Anda di halaman 1dari 51

BAB II

TINJAUN PUSTAKA

2.1 Tanaman Daun Jambu Biji ( Psidium guajava Linn )

2.1.1 Klasifikasi tanaman Daun Jambu Biji ( Psisdium guajava Linn )

Gambar 2.1 Gambar Pohon Dan Daun Jambu Biji

http://www.google.com/search/q=gambar+jambu+biji&tbm

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Mrytales

Famili : Myrtaceae

Genus : Psidium

Spesies : Psidium guajava Linn ( Indah Sri Utami, 2008 )

8
2.1.2 Nama Daerah

Glima Breueh (Aceh); Glimeu Beru (Gayo); Galiman (Batak);

Masiambu (Nias); Jambu Biji (Melayu); Jambu Klutuk (Sunda); Jambu

Klutuk (Jawa Tengah); Jambu Biji (Madura); Sotong (Bali);

Libu(Dayak); Gayomas (Manado); Dambu(Gorontalo); Hiabuto (Buol);

Jambu (Bare); Jambu Paratugala (Makassar); Jambu Paratukala (Bugis);

Guawa (Ende); Gothawas (Sika); Kejawas (Timor); Kejabos (Roti);

Koyawase (Seram); Lutu Hatu (Ambon); Gewaya (Halmahera); Guwaya

(Ternate).(Tandi Herbie, 2015)

2.1.3. Deskripsi Tanaman Daun Jambu Biji ( Psidium guajava Linn)

Tanaman jambu biji adalah salah satu tanaman buah jenis perdu,

yang berasal dari meksiko, kemudian tersebar hingga Amerika Selatan,

Eropa, Afrika dan Asia. Tanaman ini tumbuh didaerah tropis dan

subtropics diseluruh penjuru dunia. Tanaman jambu biji telah dikenal

dalam pengobatan tradisonal untuk mengobati diare, disentri dan

berbagai macam penyakit perut lainnya. (Gutierrez et al.,2008). Tanaman

ini sangat adaptif dan dapat tumbuh tanpa pemeliharaan. Di Jawa sering

ditanam sebagai tanaman buah, sangat sering hidup alamiah ditepi hutan

dan padang rumput (Cahyadi, 2005).

Tanaman Jambu Biji (Psidium guajava Linn) tumbuh dengan

ketinggian hingga 2-10m, percabangan banyak, batangnya berkayu,

keras, kulit batang licin, mengelupas, berwarna cokelat kehijauan. Bunga

9
tunggal, bertangkai, keluar dari ketiak daun, berkumpul 1-3 bunga,

berwarna putih. Buahnya buah buni, berbentuk bulat sampai bulat telur,

berwarna hijau sampai hijau kekuningan. Daging buah tebal, buah yang

masak bertekstur lunak, berawarna putih kekuningan atau merah jambu.

Biji buah banyak mengumpul ditengah, kecil-kecil, keras, berwarna

kuning kecoklatan (Anonymous, 2006ª).

Buah Jambu Biji biasa digunakan sebagai makanan atau diolah untuk

menjadi produk minuman jus dan selai. Pemanfaatan lain untuk tanaman

ini selalu dikaitkan dengan bidang kesehatan. (Gutierrez et al.,2008)

telah mengungkapkan potensi aktivitas farmakologis ekstrak tanaman

Jambu Biji secara keseluruhan dari bagian daun, bunga, kulit kayu,

hingga akar tanaman tersebut. Aktivitas tersebut antara lain antioksidan,

hepatoprotektif, antialergi, antimikroba, antigenotiksik, antiplasmodial,

sitotoksik, antispasmodik, kardioaktif, antibatuk, antidiabetes,

antiinflamasi, dan antinosieptif (Gutierrez et al.,2008)

2.1.4. Kandungan Zat Aktif

Daun Jambu Biji mengandung zat akti seperti zat samak, minyak

atsiri, triterpenoid, leukosianidin, quersetin, asam arjunalot, resin,

flavonoid, saponin, tanin dan minyak lemak. Berdasarkan penelitian

yang dilakukan oleh Esti Dyah Utami (2018). Senyawa aktif Quercetin

dalam daun jambu biji yang diduga memiliki aktivitas anti alergi

10
dengan mekanisme penghambat pelepasan histamin dari sel mast pada

dosis 150mg/kg BB ( Esti Dyah Utami, dkk 2018).

Penelitian lain mengatakan bahwa secara lebih spesifik menjelaskan

bahwa quercetin merupakan senyawa golongan flavonoid jenis flavonol

dan flavon, senyawa ini banyak terdapat pada tanaman famili Myrtaceae

dan Solanacea (Yolanda Fratiwi, 2015).

1. Tanin

Tanin memiliki rasa sepat (astringency). Rasa sepat ini

umumnya terjadi karena adanya presipitasi protein yag melapisi

rongga mulut dan lidah atau karena terjadinya penyamakan pada

lapisan rongga mulut oleh tanin. Pada umumnya tanin terdapat pada

setiap tanaman yang letak dan jumlahnya berbeda tergantung pada

jenis tanaman, umur dan organ-organ dari tanaman itu sendiri

(Winarno, 1988). Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh.

Di dalam tumbuhan letak tanin terpisah dari protein dan enzim

sitoplasma (Harborne, 1987).

Tanin meupakan senyawa “growth inhibitor” yang banyak

menyebabkan mikroorganisme dapat dihambat pertumbuhannya oleh

tanin. Enzim yang dikeluarkan oleh mikroba pada dasarnya adalah

protein dan protein akan mengendap oleh tanin sehingga enzim

tersebut tidak akan aktif (Winarno,1981).

11
2. Minyak Atsiri

Minyak atsiri merupakan senyawa terpenoid. Secara kimia,

terpenoid umumnya larut dalam lemak dan terdapat dalam sitoplasma

sel tumbuhan. Kadang-kadang minyak atsiri terdapat didalam sel

kelenjar khusus pada permukaan daun (Harbone, 1987). Sifal fisik

terpenting minyak atsiri adalah sangat muddah menguap pada suhu

kamar dan larut dalam lemak. Famili tumbuhan Lauraceae,

Myrtaceae, Rutaceae, Myristicaceae, Asteraceae, Apocynaceae,

Umbeliferae, Pinaceae, Rosaceae dan Labiatae adalah famili

tumbuhan yang sangat populer sebagai penghasil minyak atsiri

(Agusta, 2000).

Fungsi minyak atsiri yang paling luas umum diminati adalah

sebagai pengharum, baik itu sebagai farpum untuk tubuh, kosmetik,

pengharum ruangan, pengarum sabun, pasta gigi, pemberi cita rasa

pada makanan maupun produk rumah tangga lainnya (Agusta, 2000).

3. Flavonoid

Semua flavonoid menurut strukturnya merupakan turunan

senyawa induk flavon. Flavonoid berupa senyawa yang alrut dalam

air. Flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan berpembuluh dan

dijumpai hanya sebagai campuran, karena jaang sekali dijumpai

flavonoid tunggal dalam jaringan tumbuhan (Harbone, 1987).

Quersetin adalah senyawa golongan flavonoid jenis flavonol dan

flavon. Quersetin juga adalah salah satu dari senyaa yang paling

12
umum pada tumbuhan berpembuluh, senyawa ini juga diketahui bisa

sebagai anti alergi (Esti Dyah Utami, dkk 2018).

2.1.5 Khasiat Daun Jambu Biji (Psidium guajava Linn)

Ditinjau dari segi khasiatnya daun Jambu Biji berkhasiat sebagai

obat anti diare, antiseptic, menurunkan, kadar kolesterol, sembelit,

keputihan,demam berdarah, dan beberapa penyakit lainnya. Jambu biji

banyak banyak dimanfaatkan masyarakat untuk meningkatkan kadar

trombosit darah ketika terjadi serangan demam berdarah, selain itu juga

dapat meningkatkan kualitas trombost yang terbentuk sehingga dapat

berfungsi secara normal kembali (Hendri Wasito, 2011).

Selain itu juga daun Jambu Biji mengandung banyak senyawa-

senyawa seperti flavonoid, minyak atsiri, vitamin A, dan zat samak.

Salah satu senyawa Quersetin yang termasuk dalam golongan flavonid

bisa dimanfaatkan sebagai anti alergi (Esti Dyah Utami, 2018).

Quersetin terdapat dibanyak sayuran dan buah-buahan, sumber

terpenting adalah bawang, buah apel, dan teh. Dalam bahan-bahan

tersebut quersetin (sebagai aglukon) terikat dengan masing-masing

glukosa, galaktosa, dan rutinonida menjadi glikosidanya. Berkhasiat anti

tumor kuat antara lain dengan mengikat zat-zat karsinogen dan

menghambat poliferasisel melalui inisiasi dan system imun distumulasi

olehya( Tjay dan Raharja, 2015). Quersetin juga bisa mengatasi alergi

dan urtikaria (Prof. Dr. Abdul Basith Muhammad as-sayyid, 2014).

