Anda di halaman 1dari 237

ANALISIS BAHAYA DAN TITIK KENDALI KRITIS (HACCP)

RENDANG (STUDI KASUS DI RUMAH MAKAN PADANG X


KECAMATAN PAMULANG KOTA TANGERANG SELATAN)
TAHUN 2017

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

OLEH:

SRI WIDIYASTUTI

NIM: 1112101000006

PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H / 2018 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Januari 2018

Sri Widiyastuti

i
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
Skripsi, Januari 2018

Sri Widiyastuti, NIM: 1112101000006

Analisis Bahaya dan Titik Kendali Kritis (HACCP) Rendang (Studi Kasus di
Rumah Makan Padang X Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan)
Tahun 2017

(xv + 221 halaman, 26 tabel, 5 bagan, 1 grafik, 8 lampiran)

ABSTRAK
Makanan yang aman, sehat, dan bergizi akan menentukan derajat kesehatan.
Saat ini, banyak rumah makan yang menjual berbagai jenis makanan tetapi belum
diketahui apakah makanan yang disajikan dalam keadaan aman atau tidak. Salah
satu makanan khas dari rumah makan padang adalah daging rendang. Proses
memasaknya membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga rendang dibuat
dalam jumlah yang banyak. Hal itu, mengakibatkan rendang mengalami
penyimpanan cukup lama yang dapat memicu pertumbuhan bakteri. Oleh karena
itu, diperlukan HACCP untuk dapat mencegah adanya kontaminasi makanan.
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui gambaran HACCP makanan
rendang di Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang Kota Tangerang Selatan
Tahun 2017. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan
studi kasus. Informan penelitian ini adalah karyawan rumah makan padang yang
bertugas membeli bahan-bahan untuk membuat rendang dan karyawan yang
memasak rendang dengan menggunakan purposive sampling. Analisis data pada
penelitian ini menggunakan teori Miles dan Huberman dan HACCP.
Hasil perumusan tahapan HACCP menunjukkan bahwa yang menjadi titik
kritis yaitu bahan baku bumbu dan santan, penerimaan dan penyiapan bahan baku,
penyiapan alat-alat yang dipakai, proses pemasakan, serta penyimpanan dan
distribusi. Tindakan perbaikan yang dapat dilakukan yaitu mengembalikan bahan
baku dan memberikan saran kepada penjual, memilih penjual bahan baku dan
pemasok kemasan pangan yang dapat menjamin keamanan pangan, mencuci
kembali bahan baku, membilas kembali alat-alat yang dipakai, menggunakan cairan
pencuci piring dengan kadar senyawa kimia rendah, suhu masak minimal 90°C atau
jika suhu tidak sesuai dapat perpanjang atau persingkat waktu masak,
membersihkan dapur, mengganti ulek dan cobek yang sudah keropos,
membersihkan etalase dan rumah makan, mengganti wadah yang tertutup, suhu
penyimpanan >60°C, serta mengganti jenis plastik/kertas pembungkus makanan.
Dari hasil pengujian bakteri pada rendang memenuhi syarat SNI 7474:2009.
Pengusaha rumah makan padang disarankan memilih pemasok bahan baku
yang menerapkan sistem keamanan pangan dan menerapkan personal higiene serta
higiene sanitasi makanan.

Kata kunci: HACCP, Rendang, Rumah Makan Padang


Daftar Bacaan: 143 (1994 – 2017)

ii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
DEPARTMENT OF ENVIRONMENTAL HEALTH
Undergraduated Thesis, January 2018

Sri Widiyastuti, NIM: 1112101000006

Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) of Rendang (Study Case
at Padang X Restaurant in Pamulang Subdistrict, South Tangerang) 2017
(xxi + 221 pages, 26 tables, 5 chards, 1 graphs, 8 appendixs)
ABSTRACT
The food that are safe, healthy, and nutritious will determine the level of
health. Nowadays, a lot of restaurants that sells various types of food, but people
haven't known yet the the food served in a safe condition or not. One of the typical
food from padang restaurant is rendang. The cooking processes of rendang take
long time, therefore rendang have always made in large quantities. This is the
reason of rendang would have long time in storage that could trigger of the bacterial
growth. Therefore, HACCP is needed to prevent the determination of food
contamination.
The aim of research to know the description of HACCP of rendang at
Padang X Restaurant in Pamulang Region, South Tangerang 2017. This study is a
qualitative research with study case design. Informant of this study is the restaurant
padang's employees in charge of buying ingredients to make rendang and the
employees who cooks rendang by using purposive sampling. This study used Miles
Terory and Huberman, and HACCP.
The results of HACCP steps showed that became a crisis point of rendang
are raw materials of spices and coconut milk, acceptance and preparation of raw
materials, preparation of tools, cooking process, storage and distribution. The
actions that could be done are restoring the raw materials and giving suggestion to
seller, selecting a seller of raw materials and food packaging suppliers that can
ensure the security food, washing back raw materials, rinsing the tools used, a
minimum cooking temperature of 90°C or if the temperature is not suitable to
extend or shorten the cooking time, cleaning the kitchen, change the pestle dan
mortar, cleaning the storefront and the restaurant, replacing closed containers,
storage temperature > 60°C, and replacing the type of plastic / food wrapping paper.
The results of bacterial testing in rendang satisfy the requirements of SNI 7474:
2009.
The owner of Padang restaurant are advised to select the raw material
suppliers that implement food safety system and implement personal hygiene and
hygiene of food sanitation.

Keywords: HACCP, Rendang, Padang Restaurant


Reference: 143 (1994 – 2017)

iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN

iv
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama : Sri Widiyastuti

Jenis Kelamin : Perempuan

NIM : 1112101000006

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 30 September 1994

Agama : Islam

Alamat : Kp. Gaga Masjid Jl. H. Lahab No. 22 RT 005 RW


001 Kelurahan Larangan Selatan Kecamatan
Larangan Kota Tangerang Provinsi Banten

Telepon : 0812 9695 6065

e-mail : widiyastuti.sri@gmail.com

Riwayat Pendidikan

2012 – sekarang Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2009 – 2012 SMA Negeri 12 Tangerang

2006 – 2009 SMP Negeri 11 Tangerang

2000 – 2006 SD Negeri Larangan Selatan 1

1999 – 2000 TK Islam Amanah

vi
KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan puji dan syukur

kepada Allah SWT karena hanya dengan Rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan

skrispsi yang berjudul Analisis Bahaya dan Titik Kendali Kritis (HACCP)

Rendang (Studi Kasus di Rumah Makan Padang X Kecamatan Pamulang

Kota Tangerang Selatan) Tahun 2017. Penulis menyadari hanya karena kekuatan

dan semangat dari Allah SWT, pada akhirnya penulis mampu melewati tantangan

dan cobaan selama penulis sedang menyelesaikan skripsi ini.

Dalam penulisan ini, penulis mendapat banyak bantuan dan bimbingan dari

berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis bermaksud untuk mengucapkan terima

kasih yang sebesar–besarnya kepada pihak–pihak yang secara langsung maupun

tidak langsung dalam proses penulisan dan penyelesaian skripsi ini, kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Fajar Ariyanti, M.Kes, Ph.D selaku Ketua Program Studi Kesehatan

Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Dr. Ela Laelasari, S.KM, M.Kes selaku pembimbing pertama dan Ibu

Dela Aristi, S.KM, M.KM selaku pembimbing kedua yang telah

memberikan bimbingan, pengarahan, serta bantuan dalam proses

penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Jarimun dan Ibu Witi Asih selaku Orang tua dan Pujo, S.E, M.M

selaku kakak yang selalu mendoakan, mendukung, dan menyemangati

dalam penyelesaian skripsi ini.

vii
5. Sahabat-sahabat penulis yaitu Yufa Zuriya, Lilis Yuliarti, Nuril Hidayah Al-

Hasanah, Tyas Indah Permatasari, Isnaeni Wahyu Saputri, dan Abdu Rohim

yang selalu menyemangati, mendukung, dan mendoakan.

6. Anisa Apriliyani, Destinia Putri, dan Juwita Wijayanti yang selalu

mendengarkan keluh kesah dan memberikan tenaga, semangat, serta

bantuan untuk menyelesaikan skripsi ini.

7. Widhy Reza Putra, S.Tr K.L yang selalu menemani, mendoakan dan

memberi semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Teman-teman Kesehatan Lingkungan 2012 dan Kesehatan Masyarakat

2012 yang selalu saling menyemangati dan mendoakan.

9. Seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi.

Penulis menyadari bahwa masih banyak hal yang harus penulis pelajari dan

perbaiki. Untuk itu kritik dan saran sangat diharapkan demi penyempurnaan skripsi

ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran serta

pencerahan khususnya bagi penulis, sehingga tujuan yang diharapkan dapat

tercapai.

viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... i
ABSTRAK .............................................................................................................. ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN ........................ Error! Bookmark not defined.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS .............................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii
DAFTAR BAGAN ............................................................................................... xii
DAFTAR GRAFIK ............................................................................................... xv
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................ 4
1.3. Pertanyaan Penelitian ................................................................................... 5
1.4. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 6
1.4.1. Tujuan Umum ........................................................................................ 6
1.4.2. Tujuan Khusus ....................................................................................... 7
1.5. Manfaat Penelitian ........................................................................................ 8
1.5.1. Manfaat Bagi Pengusaha Rumah Makan Padang .................................. 8
1.5.2. Manfaat Bagi Universitas ...................................................................... 8
1.5.3. Manfaat Bagi Peneliti Selanjutnya ........................................................ 9
1.6. Ruang Lingkup ............................................................................................. 9
BAB II ................................................................................................................... 10
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 10
2.1. Keamanan Pangan ...................................................................................... 10
2.2. Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) ............................. 11
2.2.1. Definisi HACCP .................................................................................. 11
2.2.2. Sejarah HACCP ................................................................................... 11
2.2.3. Tahapan HACCP ................................................................................. 12
2.3. Perilaku ....................................................................................................... 34
2.4. Rendang ...................................................................................................... 37
2.4.1. Bahan-bahan Rendang ......................................................................... 38

ix
2.5. Kerangka Teori ........................................................................................... 45
BAB III ................................................................................................................. 48
KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI ISTILAH ................................................. 48
3.1. Kerangka Pikir ............................................................................................ 48
3.2. Definisi Istilah ............................................................................................ 50
BAB IV ................................................................................................................. 52
METODOLOGI PENELITIAN ............................................................................ 52
4.1. Desain Penelitian ........................................................................................ 52
4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian ...................................................................... 52
4.3. Informan Penelitian .................................................................................... 52
4.4. Instrumen Penelitian ................................................................................... 53
4.5. Sumber Data ............................................................................................... 53
4.6. Metode Pengumpulan Data ........................................................................ 53
4.6.1. Wawancara........................................................................................... 53
4.6.2. Observasi ............................................................................................. 54
4.6.3. Pengukuran Temperatur ....................................................................... 54
4.6.4. Penilaian Warna Daging ...................................................................... 54
4.6.5. Pengambilan Sampel Makanan untuk Pengujian Bakteri .................... 54
4.6.6. Menentukan Titik Kendali Kritis ......................................................... 55
4.7. Pengolahan Data ......................................................................................... 60
4.8. Teknik dan Analisis Data ........................................................................... 60
4.9. Pengujian Keabsahan Data ......................................................................... 61
BAB V................................................................................................................... 63
HASIL ................................................................................................................... 63
5.1. Gambaran Umum Proses Pembuatan Rendang .......................................... 63
5.2. Tim HACCP ............................................................................................... 64
5.3. Deskripsi Produk ........................................................................................ 64
5.4. Tujuan Akhir Penggunaan Rendang........................................................... 66
5.5. Bagan Alir Proses Pembuatan Rendang ..................................................... 67
5.6. Mengkonfirmasi Alur Proses Pembuatan Rendang .................................... 68
5.7. Identifikasi Analisis Bahaya ....................................................................... 75
5.8. Menentukkan Titik Kendali Kritis.............................................................. 87
5.8.1. Menentukkan Titik Kendali Kritis pada Bahan Baku Rendang .......... 87
5.8.2. Menentukkan Titik Kendali Kritis pada Proses Pengolahan Rendang 91

x
5.9. Menentukan Batas Kritis pada masing-masing TKK ................................. 95
5.10. Pemantauan Batas Kritis Setiap TKK ...................................................... 98
5.11. Penetapan Tindakan Perbaikan .............................................................. 103
5.12. Penetapan Prosedur Verifikasi ............................................................... 108
5.13. Dokumentasi dan Pencatatan .................................................................. 113
5.14. Hasil Pengujian Mikrobiologi pada Rendang ........................................ 119
BAB VI ............................................................................................................... 121
PEMBAHASAN ................................................................................................. 121
6.1. Keterbatasan Penelitian ............................................................................ 121
6.2. Tim HACCP ............................................................................................. 121
6.3. Deskripsi Produk ...................................................................................... 122
6.4. Tujuan Akhir Penggunaan Rendang......................................................... 123
6.5. Bagan Alir Proses Pembuatan Rendang ................................................... 124
6.6. Mengkonfirmasi Alur Proses Pembuatan Rendang .................................. 125
6.7. Identifikasi Analisis Bahaya ..................................................................... 142
6.8. Menentukan Titik Kendali Kritis ............................................................. 157
6.8.1. Menentukan Titik Kendali Kritis pada Bahan Baku rendang ............ 158
6.8.2. Menentukan Titik Kendali Kritis pada Proses Pengolahan Rendang 160
6.9. Menentukan Batas Kritis pada Masing-masing TKK .............................. 167
6.10. Pemantauan Batas Kritis Setiap TKK .................................................... 170
6.11. Penetapan Tindakan Perbaikan .............................................................. 174
6.12. Penetapan Prosedur Verifikasi ............................................................... 177
6.13. Dokumentasi dan Pencatatan .................................................................. 179
6.14. Hasil Pengujian Mikrobiologi pada Rendang ........................................ 180
BAB VII .............................................................................................................. 183
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 183
7.1. Kesimpulan ............................................................................................... 183
7.2. Saran ......................................................................................................... 183
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 185
LAMPIRAN ........................................................................................................ 195

xi
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Simbol yang digunakan dalam Diagram Alir 16


Tabel 2.2 Profil Patogen 19
Tabel 2.2 Matriks Penentuan Risiko Boevee 22
Tabel 3.1. Definisi Istilah 50
Tabel 5.1. Deskrispi Produk Rendang 66
Tabel 5.2. Tujuan Akhir Penggunaan Rendang 67
Tabel 5.3. Hasil Pengujian Mikrobiologi pada Daging Sapi 69
Tabel 5.4. Hasil Pengujian Fisik pada Daging Sapi 69
Tabel 5.5. Hasil Pengujian Mikrobiologi pada Bumbu Rendang 70
Tabel 5.6. Hasil Pengujian Mikrobiologi pada Santan 71
Tabel 5.7. Analisis Bahaya pada Bahan Baku Rendang 76
Tabel 5.8. Analisis Bahaya pada Proses Pengolahan Rendang 80

Tabel 5.9. Penetapan Titik Kendali Kritis pada Bahan Baku Daging, Bumbu, dan
Santan 88
Tabel 5.10 Penetapan Titik Kendali Kritis pada Proses Pengolahan
Rendang 92
Tabel 5.11. Penentuan Batas Kritis pada TKK Bahan Baku Rendang 95
Tabel 5.12. Penentuan Batas Kritis pada TKK Proses pengolahan
Rendang 96
Tabel 5.13. Pemantauan Batas Kritis pada Bahan Baku Rendang 98
Tabel 5.14. Pemantauan Batas Kritis pada Proses Pengolahan Rendang 100
Tabel 5.15. Tindakan Perbaikan pada Bahan Baku Rendang 103
Tabel 5.16. Tindakan Perbaikan pada Proses Pengolahan Rendang 105
Tabel 5.17. Prosedur Verifikasi pada Bahan Baku Rendang 108
Tabel 5.18. Prosedur Verifikasi pada Proses Pengolahan Rendang 110
Tabel 5.19. Pencatatan pada Bahan Baku Rendang 113
Tabel 5.20. Pencatatan pada Proses Pengolahan Rendang 115

xii
Tabel 5.27. Dokumentasi 118
Tabel 5.28. Hasil Pengujian Bakteri pada Rendang 119

xiii
DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Diagram Pohon Keputusan Penentuan CCP untuk Bahan Baku 24
Bagan 2.2 Diagram Pohon Keputusan Penentuan CCP untuk Proses
Pengolahan 25
Bagan 2.3. Kerangka Teori 47
Bagan 3.1 Kerangka Pikir 49
Bagan 5.1 Proses Pembuatan Rendang 68

xiv
DAFTAR GRAFIK

Grafik 6.1 Pertumbuhan Bakteri ALT pada Rendang 0 Jam, 12 Jam, dan

24 Jam 120

xv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Makanan serta minuman merupakan suatu kebutuhan pokok yang penting

bagi manusia. Makanan yang dibutuhkan tentu harus bernilai gizi baik serta

diperhatikan hygiene dan sanitasinya meliputi pengolahan makanannya,

kerbersihan penjamah makanan, serta bagaimana cara penyajian makanan tersebut.

Saat ini, tersedia berbagai pilihan makanan dan minuman di tempat-tempat umum

dengan kualitas yang bervariasi. Dapat dipastikan, dimana adanya aktivitas

manusia, bisa ditemukan penjual makanan. Makanan adalah salah satu bagian yang

penting untuk kesehatan manusia mengingat setiap saat dapat saja terjadi penyakit-

penyakit yang diakibatkan oleh makanan (Chandra, 2007). Makanan yang tidak

aman (unsafe) yang disebabkan oleh adanya zat asing yang membahayakan,

memberi dampak terhadap timbulnya berbagai penyakit yang ringan hingga yang

membahayakan (Febriana & Artanti, 2009).

Pangan yang aman dan sehat setara bermutu dan bergizi tinggi, sangat

penting peranannya bagi pertumbuhan, pemeliharaan, dan peningkatan derajat

kesehatan serta peningkatan kecerdasan masyarakat. Pangan yang tidak aman akan

mempengaruhi kesehatan manusia yang pada akhirnya menimbulkan masalah

terhadap status gizi. Kurangnya perhatian akan mengakibatkan terjadinya dampak

berupa penurunan kesehatan konsumennya, mulai dari keracunan makanan akibat

tidak higienisnya proses penyimpanan dan penyajian sampai risiko munculnya

penyakit kanker akibat penggunaan bahan tambahan (food additive) yang

berbahaya (Kementerian Kesehatan RI, 2015).

1
Berdasarkan laporan WHO, memperkirakan penyakit yang ditularkan

melalui makanan disebabkan oleh 31 agen berupa bakteri, virus, parasit, racun, dan

bahan kimia lainnya. Menyatakan bahwa setiap tahun sebanyak 600 juta atau

hampir 1 dari 10 orang di dunia jatuh sakit setelah mengkonsumsi makanan yang

terkontaminasi. Dari jumlah tersebut, 420.000 orang meninggal termasuk 125.000

anak dibawah usia 5 tahun. Penyakit diare bertanggung jawab lebih dari setengah

beban global penyakit melalui makanan menyebabkan 500 juta orang jatuh sakit

dan 230.000 kematian disetiap tahunnya. Anak-anak berada pada risiko penyakit

diare akibat makanan, dengan 220 juta jatuh sakit dan 96.000 meninggal setiap

tahun. Diare sering disebabkan oleh makanan mentah atau kurang matang seperti

daging, telur, produk segar, dan prosuk susu yang terkontaminasi oleh patogen

Escherichia coli dan Salmonella (WHO, 2015).

Data yang telah diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan

Tahun 2016, kasus diare tertinggi terdapat di wilayah pamulang dengan jumlah

penderita diare sebanyak 2977. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya

peningkatan KLB keracunan pangan maka penting untuk melakukan Hazard

Analysis Critical Control Point (HACCP) pada makanan.

Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) adalah suatu program

pengawasan, pengendalian, dan prosedur pengaturan yang dirancang untuk

menjaga agar makanan tidak tercemar sebelum disajikan. Penerapan HACCP tidak

berarti menghentikan pertumbuhan bakteri ke titik nol, melainkan

meminimalkannya ke tingkat yang dapat dianggap aman (Arisman, 2009). Konsep

HACCP merupakan suatu metode keamanan pangan yang ditujukan untuk

mengidentifikasi bahaya yang kemungkinan dapat terjadi pada setiap tahapan

2
proses pembuatan makanan, dan tindakan pengendalian untuk mencegah

munculnya bahaya tersebut (Mortimore & Wallace, 2004).

Saat ini banyak masyarakat yang bekerja jauh dari rumah dan mempunyai

mobilitas yang tinggi sehingga masyarakat jarang memasak makanan untuk

dikonsumsi dirumah. Oleh sebab itu, harus diperhatikan keamanan pangan agar

makanan tidak mudah terkontaminasi yang akan berdampak menjadi sumber

penyakit. Untuk mencegah hal tersebut, perlu melakukan Hazard Analysis Critical

Control Point (HACCP) dari proses pembelian bahan baku, pemasakan, sampai

dengan pendistribusiannya agar makanan tersebut aman dikonsumsi oleh

konsumen.

Salah satu icon terkenal makanan indonesia adalah rumah makan padang.

Ciri khas makanan dari rumah makan padang yaitu rendang daging. CNN

mengumumkan bahwa rendang khas Indonesia sebagai makanan nomor satu

terenak di dunia Tahun 2017 (Permata, 2017). (Nurmufida, Wangrimen, Reinalta,

& Leonardi, 2017) mengemukakan rendang, makanan tradisional yang diawetkan,

digunakan sebagai cadangan atau persediaan bagi wisatawan dalam perjalanan

panjang. (Baskoro, 2015) juga mengatakan bahwa rendang yang merupakan

makanan khas Padang, Sumatera Barat adalah salah satu makanan yang paling

aman dibawa untuk jarak jauh lantaran dapat bertahan lama.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan dari beberapa rumah makan padang di

wilayah Pamulang, didapatkan membuat rendang dengan jumlah antara satu sampai

tiga kilogram dalam sehari sehingga dapat dikonsumsi jangka waktu beberapa hari

atau dapat habis waktu satu hari tergantung dari banyaknya pembeli. Hal itu

dikarenakan, proses pembuatan rendang yang memakan waktu cukup lama.

3
Namun, hal tersebut dapat berisiko adanya kontaminasi pangan yaitu kontaminasi

bahaya biologi, fisik, dan kimiawi.

Memasak rendang dengan jumlah yang banyak dipastikan mengalami

penyimpanan yang cukup lama. Jika rendang disimpan dalam waktu lama dengan

suhu makanan yang tidak optimal maka akan memicu pertumbuhan bakteri maupun

jamur. Tidak hanya itu, rendang juga dapat berubah warna, bau, bentuk, serta rasa.

Hal tersebut dapat mengakibatkan timbulnya keracunan makanan dengan gejala

seperti diare, muntah-muntah, demam, dan sebagainya, serta rendang sudah tidak

layak untuk dikonsumsi. Sejalan dengan penelitian Prasafitra, Suada, & Swacita

tahun 2014, semakin lama masakan daging rendang tanpa pemasakan ulang

disimpan dalam suhu ruang, maka waktu reduktasenya semakin cepat sehingga

perkiraan beban bakterinya semakin banyak serta bau, tekstur dan rasa masakan

tersebut semakin cepat berubah ke arah yang buruk. Sama halnya dengan penelitian

(Murhadi, Fardiaz, S, & Satiawihardja, 1994), menunjukkan bahwa total mikroba

pada rendang meningkat secara perlahan dari 104 menjadi 106 (rumah makan besar)

dan dari 103 menjadi 107 koloni/gr (rumah makan sedang) setelah penyimpanan

satu sampai tiga hari.

Berdasarkan hal tersebut, maka penulis ingin melakukan penelitian

mengenai analisis bahaya dan titik kendali kritis (HACCP) rendang (studi kasus di

rumah makan padang X Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan) tahun

2017.

1.2. Rumusan Masalah

Makanan merupakan kebutuhan pokok yang diperlukan dalam kehidupan

sehari-hari. Seiring meningkatnya mobilitas masyarakat yang tinggi sehingga

4
jarang memasak makanan dirumah. Saat ini banyak rumah makan yang

menyediakan bermacam-macam jenis makanan. Salah satunya adalah rumah makan

padang. Makanan khas yang dibuat yaitu rendang daging. Dalam proses memasak,

rendang dimasak dengan waktu yang cukup lama sehingga membuatnya dalam

jumlah yang banyak. Karena hal tersebut, rendang juga disimpan dalam waktu yang

lama. Oleh sebab itu, harus diperhatikan keamanan pangan agar makanan yang

dikonsumsi tidak menjadi sumber penyakit. HACCP merupakan salah satu

pengendalian pangan untuk terhindarnya kontaminasi pada makanan sehingga tidak

menimbulkan KLB keracunan pangan. Hal itu akan mempengaruhi kesehatan

manusia yang pada akhirnya menimbulkan masalah terhadap status gizi.

Berdasarkan hal tersebut, maka penulis ingin melakukan penelitian mengenai

analisis bahaya dan titik kendali kritis (HACCP) rendang (studi kasus di rumah

makan padang X Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan) tahun 2017.

1.3. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana tim HACCP di Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang

Kota Tangerang Selatan?

2. Bagaimana deskripsi produk rendang di Rumah Makan Padang X Wilayah

Pamulang Kota Tangerang Selatan?

3. Bagaimana identifikasi tujuan akhir penggunaan produk rendang di Rumah

Makan Padang X Wilayah Pamulang Kota Tangerang Selatan?

4. Bagaimana menyusun alur proses pembuatan rendang di Rumah Makan

Padang X Wilayah Pamulang Kota Tangerang Selatan?

5. Bagaimana mengkonfirmasi alur proses pembuatan rendang di Rumah

Makan Padang X Wilayah Pamulang Kota Tangerang Selatan?

5
6. Bagaimana identifikasi analisis bahaya pada proses pembuatan rendang di

Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang Kota Tangerang Selatan?

7. Bagaimana menentukan titik kendali kritis (TKK) pada proses pembuatan

rendang di Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang Kota Tangerang

Selatan?

8. Bagaimana menentukan batas kritis untuk masing-masing TKK pada proses

pembuatan rendang di Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang Kota

Tangerang Selatan?

9. Bagaimana pemantauan batas kritis setiap TKK pada proses pembuatan

rendang di Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang Kota Tangerang

Selatan?

10. Bagaimana penetapan tindakan perbaikan pada proses pembuatan rendang

di Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang Kota Tangerang Selatan?

11. Bagaimana penetapan prosedur verifikasi pada proses pembuatan rendang

di Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang Kota Tangerang Selatan?

12. Bagaimana dokumentasi dan pencatatan proses pembuatan rendang di

Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang Kota Tangerang Selatan?

13. Bagaimana hasil pengujian mikrobiologi pada rendang di Rumah Makan

Padang X Wilayah Pamulang Kota Tangerang Selatan?

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui analisis bahaya dan titik kendali kritis (HACCP)

rendang (studi kasus di rumah makan padang X Kecamatan Pamulang Kota

Tangerang Selatan) tahun 2017.

6
1.4.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui tim HACCP di Rumah Makan Padang X Wilayah

Pamulang Kota Tangerang Selatan.

2. Untuk mengetahui deskripsi produk rendang di Rumah Makan Padang

X Wilayah Pamulang Kota Tangerang Selatan.

3. Untuk mengetahui identifikasi tujuan akhir penggunaan produk rendang

di Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang Kota Tangerang

Selatan.

4. Untuk mengetahui menyusun alur proses pembuatan rendang di Rumah

Makan Padang X Wilayah Pamulang Kota Tangerang Selatan.

5. Untuk mengetahui mengkonfirmasi alur proses pembuatan rendang di

Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang Kota Tangerang Selatan.

6. Untuk mengetahui identifikasi analisis bahaya pada proses pembuatan

rendang di Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang Kota

Tangerang Selatan.

7. Untuk mengetahui menentukan titik kendali kritis (TKK) pada proses

pembuatan rendang di Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang

Kota Tangerang Selatan.

8. Untuk mengetahui menentukan batas kritis untuk masing-masing TKK

pada proses pembuatan rendang di Rumah Makan Padang X Wilayah

Pamulang Kota Tangerang Selatan.

9. Untuk mengetahui pemantauan batas kritis setiap TKK pada proses

pembuatan rendang di Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang

Kota Tangerang Selatan.

7
10. Untuk mengetahui penetapan tindakan perbaikan pada proses

pembuatan rendang di Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang

Kota Tangerang Selatan.

11. Untuk mengetahui penetapan prosedur verifikasi pada proses

pembuatan rendang di Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang

Kota Tangerang Selatan

12. Untuk mengetahui dokumentasi dan pencatatan proses pembuatan

rendang di Rumah Makan Padang X Wilayah Pamulang Kota

Tangerang Selatan.

13. Untuk mengetahui hasil pengujian mikrobiologi pada rendang di Rumah

Makan Padang X Wilayah Pamulang Kota Tangerang Selatan.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Manfaat Bagi Pengusaha Rumah Makan Padang

Dengan dilakukannya penelitian ini, dapat membantu para pemilik

rumah makan padang untuk mengetahui titik kritis dan bahaya-bahaya apa saja

dalam proses pembuatan rendang sehingga dapat dilakukan pencegahan untuk

menghindari adanya kontaminasi dalam makanan.

1.5.2. Manfaat Bagi Universitas

Dapat menambah pengetahuan terkait HACCP proses pembuatan

rendang dari awal hingga akhir sehingga dapat mengetahui titik kritis dan

bahaya-bahaya yang berpotensi mencemari makanan rendang.

8
1.5.3. Manfaat Bagi Peneliti Selanjutnya

Dapat menjadi bahan pertimbangan untuk dilakukannya penelitian

selanjutnya sesuai dengan topik yang sama.

1.6. Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui analisis bahaya dan titik kendali

kritis (HACCP) rendang (studi kasus di rumah makan padang X Kecamatan

Pamulang Kota Tangerang Selatan) tahun 2017. Penelitian ini dilaksanakan dari

bulan Mei sampai Agustus 2017. Data penelitian ini merupakan data primer dan

data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan pengukuran, wawancara,

observasi, penilaian warna daging, serta uji laboratorium. Sedangkan data sekunder

diperoleh dari Dinas Kesehatan Tangerang Selatan. Penelitian ini merupakan jenis

penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus yang bertujuan untuk

mengetahui studi kasus HACCP makanan rendang di rumah makan padang X

Wilayah Pamulang Kota Tangerang. Teknik yang digunakan untuk pemilihan

informan menggunakan purposive sampling. Dalam penelitian ini hanya melihat

bahaya fisik dan mikrobiologinya saja dikarenakan bahaya fisik dapat dilihat secara

langsung saat proses pembuatan rendang, sedangkan bahaya mikrobiologi dapat

dengan cepat mengkontaminasi makanan jika suhu penyimpanan bahan baku dan

rendang tidak sesuai sehingga dapat terjadi pertumbuhan bakteri.

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Keamanan Pangan

Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk

mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang

dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Pangan

yang aman serta bermutu dan bergizi tinggi sangat penting peranannya bagi

pertumbuhan, pemeliharaan, dan peningkatan derajat kesehatan serta peningkatan

kecerdasan masyarakat (Saparinto & Hidayati, 2006).

Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012

tentang pangan, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan

untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain

yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia

serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat

sehingga aman untuk dikonsumsi.

Keamanan pangan melingkupi semua tahapan proses makanan mulai

penyiapan bahan baku, pengolahan, pengemasan, sampai penyajian kepada

konsumen harus terhindar dari bahaya. Keamanan pangan dapat berupa

pengendalian bahaya yang mengancam keamanan pangan harus diidentifikasi dan

dikenal di tiap titik atau tahapan. Misalnya, larangan penggunaan bahan makan

berbahaya, seperti borak dan formalin pada makanan atau minuman karena dapat

menimbulkan penyakit bagi konsumen (Anwar, 2010).

10
2.2. Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP)

2.2.1. Definisi HACCP

Analisis bahaya dan pengendalian titik kritis (Hazard Analysis and

Critical Control Points, HACCP) didefinisikan sebagai suatu pendekatan

ilmiah, rasional, dan sistematik untuk mengidentifikasi, menilai, dan

mengendalikan bahaya. Tujuan dari HACCP adalah untuk mencegah bahaya-

bahaya yang sudah diketahui (bahaya biologi, kimia, dan fisik) dan

mengurangi risiko terjadinya bahaya dengan melakukan pengendalian pada

setiap titik kritis dalam proses produksi (dari sejak tahap produksi bahan baku,

pengadaan dan penanganan bahan baku, pengolahan, distribusi hingga

konsumsi produk jadi). HACCP ini merupakan sebuah sistem jaminan

keamanan pangan dalam industri makanan yang sudah dikenal dan berlaku

secara internasional (Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016).

Konsep HACCP merupakan penggabungan dari prinsip mikrobiologis

makanan, pengawasan mutu, dan penilaian risiko untuk mencapai tingkat

keamanan setinggi mungkin. Meskipun begitu, penerapan HACCP tidak

berarti menghentikan pertumbuhan bakteri hingga ke titik nol, melainkan

meminimalkannya ke tingkat yang dapat dianggap aman. Sistem ini menilai

kendali atas mutu bahan mentah, sistem pengolahan, lingkungan tempat proses

dilangsungkan, orang-orang yang terlibat dalam proses, dan sistem

penyimpanan serta distribusi (Arisman, 2009).

2.2.2. Sejarah HACCP

Konsep HACCP dimulai pada awal tahun 1960-an oleh Pillsbury

Company bekerja sama dengan the National Aeronautic and Space

11
Administration (NASA) dan Laboratorium Angkatan Bersenjata Amerika

Serikat. Sistem ini didasarkan pada konsep teknis analisis kegagalan, cara, dan

analisis dampak (failure, mode and effect analysis, FMEA) yang mengkaji

potensi kesalahan yang mungkin muncul di setiap tahapan pelaksanaan, dan

penempatan mekanisme pengendalian yang efektif secara tepat. Konsep

tersebut kemudian diterapkan ke dalam sistem keamanan mikrobiologis di

hari-hari awal pelaksanaan program pesawat ulang-alik berawak AS untuk

menjamin keamanan makanan astronotnya guna meminimalkan risiko

terjadinya kejadian luar biasa (KLB) keracunan makanan di ruang angkasa.

Saat itu, sistem keamanan dan mutu makanan umumnya didasarkan pada

pengujian produk akhir. Akan tetapi, akibat keterbatasan teknik pengambilan

sampel dan pengujian, keamanan makanan sulit dijamin. Dengan demikian

tampak jelas bahwa ada suatu kebutuhan untuk mendatangkan sesuatu yang

lain, sebuah metode praktik dan pencegahan yang dapat memberi jaminan

keamanan makanan dalam tingkat yang lebih tinggi-sistem HACCP. Sistem

HACCP memang belum dipublikasikan sampai tahun 1970-an, tetapi sejak

mendapatkan pengakuan dunia internasional, penerapannya di dalam produksi

makanan yang aman telah diakui. Badan Kesehatan Dunia (WHO) sebagai

metode yang paling efektif untuk mengendalikan penyakit bawaan makanan

(foodborne disease) (Mortimore & Wallace, 2004).

2.2.3. Tahapan HACCP

Penyusunan HACCP umumnya dilakukan dalam 12 langkah atau tahap

yaitu (Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016):

12
Tahap 1 : Menyusun Tim HACCP

Tugas pertama dalam mengembangkan rencana HACCP adalah

mengumpulkan tim HACCP terdiri dari individu-individu yang memiliki

pengetahuan dan keahlian khusus sesuai dengan produk dan proses. Tim

mencakup dari berbagai bidang seperti teknik, produksi, sanitasi, penjamin

kualitas, dan mikrobiologi makanan. Tim juga memasukkan staf yang terlibat

dalam proses produksi. Tim HACCP mungkin memerlukan bantuan dari

bantuan dari pakar luar yang mempunyai pengetahuan tentang potensi bahaya

biologi, kimia, dan fisik terkait dalam proses maupun produk (Hui, Cornillon,

Lim, Murrell, & Nip, 2004). Industri ukuran kecil dan menengah jika tidak

mempunyai staf yang memenuhi syarat maka harus membayar bantuan

konsultan dari luar untuk menerapkan sistem ini (FDA, HACCP Principles &

Application Guidelines, 1997).

Tahap 2 : Deskripsi Produk Rendang

Untuk mendeskripsikan atau menjelaskan produk, maka sebelumnya

perlu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut tentang produk (Surono,

Sudibyo, & Waspodo, 2016):

 Nama produk

 Komposisi produk

 Bagaimana penggunaannya

 Jenis kemasan

 Masa simpan dan masa kedaluwarsa

 Dimana produk tersebut akan dijual

 Petunjuk yang diperlukan pada label

13
 Bagaimana produk didistribusikan

Tahap 3 : Identifikasi Tujuan Akhir Penggunaan Produk Rendang

Identifikasi tujuan penggunaan produk sangat penting untuk ditetapkan

sebelumnya, karena hal tersebut akan berkaitan dengan tingkat kerumitan

dalam penentuan jenis-bahaya dan batas kritis yang akan diidentifikasi lebih

lanjut (Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016). Setiap produk yang dikendalikan

melalui penerapan sistem HACCP terlebih dahulu harus ditentukan rencana

penggunaannya atau dengan kata lain harus diidentifikasi terlebih dahulu

sasaran konsumennya. Di dalam analisis risiko, tingkat bahaya suatu produk

akan berkaitan dengan sasaran konsumennya (Thaheer, 2005).

Tim HACCP perlu mengidentifikasi konsumen dan penggunaan

produk yang diinginkan. Penggunaan yang dimaksud harus didasarkan pada

penggunaan yang diharapkan oleh konsumen. Penggunaan dan persiapan

sebelum digunakan sangat mempengaruhi keamanan produk. Produk tertentu

mungkin terkontamiasi atau membawa organisme patogen sebagai bagian dari

flora alami. Jika pengolahannya tidak termasuk dalam langkah mematikan,

satu-satunya titik kontrol kritis yang dapat membuat produk menjadi aman

adalah perlakuan panas yang memadai selama persiapan. Konsumen yang

dimaksud bisa menjadi masyarakat umum atau segmen tertentu dari populasi

seperti bayi atau orang tua. Jika produk tersebut dijual ke rumah sakit atau

kelompok penduduk dengan kerentanan tinggi, dibutuhkan lebih keamanan

dan batasan kritis perlu lebih ketat (HACCP Europa Publication, 2012).

14
Tahap 4 : Menyusun Alur

Tim HACCP harus membuat dokumen yang akan digunakan berulang-

ulang dalam proses pengembangan rencana HACCP. Tim HACCP perlu

melihat secara dekat proses produksi dan membuat diagram alir yang

menunjukkan semua langkah yang digunakan untuk mengolah produk. Dalam

membuat diagram alir tidak perlu rumit dengan menggambarkan proses dari

penerimaan ke pengiriman. Untuk menemukan semua bahaya keamanan

pangan di dalam proses pembuatan, perlu mengetahui secara persis langkah-

langkah yang dilewati oleh produk tersebut. Tujuan diagram alir adalah

memberikan deskripsi sederhana yang jelas tentang semua langkah yang

terlibat dalam pemrosesan. Langkah penerimaan dan penyimpanan bahan baku

harus disertakan (HACCP Europa Publication, 2012). Bagan alir atau diagram

alir yang dibuat harus memuat semua tahapan di dalam operasional produksi

(Thaheer, 2005). Diagram alir proses harus mencakup data seperti (Mortimore

& Wallace, 2004):

 Rincian semua bahan mentah dan kemasan

 Semua kegiatan proses

 Kondisi penyimpanan

 Profil suhu dan waktu

 Transfer dalam dan antar-area produksi

 Gambaran desain/perlengkapan

15
Tabel 2.1 Simbol yang digunakan dalam diagram alir

Kegiatan Simbol Deskripsi


Langkah Perubahan fisik (mis., Pemotongan
daging), bahan kimia (misalnya,
pH), atau mikrobiologi (misalnya,
sterilisasi) dari bahan, pencampur
bahan atau pemisahan komponen
(mis., Pemisahan tulang dari
daging)
Inspeksi Langkah kontrol untuk mengecek
produk atau proses

Pengangkutan/transpor Perubahan lokasi tanpa adanya


perubahan pada produk itu sendiri

Menunda Penghentian sementara proses


sampai datangnya langkah
pemrosesan berikutnya. Penundaan
yang terkait dengan proses itu
sendiri (mis., Sterilisasi) tidak
ditunjukkan oleh simbol ini
Penyimpanan Menjaga produk dalam kondisi
permanen sesuai dengan produk untuk
meminimalkan kerusakan (mis.,
Penyimpanan gudang sebelum
pengiriman)
Langkah gabungan Kombinasi operasi dan inspeksi

Sumber : (Rahman, 1999)

Tahap 5 : Mengkonfirmasi Alur

Setelah tim HACCP menyelesaikan diagram alir, perlu diperiksa

ketepatannya. Bagan alir yang telah dibuat belum dapat dikatakan sama dengan

proses sebenarnya dilapangan, tetapi masih memerlukan evaluasi dan

kepastian melalui pengamatan langsung (Thaheer, 2005). Untuk

16
melakukannya, pastikan bahwa langkah-langkah yang tertera pada diagram

menggambarkan secara realistis apa yang terjadi selama proses produksi

(HACCP Europa Publication, 2012). Proses diagram alir yang lengkap kadang

tidak memerlukan modifikasi setelah menjalani pembuktian di tempat

produksi, karenanya penting untuk melakukan hal tersebut sebelum masuk ke

tahap analisis bahaya (Mortimore & Wallace, 2004).

Tahap 6 : Identifikasi Analisis Bahaya

Analisis bahaya merupakan bagian dari kajian HACCP, yaitu tim

mengamati setiap langkah dalam proses, mengidentifikasi bahaya yang

kemungkinan ada, mengevaluasi signifikansinya, dan memastikan bahwa

tindakan yang tepat untuk pengendaliannya memang sudah siap tersedia

(Mortimore & Wallace, 2004). Bahaya dapat berupa kontaminan biologis,

kimiawi, maupun fisik. Bahaya ini dapat berasal dari bahan mentah, kemasan,

proses, dan penanganan yang berlangsung dalam rantai makanan ataupun dari

lingkungan. Bahaya-bahaya tersebut dapat menimbulkan kondisi risiko

gangguan kesehatan kepada konsumen (Hui, et al., 2004). Dalam analisis

bahaya tersebut harus diidentifikasi dan dicatat hal-hal sebagai berikut

(Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016):

 Bahaya aktual dan potensial yang terkait dengan setiap tahapan dalam

proses.

 Potensi sumber bahaya (bahaya biologis, kimia, dan fisik) pada setiap

tahapan proses. Apakah tahapan proses tertentu dapat menimbulkan

potensi bahaya, atau meningkatkan potensi bahaya. Misalnya, berasal dari

peralatan yang kurang bersih.

17
 Potensi sumber bahaya (bahaya biologis, kimia, dan fisik) pada setiap

bahan (bahan baku, bahan tambahan, bahan pembantu) yang digunakan.

 Tingkat kemungkinan terjadinya bahaya, misalnya sangat mungkin terjadi,

bisa terjadi, jarang terjadi, sangat jarang terjadi.

