Anda di halaman 1dari 21

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Konjungtivitis alergi

a. Definisi

Menurut Japanese Ocular Allergology Society, konjungtivitis

alergi adalah peradangan pada konjungtiva yang diperantarai

reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang disertai dengan gejala subyektif

dan objektif (Takamura et al., 2011). Konjungtivitis alergi tidak

hanya menyerang bagian konjungtiva saja, tetapi juga

memengaruhi struktur mata lain seperti kelopak mata, kornea dan

tear film. Gejala dan tanda konjungtivitis yang muncul dipengaruhi

beberapa hal yaitu genetik, lingkungan, mikrobiota pada mata dan

mekanisme pengaturan imun (Robles-Contreras et al., 2011).

b. Anatomi, Histologi dan Sitologi Konjungtiva

Konjungtiva meluas dan melapisi orbita bagian luar yang

terdiri dari tiga bagian, yaitu konjungtiva palpebra yang paling

dalam di kelopak mata atas dan terdiri dari epitel kolumner pendek

berlapis dengan sedikit sel Goblet dan lamina proprianya berupa

jaringan elastis dan kolagen, konjungtiva bulbi yang melapisi

orbita luar dan forniks konjungtiva yang merupakan lipatan

peralihan konjungtiva palpebra ke konjungtiva bulbar. Tarsus


commit to user
6
perpustakaan.uns.ac.id 7
digilib.uns.ac.id

berfungsi sebagai kerangka kelopak mata yang merupakan jaringan

ikat kolagen padat berbentuk keping tipis dan padat serta biasanya

tarsus kelopak mata atas lebih besar daripada tarsus kelopak mata

bawah. Kelenjar Meibom terletak di tarsus dan sekresinya

mengandung lemak, kemudian bermuara pada margo palpebra.

Limbus adalah batas antara kornea dan sklera (Ilyas et al., 2002;

Eroschenko, 2011).

Epitel limbus lebih kecil, tersusun lebih padat, rasio nukleus

dan sitoplasmanya lebih besar daripada sel epitel kornea dan

konjungtiva di dekatnya. Sel Goblet tersusun lebih padat dan

banyak di daerah konjungtiva palpebra sebelah nasal, sedangkan

daerah konjungtiva palpebra sebelah temporal, konjungtiva bulbar

dekat forniks dan dekat limbus lebih sedikit jumlahnya (Singh et

al., 2005).

Dalam sistem lakrimal ada dua bagian, yaitu bagian sekresi

berupa glandula lakrimalis yang memproduksi air mata dan bagian

ekskresi yang memberi jalan air mata ke dalam cavum nasi.

Glandula lakrimalis terletak di daerah superolateral cavum orbita.

Glandula lakrimalis bersifat serosa seperti glandula salivaris dan

berkarakteristik tubuloalveolar asiner yang setiap acinernya

dikelilingi oleh sel mioepitel. Duktus ekskretoris intralobular

dilapisi epitel kolumner atau kuboid selapis dan terletak di antara

tubuloalveolar aciner, sedangkan duktus ekskretorius interlobular


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 8
digilib.uns.ac.id

dilapisi dua lapis epitel berupa epitel pseudo berlapis atau

kolumner pendek. Selain itu, terdapat pula glandula Krause yang

sangat kecil di sepanjang forniks. Punctum lakrimalis, canaliculi

lakrimalis, saccus lakrimalis dan ductus lakrimalis termasuk dalam

bagian ekskresi (Ilyas et al., 2002; Eroschenko, 2011).

Arteri oftalmika adalah salah satu cabang dari arteri karotis

interna, yang mana arteri tersebut berjalan melewati otot-otot

penggerak bola mata dan saraf, kemudian pada medial end di

kelopak mata atas arteri tersebut akan bercabang menjadi arteri

supratroklear dan arteri nasalis dorsalis. Salah satu cabang besar

dari arteri oftalmika adalah arteri lakrimalis, yang mana akan

berjalan bersama nervus lakrimalis di batas atas muskulus rektus

lateralis, kemudian akan melewati glandula lakrimalis dan cabang

terminalnya menuju kelopak mata dan konjungtiva. Arteri

lakrimalis ini akan bercabang lagi, yang salah satunya adalah arteri

palpebralis lateralis yang akan berjalan secara medial menuju

kelopak mata atas dan bawah, lalu beranastomosis dengan arteri

palpebralis medialis. Arteri palpebralis medialis ini sendiri berjalan

di belakang saccus lakrimalis dan menembus septum orbita di atas

dan bawah dari ligamentum palpebralis medialis. Arteri palpebralis

medialis ada 2 jalur, yang satu akan menuju kelopak mata atas dan

satunya menuju kelopak mata bawah, kemudian masing-masing

bercabang lagi membentuk arkus arterialis marginal dan perifer.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id

Arkus ini berjalan di antara muskulus orbikularis kuli dan lempeng

tarsal. Cabang-cabang dari arkus ini akan memperdarahi kelopak

mata dan konjungtiva. Arteri lain yang berperan di glandula

lakrimalis adalah arteri infraorbitalis yang memiliki orbital

branches, yang mana cabang tersebut akan mensuplai darah

menuju muskulus rektus inferior, muskulus oblik inferior dan

saccus lakrimalis. Pada konjungtiva, arteri lain yang berperan

adalah arteri siliaris anterior yang berasal dari muscular branches

milik arteri oftalmika (Snell dan Lemp, 1998).

Pada lamina propria konjungtiva normal, tepat di bawah

epithelial junction, ditemukan sel mast sebanyak 6000/mm3 dan

sel-sel inflamatori lain. Di lapisan epitel konjungtiva terdapat sel

mononuklear, termasuk sel Langerhans yang berfungsi sebagai sel

penyaji antigen atau Antigen-Presenting Cell (APC) sebanyak 85

± 16 sel/mm2 yang dikenali oleh CD1+, bukan oleh CD6+ seperti

sel Langerhans di kulit serta terdapat limfosit CD3+ sebanyak 189

± 27 sel/mm2 dengan rasio CD4+ dan CD8+ sebesar 0,75. Di

lapisan epitel ini normalnya tidak ditemukan sel mast, eosinofil,

atau basofil, kecuali apabila orang tersebut mengalami

konjungtivitis alergi terutama subtipe vernal. Sel epitel

konjungtiva, walaupun normalnya tidak ada sel inflamasi,

mengekspresikan “Regulated-upon-Activation Normal T-cell

Expressed and Secreted” atau yang disingkat RANTES yang


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id

berfungsi sebagai molekul adhesi untuk mengikat eosinosil dari

sirkulasi darah tepi ke daerah konjungtiva (Bielory dan

Friedlaender, 2008).

c. Fisiologi Konjungtiva dan Sistem Lakrimal

Secara umum, fungsi konjungtiva ada empat, yaitu melindungi

jaringan lunak pada organ mata dan kelopak mata, melapisi cairan

pada tear film dan mukosa, menjadi salah satu jaringan yang

berperan dalam sistem imun dan membantu pergerakan bebas

memutar bola mata (Harvey et al., 2013). Konjungtiva juga

berperan dalam sekresi air dan elektrolit, yang mana epitel

konjungtiva akan mensekresikan Cl- dan mengabsorpsi Na+ dengan

rasio 1,5 dan 1. Akibat Na+ mengikat air, maka air akan masuk ke

dalam tear film. Sekresi dan absorpsi ini terjadi di dalam setiap sel

epitel konjungtiva, yang mana setiap sel epitel konjungtiva tersebut

memiliki protein transpor sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh

permukaan konjungtiva berperan dalam sekresi cairan. Akibat lain

dari laju sekresi Cl- yang lebih tinggi daripada absorpsi Na+ tadi

adalah air bergerak menuju air mata yang ada di basolateral,

dengan arah apikal dengan bantuan protein aquaporin, sedangkan

Na+ bergerak secara paraselular untuk memproduksi NaCl isotonik

yang nanti akan menjadi air mata (Dartt, 2011).

