Anda di halaman 1dari 5

A.

Rumus Menghitung Tetesan Infus

Berikut cara mudah untuk menghitung tetesan infus per menit (TPM) secara sederhana yang
di rumuskan oleh Puruhito adalah:

Tetesan per menit   =  Jumlah cairan yang dimasukkan (ml)


     (normal)                                lamanya infus (jam) x 3
Tetesan per menit  =  Jumlah cairan infus (ml)
    (mikro)                             lamanya infus (jam)

=Contoh soal : =

Berapa Tetesan per menit bila infus yang masuk RL 500 cc habis dalam waktu 5 jam?

1. Cara menghitung tetesan infus per menit (normal).


“Tetes per menit (TPM) = jumlah cairan yang masuk : (lamanya infus x 3)”

Jawaban : TPM = 500 : (5×3) = 500 : 15 = 33 TPM

2. Cara menghitung tetesan infus per menit (mikro).


“Tetes per menit (TPM) = jumlah cairan infus : lamanya infus”

Kegagalan pemberian cairan infus dapat terjadi:


Jarum tidak masuk ke dalam vena. Jarum infus (abocath) / vena terjepit karena posisi tempat
masuknya jarum dalam keadaan fleksi. Pipa penyalur udara tidak berfungsi. Pipa infus
terlipat maupun terjepit.
B. JENIS-JENIS CAIRAN INFUS

Menurut pengelompokannya, cairan infus dapat di kelompokkan menjadi :

1. Cairan Hipotonik :
Osmolaritasnya lebih rendah di bandingkan serum (konsentrasi ion Na+ lebih rendah di
bandingkan serum), maka larut dalam serum, & menurunkan osmolaritas serum. Sehingga
cairan ditarik dari dalam pembuluh darah menuju ke luar ke jaringan sekitarnya (prinsip
cairan berpindah dari osmolaritas yang rendah ke osmolaritas lebih tinggi), sampai akhirnya
mengisi sel-sel yg dituju. Digunakan pada kondisi sel “mengalami” dehidrasi, contohnya
pada pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, serta pada pasien hiperglikemia
(dengan kadar gula darah tinggi) dengan gangguan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yg
membahayakan ialah perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel,
menyebabkan kolaps kardiovaskular & peningkatan tekanan intrakranial (didalam otak) pada
sebagian beberapa orang. Misalnya ialah NaCl 45% & Dekstrosa 2,5%.

2. Cairan Isotonik :
Osmolaritas (merupakan tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (merupakan bagian
cair dari komponen darah), maka terus berada di dalam pembuluh darah. Berguna pada
pasien yg mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, maka tekanan darah konsisten
menurun). Mempunyai risiko terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada
penyakit gagal jantung kongestif & hipertensi. Misalnya ialah cairan Ringer-Laktat (RL), &
normal saline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).

3. Cairan hipertonik :
Osmolaritasnya lebih tinggi di bandingkan serum, maka “menarik” cairan & elektrolit dari
jaringan & sel ke dalam pembuluh darah. Dapat  mengurangi edema (bengkak), menstabilkan
tekanan darah & meningkatkan produksi urin . Penggunaannya kontradiktif dengan cairan
hipotonik. Contohnya NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%,  Dextrose 5%+Ringer-Lactate,
Dextrose 5%+NaCl 0,9%, product darah (darah), & albumin.

4. Kristaloid
bersifat isotonik, sehingga efektif dalam mengisi sejumlah volume cairan ke dalam pembuluh
darah dalam waktu yg singkat, & bermanfaat pada pasien yg memerlukan cairan segera.
Contohnya Ringer-Laktat & garam fisiologis. Jika ada trauma atau syok, selalu berikan cairan
kristaloid terlebih dahulu (perdarahan <900 ml darah), namun bila sudah >900 baru diberikan
cairan koloid, dan bila cairan koloid masih belum dapat mengkompensasi, barulah diberikan
transfusi cairan darah.

1. Normal Saline / Cairan Saline

Komposisi (mmol/L): Na = 154, Cl = 154

Kemasan: 100, 250, 500, 1000 ml

Indikasi:

a) Resusitasi

Pada kondisi kritis, sel-sel endotelium pembuluh darah bocor, diikuti oleh keluarnya molekul
protein besar ke kompartemen interstisial, diikuti air dan elektrolit yang bergerak ke
interstisial karena gradien osmosis. Plasma expander berguna untuk mengganti cairan dan
elektrolit yang hilang pada intravaskuler.

b) Diare

Kondisi diare menyebabkan kehilangan cairan dalam jumlah banyak, cairan NaCl digunakan
untuk mengganti cairan yang hilang tersebut.

c) Luka Bakar

Manifestasi luka bakar adalah syok hipovolemik, dimana terjadi kehilangan protein plasma
atau cairan ekstraseluler dalam jumlah besar dari permukaan tubuh yang terbakar. Untuk
mempertahankan cairan dan elektrolit dapat digunakan cairan NaCl, ringer laktat, atau
dekstrosa.

d) Gagal ginjal akut

Penurunan fungsi ginjal akut mengakibatkan kegagalan ginjal menjaga homeostasis tubuh.
Keadaan ini juga meningkatkan metabolit nitrogen yaitu ureum dan kreatinin serta gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit. Pemberian normal saline dan glukosa menjaga cairan
ekstra seluler dan elektrolit.

Kontraindikasi: hipertonik uterus, hiponatremia, retensi cairan. Digunakan dengan


pengawasan ketat pada CHF, insufisiensi renal, hipertensi, edema perifer dan edema paru.

Adverse Reaction (keadaan/kondisi yang tidak sesuai harapan/tujuan yang muncul setelah


pemberian obat dalam dosis sesuai): edema jaringan pada penggunaan volume besar
(biasanya paru-paru), penggunaan dalam jumlah besar menyebabkan akumulasi natrium.

2. Ringer Laktat (RL)

Komposisi (mmol/L): Na = 130-140, K = 4-5, Ca = 2-3, Cl = 109-110

Basa = 28-30 mEq/L

Kemasan: 500, 1000 mL

Cara kerja obat: keunggulan terpenting dari RL adalah komposisi elektrolit dan
konsentrasinya yang sangat serupa dengan yang dikandung di cairan ekstraseluler
(Intravaskuler). Natrium merupakan kation utama dari plasma darah dan menentukan
tekanan osmotik. Klorida merupakan anion utama di plasma darah. Kalium merupakan kation
terpenting di intraseluler dan berfungsi untuk menggantikan kehilangan cairan pada dehidrasi
dan syok hipovolemik. RL menjadi kurang disukai karena akan menyebabkan
hiperkloremia dan asidosis metabolik, karena akan menyebabkan penumpukan asam laktat
oleh metabolisme anaerob yang tinggi.

Kontraindikasi: Hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, asidosis laktat, edema
perifer pulmoner, CHF, dan pre-eklampsia.

Adverse Reaction: Edema jaringan pada penggunaan volume yang besar, biasanya paru-paru.

3. Dekstrosa

Komposisi: glukosa = 50 gr/L (5%), 100 gr/L (10%), 200 gr/L (20%)

Kemasan: 100, 250, 500 mL

Indikasi: 

Sebagai cairan resusitasi pada terapi intravena serta untuk keperluan hidrasi selama dan
sesudah operasi. Diberikan pada keadaan oliguria ringan sampai sedang (kadar kreatinin
kurang dari 25 mg/100ml).

Kontraindikasi: hiperglikemia
Adverse Reaction: Injeksi glukosa hipertonik dengan pH rendah dapat menyebabkan iritasi
pada pembuluh darah dan tromboflebitis.

4. Ringer Asetat (RA)

Larutan ini merupakan salah satu cairan kristaloid yang cukup banyak diteliti. Larutan RA
berbeda dari RL dimana laktat terutama dimetabolisme di hati, sementara asetat
dimetabolisme terutama di otot. Sebagai cairan kristaloid isotonik yang memiliki
komposisi elektrolit mirip dengan plasma, RA dan RL efektif sebagai terapi resusitasi
pasien dengan dehidrasi berat dan syok, terlebih pada kondisi yang disertai asidosis.
Metabolisme asetat juga lebih cepat 3-4x dibanding laktat. RA memiliki manfaat-manfaat
tambahan pada dehidrasi dengan kehilangan bikarbonat masif yang terjadi pada diare.

Indikasi: Baik untuk resusitasi cairan pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti
sirosis hati dan asidosis laktat, diare, DBD, luka bakar, pengganti cairan selama prosedur
operasi, loading cairan saat induksi anestesi regional, priming solution pada tindakan pintas
kardiopulmonal dan untuk stroke akut dengan komplikasi dehidrasi.

5. Koloid
Ukuran molekulnya (umumnya protein) cukup besar maka tidak akan ke luar dari membran
kapiler, & terus berada dalam pembuluh darah, sehingga sifatnya hipertonik, & mampu
menarik cairan dari luar pembuluh darah. Misalnya ialah albumin & steroid.

1. Albumin

Komposisi: Albumin yang tersedia untuk keperluan klinis adalah protein 69-kDa yang
dimurnikan dari plasma manusia (contoh: albumin 5%).
Albumin adalah koloid alami dan lebih menguntungkan, karena: volume yang dibutuhkan
lebih kecil, efek koagulopati lebih rendah, risiko akumulasi di dalam jaringan pada
penggunaan jangka lama yang lebih kecil dibandingkan starches dan risiko terjadi anafilaksis
yang lebih kecil.
Indikasi:
-Pengganti volume plasma / protein pada keadaan syok hipovolemia, hipoalbuminemia, atau
hipoproteinemia, operasi, trauma, kardiopulmonari bypass, hiperbilirubinemia, gagal ginjal
akut, pankreatitis, mediasinitis, selulitis luas, dan luka bakar.
– Pengganti volume plasma pada ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome). Paisen
dengan hipoproteinemia dan ARDS diterapi dengan albumin & furosemid (diuretik) untuk
penurunan berat badan.
-Hipoalbuminemia yang merupakan manifestasi klinis dari keadaan malnutrisi, kebakaran,
operasi besar, infeksi (syok sepsis), berbagai inflamasi, dan ekskresi renal berlebih.
–Spontaneus Bacterial Peritonitis (SBP) = komplikasi sirosis, terapi albumin untuk
mencegah MODS (Multi Organ Dysfunction Syndrome)
2. HES (Hydroxyetyl Starches)
Komposisi: Starches tersusun atas 2 tipe polimer glukosa, yaitu: amilosa & amilopektin.
Indikasi: Penggunaan HES pada resusitasi post trauma dapat menurunkan permeabilitas
pembuluh darah, sehingga dapat menurunkan risiko kebocoran kapiler.
Kontraindikasi: Kardiopulmo bypass, meningkatkan risiko perdarahan post-op (karena HES
bersifat antikoagulan pada dosis moderat (>20 ml/kg), sepsis (karena dapat meningkatkan
risiko ARF). Penggunaan HES untuk sepsis masih diperdebatkan (antara boleh dan tidak
boleh).
3. Dextran
 
D. Volume resuscitation
1. Rapid infusion of warmed crystalloids: sehingga sesuai dengan suhu tubuh 36 derajat
celcius untuk mencegah hipotermi dan mengurangi morbiditas.
2. Koloid/colloids
3. Transfusion of type-specific blood
E. Intravenous access:
* At least 2 large (min. 16-G) catheters are required injury of the abdomen (and with
potential for above the level of diaphragm obstruction or disruption of the superior below the
level of the diaphragm. 
*Peripheral venous cannulation failure
a. Percutaneous: V. subklavia / V. femoralis
b. Surgical cutdowns: V. saphenous
c. Intraosseous infusion 
F. Monitoring
a. Arterial line: for hemodynamic instability and respiratory failure
b. Central venous pressure line: to assess volume status, to administer vasoactive drugs
c. Pulmonary artery catheter: ventricular dysfunction, severe coronary artery disease,
valvular heart disease, and multiple organ system involvement.

Anda mungkin juga menyukai