 Tingkat keparahan bahaya (efek kesehatan), apabila ancaman bahaya

tersebut terjadi.

 Rincian bahaya-bahaya yang dapat mendukung kelangsungan hidup atau

perbanyakan organisme atau terbentuknya toksin tertentu pada setiap

tahapan proses.

 Kondisi-kondisi tertentu yang dapat menyebabkan kontaminasi atau

pembentukan senyawan kimia berbahaya.

 Langkah-langkah pengendalian apa saja yang dapat dilakukan untuk

mencegah atau mengurangi bahaya ke tingkat yang dianggap aman.

Secara garis besar bahaya utama dalam makanan dibagi menjadi 3

kelompok yaitu:

1. Bahaya biologis

Bahaya biologi muncul dalam bentuk mikroorganisme patogen yang

dapat memberikan pengaruh baik langsung, akibat tumbuh dalam atau

mengontaminasi makanan yang kemudian tertelan (infeksi bawaan

makanan), maupun tidak langsung, akibat produksi racun (keracunan

makanan). Mikrooganisme memiliki kebutuhan dasar yang berhubuangan

dengan suhu optimum pertumbuhan, kelembapan, pH, dan sumber

makanan (Mortimore & Wallace, 2004).

18
Tabel 2.2 Profil Patogen

Organisme Sumber Makanan Terkait Karakteristik


Pertumbuhan Optimum
Bacillus cereus Tanah, sereal, debu, Bumbu, bahan- Aerob
tumbuhan, rambut bahan sereal 30 - 40℃
hewan, air tawar, dan pH 6,0 – 7,0
sedimen aw 0,995
Campylobacter Usus hewan Unggas, daging, air Mikroaerofilik
jejuni yang tidak diolah, 42 - 43℃
dan susu yang tidak pH 6,5 – 7,5
di pasterisasi dengan aw 0,997
baik
Clostridium Spora ditemukan di Dapat muncul dalam Anaerob obligat
botulinum tanah, pantai, usus semua makanan 25 - 30℃
ikan dan hewan, serta pH 7,0
sedimen danau dan aw 0,99 – 0,995
laut
Clotridium Tanah, debu, Makanan mentah, Aerob
perfringens tumbuhan, usus yang dikeringkan, 43 - 47℃
hewan dan manusia dan makanan matang pH 7,2
aw 0,995
Listeria Tanah, silase pakan Semua lingkungan Aerob fakultatif
monocytogenes ternak, tinja hewan pengolahan makanan 37℃
dan manusia, air pH 6,0 – 7,0
kotor aw 0,995
E. coli O157:H7 Usus halus Daging sapi matang, Aerob fakultatif
susu mentah, produk 30 - 40℃
mentah, jus buah pH 6,0 – 7,0
yang terinfeksi aw 0,995
Salmonella spp. Usus manusia dan Daging babi, unggas, Aerob fakultatif
hewan, air kotor telur, susu mentah, 35 - 43℃
air, kerang pH 7,0 – 7,5
aw 0,99
Shigella spp. Tangan tercemar Air, susu, salad, Aerob
tinja, lalat kentang olahan, nasi, 35 - 43℃
hamburger pH 5,5 – 7,5
Staphylococcus Membran mukosa Semua makanan Anaerob
aureus dan kulit hewan matang 37℃
berdarah panas dan pH 6,0 – 7,0
manusia aw 0,98

19
Organisme Sumber Makanan Terkait Karakteristik
Pertumbuhan Optimum
Vibrio Laut berperairan Kerang dan ikan Aerob
parahaemolyticus hangat 37℃
pH 7,8 – 8,6
aw 0,981
Aspergillus Lingkungan Kacang tanah, biji- 33℃
(aflatoksin) bijian mengandung pH 5,0 – 8,0
minyak aw 0,98 - > 0,99
Virus (mis., Penjamah makanan Kerang dua Virus tidak tumbuh dalam
Norwalk, yang terinfeksi, air cangkang transfer makanan
Hepatitis A kotor, air yang pasif ke makanan
Enterovirus) tercemar siap santan
Sumber : (Mortimore & Wallace, 2004)

2. Bahaya kimia

Bahaya kimia adalah bahaya yang timbul secara kimiawi yang dapat

mengancam kesehatan dan keselamatan manusia. Kontaminasi zat kimia

pada bahan makanan dapat terjadi melalui bahan-bahan, saat produksi atau

selama distribusi/penyimpanan, dan damaknya pada konsumen bisa berupa

jangka panjang (mis., karsinogenik), jangka pendek (mis., reaksi alergi).

Tim HACCP perlu mengkaji ulang setiap zat kimia toksik yang ada pada

bangunan juga mempertimbangkan semua kontaminan potensial dalam

bahan mentah dan kemasan. Berikut ini contoh kontaminasi zat kimia

(Mortimore & Wallace, 2004).

- Bahan mentah : pestisida/herbisida, racun (alami atau dihasilkan oleh

mikroba), alergen, antibiotik, residu hormon, logam berat.

- Proses : agens pembersih, pelumas, zat pendingin, zat kimia pengendali

hama, toksin, alergen.

- Kemasan : bahan plastik dan zat aditif, tinta, zat perekat, peluruhan

logam dari kaleng.

20
3. Bahaya fisik

Bahaya fisik pada makanan adalah adanya benda yang

keberadaannya dalam makanan dapat mencelakakan konsumen, seperti

misalnya dapat melukai mulut, gigi, saluran pernafasan, saluran

pencernaan, atau bahkan yang dapat melukai anggota badan (tangan)

konsumennya (Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016). Bahaya fisik

merupakan zat atau benda asing yang dapat mengontaminasi bahan

makanan kapan saja selama berlangsungnya produksi. Zat asing dapat

dipandang sebagai bahaya pada keamanan makanan jika zat tersebut masuk

dalam kategori berikut (Mortimore & Wallace, 2004):

 Sesuatu yang tajam dan menyebabkan nyeri dan cedera, mis., serpihan

kayu, pecahan gelas.

 Sesuatu yang dapat menyebabkan kerusakan gigi yang parah, mis.,

logam, batu.

 Sesuatu yang dapat menyebabkan tersedak, mis., tulang atau plastik.

Alasan lain untuk mengatasi kontaminasi zat asing adalah bahwa zat

itu dapat bertindak sebagai sarana untuk kontaminasi silang mikrobiologi.

Contohnya adalah keberadaan lalat dalam kue krim yang baru matang.

Disini bahaya muncul akibat perpindahan mikroorganisme patogen dari

lalat ke dalam kue, bukan lalat itu sendiri yang menjadi bahaya (Mortimore

& Wallace, 2004).

Mengenai kategori benda berbahaya FSIS (Food Safety and

Inspection Service) FDA 1995 dalam (Surono, Sudibyo, & Waspodo,

2016) membuat kesimpulan bahwa (Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016):

21
 Benda keras dan tajam berukuran panjang 7 – 25 mm adalah

berbahaya.

 Benda keras dan tajam berukuran < 7 atau > 25 mm berbahaya untuk

kelompok konsumen tertentu.

 Potongan tulang atau duri dengan ukuran < 1 cm tidak berbahaya.

 Potongan tulang atau duri 1 – 2 cm berisiko rendah

 Potongan tulang atau duri > 2 cm berpotensi bahaya dan dapat

melukai.

Analisis Risiko

Analisa potensi bahaya secara kualitatif dilakukan dengan

mengkombinasikan antara peluang (probability) dan keakutan/keparahan

(severity). Bahaya potensial yang memiliki resiko tinggi harus/wajib

dilakukan tindakan koreksi, sedangkan tindakan pencegahan pada bahaya

potensial dengan resiko menengah. Berikut ini adalah penilaian risiko dengan

menggunakan matriks risiko boevee (Thaheer, 2005).

Tabel 2.3 Matriks Penentuan Risiko Boevee

Tingkat Tingkat Kemungkinan Terjadi (Probability)


Keparahan
Tidak terjadi Kadang terjadi Sering terjadi Pasti terjadi
(Severity) (1) (2) (3) (4)
Sangat tinggi (4) 4 8 12 16
Tinggi (3) 3 6 9 12
Sedang (2) 2 4 6 8
Rendah (1) 1 2 3 4
Sumber : Dimodifikasi (Thaheer, 2005)

22
Tahap 7 : Menentukan Titik Kendali Kritis (TKK)

Tahap selanjutnya adalah mengidentifikasi titik-titik atau tahapan-

tahapan proses mana saja yang dapat dikontrol guna mencegah,

menghilangkan, atau mengurangi terjadinya bahaya-bahaya tersebut, sehingga

dihasilkan produk yang aman. Dari hasil identifikasi ini, maka akan didapatkan

apa yang disebut Titik Kendali Kritis atau Critical Control Point (CCP). CCP

dapat didefinisikan sebagai titik, atau tahapan atau prosedur dalam pengolahan

makanan yang dapat dikendalikan sehingga bahaya dapat dicegah atau

diturunkan pada tingkat yang dianggap aman. Untuk menetapkan apakah suatu

tahapan proses dapat dikategorikan sebagai titik kritis atau bukan, maka

digunakan Bagan Logika atau Pohon Keputusan (Decision Tree) sebagai

berikut (Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016):

23
P1 Apakah terdapat bahaya dalam bahan baku yang akan digunakan?

Ya Tidak Bukan CCP

Apakah dalam proses atau konsumen dapat menghilangkan bahaya


P2
dari produk?

Ya Tidak CCP

Apakah terdapat risiko kontaminasi silang terhadap fasilitas atau


P3
produk lain yang tidak dikendalikan?

Tidak Ya CCP

Bukan CCP

Bagan 2.1 Diagram Pohon Keputusan Penentuan CCP untuk Bahan Baku
Sumber : (Fardiaz, 1996)

24
P1 Apakah ada tindakan pencegahan untuk mengendalikan?

Ya Tidak Lakukan modifikasi tahapan dalam proses


atau rendang

Apakah perlu pencegahan pada tahap ini Ya


untuk keamanan pangan?

Tidak Bukan CCP Berhenti

Apakah tahapan dirancang khusus untuk menghilangkan atau mengurangi


P2
bahaya sampai batas aman?

Tidak Ya CCP

P3 Apakah kontaminasi bahaya dapat meningkat sampai batas aman?

Ya Tidak Bukan CCP Berhenti

Apakah tahapan berikutnya dapat menghilangkan atau mengurangi bahaya


P4 sampai batas aman?

Ya Tidak CCP

Bukan CCP

Berhenti

Bagan 2.2 Diagram Pohon Keputusan Penentuan CCP untuk Proses Pengolahan
Sumber: (Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016)

25
Tahap 8 : Menentukan Batas Kritis untuk Masing-Masing TKK

Batas kritis adalah nilai maksimum atau nilai minimum bahaya biologi,

kimia, atau fisik yang teridentifikasi yang harus dikendalikan pada titik kritis

untuk mencegah, menghilangkan, atau mengurangi bahaya ke tingkat yang

dianggap aman. Setiap CCP akan memiliki satu atau lebih tindakan

pencegahan yang harus dikontrol dengan baik untuk memastikan pencegahan,

penghapusan, atau pengurangan bahaya ke tingkat yang dapat diterima. Agar

efektif setiap batas kritis harus (Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016):

1. Berdasarkan informasi yang telah terbukti. Sumber informasi tentang batas

kritis dapat diperoleh dari berbagai sumber, misalnya, peraturan

pemerintah, literatur ilmiah, dan konsultasi dengan para ahli.

2. Ukuran batas kritis biasanya adalah kombinasi dari faktor-faktor yang

dapat diukur pada saat proses produksi berjalan, yaitu seperti paparan suhu

dan waktu pada proses sterilisasi, pH, ukuran benda fisik dan sebagainya.

3. Nilai batas kritis harus memenuhi persyaratan peraturan pemerintah dan

atau standar perusahaan yang didukung dengan data ilmiah analisis risiko

(misalnya persyaratan suhu dan waktu untuk proses termal seperti

pasterisasi, memasak, dan sebagainya).

Tahap 9 : Pemantauan Batas Kritis Setiap TKK

Metode monitoring atau pemantauan batas kritis harus berbasis ilmiah

dan menggunakan peralatan yang selalu dikalibrasi secara rutin, sehingga

memberikan data pengamatan yang handal dan dapat dipertanggung-

jawabkan. Setiap sistem pemantauan harus ditetapkan dalam prosedur standar

dan data pemantauan CCP harus dicatat dan didokumentasikan secara rutin.

26
Dokumen sistem pemantauan CCP harus menjelaskan (Surono, Sudibyo, &

Waspodo, 2016):

 Apa yang harus dipantau

 Bagaimana cara mengamati

 Dimana dilakukan pemantauan

 Kapan dilakukan pemantauan

 Siapa yang bertanggung jawab dalam pemantauan

Pemantauan merupakan tindakan untuk menjalankan pemeriksaan dan

observasi untuk memastikan bahwa proses memang terkendali. Pembentukan

prosedur pemantauan melibatkan sejumlah unsur, sebagai berikut (Mortimore

& Wallace, 2004):

1. Peralatan dan metode

Kriteria yang digunakan dapat mencakup, dan karenanya membutuhkan,

pengukuran terhadap:

 Parameter fisik, seperti suhu, waktu, dan tingkat kelembaban. Jenis

pengukuran fisik lainnya yang mencakup pemeriksaan jalannya

pendeteksian logam, magnet, deteksi sinar-X, dan inspeksi ayakan dan

saringan.

 Pemeriksaan kimiawi, seperti analisis klorin, pH, dan aw. Jenis uji

kimia lain dapat mencakup analisis residu pestisida, uji residu alergen,

atau analisis logam berat.

 Uji sensorik, seperti penampakan visual dan tekstur. Meskipun uji

semacam ini sering dikaitkan dengan kriteria mutu, pemantauan

penampakan visual dapat diterapkan pada CCP benda asing, dan tekstur

27
mungkin sangat menentukan untuk penetrasi panas yang efektif, seperti

dalam produk kalengan.

Uji mikrobiologis tidak biasa digunakan untuk pemantauan karena

hasilnya tidak dapat langsung digunakan untuk pemantauan karena

hasilnya tidak dapat langsung tersedia. Hasil langsung pada saat itu lebih

diutamakan supaya tindakan perbaikan dapat segera dilakukan.

2. Penetapan frekuensi

Frekuensi pemantauan bergantung pada jenis CCP dan perlu dipandang

sebagai bagian dari sistem pengendalian. Contoh: pemantauan asiditas

dapat dilakukan dengan mengukur pH setiap kumpulan produk yang

dihasilkan.

3. Manusia

Karyawan yang ditugaskan harus:

 Sudah terbiasa dengan prosesnya

 Terlatih dalam teknik pemantauan

 Terlatih dalam kesadaran akan HACCP

 Tidak bias dalam pemantauan dan pelaporan

 Terlatih dalam prosedur tindakan perbaikan

4. Pencatatan

Hasil aktivasi pemantauan harus dicatat oleh pemantau CCP. Buku laporan

harian yang digunakan untuk mendokumentasikan semua pengujian harus

memuat informasi yang benar untuk memastikan bahwa CCP memang

terkendali, dan catatan itu harus ditelaah secara teratur dan disimpulkan

28
oleh pihak terlatih yang berwenang. Catatan pemantauan CCP dapat

disimpan sebagai bagian dari buku laporan harian produksi umum.

Tahap 10 : Penetapan Tindakan Perbaikan

Adakalanya suatu tahapan proses tertentu yang kritis ternyata tidak

dalam pengendalian yang memadai sehingga produk yang dihasilkan tidak

dapat dinyatakan aman. Untuk mengantisipasi kerjadian yang tidak

dikehendaki tersebut, maka harus dibuatkan prosedur tindakan perbaikan

(corrective action). Tindakan perbaikan harus mencakup hal-hal sebagai

berikut:

1. Menentukan penempatan dan perlakuan khusus terhadap produk yang

tidak memenuhi syarat agar tidak bercampur dengan produk yang normal.

2. Memperbaiki penyebab kesalahan untuk mencegah terjadinya kembali.

3. Memastikan bahwa setelah tindakan perbaikan CCP benar-benar terkendali

(dengan memeriksa kembali bahwa proses atau produk pada CCP tersebut

memenuhi syarat batas kritis)

4. Membuat catatan seluruh tindakan perbaikan yang dikerjakan.

Tahap 11 : Penetapan Prosedur Verifikasi

Penerapan prinsip 6 dapat dicapai melalui sejumlah aktivitas yang

secara umum tercakup dalam dua kategori, yaitu validasi dan verifikasi

(Mortimore & Wallace, 2004).

1. Validasi

Di dalam validasi, perlu meninjau ulang semua prinsip HACCP untuk

memastikan bahwa kriteria pengendalian telah diterapkan dengan benar

guna memastikan bahwa semua bahaya yang signifikan dapat

29
dikendalikan. Validasi merupakan sebuah pemastian bahwa tindakan

pengendalian dan batasan kritis akan mengendalikan bahaya yang

teridentifikasi, yaitu bahwa informasi dalam rancangan HACCP secara

efektif akan mengatur keamanan makanan.

2. Verifikasi

Verifikasi adalah pemastian bahwa tindakan pengendalian telah dilakukan

selama proses, biasanya begitu rancangan HACCP telah diterapkan.

Berbeda dengan tindakan pemantauan atau monitoring, verifikasi

merupakan tindakan untuk memastikan bahwa seluruh prosedur dalam

rancangan HACCP telah dijalankan dengan benar, memastikan setiap

tahapan kritis dalam proses produksi telah benar-benar terkendali,

memenuhi standar kritis yang telah ditetapkan dan memastikan bahwa

tujuan menghasilkan produk yang aman sudah tercapai (Surono, Sudibyo,

& Waspodo, 2016). Contoh : catatan membenarkan bahwa kue keju

dipanggang selama 55 menit pada suhu 144℃.

Kegiatan verifikasi mencakup audit terhadap sistem HACCP, serta

peninjauan dan analisis data seperti catatan CCP untuk memastikan

ketaatan terhadap program, pengambilan sampel dan pengujian produk

secara mikrobiologis dan kimiawi, pengkajian laporan keluhan konsumen

dan kalibrasi peralatan.

 Audit secara teratur

Audit merupakan suatu kegiatan pokok yang harus mencakup inspeksi

terhadap laporan produksi, penyimpangan, tindakan yang dilakukan

serta pengkajian terhadap pelaksanaan dan prosedur yang digunakan

30
untuk mengendalikan CCP. Jika audit internal diselenggarakan–audit

dilakukan oleh usaha itu sendiri – penting kiranya audit dilaksanakan

oleh karyawan yang tidak terlibat dalam kajian HACCP ini atau tidak

terlibat dalam manajemen harian rancangan HACCP karena orang yang

tidak berhubungan dengan proses tersebut pendekatannya lebih

objektif. Audit eksternal juga merupakan kegiatan verifikasi dan

kemungkinan dapat dilakukan oleh konsumen, peninjau dari

pemerintah atau pihak ketiga yang dipekerjakan baik oleh konsumen

maupun oleh usaha itu sendiri. Audit secara teratur menghasilkan bukti

bahwa rancangan HACCP tetap berjalan dengan efektif. Manfaat

dilakukannya audit terhadap sistem HACCP antara lain.

- Kesinambungan kepercayaan terhadap keefektifan sistem dan

kesadaran akan manajemen keamanan makanan.

- Perbaikan sistem melalui identifikasi area yang lemah.

- Pemberian bukti terdokumentasi bahwa keamanan makanan telah

terkelola.

 Analisis data

Kegiatan ini memastikan bahwa rancangan HACCP tetap berjalan

dengan efektif, tren yang terbentuk dapat dianalisis dan tindakan

perbaikan dapat dilaksanakan. Mengingat adanya kebutuhan akan

praktik higiene yang baik yang menjadi prasyarat, catatan tersebut juga

harus dikaji di tempat asalnya. Jenis data yang perlu dikaji secara

teratur sangat beragam dan mungkin meliputi:

31
a. HACCP : buku laporan harian HACCP, hasil uji, bagan kendali

proses, laporan audit HACCP, dan keluhan konsumen.

b. Prasyarat : laporan kontrol hama, register kaca, laporan audit rumah

tangga atau higiene.

Tahap 12 : Dokumentasi dan Pencatatan

Sistem HACCP harus didokumentasikan dan catatan dipelihara untuk

menunjukkan bahwa sistem itu memang disusun dengan tepat dan berfungsi

dengan benar. Jenis data yang akan disimpan meliputi (Mortimore & Wallace,

2004):

 Rancangan HACCP, yang sedikitnya mencakup diagram alir proses dan

kendali HACCP, bersamaan dengan informasi penunjang (mis,. Analisis

bahaya, rincian tim HACCP, deskripsi produk).

 Riwayat perbaikan minor pada rancangan HACCP, yang memperlihatkan

setiap perubahan yang dilakukan.

 Catatan pemantauan CCP.

 Catatan produk yang ditahan/diulang/ditarik yang dibuat saat menangani

penyimpangan.

 Catatan pelatihan yang membuktikan bahwa karyawan yang terlibat dalam

penerapan sistem HACCP telah dilatih untuk melakukan hal itu.

 Catatan audit

 Catatan kalibrasi

Sesuai dengan prinsip-prinsip HACCP, maka dokumentasi sistem

HACCP harus mencakup dokumentasi mengenai prosedur dan tindakan yang

32
berkaitan dengan prinsip 1 sampai dengan prinsip 7, yaitu sebagai berikut

(Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016):

Dokumentasi HACCP

(1) Informasi Proses dan Produk

1.1. Deskripsi Produk

1.2. Bagan Alir Proses

1.3. Program Prasyarat

(2) HACCP

2.1. Deskripsi Bahan Baku

2.2. Deskripsi Bahan Pembantu

2.3. Deskripsi Produk Jadi

2.4. Penggunaan Produk

2.5. Identifikasi Bahaya Biologi, Kimia, dan

Fisik

2.6. Identifikasi Critical Control Points

2.7. Bahaya yang Tidak Terkontrol

2.8. Tabel HACCP

Dari ke 12 tahap tersebut, lima tahapan pertama merupakan tahap persiapan

penyusunan HACCP sedangkan tujuh tahapan selanjutnya (yaitu tahapan enam

sampai dengan tahapan 12) yang merupakan untuk dari kerangka HACCP.

Penelitian yang dilakukan oleh (Surahman & Ekafitri, 2014), hasil kajian

HACCP terhadap produksi sari buah jambu biji di Pilot Sari Buah B2PTTG

menunjukkan bahwa yang ditetapkan sebagai CCP adalah proses sortasi, pencucian,

33
sterilisasi dan pengisian. Oleh karena itu harus dilakukan penanganan bahan baku

yang baik, kontrol kebersihan operator, penggunaan air yang sesuai dengan

persyaratan, dan memastikan kecukupan panas saat sterilisasi sari buah. Sedangkan

penelitian (Goulding & Mansur, 2014), menunjukkan bahwa penerapan prinsip

HACCP di Restoran Tomoto Surabaya masih kurang maksimal. Tingkat

penyimpangan pada penerapan HACCP paling sering terjadi pada tahap awal yaitu

penetapan bahaya dan risiko. Implementasi penerapan HACCP di Restoran Tomoto

Surabaya hanya melalui 4 tahap yaitu penetapan bahaya dan risiko, penetapan CCP,

penetapan batas kritis, dan pemantauan CCP. 3 tahap yang lain yaitu penetapan

tindakan perbaikan, penetapan prosedur verifikasi dan penetapan dokumentasi atau

rekaman masih belum dapat dijalankan.

2.3. Perilaku

Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan,

yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung (Sunaryo, 2004).

Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan

wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari,

atau bulan yang lalu. Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung yakni

dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden. Berikut ini merupakan

tingkatan praktik (Notoatmodjo, 2007):

1. Persepsi

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan

yang akan diambil.

34
2. Respon terpimpin

Dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar sesuai dengan

contoh.

3. Mekanisme

Apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara

otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan.

4. Adaptasi

Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang

dengan baik. Artinya, tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa

mengurangi kebenaran tindakannya tersebut.

2.3.1. Personal Hygiene Penjamah Makanan

Kebersihan perorangan merupakan langkah awal untuk tetap sehat.

Orang-orang yang bekerja pada tahapan pengolahan makanan harus memenuhi

persyaratan sanitasi, seperti kesehatan dan kebersihan individu, tidak

menderita penyakit infeksi, bukan karier dari suatu penyakit. Untuk personil

yang menyajikan makanan harus memenuhi syarat-syarat seperti kebersihan

dan kerapian, memiliki etika dan sopan santun, penampilan yang baik dan cara

membawa makanan dengan teknik khusus, serta pemeriksaan kesehatan

berkala setiap enam bulan atau satu tahun (Chandra, Ilmu Kedokteran

Pencegahan dan Komunitas, 2009). Berikut ini pedoman kebersihan

perorangan yaitu (Arisman, 2009):

 Menjaga kebersihan tangan. Jika perlu, membasuh tangan dengan air

hangat bersabun sesering mungkin. Keringkan dengan kertas tisu sekali

pakai atau mesin pengering (air drayer).

35
 Selalu membasuh tangan setelah menggunakan toilet, sebelum

memegang bahan mentah, setelah bersin, batuk, atau mengeluarkan

kotoran dari hidung. Selain itu, setelah makan, merokok, minum,

mengusap muka, membelai janggut, atau rambut. Penjamah makanan

harus mencuci tangan setelah melakukan kegiatan apapun yang

diperkirakan berpotensi mencemari.

 Memotong dan menjaga kebersihan kuku.

 Mengenakan pakaian dan celemek yang bersih.

 Memakai penutup kepala yang bersih dan rambut jangan dibiarkan

tergerai. Kumis dan janggut pun harus dipangkas.

 Tidak makan dan merokok ketika bekerja.

 Tidak mengenakan cincin.

 Menggunakan perkakas atau sarung tangan plastik ketika menyentuh

makanan (jangan mengaduk adonan dengan tangan).

 Meliburkan diri atau segera pulang ketika merasa sakit.

Penelitian yang dilakukan oleh (Kurniadi, Saam, & Afandi, 2013),

kontaminasi Escherichia coli bagi tenaga penjamah yang tidak memenuhi

syarat 73,3% dimana hasil uji statistik di dapatkan p = 0,029. Hal itu

menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tenaga

penjamah dengan kontamasi Escherichia coli pada makanan jajanan. Dalam

penelitian (Yunus, Umboh, & Pinontoan, 2015), ada hubungan yang signifikan

antara personal higiene dengan kontaminasi Escherichia coli pada makanan (p

= 0,002). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 25,200, artinya personal

higiene penjamah makanan yang tidak baik mempunyai peluang 25,200 kali

36
untuk terjadinya kontaminasi Escherichia coli pada makanan. Namun

sebaliknya, pada penelitian (Lestari, Nurjazuli, & D, 2015) tidak ada hubungan

antara higiene penjamah dengan keberadaan bakteri Escherichia coli pada

minuman jus buah yang diperoleh nilai p = 0,848.

Pada penelitian (Pratiwi, 2014), praktik mencuci tangan memakai

sabun dengan kandungan Escherichia coli pada sambal yang disediakan

terdapat hubungan yang signifikan dengan p value sebesar 0,008. Sebaliknya,

tidak terdapat hubungan kebersihan diri penjamah dengan kandungan

Escherichia coli pada sambal yang disediakan (p = 0,063) dan tidak ada

hubungan penggunaan alat ketika mengambil makanan dengan kandungan

Escherichia coli pada sambal yang disediakan dengan p = 1,000.

2.4. Rendang

Rendang merupakan salah satu masakan dari Kota Padang, Sumatera Barat.

Masakan ini sudah ada sejak abad ke-8. Kultur orang Padang yang suka merantau

sering kali membawa rendang sebagai makanan bekal di perjalanan. Kondisi inilah

yang membuat rendang semakin cepat tersebar ke daerah di luar Kota Padang.

Berdasarkan asal katanya, rendang berasal dari kata ‘randang’ dalam bahasa Padang

yang artinya ‘pelan’. Hal ini merujuk pada proses pembuatan rendang yang

memerlukan waktu yang lama. Rendang biasanya terbuat dari daging sapi yang

dimasak dengan santan dan bermacam-macam bumbu. Dalam perkembangannya,

rendang tidak hanya terbuat dari daging sapi namun dapat menggunakan daging

kambing, daging ayam, udang, ikan, bahkan telur, dan sayuran seperti kentang.

Nama masakan rendang biasanya mengacu dari bahan utamanya, seperti rendang

37
daging, rendang ayam, rendang telur, dan rendang kentang (Sutomo, Rendang:

Juara Masakan Terlezat Sedunia, 2012).

2.4.1. Bahan-bahan Rendang

1. Daging

Daging adalah bagian otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak, dan

lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging segar

dingin, atau daging beku (SNI 3932:2008).

Penelitian (Sugiyoto, Adhianto, & Wanniatie, 2015), menunjukkan bahwa

pedagang daging sapi di pasar tradisional di Bandar Lampung 17,65%

memiliki kandungan Total Place Count (TPC), 58,82% Coliform, dan

35,29% Salmonella.

2. Santan

Santan merupakan emulsi lemak dalam air yang diperoleh dari daging

kelapa segar. Kepekatan santan yang diperoleh tergantung pada ketuaan

kelapa dan jumlah air yang ditambahkan (Fachruddin, 1997).

Penelitian yang dilakukan oleh (Suharyono, Erna, & Kurniadi, 2009), total

mikroba krem santan yang paling rendah yaitu 6,6 x 108 CFU/ml dengan

Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3816/2005) total mikroba pada santan

kelapa adalah 1x105 CFU/ml. Total mikroba pada krem santan kelapa

berada diatas batas maksimal.

3. Cabai Merah

Cabai merah mengandung kapsaisin yang memberi rasa pedas dan hangat

saat digunakan sebagai rempah (bumbu dapur) serta berkhasiat sebagai

penambah nafsu makan dan obat pengurang rasa sakit. Kapasaisin bersifat

38
anti koagulan sehingga bisa mencegah seseorang terserang stroke dan

jantung koroner. Kapsaisin juga mampu merangsang produksi hormon

endorfin sehingga bisa membangkitkan sensasi kenikmatan. Seperti

diketahui, hormon endorfin berperan dalam mengurangi rasa sakit

(Suyanti, 2014).

Penelitian (Musliati, Fifendy, & Periadnadi, 2013) menunjukkan bahwa

cabai merah giling yang dijual dari beberapa pasar tradisional umumnya

tidak layak dikonsumsi karena mengandung bakteri Coliform.

4. Daun Jeruk Purut

Daun jeruk purut mengandung tannin 1,8%, steroid triterpenoid, dan

minyak atsiri 1 – 1,5% v/b. Daunnya berkhasiat sebagai stimulant dan

penyegar. Digunakan untuk mengatasi badan letih dan lemah sehabis sakit

berat (Dalimartha, 2015).

Pada penelitian (Yulliani, Indrayudha, & Rahmi, 2011) minyak atsiri daun

jeruk purut mempunyai aktivitas antibakteri terhadap Escherichia coli

dengan nilai kadar hambat minimum (KHM) dan konsentrasi bunuh

minimal (KBM) ≤ 0,0625%.

5. Serai

Kandungan kimia alamiah yang ada pada herbal ini adalah minyak asiri

yang meliputi gerniol, citronnelal, eugenol-metil eter, sitral, dipenten,

eugenol, kadinen, kanidol, dan limonene. Beberapa penyakit yang dapat

disembuhkan dengan serai di antaranya batuk, nyeri dan pegal linu, sakit

kepala, nyeri lambung, dan diare (Winarto & Karyasari, 2003).

39
Dalam penelitian (Puspawati, Suirta, & Bahri, 2016) nilai konsentrasi

hambat minimum (KHM) pada minyak atsiri daun dan batang sereh wangi

mampu menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan

Staphylococcus aureus pada konsentrasi minimum 25 ppm. Penelitian

(Poeloengan, Pengaruh Minyak Atsiri Serai (Andropogon citratus DC.)

terhadap Bakteri yang di Isolasi dari Sapi Mastitis Subklinis, 2009) minyak

atsiri serai dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli pada

konsentrasi 12,5%.

6. Lengkuas

Rimpang lengkuas mengandung kurang lebih 1% minyak atsiri berwarna

kuning kehijauan yang terutama terdiri dari metil-sinamat 48%, sineol 20

– 30%, eugenol, kamfer 1%, seskuiterpen. Manfaat dan khasiat lengkuas

bagi tubuh yaitu sebagai anti-tumor, anti-radang, mengandung zat anti-

inflamasi, menangkal radikal bebas karena mengandung senyawa anti-

oksidan, meredakan penyakit diare, meningkatkan nafsu makan, dan

menjaga stamina serta kesehatan (Andareto, 2015).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh (Parwata & Dewi, 2008), minyak

atsiri rimpang lengkuas pada konsentrasi 100 ppm dan 1000 ppm aktif

menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli dengan diameter

daerah hambatan sebesar 7 mm dan 9 mm.

7. Kayu Manis

Kandungan kimia dari kayu manis antara lain minyak asiri, safrole,

sinamaldehida, tanin, dammar, kalsium oksalat, flavonoid, triterpenoid,

dansaponin. Minyak asiri banyak terdapat di bagian kulit batang, cabang,

40
dan ranting yang merupakan nilai utama dari kayu manis. Minyak asiri

mengandung senyawa yang berfungsi sebagai antimikroba, antijamur, dan

antivirus. Kayu manis berkhasiat sebagai obat asam urat, tekanan darah

tinggi, maag, kurang nafsu makan, sakit kepala, diare, perut kembung,

muntah-muntah, hernia, susah buang air besar, asma, sariawan, dan

diabetes melitus (Utami & Puspaningtyas, 2013).

Dalam penelitian (Repi, Mambo, & Wuisan, 2016), menunjukkan bahwa

kayu manis memiliki efek antibakteri terhadap bakteri Escherichia coli.

Namun sebaliknya, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh (Angelica,

2013), etanol kulit kayu manis Cinnamomum burmannii dengan

konsentrasi antara 100.000 ppm (part per million) sampai 200.000 ppm

tidak memberikan daya hambat pada bakteri Escherichia coli.

8. Ketumbar

Ketumbar mengandung minyak atsiri, saponin, flavonoid, dan tanin.

Bagian tanaman yang bisa dimanfaatkan adalah biji, yakni berkhasiat

untuk mengobati sariawan, obat mual, obat sakit kepala, pencernaan

terganggu radang lambung atau pencernaan yang kurang baik, dan haid

yang tidak teratur (Suharmiati & Handayani, 2005).

Dalam penelitian (Hendrawati, Suyasa, & Sujaya, 2014), menunujukkan

adanya pengaruh angka lempeng total yang tidak diberi larutan ketumbar

dan sebagai kontrol dengan yang diberi larutan ketumbar dengan

konsentrasi 2%, 4%, dan 6%.

41
9. Jintan

Manfaat dari jintan hitam yaitu dapat memperbaiki saluran pencernaan dan

sebagai anti bakteri. Jintan hitam (Habbatus sauda’) mengandung minyak

atsiri dan volatile yang telah diketahui manfaatnya untuk memperbaiki

pencernaan. Secara tradisional minyak atsiri digunakan untuk obat diare.

Tahun 1992, jurnal farmasi Paskitan memuat hasil penelitian yang

membuktikan bahwa minyak volatile dari jintan hitam lebih mampu

membunuh strainbakteri Vibrio colera dan Escherichia coli dibandingkan

dengan antibiotik seperti Ampicilin dan Tetraciclin (Dewi, 2012).

Pada penelitian (Putra, Djamal, & Masri, 2015), menunjukkan bahwa

pengujian terhadap Escherichia coli tidak memiliki zona bebas kuman

yang diartikan tidak terdapat efek antibakteri dari minyak jintan hitam yang

diujicobakan terhadap Escherichia coli. Sebaliknya, penelitian efek

antimikroba minyak jintan hitam (Nigella sativa) terhadap pertumbuhan

Escherichia coli yang dilakukan oleh (Asniyah, 2009) dengan konsentrasi

25%, 50%, 75%, dan 100%. Minyak jintan hitam mampu menghambat

pertumbuhan Escherichia coli pada konsentrasi 100%, 75%, dan 50%,

sementara pada konsentrasi 25% tidak mampu menghambat pertumbuhan

Escherichia coli. Dapat disimpulkan bahwa minyak jintan hitam (Nigella

sativa) terbukti mampu menghambat pertumbuhan Escherichia coli.

10. Asam Kandis

Asam kandis adalah asam yang terbuat dari kulit buah sejenis jeruk limau

yang dikeringkan. Warnanya kehitaman dan memberikan cita rasa asam

pada masakan (Sutomo, Rahasia Sukses Berbisnis Masakan Padang, 2011).

42
11. Asam Gelugur

Asam yang terbuat dari sejenis mangga hutan yang berwarna merah

kekuningan ketika masih segar. Sering dijual dalam keadaan kering. Selain

memberi rasa asam segar pada masakan, asam gelugur juga bisa

menghilangkan aroma amis pada aneka olahan ikan (Demedia, 2010).

Dalam penelitian (Hafiz, et al., 2015), menyimpulkan bahwa penambahan

daun asam gelugur selama 5 menit dari waktu memasak pasta gulai

tempoyak dapat menghambat pertumbuhan bakteri secara signifikan.

12. Kemiri

Kemiri memiliki khasiat yang banyak untuk kesehatan. Biji kemiri yang

ditumbuk halus dapat dipakai untuk mengobati sakit gigi, bisul, meredakan

demam, dan mengatasi bengkak pada sendi tulang. Biji kemiri juga

dimanfaatkan sebagai obat pencahar. Selain itu, juga dapat digunakan

sebagai perangsang pertumbuhan rambut atau sebagai bahan aditif dalam

perawatan rambut (Kurniawati, 2010).

13. Pala

Daun mudanya banyak mengandung protein yang terasa menyejukkan.

Selain itu, pala juga mengandung minyak atsiri, zat samak, dan zat pati

yang berkhasiat untuk menambah nafsu makan, mengeluarkan gas dari

perut, dan menenangkan syaraf (Khaidir, 2010).

Pada penelitian (Rastuti, Widyaningsih, Kartika, & Ningsih, 2013),

konsentrasi hambat tumbuh minimum (KHTM) minyak atsiri daun pala

dari Banyumas terhadap Escherichia coli pada konsentrasi 1% dengan

zona hambat sebesar 0,54 mm. sejalan dalam penelitian (Nurhasanah,

43
2014), menunjukkan bahwa penghambatan ekstrak daging buah pala banda

(M. fragrans Houtt) sangat berpengaruh dalam menghambat pertumbuhan

Escherichia coli.

14. Bawang merah

Bawang merah mengandung bahan-bahan aktif yang mempunyai efek

farmakologis terhadap tubuh. Beberapa bahan aktif yang tersebut adalah

allisin dan alliin, flavonol, serta pektin (Jaelani, 2007).

Pada penelitian (Surono A. S., 2013), ekstrak etanol umbi lapis bawang

merah (Allium cepa L.) dengan konsentrasi 40%, 50%, 60%, 70%, 80%

tidak memiliki daya antibakteri terhadap bakteri Escherichia coli.

15. Bawang putih

Bawang putih mengandung minyak asiri yang sangat mudah menguap di

udara bebas. Minyak asiri dari bawang putih ini diduga mempunyai

kemampuan sebagai antibakteri dan antiseptik. Sementara itu, zat yang

diduga berperan memberi aroma bawang putih yang khas adalah alisin. Di

dalam tubuh, alisin merusak protein kuman penyakit, sehingga kuman

penyakit tersebut mati (Syamsiah & Tajudin, 2003).

Dalam penelitian (Nurwantoro, et al., 2012), menunjukkan bahwa

perendaman daging sapi dalam jus bawang putih berpengaruh menurunkan

total bakteri Escherichia coli. Sebaliknya, penelitian yang dilakukan oleh

(Fajri, Erly, & Usman, 2016), menunjukkan bahwa kapsul minyak dan

kapsul bubuk bawang putih tidak memiliki efek antibakteri terhadap

Escherichia coli.

44
16. Jahe

Secara umum, komponen senyawa kimia yang terkandung dalam jahe

terdiri dari minyak menguap (volatile oil), minyak tidak menguap

(nonvolatile oil), dan pati. Minyak atsiri termasuk jenis minyak menguap

dan merupakan suatu komponen yang memberi bau yang khas. Kandungan

minyak tidak menguap disebut oleoresin, yakni suatu komponen yang

memberikan rasa pahit dan pedas. Berdasarkan kandungan minyak asiri

dan oleoresin, jahe merah yang kadarnya paling tinggi, lalu disusul oleh

jahe putih kecil dan jahe gajah. Hal itu karena jahe gajah banyak digunakan

sebagai bumbu dapur, rempah-rempah, dan bahan obat-obatan (Lentera,

2004).

Dalam penelitian (Harijani, Ernawati, & Suwarno, 2011), menunjukkan

pemberian sari rimpang jahe pada konsentrasi (2%, 4%, 6% dan 8%) dapat

menurunkan jumlah bakteri Escherichia coli pada susu pasteurisasi.

Sebaliknya, pada penelitian (Rahminiwati, et al., 2010), menunjukkan

bahwa perasan jahe segar tidak mempunyai efek antibakteri terhadap

Escherichia coli.

2.5. Kerangka Teori

Kerangka teori dalam penelitian ini berdasarkan dari langkah-langkah

penyusunan HACCP. Terdapat 12 tahapan untuk menyusun HACCP, dimana lima

tahapan merupakan persiapan penyusunan HACCP. Lima tahapan tersebut, yaitu

menyusun tim HACCP, deskripsi produk rendang, identifikasi tujuan akhir

penggunaan produk rendang, menyusun alur, dan mengkonfirmasi alur. Tujuh

tahapan selanjutnya adalah kerangka HACCP yang terdiri dari: identifikasi analisis

45
bahaya, menentukan titik kendali kritis (TKK), menentukan batas kritis untuk

masing-masing TKK, pemantauan batas kritis setiap TKK, penetapan tindakan

perbaikan, penetapan prosedur verfikasi, serta dokumentasi dan pencatatan.

46
Prinsip 1 – Identifikasi
Prinsip 7 – Dokumentasi dan
analisis hazard
pencatatan
Persiapan dan
Prinsip 2 – Menentukan
Perencanaan
titik kendali kritis
1. Menyusun tim (TKK)
HACCP Bagan alir proses
Prinsip 3 – Menentukan
2. Deskripsi produk Bagan kendali HACCP
batas kritis untuk
rendang
masing-masing TKK Daftar tim HACCP
3. Identifikasi
tujuan akhir Prinsip 4 – Pemantauan Rancangan Gambaran Produk
penggunaan batas kritis setiap TKK HACCP Bagan analisis Hazard
produk rendang
Prinsip 5 – Penetapan
4. Menyusun alur
Tindakan Perbaikan
5. Mengkonfirmasi
Alur

Catatan pemantauan
Audit
Kajian ulang catatan
Prinsip 6 – Penetapan
Prosedur Verifikasi
Catatan CCP
Bagan 2.3 Kerangka Teori
HACCP Pelatihan
Sumber: (Mortimore & Wallace, 2004)

47
BAB III

KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI ISTILAH

3.1. Kerangka Pikir

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran HACCP makanan

rendang di rumah makan padang X wilayah Pamulang Kota Tangerang Selatan

tahun 2017. Proses pemasakan rendang membutuhkan waktu yang cukup lama,

sehingga perlu mengetahui pada tahap apa yang dapat menjadi titik kritis dan

rendang mudah terkontaminasi. Terdapat 12 tahapan penerapan HACCP yang

meliputi: menyusun tim HACCP, deskripsi produk rendang, identifikasi tujuan

akhir penggunaan produk rendang, menyusun alur, dan mengkonfirmasi alur,

identifikasi analisis bahaya, menentukan titik kendali kritis (TKK), menentukan

batas kritis untuk masing-masing TKK, pemantauan batas kritis setiap TKK,

penetapan tindakan perbaikan, penetapan prosedur verfikasi, serta dokumentasi dan

pencatatan.