Sekresi air mata oleh adneksa mata dan epitel permukaan mata

harus diatur sedemikian rupa. Pada lapisan mukosa dan cairan,


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id

sekresi diatur oleh refleks neural. Apabila ada rangsang termal,

mekanik, maupun kimia, maka ujung saraf yang berada di kornea

dan konjungtiva akan mengaktifkan saraf eferen parasimpatik dan

simpatik, yang mana akan merangsang sistem lakrimal dan sel

Goblet untuk memproduksi mukosa dan cairan. Pada lapisan lipid,

lipid yang tersimpan di glandula Meibom akan dilepas ketika

mengedipkan mata. Ketika kelopak mata tertarik, maka lapisan

lipid akan menyebar di bawah lapisan mukosa dan cairan (Dartt,

2011).

Sekresi air mata dipengaruhi oleh drainase dan penguapan.

Drainase air mata diatur oleh refleks neural dari permukaan mata

sehingga sinus kavernosus akan berdilatasi atau berkonstriksi

sesuai dengan rangsang yang datang. Penguapan dipengaruhi oleh

kedipan mata, suhu, kelembaban dan kecepatan angin (Dartt,

2011).

d. Patofisiologi

Tahap yang terjadi pada konjungtivitis alergi ada 2, yaitu tahap

pertama berupa reaksi fase sensitisasi dan tahap kedua berupa

reaksi fase efektor. Fase sensitisasi dimulai dari aktivasi dan

polarisasi respon imun terhadap antigen yang ada di lingkungan,

kemudian puncaknya membentuk respon imun yang dominan Th2

dan produksi IgE. Fase efektor dimulai ketika paparan kedua oleh

antigen sehingga memicu mekanisme efektor seperti degranulasi


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id

granulosit dan pelepasan histamin (Abelson et al., 2003 dalam

Robles-Contreras et al., 2011).

Pada fase sensitisasi, sel Langerhans yang ada di mukosa

sekitar mata menangkap antigen dan memprosesnya melalui MHC-

II dan merangsang sel T CD4+ untuk menginduksi sekresi IL-4,

IL-13 dan ekspresi CD154. Setelah itu, sel B mengalami

rekombinasi genetik dan menghasilkan IgE. Akibatnya, pada air

mata manusia bisa ditemukan IgE (Allansmith et al., 1976 dalam

Robles-Contreras et al., 2011) dan pada folikel limfoid konjungtiva

bisa ditemukan sel B CD23+ CD21+ CD40+ (Asrar et al., 2001

dalam Robles-Contreras et al., 2011).

Pada fase efektor, terbagi lagi menjadi 2 fase, yaitu fase awal

(early phase) berupa degranulasi sel yang terinduksi alergen dan

fase akhir (late phase) berupa infiltrasi sel yang berperan dalam

inflamasi (Robles-Contreras et al., 2011).

Fase awal dimulai saat paparan kedua oleh antigen, yang mana

antigen tersebut dikenali oleh IgE dan sebelumnya IgE telah

menempel pada reseptor IgE seperti FᴄɛRI, FᴄɛRII, atau CD23.

Penempelan ini menimbulkan pelepasan mediator histamin,

protease dan faktor kemotaktik; aktivasi faktor transkripsi dan

ekspresi gen pengkode sitokin; dan produksi prostaglandin dan

leukotrien melalui jalur fosfolipase A2. Hal ini terjadi di

konjungtiva dan dibuktikan dengan ditemukannya sel mast sampai


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id

6000 sel/mm3 di konjungtiva (Bielory, 2000 dalam Robles-

Contreras et al., 2011) dan densitas sel mast meningkat pada pasien

konjungtivitis (Anderson et al., 1997; Morgan et al., 1991 dalam

Robles-Contreras et al., 2011). Sel mast mensekresi IL-4, IL-6, IL-

13 dan TNF-α sehingga meningkatkan respon inflamasi lokal yang

dominan Th2 dan densitas FᴄɛRI pada keratokonjungtivitis kronik

(Cook et al., 1998; Anderson et al., 2001; Matsuda et al., 2009

dalam Robles-Contreras et al., 2011).

