Anda di halaman 1dari 45

perpustakaan.uns.ac.

id 7
digilib.uns.ac.id

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Konjungtiva

a. Definisi

Konjungtiva adalah membran mukosa yang tembus

pandang yang terletak mulai dari permukaan posterior kelopak

mata sampai ke bagian anterior bola mata. Istilah konjungtiva

sendiri berarti (conjunctiva : conjoin : to join) telah diberikan

pada membran mukosa ini karena faktanya membran mukosa

ini menyatu dengan bola mata dan kelopak mata. Konjungtiva

membentang dari batas kelopak mata sampai ke limbus, dan

membentuk suatu ruangan kompleks yang disebut sakus

konjungtiva (Khurana, 2007).

b. Anatomi

Konjungtiva merupakan membran mukosa yang normalnya

transparan, tipis dan berkilau. Konjungtiva terdiri dari tiga

bagian yaitu konjungtiva palpebralis, konjungtiva forniks, dan

konjungtiva bulbi. Konjungtiva palpebralis merupakan

pembungkus permukaan posterior kelopak mata sedangkan

konjungtiva bulbaris merupakan pembungkus permukaan

anterior sklera. Konjungtiva akan mengalami fusi dengan kuat

pada kulit di tepi palpebra (‘mucocutaneous junction’) dan


commit to user

7
perpustakaan.uns.ac.id 8
digilib.uns.ac.id

dengan epitel kornea di limbus (Riordan-Eva et al., 2009;

Lang, 2006).

1) Konjungtiva palpebralis

Konjungtiva palpebralis merupakan konjungtiva

yang melapisi bagian dalam kelopak mata, meluas dari

‘mucocutaneous junction’ pada batas posterior kelopak

mata kemudian berjalan ke posterior menuju ke forniks

(Harvey et al., 2013; Riordan-Eva et al., 2009).

Konjungtiva palpebralis akan dibagi menjadi

konjungtiva marginal, tarsal dan orbital. Konjungtiva

marginal lebarnya sekitar 2 mm yang membentang dari

‘mucocutaneous junction’ ke ‘subtarsal groove’ (sebuah

sulcus dangkal yang berjalan paralel dengan batas kelopak

mata di sepanjang permukaan tarsal) (Harvey et al.,2013).

2) Konjungtiva forniks

Konjungtiva palpebra dilanjutkan ke arah posterior

menuju daerah forniks disebut dengan konjungtiva forniks,

di mana konjungtiva forniks merupakan daerah transisi

antara konjungtiva palpebralis dan konjungtiva bulbaris.

Konjungtiva forniks melekat secara longgar pada fascia

muskulus levator dan muskulus recti sehingga

kelonggaraan tersebut memungkinkan adanya edema akibat

akumulasi cairan. Kontraksi dari ke dua muskulus


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id

menyebabkan konjungtiva forniks tertarik hal inilah yang

memungkinkan konjungtiva forniks untuk ikut bergerak

saat bola mata dan kelopak mata ikut bergerak (Snell,

2012).

Forniks superior terletak sejauh 10 mm dari limbus,

pada bagian lateral dari forniks superior terdapat bukaaan

duktus glandula lakrimalis sedangkan forniks inferior

sejauh 8 mm dari limbus (Snell, 2012).

3) Konjungtiva bulbaris

Terletak menempel pada bola mata, tipis dan

transparan, sehingga sklera yang ada di bawahnya dapat

terlihat dengan jelas. Konjungtiva bulbi secara longgar

melekat pada septum orbitale forniks dan melipat berkali-

kali yang memungkinkan bola mata bergerak sekaligus

memperbesar permukaan konjungtiva yang berfungsi

sebagai muara sekretorik dari duktus lakrimalis,

konjungtiva bulbi juga melekat dengan longgar pada sklera,

fascia bulbi yang menyelimuti tendon muskulus rekti dan

kapsula tenon (Snell, 2012; Riordan-Eva et al., 2009).

Mulai jarak 3 mm dari kornea konjungtiva bulbi

melekat erat pada sklera dan fascia bulbi, kemudian

konjungtiva mengalami penyatuan atau fusi dengan kornea,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id

garis penyatuannya disebut dengan konjungtiva limbus

(Snell, 2012; Riordan-Eva et al., 2009).

Gambar 2.1 Anatomi Konjungtiva (Lang,2006)

c. Histologi

Konjungtiva terdiri dari dua lapisan yaitu epitel konjungtiva

dan stroma konjungtiva, di mana stroma konjungtiva terdiri

dari lapisan adenoid dan lapisan fibrosa, serta terdapat kelenjar

lakrimal aksesorius termasuk di dalamnya adalah kelenjar

krause dan wolfring (Riordan-Eva et al., 2009).

1) Lapisan epitel konjungtiva

Tersusun oleh dua hingga lima sel epitel silindris

bertingkat di atas stroma konjungtiva, yang berbeda-beda


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id

lapisannya pada setiap bagian konjungtiva. Konjungtiva

marginalis memiliki 5 lapisan sel dengan tipe epitel

berlapis gepeng. Konjungtiva tarsal memiliki 2 lapis sel,

lapisan superfisial adalah sel epitel silindris dan lapisan

dalamnya adalah flat cell. Konjungtiva forniks dan

bulbaris memiliki 3 lapisan epitelium, lapisan

superfisialnya adalah sel epitel silindris, lapisan tengah

nya adalah sel epitel polyhedral, dan lapisan bawahnya

ialah sel kuboid. Konjungtiva limbalis (limbus) memiliki 5

sampai 6 lapis sel epitel dengan tipe berlapis gepeng

(Khurana 2007; Riordan-Eva et al., 2009).

Pada daerah limbus lapisan epitel konjungtiva akan

berubah menjadi epitel berlapis gepeng tanpa sel tanduk.

Pada tepi posterior kelopak mata sepanjang batas posterior

dari bukaan glandula tarsalis, di sini konjungtiva akan

menyatu dengan kulit, sehingga dapat dijumpai sel epitel

berlapis gepeng dengan sel tanduk (Snell, 2012; Riordan-

Eva et al., 2009).

Sel epitel konjungtiva yang bertingkat dapat

dibedakan menjadi sel epitel superfisial dan sel epitel

basal. Sel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau

oval yang mensekresi mukus sedangkan sel epitel basal

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id

berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial

(Riordan-Eva et al., 2009).

