Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dispepsia menjadi keluhan klinis yang paling sering dijumpai dalam praktik klinik
sehari-hari. Studi berbasiskan populasi tahun 2007, ditemukan andanya
peningkatan prevalensi dispepsia fungsional sebesar 1,9% pada tahun 1988 naik
menjadi 3,3% pada tahun 2003. Penyebab sindrom atau keluhan ini beragam,
berbagai penyakit termasuk juga didalamnya penyakit yang sering mengenai
lambung, atau yang lebih sering dikenal sebagai penyakit mang kerap dikaitkan
dengan sindrom atau keluhan ini. Dispepsia fungsional memiliki tingkat prevalensi
yang tinggi pada tahun 2010, yaitu 5% dari seluruh kunjungan layanan kesehatan
primer (Abdullah & Gunawan, 2012).

Di negara-negara barat, populasi orang dewasa yang dipengaruhi oleh dispepsia


sekitar 14-38%, dengan 13-18% diantaranya memiliki resolusi spontan dalam satu
tahun serta prevalensi yang stabil dari waktu ke waktu. Sebanyak 25% duri
populasi Amerika Serikat dipengaruhi dispepsia setiap tahunya, dan hanya sekitar
5% duri semua penderita mendatangi dokter pelayanan primer (Andre et al., 2013).

Penelitian terhadap dispepsia fungsional di beberapa negara di Asia juga


menunjukkan prevalensi yang cukup tinggi, yaitu di Cina sebanyak 69% dari 782
pasien dispepsia, di Hongkong 43% dari 1.353 pasien, di Korea 70% dari 476
pasien, dan Malaysia 62% dari 210 pasien (Muya et al. 2015). Dispepsia berada
pada urutan ke-10 dengan proporsi sebanyak 1,5% dalam katagori 10 jenis
penyakit terbesar untuk pasien rawat jalan di semua rumah sakit di Indonesia. Dari
50 daftar penyakit, dispepsia berada pada urutan ke-15 katagori pasien rawat inap
terbanyak di Indonesia pada tahun 2004 dengan proporsi 1,3% serta menempati
posisi ke-35 dari 50 daftar penyakit yang mengakibatkan kematian dengan PMR
0,6% (Kusuma et al., 2011).

Salah satu faktor risiko yang menyebabkan terjadinya dispepsia diantaranya adalah
konsumsi kafein. Kafein yang biasanya ditemukan pada produk minuman seperti
kopi, adalah suatu penyegar tonik, yang bermanfaat untuk asma kronik, nyeri
kepala, serta keracunan opium (Susanti et al. 2011). Saut ini konsumsi kafein di
dunia cukup tinggi. Lebih dari 80% populasi di seluruh dunia mengkonsumsi
kafein setiap harinya baik untuk stimulan, ataupun sebagai kombinasi obat.

Di antara semua makanan dan minuman yang mengandung kafein, kopi menjadi
yang paling banyak dikonsumsi. Kopi menjadi salah satu sumber kafein yang
tersebar luas serta dapat diperoleh secara bebas, disamping produk lainya seperti
minuman berenergi dan juga softdring. Pengaruh gaya hidup memberikan
kontribusi cukup besar dalam peningkatan jumlah konsumen kopi (Liveina &
Artini, 2014).

Pada tahun 2009, terjadi peningkatan konsumsi kopi harian pada remaja berusia
18-24 tahun. Di Amerika Serikat sekitar 90% warganya setiap hari mengkonsumsi
produk berkafein dengan rata-rata mengkonsumsi sebanyak 2- 3 cangkir kopi/ hari.
Penelitian terpisah di Eropa mencatat setiap harinya delapan dari sepuluh orang
dewasa mengkonsumsi kafein. Konsumsi kopi sebagai sumber utama kafein di
Indonesia sendiri mengalami peningkatan sebesar 98% dalam 10 tahun terakhir
(Smith, 2011).

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang di maksud dengan penyakit dispepsia?


2. Apa saja klasifikasi dalam penyakit dispepsia?
3. Apa saja epidemiologi dalam penyakit dispepsia?
4. Bagaimana patofisiologi dalam penyakit dispepsia?
5. Bagaimana menifestasi klinis penyakit dispepsia?
6. Bagaimana menegakan diagnosa untuk penyakit dispepsia?
7. Bagaimana penatalaksanaan penyakit dispepsia?
8. Bagaimana penanganan yang dilakukan untuk penyakit dispepsia?
9. Bagaimana prognosis dalam penyakit dispepsia?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan penyakit dispepsia


2. Untuk mengetahui klasifikasi dalam penyakit dispepsia
3. Untuk mengetahui epidemiologi dalam penyakit dispepsia
4. Untuk mengetahui patofisiologi dalam penyakit dispepsia
5. Untuk mengetahui menifestasi klinis penyakit dispepsia
6. Untuk mengetahui cara menegakan diagnosa dalam penyakit dispepsia
7. Untuk mengetahui tata laksana penyakit dispepsia
8. Untuk mengetahui cara mengatasi Maslaah penyakit dispepsia dengan
beberap penanganan
9. Untuk mengetahui prognosis penyakit dispepsia

BAB II
TINJAUAN TEORI
Pengertian Dispepsia
Kata dispepsia berasal dari Bahasa Yunani dys (bad = buruk) dan peptein (digestion=
pencernaan). Jika digabungkan dispepsia memiliki arti indigestion yang berarti sulit atau
ketidaksanggupan dalam mencerna. Jadi dispepsia didefinisikan sebagai kesulitan dalam
mencerna yang ditandai oleh rasa nyeri atau terbakar di epigastrium yang persisten atau berulang
atau rasa tidak nyaman dari gejala yang berhubungan dengan makan (rasa penuh setelah makan
atau cepat kenyang – tidak mampu menghabiskan makanan dalam porsi normal) (Talley &
Holtmann, 2008). Pada dispepsia organik ditemukan adanya suatu kelainan struktural setelah
dilakukan pemeriksaan endoskopi, Sedangkan definisi dispepsia fungsional berdasarkan
konsensus kriteria Roma III, harus memenuhi satu atau lebih gejala tersebut, serta tidak ada bukti
kelainan struktural melalui pemeriksaan endoskopi, yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan
terakhir, dengan awal gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis (Brun & Kuo, 2010).

