Marilah kita bersyukur kepada Allah SWT atas segala nikmat dan rahmat
yang senantiasa dilimpahkan kepada kita. Kiranya, dengan bersyukur itu
dapat menambah kepatuhan dan ketaqwaan kita kepada Allah. Yakni
menggunakan nikmat itu untuk melaksanakan semua perintahnya, dan
untuk menjauhi segala larangan-Nya.
Selain disebut sebagai bulan puasa, Syahrus Shiyam, Ramadhan juga disebut
sebagai Syahrul Qur’an atau bulan Al-Qur'an karena di bulan inilah Al-Qur’an
pertama kali diturunkan. Allah SWT berfirman:
Bagi umat Islam, ayat di atas bukan saja dipandang sebagai sebuah catatan
tentang waktu diturunkannya Al-Qur'an, akan tetapi juga memiliki makna lain;
yakni harapan tentang adanya sebuah malam di bulan Ramadhan yang dapat
melipatgandakan ibadah seseorang hingga kelipatan seribu bulan. Malam itu
dikenal luas dengan sebutan “Lailatul Qadar”.
Keinginan untuk mendapatkan Lailatul Qadar ini bukanlah sesuatu yang tidak
beralasan. Rasulullah SAW sendiri menyeru umat Islam untuk menyongsong
malam seribu malam ini dalam sabda beliau: Rasulullah SAW bersabda, “Carilah
di sepuluh hari terakhir, jika tidak mampu maka jangan sampai terluput tujuh hari
sisanya.” (HR. Bukhari).
Kapan datangnya malam itu? Malam yang istimewa itu masih merupakan tanda
tanya, dan tidak diketahui secara pasti kapan datangnya. Nabi Muhammad SAW
selalu menjawab sesuai dengan apa yang perditanyakan kepada beliau. Ketika
ditanyakan kepada beliau: “Apakah kami mencarinya di malam ini?” beliau
menjawab: “Carilah di malam tersebut!”
Barangkali terdapat sebagian dari kita yang bertanya mengapa waktu Lailatul
Qadar tidak ditentukan secara pasti? Dengan kata lain mengapa Allah SWT tidak
menjelaskan secara tegas tanggal berapa Lailatul Qadar terjadi?
Bisa jadi Allah SWT memang sengaja untuk merahasiakannya dan kita dapat
memetik hikmah dari kerahasiaan Lailatul Qadar tersebut.
Terkadang kesibukan terhadap hal-hal yang sifatnya kurang substansial ini bisa
menggeser keinginan untuk meningkatkan amal ibadah selama bulan puasa.
Padahal jika kita tinjau lebih dalam kegiatan-kegiatan tersebut hanya bersifat
melengkapi kebahagiaan puasa dan hari raya, tapi jelas fenomena ini sudah
menjadi tradisi tahunan dipenggal terakhir bulan puasa.
Di saat-saat kritis ini, ketika konsentrasi umat Islam mulai terpecah kepada hal-
hal yang bersifat materil, Allah memberikan bingkisan "Lailatul Qadar". Dimana
segala amal kebajikan yang dilakukan di satu malam ini saja dapat mengalahkan
intensitas ibadah yang dilakukan selama lebih dari seribu bulan. Sementara jika
kita kiaskan waktu seribu bulan setara dengan delapan puluh tiga tahun tiga
bulan. Sebuah "bonus" yang cukup menggiurkan.
Tak heran jika kemudian di akhir puasa tema Lailatul Qadar menjadi marak
dibicarakan di seluruh lapisan masyarakat. Dan masjid yang semula mulai sepi
kembali dipadati pengunjung. Dan dirahasiakannya waktu datangnya Lailatul
Qadar membuat ibadah umat Islam tidak terpaku pada satu malam saja, namun
sepuluh hari di akhir bulan Ramadhan.
Berdasar ayat 1-5 surat Al-Qadr di atas, malam Lailatul Qadar itu mengandung
tiga macam kelebihan yaitu:
1. Orang yang beramal pada malam itu akan mendapat pahala sebanyak lebih
dari 1000 bulan yaitu 83 tahun empat bulan
2. Para malaikat turun ke bumi, mengucapakan salam kesejahteraan kepada
orang-orang yang beriman.
3. Malam itu penuh keberkahan hingga terbit fajar
Menurut pendapat yang lain, Lailatul Qadar itu terjadi pada 17 Ramadlan, 21
Ramadlan, 24 Ramadlan, tanggal gasal pada 10 akhir Ramadlan dan lain-lain.
Jadi, mengenai lailatul qadar dalam hal ini, tidak ditemukan keterangan yang
menunjukkan tanggal kepastiannya.
Dalam Surat Al-Qadr (97) ayat 3-5 di atas disebutkan bahwa malam kemuliaan
(Lailatul Qadar) itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-
malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala
urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.
Jika dihitung-hitung secara matematis, seribu bulan sama dengan delapan puluh
tahun tiga bulan. Jadi, barangsiapa yang berhasil meraih Malam yang penuh
kemuliaan ini maka amal kebajikannya akan dilipatgandakan hingga hitungan ini
serta segala dosa yang telah diperbuatnya akan diampuni. Keberadaan malam
seribu bulan ini hanya ada di sepertiga terakhir bulan Ramadhan serta khusus
hanya untuk umat Nabi Muhammad saja.
Dalam sebuah riwayat, Lailatul Qadar sebenarnya adalah buah dari keluh kesah
Nabi Muhammad kepada Allah SWT.
Suatu ketika Rasulullah mendengar kisah tentang seorang laki-laki dari Bani
Israil. Dalam kisah tersebut, laki-laki dari Bani Israil itu disifati sebagai seseorang
yang selalu menyandang senjata di bahunya. Ia berjihad di jalan Allah sebagai
seorang martir (Mujahid) selama seribu bulan. Memang dalam sejumlah riwayat,
usia manusia yang menjadi umat para Nabi sebelum Rasulullah sangat panjang.
Ada yang mencapai tiga ratus bahkan ada yang mencapai tujuh ratus tahun.
Mendengar kisah tersebut Rasulullah merasa takjub dan teringat akan umatnya
yang rata-rata berusia pendek. Oleh sebab itu Rasulullah pun kemudian
berandai-andai seumpama saja umatnya dikarunia panjang umur seperti umat
Nabi sebelumnya pasti mereka juga akan dapat lebih banyak beribadah kepada
Allah.
Kemudian Rasulullah pun berkeluh kesah: "Wahai Tuhanku, Engkau lah yang
telah menjadikan umatku sebagai umat yang berusia paling pendek sehingga
mereka pun memiliki amal yang paling sedikit."
Sebagai balasan dari keluh kesah Rasulullah ini, Allah pun kemudian
memberikan Lailatul Qadar sebagai karunia yang diberikan khusus untuk umat
Nabi Muhammad. Dengan keberadaan malam yang lebih baik dari seribu bulan
ini maka umat Islam pun tidak perlu berkecil hati karena memiliki usia yang jauh
pendek dari umat-umat Nabi sebelumnya.
Hal yang paling penting untuk diingat dalam peristiwa Lailatul Qadar ini adalah
diturunkannya mukjizat Nabi Muhammad SAW yang abadi hingga akhir zaman,
yakni kitab suci Al-Qur’an. Dalam termonologi bahasa Arab, Mukjizat sebenarnya
berarti sesuatu yang memiliki potensi melemahkan. Misalnya, Nabi Musa AS
yang diutus kepada kaum Fir'aun yang terkenal dengan keahliannya di bidang
ilmu sihir. Kemudian Nabi Musa diberi tongkat yang mampu mengalahkan sihir
para tukang sihir Fir'aun hingga akhirnya mereka pun mengakui kelemahan sihir
mereka dan mengakui bahwa tongkat Musa bukanlah sihir, tapi berasal dari
kekuasaan Allah.
Sedangkan Nabi Isa AS, bangkit di masa berkembangnya ilmu kedokteran. Nabi
Isa menghadapi kaum yang tunduk kepada hukum-hukum kebendaan dan tidak
mengakui apa yang ada di luar alam kebendaan. Kemudian Nabi Isa dikarunia
Mukjizat yang membuktikan adanya kekuasaan di luar hukum-hukum materi
dengan kemampuannya menyembuhkan segala macam penyakit bahkan juga
kesanggupannya menghidupkan orang yang sudah mati dengan izin Allah.
Sebagai rasul akhir zaman, Nabi Muhammad SAW juga diberi sejumlah mukjizat.
Dalam sejumlah riwayat Mukjizat Nabi tersesebut ada yang berupa kemampuan
membelah bulan atau keluar air dari sela-sela jarinya serta mukjizat yang lain.
Namun Ibnu Rusydi, seorang cendikiawan besar asal Kordoba (Spanyol Islam)
yang layak disebut Mukjizat sebenarnya adalah Al-Qur'an.
Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Rusydi ini sangatlah tepat. Al-Qur'an yang awal
mula diturunkan di bulan Ramadhan merupakan bukanlah mukjizat yang
bergantung pada pribadi seorang Rasul yang mana jika rasul tersebut wafat
maka hilang pula lah mukjizat tersebut. Namun Al-Qur'an tidak akan pernah
hilang dari muka bumi sebagaimana firman Allah:
Sementara isi dan kandungan Al-Qur'an merupakan oase yang dapat memberi
petunjuk (hudan) bagi hidup manusia di dalam segenap aspek kehidupan
mereka.
Prof Dr Roger Garaudy dan Dr Maurice Bucaille di Perancis pernah mengkaji dan
menguji Al-Quran dari segi isinya. Di antaranya, Maurice Bucaille mencoba
menguji berapa jauh kebenaran ilmiah ayat-ayat yang bersangkutan dengan
proses kejadian manusia dalam Surat Al Hajj ayat 5. Dr Maurice Bucaille
menemukan, bahwa ternyata penjelasan dari Alquran yang turun 15 abad yang
lalu itu dalam menggambarkan asal muasal manusia, lebih tepat dari ilmu
embriologi mutakhir. Hal itu secara jelas diditulis dalam bukunya yang berjudul
“The Origin of Man”.
Pengujian Graudy dan Bucaille tersebut hanya sebagian kecil dari keistimewaan
Al-Qur'an. Lebih dari sepertiga manusia yang hidup di muka bumi ini percaya
bahwa Al-Qur'an merupakan wahyu Tuhan yang terus dibaca sebagai petunjuk
dalam mencapai kebagiaan hidup dua alam (alam dunia dan akhirat). Masih
banyak keistemewaan Al-Qur'an yang belum tersingkap dan menunggu kekuatan
nalar dan kejernihan hati kita untuk menerjemahkannya.
Oleh sebab itu, dalam momen Ramadhan ini sudah selayaknya kita membaca Al-
Qur'an bukan sekedar untuk mendapatkan pahala namun sekaligus memahami
isi kandungan Al-Qur'an agar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat
membantu kita dalam mewujudkan kehidupan yang lebih layak bagi seluruh
kalangan dan diridhai oleh Allah SWT.
ِ و َن َفعيِن واِيِّا ُكم ِمن اآلي.آن الْع ِظي ِم
ِّ ات و
الذ ْك ِر ِ بار َك اهلل يِل ولَ ُكم يِف الْ ُقر
َ َ َ ْ َ َ َ ْ َ ْ ْ َ ُ ََ
االس ِمْي ُع الْ َعلِْي ُم ِ
َّ الوتَهُ انَِّهُ ُه َوِاحْل ِكي ِم وَت َقبِّل ِميِّن و ِمْن ُكم ت
َ ْ َ ْ َ ْ َ