Anda di halaman 1dari 6

BARANG MILIK NEGARA/DAERAH

Oleh : Dr.Jan Hoesada,CPA & Dr.Mei Ling,SE.,Ak.,MBA

Pendahuluan

PP 27 Tahun 2014 tentang pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah  (BMN/BMD) diundangkan pada 24 April 2014,
mempunyai berbagai dimensi keuangan dan beberapa dimensi akuntansi yang perlu diketahui oleh entitas pelaporan
LK pemerintahan. Sesuai judul “Barang Milik Negara”, kepemilikan BMN  merupakan fokus PP tersebut terkait pada
pengelolaan, penatausahaan, inventarisasi  dan pelaporan BMN.BMN adalah semua barang yang dibeli atau
diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) atau berasal dari perolehan lain yang sah
misalnya penerimaan hibah.

PP 27 tahun 2014 merupakan jalan keluar bagi berbagai masalah akuntansi aset pada  PP 71, dengan cara
mengalirkan semua dokumen pengelolaan & penggunaan BMN/BMD kepada unit akuntansi secara real-time, melalui
instruksi vide Permenkeu dan/atau Permendagri. Sebagai misal, bukti pemusnahan dan penghapusan BMN/BMD
adalah bukti transaksi akuntansi yang paling dibutuhkan oleh akuntansi penghapus-bukuan aset.

Pengelolaan BMNterkait pada kegiatan penggunaan sendiri, pemanfaatan atau pendayagunaan melalui transaksi
sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, bangun guna serah (BOT), bangun serah guna (BTO), kerjasama
penyediaan infrastruktur (prasarana), pemindahtanganan, penjualan, tukar menukar, hibah, penyertaan modal,
pemeliharaan,BMN  tidak digunakan (idle),  pemusnahan, dan penghapusan BMN.

Jenis BMN yang tertengarai pada PP tersebut adalah (1) tanah, (2) bangunan,dan (3)BMN selain tanah dan
bangunan. BMN selain tanah & bangunan mencakupi BMN Tidak Berwujud sesuai Penjelasan PP 27, 2.Gambaran
Umum, a. Ruang Lingkup.

Disimpulkan pemakalah bahwa BMN bangunan mencakupi infrastruktur.  BMN infrastruktur antara lain berupa
infrastruktur transportasi, infrastruktur jalan,infrastruktur sumber daya air, infrastruktur air minum, infrastruktur air
limbah, infrastruktur telekomunikasi,infrastruktur ketenagalistrikan, dan infrastruktur migas.

Disamping klasifikasi tersebut di atas, terdapat klasifikasi BMN Bersifat Khusus, yaitu BMN berspesifikasi khusus,
mengandung kompleksitas khusus (bandar, bandara, bendungan, kilang minyak bumi, instalasi tenaga listrik), BMN
dikerjasamakan sebagai investasi & kontrak bilateral, barang lain bersifat khusus sesuai ketetapan
Gubernur/Bupati/Walikota.

Terdapat penggunaan istilah barang dengan medan makna berbeda pada produk hukum yang berbeda, tertengarai
perbedaan makna “barang”  pada istilah barang milik negara dan belanja barang.Akuntansi pemerintahan
menggunakan istilah persediaan dan aset tetap, sehingga makalah ini bermaksud menerangkan hubungan barang
milik negara dengan pos neraca pemerintahan dalam Laporan keuangan.

PP 27/2014 merupakan sarana administrasi BMN dan penguasaan, pengelolaan serta pertanggungjawaban fisik
BMN, bukan untuk akuntansi pemerintahan dan pelaporan LK pemerintah. Penetapan nilai BMN/D dalam rangka
penyusunan neraca Pemerintah Pusat/Daerah dilakukan dengan berpedoman pada  Standar Akuntansi
Pemerintahan (SAP) sesuai Pasal 49 PP 27/2014, tidak menggunakan PP 27/2014. Pengelola barang dapat
melakukan penilaian kembali atas nilai BMN/D yang telah ditetapkan dalam neraca pemerintah pusat/daerah,
penilaian kembali berlaku secara nasional, sehingga harus diturunkan menjadi keputusan Penilaian Kembali BMD
oleh Gubernur/Bupati/Waliktota, sesuai Pasal 52 PP 27/2014.

Entitas Penanggungjawab

Terdapat berbagai entitas terkait pada BMN yaitu (1) entitas pengelola BMN/BMD, (2) entitas pengguna BMN/BMD,
dan (3) entitas kuasa pengguna BMN/BMD.

Pengelolaan barang  adalah aktivitas perencanaan kebutuhan BMN/BMD, aktivitas penganggaran BMN/BMD,
aktivitas pengadaan BMN/BMD, aktivitas penggunaan, pemanfaatan, pengamanan, pemeliharaan, penilaian,
pemindahtanganan, pemusnahan, penghapusan dan penatausahaan  BMN/BMD,aktivitas pembinaan, pengawasan
dan pengendalian. Pengguna BMN/BMD dan Kuasa Pengguna BMN/BMD sesuai Pasal 3 ayat (2) PP 27/2014.
Pejabat pengelola BMN adalah Menteri keuangan selaku BUN, pejabat pengelola BMD adalah
Gubernur/Bupati/Walikota.

Pengelola barang berwenang (1) menetapkan Kebijakan BMN/BMD, berwenang (2) menetapkan Pedoman
BMN/BMD dan (3) melaksanakan pengelolaan BMN/BMD.   Pengguna barang adalah penguasa BMN/D,
berwewenang menggunakan BMN/BMD dan/atau menunjuk Kuasa Pengguna Barang, yaitu  kepala satuan kerja
atau pejabat ditunjuk untuk menggunakan BMN/BMD.  Kuasa Pengguna Barang ditunjuk oleh PengunaBarang

Selain Menteri Keuangan, semua menteri/pimpinan lembaga selaku pimpinan kementerian/ lembaga adalah
pengguna BMN, kepala kantor dalam lingkungan kementerian negara/lembaga adalah kuasa pengguna BMN dalam
lingkungan kantor. Kepala satuan kerja perangkat daerah adalah Pengguna BMD, tidak ada  pejabat Kuasa
Pengguna BMD.

Penggunaan BMN/BMD adalah kegiatan pengelolaan & penatausahaan BMN/BMD sesuai tupoksi Pengguna
BMN/D. Penatausahaan BMN/BMD adalah kegiatan pembukuan (bukan akuntansi versi PP 71).  BMN/BMD cq
pelaksanaan administrasi Daftar Barang Pengguna dan Daftar Barang Kuasa Pengguna, inventarisasi BMN/BMD,
dan pelaporan BMN/BMD. Inventarisasi BMN/BMD adalah kegiatan pendataan keberadaan fisik & kondisi fisik
BMN/BMD, pencatatan dan pelaporan hasil  pendataan fisik  tersebut.

Pengelolaan BMN/BMD

Dalam akuntansi pemerintahan, tanah dan bangunan tergolong aset tetap  apabila digunakan sendiri, tergolong
persediaan apabila diperoleh berdasar alokasi APBN/D untuk bantuan sosial atau diperoleh untuk dihibahkan.

Penilaian BMN berupa tanah/bangunan untuk pemanfaatanberdasar nilai wajar sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan sesuai Ayat (3) Pasal 50 PP 27/2014 dilakukan Penilai Pemerintah atau Penilai Publik yang
ditetapkan Pengelola Barang sesuai Ayat (1) Pasal 50 PP 27/2014. Pada akuntansi pemerintahan versi PP 71/2010,
tanah/bangunan pada awalnya dicatat dengan harga perolehan, bukan nilai wajar.
Penilaian BMD berupa tanah/bangunan untuk pemanfaatan  berdasar nilai wajar sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan sesuai Ayat (3) Pasal 50 dilakukan Penilai Pemerintah atau Penilai Publik yang ditetapkan
Gubernur/Bupati/Walikota sesuai Ayat (2) Pasal 50. Pada akuntansi pemerintahan versi PP 71, tanah/bangunan
pada awalnya dicatat dengan harga perolehan, bukan nilai wajar.

Pemindahtanganan BMN dilakukan melalui transaksi penjualan, pertukaran, hibah dan sebagai setoran penyertaan
modal pemerintah dalam bentuk inbreng (bukan uang tunai) sesuai Pasal 54 (2).

Dalam hal pemindahtanganan BMN Tanah atau Bangunan oleh Pemerintah Pusat,  penilaian BMN berupa
tanah atau bangunan untuk  pemindahtanganan  -kecuali penjualan BMN berbentuk tanah untuk rumah susun –
berdasar nilai wajar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan sesuai Ayat (3) Pasal 50 dilakukan Penilai
Pemerintah atau Penilai Publik yang ditetapkan Pengelola Barang sesuai Ayat (1) Pasal 50. Pemindahtanganan
BMN tanah dan/atau bangunan –tanpa batasan nilai- harus dengan persetujuan DPR, bukan Presiden cq Menteri
keuangan, sesuai Pasal 55 (1). Pemindahtanganan BMN (keluar) dilakukan melalui transaksi penjualan, pertukaran,
hibah dan sebagai setoran penyertaan modal pemerintah dalam bentuk inbreng (bukan uang tunai) sesuai Pasal 54
(2).

Dalam hal penjualan BMN Tanah untuk Rumah Susun, nilai jual BMN/D tanah untuk rumah susun ditetapkan
Menteri Keuangan berdasar perhitungan Menteri  Pekerjaan Umum, sesuai Ayat (5) Pasal 50.

3.Pemindahtangan BMN bukan tanah/bangunan oleh Pemerintah Pusat.

Pemindahtangan BMN bukan tanah/bangunan bernilai wajar diatas Rp. Seratus Miliar oleh Pemerintah Pusat
dilakukan setelah mendapat persetujuan DPR sesuai Pasal 55 (1) a, kecuali memang sudah tak sesuai tataruang &
penataan kota, bangunan lama diruntuhkan untuk diganti bangunan baru, tanah/bangunan diperuntukkan bagi
pegawai negeri, atau dikuasai negara berdasarkan Pasal 55(3).

Pemindahtanganan BMN bukan tanah/bangunan bernilai wajar tepat Rp.100 Miliar kebawah dilakukan oleh
Pemerintah Pusat tanpa perlu persetujuan DPR. Dengan demikian, nilai buku aset tercantum dineraca dan pada
subledger (pembukuan)  tak dapat digunakan, karena tak selalu merepresentasikan nilai wajar.

Dibutuhkan PMK khusus tentang (1)tatacara penetapan status tidak diperlukan lagi (vide Pasal 54(1) dan (2)
penetapan nilai wajar BMN yang akan dipindahtangankan, agar tak menimbulkan berbagai masalah dan temuan
pelanggaran dalam audit BPK, (3) pernyataan tidak sesuai tata ruang & tatakota, pernyataan diperuntukkan kepada
pegawai negeri, dan pindah tangan ke dalam penguasaan negara, apabila tak meminta persetujuan DPR.

Sejalan dengan pengelolaan BMN pada pemerintah pusat.Pemindahtanganan BMD Tanah atau Bangunan pada
tataran pemerintah daerah sedikit berbeda. Penilaian BMD   berupa tanah/bangunan untuk  pemindahtanganan-
kecuali penjualan BMD tanah untuk rumah susun-berdasar nilai wajar sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan sesuai Ayat (4) Pasal 50 dilakukan Penilai Pemerintah atau Penilai Publik yang ditetapkan
Gubernur/Bupati/Walikota sesuai Ayat (2) Pasal 50. Pemindahtanganan BMD tanah dan/atau bangunan–tanpa peduli
betapa kecil nilainya- harus dengan persetujuan DPRD, bukan Kepala Daerah, sesuai Pasal 55 (2).

Penilaian BMD   tanah/bangunan untuk pemanfaatan dan pemindahtanganan  berdasar nilai wajar sesuai


ketentuan peraturan perundang-undangan sesuai Ayat (3) Pasal 51 dilakukan tim yang ditetapkan
Gubernur/Bupati/Walikota sesuai Ayat (2) Pasal 51 dengan/tanpa Penilai yang ditetapkan Gubernur/Bupati/Walikota
sesuai Ayat (2) Pasal 51. Hasil penilaian Tim tanpa bantuan penilai  disebut nilai taksiran sesuai Ayat (4) Pasal 51,
selanjutnya digunakan Gubernur/Bupati/Walikota untuk BMN tersebut sesuai Ayat (5) Pasal 51 dan Permendagri
tentang Penilaian BMD.

Pemindahtangan BMD bukan tanah/bangunan bernilai wajar diatas Rp. 5 Miliar oleh Pemerintah Daerah dilakukan
setelah mendapat persetujuan DPRD. Pemindahtangan BMD selain tanah/bangunan bernilai wajar tepat Rp.5 Miliar
kebawah dilakukan oleh Pemerintah Daerah tanpa perlu persetujuan DPRD. Dengan demikian  nilai buku aset
tercantum dineraca Pemda  tak dapat digunakan untuk pengelolaan BMD, karena tak selalu merepresentasikan nilai
wajar. Dibutuhkan Permendagri khusus tentang (1) tatacara penetapan status tidak diperlukan lagi (vide Pasal 54(1)
dan (2) tatacara penetapan nilai wajar BMD yang akan dipindahtangankan, agar tak menimbulkan berbagai masalah
dan temuan pelanggaran dalam audit BPK.

Pada pemerintah pusat, penilaian BMNselain tanah/bangunan untuk pemanfaatan dan pemindahtangananberdasar
nilai wajar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan sesuai Ayat (3) Pasal 51 dilakukan Penilai yang
ditetapkan Pengguna Barang sesuai Ayat (1) Pasal 51, selanjutnya digunakan Pengguna Barang untuk BMN
tersebut sesuai Ayat (5) Pasal 51 dan PMK tentang Penilaian BMN.

Pada tataran pemerintah daerah, penilaian BMDberupa tanah/bangunan untuk pemanfaatan dan
pemindahtanganan  berdasar nilai wajar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan sesuai Ayat (3) Pasal 51
dilakukan tim yang ditetapkan Gubernur/Bupati/Walikota sesuai Ayat (2) Pasal 51 dengan/tanpa Penilai yang
ditetapkan Gubernur/Bupati/Walikota sesuai Ayat (2) Pasal 51. Hasil penilaian Tim tanpa bantuan penilai  disebut
nilai taksiran sesuai Ayat (4) Pasal 51, selanjutnya digunakan Gubernur/Bupati/Walikota untuk BMN tersebut sesuai
Ayat (5) Pasal 51 dan Permendagri tentang Penilaian BMD.

Inventarisasi BMN/D

PP 27/2014 mewajibkan pengguna barang wajib melakukan inventarisasi BMN/BMD sekurang-kurangnya satu kali
dalam lima tahun, BMN/BMD Persediaan dan BMN /BMD Konstruksi Dalam pengerjaan harus diinventarisasi setiap
tahun, sesuai pasal 85 PP 27/2014, sebaiknya kegiatan inventarisasi yang dilakukan kementerian negara/lembaga
dan pemerintah daerah dikoordinasikan dengan aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) tiap kementerian
negara /lembaga dan pemerintah daerah, serta Kementerian Keuangan untuk keperluan penyusunan laporan
keuangan pemerintahan.

Manfaat  PP 27/2014 Bagi Pelaku PP 71/2010

Dari Pengelola Barang dan/atau pengguna barang, para entitas pelaku PP 71/2010 akan memperoleh bukti transaksi
BMN/D yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN/APBD, bukti perolehan lain yang sah misalnya bukti penerimaan
hibah, donasi, sumbangan, tranfer diterima, bukti penerimaan BMN/BMD berdasar kontrak atau perjanjian, bukti
penerimaan BMN/BMD karena pemberlakuan UU tertentu, dan berbagai bukti keputusan pengadilan berkekuatan
hukum tetap atas suatu perolehan BMN/D, melalui suatu Permenkeu dan Permendagri tentang Kewajiban
Menembuskan kepada Kementerian Keuangan dan/atau Satker Akuntansi & Pelaporan LK terkait seluruh bukti
transaksi tersebut di atas.
Pelaksanaan tatausaha BMN/BMD versi PP 27/2014 sangat menguntungkan pelaksana PP 71/2020 umumnya,
khususnya akan memberi bukti transaksi akuntansi versi PP 71/2010 untuk surat keputusan penggunaan sendiri
(dicatat sebagai AT), kegiatan pemanfaatan dan sewa (dicatat sebagai properti investasi), pinjam pakai tanpa
imbalan (sebagai investasi dengan manfaat sosial, sebagai aset dihentikan penggunaannya atau aset lain), sebagai
penyertaan modal pemerintah atau bagian setoran kerjasama pemanfaatan atau KSO (sebagai investasi), kegiatan
BOT atau BTO (sebagai investasi), kerjasama infrastruktur (sebagai investasi) ditambah berbagai bukti akuntansi PP
71/2010 untuk  transaksi hibah, transfer dan pemindahtanganan, sampai bukti transaksi pemusnahan fisik BMN/BMD
dan bukti transaksi (dokumen) penghapusan BMN/BMD, melalui suatu Permenkeu dan Permendagri tentang
Kewajiban Menembuskan kepada Kementerian Keuangan dan/atau Satker Akuntansi & Pelaporan LK terkait seluruh
bukti transaksi tersebut di atas.

PP 27/2014 akan menjamin kesehatan administrasi BMN/BMD, tatausaha atau


pembukuan ekstrakomptabelBMN/BMD di luar sistem akuntansi & pelaporan LK, memberi Daftar Barang Pengguna
dan Daftar Barang Kuasa Pengguna yang dapat direkonsiliasi dengan daftar AT dan daftar persediaan sebagai
lampiran Neraca tiap entitas pelaporan yang berstatus pengelola BMN/BMD atau Pengguna BMN/BMD. Inventarisasi
lima tahunan versi PP 27/2010 dapat dicontoh (benchmark) oleh Kementerian Keuangan dan Satker Akuntansi 
kementerian negara/lembaga dan pemda dalam frekuensi lebih ketat, misalnya inventarisasi  terseleksi tahunan
bahkan bulanan bagi BMN/BMD yang rentan kerusakan, kehilangan dan KKN saja, oleh inspektorat jenderal atau
APIP.

Para akuntan dan auditor LK menggunakan Kebijakan Kapitalisasi BMN/BMD, Pedoman Pengelolaan BMN/BMD
diturunkan menjadi Pedoman Akuntansi, penetapan status kepemilikan, penguasaan dan penggunaan akan menjadi
basis utama pengakuan aset berupa BMN/BMD, dokumen persetujuan dan laporan pelaksanaan pemusnahan &
penghapusan BMN/BMD akan menjadi basis utama  hapus-buku aset tersebut, Laporan BMN/BMD akan menjadi
sarana rekonsiliasi  utama dengan subledger AT,ATB dan Persediaan, Laporan Barang Pengguna Semesteran dan
Tahunan kepada Pengelola Barang dapat digunakan sebagai  sarana rekonsiliasi dengan subsidiary ledger AT,ATB
dan Persediaan, Laporan Pengamanan  dan Pemeliharaan BMN/BMD dapat digunakan akuntan pemerintah sebagai
sarana rekonsiliasi beban pemeliharaan dan renovasi BMN/BMD, sehingga perlu suatu Permenkeu dan/atau
Permendagri memastikan hal-hal tersebut dapat terjadi.

Sesuai UU, perolehan, penggunaan, pemanfaatan, pelepasan, pemusnahan dan penghapusan BMN/BMD harus
dilaksanakan secara efektif, efisien, transparan, terbuka,  adil dan akuntabel. Audit investigasi dilakukan pada setiap
jenis kegiatan tersebut, misalnya pelepasan penjualan BMN/BMD kepada oknum pejabat pemerintahan yang
menyebabkan kerugian negara.  Auditor kinerja kepemerintahan akan menggunakan Laporan Berkala BMN/BMD
yang tidak digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan tupoksi  kantor pemerintahan dan sedang tidak
dimanfaatkan pihak lain, sebagai basis pengukuran efektivitas dan efisiensi. Petugas akuntansi mereklasifikasi
BMN/BMD menganggur tersebut pada suatu kelompok aset lain di Neraca.

Kesimpulan & Penutup

Pengaturan dalam PP 27 Tahun 2014 mengenai penilaian tanah dan/atau bangunan dalam rangka pemanfaaatan
atau pemindahtangan untuk mendapatkan nilai wajar telah sesuai dengan praktik-praktik terbaik internasional
(internasional best practices). Penerapan fair value accounting telah diterapkan disebagian negara dalam akuntansi
dan penyusunan LK pemerintah. Selanjutnya, berdasarkan GFS, penilaian menggunakan harga pasar terkini (current
market value) digunakan untuk aset yang diperdagangkan dalam pasar yang aktif. Untuk penilaian aset yang tidak
atau jarang diperdagangkan di pasar dapat menggunakan penilaian yang setara dengan harga pasar (market value
equivalent), misalnya dengan menggunakan fair value. Penggunaan fair value ini dapat menjadi salah satu langkah
awal dalam harmonisasi antara Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) dengan GFS.Jika Indonesia akan
mengadopsi penilaian fair value untuk pemanfaatan atau pemindahtanganan sebagaimana diamanatkan dalam PP
27/2014, maka sebagian nilai aset telah dinilai dengan fair value dalam administrasi BMN yang akan menjadi input
untuk laporan akuntansi. Dengan kelahiran PP 27/2014, KSAP mendapat momentum emas untuk menyusun Standar
Akuntansi Pemerintahan tentang GFS mengambil hikmah IPSAS tentang GFS dalam rangka harmonisasi antara
SAP dan GFS.

Praktik harmonisasi penerapan akuntansi dan GFS telah dilakukan oleh Australia melalui Australian Accounting
Standards Board (AASB) 1049 tentang Whole of Government and General Government Sector Financial Reporting,
sehingga Australia hanya menyusun  satu laporan akuntansi dan GFS yang terharmonisasi. Selain itu, Australia juga
telah menerapkan fair value accounting bagi akuntansi dan pelaporan LK pemerintahan untuk keperluan akuntansi
dan GFS yang terharmonisasi. Pengecualian terhadap harmonisasi tersebut juga telah diatur dalam AASB 1049.

PP 27/2014 adalah tentang administrasi BMN berdasar nilai wajar, merupakan basis yang baik untuk Neraca
Proforma (Proforma Balance Sheet)  untuk keperluan GFS pemerintahan NKRI. Apabila diatur dalam SPAP tentang
GFS, Neraca Proforma Berbasis GFS dapat mejadi lampiran LK berbasis PP 71/2010 sedemikian rupa, sehingga
dapat terliput pada opini BPK terhadap LK. Hal tersebut akan meningkatkan kualitas laporan GFS yang pada
akhirnya akan meningkatkan kualitas pengambilan kebijakan fiskal. Dengan demikian, WTP menjadi keniscayaan
agar setiap laporan keuangan auditan beropini WTP dapat menjadi bahan baku laporan berbasis  SPAP GFS.Pada
era GFS paripurna, LK beropini WTP bagi setiap entitas pelaporan merupakan keniscayaan, bukan cita-cita entitas
pelaporan.

Anda mungkin juga menyukai