13
2.2 Simplisia

2.2.1 Pengertian Simplisia

Menurut Didik gunawan dan Sri mulyani (2004), istilah simplisia

dipakai untuk menyebut bahan-bahan obat alam yang masih berada

dalam wujud aslinya atau belum mengalami perubahan bentuk.

Departemen kesehatan RI membuat batasan tentang simplisia sebagai

berikut. Simplisia adalah bahan alami yang digunakan untuk obat dan

yang belum mengalami perubahan proses apapun, dan kecuali dinyatakan

lain umumnya berupa bahan yang dtelah dkerigkan. Berdasarkan hal itu

maka simplisia dibagi menjadi tiga golongan yaitu simplisia nabati,

simplisia hewan, simplisia pelican (mineral). (Didik Gunaawan dan Sri

Mulyani, 2004).

1) Simplisia Nabati

Simplisia nabati adalah simplisia yang dapt berupa tanama utuh,

bagian dari tanaman (akar, batang, daun, dan sebagainya), atau

eksduat tanaman, adalaha isi sel secara spontan dikeluarkan dari

tanaman dengan cara tertentu sengaja dikeluarkan dari sel atau za-zat

lain atau bahan-bahan nabati lainnya yang dengan cara tertentu

dipiisahkan atau diisolasi dari tanamannnya. (Sri Mulyani, 2004)

2) Simplisia Hewani

Simplisia hewani adalah simplisia berupa hewan utuh atau zat-

zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia

murni. (Sri Mulyani, 2004)

14
3) Simplisia Pelikan (Mineral)

Simplisia mineral adalah simplisia yang berupa bahan pelican

atau mineral yangg belum diolah atau telah diolah dengan cara

sederhana, akan tetapi belum atau bukan berupa zat kimia murni.

(Sri Mulyani, 2004)

2.2.2 Proses Pembuatan Simplisia

Dasar pembuatan simplisia meliputi beberapa tahan. Adapun tahapan

tersebut dimulai dari pengumpulan bahan baku, sortasi basah, pencucian,

penyaringan, pengubahan bentuk (perajangan), pengeringan, sortasi

kering pengepakan dan penyimpanan. (Sri Mulyani, 2004)

1. Pengumpulan Bahan Baku

Kadar bahan aktif dalam simplisia bergantung pada :

a. Bagian tanaman yang digunakan

b. Usia tanaman atau bagian tanaman saat panen

c. Waktu panen

d. Lingkunga tumbuh. (Sri Mulyani, 2004)

2. Sortasi Basah

Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan cemaran (kotoran

dan bahan asing lain) dari bahan simplisia. Pembersihan simplisia

dari tanah dapat mengurangi jumlah kontaminasi mikrobiologi. (Sri

Mulyani, 2004)

15
3. Pencucian

Pencucian dilakukan dengan air bersih (sumur, PAM, atau air

dari mata air). Simplisia yang mengandung zat mudah larut dalam

air, dicuci dalam waktu sesingkat mungkin. Dalam satu kali

pencucian sayur-mayur akan menghilangkan lebih kurang 25%

jumlah mikroba awal, 3kali pencucian, jumalh ikroba tertinggal 74%

dari jumlah mikroba awal. Jadi penting sekali diperhatikan kualitas

dari pencucian yan digunakan. (Sri Mulyani, 2004)

4. Pengubahan Bentuk

Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah

proses pengeringan, pengepakan dan penggilingan. Tanaman yang

baru dipanen, sebelum dirajang, terlebih dahulu dijemur dalam

keadaan utuh selama satu hari. Perajang dapat dilakukan dengan

pisau atau mesin perajangan khusus sehingga diperoleh irisan tipis

atau potongan dengan ukuran tertentu. (Goeswin Agoes, 2007)

5. Pengeringan

Pengeringan bertujuan untuk mendapatkan simplisia yang tidak

mudah rusak sehingga dapat mudah disimpan untuk jangka waktu

yang lebih lama. Dengan penurunan kadar air, hal tersebut dapat

menghentikan reaksi enzimatik sehingga dapat dicegah terjadinya

penuruna mutu atau perusakan simplisia. Suhu pengeringan

tergnatung pada simplisia dan cara pengeringan, pengeringan dapat

dilakukan antara suhu 300c-900c terbaik 600c. Jika simplisia

16
mengandung bahan aktif tidak tahan panas atau mudah menguap,

pengeringan dilakukan pada suhu serendah mungkin, misalnya 300c-

400c atau dengan cara pnegeringan vakum. (Goeswin Agoes, 2007)

6. Sortasi Kering

Sortasi setelah pengeringan merupakan tahapan akhir

pembuatan simplisia. Tujuan sortasi adalah untuk memisahkan

benda asing, seperti bagian tanaman yang tidak diinginkan dan

pengotor lain yang masih ada atau tertinggal pada simplisia kering.

Proses ini sebaiknya dilakukan sebelum dilakukan pengemasan

simplisia. (Goeswin Agoes, 2007)

7. Pengepakan Dan Penyimpanan

Simplisia dapat rusak atau berubqah mutuya karena faktor

internal atau eksternal simplisia yaitu cahaya, oksigen udara, reaksi

kimia internal, dehidrasi, penguapan air, pengotoran, serangga,

kapang. (Goeswin Agoes, 2007)

8. Pemeriksaan Mutu

Simplisia dinyatakan bermutu menurut farmakope indonesia,

apabila simplisia yang bersangkutan memenuhi persyaratan pada

pemeriksaan mutu simplisia pemeriksaan dilakukan dengan cara

organoleptik, makroskopik, mikroskopik, dan atau cara kimia.

Beberapa jenis simplisia tertentu ada yang perlu diperiksa dengan uji

mutu secara biologis.

17
Adapun 5 macam pemeriksaan untuk menilai simplisia tersebut

menurut Susilowati dan Kiki W. (2010) antara lain:

1) Secara Organoleptik

Adalah cara pemeriksaan dengan panca indera dan meliputi

pemeriksaan terhadap bentuk, bau, rasa pada lidah dan tangan,

kadang-kadang pengamatan dengan pendengaran, dalam hal ini yang

harus diperhatikan adalah bentuk, ukuran, warna bagian luar dan

dalam, retakan-retakan atau gambaran-gambaran dan susnan

bahannya (berserat-serat, bergumpal dan sebagainya).

2) Secara Mikroskopik

Umumnya meliputi pengamatan terhadap irisan melintang dan

terhadap serbuk.

3) Secara Fisika

Meliputi penetapan daya larut, bobot jenis, rotasi optik, titik

lebur, titik beku, kadar air, sifat-sifat simplisia dibawah sinar UV,

pengamatan mikroskopik dengan sinar polarisas.

4) Secara Kimia

Identifikasi kualitatif pada umumnya berupa reaksi warna atau

pengendapan. Sebelumnya dilakukan terlebih dahulu isolasi senyawa

kimia yang dikehendaki dengan cara pelarutan, penyaringan,

mikrosublimasi. Dan kemudian analisis kuantitatif atau penetapan

kadar.

18
5) Secara Biologis

Berupa penetapan potensi zat berkhasiat suatu simplisia

(Susilowati-Kiki W. 2010).

Sedangkan pesyaratan wadah yang digunakan sebagai

pembungkus simplisia sebagai berikut :

a) Harus inert, artinya tidak mudah bereaksi dengan bahan lain.

b) Tidak beracun bagi bahan yang diwadahinya maupun bagi

manusia yang menanganinya.

c) Mampu melindungi simplisia dari cemaran mikroba, kotoran dan

serangga.

d) Mampu melindungi bahan simplisia dari penguapan kandungan

aktif

e) Mampu melindungi bahan simplisia dari pengaruh cahaya,

oksigen dan uap air. (Didik gunawan dan Sri Mulyani, 2004)

2.3 Ekstrak

Menurut Farmakope Indonesia jilid IV, Ekstrak adalah sediaan pekat yang

diperoleh dengan mengekstraksi zat akti aktif dari simplisia nabati atau

simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau

hampir semua pelarut duapkan dan massa atau serbuk yang tersisa

diperlakukan sedeikian sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan

(Syamsuni, 2007).

19
Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku obat

secara perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan dengan cara destilasi

dengan pengurangan tekanan agar bahan utama obat sesedikit mungkin terkena

panas (Syamsuni, 2007).

Ekstrak cair adalah sediaan cair simplisia nabati yang mengandung etanol

sebagai pelarut, pengawet atau kedua-duanya. Jika tidak dinyatakan lain pada

masing-masing monografi, tiap mililiter ekstrak mengandung bahan aktif dari

1g simplisia yang memenuhi syarat. Ekstrak cair dapat dibuat dari ekstrak yang

sesuai. Ekstrak cair yang cenderung membentuk endapan dapat didiamkan dan

disaring atau bagian yang beningnya dituangkan. Beningnya yang diperoleh

memenuhi persyaatan farmakope (Syamsuni, 2007).

Menurut literatur lain, ekstrak ada tiga macam yaitu ekstrak kering

(siccum), kental (spissum), dan cair (liquidum), yang dibuat dengan menyari

simplisia nabati atau hewani menurut cara yang sesuai diluar pengaruh cahaya

matahari langsung. Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk. Cairan

penyari yang dipakai adalah air, eter, serta campuan etanol dan air (Syamsuni,

2007).

.3.1 Penarikan (Extraction)

Extractio berasal dari perkataan “ extrahere”, “ to draw out” ,

menari sari, yaitu suatu cara untuk menarik satu atau lebih zat dari bahan

asal. Umumnya zat berkhasiat tersebut dapat ditarik, namum khasiatnya

tidak berubah (Syamsuni, 2007).

20
Umumnya ekstraksi dikerjakan untuk simplisia yang mengandung

zat-zat yang berkhasiat atau zat-zat lain untuk keperluan tertentu.

Simplisia (hewan/tumbuhan) mengandung bermacam-macam zzat atau

senyawa tunggal; sebagian mengandung khasiat pengobatan, misalnya

bermacam-macam alkaloid, glukosida, damar, oleoresin, minyak atsiri,

lemak, dan sebagainya. Disamping itu, terdapat juga jenis-jenis gula, zat

pati, zat lendir, albumin, protein, pektin, selulosa, dan lain-lain.

Umumnya mempunyai daya larut dalam cairan pelarut tertentu, dan sifat-

sifat kelarutan ini dimanfaatkan dalam ekstraksi.

Tujuan utama ekstraksi ialah mendapatkan atau memisahkan

sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat pengobatan

(concentrata) dari zat-zat yang tidak berfaedah, agar lebih mudah

dipergunakan (kemudian diabsorpsi, rasa, pemakaian, dan lain-lain) dan

disimpan dibandingkan simplisia asal, dan tujuan pengobatannya lebih

terjamin. (Syamsuni, 2007)

2.3.2 Metode Ekstraksi

1) Metode Ekstraksi Dengan Cara Dingin

Yang dimaksud dengan penyarian cara dingin adalah penyarian yang

tidak memerlukan pemanasan baik secara diatas api langsung atau

tidak langsung, melainkan hanya melarutkan zat aktif didalam cairan

penyari yang dikocok, yang termasuk dalam penyarian dengan cara

dingin yaitu:

21
a) Maserasi

Maserasi berasal dari kata “macerare” artinya melunakan.

Maserata adalaha hasil penarikan simplisia dengan cara maserasi,

sedangkan maserasi adalah cara penarikan simplisia dengan

merendam simplisia tersebut dalam cairan penyari pada suhu

biasa ataupun memakai pemanasan. Ph. Belanda VI menetapkan

suhunya 15o-25o. Maserasi juga merupakan proses pendahuluan

untuk pembuatan secara perkolasi. Berapa lama simplisia hars

dimaserasi, tergantung pada keadaanya, biasanya ditentukan pada

tiap pembuatan sediaan. Jika tidak ada ketentuan lain, biasanya

setengah sampai dua jam, sedangkan menurut Ph. Belanja VI

untuk pembuatan ekstrak atau tingtur adalah selama 5hari.

Keuntungan dari metode ini antara lain sebagai berikut :

1) Unit alat yang dipakai sederhana, hanya dibutuhkan bejana

perendam

2) Biaya operasionalnya relatif rendah

3) Prosesnya relatif hemat penyari

4) Tanpa pemanasan

Kelemahan dari metode ini antara lain sebagai berikut :

1) Proses penyarian tidak sempurna, karena zat aktif hanya mampu

terekstraksi sebesar 50% saja.

22
2) Prosesnya lama, butuh waktu beberapa hari.

Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-

etanol, atau pelarut lain. bila cairan penyari yang digunakan air

maka untuk mencegah timbulnya kapang, dapat ditambahkan

bahan pengawet yang diberikan pada awal penyarian.

b) Perkolasi

Istilah perkolasi berasal dari bahsa latin per yang artinya

“melalui” dan colare yang artinya “merembas”, secara umum dapat

dinyatakn sebagai proses dimana obat yang sudah halus, zat yang

dilarutannya diekstraksi dalam pelarut yang cocok dengan melawatkan

perlahan-lahan melalui obat dalam suatu kolom. Obat ini dimanfaatkan

dalam alat ekstaksi khusus disebut perkolator, dengan ekstrak yang

telah dikumpulkan yang disebut perkolat. Kebanyakan ekstraksi obat

dikerjakan dengan cara perkolasi. (Ansel, 1985)

Lakukan perkolasi menurut cara yang tertera pada tinctura.

Setelah perkolator ditutup dan dibiarkan selama 24jam, biarkan cairan

mnetes, tuangi masa dengan cairan penyari hingga jika 500mg perkolat

yang keluar terakhir diuapkan tidak akan meninggalkan sisa. Perkolat

disuling atau diuapkan dengan tekanan rendah pada suhu tidak lebih

dari 50oc hingga dicapai konsistensi yang dikehendaki. (Syamsuni,

2007)

23
2) Metode Ekstraksi Dengan Cara Panas

Penyarian dengan cara panas adalah penyarian yang memerlukan

pemanasan baik dengan cara pemanasan diatas api langsung atau tidak

langsung, yaitu termasuk dalam penyarian cara panas adalah :

a) Infudasi

Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia

nabati dengan air panas pada suhu 90oc selama 15menit. (Syamsuni,

2007)

b) Destilasi

Destilasi merupakan suatu perubahan cairan menjadi uap dan uap

tersebut didinginkan kembali menjadi cairan. Unit operasi destilasi

merupakan metode yang digunakan untuk memisahkan komponen-

komponen tersebut antara fase uap dan fase air. Syarat utama dalam

operasi pemisahan komponen-komponen dengan cara destilasi adalah

komposisi uap harus berbeda dengan komposisi cairan dengan terjadi

keseimbangan larutan-larutan dengan komponen-komponennya cukup

dapat menguap. (Depkes RI, 2000)

c) Refluk

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut dalam temperatur titik

didihnya, selama waktu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan

dengan adanya pendinginan baik. Umumnya dilakukan dengan.

24
Pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5kali sehingga dapat

termasuk proses ekstraksi sempurna. (Depkes RI, 2000).

d) Soxhletasi

Metode soxhletasi disebut juga penyairan berkesinambunga merupak

gabungan ari metode maserasi dan perkolasi. Cairan penyari diisikan

pada labu, serbuk simplisia pada tabung dari kertas saring atau berlubang

dari gelas, baja tahan karat atau bahan lain yang cocok. Cairan penyari

dipanaskan hingga mendidih. Uap penyari akan naik keatas melalui pipa

uap, kemudian diembunkan kembali oleh pendingin tegak. Cairan turun

ke labu melalui tabung yan berisi serbuk, sambil melarutkan zat aktif

serbuk simplisia. Cairan akan menguap kembali berulang seperti proses

diatas. (Depkes RI, 2000)

e) Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik, dengan mengaduk kontinu pada

temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu

secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC. (Depkes RI, 2000)

f) Dekokta

Dekokta adalah sediaan cair yang buat dibuat dengan mengekstraksi

sediian hral dengan air paa suhu 90oC selama 30menit. (Anonim, 1995)

25
.3.3. Cairan –Cairan Penarik

Untuk menentukan cairan penarik yang dipergunakan,harus

diperhitungkan betul-betul dengan memperhatikan beberapa faktor,

antara lain: Kelarutan zat-zat dalam menstrum, Tidak merusak zat-zat

berkhasiat atau akibat-akibat lain yang tidak dikehendaki (perubahan

warna, pengendapan, terhidrolisis), Harga yang murah, Jenis preparat

yang akan dibuat.

Cairan penarik yang baik adalah yang dapat melarutakan zat-zat

berkasiat tertentu, tetapi zat-zat yang tidak berguna tidak terbawa serta.

Pada umumnya alkaloid, damar, olcoresin, dan minyak-mimyak

memiliki kelarutan yang lebih baik dalam pelarut organik dari pada

didalam air, tetapi sebaliknya garam-garam alkaloi, glukosida, zat-zat

lendir, dan sakarida memiliki kelarutan lebih baik dalam air.

(Syamsuni, 2007)

Macam-macam cairan penarik yaitu :

1) Air

Termasuk pelarut yang murah dan mudah digunakan denga

pemakaian yang luas. Pada suhu kamar, air adalah pelarut yang baik

untuk berbagai zat, misalnya garam alkaloid, glukosida, sakarida,

asam tumbuhan-tumbuha, zat warna, dan gram-gram mineral. Air

hangta atau mendidih mempercepat dan memperbanyak kelarutan

zat, kecuali,Condurangin, kalsium hidrat, dan garam-glauber,

26
karena kemungkinan zat yag tertarik akan mengendap (sebagian)

jika cairan iu sudah mendingin (suhu kamar). (Syamsuni, 2007)

Keuntungan penarikan dengan air adalah bahwa jenis-jenis gula,

gom, asam tumbuh-tumbuhan, garam mineral, dan zat-zat warna

akan tertarik atau melarut lebih dahulu dan larutan yang terjadi ini

dapat melarutka zat-zat lain dengan lebih baik dari pada oleh air saja,

misalnya damar-damar pada penarikan Cascara cortex, atau

sejumlah alkaloid pada penarikan dengan air. (Syamsuni, 2007)

Air memiliki kekurangan sebagai pelarut, yaitu karena air dapat

menarik banyak zat, namun banyak diantara zat tersebut yang

merupakan media yang baik untuk pertumbuhan jamur dan bakteri,

akibatnya simplisia mengembang sedemikian rupa sehingga

mempersulit penarikan pada perkolasi. Pada beberapa penarikan

tertentu, air tersebut diasamkan sedikit dengan HCL, asam cuka, atau

asam tartrat, atau dibasakan dengan sedikit amonia guna

mempermudah penarikan zat-zat. Misalnya zat-zat campuran air-

etanol pada penarikan Scale, air asam pada penarikan Chinae, atau

air yang basa pada penarikan Cascara. (Syamsuni, 2007)

2) Etanol

Etanol hanya dapat melarutkan zat-zat tertentu, tidak sebanyak

air dalam melarutkan berbagai jenis zat, oleh karena itu lebih baik

dipaai sebgai cairan penarik untuk sediaan galenik yang

mengandung zat berkhasiat tertentu.(Syamsuni, 2007)

27
3) Glycerum

Terutama dipergunakan sebagai cairan tambahan pada cairan

hidroalkoholid untuk penarikan simplisia yang mengandung zat-zat

samak. Gliserin adalah pelarut yang baik untuk tanin dan hasil-hasil

oksidasinya, jenis-jenis gom dn albumin juga larut dalam gliserin.

Cairan ini tidak atsiri sehingga tidak sesuai untuk pembuatan ekstrak-

ekstrak kering, tetapi baik sekali untuk pembuatan fluid gliserata,

seperti yang dipergunakan dalam N.F VIII, dengan perbandingan 3

volume air dengan 1 volume gliserin.(Syamsuni, 2007)

4) Eter

Mempunyai efek samping farmakologis terhadap tubuh

sehingga tidak digunakan pada pembuatan sediaan cair untuk obat

dalam, dapat menarik lemak dan minyak atsiri, sehingga eter

digunakan untuk membebaskan bahan obat dari lemak yang dapat

menghalangi kesempurnaan penyarian.(Syamsuni, 2007)

5) Kloroform

Tidak dipergunakan untuk sediaan obat dalam, karena efek

farmakologinya. Bahan pelarut yang baik untuk alkaloida basa, damar,

minyak lemak dan minyak atsiri. (Syamsuni, 2007)

28
6) Aseton

Juga tidak dipergunakan untuk sediaan galenik obat dalam.

Merupakan pelarut yang baik untuk berbagai lemak, minyak atsiri,

dan damar. Baunya kurang enak dan sukar hilang dari sediaan.

(Syamsuni, 2007)

.4. Suspensi

Suspensi adalah sediaan yang mengandung bahan obat padat dalam

bentuk halus dan tidak larut, terdispersi dalam cairan pembawa. Zat yang

terdispersi usus halus, tidak boleh cepat mengendap, dan bila digojog

perlahan-lahan, endapan harus segera terdispersi kembali. Dapat ditambahkan

zat tambahan untuk menjamin stabilitas suspensi, tetapi kekentalan suspensi

harus menjamin sediaan mudah digojog dan dituang. (Moh. Anief, 1993).

Suspensi oral adalah sediaan cair yang mengandung partiekl padat

dalam bentuk halus yang terdispersi dalam fase cair dengan bahan

pengaroma yang sesui yang ditujukan untuk penggunaan oral. Beberapa

suspensi yang diberi etiket sebagai susu atau magma termasuk dalam kategori

ini. (Syamsuni, 2007)

Persyaratan suspensi yang terdapat dalam Farmakope Indonesia Edisi

III adalah zat yang terdispersi harus halus dan tidak boleh cepat mengendap,

jika dikocok perlahan-lahan endapan harus segra terdispersi kembali,

kekentalan suspensi tidak boleh terlalu tinggi agar sediaan mudah dikocok

dan dituang. (Anonim, 1979)

29
.4.1. Stabilitas Suspensi

Salah satu masalah yang dihadapi dalam proses pembuatan

suspensi adalah cara memperlambat penimbunan partikel serta menjaga

homogenitas partikel. Cara tersebut merupakan salah satu tindakan

untuk menjaga stabilitas suspensi. Beberapa faktor yang mempengaruhi

stablitas suspensi. (Syamsuni, 2007)

Faktor – faktor yang mempengaruhi stabilitas suspensi ialah :

1) Ukuran partikel

Ukuran partikel erat hubungannya dengan luas penampang

partikel tersebut serta daya tekan keatas dari cairan suspensi itu.

Hubungan antara ukuran partiekl merupakan perbandingan terbalik

dengan luas penampangny. Sedangkan antara luas penampang

dengan daya tekan katas terdapat hubungan linier. Artinya semakin

kecil ukuran partikel semakin besar luas penampangnya (dalam

volume yang sama). Sedangkan semakin besar luas penampang

partiekl, daya tekan keatas cairan akan semakin besar, akibatnya

memperlambat gerakan partike untuk mengendap sehingga untuk

memperlambta gerakab tersebur dapat dilakukan engan memperkecil

ukuran partikel. (Syamsuni, 2007)

2) Kekentalan (Viskositas)

Kekentalan suatu cairan mememngaruhi mpula kecepatan aliran

cairan tersebut, semakin kental suatu cairan, kecepatan alirannya

30
semakin turun atau semakin kecil. Keepatan aliran dari cairan

tersebut akan memengaruhi pula gerakan turub partikel yang

terdapat didalamnya. Dengan demikian, dengan menambah

kekentalan atau visikositas cairan, gerakan turun partikel yang

dikandungnyanakan diperlambat. Perl diingat bahwa kekentalan

sspensi tidak boleh terlalu tinggi agar sediaan mudah dikocok dan

dituang. Hal ini dapat dbuktikan dengan Hukum Stokes. (Syamsuni,

2007)

d 2 ( ρ ⎯ ρ o) g
¿
η

Keterangan : V= kecepatan alir

d= diameter partikel

ρ = bobot jenis partikel

ρ o= bobot jenis cairan

g= gravitasi

η = visikositas cairam

3) Jumlah partikel

Jika didalam suatu ruangan terdapat partikel dalam jumlah

besar, maka partikel akan sulit melakukan gerakan bebas karena

sering terjadi benturan antara partikel tersebut. Oleh benturan ini

akan menyebabkan terbentuknya endapan zat tersebut, oleh karena

itu semakin besar konsentrasi partikel, semakin besar

31
kemungkinannya terjadi endapan partikel dalam waktu singkat

(Syamsuni, 2007).

4) Sifat atau Muatan Partikel

Suatu suspensi terdiri atas beberapa macam campuran bahan

yang sifatnya tidak selalu sama. Dengan demikian, ada kemungkinan

terjadi interaksi antara bahan yang menghasilkan bahan yang sukar

larut dalam cairan tersebut. Karena sifat bahan tersebut sudah

merupakan sifat alam, maka tidak dapat dipengaruhi (Syamsuni,

2012).

2.4.2 Formulasi Suspensi

Bahan alam dari jenis gom sering disebut “gom atau hidrokoloid”.

Gom dapat larut dan mengembang atau mengikat air sehingga

campuran tersebut membentuk musilago atau lendir. Dengan

terbentuknya mucilago, visikositas cairan terserbut bertambah dan akan

menambah stabilitas suspensi . (Syamsuni, 2007).