2) Stroma konjungtiva

Stroma konjungtiva dibagi menjadi dua lapisan, satu

lapisan adenoid atau lapisan superfisial dan satu lagi

lapisan fibrosa atau profundus. Dalam lapisan adenoid

terkandung jaringan limfoid dan struktur semacam folikel

tanpa sentrum germinativum pada beberapa tempat di

stroma konjungtiva, lapisan ini paling berkembang pada

konjungtiva forniks. Pada bayi umur dua sampai tiga

bulan lapisan adenoid ini belum berkembang, inilah yang

menyebabkan konjuntivitis inklusi pada bayi bersifat

papilar bukan folikular (tanpa reaksi folikular). Lapisan

fibrosa terdiri dari atas anyaman kolagen dan serabut

elastik, lapisan ini lebih tebal dari lapisan adenoid kecuali

di bagian konjungtiva tarsal yang mana sangat tipis,

lapisan ini tercampur dengan kapsula tenon yang berada

dibawahnya pada area konjungtiva bulbi (Khurana 2007;

Riordan-Eva et al., 2009).

3) Kelenjar lakrimal aksesorius

Terdiri atas kelenjar krause dan kelenjar wolfring di

mana fungsi dan strukturnya mirip dengan kelenjar

lakrimale yang terletak di dalam stromal, pada forniks


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id

superior terletak sebagian besar kelenjar Krause, di tepi

atas forniks superior terdapat kelenjar Wolfring,

sedangkan sebagian kecil kelenjar krause terletak pada

forniks inferior (Riordan-Eva et al., 2009).

Gambar 2.2 Histologi konjungtiva (Khurana,2007)

d. Fisiologi

Fisiologi konjungtiva diarahkan pada fungsinya sebagai

penghasil salah satu dari 4 lapisan air mata, sebagai pengatur

elektrolit dan sekresi air pada lingkungan luar bola mata dan

sebagai pertahanan awal yang istimewa terhadap bola mata dari

patogen (Harvey et al., 2013; Dartt, 2011).

1) Fungsi Konjungtiva Sebagai Pengasil Musin

Terdapat 4 lapisan air mata pada permukaan bola mata

(konjungtiva dan konea), lapisan itu adalah lapisan

glycocalyx yang merupakan lapisan terdalam, lapisan

kedua adalah lapisan mucous, lapisan ketiga adalah

lapisan aqueous dan yang terluar adalah lapisan yang

mengandung lipid. Lapisan air mata ini penting untuk

kesehatan commit to user bola mata (Dartt, 2011).


dan perlindungan
perpustakaan.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id

Konjungtiva merupakan penghasil terbesar musin

(selain glandula lakrimalis aksesorius Krause dan

Wolfring) tipe gel-forming yang merupakan struktur

utama lapisan mucous air mata. Musin tipe gel forming

dihasilkan oleh sel goblet yang terdapat pada konjungtiva,

di mana pengaturan sekresi utamanya diatur oleh sistem

saraf di konjungtiva dan kornea (Harvey et al.,2013; Dartt,

2011).

Musin memiliki fungsi sebagai berikut, yang pertama

pembersihan terhadap alergen, patogen dan debris yang

kedua untuk pelumas yang ketiga memiliki aktivitas

antimikroba yang ke empat struktur o-glycan nya menjadi

airmata melekat pada epitel konjungtiva dan yang ke lima

konjungtiva berfungsi menyerap materi organik (obat-

obatan) yang terdapat pada lapisan air mata (Dartt, 2011).

2) Fungsi Konjungtiva Sebagai Pengaturan Elektrolit dan Air

di Permukaan Bola Mata

Epitel konjuntiva mensekresikan klorida dan menyerap

natrium dengan rasio 1,5 banding 1 yang menyebabkan

sekresi cairan yang seimbang di lapisan air mata. Yang

menarik antara absorbsi dan sekresi terjadi pada sel yang

sama di konjungtiva. Protein ion transporter terdistribusi

rata di semua area konjungtiva yang menunjukan bahwa


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

semua bagian konjungtiva memiliki partisipasi di sekresi

cairan (Dartt, 2011).

3) Fungsi konjungtiva sebagai pertahanan mata

Konjungtiva dilengkapi dengan berbagai macam

mekanisme pertahanan yang berbeda-beda mulai dari

mekanisme secara anatomi, mekanis, antimikroba dan

imunologis (Dartt, 2011).

Epitelium konjungtiva yang intak merupakan

pertahanan secara anatomi dari invasi patogen, kedipan

oleh kelopak mata secara mekanis akan membuang benda

asing dan patogen, air mata mengandung berbagai macam

zat protein antimikroba contohnya adalah: lisozim yang

menyediakan perlindungan melawan bakteri gram positif

melalui pelisisan dinding sel bakteri, imunoglobulin

khususnya IgG akan menetralisir virus dan melisiskan

bakteri, laktoferin memiliki kandungan bakteriostatik dan

bakterisidal (Dartt, 2011).

Pertahanan imunologi konjungtiva sangatlah kompleks

dan terdiri dari pertahanan innate, adaptif dan mukosa.

Sistem imun inate merupakan pertahanan yang pertama kali

muncul saat melawan patogen dan bersifat non spesifik,

melalui pathogen associated molecular patterns (PAMPs)

pada bakteri akan dikenali oleh tool like receptor (TLRs)


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

yang merupakan reseptor imunitas innate spesifik. Setelah

patogen dikenali oleh TLRs, sistem imun akan terpacu dan

menyebabkan inflamasi dan perangsangan terhadap sistem

imun adaptif (Dartt, 2011).

Sistem imun adaptif adalah respon imun tipe lambat

yang mengandung mekanisme pertahanan humoral dan

selular. Imunoglobulin adalah komponen utama pada

mekanisme pertahanan humoral, sedangkan pada

mekanisme pertahanan selular terdapat limfosit T. Sel

Limfosit T, sel T helper, sel T sitotoksik dapat ditemukan

pada epitelium konjungtiva dan substantia propria (Dartt,

2011).

IgA sebagai bagian dari mediator sistem imun humoral

merupakan lapisan pertahanan pada mukosa dengan cara

mencegah bakteri menempel pada epitel, mengikat

(binding) antigen dan menetralisir virus (Dartt, 2011).

Conjunctival associated lymphoid tissue (CALT)

merupakan sistem imun mukosa spesifik penemuan

terhadap CALT masih tergolong baru dan masih terus

diteliti (Dartt, 2011).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

e. Vaskularisasi konjungtiva

1) Arteri konjungtiva

Arteri penyuplai darah pada konjungtiva berasal dari

tiga sumber yaitu: arkus marginalis arteri palpebralis,

arkus perifer arteri palpebralis, dan arteri siliaris anterior,

di mana arkus marginalis arteri palpebralis lebih besar

dibandingkan arkus perifer arteri palpebralis (Khurana,

2007; Snell, 2012 ).

Konjungtiva palpebralis dan konjungtiva forniks

divaskularisasi oleh cabang arteri dari arkus marginalis

arteri palpebralis dan arkus perifer arteri palpebralis pada

kelopak mata, sedangkan konjungtiva bulbaris diperdarahi

oleh dua arteri yaitu arteri konjungtivalis posterior dan

arteri konjungtivalis anterior. Cabang terminal dari arteri

konjungtiva posterior akan beranastomosis dengan arteri

konjungtiva anterior membentuk plexus pericornealis.

Beberapa orang tidak memiliki arkus perifer arteri

palpebralis pada kelopak mata bawah, sehingga pada

kasus ini konjungtiva hanya akan divaskularisasi oleh

arkus marginalis arteri palpebralis bersama arteri siliaris

anterior (Khurana, 2007; Snell, 2012 ).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

2) Vena konjungtiva

Vena konjungtiva jumlahnya lebih banyak dari pada

arteri konjungtiva (Snell, 2012 ). Aliran darah dari arteri

konjungtiva mengalir menuju plexus venosus pada

kelopak mata menuju vena siliaris anterior (Khurana,

2007).

2. Konjungtivitis Alergi

a. Definisi

Konjungtivitis alergi merupakan sebuah penyakit

mata yang mengenai konjungtiva dalam bentuk peradangan

non-infeksi yang disertai dengan beberapa gejala subjektif

maupun objektif, proses inflamasinya diasosiasikan dengan

reaksi alergi hipersensitivitas tipe I, jalur non-IgE maupun

melalui mekanisme atopi (Robles-Contreras et al., 2011;

Ilyas, 2014; Takamura et al., 2011; Bonini et al., 2009).

b. Klasifikasi dan Etiologi

Penyakit konjungtivitis alergi diklasifikasikan ke

dalam beberapa tipe berdasarkan keadaan atau penyakit lain

yang menyertai di antaranya adalah berdasarkan ada atau

tidak adanya perubahan proliferasi palpebra, komplikasi

dengan dermatitis atopi dan iritasi mekanis oleh benda

asing (Takamura et al.,2011).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

Penyakit alergi konjungtivitis dapat terbagi menjadi

empat tipe yaitu : konjungtivitis alergi yang terbagi menjadi

dua tipe yaitu Seasonal Allergic Conjunctivitis (SAC) dan

Parennial Allergic Conjunctivitis (PAC),

Keratokonjungtivitis Atopi, Vernal Keratokonjungtivitis,

dan Giant Papilary Conjunctivitis (Takamura et al., 2011).

Gambar 2.3 Klasifikasi Penyakit Konjungtivitis Alergi (Takamura et al,2011)

1) Seasonal allergic conjunctivitis (SAC)

Penyakit alergi konjungtivitis ini tidak disertai

dengan perubahan proliferasi dari konjungtiva,

timbulnya akibat respon dari alergen musiman,

contohnya adalah serbuk sari rumput. Tanda dan

gejalanya biasanya muncul pada musim semi, musim

panas, dan musim gugur. Gejalanya adalah mata merah

akibat injeksi konjungtiva, pembengkakan konjungtiva

atau kemosis dan gatal pada mata, diantara penyakit

konjungtivitis alergi yang lain tipe SAC merupakan


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

penyakit konjungtivitis yang paling sering terjadi

(Takamura et al.,2011; La Rosa et al.,2013; Khurana

2007).

2) Parennial Allergic Conjunctivitis (PAC)

Penyakit alergi konjungtivitis ini tidak disertai

dengan perubahan proliferasi dari konjungtiva,

timbulnya akibat respon dari alergen yang dapat

dijumpai sepanjang tahun pada lingkungan pasien.

Contohnya debu rumah, tungau debu, bulu binatang.

Gejalanya sama dengan SAC, yaitu mata merah akibat

injeksi konjungtiva, pembengkakan konjungtiva atau

kemosis dan gatal pada mata. Dalam praktiknya PAC

lebih jarang dijumpai dari pada SAC (Takamura et

al.,2011; La Rosa et al.,2013; Khurana, 2007; Bonini et

al., 2009).

3) Atopic Keratoconjunctivitis (AKC)

Merupakan penyakit konjungtivitis alergi yang

bersifat kronik dan bilateral yang biasanya terjadi pada

pasien dengan dermatitis atopik pada wajah, Giant

Papillae bisa jadi ditemukan meskipun kebanyakan

AKC tidak terdapat perubahan proliferatif. Lesi

eczematous bisa saja ditemukan di kelopak mata atau di

tempat lain di permukaan tubuh, lesinya bersifat merah,


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id

meninggi, biasanya terjadi pada daerah antecubiti dan

poplitea, gatal dan jika digaruk akan lebih gatal. Gejala

objektif yang dapat ditemukan di kelopak mata adalah

kemotik atau membengkak dan ketika diraba terasa

seperti kertas ampelas (Takamura et al.,2011; La Rosa

et al.,2013).

AKC memiliki gejala mata merah akibat injeksi

konjungtiva, kemosis, panas seperti terbakar, fotofobia,

penglihatan menjadi kabur, penglihatan seperti

berserabut atau melihat benang dan lendir yang keluar

seperti benang juga dapat terjadi. Riwayat alergi seperti

asma dan urtikaria biasanya juga muncul pada pasien

AKC (Bonini et al., 2009).

Gejala pada mata yang dapat ditemui adalah tepi

atau batas belakang kelopak mata mengalami inflamasi

kronik secara melingkar, konjungtiva tarsal memiliki

bentukan seperti susu yang sebenarnya adalah papila

yang sangat jelas, adanya keratitis epitelial punctata

pada kornea (Khurana, 2007).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

Gambar 2.4 Hiperemia, Opasitas dan Fibrosis Sub Konjungtiva pada AKC
(Takamura et al, 2011)

Gambar 2.5 Kemotik dan sensasi meraba kertas ampelas pada AKC
(La Rosa et al,2011)

4) Vernal Keratokonjungtivitis (VKC)

VKC terjadi pada saat musim hangat atau saat cuaca

hangat sehingga lebih sering ditemukan pada daerah

beriklim tropis dan hampir tidak ada pada daerah

beriklim dingin, karena karakteristik ini VKC mendapat

label ‘warm weather conjunctivitis’. Biasanya

menyerang orang muda dengan rentang usia 4-20 tahun,

dan lebih sering pada pria dari pada wanita. Diinduksi

oleh stimulus nonspesifik seperti angin, debu, cahaya

matahari. Induktor penyebab dari VKC sesuai dengan

variabilitas pasien masing-masing, di mana tidak


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id

terhubung pada level alergen di lingkungan (La Rosa et

al.,2013; Khurana, 2007).

Gejala subjektifnya meliputi mata gatal, merah,

membengkak dan keluarnya cairan, sering terdapat

fotofobia meskipun tidak selalu pada pasien. Gejala

objektifnya dapat dijelaskan ke dalam 3 manifestasi

klinis (Khurana, 2007).

Manifestasi klinis pertama disebut dengan

‘palpebral form’, di mana konjungtiva tarsal bagian atas

pada kedua mata ikut terkena, lesinya khas dengan ciri

keras, puncak yang datar dan beberbentuk papil disebut

dengan ‘cobble-stone papilae’ jika bertambah parah

papil papil akan mengalami hipertrofi, bertambah besar

seperti bunga kol dan disebut dengan ‘Giant papillae’

(Khurana, 2007).

Gambar 2.6 Palpebral Form pada VKC (Khurana, 2007)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id

Manifestasi klinis yang kedua disebut dengan

‘bulbar form’ memiliki karakteristik terdapatnya

kongesti segitiga merah kehitaman pada konjungtiva

bulbi di area palpebra, penebalan gelatinosa pada

limbus oleh karena penumpukan jaringan di sekitar

limbus, dan adanya titik berwarna putih agak meninggi

pada limbus, disebut dengan Tranta’s spots.

Manifestasi klinis yang ke tiga disebut dengan mixed

form ini memperlihatkan kombinasi manifestasi klinis

antara ‘palpebral form’ dan ‘bulbar form’ (Khurana,

2007).

Gambar 2.7 Bulbar Form pada VKC (Khurana, 2007)

Gambar 2.8 Tranta’s Dots di Limbus pada VKC (La Rosa et al, 2011)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 25
digilib.uns.ac.id

Pada VKC dapat dijumpai lesi kornea di antaranya

adalah keratitis punctata superficialis, erosi kornea,

defek epitelium kornea persisten, ulkus kornea, dan

plak pada kornea (Takamura et al.,2011).

Gambar 2.9 Gambar skematik VKC (Khurana, 2007)


5) Giant Papillary Keratokonjungtivitis (GPC)

GPC merupakan penyakit inflamasi alergi lokal

pada konjungtiva yang disertai oleh perubahan

proliferatif pada konjungtiva palpebra superior oleh

karena iritasi mekanis terhadap benda yang seharusnya

tidak memberi efek alergi (inert) seperti; kontak lensa

atau bekas operasi jahitan pada limbal. Secara klinis

GPC berbeda dari VKC dengan tidak adanya lesi pada

kornea dan memiliki bentuk papil yang berbeda. Papil

pada GPC memiliki ukuran yang sangat besar, diameter

mencapai 1mm (Takamura et al.,2011; La Rosa et

al.,2013; Khurana 2007).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id

Gambar 2.10 Giant Papillary Keratokonjungtivitis (La Rosa et al,2011)

c. Patogenesis

Sejak dilaporkan terdapatnya IgE pada air mata

manusia dan sel B pada folikel limfoid konjungtiva,

dapatlah diketahui reaksi alergi pada mukosa mata serupa

dengan penyakit alergi lain yang terdapat pada tubuh,

sebagai contoh rhinitis alergi dan asma (Robles-Contreras

et al.,2011).

Patogenesis pada konjungtivitis alergi terdapat dua

tahap, tahap pertama adalah fase sensitisasi, merupakan

fase pembentukan IgE dan penempelan IgE pada

reseptornya dipermukaan sel mast atau basofil. Yang kedua

adalah fase efektor, merupakan fase di mana mediator yang

terlepas dari basofil dan sel mast menimbulkan reaksi imun

yang komplek, kemudian fase efektor masih dibagi lagi

menjadi reaksi tipe cepat dan reaksi tipe lambat

(Baratawidjaja dan Rengganis, 2014; Bonini et al.,2009).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id

1) Fase sensitisasi

Ketika alergen sampai di mukosa konjungtiva,

keberadaannya akan diproses oleh sel yang berperan

sebagai Antigen Precenting Cell (APC) sebagai contoh

adalah sel langerhans atau sel dendritik, informasi

mengenai antigen (dalam hal ini alergen) akan

dipresentasikan oleh MHC kelas II di APC kepada TLR

di sel Th0 (disebut juga Th naif), pengenalan akan

antigen pada sel Th0 oleh APC akan merangsang

pengeluaran sitokin IL-4 oleh sel limfosit Th naif yang

membuat sel limfosit Th naif berdiferensiasi atau

berkembang menjadi Th2. (Bonini et al.,2009; Robles-

Contreras et al.,2011; Baratawidjaja dan Rengganis,

2014; Kresno, 2010).

Th2 kemudian akan mengeluarkan berbagai

sitokinnya diantaranya adalah interleukin-3 (IL-3), IL-

4, IL-5, IL-13, dan Graulocyte-Macrophage Colony

Stimulate Factor (GM-CSF) supaya pembentukan IgE

oleh sel B terstimulasi (Bonini et al.,2009).

Antigen juga akan terikat ke permukaan Sel B yang

ada pada konjungtiva. Pada jalur aktivasi sel B

dependen sel T, ikatan antara mIg dengan antigen di sel

B tidak akan menginduksi diferensiasi dan proliferasi


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 28
digilib.uns.ac.id

sel B jika tidak dirangsang melalui interaksi dengan

TCR (T cell Receptor) pada sel Th. Jika Sel B sudah

aktif, sel B akan mengeluarkan reseptor pada

membrannya untuk menangkap sitokin IL-5, IL-4, IL-2

sehingga sel B mampu berproliferasi, diferensiasi

(menjadi sel plasma dan memori), pengalihan kelas

(memproduksi IgE) dan pematangan afinitas

(Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).

IgE yang terbentuk akan melekat kuat pada sel mast

dan basofil melalui ikatan reseptor-fragmen Fc, sekali

terikat IgE dapat melekat sampai beberapa minggu pada

sel tersebut (Kresno, 2012).

2) Fase efektor

Terjadi jika seseorang terpajan oleh alergen yang

sama setelah fase sensitisasi atau pajanan pertama

terhadap alergen. Pada fase ini dibagi menjadi dua fase

yaitu reaksi fase lambat dan reaksi fase cepat (Robles-

Contreras et al.,2011).

a) Reaksi fase cepat

Saat alergen spesifik masuk, IgE yang sudah

menempel pada sel mast akan menyebabkan

terjadinya cross-linking pada IgE di area membran

sel mast, kemudian disusul dengan degranulasi sel


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id

mast. Granula sel mast akan mengeluarkan

vasoaktif amin (mayor amin adalah histamin) dan

protease, amin menyebabkan dilatasi pembuluh

darah kecil, menaikkan permeabilitas pembuluh

darah, dan merangsang kontraksi mendadak dari

serabut otot halus sedangkan protease menyebabkan

kerusakan jaringan. Perangsangan sel mast juga

akan mensekresikan metabolit asam arakidonat

berupa prostaglandin (bertanggung jawab terhadap

dilatasi pembuluh darah) dan leukotrin

(memperpanjang waktu kontraksi dari serabut otot

halus). Perangsangan sel mast akan mengeluarkan

berbagai sitokin yang bertanggung jawab pada

reaksi inflamasi (rekruitmen leukosit) diantaranya

adalah IL-1, IL-4, IL-5, IL-6, IL-13, MIP-1α, MIP-

1β. Pada fase ini keberadaan sitokin bukan hanya

sumbangsih sel mast saja tetapi juga terdapat basofil

dan sel Th2 (yang tertarik pada lokasi alergi)

(Bonini et al.,2009; Abbas and Licthman, 2009;

Abbas et al., 2010).

keluarnya histamin pada mata jika berikatan

dengan reseptor H1 akan menimbulkan gejala alergi

seperti gatal, rasa pedas, rasa seperti terbakar dan


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 30
digilib.uns.ac.id

keluarnya air mata, jika berikatan dengan reseptor

H2 akan terjadi pelepasan prostaglandin dan

leukotrin yang menstimulasi produksi mukus dan

menaikan permeabilitas vaskular reaksi fase awal

mulai 20-30 menit (Freitas, 2011).

Degranulasi sel mast juga menginduksi

teraktivasinya sel endotel pembuluh darah dan

dengan demikian kemokin dan molekul adhesi

bermunculan, yang termasuk kemokin adalah

Regulated Upon Activation Normal T cell

(RANTES) dan eotaxin. Molekul adhesi:

Intraceluler Adhesion Molecule (ICAM-1),

Vascular Cell Adhesionn Molecule (VCAM).

Faktor-faktor inilah yang menginisiasi rekuitasi sel

inflamatori di konjungtiva (Freitas, 2011).

b) Reaksi Fase Lambat

Reaksi fase lambat terjadi 2-4 jam setelah

reaksi fase cepat di mana sel inflamatorik, basofil,

neutrofil, limfosit T dan terutamanya eosinofil

menginfiltrasi mukosa mata. Kehadiran leukosit

tersebut pada mukosa mata merupakan hasil dari

komunikasi sel-sel leukosit tersebut dengan molekul

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 31
digilib.uns.ac.id

adhesi dan kemokin (Robles-Contreras et al.,2011;

Bonini et al.,2009; Abbas et al., 2010).

ICAM-1 yang melekat dengan molekul

reseptor integrin pada eosinofil berkontribusi atas

terjadinya infiltrasi sel eosinofil, VCAM-1 akan

berinteraksi dengan Very Late Antigen-4 (VLA-4)

yang ada di permukaan sel eosinofil dan limfosit.

Interaksi antara RANTES dengan molekul reseptor

CCR1 yang ada di eosinofil dan eotaxin dengan

molekul reseptor CCR 3 yang ada di eosinofil dapat

menginduksi infiltrasi eosinofil pada mukosa mata

(Robles-Contreras et al.,2011; Bonini et al.,2009;

Hogan et al., 2008)

Sitokin IL-3, IL-5, GM-SCF yang dikeluarkan Th2

dan sel mast berguna dalam reaksi alergi fase

lambat, di mana sitokin tersebut memiliki fungsi,

mengatur perkembangan dan pematangan,

mengontrol migrasi eosinofil ke jaringan, serta

aktivasi eosinofil (Abbas et al., 2010; Hogan et al.,

2008; Kresno, 2010). .

d. Diagnosis

Diagnosis dari alergi mata secara primer dapat

ditegakkan melalui manifestasi klinis, pada VKC diagnosis


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 32
digilib.uns.ac.id

yang awal dan akurat sudah dapat ditegakkan melalui gejala

mayor (gatal) dan minor (fotofobia, rasa terbakar, adanya

airmata, ptosis ringan, discharge mucoid) (La Rosa et

al.,2013; Bonini et al, 2004). Meskipun begitu terdapat

diagnosis pembantu melalui uji laboratorium (La Rosa et

al.,2013) diantaranya adalah:

1) Uji provokasi konjungtiva

Digunakan untuk melihat tingkat reaksi alergi

konjungtiva terhadap paparan alergen, uji ini dilakukan

dengan cara meneteskan alergen pada salah satu sisi

mata, dan sisi mata yang satunya ditetesi dengan basal

salt solution yang digunakan sebagai kontrol (Robles-

Contreras et al.,2011).

2) Skin prick test

Untuk megetahui alergen spesifik yang

menginduksi alergi pada manusia dan mengevaluasi

derajat sensitivitas pada agen spesifik yang

menginduksi terjadinya alergen (Robles-Contreras et

al.,2011).

Akan tetapi pada saat ini pemeriksaan uji total dan

spesifik IgE seperti pada uji kulit (skin test) tidak bisa

dipakai sebagai uji laboratorium yang berguna, hal ini

karena 50% pasien yang menderita VKC didapati


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 33
digilib.uns.ac.id

negatif pada uji laboratorium tersebut (Bonini et al.,

2004).

3) Antibodi IgE total pada air mata

Pemeriksaan ini memeriksa tingkatan jumlah IgE

pada air mata menggunakan imunocromatography

(Takamura et al.,2011).

4) Pemeriksaan Scraping konjungtiva

Bielory dan Friedlaender (2008) mengatakan

pemeriksaan scraping konjungtiva sangat membantu

dalam uji diagnosis alergi mata, adanya satu saja sel

eosinofil atau granul eosinofil merupakan bukti yang

cukup dalam menegakkan diagnosis konjungtivitis

alergi.

Pengambilan spesimen eosinofil dilakukan dengan

metode scraping konjungtiva, diambil dari kelopak

mata bawah dengan sekali usap dari medial ke lateral

menggunakan spatula iris. Spesimen difiksasi

menggunakan ETOH 95% pada kaca mikroskop dan

sampel segera diperiksa dengan pewarna Giemsa

dengan batsan waktu 2 jam (Kari et al., 2009)

Enosinofil normalnya tidak ada pada konjungtiva,

eosinofil secara umum ditemukan di lapisan bawah

substantia propria pada konjungtiva, sekitar 25% pada


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 34
digilib.uns.ac.id

pasien SAC menunjukkan eosinofil pada uji

sitologinya. Telah terbukti melalui sebuah penelitian

bahwa jumlah eosinofil pada scraping konjungtiva pada

subjek alergi mata dengan pasien kontrol (tidak alergi)

secara signifikan lebih tinggi (Kari et al.,2010;

Takamura et al.,2011; Freitas, 2011)

e. Tatalaksana

Tatalaksana pada orang yang menderita alergi

meliputi pencegahan, pemberian obat-obatan sebagai terapi

utama, dan pemberian terapi tambahan (Takamura et

al.,2011; Freitas, 2011).

1) Terapi pencegahan

a) Terapi pencegahan pada SAC

Karena penyakit ini timbul akibat respon

dari alergen serbuk sari rumput maka pasien

seharusnya menghindari aktivitas di luar gedung

sampai sore atau setelah hujan yang lebat, saat itu

level alergen di udara berkurang. Pasien juga harus

mengetahui di mana SAC bertambah parah saat

iklim panas, cuaca yang kering dan di mana suhu

yang dingin dan intensitas hujan bertambah kecil.

Pasien juga harus menjaga jendela rumah dan

menutup kaca mobil untuk mengurangi alergen


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 35
digilib.uns.ac.id

yang masuk, mencuci rambut dan baju sehabis

perjalanan ke luar rumah. Pasien juga harus hati-hati

karena alergen seperti serbuk sari dapat

ditransmisikan oleh orang lain yang masuk ke

dalam rumah, dan memakai kacamata dapat

mencegah alergen masuk ke mata (Freitas, 2011).

b) Terapi pencegahan pada PAC

Karena PAC timbul dari respon terhadap

alergen debu rumah, tungau debu, bulu binatang di

mana alergen tersebut sering didapati di dalam

rumah berarti yang harus diperhatikan adalah:

karpet harus bersih, atau ditiadakan, tidak

memelihara hewan dan jika memelihara tidak

dimasukkan ke dalam kamar. Alas tempat tidur

harus bersih, bantal dan guling harus dicuci secara

teratur. Tempat tidur harus terjaga dalam keadaan

bersih dan kering (Freitas, 2011)

c) Terapi pencegahan pada GPC

Pada GPC mengurangi atau meniadakan

stimulus mekanis pada permukaan sangat

membantu untuk mencegah terjadinya GPC

misalnya saja kontak lensa dapat disiasati dengan

penggantian cairan pembersih kontak lensa, hal ini


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 36
digilib.uns.ac.id

dapat menolong untuk mengurangi paparan protein

antigen yang ada di lensa kontak ke mata. (Tsai,

2011)

2) Terapi obat-obatan sesuai derajat keparahan

Terapi lini pertama dari konjungtivitis alergi adalah

tetes mata anti alergi yang terdiri dari stabilisator sel

mast dan antagonis reseptor Histamin H1, diikuti oleh

steroid tetes mata. Konjungtivitis yang parah akan

membutuhkan terapi tambahan obat imunosupresif,

steroid oral, injeksi steroid pada konjungtiva subtarsal

dan terapi yang paling akhir untuk dipertimbangkan

adalah pembedahan (Takamura et al., 2011)

a) Tetes Mata Anti Alergi

(1) Stabilisator sel mast

Mengandung stabilisator sel mast yang

menghambat degranulasi sel mast dan menekan

keluarnya mediator (histamin, leukotrin,

tromboxan A2), sehingga dapat menghalangi

reaksi awal hipersensitivitas tipe 1 hal ini

membuat berkurangnya infiltrasi sel-sel

inflamatorik pada konjungtiva yang membuat

reaksi hipersensitivitas tipe lambat berkurang

(Freitas, 2011).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 37
digilib.uns.ac.id

(2) Antagonis reseptor histamin H1

Kerja obat ini akan memiliki efek

mengurangi gejala hiperemia dan rasa gatal

mata melalui penghambatan degranulasi sel

mast (Takamura et al., 2011)

b) Kortikosteroid

Kortikosteroid sangat efektif dalam

mengobati konjungtivitis alergi tapi memiliki efek

samping seperti infeksi sekunder dan naiknya

tekanan intraokular dan katarak, maka dari itu

penggunaannya dilakukan secara selektif. (Freitas,

2011).

(1) Tetes mata kortikosteroid

Ketika preparat tetes mata anti alergi tidak

memiliki pengaruh yang berarti, tetes mata

steroid dapat digunakan. Penggunaannya

disesuaikan dengan keparahan klinis dari pasien

(Takamura et al., 2011).

(2) Salep mata kortikosteroid

Ketika preparat tetes mata kortikosteroid

masih tidak memiliki pengaruh terapi yang

berarti dapat digunakan salep mata

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 38
digilib.uns.ac.id

kortikosteroid. Salep dapat digunakan sebelum

tidur (Takamura et al., 2011).

(3) Kortikosteroid oral

Digunakan pada pasien dengan injeksi

konjungtiva yang parah dan dengan defek epitel

kornea, pemakaian antara 1-2 minggu,

kortikosteroid oral digunakan ketika penangan

dengan anti alergi, kortikosteroid tetes dan salep

serta obat imunosupresif tidak mampu

mengatasi manifestasi alergi mata (Takamura et

al., 2011).

(4) Injeksi kortikosteroid di konjungtiva subtarsal

Diinjeksikan pada kasus yang parah,

preparat yang digunakan adalah Triamsinolon

dan betametason pada kelopak mata atas

(Takamura et al., 2011).

c) Imunosupresif

imunosupresif diharapkan memiliki efek

yang sama atau lebih baik dari kortikosteroid.

Contoh dari obat ini adalah cyclosporine 0.05%

sampai 2% (tetes mata) dan tacrolimus 0.03%

(ointment). Cyclosporine A menghambat infiltrasi

eosinofil dengan cara menganggu jalur


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 39
digilib.uns.ac.id

hipersensitivitas tipe IV. Tacrolimus bekerja dengan

menghambat kerja sel T. Dan juga tacrolimus tetap

memiliki efek pengobatan meskipun pasien resisten

terhadap kortikosteroid (Freitas, 2011; Takamura et

al., 2009).

Kedua obat ini memiliki efek samping

sedikit dan lebih disukai untuk pengobatan penyakit

alergi konjungtivitis kronik daripada kortikosteroid.

Obat ini bagus untuk diberikan pada AKC dan VKC

dan dibatasi penggunaannya pada SAC dan PAC

(Freitas, 2011)

d) Terapi pembedahan

Untuk manifestasi klinis yang tidak dapat

diatasi dengan pemberian obat-obatan dapat

dilakukan pembedahan. Alasan dari dilakukan

pembedahan ini adalah jika hiperplasia dari epitel

konjungtiva akan merusak epitel kornea. Tindakan

bedah dilakukan jika telah dilakukan usaha untuk

meringankan gejala konjungtivitis alergi.

(Takamura et al., 2011).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 40
digilib.uns.ac.id

M
S
o
d e
e v
M r e
I r
a
L e
t
d e

Gambar 2.11 Tatalaksana Berdasarkan Derajat Keparahan Konjungtivitis Alergi


(Takamura et al, 2011)

3) Terapi tambahan

Terapi ini meliputi kompres dingin untuk

mengurangi inflamasi, kurangi menggaruk mata,

menggunakan air mata buatan untuk mencuci mata

sehingga alergen yang ada pada mata ikut terbuang keluar

dari mata. (Freitas, 2011).

3. Eosinofil

a. Definisi, Karakteristik Biologis dan Fungsi Eosinofil Secara

Umum.

Eosinofil termasuk dalam sistem imun non spesifik yang

digolongkan kedalam fagosit polimorfonuklear. Eosinofil

memiliki presentase 2-5% dari sel leukosit orang normal tanpa

alergi. Eosinofil merupakan granulosit yang memiliki lama

hidup di darah selama 2 hari dan di jaringan selama 4-10 hari

(Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 41
digilib.uns.ac.id

Ciri eosinofil adalah intinya bilobus, memiliki granul

spesifik dengan banyak sekitar 200 per sel, berbentuk oval dan

mempunyai inti kristalin pipih, mengandung protein basa utama

yang kaya arginin sehingga memberikan sifat asidofilia pada

granul eosinofil (Mescher, 2011). Eosinofil bertanggung jawab

dalam banyak proses patogenesis inflamatorik. Infeksi cacing

parasit, infeksi bakteri dan virus, cedera jaringan, imunitas

terhadap tumor dan penyakit alergi proses inflamasinya

melibatkan eosinofil (Hogan et al., 2008).

Saat aktif oleh karena berbagai stimulan, eosinofil

mengekspresikan sitokin proinflamasi di antaranya adalah: IL-2,

IL-3, IL-4, IL-5, IL-12, IL-13, IL-18 dan GM-CSF Juga

menghasilkan kemokin, diantaranya adalah: CCL5/RANTES,

IL-8, dan MIP-1α dan CCL11/eotaxin-1, juga menghasilkan

Prostaglandin (vasodilatasi dan kemotaksis neutrofil), leukotrin

(LT) C 4 (menaikan permeabilitas vaskular) dan platelet-

activating factor (kemotaksis dan aktivasi leukosit serta

menaikan permeabilitas vaskular) (Hogan et al., 2008; Abbas et

al., 2010).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 42
digilib.uns.ac.id

Tabel 2.1 Sitokin dan Fungsinya (Abbas et al., 2010)

Sitokin Fungsi (Sel target dan efek biologisnya)

Sel T : Proliferasi, menaikan sintesis sitokin, apopotosis


melalui potensiasi Fas, merangsang perkembangan sel T-
IL-2 regulatory,
sel NK : Aktivasi dan proliferasi sel NK
Sel B : Proliferasi dan sintesis antibodi

Sel B : pegalihan kelas imunoglobulin menjadi IgE


IL-4 Sel T : diferensiasi menjadi sel Th2, proliferasi
Sel mast : proliferation

IL-8 Berperan dalam rekruitasi neutrofil

Sel T : diferensiasi ke Th1


IL-12 Sel NK dan Sel T : sintesis IFN-γ , menaikan aktivitas
sitotoksik
Sel B : pengalihan kelas imunoglobulin menjadi IgE
Sel epitel : menaikan produksi mukus
IL-13
Fibroblas : menaikan sintesis kolagen
Makrofag : menaikan sintesis kolagen

IL-18 Sel NK dan Sel T : sintesis IFN-γ

Berperan dalam rekruitmen leukosit yang mempunyai


MIP-1α
reseptor CCR1 dan CCR3

Eosinofil mengandung 4 tipe organela sekretorik, mereka

adalah: granula kristaloid (crystalloid granules), granula primer

(primary granules), granula kecil (small granules), dan vesikel

sekretorik (secretory vesicles) (Hogan et al., 2008).

Granula kristaloid memiliki diameter 0,5-0,8 µm dan

merupakan yang terbesar dari keempat organela sekretorik

eosinofil, menyimpan sebagian besar protein-protein dari granula

eosinofil di mana commit


terdapatto empat
user protein dasar, mereka adalah:
perpustakaan.uns.ac.id 43
digilib.uns.ac.id

Major Basic protein (MBP), Eosinophil peroxidase (EPO),

eosinophil catationic protein (ECP), dan eosinophil-derived

neurotoxin (EDN) (Hogan et al., 2008).

1) Major Basic Protein (MBP)

Dalam eosinofil, major basic protein selesai disintesis

selama pematangan sel eosinofil, jumlahnya 5-10 pg/sel.

Major basic protein memiliki efek toksik terhadap cacing

parasit, bakteri, dan jaringan normal (Hogan et al., 2008;

Abbas et al., 2010).

2) Eosinophil Peroxidase (EPO)

Dalam eosinofil, eosinophil peroxidase jumlahnya

sekitar 15 pg/sel. EPO berfungsi dalam proses pembunuhan

bakteri, di mana EPO akan menghasilkan asam hipoklorat

dan hipobromat yang toxic terhadap cacing parasit,

protozoa dan sel pejamu (Hogan et al., 2008; Abbas et al.,

2010).

3) Eosinophil Catationic Protein (ECP)

Dalam eosinofil eosinophil catationic protein

jumlahnya 15-25 pg/sel. ECP berperan sebagai bakterisidal,

ECP sendiri mampu merangsang degranulasi sel mast, dan

toksik terhadap cacing parasit serta jaringan normal

(Hogan et al., 2008; Abbas et al., 2010).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 44
digilib.uns.ac.id

4) Eosinophil-Derived Neurotoxin (EDN)

Selain diekspresikan oleh eosinofil EDN juga

diekspresikan oleh neutrofil. EDN jumlahnya 10 pg/sel,

diketahui EDN memiliki kemampuan antiviral (Hogan et

al., 2008).

b. Ekstravasasi eosinofil

Infiltrasi eosinofil merupakan salah satu karakteristik dari

semua tipe penyakit konjungtivitis alergi, pada orang normal

eosinofil tidak ditemukan di epitel konjungtiva meskipun

sejumlah kecil dari eosinofil terdapat pada substantia propria

konjungtiva (Bonini et al., 2009).

Sel mast pada hipersensitivitas tipe 1 akan menginduksi

keluarnya kemokin dan faktor adhesi yang ada di pembuluh

darah, fibroblas, dan serabut otot halus. Keluarnya kemokin

dan faktor adhesi inilah yang mengatur terjadinya ekstravasasi

atau rekruitmen eosinofil dari darah menuju jaringan, terjadi

sebagai berikut:

1) Vascular Endothelial Adhesion Molecules-1 (VCAM-1)

membuat eosinofil menempel (adhesi) pada sel endotel

pembuluh darah (Kresno, 2010). Tidak hanya VCAM-1

tetapi juga Intracellular Adhesion Molecule (ICAM-1) yang

diekspresikan di sel endotel pembuluh darah (Hogan et al.,

2008). Pada sel epitel konjungtiva juga didapati


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 45
digilib.uns.ac.id

mensekresikan ICAM-1 (merupakan molekul adhesi) pada

30 menit setelah provokasi pada mata (adalah waktu yang

sama saat eosinofil menginfiltrasi mata) (Bielory, 2000).

2) Migrasi eosinofil ke dalam jaringan diatur oleh IL-5, IL-3

dan GM-SCF di mana sitokin tersebut merupakan sitokin

yang dikeluarkan oleh sel Th2 (Kresno, 2010).

3) Ekspresi atau pengeluaran VCAM-1 terus distimulasi

selama terdapat IL-4 dan IL-13 (merupakan sitokin ekspresi

sel eosinofil, Th2) (Kresno, 2010)

4) Sitokin IL-5, IL-3 dan GMSCF akan meningkatkan

metabolisme oksidatif yaitu ekspresi reseptor membran dan

pelepasan protein granula Major Basic Protein (MBP),

Eosinophil Peroxidase (EPO), Eosinophil Catationic

Protein (ECP), dan Eosinophil-Derived Neurotoxin (EDN)

(Kresno, 2010; Bonini et al., 2009).

5) Eotaxin yang merupakan kemokin untuk menstimulasi

esonofil masuk ke konjungtiva dihasilkan oleh fibroblas

konjungtiva akibat adanya rangsangan dari sitokin IL-5, IL-

4, dan TNF-alfa yang diproduksi oleh sel Th2 (Bonini et

al., 2009).

c. Eosinofil dalam konjungtivtis alergi

Montan dan Hage-Hamsten (1996) meneliti kandungan

ECP pada pasien konjungtivitis alergi dengan hasil terdapat ECP


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 46
digilib.uns.ac.id

pada air mata pasien SAC, AKC, VKC, GPC. Freitas (2011)

mengatakan scraping konjungtiva pada pasien konjungtivitis

alergi akan didapati eosinofil. Eosinofil pada konjungtivitis

alergi juga bisa didapati melalui biopsi konjungtiva melalui

fornix kelopak mata bawah (Kari et al., 2010).

Pada orang normal eosinofil tidak akan ditemukan pada

epitel konjungtiva, ditemukan sedikit jumlahnya pada substantia

propria, sedangkan pada pasien konjungtivitis alergi eoinofil

dengan nyata akan meningkat pada substantia propria

konjungtiva dan terdapat juga pada epitelium konjungtiva

(Bonini et al., 2009).

Keadaan VKC yang parah seperti plak kornea atau Shield

ulcer, sebelumnya didahului oleh adanya infiltrasi dan

degranulasi eosinofil di limbus yang menyebabkan gangguan

pada epitel kornea akibat protein sitotoksik yang dilepaskan oleh

eosinofil (Bonini et al., 2009). Tranta’s dots pada VKC

merupakan agregasi dari eosinofil dan sel epitel pada limbus

(Bonini et al., 2004).

Pada pemeriksaan scraping konjungtiva eosinofil nampak

pada 25% populasi penderita SAC, 43% pada populasi

penderita PAC, pada pasien VKC scraping konjungtivanya

didapati eosinofil dalam jumlah banyak, pada AKC juga dapat

dijumpai eosinofil pada scraping konjungtiva meskipun tidak


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 47
digilib.uns.ac.id

sebanyak AKC dan Scraping konjungtiva pada GPC juga

dijumpai eosinofil (Ventocilla, 2014).

4. Penderajatan Alergi Mata

Bore et al (2014) memberikan usulan sistem penderajatan

konjungtivitis alergi, yang mengikutkan gejala klinis yang

dirasakan pasien selain tanda klinis yang ditemukan oleh dokter.

Skor atau nilai yang didapat dari penderajatan alergi mata akan

mengindikasikan derajat keparahan klinisnya. Penderajatan alergi

mata akan memberi dampak untuk membuat keputusan klinis

terutama dalam memilih pengobatan pada pasien.

Sistem penderajatan pada total disajikan berdasarkan skala 1-

36 dimana 1-9 = ringan, 10-18 = sedang, 19-27 = cukup parah dan

28-36 = parah, skala ini akan dibagi menjadi skala evaluasi dari

derajat keparahan gejala di mana memiliki total poin 20 dan skala

evaluasi dari derajat keparahan tanda klinis memiliki total poin 16

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 48
digilib.uns.ac.id

Tabel 2.2 Evaluasi Derajat Keparahan Berdasar Gejala untuk Penyakit Konjungtivitis Alergi
(Bore et al.,2014).

Evaluasi Derajat Keparahan Berdasar Gejala untuk Penyakit konjungtivitis alergi


frekuensi
0 1 2 3 4
Rasa (tidak (jarang (kadang (sering (selalu
pada merasakan) merasakan) merasakan) merasakan) merasakan)
Mata

Gatal

Mengeluarkan air
mata berlebih

Sakit saat melihat


cahaya

Seperti terdapat
pasir di mata

Rasa panas seperti


terbakar

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 49
digilib.uns.ac.id

Tabel 2.3 Evaluasi Derajat Keparahan Berdasar Tanda Untuk Penyakit Konjungtivitis
Alergi (Bore et al.,2014).

Tingkatan
1 2 3 4
ringan sedang cukup parah Parah
Tanda klinis

Papil
Papil Makro : Papil raksasa
Papil Mikro : Cobblestone :
0,3 sampai lebih dari atau
Papil Kurang dari 0,5 sampai
kurang dari 0,5 sama dengan
0,3 mm kurang dari
mm 1mm
1mm

Hiperemi Hiperemi
ditambah ditambah Hiperemi
dengan dengan ditambah
Konjungtiva Hiperemi
pembengkakan pembengkakan dengan Cyst like
konjungtiva konjungtiva chemosis
parsial difus

Erosi epitel Keratokonus


konjungtiva dengan atau
Kornea SPK sektoral SPK Difus
atau shield tanpa leukoma
ulcer sentral

Terjadi
Limbus Kurang dari Lebih dari konjungtivalisasi
(penebalan Tidak ada setengah setengah pada kornea
limbus / manifestasi sirkumfersensi sirkumferensi sehingga
trantas dots) limbus limbus mengganggu
axis penglihatan
Kererangan :
SPK (superficial punctuate kerathopathy)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 50
digilib.uns.ac.id

B. Kerangka Pemikiran

Alergen

atopi
Sensitisasi
berulang
Reaksi alergi

Lipid mediator: Kemokin: Sitokin: IL-1, IL-3, Vasoactive amine Molekul Adhesi:
Prostaglandin, RANTES, Eoataxin IL-4 IL-5, IL-6, IL- dan protease ICAM-I , VCAM
leukotrin 13, MIP-1α , MIP-
β, GM-CSF
E
K
S
A
S Eosinofil dari pembuluh Eosinofil dari substantia
E darah propria konjungtiva
R
B
A Eosinofilia yang dieksklusikan: Eosinofil di epitel
S infeksi cacing parasit, infeksi konjungtiva
I bakteri atau virus akut

Sitokin : IL-2,IL-3*,IL- Kemokin: RANTES*, Protein tissue Lipid mediator :


4, IL 5*,IL-12,IL-13,IL- Eoataxin*, IL-8, dan toxic: MBP, EDN, Prostaglandin,
18, GM-CSF* MIP-1α EPO, ECP leukotrin*,PAF

* *

Inflamasi dan kerusakan jaringan

Penyakit Konjungtivitis Alergi

Derajat keparahan penyakit

Konjungtivitis alergi

: Tidak diteliticommit to user : Diteliti

Gambar 2.12 Kerangka Pemikiran


perpustakaan.uns.ac.id 51
digilib.uns.ac.id

C. Hipotesis
Terdapat pola keteraturan temuan eosinofil mukosa konjungtiva

mata dan derajat keparahan klinis pada penyakit konjungtivitis alergi.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai