Anda di halaman 1dari 6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Homeostasis
Homeostasis (homeo = kesamaan, -stasis = kedudukan yang tetap) adalah
kondisi keseimbangan sistem yang ada di dalam tubuh, disebabkan oleh adanya
interaksi yang konstan dari banyak proses regulasi dalam tubuh. Homeostasis adalah
kondisi dinamis, sebagai respons dari kondisi yang berubah (Tortora dkk, 2016).
Menurut Walter Canon (1929) homeostasis adalah Kecenderungan untuk mengatur
dan mempertahankan stabilitas lingkungan internal. Stabilitas lingkungan internal
hewan air tersebut dijaga dengan sistem pengendalian fisiologis. Meskipun kondisi
(fisika & kimia) eksternal fluktuasinya besar, kondisi (fisika & kimia) internal tubuh
hewan fluktuasinya kecil dan dijaga agar senantiasa stabil.
Sistem kontrol homeostasis adalah suatu jalinan komponen-komponen tubuh yang
saling berhubungan secara fungsional dan bekerja untuk mempertahankan suatu
faktor dalam lingkungan internal agar relatif konstan di sekitar suatu tingkat optimal.
Untuk mempertahankan homeostasis, sistem kontrol harus mampu: (1) mendeteksi
penyimpangan dari nilai normal faktor internal yang perlu dijaga dalam batas-batas
yang sempit; (2) mengintegrasikan informasi ini dengan informasi lain yang relevan;
dan (3) melakukan penyesuaian yang tepat dalam aktivitas bagian-bagian tubuh yang
bertanggung jawab memulihkan faktor tersebut ke nilai yang diinginkan (Sherwood,
2009).
Sistem feedback/feedback loop adalah siklus dari kejadian ketika status kondisi
tubuh dimonitor, dievaluasi, diubah, dimonitor kembali, dan begitu seterusnya.
Berbagai variabel yang dimonitor, seperti suhu tubuh, tekanan darah, atau kadar gula
darah, disebut sebagai “controlled condition” (kondisi yang dikontrol). Berbagai
gangguan yang mengubah “controlled condition” disebut sebagai stimulus.
Sistem feedback memiliki 3 komponen dasar, yaitu reseptor, pusat kontrol/integrasi,
dan efektor (Tortora dkk, 2016).
Antara reseptor dan pusat integrasi dihubungkan oleh saraf sensorik, sedangkan
antar pusat integrasi dan efektor dihubungkan oleh saraf motorik. Reseptor berperan
sebagai pemantau perubahan yang terjadi di lingkungan, baik lingkungan luar
maupun lingkungan dalam tubuh hewan. Dalam sistem hidup, reseptor berfungsi
sebagai transduser biologis, yaitu komponen struktural dalam tubuh hewan yang
memiliki kemampuan untuk mengubah suatu bentuk energi yang dideteksi dari
lingkungan (misalnya energi listrik dan energi kimia) melalui serabut saraf aferen
menuju pusat integrasi (pusat pengatur/kontrol) (Isnaeni, 2006).
Pusat integrasi pada hewan biasanya berupa otak atau korda spinalis. Peran pusat
integrasi ialah membandingkan informasi yang diterimanya dengan keadaan yang
seharusnya (keadaan yang diharapkan). Jika informasi yang diterima tidak sama
dengan keadaan yang seharusnya, contohnya ketika suhu tubuh yang lebih tinggi atau
lebih rendah dari suhu ideal 37oC, hipotalamus sebagai pusat integrasi pengendalian
suhu tubuh dengan sistem umpan balik negatif akan memerintahkan efektor untuk
memberikan tanggapan yang dapat menurunkan atau menaikkan suhu tubuh,
misalnya dengan cara berkeringat, melebarkan pembuluh darah di kulit, dan
melakukan upaya lainnya. Efektor sendiri merupakan organ dalam tubuh hewan yang
berfungsi sebagai organ penghasil tanggapan biologis, yang dapat berupa sel otot atau
kelenjar, dan bekerja atas perintah dari pusat integrasi (Isnaeni, 2006).
Umpan balik terbagi atas dua yaitu negatif dan positif. Umpan balik negatif
dapat didefinisikan sebagai suatu perubahan sebuah variabel yang dilawan oleh suatu
respons yang cenderung berkebalikan dengan perubahan tersebut. Sebagai contoh,
pada burung dan mamalia yang harus menjaga suhu tubuhnya, peningkatan suhu
tubuh akan menghasilkan respons-respons spesifik yang akan mengembalikan suhu
tubuh ke keadaan normal. Jadi, umpan balik negatif berperan dalam menjaga
stabilitas fisiologis tubuh (Santoso, 2009).
2.2 Homeostasis Pada Pengaturan Larutan Dalam Tubuh
Pengeluaran keringat diperlukan untuk mendinginkan kulit dan penting dalam
pengaturan suhu tubuh. Jumlah keringat yang diproduksi tergantung pada kondisi
psikologis atau emosi, jumlah panas yang dibentuk oleh aktivitas otot dan suhu
lingkungan. Pengeluaran keringat yang berlebihan dapat mengakibatkan terjadinya
dehidrasi pada aktivitas fisik (Sherwood, 2001).
Latihan fisik yang dilakukan pada suhu lingkungan yang tinggi
mengakibatkan pengeluaran cairan tubuh melalui keringat akan lebih banyak. Hal ini
mengakibatkan terjadinya penurunan volume cairan tubuh (Soerjatno, 1993 cit Flora,
2005). Volume cairan tubuh pada saat berolahraga dapat dimonitor dengan cara
menimbang berat badan sebelum dan sesudah berolahraga (Borowski, 1998).
Kehilangan cairan 1% dari berat badan melalui keringat mengakibatkan
penurunan performance. Kehilangan cairan melebihi 3% dari berat badan
meningkatkan suhu rectal. Apabila kehilangan cairan lebih dari 5% akan terjadi
penurunan kapasitas kerja 30% dan gangguan fungsi kognitif. Dehidrasi yang ringan
akan mempengaruhi kemampuan kapasitas fisik atlet, sedangkan dehidrasi yang berat
mengakibatkan kematian (Tauhid, 1988 cit Flora 2005).
Untuk menghindari terjadinya dehidrasi terdapat mekanisme adaptasi tubuh
yang berfungsi agar tubuh tetap dalam keadaan homeostatis. Keseimbangan cairan
tubuh dipertahankan dengan mengatur volume cairan ekstra sel. Pada saat dehidrasi
terjadi penurunan volume cairan ekstra sel. Volume cairan ekstra sel dipertahankan
melalui peran angiotensin II. Angiotensin II merangsang sekresi aldosteron, Anti
Diuretic Hormone (ADH) dan mekanisme haus. Apabila terjadi penurunan cairan
ekstrasel, angiotensin II akan menstimulasi aldoseteron yang disekresi oleh korteks
adrenal untuk bekerja pada tubulus contortus renalis distal agar reabsorbsi natrium
meningkat, sedangkan ADH meningkatkan retensi air dan menghambat produksi
urine (Sloane, 2004)
Adanya peningkatan panas tubuh saat latihan fisik mengakibatkan pembuluh
kulit berdilatasi sehingga pengembalian darah venosa diekstremitas melalui vena
superficial dan konduktan juga meningkat. Jika suhu sekeliling lebih rendah daripada
suhu kulit panas dibuang dengan konveksi dan radiasi. Jika panas semakin besar,
kelenjar keringat diaktifkan (Soempeno, 1993 cit Flora, 2005).
Urine yang pekat dibentuk oleh ginjal untuk mempertahankan homeostatis
cairan tubuh (Guyton & Hall, 1997). Peningkatan berat jenis urine mengindikasikan
bahwa jumlah zat terlarut lebih banyak dibandingkan jumlah air dalam urine
(Spengler, 2000). ADH akan tetap bertahan selama 12-48 jam setelah latihan fisik.
Hal ini bertujuan untuk menurunkan produksi urine dan melindungi tubuh dari
dehidrasi yang lebih lanjut (Wilmore & Costill, 2004). Secara klinis kejernihan warna
dan berat jenis urine dapat dijadikan indikator dalam menentukan dehidrasi (Binkley
et al, 2002).
2.3 Faktor-Faktor Homeostasis Pada Pengaturan Larutan Dalam Tubuh (Urine)
Menurut (Smeltzer dkk, dalam Yuwono, Hidayati. 2012) Banyak faktor yang
mempengaruhi volume serta kualitas urin serta kemampuan klien untuk berkemih,
yaitu diet dan asupan makanan, respon keinginan awal untuk berkemih, gaya hidup,
stress psikologis, tingkat aktivitas, tingkat perkembangan serta kondisi penyakit. Hal
ini juga dapat menyebabkan beberapa perubahan tersebut dapat terjadi bersifat akut
dan kembali pulih/reversible ataupun dapat pula terjadi perubahan yang bersifat
kronis serta tidak dapat sembuh kembali/ireversibel . Terjadinya perubahan eliminasi
urin juga dapat terjadi pada wanita yang sedang mengalami kehamilan.
Menurut (Rahmawati dkk, 2009) Setiap hari sekitar ± 1500 liter darah melewati
ginjal untuk disaring dan terbentuk ± 150-170 liter urin primer. Meskipun begitu,
hanya 1-1,5 liter urin yang akan dikeluarkan. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi produksi urin, antara lain.
1. Zat-zat diuretik
Zat-zat diuretik, misalnya kopi, teh dan alkohol akan menghambat reabsorpsi
ion Na+ . Sebagai akibatnya, konsentrasi ADH berkurang sehingga rebasorpsi
air terhambat dan volume urin meningkat Pembentukan urin dipengaruhi oleh
hormon antidiuretika (ADH) yang bersifat menyerap air. Nah, hormon inilah
yang akan menentukan banyak atau sedikitnya urine. Ketika kita banyak
minum air, maka produksi ADH akan sedikit sehingga urine akan banyak
namun bila kita sedikit minum air, maka produksi ADH akan banyak
sehingga urine akan sedikit.
2. Suhu
Jika suhu internal dan eksternal naik di atas normal, maka kecepatan respirasi
meningkat dan pembuluh kutaneus melebar sehingga cairan tubuh berdifusi
dari kapiler ke permukaan kulit. Saat volume air turun, hormon ADH
disekresikan sehingga reabsorpsi air meningkat. Selain itu, peningkatan suhu
merangsang pembuluh abdominal mengerut sehingga aliran darah di
glomerulus dan filtrasi turun. Kedua hal tersebut mengurangi volume urine.
3. Konsentrasi darah
Konsentrasi air dan larutan dalam darah berpengaruh terhadap produksi urin.
Jika kamu tidak minum air seharian maka konsentrasi air di darah menjadi
rendah. Hal ini merangsang hipofisis mengeluarkan ADH. Hormon ini
meningkatkan reabsorpsi air di ginjal sehingga volume urin turun.
4. Emosi
Emosi tertentu dapat merangsang peningkatan dan penurunan volume urin.
Contohnya, jika kamu stres atau gugup, maka kamu akan sering buang air
kecil. Hal ini disebabkan, karena hormon adrenalin meningkat di dalam
darah. Hormon ini akan meningkatkan kinerja ginjal sehingga urin yang
dihasilkan meningkat pula.
DAFTAR PUSTAKA
Binkley, H.M., Beckett, J., Casa, D.J., Kleiners, M.D. & Plummer, E.P., 2002.
National Athletic Trainers’ Association Position Statement : Exertional Heat
Illneses. Journal of Athletic Training. 37 (3) : 329 – 343.
Borowski, L., 1998, Sweating : Students Find Exercise and Dehydration to be Hot
Topics in Chemistry. The Science Teacher Journal. 65(7) : 20 -25
Cannon, Walter B. 1929. Bodily Changes in pain, Hunger, Fear and Rage, Edisi
kedua. New York: Appleton. 27.
Isnaeni, Wiwi. 2006. Fisiologi Hewan, Yogyakarta: Kanisius.
Santoso S. 2009. Kesehatan dan Gizi. Jakarta : Rineka Cipta.
Sherwood, L. 2009. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi VI. Jakarta : EGC.
Sherwood. 2001, Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, EGC, Jakarta
Sloane. E,2004, Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: EGC
Tortora GJ, Derrickson B. 2016. Principles of Anatomy and Physiology. 15th ed.
Asia: Wiley.
Yuwono P Kartika, Hidayati Wahyu. 2012. Studi Deskriptif Volume Urin 24 Jam
Pada Ibu Hamil. Jurnal Nursing Studies. 1(1).

Anda mungkin juga menyukai