Fase akhir dimulai sekitar 4-24 jam setelah fase awal dan

melibatkan basofil, neutrofil, limfosit T dan yang paling utama

adalah eosinofil (Choi dan Bielory, 2008 dalam Robles-Contreras

et al., 2011). Sel-sel tersebut bermigrasi ke fokus inflamasi dengan

bantuan sel T. Fase akhir inilah yang dapat menyebabkan

komplikasi sekunder di kornea karena infiltrasi eosinofil yang

sangat banyak. Eosinofil bermigrasi ke permukaan mata karena

berikatan dengan eotaxin-CC-chemokine Receptor (CCR) 3 atau

RANTES-CCR1 (Heath et al., 1997 dalam Robles-Contreras et al.,

2011). Ekspresi CCR3 dan degranulasi FᴄɛRI yang merusak

jaringan dilakukan oleh basofil yang terinduksi oleh IL-33 dan

kemudian mengekspresikan IL-4 dan IL-13 serta degranulasi yang

termediasi oleh IgE mengalami kenaikan drastis (Matsuba-

Kitamura et al., 2010 dalam Robles-Contreras et al, 2011).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id

e. Klasifikasi Konjungtivitis Alergi

1) Allergic Conjunctivitis (AC)

Kelompok ini mencakup Seasonal Allergic Conjunctivitis

(SAC) dan Perennial Allergic Conjunctivitis (PAC). AC

sendiri proporsinya sebesar 95% dari total kasus alergi mata

(Bonini, 2009). Sifat dari AC biasanya akut dan jarang

terdiagnosis (Robles-Contreras et al, 2011). Gejala dan tanda

pada SAC dan PAC pun sama, yakni gatal, mata merah yang

disebabkan oleh injeksi konjungtiva ringan sampai sedang,

pembengkakan konjungtiva (kemosis), namun jarang terjadi

komplikasi ke kornea (La Rosa et al., 2013). Selain itu,

konjungtiva palpebra tampak merah muda pucat dengan aspek

keputihan, terkadang papila agak hipertrofi di konjungtiva

tarsal (Sanchez et al., 2011).

2) Seasonal Allergic Conjunctivitis (SAC)

SAC terjadi pada musim tertentu, misalnya pada musim

semi atau gugur bila di negara 4 musim atau musim ketika

suatu tumbuhan sedang mekar. SAC lebih sering ditemukan

pada usia 20-40 tahun dengan alergen utama berupa polen atau

serbuk sari (Sanchez et al., 2011). Pada SAC, dapat ditemui

gejala rhinitis berupa kongesti nasal pada 65-70% kasus

(Wormald et al., 2004 dalam Sanchez et al., 2011; Takamura

et al., 2011)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

3) Perennial Allergic Conjunctivitis (PAC)

PAC terjadi tidak mengenal musim dan dapat terjadi

kapanpun dalam tahun tersebut (year round). Semua umur

dapat mengalami PAC dengan alergen utama berupa dust mite,

jamur, jaringan epitel hewan yang lepas ke udara dan/atau

alergen yang didapat dari tempat bekerja (Sanchez et al.,

2011).

4) Vernal Keratoconjunctivitis (VKC)

VKC umumnya terjadi di daerah yang beriklim hangat

atau tropis pada bulan hangat, namun bisa juga dijumpai di

daerah utara seperti Amerika Serikat dan Kanada (Jun et al.,

2008 dalam La Rosa et al., 2013). VKC lebih sering

menyerang laki-laki dengan kelompok usia terbanyak pada

usia 11-13 tahun dan jarang terjadi pada usia dewasa. Sifat dari

VKC adalah kronik dengan karakteristik self-limiting dan

tidak ada penurunan visus (Sanchez et al., 2011).

