HN. Editor.
Buku ajar ilmu kesehatan telinga-hidung-tenggorok. Edisi keenam. Jakarta. Balai
Penerbit FKUI; 2007. 150-154
8. Penegakan diagnosis dan pemeriksaan penunjang?

1.4.     Diagnosis Sinusitis


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan
naso-endoskpi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda
khasnya adalah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid
anterior dan frontal) atau di meatus superior ( pada sinusitis etmoid posterior dan
sphenoid). Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada
pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius. 2
1.5.    Pemeriksaan penunjang Sinusitis
Pada pemeriksan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap.
Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang sakit, sehingga
tampak lebih suram dibandingkan dengan sisi yang normal.
Pemeriksaan radiologik yang dibuat ialah posisi Waters, PA dan laretal. Akan tampak
perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan-udara (air fluid level) pada
sinus yang sakit2. CT scan sinus merupakan gold standar diagonis sinuistis karena
mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dala hidung dan sinus
secara keseluruhan dan perluasannya.
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari
meatus medius atau superior dengan tujuan untuk mendapat antibiotik yang tepat
guna.

Transiluminasi (Diaphanoscopia)
Syarat melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) adalah adanya ruangan
yang gelap. Alat yang kita gunakan berupa lampu listrik bertegangan 6 volt dan bertangkai
panjang (Heyman).
Pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) kita gunakan untuk mengamati sinus
frontalis dan sinus maksilaris. Cara pemeriksaan kedua sinus tersebut tentu saja berbeda.
Cara melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) pada sinus frontalis yaitu
kita menyinari dan menekan lantai sinus frontalis ke mediosuperior. Cahaya yang
memancar ke depan kita tutup dengan tangan kiri. Hasilnya sinus frontalis normal
bilamana dinding depan sinus frontalis tampak terang.
Ada 2 cara melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) pada sinus maksilaris,
yaitu :
Cara I. Mulut pasien kita minta dibuka lebar-lebar. Lampu kita tekan pada margo inferior
orbita ke arah inferior. Cahaya yang memancar ke depan kita tutup dengan tangan kiri.
Hasilnya sinus maksilaris normal bilamana palatum durum homolateral berwarna terang.
Cara II. Mulut pasien kita minta dibuka. Kita masukkan lampu yang telah diselubungi
dengan tabung gelas ke dalam mulut pasien. Mulut pasien kemudian kita tutup. Cahaya
yang memancar dari mulut dan bibir atas pasien, kita tutup dengan tangan kiri. Hasilnya
dinding depan dibawah orbita tampak bayangan terang berbentuk bulan sabit.
Penilaian pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) berdasarkan adanya perbedaan
sinus kiri dan sinus kanan. Jika kedua sinus tampak terang, menandakan keduanya normal.
Namun khusus pasien wanita, hal itu bisa menandakan adanya cairan karena tipisnya
tulang mereka. Jika kedua sinus tampak gelap, menandakan keduanya normal. Khusus
pasien pria, kedua sinus yang gelap bisa akibat pengaruh tebalnya tulang mereka
Prof. Dr. dr. Sardjono Soedjak, MHPEd, Sp.THT, dr. Sri Rukmini, Sp.THT, dr. Sri Herawati,
Sp.THT & dr. Sri Sukesi, Sp.THT. Teknik Pemeriksaan Telinga, Hidung & Tenggorok. Jakarta :
EGC. 2000
9. Komplikasi?

1.7.    Komplikasi  Sinusitis


Komplikasi sinusitis telah menurun sejak ditemukannya antibiotika. Komplikasi
biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah:
1. Osteomileitis atau abses subperiosteal. Paling sering timbul akibat sinusitis
frontal dan biasanya pada anak-anak
2. Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata
(orbita). Kelainan dapat berupa edema palpebra, selulitis orbita, abses
subperiosteal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus
kavernosus.
3. Kelainan intrakranial. Dapat berupa meningitis, abses ektradural atau subdural,
abses otak dan trombosis sinus kavernosus
4. Kelainan paru, seperti bronkhitis dan bronkhiektasis.
 DAFTAR PUSTAKA
1. Kennedy E. Sinusitis. Available from: URL:
http://www.emedicine.com/emerg/topic536.htm.
2. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar HN. Editor.
Buku ajar ilmu kesehatan telinga-hidung-tenggorok. Edisi keenam. Jakarta. Balai
Penerbit FKUI; 2007. 150-154
3. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Jilid satu. Edisi
13. Staff Ahli Bagian THT RSCM-FKUI. Alih bahasa / editor. Jakarta. Penerbit
Binarupa Aksara; 1999.

