Anda di halaman 1dari 3

Nama: Airin Tirta

NPM : 6051801014
Kelas : IE

Pendapat Tentang Ibu Pengganti Etika Dasar

Ibu pengganti atau dalam Bahasa inggris , yaitu surogasi adalah suatu pengaturan


atau perjanjian yang mencakup persetujuan seorang wanita untuk menjalani kehamilan bagi
orang lain, yang akan menjadi orang tua sang anak setelah kelahirannya. Pada dasarnya,
pasangan yan membutuhkan ibu pengganti atau surogasi biasanya memiliki gangguan
kesehatan yang menyebabkan salah satu dari pasangan tersebut tidak dapat membuahi
anak , atau dalam bahasa sehari-hari adalah memgalai kemandulan. Selain itu, perjanjian
ibu pengganti ini juga sering digunakan oleh pasangan sesama jenis yang tidak dapat
membuahkan seorang anak. Dengan adanya bentuk perjanjian semacam ini, pasangan-
pasangan yang tidak dapat menghasilkan keturunan baik akibat kemandulan ataupun karena
memiliki jenis kelamin yang sama, mulai berpikir untuk menggunakan ibu pengganti
sebagai solusi untuk memperoleh anak dimana anak yang dilahirkan oleh ibu pengganti
tersebut akan diangkat menjadi anak sah dari pasangan tersebua

Subjek yang mau menjadi ibu pengganti pada dasarnya memiliki alasan ketika
mereka mau memainkan peran ini. Salah satu yang menjadi alasan adalah kompensasi yang
mungkin saja dilibatkan dalam perjanjian ini. Kompensasi tersebut dapat berupa benda
ataupun uang. Jika dipandang dari sudut hukum di Indonesia, perjanjian surogasi atau ibu
pengganti dilarang di Indonesia karena bertentangan dengan hukum positif di Indonesia dan
nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat atau kepatutan masyarakat. Hukum positif
tersebut adalah larangan tersebut termuat dalam peraturan umum mengenai "bayi tabung"
pada pasal 16 UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Keputusan Menteri Kesehatan
No.72/Menkes/Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan Teknologi Reproduksi Buatan. Maka ,
di Indonesia , apabila diketahui ada perjanjian surogasi atau ibu pengganti , maka akan
dikenakan sanksi pidana bagi mereka yang mempraktikannya.

Jika ditinjau dari sudut pandang etika, peran sebagai ibu pengganti ini memiliki
kaitan erat dengan eksploitasi terhadap kaum hawa yang menentang nilai-nilai budaya dan
kepatutan di Indonesia. Pada dasarnya, setiap orang seharusnya memiliki martabat dan
harga diri yang sepatutnya dijaga. Akan tetapi , secara tidak langsung , peran sebagai ibu
pengganti telah menjatuhkan martabat dan harga diri wanita karena dengan berperan
sebagai ibu pengganti itu berarti wanita telah menjual dirinya atau bagian dari tubuhnya
sebagai “tempat penitipan” karena pasangan yang telah menitip kehamilan kepada ibu
pengganti tersebut.

Selain itu, tindakan semacam ini tentunya dianggap sebagai sesuatu yang tabu
,setidaknya di Indonesia. Namun , melihat bahwa perekonomian di Indonesia masih belum
stabil ,maka masih terdapat praktek secara diam-diam tentang ibu pengganti ini.
Bedasarkan fakta yang ada, ternyata ibu pengganti cenderung terlibat dalam perjanjian
karena diberikan kompensasi uang yang cukup besar, bahkan menyentuh harga puluhan
juta atau ribuan US dollar. Masalah lain adalah menjadi seorang ibu bukan hanya berarti
memiliki anak yang harus diurusnya, tetapi terdapat ikatan batin antara anak dan ibu yang
sangat kuat dan ternyata penting. Apabila praktek ibu pengganti masih terus dilaksanakan,
apalah arti menjadi seorang ibu jika ia tidak dapat menjalin hubungan batin dengan
anaknya dan pihak ibu pengganti menjadikan anaknya sebagai objek jualnya terhadap
pasangan lain demi memperoleh uang. Hal ini tentu akan berdampak kepada masa depan
anak yang akan bertanya-tanya tentang keberadaan ibu aslinya dan tentunya dapat
berdampak pada mental sang anak bahwa ternyata ia lahir dari seorang ibu pengganti yang
menukarnya untuk memperoleh uang, padahal anak pasti membutuhkan hubungan hangat
dengan ibu kandungnya meskipun telah memiliki ibu lain yang seakan-akan berperan
sebagai ibu kandungnya. Anak yang awalnya sudah merasa sedih jika mengetahui bahwa
dirinya bukan anak kandung, akan lebih merasa terpukul jika mengetahui dirinya lahir dari
seorang ibu pengganti.

Dengan demikian, menyadari bahwa tindakan ini sebenarnya merupakan tindakan


yang kurang sesuai denga norma-norma dan nilai-nilai dalam masyarakat. Maka sejalan
dengan peraturan di Indonesia, teori etika juga menolak dan tidak mengizinkan perjanjian
ibu pengganti ini dilakukan . Hal ini jika ditinjau dari teori hati nurani, dapat dilihat bahwa
sang ibu pengganti memiliki tidak hati nurani dengan mau dititipkan sebuah proses
kehamilan yang pada akhirnya saat anak tersebut telah dilahirkan , ia akan memberikan
anak tersebut kepada pasangan yang telah membayarnya. Disini, subjek ibu pengganti tidak
memikirkan uruan anaknya dan tidak memiliki prihatin terhadap buah hatinya yang lahir
dari kandungannya sendiri, bahwa ia tidak menganut pengertian sebagai ibu yang baik dan
cenderung mengutamakan keuntungan dari kompensasi yang diberikan. Bahwa bedasarkan
sikap menghormati diri sendiri, tindakan ini secara nyata menunjukkan bahwa sebagai ibu
pengganti ia tidak menghormati dirinya sendiri dengan mau menjual dirinya sebagai tempat
penitipan kehamilan. Selain itu, bagi para pihak yang hendak mencari ibu pengganti, lebih
baik tidak menggunakan sarana tersebut demi mencapai buah hati, karena masih terdapat
banyak sarana lain untuk memperoleh anak , yaitu dengan adopsi , tanpa harus
menyebabkan wanita lain terlibat dalam hubungan dan melakukan kompensasi tertentu.
Dengan demikian, menurut saya, perjanjian ibu pengganti ini memang sepantasnya tidak
dilakukan dan seharusnya dilarang karena melanggar moral, norma, dan nilai-nilai dalam
masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai