Anda di halaman 1dari 16

AUDIT BARANG MILIK NEGARA

2.1. Audit Transaksi Barang Milik Negara: Mekanisme Transaksi


2.1.1. Pengertian Barang Milik Negara
Barang Milik Negara atau yang biasa disingkat BMN, merupakan bagian tak
terpisahkan dari Keuangan Negara sebagaimana tertuang dalam pasal 1 Undang-
undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara disebutkan bahwa:
“Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang
dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut.
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara, pada pasal 1 disebutkan bahwa: “Barang Milik Negara adalah semua barang
yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya
yang sah”. Didalam penatausahannya BMN dapat dibedakan sebagai aset lancer dan
aset tetap lainnya. Dimana tidak termasuk dalam pengertian BMN adalah barang-
barang yang dikuasai dan atau dimiliki oleh:
a. Pemerintah Daerah (sumber dananya berasal dari APBD termasuk yang
sumber dananya berasal dari APBN tetapi sudah diserah terimakan kepada
Pemerintah Daerah).
b. Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah yang terdiri:
1. Perusahaan Perseroan, dan
2. Perusahaan Umum.
c. Bank Pemerintah dan Lembaga Keuangan Milik Pemerintah.
Selanjutnya, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, pengertian “perolehan lainnya yang sah”
disebutkan antara lain meliputi hibah/sumbangan, pelaksanaan perjanjian/kontrak,
diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang, dan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
2.1.2. Klasifikasi Barang Milik Negara
Dalam akuntansi pemerintah, BMN merupakan bagian dari asset pemerintah
pusat yang berwujud. Sedangkan pengertian asset menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah adalah sebagai
berikut: Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh
pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi
dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah
maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya
nonkeuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan
sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya.
Dalam modul Sistem Informasi dan Manajamen Akuntansi Barang Milik
Negara (SIMAK-BMN), Tim PPAKP menyatakan bahwa BMN dalam SIMAK-
BMN terbagi menjadi aset lancar, aset tetap, aset lainnya, dan aset bersejarah dengan
penjelasan sebagai berikut: Aset lancar adalah aset yang diharapkan segera untuk
direalisasikan, dipakai, atau dimiliki untuk dijual dalam waktu 12 (dua belas) bulan
sejak tanggal pelaporan. Aset tetap adalah aset berwujud yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintah
atau dimanfaatkan oleh masyarakat umum. Sedangkan aset lainnya adalah aset yang
tidak bisa dikelompokkan ke dalam aset lancar maupun aset tetap. Adapun aset
bersejarah merupakan aset yang mempunyai ketetapan hukum sebagai aset
bersejarah disebabkan karena kepentingan budaya, lingkungan dan sejarah. Aset
bersejarah tidak wajib disajikan di dalam neraca tetapi harus diungkapkan dalam
catatan atas laporan keuangan.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2010 tentang Standar
Akuntansi Pemerintah, dalam Lampiran I.08 PSAP 07 tentang Akuntansi Aset Tetap
dijelaskan bahwa aset tetap diklasifikasikan berdasarkan kesamaan dalam sifat atau
fungsinya dalam aktivitas operasi entitas. Klasifikasi aset tetap tersebut yaitu sebagai
berikut:
1. Tanah
Tanah yang dikelompokkan sebagai aset tetap ialah tanah yang diperoleh
dengan maksud untuk dipakai dalam kegiatan operasional pemerintah dan
dalam kondisi siap dipakai.
2. Peralatan dan Mesin
Peralatan dan mesin mencakup mesin-mesin dan kendaraan bermotor,
alat elektronik, invetaris kantor, dan peralatan lainnya yang nilainya
signifikan dan masa manfaatnya lebih dari 12 (dua belas) bulan dan dalam
kondisi siap pakai.
3. Gedung dan Bangunan
Gedung dan bangunan mencakup seluruh gedung dan bangunan yang
diperoleh dengan maksud untuk dipakai dalam kegiatan operasional
pemerintah dan dalam kondisi siap pakai.
4. Jalan, Irigasi dan Jaringan
Jalan, irigasi dan jaringan mencakup jalan, irigasi dan jaringan yang
dibangun oleh pemerintah serta dimiliki dan/atau dikuasai oleh pemerintah
dan dalam kondisi siap pakai.