Definisi lain dari dispepsia fungsional adalah penyakit yang bersifat kronik, gejala yang
berubah-ubah, mempunyai riwayat gangguan psikiatrik, nyeri yang tidak responsif dengan obat-
obatan, dapat ditunjukkan letaknya oleh pasien, serta secara klinis pasien tampak sehat, berbeda
dengan dispepsia organik yang gejala cenderung menetap, jarang mempunyai riwayat gangguan
psikiatri, serta secara klinis pasien tampak kesakitan (Abdullah & Gunawan, 2012).

Dispepsia merupakan kumpulan gejala berupa rasa nyeri atau ketidaknyamanan yang
berpusat di perut bagian atas. Rasa tidak nyaman secara spesifik meliputi rasa cepat kenyang,
rasa penuh, rasa terbakar, kembung di perut bagian atas dan mual. Gejala tersebut bersifat umum
dan merupakan 30% sampai 40% dari semua keluhan lambung yang disampaikan kepada dokter
ahli Gastroenterologi (O’Mahony dkk, 2006 ). Gejala–gejala yang timbul disebabkan berbagai
faktor seperti gaya hidup merokok, alkohol, berat badan berlebih, stres, kecemasan, dan depresi
yang relevan dengan terjadinya dispepsia (Abdullah & Gunawan, 2012).

Klasifikasi dispepsia
Berdasarkan penyebab dan keluhan gejala yang timbul maka dispepsia dibagi 2 yaitu dispepsia
organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia organik apabila penyebab dispepsia sudah jelas,
misalnya adanya ulkus peptikum, karsinoma lambung, dan cholelithiasis yang bisa ditemukan
secara mudah melalui pemeriksaan klinis, radiologi, biokimia, laboratorium, maupun
gastroentrologi konvensional (endoskopi). Sedangkan dispepsia fungsional apabila penyebabnya
tidak diketahui atau tidak didapati kelainan pada pemeriksaan gastroenterologi konvensional atau
tidak ditemukan adanya kerusakan organik dan penyakit-penyakit sistemik (Djojoningrat,
2006).

Interaksi faktor psikis dan emosi seperti kecemasan atau depresi dapat mempengaruhi
fungsi saluran cerna melalui mekanisme brain – gut – axis. Adanya stimulasi atau stresor psikis
menimbulkan gangguan keseimbangan saraf otonom simpatis dan parasimpatis secara bergantian
(vegetatif imbalance). Stimulasi stresor juga mempengaruhi fungsi hormonal, sistem imun
( psiko– neuro-imun-endokrin ), serta HPA Axis melalui pelepasan CRH dari hipotalamus dan
menyebabkan penurunan regulasi reseptor CRH hipofisis. Akibatnya hipofisis tidak berespons
lagi atau responnya terhadap stresor menjadi datar.

Ketidakseimbangan jalur-jalur tersebut secara langsung atau tidak langsung, terpisah atau
bersamaan dapat mempengaruhi saluran cerna, yaitu: mempengaruhi sekresi asam lambung,
motilitas, vaskularisasi dan menurunkan ambang rasa nyeri (Andre dkk, 2013 ).

Menurut Kriteria Roma III dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 :

klasifikasi, yakni postprandial distres syndrome dan epigastric pain syndrome. Postprandial
distres syndrome mewakili kelompok dengan perasaan “begah” setelah makan dan perasaan
cepat kenyang sedangkan epigastric pain syndrome merupakan rasa nyeri yang lebih konstan
dirasakan dan tidak begitu terkait dengan makan seperti halnya postprandial distress syndrome.

-Dyspepsia fungsional

Postprandial Distres Syndrome Kriteria diagnostik terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya
terpenuhi:

1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan dengan porsi biasa,
sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu

2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi makan biasa,
sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi
sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum
diagnosis.

Kriteria penunjang

1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan atau bersendawa
yang berlebihan

2. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium. Epigastric Pain Syndrome
Kriteria diagnostik terpenuhi bila 5 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium dengan tingkat keparahan
moderat/sedang, paling sedikit terjadi sekali dalam seminggu

2. Nyeri timbul berulang

3. Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain daerah perut bagian
atas/epigastrium

4. Tidak berkurang dengan BAB atau buang angina

5. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan kandung empedu dan
sfingter Oddi Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan
terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis. Kriteria
penunjang 1. Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke daerah
retrosternal

2. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun mungkin timbul saat
puasa

3. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah makan.

Epidemiologi

Dispepsia merupakan masalah umum yang sering ditemukan pada klinik pengobatan.
Ketika pasien selama pengobatan mempunyai gejala tanpa penyebab yang jelas sering
didiagnosa non-ulcer dispepsia. Beberapa laporan menyebutkan presentase dispepsia karena
kelainan organik sekitar 25%-33% dan 67%-75% tanpa penyebab yang jelas. Di seluruh dunia
mempunyai prevalensi sekitar 10%- 40%. Hal itu menunjukan bahwa diagnosis dan evaluasi
harus segera dilakukan.

Keterlambatan diagnosis akan menyebabkan pasien dalam penderitaan dan peningkatan biaya
pemeliharaan kesehatan (Randall dkk, 2014). Prevalensi dispepsia fungsional bervariasi mulai
7%-45% di seluruh dunia dan semua penelitian epidemiologi selalu mengacu pada klasifikasi
kriteria Roma III. Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun 2007, ditemukan
peningkatan prevalensi dispepsia fungsional dari 1,9% pada tahun 1988 menjadi 3,3% pada
tahun 2003. Sedangkan pada tahun 2010, dispepsia fungsional dilaporkan memiliki tingkat
prevalensi tinggi, yakni 5% dari seluruh kunjungan ke sarana layanan kesehatan primer (Lee
dkk, 2014).