48
Menyusun tim HACCP

Mendeskripsikan Produk Rendang

Mengidentifikasi Tujuan
Penggunaan Produk Rendang

Menyusun Alur

Mengkonfirmasi Alur

Identifikasi Analisis Bahaya

Menentukan Titik Kendali


Kritis (TKK)

Menentukan Batas Kritis untuk


Masing-masing TKK

Pemantauan Batas Kritis Setiap


TKK

Penetapan Tindakan Perbaikan

Penetapan Prosedur Verifikasi

Dokumentasi dan Pencatatan

Bagan 3.1 Kerangka Pikir

49
3.2. Definisi Istilah

Tabel 3.1 Definisi Istilah

No. Variabel Definisi Istilah

1 Tim HACCP Sekelompok orang yang bertugas untuk


merancang, menerapkan, dan mengendalikan
sistem HACCP.
1 Deskripsi produk Menjelaskan secara lengkap makanan rendang
rendang mengenai nama makanan, komposisi,
bagaimana penggunaannya, pengemasan,
masa simpan dan kondisi penyimpanan,
dimana rendang akan dijual, serta bagaimana
proses distribusinya.
2 Identifikasi tujuan akhir Identifikasi penggunaan akhir produk dan
penggunaan produk menuliskan kelompok konsumen yang
rendang berpengaruh pada keamanan produk
3 Menyusun alur Menyusun diagram alir pada semua tahapan
proses pembuatan rendang
4 Mengkonfirmasi alur Melakukan konfirmasi diagram alir yang telah
dibuat sebelumnya dengan cara mengamati
dan mengikuti proses pembuatan rendang serta
memodifikasi diagram alir yang telah dibuat
jika kurang sempurna.
5 Identifikasi analisis Mengamati dan mengidentifikasi pada setiap
bahaya tahapan pembuatan rendang dan bahaya-
bahaya apa saja yang kemungkinan ada.
6 Menentukan titik kendali Mengidentifikasi tahapan-tahapan proses
kritis (TKK) pembuatan rendang yang dapat dikendalikan
sehingga bahaya dapat dicegah, dihilangkan
atau diturunkan ke tingkat yang aman.

50
No. Variabel Definisi Istilah

7 Menentukan batas kritis Menentukan nilai maksimum atau minimum


untuk masing-masing pada bahaya yang teridentifikasi berdasarkan
TKK perundangan atau standar keamanan dan nilai-
nilai yang sudah teruji secara ilmiah.
8 Pemantauan batas kritis Melakukan pemantauan batas kritis untuk
setiap TKK memastikan bahwa proses terkendali dan
berjalan dalam batasan kritis yang ditentukan
dengan melalui pemeriksaan atau observasi.
9 Penetapan tindakan Melakukan tindakan perbaikan pada rendang
perbaikan yang dihasilkan ternyata tidak aman
10 Penetapan prosedur Tindakan untuk memastikan bahwa seluruh
verifikasi prosedur dalam rancangan HACCP telah
dijalankan dengan sesuai, memastikan setiap
tahapan kritis dalam proses pembuatan
rendang benar-benar terkendali, sesuai standar
kritis yang sudah ditetapkan, dan memastikan
rendang sudah aman.
11 Dokumentasi dan Melakukan dokumentasi dan pencacatan pada
pencatatan HACCP yang sudah dilakukan.

51
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan studi

kasus. Penelitian bertujuan untuk mengetahui proses pembuatan rendang, deskripsi

produk, identifikasi tujuan akhir penggunaan produk, menyusun alur,

mengkonfirmasi alur, identifikasi analisis bahaya, menentukan titik kendali kritis

(TKK), menentukan batas kritis untuk masing-masing TKK, pemantauan batas

kritis setiap TKK, penetapan tindakan perbaikan, penetapan prosedur verifikasi,

serta dokumentasi dan pencatatan proses pembuatan rendang di Rumah Makan

Padang X Wilayah Pamulang Kota Tangerang Selatan.

4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Agustus tahun

2017. Tempat dilakukannya penelitian ini di rumah makan padang X wilayah

Pamulang Kota Tangerang Selatan.

4.3. Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini adalah karyawan rumah makan padang yang

bertugas membeli bahan-bahan untuk membuat rendang dan karyawan yang

memasak rendang. Teknik yang digunakan untuk pemilihan informan

menggunakan purposive sampling. Hal ini dikarenakan informan yang telah

disebutkan bertugas secara langsung dalam proses pembuatan rendang.

52
4.4. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pedoman wawancara

mendalam, lembar observasi, pengukuran suhu, penilaian warna daging, dan uji

laboratorium.

1. Pedoman wawancara berisi pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan

kepada responden.

2. Lembar observasi berisi poin-poin terkait personal higiene penjamah

makanan saat mengolah sampai dengan menyajikan makanan dan proses

pembuatan rendang dari pembelian bahan baku hingga penyajian.

3. Pengukuran suhu dilakukan untuk mengetahui temperatur bahan baku,

rendang saat dimasak dan disimpan.

4. Penilaian warna daging dilakukan untuk mengetahui warna daging sapi.

5. Uji laboratorium dilakukan untuk dapat mengetahui kontaminasi bakteri

pada makanan dan melihat apakah rendang yang dikonsumsi masih dalam

kategori aman atau tidak.

4.5. Sumber Data

Dalam penelitian ini, pengumpulan data dapat berupa data primer yaitu data

yang langsung diambil kepada responden dengan menggunakan wawancara

mendalam, observasi, pengukuran, penilaian warna daging, dan uji laboratorium.

Sedangkan data sekunder diperoleh dari Dinas Kesehatan Tangerang Selatan

4.6. Metode Pengumpulan Data

4.6.1. Wawancara

Wawancara dilakukan kepada informan yaitu karyawan yang bertugas

membeli bahan-bahan untuk membuat rendang dan karyawan yang memasak

53
rendang. Dari metode wawancara mendalam, informasi yang ingin didapat

adalah proses pembuatan rendang dari bahan-bahan dan alat yang digunakan,

kondisi dan wadah penyimpanan bahan-bahan rendang dan rendang yang

sudah matang, serta cara untuk mengurangi kontaminasi pada makanan.

4.6.2. Observasi

Observasi dilakukan dengan mengamati secara langsung proses

pembuatan rendang dari membeli bahan-bahan sampai penyajian dan personal

higiene penjamah makanan pada saat memasak rendang serta menyajikan

rendang.

4.6.3. Pengukuran Temperatur

Alat yang dipakai untuk mengukur temperatur makanan yaitu

termometer makanan. Pengukuran dilakukan dengan cara meletakkan

termometer makanan ke rendang dan secara digital suhu yang diukur akan

muncul, kemudian catat hasilnya pada lembar yang sudah disediakan.

4.6.4. Penilaian Warna Daging

Penilaian warna daging dilakukan dengan mencocokan warna daging

dengan standar warna daging berdasarkan SNI 3932:2008.

4.6.5. Pengambilan Sampel Makanan untuk Pengujian Bakteri

a) Alat dan Bahan

 Cooler bag

 Es batu

 Plastik

 Label

54
 Pulpen

b) Prosedur Pengambilan Sampel

1. Catat tanggal dan waktu pengambilan sampel pada label.

2. Ambil sampel kemudian dimasukkan ke dalam plastik.

3. Tempelkan label pada plastik

4. Kemudian sampel dimasukkan ke dalam cooler bag yang sudah

terisi es batu untuk selanjutnya diperiksa di laboratorium.

4.6.6. Menentukan Titik Kendali Kritis

4.6.6.1. Menentukan Titik Kendali Kritis pada bahan baku rendang

P1 Apakah terdapat bahaya dalam bahan baku yang akan digunakan?

Ya Tidak Bukan CCP

Apakah dalam proses atau konsumen dapat menghilangkan bahaya


P2
dari produk?

Ya Tidak CCP

Apakah terdapat risiko kontaminasi silang terhadap fasilitas atau


P3
produk lain yang tidak dikendalikan?

Tidak Ya CCP

Bukan CCP

Pertanyaan pertama (P1): Apakah terdapat bahaya dalam bahan

baku yang akan digunakan?

55
Pertanyaan pertama dijawab dengan melihat analisis bahaya

pada bahan baku. Jika jawab P1 adalah “YA” maka lanjut ke pertanyaan

kedua. Jika “TIDAK” bukan termasuk titik kendali kritis (TKK).

Pertanyaan kedua (P2): Apakah dalam proses atau konsumen

dapat menghilangkan bahaya dari produk?

Pada pertanyaan P2 untuk mengakui keberadaan bahaya yang

akan dihilangkan oleh proses atau konsumen. Jika jawaban P2 adalah

“YA” lanjut ke pertanyaan ketiga. Jika “TIDAK” dipastikan sebagai

TKK.

Pertanyaan ketiga (P3): Apakah terdapat risiko kontaminasi silang

terhadap fasilitas atau produk lain yang tidak dikendalikan?

Pertanyaan P3 untuk mengakui keberadaan adanya risko

kontaminasi silang dari fasilitas (misalnya plastik yang dipakai untuk

membungkus) atau produk/bahan baku lainnya yang tidak dikendalikan.

Jika jawaban P3 adalah “YA” maka sebagai TKK. Jika “TIDAK” bukan

termasuk TKK.

56
4.6.6.2. Menentukan Titik Kendali Kritis pada proses pengolahan

rendang

P1 Apakah ada tindakan pencegahan untuk mengendalikan?

Ya Tidak Lakukan modifikasi tahapan dalam proses


atau rendang

Apakah perlu pencegahan pada tahap ini Ya


untuk keamanan pangan?

Tidak Bukan CCP Berhenti

Apakah tahapan dirancang khusus untuk menghilangkan atau mengurangi


P2
bahaya sampai batas aman?

Tidak Ya CCP

P3 Apakah kontaminasi bahaya dapat meningkat sampai batas aman?

Ya Tidak Bukan CCP Berhenti

Apakah tahapan berikutnya dapat menghilangkan atau mengurangi bahaya


P4 sampai batas aman?

Ya Tidak CCP

Bukan CCP

Berhenti

57
Pertanyaan pertama (P1): Apakah ada tindakan pengendalian?

Pertanyaan pertama dijawab dengan merujuk pada data tindakan

pengendalian yang didokumentasikan dalam bagan analisis bahaya. Jika

jawaban pertanyaan pertama adalah “YA” lanjutkan ke pertanyaan

kedua. Jika “TIDAK” lanjutkan ke P1a.

P1a. Apakah pengendalian pada tahap ini memang diperlukan

untuk menjamin keamanan?

Jika jawabannya “TIDAK” pindah ke langkah selanjutnya dalam

proses atau ke bahaya selanjutnya.

Jika “YA”, modifikasi dalam proses (mis., penambahan saringan

atau peningkatan suhu proses) atau produk (mis., formulasi ulang untuk

menurunkan pH atau penambahan zat pengawet) harus diterapkan untuk

memastikan dapat menyusun tindakan pengendalian. Jika tindakan

pengendalian yang tepat berhasil diidentifikasi, kembali ke pertanyaan

pertama (P1) dan lanjutkan ke berikutnya.

Pertanyaan kedua (P2): Apakah langkah ini memang khusus

dirancang untuk memusnahkan atau mengurangi peluang

munculnya bahaya sampai ke tingkat yang dapat diterima?

Pertanyaan ini bertujuan untuk mengetahui apakah langkah yang

tengah dikaji memang efektif untuk mengendalikan keamanan

makanan. Langkah yang dimaksud adalah langkah dalam proses. Jika

jawaban P2 adalah “YA”, langkah proses tersebut adalah CCP. Mulai

lagi decision tree untuk langkah atau bahaya berikutnya. Jika

jawabannya “TIDAK”, lanjutkan ke pertanyaan ketiga.

58
Pertanyaan ketiga (P3): Apakah kontaminasi bahaya yang

teridentifikasi dapat melampaui tingkat yang dapat diterima atau

apakah dapat bertambah sampai ke tingkat yang tidak dapat

diterima?

Untuk menjawab pertanyaan ini, tim harus menggunakan

informasi (yang dicatat dalam bagan analisis bahaya) dan pengetahuan

mengenai proses dan lingkungannya. Permasalahan yang harus

dipertimbangkan disini mencakup:

 Persyaratan waktu dan suhu

 Lingkungan produksi (desain, higiene, pemeliharaan)

 Kontaminasi silang dari karyawan, produk lain, atau bahan mentah

 Tingkat yang dapat diterima untuk bahaya yang signifikan

Jika jawaban P3 adalah “YA”, lanjutkan ke pertanyaan keempat.

Jika jawabannya ‘TIDAK”, pindah ke langkah proses atau bahaya

selanjutnya.

Pertanyaan keempat (P4): Apakah langkah selanjutnya dapat

memusnahkan bahaya yang teridentifikasi atau mengurangi

peluang munculnya bahaya sampai ke tingkat yang dapat diterima?

Pertanyaan ini untuk mengakui keberadaan bahaya yang akan

disingkirkan oleh langkah selanjutnya di dalam proses atau oleh

konsumen. Jika jawaban P4 adalah “YA” pindah ke proses atau bahaya

selanjutnya. Jika jawabannya “TIDAK”, langkah proses dipastikan

sebagai CCP. Mulai kembali ke decision tree untuk proses atau bahaya

berikutnya.

59
4.7. Pengolahan Data

Pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu mengumpulkan

data yang telah didapatkan dari hasil wawancara mendalam, observasi, pengukuran,

dan uji laboratorium.

1. Wawancara

Hasil wawancara mendalam yang sudah direkam dibuat dalam bentuk

transkip kemudian dilakukan analisis data.

2. Observasi

Hasil observasi proses pembuatan rendang dimulai dari tahap pembelian

bahan baku sampai penyajian kemudian dilakukan analisis HACCP. Sedangkan

hasil observasi personal higiene penjamah makanan dilakukan penyuntingan

data untuk melihat kelengkapan data yang sudah dikumpulkan.

3. Pengukuran suhu, penilaian warna, dan pengujian laboratorium

Hasil pengukuran suhu, penilaian warna, dan pengujian laboratorium

dibandingkan dengan peraturan atau standar yang berlaku, apakah sesuai atau

tidak.

4.8. Teknik dan Analisis Data

Teknik dan analisis data dalam penelitian ini menggunakan teori Miles dan

Huberman (1984) dalam (Sugiyono, 2012) yang meliputi:

1. Reduksi data

Reduksi data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu merangkum,

memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal penting, dan membuang

informasi yang tidak dipakai kemudian terkumpul data-data yang sesuai dengan

tujuan penelitian.

60
2. Penyajian data (display data)

Data yang sudah direduksi kemudian disajikan dalam bentuk tulisan yang

bersifat naratif agar mudah dipahami secara keseluruhan.

3. Kesimpulan atau Verifikasi

Hasil penelitian yang telah terkumpul dan terangkum harus diulang kembali

dengan mencocokkan pada reduksi data dan display data, agar kesimpulan yang

telah dikaji dapat disepakati untuk ditulis sebagai laporan yang memiliki tingkat

kepercayaan yang benar.

Untuk analisis data terkait HACCP meliputi, identifikasi produk,

identifikasi tujuan akhir penggunaan, penyusunan bagan alir, konfirmasi alur proses

di lapangan, identifikasi dan analisis potensi bahaya pada seluruh tahapan proses

produksi, penentuan titik kendali kritis, penentuan batas kritis untuk setiap titik

kendali kritis, pemantauan batas kritis, penetapan tindakan perbaikan, penetapan

prosedur verifikasi, serta dokumentasi dan pencatatan.

4.9. Pengujian Keabsahan Data

1. Triangulasi sumber

Triangulasi sumber adalah mendapatkan data dari sumber yang berbeda-

beda dengan teknik yang sama. Kemudian data dideskripsikan,

dikategorisasikan, mana pandangan yang sama, yang berbeda, dan mana

yang spesifik. Triangulasi sumber dalam penelitian ini adalah wawancara

mendalam kepada karyawan yang bertugas secara langsung memasak

rendang dan karyawan yang bertugas membeli bahan-bahan pembuatan

rendang.

61
2. Triangulasi teknik

Triangulasi teknik adalah peneliti menggunakan teknik pengumpulan data

yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama.

Peneliti menggunakan observasi partisipatif, wawancara mendalam, dan

dokumentasi untuk sumber data yang sama secara serempak. Triangulasi

teknik pada penelitian ini yaitu melakukan wawancara mendalam dan

observasi terkait personal higiene penjamah makanan dan proses pembuatan

rendang.

62
BAB V

HASIL

5.1. Gambaran Umum Proses Pembuatan Rendang

Rendang merupakan salah satu makanan khas dari Kota Padang, Sumatera

Barat. Proses memasak rendang membutuhkan bahan-bahan seperti daging, bumbu,

dan santan. Pertama-tama siapkan bahan dan alat yang digunakan. Daging yang beli

dipasar sudah dipotong-potong terlebih dahulu. Daging langsung dicuci dengan air

bersih lalu masukkan ke dalam penggorengan. Kemudian masukkan bumbu-bumbu

yang sudah dihaluskan pada saat membeli di pasar. Tambahkan santan cair lalu

diaduk sampai rata. Cuci daun jeruk, daun kunyit, dan serai sampai bersih.

Kemudian serai dipipihkan menggunakan ulek dan cobek. Setelah itu, masukkan

daun jeruk, daun kunyit, dan serai yang sudah dipipihkan ke dalam penggorengan.

Tambahkan vetsin (MSG) sedikit, tidak dimasukan garam karena bumbu yang

dihaluskan sudah diberi garam. Selanjutnya, aduk kembali dan masak hingga

matang selama dua sampai tiga jam. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan berikut

ini.

“... kan mau masak rendang nih, daging dicuci dulu terus dimasukin, kan
masukin santan nih, terus masukin daun semua, terus diaduk dulu semua.
Jadi kaya laos, jahe, bawang putih, bawang merah, cabe giling. Pertama
naro daging, terus bumbu-bumbu, santan langsung dimasak. Iya daun
jeruk, daun kunyit, serai cuci bersih, terus serai di geprek masukinnya awal
semua. Semua bahan dimasukin pas awal semua. di bumbu udah ada
garamnya dan kasih sedikit (micin)” (A1)

”Yang pertama santan dimasukin, kalau udah berminyak dimasukin


dagingnya. Kan motong dagingnya tipis-tipis tuh. Apinya kecil, gak boleh
gede. Kalau gede nanti baunya sengit.” (A2)

63
5.2. Tim HACCP

Hasil penelitian ini, belum ada tim HACCP di rumah makan padang X.

Untuk keperluan penelitian ini, maka peneliti sendiri bertindak sebagai tim

HACCP. Peneliti dibantu oleh salah satu teman peneliti dan petugas laboratorium

di Balai Besar Laboratorium Kesehatan Jakarta untuk memeriksakan mikrobiologi

pada rendang. Dua orang tersebut melaksanakan pemantauan selama proses

pembuatan rendang dari bahan baku, alat yang dipakai untuk memasak, lingkungan

(dapur, tempat penyimpanan, bangunan), pengukuran suhu, dan bahaya apa saja

yang dapat mengkontaminasi dari mulai pembelian bahan baku hingga rendang

disajikan kepada konsumen. Bahan baku dan rendang yang sudah matang dilakukan

uji laboratorium.

5.3. Deskripsi Produk

Deskripsi rendang yang dibuat oleh rumah makan padang X dibuat dengan

komposisi yang terdiri dari, daging sapi, cabai merah, daun jeruk purut, serai, daun

kunyit lengkuas, kayu manis, ketumbar, jintan, asam kandis, asam gelugur, kemiri,

pala, bawang merah, bawang putih, jahe, santan. Hal tersebut diperoleh dari

wawancara informan.

“Laos, jahe, bawang putih, bawang merah, kayu manis, ketumbar, jintan,
asam kandis, asam gelugur, kemiri, pala, santan, daging, daun jeruk, daun
kunyit, serai, cabe giling.” (A1)

“... jahe, santan, bawang merah, laos, cabe giling, daging sapi” (A2)

Saat ada konsumen yang membeli rendang, pengemasan menggunakan

plastik untuk makanan atau menggunakan kertas pembungkus makanan apabila

konsumen membeli rendang ditambah dengan nasi. Berikut wawancara dengan

informan.

64
“Pake plastik biasa yang setengah kilo. Kalo belinya sama nasi ya pake
kertas nasi dibungkusnya.” (A1)

“Pake plastik bening gitu tapi kadang pake kertas nasi juga kalo belinya
sama nasi, kalo belinya ga pake nasi baru pake plastik” (A2)

Masa simpan atau kadaluarsa rendang selama dua hari. Rendang bisa tahan

sampai tujuh hari apabila dipanaskan ulang dan disimpan pada suhu ruang. Hal

tersebut sesuai dengan pernyataan berikut ini.

“Dua hari. Kadang kalo rendang yang bagus tahan 3 hari tuh, yang
matangnya kering sampe item banget” (A1)
“Kalau rendang awetnya itu semakin dipanasin semakin bagus, tambah
enak dia. Bisa tahan selama seminggu. Cuma bedanya nanti makin hitam.
Makin lama makin hitam lebih bagus dia. Tambah keluar minyaknya” (A2)
Rendang yang sudah matang dijual di rumah makan padang dan dapat

langsung dikonsumsi. Untuk kondisi penyimpanan rendang matang yang

diletakkan di etalase menggunakan mangkuk tidak tertutup. Berikut wawancara

dengan informan.

“Pake mangkok, langsung dari dapur itu” (A1)

“Iya itu pake wadah yang dari dapur (mangkok). Kalau udah dingin baru
ditutup. Jangan ditaro di kulkas” (A2)

Rendang yang sudah matang didistribusikan ke tempat penyajian atau

etalase dengan menggunakan mangkuk yang tidak tertutup. Hal tersebut sesuai

dengan pernyataan berikut ini.

“Bawanya pake mangkok biasa. Kalo ibu tidak ditutup, kalau ditutup nanti
basi karena masih panas. Dibuka saja” (A1)

“Pakai mangkok biasa. Bawanya tidak ditutup karena masih panas


rendangnya, kalau langsung ditutup nanti berair dan rasanya jadi beda”
(A2)

65
Tabel 5.1 Deskripsi Produk Rendang

Nama Produk Rendang Daging


Komposisi Daging sapi, cabai merah, daun jeruk purut, serai,
daun kunyit lengkuas, kayu manis, ketumbar,
jintan, asam kandis, asam gelugur, kemiri, pala,
bawang merah, bawang putih, jahe, santan
Pengemasan Plastik untuk makanan
Kertas pembungkus makanan
Masa Kadaluarsa 2 hari
7 hari (apabila dipanaskan kembali)
Tempat Produk Dijual Rumah makan padang
Penggunaan Produk Langsung dikonsumsi
Kondisi Penyimpanan Saat disajikan di etalase menggunakan mangkuk
yang tidak tertutup
Distribusi Pendistribusian dari dapur ke tempat penyajian
menggunakan mangkuk yang tidak tertutup

5.4. Tujuan Akhir Penggunaan Rendang

Identifikasi tujuan akhir rendang dirumah makan padang X terdiri dari

produk, penyajian, dan konsumen. Rendang yang sudah matang dapat langsung

dikonsumsi. Konsumen yang mengkonsumsi rendang di rumah makan padang X

wilayah Pamulang yaitu anak-anak hingga dewasa. Berikut wawancara dengan

informan.

“Macem-macem. Dari SMP sampe tua. Ya dari muda sampe tua lah” (A1)

“Gak tentu. Ada yang tua ada yang muda” (A2)

66
Tabel 5.2 Tujuan Akhir Penggunaan Rendang

Produk Rendang Daging


Penyajian Setelah diolah langsung dapat dikonsumsi
Konsumen Anak-anak hingga dewasa

5.5. Bagan Alir Proses Pembuatan Rendang

Proses penyusunan bagan alir dilakukan untuk mengetahui bagaimana

proses pembuatan rendang dari awal hingga akhir. Proses pembuatan rendang di

rumah makan padang X diawali dengan membeli bahan baku yaitu daging, bumbu,

dan santan. Kemudian bahan diangkut dengan kendaraan bermotor. Bahan baku

diterima masih dalam keadaan baik dan sama seperti saat membeli dipasar.

Sebelum dimasak, siapkan bahan-bahan tadi dengan mencuci terlebih dahulu. Lalu

bersihkan alat-alat sebelum dipakai. Setelah semuanya siap, masukkan bahan-

bahan ke dalam penggorengan/wajan, nyalakan kompor lalu aduk rata dan tunggu

sampai matang. Sesekali di aduk agar bagian bawah tidak hangus.

67
Pembelian Bahan Baku

Penerimaan Bahan Baku

Penyiapan Bahan baku

Penyiapan alat masak

Memasak

Penyimpanan dan Distribusi

Bagan 5.1 Proses Pembuatan Rendang

5.6. Mengkonfirmasi Alur Proses Pembuatan Rendang

Mengkonfirmasi alur diperlukan untuk memastikan bahwa alur pembuatan

rendang yang dibuat sebelumnya sudah sesuai atau belum. Pada konfirmasi alur ini

dilihat secara rinci dari proses pembelian bahan baku hingga penyimpanan dan

pendistribusian. Berikut ini proses pembuatan rendang di Rumah Makan Padang X:

68
- Pembelian bahan baku

Bahan-bahan untuk memasak rendang dibeli dipasar tradisional.

Pembelian bahan pada pagi hari pukul 07.00 WIB. Bahan-bahan yang

dibutuhkan sebagai berikut :

a) Daging

Daging yang ada di pasar masih dalam bentuk utuh, kemudian

dipotong-potong sesuai ukuran daging rendang. Selanjutnya, ditimbang

dengan menggunakan timbangan pasar dan dimasukkan ke dalam

kantong plastik berwarna bening. Berikut ini hasil pengujian

laboratorium pada daging rendang.

Tabel 5.3 Hasil Pengujian Mikrobiologi pada Daging Sapi

Uji Standar (SNI


Hasil Uji Keterangan
Mikrobiologi 3932:2008)
Angka lempeng 2,5 x 103 1 x 106 Memenuhi syarat
total (ALT)
Coliform 1,7 x 102 1 x 102 Tidak memenuhi
syarat

Berdasarkan tabel 5.3 diatas, hasil pengujian laboratorium pada

daging bakteri Coliform tidak memenuhi standar yang dipersyaratkan

sedangkan untuk pengujian angka lempeng total (ALT) masih dibawah

standar. Berikut ini adalah tabel hasil pengujian fisik pada daging.

Tabel 5.4 Hasil Pengujian Fisik pada Daging

Uji Hasil Standar (SNI 3932:2008)


Keterangan
Fisik Uji I II III
Warna Merah Merah Merah Merah Memenuhi
terang terang kegelapan gelap syarat
dengan Skor 1 – 5 Skor 6 – 7 Skor 8 – 9
skor 3

69
Berdasarkan tabel 5.4, hasil pengujian fisik pada daging berwarna

merah terang dengan skor 3 dan masih memenuhi syarat.

b) Bumbu

Bumbu yang dibutuhkan untuk membuat rendang yaitu, cabai

merah, daun jeruk purut, serai, lengkuas, kayu manis, ketumbar, jintan,

asam kandis, asam gelugur, kemiri, pala, bawang merah, bawang putih,

dan jahe. Bumbu-bumbu yang tersedia telah dihaluskan terlebih dahulu.

Bumbu dimasukan ke dalam wadah plastik yang dipakai untuk

makanan.

Berikut ini merupakan hasil pengujian laboratorium pada bumbu

rendang.

Tabel 5.5 Hasil Pengujian Mikrobiologi pada Bumbu Rendang

Uji Standar (SNI


Hasil Uji Keterangan
Mikrobiologi 7388:2009)
Angka lempeng 3,0 x 105 1 x 106 Memenuhi syarat
total (ALT)
Coliform 1,1 x 103 1 x 102 Tidak memenuhi
syarat

Berdasarkan tabel 5.5. hasil pengujian mikrobiologi bakteri

Coliform pada bumbu rendang tidak memenuhi standar SNI 7388:2009.

c) Santan

Kelapa yang digunakan untuk membuat rendang adalah kelapa tua.

Kelapa utuh dikupas dari batok kelapa kemudian diparut dengan

menggunakan mesin parut kelapa. Setelah itu, kelapa parut diperas

menggunakan mesin pemeras santan yang ditambahkan dengan air

70
kemudian menghasilkan santan. Santan yang keluar dari mesin

diwadahi menggunakan teko plastik lalu dimasukkan ke dalam plastik

yang aman untuk makanan.

Berikut ini adalah hasil pengujian laboratorium pada santan.

Tabel 5.6 Hasil Pengujian Mikrobiologi pada Santan

Uji Standar (SNI


Hasil Uji Keterangan
Mikrobiologi 7388:2009)
Angka lempeng 2,3 x 103 1 x 106 Memenuhi syarat
total (ALT)
Coliform 9 <3 Tidak memenuhi
syarat

Berdasarkan tabel 5.6 diatas, hasil pengujian bakteri pada santan

terdapat kontaminasi bakteri Coliform yang melebihi ambang batas

standar SNI 7388:2009.

- Penerimaan bahan baku

Berdasarkan dari hasil observasi di rumah makan padang X, bahan-

bahan yang sudah dibeli kemudian dibawa dengan kendaraan bermotor. Saat

sampai di rumah makan padang, bahan-bahan langsung dibawa masuk ke dapur

yang selanjutnya akan langsung diolah. Bahan baku yang diterima tidak

mengalami kerusakan.

- Proses penyiapan bahan baku

Proses selanjutnya yaitu menyiapkan bahan-bahan. Dari hasil observasi

di rumah makan padang X, daging dikeluarkan terlebih dahulu dari kantung

plastik berwarna bening. Kemudian dicuci dengan menggunakan air bersih

yang mengalir sampai bersih. Sedangkan bumbu yang sudah dihaluskan dan

71
santan dikeluarkan dari kantung plastik. Untuk bumbu seperti daun jeruk, daun

kunyit, dan serai dicuci terlebih dahulu dengan air bersih.

- Proses penyiapan alat-alat yang dipakai

Alat-alat yang digunakan untuk membuat rendang di rumah makan

padang X adalah sebagai berikut:

1. Penggorengan

Penggorengan digunakan sebagai wadah untuk membuat rendang.

Berikut ini kutipan wawancara informan.

”Wajan atau kuali, kalo orang sini bilangnya wajan, kalo


kita bilangnya kuali” (A1)

”Wajan, kalau dikampung namanya talenang.” (A2)

2. Sodet

Sodet digunakan untuk mengaduk dalam proses pemasakan agar

bumbu tercampur rata. Berikut kutipan wawancara informan.

“Sodet, sodet yang besi boleh atau kayu terserah” (A1)

”Sama sodet juga.” (A2)

3. Ulek dan cobek

Ulek dipakai untuk memipihkan bumbu. Sedangkan cobek sebagai

wadah untuk memipihkan bumbu. Berikut kutipan wawancara

informan.

”Pake cobek sama ulekannya, ntar kaya ditumbuk gitu” (A1)

72
- Jadwal pembuatan

Dari hasil pengamatan di rumah makan padang X, pemasakan rendang

dimulai sekitar pukul 08.47 WIB. Proses memasak membutuhkan waktu ± 2 -

3 jam atau sampai bumbunya sudah mengering.

- Proses pemasakan

Berdasarkan dari hasil observasi di rumah makan padang X, tahapan

proses memasak rendang yaitu, serai dipipihkan menggunakan ulek dan

diwadahi cobek sebelum dimasak. Kemudian masukkan daging, bumbu-

bumbu, dan santan ke dalam penggorengan dan tambahkan sedikit MSG.

Penggorengan diletakkan diatas tungku kompor kemudian nyalakan dengan api

sedang. Bumbu, daging, serta santan diaduk sampai tercampur rata. Sesekali

rendang diaduk-aduk agar tidak hangus. Kemudian tunggu sampai warna

rendang berubah agak menjadi kehitaman dan mengering. Waktu pemasakan

rendang 2 – 3 jam. Hal tersebut sesuai dengan wawancara informan.

“... kan mau masak rendang nih, daging dicuci dulu terus dimasukin,
kan masukin santan nih, terus masukin daun semua, terus diaduk dulu
semua. Jadi kaya laos, jahe, bawang putih, bawang merah, cabe giling.
Pertama naro daging, terus bumbu-bumbu, santan langsung dimasak.
Iya daun jeruk, daun kunyit, serai cuci bersih, terus serai di geprek
masukinnya awal semua. Semua bahan dimasukin pas awal semua. di
bumbu udah ada garamnya dan kasih sedikit (micin)” (A1)

”Yang pertama santan dimasukin, kalau udah berminyak dimasukin


dagingnya. Kan motong dagingnya tipis-tipis tuh. Apinya kecil, gak
boleh gede. Kalau gede nanti baunya sengit.” (A2)

”Dua jam. Iya, tapi tergantung juga, kalo rendang yang sampe item
banget yang tahan 3 hari itu 3 jam. Rendang padang yang bagus itu 3
jam.” (A1)

”3 jam, kalau yang lebih bagusnya 2 – 3 jam” (A2)

73
- Penyimpanan dan distribusi

Berdasarkan dari hasil observasi di rumah makan padang X, rendang

yang sudah matang dimasukkan ke dalam mangkuk yang tidak tertutup.

Kemudian dibawa dari dapur ke etalase rumah makan padang. Penyimpanan

rendang di etalase menggunakan mangkuk yang dibawa dari dapur. Wadah

yang dipakai untuk mendistribusikan ke konsumen menggunakan plastik

bening untuk makanan atau kertas pembungkus nasi. Berikut kutipan

wawancara informan.

“Bawanya pake mangkok biasa. Kalo ibu tidak ditutup, kalau ditutup
nanti basi karena masih panas. Dibuka saja” (A1)

“Pakai mangkok biasa. Bawanya tidak ditutup karena masih panas


rendangnya, kalau langsung ditutup nanti berair dan rasanya jadi
beda” (A2)

“Pake mangkok, langsung dari dapur itu” (A1)

“Iya itu pake wadah yang dari dapur (mangkok). Kalau udah dingin
baru ditutup. Jangan ditaro di kulkas” (A2)

“Pake plastik biasa yang setengah kilo. Kalo belinya sama nasi ya pake
kertas nasi dibungkusnya” (A1)

“Pake plastik bening gitu tapi kadang pake kertas nasi juga kalo belinya
sama nasi, kalo belinya ga pake nasi baru pake plastik” (A2)

Selain itu, dilakukan pengukuran suhu pada rendang dengan lama

penyimpanan 0 jam, 12 jam, dan 24 jam. Dari hasil pengukuran tersebut, suhu

rendang saat penyimpanan mengalami penurunan yaitu 67,3°C, 27,3°C, dan

26,1°C.

74
5.7. Identifikasi Analisis Bahaya

Analisis bahaya di rumah makan padang X terdiri dari bahan baku dan

proses pengolahan rendang. Analisis bahaya pada bahan baku meliputi daging,

bumbu, dan santan. Sedangkan analisis bahaya pada proses pengolahan terdiri dari

penerimaan bahan baku, proses penyiapan bahan baku, proses penyiapan alat-alat

masak, jadwal pembuatan, proses pemasakan, penyimpanan, dan distribusi. Berikut

ini analisis bahaya pada bahan baku (tabel 5.7) dan proses pengolahan (tabel 5.8).

75
Tabel 5.7 Analisis Bahaya pada Bahan Baku Rendang

Bahan Bahaya Sumber Bahaya Penilaian Risiko Pencegahan

Daging Biologi : - Perlakuan pada saat Tinggi Kebersihan tempat


Coliform pemotongan daging Berdasarkan Peraturan BPOM No. 5 Tahun penjualan, penyimpanan
di pasar 2015 tentang Pedoman cara ritel pangan yang daging pada suhu yang
- Suhu daging yang baik di pasar tradisional, daging yang sudah rendah dan tertutup serta
tidak dingin pada dipotong dipajang dalam kondisi dingin. Jika pemotongan menggunakan
saat penjualan tidak ada fasilitas pendingin maka daging alat yang bersih.
(29,9°C) harus habis pada hari penyembelihan dan
- Keberadaan lalat apabila tidak memungkinkan habis pada hari
sebagai perantara yang sama, daging disajikan pada suhu dingin
untuk terjadinya (4°C).
kontaminasi
- Penjualan daging
dengan kondisi
terbuka
Fisik : Debu, - Pemotongan Sedang Alas yang dipakai untuk
kayu, rambut menggunakan alas Berdasarkan Peraturan BPOM No. 5 Tahun memotong daging diganti
yang terbuat dari 2015 tentang Pedoman cara ritel pangan yang dengan alas yang aman
kayu baik di pasar tradisional: untuk makanan (food
- Penjualan daging - Pemotongan daging tidak menggunakan grade), penjualan daging
dalam keadaan alas pemotongan (talenan) kayu dalam keadaan tertutup, dan
terbuka

76
Bahan Bahaya Sumber Bahaya Penilaian Risiko Pencegahan

- Penjual tidak - Pedagang menutup rambutnya dengan penjual memakai penutup


menggunakan penutup kepala sampai benar-benar kepala
penutup kepala tertutup.
Bumbu Biologi : - Bumbu yang dijual Tinggi Penyajian bumbu memakai
- Coliform tidak menggunakan Berdasarkan Peraturan BPOM No. 5 Tahun wadah yang tertutup dan
- Lalat wadah yang tertutup 2015 tentang Pedoman cara ritel pangan yang bumbu-bumbu kering
sebagai - Bumbu kering yang baik di pasar tradisional, bumbu giling disimpan di tempat yang
perantara sudah lama disimpan disimpan dalam wadah kedap udara agar tidak kering
adanya dan tidak ditempat kontak dengan udara yang dapat mempercepat
kontaminasi pada tempat yang hilangnya aroma dan kontaminasi produk dari
bakteri kering udara, serangga, atau hewan lainnya. Pangan
- Jamur mentah kering dipajang pada wadah yang
bersih dan senantiasa diperiksa dari
kemungkinan infestasi hama/kutu atau
berjamur. Penyimpanan pangan mentah
kering sebaiknya dipertahankan tetap sejuk
dan kering untuk mencegah kerusakan karena
serangga dan bakteri.
Fisik : Debu, Bumbu dijual dengan Sedang Menggunakan wadah yang
rambut, tanah keadaan terbuka dan Berdasarkan Peraturan BPOM No. 5 Tahun tertutup, penjual memakai
yang penjual tidak 2015 tentang Pedoman cara ritel pangan yang penutup kepala, dan
menempel menggunakan penutup baik di pasar tradisional, bumbu giling

77
Bahan Bahaya Sumber Bahaya Penilaian Risiko Pencegahan

pada bumbu kepala, bumbu yang disimpan dalam wadah yang tertutup dan mencuci bumbu sebelum
sebelum akan dihaluskan tidak penjual menggunakan penutup kepala sampai dihaluskan
dihaluskan dicuci sampai bersih tertutup
Santan Biologi : - Sanitasi kebersihan Tinggi Menjaga kebersihan tempat
Coliform tempat mengolah Berdasarkan Peraturan BPOM No. 5 Tahun penjualan, tempat
santan yang tidak 2015 tentang Pedoman cara ritel pangan yang penampungan air tertutup,
higiene baik di pasar tradisional, lokasi penjualan serta menggunakan sarung
- Penjual yang tidak terjaga kebersihannya, bebas dari sampah, tangan
menggunakan bau, asap, kotoran, dan debu. Tempat
sarung tangan saat penjualan mudah dibersihkan dan dilakukan
mengolah tindakan sanitasi, mudah dipelihara, dan tidak
- Tempat terjadi pencemaran silang diantara produk
penampungan air ataupun bangunan. Bangunan dilengkapi
tidak tertutup dengan sumber air bersih, pipa mengalirkan
air, dan tempat penampungan air.
Fisik : serabut - Serabut yang jatuh Rendah Menggunakan wadah yang
kelapa, batok ke dalam wadah Berdasarkan Peraturan BPOM No. 5 Tahun setengah tertutup pada saat
kelapa, debu, santan 2015 tentang Pedoman cara ritel pangan yang memeras santan, mengupas
rambut - Terdapat sisa batok baik di pasar tradisional: kelapa sampai bersih,
kelapa pada kelapa - Penjual harus memiliki pengetahun, memakai penutup kepala,
yang sulit kemampuan, dan keterampilan mengenai dan menjaga kebersihan
dibersihkan tempat pengolahan

78
Bahan Bahaya Sumber Bahaya Penilaian Risiko Pencegahan

- Penjual tidak penanganan pangan yang baik agar tidak


memakai penutup menyebabkan kerusakan pangan.
kepala - Penjual menggunakan penutup kepala
- Tempat mengolah sampai benar-benar tertutup.
yang tidak bersih - Lokasi penjualan terjaga kebersihannya,
bebas dari sampah, bau, asap, kotoran, dan
debu. Tempat penjualan mudah
dibersihkan dan dilakukan tindakan
sanitasi, mudah dipelihara, dan tidak
terjadi pencemaran silang diantara produk
ataupun bangunan.

Berdasarkan tabel 5.7, bahaya yang terdapat pada bahan baku pembuatan rendang yaitu bahaya biologi berupa bakteri Coliform, lalat

sebagai perantara adanya kontaminasi bakteri, dan jamur. Sedangkan kontaminasi bahaya fisik meliputi debu, kayu, rambut, tanah yang

menempel pada bumbu sebelum dihaluskan, serabut kelapa, serta batok kelapa.

79
Tabel 5.8 Analisis Bahaya pada Proses Pengolahan Rendang

Tahapan
Bahaya Sumber Bahaya Penilaian Risiko Pencegahan
Proses
Penerimaan Fisik : debu, Adanya kontaminasi Rendah Pengangkutan menggunakan
bahan baku pasir pada saat proses Berdasarkan Peraturan BPOM No. 5 Tahun 2015 tempat penampungan bahan
pengangkutan tentang Pedoman cara ritel pangan yang baik di makanan yang tertutup dan
pasar tradisional, wadah yang digunakan untuk melakukan pengecekan bahan
mengirim pangan, kemasan maupun wadah dan makanan
material lainnya yang akan digunakan untuk
pangan sebaiknya dalam kondisi bersih dan tidak
digunakan untuk mengangkut bahan selain
pangan.
Kimia : Kontaminasi silang Rendah Menggunakan wadah yang
senyawa kimia dari plastik Berdasarkan Peraturan BPOM No. 5 Tahun 2015 aman untuk pangan
plastik berasal tentang Pedoman cara ritel pangan yang baik di
dari wadah pasar tradisional, penggunaan kemasan tidak
plastik menggunakan kemasan kantong plastik hitam,
plastik daur ulang, kertas koran/kertas bertinta,
dan kemasan yang dilarang lainnya untuk
pangan siap saji.
Proses Fisik : debu dan Debu, tanah, debu Rendah - Mencuci bahan baku
penyiapan tanah yang yang berterbangan Berdasarkan Keputusan BPOM No. sampai bersih
bahan baku menempel pada HK.03.1.23.04.12.2206 tahun 2012 tentang cara - Bahan baku yang sudah
bahan baku, dibersihkan ditempatkan

80
Tahapan
Bahaya Sumber Bahaya Penilaian Risiko Pencegahan
Proses
kotoran debu produksi pangan yang baik untuk industri rumah menggunakan wadah yang
dari langit- tangga: tertutup
langit - Lokasi Industri Rumah Tangan Pangan - Menjaga kebersihan dapur
(IRTP) seharusnya dijaga tetap bersih, bebas
dari sampah, bau, asap, kotoran, dan debu.
- Bangunan dan fasilitas IRTP seharusnya
menjamin bahwa pangan tidak tercemar oleh
bahaya fisik, biologis, dan kimia selama
dalam proses produksi serta mudah
dibersihkan dan disanitasi.
Proses Fisik : debu Penyimpanan alat-alat Sedang Penyimpanan alat masak pada
penyiapan masak tidak ditempat Berdasarkan Keputusan BPOM No. tempat yang tertutup (lemari),
alat-alat yang yang tertutup dan HK.03.1.23.04.12.2206 tahun 2012 tentang cara permukaan peralatan
dipakai wajan digantung di produksi pangan yang baik untuk industri rumah menghadap ke bawah, dan
dinding tangga, semua peralatan seharusnya diperlihara, mengelapnya sebelum
diperiksa, dan dipantau agar berfungsi dengan digunakan
baik dan selalu dalam keadaan bersih.
Penyimpanan peralatan yang telah dibersihkan
tetapi belum digunakan harus di tempat bersih
dan dalam kondisi baik, sebaiknya permukaan
peralatan menghadap ke bawah supaya

81
Tahapan
Bahaya Sumber Bahaya Penilaian Risiko Pencegahan
Proses
terlindung dari debu, kotoran, atau pencemaran
lainnya.

Kimia : cairan Membilas alat masak Rendah Mencuci dan membilas alat
pencuci piring tidak sampai bersih Berdasarkan Keputusan BPOM No. masak sampai bersih
HK.03.1.23.04.12.2206 tahun 2012 tentang cara
produksi pangan yang baik untuk industri rumah
tangga, pembersihan dan sanitasi sebaiknya
dilakukan dengan menggunakan proses fisik
(penyikatan, penyemprotan dengan air
bertekanan/penghisap vakum), proses kimia
(sabun atau deterjen), atau gabungan proses fisik
dan kimia untuk menghilangkan kotoran dan
lapisan jasad renik dari dan peralatan.
Jadwal - - - - - -
pembuatan
Proses Biologi : Terdapat bakteri yang Tinggi Pengaturan suhu pada saat
pemasakan patogen yang tahan panas Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI proses masak agar bakteri
tahan terhadap No.1096 Tahun 2011 tentang Higiene Sanitasi dapat dihilangkan
panas Jasaboga, pengaturan suhu dan waktu perlu
diperhatikan karena setiap bahan makanan
mempunyai waktu kematangan yang berbeda.

82
Tahapan
Bahaya Sumber Bahaya Penilaian Risiko Pencegahan
Proses
Suhu pengolahan minimal 90°C agar kuman
patogen mati dan tidak boleh terlalu lama agar
kandungan zat gizi tidak hilang akibat
penguapan.
Fisik : debu, - Kondisi dapur Rendah - Menjaga kebersihan dapur
serpihan batu yang tidak higiene Berdasarkan Keputusan BPOM No. dan
- Cobek dan ulek HK.03.1.23.04.12.2206 tahun 2012 tentang cara - Menggunakan cobek dan
yang sudah produksi pangan yang baik untuk industri rumah ulek yang tidak keropos
keropos tangga,
- Lokasi Industri Rumah Tangan Pangan
(IRTP) seharusnya dijaga tetap bersih, bebas
dari sampah, bau, asap, kotoran, dan debu.
- Bangunan dan fasilitas IRTP seharusnya
menjamin bahwa pangan tidak tercemar oleh
bahaya fisik, biologis, dan kimia selama
dalam proses produksi serta mudah
dibersihkan dan disanitasi.
- Permukaan peralatan yang kontak langsung
dengan pangan harus halus, tidak bercelah
atau berlubang, tidak mengelupas, tidak
berkarat, dan tidak menyerap air.

83
Tahapan
Bahaya Sumber Bahaya Penilaian Risiko Pencegahan
Proses
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 1096
Tahun 2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga,
keadaan peralatan harus utuh, tidak cacat, tidak
retak, tidak gompal, dan mudah dibersihkan.
Penyimpanan Biologi : - Wadah yang Tinggi Menggunakan wadah yang
dan distribusi - Lalat digunakan tidak Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 1096 tertutup, dan pengaturan suhu
sebagai tertutup Tahun 2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga : saat penyimpanan
perantara - Suhu makanan - Tempat atau wadah penyimpanan yang
kontaminasi dingin digunakan harus terpisah untuk setiap jenis
bakteri makanan jadi dan mempunyai tutup yang
- Pertumbuha dapat menutup sempurna dan dapat
n bakteri mengeluarkan udara panas dari makanan
untuk mencegah pengembunan.
- Penyimpanan makanan jadi harus
memperhatikan suhu yaitu > 60°C.
Fisik : debu - Lokasi penjualan Rendah - Menjaga kebersihan tempat
di pinggir jalan Berdasarkan Keputusan BPOM No. penyimpanan makanan dan
- Wadah tidak HK.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012 tentang rumah makan
tertutup Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri - Memakai wadah yang
Rumah Tangga : tertutup

84
Tahapan
Bahaya Sumber Bahaya Penilaian Risiko Pencegahan
Proses
- Lokasi IRTP seharusnya dijaga tetap bersih,
bebas dari sampah, bau, asap, kotoran, dan
debu.
- Bangunan dan fasilitas IRTP seharusnya
menjamin bahwa pangan tidak tercemar oleh
bahaya fisik, biologis, dan kimia selama
dalam proses produksi serta mudah
dibersihkan dan disanitasi.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 1096
Tahun 2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga,
tempat atau wadah penyimpanan yang
digunakan harus terpisah untuk setiap jenis
makanan jadi dan mempunyai tutup yang dapat
menutup sempurna dan dapat mengeluarkan
udara panas dari makanan untuk mencegah
pengembunan.
Kimia : bahan Kontaminasi silang Tinggi - Memilih dan menggunakan
kimia pada dari plastik/kertas Berdasarkan Keputusan BPOM No. kemasan yang aman
plastik/kertas pembungkus makanan HK.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012 tentang
pembungkus Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri
makanan Rumah Tangga, seharusnya menggunakan bahan
kemasan yang sesuai untuk pangan. Desain dan

85
Tahapan
Bahaya Sumber Bahaya Penilaian Risiko Pencegahan
Proses
bahan kemasan seharusnya memberikan
perlindungan terhadap produk dalam
memperkecil kontaminasi, mencegah kerusakan,
dan memungkinkan pelabelan yang baik.

Berdasarkan tabel 5.8, bahaya yang mengkontaminasi saat proses pengolahan rendang yaitu bahaya fisik berupa debu, pasir dan

serpihan batu, sedangkan bahaya biologi meliputi patogen yang tahan terhadap panas, lalat sebagai perantara kontaminasi bakteri dan

pertumbuhan bakteri, dan yang terakhir bahaya kimia berasal dari senyawa kimia plastik dari wadah plastik, cairan pencuci piring, dan

bahan kimia pada plastik/kertas pembungkus makanan.

86
5.8. Menentukkan Titik Kendali Kritis

Untuk menentukan titik kendali kritis menggunakan decision tree atau pohon

keputusan. Berikut ini penentuan titik kendali kritis pada bahan baku maupun

proses pemasakan rendang di rumah makan padang X.

5.8.1. Menentukkan Titik Kendali Kritis pada Bahan Baku Rendang

Dalam menetapkan titik kendali kritis bahan baku dengan proses

pengolahan menggunakan decision tree yang berbeda. Berikut ini penentuan

titik kendali kritis pada bahan baku daging, bumbu, dan santan.

87
Tabel 5.9 Penetapan Titik Kendali Kritis pada Bahan Baku Daging, Bumbu, dan Santan

TKK /
Bahan Bahaya Sumber Bahaya Pencegahan P1 P2 P3 Bukan Alasan
TKK
Daging Fisik: - Pemotongan Alas yang dipakai Ya Ya Tidak Bukan TKK Pada tahapan
Debu, Kayu menggunakan alas yang untuk memotong penyiapan bahan
terbuat dari kayu daging diganti dengan baku terdapat
- Penjualan daging dalam alas berbahan plastik proses pencucian
keadaan terbuka dan penjualan daging
dalam keadaan tertutup
Biologi: - Perlakuan pada saat Penyimpanan daging Ya Ya Tidak Bukan TKK Akan ada proses
- Coliform pemotongan daging di pada suhu yang rendah pemanasan pada
pasar dan tertutup serta saat memasak
- Suhu daging yang tidak pemotongan sehingga bakteri
sesuai pada saat penjualan menggunakan alat yang yang tumbuh dapat
- Keberadaan lalat sebagai bersih dihilangkan
perantara untuk terjadinya
kontaminasi
- Penjualan daging dengan
kondisi terbuka

88
TKK /
Bahan Bahaya Sumber Bahaya Pencegahan P1 P2 P3 Bukan Alasan
TKK
Bumbu Fisik: Bumbu dijual dengan keadaan Menggunakan wadah Ya Tidak - TKK Proses berikutnya
Debu, rambut, terbuka dan penjual tidak yang tertutup, penjual tidak ada tahapan
tanah yang menggunakan penutup memakai penutup untuk
menempel pada kepala, bumbu yang akan kepala, dan mencuci menghilangkan
bumbu sebelum dihaluskan tidak dicuci bumbu sebelum bahaya tersebut dan
dihaluskan sampai bersih dihaluskan tidak ada proses
penyaringan saat
mengolah masakan

Biologi: - Bumbu yang dijual tidak Penyajian bumbu Ya Ya Tidak Bukan TKK Terdapat proses
- Coliform menggunakan wadah memakai wadah yang pemanasan pada
- Lalat yang tertutup tertutup dan bumbu- saat memasak
sebagai - Bumbu kering yang sudah bumbu kering disimpan
perantara lama disimpan dan tidak di tempat yang kering
adanya ditempat pada tempat
kontaminasi yang kering
bakteri
- Jamur

89
TKK /
Bahan Bahaya Sumber Bahaya Pencegahan P1 P2 P3 Bukan Alasan
TKK
Santan Fisik : - Serabut yang jatuh ke Menggunakan wadah Ya Tidak - TKK Tidak dilakukannya
serabut kelapa, dalam wadah santan yang setengah tertutup, proses penyaringan
batok kelapa, - Terdapat sisa batok kelapa mengupas kelapa kembali pada saat
debu, rambut pada kelapa yang susah sampai bersih, penyiapan bahan
dibersihkan memakai penutup baku untuk
- Penjual tidak memakai kepala, dan menjaga memasak
penutup kepala kebersihan tempat
- Tempat mengolah yang pengolahan
tidak bersih
Biologi: - Sanitasi kebersihan Menjaga kebersihan Ya Ya Tidak Bukan TKK Saat proses
- Coliform tempat mengolah santan dan menggunakan pemasakan terjadi
yang tidak higiene sarung tangan pemanasan pada
- Penjual yang tidak rendang yang
menggunakan sarung dimasak sehingga
tangan saat mengolah bakteri dapat
dihilangkan

Berdasarkan tabel 5.9, menunjukkan bahwa bahan baku yang termasuk ke dalam titik kendali kritis yaitu bahaya fisik pada bumbu

dan santan. Hal itu dikarenakan pada proses berikutnya tidak ada tahapan untuk menghilangkan bahaya tersebut dan tidak dilakukannya

penyaringan kembali.

90
5.8.2. Menentukkan Titik Kendali Kritis pada Proses Pengolahan

Rendang

Dalam penentuan titik kendali kritis pada proses pengolahan rendang

tidak sama dengan penentuan TKK bahan baku. Hal itu dikarenakan diagram

pohon yang digunakan berbeda. Berikut ini penentuan titik kendali kritis pada

proses pengolahan terdiri dari, penerimaan bahan baku, penyiapan bahan baku,

proses penyiapan alat-alat yang dipakai, proses pemasakan, serta penyimpanan

dan distribusi.

91
Tabel 5.10 Penetapan Titik Kendali Kritis pada Proses Pengolahan Rendang

TKK /
Tahap
Bahaya Penyebab Pencegahan P1 P2 P3 P4 Bukan Alasan
Proses
TKK
Penerimaan Fisik : Debu, Adanya Pengangkutan bahan Ya Tidak Ya Ya Bukan Mudah dihilangkan dan proses
bahan baku pasir kontaminasi makanan menggunakan TKK selanjutnya bisa
pada saat proses tempat penampungan menghilangkan bahaya
pengangkutan yang tertutup dan tersebut
dan penjualan melakukan pengecekan
saat dipasar bahan makanan
Kimia : senyawa Kontaminasi Menggunakan wadah Ya Tidak Ya - TKK Monomer plastik
kimia plastik silang dari yang aman untuk menkontaminasi bahan baku
yang dipakai plastik pangan
sebagai wadah
Penyiapan Fisik : debu dan Debu, tanah, - Mencuci bahan Ya Ya - - TKK Pada proses ini sudah
bahan baku tanah yang Debu yang baku sampai bersih menghilangkan bahaya fisik
menempel pada berterbangan - Bahan baku yang dengan mencuci bahan baku
bahan baku, sudah dibersihkan daging dan bumbu (daun jeruk,
kotoran debu ditempatkan daun kunyit, dan serai)
dari bangunan menggunakan sebelum dimasak, namun pada
(langit-langit, wadah yang saat setelah mencuci bahan
jendela) tertutup baku tidak ditempatkan pada
- Menjaga kebersihan wadah yang tertutup sehingga
dapur debu dapat menempel kembali

92
TKK /
Tahap
Bahaya Penyebab Pencegahan P1 P2 P3 P4 Bukan Alasan
Proses
TKK
Penyiapan Fisik : Debu Penyimpanan - Penyimpanan alat Ya Tidak Tidak - Bukan Tahap ini sudah
alat-alat yang alat-alat masak masak pada tempat TKK menghilangkan debu pada alat
dipakai tidak ditempat yang tertutup masak yang akan digunakan
yang tertutup (lemari) atau
dan digantung permukaan
di dinding peralatan
menghadap ke
bawah
- Mengelapnya atau
mencuci sebelum
digunakan
Kimia : cairan Membilas alat Mencuci dan membilas Ya Tidak Ya Tidak TKK Bahan kimia yang terkandung
pencuci piring masak tidak alat masak sampai di cairan pencuci piring dapat
sampai bersih bersih mengkontaminasi masakan
Pemasakan Fisik : Debu, - Kondisi - Menjaga kebersihan Ya Ya - - TKK Bahaya fisik yang tidak terlihat
serpihan batu dapur yang dapur dan dapat dikonsumsi oleh
tidak - Menggunakan konsumen
higiene cobek dan ulek
- Cobek dan yang tidak keropos
ulek yang
sudah
keropos

93
TKK /
Tahap
Bahaya Penyebab Pencegahan P1 P2 P3 P4 Bukan Alasan
Proses
TKK
Biologi : Terdapat bakteri Pengaturan suhu pada Ya Ya - - TKK Bakteri yang terdapat di bahan
Patogen yang yang tahan saat proses masak agar baku dapat dihilangkan pada
tahan terhadap panas bakteri dapat tahap ini dengan suhu yang
panas dihilangkan tepat
Penyimpanan Fisik : Debu - Lokasi - Menjaga kebersihan Ya Tidak Ya Tidak TKK Debu yang berterbangan dapat
dan distribusi penjualan di tempat mengkontaminasi rendang di
pinggir jalan penyimpanan etalase
- Wadah tidak makanan dan
tertutup rumah makan
- Memakai wadah
yang tertutup
Biologi : - Wadah yang - Menggunakan Ya Tidak Ya Tidak TKK Selama penyimpanan rendang
- Lalat sebagai digunakan wadah yang tidak dipanaskan kembali
perantara tidak tertutup
kontaminasi tertutup - Pengaturan suhu
bakteri - Suhu saat penyimpanan
- Pertumbuhan makanan
bakteri dingin
Kimia : Senyawa Kontaminasi Memilih dan Ya Tidak Ya Tidak TKK Perpindahan monomer plastik
kimia silang dari menggunakan kemasan atau kertas ke makanan
plastik/kertas plastik/kertas yang aman sehingga makanan
pembungkus pembungkus terkontaminasi
makanan makanan

94
Berdasarkan tabel 5.10, menunjukkan bahwa pada proses pengolahan rendang yang menjadi titik kendali kritis yaitu bahaya kimia

pada tahap penerimaan bahan baku, bahaya fisik tahap penyiapan bahan baku, bahaya kimia tahap penyiapan alat-alat yang dipakai, bahaya

fisik dan biologi tahap pemasakan, serta bahaya fisik, biologi dan kimia pada tahap penyimpanan dan distribusi.

5.9. Menentukan Batas Kritis pada masing-masing TKK

Setelah menentukan titik kendali kritis, kemudian menentukkan batas kritis untuk memusnahkan atau mengendalikan bahaya sampai

dititik yang aman. Batas kritis ditentukan berdasarkan dari bahaya yang ada di bahan baku ataupun proses pengolahan. Berikut ini merupakan

penentuan batas kritis pada TKK bahan baku (Tabel 5.11.) dan proses pengolahan (Tabel 5.12.) di rumah makan padang X.

Tabel 5.11 Penentuan Batas Kritis pada TKK Bahan Baku Rendang

Bahan Bahaya Pencegahan Batas Kritis


Bumbu Fisik : Debu, rambut, tanah yang Menggunakan wadah yang tertutup, penjual Bebas dari benda asing (debu,
menempel pada bumbu sebelum memakai penutup kepala, mencuci bumbu rambut, dan tanah)
dihaluskan sebelum dihaluskan
Santan Fisik : serabut kelapa, batok Menggunakan wadah yang setengah tertutup, Bebas dari benda asing (serabut
kelapa, debu, rambut mengupas kelapa sampai bersih, memakai penutup kelapa, batok kelapa, debu, dan
kepala, dan menjaga kebersihan tempat rambut)
pengolahan

95
Berdasarkan tabel 5.11, batas kritis untuk menghindari bahaya fisik tersebut yaitu bebas dari benda asing berupa debu, rambut,
tanah yang menempel pada bumbu sebelum dihaluskan, serabut kelapa, dan batok kelapa.

Tabel 5.12 Penentuan Batas Kritis pada TKK Proses Pengolahan Rendang

Tahap
Bahaya Pencegahan Batas Kritis
Proses
Penerimaan Kimia : senyawa kimia plastik Menggunakan wadah yang aman untuk pangan Plastik yang digunakan jenis
bahan baku yang dipakai sebagai wadah plastik PP, HDPE, LDPE, dan
PET atau terdapat logo serta
tulisan aman untuk makanan
Penyiapan Fisik : debu dan tanah yag - Mencuci bahan baku sampai bersih Bebas dari benda asing (debu)
bahan baku menempel pada bahan baku, - Bahan baku yang sudah dibersihkan
kotoran debu dari langit-langit ditempatkan menggunakan wadah yang
tertutup
- Menjaga kebersihan dapur
Proses Kimia : cairan pencuci piring Mencuci dan membilas alat masak sampai bersih Bebas dari bahan kimia yang
penyiapan terdapat di cairan pencuci piring
alat-alat yang
dipakai
Proses Biologi : patogen yang tahan Pengaturan suhu pada saat proses masak agar Suhu saat memasak minimal 90°C
pemasakan terhadap panas bakteri dapat dihilangkan
Fisik : debu, serpihan batu - Menjaga kebersihan dapur dan - Sanitasi dapur yang baik
- Menggunakan cobek dan ulek yang tidak - Bebas dari benda asing
keropos (serpihan batu)

96
Tahap
Bahaya Pencegahan Batas Kritis
Proses
Penyimpanan Fisik : debu - Menjaga kebersihan tempat penyimpanan - Sanitasi etalase dan rumah
dan distribusi makanan dan rumah makan makan yang baik
- Memakai wadah yang tertutup - Bebas dari benda asing (debu)
Biologi : lalat sebagai perantara - Menggunakan wadah yang tertutup - Bebas dari lalat dan bakteri
kontaminasi bakteri, - Pengaturan suhu saat penyimpanan - Suhu penyimpanan > 60°C
pertumbuhan bakteri
Kimia : senyawa kimia Memilih dan menggunakan kemasan yang aman Plastik atau kertas yang digunakan
plastik/kertas cocok untuk makanan panas, jenis
plastik PP atau terdapat logo
serta tulisan aman untuk makanan

Berdasarkan tabel 5.12, batas kritis pada masing-masing TKK saat memasak rendang yaitu plastik atau kertas yang digunakan cocok

untuk makanan panas, jenis plastik PP, HDPE, LDPE, dan PET atau terdapat logo serta tulisan aman untuk makanan, bebas dari benda

asing berupa debu dan serpihan batu, bebas dari bahan kimia pencuci piring, suhu pemasakan minimal 90°C, dan sanitasi dapur yang baik,

Sanitasi etalase dan rumah makan yang baik, bebas dari lalat dan bakteri serta suhu penyimpanan > 60°C.

97
5.10. Pemantauan Batas Kritis Setiap TKK

Pemantauan batas kritis pada masing-masing TKK mencakup apa yang dipantau, dimana dilakukan pemantauan, bagaimana cara

pemantauan, kapan dilakukan pemantauan dan siapa yang memantau. Berikut ini adalah tabel pemantauan batas kritis bahan baku (tabel

5.13) dan proses pengolahan rendang (tabel 5.14) dirumah makan padang X.

Tabel 5.13 Pemantauan Batas Kritis pada Bahan Baku Rendang

Pemantauan
Bahan Bahaya Pencegahan Batas Kritis
Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
Bumbu Fisik : Menggunakan wadah Bebas dari benda Keadaan Pasar - Memastikan Saat proses Penjual
Debu, yang tertutup, penjual asing (debu, bahan baku tradisional tidak ada penghalusan
rambut, memakai penutup rambut, tanah) (bumbu) tanah yang bumbu dan
tanah yang kepala, dan mencuci menempel penjualan di
menempel bumbu sebelum pada pasar
pada bumbu dihaluskan bumbu.
sebelum - Memastikan
dihaluskan wadah yang
digunakan
untuk
berjualan,
dan
memakai

98
Pemantauan
Bahan Bahaya Pencegahan Batas Kritis
Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
penutup
kepala
Santan Fisik : Menggunakan wadah Bebas dari benda Keadaan Pasar - Memastikan Proses Penjual
Serabut yang setengah asing (serabut bahan baku tradisional tidak ada membuat
kelapa, tertutup, mengupas kelapa, batok (santan) bahaya fisik santan
batok kelapa sampai bersih, kelapa, debu, yang masuk
kelapa, memakai penutup dan rambut) ke dalam
debu, kepala, dan menjaga santan.
rambut kebersihan tempat - Memastikan
pengolahan menggunak
an penutup
kepala

Berdasarkan tabel 5.13, pemantauan batas kritis bahan baku bumbu dan santan yaitu dengan melihat keadaan bahan baku bumbu dan

santan. Tempat dilakukannya pemantauan di pasar tradisional pada saat proses membuat bumbu dan santan. Pelaksanaannya pemantauan

dengan memastikan tidak ada tanah yang menempel pada bumbu, wadah yang digunakan untuk berjualan dan memakai penutup kepala, serta

tidak ada bahaya fisik yang masuk ke dalam santan. Pemantauan dilakukan oleh penjual bumbu dan santan.

99
Tabel 5.14 Pemantauan Batas Kritis pada Proses Pengolahan Rendang

Tahap Pemantauan
Bahaya Pencegahan Batas Kritis
Proses Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
Penerimaan Kimia : Menggunakan wadah Plastik yang Plastik Pasar Mengecek Saat Penjamah
bahan baku senyawa yang aman untuk digunakan jenis jenis plastik membeli makanan
kimia pangan plastik PP, HDPE, yang dipakai bahan baku
plastik LDPE, dan PET atau penjual
yang sebagai
dipakai terdapat logo serta wadah bahan
sebagai tulisan aman untuk baku
wadah makanan
Penyiapan Fisik : - Mencuci bahan Bebas dari benda Keadaan Dapur Pengecekan Setiap Penjamah
bahan baku debu dan baku sampai bersih asing (debu, tanah) bahan kembali menyiapkan makanan
tanah yang - Bahan baku yang baku yang bahan baku bahan baku
menempel sudah dibersihkan sudah yang sudah
pada bahan ditempatkan disiapkan disiapkan
baku, menggunakan
kotoran wadah yang
debu dari tertutup
langit- - Menjaga
langit kebersihan dapur
Penyiapan Kimia : Mencuci dan membilas Bebas dari bahan Keadaan Dapur Pengecekan Setiap Penjamah
alat-alat Cairan alat masak sampai kimia yang terdapat alat-alat alat-alat menyiapkan makanan
yang dipakai pencuci bersih di cairan pencuci untuk masak yang alat-alat
piring piring memasak akan dipakai masak

100
Tahap Pemantauan
Bahaya Pencegahan Batas Kritis
Proses Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
Pemasakan Fisik : - Menjaga - Sanitasi dapur Keadaan Dapur Mengecek Setiap Penjamah
Debu, kebersihan dapur yang baik rendang kebersihan memasak makanan
serpihan dan - Bebas dari benda pada saat dapur, dan rendang
batu, - Menggunakan asing (serpihan dimasak alat masak
cobek dan ulek batu, rambut)
yang tidak keropos
Biologi : Pengaturan suhu pada Suhu saat memasak Suhu Dapur Mengukur Setiap Penjamah
Patogen saat proses masak agar minimal 90°C pada saat suhu saat memasak makanan
yang tahan bakteri dapat memasak proses rendang
terhadap dihilangkan memasak
panas
Penyimpana Fisik : - Menjaga - Sanitasi etalase Keadaan Etalase Mengecek Setiap Penjamah
n dan debu kebersihan tempat dan rumah makan wadah dan kebersihan penyimpana makanan
distribusi penyimpanan dan yang baik dan rumah etalase dan n rendang
rumah makan - Bebas dari benda tempat makan rumah di etalase
- Memakai wadah asing (debu) penyimpa makan,
yang tertutup nan mengecek
wadah yang
dipakai
Biologi : - Menggunakan - Bebas dari lalat Keadaan Etalase Mengukur Setiap Penjamah
lalat wadah yang dan bakteri rendang suhu saat penyimpana makanan
sebagai tertutup - Suhu saat penyimpana n rendang
perantara - Pengaturan suhu penyimpanan penyimpa n dan di etalase
kontaminas saat penyimpanan >60°C nan mengecek
i bakteri,

101
Tahap Pemantauan
Bahaya Pencegahan Batas Kritis
Proses Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
pertumbuh wadah yang
an bakteri dipakai
Kimia : Memilih dan Plastik atau kertas Wadah Tempat Mengecek Setiap Penjamah
senyawa menggunakan wadah yang digunakan plastik/ke penjual jenis membeli makanan
kimia yang aman cocok untuk makanan rtas yang plastik plastik/kerta plastik/kert
plastik/kert panas, jenis plastik dipakai s yang as
as PP atau terdapat logo untuk dipakai
kemasan
serta tulisan aman rendang
untuk makanan

Berdasarkan tabel 5.14, pemantauan batas kritis proses pengolahan rendang yaitu dengan melihat plastik yang digunakan sebagai

wadah bahan baku, keadaan bahan baku yang sudah disiapkan, alat-alat untuk memasak, rendang pada saat dimasak, suhu saat memasak,

wadah dan tempat penyimpanan, rendang saat penyimpanan, dan wadah plastik/kertas yang dipakai untuk kemasan rendang. Pelaksanaan

pemantauan dilakukan di dapur, etalase, rumah makan, dan tempat penjual plastik. Pelaksanaan pemantauan batas kritis dilakukan dengan

mengecek jenis plastik yang dipakai penjual sebagai wadah bahan baku, pengecekan kembali bahan baku yang sudah disiapkan, pengecekan

alat-alat masak yang akan dipakai, mengecek kebersihan dapur dan alat masak, mengukur suhu saat proses memasak, mengecek kebersihan

etalase dan wadah yang dipakai, mengukur suhu saat penyimpanan, dan mengecek jenis plastik/kertas yang dipakai. Waktu dilaksanakannya

102
pemantauan pada setiap membeli bahan baku, menyiapkan bahan baku, menyiapkan alat-alat masak, saat memasak rendang, penyimpanan

rendang di etalase, dan membeli plastik/kertas. Pemantauan dilakukan oleh penjamah makanan.

5.11. Penetapan Tindakan Perbaikan

Dalam suatu proses, terdapat tahapan yang bahayanya melampaui batas atau produk yang dihasilkan tidak aman. Untuk

mengantisipasi hal tersebut, maka perlu dilakukan tindakan perbaikan. Berikut ini tindakan perbaikan pada bahan baku (Tabel 5.15) dan

proses pengolahan (Tabel 5.16) di rumah makan padang X.

Tabel 5.15 Tindakan Perbaikan pada Bahan Baku Rendang

Batas Pemantauan
Bahan Bahaya Tindakan Perbaikan
Kritis
Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
Bumbu Fisik : Debu, Bebas dari Keadaan Pasar - Memastikan Saat proses Penjual - Penjamah makanan
rambut, tanah benda asing bahan tradisional tidak ada penghalusan mengembalikan bahan baku,
yang (debu, baku tanah yang bumbu dan memberikan saran kepada
menempel rambut, (bumbu) menempel penjualan di penjual
pada bumbu tanah) pada pasar - Memilih penjual bahan baku
sebelum bumbu. (bumbu) yang dapat menjamin
dihaluskan - Memastikan keamanan pangan dan terhindar
wadah yang dari bahaya fisik
digunakan

103
Batas Pemantauan
Bahan Bahaya Tindakan Perbaikan
Kritis
Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
untuk
berjualan,
dan
memakai
penutup
kepala
Santan Fisik : Bebas dari Keadan Pasar - Memastikan Proses Penjual - Penjamah makanan
serabut benda asing bahan tradisional tidak ada membuat mengembalikan bahan baku,
kelapa, batok (serabut baku bahaya fisik santan memberikan saran kepada
kelapa, debu, kelapa, (santan) yang masuk penjual
rambut batok ke dalam - Memilih penjual bahan baku
kelapa, santan. (santan) yang dapat menjamin
debu, dan - Memastikan keamanan pangan dan terhindar
rambut) menggunaka dari bahaya fisik
n penutup
kepala

Berdasarkan tabel 5.15, tindakan perbaikan yang dapat dilakukan pada bahan baku bumbu dan santan yaitu mengembalikan bahan

baku kepada penjual, memberikan saran kepada penjual, memilih penjual bahan baku yang dapat menjamin keamanan pangan dan terhindar

dari bahaya fisik.

104
Tabel 5.16 Tindakan Perbaikan pada Proses Pengolahan Rendang

Tahap Pemantauan Tindakan


Bahaya Batas Kritis
Proses Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa Perbaikan
Penerimaan Kimia : Plastik yang Plastik pasar Mengecek Saat membeli Penjamah Memilih pemasok
bahan baku senyawa digunakan jenis jenis plastik bahan baku makanan yang dapat menjamin
kimia plastik PP, yang dipakai kemasan yang
plastik yang HDPE, LDPE, penjual dipakai aman untuk
dipakai dan PET atau sebagai makanan dan
sebagai terdapat logo wadah bahan mengganti plastik
wadah serta tulisan baku yang aman untuk
aman untuk pangan
makanan
Penyiapan Fisik : debu Bebas dari Keadaan Dapur Pengecekan Setiap Penjamah Penjamah makanan
bahan baku dan tanah benda asing bahan baku kembali menyiapkan makanan mencuci kembali
yang (debu, tanah) yang sudah bahan baku bahan baku bahan baku yang
menempel disiapkan yang sudah akan digunakan dan
pada bahan disiapkan membersihkan dapur
baku,
kotoran
debu dari
langit-langit
Proses Kimia : Bebas dari Keadaan Dapur Pengecekan Setiap Penjamah Penjamah makanan
penyiapan cairan bahan kimia alat-alat alat-alat menyiapkan makanan membilas kembali
yang terdapat di alat-alat yang dipakai

105
Tahap Pemantauan Tindakan
Bahaya Batas Kritis
Proses Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa Perbaikan
alat-alat yang pencuci cairan cairan untuk masak yang alat-alat
dipakai piring pencuci piring memasak akan dipakai memasak
Proses Biologi : Suhu saat Suhu pada Dapur Mengukur Setiap Penjamah Penjamah makanan
pemasakan patogen memasak saat suhu saat memasak makanan mengatur suhu
yang tahan minimal 90°C memasak proses rendang sampai minimal 90°C
terhadap memasak atau jika suhu tidak
panas sesuai dapat
memperpanjang atau
mempersingkat
waktu pemasakan
Fisik : debu, - Sanitasi Keadaan Dapur Mengecek Setiap Penjamah Penjamah makanan
serpihan dapur yang rendang pada kebersihan memasak makanan membersihkan dapur
batu baik saat dimasak dapur, dan rendang serta mengganti ulek
- Bebas dari alat masak dan cobek yang
benda asing sudah keropos
(serpihan
batu, debu)
Penyimpanan Fisik : debu - Sanitasi Keadaan Etalase Mengecek Setiap Penjamah Penjamah makanan
dan distribusi etalase dan wadah dan dan kebersihan penyimpanan makanan membersihkan
rumah tempat rumah etalase dan rendang di etalase dan rumah
makan baik penyimpanan makan rumah etalase makan serta
makan,

106
Tahap Pemantauan Tindakan
Bahaya Batas Kritis
Proses Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa Perbaikan
- Bebas dari mengecek mengganti wadah
benda asing wadah yang yang ada tutupnya
(debu) dipakai
Biologi : - Bebas dari Keadaan Etalase Mengukur Setiap Penjamah Penjamah mengatur
lalat sebagai lalat dan rendang saat suhu saat penyimpanan makanan suhu saat
perantara bakteri penyimpanan penyimpanan rendang di penyimpanan
kontaminasi - Suhu dan etalase dietalase >60°C serta
bakteri, penyimpana mengecek mengganti wadah
pertumbuha n >60°C wadah yang yang ada tutupnya
n bakteri dipakai
Kimia : Plastik atau Wadah Tempat Mengecek Setiap Penjamah Penjamah makanan
senyawa kertas yang plastik/kertas penjual jenis membeli makanan mengganti jenis
kimia digunakan yang dipakai plastik plastik/kertas plastik/kertas plastik/kertas
cocok untuk untuk yang dipakai
plastik/kerta pembungkus
makanan panas, kemasan
s rendang makanan
jenis plastik PP
atau terdapat
logo serta
tulisan aman
untuk makanan

107
Berdasarkan tabel 5.16, tindakan perbaikan yang dapat dilakukan pada proses pengolahan rendang yaitu memilih pemasok yang dapat

menjamin kemasan yang dipakai aman untuk makanan dan mengganti plastik yang aman untuk pangan, mencuci kembali bahan baku yang

akan digunakan, membilas kembali alat-alat masak yang dipakai, suhu diatur minimal 90°C atau jika suhu tidak sesuai dapat memperpanjang

atau mempersingkat waktu pemasakan dan membersihkan dapur, mengganti ulek dan cobek yang sudah keropos, membersihkan etalase dan

rumah makan serta mengganti wadah yang ada tutupnya, mengatur suhu saat penyimpanan di etalase >60°C, dan mengganti jenis

plastik/kertas pembungkus makanan.

5.12. Penetapan Prosedur Verifikasi

Verifikasi yang dilakukan pada bahan baku dan proses pengolahan rendang di rumah makan padang X sebagai berikut.

Tabel 5.17 Prosedur Verifikasi pada Bahan Baku Rendang

Pemantauan
Bahan Bahaya Batas Kritis Tindakan Perbaikan Verifikasi
Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
Bumbu Fisik : Bebas dari Keadaan Pasar - Memastikan Saat proses Penjual - Penjamah Penjamah
Debu, benda asing bahan tradisional tidak ada penghalusan makanan makanan meninjau
rambut, (debu, baku tanah yang bumbu dan mengembalikan penjual yang dapat
tanah yang rambut, (bumbu) menempel penjualan di bahan baku, memenuhi kriteria
menempel tanah) pada bumbu. pasar bahan baku

108
Pemantauan
Bahan Bahaya Batas Kritis Tindakan Perbaikan Verifikasi
Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
pada - Memastikan memberikan saran bumbu yang aman
bumbu wadah yang kepada penjual dari bahaya fisik
sebelum digunakan - Memilih penjual
dihaluskan untuk bahan baku
berjualan, dan (bumbu) yang
memakai dapat menjamin
penutup keamanan pangan
kepala dan terhindar dari
bahaya fisik
Santan Fisik : Bebas dari Keadan Pasar - Memastikan Proses Penjual - Penjamah Penjamah
serabut benda asing bahan tradisional tidak ada membuat makanan makanan meninjau
kelapa, (serabut baku bahaya fisik santan mengembalikan penjual yang dapat
batok kelapa, batok (santan) yang masuk bahan baku, memenuhi kriteria
kelapa, kelapa, debu, ke dalam memberikan saran bahan baku santan
debu, dan rambut) santan. kepada penjual yang aman dari
rambut - Memastikan - Memilih penjual bahaya fisik
menggunakan bahan baku
penutup (santan) yang
kepala
dapat menjamin
keamanan pangan
dan terhindar dari
bahaya fisik

109
Berdasarkan tabel 5.17, prosedur verifikasi pada bahan baku rendang yaitu penjamah makanan meninjau penjual yang dapat

memenuhi kriteria bahan baku bumbu dan santan yang aman dari bahaya fisik.

Tabel 5.18 Prosedur Verifikasi pada Proses Pengolahan Rendang

Tahap Pemantauan Tindakan


Bahaya Batas Kritis Verifikasi
Proses Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa Perbaikan
Penerimaan Kimia : Plastik yang Plastik pasar Mengecek Saat membeli Penjamah Memilih pemasok Penjamah
bahan baku senyawa digunakan jenis jenis plastik bahan baku makanan yang dapat menjamin meninjau penjual
kimia plastik plastik PP, yang dipakai kemasan yang yang dapat
yang dipakai HDPE, LDPE, penjual dipakai aman untuk menjamin
sebagai dan PET atau sebagai makanan dan kemasan plastik
wadah wadah bahan mengganti plastik yang digunakan
terdapat logo
baku yang aman untuk aman untuk
serta tulisan
pangan pangan dan
aman untuk
mengecek jenis
makanan tulisan
plastik yang
aman untuk
dipakai
makanan
Penyiapan Fisik : debu Bebas dari benda Keadaan Dapur Pengecekan Setiap Penjamah Penjamah makanan Penjamah
bahan baku dan tanah asing (debu, bahan baku kembali menyiapkan makanan mencuci kembali makanan
yang tanah) yang sudah bahan baku bahan baku bahan baku yang meninjau
menempel disiapkan yang sudah akan digunakan dan kebersihan bahan
pada bahan disiapkan membersihkan dapur baku dan tempat
baku, kotoran pengolahan

110
Tahap Pemantauan Tindakan
Bahaya Batas Kritis Verifikasi
Proses Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa Perbaikan
debu dari
langit-langit
Proses Kimia : Bebas dari bahan Keadaan alat- Dapur Pengecekan Setiap Penjamah Penjamah makanan Penjamah
penyiapan cairan kimia yang alat untuk alat-alat menyiapkan makanan membilas kembali makanan
alat-alat yang pencuci terdapat di cairan memasak masak yang alat-alat alat-alat yang dipakai meninjau alat-alat
dipakai piring cairan pencuci akan dipakai memasak yang dipakai
piring
Proses Biologi : Suhu saat Suhu pada Dapur Mengukur Setiap Penjamah Penjamah makanan Penjamah
pemasakan patogen yang memasak saat suhu saat memasak makanan mengatur suhu makanan telah
tahan minimal 90°C memasak proses rendang sampai minimal 90°C mencatat suhu
terhadap memasak atau jika suhu tidak pada saat
panas sesuai dapat memasak
memperpanjang atau
mempersingkat
waktu pemasakan
Fisik : debu, - Sanitasi Keadaan Dapur Mengecek Setiap Penjamah Penjamah makanan Penjamah
serpihan batu dapur yang rendang pada kebersihan memasak makanan membersihkan dapur makanan telah
baik saat dimasak dapur, dan rendang serta mengganti ulek mengecek alat
- Bebas dari alat masak dan cobek yang masak dan
benda asing sudah keropos meninjau
(serpihan kebersihan dapur
batu, debu)
Penyimpanan Fisik : debu - Sanitasi Keadaan Etalase Mengecek Setiap Penjamah Penjamah makanan Penjamah telah
dan distribusi etalase dan wadah dan dan kebersihan penyimpanan makanan membersihkan meninjau

111
Tahap Pemantauan Tindakan
Bahaya Batas Kritis Verifikasi
Proses Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa Perbaikan
rumah makan tempat rumah etalase dan rendang di etalase dan rumah kebersihan
baik penyimpanan makan rumah etalase makan serta etalase dan
- Bebas dari makan, mengganti wadah rumah makan
serta mengecek
benda asing mengecek yang ada tutupnya
wadah yang
(debu) wadah yang dipakai
dipakai
Biologi : lalat - Bebas dari Keadaan Etalase Mengukur Setiap Penjamah Penjamah mengatur Penjamah telah
sebagai lalat dan rendang saat suhu saat penyimpanan makanan suhu saat mencatat suhu
perantara bakteri penyimpanan penyimpanan rendang di penyimpanan saat penyimpanan
kontaminasi - Suhu dan etalase dietalase >60°C serta dan mengecek
bakteri, penyimpanan mengecek mengganti wadah wadah yang
pertumbuhan >60°C wadah yang yang ada tutupnya dipakai
bakteri dipakai
Kimia : Plastik atau Wadah Tempat Mengecek Setiap Penjamah Penjamah makanan Penjamah telah
senyawa kertas yang plastik/kertas penjual jenis membeli makanan mengganti jenis mengecek jenis
kimia digunakan cocok yang dipakai plastik plastik/kertas plastik/kertas plastik/kertas plastik/kertas
untuk makanan untuk yang dipakai
plastik/kertas pembungkus pembungkus
panas, jenis kemasan
rendang makanan makanan
plastik PP atau
terdapat logo
serta tulisan
aman untuk
makanan

112
Berdasarkan tabel 5.18, prosedur verifikasi pada proses pengolahan rendang yaitu penjamah makanan meninjau penjual yang dapat

menjamin kemasan plastik yang digunakan aman untuk pangan dan mengecek jenis plastik yang dipakai, meninjau kebersihan bahan baku dan

tempat pengolahan, telah mengecek jenis plastik yang digunakan aman untuk pangan, meninjau alat-alat yang dipakai, telah mencatat

pengukuran suhu pada saat memasak, telah mengecek alat masak, meninjau kebersihan dapur, meninjau kebersihan etalase dan rumah makan

serta mengecek wadah yang dipakai, telah mencatat suhu saat penyimpanan, serta telah mengecek jenis plastik/kertas pembungkus makanan.

5.13. Dokumentasi dan Pencatatan

Pada proses penerapan HACCP harus didokumentasikan dan dicatat. Berikut ini tabel pencatatan pada bahan baku rendang (Tabel

5.25) dan proses pengolahan rendang (Tabel 5.19), serta tabel dokumentasi (tabel 5.20) di rumah makan padang X.

Tabel 5.19 Pencatatan pada Bahan Baku Rendang

Batas Pemantauan
Bahan Bahaya Tindakan Perbaikan Verifikasi Pencatatan
Kritis
Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
Bumbu Fisik : Bebas Keadaan Pasar - Memastikan tidak Saat proses Penjual - Penjamah makanan Memilih penjual Data
Debu, dari bahan tradisional ada tanah yang penghalusan mengembalikan bahan yang dapat pengecekan
rambut, benda baku menempel pada bumbu dan baku, memberikan memenuhi kriteria bahan baku
tanah yang asing (bumbu) bumbu. penjualan di saran kepada penjual bahan baku (bumbu)
menempel (debu, pasar

113
Batas Pemantauan
Bahan Bahaya Tindakan Perbaikan Verifikasi Pencatatan
Kritis
Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
pada rambut, - Memastikan - Memilih penjual bahan bumbu yang aman
bumbu tanah) wadah yang baku (bumbu) yang dari bahaya fisik
sebelum digunakan untuk dapat menjamin
dihaluskan berjualan, dan keamanan pangan dan
memakai penutup terhindar dari bahaya
kepala fisik
Santan Fisik : Bebas Keadan Pasar - Memastikan tidak Proses Penjual - Penjamah makanan Memilih penjual Data
serabut dari bahan tradisional ada bahaya fisik membuat mengembalikan bahan yang dapat pengecekan
kelapa, benda baku yang masuk ke santan baku, memberikan memenuhi kriteria bahan baku
batok asing (santan) dalam santan. saran kepada penjual bahan baku santan (santan)
kelapa, (serabut - Memastikanmeng - Memilih penjual bahan yang aman dari
debu, kelapa, gunakan penutup baku (santan) yang bahaya fisik
rambut batok kepala dapat menjamin
kelapa, keamanan pangan dan
debu,
terhindar dari bahaya
dan
fisik
rambut)

Berdasarkan tabel 5.19, pencatatan yang dilakukan pada bahan baku rendang yaitu berupa data pengecekan bahan baku bumbu dan santan.

114
Tabel 5.20 Pencatatan Proses Pengolahan Rendang

Tahap Pemantauan Tindakan


Bahaya Batas Kritis Verifikasi Pencatatan
Proses Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa Perbaikan
Penerimaan Kimia : Plastik yang Plastik pasar Mengecek Saat Penjamah Memilih pemasok Penjamah Data
bahan baku senyawa digunakan jenis jenis plastik membeli makanan yang dapat meninjau pengecekan
kimia plastik PP atau yang dipakai bahan baku menjamin kemasan penjual yang jenis plastik
plastik yang terdapat logo penjual yang dipakai aman dapat
dipakai serta tulisan sebagai untuk makanan menjamin
sebagai aman untuk wadah bahan kemasan
wadah makanan baku plastik yang
digunakan
aman untuk
pangan
Penyiapan Fisik : debu Bebas dari Keadaan Dapur Pengecekan Setiap Penjamah Penjamah makanan Penjamah Data
bahan baku dan tanah benda asing bahan baku kembali menyiapkan makanan mencuci kembali makanan pengecekan
yang (debu, tanah) yang sudah bahan baku bahan baku bahan baku yang meninjau penyiapan
menempel disiapkan yang sudah bahan baku
akan digunakan dan kebersihan
pada bahan disiapkan dan
baku, membersihkan bahan baku dan kebersihan
kotoran dapur tempat dapur
debu dari pengolahan
langit-langit
Proses Kimia : Bebas dari Keadaan Dapur Pengecekan Setiap Penjamah Penjamah makanan Penjamah Data
penyiapan cairan bahan kimia alat-alat alat-alat menyiapkan makanan membilas kembali makanan pengecekan
alat-alat yang pencuci yang terdapat di untuk masak yang alat-alat alat-alat yang meninjau alat- peralatan
dipakai piring cairan cairan memasak akan dipakai memasak masak
dipakai alat yang
pencuci piring
dipakai

115
Tahap Pemantauan Tindakan
Bahaya Batas Kritis Verifikasi Pencatatan
Proses Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa Perbaikan
Proses Biologi : Suhu saat Suhu pada Dapur Mengukur Setiap Penjamah Penjamah makanan Penjamah Data
pemasakan patogen memasak saat suhu saat memasak makanan mengatur suhu makanan telah pengukuran
yang tahan minimal 90°C memasak proses rendang sampai minimal mencatat suhu temperatur
terhadap memasak dan analisis
90°C atau jika suhu pada saat
panas laboratorium
tidak sesuai dapat memasak
memperpanjang atau
mempersingkat
waktu pemasakan
Fisik : debu, - Sanitasi Keadaan Dapur Mengecek Setiap Penjamah Penjamah makanan Penjamah Data
serpihan dapur yang rendang kebersihan memasak makanan membersihkan makanan pengecekan
batu baik pada saat dapur, dan rendang dapur serta mengecek alat alat masak dan
- Bebas dari dimasak alat masak
mengganti ulek dan masak dan
kebersihan
benda asing dapur
(serpihan cobek yang sudah meninjau
batu) keropos kebersihan
dapur
Penyimpanan Fisik : debu - Sanitasi Keadaan Etalase Mengecek Setiap Penjamah Penjamah makanan Penjamah telah Data
dan distribusi etalase dan wadah dan dan kebersihan penyimpana makanan membersihkan meninjau pengecekan
rumah tempat rumah etalase dan n rendang di etalase dan rumah kebersihan kebersihan
etalase dan etalase dan
makan baik penyimpana makan rumah etalase makan serta
rumah makan rumah makan
- Bebas dari n makan, mengganti wadah serta mengecek serta wadah
benda asing mengecek yang ada tutupnya wadah yang untuk
(debu) wadah yang dipakai menyimpan
dipakai rendang di
etalase

116
Tahap Pemantauan Tindakan
Bahaya Batas Kritis Verifikasi Pencatatan
Proses Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa Perbaikan
Biologi : - Bebas dari Keadaan Etalase Mengukur Setiap Penjamah Penjamah mengatur Penjamah telah Data
lalat sebagai lalat dan rendang saat suhu saat penyimpana makanan suhu saat mencatat suhu pengukuran
perantara bakteri penyimpana penyimpanan n rendang di penyimpanan saat temperatur,
analisis
kontaminasi - Suhu n dan etalase dietalase >60°C penyimpanan
laboratorium,
bakteri, penyimpana mengecek serta mengganti dan mengecek pengecekan
pertumbuha n >60°C wadah yang wadah yang ada wadah yang wadah untuk
n bakteri dipakai tutupnya dipakai menyimpan
rendang di
etalase
Kimia : Plastik atau Wadah Tempat Mengecek Setiap Penjamah Penjamah makanan Penjamah telah Data
senyawa kertas yang plastik/kerta penjual jenis membeli makanan mengganti jenis mengecek jenis pengecekan
kimia digunakan s yang plastik plastik/kertas plastik/kerta plastik/kertas plastik/kertas jenis
cocok untuk dipakai yang dipakai s plastik/kertas
plastik/kerta pembungkus pembungkus
makanan panas, untuk pembungkus
s kemasan makanan makanan makanan
jenis plastik PP
rendang
atau terdapat
logo serta
tulisan aman
untuk makanan

Berdasarkan tabel 5.20, pencatatan yang dilakukan pada saat proses pengolahan adalah data pengecekan jenis plastik, pengecekan

penyiapan bahan baku dan kebersihan dapur, data pengecekan peralatan masak, data pengukuran temperatur dan analisis laboratorium, data

117
pengecekan kebersihan etalase dan rumah makan serta wadah untuk menyimpan

rendang di etalase, dan data pengecekan jenis plastik/kertas pembungkus makanan.

Tabel 5.21 Dokumentasi

Dokumentasi HACCP
1. Informasi Proses dan Produk
1.1. Deskripsi Produk
1.2. Tujuan Akhir Penggunaan Produk
1.3. Diagram Alir
1.4. Konfirmasi Diagram Alir
2. HACCP
2.1. Identifikasi analisis bahaya
2.2. Menentukkan titik kendali kritis (TKK)
2.3. Menentukkan batas kritis
2.4. Pemantauan batas kritis
2.5. Penetapan tindakan perbaikan
2.6. Penetapan prosedur verifikasi
2.7. Pencatatan dan Dokumentasi

Berdasarkan tabel 5.21, dokumentasi HACCP proses memasak rendang

terdiri dari deskripsi produk, tujuan akhir penggunaan produk, diagram alir,

konfirmasi diagram alir, identifikasi analisis bahaya, menentukkan TKK,

menentukkan batas kritis, pemantauan batas kritis, penetapan tindakan perbaikan,

penetapan prosedur verifikasi, serta pencatatan dan dokumentasi. Data yang

didokumentasikan juga dari hasil analisis laboratorium, pengukuran temperatur dan

lembar pengecekan.

118
5.14. Hasil Pengujian Mikrobiologi pada Rendang

Rendang di rumah makan padang X yang sudah matang dilakukan

pengujian mikrobiologis untuk melihat apakah terdapat pertumbuhan bakteri atau

tidak. Rendang diuji pada 0 jam, 12 jam, dan 24 jam. Berikut ini hasil pengujian

tersebut.

Tabel 5.22 Hasil Pengujian Bakteri pada Rendang

Keterangan
Rendang 0 Rendang 12 Rendang 24
Bakteri (SNI
Jam Jam Jam
7474:2009)
Angka < 1,0 x 101 1,0 x 102 9,6 x 102
Memenuhi
Lempeng Total koloni/gr koloni/gr koloni/gr
syarat
(ALT)
Coliform < 3 APM/gr < 3 APM/gr < 3 APM/gr Memenuhi
syarat
Salmonella Negatif Negatif Negatif Memenuhi
syarat
Clostridium Negatif Negatif Negatif Memenuhi
perfringens syarat
Kapang dan < 1,0 x 101 < 1,0 x 101 < 1,0 x 101 Memenuhi
khamir koloni/gr koloni/gr koloni/gr syarat

Berdasarkan tabel 5.22, menunjukkan bahwa rendang 0 jam, 12 jam, dan 24

jam masih berada dibawah ambang batas SNI. Namun, angka lempeng total

mengalami kenaikan pada rendang 0 jam sampai dengan 24 jam. Sedangkan bakteri

Coliform, serta kapang dan khamir tidak mengalami kenaikan. Untuk bakteri

Salmonella dan Clostridium perfringens tidak ditemukan (negatif) pada rendang 0

jam, 12 jam, maupun 24 jam.

Berikut ini adalah grafik dari pertumbuhan bakteri ALT pada rendang 0 jam,

12 jam, dan 24 jam.

119
Grafik 6.1 Pertumbuhan Bakteri ALT pada Rendang 0 Jam, 12 Jam, dan 24 Jam

Berdasarkan grafik 6.1, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan

pertumbuhan bakteri ALT pada rendang 0 jam, 12 jam, dan 24 jam.

120
BAB VI

PEMBAHASAN

6.1. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan pada penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Pada penelitian ini tidak dilakukan analisis kualitas kimia (pH, kadar air, kadar

abu, kadar lemak, dan kadar protein) sehingga tidak diketahui faktor yang

mempengaruhi keberadaan bakteri dari segi kualitas kimia.

2. Pada penelitian ini tidak melakukan pengujian kualitas mikrobiologi (virus,

parasit (cacing)). Hal itu mengakibatkan tidak dapat mengetahui keberadaan

mikrobiologi di dalam bahan baku maupun rendang yang sudah matang.

3. Pada penelitian ini tidak menguji kualitas air yang digunakan untuk mencuci

bahan baku dan pemerasan santan, serta analisis swab peralatan masak dan

wadah penyimpanan sehingga tidak dapat diketahui sumber kontaminasi bakteri

secara rinci.

6.2. Tim HACCP

Tim HACCP adalah kelompok orang didalam perusahaan yang bertugas

untuk merancang, menerapkan, dan mengendalikan sistem HACCP (Thaheer,

2005). (Mortimore & Wallace, 2004) mengemukakan bahwa kajian HACCP

sebaiknya tidak dijalankan oleh satu orang saja walaupun bagi perusahaan skala

menengah dan kecil. Pengembangan proyek HACCP harus dilakukan oleh tim

multidisipliner. Untuk keperluan penelitian ini maka peneliti dan satu orang teman

peneliti bertindak sebagai tim HACCP dan dari pihak luar yaitu petugas

laboratorium.

121
Menurut (Thaheer, 2005), bidang keahlian yang sebaiknya terwakilkan pada

tim HACCP perusahaan yaitu mikrobiologi, rekayasa proses, rekayasa mesin,

quality control, laboratory analyst, legal officer, dan procurement officer (masukan

mengenai bahan baku). Sedangkan (Mortimore & Wallace, 2004) tim HACCP

idealnya harus beranggotakan orang-orang yang memiliki pengetahuan dan

keahlian dibidang: jaminan mutu/teknis, pelaksanaan/produksi, dan teknik/mesin.

Tim HACCP pada penelitin ini mengetahui jaminan mutu/teknis untuk

mengendalikan bahaya atau menurunkan bahaya ke titik yang lebih aman. Tetapi

dalam proses pemasakan dan alat yang dipakai untuk masak tim HACCP tidak

mempunyai keahlian masak rendang. Sebelum melaksanakan HACCP, tim melihat

proses memasaknya terlebih dahulu sehingga mengetahui bagaimana alur

pembuatan rendang.

Berdasarkan uraian deskripsi produk rendang, pada penelitian ini

kekurangan sumber daya manusia untuk melakukan tim HACCP karena anggota

tim HACCP tidak ada yang mengetahui bagaimana proses pembuatan rendang.

Sehingga perlu menambahkan anggota HACCP yang dapat mengetahui proses

jalannya membuat rendang.

6.3. Deskripsi Produk

Deskripsi produk adalah perincian informasi lengkap mengenai produk

yang berisi tentang komposisi, sifat fisik atau kimia, perlakuan mikrosida atau

mikrostatis, pengemasan, kondisi penyimpanan, daya tahan, cara distribusi, bahkan

cara penyajian dan persiapan konsumsinya. Selain itu, dicantumkan informasi

mengenai produsen, batch produksi, tanggal produksi, kedaluwarsa, dan berbagai

informasi umum lainnya (Thaheer, 2005).

122
Hasil penelitian sejalan dengan teori (Thaheer, 2005) yaitu deskripsi produk

rendang di rumah makan padang X sudah mencantumkan komposisi, pengemasan,

penggunaan produk, masa kadaluarsa, tempat produk dijual, kondisi penyimpanan,

dan distribusi atau pemasaran.

Dari hasil wawancara kepada karyawan rumah makan padang didapatkan

masa kadaluarsa selama dua hari. Apabila rendang dipanaskan kembali dapat

bertahan sampai tujuh hari. Penelitian (Murhadi, Fardiaz, S, & Satiawihardja,

1994), mengemukakan bahwa terjadi peningkatan total mikroba pada rendang yang

tidak dipanaskan. Sedangkan pada rendang yang dipanaskan, angka total mikroba

mengalami penurunan. Sehingga rendang yang dipanaskan kembali masa

konsumsinya jadi lebih tahan lama.

6.4. Tujuan Akhir Penggunaan Rendang

Menurut (Thaheer, 2005), setiap produk yang akan dikendalikan melalui

penerapan sistem HACCP terlebih dahulu harus ditentukan rencana penggunaannya

atau dengan kata lain harus diidentifikasi terlebih dahulu sasaran konsumennya.

Kelompok konsumen yang dikategorikan memiliki risiko tinggi terhadap suatu

produk terdiri dari bayi, ibu hamil dan menyusui, manula, orang sakit atau dalam

perawatan pengobatan, dan orang dengan daya tahan tubuh yang rendah atau alergi

terhadap senyawa tertentu.

Hasil tujuan akhir penggunaan rendang pada penelitian ini berupa produk

rendang daging, dapat disajikan langung dikonsumsi setelah diolah, dan konsumen

yang dapat mengkonsumsi rendang berusia anak-anak hingga dewasa. Sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh (Yuniarti, Azlia, & Sari, 2015), dalam

deskripsi produk tempe tujuan akhir penggunaannya dapat di konsumsi langsung

123
dan konsumen berusia anak-anak hingga dewasa. Hasil penelitian tersebut sama

dengan penelitian (Trisnaini, 2012), pada deskripsi produk tujuan akhir penggunaan

bola-bola daging di Instalasi Gizi Rumah Sakit diperuntukan bagi pasien dari semua

kalangan, usia, dan kelas sehingga pasien anak-anak maupun dewasa dan pasien

kelas III sampai dengan kelas I dengan diet tinggi kalori dan tinggi protein dapat

mengkonsumsinya. Bola-bola daging yang telah dimasak, siap untuk dikonsumsi.

6.5. Bagan Alir Proses Pembuatan Rendang

Menurut (Hui, Cornillon, Lim, Murrell, & Nip, 2004), proses diagram alir

akan mengidentifikasi langkah-langkah yang digunakan dalam produksi produk

tertentu yang ditinjau. Diagram alir dirancang untuk memberikan deskripsi lengkap

tentang semua langkah yang terlibat dalam proses pembuatan dari bahan baku yang

diterima sampai pengiriman produk jadi. Sejalan dengan (Mortimore & Wallace,

2004) diagram alir memuat serangkaian langkah dalam keseluruhan proses.

Pada penelitian ini, diagram alir pembuatan rendang di rumah makan

padang X yaitu pertama-tama membeli bahan baku yang dibutuhkan untuk

membuat rendang terdiri dari daging sapi, bumbu, dan santan. Bumbu yang dibeli

sudah dihaluskan terlebih dahulu. Kemudian bahan baku diangkut dengan

menggunakan kendaraan bemotor. Kondisi bahan baku yang diterima masih sama

saat pembelian dipasar, tidak ada kerusakan pada bahan baku selama pengangkutan.

Sebelum bahan-bahan dimasak, dicuci terlebih dahulu untuk menghilangkan debu-

debu, pasir dan benda asing lainnya. Siapkan alat-alat masak yang akan dipakai dan

dibersihkan terlebih dahulu. Selanjutnya, masukkan bahan-bahan ke dalam wajan

atau penggorengan kemudian aduk rata. Tunggu sampai rendang matang dan

sesekali rendang diaduk.

124
Menurut (Sutomo, Rendang: Juara Masakan Terlezat Sedunia, 2012),

langkah pertama dalam memasak rendang adalah menyiapkan bahan-bahan.

Daging dipotong dengan ukuran sekitar 6 x 3 cm. Bumbu-bumbu dihaluskan dan

kelapa diperas menjadi santan. Setelah bumbu ditumis, kemudian santan

dimasukkan. Beberapa jenis rendang menggunakan teknik merebus bumbu dengan

santan tanpa ditumis terlebih dahulu. Selanjutnya santan dituang dan dimasak

hingga mendidih. Setelah santan mendidih, daging dimasukkan dan dimasak

dengan api sedang sambil sesekali diaduk-aduk hingga diperoleh tekstur rendang

yang kering dan timbul dedak kering.

Berdasarkan uraian bagan alir proses pembuatan rendang, dalam memasak

rendang tahapannya berbeda-beda. Ada yang langsung dimasukkan semua bahan-

bahan ataupun menumis bumbunya terlebih dahulu.

6.6. Mengkonfirmasi Alur Proses Pembuatan Rendang

Bagan alir yang dibuat belum dikatakan sama dengan proses sebenarnya di

lapangan, tetapi masih memerlukan evaluasi dan kepastian melalui pengamatan

langsung (Thaheer, 2005). Keakuratan diagram alir proses yang lengkap kemudian

harus diperiksa dengan cara mengamati jalannya proses dan membandingkan setiap

langkah pada proses dengan diagram (Mortimore & Wallace, 2004). Berikut ini

tahap mengkonfirmasi alur proses pembuatan rendang sebagai berikut.

1. Pembelian bahan baku

Pembelian bahan baku sebaiknya dibeli dari sumber yang layak

dipercaya. Penjual makanan yang ideal menjual bahan makanan yang

bersih, segar, dan tidak tercemar (Arisman, 2009). Pembelian bahan baku

125
untuk membuat rendang terdiri dari daging, bumbu, dan santan cair. Berikut

ini hasil uji mikrobiologis pada bahan baku pembuatan rendang.

a) Daging

Daging adalah bagian otot skeletal dari karkas sapi yang aman,

layak, dan lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar,

daging segar dingin, atau daging beku. Definisi daging segar adalah

daging yang belum diolah dan atau tidak ditambahkan dengan bahan

apapun (SNI 3938:2008). Rumah makan padang X dalam pembuatan

rendang menggunakan bahan baku daging segar. Hal ini terlihat dari

hasil uji fisik (tabel 5.4), daging yang digunakan berwarna merah terang

dengan skor tiga. Hal itu sesuai dengan standar SNI 3932:2008 pada

tingkat pertama. Hasil pada penelitian ini sejalan dengan penelitian

(Merthayasa, Suada, & Agustina, 2015), menunjukkan bahwa daging

sapi bali cenderung memiliki warna merah cerah dibandingkan

dengan daging wagyu yang memiliki warna lebih gelap akibat dikemas

dengan cara divakum sehingga tidak oksigen di dalamnya. Namun,

ketika dikeluarkan dari kemasan vakum, daging yang dikeluarkan akan

berubah warna menjadi merah terang.

Menurut Kuntoro, Maheswari, & Nuraini (2012) indikator

kontaminasi awal pada daging sapi segar salah satunya dapat dilihat

dari jumlah angka lempeng total (ALT) dan Escherichia coli, karena

bakteri tersebut terdapat secara alami pada daging sapi segar dan

dapat menimbulkan penyakit apabila keberadaannya berada di atas

ambang batas yang diperbolehkan. Hasil pengujian bakteri ALT

126
diperoleh sebesar 2,5 x 103 menunjukkan bahwa hasil uji tersebut masih

memenuhi persyaratan SNI 3932:2008 (tabel 5.3). Sejalan dengan

penelitian (Hernando, Septinova, & Adhianto, 2015), total mikroba

daging yang diteliti berkisar antara 0,93 x 105 - 3,1 x 105 koloni/gr yang

menunjukkan bahwa daging sapi tersebut memiliki kualitas yang masih

baik, sehingga layak untuk dikonsumsi.

Mikroba yang dapat dijadikan indikator keamanan pangan

umumnya adalah mikroba yang memiliki korelasi dengan adanya satu

atau lebih jenis mikroba patogen atau berkorelasi dengan adanya toksin

yang dihasilkannya. Di dalam golongan Coliform ini mungkin terdapat

lebih dari 20 spesies bakteri. Keberadaan kelompok bakteri Coliform

sangat berkorelasi dengan tingkat kebersihan dalam pengolahan pangan

sehingga secara luas digunakan sebagai indikator kebersihan dalam

pengolahan pangan (Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016). Berdasarkan

hasil uji Coliform pada daging tidak memenuhi syarat SNI 3938:2008

yaitu 1,7 x 102. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian

(Jasmadi, Haryani, & Jose, 2014), menunjukkan jumlah bakteri

Coliform pada daging berkisar antara angka 0,11 x 107 APM/gr hingga

>24 x 107 APM/gr. Jumlah bakteri Coliform melebihi ambang batas

dikarenakan penjualan daging di pasar tradisional kurang

memperhatikan aspek sanitasi dan higienis, penjualan daging dilakukan

dalam keadaan terbuka, dan daging disimpan dalam suhu yang tidak

dingin akibatnya akan berdampak pada perkembangbiakan bakteri

127
semakin cepat, serta peralatan yang tidak steril juga menambah

kontaminasi pada daging yang dijual.

Menurut (FDA, Evaluation and Definition of Potentially Hazardous

Foods - Chapter 3. Factors that Influence Microbial Growth, 2001),

perkembangbiakan bakteri dalam makanan ditentukan oleh keadaan

lingkungan serta temperatur yang cocok, selain ketersediaan zat gizi

sebagai sumber makanan. Bakteri Coliform dapat mengkontaminasi

daging dikarenakan suhu yang tidak sesuai Peraturan Menteri Kesehatan

No. 1096 Tahun 2011 yaitu 26,6°C. Didalam peraturan tersebut

penyimpanan bahan makanan seperti daging, ikan, udang, dan

olahannya yang akan digunakan dalam waktu 3 hari atau kurang suhu

berada direntang -5 sampai dengan 0°C. Penelitian yang dilakukan oleh

(Sakti, Rudyanto, & Suarjana, 2012), rata-rata dari hasil jumlah bakteri

Coliform pada telur ayam lokal yang disimpan pada suhu kamar dan

suhu chilling pada hari ke-1, 8, 15 dan 22 menunjukkan bahwa jumlah

rataan total bakteri Coliform pada suhu kamar ialah 93 x 104 lebih tinggi

dibandingkan jumlah rataan total bakteri Coliform pada suhu chilling

yaitu 60 x 104. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri Coliform yang

bersifat mesofilik dapat berkembang biak pada suhu kamar dengan baik

dibandingkan dengan suhu chilling.

Berdasarkan uraian pembelian bahan baku daging, daging yang

digunakan rumah makan padang X dalam kondisi baik dengan berwarna

merah terang. Dari hasil pengujian ALT, daging sudah memenuhi syarat

tetapi terdapat kontaminasi bakteri Coliform. Hal ini diasumsikan

128
bahwa ketika pembelian daging dipasar, dijual dengan keadaan yang

terbuka dan suhu daging tidak dingin dapat memicu perkembangbiakan

bakteri. Oleh karena itu, pemilik rumah makan padang X perlu

memperhatikan keadaan tempat penjualan dan suhu daging harus sesuai

standar Peraturan Menteri Kesehatan No. 1096 Tahun 2011.

b) Bumbu

Bumbu didefinisikan sebagai bahan yang mengandung satu atau

lebih jenis rempah yang ditambahkan ke dalam bahan makanan pada

saat makanan tersebut diolah (sebelum disajikan) dengan tujuan

memperbaiki aroma, cita-rasa, tekstur, dan penampakan secara

keseluruhan (Astawan, 2014). Menurut (Sutomo, Rendang: Juara

Masakan Terlezat Sedunia, 2012), bumbu-bumbu yang digunakan untuk

memasak rendang yaitu cabai merah, bawang merah, bawang putih,

daun kunyit, daun jeruk purut, kunyit, serai, daun salam, lengkuas, kayu

manis, ketumbar, jintan, asam kandis, asam gelugur, kemiri, pala, dan

jahe.

Keberadaan kelompok bakteri coliform sangat berkorelasi dengan

tingkat kebersihan dalam pengolahan pangan sehingga secara luas

digunakan sebagai indikator kebersihan dalam pengolahan pangan

(Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016). Berdasarkan pengujian bumbu

rendang terkontaminasi bakteri Coliform dengan hasil sebesar 1,1 x 103.

Hasil tersebut tidak sesuai dengan SNI 7388:2009. Bumbu yang dipakai

untuk membuat rendang di rumah makan padang X bermacam-macam

terdiri dari: cabai merah, daun jeruk purut, serai, daun kunyit, lengkuas,

129
kayu manis, ketumbar, jintan, asam kandis, asam gelugur, kemiri, pala,

bawang merah, bawang putih, jahe. Hasil pengujian tersebut sejalan

dengan penelitian yang dilakukan (Mirawati, Djajaningrat, & Purwanti,

2013), diketahui bahwa dari 21 sampel cabai giling ditemukan sebanyak

5 sampel yang terkotaminasi bakteri Coliform dan Colifecal.

Menurut SNI 7388:2009, angka lempeng total menunjukkan jumlah

mikroba dalam suatu produk. ALT secara umum tidak terkait dengan

bahaya keamanan pangan. Namun, untuk menujukkan kualitas, masa

simpan/waktu paruh, kontaminasi, dan status higienis pada saat proses

produksi. Hasil pengujian bumbu rendang pada bakteri ALT yaitu 3,0 x

105 dan telah memenuhi syarat SNI 7388:2009. Sejalan dengan

penelitian (Hendrawati, Suyasa, & Sujaya, 2014), menunjukkan ada

pengaruh pemberian larutan bawang putih menurunkan angka lempeng

total terhadap daya awet tahu. Tahu yang direndam dengan larutan

bawang putih konsentrasi 2% dan 4% dapat awet selama dua hari,

sedangkan konsentrasi 6% dapat awet selama tiga hari.

Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri adalah

makanan, suhu, kelembapan, ketersediaan oksigen, konsentrasi ion

hidrogen, dan adanya zat penghambat (Hayes, 1995). Dari pengukuran

temperatur bumbu didapatkan hasil sebesar 29,9°C. Suhu tersebut sesuai

dengan Peraturan BPOM No. 5 Tahun 2015, pangan yang akan diolah

lebih lanjut (bumbu, santan, dll) harus disimpan pada suhu 4°C atau jika

disimpan pada suhu kamar (28 - 32°C) sebaiknya tidak lebih dari 4 jam.

Menurut (FDA, Evaluation and Definition of Potentially Hazardous

130
Foods - Chapter 3. Factors that Influence Microbial Growth, 2001),

perkembangbiakan bakteri dalam makanan ditentukan oleh keadaan

lingkungan serta temperatur yang cocok, selain ketersediaan zat gizi

sebagai sumber makanan. Penelitian yang dilakukan oleh (Likotrafiti,

Anagnou, Lampiri, & Roades, 2014), pertumbuhan bakteri Escherichia

coli O157:H7 dan Salmonella Typhimurium terjadi penurunan secara

perlahan-lahan pada ketiga sayuran (selada, timun, dan peterseli) di suhu

10°C dan mengalami peningkatan jumlah bakteri Salmonella

Typhimurium pada suhu 20°C. Di suhu 30°C terjadi pertumbuhan kedua

bakteri tersebut. Pada ketiga sayuran segar tersebut terdapat risiko

mikrobiologi sehingga dapat dilakukan pencegahan dengan

penyimpanan atau penanganan pada suhu diatas 10°C.

Berdasarkan uraian pembelian bahan baku bumbu, bumbu rendang

yang dipakai di rumah makan padang X tidak terkontaminasi bakteri

ALT tetapi terdapat bakteri Coliform. Pada saat penjualan bumbu,

wadah yang digunakan tidak tertutup dan suhu tidak optimal sehingga

diperkirakan dapat menimbulkan adanya pertumbuhan bakteri. Oleh

karena itu, penjual bumbu memakai wadah yang dipakai harus tertutup

dan penyajian tidak lebih dari 4 jam. Pemilik rumah makan padang juga

perlu memperhatikan kondisi kebersihan bumbu saat membeli.

c) Santan

Santan adalah cairan putih kental hasil ekstrasi dari kelapa yang

dihasilkan dari ekstrak (daging buah) kelapa tua baik dengan atau tanpa

penambahan air (Gea, Sebayang, & Aththorick, 2016). Dalam proses

131
pembuatan di pasar tradisional, kelapa diparut terlebih dahulu kemudian

diperas dengan menggunakan air.

Secara normal, bakteri Coliform juga terdapat diperairan dalam

jumlah tertentu. Namun bila terjadi pencemaran air maka jumlah

Coliform akan menjadi lebih banyak di atas ambang batas dan dapat

melebih jumlah bakteri patogen lain. Oleh karena itu, jika bakteri

Coliform terdapat dalam jumlah besar di atas ambang batas, maka perlu

untuk memeriksa keberadaan patogen lain (Surono, Sudibyo, &

Waspodo, 2016). Dari hasil pengujian laboratorium pada santan,

terdapat bakteri Coliform sebesar 9. Hasil tersebut melebihi ambang

batas persyaratan SNI 7388:2009. Berdasarkan dari hasil observasi,

terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi adanya bakteri

tersebut yaitu, tempat pengolahan santan yang tidak higienis serta

wadah yang dipakai untuk menampung air bersih tidak dalam keadaan

tertutup sehingga air yang digunakan untuk membuat santan telah

tercemar, dan penjamah tidak menggunakan penutup kepala serta

sarung tangan. Hasil penelitian (Fatimah, Prasetyaningsih, & Sari,

2017), menunjukkan bahwa es dawet 100% mengandung bakteri

Coliform yang ditemukan pada santan.

Faktor lain yang dapat menyebabkan perkembangbiakan bakteri

adalah suhu pada santan. Menurut (Robertson, 2012), mikroorganisme

yang menyebabkan pembusukan pada makanan dipengaruhi oleh faktor

instrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik terdiri dari pH, kadar air,

kandungan gizi, unsur antimikroba, dan struktur biologis, sedangkan

132
faktor ekstrinsik meliputi suhu penyimpanan, kelembapan relatif

lingkungan, serta keberadaan dan konsentrasi gas di lingkungan.

Berdasarkan Peraturan BPOM No. 5 Tahun 2015, pangan yang

disiapkan untuk diproses lebih lanjut harus disimpan pada suhu 4°C atau

jika disimpan pada suhu kamar (28 - 32°C) sebaiknya tidak lebih dari 4

jam. Hasil pengukuran temperatur santan sesuai dengan Peraturan

tersebut, yaitu 32,1°C.

Menurut SNI 7388:2009, Angka Lempeng Total menunjukkan

jumlah mikroba dalam suatu produk. ALT secara umum tidak terkait

dengan bahaya keamanan pangan namun kadang bermanfaat untuk

menunjukkan kualitas, masa simpan atau paruh waktu, kontaminasi dan

status higienis pada saat proses produksi. Hasil pengujian Angka

Lempeng Total (ALT) pada santan masih di bawah ambang batas SNI

7388:2009 yaitu 2,3 x 103 koloni/gr. Hasil penelitian (Prihatini, 2008),

menunjukkan jumlah mikroba pada santan tanpa adanya pemanasan

yaitu 1,6 x 105. Hasil tersebut masih berada dibawah ambang batas.

Setelah dilakukan pemanasan dengan suhu 65oC masih terdapat jumlah

mikroba sebesar 1,3 x 104, di suhu 70oC jumlah mikroba sebesar 3,2 x

103. Pada pemanasan suhu 75, 80, 85, dan 90oC jumlah mikroba yang

terdapat dalam santan adalah nol.

Berdasarkan uraian pembelian bahan baku santan, hasil pengujian

bakteri pada santan terdapat bakteri Coliform. Hal itu diasumsikan

karena suhu pada saat penjualan tidak sesuai sehingga bakteri dapat

berkembangbiak dengan baik dan tempat pengolahan tidak higienis

133
serta air yang digunakan tercemar karena wadah untuk menampung air

bersih tidak tertutup. Maka dari itu, penjual perlu memperhatikan tempat

pengolahan harus bersih dan terhindar dari binatang pengganggu serta

wadah penampungan air tertutup. Pemilik rumah makan padang X juga

memilih penjual santan yang memperhatikan higiene sanitasi saat

penjualan dan pembuatan santan.

2. Penerimaan Bahan Baku

Bahan baku pembuatan makanan, umumnya berasal dari bahan pangan

segar (Laelasari, 2015). Cara pengangkutan makanan harus memenuhi

persyaratan sanitasi, misalnya apakah saran pengangkutan memiliki alat

pendingin dan tertutup. Pengangkutan tersebut dilakukan baik dari sumber

ke pasar maupun dari sumber ke tempat penyimpanan agar bahan makanan

tidak tercemar oleh kontaminan dan tidak rusak (Chandra, Pengantar

Kesehatan Lingkungan, 2006). Menurut (Arisman, 2009), barang yang baru

tiba harus diperiksa dengan cermat dan dipastikan bahwa suhu dan

kemasannya (kardus dan kaleng) dalam keadaan baik (tidak menggembung

atau rusak) selain potensi keberadaan jamur, serangga, dan juga bau.

Hasil observasi yang dilakukan, setelah pembelian bahan baku di pasar,

bahan baku dibawa menggunakan kendaraan bermotor dan dalam keadaan

tertutup dengan memakai wadah plastik dari pasar. Kemudian langsung

diturunkan dari kendaraan dan dibawa langsung ke dapur. Penerimaan

bahan baku daging, bumbu, dan santan masih dalam kondisi yang baik sama

dengan keadaan yang saat pembelian di pasar. Sejalan dengan penelitian

134
(Triandini, 2015), menunjukkan bahwa sebagian besar bahan makanan

secara umum cukup baik (75%).

Berdasarkan uraian penerimaan bahan baku, penerimaan bahan baku

rendang di rumah makan padang X masih dalam kondisi baik dan

menggunakan wadah yang tertutup rapat sehingga dapat meminimalisir

adanya pencemaran fisik selama pengangkutan dari pasar sampai ke dapur.

3. Proses Penyiapan Bahan Baku

Prinsip utama dalam penyiapan makan adalah perhatian terhadap

kebersihan personal, yaitu dengan mencuci tangan setelah beraktivitas.

Misalnya, setelah mengolah daging mentah, unggas, ikan laut, dan telur;

setelah menyentuh binatang; sehabis buang air besar dan kecil; setelah

mengganti popok; setelah bersin; dan lain-lain. Jangan pernah membiarkan

bahan makanan yang akan dikonsumsi bersentuhan dengan daging mentah

(Arisman, 2009).

Sebelum memasak rendang di rumah makan padang X, bahan baku

dipersiapkan terlebih dahulu, mengeluarkan dari plastik kemudian dicuci

dengan air mengalir untuk menghilang pasir dan debu serta membuang

bahan baku yang sudah rusak. Lalu serai dipipihkan terlebih dahulu sebelum

dimasak menggunakan ulek dan cobek. Hasil penelitian tersebut sesuai

dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1096 Tahun 2011 tentang higiene

sanitasi jasaboga, dilakukan pemilihan bahan untuk

memisahkan/membuang bagian bahan yang rusak serta semua bahan yang

siap dimasak harus dicuci dengan air mengalir. Sejalan dengan penelitian

135
(Naria, 2006), menunjukkan bahwa pedagang mencuci bahan sebelum

digunakan sebesar 89,7%.

Berdasarkan uraian penyiapan bahan baku, proses penyiapan bahan

baku di rumah makan padang X sebelum dimasak dicuci terlebih dahulu.

Tetapi untuk menghindari adanya kontaminasi berupa debu, sebaiknya

bahan baku yang sudah dicuci diletakkan pada wadah yang tertutup sebelum

dimasak.

4. Proses Penyiapan Alat-alat yang Dipakai

Alat memasak harus dirancang sedemikian rupa sehingga mudah

dibersihkan dan tidak mudah kotor (Arisman, 2009). Hasil penelitian

menunjukkan alat masak yang digunakan juga masih dalam kondisi tidak

rusak. Sebagaimana yang tertera dalam Keputusan Menteri Kesehatan No.

1098 Tahun 2003, bahwa peralatan yang digunakan tidak rusak, gompel,

retak, dan tidak menimbulkan pencemaran. Permukaan yang kontak

langsung dengan makanan harus conus atau tidak ada sudut mati, rata, halus,

dan mudah dibersihkan. Peralatan harus dalam keadaan bersih sebelum

digunakan.

Alat yang digunakan untuk memasak rendang terdiri dari

penggorengan, sodet, serta ulek dan cobek. Sebelum dipakai, peralatan dilap

terlebih dahulu untuk menghilang debu yang menempel di permukaan.

Sehingga dapat menghindari adanya kontaminasi bahaya fisik pada alat

masak. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan (Triandini, 2015),

menunjukkan bahwa sanitasi peralatan dalam kondisi cukup baik (66%).

136
Berdasarkan uraian penyiapan alat-alat yang dipakai, penyiapan dan

kondisi peralatan masak di rumah makan padang X yang digunakan untuk

memasak rendang cukup baik. Sebelum digunakan, alat di lap terlebih

dahulu menggunakan kain agar terhindar dari debu-debu yang menempel.

5. Jadwal Pembuatan

Bahan baku yang sudah dibeli di pasar tidak ada perlakuan penyimpanan

terlebih dahulu. Sesampai di rumah, bahan baku langsung diolah.

Pembuatan rendang dimulai sekitar pada pukul 08.47 WIB.

6. Proses Pemasakan

Pengolahan makanan merupakan aktivitas untuk mempersiapkan

makanan atau mengolah bahan baku menjadi layak untuk dimakan

(Laelasari, 2015). Menurut (Arisman, 2009), semua kegiatan pengolahan

makanan harus dilakukan dengan cara terlindung dari kontak langsung

dengan tubuh. Dalam proses ini yang perlu diperhatikan yaitu kesehatan

pekerja, kebersihan perorangan dan pencucian tangan; pengawasan waktu

dan temperatur makann; pembersihan perkakas serta permukaan yang

tersentuh selama penyiapan makanan.

Awal proses pemasakan dimulai dengan memasukkan daging, bumbu,

dan santan ke dalam penggorengan kemudian diaduk rata lalu masak dengan

api sedang dan tunggu hingga matang. Sesekali diaduk agar bagian bawah

masakan tidak hangus. Saat memasak, dilakukan pengukuran suhu dari awal

pemasakan hingga matang yaitu 82,8°C, 88,9°C, 81,3°C, dan 80,6°C.

Pengukuran dilakukan pada pukul 09.21 WIB, 09.57 WIB, 10.01 WIB, dan

10:54 WIB. Hasil tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan

137
No. 1096 Tahun 2011 tentang higiene sanitasi jasaboga, suhu pengolahan

makanan minimal 90°C agar kuman patogen mati. Penelitian yang

dilakukan (Suradi & Suryaningsih, 2008), menunjukkan bahwa jumlah total

bakteri paling sedikit pada temperatur pengasapan 80°C dengan lama

pengasapan 4 dan 6 jam, serta temperatur 70°C dengan lama pengasapan 6

jam. Total bakteri pada pengasapan tersebut lebih sedikit dibandingkan

dengan temperatur 70°C selama 4 jam, 60°C selama 4 dan 6 jam.

Rendahnya jumlah bakteri pada temperatur pengasapan 80°C, karena pada

temperatur pengasapan yang lebih tinggi dan waktu pengasapan lebih lama.

Saat memasak, penjamah makanan menggunakan penutup rambut, tidak

merokok, memotong dan menjaga kebersihan kuku, selalu menjaga

kebersihan tangan, tidak makan, tidak memakai perhiasan, tidak berjualan

saat sakit, menggunakan pakaian yang bersih saat memasak dan menyajikan

makanan. Namun, penjamah tidak menggunakan sepatu dapur melainkan

hanya memakai sandal dan tidak memakai apron/celemek. Hal tersebut

sudah hampir sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1098 Tahun

2003 tentang persyaratan hygiene sanitasi rumah makan dan restoran.