5. Aset Tetap Lainnya
Aset tetap lainnya mencakup aset tetap yang tidak dapat dikelompokkan
ke dalam kelompok aset tetap di atas, yang diperoleh dan dimanfaatkan
untuk kegiatan operasional pemerintah dan dalam kondisi siap pakai.
6. Konstruksi dalam Pengerjaan
Konstruksi dalam pengerjaan mencakup aset tetap yang sedang dalam
proses pembangunan namun pada tanggal laporan keuangan belum selesai
seluruhnya.
Untuk memudahkan identifikasi, maka setiap BMN diklasifikasikan dengan
cara tertentu sehingga memberikan kemudahan dalam pengelolaannya. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 97/PMK.06/2007 tentang Penggolongan dan Kodefikasi
Barang Milik Negara sebagai pengganti Keputusan Menteri Keuangan Nomor
18/KMK.018/1999 tentang Klasifikasi dan Kodefikasi Barang Inventaris
Milik/Kelayakan Negara membagi BMN dalam klasifikasi Golongan, Bidang,
Kelompok, Sub Kelompok, dan Sub-sub Kelompok.
Golongan BMN meliputi: Barang Tidak Bergerak; Barang Bergerak; Hewan,
Ikan dan Tanaman, Barang Persediaan, Konstruksi Dalam Pengerjaan, Aset Tak
Berwujud dan Golongan Lain-lain. Dari masing-masing Golongan tersebut
selanjutnya dirinci lagi ke dalam klasifikasi bidang, kelompok, sub kelompok, dan
sub-sub kelompok. Dengan demikian, klasifikasi paling rinci (detil) ada di level sub-
sub kelompok.
2.1.3. Jenis Transaksi Barang Milik Negara
a. Saldo Awal
1. Saldo akhir periode sebelumnya, merupakan akumulasi dari seluruh
transaksi BMN periode sebelumnya
2. Koreksi saldo, merupakan koreksi perubahan atas saldo akhir BMN
periode sebelumnya yang disebabkan:
a) Adanya koreksi pencatatan atas nilai/kuantitas BMN yang telah
dicatat dan telah dilaporkan dalam periode sebelumnya, dan
b) Penambahan/pengurangan sebagai akibat dari pelaksanaan
inventarisasi.
b. Perolehan BMN
1. Pembelian, merupakan transaksi perolehan BMN dari hasil pembelian.
2. Transfer Masuk, merupakan transaksi perolehan BMN dari hasil transfer
masuk dari UPKPB yang lain dalam satu departemen.
3. Hibah, merupakan transaksi perolehan BMN dari hasil penerimaan dari
pihak ketiga diluar instansi.
4. Rampasan, merupakan transaksi perolehan BMN dari hasil rampasan
berdasarkan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum
yang sah.
5. Penyelesaian Pembangunan, merupakan transaksi perolehan BMN dari
hasil penyelesaian pembangunan berupa bangunan/gedung dan BMN
lainnya melalui BAST.
6. Pelaksanaan dari perjanjian/kontrak, merupakan barang yang diperoleh
dari pelaksanaan kerjasama pemanfaatan, bangunan guna serah/bangun
serah guna, tukar-menukar, dan perjanjian/kontrak lainnya.
7. Pembatalan Penghapusan, merupakan pencatatan BMN dari hasil
pembatalan penghapusan yang sebelumnya telah dihapuskan/dikeluarkan
dari pembukuan.
8. Reklasifikasi Masuk, merupakan transaksi BMN yang sebelumnya telah
dicatat dengan penggolongan dan kodefikasi BMN yang lain.
c. Perubahan BMN
1. Pengurangan, merupakan transaksi pengurangan kuantitas/nilai BMN
yang menggunakan satuan luas atau satuan lain yang pengurangannya
tidak menyebabkan keseluruhan BMN hilang.
2. Pengembangan, merupakan transaksi pengembangan BMN yang
dikapitalisir yang mengakibatkan pemindahbukuan dari Buku Barang
Ekstrakomptabel ke Buku Barang Intrakomptabel atau perubahan
nilai/satuan BMN dalam Buku Barang Intrakomptabel.
3. Perubahan Kondisi, merupakan pencatatan perubahan kondisi BMN.
4. Revaluasi, merupakan transaksi perubahan nilai BMN yang dikarenakan
adanya nilai baru dari BMN yang bersangkutan sebagai akibat dari
pelaksanaan penilaian BMN.
d. Pengurangan BMN
1. Penghapusan, merupakan transaksi untuk menghapus BMN dari
pembukuan berdasarkan suatu surat keputusan penghapusan oleh instansi
yang berwenang.
2. Transfer Keluar, merupakan transaksi penyerahan BMN dari hasil
transfer keluar dari unit lain dalam satu departemen tanpa menerima
sejumlah sumber daya ekonomi.
3. Hibah Keluar, merupakan transaksi penyerahan BMN kepada pihak
ketiga diluar departemen tanpa menerima sejumlah sumber daya
ekonomi.
4. Reklasifikasi Keluar, merupakan transaksi BMN ke dalam klasifikasi
BMN yang lain. Transaksi ini berkaitan dengan transaksi Reklafikasi
Masuk.
2.1.5. Mekanisme Transaksi
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 78/PMK.06/2014 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Pemanfaatan Barang Milik Negara yang sudah mengakomodir
profit sharing dan kompensasi tetap. Adanya pengaturan profit sharing dan
kompensasi tetap jelas menjadikan pemanfaatan BMN lebih fleksible bagi investor.
Ada empat jenis pemanfaatan BMN yaitu sewa, kerjasama pemanfaatan, pinjam
pakai, bangun serah guna (BSG) dan bangun guna serah (BGS).
Setiap belanja modal/barang harus mengakomodir tiga standar yaitu SBU,
standar barang dan standar kebutuhan. Dengan adanya PMK Nomor 150 Tahun
2014 diharapkan seluruh kementrian/lembaga bisa mengimplementasikan tiga
standar tersebut. Dengan PMK Nomor 150 Tahun 2014 untuk belanja modal/barang
harus melalui DJKN dengan mengajukan Rencana Kebutuhan Barang Milik Negara.
Mekanisme yang berlaku untuk pengajuan Rencana Kebutuhan Barang Milik
Negara ini adalah satuan kerja mengusulkan ke coordinator wilayah (korwil) terkait
kebutuhan yang akan datang, lalu korwil mengajukan ke Kementerian/Lembaga dan
Kementerian/Lembaga mengajukan ke DJKN kantor pusat. Tugas kantor wilayah
DJKN dan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) adalah
mencocokan data dari kantor pusat mengenai data yang diajukan oleh
Kementerian/Lembaga dengan kondisi satker di wilayahnya, dan mengajukan
asistensi terhadap satker yang ada dibawahnya. Harus dipastikan seluruh satker dan
korwil melaksanakan (pengajuan Pengelolaan BMN, RKBMN dan pengajuan dana
pemeliharaan) sesuai dengan peraturan yang ada.
2.2. Audit Transaksi Barang Milik Negara: Persediaan dan Aktiva Tetap
Menurut PSAP Nomor 05 disebutkan bahwa persediaan mencakup barang
atau perlengkapan yang dibeli dan disimpan untuk digunakan, misalnya barang habis
pakai seperti alat tulis kantor, barang tak habis pakai seperti komponen peralatan dan
pipa, dan barang bekas pakai seperti komponen bekas. Tujuan penyusunan pedoman
mengenai penatausahaan persediaan adalah member petunjuk kepada organisasi
yang terkait dalam pelaksanaan pencatatan dan pelaporan persediaan agar organisasi
tersebut memiliki presepsi yang sama sehingga tercapai keseragaman dalam
penatausahaan persediaan. Sedangkan tujuan penatausahaan persediaan adalah:
a. Menyediakan informasi yang akurat dan tepat waktu tentang persediaan.
b. Mengamankan transaksi persediaan melalui pencatatan, pemrosesan dan
pelaporan transaksi keuangan konsisten mendukung penyelenggaraan SAPP
yang menghasilkan informasi persediaan sebagai dasar pertanggungjawaban
dan pengambilan keputusan.
Ruang Lingkup Akuntansi Persediaan ini berlaku untuk seluruh unit organisasi
pemerintah pusat yang mengelola persediaan. Unit organisasi pemerintah tersebut
terdiri dari:
a. Lembaga Tinggi Negara;
b. Kementrian Negara/Lembaga Tidak termasuk dalam ruang lingkup akuntansi
persediaan ini adalah: 1. Pemerintah Daerah; 2. BUMN/BUMD;
c. Bank Pemerintah dan Lembaga Keuangan Milik Pemerintah.
2.2.1. Penatausahaan Persediaan
Mekanisme Penatausahaan Persediaan dilaksanakan oleh UAKPB sesuai
dengan PMK Nomor 59/PMK.06/2005 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan
Keuangan Pemerintah Pusat. Dalam menatausahakan persediaan, UAKPB juga
harus mengacu kepada Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
18/KMK.018/1999. Persediaan dicatat dalam Buku Persediaan (dalam bentuk kartu)
untuk setiap jenis barang. Berdasarkan saldo per jenis persediaan pada Buku
Persediaan disusun Laporan Persediaan. Laporan Persediaan disusun menurut Sub
kelompok Barang dan dilaporkan setiap semester. Laporan Persediaan dibuat
didasarkan pada saldo pada akhir periode pelaporan berdasarkan hasil opname fisik.
Laporan Persediaan dari UAKPB dikirimkan ke UAPPB-W. Laporan
Persediaan pada tingkat UAPPB-W sampai UAPB dibuat berdasarkan
penggabungan Laporan Persediaan organisasi BMN di bawahnya dan disajikan
dalam Bidang Barang. Sebagai pengganti Buku Persediaan pada tingkat UAPPB-
W/UAPPBE1/UAPB adalah arsip Laporan Persediaan dari seluruh organisasi BMN
di bawahnya. UAKPB membuat mapping data persediaan berdasarkan Laporan
Persediaan dan harga pembelian terakhir yang diperoleh dari UAKPA.
Penyajian perkiraan persediaan dalam Neraca didasarkan pada hasil proses
mapping klasifikasi BMN sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor
18/KMK.018/1999 dengan perkiraan buku besar neraca. Pelaporan Dokumen yang
digunakan dalam pelaksanaan pencatatan persediaan adalah sebagai berikut :
a. Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D), Surat Perintah Membayar (SPM) dan
dokumen pendukung lainnya (Faktur, Kuitansi, Kontrak/SPK, Berita Acara
Serah Terima);
b. Buku Persediaan. Laporan yang dihasilkan: 1. Laporan Persediaan; 2.
Laporan Hasil Mapping.
Berikut ini adalah contoh petunjuk pengisian dan bentuk Buku Persediaan,
Laporan Persediaan dan Laporan Hasil Mapping.
1. Buku Persediaan
 Buku Persediaan dibuat dalam bentuk kartu untuk setiap jenis (item)
barang. Pada setiap buku persediaan dicantumkan kode dan uraian sub-
sub kelompok barang untuk barang yang dapat diklasifikasikan sesuai SK
Menkeu nomor 18/KMK.018/19991;
 Buku Persediaan diisi setiap ada mutasi barang persediaan, seperti
pembelian, hibah dan mutasi penggunaan barang persediaan;
 Setiap akhir tahun perlu diadakan inventarisasi persediaan untuk
menentukan kuantitas dari setiap item persediaan dan selanjutnya buku
persediaan disesuaikan berdasarkan hasil inventarisasi tersebut;
 Buku Persediaan dikelola oleh petugas yang menangani persediaan.
2. Laporan Persediaan
 Laporan Persediaan dibuat setiap akhir semester pada suatu periode
akuntansi untuk melaporkan nilai persediaan pada akhir semester;
 Laporan Persediaan dibuat oleh Petugas yang menangani persediaan dan
diketahui oleh penanggung jawab UAKPB;
 Laporan Persediaan harus memberikan informasi jumlah persediaan yang
rusak atau using. Persediaan yang telah usang adalah persediaan yang
tidak dapat dimanfaatkan untuk kegiatan operasional bukan hanya karena
usianya tapi juga karena sudah ketinggalan teknologi atau
ketidaksesuaian spesifikasi.
3. Laporan Hasil Mapping
 Laporan Hasil Mapping dibuat setiap akhir semester pada suatu periode
akuntansi serta setelah membuat Laporan Persediaan;
 Laporan Hasil Mapping memberikan informasi jumlah nilai serta
kuantitas persediaan berdasarkan Laporan Persediaan yang disesuaikan
menjadi nilai serta kuantitas persediaan berdasarkan Bagan Perkiraan
Standar (PMK Nomor 13/PMK.06/2005)
 Laporan Persediaan dibuat oleh Petugas yang menangani persediaan dan
diketahui oleh penanggung jawab UAKPB.
Siklus Akuntansi Persediaan (Flowchart) Akuntansi persediaan oleh UAKPB
dapat dilakukan secara manual atau menggunakan aplikasi persediaan,
maksudnya:
1. Apabila akuntansi persediaan sudah dilakukan dengan menggunakan
aplikasi persediaan maka jurnal penyesuaian persediaan akan terbentuk
secara otomatis dari sistem aplikasi persediaan. UAKPB mengirimkan
file data jurnal penyesuaian kepada UAKPA.
2. Apabila akuntansi persediaan belum menggunakan aplikasi persediaan,
maka jurnal penyesuaian persediaan dibuat dengan menggunakan
formulir jurnal aset (FJA) oleh UAKPA. Selanjutnya UAKPA merekam
data persediaan menggunakan aplikasi persediaan, pada setiap akhir
semester harus membuat jurnal aset untuk mencatat nilai persediaan
berdasarkan Laporan Persediaan dan Laporan Hasil Mapping yang
diterima dari UAKPB. Nilai rupiah yang dicantumkan dalam jurnal
adalah nilai rupiah persediaan hasil mapping. Jurnal tersebut direkam
melalui Aplikasi SAK untuk menyusun Laporan Keuangan berupa
Neraca. Hasil mapping disajikan dalam CaLK.
3. Jurnal Persediaan adalah pencatatan transaksi pertama kali dimana satu
transaksi akan mempengaruhi dua atau lebih perkiraan, satu sisi sebagai
debet dan sisi lainnya sebagai kredit. Satuan kerja membuat jurnal
persediaan agar dapat menyajikan nilai persediaan dalam neraca.
2.2.2. Audit Belanja Barang dan Jasa
Terdapat lima asersi yang menjadi tujuan pemeriksaan belanja barang dan
persediaan. Tujuan pemeriksaan tersebut adalah untuk pengujian keberadaan dan
keterjadian, kelengkapan, penilaian, hak da kewajiban serta pengungkapan. Berikut
akan dijelaskan satu persatu pengujian yang dilakukan untuk asersi-asersi tersebut.
1. Keberadaan dan Keterjadian
Tujuan dari pengujian ini adalah untuk meyakini apakah nilai persediaan
yang disajikan di dalam laporan keuangan benar-benar ada dan persediaan
negara benar-benar dimiliki oleh pemerintah pusat. Pengendalian intern kunci
pada pengujian ini adalah (1) adanya pemisahan fungsi dari pembuat kebijakan,
pengelola persediaan, pengadaan, pembayaran kas, dan akuntansi, (2) realisasi
pengadaan persediaan telah diotorisasi oleh pejabat yang berwenang, (3)
pemeriksaan fisik persediaan secara regular dan (4) otorisasi penggunaan
persediaan.
Risiko yang muncul atas pengujian asersi ini, diantaranya:
1. Persediaan dianggarkan, tetapi tidak sesuai dengan kebutuhan.
2. Persediaan tidak dianggarkan.
3. Perangkapan fungsi.
4. Pemisahan fungsi secara desain tetapi implementasi tidak terjadi.
5. Tidak dilakukan pemeriksaan fisik barang atau pemeriksaan fisik
formalitas.
6. Persediaan yang dilaporkan tidak ada dokumen kepemilikannya.
7. Persediaan dikuasai pihak lain secara tidak sah.
8. Persediaan tidak dilaporkan.
Pengujian pengendalian intern dapat berupa:
1. Meneliti apakah belanja barang telah dianggarkan dan sesuai dengan
kebutuhan.
2. Meneliti pemisahan fungsi realisasi pengadaan persediaan desain maupun
implementasinya.
3. Meneliti secara uji petik apakah realisasi belanja barang telah diotorisasi
oleh pejabat yang berwenang.
4. Meneliti apakah persediaan tersebut telah diperiksa secara fisik dengan
sebenarnya.
5. Meneliti apakah persediaan yang dilaporkan telah diinventarisasi
kepemilikannya.
6. Meneliti apakah semua persediaan yang dimiliki dikuasai untuk
digunakan.
Pengujian substantif yang dapat dilakukan, diantaranya:
1. Meneliti secara uji petik pengadaan persediaan apakah telah dianggarkan
dalam dokumen anggaran dan meneliti apakah telah sesuai kebutuhan.
