Anda di halaman 1dari 160

i

PEDOMAN
STANDAR PERLINDUNGAN DOKTER
DI ERA PANDEMI COVID-19

TIM MITIGASI DOKTER DALAM PANDEMI COVID-19

Edisi 2

PB IKATAN DOKTER INDONESIA


FEBRUARI 2021
ii
PEDOMAN STANDAR PERLINDUNGAN DOKTER
DI ERA PANDEMI COVID-19

Penyusun Kontributor

DR. Dr. Eka Ginanjar, SpPD-KKV, MARS Prof. DR. Dr. Aman B. Pulungan, Sp.A (K)
Dr. Agustina Puspitasari, SpOk Prof. DR. Dr. Aryati, MS, Sp.PK (K)
Dr. Weny Rinawati, SpPK(K), MARS Dr. Robiah Khairani Hasibuan, SpS
DR. Dr. Agus Dwi Susanto, SpP(K) Dr. Noor Arida Sofiana, MBA
Prof. Dr. Menaldi Rasmin, SpP(K) Dr. Arif Budi Satria, SpB
Prof. DR. Dr. Samsuridjal Djauzi, SpPD-KAI DR. Dr. Safrizal Rahman, SpOT
DR. Dr. Astrid W. Sulistomo, MPH, SpOk DR. Dr. Romdhoni, SpTHT-KL
Dr. Anshari Saifuddin Hasibuan, SpPD DR. Dr. Andani Eka Putra, MSc
Dr. Moh Adib Khumaidi, SpOT Dr. Rudyanto Soedono, Sp.An-KIC
Dr. Mahesa Paranadipa, MHKes Dr. Telogo Wismo
Dr. Ahmad Syaifuddin
Dr. Amran A. Raga
Dr. Dian Zamroni, SpJP
Dr. Garinda Alma Duta, SpP
Dr. Hadiwijaya, MPH, MHKes
Dr. Ahmadin Yusuf Rizal Susatyo
Dr. Farhan Haidar Fazlur Rahman

Penyunting dan Tata Letak

DR. Dr. Eka Ginanjar, SpPD-KKV, MARS


Dr. Agustina Puspitasari, SpOk
Dr. Weny Rinawati, SpPK(K), MARS
DR. Dr. Sally Aman Nasution, SpPD-KKV
Dr. Ulul Albab, SpOG
Dr. Valerie Hirsy Putri
Dr. Viga Abdillah Haloho

iii
ISBN: 978-623-92395-3-4

Desain Sampul
@medimedi.education

Penerbit
PB Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI)

Alamat
PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA
Jl. Dr. G.S.S.Y. Ratulangi No. 29, Menteng Jakarta Pusat 10350
email: pbidi@idionline.org

Edisi pertama, September 2020


Edisi kedua, Februari 2021

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan sebagian atau


seluruh isi buku ini dengan cara dan dalam bentuk apapun tanpa seijin
penulis dan penerbit.

Isi diluar tanggung jawab percetakan

iv
KATA PENGANTAR MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

Assalamualaikum Wr Wb
Salam sejahtera untuk kita semua

Puji Syukur kita panjatkan


kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
atas perkenan-Nya sehingga buku
Pedoman Standar Perlindungan
Dokter Di Era Pandemi COVID-19
dapat terbit. Seperti yang kita
ketahui pada awal tahun 2020,
COVID-19 menjadi masalah
kesehatan global yang kemudian ditetapkan sebagai pandemi oleh
Badan Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO). Penetapan
COVID-19 sebagai pandemi telah menggerakkan semua negara untuk
mengambil kebijakan dan langkah pencegahan dalam rangka memutus
mata rantai penularan serta meminimalisasi dampak negatif yang
kemungkinan terjadi.
Untuk itu, pemerintah berusaha keras melindungi tenaga kesehatan
yang ada, baik melalui penyusunan standar, pedoman, penyediaan
sarana prasarana guna mencegah dan melindungi tenaga kesehatan
dari penularan, sampai dengan pemberian insentif dan santunan
kematian sebagai bentuk penghargaan pemerintah bagi jasa tenaga
kesehatan dalam memerangi pandemi Covid-19 ini. Berbagai upaya
yang dilakukan oleh pemerintah tentu saja akan berjalan lebih optimal
jika didukung oleh seluruh komponen masyarakat termasuk oleh Ikatan
Dokter Indonesia (IDI).
Profesi dokter sebagai salah satu tenaga kesehatan yang secara
langsung memberikan pelayanan dan bersentuhan langsung dengan
pasien perlu senantiasa diberikan perlindungan sehingga tetap terjamin

v
keselamatannya di era pandemi. Menyikapi kondisi tersebut, sangatlah
tepat, disusun pedoman ini sebagai paduan bagi profesi dokter sebagai
upaya untuk melakukan “Medical Safety and Protection” dan
membentuk ”Culture Safety and Behaviour Safety”, dokter tetap dapat
melakukan pelayanan kesehatan namun tetap terlindungi dan terjamin
keselamatannya. Panduan ini juga merupakan upaya akselerasi protokol
dan panduan perlindungan dokter untuk meminimalisir risiko tertular virus
COVID-19 ini.
Kementerian Kesehatan memberikan apresiasi yang setinggi-
tingginya kepada seluruh Organisasi Profesi Dokter atas komitmen dan
ketulusan dalam memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu baik
kepada pasien COVID-19 dan non COVID-19. Penghargaan khusus juga
kami sampaikan semua tenaga kesehatan lainnya dalam berjuang dan
berdedikasi tinggi dalam memberikan pelayanan kesehatan di saat
pandemi. Semoga kedepannya, profesi dokter semakin baik dalam
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Harapan saya, buku “Pedoman Standar Perlindungan Dokter Di Era
Pandemi COVID-19” dapat diimplementasikan oleh profesi dokter di
seluruh Indonesia. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa menuntun
langkah kita untuk dapat bersama-sama berkontribusi menuju tatanan
norma baru, masyarakat yang sehat, aman dan produktif

Wassalamualaikum wr wb

Budi G. Sadikin
Menteri Kesehatan Republik Indonesia

vi
KATA PENGANTAR
KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA
INDONESIA

Situasi pandemi COVID-19


menjadi pembelajaran bagi
Indonesia khususnya di bidang
kesehatan. Problematika di
bidang kesehatan menjadi
terlihat jelas di era pandemi
COVID-19 ini. Berbagai kondisi
terkait pelayanan kesehatan saat
ini terutama dalam penanganan
dan penanggulangan pandemi
COVID 19 menjadi perhatian masyarakat. Termasuk juga bagi kalangan
medis dan tenaga kesehatan lainnya.
Wafatnya tenaga medis khususnya dokter semakin bertambah.
Rasio kematian tenaga medis di Indonesia termasuk salah satu yang
tertinggi di dunia, dan Indonesia berada di urutan ke-5. Oleh karena itu,
secara bersama-sama, baik dari unsur pemerintah maupun dari
masyarakat, kita telah dan sedang melakukan berbagai upaya untuk
melindungi tenaga medis yang dalam kesehariannya merupakan
PELAKSANA UTAMA pelayanan kesehatan di berbagai tingkatan fasilitas
layanan kesehatan di Indonesia. Upaya perlindungan ini sangat penting
agar para PELAKSANA UTAMA ini senantiasa dapat memberikan layanan
kesehatan terbaik untuk kita semua.
Kami dari Satgas Penanganan COVID-19 Pusat mengapresiasi apa
yang dilakukan oleh TIM MITIGASI PB IDI, dengan membuat “Pedoman
Standar Perlindungan Dokter di Era COVID-19” edisi kedua ini. Kami
meyakini, bahwa buku pedoman ini merupakan bagian dari upaya kita
semua untuk melindungi tenaga kesehatan khususnya dokter dari
paparan COVID-19. Dokter diharapkan dapat senantiasa menggunakan
standar perlindungan dalam menjalankan profesinya sekaligus tetap
vii
dapat menerapkan protokol kesehatan untuk pencegahan penyebaran
COVID-19. Pedoman ini merupakan acuan untuk melakukan upaya-
upaya sesuai hierarki pencegahan dimulai dari pengendalian eliminasi,
subtitusi, teknik, administratif, serta alat pelindung diri (APD) yang
digunakan dokter, dan dapat diimplementasikan pada seluruh tingkatan
fasilitas pelayanan dari risiko rendah, sedang, tinggi hingga sangat tinggi.
Sekali lagi, kami ucapkan terima kasih pada Tim MITIGASI PB IDI, yang
sudah berhasil menyesaikan buku pedoman edisi kedua ini. Semoga Buku
Pedoman ini bermanfaat untuk memberikan perlindungan dan
keselamatan para dokter dalam menjalankan praktik kedokteran dan
pelayanan kesehatan untuk seluruh masyarakat Indonesia. Semoga
pedoman ini dapat menjadi bahan pertimbangan seluruh fasilitas
pelayanan kesehatan, pemerintah daerah dan pusat maupun pihak
swasta terkait pelayanan kesehatan untuk dapat diimplementasi guna
pelindungan dokter di era pandemi COVID-19.
Mari kita semua, semakin memperkuat kerja sama dengan berbagai
unsur, untuk memberikan perlindungan maksimal bagi dokter dan tenaga
kesehatan lainnya di Indonesia.

Salam tangguh

Letnan Jenderal TNI Doni Monardo


Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Indonesia

viii
KATA PENGANTAR KETUA TIM MITIGASI DOKTER
PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA

Assalamualaikum Wr Wb

Salam sejahtera untuk semua

Situasi pandemi COVID-19


menjadi pembelajaran bagi
Indonesia khususnya di bidang
kesehatan. Problematika di bidang
kesehatan semakin terlihat jelas.
Kondisi saat ini tentunya menjadi
kekhawatiran bagi seluruh
masyarakat terkait dengan upaya pengendalian dan penanggulangan
Pandemi COVID-19 ini di Indonesia. Termasuk juga di kalangan medis dan
tenaga kesehatan lainnya. Kematian tenaga medis khususnya dokter
dan perawat yang semakin bertambah. Data terakhir 317 teman sejawat
dokter meninggal dikarenakan COVID-19 (Per 10 Februari 2021) .

Rasio kematian tenaga medis dan tenaga kesehatan di Indonesia


termasuk tertinggi dibandingkan di negara lain, 0,93% kematian dokter
Indonesia karena COVID-19 (317 orang) dibanding dengan total
kematian terkonfirmasi COVID-19 per 18 Februari 2021 (33.788 orang).
Oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya untuk melakukan “MEDICAL
SAFETY AND PROTECTION” bagi tenaga medis (dalam hal ini dokter
anggota IDI) agar tetap dapat melakukan pelayanan kesehatan tetapi
terlindungi dan terjamin keselamatannya sebagai upaya untuk
meminimalisir risiko tertular penyakit COVID-19 ini.
Langkah dan upaya akselerasi protokol dan panduan perlindungan
dokter dalam menjalankan praktik kedokteran di era pandemi COVID-19
inilah yang kemudian Tim Mitigasi PB IDI perlu menyegerakan pembuatan
pedoman ini untuk membentuk “CULTURE SAFETY AND BEHAVIOUR
SAFETY” para dokter dalam menjalankan tugas pelayanan kesehatan.
ix
Terima kasih dan apresiasi tinggi perlu saya sampaikan untuk Tim
Standardisasi dan Protokol Tim Mitigasi Dokter PB IDI yang telah
menyelesaikan buku pedoman perlindungan dokter di era pandemi
COVID-19. Semoga Buku Pedoman ini bermanfaat untuk memberikan
perlindungan dan keselamatan para dokter dalam menjalankan praktik
kedokteran dan pelayanan kesehatan untuk seluruh masyarakat
Indonesia. Aamin.
Tentunya senantiasa tetap menjaga kesehatan dan senantiasa
berdoa bagi para sejawat dokter Indonesia.

Salam sehat. Terima kasih.

Wassalamualaikum Wr Wb

Dr. Moh Adib Khumaidi, SpOT


Ketua Tim Mitigasi Dokter Pengurus Besar IDI

x
KATA PENGANTAR
KETUA SATUAN TUGAS COVID-19 PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER
INDONESIA

Assalamualaikum Wr Wb

Lebih dari 300 orang sejawat


dokter Indonesia hingga 2
Februari 2021 telah gugur dalam
berjuang melawan Pandemi
COVID-19 ini. Semakin meluasnya
penyebaran COVID-19 di
Indonesia sangat berdampak
pada praktik sejawat dokter yang
berfungsi sebagai garda
terdepan kesehatan dan juga benteng pertahanan terakhir yang
menjaga kesehatan masyarakat Indonesia. PB IDI sebagai organisasi
profesi perlu melakukan upaya dalam perlindungan bagi dokter dan
meminimalisir risiko tertular virus SARS-CoV-2. Pengumpulan semua
informasi terkait penyebaran COVID-19, koordinasi dengan seluruh stake
holder terkait penanganan kasus dan serangkaian pertemuan Satgas
telah dilakukan sebagai bentuk kewaspadaan dan kesiagaan terhadap
potensi pandemi COVID-19 khususnya tantangan dan implikasinya
terhadap sejawat dokter dan tenaga kesehatan lainnya.
Oleh karena itu, Satuan Tugas untuk Kewaspadaan dan Kesiagaan
terhadap Pandemi COVID-19 Pengurus Besar IDI sangat mengapresiasi
Tim Mitigasi PB IDI yang telah berhasil membuat Buku “Pedoman Standar
Perlindungan Dokter di Era COVID-19” sebagai upaya perlindungan
anggota IDI terhadap COVID-19. Buku Pedoman Standar ini telah melalui
pengkajian ‘meet the expert’ dengan Satgas COVID-19 dan
perhimpunan yang bersinggungan langsung dengan pandemi COVID-19
ini serta sudah mengelaborasi masukan protokol dan SPO yang sudah
lebih dahulu dikeluarkan masing masing perhimpunan. Dengan demikian,
xi
Buku Pedoman ini dapat dijadikan referensi standar bagi sejawat dokter
untuk protokol dan SPO pelayanan medis di fasilitas pelayanan baik di
tingkat primer maupun tingkat lanjut. Saya yakin Buku Pedoman ini juga
bermanfaat untuk direktur, manajemen rumah sakit, dan penentu
kebijakan.

Semoga Buku Pedoman ini dapat diimplementasikan oleh sejawat


dokter di seluruh Indonesia guna perlindungan dan keselamatan dalam
praktik sehari hari dan memberikan pelayanan kesehatan terbaik di era
pandemi COVID-19 ini.

Wassalamualaikum Wr Wb

Prof. Dr. Zubairi Djoerban, SpPD, KHOM


Ketua Satuan Tugas Untuk Kewaspadaan dan Kesiagaan Terhadap
Pandemi COVID-19 Pengurus Besar IDI

xii
KATA PENGANTAR KETUA UMUM
PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA

Assalamualaikum Wr Wb

Pandemi COVID-19 telah


menyebar dan meluas ke seluruh
daerah di Indonesia dan telah
banyak korban dikalangan
dokter. Sebagai organisasi
profesi, IDI perlu melakukan
upaya dalam perlindungan bagi
dokter dan meminimalisir risiko
tertular virus SARS- CoV-2 agar
dokter tetap dapat melakukan pelayanan. Oleh sebab itu Pengurus Besar
IDI membentuk Tim Mitigasi Dokter PB IDI.
Buku “Pedoman Standar Perlindungan Dokter di Era COVID-19” ini
merupakan bentuk nyata dari mapping pengetahuan dan pemahaman
rekan sejawat mengenai kelengkapan alat perlindungan diri (APD),
protokol dan SPO pelayanan medis, serta aspek psikologis dan sosial
dalam upaya perlindungan anggota IDI terhadap COVID-19.
Apresiasi kepada Tim Mitigasi PB IDI serta kontributor standar dan
protokol yang telah berupaya menghimpun segenap kebutuhan dokter
dalam praktik dengan mengelaborasi panduan yang sudah lebih dahulu
dibuat pada masing masing perhimpunan, sehingga dapat ditarik
simpulan yang dijadikan standar untuk dilaksanakan dalam praktik sehari
hari.
Bersama dengan buku pedoman standar ini, mari kita mendoakan
agar para tenaga kesehatan serta masyarakat yang gugur akibat
COVID-19. Mudah-mudahan arwah para pejuang kemanusiaan
melawan COVID-19 ini ditempatkan di tempat yang mulia di sisi Tuhan
Yang Maha Esa dan dicatat sebagai amal yang baik. Perjuangan tenaga

xiii
kesehatan merupakan komitmen untuk mengabdi pada kemanusiaan
dan bagian dari sumpah profesi sebagai tenaga medis.
Pedoman standar ini sangat terbuka untuk perbaikan dan revisi
berikutnya. Harapannya dengan pedoman standar ini, para sejawat
dapat lebih terlindungi khususnya saat praktik sehari-hari baik di Fasilitas
Layanan Tingkat Primer maupun di Tingkat Lanjut dalam menghadapi
Pandemi COVID-19 ini. Semoga para sejawat terus berkomitmen untuk
tetap bersemangat, komitmen yang kuat, berdiri tegak untuk mengabdi
kepada kemanusiaan.

Wassalamualaikum Wr Wb

Dr. Daeng M Faqih, SH, MH


Ketua Umum Pengurus Besar IDI

xiv
DISCLAIMER

Pedoman ini disusun berdasarkan informasi terbaru


yang ada pada saat pedoman diterbitkan.

Namun, ilmu mengenai Coronavirus terus


berkembang dengan pesat sehingga informasi
yang ada di dalam pedoman ini dapat berubah
seiring dengan perkembangan informasi terbaru.

xv
DAFTAR ISI

Halaman
TIM PENYUSUN.............................................................................................. iii
KATA PENGANTAR MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA............... v
KATA PENGANTAR KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN
BENCANA INDONESIA............................................................................... vii
KATA PENGANTAR KETUA TIM MITIGASI DOKTER PB IDI.............................. ix
KATA PENGANTAR KETUA SATUAN TUGAS COVID-19 PB IDI..................... xi
KATA PENGANTAR KETUA UMUM PB IDI...................................................... xiii
HALAMAN DISCLAIMER............................................................................... xv
DAFTAR ISI..................................................................................................... xvi
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xviii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xix
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... xx
DAFTAR SINGKATAN..................................................................................... xxi

BAB 1. PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.................................................................... 1
1.2 Patofisiologi Penularan COVID-19.................................... 6
BAB 2. KONSEP STANDAR DAN PROTOKOL PERLINDUNGAN TERHADAP
DOKTER........................................................................................... 10
2.1 Pengendalian dan Pencegahan COVID-19................... 10
2.2 Vaksinasi COVID-19............................................................ 17
2.3 Pengendalian Risiko Transmisi COVID-19 bagi
Dokter.................................................................................. 20
2.3.1 Risiko Rendah........................................................... 20
2.3.2 Risiko Sedang............................................................ 21
2.3.3 Risiko Tinggi............................................................... 24
2.3.4 Risiko Sangat Tinggi.................................................. 27
2.3.5 Ruang Prosedur/Tindakan Operasi........................ 30
2.4 Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) ........................... 31
2.4.1 Alat Pelindung Diri Level 1....................................... 31
2.4.2 Alat Pelindung Diri Level 2....................................... 31
2.4.3 Alat Pelindung Diri Level 3…………………………… 31
2.5 Pembagian Zona Risiko Penularan COVID-19………...... 32
2.5.1 Zona COVID-19…………………………………......... 32
2.5.2 Zona nonCOVID-19………………............................ 28
2.6 Pengaturan Alur Layanan…………………........................ 34
2.6.1 Skrining………………………………………………….. 35
2.6.2 Triase……………………………………………………. 40
2.7 Pengaturan Aliran Udara dan Ventilasi…………............. 40
2.8 Tatalaksana COVID-19 Akibat Kerja……………………… 49

xvi
2.9
Pemeriksaan SARS-CoV-2 untuk Dokter dan
Penatalaksanaan Kembali Kerja………………………...... 50
2.10 Penatalaksanaan Kembali Kerja (Return To Work)
pada Kasus Kompleks………………………………............. 71
BAB 3. PERLINDUNGAN HUKUM, BIAYA, INSENTIF, DAN PROTEKSI
SOSIAL BAGI DOKTER YANG MENANGANI COVID-19………..... 76
3.1 Perlindungan Hukum………………………………............... 77
3.2 Insentif dan Proteksi Sosial………………………..........…… 83
BAB 4. PENGATURAN JAM KERJA, SHIFT, METODE DINAS, SERTA
PENANGANAN PSIKOSOSIAL BAGI DOKTER YANG
MENANGANI COVID-19………………………............................... 93
4.1 Pengaturan Shift Kerja……………….................................. 93
4.2 Stres Psikososial Selama Pandemi………………………..... 95
4.2.1 Upaya Untuk Mencegah Stres di Tempat Kerja
Praktik Berbasis Tim……………………….................. 98
4.2.2 Langkah-Langkah untuk Mengelola Stres
Selama Berbagai Tahap Tanggap Darurat……... 101
BAB 5. PEDOMAN PERILAKU SOSIAL, MEDIA SOSIAL, DAN ILMIAH
BAGI DOKTER DI ERA COVID-19……………………….…………… 103
5.1 Perilaku Sosial…………….................................................... 103
5.2 Media Sosial……….............................................................. 103
5.3 Ilmiah………………………………………....………………… 104
LAMPIRAN..................................................................................................... 106
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 129

xvii
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1 Pertimbangan Bagi Tenaga Kesehatan dan Sistem
10
Kesehatan di Era COVID-19 ……………………..…...............
Tabel 3.1 Bahaya Potensial Dokter Selama Pandemi……………...... 76

xviii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1.1 Kurva Pengaruh Kasus Terhadap Kapasitas Sistem
Kesehatan....................................................................... 6
Gambar 2.1 Hierarki Pengendalian Risiko Transmisi Infeksi…………. 14
Gambar 2.2 Klasifikasi Pajanan Dokter Terhadap SARS-CoV-2
sesuai Piramida Risiko Okupasi untuk COVID-19…...... 15
Gambar 2.3 Pencegahan Terhadap COVID-19 untuk Dokter…..... 16
Gambar 2.4 Alur Dan Zonasi Ruangan…………………….....……….. 38
Gambar 2.5 Alur dan Zona COVID-19…..………………...…………… 39
Gambar 2.6 Skema Aliran Udara……………………………………….. 41
Gambar 2.7 Tata Letak Ruang Periksa Pasien dan Aliran Udara…. 42
Gambar 2.8 Pengendalian Teknik Untuk Mengurangi Risiko
Lingkungan Karena Transmisi Melalui
Udara…………...........……………………………………… 43
Gambar 2.9 Ruang Isolasi COVID-19………………………..............… 46
Gambar 2.10 Sistem Tekanan Negatif Pada Tiap Ruangan.....…...... 47
Gambar 2.11 Ruang Isolasi Tekanan Negatif…………………............. 48
Gambar 2.12 Alur Pemeriksaan Kasus Kontak Erat……………………. 55
Gambar 2.13 Alur Pemeriksaan Kasus Kontak Erat Bila
Menggunakan Pemeriksaan Antigen.…….................. 63
Gambar 2.14 Alur Penilaian Kelaikan Kerja…………………………...... 75

xix
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1 Tabel Perbandingan Sediaan Vaksin SARS-CoV-2…..... 106
Lampiran 2 Tabel Pengendalian Risiko Transmisi COVID-19
Berdasarkan Tingkat Risiko……………………………....... 107
Lampiran 3 Cara Pemakaian dan Penglepasan APD……….…….. 111
Lampiran 4 Contoh Penggunaan Alat Pelindung Diri……............. 115
Lampiran 5 Contoh Penggunaan Triase………………………......….. 117
Lampiran 6 Jenis Pemeriksaan MCU………………………................... 119
Lampiran 7 Formulir Self Assesment Risiko COVID-19……………..…. 120
Lampiran 8 Asesmen Risiko Pajanan Kasus Probable / Konfirmasi
COVID-19……….……....……………………………………. 123
Lampiran 9 Contoh Alur untuk Kembali Bekerja (Return To
Work)……………................................................................ 125
Lampiran 10 Contoh Surat Keterangan Dokter Tentang Diagnosis
COVID-19 Akibat Kerja…………....................................... 128

xx
DAFTAR SINGKATAN

Ar-RDT : antigen rapid diagnostic test


APD : Alat Pelindung Diri
AKB : Adaptasi Kebiasaan Baru
ALC : Absolute Lymphocyte Count
ALT : Alanine Transaminase
APTT : Activated Partial Thromboplastin Time
AST : Aspartate Transaminase
CDC : Centre of Disease Control and Prevention
COVID-19 : Coronavirus Disease 2019
CFR : Case Fatality Rate
CRP : C-reactive protein
dkk : dan kawan-kawan
ESC : European Society of Cardiology
EWS : Early Warning Score
FDA : Food and Drug Administration
HCU : High Care Unit
HVAC : Heating, Ventilating and Air Conditioning
ICU : Intensive Care Unit
ICCU : Intensive Cardiac Care Unit
IDI : Ikatan Dokter Indonesia
K3RS : Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit
KODEKI : Kode Etik Kedokteran Indonesia
LDH : Lactate Dehydrogenase
MCU : Medical Check Up
MERS : Middle East Respiratory Syndrome
NAAT : Nucleic Acid Amplification Test
NIH : National Institutes of Health
NIOSH : National Institute for Occupational Safety and
Health
NLR : Neutrophil Lymphocyte Ratio
OSHA : Occupational Safety and Health
Administration
PAPR : Powered Air-Purifying Respirator
PAK : Penyakit Akibat Kerja
PFA : Psychological First Aid
ppb : parts per billion
PIE : Penyakit Infeksi Emerging
PPI : Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
PPKM : Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan
Masyarakat
PPK : Panduan Praktik Klinis
PSBB : Pembatasan Sosial Berkala Besar
PT : Prothrombin time
RS : rumah sakit
xxi
RT-PCR : Reverse Transcription Polymerase Chain
Reaction
SARS-CoV-2 : Severe Acute Respiratory Syndrome
Coronavirus 2
SDM : sumber daya manusia
SPO : Standar Prosedur Operasional
TCM : tes cepat molekular
UU : Undang-undang
UV-C : Ultraviolet C
WHO : World Health Organization

xxii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Saat ini dunia sedang berjuang menghadapi pandemi COVID-19.


Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-
CoV-2). SARS-CoV-2 merupakan coronavirus jenis baru yang belum
pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Pada 31 Desember 2019,
WHO China Country Office di Kota Wuhan melaporkan kasus pneumonia
yang tidak diketahui penyebabnya. Pada tanggal 7 Januari 2020,
Pemerintah China kemudian mengumumkan bahwa penyebab kasus
tersebut adalah Coronavirus jenis baru yang kemudian diberi nama SARS-
CoV-2. Sejak dilaporkan, penambahan jumlah kasus COVID-19
berlangsung dengan cepat dan penyebaran telah meluas ke negara-
negara lain di seluruh dunia. Pada tanggal 30 Januari 2020 WHO
menetapkan COVID-19 sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
Yang Meresahkan Dunia/ Public Health Emergency of International
Concern (KKMMD/PHEIC). Sampai dengan 18 Februari 2021, secara
global dilaporkan 110.456.787 kasus konfimasi di 215 negara dengan total
2.441.480 kematian (CFR 2,21%). Beberapa negara dengan jumlah kasus
terkonfirmasi terbanyak adalah Amerika (28 juta kasus, 502 ribu kematian),
India (10 juta kasus, 156 ribu kematian), Brazil (9 juta kasus, 242 ribu
kematian), Rusia (4 juta kasus, 81 ribu kematian), Inggris (4 juta kasus, 118
ribu kematian). Indonesia menduduki peringkat ke-19 untuk jumlah kasus
terkonfirmasi terbanyak.

Kasus COVID-19 dilaporkan pertama kali di Indonesia pada tanggal


2 Maret 2020. Sejak saat itu, kasus terus meningkat dan menyebar dengan
cepat di seluruh wilayah Indonesia, hingga dikeluarkan Keputusan
Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-alam
Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana
Nasional. Saat ini perjalanan pandemi ini sudah hampir 1 tahun, dan
1
sudah banyak perkembangan yang terjadi. Per tanggal 18 Februari 2021,
Satuan Tugas Penanganan COVID-19 pemerintah melaporkan 1.243.646
kasus konfirmasi COVID-19 dengan 33.788 kasus meninggal (CFR 2,71%)
yang tersebar di 34 provinsi. Jumlah kasus di Indonesia tertinggi di Asia
Tenggara, disusul oleh Filipina (553 ribu kasus, 11 ribu kematian) dan
Malaysia (272 ribu kasus, seribu kematian). Sebanyak 50,7% kasus terjadi
pada lelaki. Kasus paling banyak ditemukan pada rentang usia 31 – 45
tahun dan paling sedikit terjadi pada usia 0 – 5 tahun. Angka kematian
tertinggi ditemukan pada pasien dengan usia ≥60 tahun. Saat ini, vaksinasi
sudah dimulai diseluruh dunia, dan diharapkan menjadi jalan penentu
selesainya pandemi.

Salah satu aspek yang menerima dampak paling besar dari


pandemi adalah bidang kesehatan. Seiring dengan meluasnya penyakit
ini, masalah-masalah di bidang kesehatan semakin terlihat jelas.
Beberapa permasalahan yang signifikan adalah kurangnya sarana
prasarana fasilitas kesehatan, dengan terbatasnya ketersediaan ICU dan
ventilator untuk pasien COVID-19, kurangnya kapasitas dan tidak
meratanya tes COVID-19, ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD) yang
terbatas terutama bagi tenaga kesehatan. Kapasitas tes real time
reverse-transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) per 1 juta
penduduk hanya sekitar 36.739 orang, yang merupakan angka yang
rendah jika dibandingkan dengan negara lain di dunia. Ketidaksiapan
fasilitas kesehatan (Puskesmas, RS Rujukan, RS Utama) dalam
menghadapi situasi COVID-19 tampak dari belum optimalnya tata kelola
sumber daya manusia (SDM) kesehatan, ketergantungan impor obat-
obatan dan alat kesehatan, rendahnya infrastruktur kesehatan, belum
fokusnya penguatan standar pelayanan kesehatan dasar dan jaminan
kesehatan nasional serta kinerja pelayanan kesehatan yang masih
rendah. Semua hal tersebut tentunya akan berdampak juga pada risiko
tertular dan terpajan tenaga medis akan semakin tinggi.

Jumlah dokter di Indonesia juga merupakan yang terendah kedua

2
di Asia Tenggara, yaitu sebesar 0,4 dokter per 1.000 penduduk. Artinya
Indonesia hanya memiliki 4 dokter yang melayani 10.000 penduduknya.
Rasio perawat per 1.000 penduduk sebesar 2,1 yang artinya dua orang
melayani 1.000 penduduk di Indonesia. Rasio dokter spesialis juga rendah,
sebesar 0,13% per 1.000 penduduk. Selain itu, distribusi tenaga medis dan
tenaga kesehatan juga terkonsentrasi di Jawa dan kota-kota besar.
Jumlah rumah sakit rujukan nasional saat ini hanya berjumlah 14, masih
jauh dari harapan dan jumlah ideal. Rumah sakit rujukan COVID-19 pun
hanya terdapat di kota besar. Akibatnya, masih banyak rumah sakit yang
tidak siap menerima dan menangani pasien COVID-19 karena kurangnya
fasilitas dan sarana prasarana yang dibutuhkan untuk menangani situasi
kritis atau gawat darurat. Selain itu masyarakat juga belum sepenuhnya
mematuhi protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah,
sehingga penyebaran COVID-19 masih belum dapat dikendalikan.

Kondisi saat ini tentunya menjadi kekhawatiran bagi seluruh


masyarakat terkait dengan upaya pengendalian dan penanggulangan
Pandemi COVID-19 ini di Indonesia, termasuk juga di kalangan medis dan
tenaga kesehatan lainnya. Kematian tenaga medis akibat COVID-19,
khususnya dokter dan perawat, semakin bertambah. Rasio kematian
tenaga medis dibanding dengan total kematian terkonfirmasi COVID-19
di Indonesia termasuk salah satu yang tertinggi diantara di dunia, yaitu
0,93%. Data terakhir menunjukan sekitar 317 teman sejawat dokter (per 10
Februari 2021) meninggal dikarenakan COVID-19. Hal ini disebabkan oleh
minimnya ketersediaan APD terutama di awal masa pandemi, kurangnya
skrining pasien yang baik di fasilitas kesehatan, kelelahan para dokter
karena jumlah pasien COVID-19 yang terus bertambah, jam kerja yang
panjang, serta tekanan psikologis. Hal-hal ini menyebabkan dokter sangat
rentan terinfeksi COVID-19. Kondisi tubuh dan mental yang kurang baik
akibat hal tersebut pada akhirnya dapat menyebabkan dokter jatuh sakit
hingga meninggal. Padahal, dokter merupakan benteng terakhir dari
upaya penanganan COVID-19.
3
Terlepas dari segala masalah diatas, dokter memiliki kewajiban untuk
tetap memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien. Sesuai dengan
sumpah dokter dan kode etik kedokteran yang berlaku, dokter harus
senantiasa mengutamakan kesehatan pasien dengan memperhatikan
kepentingan masyarakat, dan wajib memberikan pelayanan secara
kompeten, serta mempergunakan seluruh keilmuan dan ketrampilannya
untuk kepentingan manusia. Upaya “medical safety and protection” bagi
tenaga medis, dalam hal ini dokter anggota IDI diperlukan untuk
meminimalisir risiko tertular virus COVID-19, agar para dokter dapat terus
melakukan pelayanan kesehatan, serta tetap terlindungi dan terjamin
keselamatannya.

Upaya di bidang kesehatan yang dapat dilakukan untuk melawan


pandemi COVID-19 ini sejak awal sampai dengan saat ini diantaranya
adalah:
a) Pemetaan sarana dan parasarana fasilitas kesehatan, yaitu Rumah
Sakit, SDM, logistik, APD, dan lain-lain.
b) Pembagian dan pengkhususan (clustering) fasilitas pelayanan
kesehatan, yaitu RS khusus COVID-19, RS rujukan, RS nonCOVID-19, RS
darurat COVID-19/Faskessus. Pemerintah, baik pusat maupun
daerah, direkomendasikan membuat kebijakan untuk memisahkan
rumah sakit khusus untuk COVID-19 dan rumah sakit yang bukan
untuk COVID-19 (nonCOVID-19). Apabila kebijakan tersebut tidak
memungkinkan, maka rumah sakit yang melayani COVID-19 dan
nonCOVID-19 sekaligus harus membuat sistem triase dan zonasi.
c) Persiapan sistem baru pelayanan medis menyesuaikan masa
pandemi, seperti fase pandemik, fase pemulihan, fase transisi, fase
“Adaptasi Kebiasaan Baru” dan fase sustainable (vaksin dan obat
ditemukan).

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merupakan satu-satunya organisasi


profesi dokter di Indonesia yang mempunyai kewajiban untuk melakukan
upaya memajukan, menjaga dan meningkatkan harkat dan martabat

4
Dokter Indonesia seperti yang tercantum dalam Mukaddimah Anggaran
Dasar IDI. Berdasarkan hal tersebut, IDI harus memastikan bahwa dokter-
dokter di Indonesia dapat melaksanakan tugasnya sebagai dokter
dengan tetap mendapatkan hak-haknya sesuai dengan standar profesi
dokter. Berdasarkan hal tersebut, maka Pengurus Besar Ikatan Dokter
Indonesia membentuk satuan tugas mitigasi sebagai bagian dari
“PROFESSIONAL DEFENSE AND RESILIENCE” yaitu ketahanan dan
pertahanan profesi dalam upaya untuk melakukan perlindungan dan
keselamatan serta upaya meminimalisir risiko bagi dokter dalam
menghadapi virus COVID-19 ini.

Upaya mitigasi perlindungan dokter tidak dapat berdiri sendiri karena


tidak terlepas dari jumlah kasus yang harus dikontrol. Sistem perawatan
dan kesehatan masyarakat di semua negara memang harus siap dalam
menghadapi keadaan darurat atau bencana, namun apabila jumlah
kasus COVID-19 semakin bertambah banyak hingga melebihi kapasitas
sistem kesehatan yang ada dalam periode yang lama, maka akhirnya
sistem kesehatan dapat jatuh. Apabila ini terjadi, akan ada banyak korban
dari tenaga kesehatan termasuk dokter, rumah sakit tidak lagi sanggup
menampung pasien yang berlebihan, sistem rujukan menjadi kacau,
obat-obatan habis, dan dapat menimbulkan dampak sosial lainnya.
Karena itu, perlu adanya dukungan dari pemerintah dan masyarakat
dalam upaya pemutusan rantai penularan ini dengan menjaga dan
mematuhi aturan Pembatasan Sosial Berkala Besar (PSBB), Pemberlakuan
Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dan karantina wilayah sesuai
dengan yang tertera pada UU nomor 6 tahun 2018 mengenai
kekarantinaan kesehatan.

Grafik yang diambil dari Centre of Disease Control and Prevention


(CDC) dibawah ini menunjukan bahwa tanpa adanya usaha pemutusan
rantai penularan (PSBB, karantina) maka jumlah kasus pada suatu
pandemi dapat melebihi kemampuan sistem kesehatan untuk
menangani pasien. Dengan adanya usaha pemutusan rantai penularan,
5
kurva jumlah kasus dapat menurun sehingga memberikan kesempatan
pada sistem kesehatan untuk mengatasi pandemi.

Gambar 1.1. Kurva pengaruh kasus terhadap kapasitas sistem kesehatan


Telah diolah kembali dari : Centers for Disease Control and Prevention/The Economist

1.2. Patofisiologi Penularan COVID-19

Penyakit COVID-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh virus


SARS-CoV-2 (Severe Acure Respiratory Syndrome Coronavirus 2). Virus
SARS-CoV-2 berasal dari kelompok virus yang sama dengan virus SARS
dan MERS yang juga pernah menyebabkan epidemi beberapa tahun
silam. Kelompok virus tersebut merupakan zoonosis, yaitu dapat ditularkan
antara hewan dan manusia. Penelitian menyebutkan bahwa SARS
ditransmisikan dari kucing luwak (civet cats) ke manusia dan MERS dari
unta ke manusia. Adapun, hewan yang menjadi sumber penularan
COVID-19 ini masih belum diketahui.

Rerata masa inkubasi COVID-19 adalah 5 - 6 hari, dengan rentang


antara 1 - 14 hari. Selama masa inkubasi, orang yang terinfeksi belum
menunjukan gejala (presimtomatik) namun pada beberapa kasus sudah
dapat menularkan virus tersebut kepada orang lain. Studi dari Du Z et al.
melaporkan bahwa 12,6% menunjukkan penularan presimtomatik.
Penting untuk mengetahui periode presimtomatik karena memungkinkan
virus menyebar melalui droplet atau kontak dengan benda yang
6
terkontaminasi. Risiko penularan tertinggi diperoleh di hari-hari pertama
penyakit disebabkan oleh konsentrasi virus yang tinggi pada sekret
pernapasan. Beberapa orang yang terinfeksi COVID-19 juga dapat tidak
menunjukan gejala sama sekali (asimtomatik). Meskipun begitu,
beberapa penilitian terbaru melaporkan bahwa orang asimtomatik
maupun simtomatik memiliki viral load yang serupa sehingga keduanya
masih berisiko menularkan virus tersebut kepada orang lain.

Studi epidemiologi dan virologi saat ini membuktikan bahwa COVID-


19 pada umumnya ditularkan dari orang yang bergejala (simtomatik) ke
orang lain yang berada jarak dekat melalui droplet. Droplet merupakan
partikel berisi air dengan diameter >5 - 10 µm. Penularan droplet terjadi
ketika seseorang berada pada jarak dekat (dalam 1 meter) dengan
seseorang yang memiliki gejala pernapasan (misalnya, batuk atau bersin)
sehingga droplet berisiko mengenai mukosa (mulut dan hidung) atau
konjungtiva (mata). Penularan juga dapat terjadi melalui benda dan
permukaan yang terkontaminasi droplet di sekitar orang yang terinfeksi.
Oleh karena itu, penularan virus SARS-CoV-2 dapat terjadi melalui kontak
langsung dengan orang yang terinfeksi dan kontak tidak langsung
dengan permukaan atau benda yang digunakan pada orang yang
terinfeksi (misalnya, stetoskop atau termometer). Transmisi melalui udara
dapat terjadi dalam keadaan khusus misalnya prosedur atau perawatan
suportif yang menghasilkan aerosol seperti intubasi endotrakeal,
bronkoskopi, suction terbuka, pemberian nebulisasi, ventilasi manual
sebelum intubasi, mengubah pasien ke posisi tengkurap, memutus koneksi
ventilator, ventilasi tekanan positif noninvasif, trakeostomi, dan resusitasi
kardiopulmoner. Saat ini, WHO dan komunitas ilmiah lain masih
mendiskusikan kemungkinan transmisi virus SARS-CoV-2 melalui udara
tanpa adanya prosedur yang menghasilkan aerosol, terutama pada
ruangan tertutup dengan ventilasi yang buruk. Penelitian yang lebih lanjut
masih dibutuhkan untuk mengetahui dengan pasti perihal transmisi
melalui udara.
7
Tata laksana COVID-19 memiliki beberapa fokus terapi, yaitu
eliminasi dan memperlambat multiplikasi virus, menurunkan respons sistem
imun yang berlebih, tatalaksana komplikasi, dan meningkatkan fungsi
imun tubuh. Obat yang sudah diizinkan oleh FDA (Food and Drug
Administration) untuk tatalaksana COVID-19 adalah remdesivir, namun
FDA juga mengeluarkan emergency use authorizations (EUA) untuk obat-
obat yang dinilai dapat digunakan pada pasien COVID-19. Untuk
menurunkan respons sistem imun yang berlebih direkomendasikan
menggunakan deksametason atau obat steroid lainnya pada pasien
rawat inap. Tatalaksana komplikasi meliputi tatalaksana organ jantung,
pembuluh darah, ginjal, sistem saraf pusat, kulit, mata dan organ
gastrointestinal. Terapi plasma konvalesens diduga dapat membantu
sistem imun tubuh untuk mengenali virus dengan lebih baik, namun saat
ini masih belum direkomendasikan pada NIH COVID-19 Treatment
Guidelines karena belum adanya data yang cukup.

Virus SARS-CoV-2, seperti virus lainnya, dapat mengalami mutasi


sebagai upaya beradaptasi dan hal tersebut memungkinkan munculnya
varian virus baru. Saat ini beberapa varian virus SARS sudah ditemukan di
beberapa negara di dunia. Varian virus SARS-CoV-2 B.1.1.7 ditemukan di
Inggris pada akhir 2020, dan diketahui memiliki kemampuan penularan
yang lebih cepat dibanding dengan varian lain, namun tingkat
keparahan infeksi dan risiko kematian masih dalam penelitian lebih lanjut.
Varian lain ditemukan di Afrika Selatan, yaitu B.1.1351 pada bulan
Oktober 2020. Varian tersebut memiliki kemiripan mutasi dengan varian
B.1.1.7. Pada awal Januari 2021, varian baru yang dinamakan P.1
ditemukan pertama kali pada pengunjung yang datang dari Brazil ke
Jepang dan teridentifikasi pada skrining rutin di bandara penerbangan
Jepang. Varian baru ini memiliki mutasi tambahan yang diduga dapat
memengaruhi kemampuan virus untuk dikenali oleh antibodi.

Mutasi pada gen spesifik D614G ditemukan pada ketiga varian virus
SARS-CoV-2. Mutasi tersebut diduga meningkatkan kemampuan infeksi
dan penularan yang lebih cepat dibanding dengan virus SARS-CoV-2.
8
Untuk menanggulangi munculnya varian virus yang baru, diperlukan
penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kecepatan penyebaran infeksi
virus, derajat manifestasi gejala pada pasien, kemampuan deteksi varian
virus, efek pengobatan yang digunakan untuk pasien COVID, dan
efektivitas

9
BAB 2
KONSEP STANDAR DAN PROTOKOL PERLINDUNGAN TERHADAP DOKTER

2.1. Pengendalian dan Pencegahan COVID-19

Dokter sebagai tenaga kesehatan merupakan benteng terakhir


dalam peperangan melawan wabah penyakit, termasuk penyakit
COVID-19. Hal ini menyebabkan dokter memiliki risiko yang sangat tinggi
dalam terpajan patogen COVID-19. Oleh karena itu, berbagai
pertimbangan di bidang kesehatan perlu dibuat sebagai persiapan
menuju adaptasi kebiasaan baru. Tidak hanya itu, melihat banyaknya
korban tenaga medis akibat COVID-19, maka perlu disusun sebuah
standarisasi dan protokol khusus dalam melindungi keselamatan dan
kesehatan kerja dokter, untuk mencegah bertambahnya korban
khususnya dari kalangan dokter.

Tabel 2.1. Contoh peran tenaga kesehatan dan sistem kesehatan di era
COVID-19

Tenaga Kesehatan Sistem Kesehatan

Aplikasi telemedicine untuk Menyediakan dan


triase dan penanganan pasien menyebarluaskan informasi dan
apabila memungkinkan fasilitas untuk telemedicine
Mematuhi pedoman Menyediakan APD yang lengkap
penggunaan APD untuk keluarga pasien dan
tenaga kesehatan dan
kunjungan ke rumah sakit
Melaporkan diri dan Meningkatkan edukasi ke pasien
menghentikan kegiatan dan publik mengenai indikasi
sebagai tenaga kesehatan karantina
apabila masuk dalam kriteria
kasus sesuai dengan pedoman
resmi pemerintah yang berlaku
Membatasi prosedur elektif Melakukan tes/pengujian COVID-
19 secara berkala untuk
mengendalikan penularan
Meningkatkan kapasitas
pemeriksaan RT PCR SARS-CoV-2

Melakukan vaksinasi COVID-19 Menyediakan vaksin COVID-19

Fasilitas pelayanan kesehatan merupakan tempat kerja yang

10
memiliki risiko terhadap keselamatan dan kesehatan sumber daya
manusia fasilitas pelayanan kesehatan, pasien, pendamping pasien,
pengunjung, maupun masyarakat di sekitar lingkungan fasilitas terutama
dalam masa pandemi COVID-19 ini. Pelayanan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja di fasilitas kesehatan (faskes) tertuang dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 52 tahun 2018 dan K3RS tertuang dalam
Permenkes Nomor 66 Tahun 2016.

Dalam bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja menggunakan


hierarki pengendalian dalam pengendalian bahaya potensial di tempat
kerja. Mengeliminasi bahaya potensial merupakan cara terbaik,
dibandingkan dengan mengurangi bahaya potensial tersebut. Namun
apabila bahaya potensialnya adalah biologi, terutama yang
menyebabkan pandemi, maka tidak mungkin menghilangkannya. Oleh
karena itu langkah-langkah perlindungan yang paling efektif dimulai dari
eliminasi, pengendalian teknik, administrasi, dan alat pelindung diri.

Ada kelebihan dan kekurangan dalam setiap pengendalian ini


sehingga perlu dipertimbangkan kemudahan implementasi, efektivitas,
dan biayanya. Pengendalian paling efektif adalah eliminasi bahaya
potensial SARS-CoV-2. Eliminasi juga dapat dilakukan dengan disinfeksi
untuk menghilangkan virus dari permukaan atau benda-benda, dan
mencuci tangan.

Vaksinasi merupakan salah satu upaya pencegahan penyakit yang


sudah lama dilakukan di dunia. Vaksinasi pertama kali sudah dikenal
pada awal abad ke XVIII, ketika Lady Mary Montagu (istri duta besar
Inggris untuk Turki) membawa teknik variolasi dari Turki ke Inggris.
Perkembangan vaksin semakin pesat di era Edward Jenner pada tahun
1796 dimana ia berhasil membuktikan seseorang yang terpajan Cowpox
dapat terlindungi dari penyakit Smallpox yang mematikan. Sejak saat itu,
studi dan penelitian mengenai vaksinasi terus berkembang. Bahkan,
beberapa penyakit dapat/hampir dimusnahkan dari bumi melalui

11
vaksinasi, seperti penyakit cacar dan polio.

Vaksinasi merupakan salah satu cara perlindungan terhadap


penyakit yang sangat efektif untuk manusia. Salah satu yang menjadi
prioritas untuk divaksinasi adalah tenaga kesehatan. Pandemi COVID-19
telah berhasil mendorong manusia untuk menghasilkan vaksinasi COVID-
19 dalam jangka waktu yang singkat, kurang lebih dalam 1 tahun, dimana
pada umumnya vaksin dapat digunakan secara luas setelah melalui
proses yang memakan waktu belasan hingga puluhan tahun.

Dengan vaksinasi, tentu kita berharap tenaga kesehatan yang


menjadi garda depan dalam penanganan COVID-19 dapat terlindungi
dengan baik. Namun, perlu diperhatikan bahwa vaksinasi yang ada saat
ini, untuk penyakit apapun, tidak 100% dapat mencegah penyakit,
termasuk vaksinasi COVID-19. Namun risiko terinfeksi akan dapat ditekan
serendah mungkin. Selain itu untuk mencapai herd immunity
membutuhkan waktu bertahun-tahun. Oleh sebab itu, jika sudah
divaksinasi, maka protokol kesehatan yang sudah kita laksanakan selama
ini tetap harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Pengendalian substitusi untuk mengganti sumber bahaya tidak


dapat dilakukan. Untuk pengendalian teknik yang bertujuan mengisolasi
dari sumber bahaya sehingga mengurangi penyebaran patogen dan
kontaminasi pada permukaan dan benda, mencakup pengaturan
ventilasi (misalnya memastikan tersedianya ruangan isolasi berventilasi
baik bagi para pasien suspek atau konfirmasi COVID-19, durasi (misalnya
membatasi berinteraksi dengan pasien atau ketika di tempat publik),
jarak (misalnya memberi jarak pembatasan sosial minimal 1 m antara
pasien dan dokter, memasang barrier/pemisah), dan sirkulasi. Selain itu
juga melakukan isolasi atau karantina, penggunaan ruangan isolasi
bertekanan negatif bagi para pasien suspek atau konfirmasi COVID-19,
ruang khusus pemakaian dan penglepasan APD, pengaturan dan
pemeliharaan sistem HVAC seperti pengaturan intake udara bersih ke
ruangan, pengaturan aliran udara, penggunaan dan pemeliharaan
12
penyaring (HEPA filter) dilengkapi penggunaan lampu UV-C untuk
inaktivasi kuman.

Pengendalian administratif bertujuan mengubah kebiasaan kerja,


mencakup memastikan tersedianya sumber daya untuk langkah-langkah
pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI), seperti infrastruktur yang
sesuai, penyusunan kebijakan PPI yang jelas, fasilitasi akses pemeriksaan
laboratorium, triase, penempatan pasien yang sesuai, termasuk
pemisahan area/ruang tunggu khusus untuk pasien dengan gejala
saluran pernapasan, rasio staf-pasien yang memadai, serta pelatihan
bagi staf. Dalam konteks COVID-19, sebisa mungkin harus
dipertimbangkan penyusunan alur perawatan yang berbeda yang
meminimalisasi bercampurnya pasien terkonfirmasi atau suspek COVID-19
dengan pasien lain (misalnya melalui fasilitas pelayanan kesehatan,
bangsal, ruang tunggu, dan ruang triase yang terpisah), alur rujukan
COVID-19, protokol kesehatan antar staf seperti saat istirahat, ibadah dan
rapat, pengaturan jam kerja, pembatasan tempat praktik dokter,
pembatasan usia dokter yang pelayanan langsung pasien COVID-19,
pembatasan waktu komunikasi langsung pasien, penggunaan
pelayanan telemedicine, pembiayaan pemeriksaan kesehatan, jaminan
kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, pelayanan
posko kesehatan/poliklinik pegawai, pengaturan gizi dan program
olahraga, penentuan PAK, penatalaksanaan kembali kerja

Penggunaan alat pelindung diri baik untuk petugas kesehatan,


pasien, dan masyarakat. Untuk petugas kesehatan, alat pelindung diri
disesuaikan dengan level risiko. Meskipun penggunaan APD adalah
tindakan pengendalian yang paling mudah terlihat dalam mencegah
penyebaran infeksi, penggunaan APD hanyalah salah satu langkah PPI
dan tidak dapat diandalkan sebagai strategi pencegahan utama. Tanpa
adanya pengendalian teknik dan administratif yang efektif, manfaat APD
terbatas, sebagaimana dideskripsikan dalam panduan WHO tentang
pencegahan dan pengendalian infeksi saluran pernapasan akut berisiko
13
epidemi dan pandemi dalam pelayanan kesehatan.

Gambar 2.1. Hierarki pengendalian risiko transmisi infeksi


Telah diolah kembali dari : National Institute for Occupational Safety and
Health

Dokter sebagai salah satu SDM di fasilitas kesehatan baik tingkat


pertama maupun lanjut mempunyai risiko tertular pajanan biologi virus
SARS-CoV-2 saat pandemi COVID-19. Tingkat risiko tertular virus SARS-CoV-
2 untuk dokter bisa kita bedakan menjadi 4 kelompok :
1. Risiko rendah, yaitu dokter yang tidak memberikan pelayanan atau
kontak langsung pasien suspek/probable/konfirmasi COVID-19
misalnya dokter di manajemen
2. Risiko sedang, yaitu dokter yang memberikan pelayanan atau
kontak langsung pasien yang belum diketahui status terinfeksi
COVID-19
3. Risiko tinggi, yaitu dokter yang melakukan pelayanan pada
suspek/probable/konfirmasi COVID-19 namun tidak termasuk
melakukan tindakan aerosol
4. Risiko sangat tinggi, yaitu dokter yang melakukan pelayanan
tindakan aerosol pada pasien suspek/probable/konfirmasi COVID-
19, serta dokter yang melakukan pengambilan spesimen
pernapasan (nasofaring dan orofaring) dan otopsi.

14
Gambar 2.2. Klasifikasi pajanan dokter terhadap SARS-CoV-2 sesuai
piramida risiko okupasi untuk COVID-19
Telah diolah kembali dari : Occupational Safety and Health Act. Guidance on
Preparing Work places for COVID-19. 2020.

Pencegahan terhadap COVID-19 untuk dokter, meliputi


pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Pencegahan primer bertujuan
untuk mencegah terjadinya pajanan dan mengurangi faktor risiko
terhadap dokter. Pencegahan primer dilakukan dengan cara
pengendalian transmisi infeksi, meliputi upaya eliminasi dengan vaksinasi,
pengendalian teknik, pengendalian administrasi, dan penggunaan alat
pelindung diri (APD). Pencegahan sekunder dilakukan dengan deteksi dini
dan skrining berkala dengan tujuan meminimalisasi lama sakit dan derajat
keparahan. Deteksi dini dapat dilakukan dengan kuesioner, medical
surveillance, identifikasi faktor risiko, skrining dengan swab RT-PCR swab
secara berkala, serta testing dan tracing pada dokter yang terkonfirmasi
COVID-19. Pencegahan tersier dilakukan dengan penatalaksanaan
optimal sesuai derajat keparahan penyakit (Gambar 2.3).

15
Gambar 2.3. Pencegahan terhadap COVID-19 untuk dokter

Data dari RSUP Persahabatan Jakarta dari 1 Maret – 20 November


2020 menunjukkan recovery rate untuk pasien tanpa gejala dan gejala
ringan 100%, gejala sedang 96,4%, gejala berat 94,5%, dan pasien kritis
32,6%. Case fatality rate pada pasien gejala ringan 0%, gejala sedang
1,8%, gejala berat 5,4%, dan pasien kritis 53,9%. Data tersebut
menunjukkan pentingnya penatalaksanan optimal yang dilakukan sedini
mungkin untuk mencegah progresivitas keparahan penyakit dan
menurunkan angka kematian. Derajat keparahan COVID-19 dapat
berubah seiring perkembangan perjalanan penyakit, pasien tanpa gejala
tidak selalu termasuk dalam kategori tanpa gejala atau gejala ringan.
Beberapa penelitian menunjukkan pada pasien asimtomatik didapatkan

16
kelainan radiologi, sehingga termasuk kategori sedang ketika ditemukan
gambaran pneumonia. Oleh karena itu pemeriksaan penunjang radiologi
(setidaknya rontgen toraks) dan laboratorium juga perlu dilakukan pada
pasien tanpa gejala atau gejala ringan.

Pasien dalam kategori tanpa gejala atau gejala ringan dapat


melakukan isolasi mandiri jika memungkinkan, sedangkan pasien yang
termasuk dalam kategori sedang/berat/kritis membutuhkan perawatan
lebih lanjut di rumah sakit. Jika terjadi progresivitas penyakit dan
perburukan kondisi pasien selama perawatan, pasien perlu dirujuk ke
rumah sakit yang lebih memadai.

2.2. Vaksinasi COVID-19

Pengendalian paling efektif adalah eliminasi bahaya potensial SARS-


CoV-2 dengan vaksinasi. Vaksinasi tidak hanya bertujuan untuk memutus
rantai penularan penyakit dan menghentikan wabah saja, tetapi juga
dalam jangka panjang untuk mengeliminasi bahkan mengeradikasi
(memusnahkan/ menghilangkan) penyakit itu sendiri.

Jenis vaksin secara umum sangat bervariasi, mulai dari vaksin


dengan kuman yang dilemahkan seperti vaksin varisela dan MMR, vaksin
dengan kuman yang dimatikan seperti influenza, atau memakai bagian
tertentu dari kuman seperti pada hepatitis B dan pneumonia. Untuk
vaksinasi COVID-19, platform yang akan beredar di masyarakat terdiri
atas inactivated vaccine, viral vector, mRNA, dan subunit (Lampiran 1).
Vaksin yang saat ini digunakan untuk tenaga kesehatan adalah platform
inactivated vaccine (Coronavac) buatan Sinovac dari China.
Kedepannya vaksin platform lain akan beredar di Indonesia dan akan
digunakan untuk masyarakat. Rencana pengadaan vaksin untuk
Indonesia mencapai lebih dari 300 juta dosis vaksin dengan target
populasi yang divaksin mencapai lebih dari 180 juta populasi dengan
harapan akan tercapainya herd immunity atau kekebalan kelompok.

17
Dengan tercapainya herd immunity maka diharapkan rantai transmisi
COVID-19 dapat diputus.

Tahapan pelaksanaan vaksinasi COVID 19 dengan


mempertimbangkan ketersediaan, waktu adalah sebagai berikut:
1. Tahap 1 dengan waktu pelaksanaan Januari - April 2021
Sasaran vaksinasi COVID-19 tahap 1 adalah tenaga kesehatan,
asisten tenaga kesehatan, tenaga penunjang, serta mahasiswa
yang sedang menjalani pendidikan profesi kedokteran yang bekerja
pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
2. Tahap 2 dengan waktu pelaksanaan Januari - April 2021
Sasaran vaksinasi COVID-19 tahap 2 adalah:
a. Petugas pelayanan publik yaitu TNI/Polri, aparat hukum, dan
petugas pelayanan publik lainnya yang meliputi petugas di
bandara/pelabuhan/stasiun/terminal, perbankan, perusahaan
listrik negara, dan perusahaan daerah air minum, serta petugas
lain yang terlibat secara langsung memberikan pelayanan
kepada masyarakat.
b. Kelompok usia lanjut (≥ 60 tahun).
3. Tahap 3 dengan waktu pelaksanaan April 2021 - Maret 2022
Sasaran vaksinasi COVID-19 tahap 3 adalah masyarakat rentan dari
aspek geospasial, sosial, dan ekonomi.
4. Tahap 4 dengan waktu pelaksanaan April 2021 - Maret 2022
Sasaran vaksinasi tahap 4 adalah masyarakat dan pelaku
perekonomian lainnya dengan pendekatan kluster sesuai dengan
ketersediaan vaksin.

Jumlah tenaga kesehatan yang akan divaksin pada prioritas


pertama berjumlah sekitar 1,3 juta orang, diikuti oleh petugas publik 17,4
juta orang dan masyarakat lansia dengan jumlah sekitar 21 juta orang.
Pada umumnya, setiap orang dapat mengikuti vaksinasi, kecuali yang
dinilai memiliki kontraindikasi. Kementerian Kesehatan sudah menyusun
kriteria individu yang dapat divaksin dengan mengambil rekomendasi

18
dari berbagai perhimpunan kedokteran. Individu dengan komorbid
tertentu sementara belum dapat dilakukan vaksinasi. Jika belum dapat
mengikuti vaksinasi gelombang I, maka diharapkan dapat ikut pada
gelombang II, sebab penelitian mengenai vaksinasi COVID-19 terus
berlanjut dan rekomendasi kriteria kelayakan untuk divaksin juga akan
terus berubah.

Hasil penelitian berbagai platform vaksin COVID-19 diatas


menunjukkan hasil yang baik dalam mencegah terjadinya infeksi COVID-
19, mulai dari infeksi ringan sampai berat. Setiap jenis vaksin COVID-19
memiliki keunggulan dan kelemahan, baik dalam efektivitas, keamanan,
penyimpanan dan lain-lain. Kementerian Kesehatan akan mengarahkan
penggunaan vaksin yang ada untuk seluruh masyarakat Indonesia.
Vaksinasi COVID-19 pada umumnya akan dilakukan sebanyak dua kali
suntikan. Suntikan Coronavac dilakukan pada hari ke 0 dan hari 14. Titer
antibodi yang maksimal akan terbentuk pada 2 minggu pasca suntikan
kedua. Jika hanya sekali suntikan, antibodi yang terbentuk dapat belum
adekuat, sehingga suntikan kedua sangat penting dilakukan untuk
mencegah infeksi.

Efek samping yang dapat terjadi pasca vaksin umumnya minimal.


Efek samping dapat berupa:
1. Reaksi lokal, seperti nyeri, kemerahan, bengkak pada tempat
suntikan dan reaksi lokal lain yang berat, misalnya selulitis.
2. Reaksi sistemik seperti demam, nyeri otot seluruh tubuh (myalgia),
nyeri sendi (atralgia), badan lemah, dan sakit kepala.
3. Reaksi lain, seperti alergi misalnya urtikaria, oedem, reaksi anafilaksis,
dan syncope (pingsan)

Umumnya keluhan akan hilang dalam waktu singkat. Untuk


antisipasi, penerima vaksinasi akan dipantau selama 30 menit di tiap sesi
vaksinasi, sebelum bisa meninggalkan lokasi vaksinasi. Selain itu, ada
pencatatan barcode per vial untuk tiap penerima vaksin, sehingga

19
penelusuran risiko dapat dilakukan.

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) merupakan kejadian yang


terjadi 28 hari pasca vaksinasi. Kejadian tersebut dapat berhubungan
dengan vaksinasi ataupun tidak berhubungan sehingga sebenarnya
cakupannya lebih luas dari efek simpang. Jika terjadi KIPI maka harus
dilaporkan dengan alur pelaporan yang sudah dibentuk di fasilitas
kesehatan terkait.

2.3. Pengendalian Risiko Transmisi COVID-19 Bagi Dokter (Lampiran 2)


2.3.1. Risiko Rendah
A. Eliminasi
• Vaksinasi.
• Disinfeksi untuk menghilangkan virus dari permukaan atau
benda-benda.
• Mencuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer
B. Pengendalian Teknik
• Pengaturan dan pemeliharaan sistem HVAC pada gedung atau
ruangan yang dilengkapi dengan sarana HEPA filter dan lampu
UV-C
• Pengaturan intake udara bersih ke ruangan, arah aliran udara
yang baik, dan pergantian udara per jam minimal 6x ACH
C. Pengendalian Administratif
• SPO dan pelatihan PPI seperti hand hygiene, etika batuk,
penggunaan dan penglepasan APD (Lampiran 3), pembuangan
limbah, disinfeksi dan dekontaminasi permukaan/ruangan
• Protokol kesehatan pertemuan seperti pembatasan jumlah
peserta rapat sesuai kapasitas ruangan dengan jarak tempat
duduk peserta rapat minimal 1 meter, penggunaan media virtual
(secara daring) untuk rapat, tidak mengadakan acara makan
bersama saat rapat, pembatasan waktu rapat.
• Sosialisasi dan penerapan 5 M (memakai masker, mencuci
tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan, membatasi

20
mobilitas) dan 3 T (tracing, testing, treatment)
• Pengaturan jam kerja: 40 jam seminggu (waktu kerja harian 7 - 8
jam dan tidak melebihi 12 jam sehari)
• Pengaturan gizi dokter dan olahraga
• Mengikuti protokol kesehatan saat melaksanakan ibadah,
misalnya menggunakan peralatan ibadah masing-masing, dan
saat istirahat, misalnya saat makan tidak bersama-sama staf lain,
menggunakan peralatan makan masing-masing dan tidak
prasmanan
• Pelayanan posko kesehatan kerja/poliklinik pegawai
• Pembiayaan pemeriksaan Medical Check Up (pra-kerja,
berkala, khusus dan akhir kerja), Jaminan Kesehatan, Jaminan
Kecelakaan Kerja termasuk Penyakit Akibat Kerja, Jaminan
Kematian Dokter, dan kompensasi selama masa karantina atau
isolasi
• Melakukan penatalaksanaan kembali bekerja (return to work)
dokter pasca sakit
• Melakukan penentuan Penyakit Akibat Kerja pada dokter yang
terkena COVID-19 akibat kerja (sesuai dengan Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/327/2020 tentang
Penetapan COVID-19 Akibat Kerja sebagai Penyakit Akibat Kerja
yang Spesifik pada Pekerjaan Tertentu).
A. Alat Pelindung Diri (Lampiran 4)
• Masker bedah

2.3.2. Risiko Sedang


A. Eliminasi
• Vaksinasi
• Disinfeksi untuk menghilangkan virus dari permukaan atau benda-
benda
• Mencuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer

21
B. Pengendalian Teknik
• Zonasi ruangan untuk pasien COVID-19 dan nonCOVID-19
• Pengaturan dan pemeliharaan sistem HVAC pada gedung atau
ruangan yang dilengkapi dengan sarana HEPA filter dan lampu
UV-C, serta pengaturan intake udara bersih ke ruangan, arah
aliran udara yang baik, dan pergantian udara per jam minimal 6x
ACH
• Barrier (pemisah) mika di meja periksa dokter
• Penanda jarak 1 meter antara meja dokter dan kursi pasien
• Pemberian jarak minimal 1 meter antar pasien ranap dibangsal
• Pemisahan tempat pakai dan lepas APD
C. Pengendalian Administratif
• Triase pasien dapat menggunakan sistem Early Warning
Score/EWS COVID- 19, atau menggunakan sistem triase lain
disesuaikan dengan situasi dan kondisi (Lampiran 5)
• Dokter usia >60 tahun tidak direkomendasikan melayani pasien
COVID-19, baik praktik pribadi maupun difasilitas kesehatan
• Pembatasan tempat praktik dokter terfokus di satu tempat untuk
menghindari kelelahan karena jam kerja panjang dan cross
infection antar fasilitas kesehatan dimasa pandemi dan apabila
dalam kondisi benar-benar kekurangan SDM dapat
direkomendasikan maksimal 2 tempat praktik
• Pembatasan waktu komunikasi atau konsultasi langsung dengan
pasien maksimal 15 menit, dan jika memerlukan waktu lebih
banyak dapat menggunakan media online (telemedicine)
• Skrining pra-admisi atau tindakan direkomendasikan dilakukan
swab untuk pemeriksaan nucleic acid amplification tests (NAAT)
atau tes cepat molekuler SARS-CoV-2. Namun jika tidak
memungkinkan dapat menggunakan tes cepat antigen SARS-
CoV-2
• Pengaturan kebijakan terkait pengendalian infeksi pada pasien
seperti pembatasan jumlah pengunjung dan pemberian penanda

22
jarak 1 meter pada kursi tunggu pasien serta penggunaan masker
pada pasien
• SPO dan pelatihan PPI seperti hand hygiene, etika batuk,
penggunaan dan penglepasan APD (Lampiran 3), pengaturan
tempat APD kotor disposable maupun reusable, sterilisasi APD
reusable, penyimpanan APD reusable, disinfeksi dan
dekontaminasi, penanganan linen, pembuangan limbah.
• Pengaturan jam kerja
- Nonshift: 40 jam seminggu (waktu kerja harian 7 - 8 jam dan
tidak melebihi 12 jam sehari)
- Shift: metropolitan rota ( 2 pagi – 2 siang – 2 malam) atau
continental rota (2 pagi – 2 siang – 3 malam) diikuti istirahat 1
atau 2 hari
- Untuk dokter usia >45 tahun disarankan untuk tugas nonshift
• Mendapatkan fasilitas pemeriksaan kesehatan pra penempatan
pelayanan, termasuk diantaranya adalah pemeriksaan SARS-
CoV-2 (NAAT), untuk mengetahui status kesehatan kerja atau
kelaikan kerja untuk dokter dengan komorbid atau kondisi khusus
seperti kehamilan sebelum ditugaskan memberikan pelayanan
• Pembiayaan pemeriksaan MCU (pra-kerja, berkala, khusus dan
akhir kerja), Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja
termasuk Penyakit Akibat Kerja, Jaminan Kematian Dokter, dan
kompensasi selama masa karantina atau isolasi
• Mengikuti protokol kesehatan saat melaksanakan ibadah,
dengan menggunakan peralatan ibadah masing-masing, dan
saat istirahat, misalnya saat makan tidak bersama-sama staf lain,
menggunakan peralatan makan masing-masing dan tidak
prasmanan.
• Sosialisasi dan penerapan 5 M (memakai masker, mencuci
tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan, membatasi
mobilitas) dan 3 T (tracing, testing, treatment)

23
• Protokol kesehatan pertemuan seperti pembatasan jumlah
peserta rapat sesuai kapasitas ruangan dengan jarak tempat
duduk peserta rapat minimal 1 meter, penggunaan media virtual
(secara daring), tidak mengadakan acara makan bersama saat
rapat, dan pembatasan waktu rapat
• Pelayanan posko kesehatan kerja/poliklinik pegawai
• Pengaturan gizi dokter dan olahraga
• Algoritma/Alur/PPK terkait pelayanan COVID-19 dan nonCOVID-
19
• Melakukan penatalaksanaan kembali bekerja (return to work)
dokter pasca sakit
• Melakukan penentuan Penyakit Akibat Kerja pada dokter yang
terkena COVID-19 akibat kerja (sesuai dengan Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/327/2020 tentang Penetapan
COVID-19 Akibat Kerja sebagai Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik
pada Pekerjaan Tertentu).
D. Alat Pelindung Diri (Lampiran 4)
• Level 2, dokter diharapkan membawa baju ganti dan mengganti
baju sebelum pulang ke rumah

2.3.3. Risiko Tinggi


A. Eliminasi
• Vaksinasi
• Disinfeksi untuk menghilangkan virus dari permukaan atau benda-
benda
• Mencuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer
B. Pengendalian Teknik
• Zonasi ruangan untuk pasien COVID-19
• Pengaturan dan pemeliharaan sistem HVAC pada ruangan
bertekanan negatif dengan anteroom dilengkapi sarana HEPA
filter dan lampu UV-C serta pengaturan intake udara bersih ke
ruangan, arah aliran udara yang baik juga pergantian udara per
jam minimal 12x ACH
24
• Barrier (pemisah) mika di meja periksa dokter
• Penanda jarak 1 meter antara meja dokter dan kursi pasien
• Pemberian jarak minimal 1 meter antar pasien rawat inap di
bangsal
• Pemisahan tempat pakai dan lepas APD
C. Pengendalian Administratif
• Triase pasien dapat menggunakan sistem Early Warning
Score/EWS COVID-19, atau menggunakan sistem triase lain
disesuaikan dengan situasi dan kondisi (Lampiran 5)
• Dokter usia >60 tahun direkomendasikan tidak melayani pasien
COVID-19, baik praktik pribadi maupun difasilitas kesehatan
• Dokter yang sedang hamil direkomendasikan tidak memberikan
pelayanan langsung pasien COVID-19
• Pembatasan tempat praktik dokter terfokus di satu tempat untuk
menghindari kelelahan karena jam kerja panjang dan cross
infection antar fasilitas kesehatan dimasa pandemi dan apabila
dalam kondisi benar-benar kekurangan SDM dapat
direkomendasikan maksimal 2 tempat praktik.
• Pembatasan waktu komunikasi atau konsultasi langsung dengan
pasien maksimal 15 menit, dan jika memerlukan waktu lebih
banyak dapat menggunakan media online (telemedicine)
• Skrining pra-admisi atau tindakan direkomendasikan dilakukan
swab untuk pemeriksaan NAAT atau tes cepat molekuler SARS-
CoV-2. Namun jika tidak memungkinkan dapat menggunakan tes
cepat antigen SARS-CoV-2
• Pengaturan kebijakan terkait pengendalian infeksi pada pasien
seperti pembatasan jumlah pengunjung dan pemberian penanda
jarak 1 meter pada kursi tunggu pasien serta penggunaan masker
pada pasien
• SPO dan pelatihan PPI seperti hand hygiene, etika batuk,
penggunaan dan penglepasan APD (Lampiran 3), pengaturan

25
tempat APD kotor disposable maupun reusable, sterilisasi APD
reusable, penyimpanan APD reusable, disinfeksi dan
dekontaminasi, penanganan linen, pembuangan limbah
• Pengaturan jam kerja
- Pada pelayanan area penanganan COVID-19 disarankan
mengurangi durasi shift menjadi 6 jam (satu hari 4 shift) dengan
penggunaan APD level 3 maksimal berdurasi 6 jam
- Untuk dokter usia >45 tahun disarankan untuk tugas nonshift
• Penanganan pasien COVID-19 dilakukan dengan pendekatan tim
untuk kolaborasi interdisiplin dan pengaturan jadwal dalam
rangka penurunan viral load
• Mendapatkan fasilitas pemeriksaan kesehatan pra penempatan
pelayanan COVID-19, termasuk diantaranya adalah pemeriksaan
SARS-CoV-2 (NAAT), untuk mengetahui status kesehatan kerja
atau kelaikan kerja untuk dokter dengan komorbid atau kondisi
khusus seperti kehamilan sebelum ditugaskan memberikan
pelayanan pasien COVID-19
• Mengikuti protokol kesehatan saat melaksanakan ibadah,
misalnya menggunakan peralatan ibadah masing-masing, dan
saat istirahat, misalnya saat makan tidak bersama-sama staf lain,
menggunakan peralatan makan masing-masing dan tidak
prasmanan
• Pembiayaan pemeriksaan MCU (pra-kerja, berkala, khusus dan
akhir kerja), Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja
termasuk Penyakit Akibat Kerja, Jaminan Kematian Dokter, dan
kompensasi selama masa karantina atau isolasi
• Mendapatkan fasilitas pemeriksaan kesehatan pada akhir
penempatan pelayanan COVID-19, termasuk diantaranya
adalah pemeriksaan SARS-CoV-2 (NAAT) pada periode tertentu,
misalnya 2 minggu sekali atau sesuai indikasi
• Protokol kesehatan pertemuan seperti pembatasan jumlah
peserta rapat sesuai kapasitas ruangan dengan jarak tempat

26
duduk peserta rapat minimal 1 meter, penggunaan media virtual
(secara daring) untuk rapat, tidak mengadakan acara makan
bersama saat rapat, pembatasan waktu rapat
• Sosialisasi dan penerapan 5 M (memakai masker, mencuci
tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan, membatasi
mobilitas) dan 3 T (tracing, testing, treatment)
• Pelayanan posko kesehatan kerja/poliklinik pegawai
• Pengaturan gizi dokter dan olahraga
• Algoritma/Alur/PPK terkait pelayanan COVID-19 dan nonCOVID-
19 (sesuai Pedoman Pencegahan dan Pengendalian COVID-19
Kementerian Kesehatan RI)
• Melakukan penatalaksanaan kembali bekerja (return to work)
dokter pasca sakit
• Melakukan penentuan Penyakit Akibat Kerja pada dokter yang
terkena COVID-19 akibat kerja (sesuai dengan Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/327/2020 tentang Penetapan
COVID-19 Akibat Kerja sebagai Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik
pada Pekerjaan Tertentu).
D. Alat Pelindung Diri (Lampiran 4)
• Level 3, dokter diharapkan membawa baju ganti dan mengganti
baju sebelum pulang ke rumah
• Penggunaan APD level 3 maksimal berdurasi 6 jam

2.3.4. Risiko Sangat Tinggi


A. Eliminasi
• Vaksinasi
• Disinfeksi untuk menghilangkan virus dari permukaan atau benda-
benda
• Mencuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer
B. Pengendalian Teknik
• Zonasi ruangan untuk pasien COVID-19
• Pengaturan dan pemeliharaan sistem HVAC pada ruangan
27
bertekanan negatif dengan anteroom dilengkapi sarana HEPA
filter dan lampu UV-C serta pengaturan intake udara bersih ke
ruangan
• Barrier (pemisah) mika di meja periksa dokter
• Penanda jarak 1 meter antara meja dokter dan kursi pasien
• Pemberian jarak minimal 1 meter antar pasien ranap dibangsal
• Pemisahan tempat pakai dan lepas APD
C. Pengendalian Administratif
• Triase pasien dapat menggunakan sistem Early Warning
Score/EWS COVID-19, atau menggunakan sistem triase lain
disesuaikan dengan situasi dan kondisi (Lampiran 5)
• Dokter usia >60 tahun direkomendasikan tidak melayani pasien
COVID-19, baik praktik pribadi maupun difasilitas kesehatan
• Dokter yang sedang hamil direkomendasikan tidak memberikan
pelayanan langsung pasien COVID-19
• Pembatasan tempat praktik dokter terfokus di satu tempat untuk
menghindari kelelahan karena jam kerja panjang dan infeksi
silang (cross infection) antar fasilitas kesehatan dimasa pandemi
dan apabila dalam kondisi benar-benar kekurangan SDM dapat
direkomendasikan maksimal 2 tempat praktik
• Pembatasan waktu komunikasi atau konsultasi langsung dengan
pasien maksimal 15 menit dan jika memerlukan waktu lebih
banyak dapat menggunakan media online (telemedicine)
• Skrining pra-admisi atau tindakan direkomendasikan dilakukan
swab untuk pemeriksaan RT-PCR atau tes cepat molekuler SARS-
CoV-2. Namun jika tidak memungkinkan dapat menggunakan tes
cepat antigen SARS-CoV-2
• Pengaturan kebijakan terkait pengendalian infeksi pada pasien
seperti pembatasan jumlah pengunjung dan pemberian
penanda jarak 1 meter pada kursi tunggu pasien serta
penggunaan masker pada pasien
• SPO dan pelatihan PPI seperti hand hygiene, etika batuk,

28
penggunaan dan penglepasan APD (Lampiran 3), pengaturan
tempat APD kotor disposable maupun reusable, sterilisasi APD
reusable, penyimpanan APD reusable, disinfeksi dan
dekontaminasi, penanganan linen, pembuangan limbah
• Pengaturan jam kerja :
- Pada pelayanan area penanganan COVID-19 disarankan
mengurangi durasi shift menjadi 6 jam (satu hari 4 shift) dengan
penggunaan APD level 3 maksimal berdurasi 6 jam
- Untuk dokter usia > 45 tahun disarankan untuk tugas nonshift
• Penanganan pasien COVID-19 dilakukan dengan pendekatan tim
untuk kolaborasi interdisiplin dan pengaturan jadwal dalam
rangka penurunan viral load
• Mendapatkan fasilitas pemeriksaan kesehatan pra penempatan
pelayanan COVID-19, termasuk diantaranya adalah pemeriksaan
SARS-CoV-2 (RT-PCR), untuk mengetahui status kesehatan kerja
atau kelaikan kerja untuk dokter dengan komorbid atau kondisi
khusus seperti kehamilan sebelum ditugaskan memberikan
pelayanan pasien COVID-19
• Pembiayaan pemeriksaan Medical Check Up (pra-kerja, berkala,
khusus dan akhir kerja), Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan
Kerja termasuk Penyakit Akibat Kerja, Jaminan Kematian Dokter,
dan kompensasi selama masa karantina atau isolasi
• Mendapatkan fasilitas pemeriksaan kesehatan pada akhir
penempatan pelayanan COVID-19, termasuk diantaranya
adalah pemeriksaan SARS-CoV-2 (RT-PCR) pada periode tertentu,
misalnya 2 minggu sekali atau sesuai indikasi
• Protokol kesehatan pertemuan seperti pembatasan jumlah
peserta rapat sesuai kapasitas ruangan dengan jarak tempat
duduk peserta rapat minimal 1 meter, penggunaan media virtual
(secara daring) untuk rapat, tidak mengadakan acara makan
bersama saat rapat, pembatasan waktu rapat

29
• Sosialisasi dan penerapan 5 M (memakai masker, mencuci
tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan, membatasi
mobilitas) dan 3 T (tracing, testing, treatment)
• Mengikuti protokol kesehatan saat melaksanakan ibadah,
misalnya menggunakan peralatan ibadah masing-masing, dan
saat istirahat, misalnya saat makan tidak bersama-sama staf lain,
menggunakan peralatan makan masing-masing dan tidak
prasmanan
• Pelayanan posko kesehatan kerja/poliklinik pegawai
• Pengaturan gizi dokter dan olahraga
• Algoritma/Alur/PPK terkait pelayanan COVID-19 dan nonCOVID-
19 (sesuai Pedoman Pencegahan dan Pengendalian COVID-19
Kementerian Kesehatan RI)
• Melakukan penatalaksanaan kembali bekerja (return to work)
dokter pasca sakit
• Melakukan penentuan Penyakit Akibat Kerja pada dokter yang
terkena COVID-19 akibat kerja (sesuai dengan Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/327/2020 tentang Penetapan
COVID-19 Akibat Kerja sebagai Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik
pada Pekerjaan Tertentu)
D. Alat Pelindung Diri (Lampiran 4)
• Level 3, dokter diharapkan membawa baju ganti dan mengganti
baju sebelum pulang ke rumah.
• Penggunaan APD level 3 maksimal berdurasi 6 jam

2.3.5. Ruang Prosedur/Tindakan Operasi


• Alur satu pintu (pintu yang sama antara petugas medis dan
pasien)
• Sebelum masuk dokter memakai APD lengkap sesuai dengan SPO
kamar operasi dengan dokter spesialis anestesiologi,
penata/perawat anestesi, dan operator memakai masker N95
• Pasien masuk kamar operasi sudah memakai masker bedah.
• Jika pasien yang dioperasi terkonfirmasi pasien COVID-19, maka
30
dokter menggunakan APD sesuai dengan APD penanganan
pasien COVID-19 di ruang isolasi
• Ketika intubasi bila memungkinkan menggunakan blade
disposable, bila tidak ada, dapat menggunakan blade biasa
dengan selalu membersihkan atau mendesinfektan alat setelah
digunakan dari pasien satu ke pasien selanjutnya. Teknik intubasi
dilakukan dengan Rapid Sequence Intubation (RSI). Teknik ini
dilakukan dengan durasi kurang 3 menit

2.4. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) (Lampiran 4)


2.4.1. Alat Pelindung Diri Level 1
• Baju scrub/baju kerja
• Pelindung kaki (sepatu kerja)
• Penutup kepala (headcap)
• Masker bedah
• Sarung tangan lateks
• Pelindung mata atau wajah

2.4.2. Alat Pelindung Diri Level 2


Digunakan oleh dokter yang tugasnya sering kontak dengan banyak
orang namun tidak diketahui status terinfeksi COVID-19 (risiko sedang)
• Baju scrub/baju kerja
• Pelindung kaki (sepatu kerja)
• Penutup kepala (headcap)
• Masker bedah
• Sarung tangan lateks
• Pelindung mata atau wajah
• Gown

2.4.3. Alat Pelindung Diri Level 3


Digunakan oleh dokter yang melakukan pelayanan kontak langsung
pasien suspek/probable/konfirmasi COVID-19 (risiko tinggi) dan termasuk
yang melakukan tindakan aerosol, pengambilan spesimen pernapasan,

31
dan otopsi pada pasien suspek/probable/konfirmasi COVID-19 (risiko
sangat tinggi)
• Baju scrub/baju kerja
• Penutup kepala (headcap)
• Minimal masker N95 atau ekuivalen; atau respirator tingkat yang lebih
tinggi seperti PAPR
• Sarung tangan lateks
• Pelindung mata (googles)
• Pelindung wajah (faceshield)
• Gown atau coverall
• Apron
• Boots/sepatu karet dengan pelindung sepatu

2.5. Pembagian Zona Risiko Penularan COVID-19

Zonasi ruang adalah pembagian atau pengelompokan ruangan-


ruangan pelayanan berdasarkan kesamaan karakteristik fungsi kegiatan
untuk tujuan tertentu. Pembagian zonasi ruangan di masa adaptasi
kebiasaan baru dilakukan untuk mencegah penularan COVID-19 di
rumah sakit antara pasien/bergejala COVID-19 dengan nonCOVID-19.
Zonasi rumah sakit berdasarkan risiko penularan COVID-19 dibagi menjadi
dua yaitu zona COVID-19 dan zona non-COVID-19 (Gambar 2.4).

2.5.1. Zona COVID-19

Area pelayanan untuk pasien yang mempunyai gejala COVID-19


atau memiliki riwayat kontak erat dengan pasien COVID-19 yang meliputi
area rawat jalan, IGD, rawat inap dan sarana penunjang serta fasilitas
lainnya. Kewaspadaan harus tetap dijaga dengan mewajibkan seluruh
petugas mematuhi protokol kesehatan yang berlaku. Merupakan
area/ruangan yang tingkat risiko terjadinya penularan COVID-19 tinggi
karena berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan
pelayanan pasien COVID-19. Zona ini diperuntukan bagi pasien kontak
erat, suspek, probable, dan konfirmasi COVID-19. Yang termasuk dalam

32
zona COVID-19 meliputi:
• Area pelayanan: area rawat jalan khusus COVID-19, area IGD khusus
COVID-19, area rawat inap khusus COVID-19, area ruang isolasi khusus
COVID-19 (tekanan negatif / ventilasi normal), area ruang rawat
intensif (ICU/HCU) khusus COVID-19, area ruang bersalin khusus
COVID-19, area ruang operasi khusus COVID-19, area ruang
hemodialisa khusus COVID-19, ruang cathlab khusus COVID-19, ruang
bayi khusus COVID-19
• Area penunjang: area laboratorium khusus COVID-19, area radiologi
khusus COVID-19, area bagian gizi khusus COVID-19, area kamar
jenazah, area pengolahan limbah

Bila memungkinkan pembagian kedua zona tersebut adalah dalam


bentuk ruangan terpisah. Apabila terkendala keterbatasan ketersediaan
ruangan maka alternatifnya adalah:
• Dalam satu instalasi yang perlu dipisahkan antara zona nonCOVID-19,
dan zona COVID-19 dapat dibatasi dengan pembatas sementara
atau permanen yang ditandai dengan penanda (sign) khusus yang
jelas dan menganut sistem jalur satu arah.
• Bagi faskes yang mempunyai jumlah SDM memadai dapat dibagi
menjadi petugas di zona pelayanan COVID-19 dan nonCOVID-19.
Bagi faskes yang tidak memiliki SDM yang cukup dapat membuat
jadwal/pembagian jam shift layanan maupun hari layanan antara
layanan biasa maupun layanan khusus COVID-19.
• Bila ketersediaan ruangan tidak memungkinkan sama sekali untuk
pemisahan zona, maka untuk mengurangi risiko penyebaran COVID-
19 dapat dilakukan dalam bentuk pengaturan jadwal pelayanan,
pembagian jam shift layanan ataupun hari layanan yang diikuti
dengan tindakan dekontaminasi dan sterilisasi baik ruangan maupun
alat kesehatan setelah pemberian pelayanan kepada pasien COVID-
19 sesuai aturan yang berlaku.

33
2.5.2. Zona nonCOVID-19

Merupakan area/ruangan yang tingkat risiko terjadinya penularan


COVID-19 rendah karena tidak berhubungan langsung dengan
pelayanan pasien COVID-19. Yang termasuk dalam zona nonCOVID-19
meliputi:
• Area administrasi: ruangan manajemen, ruang pertemuan, ruang
pendaftaran, gudang logistik, ruang rekam medik, administrasi, dan
lainnya.
• Area pelayanan: area rawat jalan nonCOVID-19, area IGD
nonCOVID-19, instalasi rawat inap nonCOVID-19, area rawat intensif
(ICU/HCU) nonCOVID-19, area ruang bersalin nonCOVID-19, ruang
operasi nonCOVID-19
• Area penunjang: area laboratorium nonCOVID, area radiologi
nonCOVID-19, area bagian gizi nonCOVID-19, laundri, area farmasi,
dan layanan nonCOVID-19 lainnya

2.6. Pengaturan Alur Layanan

Pasien masuk ke faskes melalui pintu utama yakni dapat melalui


IGD atau melalui area rawat jalan. Proses masuknya pasien melalui pintu
utama tersebut dapat melalui tiga cara yaitu (Gambar 2.5):
a. Langsung ke faskes (atas permintaan pasien sendiri dan tanpa
perjanjian).
Pasien melalui mekanisme ini harus melalui proses skrining. Bila dari
hasil skrining dicurigai COVID-19 maka pasien diarahkan menuju
triase IGD atau rawat jalan khusus COVID-19, sebaliknya bila dari
skrining tidak dicurigai COVID-19 maka pasien diarahkan menuju
triase IGD atau rawat jalan nonCOVID-19 sesuai kebutuhan pasien
b. Melalui rujukan
1. Rujukan pasien suspek atau konfirmasi COVID-19 tidak perlu
dilakukan skrining dan langsung diarahkan ke triase COVID-19.
2. Rujukan pasien kasus nonCOVID-19 yang dengan hasil
pemeriksaan COVID-19 negatif atau yang belum dilakukan
34
pemeriksaan COVID-19 tetap harus melewati proses skrining.
c. Melalui registrasi online
Pasien melalui registrasi online diharuskan mengisi kajian mandiri
terkait COVID-19, bila terindikasi gejala COVID-19 langsung diarahkan
ke triase rawat jalan COVID-19, sedangkan pasien dengan hasil
asesmen tidak terkait COVID-19 tetap melalui proses skrining

2.6.1. Skrining

Skrining atau proses penapisan pasien, dilakukan pada semua orang


yang mengunjungi rumah sakit (petugas, pasien, atau pengunjung rumah
sakit), melalui proses evaluasi dan disaring menggunakan kriteria gejala
dan riwayat epidemiologis, untuk menentukan pasien tersebut masuk ke
dalam kategori dicurigai COVID-19 atau bukan. Tujuan skrining adalah:
• Memisahkan pasien yang dicurigai COVID-19 dengan pasien
nonCOVID-19.
• Mengurangi pajanan untuk pasien lain, pengunjung dan petugas
Rumah Sakit.
• Membantu mencegah penyebaran penyakit di dalam fasilitas
kesehatan.
• Memastikan penggunaan APD digunakan sesuai pedoman
penggunaan APD.

Petugas, pasien, dan pengunjung diwajibkan menggunakan


masker, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir selama 40 - 60
detik atau dengan hand sanitizer selama 20 - 30 detik. Proses skrining tetap
harus memperhatikan jarak antar individu >1 meter.

Skrining dilakukan sebagai berikut (Lampiran 6):


a) Skrining pada staf faskes
Skrining dilakukan menggunakan penilaian cepat (quick asesment
COVID-19) meliputi:
• Pengecekan suhu tubuh, dapat menggunakan thermal gun
• Melakukan pengisian kajian mandiri
35
b) Skrining pada pasien dan pengunjung
Skrining dilakukan menggunakan penilaian cepat (quick asesment
COVID-19) meliputi:
• Pengecekan suhu tubuh, dapat menggunakan thermal gun
• Wawancara dan/atau pengisian form kondisi pasien
• Gejala klinis: demam (suhu badan >38o C) atau riwayat demam
dan gejala gangguan pernapasan (batuk, sesak napas, nyeri
tenggorokan)
• Riwayat epidemiologis:
o Dalam 14 hari sebelum gejala klinis muncul pasien melakukan
perjalanan atau tinggal di daerah/negara yang terjangkit
COVID-19.
o Dalam 14 hari sebelum gejala muncul ada riwayat kontak
dengan orang yang terkonfirmasi COVID-19.
o Dalam 14 hari sebelum timbulnya gejala klinis pasien yang
tinggal wilayah/negara terjangkit COVID-19 di melakukan
kontak langsung dengan orang yang demam atau
mengalami gangguan pernapasan.
o Kontak erat
• Riwayat pemeriksaan tes COVID-19 sebelumnya (jika ada).
• Seseorang suspek COVID-19 bila dari hasil penilaian cepat
didapatkan memenuhi minimal satu kriteria riwayat epidemiologis
dan/atau gejala klinis.

Bila dari hasil skrining staf, pasien, atau pengunjung faskes dicurigai
COVID-19 maka staf, pasien, atau pengunjung faskes tersebut diarahkan
ke fasilitas triase COVID-19. Bila dari hasil skrining staf, pasien, atau
pengunjung faskes tidak memenuhi kriteria kecurigaan COVID-19, maka
bisa langsung ke tempat yang ingin dituju, ke triase IGD atau poliklinik
rawat jalan nonCOVID-19.

Bila pasien dalam keadaan gawat darurat yang tidak


memungkinkan dilakukan skrining, maka pasien tersebut dikelompokan

36
ke dalam pasien suspek COVID-19 sampai dapat dibuktikan hasilnya
negatif.

Bangunan untuk tempat skrining dapat berupa bangunan


sementara, bangunan yang sudah ada, atau tenda sederhana. Untuk
tempat skrining harus dipastikan memiliki ventilasi alami yang memadai,
dipastikan lokasi sedekat mungkin dengan pintu masuk utama faskes
guna memusatkan semua pintu masuk, dengan akses yang baik untuk
pasien, dan pengunjung, dengan keamanan yang terjamin. Diupayakan
lokasi skrining cukup luas untuk menghindari antrian. Alur semua pasien
dan pengunjung yang mengakses bersifat satu arah.

37
38
Gambar 2.4. Alur dan zonasi ruangan
Sumber: Kementerian Kesehatan RI. Panduan teknis pelayanan Rumah Sakit pada masa adaptasi kebiasaan baru. 2020

38
38
Gambar 2.5. Alur dan zona COVID-19

39
Sumber: Kementerian Kesehatan RI. Panduan teknis pelayanan Rumah Sakit pada masa adaptasi kebiasaan baru. 2020
39
2.6.2. Triase

Proses triase adalah untuk mengidentifikasi pasien yang memerlukan


intervensi medis segera, pasien yang dapat menunggu, atau pasien yang
mungkin perlu dirujuk ke fasilitas kesehatan tertentu berdasarkan kondisi
klinis pasien. Triase dilakukan di pintu masuk pasien yaitu di IGD dan rawat
jalan.

Tindakan yang dilakukan pada triase IGD khusus COVID-19 selain


untuk penanganan kegawatdaruratan pasien adalah untuk menentukan
derajat infeksi COVID-19 yang dideritanya, melalui anamnesis lengkap,
pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang pasien, sesuai
Pedoman Pencegahan dan Pengendalian COVID-19. Tindakan triase
rawat jalan khusus COVID-19 dilakukan untuk menentukan derajat infeksi
COVID-19 yang dideritanya, melalui anamnesis lengkap dan pemeriksaan
fisik maupun pemeriksaan penunjang pasien, sesuai tata laksana
manajemen klinis pasien COVID-19 sesuai Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian COVID-19.

2.7. Pengaturan Aliran Udara dan Ventilasi

Semua lingkungan perawatan pasien diupayakan seminimal


mungkin kandungan partikel debu, kuman dan spora dengan menjaga
kelembaban dan pertukaran udara (Gambar 2.6). Ruang perawatan
biasa minimal 6 x pergantian udara per jam, ruang isolasi minimal 12x dan
ruang kamar operasi minimal 20 x per jam.

40
1. Udara dari luar; 2. Saluran udara, 3. Udara pada kamar pasien; 4. Penyedot udara; 5.
Udara keluar

Gambar 2.6. Skema aliran udara


Sumber: Kementerian Kesehatan RI. Panduan teknis pelayanan Rumah Sakit pada
masa adaptasi kebiasaan baru. 2020

Sistem ventilasi adalah sistem yang menjamin terjadinya pertukaran


udara di dalam gedung dan luar gedung yang memadai, sehingga
konsentrasi droplet nuklei menurun. Gedung yang tidak menggunakan
sistem pendingin udara sentral, sebaiknya menggunakan ventilasi
alamiah dengan kipas angin agar udara luar yang segar dapat masuk ke
semua ruangan di gedung tersebut. Pintu, jendela maupun langit-langit
di ruangan di mana banyak orang berkumpul seperti ruang tunggu,
hendaknya dibuka maksimal.

Sistem ventilasi campuran (alamiah dengan mekanik) dengan


penggunaan exhaust fan/kipas angin yang dipasang dengan benar dan
dipelihara dengan baik, dapat membantu untuk mendapatkan dilusi
yang adekuat, bila dengan ventilasi alamiah saja tidak dapat mencapai
rate ventilasi yang cukup. Ruangan dengan jendela terbuka dan exhaust
fan/kipas angin cukup efektif untuk mendilusi udara ruangan
dibandingkan dengan ruangan dengan jendela terbuka saja atau
ruangan tertutup. Penggunaan exhaust fan sebaiknya udara
pembuangannya tidak diarahkan ke ruang tunggu pasien atau tempat
lalu lalang orang. Bila area pembuangan tidak memungkinkan,
pembuangan udara dihisap dengan exhaust fan, dialirkan melalui
41
ducting dan area pembuangannya dilakukan di luar area lalu lalang
orang (≥25 kaki).

Dengan ventilasi campuran, jenis ventilasi mekanik yang akan


digunakan sebaiknya di sesuaikan dengan kebutuhan yang ada dan
diletakkan pada tempat yang tepat. Kipas angin yang berdiri atau
diletakkan di meja dapat mengalirkan udara ke arah tertentu, hal ini
dapat berguna untuk bila dipasang pada posisi yang tepat, yaitu dari
dokter ke arah pasien (Gambar 2.7). Tidak dianjurkan menggunakan kipas
angin yang dipasang pada langit-langit (ceiling fan).

Gambar 2.7. Tata letak ruang periksa pasien dan aliran udara
Sumber: Kementerian Kesehatan RI. Permenkes Nomor 27 Tahun 2017 tentang PPI di
Faskes. 2017

Pemasangan exhaust fan yaitu kipas yang dapat langsung menyedot


udara keluar dapat meningkatkan ventilasi yang sudah ada di ruangan.
Sistem exhaust fan yang dilengkapi saluran udara keluar, harus dibersihkan
secara teratur, karena dalam saluran tersebut sering terakumulasi debu
dan kotoran, sehingga bisa tersumbat atau hanya sedikit udara yang
42
dapat dialirkan.

Optimalisasi ventilasi dapat dicapai dengan memasang jendela


yang dapat dibuka dengan maksimal dan menempatkan jendela pada
sisi tembok ruangan yang berhadapan, sehingga terjadi aliran udara
silang (cross ventilation). Meskipun fasilitas kesehatan
mempertimbangkan untuk memasang sistem ventilasi mekanik, ventilasi
alamiah perlu diusahakan semaksimal mungkin (Gambar 2.8).

Gambar 2.8. Pengendalian teknik untuk mengurangi risiko


lingkungan karena transmisi melalui udara
Sumber: Morawska L, et al. How can airborne transmission of COVID-
19 indoors be minimised?. Environ Int. 2020;142:105832

Dengan mempertimbangkan adanya penularan secara airborne


maka apabila ruangan atau gedung bangunan tidak memenuhi standar
desain dan kualitas udara tidak baik dapat menyebabkan transmisi virus
SARS-CoV-2 sehingga perlu penerapan pengendalian teknik terhadap
sistem HVAC sebagai berikut :
a) Meningkatkan udara segar yang masuk untuk mengencerkan udara
43
dalam ruangan dan kontaminan dalam ruangan minimal 6x
pertukaran udara perjam dengan suhu ruangan 24 - 260 C dan
kelembaban relatif 40 - 60%.
b) Pengelolaan aliran udara melalui desain aliran udara bersifat vertical
laminar, menjaga aliran udara antar ruangan dengan memasang air
curtain atau air gates, mengarahkan aliran udara satu arah dari suplai
menuju exhaust
c) Melakukan penyaringan atau filtrasi udara yang masuk dengan HEPA
filter
d) Inaktivasi virus SARS-CoV-2 dengan memasang lampu UV-C atau
ozone generator sebagai berikut:
• Lampu UV-C di Air Handling Unit (AHU) dengan panjang
gelombang dan dosis yang tepat
• Lampu UV-C di area atas ruang kerja yaitu pada ketinggian lebih
dari 2,1 meter
• Lampu UV-C di ducting system ( sistem perpipaan pada sistem
ventilasi)
• Lampu UV-V di ducting system

Pada penggunaan lampu UV-C diperlukan upaya keselamatan


antara lain pencegahan kebocoran radiasi UV-C dengan memastikan
saluran atau ruangan benar- benar tertutup serta diberi label peringatan
di luar panel atau pintu yang bisa terlihat orang bahwa area tersebut
dekat dengan lampu UV-C demikian pula dengan lampu UV- V yang
dapat menghasilkan ozon harus diperhatikan standar keselamatannya
karena menghirup sedikit ozon bisa membahayakan menyebabkan
batuk, sesak napas dan memicu kekambuhan asma sehingga berbagai
negara menetapkan NAB ozon 70 ppb (parts per billion).

Perbedaan sistem air conditioning pada fasilitas kesehatan dengan


gedung lain antara lain :
a) Perlu pembatasan pergerakan udara antar ruangan di fasilitas

44
kesehatan
b) Kebutuhan khusus untuk ventilasi dan filtrasi untuk dilusi dan
menghilangkan kontaminasi bau, mikrorganisme dan virus, bahan
kimia dan radiasi
c) Perbedaan suhu dan kelembaban untuk area yang berbeda
d) Desain tingkat tinggi untuk pengendalian lingkungan yang akurat

Prinsip pengendalian untuk kontaminan aerosol atau airborne di


sistem HVAC fasilitas kesehatan antara lain :
a) Ventilasi udara luar (outdoor) diusahakan bebas dari bakteri dan virus
dan udara ventilasi membuat dilusi kontaminasi virus dan bakteri
dalam ruangan
b) Filtrasi dengan HEPA filter
c) Membuat ruang yang berbeda tekanan dengan aliran udara
teararah mencegah penyebaran kontaminan dari area kotor ke area
bersih
d) Membuat anteroom untuk mencegah penyebaran kontaminan
(Gambar 2.9)
e) Pengendalian sumber kontaminan terutama aktivitas yang
menghasilkan aerosol misalnya dengan LEV
f) Pengaturan suhu dan kelembaban karena suhu dan kelembaban
mempengaruhi penghambatan atau pertumbuhan bakteri dan
pengaktifan atau penonaktifan virus
g) Penggunaan sinar ultraviolet, ionisasi, dan bahan kimia
h) Meningkatkan pertukaran udara dengan meningkatkan laju
pertukaran udara ruangan sehingga mengurangi mikroorganisme di
udara
i) Saluran keluar pembuangan udara

45
Gambar 2.9. Ruang isolasi COVID-19
Sumber: Karyum HB. Managing HVAC system during COVID-19 pandemic.2020

Pada area umum dan perkantoran di fasilitas kesehatan yang perlu


diperhatikan pada desain sistem HVAC antara lain arah aliran udara dari
yang bersih ke kurang bersih, pemisahan jarak exhaust outlets dengan
outdoor air intakes jarak minimal 10 meter, kelembaban 40 - 60% dan suhu
ruangan 21 - 240 C, pemeliharaan sistem HVAC serta filtrasi udara.

Adapun pada area klinis dan prosedur medis misalnya tindakan


aerosol menggunakan AIIR (Airborne Infection Isolation) yang bertekanan
negatif dengan pengendalian sumber infeksi berupa local exhaust di
area dekat kepala pasien yang diberikan HEPA filter sehingga udara
buang sudah tidak tercemar dan pintu harus selalu dalam kondisi tertutup
serta eliminasi atau meminimalkan resirkulasi udara. Pada ruang isolasi
dipasang HEPA filter untuk filtrasi udara langsung jika harus ada resirkulasi
dan suplai udara masuk ditempatkan dekat pintu atau jendela.

Ruang perawatan isolasi dilengkapi ruangan antara kedap udara


(airlock) dan tekanan ruangan dibuat -5 Pa terhadap koridor, sedangkan
46
ruangan perawatan isolasi pasien termasuk toilet di dalamnya dibuat
tekanan -15 Pa. Koridor direkomendasikan memiliki tekanan positif, karena
fungsinya sekaligus sebagai airlock yang kedua, dan sebagai area
tempat tenaga kesehatan memonitor pasien sehingga diharapkan sistem
tata udara di koridor dapat mengurangi kontaminan yang dibawa oleh
petugas kesehatan setelah keluar dari ruangan pasien. Pada ruang utilitas
kotor, tekanan udara dibuat berjenjang yaitu ruangan spoelhook dibuat
tekanan -10 Pa dan airlock kotor dibuat -5 Pa (Gambar 2.10).

Gambar 2.10. Sistem tekanan udara pada tiap ruangan


Sumber: Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Panduan teknis bangunan dan
prasarana ruang isolasi Penyakit Infeksi Emerging. 2020

Desain sistem tata udara (HVAC) di ruangan isolasi PIE ini tetap
mengacu pada ruangan isolasi infeksius yaitu 12 x ACH untuk ruang
pasien, 6 - 10 x ACH untuk ruang airlock, utilitas kotor dan ruang ganti
petugas, serta direkomendasikan untuk suplai udaranya menggunakan
100% udara segar (all fresh air) serta distribusi aliran udara yang konstan
(constant air flow). Udara suplai (Supply Air/SA) dilengkapi dengan pre-
filter dengan efisiensi filtrasi 35% (MERV 7) dan medium filter (MERV 13/14),
sedangkan udara buangan (Exhaust Air/EA) dilengkapi dengan HEPA
filter. Letak difuser udara suplai di plafon dekat pintu segaris tempat tidur

47
pasien, sementara letak difuser exhaust di dinding bawah dekat kepala
tempat tidur. Adapun pemasangan sistem exhaust sebagai berikut
(Gambar 2.11):
• Exhaust fan diletakkan di luar, apabila memungkinkan
• Jika exhaust fan ada di dalam, gunakan konstruksi ducting las di
bagian hilir fan
• Bag in/bag out prefilter/HEPA filter pada bagian hulu exhaust fan
• Exhaust fan dilengkapi VFD (Variable Frequencies Drives) untuk
menyesuaikan kecepatan kipas saat filter load up.
• Letakkan kipas pembuangan (fan discharge) sejauh mungkin dari
semua intake dan letakkan di atas atap.
• Sediakan suplai listrik darurat (emergency power) untuk
menggerakkan kipas.

Gambar 2.11. Ruang isolasi tekanan negatif


Sumber: Kementerian Kesehatan RI. Panduan teknis ruang isolasi. 2015

Penting untuk menjadi catatan, bahwa sistem tata udara untuk


ruang isolasi harus terpisah dengan sistem tata udara bangunan utama.
Kelengkapan alat monitoring sistem tata udara juga harus dilengkapi,
yaitu tiap ruangan dilengkapi dengan sistem alarm untuk tekanan

48
ruangan agar kondisi tekanan negatif ruangan tetap termonitor. Monitor
diletakkan di koridor luar ruangan antara.

Kapasitas pendinginan AC untuk 1 ruangan perawatan isolasi


termasuk airlock adalah 6 - 8 hp dengan flow rate udara sekitar 850 CFM
(1445 CMH). Temperatur ruangan dibuat 24 ± 20 C dengan kelembaban
relatif 60%. Berkaitan dengan pekerjaan arsitektur dan struktur, semua
ruangan dibangun harus dapat meminimalkan kebocoran udara
(leakage area) dan mendukung tekanan udara sesuai peruntukannya.
Semua ruangan di ruang isolasi ini disediakan free hand washtafel untuk
pencuci tangan.

2.8. Tatalaksana COVID-19 Akibat Kerja

Dalam penetapan COVID-19 sebagai penyakit akibat kerja


diperlukan surat keterangan dokter sebagai prasyarat prosedur klaim
manfaat jaminan kecelakaan kerja. Jaminan Kecelakaan Kerja untuk
dokter yang ASN ditanggung oleh PT. Taspen, Anggota TNI/POLRI oleh PT.
ASABRI dan Non ASN/TNI/POLRI dapat mengikuti peserta JKK BP
Jamsostek.

Penetapan Penyakit Akibat Kerja pada dokter yang terkena COVID-


19 akibat kerja diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan No.
HK.01.07/Menkes/327/2020 tentang Penetapan COVID-19 Akibat Kerja
sebagai Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Pekerjaan Tertentu).
COVID-19 Akibat Kerja ditegakkan dengan 7 langkah penegakkan
diagnosa PAK sebagai berikut:
a) Diagnosa klinis:
- Konfirmasi COVID-19
b) Menentukan pajanan yang ada di lingkungan kerja:
- Pajanan biologi virus SARS-CoV-2 di tempat kerja baik dari pasien
maupun spesimen dari pasien dan dimasa pandemi semua
pasien berpotensi menularkan atau sebagai sumber penularan

49
COVID-19
c) Menentukan hubungan antara pajanan dilingkungan kerja dengan
penyakitnya:
- Pekerjaan tenaga kesehatan berhubungan erat dengan risiko
tinggi pajanan biologi SARS-CoV-2 di lingkungan kerja
d) Menentukan apakah pajanan yang dialami cukup untuk
menimbulkan penyakit (dosis pajanan) :
- Pada saat pandemi tidak ada dosis minimal pajanan biologi
e) Menentukan apakah ada faktor-faktor individu yang berperan :
- Tidak ada faktor individu yang berperan karena semua berisiko
tertular
f) Menentukan faktor lain di luar pekerjaan:
- Tidak ada bukti riwayat kontak dengan pajanan biologi SARS-
CoV-2 di luar pekerjaan
g) Diagnosa PAK:
- COVID-19 Akibat Kerja

Adapun tatalaksana COVID-19 Akibat Kerja meliputi:


1. Tatalaksana medis: dilakukan setelah diagnosis klinis ditegakkan sesuai
dengan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 tanggal
13 Juli 2020.
2. Tatalaksana okupasi:
a. Tatalaksana individu yang meliputi penetapan kelaikan kerja,
program kembali bekerja, penentuan kecacatan
b. Tatalaksana komunitas yang meliputi upaya pencegahan PAK dan
penemuan dini PAK

2.9. Pemeriksaan SARS-CoV-2 untuk Dokter dan Penatalaksanaan


Kembali Bekerja

Untuk pemeriksaan SARS-CoV-2, tidak disarankan dilakukan


pemeriksaan lebih dari sekali dalam periode 24 jam pada individu yang
sama. Pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan interim

50
guidance CDC 21 Januari 2021 adalah NAAT atau pemeriksaan antigen
bila tidak memungkinkan dilakukan nucleic acid amplification tests
(NAAT), misalnya real time reverse-transcription polymerase chain
reaction (RT-PCR) atau Tes Cepat Molekuler (TCM) SARS-CoV-2, dan
pemeriksaan antigen SARS-CoV-2. Pemeriksaan antigen (Antigen Rapid
Diagnostic Test Antigen, Ag-RDT) hanya untuk fase akut sebagai alternatif
RT-PCR karena sensitivitas bervariasi, diperkirakan berkisar 34 – 80%, dan uji
validasi masih terbatas. Pemeriksaan yang direkomendasikan WHO
adalah pemeriksaan virus menggunakan NAAT.

Panduan interim WHO tanggal 11 September 2020


merekomendasikan penggunaan antigen rapid test (tes cepat antigen):
a) Bila NAAT akses sulit atau tidak tersedia; atau waktu ketersediaan hasil
lama, dengan syarat tes cepat antigen SARS-CoV-2 mempunyai
sensitivitas ≥80% dan spesifisitas ≥97%
b) Untuk mendukung investigasi pada kelompok orang yang berisiko
dan terisolasi yang terkonfirmasi positif di daerah wabah (misalnya
di kelompok tertutup atau semi tertutup seperti sekolah, panti wreda,
kapal pesiar, lembaga permasyarakatan, tempat kerja, asrama, dan
lain-lain)
c) Untuk memantau tren insidensi penyakit di masyarakat, terutama
pada pekerja esensial dan tenaga kesehatan selama wabah atau di
daerah dengan transmisi komunitas meluas.
d) Deteksi dan isolasi dini kasus positif di fasilitas layanan kesehatan,
pusat/tempat tes COVID-19, panti wreda, lembaga pemasyarakatan,
dan sekolah; pada tenaga garis depan dan tenaga kesehatan; dan
untuk pelacakan kontak pada situasi transmisi komunitas meluas
e) Tracing kontak pasien terkonfirmasi positif

Tes cepat antigen tidak direkomendasikan dilakukan pada:


a) Tempat atau populasi dengan prevalensi penyakit yang diperkirakan
rendah (misalnya: skrining di pintu masuk bandara atau perbatasan negara,

51
skrining donor darah, bedah elektif), terutama jika tes konfirmasi NAAT tidak
langsung tersedia.
b) Persyaratan biosafety dan kontrol infeksi tidak terpenuhi
c) Kasus nol atau hanya sporadik
d) Asimtomatik, kecuali terdapat kontak dengan kasus konfirmasi

Kriteria kontak erat sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan


Nomor HK 01.07/Menkes/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian COVID-19 tanggal 13 Juli 2020 dan WHO 1 Februari 2021
adalah sebagai berikut:
a) Kontak tatap muka/berdekatan dengan kasus probable atau
konfirmasi dalam radius 1 meter dan dalam jangka waktu >15 menit.
b) Sentuhan fisik langsung dengan kasus probable atau konfirmasi
(seperti bersalaman, berpegangan tangan, dan lain-lain).
c) Memberikan perawatan langsung terhadap kasus probable atau
konfirmasi tanpa menggunakan APD sesuai standar.
d) Situasi lainnya yang mengindikasikan adanya kontak berdasarkan
penilaian risiko lokal yang ditetapkan oleh tim penyelidikan
epidemiologi setempat

Untuk kontak erat dengan kasus probable atau konfirmasi yang


bergejala (simtomatik), periode kontak dihitung dari 2 hari sebelum kasus
timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala; sedangkan
pada kontak erat dengan kasus konfirmasi yang tidak bergejala
(asimtomatik) maka periode kontak dihitung dari 2 hari sebelum dan 14
hari setelah tanggal pengambilan spesimen kasus konfirmasi.

Adapun rekomendasi untuk dokter kontak erat sesuai Keputusan


Menteri Kesehatan Nomor HK 01.07/Menkes/413/2020 tentang Pedoman
Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 tanggal 13 Juli 2020 adalah
segera dilakukan pemeriksaan RT-PCR satu kali, dan apabila:
a) Hasil positif maka dokter tersebut melakukan isolasi mandiri selama 10
hari dan apabila selama masa isolasi muncul gejala dilakukan tata

52
laksana sesuai kriteria kasus konfirmasi simtomatik.
b) Hasil negatif maka dokter tersebut melakukan karantina mandiri
selama 14 hari dan apabila selama masa karantina muncul gejala
maka dilakukan tata laksana sesuai kriteria suspek.

Apabila sudah memenuhi selesai isolasi 10 hari tidak muncul gejala


pada kasus konfirmasi COVID-19 atau sudah memenuhi selesai karantina
14 hari maka dokter dapat kembali bekerja.

Pada kasus dengan gejala (simtomatik) maka bisa masuk kriteria


suspek atau terkonfirmasi positif COVID-19 dengan gejala ringan, sedang
atau berat/kritis. Jika dokter ada kontak erat dan bergejala maka masuk
kriteria suspek. Kriteria kasus suspek yang dimaksud adalah seseorang
yang memiliki salah satu dari kriteria berikut:
a) Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan pada 14 hari terakhir
sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di
negara/wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi lokal.
b) Didapatkan salah satu gejala/tanda ISPA dan pada 14 hari terakhir
sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus
konfirmasi/probable COVID-19.
c) ISPA berat/pneumonia berat yang membutuhkan perawatan di
rumah sakit dan tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran
klinis yang meyakinkan.

Pada dokter yang kontak erat dengan pasien probable atau


konfirmasi COVID-19 dan timbul gejala maka tatalaksana sesuai kasus
suspek dengan pemeriksaan RT-PCR selama 2 hari berturut-turut dengan
selang waktu >24 jam, dan jika hasil menunjukkan hasil negatif maka
pemantauan kasus suspek dapat dihentikan (discarded).

Jika hasilnya positif maka ditentukan berdasarkan gejala yang


dialami (ringan, sedang atau berat/kritis). Apabila gejala ringan atau
sedang, maka tidak dilakukan pemeriksaan follow up RT-PCR, dan

53
dilakukan isolasi 10 hari, serta dinyatakan selesai isolasi jika sudah 10 hari
dari tanggal onset gejala, ditambah 3 hari setelah tidak menunjukkan
gejala demam dan gangguan pernapasan. Jika gejala berat/kritis maka
dirawat di RS dan dilakukan pemeriksaan follow up RT- PCR hari ke-7, jika
hasilnya sudah negatif dan sudah menjalani isolasi 10 hari sejak onset, dan
ditambah minimal 3 hari setelah tidak menunjukkan gejala demam dan
gangguan pernapasan, dinyatakan selesai isolasi, atau dapat
dialihrawatkan di non isolasi atau dipulangkan. Khusus pasien konfirmasi
dengan gejala berat/kritis yang sudah dipulangkan, tetap melakukan
isolasi minimal 7 hari dalam rangka pemulihan dan kewaspadaan
munculnya gejala kembali.

Apabila hasil pemeriksaan follow up RT-PCR pada kasus konfirmasi


positif dengan gejala berat persisten positif, maka penentuan sembuh
berdasarkan hasil asesmen DPJP. Apabila dokter dengan gejala
berat/kritis meninggal sebelum ada hasil RT-PCR, maka masuk kriteria
probable (Gambar 2.12).

54
Gambar 2.12. Alur Pemeriksaan Kasus Kontak Erat
Telah diolah dari: Keputusan Menteri Kesehatan No. HK 01.07/Menkes/413/2020 tentang Pedoman
Pencegahan dan Pengendalian COVID-19. 2020
55
Pada tanggal 16 Desember 2020, WHO mengeluarkan kriteria baru
untuk kasus suspek, probable, dan konfirmasi.
Kriteria kasus suspek yang dimaksud adalah seseorang yang memiliki
salah satu dari kriteria berikut:
a) Memenuhi salah satu kriteria klinis DAN kriteria epidemiologis:
Kriteria klinis:
1) Demam DAN batuk; ATAU
2) Terdapat 3 atau lebih gejala/tanda akut berikut: demam, batuk,
lemah/kelelahan (fatigue),1 sakit kepala, mialgia, nyeri tenggorok,
coryza/pilek/hidung tersumbat, sesak napas,
anoreksia/mual/muntah, diare, penurunan kesadaran
DAN
Kriteria epidemiologis:
1) Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat
tinggal atau bekerja di tempat berisiko tinggi penularan; ATAU
2) Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat
tinggal atau bepergian di wilayah Indonesia yang melaporkan
transmisi lokal; ATAU
3) Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala bekerja di fasilitas
pelayanan kesehatan, baik melakukan pelayanan medis, dan
non-medis, serta petugas yang melaksanakan kegiatan
investigasi, pemantauan kasus dan kontak; ATAU
b) Pasien ISPA berat (SARI: acute respiratory infection, dengan riwayat
demam atau suhu ≥380 C; dan batuk; dengan onset 10 hari terakhir;
dan membutuhkan perawatan rumah sakit)
c) Seseorang tanpa gejala (asimtomatik) yang tidak memenuhi kriteria
epidemiologis dengan hasil pemeriksaan antigen SARS-CoV-2 positif2

1 tanda dipisahkan garis miring (/) dihitung sebagai satu tanda


2 diperlukan NAAT untuk konfirmasi. Rekomendasi WHO terkait
pemeriksaan antigen SARS-CoV-2: (1) Memiliki sensitivitas >80% dan
spesifisitas >97%; (2) Hanya digunakan dalam kondisi NAAT tidak

56
tersedia atau membutuhkan hasil diagnosis yang cepat berdasarkan
pertimbangan klinis; dan (3) hanya dilakukan oleh petugas terlatih
dalam 5 - 7 hari pertama onset gejala.

Kasus probable terdiri dari 4 kriteria, yaitu:


a) Pasien memenuhi kriteria klinis kasus suspek DAN terdapat kontak
dengan kasus probable/konfirmasi atau terkait dengan kluster
COVID-193
b) Kasus suspek dengan gambaran radiologis sugestif ke arah COVID-194
c) Seseorang dengan gejala akut anosmia (hilangnya kemampuan
indra penciuman) atau ageusia (hilangnya kemampuan indra
perasa) dengan tidak ada penyebab lain yang dapat diidentifikasi
d) Orang dewasa yang meninggal dengan distres pernapasan DAN
terdapat kontak erat dengan kasus probable/konfirmasi atau terkait
dengan kluster COVID-193

3 Sekelompok individu simtomatik yang terkait aspek waktu, lokasi


geografis, dan pajanan, dengan >1 kasus dikonfirmasi NAAT atau >2
kasus terkait secara epidemiologis, simtomatik (memenuhi kriteria
klinis kasus suspek A atau B) dengan hasil pemeriksaan antigen SARS-
CoV-2 positif
4 Temuan pencitraan toraks khas COVID-19, diantaranya:
- Radiografi toraks: hazy opacities, morfologi seringkali rounded,
dengan distribusi paru perifer dan bawah
- CT scan toraks: opasitas ground glass multipel bilateral, morfologi
seringkali rounded, dengan distribusi paru perifer dan bawah
- USG paru: penebalan pleural lines, B lines (multifokal, diskrit, atau
konfluen), pola konsolidasi dengan atau tanpa air
bronchograms.

Kasus konfirmasi terdiri dari 3 kriteria, yaitu:


a) Seseorang dengan hasil pemeriksaan NAAT positif
b) Seseorang dengan hasil pemeriksaan antigen SARS-CoV-2 positif; DAN
57
terdapat kriteria kasus probable atau kasus suspek (A atau B)
c) Kasus tanpa gejala (asimtomatik) dengan hasil pemeriksaan antigen
SARS-CoV-2 positif yang kontak dengan kasus probable/konfirmasi

Berdasarkan beratnya kasus, COVID-19 dibedakan menjadi:


1. Tanpa gejala
Kondisi ini merupakan kondisi paling ringan. Pasien tidak
ditemukan gejala.
2. Ringan
Pasien dengan gejala tanpa ada bukti pneumonia virus atau
tanpa hipoksia. Gejala yang muncul seperti demam, batuk, fatigue,
anoreksia, napas pendek, mialgia. Gejala tidak spesifik lainnya seperti
sakit tenggorokan, kongesti hidung, sakit kepala, diare, mual dan
muntah, penghidu (anosmia) atau hilang pengecapan (ageusia)
yang muncul sebelum onset gejala pernapasan juga sering
dilaporkan. Pasien usia tua dan imunokompromais gejala atipikal
seperti fatigue, penurunan kesadaran, mobilitas menurun, diare,
hilang nafsu makan, delirium, dan tidak ada demam.
3. Sedang
Pada pasien remaja atau dewasa: pasien dengan tanda klinis
pneumonia (demam, batuk, sesak, napas cepat) tetapi tidak ada
tanda pneumonia berat termasuk SpO2 >93% dengan udara ruangan
ATAU Anak-anak : pasien dengan tanda klinis pneumonia tidak berat
(batuk atau sulit bernapas + napas cepat dan/atau tarikan dinding
dada) dan tidak ada tanda pneumonia berat).
Kriteria napas cepat: usia <2 bulan, ≥60 x/menit; usia 2–11 bulan, ≥50
x/menit ; usia 1 - 5 tahun, ≥40 x/menit ; usia >5 tahun, ≥30 x/menit.
4. Berat /pneumonia berat
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis
pneumonia (demam, batuk, sesak, napas cepat) ditambah satu dari:
frekuensi napas >30 x/menit, distres pernapasan berat, atau SpO2
<93% pada udara ruangan.

58
ATAU
Pada pasien anak: pasien dengan tanda klinis pneumonia (batuk
atau kesulitan bernapas), ditambah setidaknya satu dari berikut ini:
• Sianosis sentral atau SpO2 <93% ;
• Distres pernapasan berat (seperti napas cepat, grunting, tarikan
dinding dada yang sangat berat);
• Tanda bahaya umum : ketidakmampuan menyusu atau minum,
letargi atau penurunan kesadaran, atau kejang.
• Napas cepat/tarikan dinding dada/takipnea : usia <2 bulan, ≥60
x/menit; usia 2 – 11 bulan, ≥50 x/menit; usia 1 - 5 tahun, ≥40 x/menit;
usia >5 tahun, ≥30 x/menit.
5. Kritis
Pasien dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis
dan syok sepsis.

Pengambilan swab dilakukan di hari ke-1 dan 2 untuk penegakan


diagnosis. Bila pemeriksaan di hari pertama sudah positif, tidak perlu lagi
pemeriksaan di hari kedua, sedangkan bila pemeriksaan di hari pertama
negatif, maka diperlukan pemeriksaan di hari kedua. Untuk kasus tanpa
gejala, gejala ringan, dan gejala sedang, tidak perlu dilakukan
pemeriksaan NAAT untuk follow-up. Pemeriksaan follow-up hanya
dilakukan pada pasien yang berat dan kritis. Pemeriksaan NAAT untuk
follow-up pada kasus berat dan kritis, dapat dilakukan setelah 10
(sepuluh) hari dari pengambilan swab NAAT yang positif. Bila diperlukan,
pemeriksaan NAAT tambahan dapat dilakukan pada kasus derajat berat
dan kritis berdasarkan pertimbangan Dokter Penanggung Jawab
Pelayanan (DPJP) dan kapasitas di fasilitas pelayanan kesehatan masing-
masing. Untuk kasus berat dan kritis, bila setelah klinis membaik, bebas
demam selama tiga hari, namun pada pemeriksaan NAAT untuk follow-
up menunjukkan hasil yang positif, kemungkinan terjadi kondisi persisten
positif karena pemeriksaan NAAT masih dapat mendeteksi bagian tubuh
virus meskipun virus sudah tidak aktif lagi atau tidak menularkan. Bila
59
terjadi perbaikan klinis, maka untuk follow-up pasien dengan gejala
berat/kritis, dilakukan pengambilan swab 1 kali yaitu pada hari ke-11 atau
ke-12 untuk menilai kesembuhan.

Evaluasi status klinis pasien yang dilakukan oleh faskes antara lain:
a) Selesai isolasi
Kriteria pasien konfirmasi yang dinyatakan selesai isolasi, sebagai
berikut:
1) Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimtomatik)
Pasien konfirmasi asimtomatik tidak dilakukan pemeriksaan follow
up NAAT. Dinyatakan selesai isolasi apabila sudah menjalani isolasi
mandiri selama 10 hari sejak pengambilan spesimen diagnosis
konfirmasi.
2) Kasus konfirmasi dengan gejala ringan dan gejala sedang
Pasien konfirmasi dengan gejala ringan dan gejala sedang tidak
dilakukan pemeriksaan follow-up NAAT. Dinyatakan selesai
isolasi harus dihitung 10 hari sejak tanggal onset dengan ditambah
minimal 3 hari setelah tidak lagi menunjukkan gejala/tanda klinis
COVID-19
3) Kasus konfirmasi dengan gejala berat/kritis yang dirawat di rumah
sakit
i. Dirawat di rumah sakit dinyatakan selesai isolasi apabila telah
mendapatkan hasil pemeriksaan follow up NAAT 1 kali
negatif ditambah minimal 3 hari tidak lagi menunjukkan
gejala/tanda klinis COVID-19
ii. Bila pemeriksaan follow-up NAAT tidak dapat dilakukan,
maka sudah menjalani isolasi selama 10 hari sejak onset
dengan ditambah minimal 3 hari tidak menunjukkan
gejala/tanda klinis COVID-19, dinyatakan selesai isolasi, dan
dapat dialihrawat non isolasi atau dipulangkan.

b) Alih rawat non isolasi


Proses alih rawat ke ruangan non isolasi diperuntukkan untuk
60
pasien yang sudah memenuhi kriteria selesai isolasi tetapi masih
memerlukan perawatan lanjutan untuk kondisi tertentu yang terkait
dengan komorbid, ko-insiden, dan komplikasi. Proses alih rawat
diputuskan berdasarkan hasil asesmen klinis yang dilakukan oleh
DPJP sesuai standar pelayanan dan/atau standar prosedur
operasional. Pasien tersebut sudah dinyatakan sembuh dari COVID-
19.

c) Sembuh
Pasien konfirmasi tanpa gejala, gejala ringan, gejala sedang,
dan gejala berat/kritis dinyatakan sembuh apabila telah memenuhi
kriteria selesai isolasi dan dikeluarkan surat pernyataan selesai
pemantauan, berdasarkan penilaian dokter di faskes tempat
dilakukan pemantauan atau oleh DPJP.
Pasien konfirmasi dengan gejala berat/kritis dimungkinkan
memiliki hasil pemeriksaan follow-up NAAT persisten positif, karena
pemeriksaan NAAT masih dapat mendeteksi bagian tubuh virus
COVID-19 walaupun virus sudah tidak aktif lagi (tidak menularkan
lagi). Terhadap pasien tersebut, maka penentuan sembuh
berdasarkan hasil asesmen yang dilakukan oleh DPJP.

d) Pemulangan
Pasien dapat dipulangkan dari perawatan di rumah sakit,
bila memenuhi kriteria selesai isolasi dan memenuhi kriteria klinis
sebagai berikut:
1) Hasil asesmen klinis menyeluruh termasuk diantaranya
gambaran radiologis menunjukkan perbaikan, pemeriksaan
darah menunjukan perbaikan, yang dilakukan oleh DPJP
menyatakan pasien diperbolehkan untuk pulang.
2) Tidak ada tindakan/perawatan yang dibutuhkan oleh pasien,
baik terkait sakit COVID-19 ataupun masalah kesehatan lain yang
dialami pasien.
DPJP perlu mempertimbangkan waktu kunjungan kembali pasien
61
dalam rangka masa pemulihan.
Khusus pasien konfirmasi dengan gejala berat/kritis yang sudah
dipulangkan tetap melakukan isolasi mandiri minimal 7 hari dalam
rangka pemulihan dan kewaspadaan terhadap munculnya gejala
COVID-19, dan secara konsisten menerapkan protokol kesehatan.

e) Pindah ke RS Rujukan

Pindah ke RS Rujukan apabila pasien memerlukan rujukan ke RS


lain dengan alasan yang terkait dengan tatalaksana COVID-19.
Pelaporan hasil akhir status pasien selesai isolasi, sembuh, meninggal,
dilaporkan ke dinas kesehatan kabupaten/kota setempat oleh RS
pertama yang merawat.

f) Meninggal

1) Meninggal di rumah sakit selama perawatan COVID-19 pasien


konfirmasi atau probable maka pemulasaraan jenazah
diberlakukan tatalaksana COVID-19.
2) Meninggal di luar rumah sakit/Death on Arrival (DOA)
3) Bila pasien memiliki riwayat kontak erat dengan orang/pasien
terkonfirmasi COVID-19 maka pemulasaraan jenazah
diberlakukan tatalaksana COVID-19.

62
NAAT: nucleic acid amplification tests, RS: rumah sakit
Gambar 2.13. Alur pemeriksaan kasus kontak erat bila menggunakan pemeriksaan antigen
Telah diolah dari: WHO. 2020

63
63
Terdapat perbedaan kriteria untuk kontak erat bila berdasarkan
interim guidance dari CDC. Interim guidance CDC 14 Februari 2021
menyebutkan kriteria kontak erat dengan kasus konfirmasi COVID-19
untuk dokter yang dimaksud adalah:
a. Berada pada jarak 6 kaki (1,8 meter) dengan total kumulatif >15
menit selama periode 24 jam, sehingga terpajan oleh:
1. Kasus konfirmasi COVID-19 simtomatik, mulai dari 2 hari sebelum
awitan gejala hingga saat kasus telah selesai diisolasi
2. Kasus konfirmasi COVID-19 asimtomatik, mulai dari 2 hari sebelum
pengambilan spesimen swab, hingga saat kasus telah selesai
diisolasi
b. Tanpa memakai APD sesuai standar saat melakukan pelayanan
medis atau tindakan aerosol atau berada pada ruang tertutup yang
sama saat menjalani tindakan aerosol
c. Kontak langsung dengan sekret atau ekskresi infeksius tanpa
memakai APD sesuai standar
d. Kontak fisik secara langsung (misalnya: berpelukan)
e. Memakai peralatan makan atau minum bergantian

Pada dokter yang mengalami kontak erat, dilakukan restriksi kerja


dan dilakukan karantina. Karantina adalah proses mengurangi risiko
penularan dan identifikasi dini COVID-19 melalui upaya memisahkan
individu yang sehat atau belum memiliki gejala COVID-19 tetapi memiliki
riwayat kontak dengan pasien konfirmasi COVID-19 atau memiliki riwayat
bepergian ke wilayah yang sudah terjadi transmisi lokal. Karantina
dilakukan dengan cara (interim guidance CDC 3 Desember 2020):
- Tetap di rumah, dengan menjaga jarak
- Mengukur suhu tubuh 2x /hari
- Pemantauan mandiri terhadap gejala
- Mewaspadai gejala demam, batuk, sesak napas, atau gejala COVID-
19 lainnya*

64
* Gejala yang dijumpai dapat berupa: demam (>1000 F atau >37,80
C), batuk, sesak napas atau kesulitan bernapas, kelelahan
(fatigue), nyeri otot, sakit kepala, anosmia, agneusia, sakit
tenggorok, hidung tersumbat atau meler, mual atau muntah,
diare (interim guidance CDC 22 Desember 2020)

- Bila timbul gejala COVID-19, segera mencari pertolongan medis dan


melaporkan ke atasan yang bersangkutan
- Menghindari kontak dengan orang berisiko tinggi menjadi sakit berat
akibat COVID-19.

Lama karantina dapat dilakukan sebagai berikut (interim guidance CDC


14 Februari 2021):
a. Rekomendasi 14 hari setelah kontak erat (meskipun tanpa
pemeriksaan laboratorium), merupakan pilihan utama untuk
mengurangi risiko penularan secara maksimal didasarkan pada
perkiraan masa inkubasi COVID-19.
b. Alternatif mempersingkat lama karantina dapat dilakukan dengan
menyesuaikan keadaan dan sumber daya:
• >10 hari bila tanpa pemeriksaan laboratorium dan jika tidak ada
gejala selama pemantauan harian
• >7 hari bila pemeriksaan hasil laboratorium SARS-CoV-2 negatif
dan jika tidak ada gejala selama pemantauan harian. Spesimen
dapat dikumpulkan dan diperiksa dalam waktu 48 jam sebelum
waktu penghentian karantina yang direncanakan
Bila menggunakan pilihan alternatif karantina singkat, maka tetap
harus dilakukan:
• Pemantauan gejala harian hingga hari karantina ke-14
• Mematuhi protokol kesehatan: penggunaan masker yang benar
dan konsisten, menjaga jarak, kebersihan tangan dan batuk,
pembersihan dan desinfeksi lingkungan, menghindari keramaian,
memastikan ventilasi dalam ruangan yang memadai, dan

65
pemantauan mandiri untuk gejala penyakit COVID-19
• Bila timbul gejala COVID-19, segera mencari pertolongan medis
dan melaporkan ke atasan yang bersangkutan

Berdasarkan risiko dan pertimbangan kapasitas sistem


pelayanan kesehatan, maka pemeriksaan laboratorium deteksi SARS-
CoV-2 dilakukan untuk dokter yang (interim guidance CDC 16 Februari
2021):
a) Terdapat gejala atau tanda sesuai dengan COVID-19
b) Asimtomatik yang diketahui atau diduga terpajan SARS-CoV-2
c) Skrining kasus asimtomatik yang tidak diketahui atau diduga terpajan
SARS-CoV-2
d) Penentuan kemungkinan masih infeksius atau tidak pada kasus
konfirmasi COVID-19

Isolasi adalah proses mengurangi risiko penularan melalui upaya


memisahkan individu yang sakit baik yang sudah dikonfirmasi
laboratorium atau memiliki gejala COVID-19 dengan masyarakat luas.
Isolasi di rumah dilakukan pada kasus:
- Simtomatik COVID-19
- Asimtomatik dengan hasil pemeriksaan laboratorium SARS-CoV-2
positif
Jika saat isolasi mengalami gejala berat maka:
- Segera ke fasilitas kesehatan terdekat untuk perawatan medis darurat
- Tinggal di kamar terpisah dari anggota rumah tangga lainnya
- Menggunakan kamar mandi terpisah jika memungkinkan
- Menghindari kontak dengan anggota rumah tangga dan hewan
peliharaan lainnya
- Tidak berbagi barang-barang rumah tangga pribadi, seperti cangkir,
handuk, dan peralatan makan juga minum
- Mengenakan masker saat berada di sekitar orang lain.

Untuk kriteria kembali kerja (return to work) berdasarkan interim

66
guidance CDC 14 Februari 2021, tidak disarankan menggunakan strategi
berbasis pemeriksaan laboratorium (test-based strategy), karena
shedding RNA SARS-CoV-2 tetap dapat dideteksi meskipun tidak lagi
infeksius. Pedoman kriteria kembali bekerja untuk dokter dengan infeksi
SARS-CoV-2 dapat berdasarkan kriteria berikut:
1) Berdasarkan gejala (symptom-based strategy)
a) Asimtomatik dan tanpa imunokompromais berat:
- >10 hari setelah pasien dinyatakan positif dengan tes
diagnostik virus SARS-CoV-2
b) Simtomatik ringan hingga sedang, dan tanpa imunokompromais
berat:
- >10 hari sejak gejala muncul pertama kali dan
- >24 jam setelah demam terakhir tanpa penggunaan anti
demam dan
- Gejala (batuk, sesak) mengalami perbaikan
c) Simtomatik berat hingga kritis, atau imunokompromais berat*
- >10 hari dan dapat hingga 20 hari sejak gejala muncul
pertama kali dan
- >24 jam sejak demam terakhir tanpa penggunaan anti
demam dan
- Gejala (batuk, sesak) mengalami perbaikan
- Mungkin diperlukan konsultasi dengan dokter spesialis penyakit
infeksi
- Dapat dipertimbangkan menggunakan strategis berdasarkan
pemeriksaan laboratorium (test-based strategy)

* Yang termasuk kondisi imunokompromais berat adalah


kondisi yang ditetapkan oleh dokter yang merawat,
diantaranya adalah:
o Beberapa kondisi, seperti menjalani kemoterapi untuk
kanker, >1 tahun transplantasi sel induk hematopoietik
atau organ padat, infeksi HIV yang tidak diobati
67
dengan jumlah limfosit T CD4 <200, gangguan
imunodefisiensi primer gabungan, dan terapi prednison
>20 mg/hari selama >14 hari
o Faktor lain, seperti usia lanjut, diabetes melitus, atau
penyakit ginjal stadium akhir

2) Berdasarkan pemeriksaan laboratorium (test-based strategy)


a) Asimtomatik:
- Hasil pemeriksaan molekular virus SARS-CoV-2 negatif dari
minimal 2 spesimen pernapasan, yang diambil dengan jarak
≥24 jam.
b) Simtomatik:
- Bebas demam tanpa penggunaan obat anti demam; dan
- Gejala lain (batuk, sesak) telah sembuh
- Hasil pemeriksaan molekular virus SARS-CoV-2 negatif dari
minimal 2 spesimen pernapasan, yang diambil dengan jarak
≥24 jam berturutan.

Praktik terbaik untuk kembali bekerja dengan aman setelah sembuh


dari COVID-19 memerlukan identifikasi fase akhir penyakit secara akurat,
yaitu dokter telah pulih secara klinis dan tidak lagi menular. Contoh
panduan kembali kerja lain terlampir pada lampiran 9 yaitu alur dari
Centers for Disease Control tanggal 12 September 2020 atau Society of
Occupational Medicine (SOM) tanggal 1 Juni 2020. Pada alur tersebut,
memasukkan gabungan deteksi virus-RNA SARS-CoV-2 dan serologi
antibodi untuk penentuan akhir dari isolasi dokter yang terkena COVID-19
meskipun RT-PCR merupakan tes diagnostik yang berguna untuk COVID-
19.

Panduan kembali bekerja saat pandemi tergantung pada keadaan


epidemi lokal, jenis dan kondisi setiap pekerjaan, serta ketersediaan tes.
Panduan perlu ditinjau dan diperbarui seiring waktu sesuai perubahan
status epidemi lokal. Dalam situasi saat ini dengan tingkat penularan yang

68
tinggi dan pengujian yang terbatas, penting untuk membedakan antara
dokter berisiko tinggi dan rendah. Meskipun pedoman untuk yang berisiko
rendah mungkin bergantung pada kriteria klinis, strategi berbasis
pengujian yang lebih spesifik harus digunakan untuk yang berisiko tinggi.

Pada beberapa pasien COVID-19 dapat memiliki gejala yang dapat


berlangsung selama berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan
setelah sembuh. Gejala jangka panjang yang paling sering dilaporkan
meliputi:
- Kelelahan
- Sesak napas
- Batuk
- Nyeri sendi
- Nyeri dada
Gejala jangka panjang lain yang dilaporkan termasuk:
- Kesulitan dalam berpikir dan konsentrasi (brain fog)
- Depresi
- Nyeri otot
- Sakit kepala
- Demam intermiten
- Jantung berdebar cepat atau berdebar kencang (juga dikenal
sebagai jantung berdebar-debar)

Dokter yang terinfeksi COVID-19 harus mematuhi semua


rekomendasi praktik kerja kembali sebagai berikut:
- Menggunakan masker bedah untuk kontrol sumber penularan setiap
saat selama berada di fasilitas perawatan kesehatan, sampai
memenuhi kriteria kembali kerja, dan semua gejala sudah teratasi
- Menggunakan respirator N95 atau APD level lebih tinggi sesuai indikasi
- Edukasi tentang potensi penularan ke pasien dan rekan kerja
- Masker bedah digunakan di semua area, termasuk di area perawatan
non-pasien, seperti ruang istirahat. Jika membutuhkan penglepasan

69
masker bedah, misalnya untuk makan atau minum, maka harus
memisahkan diri dari orang lain
- Gejala harus dipantau sendiri, dan dievaluasi ulang jika gejala
pernapasan kambuh atau memburuk

Terkait dengan hal tersebut, fasilitas pelayanan kesehatan harus:


a) Memberikan dukungan psikososial kepada petugas kesehatan
selama karantina atau selama masa sakit jika kasus konfirmasi COVID-
19
b) Memberikan kompensasi untuk periode karantina dan selama sakit
atau perpanjangan kontrak kerja selama karantina atau selama sakit
c) Memberikan pelatihan PPI ulang, termasuk strategi untuk mencegah
atau membatasi penularan COVID-19 meliputi
1) Menjalankan triase, pengenalan dini, dan pengendalian sumber
(mengisolasi pasien suspek dan terkonfirmasi COVID-19)
2) Menerapkan kewaspadaan standar untuk semua pasien termasuk
rajin membersihkan tangan
3) Menerapkan kewaspadaan tambahan (kewaspadaan droplet
dan kontak, serta kewaspadaan airborne, jika sesuai untuk
prosedur yang menghasilkan aerosol dan perawatan dukungan)
untuk kasus suspek dan terkonfirmasi COVID-19)
4) Mengimplementasikan pengendalian teknik dan administratif

Kewaspadaan standar adalah kewaspadaan pengendalian infeksi


tingkat dasar minimal yang digunakan dalam merawat semua pasien.
Dokter memerlukan kewaspadaan sesuai transmisi tambahan lainnya
untuk melindungi diri dan mencegah transmisi di tempat pelayanan
kesehatan. Dokter yang merawat pasien COVID-19 harus selalu
mengimplementasikan kewaspadaan kontak dan droplet. Kewaspadaan
airborne harus diterapkan untuk prosedur yang menghasilkan aerosol.

Pada saat fasilitas kesehatan kekurangan SDM, dokter dengan


kriteria kasus kontak erat atau terkonfirmasi COVID-19 tanpa gejala, dan

70
tidak ada kecacatan serta toleransi baik, maka dapat direkomendasikan
kembali kerja dengan catatan sebagai berikut:
- Restriksi tugas terkait kontak dengan pasien dengan sistem imun
lemah (misalnya pasien dengan transplantasi dan hematologi-
onkologi), atau
- Restriksi tugas terkait interaksi dengan orang lain (misalnya pasien atau
petugas kesehatan lainnya). Direkomendasikan layanan dengan
telemedicine atau work from home (WFH)
- Diberikan tugas memberikan perawatan langsung hanya untuk
pasien dengan COVID-19 yang terkonfirmasi (pengaturan cohort).

2.10. Penatalaksanaan Kembali Kerja (Return To Work) Pada Kasus


Kompleks

Penatalaksanaan kembali kerja pada kasus yang cukup kompleks


dapat dirujuk ke dokter spesialis kedokteran okupasi dan dilakukan
dengan 5 langkah sebagai berikut (Gambar 2.14):
1) Penilaian kelaikan kerja berdasarkan:
a) Deskripsi pekerjaan
Didapatkan dari anamnesis, pengamatan dan hasil
surveilans lingkungan kerja seperti kegiatan sehari-hari yang rutin
dan tugas/kesiapan khusus, lingkungan dan lokasi kerja hasil
surveilans lingkungan, waktu kerja dan pola kerja, materi yang
digunakan untuk bekerja, APD yang tersedia, cara kerja, beban
kerja dll
b) Tuntutan pekerjaan
Dari hasil analisis uraian tugas dapat ditentukan tuntutan
pekerjaan dari aspek kapasitas fisik, kapasitas mental,
penginderaan, mobilitas, kemampuan motorik, ergonomik,
keharusan pemakaian APD
c) Status kondisi kesehatan
Mempertimbangkan ekspertise dari dokter spesialis terkait

71
juga status fisik dan mental, hasil pemeriksaan kesehatan pada
perubahan yang dialami pekerja akibat sakit atau cedera
disesuaikan dengan tuntutan pekerjaan, tidak berdasarkan
diagnostik penyakit saja, prognosis penting untuk penilaian,
pengaruh obat-obatan perlu dinilai dan faktor risiko penyakit.
Pada COVID-19 dapat ditemukan efek jangka panjang dengan
gejala tersering cepat lelah, sesak napas, batuk, nyeri sendi, nyeri
dada juga gejala lain pernah dilaporkan seperti sulit konsentrasi
dan berpikir (brain fog), depresi, nyeri otot, sakit kepala, demam
intermiten, palpitasi jantung.
Adapun komplikasi jangka panjang yang pernah dilaporkan
antara lain pada:
- Kardiovaskular: inflamasi otot jantung
- Pernapasan: kelainan fungsi paru
- Ginjal: cedera ginjal akut
- Dermatologi: ruam, rambut rontok
- Neurologi: masalah penciuman dan rasa, masalah tidur,
kesulitan konsentrasi, masalah memori
- Psikiatri: depresi, kecemasan, perubahan mood
Gejala pasca COVID-19 bisa terjadi pada pasien COVID-19 yang
dirawat maupun tidak dirawat. Data dari review National Institute
for Health Research sebanyak 45 % pasien COVID-19 perlu
perawatan jangka panjang (1 bulan) dan 10-20% perlu
perawatan lebih lama.
d) Status kecacatan
Dinilai adanya impairment meliputi gangguan fungsi dan
atau anatomis, disabilitas meliputi penilaian hal yang biasa
dilakukan namun saat ini tidak dapat dilakukan dan penilaian ADL
(Activity Daily Living), handicap meliputi penilaian disabilitas yang
menyebabkan pasien membutuhkan bantuan lingkungan
sosialnya
e) Kemungkinan membahayakan diri sendiri, rekan kerja, atau
72
lingkungan
Penilaian peningkatan risiko sesuai kondisi kesehatan pasien
terkini apakah membahayakan diri sendiri, rekan kerja atau
lingkungan kerja bila tetap melakukan tugas pekerjaannya, risiko
lingkungan kerja apakah memperberat kondisi kesehatan atau
berdasar evidence yang ada.
f) Toleransi pihak pekerja, atasan dan rekan kerja
Pada pihak pekerja, dalam hal ini adalah dokter, perlu dinilai
toleransi kembali kerja semula atau perlu penyesuaian, dapat
menerima keterbatasan atau rasa tidak nyaman dalam
melakukan pekerjaan juga pihak atasan dan rekan kerja apakah
dapat menerima kondisi pekerjaan dan apakah bersedia
melakukan berbagai modifikasi pekerjaan bila dilakukan
g) Penentuan status kelaikan kerja
Setelah semua lengkap dinilai dapat ditentukan status
kelaikan kerja sebagai berikut:
- Laik kerja
- Laik kerja dengan catatan (restriksi, limitasi)
- Tidak laik kerja sementara
- Tidak laik kerja untuk pekerjaan semula
- Tidak laik kerja untuk semua jenis pekerjaan
2) Identifikasi penyesuaian
Proses identifikasi ini penting dilakukan sehingga informasi
adanya kesenjangan antara tuntutan dokteran dan kondisi
kesehatan, serta apabila terdapat risiko bila dokter yang
bersangkutan melakukan dokteran semula, dapat diketahui secara
tepat dan dapat dilakukan proses meminimalisasi kesenjangan dan
manajemen risiko secara efektif.
3) Kesepakatan pihak terkait
Agar program kembali kerja dapat direncanakan dapat berjalan
sesuai harapan maka perlu ada kesepakatan mengenai rencana

73
tersebut antara manajer medis, pihak dokter, pihak manajemen
tempat kerja atau perusahaan dan pihak pembiaya. Apabila
diperlukan dapat diselenggarakan suatu pertemuan diantara seluruh
pihak dalam membahas kesepakatan ini. Komitmen yang disepakati
meliputi periode waktu program tersebut beserta SDM/tenaga ahli
yang dibutuhkan, intensitas beban kerja yang dapat dilakukan oleh
dokter yang bersangkutan selama proses kembali bekerja dan
kemungkinan antisipasinya oleh pemberi kerja (misalnya dengan
menambah tenaga kerja sementara, memindahkan sementara
beban kerja ke dokter lain, memodifikasi proses kerja, menambah
waktu kerja, dan lain-lain), besarnya biaya yang dibutuhkan, dan lain-
lain.
4) Identifikasi hambatan dan dukungan
Proses identifikasi faktor-faktor pendukung dan penghambat
menjadi salah satu agenda yang perlu dilakukan sebelum memulai
proses kembali bekerja pasca COVID-19. Hal-hal yang menjadi faktor
pendukung seperti motivasi dokter, dukungan rekan kerja, atasan,
keluarga, dan manajer kasus dalam pelaksanaan program tentu perlu
ditingkatkan. Untuk hal yang menjadi penghambat seperti stigmatisasi
atau resistensi dari rekan kerja, tidak memungkinkan modifikasi tempat
kerja, kesulitan mencapai tempat kerja, maupun keterbatasan
finansial untuk program tersebut, sedapat mungkin dilakukan mitigasi.
5) Implementasi penyesuaian
Program kembali bekerja yang telah direncanakan secara
terperinci dengan mempertimbangkan penyesuaian yang perlu
dilakukan, komitmen berbagai pihak yang terkait, serta dukungan
dan hambatan yang ada, harus diimplementasikan dengan baik,
diawasi, dan dievaluasi secara berkala. Pelaksanaan upaya untuk
mengoptimalkan pendukung dan meminimalkan penghambat perlu
dilaksanakan secara tepat sehingga program kembali kerja dapat
diimplementasikan secara baik dengan tujuan akhir dokter dapat
kembali bekerja secara efektif dan aman. Evaluasi implementasi
74
dapat dilakukan secara berkala atau sesuai dengan kondisi yang
dihadapi oleh dokter tersebut dalam mengimplementasikan program
kembali bekerja.