Beberapa penelitian yang dilakukan dalam beberapa populasi hasilnya menunjukkan


perbandingan wanita lebih banyak menderita dispepsia fungsional daripada laki-laki yaitu 1,4 : 1
di Hongkong, 1,12 : 1,04 di Korea, 1,35 : 1,15 di Malaysia dan 1,16 : 1,01 di Singapura.
Sedangkan pada ulkus peptikum perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Insiden ulkus
meningkat pada usia pertengahan (Pulanic, 2011). Namun, suatu penelitian di Jepang
menunjukkan perbandingan prevalensi lebih besar pada laki-laki daripada wanita yaitu 2:1
(Kumar dkk, 2012).

Prevalensi dispepsia fungsional berdasarkan kriteria umur ditemukan meningkat secara


signifikan yaitu : 7,7% pada umur 15-17 tahun, 17,6% pada umur 18-24 tahun, 18,3% pada umur
25-34 tahun, 19,7% pada umur 35-44 tahun, 22,8% pada umur 45-54 tahun, 23,7% pada umur
55-64 tahun, dan 24,4% pada umur di atas 65 tahun (Brun & Kuo, 2010).

Patofisiologi dyspepsia functional

Mekanisme patofisiologi timbulnya dispepsia fungsional atau ulkus peptikium masih


belum seluruhnya dapat diterangkan secara pasti. Hal ini menunjukan bahwa dispepsia
fungsional merupakan sekelompok gangguan yang heterogen, namun sudah terdapat banyak
bukti dari hasil penelitian para ahli yang dapat dijadikan pegangan. Beberapa studi
menghubungkan mekanisme patofisiologi dispepsia fungsional dengan terjadinya infeksi H.
Pylori, ketidaknormalan motilitas, gangguan sensori visceral, faktor psikososial, dan perubahan-
perubahan fisiologi tubuh yang meliputi gangguan pada sistem saraf otonom vegetatif, sistem
neuroendokrin, serta sistem imun tubuh. Sedangkan Patofisiologi ulkus peptikum
diperkirakan akibat ketidak seimbangan antara tekanan agresif (HCL dan pepsin) yang
menyebabkan ulserasi dan tekanan defensif yang melindungi lambung ( barier mukosa lambung,
barier mukus lambung, sekresi HCO3) (Yehuda, 2010). Patofisiologi dispepsia fungsional
dapat diterangkan melalui beberapa teori dibawah ini (Yehuda, 2010) :

1. Infeksi H. Pylori

Peranan infeksi H. Pylori dengan timbulnya dispepsia fungsional sampai saat ini masih terus
diselidiki dan menjadi perdebatan dikalangan para ahli Gastrohepatologi. Studi populasi yang
besar telah menunjukan peningkatan insiden infeksi H. Pylori pada pasien dengan dispepsia
fungsional. Beberapa ahli berpendapat H. Pylori akan menginfeksi lambung jika lambung dalam
keadaan kosong pada jangka waktu yang cukup lama. Infeksi H. Pylori menyebabkan
penebalan otot dinding lambung yang selanjutnya meningkatkan massa otot sehingga kontraksi
otot bertambah dan pengosongan lambung akan semakin cepat. Pengosongan lambung yang
cepat akan membuat lambung kosong lebih lama dari biasanya dan H. Pylori akan semakin
menginfeksi lambung tersebut, dan bisa sebagai predictor timbulnya ulkus peptikum.

2. Ketidaknormalan Motilitas

Dengan studi Scintigraphic Nuclear dibuktikan lebih dari 50% pasien dispepsia
fungsional mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam lambung. Demikian pula
pada studi Monometrik didapatkan gangguan motilitas antrum postprandial. Penelitian
terakhir menunjukan bahwa fundus lambung yang “kaku” bertanggung jawab terhadap
sindrom dispepsia. Pada keadaan normal seharusnya fundus lambung relaksasi, baik saat
mencerna makanan maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap
dari corpus lambung menuju ke bagian fundus lambung dan duodenum diatur oleh refleks
vagal. Pada beberapa pasien dispepsia fungsional, refleks ini tidak berfungsi dengan baik
sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat. Bila berlangsung lama bisa sebagai predictor
ulkus peptikum.

3. Gangguan Sensori Visceral


Lebih 50% pasien dispepsia fungsional menunjukan sensitifitas terhadapat distensi
lambung atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat : makanan yang sedikit
mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi lambung
intestinum atau distensi dini bagian antrum postprandial dapat menginduksi nyeri pada
bagian ini.
4. Faktor Psikososial

Faktor psikis dan stresor seperti depresi, cemas, dan stres ternyata memang dapat
menimbulkan peningkatan hormon kortisol yang berakibat kepada gangguan
keseimbangan sistem saluran cerna, sehingga terlihat bahwa pada hormon kortisol yang
tinggi ternyata memberikan manifestasi klinik dispepsia yang lebih berat. Jadi semakin
tinggi nilai kortisol akan menyebabkan semakin beratnya klinis dispepsia. Begitu juga
dengan perubahan gaya hidup seperti kurang olahraga, merokok, dan gangguan tidur juga
memiliki efek terhadap peningkatan asam lambung dan perubahan aktivitas otot dinding
lambung yang meningkatkan kemungkinan terjadinya dyspepsia (Micut, 2012).