1) Golongan gom meliputi:

a. Akasia (pulvis gummi arabic)

Bahan ini diperoleh dari eksudat tanaman acasia sp. , dapat larut

dalam air, tidak larut dalam alkohol, dan bersifat asam viskositas optimum

dari musilago adalah antara pH 5-9. Gom ini mudah dirusak oleh bakteri

sehingga dalam suspensi harus ditambahkan pengawet. (Syamsuni, 2007).

32
b. Chondrus

Diperoleh dari tanaman Chondrus crispus atau Gigartina

mamilosa, dapat larut dalam air, tidak larut dalam alkohol, dan bersifat

basa. (Syamsuni, 2007).

c. Tragakan

Merupakan eksudat dari tanaman Astragalus gummifera. Tragakan

sangat lambat mengalami hidrasi sehingga untuk mempercepat

hidrasinya biasanya dilakukan pemanasan. (Syamsuni, 2007)

d. Algin

Diperoleh dari beberapa spesies ganggang laut. Diperdagangan

terdapat dalam bentuk garamnya, yaitu natrium alginat. Algin

merupakan senyawa organik yang mudah mengalami fermentasi bakteri

sehingga suspensi dengan algin memerlukan bahan pengawet.

(Syamsuni, 2007).

2) Bahan Pensuspensi Alam Bukan Gom

Suspensing agent alam yang bukan gom adalah tanah liat. Tanah liat

yang sering dipergunakan untuk tujuan menambah. Stabilitas suspensi

ada 3 macam yaitu bentonit, hectorite, dan veegum. (Syamsuni, 2007)

Bahan Pensuspensi Sintesis :

a. Derivat selulosa

Termasuk kedalam golongan ini adalah metil selulosa (methosol

tylose), karboksimetilselulosa (CMC), hidroksi metil selulosa.

Golongan ini tidak diabsorpsi oleh usus halus dan tidak beracun

33
sehingga banyak dipakai dalam produksi makanan. Dalam farmasi

selain untuk bahan pensuspensi juga digunakan sebagai bahan

penghancur atau desintigrator dalam pembuatan tablet. (Syamsuni,

2007).

b. Golongan organik polimer

Yang paling terkenal dalam kelompok ini adalah carbophol 934

(nama dagang suatu pabrik). Berupa serbuk putih, bereaksi asam,

sedikit larut dalam air, tidak beracun dan tidak mengiritasi kulit, serta

sedikit pemakaiannya sehingga bahan tersebut banyak digunakan

bahan pensuspensi. (Syamsuni, 2007)

3) Bahan Pengawet

Penambahan bahan lain dapt pula dilakukan untuk menambah

stabilititas suspensi, antara lain dengan penambahan bahan pengawet.

Bahan pengawet sangat diperlukan untuk suspensi yang menggunakan

hidroklorid alam, karena bahan ini sangat mudah dirusak oleh bakteri.

Sebagai bahan pengawet dapat digunakan butl parabenzoat

(1:1250), etil parabenzoat (1:500), propel parabenzoat (1:4000), nipasol,

nipagin ±1%. Disamping itu banyak pula digunakan garam kompleks

merkuri sebagai bahan pengawet, karena hanya diperlukan dalam jumlah

kecil, tidak toksik, dan tidak iritasi, Misalnya fenil merkuri nitri, fenil

merkuri klorida, fenil mekuri aseta (Syamsuni, 2006).

34
2.4.3 Metode Pembuatan Suspensi

Suspensi dapat dibuat dengan metode sebagai berikut :

1. Metode Dispersi

Metode ini dilakukan dengan cara menambahkan serbuk bahan

obat kedalan mucilago yang terbentuk, kemudian baru diencerkan.

Perlu diketahui bahwa kadang-kadag terjadi kesukaran pada saat

mendispersikan serbuk kedalam pembawa. Hal tersebut dikarenakan

adanya udara lemak, atau kontaminan pada serbuk. (Syamsuni,

2007)

2. Metode Presipitasi

Zat yang hendak didispersikan dilarutkan dahulu ke dalam

pelarut organik yang dicampur dengan air. Setelah larut dalam

pelarut organik, larutan zat ini kemudian diencerkan dengan larutan

pensusoensi dalam air sehingga akan terjadi endapan haus

tersuspensi dengan bahan pensuspensi. (Syamsuni, 2007)

2.4.4 Keuntungan Dan Kerugian Pembuatan Suspensi

1. Keuntungan Sediaan Suspensi

a) Suspensi merupakan sediaan yang menjamin stabilitas kimia dan

memungkinkan terapi dengan cairan.

b) Untuk pasien dengan kondisi khusus, bentuk cair lebih disukai

dari pada bentuk padat.

35
c) Suspensi pemberiannya lebih mudah serta lebih mudah

memberikan dosis yang relatif lebih besar.

d) Suspensi merupakan sediaan yang aman, mudah diberikan untuk

anak-anak, juga mudah diatur penyesuaian dosisnya untuk anak-

anak dan dapat menutupi rasa pahit (Murtini, 2016).

2. Kerugian Sediaan Suspensi

a) Suspensi memiliki kestabilan yang rendah.

b) Jika terbentuk caking akan sulit terdispersi kembali sehingga

homogenitasnya turun.

c) Aliran yang terlalu kental menyebabkan sediaan sukar dituang.

d) Ketepatan dosis lebih rendah dari pada bentuk sediaan larutan.

e) Pada saat penyimpanan kemungkinan terjadi perubahan sistem

dispersi (caking, flokulasi-deflokulasi) terutama jika terjadi

fluktuasi/perubahan suhu.

f) Sediaan suspensi harus dikocok terlebih dahulu untuk

memperoleh dosis yang diinginkan (Murtini, 2016).

2.4.5 Evaluasi Sediaan Suspensi

Adapun evaluasi sediaan suspensi meliputi :

1) Organoleptik

Pemeriksaan organoleptik yang dilakukan dengan cara

mengamati bau, warna dan bentuk sediaan dengan menggunakan

anggota tubuh atau panca indra. Adapun pelaksanaannya

36
menggunakan subjek responden dengan kriteria tertentu dengan

menetapkan kriteria pengujian (macam dan item), menghitung

presentasi masing-masing krieria yang diperoleh serta mengambil

keputusan dengan analisis statistik (Widodo, 2013).

2) Pengukuran pH

Uji pH dilakukan untuk melihat tingkat keasaman sediaan

suspensi guna menjamin suspensi yang dihasilkan sesuai dengan

kriteria suspensi yang baik (Tranggono, 2007). Uji pH suspensi

dilakukan dengan cara suspensi ekstrak daun jambu biji (Psidium

guajava Linn) dituangkan kedalam wadah secukupnya kemudisn

gunakn strip pH indikator amati perubahan warna yang terjadi.

pH Standar suspensi yaitu antara : 5-7 (Miss Bieber, 2011)

Keterangan : Kurang dari 7 pH Asam

Lebih dari 7 pH Basa

3) Viskositas

Viskositas merupakan tahanan suatu sediaan untuk menglir.

Semakin besar suatu viskositas maka semakin kental suatu sediaan

suspensi dan semakin besar tahanannya (Mitsui, 1993). Kekentalan

adalah tekanan geser dibagi laju tekanan geser. Satuan dasarnya

yaitu poise, namun oleh karena kekentalan yang diukur umumnya

37
harga pecahan poise. Maka lebih mudah digunakan satuan dasar

sentipoise (1 poise= 100 sentipoise). (Farmakope Indonseia IV,

1995).

Viskositas berhubungan dengan sifat alir. Pengukuran viskositas

dapat dilakukan dengan berbagai jenis viskometer sesuai dengan

kebutuhan. Kekentalan suatu suspensi diukur dengan menggunakan

alat viskometer yaitu dengan cara memasukan cairan suspensi ekstak

daun jambu biji (Psidium guajava Linn) kedalam viskometer dengan

menggunakan pipet, setelah itu hisap cairan dengan menggunakan

pushball sampai batas atas viskometer, siapkan stopwatch,

kendurkan cairan sampai batas bawah lalu hitung waktu tempuh.

Prinsip dasar kerja viskometer ada 2, yaitu :

a) Viskometer “Single point” : pengukuran satu titik pada

reogram. Karakter dengan satu titik ini merupakan sifat

karakteristik dari aliran newtonian.

b) Viskometer “ Multi Point” : Pengembangan pengukuran

bebrapa titik (Kecepatan Geser),dapat digunakan untuk

mendapatkan secara lengkap reogram dari aliran non-

Newtonian.

Koefisien viskositas atau disebut viskositas saja dengan

satuan:

Poise (Ps) atau Centupoise (cps) :

38
dalam satuan cgs :

Poise : dyne det cm-2

: g cm-1 det-1

Centi-poise : 1 cps = 0,01 poise (ps)

Keterangan : Semakin kental suatu zat, maka semakin besar

gaya yang dibutuhkan pengaduk untuk berputar.

4) Volume Sedimentasi

Kecepatan sedimentasi dapat dinyatakan dengan hukum Stokes :

V=d2(P1-P2) g

18 n

Keterangan :

Volume sedimentasi (F) yaitu mempertimbangkan rasio tinggi akhir

endapan (Vu) terhadap tinggi awal (Vo) pada waktu suspensi

mengendap dalam suatu kondisi standar.

Parameter sedimentasi ada 2 yaitu, volume sedimentasi dan derajat

flokulasi.

a) Volume sedimentasi, F merupakan rasio volume sedimentasi

akhir, Vu, terhadap volume suspensi awal, Vo.

Nilai F dapat < 1 atau > 1

F< 1, umumnya suspensi (terdapt endapan)

F= 1, berarti suspensi dalam kesetimbangan flokulasi (tidak

terjadi pemisahan)

F> 1, Jaringan flokulasi sangat longgar dan berbulu kapas.

39
b) Derajat flokulasi, β merupakan parameter yang

menghubungkan volume sedimentasi flokulasi dengan yang

didalam sistem deflokulasi.

Pada suspensi terdeflokulasi volume akhir sedimen V”, akan

relatif kecil.

Keterangan : semakin besar fraksi, maka semakin baik

kemampuan suspensinya.

Adapun prosedur uji volume sedimentasi adalah

sebagai berikut :

1. Masukan suspensi ekstrak daun jambu biji (Psidium

guajava Linn) kedalam beaker glass

2. Biarkan dan amati pemisahannya atau penegndapannya

dalam waktu yang telah ditentukan (15 menit, 30 menit, 1

hari, 3 hri, 5 hari, 7hari)

3. Kemudian amati sediaan memisah atau tidak, jika tampak

memisah maka bagian yang bening diukur.

2.5 Uji Stabilitas

Uji stabilitas adalah kemampuan suatu produk untuk mempertahankan

sifat dan karakteristiknya agar sama dengan yang dimiliki pada saat dibuat

(identitas, kekuatan, kualitas, kemurnian) dalam batasan yang ditetapkan

sepanjang periode penyimpanan dan penggunaan (Anonim, 2017).

40
2.5.1 Metode Pengujian Stabilitas Obat

Uji stabilitas sediaan farmasi dilakukan dengan menggunakan

metode sebagai berikut :

1) Uji Stabilitas Jangka Panjang

Untuk produk baru biasanya pengujian dilakukan pada suhu

kamar terkendali (300C ± 20C dengan kelembaban ruangan 75% ±

20C), dengan rentan waktu pengujian pada bulan 0, 3, 9, 12, 18, 48,

60. Biasanya pengujian dilakukan 6 bulan (Blanker, 1997).

2) Uji Stabilitas Dipercepat

a. Siklus 24 jam pada suhu 400 ± 200C, dan 24 jam pada suhu 4 ±

200C selama 4 minggu (Anvisa, 2005).

b. Siklus 24 jam pada 45 ± 200C dan 24 jam pada -5 ± 200C selama

12 hari (6 siklus) (Anvisa, 2005).

c. Siklus 24 jam pada suhu 50 ± 20 0C dan 24 jam pada -5 ± 20 0C

selama 12 hari (6 siklus) (Anvisa, 2005).

3) Macam- macam Metode Dipercepat :

a. Metode cycling test dilakukan pada sampel yang disimpan dalam

suhu dingin (4±20C) selama 24 jam kemudian dipindahkan pada

tempat penyimpanan bersuhu (40±20C) selama 24 jam. Hal

tersebut dilakukan berulang selama 6 kali. Pengamatan

41
dilakukan pada kondisi fisik sediaan dan dibandingkan dengan

sediaan sebelumnya (Blanker, 1997).

b. Metode freeze-thawcycling dilakukan dengan mengambil sampel

sebanyak 50 ml dari masing-masing formula dibekukan pada

suhu 00C dan dicairkan pada suhu 400C secara bergantian

selama 24 jam sebanyak enam siklus lalu dilanjutkan dengan

evaluasi pertumbuhan kristal dengan pengamatan mikroskopis

langsung menggunakan mikroskop cahaya yang dilengkapi

dengan kamera (Madjid et al., 2003)

.6. Hipersensitivitas

.6.1. Definisi Hipersensitivitas

Reaksi imun adatif memberikan perlindungan khusus melawan

infeksi bakteri, virus, parasite, dan jamur. Beberapa sistem pertahanan

tubuh kadang dapat menimbulkan reaksi yang berlebihan atau reaksi

yang tidak tepat ini biasanya disebut hipersensitivitas. Perlu di ingat

bahwa perbedaan hipersensitivitas dengan reaksi imun yang bersifat

protektif, terletak hanya pada reaksi yang bersifat berlebihan, atau tidak

biasa dan bahkan membawa kerusakan jaringan tubuh yang

bersangkutan (Subowo, 2009).

Pada tahun 1906, von pirquiet mengusulkan suatu istilah allergie

untuk suatu keadaan respons imun yang menyimpang dari reaksi imun

yang biasanya protektif. Istilah tersebut berasal dari bahasa Yunani

42
yang terdiri atas 2 akar kata : allos = yang lain dan ergon = kerja.

Dengan istilah alergi, fenoma tersebut akan mencakup semua keadaan

penderita yang bermanifestasi menyimpang dari reaksi imun yang

biasa. Miasalnya beberapa penderita yang terpapar oleh sari bunga, bulu

kucing menunjukan maniferasi reaksi seperi urtikaria, bengkak, sesak

napas, sedang individu lain tidak menunjukan gejala-gejala tersebut.

(Subowo, 2009)

Terdapat beberapa beberapa bentuk reaksi hipersensitivitas yang

berbeda pada imunopatogenesisnya. Dalam tahun 1963 oleh Gell dan

Coombs reaksi hipersensitivitas dikelompokkan dalam 4 tipe (Subowo,

2009).

.6.2.Klasifikasi Hipersensitivitas

1) Anafilaktik (Tipe I)

Reaksi anafilaktik merupakan reaksi hipersensitivitas tipe 1

yang mempunyai mekanisme melalui mediator yang dilepaskan oleh

mastosit. Oleh karena pelepasan mediator tersebut pada umumnya

melibatkan igE dan alergen, reaksi ini merupan bentuk penyimpanan

respons imun humoral.

Anaphylaxis merupakan akibat dari peningkatan kepekaan,

bukan penurunan ketahanan terhadap toksin. Pengungkapan

phenomena anaphylaxis memberikan contoh pertama tentang

kemampuan sistem imun yang menyebabkan kerusakan jaringan.

43
Dale dan Laidlaw (1910) memperlihatkan adanya kesamaan reaksi

yang ditimbulkan oleh provokasi histamine dengan keadaan

anafilaktik. Gejala yang menonjol pada reaksi anafilaktik disebabkan

karena pelepasan mediator dari mastosit dan tergantung dari organ

sasaran yang mana yang paling menderita dalam reaksi tersebut.

Selain organ-organ pernafasan, saluran pencernaan, dan kulit sebagai

organ sasaran, organ kardiovaskuler dapat merupakan sasaran pula

(Terr, 1980).

Pada renjatan anafilaktik ini tidak jarang melibatkan kulit

dalam bentuk manifestasi pruritus (gatal), eritema, urtikaria dan

angioudem.

Reaksi hipersensitivitas tipe l anafilaktik, diperantarai oleh igE

yang akan memicu matosit/sel basophil menjadi aktif. Mastosit

sebagai sel efektor akan melepaskan 3 jenis mediator, yaitu 2 melalui

granulasi dan 1 mediator berasal dari membrane sel. Mediator-

mediator tersebutlah yang akan yang akan memberikan gejala segera

dengan respon: peningkatan permeabilitas pembuluh darah,

kontraksi otot polos, dan tert). ariknya sel-sel eosinophil. Reaksi

segera akan diikuti reaksi tahap lambat (LPR) merupakan respon

peradangan yang dapat merusak jaringan. (Subowo, 2009 )

44
2) Reaksi Sitotoksik ( tipe II)

Kerusakan jaringan melalui mekanisme efektor pada

hipersensitivitas sitotoksik disebabkan oleh antibody igG dan igM

yang ditujukan kepada antigen yang melekat pada sel atau jaringan.

Antigen tersebut timbul karena perubahan struktur molekul pada

permukaan sel-sel atau adanya konfigurasi baru yang asing yang

menempel pada sel-sel tersebut (misalnya obat-obatan). (Subowo,

2009 )

Reaksi hipersensitivitas terjadi bila antibody igG atau igM

diproduksi melawan antigen permukaan pada sel-sel tubuh.

Antibody ini bias memicu reaksi baik dengan aktivasi komplemen

(misalnya autoimun anemia hemolitik) atau dengan memfasilitasi

pengikatan sel .

Jenis hipersensitivitas ini terajadiselama reaksi transfuse darah

dan terjadi pada penyakit hemolisis bayi baru lahir. Dikedua kasus,

antibody yang belum terbentuk mengikat antigen asing dari

membrane sel darah merah. Penyatuan ini mengaktifkan complement

cascade, yang selanjutnya membangkitkan kompleks penyerangan

membran (Membrane attack complex = MAC) yang menghancurkan

sel-sel darah merah. Pada penyakit hemolisis yang di derita bayi baru

lahir antibody igG anti-Rh yang dihasilkan oleh ibu negatif-Rh

melalui plasenta, mengikat sel sel darah merah dari janin positif-Rh

dan menghancurkannya. Hipersensitivitas tipe II juga dapat

45
ditimbulkan oleh obat dan terjadi selama pemberian penicillin

kepada pasien yang alergi. (Subowo, 2009 )

Mekanisme kerusakan yang bekerja pada reaksi Tipe II ada 2

macam:

a. Berlangsung reaksi antigen-antibodi yang menyebabkan

aktivitas sistem komplemen dengan segala akibatnya, terutama

karena adanya lisis sel. Sasaran pada reaksi sitotoksik ini darah

atau sel-sel dalam jaringan.

b. Dengan bereaksinya antibodi dengan jaringan /sel, maka

antibody secara langsung melalui bagian Fc atau dengan

perantaraan C3b, terikat dengan molekul reseptor pada fagosit,

penempelan pada permukaan tersebut akan belanjut dengan

fagositosis (opsonisasi), atau lisis oleh enzim yang dilepaskan

oleh fagosit (Subowo, 2009).

3) Reaksi Kompleks Antigen-Antibodi (tipe III)

Reaksi hipersensitivitas tipe III ini juga disebabkan adanya

reaksi Antara antigen antibodi, tetapi antigennya tidak menempel

pada sel/jaringan melainkan bebas dalam larutan. Jika kompleks

imun yang terjadi karena ikatan antara antibodi dengan antigen

tersebut mengendap dalam jaringan, akan diikuti beberapa peristiwa

yang akan menjurus kepada kerusakan jaringan.

46
Hipersensitivitas tipe III disebabkan oleh kenaikan kadar

kompleks antigen-antibodi yang menyebabkan kerusakan jaringan.

Pembentukan kompleks ini mengaktifkan komplemen untuk

menghasilkan komponen-komponen dengan aktivitas anafilatoksik

dan kemostatis (C5a, C3a, C4a) yang menaikan permeabilitas

vascular dan merekrut neutrophil ke tempat deposisi kompleks dan

kerja enzim-enzim lisis yang dilepaskan oleh neuprofil dapat

menyebabkan kulit berwarna merah, glomerulonephritis, dan artritis

pada individu ini. (Subowo, 2009)

Pada umumnya kerusakan jaringan sebagai akibat adanya

pengendapan kompleks imun berlangsung melalui 4 tahap:

a) Ikatan antibody dengan antigen membentuk kompleks imun.

b) Dalam kondisi tertentu, kompleks imun akan mengendap pada

jaringan tertentu seperti kulit, ginjal, dan persendian.

c) Factor humoral seperti komplemen atau enzim fagosit dan faktor

selular akan berkumpul di daerah pengendapan.

d) Berlangsung kerusakan jaringan oleh factor humoral dan selular.

Ada dua jenis reaksi kompleks imun yang terlibat dalam penyakit

kompleks imun, yaitu reaksi arthus dan serum sicknes (Subowo,

2009)

4) Reaksi Hipersensitivitas Tertunda/Terlambat (tipe IV)

Reaksi hipersensitivitas tertunda ini berlangsung pada respon

imun selular yang melibatkan sel T spesifik. Berbeda dengan ketiga

47
tipe reaksi hipersensitivitas yang terdahulu, reaksi tipe IV ini tidak

melibatkan efektor humoral antibody, sehingga hipersensitivitas ini

merupakan penyimpangan dari renpons imun selular. Tahap pertama

dalam reaksi ini, yaitu terikatnya alergen dengan limfosit T yang

spesifik melalui reseptornya. Tahap berikutnya terjadinya pelepasan

zat-zat solubel oleh limfosit T efektor dalam bentuk berbagi jenis

limfokin.

Tidak seperti hipersensitivitas tipe segera, hipersensitivitas tipe

tertunda (Delayed Type Hypersensitivity = DTH) diperantara sel,

dan responnya terjadi 2-3 hari setelah terpajani antigen

pensensitisasi. DTH menimbulkan respons imflamasi lokal dan

menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat yang di cirikan dengan

influx sel-sel inflamasi nonspesifik-antigen, khususnya makrofag

dan neutrofil. Sel-sel ini direkrut karena adanya pengaruh dari

sitokin yang dihasilkan THI, yang secara bersama-sama

menimbulkan ekstravasi dan kemostatis monosit dan neutrofil yang

beredar, menimbulkan mielopoiesis, dan mengaktifkan makrofag.

Makrofan yang teraktifkan ini memperlitkan fungsi fagositosis,

mikrobisid, dan fungsi penyaji-antigen dan merilis sejumlah enzim

digesif yang berkontribusi pada kerusakan jaringan luas sehubungan

dengan DTH. Meskipun dianggap sangat merusak, respons DTH

sangan efektif untuk menyingkirkan infeksi-infeksi akibat pathogen

48
intraseluler seperti M tuberculosis dan spesies leishmania (Subowo,

2009)

Berbeda dengan reaksi hipersensitivitas tipe lain,

hipersensitivitas tipe lambat tidak dapat ditularkan ke individu lain

dengan menyuntikan serumnya, melainkan perlu melalui

pemindahan limfosit T-nya. Hal ini menunjukan bahwa reaksi

hipersensitivitas tipe IV benar-benar melibatkan efektor selular

(Subowo, 2009).

Tabel 2.1. Perbandingan beberapa tipe hipersensitivitas menurut

reaksi yang ditimbulkannya (Darmono, 2007).

Parameter Tipe I Tipe II Tipe III Tipe IV

(Anafilaktik) (Sitotoksik) (imun (delay)

kompleks)
Antibody IgE IgE, IgM IgG, IgM Absen
Antigen Eksogenus Permukaan Agen Jaringan/or

sel mudah larut gan/biologi

k
Waktu 15-30 menit Menit-jam 3-8 jam 48-72 jam
Respons Kemerahan Lisis dan Edema, Eritema dan

seperti nekrosis nekrosis pembengka

terbakar kan
Histologi Basofil dan komplemen Komplemen Monosit

eosinophil dan dan limfosit

neutrofil
Ditransper Antibody Antibody SLE Sel-T
Contoh Alergik, Eritroblasto Penyakit Tes

49
asma, hay sis, nefritis paru tuberculin,

fever racun

tanaman,

granuloma.

2.6.3 Pengobatan

1) Menghindari alergen.

2) Terapi Farmakologis

a) Adrenergik

Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin

(efinefrin, isoetarin, isoproterenol, biotolterol), dan nonkatelomin

(efedrin, albuterol, metaproterenol, salmeterol, terbutalin, pributerol,

prokaterol, fenoterol). Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat

menimbulkan bronkodilatasi sedikitnya selama 12 jam, menghambat

reaksi fase cepat maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan

menghambat hipersensitivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam

(Febrian, 2009).

b) Antihistamin

Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan

histamin pada reseptor di berbagai jaringan. Karena antihistamin

berperan sebagai antagonis kompetitif mereka lebih efektif dalam

mencegah daripada melawan kerja histamin (Febrian, 2009).

50
c) Kromolin Sodium

Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-

hidroksipropan. Zat ini merupakan analog kimia obat khellin yang

mempunyai sifat merelaksasikan otot polos. Obat ini tidak

mempunyai sifat merelaksasikan otot polos. Obat ini tidak

mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif untuk

pengobatan asma akut. Kromolin paling bermanfaat pada asma

alergika atau ekstrinsik (Febrian, 2009).

d) Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk

pengobatan alergi. Beberapa pengaruh prednisone nyata dalam 2 jam

sesudah pemberian peroral intravena yaitu penurunan eosinofil serta

limfosit primer. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal langsung

yang mempunyai pengaruh radang, edema, produksi mukus,

permeabilitas vaskuler, dan kadar IgE mukosa (Febrian, 2009).

3) Imunoterapi

Imunoterapi di indikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma

yang diperantai IgE atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat

menghambat pelepasan histamin dari basofil pada tantangan dengan

antigen E ragweed in vitro. Leukosit individu yang diobati memerlukan

pemaparan terhadap terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak

dalam upaya melepaskan histamine dalam jumlah yang sama seperti

yang mereka lepaskan sebelum terapi. Preparat leukosit dari beberapa

51
penderita yang diobati bereaksi seolah-olah mereka telah terdensitisasi

secara sempurna dan tidak melepaskan histamine pada tantangan

dengan antigen E ragweed pada kadar berapapun (Febrian, 2009).

4) Profilaksis

Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti

traneksamat,seringkali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema

(Febrian, 2009).

.7 Bahan Penelitian

2.7.1 Stimuno

Gambar 2.2 Stimuno

Stimuno ialah suplemen khusus, yang berguna sebagai pengatur sistem

imun tubuh atau yang biasa disebut juga dengan imunomodulator. Stimuno ini

memiliki kandungan ekstrak meniran alami dimana tanaman yang memiliki

nama ilmiah Phyllanthus niruri ini sudah dibuktikan secara klinis bisa

membantu memperbanyak antibodi tubuh yang bermanfaat memperkuat sistem

imun.

52
Jika melihat hasil dari beberapa penelitian, ekstrak meniran

atau Phyllantus niruri ini mengandung flavonoid, dimana kandungan flavonoid

inilah yang berfungsi meningkatkan kekebalan tubuh, dengan cara bekerja

langsung pada sel-sel yang merupakan bagian dari sistem imun.

1) Farmakologi

Stimuno bekerja secara langsung dengan meningkatkan sistem daya tahan

tubuh, yaitu dengan cara meningkatkan produksi antibodi layaknya petugas

keamanan yang selalu menjaga keamanan lingkungan. Stimuno juga bisa

mengaktifkan seluruh lapisan sistem imun tubuh, baik itu yang spesifik maupun

yang non-spesifik, sehingga daya tahan tubuh bisa bekerja lebih optimal.

Sebagai imunomodulator, Stimuno ini tentu diperlukan saat tubuh berada

dalam kondisi yang tidak fit, entah itu kelelahan, stress, bepergian jauh

atau travelling, kurang istirahat dan saat setelah melakukan kontak dengan orang

yang terkena infeksi atau saat berada di daerah yang sedang diserang wabah

penyakit.

2) Indikasi

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, Stimuno ini bisa membantu

memperbaiki serta meningkatkan daya tahan tubuh manusia, dengan cara

merangsang produktifitas antibodi sehingga jumlah antibodi menjadi lebih

banyak, dan kemudian mengaktifkan sistem kekebalan tubuh sehingga daya

tahan tubuh bisa lebih optimal.

53
3) Kontraindikasi

Stimuno sangat tidak disarankan untuk Anda yang memiliki

hipersensitivitas atau semacam alergi terhadap komponen-komponen yang ada

dalam suplemen ini.

4) Dosis

Untuk anak-anak yang berusia 1 tahun ke atas, berikan Stimuno sirup sehari

3 kali, dimana setiap kali minum takarannya adalah 1 sendok takar atau 5 ml.

Sedangkan untuk orang dewasa, berikan Stimuno kapsul sehari 3 kali, dan

setiap kali minum adalah 1 kapsul

5) Efek Samping

Stimuno, bisa dibilang sangat minim efek samping, karena memang

tanaman meniran atau Phyllanthus niruri yang digunakan dalam suplemen ini

adalah tanaman yang telah memenuhi standar Good Agriculture Practices atau

GAP, sejak dari penanaman hingga proses produksinya.

Tetapi, data keamanan konsumsi Stimuno ini pada wanita hamil dan ibu

yang menyusui masih belum tersedia. Jadi Stimuno ini hanya boleh diberikan

jika keuntungan mengkonsumsi lebih besar dibandingkan resiko yang mungkin

terjadi.

6) Peringatan dan Perhatian

Sebaiknya simpan Stimuno ini dalam ruang yang terlindung dari sinar

matahari langsung dan suhunya di bawah 300 C. Dan karena Stimuno ini adalah

imunomodulator juga, sebaiknya jangan mengkonsumsi Stimuno melebihi dosis

yang disarankan, karena alih-alih akan bermanfaat malah justru akan berubah

54
menjadi perangsang alergi. Dan juga untuk penderita hipersensitivitas atau

penderita alergi terhadap komponen-komponen yang ada dalam Stimuno ini,

sebaiknya jangan membiarkan mereka untuk mengkonsumsinya.

7) Bentuk Sediaan

Stimuno ini terdiri dari dua bentuk, yakni sirup dan kapsul, dimana setiap 5

ml sirup Stimuno yang setara dengan 1 sendok takarnya mengandung

ekstrak Phyllanthus niruri sebanyak 25 mg. Sedangkan untuk kapsul, tiap 1

kapsul Stimuno mengandung ekstrak Phyllanthus niruri juga sebanyak 50 mg.

2.7.2 Putih Telur

Gambar 2.3 Putih Telur (Indah, 2018)

Antigen yang digunakan adalah putih telur Bebek . Putih telur Bebek ini

dipilih karena merupakan antigen yang potensial dalam menimbulkan reaksi

anafilaksis, karena mengandung senyawa protein antara lain : ovalbumin,

ovomucoid, ovotransferin, dan lysozim (Ganiswara, 1993). Disamping itu putih

telur Bebek juga banyak mempunyai epitope. Epitope yaitu bagian dari antigen

yang dapat menginduksi pembentukan antibodi dan dapat diikat secara spesifik

oleh bagian dari antibodi atau reseptor pada limposit. (Soerjani, et al, 1997).

55
Sebanyak 60-65% dari total protein yang ada di putih telur adalah

ovalbumin . Fungsi biotik ovalbumin belum jelas, meskipun telah disebutkan

berperan sebagai protein cadangan. Senyawa ini bersifat water solube dan

banyak digunakan dalam penelitian. Tes-tes yang berhubungan dengan penyakit

alergi maupun dalam bidang kedokteran lainnya. Ovalbumin digunakan untuk

menstimulasi reaksi alergi dalam test atau uji alergi (Huntington dan Stein

2001).

2.8 Hewan Percobaan

2.8.1 Deskripsi Mencit putih

Gambar 2.4 mencit Putih

Mencit (Mus musculus L.)

termasuk mamalia pengerat (rodensia) yang cepat berkembang baik, mudah

dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetiknya cukup besar serta sifat

anatomisnya fisiologisnya terkarakteristik dengan baik. Mencit yang sering

digunakan dalam penelitian di laboratorium merupakan hasil perkawinan tikus

56
putih “inbreed” maupun “outbreed”. Dari hasil perkawinan sampai generasi 20

akan dihasilkan strain strain murni dari mencit (Akbar, 2010).

Mencit (Mus musculus L.) memiliki ciri-ciri beberapa bentuk tubuh kecil,

berwarna putih, memiliki siklus estrus teratur yaitu 4-5 hari. Kondisi ruang

untuk pemeliharaan mencit (Mus musculus L.) harus senantiasa bersih, kering

dan jauh dari kebisingan. Suhu ruangan pememliharaan juga harus dijaga

kisarannya antara 18-19℃ serta kelembaban udara antara 30-70% (Akbar,

2010).

Mencit betina dewasa dengan umur 35-60 hari memiliki berat badan 18-35

g. Lama hidupnya 1-2 tahun, dapat mencapai 3 tahun. Masa reproduksi mencit

betina berlangsung 1,5 tahun. Mencit betina ataupun jantan dapat dikawinkan

pada umur 8 minggu. Lama kebuntingan 19-20 hari. Jumlah anak mencit rata-

rata 6-15 eker dengan berat lahir antara 0,5-1,5 g (Akbar, 2010).

Mencit sering digunakan dalam penelitian dengan pertimbangan hewan

tersebut memliki beberapa keuntungan yaitu daur estrusnya teratur dan dapat

dideteksi, priode kebuntingannya relatif singkat, dan mempunyai anak yang

banyak serta dapat keselarasan pertumbuhan dengan kondisi manusia. (Akbar,

2010).

2.8.2 Klasifikasi

Phylum : Chordata

Sub phylum : Vertebrata

Class : Mammalia

57
Ordo : Rodentia

Family : Muridae

Genus : Mus

Species : (Mus musculus L.)

(Akbar, 2010)

58

Anda mungkin juga menyukai