Dalam mengolah makanan, penjamah menggunakan alat seperti sendok

ataupun penjepit untuk mengambil makanan. Hal itu sudah sesuai dengan

Peraturan Menteri Kesehatan No. 1096 Tahun 2011 tentang higiene sanitasi

jasaboga. Penelitian yang dilakukan (Mulyani, 2014), diketahui bahwa dari

42 orang responden, jumlah responden yang berperilaku higiene yang baik

sebanyak 22 orang.

138
Berdasarkan uraian proses pemasakan rendang, suhu pada saat

memasak kurang optimal sehingga perlu diatur pemanasan saat memasak

agar bakteri dapat dihilangkan serta penjamah makanan hampir telah

menerapkan personal higiene saat mengolah makanan. Hanya saja

penjamah menggunakan sandal sebagai alas kaki dan tidak menggunakan

celemek.

7. Penyimpanan dan Distribusi

Kegiatan distribusi adalah melakukan perpindahan bahan/produk

makanan yang berasal dari tempat pengolahan untuk disampaikan kepada

konsumen (Laelasari, 2015). Menurut (Amaliyah, 2017), pengangkutan

makanan masak lebih tinggi resiko pencemarannya daripada pengangkutan

bahan makanan.

Setelah rendang matang, langsung dibawa dari dapur ke tempat

penyimpanan (etalase) menggunakan mangkuk yang tidak tertutup sehingga

rendang dapat terkontaminasi oleh bahaya fisik berupa debu yang

berterbangan. Hal tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Menteri

Kesehatan No. 1096 Tahun 2011, pengangkutan makanan jadi/masak

menggunakan wadah harus utuh, kuat, tidak karat, dan ukurannya memadai

dengan jumlah makanan yang akan ditempatkan. Pada saat pendistribusian

ke konsumen, rendang dibungkus dengan menggunakan plastik jika

konsumen hanya membeli rendangnya saja atau kertas pembungkus nasi

apabila membeli dengan nasi beserta lauk pauk lainnya. Hal itu sesuai

Peraturan Menteri Kesehatan No. 1096 Tahun 2011, nasi bungkus yaitu

139
penyajian makanan dalam satu campuran menu yang dibungkus dan siap

santap.

Dalam pengangkutan rendang, wadah yang dipakai tidak diisi sampai

penuh dikarenakan rendang yang dibawa masih dalam keadaan panas

sehingga menyulitkan penjamah makanan untuk membawanya jika terisi

penuh. Hal itu sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1096 Tahun

2011, isi tidak boleh penuh untuk menghindari terjadi uap makanan yang

mencair (kondensasi).

Penelitian yang dilakukan (Naria, 2006), menunjukkan bahwa 84,5%

pedagang tidak mempunyai alat khusus untuk mengangkut makanan yang

akan disajikan dan 98,3% pengangkutan makanan dilakukan dengan kondisi

tidak tertutup. Sedangkan penelitian (Nuryani, Putra, & Sudana, 2016),

menunjukkan sebagian besar pengangkutan makanan matang memenuhi

syarat 83,9%.

Menurut (Laelasari, 2015), ruang penyimpan makanan matang memiliki

peralatan pelengkap sebagai pemanas. Jika dapur tidak memiliki ruangan

khusus dapat disediakan fasilitas lemari tempat penyimpanan makanan.

kondisi lemari tersebut harus bersih, memiliki pintu/jendela khusus untuk

memasukkan dan mengeluarkan makanan, serta memiliki kontrol pengatur

suhu makanan.

Setelah rendang didistribusikan dari dapur, penyimpanan rendang

diletakkan pada etalase dan sisanya masih di dalam wajan yang dipakai

untuk memasak. Etalase yang digunakan dalam keadaan bersih dan ditutupi

oleh tirai. Namun, penyimpanan di etalase menggunakan wadah yang

140
dipakai saat mengangkut rendang dari dapur, sedangkan penyimpanan

didapur menggunakan wajan dengan keadaan tertutup. Wadah yang

digunakan tidak tertutup sehingga bisa terkontaminasi bahaya fisik ataupun

lalat. Selain itu, dilakukan pengukuran suhu saat penyimpanan rendang

selama 0 jam, 12 jam, dan 24 jam. Suhu rendang yang kurang dari 60°C

pada penyimpanan 12 jam dan 24 jam. Hal itu tidak sesuai dengan Peraturan

Menteri Kesehatan No. 1096 Tahun 2011, tempat atau wadah penyimpanan

harus terpisah untuk setiap jenis makanan jadi dan mempunyai tutup yang

dapat menutup sempurna tetapi berventilasi yang dapat mengeluarkan uap

air. Suhu penyimpanan makanan juga harus >60°C.

Penelitian yang dilakukan oleh (Yunus, Umboh, & Pinontoan, 2015),

menunjukkan bahwa dari 31 rumah makan padang, sebanyak 21 rumah

makan padang menyimpan makanan dengan baik. Penelitian (Naria, 2006),

diketahui bahwa tempat penyimpanan mudah dibersihkan dan dalam

keadaan bersih lebih dari 62% pedagang sudah melakukannya serta etalase

yang terhindar dari pencemaran dan serangga masih banyak yang tidak

memenuhi syarat yaitu lebih dari 80%.

Berdasarkan uraian penyimpanan dan distribusi, pengangkutan dan

penyimpanan di etalase tidak menggunakan wadah yang tertutup sehingga

dapat memicu adanya kontaminasi selama pengangkutan dan penyimpanan.

Suhu pada saat penyimpanan pun juga harus diperhatikan karena dapat

mempengaruhi pertumbuhan bakteri.

141
6.7. Identifikasi Analisis Bahaya

Menurut (Thaheer, 2005), analisis bahaya merupakan evaluasi secara

sistematik pada makanan spesifik dan bahan baku atau ingredient untuk

menentukan risiko. Risiko keamanan pangan yang harus diperiksa meliputi: aspek

keamanan kontaminasi bahan kimia, aspek keamanan kontaminasi fisik, dan aspek

keamanan kontaminasi biologis termasuk di dalamnya mikrobiologi. Berikut ini

analisis bahaya pada proses pembuatan rendang di rumah makan padang X.

1. Analisis bahaya bahan baku

a) Daging

Analisis bahaya bahan baku rendang dapat dilihat pada tabel 5.7. Di

dalam bahan baku daging terdapat bahaya biologi yaitu bakteri Coliform.

Menurut (Ayustaningwarno, et al., 2014), bakteri Coliform mengindikasi

adanya bakteri patogen sehingga hal tersebut harus diwaspadai. Sejalan

dengan (Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016), keberadaan bakteri Coliform

sangat berkolerasi dengan tingkat kebersihan dalam pengolahan pangan

sehingga secara luas digunakan sebagai indikator kebersihan dalam

pengolahan pangan. Kelompok bakteri Coliform, umumnya juga berasal

dari kotoran hewan dan manusia, tetapi diantara kelompok Coliform

terdapat golongan yang lebih tahan panas atau sering disebut sebagai

thermotolerant coliform atau sering dikenal sebagai fecal coliform

(Coliform yang berasal dari tinja).

Sumber bahaya yang dapat memicu terkontaminasinya bakteri Coliform

di daging meliputi suhu daging yang tidak sesuai yaitu 26,6oC, lalat dapat

menjadi perantara terkontaminasinya daging, serta menjual dengan kondisi

142
terbuka. Hal tersebut sejalan dengan penelitian (Jasmadi, Haryani, & Jose,

2014), jumlah bakteri Coliform pada sampel daging sapi dari pasar

tradisional maupun pasar modern melebihi nilai ambang batas cemaran

bakteri Coliform menurut SNI 7388:2009. Penjualan daging di pasar

tradisional kurang memperhatikan aspek sanitasi dan higienis, penjualan

daging dilakukan dalam keadaan terbuka, dan daging disimpan dalam suhu

yang tidak dingin akibatnya akan berdampak pada perkembangbiakan

bakteri semakin cepat, serta peralatan yang tidak steril juga menambah

kontaminasi pada daging yang dijual di pasar tradisional. Selain itu,

penjualan daging dipasar terbuka juga dapat menyebabkan konsumen

memilih daging dengan memegang secara langsung sehingga dapat

berkontribusi terhadap kontaminasi daging dengan daging lainnya. Sama

halnya dengan penelitian (Kuntoro, Maheswari, & Nuraini, 2012),

menunjukkan bahwa cemaran mikroba Coliform pada daging segar berada

diatas ambang batas maksimum SNI 3932:2008.

Pencegahan yang dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan tempat

penjualan, penyimpanan daging pada suhu yang rendah dan tertutup, serta

memotong dengan menggunakan alat yang bersih. Menurut (Chandra,

Pengantar Kesehatan Lingkungan, 2006), untuk dapat meminimalisir

adanya kontaminasi mikroba, daging dijaga agar jangan sampai

terkontaminasi debu dan ditempatkan pada wadah yang tidak terlalu

terbuka, selain itu daging juga jangan terlalu banyak dipegang. Upaya

sanitasi juga dilakukan terhadap pasar dan alat-alat yang digunakan.

143
Tidak hanya itu, terdapat beberapa bahaya fisik yang mencemari daging

yaitu bersumber dari alas pemotongan daging berupa potongan kayu yang

dapat menempel pada daging, menjual daging tidak dalam keadaan yang

tertutup sehingga memicu debu dapat mengkontaminasi daging, dan rambut

pedagang yang rontok dikarenakan penjual tidak menggunakan penutup

kepala atau hairnet. Hal itu tidak sesuai dengan Peraturan BPOM No. 5

Tahun 2015 tentang pedoman cara ritel pangan yang baik di pasar

tradisional, yaitu pemotongan daging tidak menggunakan alas pemotongan

(talenan) kayu, dan pedagang yang menangani pangan segar sebaiknya

menutup rambutnya dengan hairnet atau penutup kepala sampai benar-

benar tertutup. Untuk menghindari adanya bahaya fisik tersebut dapat

menggunakan alas memotong berbahan plastik yang aman bagi makanan

(food grade), menjual daging dengan keadaan tertutup, serta penjual

memakai penutup kepala sampai menutupi rambutnya.

Berdasarkan uraian analisis bahaya bahan baku daging, terdapat bahaya

fisik berupa debu, rambut, maupun kayu, dan bahaya biologi yang

mengkontaminasi daging berupa bakteri Coliform. Bahaya-bahaya tersebut

bersumber dari alas yang digunakan untuk memotong berbahan dasar kayu,

penjual tidak memakai penutup kepala, penjualan dalam kondisi terbuka,

menjual daging dengan suhu yang tidak dingin, serta lalat dapat menjadi

perantara terkontaminasinya daging. Pencegahan yang dapat dilakukan

untuk menghindari atau meminimalisir adanya kontaminasi pada daging

yaitu, mengganti alas pemotongan dengan bahan plastik yang aman untuk

144
makanan, penjual memakai hairnet atau penutup kepala, menjual dengan

keadaan tertutup, serta daging disajikan pada suhu yang sesuai atau dingin.

b) Bumbu

Bumbu rendang yang dipakai di rumah makan padang X terdapat

bahaya fisik maupun biologi. Bahaya biologi yang mengkontaminasi

bumbu rendang meliputi bakteri Coliform, lalat yang dapat menjadi

perantara adanya kontaminasi tersebut, dan jamur. Bakteri Coliform

mengindikasi adanya bakteri patogen sehingga hal tersebut harus

diwaspadai (Ayustaningwarno, et al., 2014). Menurut (Surono, Sudibyo, &

Waspodo, 2016), keberadaan bakteri Coliform sangat berkolerasi dengan

tingkat kebersihan dalam pengolahan pangan sehingga secara luas

digunakan sebagai indikator kebersihan dalam pengolahan pangan. Dari

hasil pengujian laboratorium yang telah dilakukan, bumbu rendang

terkontaminasi bakteri Coliform sehingga tidak memenuhi syarat SNI

7388:2009. Sejalan dengan penelitian (Mirawati, Djajaningrat, & Purwanti,

2013), diketahui bahwa ditemukannya sebanyak 5 sampel cabai giling

terkontaminasi bakteri Coliform dan Colifecal. Sama halnya dengan

penelitian (Musliati, Fifendy, & Periadnadi, 2013) membuktikan bahwa

cabai merah giling yang dijual dari beberapa pasar tradisional umumnya

tidak layak dikonsumsi karena mengandung bakteri Coliform. Penelitian

(Putri, Periadnadi, & Indriati, 2014) juga membuktikan bahwa serai giling

yang dijual di pasar umumnya tidak layak konsumsi karena mengandung

bakteri Coliform.

145
Mengkontrol suhu merupakan metode yang paling banyak digunakan

untuk mengendalikan mikroba dalam makanan. Hal ini dapat digunakan

untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen atau mematikan

mikroorganisme yang tidak diinginkan (Batt & Tortorello, 2014). Hasil

pengukuran suhu pada bumbu rendang sudah sesuai dengan Peraturan

BPOM No. 5 Tahun 2015 tentang pedoman cara ritel pangan yang baik di

pasar tradisional yaitu 29,9°C. Didalam peraturan tersebut tercantum bahwa

pangan yang akan diolah lebih lanjut (bumbu, santan, dll) harus disimpan

pada suhu 4°C atau jika disimpan pada suhu kamar (28 - 32°C) sebaiknya

tidak lebih dari 4 jam.

Di dalam bumbu rendang tidak terlepas dari bahaya fisik. Bahan

pencemar makanan fisik berupa kontaminan yang dapat terlihat dengan

kasat mata. Keberadaannya karena dibawa oleh hewan maupun karena

manusia atau penjamah makanan yang mengelola makanan dengan tidak

higienis (Amaliyah, 2017). Bahaya tersebut muncul dikarenakan bumbu

halus yang dijual tidak menggunakan wadah yang tertutup, bumbu kering

yang sudah lama disimpan dan tidak ditempat pada tempat yang kering,

bumbu yang dihaluskan tidak dicuci sampai bersih, serta penjual tidak

memakai penutup kepala. Hal itu tidak sesuai dengan Peraturan BPOM No.

5 Tahun 2015 tentang pedoman cara ritel pangan yang baik di pasar

tradisional, pangan yang akan disiapkan untuk proses lebih lanjut sebaiknya

dilindungi dari pencemaran dengan cara ditempatkan pada wadah bertutup

serta pangan mentah yang kering dipajang pada wadah yang bersih dan

diperiksa dari kemungkinan infestasi hama/kutu atau berjamur. Rempah-

146
rempah yang akan diolah menjadi bumbu giling dipilih yang segar, bersih,

dan tidak berjamur. Tidak hanya itu, pedagang yang menangani pangan

segar dan pangan siap saji sebaiknya menutup rambutnya dengan hairnet

atau penutup kepala sampai benar-benar tertutup sehingga dapat dihindari

kemungkinan ada rambut yang mencemari pangan.

Untuk mencegah ataupun menghindari adanya kontaminasi bahaya fisik

dan bahaya biologi dapat dilakukan dengan menggunakan wadah yang

tertutup pada saat menjual, penjual memakai penutup kepala sampai

rambutnya tertutup, bumbu kering disimpan di tempat yang kering, dan

mencuci bumbu sebelum dihaluskan.

Berdasarkan uraian analisis bahaya bahan baku, terdapat bahaya dalam

bumbu rendang terdiri dari bakteri Coliform, lalat yang menjadi perantara

kontaminasi bakteri, jamur, debu, dan rambut. Pencegahan yang dapat

dilakukan yaitu dengan menggunakan wadah yang tertutup pada saat

menyajikan bumbu giling, penjual memakai hairnet untuk menutupi rambut

sampai benar-benar tertutup, bumbu kering disimpan di tempat yang kering,

dan mencuci bumbu sebelum dihaluskan.

c) Santan

Secara normal bakteri Coliform juga terdapat di perairan dalam jumlah

tertentu. Namun bila terjadi pencemaran air maka jumlah Coliform akan

menjadi lebih banyak di atas ambang batas dan dapat melebihi jumlah

bakteri patogen lain. Oleh karena itu, jika bakteri Coliform terdapat dalam

jumlah besar diatas ambang batas, maka perlu untuk memeriksa keberadaan

bakteri patogen lain (Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016).

147
Santan yang dipakai untuk membuat rendang terkontaminasi bahaya

biologi berupa bakteri Coliform. Sumber adanya kontaminasi tersebut yaitu

tempat pengolahan santan tidak higiene, penjual tidak memakai sarung

tangan, serta tempat penampungan air yang tidak tertutup. Hasil dari

pengujian laboratorium, santan mengandung bakteri Coliform yang tidak

memenuhi syarat SNI 7388:2009. Penelitian yang dilakukan oleh (Fatimah,

Prasetyaningsih, & Sari, 2017), menunjukkan bahwa dari hasil penelitian

analisis bakteri Coliform pada minuman es dawet 100% mengandung

bakteri Coliform yang ditemukan pada santan.

Salah satu faktor yang dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri adalah

suhu. Mengkontrol suhu merupakan metode yang paling banyak digunakan

untuk mengendalikan mikroba dalam makanan. Hal ini dapat digunakan

untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen atau mematikan

mikroorganisme yang tidak diinginkan (Batt & Tortorello, 2014).

Pengukuran suhu pada santan cair sedikit melebihi batas yang tertera di

Peraturan BPOM No. 5 Tahun 2015 tentang pedoman cara ritel pangan yang

baik di pasar tradisional yaitu 32,1°C. Didalam peraturan tersebut

menyebutkan bahwa pangan yang disiapkan untuk diproses lebih lanjut

harus disimpan pada suhu 4°C atau jika disimpan pada suhu kamar (28 -

32°C) sebaiknya tidak lebih dari 4 jam.

Pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari adanya

kontaminasi bakteri Coliform yaitu dengan menjaga kebersihan tempat

penjualan, memakai tempat penampungan air yang tertutup dan penjamah

menggunakan sarung tangan.

148
Bahaya fisik yang terdapat di santan terdiri dari serabut kelapa, batok

kelapa, debu, dan rambut. Adanya bahaya fisik tersebut disebabkan karena

serabut kelapa yang jatuh ke dalam wadah santan, sisa batok kelapa yang

sulit dibersihkan, penjual tidak memakai penutup kepala, dan tempat

pengolahan tidak bersih. Dapat dilakukan pencegahan untuk menghindari

bahaya fisik yaitu dengan menggunakan wadah yang setengah tertutup saat

memeras santan agar serabut kelapa tidak masuk ke dalam wadah,

mengupas kelapa sampai bersih, penjamah memakai penutup kepala, dan

menjaga kebersihan tempat pengolahan. Hal tersebut tidak sesuai dengan

Peraturan Kepala BPOM No. 5 Tahun 2015, pedagang yang menangani

pangan segar sebaiknya menutup rambutnya dengan hairnet atau penutup

kepala sampai benar-benar tertutup. Lingkungan tempat pengolahan

dipertahankan dalam keadaan bersih dengan cara sampah dibuang dan tidak

menumpuk, tempat sampah selalu tertutup, serta jalan dipelihara supaya

tidak berdebu dan selokannya berfungsi dengan baik. Bangunan dan

ruangan dibuat sesuai dengan jenis pangan yang dijual sehingga mudah

dibersihkan, dilakukan tindakan sanitasi, mudah dipelihara, dan tidak terjadi

pencemaran silang antara produk ataupun pencemaran dari bangunan.

Berdasarkan uraian analisis bahaya bahan baku santan, suhu pada santan

melewati batas yang ditentukan oleh Peraturan BPOM No. 5 Tahun 2015.

Hal itu diasumsikan karena saat proses pengangkutan bahan baku dari pasar

terpapar oleh sinar matahari dan panas yang berasal dari kendaraan

bermotor. Penjual tidak memperhatikan personal higiene dikarenakan tidak

tersedianya atribut penutup kepala dan kurangnya kebersihan tempat

149
pengolahan santan disebabkan dari penjual yang tidak membersihkan

tempat pengolahannya secara teratur.

2. Analisis bahaya proses pengolahan rendang

a) Penerimaan bahan baku

Makanan sebaiknya dibeli dari sumber yang layak dipercaya.

Barang yang baru tiba, harus diperiksa dengan cermat dan dipastikan

bahwa suhu dan kemasannya dalam keadaan baik selain potensi

keberadaan jamur, infestasi serangga, dan juga bau (Arisman, 2009).

Dalam proses penerimaan bahan baku terdapat bahaya fisik berupa

debu dan pasir dikarenakan adanya kontaminasi pada saat pengangkutan

dari pasar sampai ke dapur. Meskipun sudah menggunakan wadah yang

tertutup berupa plastik tetapi bisa saja debu ataupun pasir masuk ke

dalam plastik. Pencegahan untuk menghindari bahaya tersebut dapat

dilakukan dengan pengangkutan menggunakan tempat penampungan

bahan makanan yang tertutup dan melakukan pengecekan bahan

makanan. Penelitian (Ilmiawan, Astuti, & Nawansih, 2014), bahaya

signifikan pada tahap penerimaan bahan baku yaitu residu antibiotik,

logam berat, dan residu bahan kimia. Sedangkan penelitian yang

dilakukan (Sari, Partiwi, & Janti, 2011), pada tahap penerimaan bahan

baku terdapat bahaya kimia berupa residu pestisida dan aflatoksin.

Tidak hanya bahaya fisik yang mengkontaminasi dalam proses

penerimaan bahan baku, tetapi terdapat juga bahaya kimianya.

Kontamisnasi kimiawi adalah berbagai macam bahan atau unsur kimia

yang menimbulkan pencemaran atau kontaminan pada bahan makanan

150
(Amaliyah, 2017). Bahaya kimia yang terdapat pada proses penerimaan

bahan baku adalah plastik yang digunakan sebagai wadah untuk

membawa bahan baku. Plastik tersebut mengandung senyawa bahan

kimia yang tidak diketahui sehingga dapat mengkontaminasi bahan

baku. Pencegahan yang dilakukan yaitu dengan menggunakan wadah

yang aman.

Menurut (Sulchan & Nur W, 2007), jenis bahan kemasan lemas

seperti polietilen, polipropilen, nilon polyester dan film vinil dapat

digunakan secara tunggal untuk membungkus makanan. Tetapi, jika

plastik yang digunakan tidak sesuai dengan jenis makanan dan

penyimpanannya, maka zat monomer plastik akan berpindah ke

makanan. Sehingga pilih wadah plastik yang ada food gradenya.

Berdasarkan uraian analisis bahaya penerimaan bahan baku,

pengangkutan bahan makanan dari pasar sebaiknya dalam kondisi yang

tertutup rapat agar tidak terkontaminasi oleh debu dan pasir selama

perjalanan. Bahan makanan sebelum dimasak dilakukan pengecekan

terlebih dahulu. Serta wadah plastik yang digunakan pada bahan

makanan harus food grade, meskipun bahan makanan tidak dalam

keadaan panas.

b) Proses penyiapan bahan baku

Dari hasil observasi, proses penyiapan bahan baku dengan mencuci

bahan-bahan yang akan dimasak. Namun, setelah dilakukan pencucian,

bahan-bahan tersebut dibiarkan dalam keadaan terbuka sehingga dapat

memicu adanya kontaminasi. Sehingga bahan baku dapat

151
terkontaminasi bahaya fisik berupa kotoran debu dari langit-langit.

Sumber bahaya tersebut berasal dari debu yang berterbangan di area

dapur. Dikarenakan kondisi langit-langit dapur yang tidak tertutup dan

tidak berwarna terang.

Hal tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No.

1096 tentang higiene sanitasi jasaboga, langit-langit harus menutupi

seluruh atap bangunan, terbuat dari bahan yang permukaannya rata,

mudah dibersihkan, dan berwarna terang. Pencegahannya yaitu bahan

baku yang sudah dibersihkan ditempatkan pada wadah yang tertutup dan

selalu menjaga kebersihan dapur.

Berdasarkan uraian analisis bahaya penyiapan bahan baku, debu

yang berterbangan diakibatkan karena kondisi bangunan dan dapur yang

tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1096. Sebaiknya,

bahan baku yang telah dicuci diletakkan pada wadah yang tertutup

sebelum dimasak sehingga terhindar dari kontaminasi ulang.

c) Proses penyiapan alat-alat yang dipakai

Pada proses ini terdapat bahaya fisik dan bahaya kimia. Bahaya

fisiknya berupa debu karena penyimpanan alat masak tidak ditempat

yang tertutup, menyimpan penggorengan dan sodet digantung di

dinding, sedangkan cobek dan ulek diletakkan di meja. Hal tersebut

tidak sesuai dengan Keputusan Kepala BPOM No. 00.05.5.1639 tentang

pedoman cara produksi pangan yang baik untuk industri rumah tangga

(CPPB-IRT), peralatan yang telah dibersihkan dan disanitasi harus

disimpan ditempat bersih. Permukaan peralatan menghadap ke bawah

152
supaya terlindung dari debu, kotoran, atau pencemaran lainnya.

Pencegahan agar tidak terkontaminasi oleh debu yaitu dengan

penyimpanan alat masak di tempat yang tertutup, permukaan peralatan

menghadap ke bawah, serta sebelum digunakan sebaiknya dilap terlebih

dahulu atau dicuci.

Bahan kimia yang dapat mengkontaminasi peralatan masak yaitu

cairan pencuci piring dikarenakan tidak membilas alat masak sampai

bersih. Cairan pencuci piring yang masih menempel pada alat masak

dapat mengkontaminasi makanan yang akan dimasak. Oleh karena itu,

pencegahannya dengan cara mencuci dan membilas alat masak sampai

bersih. Sejalan dengan penelitian (Sadek, 2010), terdapat bahaya kimia

saat pencucian peralatan yaitu residu sabun colek.

Berdasarkan uraian analisis bahaya penyiapan alat-alat yang

dipakai, debu yang menempel pada alat masak dikarenakan dari dinding

bangunan. Sebelum menggunakan peralatan masak, sebaiknya alat-alat

masak dilap atau dicuci kembali agar debu yang menempel pada

permukaan alat masak dapat hilang dan saat mencuci peralatan dibilas

hingga bersih.

d) Jadwal pembuatan

Jadwal pembuatan tidak terdapat bahaya karena bahan baku

langsung dimasak.

e) Proses pemasakan

Pada saat memasak, terdapat bahaya biologi yaitu patogen yang

tahan terhadap panas. Hal itu dikarenakan terdapat bakteri yang tahan

153
panas. Hasil pengukuran suhu saat rendang matang yaitu 80,6°C.

Pencegahan yang dilakukan adalah dengan mengatur suhu pada saat

proses masak agar bakteri dapat dihilangkan atau dimusnahkan. Suhu

tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1096

tentang higiene sanitasi jasaboga, suhu pengolahan makanan minimal

90°C agar kuman patogen mati.

Sedangkan bahaya fisik pada proses memasak berupa debu dan

serpihan batu. Sumber bahaya fisik tersebut berasal dari kondisi dapur

yang tidak bersih serta cobek dan ulek yang sudah keropos. Pencegahan

yang dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan dapur serta

memastikan cobek dan ulek tidak keropos. Menurut Peraturan Menteri

Kesehatan No. 1096, tempat pengolahan makanan atau dapur harus

memenuhi persyaratan teknis higiene sanitasi untuk mencegah risiko

pencemaran terhadap makanan dan dapat mencegah masuknya lalat,

kecoa, tikus, dan hewan lainnya. Dari hasil observasi, dapur yang

digunakan untuk memasak rendang belum memenuhi syarat,

dikarenakan langit-langit dapur tidak berwarna terang dan tidak terdapat

ventilasi. Dapur juga dalam kondisi licin sehingga penjamah makanan

dapat tergelincir. Sedangkan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan

No. 1098, peralatan yang digunakan untuk memasak tidak rusak,

gompel, retak dan tidak menimbulkan pencemaran. Peralatan masak

yang dipakai berupa ulek dan cobek masih dalam kondisi baik, tetapi

jika mengalami pengkeroposan dapat mengkontaminasi makanan.

154
Sehingga sebelum memipihkan serai, dicek terlebih dahulu kondisi ulek

dan cobeknya.

Berdasarkan uraian analisis bahaya proses pemasakan, suhu pada

proses memasak rendang dibawah Peraturan Menteri Kesehatan No.

1096 dikarenakan api dinyalakan dengan indikator sedang sehingga

rendang yang dimasak tidak terlalu panas. Perlu dilakukan pengukuran

suhu pada saat memasak agar proses pemanasan mencapai 90°C

sehingga bakteri-bakteri yang tahan panas dapat dihilangkan. Sebelum

dilakukan pemasakan, dapur dibersihkan terlebih dahulu sehingga tidak

ada kontaminasi fisik berupa debu-debu yang berterbangan. Untuk

peralatan masak dapat dilakukan pengecekan sebelum dipakai.

f) Penyimpanan dan distribusi

Pada saat penyimpanan dan distribusi dari dapur ke tempat

penyajian terdapat bahaya biologi yaitu lalat sebagai perantara

kontaminasi bakteri. Proses pendistribusian dan penyimpanan yang

tidak menggunakan wadah yang tertutup dapat dengan mudah

terkontaminasi bakteri ataupun binatang pengganggu seperti lalat. Oleh

sebab itu, pencegahannya dengan memakai wadah yang tertutup.

Untuk bahaya fisik berupa debu dikarenakan lokasi penjualan

dipinggir jalan dan wadah tidak tertutup. Hal itu sangat mudah

terkontaminasi bahaya fisik tersebut. Pencegahan bisa dilakukan dengan

menjaga kebersihan tempat penyimpanan atau penyajian makanan dan

rumah makan, serta menggunakan wadah yang tertutup.

155
Hal tersebut tidak sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan No.

1098, dalam proses pengangkutan makanan menggunakan wadah harus

utuh, kuat, tidak karat, dan ukurannya memadai dengan jumlah makanan

yang akan ditempatkan. Setiap jenis makanan jadi mempunyai wadah

masing-masing dan bertutup. Menyajikan makanan harus terhindar dari

pencemaran, peralatan yang digunakan juga harus terjaga

kebersihannya.

Dari hasil observasi yang dilakukan, pendistribusian dari dapur ke

tempat penyimpanan di etalase tidak dalam keadaan tertutup sehingga

dapat terkontaminasi oleh lalat maupun debu sedangkan penyimpanan

di dapur memakai wadah saat memasak rendang dan dalam keadaan

tertutup. Saat penyimpanan di etalase, wadah yang dipakai berasal dari

dapur dan tidak tertutup. Lokasi rumah makan padang yang berdekatan

dengan jalan raya dapat memicu debu-debu berterbangan. Sedangkan

etalase makanan hanya ditutupi dengan menggunakan tirai sehingga

lalat dan debu masih dapat mencemari makanan yang ada di etalase.

Bahaya kimianya adalah senyawa bahan kimia pada plastik atau

kertas pembungkus makanan. Hal tersebut dapat mengkontaminasi

makanan. Karena itu sebaiknya memilih dan menggunakan kemasan

yang aman untuk makanan. Menurut (BPOM, 2017), beberapa jenis

plastik yang relatif aman digunakan sebagai kemasan pangan adalah PP,

HDPE, LDPE, dan PET atau terdapat logo , tulisan aman untuk

makanan atau food safe/for food use/food grade. Jenis plastik PP

merupakan pilihan bahan plastik yang baik untuk kemasan pangan. Dari

156
hasil observasi yang dilakukan, wadah yang digunakan untuk

membungkus rendang menggunakan plastik berwarna bening dan kertas

pembungkus makanan tetapi tidak terdapat keterangan bahan dasar

pembuatannya. Sehingga penjamah makanan tidak mengetahui bahan

dasar pembuatan plastik.

Berdasarkan uraian penyimpanan dan distribusi, wadah yang

dipakai saat pendistribusian dan penyimpanan di etalase sebaiknya

menggunakan wadah yang tertutup sehingga tidak tekontaminasi oleh

lalat ataupun debu dan penjamah makanan memilih pembungkus yang

aman untuk makanan.

6.8. Menentukan Titik Kendali Kritis

Critical Control Points (CCP) atau titik kendali kritis (TKK) adalah suatu

titik tahap atau prosedur dimana pengendalian dapat diterapkan sehingga bahaya

keamanan pangan dapat dicegah, dihilangkan, dikurangi sampai tingkat yang dapat

diterima (Thaheer, 2005). Sejalan dengan (Mortimore & Wallace, 2004), titik

kendali kritis (CCP) adalah suatu langkah yang didalamnya “tindakan pengendalian

dapat dilakukan dan merupakan titik yang sangat penting untuk mencegah atau

memusnahkan hazard pada keamanan makanan atau untuk menguranginya sampai

ke tingkat yang dapat diterima. Dalam menganalisis titik kendali kritis (CCP)

bertujuan untuk mengetahui proses manakah yang berpeluang menimbulkan

bahaya dan tingkat keparahan yang ditimbulkan. Pada proses pembuatan rendang,

ditemukan beberapa titik kendali kritis (CCP) yaitu didalam bahan baku bumbu dan

santan terdapat bahaya fisik. Sedangkan saat pengolahan rendang, tahap

penerimaan bahan baku terdapat bahaya kimia, proses penyiapan bahan baku

157
terdapat bahaya fisik, proses penyiapan alat-alat yang dipakai ada bahaya kimia,

proses memasak terdapat bahaya biologi dan fisik, dan yang terakhir penyimpanan

dan distribusi terdapat bahaya fisik, kimia dan biologi.

6.8.1. Menentukan Titik Kendali Kritis pada Bahan Baku rendang

6.8.1.1. Menentukan Titik Kendali Kritis pada Bahan Baku Daging

Terdapat dua bahaya pada bahan baku daging yaitu bahaya fisik

dan bahaya biologi. Bahaya fisik yang mengkontaminasi daging berupa

debu maupun kayu, sedangkan bahaya biologi terdapat kontaminasi

bakteri. Bahaya tersebut bersumber dari alas untuk memotong daging

berbahan dasar kayu dan menjual dalam kondisi terbuka. Saat proses

pembuatannya dapat menghilangkan bahaya tersebut yaitu dengan

mencuci terlebih dahulu sebelum dimasak untuk menghilangkan bahaya

fisik, sedangkan bakteri Coliform dapat dihilangkan di tahap pemasakan

karena terjadi proses pemanasan. Disimpulkan bahwa bahaya fisik pada

bahan baku daging tidak termasuk ke dalam kategori titik kendali kritis.

Hal tersebut dikarenakan pada tahap penyiapan bahan baku, daging

dicuci menggunakan air sehingga debu dan kayu yang mengkontaminasi

dapat dihilangkan. Sedangkan untuk bahaya biologi, tahap selanjutnya

terdapat proses pemasakan yang dapat menghilangkan bakteri tersebut

dengan memanaskannya.

Sejalan dengan hasil penelitian (Sadek, 2010), pada daging sapi

terdapat bahaya fisik dan biologi yaitu patogen yang umum pada daging

sapi dan tanah yang menempel saat penyembelihan. Kedua bahaya

158
tersebut tidak termasuk dalam TKK dikarenakan ada proses pencucian

dan pemanasan.

Berdasarkan uraian menentukan TKK pada bahan baku daging,

bahaya fisik maupun biologi yang mengkontaminasi daging tidak

termasuk ke kategori titik kendali kritis. Hal itu dikarenakan terdapat

proses berikutnya yang dapat menghilangkan bahaya tersebut.

6.8.1.2. Menentukan Titik Kendali Kritis pada Bahan Baku Bumbu

Terdapat dua bahaya dalam bahan baku bumbu untuk memasak

rendang yaitu bahaya fisik dan bahaya biologi. Dalam proses memasak

dapat menghilangkan bahaya biologi karena ditahap selanjutnya

mengalami proses pemanasan sehingga tidak termasuk dalam kategori

TKK. Tetapi tidak dapat menghilangkan bahaya fisik disebabkan tidak

adanya proses penyaringan sebelum bumbu dimasak dan tidak ada tahap

selanjutnya yang dapat menghilangkan bahaya tersebut.

Sejalan dengan penelitian (Syarifudin, 2003), pada rempah-

rempah terdapat kontaminasi bahaya biologi tetapi tidak termasuk dalam

TTK dikarenakan penyimpanan pada kondisi yang sesuai dan ada proses

sterilisasi.

Berdasarkan uraian menentukan TKK pada bahan baku bumbu,

bahaya fisik masuk ke dalam kategori titik kendali kritis. Hal itu

dikarenakan pada saat proses memasak tidak dilakukan penyaringan pada

bumbu rendang sehingga bahaya fisik yang mengkontaminasi bumbu

tersebut dapat terkonsumsi oleh konsumen.

159
6.8.1.3. Menentukan Titik Kendali Kritis pada Bahan Baku Santan

Terdapat bahaya pada bahan baku santan meliputi bahaya fisik

dan biologi. Bahaya fisik terdiri dari serabut kelapa, batok kelapa, debu,

dan rambut, sedangkan bahaya biologi berupa bakteri Coliform. Dalam

proses memasak rendang dapat menghilangkan bahaya biologi saja. Hal

itu dikarenakan adanya proses pemanasan saat memasak sehingga dapat

menghilangkan kontaminasi bakteri tersebut. Sedangkan bahaya fisik

tidak dapat dihilangkan pada saat proses memasak karena tidak

dilakukan penyaringan pada santan sehingga bahaya fisik termasuk ke

dalam titik kendali kritis. Sejalan dengan penelitian (Khairani, Rahadjo,

Dalapati, & Sumarni, 2007), tahap pemerasan santan termasuk ke TKK

karena terdapat bahaya cemaran fisik, kontaminasi dari air, dan

mikrobiologi.

Berdasarkan uraian menentukan TKK pada bahan baku santan,

disimpulkan bahwa bahaya fisik pada bahan baku santan termasuk ke

dalam titik kendali kritis dikarenakan tidak adanya penyaringan sebelum

santan tersebut dimasak.

6.8.2. Menentukan Titik Kendali Kritis pada Proses Pengolahan Rendang

6.8.2.1. Menentukan Titik Kendali Kritis pada Penerimaan Bahan

Baku

Proses penerimaan bahan baku terdapat bahaya fisik yang terdiri

dari debu dan pasir. Sumber bahaya tersebut berasal dari proses

pengangkutan makanan. Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu

160
pengangkutan bahan makanan menggunakan tempat penampungan

yang tertutup dan melakukan pengecekan bahan makanan.

Pada tahap penerimaan bahan baku tidak dirancang untuk

mengurangi atau menghilangkan bahaya tersebut. Kontaminasi bahaya

fisik pada bahan baku dapat meningkat melebihi batas aman. Namun,

pada proses penyiapan bahan baku dapat menghilangkan bahaya

tersebut. Oleh karena itu, bahaya fisik yang mengkontaminasi saat

proses penerimaan bahan baku tidak termasuk ke dalam TKK.

Dikarenakan bahaya fisik tersebut mudah dihilangkan dan proses

selanjutnya bisa menghilangkan bahaya tersebut dengan cara mencuci

terlebih dahulu. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan (Putri E. W.,

2008) , penerimaan bahan baku termasuk TKK karena bahan baku yang

diterima tidak dilakukan pengujian secara spesifik. Sama dengan

penelitian (Hastomo, 2006), penerimaan susu segar termasuk TKK

terdapat kontaminasi mikroba dan benda-benda fisik. Penelitian

(Sarwono, 2007), juga menunjukkan bawah penerimaan bahan

ingredient dan bahan baku termasuk TKK.

Sedangkan kontaminasi bahaya kimia berupa senyawa kimia

yang berasal dari plastik digunakan sebagai wadah bahan baku. Hal

tersebut dapat mengakibatkan adanya kontaminasi silang dari plastik.

Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan wadah

yang aman untuk makanan (food grade). Pada tahap ini, tidak dirancang

secara khusus untuk menghilangkan ataupun mengurangi bahaya

sampai ke batas yang lebih aman. Tetapi bahaya dapat meningkat

161
sampai melebihi ambang batas. Sehingga bahan baku yang akan

digunakan akan terkontaminasi oleh monomer plastik. Oleh karena itu,

bahaya kimia pada tahap penerimaan bahan baku termasuk ke dalam

TKK. Sejalan dengan penelitian (Sari, Partiwi, & Janti, 2011), pada

proses penerimaan bahan baku termasuk TKK terdapat bahaya kimia

berupa residu pestisida dan aflatoksin.

Berdasarkan uraian menentukan TKK pada penerimaan bahan

baku, bahaya fisik tidak termasuk titik kendali kritis dikarenakan pada

tahap proses penyiapan bahan baku, bahaya fisik tersebut dapat

dihilangkan dengan cara melakukan pencucian.

6.8.2.2. Menentukan Titik Kendali Kritis pada Proses Penyiapan

Bahan Baku

Pada tahap proses penyiapan bahan baku, hanya terdapat bahaya

fisik saja berupa kotoran debu dari bangunan seperti langit-langit

maupun jendela. Tindakan pencegahan yang dilakukan untuk

mengendalikan bahaya tersebut dengan meletakkan bahan baku

menggunakan wadah yang tertutup apabila bahan baku tersebut sudah

dibersihkan dan selalu menjaga kebersihan dapur. Pada tahap ini juga

dirancang untuk menghilangkan ataupun mengurangi bahaya tersebut

sampai ke batas yang lebih aman. Hal itu dikarenakan, pada proses ini

sudah menghilangkan bahaya fisik dengan mencuci bahan baku (daging,

daun jeruk, daun kunyit, dan serai) sebelum dilakukan pemasakan.

Namun, saat setelah dilakukan pencucian bahan baku kemudian tidak

ditempatkan pada wadah yang tertutup maka debu ataupun kotoran

162
dapat mengkontaminasi bahan baku tersebut. Sejalan dengan penelitian

(Yanti & Novalinda, 2016), pencucian nanas menjadi CCP karena tahap

ini merupakan tahap akhir untuk penghilangan kontaminan seperti tanah

dan kotorannya lainnya. Sedangkan pada penelitian (Surahman &

Ekafitri, 2014), tahap pencucian termasuk ke dalam TKK karena untuk

menghilangkan bahaya mikrobiologi yaitu jambu biji bersih dan tidak

ada kapang.

Berdasarkan uraian menentukkan TKK pada proses penyiapan

bahan baku, terdapat bahaya fisik yang termasuk dalam titik kendali

kritis karena setelah bahan baku dicuci tidak ditempatkan pada wadah

yang tertutup.

6.8.2.3. Menentukan Titik Kendali Kritis pada Proses Penyiapan

Alat-alat yang Dipakai

Terdapat dua bahaya pada proses penyiapan alat yang akan

digunakan untuk memasak yaitu bahaya fisik dan bahaya kimia.