Local complications
• Mucoceles are chronic epithelial cysts that develop in sinuses in the presence of
either an obstructed sinus ostium or minor salivary gland duct. They have the
potential for progressive concentric expansion that can lead to bony erosion and
extension beyond the sinus.
• Maxillary sinus mucoceles are usually found incidentally on sinus radiographs
and are of little significance in the absence of symptomatology or infection.
Frontoethmoidal and sphenoethmoidal mucoceles, on the other hand, tend to be
symptomatic and have a high potential for bony erosion.
• Osteomyelitis is a potential local complication most commonly occurring with
frontal sinusitis. Osteomyelitis of the frontal bone is called a Pott puffy tumor
and represents a subperiosteal abscess with local edema anterior to the frontal
sinus. This can advance to form a fistula to the upper lid with sequestration of
necrotic bone.

Orbital complications
• Orbital complications are the most common complications encountered with
acute bacterial sinusitis. Infection can spread directly through the thin bone
separating the ethmoid or frontal sinuses from the orbit or by thrombophlebitis
of the ethmoid veins.
• Diagnosis should be based on an accurate physical examination, including
ophthalmological evaluation and appropriate radiological studies. CT scanning is
the most sensitive means of diagnosing an orbital abscess, although ultrasound
has been found to be 90% effective for diagnosing anterior abscesses.[30] The
classification by Chandler, which is based on physical examination findings,
provides a reasonable framework to guide management. This classification
consists of 5 groups of orbital inflammation[33] :
• Group 1 - Inflammatory edema (preseptal cellulitis) with normal visual acuity
and extraocular movement
• Group 2 - Orbital cellulitis with diffuse orbital edema but no discrete abscess
• Group 3 - Subperiosteal abscess beneath the periosteum of the lamina papyracea
resulting in downward and lateral globe displacement
• Group 4 - Orbital abscess with chemosis, ophthalmoplegia, and decreased visual
acuity
• Group 5 - Cavernous sinus thrombosis with rapidly progressive bilateral
chemosis, ophthalmoplegia, retinal engorgement, and loss of visual acuity;
possible meningeal signs and high fever

Intracranial complications
• Intracranial complications may occur as a result of direct extension through the
posterior frontal sinus wall or through retrograde thrombophlebitis of the ophthalmic
veins. Subdural abscess is the most common intracranial complication, although
cerebral abscesses and infarction that result in seizures, focal neurological deficits,
and coma may occur.
Systemic complications
• Sinusitis can result in sepsis and multisystem organ failure caused by seeding of the
blood and various organ systems. Reports of bacteremia, thoracic empyema, and
nosocomial pneumonia have been documented in the intensive-care population with
acute sinusitis, and the mortality rate in this group can be as high as 11%.
http://emedicine.medscape.com/article/232670-clinical#b4

10. Penatalaksanaan?

1.6.    Terapi Sinusitis


Terapi sinusitis seringkali berupa pengobatan terhadap infeksi traktus respiratorius
bagian atas, dengan sinusitis sebagai bagian yang penting. Seringkali infeksinya hanya
merupakan penyakit terbatas yang sembuh sendiri dalam waktu singkat, jika tidak
disertai komplikasi supurasi.3
Pengobatan sinusitis secara lokal intranasal dengan antibiotik tidak berguna, karena
obat-obat tersebut tidak cukup luas berkontak dengan permukaan mukosa yang
terinfeksi terinfeksi agar dapat berfungsi. Selain itu, dapat terjadi iritasi atau gangguan
aktivitas silia, sehingga fungsinya sebagai pembersih mukosa hidung justru semakin
terganggu.3
Karena itu antibiotika dapat diberikan secara sistemik per oral. Pada sinusitis akut
diberikan antibiotika selama 10-14 hari, meskipun gejala klinis telah hilang. Secara
empiris, antibiotika yang dapat diberikan misalnya Amoksisilin (3 x 500mg),
Trimetoprim dan Sulfametoksazol (2 x 960 mg), Amoksisilin dan Asam Klavulanat (2 x
500 mg), Klaritromisin (2 x 250 mg), dan Levofloksasin (4 x 500 mg). 1
Gejala nyeri akibat sinusitis diobati dengan analgetik. Diberikan juga dekongestan lokal
berupa tetes hidung, untuk memperlancar drainase sinus. Dekongestan ini hanya boleh
diberikan untuk waktu yang terbatas (5 sampai 10 hari), karena kalau terlalu lama
dapat menyebabkan rinitis medikamentosa.
Terapi bedah pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi komplikasi
ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada sekret yang
tertahan oleh sumbatan.
Pada sinusitis maksila dapat dilakukan tindakan pungsi dan irigasi. Pada sinusitis
etmoid, frontal atau sfenoid yang letak muaranya di bawah, dapat dilakukan tindakan
pencucian sinus cara Proetz (Proetz displacement therapy).

Gejala klinis

Anda mungkin juga menyukai