Gejala dan tanda VKC antara lain gatal hebat, mata berair,

discharge mukus, fotofobia yang parah sehingga

menyebabkan anak lebih suka dalam keadaan gelap dan

sensasi benda asing di kelopak karena permukaan konjungtiva

yang tidak rata. Bila terasa nyeri berarti keluhan sudah

mencapai kornea dan kemungkinan terjadi erosi epitel, ulkus,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

maupun plak. Dapat pula ditemukan Horner-Trantas dots

yang berwarna putih (Robles-Contreras et al., 2011).

VKC memiliki varian bentuk tarsal, limbal (Ono dan

Abelson, 2005) dan ada juga yang memasukkan bentuk

campuran tarsal dan limbal (Robles-Contreras et al., 2011).

Ciri khas yang membedakan varian tarsal dan limbal adalah

adanya papila raksasa (giant papillae) di konjungtiva tarsal

pada varian tarsal, sedangkan infiltrat gelatinosa kuning

keabuan di limbus terdapat pada varian limbal (Bonini, 2009).

5) Atopic Keratoconjunctivitis (AKC)

AKC biasanya bersifat kronik dan lebih sering menyerang

anak-anak, namun apabila AKC terjadi pada laki-laki di usia

20-50 tahun, AKC menjadi masalah serius yang akan sering

terjadi (Bonini, 2004 dalam Sanchez et al., 2011). Pada tahun

1953, hubungan AKC dengan dermatitis atopi ditemukan pada

penelitian yang dilakukan oleh Hogan (Ventocilla, 2014).

Semakin ke zaman modern, makin sering ditemukan

keterkaitan antara riwayat alergi, asma, urtikaria dan/atau hay

fever, dengan onset riwayat tersebut pada masa kanak-kanak

(Ono dan Abelson, 2005). Seperempat dari total pasien dengan

riwayat dermatitis atopi diperkirakan mengalami AKC

(Ventocilla, 2014).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

AKC terjadi secara bilateral, dengan kulit kelopak mata

bertekstur seperti amplas (fine sandpaper-like texture), injeksi

konjungtiva, kemosis dan adanya conjunctiva scarring. Tanda

khas dari AKC adalah edema kulit palpebra pada daerah

infraorbital yang disebut Dennie-Morgan fold, hilangnya bulu

mata sisi lateral yang disebut Hertoghe sign karena

menggosok-gosok mata (Rich dan Hanifin, 1985 dalam

Robles-Contreras et al., 2011; Sanchez et al., 2011).

2. 5-5-5 Exacerbation Grading Scale for Allergic Conjunctivitis

a. Definisi

Pada jurnal Allergology International telah dipublikasikan

suatu sistem penilaian baru terhadap derajat konjungtivitis alergi

yang bernama 5-5-5 Exacerbation Grading Scale for Allergic

Conjunctivitis. Sistem derajat ini telah dievaluasi oleh Shoji et al.

(2009) dengan subyek 103 pasien dengan rincian berupa 40 pasien

dengan VKC, 20 pasien AKC dan 43 pasien dengan AC sejak

Januari 2004 sampai Desember 2007, dengan hasil setiap

derajatnya ada perbedaan yang bermakna signifikan secara statistik

(P < 0,001, dengan uji Kruskal-Wallis).

b. Kriteria Penilaian Derajat

Kriteria penilaian derajat sistem ini didasarkan pada hasil

pemeriksaan fisik yang ditemukan pada pasien konjungtivitis

alergi. Sistem ini memberi skor dengan 3 kategori gejala, yakni


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

gejala dengan poin 1, gejala dengan poin 10 dan gejala dengan poin

100, yang mana setiap kategori poin tersebut masing-masing ada 5

tanda klinis, kemudian setiap ada tanda yang ditemukan diberi nilai

sesuai kategori 1, 10, atau 100 dan untuk yang tidak ditemukan

diberi nilai 0. Tanda klinis beserta penggolongan kategorinya

disebutkan di tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1. Penilaian Skala pada 5-5-5 Exacerbation Grading Scale