5. Gangguan Keseimbangan Neuroendokrin


Gangguan sekresi pada lambung dapat terjadi karena gangguan jalur endokrin melalui
poros hipotalamus – pituitary – adrenal ( HPA axis). Pada keadaan ini terjadi peningkatan
kortisol dari korteks adrenal akibat rangsangan dari korteks serebri diteruskan ke
hipofisis anterior sehingga terjadi pengeluaran hormone kortikotropin. Peningkatan
kortisol ini akan merangsang produksi asam lambung (Gene, 2012).
6. Gangguan Keseimbangan Sistem Saraf Otonom Vegetatif
Pada keadaan ini konflik emosi yang timbul diteruskan melalui korteks serebri ke sistem
limbik kemudian ke hipotalamus dan akhirnya ke sistem saraf otonom vegetatif. Sistem
saraf otonom terdiri dari dua subsistem yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf
parasimpatis. Konflik emosi akan meningkatkan pelepasan neurotransmitter
acetylcholine oleh Sistem saraf simpatis yangmengakibatkan peningkatan
peristaltik dan sekresi asam lambung. Sedangkan sistem saraf parasimpatis hampir 75%
dari seluruh serabut sarafnya didominasi oleh nervus vagus (saraf kranial X). saraf dari
parasimpatik meninggalkan sistem saraf pusat melalui nervus vagus menuju organ yang
dipersarafi secara langsung yaitu : mempersarafi lambung dengan cara merangsang
sekresi asetilkolin, gastrin, dan histamine yang akhirnya memunculkan keluhan dispepsia
bila terjadi difungsi persarafan vagal. Disfungsi nervus vagal akan menimbulkan
kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung sewaktu menerima makanan, sehingga
menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang. Serat-serat saraf
simpatis maupun parasimpatis juga mensekresikan neurotransmiter sinaps yaitu
asetilkolin atau norepinefrin. Kedua neurotransmitter tersebut akan mengaktivasi atau
menginhibisi presinap maupun postsinap saraf simpatik dan parasimpatik sehingga
menimbulkan efek eksitasi pada beberapa organ tetapi menimbulkan efek inhibisi pada
organ lainnya salah satunya adalah organ lambung. Terjadinya ketidakseimbangan
eksitasi maupun inhibisi pada kedua neurotransmitter menyebabkan perubahan-
perubahan aktivitas pada organ lambung yang dipersarafinya baik peningkatan maupun
penurunan aktivitas, sehingga bisa memunculkan keluhan dispepsia (New & Siever,
2008).
7. Perubahan Dalam Sistem Imun
Faktor psikis dan stresor akan mempengaruhi sistem imun dengan menerima berbagai
input, termasuk input dari stresor yang mempengaruhi neuron bagian Medial
Paraventriculer Hypothalamus melalui pengaktifan sistem endokrin hypothalamus-
pituitary axis (HPA), bila terjadi stres yang berulang atau kronis, maka akan terjadi
disregulasi dari sistem endokrin hypothalamus-pituitary axis (HPA ) melalui kegagalan
dari mekanisme umpan balik negative. Faktor psikis dan stres juga mempengaruhi sistem
imun melalui mengaktivasi sistem noradrenergik di otak, tepatnya di locus cereleus yang
menyebabkan peningkatan pelepasan ketekolamin dari sistem saraf otonom. Selain itu
akibat pelepasan neuropeptida dan adanya reseptor neuropeptida pada limfosit B dan
Limfosit T, dan terjadi ketidakcocokan neuropeptida dan reseptornya akan menyebabkan
stres dan dapat mempengaruhi kualitas sistem imun seseorang, yang pada akhirnya akan
muncul keluhan-keluhan psikosomatik salah satunya pada organ lambung dengan
manifestasi klinis berupa keluhan dispepsia. Bila keluhan somatik ini berlangsung lama,
bisa juga sebagai prediktor timbulnya dispepsia organik berupa ulkus peptikum atau
duodenum (Gene, 2012).

Manifestasi Klinis Dispepsia Fungsional

Manifestasi klinis pada sindrom dispepsia antara lain rasa nyeri atau ketidaknyamanan di perut,
rasa penuh di perut setelah makan, kembung, rasa kenyang lebih awal, mual, muntah, atau
bersendawa. Pada dispepsia organik, kecenderungkan keluhan tersebut menentap, disertai rasa
kesakitan dan jarang memiliki riwayat psikiatri sebelumnya. Sedangkan pada dispepsia
fungsional terdapat dua pola yang telah ditentukan adalah: a) postprandial distres syndrome, dan
b) epigastric pain syndrome (Drug & Stanciu, 2007).

Kriteria Roma III menjelaskan dua pola dispepsia yang berbeda tergantung pada apakah gejala
tersebut terutama berkaitan dengan asupan makanan dan atau berkaitan dengan
ketidakmampuan untuk menyelesaikan makan (postprandial distres syndrome) atau lebih
didominasi oleh rasa sakit (epigastric pain syndrome) (Abdullah & Gunawan, 2012).
Sementara pola ini dikembangkan lebih berdasarkan kepada pendapat ahli daripada bukti klinis,
beberapa data yang mendukung relevansi klinis untuk perbedaan ini mulai muncul dengan satu
penelitian misalnya, menunjukkan bahwa kecemasan berhubungan dengan postprandial distres
syndrome tetapi tidak berhubungan dengan epigastric pain syndrome dan yang lain menunjukkan
bahwa genetik berhubungan dengan epigastric pain syndrome dan tidak berhubungan dengan
postprandial distres syndrome (Abdullah & Gunawan, 2012).

Kriteria Diagnosis Dispepsia Fungsional

Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah adanya nyeri dan atau
rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Apabila ditemukan adanya kelainan organik atau
struktural organ lambung, perlu dipikirkan kemungkinan diagnosis dispepsia organik, sedangkan
bila tidak ditemukan kelainan organik apa pun, dipikirkan kecurigaan ke arah dispepsia
fungsional. Penting diingat bahwa dispepsia fungsional merupakan diagnosis by exclusion,
sehingga idealnya terlebih dahulu harus benar-benar dipastikan tidak ada kelainan yang bersifat
organik pada pemeriksaan endoskopi (Abdullah & Gunawan, 2012).

Tabel Kriteria Diagnostik Roma III untuk Dispepsia Fungsional

Dispepsia Fungsional
Memenuhi salah satu gejala atau lebih dari:
 Rasa penuh setelah maka yang mengganggu
 Rasa cepat kenyang
 Nyeri epigastrium
 Rasa terbakar di epigastrium
 Tidak ada bukti kelainan structural (termasuk hasil endoskopi saluran cerna bagian
atas) yang mungkin dapat menjelaskan timbulnya gejala kriteria terpenuhi selama
minimal 3 bulan, dengan onset gejala minimal 6 bulan sebelum diagnosis)
Penatalaksanaan Dispepsia Fungsional

Penatalaksanaan dispepsia awal terdiri dari pengkajian riwayat penyakit untuk mengetahui
semua gejala dispepsia sangat penting untuk mengetahui apa masalah utama dari pasien. Hal ini
penting karena penatalaksanaan dispepsia bertujuan untuk mengendalikan gejala daripada
pengobatan permanen penyakitnya. Pemeriksaan fisik yang lengkap untuk menyingkirkan
adanya gangguan struktural seperti pemeriksaan endoskopi sangatlah diperlukan. Langkah
selanjutnya adalah menentukan tujuan dari terapi. Langkah ini harus memperhatikan tujuan dasar
dilakukannya pengobatan yaitu tidak hanya mencegah kematian, tetapi juga menolong
kehidupan. Tujuan terapi pada pasien dispepsia fungsional adalah bagaimana pasien mampu
mengelola kekhawatiran terhadap penyakitnya dan mampu meningkatkan kualitas kesehatannya
(Loyd & McClelan, 2011). Dalam Ilmu Kesehatan Jiwa atau Ilmu Psikiatri terdapat
subspesialisasi Consultation Liaison Psychiatry (CLP) yang mempunyai peranan menjembatani
Bagian Psikiatri dengan Bagian Spesialisasi lainnya atau sebaliknya. CLP bertujuan memberikan
pelayanan yang holistik, tidak hanya kesembuhan penyakit secara fisik namun juga meliputi
kesehatan mental serta kualitas hidup pasien (Musana dkk, 2006). Secara umum pengobatan
gangguan dispepsia fungsional dengan pendekatan CLP dibagi menjadi 3 golongan besar, yaitu :
somatoterapi, psikoterapi, manipulasi lingkungan dan sosioterapi. Pembagian tersebut hanyalah
merupakan bentuk karya ilmu yang dipergunakan untuk mempermudah pemikiran. Manusia
sebagai makhluk Bio-Psiko-Sosial- Spiritual yang tidak dapat terpisahkan menuntut ketiga
golongan penatalaksanaan tersebut untuk dilakukan secara bersamaan dan komprehensif (Loyd
& McClelan, 2011).

Penanganan Secara Farmakologi

Setelah penerapan CLP dapat dijalankan dengan baik, penanganan gangguan dispepsia
fungsional dapat diberikan secara farmakologi berdasarkan disiplin Ilmu Penyakit Dalam dan
Ilmu Psikiatri. Beberapa terapi farmakologi yang bisa diberikan pada pasien dispepsia fungsional
: antasida, Histamine H2 receptor antagonists (H2RA), Proton pump inhibitors (PPI),
Cytoprotective or mucoprotective agents, Prokinetic agents, obat-obat anti H. Pylori, dan obat-
obat psikotropik antara lain : antipsikotik, antidepressant, antianxiety, mood stablizer. Walaupun
pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan adanya suatu kelainan struktural, tetapi pemberian
farmakologi masih termasuk didalam penanganan gangguan dispepsia fungsional. Penanganan
ini lebih dikenal dengan nama Somatoterapi (Kandulski dkk, 2011).

Penanganan Secara Psikoterapi

Penanganan selanjutnya sebagai bagian dari CLP adalah psikoterapi, ada beberapa langkah yang
bisa ditempuh. Pertama, terangkan pasien, yakinkan bahwa tidak terdapat gangguan organik pada
diri pasien, bila perlu lakukan pemeriksaan fisik yang teliti disertai tes laboratorium. Beri
kesempatan pasien untuk bertanya dan terangkan mekanisme fisiologi serta keterangan tentang
gejala-gejala. Kedua, beri penjelasan kepada pasien bahwa keluhannya dapat dimengerti dan
gejala tersebut juga dijumpai pada orang lain yang pernah berobat.

Bantu pasien mengenali permasalahannya dan arahkan ke pola yang lebih sehat yang akan
bermanfaat. Beritahu bahwa gejala tersebut timbul karena kecemasan dan ketegangan psikis
namun dapat diobati setelah beberapa waktu. Terapi cognitive-Behavior terbukti efektif pada
pasien dengan dispepsia fungsional. Terapi ini membantu pasien secara sadar mengenali gejala
nyeri pada daerah episgastrium dan keluhan cepat kenyang, mengubah cara berpikir mengenai
ide- ide penyebab nyeri dengan pola pikir yang lebih realitas, memberikan tehnik relaksasi dan
melakukan pengalihan perhatian (Soo dkk, 2004).

Penanganan Secara Manipulasi Lingkungan dan Sosioterapi

Terapi selanjutnya dalam penanganan dispepsia fungsional sebagai bagian dari CLP adalah
manipulasi lingkungan dan sosioterapi. Pada terapi ini akan melibatkan orang-orang terdekat
yang berpengaruh kepada pasien seperti pasangan, keluarga dan kerabat untuk membantu
mewujudkan pola therapeutic community (Soo dkk, 2004).

-Kepribadian

Kepribadian berasal dari kata latin yaitu persona yang berarti sebuah topeng yang biasa
digunakan dalam sebuah petunjukan drama atau teaterikal, yang digunakan para aktor romawi
kuno dalam menjalankan perannya. Namun seiring berjalannya waktu, kepribadian adalah pola
sifat yang relatif permanen dan mempunyai karakteristik yang unik yang secara konsisten
mempengaruhi perilakunya (Feist & Feist, 2009). Larsen dan Buss mendefinisikan kepribadian
adalah seperangkat sifat-sifat psikologikal dan mekanisme di dalam diri individu yang diatur
yang relatif menetap dan dapat mempengaruhi interaksi individu dengan yang lain serta untuk
beradaptasi dengan lingkungan baik intrafisik, fisik, dan lingkungan sosial. Trait digambarkan
sebagai karakteristik yang mendiskripskan kebiasaan dimana setiap orang berbeda dengan yang
lain (Larsen & Buss, 2002) Penelitian lainnya, mendefinisikan kepribadian sebagai jumlah total
dari cara seseorang untuk bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain.

Sumber:
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/2b5e10961bcf2b651942a1c4908341e3.pdf
jurnal tapi gada nama sama tahunnya. Dari univ udayana

Didownload hari kamis 9 juli 2020

DEFINISI

Kata ‘dispepsia’ berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘dys’ (poor) dan ‘pepse’ (digestion) yang
berarti gangguan percernaan. Awalnya gangguan ini dianggap sebagai bagian dari gangguan
cemas, hipokondria, dan histeria. British Society of Gastroenterology (BSG) menyatakan bahwa
istilah ‘dispepsia’ bukan diagnosis, melainkan kumpulan gejala yang mengarah pada
penyakit/gangguan saluran pencernaan atas. Definisi dispepsia adalah kumpulan gejala saluran
pencernaan atas meliputi rasa nyeri atau tidak nyaman di area gastro-duodenum
(epigastrium/uluhati), rasa terbakar, penuh, cepat kenyang, mual atau muntah.

KLASIFIKASI

Dispepsia diklasifikasikan menjadi dua, yaitu organik (struktural) dan fungsional (nonorganik).
Pada dispepsia organik terdapat penyebab yang mendasari, seperti penyakit ulkus peptikum
(Peptic Ulcer Disease/PUD), GERD (GastroEsophageal Reflux Disease), kanker, penggunaan
alkohol atau obat kronis. Non-organik (fungsional) ditandai dengan nyeri atau tidak nyaman
perut bagian atas yang kronis atau berulang, tanpa abnormalitas pada pemeriksaan fisik dan
endoskopi.

EPIDEMIOLOGI

Diperkirakan sekitar 15-40% populasi di dunia memiliki keluhan dispepsia kronis atau berulang;
sepertiganya merupakan dispepsia organik (struktural).2 Etiologi terbanyak dispepsia organik
yaitu ulkus peptikum lambung/duodenum, penyakit refluks gastroesofagus, dan kanker lambung
Namun, sebagian besar etiologi dispepsia tak diketahui (fungsional). Faktor diet (makanan
dibakar, cepat saji, berlemak, pedas, kopi, teh) dan pola hidup (merokok, alkohol, obat
NSAID/aspirin, kurang olahraga) diyakini berkontribusi pada dispepsia. Rokok dianggap
menurunkan efek perlindungan mukosa lambung, sedangkan alkohol dan obat antiinflamasi
berperan meningkatkan produksi asam lambung. Studi di India pada penderita dispepsia rerata
usia 20,43±1,05 tahun, secara signifikan terkait dengan faktor gaya hidup seperti konsumsi
makanan berlemak, rokok, NSAID, dan aktivitas fisik yang rendah.4 Studi di Arab menganalisis
hubungan pola hidup dan diet pada dispepsia. Sekitar 77 (43,8%) dari 176 pelajar rerata usia
20,67±2,57 tahun menderita dispepsia, dan terdapat korelasi bermakna dispepsia dengan
merokok, kurang tidur, stres, faktor akademis (p<0,05), sementara alkohol, obat antinyeri, faktor
diet (makanan cepat saji, asin, pedas, kopi, buah, sayur, air) dan tingkat aktivitas fisik tidak
memiliki hubungan bermakna dengan dispepsia.5 Studi di Thailand mendapatkan bahwa
dispepsia pada 283 (24%) dari total 1.181 pelajar rerata usia 14,7±1,8 tahun, dengan prevalensi
lebih tinggi pada perempuan, riwayat keluarga ulkus peptikum, riwayat penggunaan obat,
alkohol, dan stres berat (p<0,05); sedangkan diet (makanan cepat saji, berlemak, pedas, produk
susu, kafein, minuman bersoda, konsumsi buah dan sayur) tidak berkorelasi dengan gejala
dispepsia pada penelitian tersebut.

Patofisiologi dispepsia fungsional masih belum jelas, diduga kombinasi hipersensitivitas viseral,
disfungsi motilitas lambung, dan faktor psikologis. Dispepsia fungsional berkaitan dengan
depresi. Studi di Pakistan pada 101 pasien dispepsia fungsional (setelah endoskopi) dengan
rerata usia 35,81±14,81 tahun didapatkan 100 pasien memiliki depresi (evaluasi depresi dengan
Hamilton depression rating scale): depresi ringan 23 (22,8%), sedang 34 (33,7%), berat 32
(31,7%), dan sangat berat 11 (10,9%).10 Dispepsia berkaitan juga dengan tidur. Hubungan
antara gangguan tidur dan gejala dispepsia fungsional cukup kompleks. Gejala dispepsia dapat
mengganggu tidur baik saat akan tidur maupun kelanjutan tidur. Sebaliknya, kurang tidur juga
berpotensi meningkatkan gejala pasien dispepsia fungsional.

Faktor risiko dispepsia organik antara lain usia >50 tahun, riwayat keluarga kanker lambung,
riwayat ulkus peptikum, kegagalan terapi, riwayat perdarahan saluran cerna, anemia, penurunan
berat badan, muntah persisten, perubahan kebiasaan buang air besar, penggunaan NSAID dosis
tinggi atau jangka panjang, alkohol kronis, dll.1,8 Studi di Taiwan pada 2.062 penderita
dispepsia etnis Cina mendapatkan hasil endoskopi normal sebanyak 1174 (56,9%), gastritis
sebanyak 215 (10,4%), ulkus lambung sebanyak 254 (12,3%), ulkus duodenum sebanyak 194
(9,4%), refluks esofagitis sebanyak 182 (8,8%), dan kanker esofagus/lambung sebanyak 43
(2,1%). Pasien dispepsia organik pada studi tersebut cenderung ditemukan pada usia lebih tua,
lebih mungkin terinfeksi H. pylori, dan pengguna obat (aspirin, NSAID) dibandingkan dispepsia
fungsional. Dominasi laki-laki terutama pada dispepsia organik (pria/wanita: 56,8%/43,2%) dan
dominasi perempuan pada dispepsia fungsional (pria/ wanita: 40,3%/59,7%).

Pada dispepsia terkait H. pylori terdapat perbedaan signifikan prevalensi infeksi antar kelompok
etnis (P <0,001). Pada sebuah studi di Indonesia, prevalensi tertinggi infeksi H. pylori pada etnis
Papua (42,9%), diikuti Batak (40,0%), Bugis (36,7%), Cina (13,0%), Dayak (7,5%), dan Jawa
(2,4%). Menariknya, kelompok-kelompok etnis tersebut memiliki perbedaan dalam hal
penghasilan, sumber air, jenis jamban, pengobatan, kebiasaan merokok, dan konsumsi alkohol.
Papua mayoritas sosio-ekonomi rendah, perokok tinggi, dan pengguna alkohol, tetapi sumber air
rendah mineral. Masih perlu penelitian lebih lanjut atas hubungan variabel demografis dan
sanitasi dengan pola prevalensi infeksi H. pylori di Indonesia, khususnya di area prevalensi
tinggi.

EVALUASI PASIEN DISPEPSIA

Karakteristik dispepsia secara umum meliputi rasa penuh pasca-makan, cepat kenyang, rasa
terbakar di ulu hati (berhubungan dengan GERD), nyeri epigastrium, nyeri dada nonjantung, dan
gejala kurang spesifik seperti mual, muntah, kembung, bersendawa, distensi abdomen. Pasien
dispepsia fungsional biasanya mengalami gejala intermiten dalam jangka panjang diselingi
periode remisi.

Membedakan dispepsia organik dengan fungsional memerlukan anamnesis dan pemeriksaan


fisik yang akurat. Pemeriksaan penunjang seperti tes darah, endoskopi, dan radiologi diperlukan
pada kasus tertentu.8 Indikasi endoskopi bila ada gejala atau tanda alarm (Tabel 2). Usia >55
tahun merupakan salah satu indikasi karena usia onset kanker lambung di negara Asia
Tenggara.7Bila pada endoskopi saluran cerna atas dan USG hepatobilier (jika diindikasikan)
tidak ada lesi organik disebut dispepsia fungsional.2,12 Deteksi infeksi H. pylori dapat
menggunakan metode non-invasif seperti uji napas urea (urea breath test), antigen tinja, atau
serologi.
Kriteria dyspepsia fungsional

Kriteria diagnosis harus mencakup


Satu atau lebih dari hal berikut:
Rasa penuh pasca makan yang
mengganggu
Cepat kenyang
Nyeri epigastrium
Rasa terbakar di ulu hati
Tidak ada bukti penyakit structural (dari
endoskopi) yang mungkin menjelaskan
gejala

Awalnya dispepsia fungsional dibedakan menjadi 3 tipe gejala dominan, yaitu ‘ulcer-like’,
‘reflux-like’, dan ‘dysmotility-like’.7 Mengingat lebih banyak gejala dipicu oleh konsumsi
makanan (±80%),7 saat ini dibagi menjadi dua subtipe:1,7,12 Sindrom Nyeri Epigastrium (nyeri
epigastrium atau rasa terbakar) dan Sindrom Distress Postprandial (rasa penuh pasca-makan dan
cepat kenyang)

Tabel kriteria dyspepsia fungsional tipe nyeri epigastrium

Diagnosis harus mencakup semua hal


berikut
Nyeri/terbakar di epigastrium minimal
intensitas sedang, setidaknya sekali
seminggu
Nyeri tidak boleh generalisasi ke
daerah perut atau dada di daerah perut
lainnya
Nyeri tidak hilang dengan buang air
besar atau flatus
Nyeri tidak memenuhi kriteria nyeri
kandung empedu atau sfingter oddi.
Kriteria terpenuhi 3 bulan terakhir
dengan onset ninimal 6 bulan sebelum
diagnosis
Kriteria pendukung:
Nyeri dapat terobati, tapi tanpa
retrosternal
Nyeri biasanya diinduksi oleh
konsumsi makan
Gejala tipe distress postprandial dapat
terjadi bersama

Tabel kriteria kriteria dyspepsia fungsional tipe distress postprandial

Salah satu dari:


Rasa penuh pasca makan dalam porsi
biasa, beberapa kali seminggu
Cepat kenyang sehingga berkurang porsi
makan biasa, beberapa kali seminggu
Kriteria terpenuhi 3 bulan, dengan onset
minimal 6 bulan sebelum diagnosis
Kriteria pendukung:
Sensasi perut kembung atau mual pasca
makan
Gejala tipe epigastrium dapat terjadi
bersama

DIAGNOSIS BANDING

Gambaran klinis dispepsia terkadang tumpang tindih dengan penyakit saluran cerna lain ataupun
penyakit non-saluran cerna.

Penyakit saluran cerna lain: Saluran cerna atas (GERD, functional heartburn, mual idiopatik)
Saluran cerna bawah (irritable bowel syndrome)

Penyakit non-saluran cerna: Penyakit jantung seperti: iskemia, atrial fibrilasi, Sindrom nyeri
somatik (fibromialgia, chronic fatigue syndrome, interstitial cystitis/ bladder

TATALAKSANA
Terapi dispepsia fungsional perlu dibedakan untuk subtipe nyeri atau distres postprandial. Pada
tipe nyeri epigastrium, lini pertama terapi bertujuan menekan asam lambung (H2-blocker, PPI).
Pada tipe distres postprandial, lini pertama dengan prokinetik, seperti
metoklopramid/domperidon (antagonis dopamin), acotiamide (inhibitor asetilkolinesterase),
cisapride (antagonis

serotonin tipe 3 /5HT3), tegaserod (agonis 5HT4), buspiron (agonis 5HT1a).12,16 Bila lini
pertama gagal, PPI dapat digunakan untuk tipe distres postprandial dan prokinetik untuk tipe
nyeri. Kombinasi obat penekan asam lambung dan prokinetik bermanfaat pada beberapa pasien.
ada terapi yang efektif untuk semua pasien; berbagai terapi dapat digunakan secara berurutan
ataupun kombinasi.