2. Meneliti secara uji petik apakah anggaran dan realisasi belanja barang
telah dibukukan dalam LRA dan Neraca.
3. Periksa fisik aset tersebut secara uji petik dan dokumen kepemilikannya
dan pastikan bukan penitipan pihak lain.
4. Periksa dokumen dan catatan aset tetap/barang milik negara apakah telah
dilaporkan dalam neraca.
5. Meneliti apakah terdapat perselisihan mengenai status aset.
6. Lakukan pemeriksaan fisik atas persediaan akhir yang diuji dan buat
berita acara segera setelah pemeriksaan fisik.
7. Meneliti apakah ada persediaan yang sudah usang tetapi masih dicatat
dan disimpan oleh auditee.
8. Lakukan wawancara untuk mengetahui apakah ada barang-barang
persediaan yang merupakan titipan pihak lain.
2. Kelengkapan
Tujuan dari pengujian ini adalah untuk meyakini apakah seluruh transaksi
belanja barang telah dicatat dalam LRA baik anggaran maupun realisasinya serta
aset tetapnya yang relevan pada neraca dan untuk mengetahui dan meyakini
bahwa inventasi telah mencakup semua transaksi pada periode pelaporan. Risiko
yang muncul atas pengujian asersi ini, diantaranya:
1. Belanja barang tidak/kurang dicatat karena tidak ada SP2D.
2. Persediaan yang diperoleh dari belanja barang yang telah direalisasikan
tidak dicatat.
3. Adanya dokumen fiktif belanja barang negara. Salah pencatatan
(oversated dan undersated).
4. Pemalsuan dokumen transaksi belanja barang. Dokumen pendukung
pencatatan kurang lengkap.
5. Pengeluaran kas tidak/kurang dicatat karena tidak ada SP2D.
Pengujian pengendalian intern dapat berupa:
1. Meneliti urutan nomor dan tanggal SPM, apakah telah diperoleh SP2D
dan dibukukan.
2. Meneliti apakah terdapat SP2D yang belum diperoleh atas SPM yang
telah dikeluarkan untuk belanja barang.
3. Meneliti apakah pencatatan belanja barang tersebut seluruhnya telah
dicatat sebagai persediaan yang relevan.
4. Meneliti pencatatan penerimaan dan pengeluaran barang, periksa
dokumen dan otoritas pejabat berwenang.
Pengujian substantif yang dapat dilakukan, diantaranya:
1. Meneliti urutan nomor dan tanggal SPM, apakah telah diperoleh SP2D
dan dibukukan.
2. Meneliti apakah terdapat SP2D yang belum diperoleh atas SPM yang
telah dikeluarkan untuk belanja barang.
3. Meneliti apakah pencatatan belanja barang tersebut seluruhnya telah
dicatat sebagai persediaan yang relevan.
4. Meneliti pencatatan penerimaan dan pengeluaran barang, periksa
dokumen dan otoritas pejabat berwenang.
3. Penilaian
Tujuan dari pengujian ini adalah untuk meyakini apakah transaksi belanja
barang dan persediaan yang relevan telah dicatat sesuai dengan nilai yang
semestinya, dan perhitungan yang tepat. Pengendalian intern kunci pada
pengujian ini adalah adanya prosedur verifikasi intern atau reviu atas nilai
realisasi belanja barang dan persediaan telah dilakukan dan penilaian kembali
pada neraca awal/pertama kali dengan nilai wajar. Risiko yang muncul atas
pengujian asersi ini, diantaranya:
1. Anggaran dan realisasi belanja barang salah dibukukan dan dilaporkan.
2. Persediaan yang diperoleh sebelum neraca awal belum dinilai dengan
nilai wajar.
Pengujian pengendalian intern dapat berupa:
1. Meneliti apakah telah dilakukan verifikasi intern atau reviu atas dokumen
belanja barang dan meneliti apakah hasilnya telah ditindaklanjuti.
2. Meneliti apakah persediaan yang diperoleh sebelum neraca awal telah
dinilai kembali.
Pengujian subsantif yang dapat dilakukan, diantaranya:
1. Meneliti secara uji petik (dokumen anggaran dan realisasi belanja barang
apakah telah benar perhitungannya.
2. Meneliti secara uji petik atas dokumentasi persediaan terkait dengan
belanja barang apakah telah benar perhitungannya.
3. Meneliti secara uji petik apakah persediaan yang dilaporkan dalam
neraca telah dinilai kembali dengan nilai wajar (aset yang diperoleh
sebelum neraca awal).
4. Hak dan Kewajiban
Tujuan dari pengujian ini adalah untuk meyakini bahwa belanja barang
direalisasikan atas persediaan yang relevan. Pengendalian intern kunci pada
pengujian ini adalah pengawasan atau reviu atas belanja barang dan persediaan
terkait. Risiko yang muncul atas pengujian asersi ini, diantaranya:
1. Pengawasan intern atas aset dari belanja lemah.
2. Belanja pemeliharaan yang dapat dikapitalisasi atas aset (tidak
menambah nilai aset).
3. Belanja barang direalisasikan tetapi persediaan dimiliki dan atau dikuasai
oleh pihak lain secara tidak sah.
Pengujian pengendalian intern dapat dilakukan dengan:
1. Meneliti secara uji petik pengawasan atas persediaan.
2. Meneliti perjanjian penitipan oleh pihak ketiga, dokumen-dokumen
pendukung dan nilai barang. Apakah ada penetapan atau proses verifikasi
dan otorisasi dalam penetapan nilai persediaan.
Pengujian substantif yang dapat dilakukan dengan meneliti secara uji petik
terhadap dokumen belanja barang dan persediaan, apakah terdapat aset yang
dikuasai pihak lain.
5. Pengungkapan
Tujuan dari pengujian ini adalah untuk meyakini anggaran dan realisasi
belanja barang serta persediaan telah diungkapkan secara memadai dalam
laporan keuangan dan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP).
Pengendalian intern kunci pada pengujian ini adalah pada pengawasan intern
atau reviu atas klasifikasi akun dan pengungkapan belanja barang dan persediaan
telah memadai dan terdapat kebijakan akuntansi, sistem dan prosedur
penyusunan laporan keuangan, serta verifikasi internal. Risiko yang muncul atas
pengujian asersi ini, diantaranya:
1. Pengawasan atau reviu atas klasifikasi dan pengungkapan lemah.
2. Klasifikasi belanja barang dan persediaan tidak sesuai dengan SAP.
3. Pengungkapan barang dan persediaan tidak dan atau kurang memadai.
4. Pengungkapan transaksi kas tidak/kurang memadai. Salah saji (oversated
dan undersated).
Terdapat pencatatan persediaan ganda, pencampuradukkan persediann (tidak
terklasifikasi). Pengujian pengendalian intern dapat berupa:
1. Meneliti pengawasan atau reviu atas klasifikasi dan pengungkapan atas
persediaan telah dilakukan dan hasilnya memadai.
2. Meneliti apakah pengungkapan belanja barang dan persediaan dalam
catatan atas laporan keuangan telah memadai (sesuai SAP).
3. Reviu kebijakan akuntansi terkait dengan penyajian saldo persediaan dan
telaah kesesuaiannya dengan standar akuntansi pemerintah.
4. Reviu pelaksanaan penyusunan laporan dan verifikasi internal untuk
memastikan bahwa pengungkapan atas penyajian saldo persediaan telah
memadai (sesuai SAP).
5. Meneliti apakah persediaan yang diperoleh dicatat dengan menggunakan
identifikasi yang memadai.
6. Meneliti apakah terdapat prosedur untuk persediaan yang rusak,
kadaluarsa dan hilang dapatkan dokumen pencatatan atas kondisi
persediaan tersebut.
Pengujian subsantif yang dapat dilakukan, diantaranya:
1. Meneliti klasifikasi akun belanja barang dan persediaan pada laporan
keuangan apakah telah sesuai SAP.
2. Meneliti secara uji petik dokumentasi belanja barang dan persediaan
khususnya terhadap kondisi dan status aset apakah telah diungkapkan
secara memadai dalam catatan atas laporan keuangan.
3. Meneliti apakah seluruh penyajian dan pengungkapan saldo persediaan di
neraca telah memadai.
4. Dalam pemeriksaan fisik atas persediaan akhir, inventarisir jumlah
persediaan yang rusak, kadaluarsa dan hilang.
5. Bandingkan dengan catatan persediaan yang ada.

Anda mungkin juga menyukai