Derajat tanda klinis 100 poin 10 poin 1 poin
Papila raksasa Blefaritis Adanya papila
aktif pada konjungtiva
palpebra superior
Infiltrat gelatinosa Proliferasi papiler Lesi folikuler
pada limbus dengan tampilan pada konjungtiva
seperti beludru palpebra inferior
Tanda klinis Keratopati epitel Horner-Trantas Hiperemia pada
eksfoliatif spots konjungtiva
palpebra
Plak kornea Edema Hiperemia pada
(shield ulcer) konjungtiva konjungtiva
bulbar bulbar
Proliferasi papiler Keratopati Efusi lakrimal
pada konjungtiva pungtat superfisial atau epifora
palpebra inferior
Skor 100 poin x jumlah 10 poin x jumlah 1 poin x jumlah
tanda yang tanda yang tanda yang
ditemukan ditemukan ditemukan
Rentang nilai 0 – 500 poin 0 – 50 poin 0 – 5 poin
(Shoji et al.,2009)

Derajat ringan, sedang dan berat pada AC, AKC dan VKC

ditentukan dengan penilaian yang berbeda-beda sesuai dengan tabel 2.2

di bawah ini.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

Tabel 2.2. Kriteria Klasifikasi Keparahan Konjungtivitis Alergi


AC AKC VKC
Berat ˃ 3 tanda pada Minimal 1 tanda ˃ 2 tanda pada
kategori 10 poin, pada kategori 100 kategori 100 poin
tetapi tidak ada poin
tanda kategori 100
poin
Sedang ˂ 2 tanda pada ˃ 3 tanda pada Hanya ada 1 tanda
kategori 10 poin, kategori 10 poin, kategori 100 poin
tetapi tidak ada tetapi tidak ada
tanda kategori 100 tanda kategori 100
poin poin
Ringan Tidak ada tanda ˂ 2 tanda kategori Tidak ada tanda
kategori 10 10 poin, tetapi kategori 100 poin
maupun 100 tidak ada tanda
kategori 100 poin
(Shoji et al., 2009)

3. Eosinofil

a. Definisi dan Karakteristik Biologis

Eosinofil adalah leukosit multifungsional pleiotropik yang

berperan dalam berbagai reaksi inflamasi, yang mana akan

berpindah dari sirkulasi darah menuju fokus reaksi inflamasi.

Eosinofil memiliki nukleus bilobus dengan kromatin yang sangat

padat dengan 2 tipe granula utama, yaitu granula spesifik dan

granula primer dan 2 tipe granula lain, yaitu granula kristaloid dan

vesikel sekretori. Mayoritas protein granula eosinofil disimpan di

granula kristaloid karena ukurannya yang besar (diameter 0,5-0,8

µm). Granula ini tersusun dari 4 protein utama antara lain Major

Basic Protein (MBP), Eosinophil Peroxidase (EPO), Eosinophil

Cationic Protein (ECP) dan Eosinophil-Derived Neurotoxin


commit to user
(EDN) (Hogan et al., 2008; Stone et al., 2010).
perpustakaan.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

Eosinofil mengekspresikan sitokin proinflamasi (IL-2, IL-4,

IL-5, IL-10, IL-12, IL13, IL-15, IL-18, Transforming Growth

Factor (TGF)-α/β, interferon (INF)-α, Tumor Necrosis Factor

(TNF)-α), kemokin (CCL5/RANTES dan CCL11/eotaxin),

mediator lipid (Platelet-Activating Factor (PAF) dan leukotrien

(LT) C4), reseptor IgG (FᴄγRII/CD32), reseptor IgA

(FᴄαRI/CD89), reseptor komplemen (CR1/CD35, CR3 dan CD88)

dan reseptor prostaglandin (reseptor PGD2 tipe 2). Sekresi protein

granula, kemokin, sitokin dan substansi lainnya oleh eosinofil

tersebut merangsang lebih banyak eosinofil datang dan

mengaktifkannya di fokus inflamasi. Selain itu, diketahui pula

eosinofil mengekspresikan beberapa inhibitor reseptor, namun

tidak disebutkan secara rinci (Hogan et al., 2008; Stone et al.,

2010).

b. Eosinofil di Tubuh dalam Mengatasi Penyakit Secara Umum

Jumlah eosinofil di dalam tubuh dipengaruhi variasi diurnal,

yang mana level terendah saat pagi hari dan level tertinggi saat

malam hari. Kadar eosinofil normal dalam darah tepi adalah di

bawah < 500/mm3 dengan waktu paruh di dalam sirkulasi darah 8-

18 jam. Bila tidak ada stimulasi, eosinofil dapat berada dalam

jaringan selama beberapa hari (Young et al., 2007). Eosinofil

sendiri memiliki fungsi dalam proses peningkatan sistem adhesi,

pengaturan migrasi seluler, aktivasi dan pengaturan permeabilitas


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id

vaskuler, sekresi mukus dan konstriksi otot polos karena efek

proinflamasi yang dimilikinya. Migrasi eosinofil ke darah tepi dan

jaringan yang terinfeksi ini disebabkan oleh interaksi spesifik

protein integrin permukaan dengan reseptor adhesi (VCAM-1,

MAdCAM-1, ICAM-1, ICAM-2, ICAM-3 dan fibrinogen),

aktivitas IL-4, IL-13 dan eotaxin (CCL11 dan CCL26) (Hogan et

al., 2008; Stone et al., 2010).

Peningkatan eosinofil di darah tepi dan jaringan mungkin

menandakan adanya alergi, reaksi obat, infeksi cacing, sindrom

hipereosinofilik, Omenn’s syndrome, sindrom hiper-IgE, infeksi

akut bakteri atau virus, bahkan insufisiensi adrenal apabila

peningkatan eosinofil ini ditemukan pada pasien demam.

Penurunan eosinofil terjadi pada kondisi stres karena pelepasan

glukokortikoid meningkat seperti keadaan luka bakar dan pasca

operasi. Konsumsi obat golongan steroid juga menurunkan jumlah

eosinofil. (Umar et al., 2011; Stone et al,. 2010)

Pada pasien atopi seperti rhinitis alergi, asma dan dermatitis

atopi kadar eosinofilnya lebih tinggi di sekresi nasal dan sputum

daripada di darah tepi. Pada penelitian dengan model murine oleh

Blanchard dan Rothenberg (2009), eosinofil berperan dalam

airway remodelling, hiperreaktivitas jalan nafas dan produksi

mukus (Stone et al., 2010).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

Pada infeksi cacing, eosinofil akan cenderung mensekresikan

sitokin-sitokin yang berkaitan dengan Th2, terutama IL-5, untuk

merangsang eosinofil yang berada di sumsum tulang bermigrasi ke

darah tepi dan jaringan yang terinfeksi. Pada studi in vitro,

eosinofil ini dapat menghancurkan parasit cacing dengan protein

sitotoksik dan Reactive Oxygen Species (ROS) yang dihasilkannya

(Hogan et al., 2008).

c. Eosinofil dalam Konjungtivitis Alergi

Eosinofil berperan di respon fase akhir pada suatu reaksi

alergi, termasuk konjungtivitis alergi (Ono dan Abelson, 2005)

sehingga infiltrasi selektif oleh eosinofil merupakan salah satu ciri

dari semua subtipe konjungtivitis alergi (Bonini et al, 2011).

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa eosinofil tidak

akan ditemukan pada lapisan epitel konjungtiva, tetapi akan

muncul di lamina propria konjungtiva. Ketika eosinofil teraktivasi,

MBP, ECP, EPO dan EDN akan tersekresi sehingga keempat

protein ini akan meningkat kadarnya di air mata (Montan dan Van

Hage-Hamsten, 1996; Bonini et al., 2009). Protein eosinofil yang

pernah diteliti keberadaannya dalam air mata adalah ECP,

dilakukan oleh Montan dan Van Hage-Hamsten (1996) dan

didapatkan hasil bahwa ECP pada pasien AKC dan VKC lebih

tinggi daripada pasien SAC sehingga disimpulkan bahwa eosinofil

berperan dalam kejadian AKC, VKC dan SAC. Pada sampel air
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id

mata juga ditemukan eotaxin, molekul adhesi dan IL-5 (Sanchez et

al., 2011).

Selain air mata, parameter yang pernah dipakai untuk

memeriksa keberadaan aktivitas eosinofil dalam kejadian

konjungtivitis alergi antara lain biopsi konjungtiva dengan

pewarnaan Hematoxylin-eosin, darah perifer dan conjunctival

scraping dengan pewarnaan Hansel dan Wright-Giemsa, yang

mana semua parameter tersebut didapatkan eosinofil maupun

protein eosinofil dengan jumlah yang signifikan (Bonini et al.,

1997; Bielory dan Friedlaender, 2008; Kari et al., 2010).

Pada SAC, infiltrasi eosinofil ditemukan pada 25% dari total

pasien dan keberadaan IgE di air mata ditemukan pada 96% dari

total pasien. Pada PAC, kadar MBP di air mata ditemukan

meningkat. Dengan metode conjunctival scraping, eosinofil

ditemukan pada 25-84% dari total pasien PAC dan 43% dari total

pasien SAC (Bielory dan Friedlaender, 2008).

Pada limbus yang merupakan batas antara kornea dan sklera,

apabila terjadi infiltrasi dan degranulasi eosinofil di situ, maka

akan mengganggu kestabilan struktur epitel kornea sehingga

membentuk plak kornea atau shield ulcer yang isinya adalah debris

sel epitel dan eosinofil, terutama pada pasien VKC. Selain itu,

fungsi barrier kornea tidak akan semaksimal sebelumnya sehingga

konjungtivitis alergi dapat terjadi eksaserbasi dengan lebih mudah.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id

Kerusakan ini terutama disebabkan oleh protein eosinofil yang

sifatnya sitotoksik seperti MBP, EPO dan EDN (Bonini et al.,

2009).

Papilla raksasa pada VKC sendiri terbentuk karena adanya

infiltrasi eosinofil di bawah epitel konjungtiva yang sudah terkikis,

kemudian membentuk jaringan proliferatif fibrosa. Kumpulan

eosinofil akan menyebabkan degenerasi epitel konjungtiva

sehingga akan memicu pembentukan Horner-Trantas dots pada

daerah limbus (Bonini et al., 2009; Takamura et al., 2011)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 25
digilib.uns.ac.id

B. Kerangka Pemikiran

Alergen
Riwayat atopi Sensitisasi berulang

Reaksi alergi

Prostaglandin, Kemokin Sitokin (IL-1, Vasoamin, Molekul


Leukotrien (RANTES, IL-3, IL-4. protease adhesi (ICAM,
eotaxin) IL-6) VCAM)

Eosinofil dari darah tepi Eosinofil dari lamina propria konjungtiva

(##) Infeksi cacing, sindrom


Prostaglandin,
hiper-IgE, sindrom Eosinofil di epitel konjungtiva
leukotrien
hipereosinofilik, asma

Kemokin Protein Sitokin


(CCL5/RANTES, granula proinflamasi *
CCL11/eotaxin) (MBP, EPO, (IL-2, IL-4, IL-
ECP, EDN) 5, IL-10, IL-12,
(#) Stres (luka IL13, IL-15, IL-
bakar, pasca 18, TGF-α/β,
operasi), kualitas INF-α, TNF-α)
preparat jelek

Inflamasi dan
kerusakan jaringan

Keterangan:
Derajat konjungtivitis alergi
= diteliti
= tidak diteliti (#) = faktor perancu (penurunan)
(##) = faktor perancu (peningkatan) * = eksaserbasi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id

C. Hipotesis

Ada pola keteraturan jumlah eosinofil mukosa konjungtiva dan derajat

konjungtivitis alergi berdasarkan 5-5-5 Exacerbation Grading Scale.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai