Anda di halaman 1dari 7

SINGULARITY: Jurnal Desain dan Industri Kreatif http://trilogi.ac.id/journal/ks/index.

php/JSING
Vol. 1 No. 1, September 2020
Halaman 26-32

DAMPAK PERDAGANGAN INTERNASIONAL TERHADAP


PERDAGANGAN BATIK INDONESIA

Yunita Fitra Andriana,1 Ulfa Septiana, 2


1Dosen Program S1 Desain Produk, Universitas Trilogi
2Dosen Program S1 Desain Produk, Universitas Trilogi
yunitafitra@trilogi.ac.d, 1 ulfa.hadi@gmail.com2

Abstrak
Di era globalisasi ini, Indonesia dihadapkan pada masalah perdagangan internasional yang dimulai dari
lahirnya ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada ASEAN Summit di Singapura pada tahun 1992. Sejak saat itu
perdagangan internasional yang melibatkan Indonesia di era modern ini terus berkembang. Selanjutnya ada
kesepakatan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) yang dikukuhkan pada ASEAN Summit ke-10 di Laos
pada tahun 2004, kemudian berkembang lagi menjadi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang mulai berlaku
pada tahun 2015. Kesepakatan perdagangan internasional ini menimbulkan permasalahan pada Indonesia, yang
secara perekonomian termasuk yang tertinggal, sehingga mulai mengandalkan industri kreatif yang berfokus pada
penciptaan barang dan jasa dengan mengandalkan keahlian, bakat dan kreatifitas individu sebagai sebuah kekayaan
intelektual. Sektor ini dipercaya pemerintah sebagai harapan bagi ekonomi Indonesia untuk bangkit, bersaing dan
meraih keunggulan dalam ekonomi global.
Pada tulisan ini akan membahas dampak perdagangan internasional terhadap perdagangan batik sebagai
salah satu komoditas dalam industri kreatif, dengan pendekatan kritik dan fenomenologi yang melihat fenomena
perdagangan internasional dan mengkaitkan batik sebagai komoditi perdagangan. Manfaat dari kajian ini adalah
untuk memberi wawasan pada segenap penggiat di industri batik pada khususnya dan di industri kreatif pada
umumnya, untuk terus mempertahankan kualitas agar dapat bersaing di dunia perdagangan internasional.
Kata kunci: Batik, Industri Kreatif, Perdagangan Internasional, MEA

THE IMPACT OF INTERNATIONAL TRADE ON INDONESIAN


BATIK TRADING
Abstract
Indonesia is faced with the problem of international trade which began with the ASEAN Free Trade Area
(AFTA) at the ASEAN Summit in Singapore in 1992. Since that time, international trade agreement that involving
Indonesia continues to grow. Furthermore, there is an ASEAN-China Free Trade Area agreement (ACFTA) which
was confirmed at the 10th ASEAN Summit in 2004, then furthermore developed into the ASEAN Economic
Community (AEC) which came into force in 2015. This international trade agreements caused problems to
Indonesia, which is economically disadvantaged. Indonesia has to rely on creative industries that focus on creating
goods and services by relying on individual expertise, talent and creativity as an intellectual property. This sector
is trusted by the government as a hope for the Indonesian economy to rise, compete and gain excellence in the
global economy.

This paper will discuss the impact of international trade on batik as a commodity in the creative industry,
with a critic and phenomenology approach that looks at the phenomenon of batik as the trading commodity in
international trade agreement. The benefit of this study is to provide insights to all activists in the batik industry
in particular and in the creative industry in general, to continue to maintain quality in order to compete in the world
of international trade.

Keyword: Batik, Creative Industry, International Trade, AEC

26
SINGULARITY: Jurnal Desain dan Industri Kreatif http://trilogi.ac.id/journal/ks/index.php/JSING
Vol. 1 No. 1, September 2020
Halaman 26-32

PENDAHULAN China, di mana terdapat kesepakatan dalam


pertukaran barang dan jasa antar negara ASEAN
Indonesia dihadapkan dengan era baru dalam
dan China untuk saling bebas masuk dengan
perdagangan bebas, yakni era Masyarakat
pembebasan tarif hingga nol persen (Ariefana :
Ekonomi ASEAN (MEA) sejak tanggal 31
2016).
Desember 2015. Hal ini menjadi babak baru
bagaimana Indonesia bersama-sama dengan Kesepakatan perdagangan internasional ini
negara-negara lain di ASEAN menjadi satu menimbulkan permasalahan, khususnya untuk
kekuatan pasar tunggal dalam perdagangan Indonesia. Menurut A Prasetyantoko (pengamat
barang, jasa, modal, dan investasi dengan tetap ekonomi), bahwa jika Indonesia menolak
mengacu pada sejumlah kesepakatan yang pelaksanaan Perjanjian Perdagangan Bebas
melingkupinya. MEA dibentuk untuk ASEAN- China (ACFTA), ekspor Indonesia akan
mewujudkan integrasi ekonomi ASEAN, yakni dikenai tarif standar oleh Tiongkok, yakni 10-20
tercapainya wilayah ASEAN yang aman dengan persen. Sedangkan Apabila Indonesia mundur
tingkat dinamika pembangunan yang lebih tinggi dari kesepakatan itu, produk Indonesia akan
dan terintegrasi, pengentasan masyarakat ASEAN semakin tidak kompetitif dan merugi jika
dari kemiskinan, serta pertumbuhan ekonomi dipasarkan di kawasan ASEAN dan Tiongkok.
untuk mencapai kemakmuran yang merata dan Hal ini memunculkan pertanyaan: Siapkah
berkelanjutan. Untuk itu MEA memiliki empat Indonesia menghadapi perdagangan
karakterisik utama, yaitu pasar tunggal dan basis Internasional? Mengingat kemampuan daya saing
produksi, kawasan ekonomi yang berdaya saing dengan negara-negara ASEAN lain, Indonesia
tinggi, dan kawasan dengan pembangunan tergolong rendah. Sehingga harus ada usaha untuk
ekonomi yang merata, serta kawasan yang meningkatkan daya saing walaupun memerlukan
terintegrasi penuh dengan ekonomi global waktu yang lama. Dan menurut Prasetyantoko
(Kementerian Perdagangan : 2005). (dalam Ariefana, 2016), yang paling mudah
dilakukan adalah memanfaatkan pasar domestik
Dalam upaya mengintegrasikan ekonomi ASEAN
untuk mencegah atau melindunginya diserbu oleh
dengan ekonomi global, ASEAN telah melakukan
pemain asing di kelompok ASEAN maupun
serangkaian kerja sama dengan beberapa mitra
Tiongkok.
wicara dalam bentuk kerja sama FTA+1, salah
satunya adalah kerjasama ASEAN-China FTA. Dibandingkan dengan negara lainnya Indonesia
Kerja sama ini merupakan bentuk kelanjutan dari memang tertinggal di bidang ekonomi, tetapi
Kesepakatan atas ASEAN-China FTA (ACFTA) tidak dengan ide-ide kreatifnya. Sehingga
yang ditandatangani bersama oleh para menteri Indonesia perlu memajukan ekonomi kreatif yang
dalam ASEAN Summit ke-10 di Vientiane Laos berkonsep “ide menjadi kekuatan utama,
PDR (Laos) pada tahun 2004 dan mulai menggantikan barang modal yang ada dalam
diberlakukan pada 1 Januari 2010 silam. 5 negara ekonomi industrial”. Hal tersebut sejalan dengan
ASEAN yang menandatanganinya antara lain tuntutan masa kini, yang memaksa setiap orang
Indonesia, Singapura, Malaysia, Brunei, dan maupun badan usaha untuk kreatif, karena jika
Thailand, sedangkan 5 negara ASEAN lainnya tidak kreatif dalam menginovasi sesuatu akibat
Filipina, Vietnam, Laos, Myanmar dan Kamboja yang sudah jelas ditimbulkannya adalah hilang
menyusul pada tahun 2015 dan berkembang dari persaingan. Ekonomi kreatif sendiri berfokus
menjadi MEA. ASEAN-China Free Trade Area pada penciptaan barang dan jasa dengan
(ACFTA) adalah suatu kawasan perdagangan mengandalkan keahlian, bakat dan kreatifitas
bebas di antara anggota-anggota ASEAN dan individu sebagai sebuah kekayaan intelektual.

27
SINGULARITY: Jurnal Desain dan Industri Kreatif http://trilogi.ac.id/journal/ks/index.php/JSING
Vol. 1 No. 1, September 2020
Halaman 26-32

Sektor ini dipercaya pemerintah sebagai harapan dan simbolis yang terkandung dalam suatu kain
bagi ekonomi Indonesia untuk bangkit, bersaing batik, dapat ditunjukkan melalui karakteristik
dan meraih keunggulan dalam ekonomi global. ragam hias yang ada didalamnya.
Batik merupakan bagian dari kerajinan Indonesia, Perkembangan batik dapat dibagi menjadi 4
yang menjadi satu dari 10 produk potensial dalam zaman, yaitu :
menghadapi MEA, yang telah menyumbangkan
1. Zaman Batik Semen
pemasukan dari ekspor sebesar USD 156 juta atau
setara dengan Rp. 2,1 triliun, pada tahun 2015 dan Pada zaman ini, batik merupakan kerajinan
naik 10 % dari tahun 2014. Pada tahun 2010 nilai rakyat. Para perajin batik adalah masyarakat
ekspor batik hanya berkisar USD 22 juta (Ananda, pedesaan yang bermata pencaharian sebagai
2017:3). Batik diakui sebagai warisan budaya petani, dan menjadi kegiatan sambilan yang
Indonesia oleh The United Nations Educational, dilakukan di sela-sela masa bercocok tanam.
Scientific and Cultural Organization (UNESCO) Petani merupakan insan yang memiliki kedekatan
pada 2 Oktober 2009. Pengakuan dari UNESCO hubungan dengan alam, sehingga membatik
mengenai batik sebagai warisan budaya merupakan salah satu kegiatan yang digunakan
Indonesia, menjadikan momentum kesepakatan untuk mengungkapkan rasa syukur atas anugerah
perdagangan internasional MEA dan ACFTA Tuhan Yang Maha Esa.
sebagai langkah strategis untuk mempromosikan 2. Zaman Batik Klasik / Batik
batik hingga dunia internasional. Simbol
Berangkat dari permasalahan tersebut, maka Kerajinan batik yang berkembang di pedesaan
tulisan ini mengkaji dampak perdagangan menarik perhatian kalangan kraton yang tertarik
internasional terhadap batik dengan pendekatan akan ragam hias batik, sehingga menggeser fungsi
kritik dan fenomenologi yang melihat fenomena kain batik yang pada awalnya merupakan pakaian
perdagangan internasional dan mengkaitkan batik sehari-hari rakyat menjadi milik keluarga raja dan
sebagai komoditi perdagangan. kalangan bangsawan kraton. Akibatnya adalah
hilangnya kebebasan rakyat untuk memakai batik,
sehingga beralih pada penggunaan lurik sebagai
TINJAUAN PUSTAKA
bahan sandang.
Sejarah Batik Di Indonesia
Batik kraton mengikuti pakem-pakem tradisi
Menurut Santosa Doellah (2002:10), batik adalah dalam pembuatan maupun ragam hiasnya,
wastra tradisional Jawa yang dibuat dengan sehingga tidak dapat dipandang sebagai komoditi
melalui perintangan warna menggunakan malam, perdagangan, karena batik kraton bukan
serta memiliki motif khas yang mengandung merupakan produk kapitalisme yang bersifat
makna tertentu. Sehingga suatu kain disebut batik produksi massal.
tidak hanya dari motifnya saja, tetapi harus
3. Zaman Batik Sandang
melewati perintangan malam terlebih dahulu.
Batik yang kita kenal masa sekarang pada Pada masa ini, batik tulis yang semula digunakan
awalnya merupakan bentuk kerajinan rakyat, sebagai jarit atau kain panjang yang selama
yang kemudian medapatkan legitimasi dari beberapa abad dikenakan oleh keluarga raja dan
kalangan kraton, dan pada akhirnya kembali lagi kerabat kraton saja, tetapi mulai dikenakan oleh
menjadi milik rakyat. Hal ini merupakan kalangan awam secara luas akibat peningkatan
gambaran nyata dari sebuah proses panjang imbal ekonomi dan tenaga kerja di Surakarta
mengenai sebuah karya seni. Nilai estetis, historis berkat pengaruh kaum sudagar, dari daerah
28
SINGULARITY: Jurnal Desain dan Industri Kreatif http://trilogi.ac.id/journal/ks/index.php/JSING
Vol. 1 No. 1, September 2020
Halaman 26-32

Kauman dan Laweyan, yang menyebarkan pola- murah, tetapi akhirnya ditinggalkan juga karena
pola batik pengaruh Kraton Kasunanan Surakarta. warna kainnya tidak wantek atau luntur
Peraturan mengenai batik larangan oleh Kraton (Dharsono, 2007:70).
Kasunanan Surakarta tidak menyurutkan gerakan
Tahun 1970-an fenomena batik printing muncul
batik sandang dan hal ini berdampak pada
kembali ketika era orde baru menjalankan
munculnya berbagai batik dengan ragam hias baru
modernisasi di segala bidang, dengan teknologi
yang terlepas dari pakem-pakem kraton dan lebih
mesin cetak yang lebih canggih dari abad 19. Hal
dinamis.
ini menimbulkan fenomena persaingan yang tidak
Permintaan masyarakat terhadap kain batik yang sehat dengan batik. Pada saat itu, batik tulis
relatif terjangkau harganya semakin besar, maupun batik cap sempat tersingkirkan dari pasar
sehingga produksi kain batik dimaksimalkan dalam negeri yang dibanjiri batik printing.
dengan ditemukannya alat cap batik atau canthing Ketidaksehatan persaingan tersebut diperlihatkan
cap pada tahun 1850. Sebagaimana diperlihatkan dengan cara melabeli batik printing dengan tulisan
pada awal abad 19 M, kerajinan batik masa ini “batik tulis halus”, sehingga mengelabui
telah memberikan pemasukan bagi pemerintahan konsumen yang tidak mengerti untuk lebih
sebagai penghidupan ekonomi pertanian mereka memilihnya karena harga yang murah juga.
hingga selama dua ratus tahun berikutnya, batik Pemerintah pada saat itu memberi solusi kepada
diproduksi sebagai barang dagangan yang dapat pelaku industri di subsektor kerajinan batik untuk
diekspor dan diperdagangkan di dalam negeri melabeli produk sesuai dengan kualitasnya.
(Boow, 1988:58). Tetapi kenyataan yang ada adalah sampai saat ini
masih banyak batik printing yang dilabeli “batik
1. Zaman Batik Tejo
tulis halus” (Rizali, 2006:63).
Batik cap mengalami masa kejayaannya di awal
Batik yang pada awalnya merupakan simbol
abad ke-20, karena pada era tersebut permintaan
kekuasaan sekaligus simbol religius bagi
akan batik tengah berada pada puncaknya. Pada
kalangan kraton berkembang menjadi komoditi
masa berikutnya, batik cap juga mengalami nasib
yang diperdagangkan untuk masyarakat luas,
yang sama dengan batik tulis. Faktor utama yang
bahkan sudah global cakupannya. Puncaknya
menyebabkan keterpurukan batik cap adalah
pada pertengahan tahun 2000-an, terjadi
tingginya permintaan akan sandang dan produksi
fenomena tren batik di Indonesia, sebagai
batik dengan cap tidak dapat memenuhi target
tanggapan masyarakat atas klaim Malaysia atas
tersebut. Masuknya teknologi printing yang
batik yang sudah jelas merupakan warisan budaya
mempermudah proses pengolahan bahan sandang
Jawa. Namun makna dari pemakaian batik oleh
dan mampu mempersingkat waktu produksi,
masyarakat saat ini berbeda dengan makna
sehingga zaman batik sandang berganti menjadi
pemakaian batik di masa lalu, di mana dalam
zaman batik tejo.
setiap helai kainnya terdapat berbagai ragam hias
Di Indonesia sendiri batik printing sudah ada dengan maknanya yang mengandung
sejak masa pendudukan Inggris pada abad 19. pengharapan tertentu, dan dikerjakan dengan
Inggris dengan semangat revolusi industrinya tangan oleh para pembatik. Hal ini memunculkan
berhasil membanjiri pasar Indonesia dengan batik ironi, karena ketika kerajinan batik keluar dari
printing bermotif sama dengan batik yang lingkup kraton, masyarakat luas memakai batik
diberikan Sultan Kerajaan Mataram sebagai dengan ragam hias yang makna-makna tertentu
hadiah kepada Raffles. Pada awal kemunculannya tanpa mengetahui maknanya, membedakannya
batik printing diterima dengan baik oleh tekstil bermotif batik (batik printing) dan bahkan
masyarakat Indonesia karena harganya yang
29
SINGULARITY: Jurnal Desain dan Industri Kreatif http://trilogi.ac.id/journal/ks/index.php/JSING
Vol. 1 No. 1, September 2020
Halaman 26-32

dapat membedakannya dengan ragam tekstil tidak sadar walaupun mereka tidak
tradisi lainnya. menginginkannya. Hal tersebut dikarenakan
banyaknya pedagang maupun pengusaha batik
yang mengganti label batik Tiongkok menjadi
HASIL DAN PEMBAHASAN label batik buatan Indonesia, baik label “batik
Dampak Perdagangan Internasional pada tulis halus”, “batik cap”, maupun “batik printing”
Perdagangan Batik (Wahyudi, artikel online). Hal ini jelas merugikan
perdagangan batik produksi Indonesia sendiri,
Dampak perdagangan internasional pada baik secara material maupun moral.
perdagangan batik Indonesia pada kajian ini akan
dilihat dari berbagai aspek, mulai dari ancaman Pemberian bekal untuk membedakan antara batik
yang ditimbulkan, kebijakan pemerintah dalam tulis, cap dan printing kepada konsumen batik
menghadapi ancaman tersebut, hingga manfaat memang menjadi solusi yang relevan atas
yang dapat diperoleh. permasalahan ini. Batik tulis dan batik cap yang
melewati pemalaman pada pewarna memiliki ciri
Sejak diberlakukannya kesepakatan perdagangan bagian permukaan dan belakang memiliki warna
internasional, khususnya ACFTA pada tahun yang sama karena pewarnaan dilakukan dengan
2010, ‘batik Tiongkok’ otomatis dapat memasuki cara pencelupan pada bahan pewarna. Perbedaan
Indonesia tanpa tarif masuk, sehingga harga yang batik tulis dan batik cap sendiri adalah detil pada
dibandrolnya pun menjadi lebih murah ragam hiasnya. Ragam hias pada batik tulis tidak
dibandingkan dengan sebelumnya. Hal ini ada pengulangan yang jelas, sehingga gambar
dikhawatirkan akan menjatuhkan industri nampak bisa lebih luwes dengan ukuran garis
subsektor batik seperti yang telah terjadi yang relatif lebih detil bila dibandingkan dengan
sebelumnya, padahal batik Indonesia sedang batik cap yang selalu ada pengulangan yang jelas,
dalam masa kebangkitannya. Pada pembahasan sehingga gambar nampak berulang dengan bentuk
diberikan beberapa solusi perlindungan batik yang sama dengan ukuran garis relatif lebih besar
Indonesia untuk mengatasi permasalahan ini, (Kudiya, 2008). Sedangkan pada batik printing
antara lain: yang dicetak, warnanya hanya ‘menempel’ pada
• Melabeli produk batik Tiongkok untuk bagian permukaan kain saja dan tidak tembus ke
membedakan dengan batik tulis, batik cap dan bagian belakang kain, sehingga bagian belakang
batik printing Indonesia. Labelisasi tersebut akan biasanya berwarna lebih muda dari pada
dilakukan langsung di pelabuhan begitu tekstil permukaannya.
impor tersebut datang, dan diawasi oleh
Direktorat Jenderal Industri Kecil dan Menengah
(IKM) Kementerian Perindustrian.
• Memberikan pembekalan terhadap konsumen
agar lebih jeli membedakan batik tulis, cap dan
printing. Walaupun konsumen dalam negeri
mulai jeli membedakannya, bagi konsumen
internasional hal tersebut masih awam.
Namun pada kenyataannya, labelisasi tersebut
tidak berpengaruh banyak pada kesadaran
masyarakat untuk tidak membelinya. Banyak
masyarakat yang membeli batik Tiongkok secara
30
SINGULARITY: Jurnal Desain dan Industri Kreatif http://trilogi.ac.id/journal/ks/index.php/JSING
Vol. 1 No. 1, September 2020
Halaman 26-32

sehingga dapat menghasilkan banyak


produk massal dengan harga yang murah
pula.
2. Sejak diberlakukannya kesepakatan
perdagangan internasional, khususnya
ACFTA pada tahun 2010, ‘batik
Tiongkok’ otomatis dapat memasuki
Gambar 2. Perbedaan antara batik tulis (atas), batik Indonesia tanpa tarif masuk, sehingga
cap (kiri bawah) dengan batik printing (kanan bawah) harga yang dibandrolnya pun menjadi
Sumber: http://netsains.com dan
http://surakarta.olx.co.id lebih murah dibandingkan dengan
sebelumnya.
Sejak terjadi trend batik, menurut pembahasan,
Namun kerjasama ACFTA ini memberikan
masyarakat Indonesia semakin jeli membedakan
manfaat bagi Indonesia yakni:
batik tulis, cap dan printing, serta mulai tumbuh
kesadaran untuk menjaga kelangsungan hidup 1. Meningkatnya nilai ekspor batik
batik di negaranya sendiri. Sedangkan, orang Indonesia ke negara ASEAN maupun
asing masih awam terhadap perbedaan tersebut. ke negara China. Untuk itu Indonesia
Padahal, menurut pengalaman pribadi, orang harus terus dapat memanfaatkan
asing justru lebih memahami perbedaan antara
kerjasama ini agar dapat memperoleh
batik tulis, cap dan printing. Hal tersebut
keuntungan yang maksimal.
disebabkan kemauan orang asing yang biasanya
selalu ingin mengetahui apa yang tidak diketahui 2. Industri batik pun menjadi sadar akan
sebelumnya. Sehingga batik, sebagai salah satu kekuatan yang dimiliki oleh produk
obyek yang menarik minat banyak orang asing, batik Indonesia yaitu sebagai berikut:
dipelajari oleh mereka. Bahkan dari orang-orang
asing inilah batik banyak diapresiasi. Mereka  Batik Indonesia adalah batik asli yang
memiliki anggapan, jika ingin membeli dan/atau proses pembuatannya melewati
mempelajari batik, Indonesia tempatnya. perintangan dengan malam dan
Sehingga pelaku industri subsektor batik dalam pencelupan ke bahan pewarna, berbeda
negeri tidak perlu takut dengan kehadiran batik dengan batik Tiongkok yang warna
Tiongkok, karena sebenarnya batik yang motifnya hanya menempel di permukaan
dihasilkan oleh Indonesia mutunya jauh lebih kain.
tinggi jika dibandingkan dengannya.  Selain itu, konsumen batik dari dalam dan
luar negeri sudah banyak yang dapat
membedakan antara batik tulis dan cap
KESIMPULAN dengan batik printing, serta mempercayai
Pemberlakuan kesepakatan perdagangan kualitas yang dimiliki batik Indonesia.
internasional seperti MEA dan ACFTA Sebelum batik Tiongkok masuk ke Indonesia,
menimbulkan ancaman terhadap perdagangan Indonesia sudah 2 kali mengalami ‘serangan’
batik Indonesia. Berikut ini adalah ancaman yang produk batik printing dari luar maupun dalam
dirasakan oleh industri batik Indonesia: negeri. Walaupun begitu kerajinan batik di
1. Tiongkok merupakan negara yang besar Indonesia masih bertahan hingga saat ini, karena
dengan industri dan tenaga kerja murah, kualitas batik tulis dan cap yang terbukti lebih
31
SINGULARITY: Jurnal Desain dan Industri Kreatif http://trilogi.ac.id/journal/ks/index.php/JSING
Vol. 1 No. 1, September 2020
Halaman 26-32

baik. Hal ini dibuktikan dengan pertumbuhan 2018). Salah satu faktor yang memicu
industri tekstil di Indonesia semakin meningkat pertumbuhan industri ini adalah adanya kontribusi
setiap tahunnya. Hal ini terlihat dari pertumbuhan dari Industri Kecil dan Menengah (IKM),
yang terlihat secara signifikan pada tahun 2017, khususnya industri batik rumahan.
industri tekstil dalam negeri mencatatkan
pertumbuhan ekspor sebesar US$12,4 miliar, atau
tumbuh 6% secara year on year dari 2016 yang
mencapai US$11,8 miliar (Media Indonesia,

DAFTAR ACUAN

Anonim. 2010. Mundur dari ACFTA? Indonesia Doellah, Santoso. 2002. Batik Pengaruh Zaman
Rugi. Artikel Online. dan Lingkungan. Surakarta: Danar Hadi.
https://tekno.kompas.com/read/2010/03/18/075 Kementrian Perdagangan. 2005. MEA, Peluang
42266/mundur.dari.acfta.indonesia.rugi. dan Tantangan. INTRA insight edisi VIII: 22-
(diakses tanggal 30 Mei 2018) 25.
Ariefana, Pebriansyah. 2016. A. Prasetyantoko: Kudiya, Komarudin. 2008. Perbedaan Batik Tulis
Menelisik Sektor Unggulan Indonesia di Era dan Batik Cap. Artikel Online.
MEA. Artikel Online. www.netsains.com (diakses tanggal 23 Mei
https://www.suara.com/wawancara/2016/02/01 2010).
/070000/a-prasetyantoko-menelisik-sektor- Rizali, Nanang. 2006. Tinjauan Desain Tekstil.
unggulan-indonesia-di-era-mea (diakses Surakarta: UNS
tanggal 30 Mei 2018) Saputra, Erandhi Hutomo. 2018. Prospek Industri
Ananda, Molia dan Pazli. 2017. Pengaruh Tekstil masih Sangat Cerah. Artikel Online.
Kerjasama Asean China Free Trade Area http://mediaindonesia.com/read/detail/151724-
(ACFTA) Terhadap Daya Saing Batik prospek-industri-tekstil-masih-sangat-cerah,
Indonesia Tahun 2010-2016. Jurnal Online diakses pada 23 Agustus 2018, pk. 15.30
Mahasiswa FISIP Unri Vol.4 No. 2. Wahyudi. Dampak CAFTA, Pengusaha Tega
Boow, Justine. 1988. Simbol and Status in Mengubah Label Jadi Produk Indonesia.
Javanese Batik. Nedlands: Asian Studies Artikel Online. www.suarakarya-online.com
Centre, University of Western Australia. (diakses tanggal 22Mei 2010)
Dharsono. 2007. Budaya Nusantara. Bandung:
Rekayasa Sains

32

Anda mungkin juga menyukai