Anda di halaman 1dari 33

KESIAPAN INDUSTRI MANUFAKTUR INDONESIA DALAM MENYONGSONG

TERBENTUKNYA ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC) 2015

Venti Eka Satya*)


I. PENDAHULUAN
Visi pembangunan Industri Nasional Indonesia adalah menjadi Negara
Industri Tangguh pada tahun 2025, dengan visi antara pada tahun 2020
sebagai Negara Industri Maju Baru. 1 Perkembangan sektor industri Indonesia
tidak dapat dilepaskan dari pengaruh ekonomi regional atau kawasan. Sebagai
bagian dari ASEAN, perkembangan industri Indonesia haruslah mampu
menyesuaikan diri dan menjawab tantangan regional. Secara eksternal,
ASEAN menghadapi lingkungan luar yang juga bergerak cepat dengan
munculnya kekuatan-kekuatan baru di Asia Pasifik seperti China dan India
yang memerlukan ASEAN yang lebih solid dan kohesif. Pertumbuhan ekonomi
yang cepat dari negara-negara di kawasan Asia Timur juga menawarkan
peluang-peluang yang besar di bidang perdagangan, investasi, turisme dan
kesempatan kerja. Peluang itu hanya akan dapat diraih bila ASEAN memiliki
daya saing yang tinggi.
Faktor eksternal lainnya yang mendorong transformasi ASEAN adalah
globalisasi, yang secara kontradiktif memaksa negara-negara untuk
melakukan bargaining secara kolektif dan tidak sendiri-sendiri. Bahkan posisi
tawar kolektif 10 negara itu pun belum cukup. Disinilah makna peran penting
ASEAN sebagai interlocutor dalam mendorong proses integrasi regional yang
lebih luas, khususnya di Asia Timur.2
Saat ini negara-negara anggota ASEAN sadar bahwa proses integrasi
ASEAN sangat dibutuhkan guna mencapai stabilitas dan daya saing yang kuat
dengan lingkungan eksternalnya yaitu dengan cara membuka akses bersama
terhadap keamanan, ekonomi, maupun sosial budaya. Komunitas Ekonomi

1
Penulis adalah Peneliti Ekonomi dan Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian
Pelayanan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI.
?
http://www.kemenperin.go.id/artikel/19/Kebijakan-Industri-Nasional ,
diunduh tanggal 15 April 2014.
2
Yanyan Mochamad Yani, “Sosialisasi ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC)
Blueprint”, Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, Disampaikan pada acara
Seminar Nasional Bandung, 20 Nopember 2008.

1
ASEAN atau ASEAN Economic Community (AEC) adalah salah satu dari tiga
pilar ASEAN Community. Indonesia telah ditetapkan sebagai koordinator
sektor otomotif, salah satu dari 12 sektor prioritas dalam AEC. Peran ini
merupakan peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan daya saingnya secara
regional, sekaligus merupakan tantangan untuk menetapkan langkah-langkah
strategis menuju pembentukan AEC pada 2015. Kurang dari 12 bulan lagi,
Asean Economic Community (AEC) akan diimplementasikan. Untuk menjawab
tantangan tersebut Indonesia harus memiliki strategi industri yang mampu
mengantarkan Indonesia pada visi pembangunan industri nasional serta
meningkatkan daya saing produk-produk ASEAN dalam persaingan regional
maupun global.
Secara bertahap ASEAN yang beranggotakan Indonesia, Malaysia,
Singapura, Philipina, Thailand, Vietnam, Burma, Laos dan Kamboja
memastikan diri masuk dalam babak baru percaturan geoekonomi dan
geopolitik global. Salah satu keputusan strategis tersebut yaitu pada KTT
ASEAN ke-14 di Thailand Desember 2008, semua negara-negara ASEAN telah
meratifikasi Piagam ASEAN (ASEAN Charter) dan sepakat Piagam ASEAN
memasuki tahap entry to force, sehingga tiga pilar ASEAN Community yang
meliputi ASEAN Economic Community, ASEAN Security Community, dan
ASEAN Socio-Cultural Community akan segera diimplementasikan dan
ditargetkan terintegrasi penuh pada tahun 2020, dipercepat menjadi tahun
2015 sesuai hasil KTT di Cebu pada tahun 2007. Untuk menjalin keakraban
antara negara ASEAN, diperlukan pilar ketiga yakni pilar sosial budaya. Ini
melengkapi pilar ekonomi dan pilar politik kemanan yang sudah berjalan. Hal
ini dikarenakan tiap negara ASEAN memiliki kesamaan kebudayaan yang
dapat merekatkan negara anggota ASEAN.3
Pembentukan ASEAN Community tersebut bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan seluruh anggota ASEAN sehingga mampu
menghadapi persaingan pada lingkup regional dan global. Hal ini merupakan
suatu kemajuan yang sangat signifikan sebagai respons terhadap care of
human security yang mencakup keamanan ekonomi, keamanan pangan,
keamanan kesehatan, keamanan lingkungan, keamanan individu, keamanan
3
http://disnakertransduk.jatimprov.go.id/pdf/berita-aec.pdf , diunduh 16 Juni 2014.

2
komunitas, dan keamanan politik. Salah satu keputusan menuju ASEAN
Community adalah ditandatanganinya CAFTA (China ASEAN Free Trade Area)
pada tahun 2009 dan mulai diimplemetasikan pada Januari 2010. Hal ini
dilatar belakangi oleh kebangkitan dan pergerakan ekonomi China yang
melejit satu dekade terakhir, sehingga menjadi peluang untuk meningkatkan
jenis dan volume kemitraan kedua belah pihak. Banyak faktor yang
menyebabkan CAFTA diproyeksi berjalan secara akseleratif, diantaranya
kebudayaan cenderung sama (bangsa timur) sehingga kebutuhan (pasar)
relatif tak berbeda dan letak geografis yang memungkinkan proses mobilisasi
suplai dan demand berlangsung efisien.4
Ketika AEC diimplementasikan ASEAN akan menjadi pasar tunggal dan
basis produksi tunggal di mana arus barang, jasa, keuangan, investasi, tenaga
kerja terampil, dan arus modal intrakawasan akan bergerak semakin bebas
tanpa hambatan. Oleh karena itu, saat ini semua anggota Asean yang
berjumlah 10 negara, sedang sibuk mempersiapkan diri menghadapi
implementasi AEC pada 2015. Tiap negara berupaya meningkatkan daya saing
agar dapat menikmati manfaat dari penyatuan ekonomi kawasan yang
memiliki populasi penduduk sekitar 600 juta jiwa ini.5
Jumlah penduduk Indonesia merupakan yang terbesar dia Asia
Tenggara hal ini merupakan pangsa pasar yang sangat potensial, terutama
untuk produk-produk industri. Hal ini bisa menjadi potensi dan bisa pula
ancaman bagi Indonesia. Akan menjadi potensi bila produk-produk industri
dalam negeri mampu menguasi pasar. Akan tetapi jika produk Indonesai tidak
mampu bersaing baik dari segi kualitas, kuantitas maupun harga, maka kita
harus siap untuk hanya menjadi penonton di negara sendiri. Untuk itu
Indonesia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi era integrasi ASEAN
yang hanya tinggal hitungan bulan ini. Tidak hanya dalam hal perdagangan
barang, pasar tenaga kerja Indonesia juga akan mengalami tantangan yang
cukup berat dengan masuknya tenaga kerja dari negara-negara ASEAN.
Investor-investor asing juga tidak dapat dibendung lagi untuk memasuki
dunia usaha di Indonesia. Semua ini bisa jadi peluang dan tantangan

4
Ibid
5
Mengingatkan Kesiapan Menghadapi AEC 2015, Bisnis Indonesia, 19 Maret 2014

3
tergantung dari bagaimana Indonesia mempersiapkan diri menyambut
implementasi integrasi regional ini.
ASEAN dapat dikatakan sebagai Greater Indonesia, kekuatan dari
ASEAN Community sebenarnya tergantung pada Indonesia sebagai negara
terbesar di ASEAN. Proporsi luas wilayah Indonesia mencapai 43% dari
seluruh wilayah ASEAN. Populasi Indonesia juga yang terbesar yaitu sebesar
40% dari populasi seluruh penduduk ASEAN. Jika dibandingkan dengan
seluruh anggota ASEAN, proporsi GDP Indonesia adalah 38%. Dari sisi
fundamental ekonomi, Indonesia juga merupakan negara yang paling stabil
dan kedepannya diproyeksikan akan terus tumbuh. Bahkan Mckinsey Global
Institute memproyeksikan perekonomian Indonesia berada pada peringkat
ke-7 dunia pada tahun 2030. 6 AEC bertujuan untuk memperkecil kesenjangan
antara negara-negara ASEAN dalam hal pertumbuhan perekonomian.
Konsekuensi dari integrasi regional ini adalah berkurangnya kedaulatan
negara, terutama bagi Indonesia sebagai negara terbesar dengan kawasan
terluas di ASEAN, tentunya harus siap untuk melepaskan sebagian dari
kedaulatannya untuk kepentingan ASEAN.
Mengingat pentingnya persiapan menuju AEC dan sektor industri
merupakan salah satu sektor yang memegang peranan penting dalam
perekonomian negara, maka penulis tertarik untuk menganalisa mengenai
kesiapan Indonesia dalam menyambut diterapkannya AEC. Indonesia dengan
jumlah penduduk yang besar merupakan pasar yang sangat potensial bagi
produk-produk industri. Sumber daya alam yang dimiliki juga sangat
memadai untuk mendukung berkembangnya sektor industri dengan baik.
Akan tetapi semua kekayaan yang dimiliki tersebut tidak akan memberikan
hasil yang optimal bila tidak dikelola dengan baik.
Sampai saat ini belum terlihat adanya perubahan yang signifikan baik
pada fasilitas fisik maupun kebijakan yang ada dalam menyongsong
implementasi ASEAN Community yang sudah semakin dekat. Sehingga
menarik untuk menganalisa mengenai bagaimana kondisi perindustrian
Indonesia saat ini dan persiapan-persiapan yang dilakukan menuju AEC. Serta
6
Abdul Rachman, Peluang dan Tantangan Indonesia Dalam Mendorong ASEAN
Sebagai Kekuatan Ekonomi Baru Asia, Disampaikan dalam acara PATA Hub City
Forum, Yogyakarta, 11 Oktober 2013.

4
bagaimana daya saing sektor industri ini jika dibandingkan dengan negara-
negara ASEAN lainnya.
Yang dimaksud dengan industri dalam tulisan ini adalah industri
manufaktur yang merupakan suatu kegiatan pengolahan bahan mentah atau
barang setengah jadi menjadi barang jadi yang memiliki nilai tambah untuk
mendapatkan keuntungan. Dalam artikel ini penulis melakukan studi pustaka
yang berkenaan dengan ASEAN Community dan perindustrian di Indonesia
dari berbagai buku, artikel, serta jurnal-jurnal ilmiah yang membahas
mengenai topik yang berkaitan dengan industri maupun ASEAN Community.
Selain itu juga dikumpulkan data-data sekunder yang berkaitan dengan AEC
serta sektor industridi Indonesia. Data-data dan informasi tersebut
selanjutnya dipaparkan dan dianalisa. Pada bab II dipaparkan tentang AEC
dan apa saja peluang dan tantangan yang akan dihadapi Indonesia dengan
diimplementasikannya AEC. Selanjutkanya dijelaskan mengenai kondisi
industry Indonesia saat ini. Dari sumber data dan informasi tersebut dianalisa
sejauh mana kesiapan industri Indonesia dalam menyambut masuknya
produk-produk asing ke Indonesia maupun untuk mampu menembus pasar di
negara-negara ASEAN. Pada bagian terakhir dijelaskan mengenai apa saja
langkah-langkas yang telah dibuat pemerintah dalam menyambut
implementasi AEC ini. Dengan demikian dapat disimpulkan apakah Indonesia
telah memiliki persiapan yang memadai dalam menyongsong AEC 2015.

II. ASEAN ECONOMIC COMMUNITY SEBAGAI SALAH SATU DARI TIGA


PILAR ASEAN COMMUNITY
Dinamika kawasan Asia Tenggara tidak dapat dilepaskan dari
eksistensi ASEAN. Saat ini tampaknya realitas di Asia Tenggara
membutuhkan sesuatu yang lebih dari ASEAN. Perubahan situasi keamanan
internasional–pergeseran dari paradigma ancaman tradisional (perang antar
negara, dsb) menjadi non-tradisional (terorisme, konflik internal, kerusakan
lingkungan, dll)–memberikan dampak riil terhadap situasi di kawasan

5
Asia Tenggara. Situasi-situasi terakhir menunjukkan tantangan-tantangan
yang menuntut suatu mekanisme regional yang lebih efektif dan demokratis.7
Di dalam naskah Deklarasi ASEAN tercantum maksud dan tujuan
asosiasi, yang meliputi kerja sama di bidang ekonomi, sosial, budaya,
teknis, pendidikan dan bidang lainnya, dan upaya mempromosikan
perdamaian dan stabilitas kawasan dengan menghormati rasa keadilan dan
aturan hukum serta kepatuhan terhadap prinsip-prinsip Piagam PBB.
Dengan visi bersama ASEAN sebagai gabungan bangsa-bangsa. Asia
Tenggara yang berpandangan terbuka, hidup dalam perdamaian, stabilitas
dan kemakmuran, terikat bersama dalam kemitraan dalam pembangunan
yang dinamis dan dalam komunitas masyarakat yang peduli, Pada Tahun
2003, para pemimpin ASEAN memutuskan bahwa sebuah “masyarakat
ASEAN” harus terbentuk pada tahun 2020. Para pemimpin menegaskan
komitmen kuat mereka pada tahun 2007 untuk mempercepat
pembentukan komunitas ASEAN menjadi tahun 2015.8
Percepatan pembentukan ASEAN Community terutama disebabkan
oleh kebangkitan China dan India (The Rising of Chindia) yang bisa menyaingi
kekuatan AS, khususnya dibidang ekonomi. Pembentukan komunitas regional
ini diharapkan dapat meningkatkan daya saing negara-negara ASEAN baik
secara regional maupun global mengingat kedekatan geografis ASEAN dengan
China dan India. Komunitas ASEAN terdiri dari tiga pilar, yaitu Masyarakat
Politik Keamanan ASEAN, Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Masyarakat
Sosial Budaya ASEAN, yang diharapkan dapat bekerja secara bersamaan
untuk membentuk Masyarakat ASEAN.

A. ASEAN Economic Community (AEC)


Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN disusun dan disahkan
pada tahun 2007. Cetak Biru AEC berfungsi sebagai rencana induk yang
koheren yang mengarahkan pembentukan AEC. Cetak Biru
7
Yanyan Mochamad Yani, Disampaikan pada acara Semina r Nasional “ Sosialisasi
ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC)Blueprint”, Departemen Luar Negeri
Republik Indonesia, Bandung, 20 Nopember 2008,hal . 1.
8
Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional, Kementerian
Perdagangan, Informasi Umum: Masyarakat Ekonomi ASEAN, ASEAN Community in a
Global Community of Nations, Jakarta 2011, hal 3.