Apabila dokter terpajan dengan pasien COVID-19, maka dapat


dilakukan asesmen risiko pajanan dengan menggunakan format dari
WHO untuk menentukan kategorisasi setiap risiko (Lampiran 7).

STATUS KESEHATAN;
RISIKO (bagi dirinya, atau lingkungan kerja);
KECACATAN (impairment, disability, handicap);
TOLERANSI (pekerja, atasan, dan rekan kerja)

Gambar 2.14. Alur penilaian kelaikan kerja


Sumber: Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia

75
BAB 3
PERLINDUNGAN HUKUM, BIAYA, INSENTIF DAN PROTEKSI SOSIAL BAGI
DOKTER YANG MENANGANI COVID-19

Dokter sebagai salah satu pemberi pelayanan COVID-19


mempunyai arti penting dalam pelaksanaan penanganan COVID-19.
Dengan penetapan COVID-19 sebagai penyakit yang dapat
menimbulkan wabah, maka diperlukan perlindungan terhadap dokter
sebagai tenaga kesehatan baik perlindungan hukum dan sosial. Dokter
sebagai lini depan memiliki risiko terhadap berbagai bahaya meliputi
pajanan patogen, jam kerja panjang, distres psikososial, kelelahan,
occupational burnout, stigma, dan kekerasan fisis dan psikososial.

Tabel 3.1. Bahaya potensial dokter selama pandemi

Jenis bahaya potensial Contoh

Fisika Suhu panas (dapat menyebabkan heat stress yang


dipengaruhi oleh lama pemakaian APD, lingkungan kerja,
durasi kerja, dan asupan cairan)
Kimia Disinfektan dan antiseptik
Biologi SARS-CoV-2 maupun patogen lain
Ergonomi Posisi janggal, gerakan repetitif, manual handling
Psikososial Rasa takut, fatique, stigma, beban kerja (berlebih atau kurang),
peran dalam organisasi (ambiguitas peran, konflik peran,
tanggung jawab), jadwal kerja (kerja shift malam, jadwal tidak
fleksibel, jam kerja panjang, dan unsociable hours)

Perlindungan tersebut juga diperlukan sebagai konsekuensi


penetapan COVID-19 akibat kerja Sebagai penyakit akibat kerja yang
spesifik pada pekerjan tertentu oleh dokter sebagai nakes dan Tenaga
Non Kesehatan dalam penanganan COVID-19. Dokter yang bekerja
pada fasilitas kesehatan memiliki risiko spesifik yang mengakibatkan
Penyakit Akibat Kerja karena COVID-19. Perlindungan terhadap dokter
dalam penanganan COVID-19 seperti bertugas baik
melayani/merawat/kontak dengan pasien COVID-19, bertugas dalam
76
laboratorium yang memeriksa spesimen pasien COVID-19 maupun bagi
dokter yang bertugas melakukan tugas di luar area fasilitas kesehatan
dalam rangka penanganan COVID-19 seperti dokter yang bertugas
dalam penyelidikan epidemiologi/tracing, ambulans dan prehospital,
pemulasaran jenazah, baik dalam jam pelayanan maupun jam
pendidikan bagi dokter peserta PPDS termasuk dokter relawan.

3.1. Perlindungan Hukum

Penetapan COVID-19 akibat kerja sebagai penyakit akibat kerja


yang spesifik pada pekerjan tertentu ditetapkan oleh Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/327/2020. Perlindungan dokter
sebagai pekerja medis dalam Program JKK pada Kasus PAK karena
COVID-19 melalui Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor
M/8/HK.04/V/2020. Adapun Penyelenggaraan Program Jaminan
Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian tertuang dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2019.

Norma perlindungan kepada dokter sebagai tenaga kesehatan


seyogyanya meliputi perlindungan norma kerja, perlindungan norma
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dan perlindungan norma jaminan
sosial tenaga kerja. Perlindungan norma kerja bagi dokter meliputi upah,
waktu kerja, waktu istirahat serta cuti. Perlindungan norma K3 dalam
rangka penanganan COVID-19 meliputi pencegahan & pengendalian
terhadap kecelakaan kerja maupun COVID-19 akibat kerja. Perlindungan
norma jaminan sosial tenaga kerja kepada dokter dengan memastikan
kepesertaan pada jaminan kesehatan nasional (JKN) diselenggarakan
melalui program JKN-BPJS Kesehatan serta Jaminan Kecelakaan Kerja
maupun Jaminan Kematian yang diselenggarakan melalui program BPJS
Ketenagakerjaan. Setiap nakes/ dokter yang dirawat karena COVID-19
maka pembiayaan yang berkaitan dengan perawatan dan pengobatan
infeksi COVID-19 ditanggung oleh pemerintah sesuai Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/446/2020 tentang Petunjuk Teknis
77
Klaim Penggantian Biaya Pelayanan Pasien Penyakit Infeksi Emerging
Tertentu Bagi Rumah Sakit Yang Menyelengarakan Pelayanan COVID-19.
Dalam hal Penyakit Akibat Kerja yang diderita adalah COVID-19 juga
mengacu pada aturan tersebut namun kondisi akhir pasca
pengobatan/perawatan yaitu sembuh, kecacatan atau meninggal
dunia dapat ditanggung oleh BPJS Ketenagakerjaan atau sesuai dengan
asuransi yang telah diikuti seperti Dokter ASN ditanggung PT. Taspen dan
Dokter TNI/Polri ditanggung oleh PT. ASABRI. Adapun yang dibayarkan
antara lain santunan berupa uang (santunan sementara tidak mampu
bekerja, santunan cacat, biaya rehabilitasi, beasiswa anak, uang duka,
santunan kematian) dan tunjangan cacat. Pembiayaan pemeriksaan
dokter terkait COVID-19 yang tidak dijamin atau klaim tidak mencukupi
dalam jaminan COVID-19 merupakan tanggung jawab fasilitas
pelayanan kesehatan terkait. Dengan adanya Jaminan Kecelakaan
Kerja dan Jaminan Kematian memberi perlindungan dokter jika terjadi
kecelakaan kerja maupun Penyakit Akibat Kerja.

Dokumen persyaratan santunan sementara tidak mampu bekerja akibat


KK-PAK bagi ASN (Peserta JKK PT Taspen):
1. Formulir permintaan pembayaran;
2. Surat pernyataan sementara tidak mampu bekerja dari instansi;
3. Surat pernyataan dari tim penguji yang menyatakan bahwa peserta
menderita penyakit akibat kerja;
4. Surat keputusan KK-PAK;
5. Fotokopi KTP/ kartu identitas lainnya peserta;
6. Fotokopi buku tabungan peserta;
7. Surat keterangan dari instansi yang menyatakan yang bersangkutan
sudah masuk kerja;
8. Surat keterangan dari tim penguji yang menyatakan yang
bersangkutan sudah mampu bekerja kembali.

78
Catatan: Wajib ada laporan kepada PT TASPEN (PERSERO) dugaan kasus
KK-PAK 3 x 24 jam dilengkapi dengan persyaratan
- Surat laporan kronologis penyakit akibat kerja dari instansi

Dokumen persyaratan yang dibutuhkan untuk klaim COVID-19 Akibat


Kerja untuk Peserta BPJS Ketenagakerjaan sebagai berikut:
1. Kartu peserta BPJS Ketenagakerjaan
2. Laporan kasus Penyakit Akibat Kerja Tahap I (Form 3 PAK 1)
3. Kronologis kejadian
4. SPK/Bukti absensi
5. Laporan kasus Penyakit Akibat Kerja Tahap II (Form 3A PAK 2)
6. Fotokopi Kartu Keluarga atau fotokopi Surat Keterangan Ahli Waris
yang diterbitkan oleh instansi dan ditandatangani oleh pejabat yang
berwenang bagi peserta yang meninggal lainnya
7. Dokumen pendukung lainnya apabila diperlukan
8. Surat Keterangan Dokter Kasus Penyakit Akibat Kerja yang
menginformasikan:
- Anamnesa dokter dan diagnosa klinis
- Pekerjaan yang dilakukan
- Bagian tubuh yang sakit
- Kondisi akhir tenaga kerja
- Persentase kecacatan (cacat fungsi/total)
- Lamanya istirahat (STMB)
- Diagnosa akhir PAK

Dokumen persyaratan klaim kematian bagi PNS aktif (Peserta JKK atau
JKM PT Taspen)
1. Formulir permintaan pembayaran;
2. Surat keterangan ahli waris disahkan oleh instansi dan lurah / kepala
desa;
3. Kutipan perincian penerimaan gaji;
4. Fotokopi surat kematian legalisir lurah/kepala desa;

79
5. Fotokopi surat nikah yang dilegalisir lurah / kepala desa;
6. Fotokopi KTP pemohon;
7. Fotokopi buku tabungan pemohon;
8. Surat keterangan sekolah (untuk 2 orang anak) dengan syarat: anak
yang ada pada saat peserta meninggal dunia, berusia <25 tahun,
belum pernah bekerja/menikah;
9. Tembusan surat usul SK janda/duda dari instansi;
10. Khusus untuk klaim jaminan kecelakaan kerja (tewas/meninggal dunia
akibat kecelakaan kerja) ditambahkan persyaratan:
- Surat Keputusan Penetapan Tewas dari PPK;
- Surat verifikasi dan validasi dari BKN;
- Surat laporan kronologis kejadian dari instansi;

Dokumen persyaratan klaim JKK tewas TNI/POLRI (Peserta JKK PT ASABRI):


1. Asli kartu ASABRI (KTPA)
2. Fotokopi Skep tewas dari Panglima/Kapolri yang dilegalisir Komandan
Satuan
3. Fotokopi Surat Perintah dari Komandan yang dilegalisir Komandan
Satuan
4. Asli Surat Keterangan Dokter tentang Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
sesuai Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.
01.07/MENKES/327/2020
5. Formulir pengajuan
6. Fotokopi Surat Keterangan Kematian/Akta Kematian yang dilegalisir
Kelurahan/Disdukcapil (bila sudah berbarcode tidak perlu legalisir)
7. Fotokopi kronologis kejadian yang dilegalisir komandan satuan
8. Fotokopi Skep pengangkatan pertama
9. Fotokopi surat keterangan gaji pada saat meninggal/KU-107 yg
dilegalisir komandan satuan
10. Dokumen asli riwayat hidup singkat/RHS
11. Daftar susunan keluarga dari Kesatuan (KU-01)
12. Dokumen asli surat keterangan ahli waris yg disahkan kelurahan

80
13. Fotokopi surat nikah (jika peserta telah menikah)
14. Fotokopi KPI/KARIS/KARSU
15. Fotokopi Kartu Keluarga (KK)
16. Fotokopi KTP ahli waris yang masih berlaku
17. Asli surat keterangan sekolah/kuliah
18. Fotokopi buku rekening tabungan

Persyaratan klaim JKM Peserta BPJS Ketenagakerjaan:


1. Form 4 untuk klaim JKM (pengajuan pembayaran jaminan kematian
dan jaminan hari tua)
2. Kartu Peserta BPJS Ketenagakerjaan asli
3. Fotokopi KTP (WNI)
4. Fotokopi Surat Keterangan Kematian yang ditandatangani oleh
pejabat berwenang yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang
atau rumah sakit yang merawat
5. Fotokopi Surat Keterangan Ahli Waris dari instansi dan ditandatangani
oleh pejabat berwenang
6. Fotokopi Kartu Keluarga
7. Fotokopi Akta Nikah
Catatan: Dokumen fotokopi wajib menunjukkan yang asli dan masih
berlaku

Manfaat JKK peserta PT Taspen diantaranya adalah:


1. Biaya transportasi
- Darat: Rp. 1.300.000
- Laut: Rp. 1. 950.000
- Udara: Rp. 3.250.000
2. Cacat sebagian anatomis: % tabel x 80 gaji
3. Cacat sebagian fungsi: % penurunan fungsi x % tabel x 80 gaji
4. Cacat total tetap:
- Santunan sekaligus: 70% x 80 gaji
- Santunan berkala: Rp. 250.000 x 24 bulan

81
5. Pensiun karena cacat: %x gaji atas berkurangnya fungsi organ
maksimal 70%
6. Biaya pengobatan sampai sembuh
7. Santunan tidak mampu bekerja: 100% gaji (dievaluasi per 6 bulan)
8. Biaya rehabilitasi medik: Rp. 2.600.000
9. Biaya penggantian gigi: Rp. 3.900.000
10. Santunan kematian kerja: 60% x 80 gaji
11. Uang duka tewas: 6x gaji
12. Biaya pemakaman: Rp.10.000.000
13. Beasiswa: Rp. 15.000.000 - Rp 45.000.000

Manfaat jaminan kematian bukan akibat kecelakaan kerja (Peserta JKM


PT Taspen):
1. Santunan sekaligus: Rp. 15.000.000
2. Uang duka wafat: 3x gaji pokok
3. Bantuan pemakaman: Rp. 7.500.000
4. Bantuan beasiswa: Rp. 15.000.000/anak (maksimal 2 orang anak)

Hak yang diperoleh peserta PT. ASABRI meninggal dunia gugur/tewas:


1. Nilai tunai tabungan asuransi (NTTA)
2. Santunan risiko kematian khusus (SRKK)

Manfaat JKK peserta BPJS Ketenagakerjaan diantaranya adalah:


1. Transportasi:
- Darat: Rp. 5.000.000
- Laut: Rp. 2.000.000
- Udara: Rp. 10.000.000
2. Santunan tidak mampu bekerja:
- 12 bulan pertama 100%
- Selanjutnya 50 % sampai sembuh
3. Kecacatan:
- Cacat fungsi: % kurang fungsi x % tabel x 80 x upah sebulan
- Cacat sebagian anatomis: % tabel x 80 upah sebulan

82
- Cacat total tetap:
• Santunan sekaligus: 70% x 80 upah sebulan
• Santunan berkala: Rp. 500.000 x 24 bulan diberikan sekaligus
Rp. 12.000.000
• Beasiswa maksimal 2 anak sebesar maksimal Rp. 174.000.000
4. Meninggal dunia:
- Santunan sekaligus: 60%x 80 upah sebulan
- Santunan berkala: Rp. 500.000 x 24 bulan diberikan sekaligus Rp.
12.000.000
- Biaya pemakaman Rp. 10.000.000
- Beasiswa maksimal 2 anak sebesar maksimal Rp. 174.000.000
• TK/SD: Rp. 1.500.000 per tahun maksimal 8 tahun
• SMP: Rp. 2.000.000 per tahun maksimal 3 tahun
• SMA: Rp. 3.000.000 per tahun maksimal 3 tahun
• Universitas/PT: Rp. 12.000.000 per tahun maksimal 5 tahun

Manfaat JKM bukan akibat kecelakaan kerja peserta BPJS


Ketenagakerjaan
1. Jaminan kematian sebesar Rp. 42.000.000 terdiri dari sebagai berikut:
- Santunan Kematian: Rp. 20.000.000
- Biaya pemakaman: Rp. 10.000.000
- Santunan berkala: Rp. 500.000 per bulan selama 24 bulan, diberikan
sekaligus Rp. 12.000.000
2. Beasiswa anak jika masa iuran minimal 3 tahun
- Maksimal sebesar Rp. 174.000.000
- Untuk maksimal 2 orang anak
- Usia 4 - 23 tahun dari TK sampai Perguruan Tinggi/Pelatihan Kerja

3.2. Insentif dan Proteksi Sosial

Dokter sebagai pekerja penerima upah/gaji maupun jasa


pelayanan/ medis perlu mengatahui hak dan kewajibannya terkait
pelayanan dalam masa Pandemi COVID-19. Setiap dokter bekerja sesuai
83
kompetensi dan tempat praktik (maksimal tiga tempat praktik) seringkali
dalam posisi yang tidak aman. Hal ini menyebabkan belum terdapat
keseragaman terkait acuan tarif layanan dalam masa pandemi COVID-
19. Acuan tersebut merupakan dasar perhitungan dalam mencapai
kesepakatan besaran jasa medis yang akan diterima dan atau diberikan
antara dokter dengan direksi Rumah Sakit. Acuan tarif jasa medis dalam
masa Pandemi COVID-19 bagi dokter perlu menyesuaikan dan selaras
dengan kinerja atau upaya yang diperlukan untuk menegakkan
diagnosa sampai tindakan/prosedur medis yang diperlukan termasuk
rehabilitasi serta nilai nominal aplikatif yang merupakan bagian dari
komponen tarif pelayanan merujuk pada acuan (tarif) jasa medik dokter
yang telah dikeluarkan oleh IDI maupun perhimpunan dalam
naungannya.

Aturan mengenai pemberian insentif dan santunan kematian bagi


dokter yang menangani COVID-19 sebelumnya tertuang dalam
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/447/2020 tentang
yang merupakan hasil revisi dari Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
HK.01.07/MENKES/392/2020. Namun terdapat kelemahan yaitu bagi
dokter yang bekerja pada lebih dari satu rumah sakit rujukan ataupun
faskesnya bukan rumah sakit rujukan untuk COVID-19. Kelemahan di
lapangan lain adalah ketidakseragaman penetapan perhitungan tarif
profesional sesuai gradasi kelas perawatan. Seringkali jasa pelayanan
dinilai dengan nilai jenis kelas pelayanan yang tidak seragam.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor


HK.01.07/MENKES/447/2020, jenis tenaga kesehatan meliputi dokter
spesialis, dokter, dokter gigi, bidan, perawat, dan tenaga medis lainnya,
termasuk tenaga kesehatan seperti dokter yang mengikuti penugasan
khusus residen, dokter yang mengikuti Program Internsip Dokter Indonesia,
dokter yang mengikuti Pendayagunaan Dokter Spesialis, tenaga
kesehatan yang mengikuti Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan dalam
Mendukung Program Nusantara Sehat, dan relawan yang ditetapkan
84
oleh Kementerian Kesehatan yang terlibat dalam penanganan COVID-19
yang diusulkan oleh pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan tempat
penugasan. Tenaga kerja yang dimaksud tersebut juga tetap
mendapatkan insentif setelah memberikan penanganan COVID-19 dan
melakukan karantina. Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud diatas
merupakan tenaga kesehatan yang terlibat dalam menangani pasien
COVID-19 pada:

A. Rumah sakit milik Pemerintah Pusat yang khusus menangani COVID-


19 yaitu Rumah Sakit Khusus Penyakit Infeksi (RSPI) Prof. dr. Sulianti
Saroso dan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan.
Tenaga kesehatan yang memperoleh insentif dan santunan
kematian merupakan tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan di ruang isolasi COVID-19, ruang HCU/ICU/ICCU COVID-
19, ruang IGD, ruang rawat inap, dan ruang lain yang digunakan
untuk pelayanan COVID-19.
Jenis dan jumlah tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit
Khusus Penyakit Infeksi (RSPI) Prof. dr. Sulianti Saroso dan Rumah Sakit
Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, ditetapkan melalui penetapan
atau surat tugas pimpinan rumah sakit yang diterbitkan setiap bulan.
Jenis dan jumlah tenaga kesehatan yang ditetapkan tersebut harus
mempertimbangkan jumlah pasien COVID-19 yang ditangani.

B. Rumah sakit milik Pemerintah Pusat termasuk rumah sakit milik


TNI/POLRI dan rumah sakit milik BUMN selain huruf A.
Tenaga kesehatan yang memperoleh insentif dan santunan
kematian merupakan tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan di ruang isolasi COVID-19, ruang HCU/ICU/ICCU COVID-
19, ruang IGD, ruang rawat inap, dan ruang lain yang digunakan
untuk pelayanan COVID-19.
Jenis dan jumlah tenaga kesehatan tersebut ditetapkan melalui
penetapan atau surat tugas pimpinan rumah sakit yang diterbitkan

85
setiap bulan. Jenis dan jumlah tenaga kesehatan yang ditetapkan
tersebut harus mempertimbangkan jumlah pasien COVID-19 yang
ditangani.

C. Rumah sakit milik Pemerintah Daerah


Tenaga kesehatan yang memperoleh insentif dan santunan
kematian merupakan tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan di ruang isolasi COVID-19, ruang HCU/ICU/ICCU COVID-
19, ruang IGD, ruang rawat inap, dan ruang lain yang digunakan
untuk pelayanan COVID-19.
Jenis dan jumlah tenaga kesehatan tersebut ditetapkan melalui
penetapan atau surat tugas pimpinan rumah sakit yang diterbitkan
setiap bulan. Jenis dan jumlah tenaga kesehatan yang ditetapkan
tersebut harus mempertimbangkan jumlah pasien COVID-19 yang
ditangani.

D. Rumah sakit lapangan merupakan rumah sakit yang didirikan di lokasi


tertentu dan bersifat sementara selama kondisi darurat dan masa
tanggap darurat bencana, atau selama pelaksanaan kegiatan
tertentu, dalam rangka penanganan COVID-19. Rumah sakit
lapangan dapat berbentuk tenda, atau bangunan permanen yang
difungsikan sementara sebagai rumah sakit seperti Rumah Sakit
Darurat COVID-19 Wisma Atlet, Rumah Sakit Khusus Infeksi COVID-19
Pulau Galang, rumah sakit lapangan penanganan COVID-19
Surabaya, dan rumah sakit lapangan penanganan COVID-19
Ambon. Tenaga kesehatan dan tenaga lain yang memperoleh
insentif dan santunan kematian merupakan tenaga kesehatan dan
tenaga lain yang memberikan pelayanan di ruang isolasi COVID-19,
ruang HCU/ICU/ICCU COVID-19, ruang IGD, ruang rawat inap, dan
ruang lain yang digunakan untuk pelayanan COVID-19.
Jenis dan jumlah tenaga kesehatan dan tenaga lain yang bekerja
ditetapkan melalui penetapan atau surat tugas pimpinan rumah
sakit lapangan atau penetapan Kementerian Kesehatan, yang
86
diterbitkan setiap bulan. Jenis dan jumlah tenaga kesehatan dan
tenaga lain yang ditetapkan tersebut harus mempertimbangkan
jumlah pasien COVID-19 yang ditangani.

E. Rumah sakit milik swasta.


Tenaga kesehatan yang memperoleh insentif dan santunan
kematian merupakan tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan di ruang isolasi COVID-19, ruang HCU/ICU/ICCU COVID-
19, ruang IGD, ruang rawat inap, dan ruang lain yang digunakan
untuk pelayanan COVID-19.
Jenis dan jumlah tenaga kesehatan tersebut ditetapkan melalui
penetapan atau surat tugas pimpinan rumah sakit yang diterbitkan
setiap bulan. Jenis dan jumlah tenaga kesehatan yang ditetapkan
tersebut harus mempertimbangkan jumlah pasien COVID-19 yang
ditangani.

F. Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP).


Tenaga kesehatan yang memperoleh insentif dan santunan
kematian merupakan tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan COVID-19, antara lain tenaga kesehatan yang
melakukan evakuasi pasien terduga COVID-19, tenaga kesehatan
yang melakukan screening, serta tenaga kesehatan yang
melakukan pengamatan dan penelusuran kasus COVID- 19 di
lapangan. Jenis dan jumlah tenaga kesehatan tersebut ditetapkan
melalui penetapan atau surat tugas pimpinan/kepala Kantor
Kesehatan Pelabuhan (KKP) yang diterbitkan setiap bulan. Jenis dan
jumlah tenaga kesehatan yang ditetapkan tersebut harus
mempertimbangkan jumlah evakuasi pasien terduga COVID-19,
jumlah skrining kasus, dan/atau jumlah pengamatan dan
penelusuran kasus COVID-19 di lapangan.

G. Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit


(BTKL-PP) dan Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan
87
Pengendalian Penyakit (BBTKL-PP) Unit Pelaksana Teknis Kementerian
Kesehatan.
Tenaga kesehatan yang memperoleh insentif dan santunan
kematian merupakan tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan COVID-19, antara lain tenaga pemeriksa spesimen SARS-
CoV-2 dan tenaga kesehatan yang melakukan pengamatan dan
penelusuran kasus COVID- 19 di lapangan.
Jenis dan jumlah tenaga kesehatan tersebut ditetapkan melalui
penetapan atau surat tugas pimpinan/kepala BTKL-PP/BBTKL- PP yang
diterbitkan setiap bulan. Jenis dan jumlah tenaga kesehatan yang
ditetapkan tersebut harus mempertimbangkan jumlah spesimen
yang diperiksa dan/atau jumlah pengamatan dan penelusuran
kasus COVID-19 di lapangan.

H. Dinas Kesehatan Daerah Provinsi dan Dinas Kesehatan Daerah


Kabupaten/Kota. Tenaga kesehatan yang memperoleh insentif dan
santunan kematian merupakan tenaga kesehatan yang
memberikan pelayanan COVID-19, antara lain tenaga kesehatan
yang melakukan pengamatan dan penelusuran kasus COVID-19 di
lapangan.
Jenis dan jumlah tenaga kesehatan tersebut ditetapkan melalui
penetapan atau surat tugas pimpinan/kepala Dinas Kesehatan
Daerah Provinsi atau Dinas Kesehatan Daerah Kabupaten/Kota yang
diterbitkan setiap bulan. Jenis dan jumlah tenaga kesehatan yang
ditetapkan tersebut harus mempertimbangkan jumlah pengamatan
dan penelusuran kasus COVID-19 di lapangan.

I. Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas).


Tenaga kesehatan yang memperoleh insentif dan santunan
kematian merupakan tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan COVID-19, antara lain tenaga kesehatan yang
menangani pasien serta tenaga kesehatan yang melakukan
pengamatan dan penelusuran kasus COVID-19 di lapangan.
88
Jenis dan jumlah tenaga kesehatan tersebut ditetapkan melalui
penetapan atau surat tugas pimpinan/kepala Puskesmas yang
diterbitkan setiap bulan. Jenis dan jumlah tenaga kesehatan yang
ditetapkan tersebut harus mempertimbangkan jumlah kasus
dan/atau jumlah pengamatan dan penelusuran kasus COVID-19 di
lapangan.

J. Laboratorium yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan.


Tenaga kesehatan dan tenaga lain yang memperoleh insentif dan
santunan kematian merupakan tenaga kesehatan dan tenaga lain
yang terlibat dalam melaksanakan pelayanan berupa pemeriksaan
SARS-CoV-2 secara langsung di laboratorium. Jenis dan jumlah
tenaga kesehatan dan tenaga lain pada laboratorium termasuk
laboratorium milik Pusat Penelitian Biomedis dan Teknologi Kesehatan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan dan laboratorium lainnya yang memperoleh insentif
ditetapkan melalui penetapan atau surat tugas kepala laboratorium
yang diterbitkan setiap bulan. Jenis dan jumlah tenaga kesehatan
dan tenaga lain yang ditetapkan tersebut harus
mempertimbangkan jumlah spesimen SARS-CoV-2 yang diperiksa.

K. Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Unit Pelaksana Teknis


Kementerian Kesehatan.
Tenaga kesehatan yang memperoleh insentif dan santunan
kematian yaitu tenaga kesehatan yang menangani pasien COVID-
19 di rawat jalan.
Jenis dan jumlah tenaga kesehatan tersebut ditetapkan melalui
penetapan atau surat tugas pimpinan/kepala Balai Besar Kesehatan
Paru Masyarakat yang diterbitkan setiap bulan. Jenis dan jumlah
tenaga kesehatan yang ditetapkan tersebut harus
mempertimbangkan jumlah pasien COVID-19 yang ditangani.

Tata cara pengusulan pembayaran insentif diawali dengan


89
pengusulan oleh pimpinan institusi kesehatan ke Kementerian Kesehatan
atau Pemerintah Daerah, untuk kemudian dilakukan verifikasi oleh Tim
Verifikator Kementerian Kesehatan atau Pemerintah Daerah terhadap
usulan yang dilakukan oleh pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan.
Usulan disertakan dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut:
a) Penetapan atau surat tugas pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan,
pimpinan institusi kesehatan atau penetapan Kementerian Kesehatan
mengenai tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan COVID-
19 disertai nominal yang diusulkan dan nomor rekening fasilitas
pelayanan kesehatan atau institusi kesehatan.
b) Dokumen hasil verifikasi di tingkat fasilitas pelayanan kesehatan atau
institusi kesehatan oleh tim verifikasi yang ditetapkan oleh pimpinan
fasilitas pelayanan kesehatan atau pimpinan institusi kesehatan.
c) Surat Pernyataan Melaksanakan Tugas (SPMT) dari pimpinan fasilitas
pelayanan kesehatan atau pimpinan institusi kesehatan.
d) Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) dari pimpinan
fasilitas pelayanan kesehatan atau institusi kesehatan/Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA).
e) Keputusan tentang tim verifikasi yang ditetapkan oleh pimpinan
fasilitas pelayanan kesehatan atau institusi kesehatan.
f) Khusus bagi laboratorium harus melampirkan keputusan penetapan
oleh Kementerian Kesehatan.

Mekanisme pengusulan santunan kematian diawali dengan dengan


pengusulan oleh pimpinan institusi kesehatan ke Kementerian Kesehatan
atau Pemerintah Daerah, untuk kemudian dilakukan verifikasi oleh Tim
Verifikator Kementerian Kesehatan atau Pemerintah Daerah terhadap
usulan yang dilakukan oleh pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan.
Usulan disertakan dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut:
a) Penetapan atau surat tugas pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan
b) Hasil laboratorium RT-PCR atau tes yang menyatakan bahwa tenaga
kesehatan yang bersangkutan positif/reaktif COVID-19

90
c) Surat keterangan kematian dari pihak yang berwenang
d) Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) tenaga kesehatan yang
bersangkutan dan ahli waris serta Kartu Keluarga (KK)
e) Surat keterangan ahli waris dari lurah/kepala desa
f) Fotokopi buku rekening bank ahli waris
g) Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) yang dibuat oleh
pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan atau pimpinan institusi
kesehatan dengan dibubuhi meterai Rp 6.000 (enam ribu rupiah) dan
h) Surat usulan dari pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan atau
pimpinan institusi kesehatan kepada tim verifikasi.

Insentif dan santunan kematian bagi tenaga kesehatan yang


menangani Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) diberikan terhitung
mulai bulan Maret 2020 sampai dengan bulan Desember 2020, dan dapat
diperpanjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Insentif dan santunan kematian bagi tenaga kesehatan yang
menangani Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) diberikan terhitung
mulai bulan Maret 2020 sampai dengan bulan Desember 2020, dan dapat
diperpanjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Besaran insentif tenaga kesehatan sebagai berikut:
A. Insentif untuk tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan
COVID-19 di rumah sakit setinggi-tingginya sebesar:
1. Dokter Spesialis Rp 15.000.000/OB
2. Dokter Umum Rp 10.000.000/OB
B. Besaran insentif yang diberikan kepada dokter yang mengikuti
penugasan khusus residen dan dokter yang mengikuti Program
Internsip Dokter Indonesia di rumah sakit yang terlibat dalam
penanganan COVID-19 paling tinggi sebesar Rp
10.000.000 (sepuluh juta rupiah) sedangkan dokter yang mengikuti
Program Internsip Dokter Indonesia di Puskesmas yang terlibat dalam
penanganan COVID- 19 paling tinggi sebesar Rp 5.000.000 (lima juta
rupiah).
91
C. Besaran insentif yang diberikan kepada dokter yang mengikuti
Pendayagunaan Dokter Spesialis yang terlibat dalam penanganan
COVID-19 paling tinggi sebesar Rp 15.000.000 (lima belas juta rupiah).
D. Besaran insentif dokter spesialis patologi klinik dan dokter spesialis
mikrobiologi klinik yang melakukan pemeriksaan spesimen SARS-CoV-
2 secara langsung di laboratorium disamakan dengan besaran
insentif dokter spesialis.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehata nomor


HK.01.07/MENKES/447/2020, besaran santunan kematian sebesar Rp.
300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) diberikan kepada tenaga kesehatan
yang meninggal karena terpajan COVID-19 yang memberikan
pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan atau institusi kesehatan,
termasuk dokter yang mengikuti penugasan khusus residen, dokter yang
mengikuti Program Internsip Dokter Indonesia, dokter yang mengikuti
Pendayagunaan Dokter Spesialis, dan tenaga kesehatan yang mengikuti
Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan dalam Mendukung Program
Nusantara Sehat, dan relawan yang ditetapkan oleh Kementerian
Kesehatan.

Sumber pendanaan insentif bagi tenaga kesehatan yang


menangani Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah melalui Bantuan Operasional
Kesehatan (BOK) tambahan. Pendanaan santunan kematian bersumber
dari APBN.

92
BAB 4
PENGATURAN JAM KERJA, SHIFT, METODE DINAS,
SERTA PENANGANAN PSIKOSOSIAL BAGI DOKTER YANG MENANGANI
COVID-19

Di era pandemi ini, banyak dokter yang harus bekerja lebih keras
karena meningkatnya kebutuhan untuk layanan COVID-19. Banyak
fasilitas kesehatan yang masih mengalami kekurangan tenaga
kesehatan. Kita juga masih sering sering menemukan tenaga medis yang
bekerja dengan shift tanpa jeda, shift malam permanen, atau jam kerja
yang lebih panjang dari 40 jam per minggu. Dokter juga menghadapi
bahaya psikososial yang diperburuk selama keadaan darurat di mana
permintaan meningkat dan mereka harus mengalami risiko infeksi yang
lebih tinggi. Jam kerja yang panjang, kerja shift, beban kerja yang tinggi,
dan bahaya psikososial lainnya dapat menyebabkan kelelahan kerja.
Kelelahan dari jadwal kerja yang padat dapat diperburuk kondisi
lingkungan yang kurang baik, perjalanan panjang dari tempat kerja ke
tempat tinggal, dan tuntutan pelayanan pada para tenaga kesehatan.
Kelelahan tersebut dapat meningkatkan risiko cedera dan perburukan
kondisi kesehatan yang rentan terhadap infeksi, penyakit, peningkatan
tekanan psikologis atau menurunnya kesehatan mental yang
memengaruhi kesehatan pekerja kesehatan, dan kualitas serta
keamanan perawatan yang diberikan. Untuk mengatasi permasalahan
ini, perlu dibentuk jadwal kerja yang dapat mengurangi risiko kelelahan
(fatigue) bagi tenaga kesehatan.

4.1. Pengaturan Shift Kerja

Bahaya yang terkait dengan kerja shift dan jam kerja yang panjang
bersifat kompleks. Jam kerja mempengaruhi level pajanan dan
ketahanan tubuh tenaga kesehatan dalam proses pelayanan kesehatan.
Selain itu, setiap orang memiliki ritme sirkadian berbeda yang
memengaruhi kinerja mereka pada waktu yang berbeda dalam sehari.
93
Dalam keadaan biasa, orang dewasa membutuhkan 7 - 9 jam tidur per
malam, kesehatan yang optimal, dan kesejahteraan.

Dokter dengan usia lebih tua (usia di atas 45 tahun) dapat


mengalami intoleransi terhadap kerja shift dan kerja malam khususnya
karena kelelahan kronis dan masalah tidur. Usia lebih tua mengurangi
kemampuan penyesuaian irama sirkadian untuk bekerja malam hari dan
meningkatkan gangguan tidur

Menurut Kementeriaan Ketenagakerjaan, shift kerja harus


memperhatikan durasi kerja yang sesuai dengan peraturan yaitu
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 tahun 2018 yaitu 40 jam seminggu
dengan waktu kerja harian 7 - 8 jam dan tidak melebihi 12 jam. Shift kerja
dapat dibagi menjadi 3 shift (8 jam sehari) atau 2 shift (12 jam sehari).
Waktu kerja lebih pendek diijinkan pada kondisi tekanan pekerjaan tidak
normal atau risiko tinggi, seperti misalnya ketika tenaga medis harus
memakai coverall terus menerus sepanjang shift. Shift pendek lebih
disarankan dibandingkan shift panjang dan hindari kerja malam terus
menerus. Hal ini dapat membantu melindungi dari risiko kelelahan mental
dari beban kerja yang berat, kelelahan fisik, lingkungan ekstrem, atau
pajanan dari bahaya kesehatan lainnya.
Pengaturan jam kerja shift perlu dilakukan berdasarkan prinsip berikut:
- Menggunakan pola shift maju untuk meminimalkan masalah adaptasi
individu (siang- petang-malam)
- Minimalisasi jumlah jam kerja >10 jam dalam satu shift. Menghindari
penjadwalan lebih dari 12 jam dalam 1 shift. Untuk 5 kali shift 8 jam
perminggu atau 4 kali shift 10 jam per minggu pada umumnya masih
dapat ditoleransi. Pada malam hari, shift pendek (8 jam) akan lebih
baik dibandingkan shift panjang (12 jam).
- Menjadwalkan setidaknya 11 jam libur di antara shift (setiap periode
24 jam), dengan waktu tidur 7 - 8 jam.
- Menghindari pergantian shift yang cepat, setidaknya sediakan libur 1
- 2 hari setelah 5 kali shift 8 jam atau 4 kali shift 10 jam, dengan
94
mempertimbangkan pemberian libur 2 hari setelah 3 kali shift 12 jam.
- Memnimalkan shift malam berturut-turut untuk membatasi penurunan
tingkat kinerja yang disebabkan oleh ketidakseimbangan ritme
sirkadian
- Memastikan bahwa tersedia waktu istirahat yang lebih panjang
antara dan setelah shift malam
- Memperhitungkan kemungkinan kebutuhan “covering shift” yang
disebabkan dokter yang sakit atau tidak hadir, dengan memastikan
adanya staf yang memadai.
- Maksimalkan kesempatan istirahat selama shift kerja (istirahat setiap 1
- 2 jam)
- Pada pekerjaan dengan lingkungan yang berat atau risiko tinggi
seperti ketika dokter harus memakai coverall sepanjang durasi shift,
direkomendasikan untuk mengurangi durasi shift menjadi 6 jam (satu
hari 4 shift).

Mengingat banyaknya dokter yang menjadi korban di era pandemi


COVID-19 ini, maka perlu dipertimbangkan perubahan rotasi dan durasi
kerja untuk mengurangi pajanan tenaga kesehatan terhadap virus. Hal ini
juga ditujukan untuk menjaga kesehatan fisik dan mental,
mempertahankan kualitas pelayanan, serta mempermudah
pengawasan status kesehatan para dokter. Saat ini belum ada pedoman
jam kerja khusus bagi tenaga kesehatan yang merawat pasien COVID-19.

4.2. Stres Psikososial Selama Pandemi

Dokter yang menangani wabah dan keadaan darurat dapat


menghadapi banyak sumber stres. Stres mengacu pada respons
psikologis, yang sering kali mencakup kekhawatiran, kecemasan,
perasaan terlalu lelah atau lesu, atau perasaan depresi, bahkan seringkali
muncul keluhan somatik seperti nyeri tubuh. Beberapa tingkat stres dapat
membantu seseorang untuk tetap bekerja dengan baik dalam situasi
yang menantang. Namun seringkali respons stres ini berlebihan, terutama
95
dalam situasi kesulitan kronis seperti dalam keadaan darurat, dan dapat
menyebabkan orang tersebut merasa kewalahan hingga tidak mampu
mengatasinya. Stres di tempat kerja dapat dipertahankan pada tingkat
yang dapat dikendalikan jika individu dan tim atau organisasi
menerapkan sejumlah strategi yang mudah dan cepat diterapkan.

Selama penyebaran wabah ada banyak sumber tekanan


tergantung pada jenis keadaan darurat, sumber daya yang tersedia atau
ketidakpastian. Sumber stres termasuk diantaranya adalah:
- Ketakutan akan kesejahteraan diri sendiri atau anggota keluarga dan
rekan kerja yang mungkin tertular penyakit mematikan
- Tekanan terkait pekerjaan seperti waktu terbatas, jam kerja yang
panjang, bekerja dengan mengikuti prosedur K3 yang ketat, atau
berkomunikasi dengan tim yang besar dengan budaya dan disiplin
ilmu yang berbeda;
- Aktivitas fisik yang diperberat dengan alat yang tidak praktis (misalnya
APD), sering kali disertai dengan tekanan panas, dehidrasi, dan
kelelahan;
- Kurangnya peralatan keamanan dasar untuk perlindungan pribadi;
- Stigmatisasi orang yang bekerja di area berisiko tinggi yang dapat
menyebabkan pengucilan oleh keluarga atau komunitas atau
bahkan mendapat kekerasan;
- Kurangnya dukungan sosial atau jaringan sosial;
- Ketegangan antara protokol keselamatan yang ditetapkan dan
keinginan untuk merawat atau mendukung individu (misalnya
memastikan praktik penguburan yang aman, isolasi, dan menerapkan
kebijakan tanpa sentuhan);
- Pemahaman terbatas tentang beberapa sistem kepercayaan
budaya (seperti tidak memahami atau menerima mengapa
beberapa orang mengikuti praktik penguburan yang dapat
meningkatkan risiko infeksi);
- Kesulitan dalam mempertahankan aktivitas perawatan diri seperti

96
olahraga, kebiasaan makan yang baik dan istirahat yang cukup;

Faktor penyebab stres setelah penyebaran wabah antara lain :


- Kenangan yang terkait dengan kejadian buruk dan tragedi manusia
yang diamati;
- Ketakutan akan efek jangka panjang dari penyakit menular
- Kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan kehidupan setelah
penerapan.

Setiap orang memiliki reaksi yang berbeda terhadap stres dalam


situasi darurat. Perubahan perilaku, fisik, atau psikologis dapat terjadi.
Pada umumnya, stres yang terkait dengan pekerjaan akan dapat dikelola
dengan dukungan organisasi dan manajemen yang baik. Namun dalam
beberapa kasus, orang dapat memiliki gejala kondisi kesehatan mental
yang terkait dengan lingkungan stres yang tinggi. Masalah seperti itu harus
dipertimbangkan oleh dokter jika orang tersebut meminta dilakukan
pemeriksaan dan kemampuannya untuk melakukan sejumlah tugas
terganggu.

Pada gangguan stres pasca trauma (post traumatic stress disorder,


PTSD) biasanya mengalami berbagai reaksi atau gejala psikologis setelah
mengalami stres ekstrim selama keadaan darurat yang terkait dengan
kemanusiaan. Bagi kebanyakan orang, gejala ini bersifat sementara.
Ketika serangkaian gejala yang spesifik dan khas (sensasi mengalami
kembali, menghindari, dan rasa ancaman yang terasa meningkat)
bertahan selama lebih dari sebulan setelah peristiwa yang berpotensi
traumatis, orang tersebut mungkin mengalami PTSD. Pada PTSD sering kali
terdapat gejala yang sangat mirip dengan gangguan depresi sedang
(kurang tidur, suasana hati rendah). Penilaian oleh dokter yang
berkualifikasi mungkin diperlukan untuk mengidentifikasi gejala PTSD.

Burnout adalah istilah yang biasa digunakan untuk merujuk pada


kelelahan jangka panjang dan berkurangnya minat dalam bekerja

97
sebagai akibat dari stres jangka panjang dan beban kerja yang
berlebihan. Ini dapat terjadi terutama di antara individu yang sangat
termotivasi dan berdedikasi dalam pekerjaan mereka. Keinginan untuk
berhasil dan harapan yang tinggi mungkin kontras dengan kelelahan fisik,
emosional dan mental yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk
mencapai tujuan.

Upaya mencegah dan mengelola respons stres dapat dilakukan


dengan mengembangkan kebijakan untuk bidang-bidang berikut:
- Skrining pra dan pasca penyebaran wabah, dan penilaian kapasitas
staf untuk antisipasi stres
- Persiapan dan pelatihan dalam mengelola stres sebelum penugasan
dan berkelanjutan untuk mengatasi penyebab stres harian.
- Pemantauan rutin atas kondisi staf di lapangan;
- Dukungan khusus dan sesuai budaya untuk staf dan tim setelah
insiden kritis atau traumatis atau sumber stres berat yang tidak biasa /
tidak terduga;
- Dukungan praktis, emosional dan sesuai budaya untuk staf di akhir
penugasan atau kontrak.

4.2.1. Upaya Untuk Mencegah Stres Di Tempat Kerja

Praktik berbasis tim


a) Komunikasi yang baik
Salah satu cara terbaik untuk mengurangi stres adalah dengan
memberikan informasi yang baik sebanyak mungkin. Harus ada
mekanisme arus informasi yang jelas tentang bahaya, cara penularan
dan gejala, serta tindakan perlindungan bagi pekerja yang diperbarui
secara berkala. Apabila ada rekan kerja yang jatuh sakit, dokter harus
segera diberi tahu dan dikumpulkan untuk mengajukan pertanyaan,
mengungkapkan keprihatinan dan memberikan saran.
b) Memberikan tempat untuk mengungkapkan kekhawatiran dan
mengajukan pertanyaan dengan tetap memastikan kerahasiaan
status kesehatan.
98
c) Sesi tim multidisiplin
Tujuan dari pertemuan tim ini adalah untuk mengidentifikasi
masalah, termasuk tentang kesejahteraan staf, dan untuk bekerja
sama dalam strategi untuk memecahkan masalah.
d) Pengenalan diri sendiri dan sistem pertemanan
Penting bagi dokter untuk menilai dan memahami kekuatan,
kelemahan dan keterbatasan mereka sendiri, termasuk mengenali
tanda-tanda stres dan kelelahan dalam diri mereka dan orang lain.
Sistem pertemanan (buddy system) adalah cara yang berguna untuk
memberikan dukungan psikologis, dan merupakan cara yang baik
untuk memantau stres dan kelelahan.
e) Pertolongan pertama psikologis (Psychological First Aid/PFA), meliputi:
- Memberi dukungan dan perhatian tanpa memaksa
- Menilai kebutuhan dan kekhawatiran
- Membantu memenuhi kebutuhan dasar (misalnya makanan dan
minuman serta informasi)
- Mendengarkan, tetapi tidak memaksa untuk berbicara
- Menghibur dan membantu mereka merasa tenang
- Membantu mendapatkan informasi, layanan, dan dukungan
sosial
f) Melindungi dari bahaya lebih lanjut
g) Kampanye untuk mengurangi stigma
Masyarakat sadar bahwa dokter berisiko lebih tinggi tertular penyakit
melalui pajanan pekerjaan, dokter dan keluarganya sering
mengalami stigma dan terisolasi secara sosial.
Kampanye pendidikan publik yang komprehensif harus dapat
mengatasi stigma sosial dan pengucilan dokter akibat ketakutan
publik terhadap penularan atau kontaminasi yang berlebihan.
h) Penggunaan humor dan teknik partisipatif
Dapat mendorong komunikasi, solusi inovatif dan perubahan positif
dalam sikap. Metode seperti partisipasi di teater telah digunakan

99
dengan dokter untuk mengatasi masalah intimidasi di tempat kerja,
dengan menciptakan perasaan ikatan di antara peserta. Teknik kreatif
juga dapat menghilangkan rasa takut dengan mengembangkan rasa
humor.

Budaya organisasi
a) Teknik pembentukan tim harus dipraktikkan, termasuk memfasilitasi
komunikasi dan manajemen konflik. Staf harus peka terhadap satu
sama lain, karena salah satu keluarga staf mungkin terpengaruh
dampak wabah tersebut.
b) Psikiatri harus menghubungi semua anggota staf nasional dan
internasional (termasuk penerjemah, pengemudi, sukarelawan) yang
selamat dari insiden kritis 1 - 3 bulan setelah kejadian. Dokter tersebut
harus menilai fungsi dan perasaan dokter yang selamat dan menilai
kondisi kesehatan mental (misalnya depresi, PTSD, penggunaan zat)
dan merujuk ke perawatan klinis orang-orang dengan masalah
substansial yang belum sembuh dari waktu ke waktu.

Praktik individu
a) Pengaturan waktu istirahat
b) Pemenuhan kebutuhan dasar
c) Dukungan psikologis
d) Peragaan peran oleh organisasi dan manajer lapangan: Manajer
harus menjadi panutan bagi staf di bawah pengawasan mereka dan
harus berperilaku dengan cara yang menunjukkan bagaimana
mengurangi stres (misalnya mengambil istirahat kerja yang sesuai,
mempraktikkan pengurangan stres dan latihan relaksasi). Yang
terpenting, manajer lapangan harus memastikan bahwa kebutuhan
dasar staf terpenuhi dan alat pelindung disediakan, tenaga kerja
dihargai, dan upaya mereka dihargai.

100
4.2.2. Langkah-Langkah Untuk Mengelola Stres Selama Berbagai Tahap
Tanggap Darurat
1) Meminimalkan stres sebelum krisis
a) Pastikan bahwa dokter memahami sistem tanggap darurat
secara keseluruhan serta peran dan tanggung jawab dalam tim.
b) Tetapkan garis komando yang jelas untuk meminimalkan stres
dengan menghilangkan kebingungan perihal alur pelaporan.
c) Berikan pelatihan rutin tentang teknik manajemen stres.
d) Memberikan pelatihan berkelanjutan untuk memastikan bahwa
dokter benar-benar memahami prosedur dan kebijakan
keselamatan.
e) Mengembangkan pedoman untuk membantu dokter
mempersiapkan penerapan teknisnya.
f) Menyimpan informasi kontak anggota keluarga terbaru untuk
setiap dokter

2) Meminimalkan stres selama krisis


a) Definisikan dengan jelas peran individu dan evaluasi ulang jika
situasinya berubah.
b) Pada setiap pergantian shift, dokter diberikan pengarahan
tentang status lingkungan kerja saat ini, prosedur keselamatan
dan peralatan keselamatan yang diperlukan.
c) Menugaskan dokter yang masih belum berpengalaman
didampingi yang berpengalaman. Sistem pertemanan adalah
metode yang efektif untuk memberikan dukungan, memantau
stres, dan memperkuat prosedur keselamatan.
d) Sistem menyediakan PFA (Psychological First Aid) untuk orang
yang mengalami stres pada tahap awal.
e) Merotasi pekerjaan dari fungsi stres tinggi ke stres rendah.
f) Memulai, mendorong dan memantau istirahat kerja. Selama
acara yang berdurasi panjang, terapkan waktu istirahat dan hari
libur yang lebih lama, dan batasi pekerjaan akhir pekan.
101
g) Tetapkan area istirahat yang secara visual memisahkan pekerja
dari tempat kejadian dan publik. Pada durasi tanggap darurat
yang lebih lama, tetapkan area di mana responden dapat mandi,
makan, berganti pakaian, dan tidur.
h) Menerapkan jadwal fleksibel untuk dokter yang terkena dampak
langsung dari suatu insiden.
i) Pantau dan kelola lingkungan kerja, transportasi, dan kondisi
kehidupan sebagai berikut:
- Sediakan alat pelindung diri untuk perlindungan dari pajanan
dimanapun dibutuhkan.
- Kurangi efek suhu ekstrim dengan hidrasi yang tepat, sering
istirahat, penggunaan pakaian pelindung yang sesuai.
- Pastikan bahwa pencahayaan cukup, dapat disesuaikan,
dan berfungsi dengan baik.
- Memberikan keamanan bagi pekerja di fasilitas atau lokasi di
area berbahaya.
- Menyediakan telepon seluler untuk dokter di lingkungan
berbahaya. Pastikan bahwa staf tahu siapa yang harus
dihubungi ketika masalah muncul.

3) Meminimalkan stres setelah krisis


a) Berikan waktu istirahat bagi dokter yang mengalami trauma atau
kehilangan
b) Menugaskan mereka pada pekerjaan yang tidak terlalu menuntut
pada saat awal kembali ke organisasi.
c) Mengembangkan protokol untuk memberikan konseling bebas
stigma kepada dokter sehingga mereka dapat mengatasi aspek
emosional dari pengalaman mereka.
d) Atur wawancara untuk membantu dokter menempatkan
pengalaman mereka dalam perspektif dan memvalidasi apa
yang telah mereka lihat, lakukan, pikirkan dan rasakan.

102
BAB 5
PEDOMAN PERILAKU SOSIAL, MEDIA SOSIAL DAN ILMIAH BAGI DOKTER DI
ERA PANDEMI COVID -19

Pandemi COVID-19 telah meresahkan dan mengkhawatirkan


masyarakat luas. Begitu banyak persebaran informasi yang belum jelas
kebenarannya, yang akhirnya mengakibatkan situasi pandemi semakin
tidak terkendali. Profesi dokter adalah salah satu yang paling diperhatikan
dan sering dijadikan contoh berperilaku oleh masyarakat dalam
menghadapi penyakit COVID-19. Dokter harus kompeten, memiliki
pengetahuan yang cukup, keterampilan mutakhir, dan selalu
memeliharan hubungan baik dengan pasien, keluarga pasien, dan rekan
sejawat yang lain, dan selalu bekerja dengan integritas. Sesuai dengan
mukadimah KODEKI, salah satu sifat dasar yang harus ditunjukan oleh
dokter adalah integritas ilmiah dan sosial, termasuk media sosial. Oleh
karena itu, penting bagi dokter untuk dapat menjaga perilaku baik sosial,
media sosial, dan ilmiah untuk membantu peperangan melawan COVID-
19 ini. Setiap dokter juga harus memperlakukan teman sejawat seperti ia
ingin diperlakukan.

5.1. Perilaku Sosial

Dokter diharapkan dapat melakukan protokol kesehatan di


masyarakat dalam kehidupan sehari-hari seperti social distancing,
penggunaan masker, praktik cuci tangan yang benar untuk memberikan
contoh yang baik. Aktif memberikan edukasi pada masyarakat sekitar
mengenai pentingnya mematuhi protokol kesehatan yang ada dan
bahaya dari penyakit COVID-19 untuk meningkatkan kewaspadaan
mereka. Gunakan alat pelindung diri yang sesuai dengan tingkat risiko
pekerjaan.

5.2. Media Sosial

Saat ini, penggunaan sosial media sebagai media komunikasi dan


103
penyebaran informasi telah berkembang secara luas. Sosial media juga
sering menjadi alat bagi dokter dan tenaga medis lainnya untuk
berpartisipasi, mengeluarkan pendapat, memberi konsultasi, bahkan
hingga memberikan terapi pada pasien (telemedicine). Adanya sosial
media dapat membantu mempermudah edukasi secara luas ke
masyarakat tanpa perlu bertatap muka, namun dokter harus
memperhatikan ilmiah dari informasi yang diberikan. Berikan informasi
dengan bukti sumber ilmiah yang terpercaya untuk melindungi
masyarakat dan diri sendiri. Nyatakan pendapat secara profesional dan
sesuai dengan bidang masing-masing, dan dokter diharapkan tidak
terlibat dalam perdebatan online dalam bentuk apapun.

5.3. Ilmiah

Di era pandemi ini, begitu banyak kontroversi ilmiah yang muncul


mengenai COVID-19. Untuk itu, diperlukan sikap ilmiah yang rasional
dalam menghadapinya. Dokter memiliki kewajiban untuk mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan
melalui pertemuan ilmiah, pendidikan, atau penelitian untuk dapat
memberikan penanganan terbaik pada pasien, terlebih mengingat
bahwa COVID-19 adalah sebuah penyakit baru yang masih banyak diteliti
sehingga banyak perubahan dan perbaruan informasi dalam
tatalaksananya. Dokter diharapkan tidak memberikan informasi tanpa
dasar bukti ilmiah yang jelas dan kuat ke masyarakat luas.

Disarankan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan


teknologi kedokteran/kesehatan melalui pertemuan ilmiah atau
pendidikan melalui media daring, terutama di daerah dengan penularan
komunitas. Bila tidak memungkinkan dan harus dilakukan secara luring,
maka diperlukan analisis risiko berdasarkan: konteks epidemiologi,
metode penilaian risiko (dapat menggunakan metode dari WHO), dan
kemampuan untuk menerapkan langkah pencegahan dan
pengendalian COVID-19.

104
Untuk penyelenggara acara, maka langkah pencegahan COVID-19
yang dilakukan diantaranya adalah:
1) Tahap perencanaan:
a) Koordinasi
b) Membuat rencana kesiapan untuk mendeteksi dan memantau
insiden terkait dengan COVID-19
c) Penyediaan sarana dan prasarana (fasilitas cuci tangan, APD,
penanda jarak, tempat sampah tertutup, dan lainnya) sesuai
rekomendasi pemerintah setempat
2) Tahap operasional, bertujuan untuk:
a) Modifikasi tempat penyelenggaraan:
i. Acara dilakukan di ruang terbuka, jika tidak memungkinkan
maka dilakukan di area yang memiliki ventilasi baik
ii. Tempat duduk diatur dengan jarak minimal 1 meter
iii. Jalan masuk dan keluar diatur, dan diberikan penanda jarak
b) Modifikasi peserta:
i. Mewajibkan peserta memakai masker, menjaga jarak, dan
menjaga kebersihan tangan
ii. Acara tidak boleh dihadiri orang yang sakit, usia >60 tahun,
atau memiliki kondisi kormorbiditas (penyakit kardiovaskular,
penyakit paru kronis, diabetes, kanker)
iii. Menghitung dan membatasi jumlah peserta yang hadir (tidak
lebih dari 1 orang setiap 10 m2)
c) Memberitahukan kepada peserta tentang langkah pencegahan
sebelum acara dimulai, kemudian diingatkan kembali selama
acara berlangsung
d) Disarankan tidak menyediakan konsumsi berupa prasmanan.
3) Tahap setelah acara: dilakukan penyimpanan daftar hadir peserta,
minimal 1 bulan setelah acara

105
LAMPIRAN 1

106
TABEL PERBANDINGAN SEDIAAN VAKSIN SARS-CoV-2

Rencana
Jadwal
Produsen Penyimpanan Harga per dosis masuk
pemberian Usia subjek Platform Lokasi uji klinis fase 3
Indonesia

BioNTech/ -70o C >16 tahun (termasuk AS, Jerman, Turki, Afrika


0, 21 hari $19,5 mRNA Q3 2021
Pfizer 2- 8o C
(5 hari) >55 tahun) Selatan, Brazil, Argentina

-20o C >18 tahun (termasuk Belum ada


Moderna 0, 28 hari $37 mRNA AS
2- 8o C
(1 hari) >55 tahun) data

University of Oxfor 0, 28 hari >18 tahun (termasuk Inggris, AS, Afrika Selatan,
2 - 8o C $2 - $5 Viral vector Q2 2021
d/Astra Zeneca >55 tahun) Kolombia, Peru, Argentina

-18o
C (frozen type) Belum ada Rusia, UAE, Belarusia, India, Ven
Gamaleya 0, 21 hari $10 18 - 60 tahun Viral vector
2 - 8o data ezuela
C (lyophilized)

18 - 59 tahun Inggris, India, Afrika


Novavax 2 - 8o C 0, 21 hari $16 Subunit Juni 2021
Selatan, Meksiko

0 (single
Janssen/Johnson -20o C >18 tahun (termasuk Belum ada AS, Argentina, Chili, Kolombia,
o
shot) atau $10 Viral vector
& Johnson 2 - 8 C (3 bulan) >55 tahun) data Meksiko, Afrika Selatan, Filipina
0, 56 hari

0, 14 atau 18-59 tahun Desember China, Indonesia, Brazil, Turkey,


Sinovac 2 - 8o C $30 Inactivated
0, 28 hari > 59 tahun (studi di Brazil) 2020 Chili

China, UAE, Maroko, Mesir,


Belum ada
Sinopharm 2 - 8o C 0, 21 hari $72,5 18-59 tahun Inactivated Bahrain, Jordan, Pakistan, Peru,
data
Argentina

18 tahun atau
0 hari Belum ada Belum ada China, Pakistan, Argentina,
Cansino Belum ada data lebih (termasuk Viral vector
(single shot) data data Chili, Meksiko, Rusia
>55 tahun)

106
106
LAMPIRAN 2

TABEL CHECKLIST PENGENDALIAN RISIKO TRANSMISI COVID-19 BAGI DOKTER


BERDASARKAN TINGKAT RISIKO

Risiko Rendah Checklist

a. Eliminasi Sudah Belum


- Vaksinasi
- Disinfeksi untuk menghilangkan virus dari permukaan atau benda-benda
- Mencuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer
b. Pengendalian Teknik Sudah Belum
- Pengaturan dan pemeliharaan sistem HVAC yang dilengkapi dengan
HEPA filter dan lampu UV-C
- Pengaturan intake udara bersih ke ruangan, arah aliran udara yang baik,
dan pergantian udara per jam minimal 6x ACH
c. Pengendalian Administratif Sudah Belum
- SPO dan Pelatihan PPI
- Sosialisasi dan penerapan 5M dan 3T
- Protokol kesehatan saat pertemuan dan rapat
- Protokol kesehatan saat ibadah, istirahat dan makan
- Pengaturan jam kerja : 40 jam seminggu, 8 jam/hari (maks 12 jam/hari)
- Pembiayaan MCU, Jamkes, JKK, JKD, kompensasi saat isolasi/karantina
- Penentuan COVID-19 Akibat Kerja
- Penatalaksanaan kembali kerja (return to work) pasca sakit
- Pelayanan Posko Kesehatan Kerja/Poliklinik Pegawai
- Pengaturan gizi dan olahraga
d. APD: Masker bedah

Risiko Sedang Checklist

a. Eliminasi Sudah Belum


- Vaksinasi
- Disinfeksi untuk menghilangkan virus dari permukaan atau benda-benda
- Mencuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer
b. Pengendalian Teknik Sudah Belum
- Pengaturan dan pemeliharaan sistem HVAC pada gedung atau
ruangan yang dilengkapi dengan sarana HEPA filter dan lampu UV-C,
serta pengaturan intake udara bersih ke ruangan, arah aliran udara
yang baik, dan pergantian udara per jam minimal 6x ACH
- Meja periksa dokter : barrier mika dan penanda jarak dengan kursi pasien
- Pemberian jarak minimal 1 meter antar pasien ranap di bangsal
- Zonasi ruangan untuk pasien COVID-19 dan non COVID-19
- Tempat lepas-pasang APD terpisah

107
Risiko Sedang Checklist

c. Pengendalian Administratif Sudah Belum


- Triase pasien (EWS COVID-19)
- Dokter berusia > 60 tahun tidak direkomendasikan melayani pasien COVID-
19
- Pembatasan tempat praktik dokter terfokus satu tempat
- Pembatasan waktu kontak langsung dengan pasien atau dapat
menggunakan media online

- Swab RT-PCR atau tes cepat molekuler SARS-CoV-2 untuk skrining pre-
admisi/tindakan
- Kebijakan pengendalian infeksi pada pasien
- SPO dan Pelatihan PPI
- Sosialisasi dan penerapan 5M dan 3T
- Pengaturan jam kerja : 40 jam seminggu, 8 jam/hari (maks 12 jam/hari), shift
metropolitan atau continental, dokter usia > 45 tahun disarankan nonshift
- Fasilitas pemeriksaan kesehatan sebelum dan di akhir penempatan di
pelayanan COVID-19 (termasuk RT-PCR SARS-CoV-2)
- Pembiayaan MCU, Jamkes, JKK, JKD, kompensasi saat isolasi/karantina
- Protokol kesehatan saat pertemuan dan rapat
- Protokol kesehatan saat ibadah, istirahat dan makan
- Algoritme/Alur/PPK terkait pelayanan COVID-19 dan non COVID-19
- SPO Rujukan COVID-19
- Penatalaksanaan kembali kerja (return to work) pasca sakit
- Penentuan COVID-19 Akibat Kerja
- Pelayanan Posko Kesehatan Kerja/Poliklinik Pegawai
- Pengaturan gizi dan olahraga
d. APD: Level 2

108
Risiko Tinggi dan Sangat Tinggi Checklist
a. Eliminasi Sudah Belum
- Vaksinasi
- Disinfeksi untuk menghilangkan virus dari permukaan atau benda-benda
- Mencuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer
b. Pengendalian Teknik Sudah Belum
- Pengaturan dan pemeliharaan sistem HVAC pada ruangan bertekanan
negatif dengan anteroom dilengkapi sarana HEPA filter dan lampu UV-C
serta pengaturan intake udara bersih ke ruangan, arah aliran udara yang
baik juga pergantian udara perjam minimal 12x ACH
- Meja periksa dokter: barrier mika dan penanda jarak dengan kursi pasien
- Pemberian jarak minimal 1meter antar pasien ranap di Bangsal
- Zonasi ruangan untuk pasien COVID-19 dan non COVID-19
- Tempat lepas-pasang APD terpisah

c. Pengendalian Administratif Sudah Belum


- Triase pasien (EWS COVID-19)
- Dokter berusia > 60 tahun tidak direkomendasikan melayani pasien COVID-
19
- Dokter yang sedang hamil disarankan tidak melayani langsung pasien
COVID-19
- Pembatasan tempat praktik dokter terfokus satu tempat
- Pembatasan waktu kontak langsung dengan pasien atau dapat
menggunakan media online
- Swab RT-PCR atau tes cepat molekuler SARS-CoV-2 untuk skrining pre-
admisi/tindakan
- Kebijakan pengendalian infeksi pada pasien
- SPO dan Pelatihan PPI
- Sosialisasi dan penerapan 5M dan 3T
- Pengaturan jam kerja : 1 hari 4 shift (6 jam/shift),durasi penggunaan APD
level 3 maksimal 6 jam. Dokter berusia > 45 tahun disarankan nonshift
- Penanganan pasien COVID-19 dengan pendekatan tim interdisiplin dan
pengaturan jadwal dalam rangka penurunan viral load
- Fasilitas pemeriksaan kesehatan sebelum dan di akhir penempatan di
pelayanan COVID-19 (termasuk RT-PCR SARS-CoV-2)
- Protokol kesehatan saat pertemuan dan rapat
- Protokol kesehatan saat ibadah, istirahat dan makan

109
Risiko Tinggi dan Sangat Tinggi Checklist

c. Pengendalian Administratif Sudah Belum


- Pembiayaan MCU, Jamkes, JKK, JKD, Kompensasi saat isolasi/karantina
- Algoritme/Alur/PPK terkait pelayanan COVID-19 dan non COVID-19
- Penatalaksanaan kembali kerja (return to work) pasca sakit
- SPO Rujukan COVID-19
- Pengaturan gizi dan olahraga
- Pelayanan Posko Kesehatan Kerja/Poliklinik Pegawai
- Penentuan COVID-19 Akibat Kerja

d. APD: Level 3, maksimal 6 jam

110
LAMPIRAN 3
CARA PEMAKAIAN DAN PENGLEPASAN APD

Telah diolah kembali dari: WHO 111


Telah diolah kembali dari: WHO

112
Telah diolah kembali dari: WHO
113
LAMPIRAN 3
CARA PEMAKAIAN DAN PENGLEPASAN APD

Telah diolah kembali dari: WHO


114
LAMPIRAN 4
CONTOH PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI

A) Contoh Alat Pelindung Diri Berdasarkan Risiko Pajanan COVID-19 dan


Kegiatan

Risiko Kegiatan APD


pajanan

Rendah Dokter yang tugasnya tidak • Masker bedah


pelayanan atau kontak
langsung dengan pasien
suspek/probable/konfirmasi
COVID-19, misalnya untuk
dokter yang bertugas di
manajemen

Sedang Dokter yang tugasnya Level 2


sering kontak dengan • Baju scrub/baju kerja
banyak orang namun tidak • Sepatu kerja
diketahui status terinfeksi • Headcap
COVID-19 • Masker bedah
• Sarung tangan lateks
• Pelindung mata/faceshield
• Gown

Tinggi Dokter yang melakukan


pelayanan kontak langsung
pasien
Level 3
suspek/probable/konfirmasi
• Baju scrub/baju kerja
COVID-19 selain melakukan • Headcap
tindakan aerosol • Minimal masker N95/ekuivalen; atau respirator
Sangat Dokter yang melakukan tingkat lebih tinggi misal PAPR
tinggi • Sarung tangan lateks
pelayanan tindakan aerosol, • Pelindung mata dan faceshield
pengambilan spesimen • Gown atau coverall
pernapasan, dan otopsi • Apron
pada pasien • Boots/sepatu karet dengan pelindung sepatu
suspek/probable/konfirmasi
COVID-19

115
B) Contoh Alat Pelindung Diri Berdasarkan Anjuran WHO dan
Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 (Standar
Minimal)

Level Alat Pelindung Diri (APD) Cakupan prosedur/lokasi

Level 1 • Penutup kepala • Pelayanan triase


• Masker bedah • Rawat jalan nonCOVID-19
• Baju scrub/baju kerja • Rawat inap nonCOVID-19
• Sarung tangan lateks • Tempat praktik umum
• Sepatu kerja • Kegiatan yang tidak mengandung
aerosol

Level 2 • Penutup kepala • Pemeriksaan pasien dengan gejala


• Pelindung mata infeksi pernapasan
• Masker bedah • Ruang perawatan COVID-19
• Baju/pakaian jaga • Pengambilan spesimen non
• Gown pernapasan yang tidak menimbulkan
• Sarung tangan lateks aerosol
• Sepatu kerja • Pemeriksaan pencitraan pada
suspek/probable/terkonfirmasi COVID-
19

Level 3 • Penutup kepala • Digunakan pada prosedur dan


• Pelindung mata dan tindakan operasi pada pasien
face shield suspek/probable/terkonfirmasi COVID-
• Masker N95 atau 19
ekuivalen • Pemeriksaan gigi, mulut, mata THT
• Baju/pakaian jaga • Kegiatan yang menimbulkan aerosol
• Gown/Coverall & (intubasi, ekstubasi, trakeotomi,
apron resusitasi jantung paru, bronkoskopi,
• Sarung tangan bedah pemasangan NGT, endoskopi
lateks gastrointestinal) pada pasien
• Boots/sepatu karet suspek/probable/terkonfirmasi COVID-
dengan pelindung 19.
• Ruang prosedur dan tindakan otopsi
sepatu
pada pasien
suspek/probable/terkonfirmasi COVID-
19.
• Pengambilan spesimen pernapasan

Telah diolah kembali dari: WHO. Rational use of personal protective equipment for
Coronavirus disease (COVID-19) and consideration during severe shortages. Interim
guidance 6 April 2020

* Penggunaan APD menurut anjuran WHO, harus memenuhi persyaratan


pengendalian teknik dan administratif
* WHO menganjurkan mengurangi penggunaan coverall, double gloves, atau head cover

116
LAMPIRAN 5

CONTOH PENGGUNAAN TRIASE

A. Contoh Triase dengan Sistem Early Warning Score

Sumber: Song CY, Xu J, He J, Lu Y. COVID-19 early warning score: a multi-


parameter screening tool to identify highly suspected patients.

* Bila fasilitas pelayanan kesehatan tidak mempunyai CT scan, dapat


dipertimbangkan menggunakan foto toraks

117
B. Contoh Triase Menggunakan Algoritma dari WHO

Telah diolah kembali dari: WHO. Algorithm for COVID-19 triage and refferal. Patients
triage and refferal for resource-limited settings during community
transmission. 22 Maret 2020.

a) Penggunaan alur rujukan dan triase ini harus mempertimbangkan peraturan dan
pedoman pemerintah
b) Mengikuti keputusan klinis dokter dan kapasitas yang ada, contohnya apabila
pasien memerlukan penanganan yang lebih tinggi dari yang dapat diberikan oleh
fasilitas tersebut
c) Jika belum dites atau hasil tes sebelumnya negatif tapi klinis mengarah ke COVID-19
118
LAMPIRAN 6

Jenis pemeriksaan MCU awal kerja, berkala (tahunan), dan akhir kerja
tenaga kesehatan
- Anamnesa termasuk pekerjaan dan bahaya potensial di tempat
kerja
- Pemeriksaan fisik lengkap
- Pemeriksaan penunjang:
• Laboratorium: darah lengkap, urin lengkap, foto thorax PA,
HBsAg, anti HBsAg, anti HCV
• Foto thorax PA
• Usia lebih 40 tahun:
o Pemeriksaan laboratorium kimia darah: glukosa darah
puasa dan 2 jam pp, profil lipid, asam urat, ureum,
kreatinin, SGOT, dan SGPT
o EKG
• Pada masa pandemi COVID-19: pemeriksaan swab RT-PCR
SARS-CoV-2
- Pemeriksaan mental:
• Awal kerja dengan MMPI Test
• Berkala: pemeriksaan stres dengan SDS test, SRQ 20, burn out
dengan WBI instrument, pemeriksaan depresi dengan PHQ-8
instrument

119
LAMPIRAN 7
FORMULIR SELF ASSESMENT RISIKO COVID-19

Apakah anda atau siapapun di rumah anda dalam 14


hari ini sedang/pernah mengalami:* *
• Demam/suhu tinggi
• Batuk/pilek
• Sesak napas/sakit tenggorok
• Sakit kepala

* Dapat ditambahkan dengan gejala lain yang sering dijumpai,


misalnya: kelelahan (fatigue), nyeri otot, sakit kepala, anosmia,
agneusia, sakit tenggorok, hidung tersumbat atau meler, mual
atau muntah, diare (interim guidance CDC 22 Desember 2020)

120
TINDAK LANJUT
A. STAF RUMAH SAKIT
• Jika total skor 0 (risiko rendah) atau 1-4 (risiko sedang), petugas
di perbolehkan ke Rumah Sakit dengan tetap menjalani proses
skrining dan pengukuran suhu tubuh.
• Apabila didapatkan suhu tubuh < 38°C, Petugas dapat
melanjutkan ke area kerja di Rumah Sakit .
• Apabila didapatkan suhu tubuh ≥ 38°C agar dilakukan
investigasi dan pemeriksaan lanjutan di triase COVID-19.
• Jika total skor ≥ 5 = (risiko tinggi), petugas segera melaporkan
ke atasan, melakukan karantina mandiri dan tidak
diperbolehkan bertugas.
B. PASIEN
• Jika total skor 0 (risiko rendah) atau 1-4 (risiko sedang),
p asien tetap menjalani proses skrining dan pengukuran
suhu tubuh.
• Apabila didapatkan suhu tubuh < 38°C, pasien dapat
melanjutkan ke tujuan pelayanan kesehatan yang di butuhkan
di area nonCOVID-19.
• Apabila didapatkan suhu tubuh ≥ 38°C agar dilakukan
investigasi dan pemeriksaan lanjutan di triase COVID-19 untuk
memastikan kemungkinan gejala COVID-19.
• Jika total skor ≥ 5 = (risiko tinggi), Pasien dapat langsung ke
triase baik di IGD maupun Rawat jalan khusus COVID-19
untuk mendapatkan pemeriksaan lanjutan (pemeriksaan RT-
PCR) dari tenaga kesehatan.
C. PENGUNJUNG
• Jika total skor 0 (risiko rendah) atau 1-4 (risiko sedang),
pegunjung di perbolehkan ke Rumah Sakit dengan tetap
menjalani proses skrining dan pengukuran suhu tubuh.
• Apabila didapatkan suhu tubuh < 38° C, Pengunjung dapat
melanjutkan ke tujuan yang di butuhkan di area nonCOVID-
19.
• Apabila didapatkan suhu tubuh ≥ 38° C agar dilakukan
investigasi dan pemeriksaan lanjutan di triase COVID-19 dan
di perlakukan sebagai pasien.
• Jika total skor ≥ 5 (risiko tinggi), pengunjung segera mendatangi
Rumah Sakit dan langsung ke bagian triase baik di IGD maupun
Rawat jalan khusus COVID-19 untuk mendapatkan
pemeriksaan lanjutan (pemeriksaan RT-PCR) dari tenaga
kesehatan sebagai pasien gejala COVID-19.
Pernyataan:
Saya telah membaca, memahami, dan menerima sepenuhnya
pernyataan yang saya buat dalam formulir ini terkait dengan
potensi risiko penularan COVID-19 kepada diri saya sendiri,
anggota keluarga saya maupun orang lain.

…………., …………………..,
Tanda tangan

121
ALUR TINDAK LANJUT HASIL FORMULIR SELF ASSESMENT RISIKO COVID-19

Sumber: Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan.


Panduan Teknis Pelayanan Rumah Sakit pada Masa
Adaptasi Kebiasaan Baru. 2020

122
LAMPIRAN 8

ASESMEN RISIKO PAJANAN KASUS PROBABLE/KONFIRMASI


COVID-19

123
* Bukan risiko rendah = risiko sedang, tinggi, sangat tinggi

124
LAMPIRAN 9

CONTOH ALUR UNTUK KEMBALI BEKERJA (RETURN TO WORK)


Untuk panduan kembali bekerja:
- Tergantung pada keadaan epidemi lokal, sifat dan kondisi setiap pekerjaan dan
ketersediaan tes.
- Dalam situasi saat ini dengan tingkat penularan yang tinggi dan sumber daya
pengujian yang terbatas, penting untuk membedakan antara pekerja berisiko tinggi
dan rendah. Meskipun pedoman pekerja berisiko rendah mungkin bergantung
pada kriteria klinis, strategi berbasis pengujian yang lebih spesifik harus digunakan
untuk pekerja berisiko tinggi.

A) Contoh Alur Berdasarkan Centers for Disease Control and Prevention (CDC)

Telah diolah kembali dari: Centers for Disease Control and Prevention. Managing
exposed healthcare workers (Interim Guidance) 12 September 2020.

125
B) Contoh Alur Untuk Dokter dengan Risiko Tinggi Berdasarkan Panduan dari
Society of Occupational Medicine (Rueda-Garrido dkk, 1 Juni 2020)

Telah diolah kembali dari: Rueda-Garrido JC, Vicente-Herrero MT, Campo MT, Reinoso-
Barbero L, Hoz RE, Delclos GL. Return to work guidelines for the COVID-19 pandemic.
Occup Med.1 Juni 2020;70:300–5.

#
Yang termasuk risiko tinggi adalah tenaga kesehatan (dokter), meskipun
menggunakan APD dengan benar
* Tes serologi:
- Tidak menggunakan pemeriksaan non kuantitatif seperti rapid test (lateral flow
assay), karena tidak dapat diketahui peningkatan titer antibodi.
- Interpretasi harus dilakukan secara hati-hati oleh tim ahli.
- Hasil pemeriksaan tergantung pada waktu pemeriksaan, klinis, epidemiologi
dan prevalensi setempat, tipe tes yang digunakan, metode validasi, dan
reliabilitas.
- Selain RT-PCR mungkin dapat dipertimbangkan pemeriksaan NAAT yang lain

126
C) Contoh Pertimbangan Kembali Bekerja Berdasarkan Hasil Pemeriksaan
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk kembali bekerja
diantaranya adalah pemeriksaan laboratorium pada pemantauan.
Pemantauan dilakukan serial setiap 1 – 3 hari, disesuaikan dengan kondisi
klinis dokter terkonfirmasi COVID-19.

ALC: absolute lymphocyte count; ALT: alanine transaminase; APTT: activated partial
thromboplastin Time; AST: aspartate transaminase; CRP: c-reactive protein; LDH: lactate
dehydrogenase; PT: prothrombin time, RT-PCR: reverse transcription polymerase chain reaction;
TCM: tes cepat molekular;

Telah diolah kembali dari: Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan
Kedokteran Laboratorium Indonesia. Usulan panduan pemeriksaan laboratorium
COVID-19. 2020

127
LAMPIRAN 10

128
DAFTAR PUSTAKA

Australian Medical Association. National code of practice-hours of work,


shiftwork, and rostering for hospital doctors. 2016.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Peran
Perlindungan BPJS Ketenagakerjaan untuk Tenaga Kesehatan di
Masa Pandemi COVID-19. 2021
Centers for Disease Control and Prevention. Criteria for Return to Work for
Healthcare Personnel with Suspected or Confirmed COVID-19
(Interim Guidance). ww.cdc.gov/coronavirus/2019-
ncov/hcp/return-to-work.html)
Centers for Disease Control and Prevention. Disharging COVID-19 patients.
16 Februari 2021. (https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-
ncov/hcp/disposition-hospitalized-patients.html)
Centers for Disease Control and Prevention. Interim guidance on testing
healthcare personnel for SARS-CoV-2. 17 Juli 2020.
Centers for Disease Control and Prevention. Interim U.S. Guidance for Risk
Asesment and Work Restrictions for Healthcare Personnel with
Potential Exposure to COVID-19. (www.cdc.gov/coronavirus/2019-
ncov/hcp/guidance-risk-assesment-hcp.html)
Centers for Disease Control and Prevention. Managing exposed health
care workers (Interim Guidance). 12 September 2020.
Centers for Disease Control and Prevention. Long-term effects of COVID-
19. 13 November 2020.
Centers for Disease Control and Prevention. Potential esposure at work. 16
Februari 2021. (https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-
ncov/hcp/guidance-risk-assesment-hcp.html)
Centers for Disease Control and Prevention. Returning to work criteria. 16
Februari 2021. (https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-
ncov/hcp/return-to-work.html)
Centers for Disease Control and Prevention. Staff shortages. 14 Februari

129
2021. (https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/hcp/mitigating-
staff-shortages.html)
Centers for Disease Control and Prevention. Strategies to mitigate
healthcare personnel staffing shortages. 14 Februari 2021
(https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/hcp/mitigating-staff-
shortages.html)
Centers for Disease Control and Prevention. Testing healthcare personnel.
14 Februari 2021. (https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-
ncov/hcp/testing-healthcare-personnel.html)
Costa G. Factors influencing health of workers and tolerance to shift work.
Theoretical Issues in Ergonomics Science. 2003, 4:3-4, 263–88.
COVID-19 Coronavirus Pandemic [Internet]. Worldometers. 2020.
Available from: https://www.worldometers.info/coronavirus/
Driggin E, Madhavan MV, Bikdeli B, Chuich T, Laracy J, Biondi-Zoccai G,
dkk. Cardiovascular considerations for patients, health care workers,
and health systems during the COVID-19 pandemic. Journal of the
American College of Cardiology. 2020;75(18):2352-71.
Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
pedoman teknis ruang isolasi. 2015
Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Pedoman teknis bangunan dan prasarana ruang isolasi penyakit
infeksi emerging. 2020
Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan. Panduan teknis pelayanan
rumah sakit pada masa adaptasi kebiasaan baru. Direktorat
Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. 2020
Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. 2020. Available from:
https://COVID- 19.go.id/peta-sebaran
Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Penanganan. Standar
Alat Pelindung Diri (APD) Untuk Penanganan COVID-19 di Indonesia.
Revisi 2. 2020.
Hanafi BK. Managing HVAC System During COVID-19 Pandemic. 2020
Ikatan Dokter Indonesia. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
Ikatan Dokter Indonesia. 2018.
130
Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan Dokter Gigi Indonesia. Petunjuk
Pencegahan Penularan COVID-19 Untuk Petugas Kesehatan. Edisi 1.
2020.
Indonesian Industrial Hygiene Association. Surat Edaran Himbauan Untuk
Mengimplementasikan Metode Pengendalian Teknis Guna
Mengendalikan Penularan COVID-19 di Perkantoran. 2020
International Labour Organization-World Health Organization.
Occupational Safety and Health in Public Health Emergencies.2018
Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 24 Tahun
2016 tentang Persyaratan Teknis Bangunan dan Prasarana Rumah
Sakit. 2016
Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun
2016 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja.
2016
Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 66 Tahun
2016 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit. 2016
Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 27 Tahun
2017 tentang Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan. 2017
Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 Tahun
2018 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan. 2018.
Kementerian Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
HK.01.07/Menkes/327/2020 tentang Penetapan COVID-19 Akibat
Kerja Sebagai Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Pekerjaan
Tertentu. 2020
Kementerian Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
HK.01.07/Menkes/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). 2020.
Kementerian Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
HK.01.07/Menkes/446/2020 tentang Petunjuk Teknis Klaim
Penggantian Biaya Pelayanan Pasien Penyakit Infeksi Emerging

131
Tertentu Bagi Rumah Sakit Yang Menyelenggarakan Pelayanan
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). 2020

Kementerian Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor


HK.01.07/Menkes/447/2020 tentang Penetapan COVID- 19 Akibat
Kerja Sebagai Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Pekerjaan
Tertentu. 2020
Leka S. Psychosocial Hazards. 2003
Leka S, Griffiths A, Cox T, World Health Organization. Work organisation
and stress: systematic problem approaches for employers, managers
and trade union representatives. World Health Organization. 2003.
Morawska L, Tang JW, Bahnfleth W, Bluyssen PM, Boerstra A, Buonanno G,
dkk. How can airborne transmission of COVID-19 indoors be
minimised?. Environment International. 2020;142:105832.
Occupational Safety and Health Act. Guidance on Preparing Work places
for COVID-19. 2020
Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia. Buku
Penatalaksanaan Kembali Bekerja dari Aspek Kedokteran Okupasi.
2019
Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia. Buku Standar
Penilaian Kelaikan Kerja pada Pelayanan KesehatanKerja. 2019
Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia. Buku Panduan
Perlindungan Bagi Pekerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dalam
Masa Pandemi COVID-19. 2020.
Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia. Rekomendasi
PERDOKI Nomor 0261/Sekr/PERDOKI/III/2020 terkait pekerja di fasilitas
pelayanan kesehatan yang positif terinfeksi COVID-19 dan/atau
meninggal dengan positif terinfeksi COVID-19. 2020
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia. Pedoman
penatalaksanaan kembali kerja pada kasus yang berkaitan dengan
pajanan SARS CoV-2 pada masa pandemi COVID-19. 2020
Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Kedokteran
Laboratorium Indonesia. Usulan panduan pemeriksaan laboratorium
COVID-19. 2020
132
Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Kedokteran
Laboratorium Indonesia. Revisi panduan tatalaksana pemeriksaan
antigen rapid test SARS-CoV-2. 2020
PT TASPEN. Program PT. TASPEN (PERSERO) dalam upaya meningkatkan
layanan di masa pandemi COVID-19.2021
PT ASABRI. Sosialisasi penerapan jaminan kecelakaan kerja bagi tenaga
kesehatan yang mengalami COVID-19 Akibat Kerja untuk Peserta
ASABRI. 2021
Rueda-Garrido JC, Vicente-Herrero M, del Campo M, Reinoso-Barbero L,
de la Hoz RE, Delclos GL, dkk. Return to work guidelines for the COVID-
19 pandemic. Occupational Medicine. 2020.
Saguni A. Konsep tata kelola ruang-ruang pelayanan Penyakit Infeksi
Emerging. Kementerian Kesehatan RI. 2020
Susanto AD, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Alur untuk skrining dini,
alur rujukan, penanganan dini bagi tenaga kesehatan yang terkena
COVID-19. 2021.
The American Society of Heating, Refrigerating and Air-Conditioning
Engine. Guidance For Polling Place HVAC Systems. 2020
World Health Organization. Diagnostic testing for SARS-CoV-2 (Interim
guidance). 11 September 2020.
World Health Organization. Risk asesment and management of exposure
of health care workers in the context of COVID-19. Interim guidance
19 March 2020.
Yadav T, Saxena SK. Transmission cycle of SARS-CoV and SARS-CoV-2.
Coronavirus disease 2019 (COVID-19). 2020;33-42. doi:10.1007/978-
981-15-4814-7_4
Zhang X, Jiang Z, Yuan X, Wang Y, Huang D, Hu R, dkk. Nurses reports of
actual work hours and preferred work hours per shift among frontline
nurses during coronavirus disease 2019 (COVID-19) epidemic: A cross-
sectional survey. International Journal of Nursing Studies. 2020:103635.

133
134
135
DATA PRIBADI
Nama : ________________________________________
Alamat : ________________________________________
________________________________________
Kota : ________________________________________
Telepon : ________________________________________
Email : ________________________________________
________________________________________
Instansi
Nama instansi : ________________________________________
Alamat : ________________________________________
________________________________________
Kota : ________________________________________
Telepon : ________________________________________
Email : ________________________________________
Website : ________________________________________

136
CATATAN
___________________________________________________________________

___________________________________________________________________

___________________________________________________________________

___________________________________________________________________

___________________________________________________________________

___________________________________________________________________

___________________________________________________________________

___________________________________________________________________

___________________________________________________________________

___________________________________________________________________

___________________________________________________________________

___________________________________________________________________

___________________________________________________________________

___________________________________________________________________

___________________________________________________________________

___________________________________________________________________

___________________________________________________________________

137
138

Anda mungkin juga menyukai