Pada kasus yang tidak berespons terhadap obat-obat tersebut, digunakan antidepresan.
Antidepresan trisiklik (amitriptilin 50 mg/hari, nortriptilin 10 mg/ hari, imipramin 50 mg/hari)
selama 8-12 minggu cukup efektif untuk terapi dispepsia fungsional, SSRI atau SNRI tidak lebih
efektif dari plasebo.15,16 Meskipun masih kontroversial, dapat dilakukan tes H. pylori pada
kasus dispepsia fungsional mengingat infeksi tersebut umumnya asimptomatik.Terapi kondisi
psikologis seperti cemas atau depresi dapat membantu pada kasus dispepsia sulit/ resisten. Terapi
psikologis, akupunktur, suplemen herbal, probiotik psikologis pada dispepsia fungsional masih
belum terbukti.7,8 Edukasi pasien penting untuk menghindari faktor pencetus seperti
mengurangi stres/ kecemasan, memulai pola makan teratur porsi lebih sedikit dan menghindari
makanan pemicu.

Terapi GERD bertujuan untuk mengurangi jumlah asam lambung yang memasuki esofagus distal
dengan cara menetralkan asam lambung, mengurangi produksi, dan meningkatkan pengosongan
lambung ke duodenum, serta menghilangkan ketidaknyamanan akibat rasa terbakar. Terapi
pilihan, yaitu PPI atau H2-blocker,6 dapat didukung dengan pemberian antasida, agonis 5-HT4,
atau analog prostaglandin (sukralfat, misoprostol). Edukasi pasien untuk mengurangi
makanan/minuman pemicu gejala dispepsia (pedas, berlemak, asam, kopi, dan alkohol),
membiasakan makan porsi sedikit frekuensi sering, tidak langsung berbaring setelah makan,
elevasi tubuh bagian atas saat tidur dan menurunkan berat badan direkomendasikan.

Terapi ulkus H. pylori bertujuan eradikasi kuman dan menyembuhkan ulkus, melalui 3 regimen,
yaitu: PPI (co. omeprazole 2x2040 mg) atau H2-blocker (co. ranitidine 2x150
mg atau 300 mg sebelum tidur), ditambah dua antibiotik berikut: klaritomisin 2x500 mg,
amoksisilin 2x1 g, atau metronidazol 2x400500 mg selama 7-14 hari. Jika alergi terhadap
penisilin, diberikan 4 macam terapi, yaitu: PPI (co. omeprazole 2x20-40 mg), bismuth 4x120 mg,
metronidazol 4x250 mg, dan tetrasiklin 4x500 mg selama 10-14 hari.1,6,14 Eradikasi H. pylori
perlu diverifikasi dengan tes non-invasif (uji napas urea, tes antigen tinja) 4 minggu setelah
selesai terapi.

Terapi ulkus peptikum terkait NSAID adalah dengan menghentikan penggunaan NSAID atau
mengganti dengan antinyeri inhibitor COX-2 selektif.1 Terapi dengan PPI cukup efektif pada
ulkus terkait NSAID (lebih superior dibandingkan H2-blocker).1,2 Infus kontinu PPI selama 72
jam direkomendasikan pada kasus perdarahan ulkus peptikum berat, untuk mempertahankan pH
lambung >6.1

Patogenesis dispepsia fungsional multifaktorial.8 Beberapa terapi farmakologis yang


direkomendasikan sesuai patogenesis, yaitu: (1) penekan asam lambung mengontrol
hipersentivitas lambung, (2) prokinetik memperbaiki gangguan motilitas lambung, (3)
antidepresan mengatasi gangguan psikologis, mempercepat pengosongan lambung dan
memanipulasi persepsi nyeri.2,15 Efikasi obat penekan asam (H2-blocker, PPI) pada dispepsia
fungsional adalah sedang. Antasida, bismuth, dan sukralfat tidak efektif pada dispepsia
fungsional. Prokinetik lebih efektif dibandingkan placebo

PROGNOSIS

Sebagian besar penderita dispepsia fungsional kronis dan kambuhan, dengan periode
asimptomatik diikuti episode relaps. Berdasarkan studi populasi pasien dispepsia fungsional, 15-
20% mengalami gejala persisten, 50% mengalami perbaikan gejala, dan 30-35% mengalami
gejala fluktuatif. Pada studi di Cina, prognosis dispepsia fungsional mungkin dipengaruhi
beberapa hal; kurang tidur dan status pernikahan buruk memiliki prognosis negatif, sedangkan
personalitas ekstrovert memiliki prognosis positif. Meskipun dispepsia fungsional berlangsung
kronis dan mempengaruhi kualitas hidup, tetapi tak terbukti menurunkan harapan hidup.

SIMPULAN

Dispepsia banyak dialami dan mengganggu kualitas hidup penderita. Klasifikasi berdasarkan ada
tidaknya lesi organik
dari pemeriksaan fisik dan penunjang (laboratorium, endoskopi). Harus dipertimbangkan
kemungkinan penyebab non-gastrointestinal termasuk iskemi jantung. Direkomendasikan
menghindari faktor risiko pencetus dan terapi farmakologis.

Sumber: https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=https://kalbemed.com/DesktopModules/EasyDNNNews/Documen
tDownload.ashx%3Fportalid%3D0%26moduleid%3D471%26articleid%3D882%26documentid
%3D813&ved=2ahUKEwje5q3BgMXqAhUCg-
YKHW3EAOgQFjACegQIBxAB&usg=AOvVaw1TWoCndGQsvfGVw4NQbVqs

Continuing medical education CDK-259/ vol. 44 no. 12 th. 2017 Lina Purnamasari Dokter
Umum RS St. Elisabeth Semarang, Indonesia didownload pada hari sabtu, 11 juli 2020

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Salah satu penyakit mengenai saluran pencernaan yaitu dispepsia, penyakit ini banyak dialami
dan mengganggu kualitas hidup penderita. Klasifikasi berdasarkan ada tidaknya lesi organik dari
pemeriksaan fisik dan penunjang (laboratorium, endoskopi). Harus dipertimbangkan
kemungkinan penyebab non-gastrointestinal termasuk iskemi jantung. Direkomendasikan
menghindari faktor risiko pencetus dan terapi farmakologis.

Saran

Anda mungkin juga menyukai