Penyebab timbulnya bahaya fisik dikarenakan penyimpanan alat masak

tidak pada tempat tertutup dengan cara digantung di dinding sehingga

debu dapat menempel pada permukaan alat, sedangkan bahaya

kimianya bersumber dari cairan pencuci piring yang dipakai untuk

mencuci alat-alat namun tidak membilasnya hingga bersih. Pencegahan

yang dapat dilakukan untuk menghindari kedua bahaya tersebut dapat

dengan menyimpan alat masak pada tempat yang tertutup atau

meletakkannya dengan posisi terbalik, peralatan dilap atau dicuci

terlebih dahulu sebelum dipakai, serta mencuci dan membilas alat

163
hingga bersih tanpa tersisa cairan pencuci piring. Pada tahap ini tidak

dirancang untuk menghilangkan ataupun mengurangi bahaya sampai ke

batas yang lebih aman. Namun, pada bahaya kimia dapat

mengkontaminasi peralatan yang dipakai sampai melebihi ambang

batas, sedangkan bahaya fisik tidak dapat mengkontaminasi sampai

melebihi batas aman. Ditahap ini, bahaya fisik yang mengkontaminasi

alat-alat masak dapat dihilangkan dengan cara mengelap terlebih dahulu

sebelum dipakai. Sedangkan kontaminasi bahaya kimia, ditahap

berikutnya pun tidak dapat menghilangkan atau mengurangi bahaya

kimia tersebut sehingga dapat meningkat melebihi ambang batas. Oleh

karena itu, bahaya kimia termasuk ke dalam titik kendali kritis karena

bahan-bahan kimia yang berasal dari cairan pencuci piring dapat

mengkontaminasi makanan.

Hasil tersebut tidak sejalan dengan (Sadek, 2010), tahap

penyimpanan peralatan masak termasuk TKK terdapat bahaya fisik

berupa debu. Sedangkan tahap pencucian peralatan masak sejalan

dengan penelitian (Sadek, 2010) terdapat bahaya kimia berupa residu

sabun colek sehingga termasuk TKK.

Berdasarkan uraian menentukan TKK pada proses penyiapan

alat yang dipakai, bahaya fisik tidak termasuk titik kendali kritis

dikarenakan pada tahap ini dapat menghilangkan bahaya fisik berupa

debu yang menempel pada alat masak dengan mengelapnya terlebih

dahulu sebelum digunakan.

164
6.8.2.4. Menentukan Titik Kendali Kritis pada Proses Memasak

Rendang

Dalam proses pemasakan terdapat dua bahaya yang terdiri dari

bahaya fisik berupa debu maupun serpihan batu, dan bahaya biologi

yaitu patogen yang tahan terhadap panas. Timbulnya kedua bahaya

tersebut dikarenakan kondisi dapur yang tidak higiene, cobek dan ulek

yang keropos, serta ada bakteri yang tahan terhadap panas. Pada tahap

memasak ini dirancang untuk dapat menghilangkan kedua bahaya

tersebut sampai ke batas yang lebih aman sehingga termasuk dalam

kategori titik kendali kritis. Hal itu dikarenakan bahaya fisik berupa batu

atau kerikil yang mengkontaminasi rendang dapat dikonsumsi oleh

konsumen dan bakteri yang mengkontaminasi bahan baku dapat

dihilangkan dengan pemanasan. Sejalan dengan penelitian

(Moelyaningrum, 2012), tahap pengukusan singkong termasuk dalam

TKK karena terdapat bahaya biologi berupa spora dan mikroba patogen.

Sama halnya dengan penelitian (Surahman & Ekafitri, 2014), pada tahap

sterilisasi termasuk TKK karena tahapan ini memiliki risiko bahaya dan

tingkat keparahan yang tinggi. Penelitian (Wijonarko & Arsil, 2007),

juga menyebutkan pada perebusan bakso daging sapi dalam air

mendidih termasuk TKK karena terdapat potensi bahaya patogen yang

tahan panas. Untuk bahaya fisik saat memasak sejalan dengan penelitian

(Sadek, 2010), pada proses penghalusan termasuk ke TKK karena

kondisi cobek dan ulek yang keropos.

165
6.8.2.5. Menentukkan Titik Kendali Kritis pada Proses

Penyimpanan dan Distribusi

Pada proses penyimpanan dan distribusi terdapat tiga bahaya

yang dapat mengkontaminasi rendang yang sudah matang yaitu bahaya

fisik berupa debu, bahaya biologi meliputi lalat sebagai perantara

kontaminasi bakteri dan terjadi pertumbuhan bakteri, serta bahaya kimia

berupa senyawa kimia yang berasal dari plastik atau kertas pembungkus

makanan. Pencegahan yang dapat dilakukan adalah menjaga kebersihan

tempat penyimpanan makanan dan rumah makan, memakai wadah yang

tertutup, menggunakan wadah yang tertutup, suhu penyimpanan

makanan > 60°C, dan memilih dan menggunakan kemasan aman.

Sejalan dengan penelitian (Wijonarko & Arsil, 2007), tahap

penyajian pada makanan bakso daging sapi termasuk TTK terdapat

kontaminan udara karena mie dan sohun terpapar dengan udara

lingkungan dan tahap penyajian makanan lontong pecel juga temasuk

TKK terdapat bahaya pertumbuhan patogen yang dikarenakan bahan

dan sayur disimpan di tempat terbuka. Penelitian (Prasojo, 2003)

plastik/kemasan yang dipakai temasuk TKK karena komponen kimiawi

dari plastik dapat migrasi ke pangan.

Dalam tahap ini tidak dirancang untuk mengurangi ataupun

menghilangkan ketiga bahaya tersebut sampai batas yang lebih aman.

Bahaya fisik, biologi dan kimia dapat meningkat sampai melebihi

ambang batas aman. Hal itu dikarenakan, debu yang berterbangan dapat

mengkontaminasi rendang di etalase, selama penyimpanan rendang

166
tidak dipanaskan kembali, dan perpindahan monomer plastik atau kertas

ke makanan.

Berdasarkan uraian menentukan TKK pada penyimpanan dan

distribusi, terdapat tiga bahaya yang ada pada proses penyimpanan dan

distribusi termasuk dalam kategori titik kendali kritis.

6.9. Menentukan Batas Kritis pada Masing-masing TKK

Menurut (Thaheer, 2005), batas kritis adalah suatu kondisi atau keadaan

yang menunjukkan perbedaan antara produk yang aman dan tidak aman. Batas

kritis juga merupakan satu atau lebih toleransi yang harus dipenuhi untuk menjamin

bahwa suatu CCP secara efektif dapat mengendalikan bahaya mikrobiologis, kimia,

dan fisik. Sejalan dengan (Mortimore & Wallace, 2004) batasan kritis adalah

kriteria yang membedakan antara aman dan kemungkinan tidak aman. Berikut ini

batas kritis pada proses pengolahan rendang.

a) Penentuan batas kritis bahan baku rendang

Batas kritis diartikan sebagai nilai maksimum dan/atau minimum parameter

fisik, kimia, atau biologis yang harus dikendalikan pada tingkat TKK dalam

rangka pencegahan, pemusnahan, reduksi bahaya potensial hingga mencapai

tingkat yang dapat diterima (Arisman, 2009). Batas kritis pada bahan baku

bumbu dan santan yaitu bebas dari benda asing yang terdapat pada bahan baku

tersebut. Benda asing yang mengkontaminasi kedua bahan baku tersebut

meliputi debu, rambut, tanah, serabut kelapa, dan batok kelapa.

Batas kritis pada bahan baku sejalan dengan penelitian yang dilakukan

(Rakhmawati, Partiwi, & Suparno, 2008), pada tahap pengemasan terdapat

bahaya fisik yaitu rekontaminasi benda asing. Batas kritis untuk menghilangkan

167
bahaya tersebut adalah tidak boleh ada benda asing. Penelitian (Hastomo,

2006), juga terdapat bahaya fisik berupa bulu dan kotoran. Batas kritis untuk

bahaya tersebut yaitu tidak ada benda asing di dalam susu.

b) Penentuan batas kritis proses pengolahan rendang

Batas kritis adalah nilai maksimum atau nilai minimum bahaya biologi,

kimia, atau fisik yang teridentifikasi yang harus dikendalikan pada titik kritis

untuk mencegah, menghilangkan, atau mengurangi bahaya ke tingkat yang

dianggap aman (Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016).

Batas kritis penerimaan bahan baku adalah plastik yang digunakan jenis

plastik PP, HDPE, LDPE, dan PET atau terdapat logo serta tulisan aman

untuk makanan. Menurut (BPOM, 2017), beberapa jenis plastik yang aman

digunakan sebagai kemasan pangan adalah PP, HDPE, LDPE, dan PET.

Keamanan kemasan dapat dikenali dari logo atau tulisan yang tertera misalnya

, tulisan ‘aman untuk makanan’ atau food safe / for food use / food grade.

Sejalan dengan penelitian (Prasojo, 2003), batas kritis plastik/wadah yang

dipakai yaitu cocok untuk penggunaan makanan (produk udang) dan memenuhi

batas migrasi legal.

Batas kritis pada penyiapan bahan baku yaitu bebas dari benda asing berupa

debu. Sejalan dengan penelitian (Rakhmawati, Partiwi, & Suparno, 2008), pada

tahap penyimpanan gandum, tidak boleh ada benda asing yang terlihat pada

gandum. Untuk proses penyiapan alat-alat yang dipakai terdapat bahaya kimia

sehingga batas kritis pada proses tersebut bebas dari bahan kimia yang terdapat

di cairan pencuci piring. Hal itu sesuai dengan penelitian (Sadek, 2010), batas

168
kritis pada proses pencucian peralatan masak, wadah masakan, dan peralatan

makan yaitu peralatan tidak licin dan tidak berbau sabun.

Saat proses pemasakan, batas kritis untuk menghilangkan patogen yang

tahan terhadap panas yaitu memasak dengan suhu minimal 90oC. Menurut

Peraturan Menteri Kesehatan No. 1096 Tahun 2011, suhu pengolahan makanan

minimal 90 oC agar kuman patogen mati. Penelitian (Moelyaningrum, 2012),

tahap pengukusan singkong pada proses pembuatan tape singkong, batas kritis

untuk menghilangkan bahaya biologi yaitu dengan pengukusan dilakukan

sampai singkong benar-benar matang dengan air 100°C selama 15 menit.

Sedangkan bahaya fisik pada saat memasak berupa debu, dan serpihan batu.

Batas kritis untuk bahaya tersebut adalah sanitasi dapur yang baik dan bebas

dari benda asing (debu dan serpihan batu). Sejalan dengan penelitian (Sadek,

2010), batas kritis bahaya fisik pada proses penghalusan terdapat yaitu tidak ada

serpihan batu dari cobek dan ulekan. Penelitian (Putri E. W., 2008), batas kritis

untuk susu pasteurisasi yaitu kebersihan sarana, prasarana, ruang produksi, dan

lingkungan sekitar.

Bahaya yang mengkontaminasi pada tahap penyimpanan dan distribusi

meliputi debu, lalat, pertumbuhan bakteri, serta senyawa kimia plastik/kertas.

Batas kritis untuk ketiga bahaya tersebut yaitu sanitasi etalase dan rumah makan

yang baik, bebas dari benda asing, bebas dari lalat dan bakteri, suhu

penyimpanan >60°C, dan plastik atau kertas yang digunakan cocok untuk

makanan panas, jenis plastik PP atau terdapat logo serta tulisan aman untuk

makanan.

169
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1096 Tahun 2011, jenis

makanan basah (berkuah) suhu penyimpanan saat akan segera disajikan >60°C.

Sedangkan penggunaan plastik sebagai pembungkus makanan, menurut

(BPOM, 2017), jenis plastik yang relatif aman digunakan sebagai kemasan

pangan adalah PP, HDPE, LDPE, dan PET. Keamanan kemasan dapat dikenali

dari logo atau tulisan yang tertera, misalnya , tulisan ‘aman untuk makanan’

atau food safe / for food use / food grade. Plastik jenis PP merupakan pilihan

yang baik untuk kemasan pangan, tempat obat, botol susu, sedotan.

Penelitian (Sarwono, 2007), batas kritis pada tahap penyimpanan yaitu tidak

terdapat bau pada ruang produk, cemaran benda asing, dan bebas serangga.

Penelitian (Miskiyah & Widaningrum, 2008), batas kritis bahaya jamur,

serangga, debu, dan kotoran lainnya pada tahap penyimpanan yaitu tempat

penyimpanan bersih dan kering. Sedangkan penelitian (Hastomo, 2006), batas

kritis pada tahap penyimpanan susu pasteurisasi yaitu suhu < -15°C. Penelitian

yang dilakukan (Prasojo, 2003), batas kritis plastik/wadah yang dipakai yaitu

cocok untuk penggunaan makanan (produk udang) dan memenuhi batas migrasi

legal.

6.10. Pemantauan Batas Kritis Setiap TKK

Pemantauan adalah tindakan atau observasi yang diperlukan untuk

memastikan bahwa proses terkendali dan berjalan dalam batasan kritis yang

ditentukan (Mortimore & Wallace, 2004). Menurut (Thaheer, 2005), batas kritis

yang sudah ditentukan terhadap suatu CCP/TKK haruslah dimonitor

keberadaannya. Hal ini untuk memastikan apakah prosedur pengolahan atau

penanganan pada CCP dibawah kendali. Komponen yang terlibat dalam sistem

170
monitoring berdasarkan kaidah 4W + 1 H (what, where, when, who, dan how).

Berikut ini pemantauan batas kritis setiap TKK pada proses pembuatan rendang.

a) Pemantauan batas kritis pada bahan baku rendang

Pemantauan merupakan tindakan terencana untuk melakukan serangkaian

observasi atau pengukuran parameter guna mengkaji apakah CCP masih

terkontrol (WHO, 2005). Pada bahan baku rendang berupa bumbu dan santan

terdapat bahaya fisik dengan batas kritis bebas dari benda asing (debu, rambut,

serabut kelapa, batok kelapa). Pemantauan yang dilakukan yaitu dengan melihat

keadaan bahan baku yang dijual, serta memastikan tidak ada tanah yang

menempel pada bumbu, memastikan wadah yang digunakan untuk berjualan,

memastikan tidak ada bahaya fisik yang masuk ke dalam santan, dan penjual

memakai penutup kepala. Pemantauan berlangsung saat proses penghalusan

bumbu dan mengolah santan dan penjualan dipasar. Tempat pemantauan

dilakukan di pasar tradisional dan yang melakukan pemantauan itu sendiri

adalah penjual. Sejalan dengan penelitian (Hoyyi & Darwanto, 2017)

pemantauan yang dilakukan pada tahapan pemarutan kelapa yaitu apakah

terdapat kontaminasi benda asing berupa serabut kelapa. Penelitian yang

dilakukan (Rakhmawati, Partiwi, & Suparno, 2008), monitoring pada tahap

penerimaan bahan baku, gandum tidak boleh mengandung aflatoksin.

Monitoring dilakukan oleh staff Quality Control (QC) untuk memerika surat

jaminan dari supplier.

b) Pemantauan batas kritis pada proses pengolahan rendang

Menurut (SNI 01-4852-1998), memantau adalah tindakan melakukan

serentetan pengamatan atau pengukuran terencana mengenai parameter

171
pengendali untuk menilai apakah TKK dalam kendali. Pemantauan yang

dilakukan tahap penerimaan bahan baku dengan melihat plastik apa yang

dipakai. Mengecek jenis plastik yang dipakai penjual sebagai wadah bahan

baku. Pemantauan dilaksanakan saat membeli bahan baku di pasar dan

penjamah makanan yang langsung memantau. Pemantauan tersebut berbeda

dengan penelitian (Prasojo, 2003), pemantauan ditinjau daftar komponen dan

data migrasi supplier terhadap peraturan. Pemantauan dilakukan setiap kali

perubahan supplier untuk jenis pembungkus atau kemasan.

Pemantauan pada tahap penyiapan bahan baku dengan melihat keadaan

bahan baku yang sudah disiapkan. Pemantauan dilakukan oleh penjamah

makanan dan pelaksanaannya di dapur pada saat setiap menyiapkan bahan baku

dengan pengecekan kembali bahan baku yang sudah disiapkan. Memastikan

bahwa bahan baku yang akan dimasak sudah bersih dan tidak terdapat debu dan

tanah yang menempel.

Sedangkan proses penyiapan alat-alat yang akan dipakai terdapat bahaya

kimia yaitu cairan pencuci piring. Pemantauan untuk mencegah terjadinya

kontaminasi bahaya kimia dengan melihat kondisi alat masak dengan

melakukan pengecekan alat-alat sebelum digunakan. Memastikan bahwa alat

yang akan dipakai tidak licin, tidak terdapat sisa-sisa bahan kimia yang

menempel, dan tidak berbau.

Pemantauan penyiapan bahan baku dan penyiapan alat-alat masak, sejalan

dengan penelitian (Sadek, 2010), pemantauan pada proses pencucian pada

bahan baku yaitu menantau tanah dan kerikil pada bahan baku masakan dengan

memastikan pencucian dilakukan dengan bersih dan tidak ada kerikil atau tanah

172
yang masih menempel. Sedangkan pemantauan pada proses pencucian

peralatan masak, wadah masakan, dan peralatan makanan dengan memastikan

peralatan bebas dari residu sabun (tidak licin) dan tidak berbau sabun.

Proses pemasakan terdapat bahaya biologi dan fisik. Pemantauan yang

dilakukan untuk menghindari bahaya biologi dengan mengukur suhu saat proses

memasak. Sejalan dengan penelitian (Moelyaningrum, 2012), monitoring yang

dilakukan tahap pengukusan yaitu dengan pengukuran suhu dan waktu pada

saat setiap proses pengukusan.

Untuk mencegah adanya kontaminasi bahaya fisik dapat melakukan

pengecekan kebersihan dapur, dan alat masak. Sejalan dengan penelitian

(Trisnaini, 2012), melakukan pemeriksaan alat masak yang dinilai telah rusak

dan tidak layak digunakan lagi. Penelitian (Putri E. W., 2008) pemantauan

produksi susu pasteurisasi berupa pemantauan visual untuk kebersihan ruang

dan peralatan produksi.

Tahap penyimpanan dan distribusi terdapat bahaya fisik, biologi, dan kimia.

pemantauan dilakukan dengan melihat keadaan wadah dan tempat

penyimpanan, rendang saat penyimpanan, serta wadah plastik/kertas

pembungkus makanan. Pelaksanaan pemantauan dilakukan oleh penjamah

makanan di etalase, rumah makan, dan tempat penjual plastik dengan mengecek

kebersihan etalase dan rumah makanan, mengecek wadah yang dipakai,

mengukur suhu saat penyimpanan, serta mengecek jenis plastik/kertas.

Pemantauan dilaksanakan setiap penyimpanan rendang di etalase dan membeli

plasik/kertas.

173
Sejalan dengan penelitian (Miskiyah & Widaningrum, 2008), monitoring

yang dilakukan pada tahap penyimpanan yaitu cek sanitasi pada setiap tahap

penyimpanan. Penelitian yang dilakukan oleh (Hastomo, 2006), pemantauan

yang dilakukan pada penyimpanan suhu dingin dengan melakukan pemeriksaan

secara berkala setiap hari. Penelitian (Putri E. W., 2008), menunjukkan bahwa

pada tahap pengemasan terdapat bahaya fisik. Pemantauan yang dilakukan

dengan pemeriksaan tempat penyimpanan dan pemantauan prosedur

pengemasan. Penelitian (Prasojo, 2003), pemantauan plastik yang dipakai

dengan melakukan pemantauan ditinjau daftar komponen dan data migrasi

supplier terhadap peraturan. Pemantauan dilakukan setiap kali perubahan

supplier untuk jenis pembungkus atau kemasan.

6.11. Penetapan Tindakan Perbaikan

Tindakan koreksi atau tindakan perbaikan adalah tindakan yang harus

diambil atau diputuskan berdasarkan hasil monitoring terhadap CCP, yang

mengindikasikan bahwa CCP/TKK tidak terkendali (Thaheer, 2005). Berikut ini

tindakan perbaikan proses pembuatan rendang.

a) Tindakan perbaikan pada bahan baku rendang

Tindakan perbaikan adalah kegiatan yang dilakukan bila berdasarkan hasil

pengamatan menunjukkan telah terjadi penyimpangan dalam CCP pada batas

kritis tertentu (Sudarmaji, 2005). Tindakan perbaikan yang dapat dilakukan

pada bahan baku rendang (bumbu dan santan) yaitu mengembalikan bahan baku

kepada penjual, memberikan saran kepada penjual untuk menggunakan wadah

yang tertutup, serta menggunakan pemasok bahan baku (bumbu dan santan)

yang dapat menjamin keamanan pangan dan terhindar bahaya fisik. Hasil

174
penelitian tersebut sejalan dengan penelitian (Trisnaini, 2012), tindakan

perbaikan yang dilakukan pada proses pengolahan bola-bola daging apabila

terjadi penyimpangan yaitu berbagai produk yang dinilai berkualitas buruk atau

rusak dikembalikan pada pemasok untuk diganti dengan produk yang baru dan

berkualitas baik. Sama dengan penelitian (Sari, Partiwi, & Janti, 2011), tindakan

perbaikan yang dilakukan yaitu bila masih dapat ditoleransi maka konfirmasi

ke pihak supplier dan reject bila tidak dapat ditoleransi.

b) Tindakan perbaikan pada proses pengolahan rendang

Tindakan perbaikan yang dilakukan pada tahap penerimaan bahan baku

yaitu memilih pemasok yang dapat menjamin kemasan yang dipakai aman

untuk makanan dan mengganti plastik yang aman untuk pangan. Sejalan dengan

penelitian (Prasojo, 2003), tindakan koreksi pada wadah yang dipakai yaitu

mengganti wadah atau supplier.

Pada tahap proses penyiapan bahan baku, tindakan perbaikan yang

dilakukan dengan mencuci kembali bahan baku yang akan digunakan kemudian

menggunakan wadah yang tertutup dan membersihkan dapur. Sejalan dengan

penelitian (Surahman & Ekafitri, 2014), tindakan koreksi pada tahap pencucian

dengan melakukan pencucian secara berulang agar buah jambu biji yang diolah

bersih.

Sedangkan penyiapan alat-alat yang dipakai dapat melakukan tindakan

perbaikan dengan membilas kembali alat-alat masak. Sejalan dengan penelitian

(Sadek, 2010), tindakan koreksi pada tahap pencucian peralatan yaitu membilas

kembali peralatan yang masih licin dan berbau sabun.

175
Pada tahap proses pemasakan terdapat bahaya biologi dan fisik. Tindakan

perbaikan untuk menghilangkan bahaya biologi dengan mengatur suhu

pemasakan minimal 90oC dan waktu pemasakan diperpanjang atau

dipersingkat. Hasil penelitian ini sejalan dengan (Indriastuti, 2006), tindakan

perbaikan pada proses pengovenan pembuatan brownies tepung ubi jalar merah

yaitu bila temperatur pengovenan tidak memenuhi standar, waktu pengovenan

dapat diperpanjang atau dipersingkat.

Sedangkan untuk bahaya fisik dapat dilakukan tindakan perbaikan yaitu

dengan membersihkan dapur, serta mengganti cobek dan ulek yang sudah

keropos. Sejalan dengan penelitian (Trisnaini, 2012), jika ditemukan alat masak

yang dianggap tidak layak untuk digunakan diharuskan mengganti alat masak

dengan yang baru. Sedangkan pada penelitian (Hotri, 2008) tindakan koreksi

yang dilakukan yaitu sterilisasi ruang pengemasan.

Tindakan perbaikan yang dilakukan untuk tahap penyimpanan dan

distribusi yaitu dengan membersihkan etalase dan rumah makan, mengganti

wadah yang ada tutupnya, mengatur suhu saat penyimpanan dietalase >60°C,

serta mengganti jenis plastik/kertas pembungkus makanan. Sejalan dengan

penelitian (Miskiyah & Widaningrum, 2008), tindakan koreksi yang dilakukan

pada tahap penyimpanan adalah pembersihan. Penelitian (Trisnaini, 2012),

tindakan perbaikan yang dilakukan yaitu peningkatan higiene sanitasi dalam

proses pengolahan makanan berupa penggunaan wadah tertutup untuk

makanan. Sejalan dengan penelitian (Prasojo, 2003), tindakan koreksi pada

wadah yang dipakai yaitu mengganti wadah atau supplier. Penelitian (Hastomo,

176
2006), tindakan perbaikan yang dilakukan pada penyimpanan suhu dingin yaitu

dengan memperbaiki freezer.

6.12. Penetapan Prosedur Verifikasi

Verifikasi adalah upaya pengujian terhadap hasil suatu rancang bangun

untuk memastikan kesesuaiannya dengan semua tujuan dan kendala (Dym, 1995

dalam (Thaheer, 2005)). Menurut (Mortimore & Wallace, 2004), verifikasi adalah

pemastian bahwa tindakan pengendalian telah dilakukan selama proses. Berikut ini

verifikasi proses pembuatan rendang. Berikut ini prosedur verifikasi bahan baku

dan proses pengolahan rendang.

a) Prosedur verifikasi pada bahan baku rendang

(Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016) mengatakan verifikasi merupakan

tindakan untuk memastikan bahwa seluruh prosedur dalam rancangan HACCP

telah dijalankan dengan benar, memastikan setiap tahapan kritis dalam proses

produksi telah benar-benar terkendali, memenuhi standar kritis yang telah

ditetapkan dan memastikan bahwa tujuan menghasilkan produk yang aman

sudah tercapai.

Verifikasi yang dilakukan pada bahan baku rendang yaitu penjamah

makanan meninjau penjual yang dapat memenuhi kriteria bahan baku bumbu

dan santan yang aman dari bahaya fisik. Verifikasi tersebut berbeda dengan

penelitian (Sari, Partiwi, & Janti, 2011), verifikasi bahaya kimia pada proses

penerimaan bahan baku dengan Certificate of Analysis (COA) dan hasil analisis

laboratorium.

177
b) Prosedur verifikasi pada proses pengolahan rendang

Verifikasi penerimaan bahan baku yaitu penjamah telah mengecek jenis

plastik yang digunakan aman untuk pangan. Sedangkan proses pengolahan

rendang pada saat penyiapan bahan baku yaitu penjamah makanan meninjau

kebersihan bahan baku dan tempat pengolahan. Pada tahap penyiapan alat-alat

yang dipakai, penjamah makanan memverifikasi dengan meninjau alat-alat

yang dipakai. Sedangkan proses pemasakan verifikasinya adalah penjamah

makanan telah mencatat suhu, telah mengecek alat masak dan meninjau

kebersihan dapur. Untuk proses penyimpanan dan distribusi, verifikasinya yaitu

penjamah makanan telah meninjau kebersihan etalase dan rumah makan,

mengecek wadah yang dipakai, mencatat suhu saat penyimpanan, dan

mengecek jenis plastik/kertas pembungkus makanan.

Penelitian yang dilakukan (Surahman & Ekafitri, 2014), proses verifikasi

dapat dilakukan dengan menganalisa setiap tahapan proses yang diidentifikasi

sebagai CCP. Sedangkan penelitian (Utomo & Septifani, 2017), prosedur

verifikasi yang dilakukan pada proses produksi MSG adalah dengan melakukan

pengecekan secata berkala secara internal maupun eksternal untuk mengontrol

dan memastikan bahwa prosedur yang dilakukan secara keseluruhan berjalan

efektif.

Berdasarkan uraian penetapan verifikasi, verifikasi dilakukan berbeda

dengan penelitian sebelumnya dikarenakan pada setiap perusahaan ataupun industri

mempunyai masing-masing TKK dengan bahaya yang berbeda-beda sehingga

verifikasi yang dilakukan pun juga tidak sama.

178
6.13. Dokumentasi dan Pencatatan

Menurut (Thaheer, 2005), pencatatan dan pembukuan yang efisien serta

akurat adalah dalam penerapan sistem HACCP. Prosedur harus didokumetasikan

dengan baik dan dikendalikan secara administratif. Pencatatan pada bahan baku

rendang berisi data pengecekan bahan baku untuk bumbu dan santan. Sedangkan

pada proses pengolahan rendang pencatatannya berupa data pengecekan jenis

plastik/kertas pembungkus makanan, penyiapan bahan baku, peralatan masak, data

analisis laboratorium, data pengukuran temperatur, data pengecekan alat masak,

kebersihan dapur, etalase, dan rumah makan, dan data pengecekan wadah untuk

menyimpan rendang di etalase. Hasil tersebut sejalan dengan Penelitian (Utomo &

Septifani, 2017), pencatatan yang dilakukan pada proses produksi MSG yaitu

laporan pemeriksaan produk, laporan kalibrasi dan form sterilisasi, laporan

pemeriksaan peralatan, dan form pemeriksaan dan form verifikasi.

Sesuai dengan prinsip HACCP, maka dokumentasi sistem HACCP harus

mencakup dokumentasi mengenai prosedur dan tindakan yang berkaitan dengan

prinsip 1 sampai dengan prinsip 7 (Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016).

Dokumentasi pada HACCP proses pemasakan rendang berisi informasi proses dan

produk serta HACCP. Informasi dan produk terdiri dari deskripsi produk, tujuan

akhir penggunaan produk, diagram alir, dan konfirmasi diagram alir. Sedangkan

HACCP proses memasak rendang meliputi identifikasi bahaya, menentukkan titik

kendali kritis (TKK), menentukkan batas kritis, penetapan tindakan perbaikan,

penetapan prosedur verifikasi, dan pencatatan dan dokumentasi. Data yang

didokumentasikan juga berasal dari hasil analisis laboratorium, pengukuran

temperatur dan lembar pengecekan.

179
6.14. Hasil Pengujian Mikrobiologi pada Rendang

Rendang merupakan masakan khas daerah Sumatera Barat yang terbuat dari

daging sapi tanpa lemak yang sarat dengan bumbu dan santan. Dari pengujian

mikrobiologi didapatkan hasil bahwa rendang masih memenuhi syarat SNI

7474:2009. Dilihat pada grafik 6.1, rendang yang sudah dilakukan pengujian

bakteri ALT mengalami pertumbuhan secara terus menerus tetapi masih dibawah

ambang batas SNI, yaitu 1 x 101, 1 x 102, dan 9,6 x 102 koloni/gr. Untuk bakteri

Coliform serta kapang dan khamir, masih berada dibawah ambang batas SNI dan

tidak mengalami kenaikan yaitu < 3 APM/gr dan < 1,0 x 101 koloni/gr. Penelitian

yang dilakukan oleh (Murhadi, Fardiaz, S, & Satiawihardja, 1994), menunjukkan

bahwa rendang yang diperoleh dari rumah makan sedang dengan lama simpan

sampai tiga hari mengalami kenaikan pada bakteri ALT, Coliform, serta kapang dan

khamir.

Menurut (Food and Drug Administration, 2001), terdapat beberapa faktor

yang dapat mempengaruhi pertumbuhan bakteri yaitu faktor intrinsik dan

ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi kadar air, pH dan keasaman, kandungan gizi,

struktur biologis, potensi redoks, pertumbuhan bakteri terjadi secara alami dan

menambahkan antimikroba, serta mikroflora yang kompetitif. Sedangkan faktor

ekstrinsik terdiri dari jenis kemasan, pengaruh waktu atau suhu pertumbuhan

mikroba, penyimpanan, dan langkah pengolahan. Bakteri ALT dapat meningkat

karena dipengaruhi salah satu faktor tersebut yaitu suhu pada rendang mengalami

penurunan yaitu 67,3°C, 27,3°C, dan 26,1°C. Hal itu disebabkan tidak adanya

pemanasan kembali setelah rendang dimasak. Suhu rendang 12 jam dan 24 jam

tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1096 Tahun 2011 tentang

180
Higiene Sanitasi Jasaboga yaitu lebih dari >60°C. Sejalan dengan penelitian

(Prasafitra, Suada, & Swacita, 2014), bahwa semakin lama masakan daging

rendang tanpa pemasakan ulang disimpan dalam suhu ruang, maka waktu

reduktasenya semakin cepat sehingga perkiraan beban bakterinya semakin banyak.

Sama halnya dengan penelitian (Hardianto, Suarjana, & Rudyanto, 2012)

menunjukkan penyimpanan telur ayam kampung pada suhu chilling mempunyai

ALT bakteri lebih sedikit dibandingkan penyimpanan suhu kamar. Semakin lama

telur ayam kampung disimpan dapat meningkatkan angka lempeng total bakteri

dengan jangka waktu tertentu. Ada interaksi suhu dan lama penyimpanan terhadap

angka lempeng total bakteri.

Pengujian bakteri pada rendang tidak ditemukan bakteri Salmonella dan

Clostridium perfringens. Hal itu dikarenakan banyaknya rempah-rempah yang

dipakai untuk memasak rendang sehingga bakteri tersebut tidak dapat tumbuh.

Sejalan dengan penelitian (Poeloengan, Uji Daya Hambat Perasan Umbi Bawang

Putih (Alium Sativum Linn.) terhadap Bakteri yang Diisolasi dari Telur Ayam

Kampung, 2007), perasan umbi bawang putih dengan konsentrasi 50, 25, dan

12,5% memberikan daerah hambat terhadap Salmonella sp, sehingga dapat

digunakan sebagai anti bakteri, namun pada konsentrasi 6,25% tidak memberikan

daya anti bakteri. Penelitian yang dilakukan (Jatmiko, Widodo, & Sjofjan, 2013),

menunjukkan bahwa pengaruh penambahan jus jahe merah dalam berbagai level

memberikan pengaruh terhadap jumlah populasi bakteri Salmonella sp yang ada

pada usus halus itik pedaging. Penelitian (Wit, Notermans, Gorin, &

Kampelmacher, 1979), menunjukkan bahwa minyak bawang putih dan bawang

181
merah dapat menghambat racun yang dihasilkan oleh Clostridium botulinum tipe A

pada daging.

Berdasarkan uraian hasil pengujian mikrobiologi pada rendang, bakteri

ALT dan Coliform pada rendang masih didalam bawah ambang batas SNI dan

rendang masih layak untuk dikonsumsi. Tetapi rendang harus tetap dikontrol karena

bakteri tersebut masih dapat mengalami peningkatan. Sehingga untuk menurunkan

angka bakteri ALT tersebut dapat dilakukan dengan pemanasan kembali saat proses

penyimpanan di etalase.

182
BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

Dalam penelitian ini didapatkan titik kendali kritis yaitu bahan baku bumbu

dan santan, tahap penerimaan bahan baku, tahap penyiapan bahan baku, tahap

penyiapan alat-alat yang dipakai, proses pemasakan, serta penyimpanan dan

distribusi. Dokumentasi penelitian ini berisikan tahapan HACCP, hasil analisis

laboratorium, pengukuran temperatur dan lembar pengecekan. Dari hasil pengujian

bakteri pada rendang memenuhi syarat SNI 7474:2009.

7.2. Saran

1. Bagi Pengusaha Rumah Makan Padang

 Memilih pemasok bahan baku yang menerapkan sistem keamanan

pangan.

 Meningkatkan personal higiene penjamah makanan dengan menjaga

kebersihan tangan, membasuh tangan setiap setelah melakukan kegiatan

apapun, memotong dan menjaga kebersihan kuku, memakai pakaian dan

celemek yang bersih, memakai penutup kepala, tidak makan, tidak

merokok, dan tidak mengenakan cincin.

 Meningkatkan higiene sanitasi makanan dengan melakukan pemilihan

bahan makanan yang baik dan tidak terkontaminasi bahan non pangan,

penyimpanan bahan makanan sesuai dengan jenis dan tempatnya,

mengolah makanan dengan baik, penyimpanan makanan jadi/masak

ditempatkan pada tempat yang terhindar dari kontaminasi,

183
pengangkutan makanan dilakukan dengan menjaga kondisi bahan

makanan dan makanan jadi, serta penyajian makanan dilakukan dengan

baik dan tidak terkontaminasi bahan non pangan.

2. Bagi Masyarakat

 Meningkatkan kewaspadaan terhadap makanan yang dikonsumsi untuk

menghindari penyakit akibat makanan.

 Memanaskan kembali apabila rendang yang disajikan tidak dalam

keadaan hangat/panas.

 Memilih tempat makan yang menjaga keamanan pangan dan higiene

sanitasi makanan.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

 Lokasi penelitian sebaiknya di industri pembuat rendang yang

pendistribusiannya di toko-toko penjual makanan.

 Melakukan pengujian laboratorium yang lebih lengkap pada bahan

baku, air yang digunakan untuk membilas bahan baku dan pencucian

peralatan, pengujian alat masak dan tempat penyimpanan, dan menguji

sifat kimia dan fisik pada rendang.

184
DAFTAR PUSTAKA
Amaliyah, N. (2017). Penyehatan Makanan dan Minuman. Yogyakarta:
Deepublish.
Andareto, O. (2015). Apotik Herbal di Sekitar Anda. Jakarta: Pustaka Ilmu Semesta.
Angelica, N. (2013). Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun dan Kulit Batang
Kayu Manis Cinnamomum burmannii (Nees & Th. Ness)) terhadap
Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Universitas Surabaya.
Anwar, Y. (2010). 38 Inspirasi Usaha Makanan Minuman untuk Home Industry.
Jakarta: AgroMedia Pustaka.
Arisman. (2009). Keracunan Makanan. Jakarta: EGC.
Asniyah. (2009). Efek Antimikroba Minyak Jintan Hitam (Nigella sativa) terhadap
Pertumbuhan Escherichia coli In Vitro. Jurnal Biomedik.
Astawan, M. (2014). Sehat dengan Hidangan Kacang dan Biji-bijian. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Ayustaningwarno, F., Retraningrum, G., Safitri, I., Anggraheni, N., Suhardinata,
F., Umami, C., & Rejeki, M. S. (2014). Aplikasi Pengolahan Pangan.
Yogyakarta: Deepublish.
Baskoro, D. (2015, April 9). Tips agar Rendang Awet Dibawa ke Luar Negeri.
Diambil kembali dari www.okezone.com:
https://lifestyle.okezone.com/read/2015/04/09/298/1131475/tips-agar-
rendang-awet-dibawa-ke-luar-negeri
Batt, C. A., & Tortorello, M.-L. (2014). Encyclopedia of Food Microbiology
Second Edition. London: Elsevier.
BPOM. (2017). Plastik Sebagai Kemasan Pangan. Diambil kembali dari Sentra
Informasi Keracunan Pangan:
http://ik.pom.go.id/v2016/artikel/Plastiksebagaikemasanpangan.pdf
Chandra, B. (2006). Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: EGC.
Chandra, B. (2009). Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas. Jakarta: EGC.
Dalimartha, S. (2015). Tanaman Obat di Lingkungan Sekitar. Jakarta: Puspa Swara.
Demedia, T. D. (2010). Kitab Masakan Nusantara Kumpulan Resep Pilihan dari
Aceh sampai Papua. Jakarta: Demedia.
Dewi, N. (2012). Dahsyatnya Jintan Hitam. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Abon. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

185
Fajri, I., Erly, & Usman, E. (2016). Perbedaan Efek Antibakteri Kapsul Minyak
Bawang Putih (Garlic Oil) dan Kapsul Bubuk Bawang Putih (Garlic
Powder) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli Secara In Vitro. Jurnal Kesehatan Andalas.
Fakhmi, A., Rahman, A., & Riawati, L. (2014). Desain Sistem Keamanan Pangan
Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) pada Proses Produksi
Gula PG. Kebon Agung Malang. Jurnal Rekayasa dan Manajemen Sistem
Industri.
Fardiaz, S. (1996). Prinsip HACCP dalam Industri Pangan. Institut Pertanian
Bogor.
Fatimah, S., Prasetyaningsih, Y., & Sari, M. F. (2017). Analisis Coliform pada
Minuman Es Dawet yang Dijual di Malioboro Yogyakarta. Prosiding
Seminar Nasional IKAKESMADA "Peran Tenaga Kesehatan dalam
Pelaksanaan SDGs". Yogyakarta.
FDA. (1997, August 14). HACCP Principles & Application Guidelines. Diambil
kembali dari U.S. Food and Drug Administration:
https://www.fda.gov/Food/GuidanceRegulation/HACCP/ucm2006801.htm
#app-d
FDA. (2001, Desember 31). Evaluation and Definition of Potentially Hazardous
Foods - Chapter 3. Factors that Influence Microbial Growth. Diambil
kembali dari U.S. Food and Drug Administration:
http://www.fda.gov/Food/FoodScienceResearch/SafePracticesforFoodProc
esses/ucm094147.htm
Febriana, R., & Artanti, G. D. (2009). Penerapan Hazard Analysis Critical Control
Point (HACCP) dalam Penyelenggaraan Warung Makan Kampus. Media
Pendidikan, Gizi, dan Kuliner.
Food and Drug Administration. (2001, December 31). Evaluation and Definition of
Potentially Hazardous Foods. Diambil kembali dari U.S. Food and Drug
Administration:
https://www.fda.gov/downloads/food/foodborneillnesscontaminants/ucm5
45171.pdf
Gea, S., Sebayang, K., & Aththorick, T. A. (2016). Peningkatan Kualitas Produksi
Santan Kelapa Sebagai Bahan Baku Industri Kuliner di Kota Medan.
Abdimas Talenta.
Goulding, S., & Mansur. (2014). Penerapan Hazard Analysis and Critical Control
Points (HACCP) Produk Sashimi di Restoran Tomoto Surabaya. Jurnal
Hospitally dan Manajemen.
HACCP Europa Publication. (2012). HACCP Implementation in Food
Manufacturing a Practical Guide. HACCP Europa Publications.

186
Hafiz, A. A., Yen, L. H., N, H., Hazrina, G., Norhana, N. W., & Ainy, M. A. (2015).
Effect of Vietnamese Coriander (Persicaria odorata), Turmeric (Curcuma
longa) and Asam Gelugor (Garcinia atroviridis) Leaf on the Microbiological
Quality of Gulai Tempoyak Paste. International Food Research Journal.
Hardianto, Suarjana, I. G., & Rudyanto, M. D. (2012). Pengaruh Suhu dan Lama
Penyimpanan terhadap Kualitas Telur Ayam Kampung Ditinjau dari Angka
Lempeng Total Bakteri. Indonesia Medicus Veterinus.
Harijani, N., Ernawati, & Suwarno. (2011). Pemanfaatan Sari Rimpang Jahe
(Zingiber officinale) sebagai Antibakterial Alami pada Susu Pasteurisasi
Berdasarkan Penurunan Jumlah Bakteri Escherichia coli. Veterinaria
Medika.
Hastomo, W. S. (2006). Mempelajari Aspek HACCP dalam Penanganan Susu
Pasteurisasi di Unit Pengolahan Fakultas Peternakan IPB, Bogor. Institut
Pertanian Bogor.
Hayes, R. (1995). Food Microbiology and Hygiene. New York: Springer US.
Hendrawati, V. S., Suyasa, I. N., & Sujaya, I. N. (2014). Efektifitas Larutan Bawang
Putih (Allium sativum L.) dan Ketumbar (Coriandrum sativum) Terhadap
Daya Awet Tahu Lombok. Jurnal Kesehatan Lingkungan.
Hernando, D., Septinova, D., & Adhianto, K. (2015). Kadar Air dan Total Mikroba
pada Daging Sapi di Tempat Pemotongan Hewan (TPH) Bandar Lampung.
Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu.
Hotri, M. (2008). Kajian Awal Penerapan HACCP pada Unit Usaha Pengelolaan
Kefir Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono di Salatiga. Institut Pertanian
Bogor.
Hoyyi, A., & Darwanto. (2017). Penguatan Pengelolaan Buah-buahan melalui
Peningkatan Nilai Ekonomis Produk Lokal pada Klaster Jambu Biji Getas
Merah di Kecamatan Pageruyung Kabupaten Kendal. Eko-Regional.
Hui, Y. H., Cornillon, P., Lim, M. H., Murrell, K. D., & Nip, W.-K. (2004).
Handbook of Frozen Foods. New York: Marcel Dekker, Inc.
Hui, Y. H., Meunier-Goddik, L., Hansen, A. S., Josephsen, J., Nip, W.-K.,
Stanfield, P. S., & Toldra, F. (2004). Handbook of Food and Bevarage
Fermentation Technology. New York: Marcel Dekker.
Ilmiawan, N., Astuti, S., & Nawansih, O. (2014). Penggabungan Penerapan Sistem
Jaminan Mutu ISO 9001:2008 dan Sistem HACCP ke dalam Sistem
Manajemen Keamanan Pangan ISO 22000:2009 (Studi Kasus di PT
Indokom Samudra Persada). Jurnal Teknologi dan Industri Hasil Pertanian.
Indriastuti, A. N. (2006). Kajian tentang Produk Brownies dengan Subtitusi Tepung
Ubi Jalar Merah. Universitas Negeri Yogyakarta.

