Dokumen Yang Harus Ada Di Kapal
Dokumen Yang Harus Ada Di Kapal
KAPAL
Sertifikat dan Dokumen yang harus berada diatas kapal berbendera Indonesia
( berdasarkan SV.1935 )
5. Kapal Layar Motor ( KLM ) dengan isi Kotor lebih besar dari 35 GT s/d 150 GT :
7. 2.Surat Ukur
9. 4.sertifikat radio
Kapal layar Motor ( KLM ) dengan isi kotor lebih besar dari 150 GT s/d 500 GT :
1. 1.Surat Tanda Kebangsaan berupa Pas Tahunan ( untuk Isi Kotor sampai dengan 175
GT ), atau berupa Surat Laut ( untuk Isi kotor lebih besar dari 175 GT )
2. 2.Surat Ukur
3. 3.Sertifikasi Keselamatan ( sesuai SK. Dirjen Hubla No. PY. 66 / 1 / 2 /-02 tanggal 7
februari 2002 )
4. 4.Sertifikat Radio
2. 2.Surat Ukur
4. 4.Sertifikat garis Muat ( untuk kapal dengan ukuran panjang lebih dari 24 Meter )
5. 5.Sertifikat Radio
9. 2.Surat Ukur
13. 6.Sertifikat Klasifikasi ( untuk kapal Isi kotor lebih dari 35 GT dan atau yang
menggunakan mesin lebih dari 100 PK )
14. 7.Sertifikat Pencegahan Pencemaran: Untuk kapal dengan isi kotor 100 GT s/d 399
GT dan atau yang menggunakan mesin lebih dari 200 PK, berupa Sertifikat Nasional
Pencegahan Pencemaran ( SNPP ) Untuk Kapal dengan isi kotor lebih dari 399 GT,
berupa Sertifikat International Oil Polution Prevention ( IOPP )
Kapal Penyeberangan
3. 3.Surat Ukur
4. 4.IOPP Sertifikat
5. 5.Sertifikat Klas
4. 4.Surat ukur
5. 5.IOPP Sertifikat
6. 6.Sertifikat Klas
8. 8.Brevet A / Brevet B bagi Nakhoda dan Perwira Kapal Sertifikat tersebut diatas
mempunyai masa laku paling lama berlaku 12 bulan kecuali Surat ukur dan Surat laut
berlaku untuk selamanya. Apabila sertifikat – sertifikat tesebut habis masa berlakunya
dapat diperpanjang atau diperbaharui sesuai prosedur dan ketentuan yang berlaku
http://ilmu-laoet.blogspot.com/2012/07/dokumen-yang-harus-ada-di-kapal.html
Surat Persetujuan Berlayar ( Port Clearance ) dan
Masalah Pemeriksaan Kapal Di Laut.
Leave a reply
Jika kita membahas wilayah perairan yuridiksi suatu Negara , maka akan terkait didalamnya
hak berdaulat dan menjalankan kedaulatan dari Negara itu, yang diwujudkan dalam bentuk
kewajiban dan tanggung jawab suatu Negara untuk melaksanakan fungsi pemerintahan
dilaut ,yang salah satu implementasinya adalah melakukan penegakan hukum dilaut ( Law
Enforcement at Sea ) untuk menciptakan keselamatan dan keamanan laut secara terpadu di
Negara tersebut.
Penegakan hukum dilaut sangat penting, karena merupakan upaya penegakan Undang
Undang dan peraturan peraturan yang menjadi instrument pengaturan wilayah perairan
kedaulatan Negara, penggunaan laut sebagai sarana perhubungan dan komunikasi serta
mengatur tata tertib pemanfaatan sumber daya dilaut, lingkungan hidup dan ekosistimnya.
Dalam upaya penegakan hukum dilaut yang dilaksanakan melalui suatu Operasi Patroli
Keamanan dan Keselamatan laut, baik secara parsial oleh berbagai pemangku kepentingan
( stake holder) dilaut dan secara terkoordinasi yang diselenggarakan dan dikoordinasikan oleh
Badan Koordinasi Keamanan laut, ada beberapa catatan dari hasil patroli keamanan dan
keselamatan laut, yaitu kasus kapal yang memiliki SPB, namun ketika diperiksa ditengah laut
ternyata tidak laiklaut.
Kapal dianggap tidak laik laut karena terbukti tidak memenuhi persyaratan ketentuan yang
ditetapkan peraturan tentang keselamatan kapal ( sertifikat kapal ada yang mati, PMK tidak
berfungsi dan alats keselamatan kurang memadai, tanda pendaftaran kapal tidak dipasang,
muatan berlebih / over draft, muatan tidak sesuai dengan dokumen muatan, sijil awak kapal
tidak sesuai , buku pelaut mati , adanya penumpang gelap, OWS kurang berfungsi dengan
baik, dsb ).
Namun faktanya, Kapal tersebut dilengkapi dengan Surat Persetujuan Berlayar ( SPB ) yang
ditanda tangani dan disyahkan Syahbandar Pelabuhan, dimana kapal tersebut memulai
pelayaran ( Pelabuhan Asal ), yang artinya Kapal tersebut sebenarnya telah melalui
pemeriksaan administrasi dan fisik di pelabuhan dan dianggap laik laut serta telah memenuhi
ketentuan / peraturan untuk melakukan pelayaran dilaut.
Dari permasalahan yang terjadi, kadang menimbulkan pertanyaan menggelitik, apakah Kapal
kapal itu yang memang nakal untuk tidak mau memenuhi ketentuan sesuai peraturan ataukah
pemeriksaan yang dilakukan aparat berwenang di Pelabuhan khususnya petugas
Kesyahbandaran yang kurang teliti dan kurang focus dalam pemeriksaan kapal di pelabuhan ?
Kita semua tahu bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia
Nomor KM.1 Tahun 2010 tentang Tata cara penerbitan Surat Persetujuan Berlayar ( Port
Clearance ), telah dijelaskan secara terperinci ketentuan dan prosedur bagaimana Surat
Persetujuan Berlayar diterbitkan. Namun pertanyaannya adalah apakah telah
diimplementasikan secara benar oleh petugas pemeriksa yang mempunyai kewenangan di
lapangan dan apakah telah dipatuhi dengan baik oleh Nakhoda/Operator / pemilik Kapal ?
Penerbitan Surat Persetujuan Berlayar ( Port Clearance ) merupakan suatu proses pengawasan
yang dilakukan oleh Syahbandar terhadap kapal yang akan berlayar meninggalkan pelabuhan
untuk memastikan bahwa Kapal, awak kapal, dan muatannya secara teknis-administratif telah
memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan pelayaran serta perlindungan lingkungan
maritim.
Pemahaman dari persyaratan Keselamatan dan Keamanan pelayaran adalah suatu keadaan
terpenuhinya persyaratan keselamatan dan keamanan yang menyangkut angkutan diperairan,
kepelabuhanan dan lingkungan maritim.
Definisi dari Surat Persetujuan Berlayar itu sendiri adalah Dokumen Negara yang
dikeluarkan oleh Syahbandar kepada setiap kapal yang akan berlayar meninggalkan
pelabuhan setelah kapal memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal dan kewajiban lainnya.
Tanggung jawab Syahbandar memang sangat berat dalam menjamin keselamatan dan
keamanan pelayaran, karena Syahbandar merupakan pejabat pemerintah di pelabuhan yang
diangkat oleh Menteri dan memiliki kewenangan tertinggi untuk menjalankan dan melakukan
pengawasan terhadap dipenuhinya ketentuan peraturan perundang undangan untuk menjamin
keselamatan dan keamanan pelayaran.
Sedangkan pengertian Kelaiklautan Kapal adalah Keadaan Kapal yang memenuhi
persyaratan keselamatan kapal,pencegahan pencemaran perairan dari kapal, pengawakan,
garis muat, pemuatan, kesejahteraan awak kapal, dan kesehatan penumpang, status hukum
kapal, manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal, dan manajemen
keamanan kapal untuk berlayar di perairan tertentu.
Keselamatan Kapal itu sendiri adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan
material,konstruksi, bangunan, permesinan dan perlistrikan, stabilitas, tata susunan serta
perlengkapan alat penolong dan radio, elektronik kapal, yang dibuktikan dengan sertifikat
setelah dilakukan pemeriksaan dan pengujian.
Selain Kapal harus layak laut, kewajiban kapal lainnya yang harus dipenuhi untuk
mendapatkan SPB adalah kewajiban pembayaran atas jasa pelayanan kepelabuhanan, jasa
pengawasan dibidang keselamatan dan keamanan pelayaran yang berlaku dibidang pelayaran.
Penulis terinspirasi untuk mengungkap masalah yang berkaitan dengan Surat Persetujuan
Berlayar dan kaitannya dalam pemeriksaan kapal ditengah laut untuk menjadi masukan bagi
pengguna laut / Kapal ,para aparat kesyahbandaran dipelabuhan , para penegak hukum dilaut
dan aparat terkait lainnya, agar semua pihak bisa saling mengingatkan untuk konsisten dalam
kepatuhan pada azas kepastian hukum dan mentaati ketentuan per undang undangan dan
peraturan yang berlaku.
Kasus Kapal yang sebenarnya tidak laik laut namun mempunyai SPB adalah kasus lama yang
terus terjadi berulang ulang di Indonesia dan menjadi suatu fenomena yang dianggap biasa
dalam pengurusan Surat Persetujuan Berlayar ( SPB ) menggunakan jalur cepat bagi Kapal
Kapal yang akan berlayar dilaut.
Berdasarkan pengalaman Penulis saat masih bertugas sebagai perwira kapal patroli KPLP,
Ditjenhubla dari tahun 1984 s/d 1998, kasus kapal tidak laik laut, namun dilengkapi SPB juga
sering terjadi, sehingga penulis juga mempertanyakan kualitas pemeriksaan terhadap kapal
yang akan bertolak dari pelabuhan , apakah pemeriksaan administrative dan phisik Kapal
telah dilakukan secara ketat dan telah melalui prosedur yang benar ?
Demikian pula ketika penulis bertugas sebagai pengawas keselamatan maritim Poskodalops
Ditjenhubla pada tahun 1998 s/d 2011, dalam rekapitulasi dan analisis pada berbagai musibah
kapal dilaut ternyata sebagian besar musibah dilaut diakibatkan karena kapal berlayar dalam
keadaan kurang laik laut, dan implikasi dari musibah kapal tersebut sering syahbandar
terkena efeknya, dianggap lalai, juga harus ikut bertanggung jawab atas kebijakannya
mengeluarkan Surat Persetujuan Berlayar ( SPB ), walaupun Nakhoda telah membuat surat
pernyataan kesiapan kapal ( Master Sailing Declaration ).
Ada berbagai analisis mengapa Kapal bisa mendapatkan SPB, walaupun sebenarnya tidak
laiklaut, sebagai berikut :
Akibatnya Syahbandar yang kurang teliti, langsung menandatangani SPB dan terkena
getahnya, ketika Kapal tersebut ternyata bermasalah saat diperiksa petugas penegak hukum
dilaut ataupun kadang ikut terseret kasus ketika kapal tersebut mengalami musibah dilaut
yang menimbulkan banyak korban jiwa.
2. Perilaku para awak kapal dan penumpang kapal yang tidak disiplin,dan
mengabaikan factor keselamatan, dimana petugas kesyahbandaran
dilapangan , dirayu dengan bujukan dan iming iming untuk melancarkan
terbitnya Surat Persetujuan Berlayar Kapal tersebut, walaupun Kapal
penumpang tersebut telah mengabaikan faktor keselamatan dan
kelaiklautan, misalnya Alats kespel kurang, kelebihan penumpang dan
Over Draft.
Atau dalam kasus lain para penumpang naik dengan sembunyi sembunyi melalui perahu ke
kapal tersebut tanpa sepengetahuan petugas kesyahbandaran pelabuhan.
Jika terjadi musibah kapal dengan korban jiwa sangat besar, barulah diketahui dari hasil
penyelidikan dan penyidikan bahwa sebenarnya Kapal tidak laik laut, jumlah penumpang
berbeda antara daftar penumpang dengan jumlah penumpang sebenarnya dan akibatnya
Syahbandar terseret kasus tersebut, dianggap lalai dan disalahkan.
Tanggung jawab Syahbandar memang berat karena harus mampu menjalankan dan
melakukan pengawasan terhadap dipatuhinya peraturan perundang undangan keselamatan
dan keamanan pelayaran terhadap Kapal Kapal yang akan melakukan pelayaran.
Namun penulis berharap dari berbagai permasalahan dalam penerbitan Surat Persetujuan
Berlayar, dapat menjadi masukan dan sharing informatio bagi semua pihak yang berwenang
untuk lebih agresif dan focus dalam membina para pengguna laut terhadap pentingnya
keselamatan pelayaran , merangkul dan menghimbau pihak pengguna laut untuk taat hukum
dan mematuhi peraturan perundang undangan yang berlaku, demi kemaslahatan dan
keselamatan pengguna laut itu sendiri.
Kepedulian bagi semua pihak berwenang yang terkait sangat diharapkan, yang diwujudkan
dengan melakukan tindakan yang simpatik, seperti :
Semoga tulisan ini dapat lebih meningkatkan kerjasama semua pihak ( birokrat, aparat,
masyarakat ) untuk komitmen dalam mengutamakan keselamatan ( safety ) dalam
penyelenggaraan transportasi dilaut sesuai dengan koridor Undang Undang dan peraturan
yang berlaku.
Terwujudnya Laut yang aman, tertib dengan tranportasi laut yang nyaman ,dan terpenuhinya
keselamatan pelayaran yang kondusif , menuju Zero Accident ( tanpa musibah dilaut ) bukan
saja target Kementerian Perhubungan Cq Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, namun juga
harapan kita semua, harapan seluruh bangsa Indonesia.