187
Jaelani. (2007). Khasiat Bawang Merah. Yogyakrta: Penerbit Kanisius.
Jasmadi, Haryani, Y., & Jose, C. (2014). Prevalensi Bakteri Coliform dan
Escherichia coli pada Daging Sapi yang Dijual di Pasar Tradisional dan
Pasar Modern di Kota Pekanbaru. JOM FMIPA.
Jatmiko, N., Widodo, E., & Sjofjan, O. (2013). Pengaruh Penambahan Jus Jahe
Merah (Zinger officinale var. Rubrum) sebagai Imbuhan Pakan dalam
Pakan terhadap Kondisi Mikroflora Usus Halus Itik Pedaging Hibrida.
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.
Keputusan Menteri Kesehatan No. 1096 Tahun 2003 tentang Hygiene Sanitasi
Rumah Makan dan Restoran
Keputusan BPOM No. HK.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012 tentang Cara Produksi
Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga.
Khaidir, Y. (2010). Pengobatan Alternatif dengan Aneka Tanaman Obat. UBA
Press.
Khairani, C., Rahadjo, Y. P., Dalapati, A., & Sumarni. (2007). Pengkajian
Teknologi Pengolahan Kelapa Mendukung Agroindustri di Kabupaten
Donggala. Diambil kembali dari Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian: http://pfi3pdata.litbang.pertanian.go.id/litkaji/one/138/
Kuntoro, B., Maheswari, R. R., & Nuraini, H. (2012). Hubungan Penerapan
Standard Sanitation Operasional Procedure (SSOP) Terhadap Mutu Daging
Ditinjau dari Tingkat Cemaran Mikroba. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu
Peternakan.
Kurniadi, Y., Saam, Z., & Afandi, D. (2013). Faktor Kontaminasi Bakteri E. coli
pada Makanan Jajanan di Lingkungan Kantin Sekolah Dasar Wilayah
Kecamatan Bangkinang. Jurnal Ilmu Lingkungan.
Kurniawati, N. (2010). Sehat dan Cantik Alami Berkat Khasiat Bumbu Dapur.
Bandung: PT Mizan Pustaka.
Laelasari, E. (2015). Islam dan Keamanan Pangan. Tangerang Selatan: UIN Press.
Lentera, T. (2004). Khasiat dan Manfaat Jahe Merah si Rimpang Ajaib. Jakarta:
Agromedia Pustaka.
Lestari, D. P., Nurjazuli, & D, Y. H. (2015). Hubungan Higiene Penjamah dengan
Keberadaan Bakteri Escherichia coli Pada Minuman Jus Buah di
Tembalang. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia.
Likotrafiti, E., Anagnou, M., Lampiri, P., & Roades, J. (2014). Effect of Storage
Temperature on the Behaviour of Escherichia coli O157:H7 and Salmonella
enterica Serotype Typhimurium on Salad Vegetables. Journal of Food
Research.

188
Maharani, N. E. (2016). Hubungan Hygiene Sanitasi Penjamah Makanan dengan
Angka Kuman Makanan Jajanan Sekitar SMA Negeri 3 Wonogiri. Jurnal
IKESMA.
Marisdayana, R., Harahap, P. S., & Yosefin, H. (2017). Teknik Pencucian Alat
Makan, Personal Hygiene terhadap Kontaminasi Bakteri pada Alat Makan.
Jurnal Endurance.
Maulana, H., Afrianto, E., & Rustikawati, I. (2012). Analisis Bahaya dan Penentuan
Titik Pengendalian Kritis pada Penanganan Tuna Segar Utuh di PT. Bali
Ocean Anugrah Linger Indonesia Benoa-Bali. Jurnal Perikanan dan
Kelautan.
McConnan, I. (Penyunt.). (2006). Piagam Kemanusiaan dan Standar Minimum
dalam Respons Bencana. (P. Pujiono, T. Wuryantari, & I. Leman, Penerj.)
Musumeci, Italy: Sphere Project.
Megawati, M. Y., & Felecia. (2013). Pembuatan Dokumentasi HACCP di Plant-1
PT X. Jurnal Tirta.
Merthayasa, J. D., Suada, I. K., & Agustina, K. K. (2015). Daya Ikat Air, pH,
Warna, Bau dan Tekstur Daging Sapi Bali dan Daging Wagyu. Indonesia
Medicus Veterinus.
Mirawati, M., Djajaningrat, H., & Purwanti, A. (2013). Kualitas Bakteriologis
Cabai Giling yang Dijual di Pasar Tradisional Wilayah Pondok Gede.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kesehatan.
Miskiyah, & Widaningrum. (2008). Pengendalian Aflatoksin pada Pascapanen
Jagung melalui Penerapan HACCP. Jurnal Standardisasi.
Moelyaningrum, A. D. (2012). Hazard Analysis Critical Point (HACCP) pada
Produk Tape Singkong Untuk Meningkatkan Keamanan Pangan
Tradisional Indonesia. The Indonesian Journal of Health Science.
Mortimore, S., & Wallace, C. (2004). HACCP Sekilas Pandang. Jakarta: EGC.
Mulyani, R. (2014). Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Higiene Pengolah Makanan.
Jurnal Keperawatan.
Murhadi, Fardiaz, S., S, S. L., & Satiawihardja, B. (1994). Pengaruh Penyimpanan
dan Pemanasan Kembali terhadap Mutu Mikrobiologis Kalio dan Rendang
Daging Sapi. Buletin Teknologi dan Industri Pangan.
Musliati, D., Fifendy, M., & Periadnadi. (2013). Uji Bakteriologis Cabai Merah
Giling (Capsicum annum L.) dari Beberapa Pasar Tradisional di Kota
Padang. Jurnal Mahasiswa Pendidikan Biologi.
Naria, E. (2006). Higiene Sanitasi Makanan dan Minuman Jajanan di Kompleks
USU, Medan. USU e-Journals.

189
Notoatmodjo, S. (2007). Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka
Cipta.
Nurhasanah. (2014). Antimicrobial Activity Of Nutmeg (Myristica fragrans Houtt)
Fruit Methanol Extract Againts Growth Staphylococus aureus and
Escherichia coli. Jurnal Bioedukasi.
Nurmufida, M., Wangrimen, G. H., Reinalta, R., & Leonardi, K. (2017). Rendang:
The Treasure of Minangkabau. Journal of Ethnic Foods.
Nurwantoro, M, B. A., Purnomoadi, A., Ambara, L. D., Prakoso, A., & Mulyani, S.
(2012). Nilai pH, Kadar Air, dan Total Escherichia coli Daging Sapi yang
di Marinasi dalam Jus Bawang Putih. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan.
Nurwantoro, Pramono, Y. B., Setiani, B. E., Sulistiarto, S., Arissaputra, H.,
Perdana, G. A., & Bintoro, V. P. (2012). Marinasi Daging Sapi dengan
Menggunakan Bawang Putih untuk Meningkatkan Keamanan Pangan.
Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah.
Nuryani, D., Putra, N. A., & Sudana, I. B. (2016). Kontaminasi Escherichia coli
pada Makanan Jajanan di Kantin Sekolah Dasar Negeri Wilayah Denpasar
Selatan. Ecotrophic.
Parwata, I. M., & Dewi, P. S. (2008). Isolasi dan Uji Aktivitas Antibakteri Minyak
Atsiri dari Rimpang Lengkuas (Alpinia galanga L.). Jurnal Kimia.
Peraturan BPOM No. 5 Tahun 2015 tentang Pedoman Cara Ritel Pangan yang Baik
di Pasar Tradisional.
Peraturan Menteri Kesehatan No. 1096 Tahun 2011 tentang Higiene Sanitasi
Jasaboga.
Permata, A. D. (2017, December 2017). Indonesia Rebut Juara Satu dan Dua
dalam Daftar 10 Makanan Terenak di Dunia Tahun 2017 Versi Pembaca
CNN! Makanan Apa Saja Ya? Diambil kembali dari Intisari Online:
http://intisari.grid.id/Intisari-News/Indonesia-Rebut-Juara-Satu-Dan-Dua-
Dalam-Daftar-10-Makanan-Terenak-Di-Dunia-Tahun-2017-Versi-
Pembaca-Cnn-Makanan-Apa-Saja-Ya?page=2#
Poeloengan, M. (2007). Uji Daya Hambat Perasan Umbi Bawang Putih (Alium
Sativum Linn.) terhadap Bakteri yang Diisolasi dari Telur Ayam Kampung.
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII. Bogor.
Poeloengan, M. (2009). Pengaruh Minyak Atsiri Serai (Andropogon citratus DC.)
terhadap Bakteri yang di Isolasi dari Sapi Mastitis Subklinis. Berita Biologi.
Prasafitra, A. F., Suada, I. K., & Swacita, I. B. (2014). Ketahanan Daging Rendang
Tanpa Pemasakan Ulang Selama Penyimpanan Suhu Ruang Berdasarkan
Uji Reduktase dan Organoleptik. Indonesia Medicus Veterinus.

190
Prasojo, T. (2003). Survival Bakteri Patogen pada Udang selama Pengolahan dan
Penetapan Rencana HACCP untuk Proses Produksi Udang Beku. Institut
Pertanian Bogor.
Pratiwi, L. R. (2014). Hubungan Antara Personal Hygiene dan Sanitasi Makanan
dengan Kandungan E. coli pada Sambal yang Disediakan Kantin
Universitas Negeri Semarang Tahun 2012. Unnes Journal of Public Health.
Prihatini, R. I. (2008). Analisa Kecukupan Panas pada Proses Pasteurisasi Santan.
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Puspawati, N. M., Suirta, I. W., & Bahri, S. (2016). Isolasi, Identifikasi, serta Uji
Aktivitas Antibakteri pada Minyak Atsiri Sereh Wangi (Cymbopogon
winterianus Jowitt). Jurnal Kimia.
Putra, G. U., Djamal, A., & Masri, M. (2015). Uji Efek Antibakteri Minyak Jintan
Hitam (Nigella Sativa) Dalam Kapsul yang Dijual Bebas Selama Tahun
2012 di Kota Padang Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli Secara In Vitro. Jurnal Kesehatan Andalas.
Putri, E. W. (2008). Kajian Awal Sistem Hazard Analysis Critical Control Point
(HACCP) pada Produksi Susu Pasteurisasi di Milk Treatment KPBS
Pengalengan Bandung. Institut Pertanian Bogor.
Putri, R. I., Periadnadi, & Indriati, G. (2014). Uji Bakteriologis Serai Giling
(Andropogon nardus L.) yang Dijual di Pasar Raya Kota Padang. Jurnal
Pendidikan Biologi.
Rahman, M. S. (1999). Handbook of Food Preservation. New York: Marcel
Dekker, Inc.
Rahminiwati, M., Mustika, A. A., Saadiah, S., Andriyanto, Soeripto, & P., U.
(2010). Bioprospeksi Ekstrak Jahe Gajah sebagai Anti-CRD: Kajian
Aktivitas Antibakteri. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia.
Rakhmawati, Partiwi, S. G., & Suparno. (2008). Perbaikan Proses pada Pengolahan
Tepung Terigu dengan Pendekatan Lean dan HACCP sebagai Upaya
Peningkatan Kualias Produk. Institut Teknologi Sepuluh November
Surabaya.
Rastuti, U., Widyaningsih, S., Kartika, D., & Ningsih, D. R. (2013). Aktivitas
Antibakteri Minyak Atsiri Daun Pala dari Banyumas terhadap
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli serta Identifikasi Senyawa
Penyusunnya. Jurnal Ilmiah Kimia Molekul.
Repi, N. B., Mambo, C., & Wuisan, J. (2016). Uji efek antibakteri ekstrak kulit
kayu manis (Cinnamomum burmannii) terhadap Escherichia coli dan
Streptococcus pyogenes. Jurnal e-Biomedik.

191
Robertson, G. L. (2012). Food Packaging Principles and Practice Third Edition.
Boca Raton: CRC Press Taylor & Francis Group.
Sadek, N. F. (2010). Penerapan Sistem HACCP pada Warung Tegal dan Pembuatan
Modul Pelatihannya sebagai Salah Satu Bentuk CSR PT Bintang Toedjoe,
Jakarta. Institut Pertanian Bogor.
Sakti, M. R., Rudyanto, M. D., & Suarjana, I. G. (2012). Pengaruh Suhu dan Lama
Penyimpanan Telur Ayam Lokal terhadap Jumlah Coliform. Indonesia
Medicus Veterinus.
Saparinto, C., & Hidayati, D. (2006). Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta:
Kanisius.
Sari, D. N., Partiwi, S. G., & Janti, G. (2011). Perancangan Sistem Kerja pada
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Makanan untuk Memenuhi HACCP
(Studi Kasus: UKM Syafrida Produsen Snacks). Institut Teknologi Sepuluh
Nopember (ITS).
Sarwono, E. (2007). Mempelajari Penerapan HACCP pada Unit Pengolahan
Produk Chicken Nugget PT Japfa Santori Indonesia. Institut Pertanian
Bogor.
SNI 01-4852-1998 tentang Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis
(HACCP) serta Pedoman Penerapannya.
SNI 3932:2008 tentang Mutu Karkas dan Daging Sapi.
SNI 7388:2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan.
SNI 7474:2009 tentang Rendang Daging Sapi.
Sudarmaji. (2005). Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard Analysis
Critical Control Point). Jurnal Kesehatan Lingkungan.
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sugiyoto, Adhianto, K., & Wanniatie, V. (2015). Kandungan Mikroba pada Daging
Sapi dari Beberapa Pasar Tradisional di Bandar Lampung. Jurnal Ilmiah
Perternakan Terpadu.
Suharmiati, & Handayani, L. (2005). Ramuan Tradisional untuk Keadaan Darurat
di Rumah. Jakarta: AgroMedia Pustaka.
Suharyono, A. S., Erna, M. K., & Kurniadi, M. (2009). Pengaruh Sinar Ultra Violet
dan Lama Penyimpanan terhadap Sifat Mikrobiologi dan Ketengikan Krem
Santan Kelapa. Jurnal Agritech.
Sulchan, M., & Nur W, E. (2007). Keamanan Pangan Kemasan Plastik dan
Styrofoam. Majalah Kedokteran Indonesia.

192
Sunaryo. (2004). Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.
Suradi, K., & Suryaningsih, L. (2008). Pengaruh Temperatur dengan Lama
Pengasapan terhadap Keasaman dan Total Bakteri Daging Ayam Boiler.
Jurnal Ilmu Ternak.
Surahman, D. N., & Ekafitri, R. (2014). Kajian HACCP (Hazard Analysis and
Critical Control Point) Pengolahan Jambu Biji di Pilot Plant Sari Buah UPT.
B2PTTG - Lipi Subang. Agritech.
Surono, A. S. (2013). Antibakteri Ekstrak Etanol Umbi Lapis Bawang Merah
(Allium Cepa L.) Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya.
Surono, I. S., Sudibyo, A., & Waspodo, P. (2016). Pengantar Keamanan Pangan
untuk Industri Pangan. Yogyakarta: Deepublish.
Sutomo, B. (2011). Rahasia Sukses Berbisnis Masakan Padang. Jakarta: Demedia.
Sutomo, B. (2012). Rendang: Juara Masakan Terlezat Sedunia. Jakarta: Kawan
Pustaka.
Suyanti. (2014). Membuat Aneka Olahan Cabai. Jakarta: Penebar Swadaya.
Syafirah, S., & Andrias, D. R. (2012). Higiene Penjamah Makanan dan Sanitasi
Kantin Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Mulyorejo, Surabaya. Media
Gizi Indonesia.
Syamsiah, I. S., & Tajudin. (2003). Khasiat dan Manfaat Bawang Putih Raja
Antibiotik Alami. Jakarta: Agromedia Pustaka.
Syarifudin, A. (2003). Aplikasi Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)
pada Saus Cabai di PT. Heinz ABC Indonesia, Karawang. Institut Pertanian
Bogor.
Thaheer, H. (2005). Sistem Manajemen HACCP. Jakarta: Bumi Aksara.
Triandini, F. A. (2015). Pengetahuan, Sikap Penjamah Makanan dan Kondisi
Higiene Sanitasi Produksi Otak-otak Bandeng di Kabupaten Gresik. e-
journal boga.
Trisnaini, I. (2012). Analisis Bahaya Titik Kendali Kritis Proses Pengolahan Bola-
Bola Daging di Instalasi Gizi Rumah Sakit. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional.
Utami, P., & Puspaningtyas, D. E. (2013). The Miracle of Herbs. Jakarta:
AgroMedia Pustaka.
Utomo, S. S., & Septifani, R. (2017). Hazard Analysis and Critical Control Point
Proses Pengolahan Monosodium Glutamat di PT. Ajinomoto Indonesia.
Jurnal Sains dan Teknologi Pangan.

193
WHO. (2005). Penyakit Bawaan Makanan. (A. Hartono, Penerj.) Jakarta: EGC.
WHO. (2015, Desember 3). WHO's First Ever Global Estimates of Foodborne
Disesases Find Children Under 5 Account for Almost One Third of Deaths.
Diambil kembali dari WHO:
http://www.who.int/mediacentre/news/releases/2015/foodborne-disease-
estimates/en/
Wijonarko, G., & Arsil, P. (2007). Evaluasi Bahaya dan Penetapan Titik Kendali
Kritis pada Pembuatan Makanan Jajanan yang Dijual di Kawasan Wisata
Baturraden, Purwokerto. Jurnal Pembangunan Pedesaan.
Winarto, W. P., & Karyasari, T. (2003). Memanfaatkan Bumbu Dapur untuk
Mengatasi Aneka Penyakit. Jakarta: AgroMedia Pustaka.
Wisna, W. B. (2001). Pengaruh Konsentrasi Pala dan Lama Penyimpanan Suhu
Dingin terhadap Jumlah Bakteri Coliform dan Tekstur Daging Sapi. Jurnal
Veteriner.
Wit, J. C., Notermans, S., Gorin, N., & Kampelmacher, E. H. (1979). Effect of
Garlic Oil or Onion Oil on Toxin Production by Clostridium botulinum in
Meat Slurry. Journal of Food Protection.
Yanti, L., & Novalinda, D. (2016). Kajian Keamanan Pangan pada Proses
Pembuatan Dodol Nanas Tangkit (Studi Kasus di Desa Tangkit, Kecamatan
Sungai Gelam Kabupaten Muaro Jambi). Universitas Sriwijaya.
Yulliani, R., Indrayudha, P., & Rahmi, S. S. (2011). Aktivitas Antibakteri Minyak
Atsiri Daun Jeruk Purut (Citrus hystrix) terhadap Staphylococcus aureus
dan Escherichia coli. Pharmacon.
Yuniarti, R., Azlia, W., & Sari, R. A. (2015). Penerapan Sistem Hazard Analysis
Critical Control Point (HACCP) pada Proses Pembuatan Keripik Tempe.
Jurnal Ilmiah Teknik Industri.
Yunus, S. P., Umboh, J. M., & Pinontoan, O. (2015). Hubungan Personal Higiene
dan Fasilitas Sanitasi dengan Kontaminasi Escherichia coli pada Makanan
di Rumah Makan Padang Kota Manado dan Kota Bitung. Jikmu.

194
LAMPIRAN

195
Lampiran 1

INFORMED CONSENT

(LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN)

Assalamu’alaikum Wr. Wb,

Saya Sri Widiyastuti Mahasiswa S1 program Studi Kesehatan Masyarakat

angkatan 2012, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta. Kami bermaksud melakukan penelitian mengenai Analisis Bahaya dan

Titik Kendali Kritis (HACCP) Rendang (Studi Kasus di Rumah Makan

Padang X Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan) Tahun 2017.

Kami berharap bapak/ibu/saudara/i bersedia untuk menjadi responden


dalam penelitian ini. Semua informasi yang bapak/ibu/saudara/i berikan terjamin
kerahasiaannya.
Setelah bapak/ibu/saudara/i membaca maksud penelitian di atas, maka kami
mohon untuk mengisi nama dan tanda tangan di bawah ini sebagai persetujuan.
Dengan ini saya bersedia mengikuti penelitian ini dan bersedia di wawancarai
serta di amati (observasi) selama proses pembuatan rendang.
Responden

Setelah menandatangani pernyataan di atas, kami mohon kesediaan


(............................................)
bapak/ibu/saudara/i untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan jujur dan
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Terima Kasih. Sekian.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

196
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM
Hari, Tanggal :
Identitas Informan
Nama :
Jenis Kelamin :
No. Telepon :
Pertanyaan
 Mendeskripsikan Produk
1. Apa saja bahan-bahan yang dibutuhkan dalam membuat rendang?
2. Dimana menyimpan bahan-bahan rendang sebelum diolah?
Probing :
- Bagaimana kondisi penyimpanannya?
- Bagaimana wadah yang dipakai?
3. Setelah rendang matang, bagaimana proses pendistribusiannya dari dapur
ke tempat penyajian?
4. Berapa lama masa simpan/kadaluwarsa rendang?
5. Dimana menyimpan rendang yang sudah matang?
Probing :
- Bagaimana kondisi penyimpanannya?
- Bagaimana wadah yang digunakan?
6. Jenis kemasan/wadah apa yang digunakan untuk membungkus rendang?
 Mengidentifikasi Tujuan Penggunaan Produk
1. Usia berapakah yang membeli rendang dirumah makan padang
[Bapak/Ibu]?
 Mengkonfirmasi Alur Proses di Lapangan
1. Bagaimana proses pembuatan rendang?
Probing :
- Apakah ada bahan tambahan yang pakai?
- Apa saja bahan tambahan yang digunakan?
2. Peralatan apa saja yang digunakan saat membuat rendang?

197
3. Butuh waktu berapa lama untuk memasak rendang?
4. Bagaimana jika rendang tidak habis dalam waktu satu hari?
Probing :
- Jika disimpan, disimpan dimana?
- Bagaimana wadah yang digunakan?
 Menentukan Upaya-upaya Perbaikan
1. Bagaimana cara [Bapak/Ibu] untuk mengurangi kontaminasi terhadap
makanan rendang?

198
LEMBAR OBSERVASI PERSONAL HIGIENE
Pengamatan
No Aspek yang diamati
Ya Tidak
1 Selalu menjaga kebersihan tangan dan mencuci
tangan pakai sabun setelah menggunakan toilet,
sebelum memegang bahan mentah, bersin, batuk, dll.
2 Memotong dan menjaga kebersihan kuku.
3 Mengenakan pakaian dan celemek yang bersih.
4 Memakai penutup kepala yang bersih dan rambut
jangan dibiarkan tergerai
5 Tidak makan dan merokok ketika bekerja
6 Tidak mengenakan perhiasan (contoh: cincin)
7 Menggunakan alat atau sarung tangan plastik ketika
menyentuh/mengambil makanan
8 Tidak berjualan ketika merasa sakit
9 Menggunakan pakaian bersih saat menyajikan
makanan
10 Menggunakan alas kaki saat menyajikan makanan

199
LEMBAR PENGUKURAN SUHU BAHAN BAKU DAN PROSES
PEMASAKAN RENDANG

Tahapan Waktu Suhu (℃)

200
Lampiran 2

Penilaian Warna Daging

Penilaian warna daging dengan melihat warna daging dan mencocokannya


dengan standar warna. Nilai skor warna ditentukan berdasarkan skor standar warna
yang paling sesuai dengan warna daging. Standar warna daging terdiri dari atas
sembilan skor mulai dari warna merah muda hingga merah tua.

Tabel Penilaian Warna Daging


Persyaratan Mutu
Penilaian
I II III
Merah Terang Merah kegelapan Merah Gelap
Warna Daging
Skor 1 - 5 Skor 6 - 7 Skor 8 - 9

Lembar Penilaian Warna Daging


No Warna Daging Skor

201
Lampiran 3
Matrix Hasil Wawancara

Variabel A1 A2

Mendeskripsikan produk

- Bahan-bahan rendang Laos, jahe, bawang putih, bawang merah, kayu Santan, bawang merah, laos, cabe giling,
manis, ketumbar, jintan, asam kandis, asam daging
gelugur, kemiri, pala, santan, daun jeruk, daun
serai, daun kunyit, dan daging.
- Penyimpanan bahan-bahan - Setelah membeli dari pasar langsung Pakai plastik yang diperoleh dari pasar
rendang dilakukan pemasakan, sehingga tidak ada
penyimpanan karena bumbunya hanya untuk
satu kali masak.
- Saat pembelian bahan baku sudah dibungkus
menggunakan plastik sehingga sudah pasti
tertutup
- Pendistribusian dari dapur ke - Membawanya menggunakan mangkuk - Memakai mangkuk
tempat penyajian - Wadah tidak tertutup - Wadah tidak tertutup
- Masa simpan rendang Dua hari Satu minggu jika dipanaskan kembali
- Penyimpanan rendang yang sudah - Memakai mangkuk yang dipakai saat Memakai wadah yang dipakai saat
matang pendistribusian dari dapur ke etalase membawa rendang dari dapur ke etalase
- Mangkuk berbahan dasar stainless steel

202
Variabel A1 A2

- Kemasan/wadah untuk Memakai plastik yang dipakai berukuran Memakai plastik bening. Kalau
pembungkus rendang setengah kilogram. Apabila membeli rendang membelinya dengan nasi menggunakan
ditambah dengan nasi menggunakan kertas kertas pembungkus/nasi
pembungkus/nasi
Mengidentifikasi tujuan produk

- Usia pembeli rendang Muda sampai tua Muda sampai tua


Mengkonfirmasi alur proses dilapangan
- Proses pembuatan rendang Daging, daun jeruk, daun kunyit dan serai dicuci Masukan santan dan bumbu tunggu hingga
terlebih dahulu. Kemudian serai dipipihkan berminyak. Kemudian masukan daging
menggunakan ulek dan cobek. Masukan daging, yang dipotong tipis-tipis. Masak dengan api
bumbu-bumbu, dan santan ke dalam wajan. kecil.
Tambahkan MSG sedikit. Tidak ditambahkan
garam karena dibumbu halus sudah diberi garam.
- Peralatan yang dipakai membuat Wajan, sodet, cobek dan ulek Wajan dan sodet
rendang
- Waktu masak rendang Dua sampai tiga jam Dua sampai tiga jam
- Rendang tidak habis dalam waktu Tidak disimpan di lemari es. Dipanaskan kembali Jangan disimpan di lemari es tetapi
satu hari dan ditutup rapat menggunakan tutup panci dipanaskan kembali dan ditambahkan air
sedikit agar tidak terlalu kering. Kemudian
ditutup menggunakan kain

203
Variabel A1 A2

Menentukan upaya-upaya
perbaikan
- Mengurangi kontaminasi rendang Ditutup menggunakan tirai Ditutup pakai tirai

204
Lampiran 4
Kutipan Transkip Mendeskripsikan Produk

Mendeskripsikan produk A1 A2 Kesimpulan

Apa saja bahan-bahan yang “Laos, jahe, bawang putih, bawang “... jahe” Semua informan
dibutuhkan untuk membuat merah, kayu manis, ketumbar, “... santan, bawang merah, laos, menyatakan bahwa bahan-
rendang? jintan, asam kandis, asam gelugur, cabe giling, daging sapi” bahan membuat rendang
kemiri, pala” yaitu, laos, jahe, bawang
“santan, daging” putih, bawang merah, kayu
“..., daun jeruk” manis, ketumbar, jintan,
“...., daun kunyit, serai” asam kandis, kemiri, pala,
“... cabe giling.” santan, daun jeruk, daun
kunyit, serai, dan cabe.
Bagaimana penyimpanan - “Beli dari pasar langsung “ya diplastik biasa yang dapat Semua informan
bahan-bahan rendang? dimasak jadi tidak pakai dari pasar” menyatakan penyimpanan
disimpan. Bumbunya sekali bahan-bahan rendang
habis.” menggunakan wadah plastik
- “Dari pasar sudah diplastikin, yang didapatkan dari pasar
jadi sudah dibungkusin pakai dan tidak disimpan karena
plastik. Sudah pasti tertutup langsung habis
kan.”

205
Mendeskripsikan produk A1 A2 Kesimpulan

Bagaimana pendistribusian - “Bawanya pake mangkok biasa” - “Pakai mangkok biasa” Semua informan
dari dapur ke tempat - “Kalo ibu tidak ditutup, kalau - “Bawanya tidak ditutup menyatakan pendistribusian
penyajian? ditutup nanti basi karena masih karena masih panas rendang yang sudah matang
panas. Dibuka saja” rendangnya, kalau langsung dari dapur ke tempat
ditutup nanti berair dan penyajian (etalase)
rasanya jadi beda” menggunakan mangkok
biasa dengan berbahan
stainless steel dan tidak
tertutup karena masih dalam
keadaan panas
dikhawatirkan makanan
menjadi basi atau rasanya
berbeda
Berapa lama masa simpan “Dua hari. Kadang kalo rendang “Kalau rendang awetnya itu Informan menyatakan masa
rendang? yang bagus tahan 3 hari tuh, yang semakin dipanasin semakin simpan rendang selama dua
matangnya kering sampe item bagus, tambah enak dia. Bisa hari tetapi rendang yang
banget” tahan selama seminggu. Cuma bagus tahan sampai tiga hari
bedanya nanti makin hitam. dan jika semakin
Makin lama makin hitam lebih dipanaskan terus menerus
bagus dia. Tambah keluar bisa tahan selama seminggu
minyaknya”

206
Mendeskripsikan produk A1 A2 Kesimpulan

Bagaimana penyimpanan - “Pake mangkok, langsung dari “Iya itu pake wadah yang dari Semua informan
rendang yang sudah matang? dapur itu” dapur (mangkok). Kalau udah menyatakan penyimpanan
- “Itu pake mangkok yang dingin baru ditutup. Jangan rendang di etalase
bahannya stainless steel” ditaro di kulkas” menggunakan wadah
mangkok yang dibawa dari
dapur
Kemasan/wadah apa yang Pake plastik biasa yang setengah pake plastik bening gitu tapi Semua infroman
dipakai untuk membungkus kilo. Kalo belinya sama nasi ya pake kadang pake kertas nasi juga menyatakan
rendang? kertas nasi dibungkusnya kalo belinya sama nasi, kalo kemasan/wadah untuk
belinya ga pake nasi baru pake membungkus rendang
plastik menggunakan plastik dan
kertas nasi jika konsumen
membeli rendang ditambah
dengan nasi

Kutipan Transkip Mengidentifikasi Tujuan Produk


Mengidentifikasi tujuan
A1 A2 Kesimpulan
produk
Usia berapakah yang membeli “Macem-macem. Dari SMP sampe “Gak tentu. Ada yang tua ada Semua informan
rendang? tua. Ya dari muda sampe tua lah” yang muda” menyatakan yang membeli

207
Mengidentifikasi tujuan
A1 A2 Kesimpulan
produk
rendang dari rentang usia
muda sampai dengan tua

Kutipan Transkip Mengkonfirmasi Alur Proses di Lapangan


Mengkonfirmasi alur proses
A1 A2 Kesimpulan
dilapangan
Bagaimana proses pembuatan - “Kan mau masak rendang nih, - ”Yang pertama santan Informan menyatakan
rendang? daging dicuci dulu terus dimasukin, kalau udah proses pembuatan rendang
dimasukin, kan masukin santan berminyak dimasukin dengan memasukkan
nih, terus masukin daun semua,
dagingnya. Kan motong daging, santan, dan bumbu
terus diaduk dulu semua. Jadi
kaya laos, jahe, bawang putih, dagingnya tipis-tipis tuh. ” kemudian diaduk sampai
bawang merah, cabe giling.” - ”Iya, apinya kecil, gak boleh rata. Lalu masukkan MSG
- “Pertama naro daging, terus gede. Kalau gede nanti (micin) sedikit. Dimasak
bumbu-bumbu, santan langsung baunya sengit. ” dengan api kecil.
dimasak.” - ”Iya udah dicampurin
- ” Iya daun jeruk, daun kunyit, (bumbu dan santan) ”
serai cuci bersih, terus serai di
geprek masukinnya awal semua.
Semua bahan dimasukin pas
awal semua
- ”Kan di bumbu udah ada
garamnya”

208
Mengkonfirmasi alur proses
A1 A2 Kesimpulan
dilapangan
- ”Iya kasih sedikit micin”
Peralatan yang dipakai - ”Wajan atau kuali, kalo orang - ”Wajan, kalau dikampung Semua informan
membuat rendang sini bilangnya wajan, kalo kita namanya talenang. ” menyatakan alat yang
bilangnya kuali” - ”Sama sodet juga. ” digunakan untuk memasak
- “Sodet, sodet yang besi boleh rendang adalah
atau kayu terserah” penggorengan, sodet,
- ”Pake cobek sama ulekannya, cobek, dan ulek
ntar kaya ditumbuk gitu”
- Waktu masak rendang - ”Dua jam. ” ”3 jam, kalau yang lebih Semua informan
- ”Iya, tapi tergantung juga, kalo bagusnya 2 – 3 jam” menyatakan waktu yang
rendang yang sampe item banget diperlukan untuk memasak
yang tahan 3 hari itu 3 jam. rendang yaitu 2 – 3 jam
Rendang padang yang bagus itu
3 jam. ”
- Rendang tidak habis dalam ”Gak dimasukin kulkas, dipanasin - ”Dipanasin lagi” Semua informan
waktu satu hari lagi terus ditutup pake tutupan panci - ”Jangan simpan dilemari es” menyatakan apabila
yang rapet” - ”Kalau disimpan dikulkas rendang tidak habis dalam
gak bagus dia, jadi ditutup waktu satu hari tidak
aja” dimasukkan ke dalam
- ”Iya dipanasin, ditambahin lemari es. Dipanaskan
air dikit biar gak terlalu kembali kemudian ditutup
kering”

209
Mengkonfirmasi alur proses
A1 A2 Kesimpulan
dilapangan
- ”Ditutup pake kain yang
jarang-jarang”

Kutipan Transkip Menentukan Upaya-Upaya Perbaikan


Menentukan upaya-upaya
A1 A2 Kesimpulan
perbaikan
Bagaimana cara mengurangi - ”Ya itu ibu tutup pake tirai aja. ”Ditutup aja pake gorden, kalau Semua informan
kontaminasi rendang? ” ditaro dipajangan kan pake menyatakan untuk
- ”Iya ga ditutup cuma pake gorden” mengurangi adanya
gorden. ” kontaminasi pada rendang
ditutup menggunakan tirai
atau gorden

210
Lampiran 5
Proses Pemasakan Rendang

Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3


Santan dan bumbu Daging yang sudah Proses memasak
rendang dicampurkan dengan rendang
bumbu

Gambar 4 Gambar 5
Rendang diletakkan Proses membeli daging di pasar
di etalase dengan
wadah terbuka

Gambar 6 Gambar 7
Proses membeli bumbu di pasar Proses membeli santan di pasar

211
Lampiran 6
Hasil Pengujian Laboratorium

212
213
214
Lampiran 7

Penilaian Analisis Risiko

Matriks Penentuan Risiko

Tingkat Tingkat Kemungkinan Terjadi (Probability)


Keparahan
Tidak terjadi Kadang terjadi Sering terjadi Pasti terjadi
(Severity) (1) (2) (3) (4)
Sangat tinggi (4) 4 8 12 16
Tinggi (3) 3 6 9 12
Sedang (2) 2 4 6 8
Rendah (1) 1 2 3 4

Penetapan Tingkat Kemungkinan Terjadi (Probability)

Nilai/Rating Tingkat
Kriteria/Deskripsi
Kemungkinan
1 Maksimal 1 kali dalam 1 tahun
2 2 – 10 kali dalam 1 tahun
3 11 – 20 kali dalam 1 tahun
4 Lebih dari 20 kali dalam 1 tahun

Penetapan Tingkat Keparahan (Severity)

Nilai/Rating tingkat Keparahan Kriteria/Deskripsi

1 Mengganggu penampakan dan


kenyamanan dalam mengkonsumsi
produk
2 Gangguan ringan yang tidak berdampak
pada kesehatan

215
Nilai/Rating tingkat Keparahan Kriteria/Deskripsi

3 Gangguan yang berdampak pada


kesehatan dalam jangka pendek maupun
panjang
4 Gangguan berat yang berdampak pada
kematian

Tingkat Severity

Bahaya (Hazard)
No.
Fisik Kimia Biologi

1 Kertas, pasir, tanah, Cairan pencuci piring - Kapang


rambut, debu, bulu food grade - Jamur
2 Karet, kerikil, batu Cairan pencuci piring - Angka lempeng
kecil, potongan kayu non food grade total

3 Kotoran dan bagian - Residu pestisida - Coliform


tubuh serangga atau - Bahan pengawet - Staphylococcus
binatang lainnya seperti berbahaya aureus
cicak, tikus, lalat (Formalin) - Bacillus cereus
- Logam berat - Clostridium
perfringens
4 - Potongan logam - Pestisida - Escherichia coli
- Pecahan kaca - Salmonella

216
Lampiran 8
Lembar Pengecekan, Analisis Laboratorium, dan Pengukuran

LEMBAR PENGECEKAN BAHAN BAKU BUMBU


Keterangan
No Aspek yang diamati
Ya Tidak
1 Bahan makanan dalam kondisi baik, tidak rusak, dan
tidak membusuk
2 Rempah yang diolah menjadi bumbu giling dipilih
yang segar, bersih, dan tidak berjamur
3 Bumbu disimpan dalam wadah kedap udara dan
tertutup rapat
4 Saat pemajangan, bumbu ditempatkan pada wadah
yang tertutup

LEMBAR OBSERVASI PERSONAL HIGIENE PEDAGANG BUMBU


Pengamatan
No Aspek yang diamati
Ya Tidak
1 Pedagang tidak bersin dan batuk saat melayani
pembeli
2 Mencuci tangan sebelum membungkus bumbu
3 Memotong dan menjaga kebersihan kuku
4 Mengenakan pakaian dan celemek yang bersih.
5 Memakai penutup kepala yang bersih
6 Tidak sambil makan dan merokok ketika melayani
pembeli
7 Tidak mengenakan perhiasan (contoh: cincin)
8 Menggunakan alat atau sarung tangan plastik ketika
menyentuh/mengambil bumbu halus
9 Menggunakan pakaian bersih saat berjualan
10 Menggunakan alas kaki saat berjualan

217
LEMBAR PENGECEKAN BAHAN BAKU SANTAN
Keterangan
No Aspek yang diamati
Ya Tidak
1 Bahan makanan dalam kondisi baik, tidak rusak, dan
tidak membusuk
2 Kelapa yang akan diolah menjadi kelapa parut atau
santan dipilih yang segar dan bagus. Bila
diguncangkan terdengar bunyi kocokan air
3 Kelapa parut dan santan disiapkan langsung saat ada
pembeli

LEMBAR OBSERVASI PERSONAL HIGIENE PEDAGANG SANTAN


Pengamatan
No Aspek yang diamati
Ya Tidak
1 Pedagang tidak bersin dan batuk saat melayani
pembeli
2 Mencuci tangan sebelum membungkus bumbu
3 Memotong dan menjaga kebersihan kuku
4 Mengenakan pakaian dan celemek yang bersih.
5 Memakai penutup kepala yang bersih
6 Tidak sambil makan dan merokok ketika melayani
pembeli
7 Tidak mengenakan perhiasan (contoh: cincin)
8 Menggunakan alat atau sarung tangan plastik ketika
mengolah kelapa
9 Menggunakan pakaian bersih saat berjualan
10 Menggunakan alas kaki saat berjualan

218
LEMBAR PENGECEKAN PENYIAPAN BAHAN BAKU
Keterangan
No Aspek yang diamati
Ya Tidak
1 Memisahkan atau membuang bagian bahan yang
rusak
2 Bahan baku dicuci dengan air mengalir

LEMBAR PENGECEKAN PERALATAN MASAK


Keterangan
No Aspek yang diamati
Ya Tidak
1 Peralatan harus dalam keadaan bersih sebelum
digunakan
2 Pencucian peralatan menggunakan sabun/detergent
sampai bersih
3 Pengeringan peralatan dilap dengan kain
4 Peralatan yang digunakan untuk memasak tidak
rusak, gompel, retak, dan tidak menimbulkan
pencemaran makanan

LEMBAR PENGECEKAN DAPUR


Keterangan
No Aspek yang diamati
Ya Tidak
1 Dapur mudah dibersihkan dan kedap air
2 Dapur memiliki pencahayaan yang cukup
3 Dapur selalu bersih, kering, dan tidak licin
4 Permukaan langit menutup, rata, bewarna terang, dan
mudah dibersihkan
5 Dapur dilengkapi dengan ventilasi

219
LEMBAR PENGECEKAN KEMASAN PLASTIK
Keterangan
No Aspek yang diamati
Ya Tidak
1 Plastik/kertas pembungkus makanan yang dipakai
aman untuk pangan
2 Terdapat logo serta tulisan aman untuk makanan
3 Terdapat kode plastik (nomor dan jenis plastik)

LEMBAR PENGECEKAN RUMAH MAKAN


Keterangan
No Aspek yang diamati
Ya Tidak
LINGKUNGAN
1 Bebas dari pencemaran, semak belukar, dan
genangan air
2 Bebas dari sarang hama
3 Tidak berada di daerah sekitar tempat pembuangan
sampah
4 Lokasi terhindar dari pencemaran (debu, asap,
serangga, dan tikus)
BANGUNAN
1 Lantai kedap air, rata, halus, berwarna terang, tidak
mudah mengelupas, mudah dibersihkan
2 Lantai dalam keadaan bersih dari debu, dan kotoran
lainnya
3 Dinding dibuat dari bahan kedap air, rata, halus,
berwarna terang, tidak mudah mengelupas, mudah
dibersihkan
4 Dinding dalam keadaan bersih dari debu, dan
kotoran lainnya
5 Langit-langit dalam keadaan bersih dari debu,
sarang laba-laba, dan kotoran lainnya

220
Keterangan
No Aspek yang diamati
Ya Tidak
6 Lubang angin dalam keadaan bersih, tidak dipenuhi
sarang laba-laba, dan tidak berdebu
TEMPAT PENYIMPANAN RENDANG
1 Terlindung dari debu, bahan berbahaya, serangga,
tikus, dan hewan lainnya
2 Wadah penyimpanan menutup sempurna tetapi
berventilasi yang dapat mengeluarkan uap air

LEMBAR ANALISIS LABORATORIUM

Uji Mikrobiologi Hasil Uji Standar Keterangan

LEMBAR PENGUKURAN SUHU


Tahap Waktu (Jam) Suhu (°C)

221

Anda mungkin juga menyukai