6
mengidentifikasikan karakteristik dan elemen AEC dengan target dan
batas waktu yang jelas untuk pelaksanaan berbagai tindakan serta
fleksibilitas yang disepakati untuk mengakomodasi kepentingan seluruh
negara anggota ASEAN. Dengan mempertimbangkan pentingnya
perdagangan eksternal bagi ASEAN dan kebutuhan Masyarakat ASEAN
secara keseluruhan untuk tetap berpandangan terbuka. AEC memiliki 4
karakteristik utama, yaitu: (a) pasar tunggal dan basis produksi; (b) kawasan
ekonomi yang berdaya saing tinggi; (c) kawasan pengembangan ekonomi
yang merata; dan (d) kawasan yang secara penuh terintegrasi ke dalam
perekonomian global.9
Tujuan akhir dari pelaksanaan pilar pertama ASEAN Community 2015 (yakni
dimensi ekonomi) adalah semakin bebas dan terbukanya aliran barang, jasa,
investasi, tenaga kerja terampil dan aliran modal pada tahun 2015. Hal ini
sesuai dengan tujuan akhir integrasi ekonomi seperti yang dicanangkan
dalam ASEAN Vision 2020.
Dalam AEC Blueprint, yang merupakan pedoman bagi negara anggota
ASEAN dalam mewujudkan AEC 2015, tujuan tersebut akan diwujudkan
melalui pelaksanaan empat pilar karakteristik utama. Pertama, Pasar Tunggal
dan Berbasis Produksi Regional. Melalui realisasi AEC, diharapkan ASEAN
akan menjadi pasar tunggal dan basis produksi. Pembentukan ASEAN
sebagai suatu pasar tunggal dan basis produksi akan membuat ASEAN lebih
dinamis dan berdaya saing dengan mekanisme dan langkah-langkah baru
guna memperkuat pelaksanaan inisiatif-inisiatif ekonomi yang ada,
mempercepat integrasi kawasan di sektor-sektor prioritas, memfasilitasi
pergerakan para pelaku usaha, tenaga kerja terampil dan berbakat, dan
memperkuat mekanisme kelembagaan ASEAN. Pasar tunggal dan basis
produksi ASEAN terdiri dari lima elemen inti: (i) arus barang yang
bebas; (ii) arus jasa yang bebas; (iii) arus investasi yang bebas; (iv) arus
modal yang lebih bebas; dan (v) arus tenaga kerja terampil yang bebas.
Komponen dalam pasar tunggal dan basis produksi adalah termasuk 12
(dua belas) sektor-sektor prioritas integrasi, yakni produk berbasis agro,

9
ASEAN Economic Community Blueprint, Jakarta, ASEAN Secretariat, January 2008,
hal. 5-6.

7
transportasi udara, otomotif, e-ASEAN, elektronika, perikanan, pelayanan
kesehatan, produk berbasis karet, tekstil dan pakaian, pariwisata, produk
berbasis kayu dan logistik, ditambah makanan, pertanian dan kehutanan. 10
Kedua, Kawasan Berdaya-saing Tinggi. Hal tersebut diwujudkan
melalui kebijakan persaingan, perlindungan konsumen, HKI, pembangunan
infrastruktur, kerjasama energi, perpajakan, e-Commerce. Negara-negara
anggota ASEAN telah berkomitmen untuk memperkenalkan kebijakan dan
hukum persaingan usaha secara nasional untuk menjamin tingkat
kesetaraan dan menciptakan budaya persaingan usaha yang sehat untuk
meningkatkan kinerja ekonomi regional dalam jangka panjang.
Ketiga, Kawasan dengan Pembangunan Ekonomi yang Merata.
Terdapat dua inisiatif yang diarahkan untuk menjembatani jurang
pembangunan antar negara ASEAN yaitu: pengembangan UKM dan prakarsa
bagi integrasi ASEAN-Kamboja, Laos, Myanmar dan Viet Nam (CLMV). agar
semua anggota dapat bergerak maju secara serempak dan meningkatkan
daya saing ASEAN sebagai kawasan yang memberikan manfaat dari proses
integrasi kepada semua anggotanya.
Keempat, Integrasi dengan Perekonomian Dunia. ASEAN bergerak di
sebuah lingkungan yang makin terhubung dalam jejaring global yang
sangat terkait satu dengan yang lain, dengan pasar yang saling
bergantung dan industri yang mendunia. Pendekatan yang dilakukan ASEAN
dalam menghadapi proses integrasi global ini adalah: Pendekatan koheren
terhadap hubungan ekonomi eksternal serta partisipasi yang semakin
meningkat dalam jaringan suplai global.
B. Peluang dan Tantangan Indonesia dalam Menghadapi AEC
AEC merupakan suatu bagi negara-negara ASEAN untuk meningkatkan skala
ekonomi dan memperluas pasar produk masing-masing negara. Dengan
demikian diharapakan pertumbuhan ekonomi kawasan khususnya Indonesia
dapat meningkat. Dalam meraih peluang tersebut ada tantangan yang akan
dihadapi Indonesia, yakni tantangan untuk meningkatkan daya saing agar
mampu bersaing ditengah pasar regional yang semakin kompetitif.
10
Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional, Kementerian
Perdagangan, Informasi Umum: Masyarakat Ekonomi ASEAN, ASEAN Community in a
Global Community of Nations, Jakarta 2011, hal. 8.

8
Peluang yang diperoleh Indonesia dalam menghadapi AEC adalah: 11
1. Manfaat dari integrasi ekonomi.
Integrasi ekonomi akan membuka dan membentuk pasar yang lebih besar,
dorongan peningkatan efisiensi dan daya saing, serta pembukaan peluang
penyerapan tenaga kerja di kawasan ASEAN akan meningkatkan
kesejahteraan seluruh negara di kawasan.
2. Pasar Potensial Dunia.
AEC akan menjadikan ASEAN sebagai kawasan pasar terbesar ke-3 di dunia
yang didukung oleh jumlah penduduk terbesar ketiga setelah China dan India.
Jumlah penduduk Indonesia yang terbesar di ASEAN tentu saja merupakan
potensi yang sangat besar bagi Indonesia menjadi negara ekonomi yang
produktif dan dinamis yang dapat memimpin pasar ASEAN di masa depan.
3. Negara Pengeksport.
Negara-negara ASEAN juga dikenal sebagai negara pengekspor baik produk
berbasis sumber daya alam maupun produk elektronik. Konsentrasi
perdagangan keluar ASEAN akan dialihkan ke intra-ASEAN. Peluang untuk
meningkatkan ekspor ke intra-ASEAN masih harus ditingkatkan agar laju
peningkatan ekspor ke Intra-ASEAN berimbang dengan laju peningkatan
import dari Intra-ASEAN.
4. Negara Tujuan Investor.
Dengan AEC, maka akan terbuka peluang bagi perbaikan iklim investasi
nasional melalui pemanfaatan program kerja sama regional, terutama dalam
melancarkan program perbaikan infrastruktur domestic.
5. Daya Saing.
Kondisi pasar bebas ASEAN akan mendorong pihak produsen untuk
memproduksi dan mendistribusikan barang yang berkualitas secara efisien
agar mampu bersaing dengan produk-produk dari negara lain.
6. Sektor Jasa yang Terbuka.
Di bidang jasa, ASEAN juga memiliki kondisi yang memungkinkan agar
pengembangan sektor jasa dapat dibuka seluas-luasnya.
7. Aliran Modal.

11
Departemen Perdagangan Republik Indonesia, “Menuju ASEAN Community 2015”,
Jakarta, 2010, hal. 74-78.

9
AEC membuka peluang bagi Indonesia untuk dapat memanfaatkan aliran
modal masuk ke kawasan yang kemudian ditempatkan di aset berdenominasi
rupiah. Aliran tersebut tidak saja dalam bentuk porsi portofolio regional,
tetapi juga dalam bentuk PMA.
Adapun tantangan yang akan dihadapi Indonesia dengan adanya AEC adalah:
1. Laju Peningkatan Ekspor dan Impor.
Dengan AEC persaingan ekspor-impor Indonesia tidak hanya bersifat internal,
tetapi juga persaingan antar negara ASEAN dan negara luar ASEAN yaitu
China dan India. Bila Indonesia tidak mempersiapkan hal ini dengan baik
maka akan berdampak pada tingkat defisit neraca perdagangan yang semakin
tinggi.
2. Laju Inflasi.
Inflasi Indonesia masih tergolong tinggi dibanding negera ASEAN lainnya.
Stabilitas makro ekonomi Indonesia dan populasi yang tinggi memberikan
konsekuensi tersendiri terhadap tingkat inflasi.
3. Dampak Negatif Arus Modal yang Lebih Bebas.
Proses liberalisasi arus modal dapat mengakibatkan ketidakstabilan melalui
dampak langsung pada kemungkinan pembalikan arus modal yang tiba-tiba
maupun dampak tidak langsungnya pada peningkatan permintaan domestic
yang akhirnya berujung pada tekanan inflasi.
4. Kesamaan Produk.
Indonesia perlu meningkatkan nilai tambah produknya agar memiliki
karakteristik tersendiri dengan produk dari negara-negara ASEAN lainnya.
5. Daya Saing Sektor Prioritas Integrasi. Keunggulan komparatif di sektor
prioritas integrasi perlu ditingkatkan.
6. Daya Saing SDM.
Kemampuan daya saing SDM tenaga kerja Indonesia harus ditingkatkan agar
mampu memenuhi ketentuan dalam MRA yang telah disetujui.
7. Tingkat Perkembangan Ekonomi.
Tingkat perkembangan ekonomi negara-negara Asian masih beragam. Hal ini
menimbulkan kesenjangan yang cukup tinggi. Negara-negara ASEAN perlu
memecahakan masalah ini agar tidak menjadi hambatan dalam percepatan
menuju AEC.

10
8. Kepentingan Nasional.
Kepentingan kawasan apabila tidak sejalan dengan kepentingan nasional,
maka akan menjadi prioritas kedua. Hal ini akan berdampak pada
sulittercapainya pelaksanaan komitmen liberalisasi AEC. Setiap negara harus
menyadari perlunya mengedepankan kepentingan bersama demi terwujudnya
integrasi kawasan yang dicita-citakan.
9. Kedaulatan Negara.
Integrasi ASEAN membatasi kewenangan negara untuk menggunakan
kebijakan fiskal, keuangan dan moneter untuk mendorong kinerja ekonomi
dalam negeri. Hilangnya kedaulatan negara merupakan biaya atau
pengorbanan besar yang diberikan oleh masing-masing negara.

III. KONDISI PERINDUSTRIAN INDONESIA

Secara umum industri di Indonesia dapat diklasifikasikan atas: (a) Industri


primer/hulu yaitu mengolah output dari sektor pertambangan (bahan
mentah) menjadi bahan baku siap pakai untuk kebutuhan proses produksi
pada tahap selanjutnya; (b) Industri sekunder/manufaktur yang mencakup:
industri pembuat modal (mesin), barang setengah jadi dan alat produksi, dan
industri hilir yang memproduksi produk konsumsi.
Di kawasan Asia, angka pertumbuhan ekonomi Indonesia menempati
urutan kedua setelah Cina. Ekonomi di Negeri Tirai Bambu ini melesat hingga
7 persen pada 2012. Indonesia hanya akan disaingi oleh Cina dan India.
Pertumbuhan industri pengolahan non-minyak dan gas pada periode Januari-
September 2012 secara kumulatif lebih tinggi daripada pertumbuhan
ekonomi yang hanya sebesar 6,17 persen. Pertumbuhan industri mencapai 6,5
persen. Pertumbuhan tertinggi dicapai oleh industri pupuk, kimia, dan barang
dari karet, yakni sebesar 8,91 persen. Di posisi kedua, ada industri semen dan
barang galian yang tumbuh 8,7 persen. Berikutnya, industri minuman dan
tembakau yang naik sebesar 8,22 persen. Sedangkan industri alat angkut
mesin dan peralatan naik sekitar 7 persen. Sedangkan dari sisi investasi,
penanaman modal dalam negeri di sektor industri mencapai Rp 38,11 triliun

11
atau naik 40,1 persen. Dan investasi berupa penanaman modal asing
mencapai US$ 8,59 triliun.
Berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian, realisasi
pertumbuhan industri non-migas tahun 2013 mencapai 6,10 persen. Melihat
kinerja pada triwulain I/2014 yang tidak terlalu memuaskan, Kementerian
Perindustrian memperkirakan pertumbuhan tahun ini hanya mampu
menyentuh 6,15 persen. Pertumbuhan industri ditahun 2014 tidak setinggi
tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan kenaikan tarif listrik pelanggan
golongan industri yang cukup besar. Selain itu peralihan pemerintahan lama
ke yang baru yang terjadi ditahun ini juga turut menekan laju
pertumbuhannya.12
Sebagai negara industri maju baru, sektor industri Indonesia harus
mampu memenuhi beberapa kriteria dasar antara lain: 1) Memiliki peranan
dan kontribusi tinggi bagi perekonomian Nasional, 2) IKM memiliki
kemampuan yang seimbang dengan Industri Besar, 3) Memiliki struktur
industri yang kuat (Pohon Industri lengkap dan dalam), 4) Teknologi maju
telah menjadi ujung tombak pengembangan dan penciptaan pasar, 5) Telah
memiliki jasa industri yang tangguh yang menjadi penunjang daya saing
internasional industri, dan 6) Telah memiliki daya saing yang mampu
menghadapi liberalisasi penuh dengan negara-negara APEC. Diharapkan
tahun 2020 kontribusi industri non-migas terhadap PDB telah mampu
mencapai 30%, dimana kontribusi industri kecil (IK) ditambah industri
menengah (IM) sama atau mendekati kontribusi industri besar (IB). Selama
kurun waktu 2010 s.d 2020 industri harus tumbuh rata-rata 9,43% dengan
pertumbuhan IK, IM, dan IB masing-masing minimal sebesar 10,00%, 17,47%,
dan 6,34%.13Data pertumbuhan industri non migas pada tabel 1.berikut
menunjukkan pertumbuhan industri tersebut sampai tahun 2012 masih di
bawah tingkat pertumbuhan yang ditargetkan. Rata-rata pertumbuhannya
juga masih di bawah pertumbuhan PDB kecuali di tahun 2011.

Tabel. 1 Laju Pertumbuhan Industri Pengolahan Non Migas (Kumulatif)

12
www.kemenperin.go.id, diunduh 22 Juni 2014.
13
http://www.kemenperin.go.id/artikel/19/Kebijakan-Industri-Nasional , diunduh
tanggal 19 Juni 2014.

12
(dalam Persen)
2012
No. Lapangan Usaha 2007 2008 2009 2010 2011 (s.d.
TW I)
1 Makanan, Minuman dan Tembakau 5,0508 2,3401 11,2193 2,7805 9,1884 8,1857
2 Tekstil, Brg. kulit & Alas kaki -3,6796 -3,6440 0,5999 1,7667 7,5181 1,4145
3 Brg. kayu & Hasil hutan lainnya -1,7425 3,4501 -1,3808 -3,4670 0,3497 -0,8573
4 Kertas dan Barang cetakan 5,7935 -1,4841 6,3398 1,6695 1,4958 0,4987
5 Pupuk, Kimia & Barang dari karet 5,6856 4,4594 1,6444 4,7009 3,9508 9,1917
6 Semen & Brg. Galian bukan logam 3,3962 -1,4945 -0,5115 2,1793 7,1883 6,1073
7 Logam Dasar Besi & Baja 1,6900 -2,0528 -4,2599 2,3838 13,0567 5,5737
8 Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9,7317 9,7925 -2,8746 10,3802 6,9999 6,2255
9 Barang lainnya -2,8215 -0,9564 3,1941 3,0026 1,8244 4,2099
Pertumbuhan Industri
Pengolahan Non Migas 5,1501 4,0468 2,5614 5,1165 6,8270 6,1265
Pertumbuhan PDB 6,3450 6,0137 4,6289 6,1954 6,4570 6,3077
Sumber: BPS, 2014.
Banyak yang berpendapat bahwa kemampuan industri nasional
meningkatkan produksi maupun daya saingnya semakin lemah, dan ini semua
disebabkan oleh banyak faktor, termasuk kebijakan industri hingga saat ini
yang tidak memadai untuk mendukung pertumbuhan sektor industri. Ketika
menjadi menteri perindustrian, Fahmi Idris pernah menyatakan bahwa
tantangan utama yang dihadapi oleh industri nasional saat itu adalah
kecenderungan penurunan daya saing di pasar internasional. Dan kondisi
tersebut masih berlangsung sampai saat ini.
Penyebab dari lemahnya daya saing tersebut diantaranya adalah: 14
biaya energi, ekonomi biaya tinggi, penyelundupan barang-barang yang mana
industri Indonesia juga (bisa) memproduksinya, serta belum memadainya
layanan birokrasi. Tantangan berikutnya adalah kelemahan struktural sektor
industri itu sendiri, seperti masih lemahnya keterkaitan antar industri, baik
antara industri hulu dan hilir maupun antara industri besar dengan industri
kecil menengah, belum terbangunnya struktur klaster (industrial cluster)
yang saling mendukung, adanya keterbatasan berproduksi barang setengah
jadi dan komponen di dalam negeri, keterbatasan industri berteknologi tinggi,
kesenjangan kemampuan ekonomi antar daerah, serta ketergantungan ekspor
pada beberapa komoditi tertentu

14
Tulus T.H. Tambunan, “Kebijakan Industri Dalam Menyongsong ME-ASEAN 2015”,
KADIN Indonesia, Policy Paper No. 16 April 2013, hal. 1.

13
A. Kebijakan Industri dalam Negeri
Dalam RPJPN 2005—202515 disebutkan bahwa struktur perekonomian
diperkuat dengan mendudukkan sektor industri sebagai motor penggerak
yang didukung oleh kegiatan pertanian dalam arti luas, kelautan, dan
pertambangan yang menghasilkan produk-produk secara efisien, modern, dan
berkelanjutan serta jasa-jasa pelayanan yang efektif yang menerapkan praktik
terbaik dan ketatakelolaan yang baik agar terwujud ketahanan ekonomi yang
tangguh.
Pembangunan industri diarahkan untuk mewujudkan industri yang
berdaya saing dengan struktur industri yang sehat dan berkeadilan, yaitu
sebagai berikut:
1. Fokus Prioritas Penumbuhan Populasi Usaha Industri dengan hasil
peningkatan jumlah populasi usaha industri dengan postur yang lebih
sehat yang didukung oleh kegiatan prioritas sebagai berikut:
 Revitalisasi industri, khususnya industri pupuk, industri gula, dan
revitalisasi berbagai gugus (cluster) industri prioritas sesuai dengan
Kebijakan Industri Nasional.
 Penumbuhan gugus (cluster) industri berbasis minyak sawit
(oleochemical) serta gugus (cluster) industri berbasis kondensat
minyak dan gas bumi.
 Pengembangan kawasan industri khususnya yang berada dalam
kawasan ekonomi khusus (KEK).
2. Fokus prioritas Penguatan Struktur Industri dengan hasil yang diharapkan
adalah semakin terintegrasinya IKM dalam gugus (cluster) industri,
tumbuh dan berkembangnya gugus (cluster) industri demi penguatan
daya saing di pasar global. Yang didukung oleh kegiatan prioritas sebagai
berikut:
 Pembinaan industri agar semakin mampu bersaing menjadi pemasok
bagi industri yang lebih besar dan/atau industri hilirnya;
 Pengembangan standardisasi industri dan manajemen guna
mempermudah transaksi antarusaha industri.
15
Presiden Republik Indonesia, Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) tahun 2010-2014, Buku II, hal. II.3-87-II.3-89.

14
3. Fokus prioritas Peningkatan Produktivitas Usaha Industri dengan hasil
yang diharapkan dari pelaksanaan fokus ini adalah meningkatnya nilai
tambah produk melalui penerapan iptek. Yang didukung oleh kegiatan
prioritas, kegiatan yang tercakup dalam program penumbuhan industri
unggulan berbasis iptek, terutama untuk industri alat angkut, elektronika,
dan telematika.
Industri manufaktur masa depan adalah industri-industri yang
mempunyai daya saing tinggi, yang didasarkan tidak hanya kepada besarnya
potensi Indonesia (comparative advantage), seperti luas bentang wilayah,
besarnya jumlah penduduk serta ketersediaan sumber daya alam, tetapi juga
berdasarkan kemampuan atau daya kreasi dan keterampilan serta
profesionalisme sumber daya manusia Indonesia (competitive advantage).
B. Permasalahan dalam Industri manufaktur
Integrasi regional juga dapat dilakukan dalam bentuk jaringan produksi
(production network) seperti yang telah dilakukan secara luas sejak
terbentuknya FTAs. Jaringan produksi internasional dan regional
mengendalikan pasar dan membagi-bagi proses produksi kedalam bagian-
bagian proses yang dapat dilakukan di lokasi atau negara yang berbeda dan
akhirnya dirakit menjadi produk akhir. Jaringan produksi memanfaatkan
keunggulan dari masing-masing lokasi untuk meningkatkan produksi dan
mengurangi biaya disamping memacu investasi dan transfer teknologi.
Pengembangan jaringan produksi telah difasilitasi oleh FTAs (free trade
agreement) yang mendorong masuknya FDI (Foreign Direct Investment) dari
perusahaan-perusahaan multinasional. Faktor yang mempercepat
pertumbuhan jaringan produksi di Asia Timur melingkupi: Pertama, besarnya
jurang perbedaan tingkat upah dan produktifitas buruh, akibatnya perbedaan
lokasi memberikan perbedaan biaya yang kompetitif untuk tiap-tiap bagian
dari rantai nilai. Kedua, negara-negara ASEAN semakin meningkatkan strategi
pengembangan yang menjadi tujuan dalam liberalisasi perdagangan dan
investasi secara timbal balik maupun regional dibawah FTAs. Ketiga, aliran
perdagangan lintas batas difasilitasi oleh perbaikan sistim administrasi serta
ketersediaan infrastruktur dan logistik yang efisien yang mengakibatkan biaya

15
produksi dan logistik yang lebih rendah.16

Table 2. East Asia: Share of Production Network Manufacturing


Trade, 1992–1993 and 2006–2007 (%)
Parts & Final Total network
components Assembly products
1992– 2006– 1992– 2006–1992– 2006-
1993 2007 1993 20071993 2007
Exports
East Asia 20.2 34.1 31.6 26.2 51.8 60.3
Japan 23.9 34.4 44.5 32.6 68.4 67.0
Developing East Asia 17.3 34.0 21.8 24.5 39.1 58.5
PRC 7.4 25.6 13.7 26.2 21.1 51.8
Hong Kong, China 15.8 33.3 18.0 17.8 33.8 51.1
Taipei,China 24.7 44.2 17.6 21.6 42.3 65.8
Korea, Rep. of 18.1 44.2 22.2 25.4 40.3 69.5
ASEAN 22.7 44.2 34.1 21.9 56.8 66.1
Indonesia 3.8 21.5 5.6 16.8 9.3 38.4
Malaysia 27.7 53.6 40.7 25.1 68.4 78.8
Philippines 32.9 71.7 20.5 15.6 53.4 87.3
Singapore 29.0 49.3 45.9 17.2 74.9 66.5
Thailand 14.1 29.9 29.0 33.0 43.1 62.9
Viet Nam 11.0 7.6 18.5
Imports
East Asia 27.2 42.1 17.2 17.8 44.4 59.9
Japan 19.3 29.9 19.3 21.9 38.6 51.7
Developing East Asia 29.0 44.2 16.7 17.1 45.8 61.3
PRC 20.4 44.0 14.0 19.8 34.4 63.7
Hong Kong, China 24.1 48.5 16.5 13.5 40.6 62.1
Taipei,China 29.5 38.9 18.0 16.8 47.5 55.7
Korea, Rep. of 30.1 31.9 14.6 17.4 44.7 49.3
ASEAN 36.0 47.9 18.4 16.1 54.4 64..0
Indonesia 27.0 21.8 9.2 15.8 36.1 37.7
Malaysia 40.5 50.0 20.2 22.0 6.7 72.0
Philippines 32.6 61.3 15.0 17.4 47.6 78.6
Singapore 39.9 60.4 21.9 17.3 61.8 77.7 Sumber:
Thailand 30.6 36.1 15.6 12.4 46.2 48.5
ADB Viet Nam 19.1 9.7 28.8

Institute, Working Paper, 2010.


Tabel 2 menunjukkan pertumbuhan pertukaran jaringan produksi
bagian-bagian komponen-komponen dan perakitan produk akhir antara tahun
1992-1993 dan 2006-2007, terhitung sebanyak 66,1 persen eksport ASEAN
dan 64.0 persen import ASEAN dengan tingkat perbedaan yang tinggi antar
negara-negara ASEAN. Terlihat proporsi Indonesia dalam pertukaran ini
termasuk yang terkecil dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya.
Peningkatan dari tahun 1992-1993 ke tahun 2006-2007 juga sangat kecil.

16
Siow Yue Chia, “The ASEAN Economic Community: Progress, Challenges, and
Prospects”, ADBI Working Paper Series, No. 440, Oktober 2013, hal. 7-8.

16
Pada periode 1992-1993, nilai impor Indonesia jauh diatas persentase
eksportnya. Pada periode 2006-2007 persentase eksport mampu melampaui
import meskipun hanya dengan sedikit perbedaan. Hal ini menunjukkan
tingkat daya saing Indonesia masih sangat rendah. Padahal Indonesia
memiliki jumlah tenaga kerja yang besar dan wilayah yang cukup luas.
Rendahnya daya saing diakibatkan oleh buruknya sistem administrasi, jasa,
infrastruktur dan logistik di Indonesia. Dalam hal tenaga kerja juga belum
mampu bersaing, meskipun jumlah tenaga kerja di Indonesia besar, akan
tetapi dalam hal kemampuan masih kalah bersaing dari negara-negara ASEAN
lainnya.
Relatif masih terbelakangnya sektor industri manufaktur di negara-negara
berkembang seperti Indonesia disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya
adalah keterbatasan teknologi dan rendahnya kualitas sumber daya manusia,
dana yang disediakan pemerintah sangat terbatas karena di banyak Negara
pemerintahanya selalu menghadapi defisit keuangan yang besar. Sedangkan
keterbatasan teknologi dan rendahnya kualitas sumber daya manusia disebut
juga karena terbatasnya dana dari sektor swasta.
Dibandingkan negara maju, pada umumnya di negara berkembang sedikit
sekali perusahaan-perusahaan swasta yang memiliki sendiri lembaga
penelitian dan pengembangan (R&D). Selain itu, di negara berkembang
kerjasama antara perusahaan swasta dan universitas atau lembaga
pendidikan atau pusat pelatihan serta lembaga R&D yang ada sangat lemah
jika dibandingkan di Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman dan
Inggris.
Dalam kasus Indonesia, UNIDO dalam studinya mengelompokkan
masalah-masalah yang dihadapi industri manufaktur nasional dalam dua
kategori, yaitu17 : (1) Kelemahan-kelemahan yang bersifat struktural, dan (2)
Kelemahan-kelemahan yang bersifat organisasi.
1. Kelemahan-kelemahan yang bersifat struktural
Basis ekspor dan pasarnya yang sempit

17
Shafiq Dhanani, “Indonesia: Strategy for Manufacturing Competitivenes”, Vol. II.,
Main Report United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Jakarta,
November 2000.

17
Walaupun Indonesia memiliki banyak sumber daya alam ( SDA) dan
jumlah tenaga kerja yang berlimpah yang merupakan dua faktor utama
keunggulan komparatifnya namun produk dan pasar ekspor Indonesia sangat
terkonsentrasi pada hal-hal berikut :
a. Empat produk, yakni kayu lapis, pakaian jadi, tekstil dan alas kaki
memiliki pangsa pasar 50% dari nilai total ekspor manufaktur.
b. Tiga Negara, yaitu Amerika Serikat, Jepang dan Singapura menyerap
sekitar 50% dari nilai total ekspor manufaktur Indonesia, sementara
Amerika Serikat sendiri menyerap hampir setengah dari nilai total ekspor
tekstil dan pakaian jadi.
c. Sepuluh produk menyumbang sekitar 80% dari seluruh hasil ekspor
manufaktur. Ekspor manufaktur Indonesia sangat mudah dipengaruhi oeh
perubahan permintaan terhadap produk-produk tersebut di pasar yang
terbatas.
d. Banyak produk-produk manufaktur yang padat karya yang terpilih
sebagai ekspor unggulan Indonesia mengalami penurunan harga di pasar
dunia sebagai akibat dari persaingan yang sangat ketat, terutama dari
Cina. Negara-negara produsen lainnya di Asia yang bisa menghasilkan
barang yang sama dengan biaya produksi yang rendah, Negara-negara
Eropa Timur di pasar Eropa Barat, dan Negara-negara Amerika Latin
untuk pasar Amerika Utara. Produk-produk ekspor Indonesia juga
mengalami inelastic demand di pasar Negara-negara industri maju.
e. Banyak produk manufaktur yang merupakan ekspor tradisional Indonesia
mengalami penurunan daya saing yang terutama disebabkan oleh faktor-
faktor eksternal bukan faktor-faktor internal, seperti upah tenaga kerja
yang naik.
Ketergantungan pada impor yang sangat tinggi
Sejak tahun 1990 Indonesia telah menarik banyak investasi asing (PMA) di
industry-industri berteknologi tinggi seperti farmasi, kimia, elektronik,
barang-barang konsumsi, alat-alat listrik, dan otomotif. Namun kebanyakan
dari industry-industri tersebut bukan merupakan proses manufaktur dalam
arti yang sebenarnya, tetapi proses penggabungan, pengepakan, dan
assembling dengan hasil sebagai berikut:

18
a. Pada tahun 1997, nilai impor bahan baku , input perantara, dan komponen
berkisar dari 45% di industry-industri kimia, 53% di industry-industri
mesin, 56% di industry-industri alat-alat transportasi, hingga 70% di
industry-industri barang-barang elektronik.
b. Industri-industri yang padat karya sangat tergantung pada impor bahan
baku, input perantara, dan komponen, mulai dari 40%-43% di industry-
industri tekstil, pakaian jadi, dan kulit serta 56% di industry-industri alas
kaki. Ketergantungan ini disebabkan oleh tidak adanya suplai domestic
dan industry-industri pendukung dan lemahnya keterkaitan produksi
antarindustri di dalam Negara.
c. Sangat besarnya penanaman modal asing (PMA) di sektor industri
manufaktur nasional (walaupun memberikan keuntungan-keuntungan
tertentu, seperti pengetahuan mengenai proses manufaktur) telah
membuat sektor tersebut manjadi sangat tergantung pada suplai bahan
baku dan komponen dari luar negeri.
d. Walaupun pertumbuhan PMA di sektor industrimanufaktur sangat pesat
dan Indonesia sudah masuk kedalam system manufaktur regional,
peralihan teknologi ke Indonesia dalam arti yang luas, termasuk teknikal,
manajemen, organisasi, pemasaran, pengembangan produk, dan
keterkaitan eksternal sangat terbatas.
e. Ketergantungan pada PMA juga telah membuat proses peningkatan
kemampuan perusahaan-perusahaan local dalam proses manufaktur dan
kemampuan untuk mengembangkan produk dengan merek sendiri serta
membangun jaringan pemasaran sendiri berjalan lambat.
Adanya industri berteknologi menengah
Pola industrialisasi di Indonesia berbeda dengan di Negara-negara lain
yang derajat industrialisasinya relative sama.
a. Kontribusi industry-industri berteknologi menengah (termasuk karet dan
plastik, semen, logam dasar, dan barang-barang sederhana dari logam)
terhadap pembangunan sektor industri manufaktur menurun antara
tahun 1985 dan 1997. Pola seperti ini boleh dikatakan unik bagi
Indonesia, sejak hampir semua Negara di Asia dan belahan dunia lainnya

19
mempertahankan keberadaan industri dari kategori ini di dalam total
output manufaktur mereka.
b. Kontribusi produk-produk yang padat modal (seperti material-material
dari plastik, produk-produk dari karet, pupuk, bubuk kertas dan kertas,
besi dan baja) terhadap total ekspor juga menurun selama periode yang
sama.
c. Di pihak lain, produksi dari industry-industri berteknologi rendah tumbuh
dengan pesat, Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan yang pesat dari
industry-industri padat karya (seperti tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki)
dan pertumbuhan industry-industri kayu, kertas, dan makanan.
Konsentrasi Regional
Industri-industri sekala menengah dan besar sangat terkonsentrasi di
Jawa, khususnya di Jabotabek. Walaupun pemerintah telah memberikan
berbagai macam insentif,kegiatan produksi manufaktur tetap saja terpusatkan
di Jawa. Data BPS menunjukkan bahwa pada tahun 1997 pangsa kesempatan
kerja dan nilai tambah industrimanufaktur yang dimiliki Jakarta dan Jawa
Barat naik hingga sekitar 50% dari total nasional. Peningkatan ini disebabkan,
disamping faktor-faktor lain , oleh adanya industry-industri pendukung dan
pemasok, pasar yang relative besar dan berkembang pesat mengikuti
pertumbuhan pendapatan riil per kapita dan jumlah populasi, infrastruktur
yang fisik yang baik, dan berdekatan dengan kantir-kantor pemerintah.
2. Kelemahan-Kelemahan Yang Bersifat Organisasi
Industri skala kecil dan menengah (IKM) masih underdeveloped
Kontribusi industriskala kecil dan menengah terhadap pembentukan nilai
tambah manufaktur relatif kecil, sedangkan terhadap kesempatan kerja sangat
besar. Hali ini menceminkan rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja di
industri skala kecil dan menegah dibanding di industri skala besar (IB).
Pada tahun 1996, industri skala besar (500 pekerja per unit usaha)
mengerjakan hanya sekitar 1/3 dari total kesempatan kerja, tetapi
menyumbang sekitar 83% terhadap pembentukan nilai tambah. Industri skala
kecil dan menegah, termasuk industri rumah tangga dengan jumlah pekerja
rata-rata masing-masing 37,8 dan 2 orang per unit usaha, menyumbang

20
masing-masing hanya 5% - 6% dari total nilai tambah dan mengerjakan 2/3
dari total kesempatan kerja.
Berbeda dengan industriskala besar, industriskala kecil terkonsentrasi
pada subsektor-subsektor makanan dan kayu. Mereka memproduksi barang-
barang jadi (consumer goods) dan tidak banyak membuat barang modal, input
perantara, dan komponen untuk industry-industri lain. Dengan perkataan lain,
subsektor dan supplier linkages antara industriskala kecil dengan menengah
dan industriskala besar sangat terbatas.
Konsentrasi Pasar
Tingkat konsentrasi pasar yang tinggi dapat dijumpai dibanyak segmen
atau subsektor manufaktur. Pangsa output dari empat perusahaan terbesar
(concentration ratio atau CR4) mencapai lebih dari 75% total output dari
hampir setengah industrial branches yang ada. Tahun 1997, CR4 mencapai
70%.
Lemahnya Kapasitas untuk Menyerap dan Mengembangkan Teknologi
Transformasi industri selama pemerintahan orde baru terutama
disebabkan oleh strategi-startegi bisnis dan hubungan-hubungan
internasional dari konglomerat-konglomerat di Indonesia. Tidak ada PMA,
konglomerat-konglimerat dan lembaga-lembaga pemerintah yang begitu
proaktif memanfaatkan teknologi dan pengetahuan dari luar untuk
memperbaiki daya saing dan efisiensi produksi manufaktur di dalam negeri.
Lemahnya Sumber Daya Manusia
Disatu pihak, fakta menunjukkan bahwa hingga kini sebagian besar
tenaga kerja di Indonesia masih berpendidikan rendah. Insinyur-insinyur
yang dihasilkan oleh lemaga-lembaga pendidikan tinggi di dalam negeri, tidak
semuanya berkualitas baik, tidak bisa bekerja secara mandiri, tidak memiliki
keahlian dalam problem-solving dan analizing technical problem, tidak kreatif,
dan tidak mampu melakukan riset dan pengembangan (R&D). Dipihak lain,
pemerintah kurang memberi perhatian terhadap pengembangan pendidikan
di tanah air. Hal ini bisa dilihat antara lain masih relative kecilnya porsi
anggaran pendapatan dan belanja (APBN) untuk pendidikan dan R&D.
Sementara, sektor swasta, perusahaan besar, dan bank tidak menunjukkan

21
niat untuk membantu pengembangan pendidikan di dalam negeri dari sisi
financial.

IV. KESIAPAN INDUSTRI INDONESIA DALAM MENYAMBUT AEC


Terkait dengan implementasi AEC Blueprint, pada tahun 2007-2008, Ditjen
Kerjasama ASEAN telah melakukan sosialisasi AEC Blueprint bersamaan
dengan sosialisasi ASEAN Charter, baik di tingkat pusat, khususnya
kepada asosiasi asosiasi bisnis maupun di daerah-daerah di Pulau Jawa,
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian. Sosialisasi dilakukan dalam
bentuk seminar, workshop, lokakarya maupun Kuliah Umum, wawancara
di media massa cetak dan elektronik lokal di pusat dan daerah. Salah satu
sasaran yang ingin dicapai adalah untuk memicu kesiapan masyarakat serta
menimbulkan mengenai public awareness mengenai ASEAN.
Namun ketika penulis melakukan penelitian ke daerah Sulawesi dan
Jawa Timur pada tahun 2012, sebagain besar warga di wilayah tersebut
belum memperoleh sosialisasi mengenai Asean Community apalagi AEC.
Bahkan tidak jarang yang tidak mengetahui sama sekali mengenai hal ini.
Disini terlihat usaha pemerintah untuk mensosialisasikan apalagi
memersiapkan datangnya AEC belum memadai.
A. Kesiapan Industri Manufaktur Nasional dan Dukungan dari
Pemerintah
Mengingat sudah sangat dekatnya waktu untuk pengimplementasian
ASEAN Community, Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of
Economics and Finance, Aviliani, berpendapat, untuk memperkuat
pertumbuhan industri, pemerintah harus memperkuat basis industri dalam
negeri dengan mengurangi impor. Sejauh ini, produksi pangan dan
manufaktur belum bisa mengimbangi tingginya pertumbuhan ekonomi
nasional dan daya beli masyarakat, sehingga produk impor lebih
mendominasi. Percepatan konsumsi kelas menengah tidak disertai oleh
pertumbuhan industri, sehingga harus melakukan impor. Padahal, tingkat
konsumsi masyarakat yang tinggi ini diprediksi berlangsung sampai 2030.
Pemerintah juga perlu memperketat standar impor seperti halnya Prancis
yang sudah memproteksi industri dalam negerinya. Hampir seluruh negara di

22
dunia sudah mulai proteksi besar-besaran. Indonesia juga harus
memberlakukan sertifikasi standar impor sehingga industri domestik bisa
diperkuat dan penetrasi asing bisa dibendung.18
Bila hal ini terus berlangsung, sektor industri Indonesia tidak segera
berbenah dan meningkatkan produksinya baik dari segi kualitas maupun
kuantitas, maka ketika AEC diimplementasikan, dapat dipastikan produk-
produk industri negara-negara ASEAN lain akan mendominasi pasar domestik
Indonesia. Hal ini akan berdampak pada semakin terpuruknya industri
nasional karena tidak mampu bersaing. Pemerintah perlu memberikan
dorongan baik melalui aturan dan kebijakan maupun fasilitas fisik dan
infrastruktur yang memadai.
Berdasarkan hasil penilaian CPI (Competitive Industrial Index) yang
dilakukan oleh UNIDO (United Nations Industrial Development Organization)
terhadap 133 negara di dunia pada tahun 2010, rangking lima besar dunia
berdasarkan CPI Index diduduki oleh Jepang, Jerman, Amerika Serikat, korea
dan Taiwan. CPI index Indonesia berada pada urutan ke 38. Di antara negara-
neraga ASEAN, Indonesia menduduki urutan ke empat jauh tertinggal di
bawah Thailand (urutan ke 23), Malaysia (urutan 21) dan Singapore (urutan
ke 6). CPI index merupakan tool yang digunakan oleh UNIDO untuk mengukur
tingkat kompetitivitas kinerja industri negara-negara di dunia. CPI indeks
terdiri dari empat sub-indikator yang dikelompokkan ke dalam 3 dimensi.
Dimensi pertama, yang berhubungan dengan kapasitas suatu negara untuk
memproduksi dan mengeksport hasil industry. Yang diukur dengan
Manufacturing Value Added per capita (MVApc) dan Manufatured Exports per
capita (MXpc) negara tersebut. Dimensi kedua, mencakup level kedalaman dan
peningkatan mutu teknologi. Proxy untuk dimensi yang kompleks ini adalah
intensitas industrialisasi (terdiri dari 2 indikator yaitu MHVAsh dan MVAsh)
dan kualitas eksport (terdiri dari 2 indikator yaitu MHXsh dan MXsh). Dimensi
ketiga, adalah sejauhmana dampak suatu negara terhadap dunia industri, yang

18
Pertumbuhan Industri Mendekati 7 Persen, Koran Tempo, 13 November 2013.

23
diukur dari share-nya dalam World Manufacturing Value Added (ImWMVA)
dan World Manufactures Trade (ImWMT). 19
Pada Table 3 terlihat bahwa negara-negara anggota ASEAN memiliki
tingkat keragaman yang sangat tinggi. Baik itu dari segi luas, jumlah populasi,
tingkat pembangunan ekonomi, pendapatan per capital serta tingkat
keterbukaan terhadap perdagangan internasional dan investasi. Perbedaan ini
akan menimbulkan persepsi yang berbeda terhadap cost and benefit dari
suatu integrasi ekonomi. Negara-negara yang lebih besar secara ekonomi
(terutama Indonesia) tidak terlalu merasakan manfaat skala ekonomi dari
perdagangan terbuka. Sebaliknya negara yang secara skala ekonomi lebih
kecil (terutama Singapura) akan diuntungkan dengan adanya suatu pasar
regional yang terintegrasi.20
Tabel 3: ASEAN—Perbedaan Ukuran, Tingkat Pembangunan,
Perdagangan serta Ketergantungan terhadap FDI, 2011

Brunei Lao
Indonesia Malaysia Philippines Singapore Thailand Cambodia Myanmar Viet Nam
Darussalam PDR
Population
(million)
0.4 237.7 29.0 95.8 5.2 67.6 14.5 6.4 60.4 87.8
Land area
(thous. sq km)
5.8 1860.4 330.3 300.0 0.7 513.1 181.0 236.8 676.6 331.1
GDP
($ billion)
16.3 846.8 287.9 224.3 259.9 345.8 12.8 8.2 52.8 123.3
GDP per
capita ($)
38702 3563 9941 2341 50130 5116 879 1279 875 1403
GDP per
capita (PPP- 52059 4736 15955 4289 60744 8907 2287 2825 1393 3440
adjusted)
Merchandise
trade 14.8 380.9 415.7 111.8 775.2 458.9 12.8 4.0 14.9 199.6
($ billion)
Trade/GDP
ratio (%) 90.8 45.0 144.4 49.8 298.3 132.7 100.0 48.8 28.2 161.9
Inward FDI
stock 12.5 173.1 114.6 27.6 518.6 139.7 6.9 2.5 9.1 72.8
($ billion)
Inward FDI
stock/GDP 76.2 20.5 41.1 12.3 203.8 40.4 53.4 32.2 16.9 60.3
ratio (%)

* FDI = foreign direct investment; GDP = gross domestic product; PPP = purchasing power parity.
Sumber: ADB Institut
Semua anggota Asean yang berjumlah 10 negara, telah
mempersiapkan diri menghadapi implementasi AEC pada 2015. Vietnam,
misalnya, telah cukup lama memasukkan Bahasa Indonesia sebagai mata
pelajaran di sekolah. Tujuannya jelas, Vietnam mengincar pasar
19
United nations indUstrial development organization, “The Industrial
Competitiveness of Nations Looking back, forging ahead”, Competitive Industrial
Performance Report 2012/2013,Vienna, 2013, hal. vii-xii.
20
Siow Yue Chia, The ASEAN Economic Community: Progress, Challenges, and
Prospects, ADBI Working Paper Series, No. 440, Oktober 2013, hal. 6.

24
ketenagakerjaan di Indonesia. Begitu pula Filipina gencar memberikan
pelatihan kepada para tenaga medis terkait dengan aspek kehidupan sosial-
budaya di Indonesia dan Malaysia. Niatnya jelas, Filipina berharap dapat
sebanyak mungkin menempatkan para pekerja bidang medis di Indonesia dan
Malaysia saat AEC diimplementasikan nanti. Sementara itu, Thailand,
Malaysia, dan Singapura terus meningkatkan daya saing iklim investasi,
termasuk membenahi infrastruktur dan menyiapkan berbagai insentif untuk
menarik penanaman modal asing.
Para aparatur negara hendaknya juga harus mempersiapkan sektor
industri dalam menghadapi implementasi AEC. Mengingat Indonesia
mempunyai pengalaman buruk saat perdagangan bebas multilateral ACFTA
(Asean-China Free Trade Area Agreement) diimplementasikan secara penuh
pada tahun 2010. Seketika itu juga dunia usaha Indonesia terkesan ‘tegopoh-
gopoh’ dalam menghadapi gencarnya arus barang import dari China yang
begitu murah. Pada saat yang sama antar kementerian dan instansi
pemerintah justru saling tuding, saling lempar tangung jawab, dan saling
mempersalahkan atas ketidaksiapan industri dalam negeri menghadapi
ACFTA. Ketika itu, industri di dalam negeri semakin terdesak di pasar
domestiK karena tak mampu bersaing dengan barang impor, sementara itu
meningkatkan ekspor ke China ternyata bukanlah perkara mudah. Akibatnya,
Indonesia mengalami defisit perdagangan terhadap China yang kian melebar
dari tahun ke tahun.21
Dapat dibayangkan kondisi perekonomian Indonesia apabila hal yang
sama terjadi saat pengimplementasian AEC. Karena AEC tidak hanya
menyangkut perdagangan, akan tetapi juga investasi, barang dan jasa, modal
dan arus tenaga kerja. Bila Indonesia tidak siap untuk mengahadapinya iklim
investasi Indonesia yang buruk akan membuat ekonomi semakin terpuruk
dengan dibanjirinya pasar domestik Indonesia oleh produk (barang dan jasa)
dan tenaga kerja dari negara-negara ASEAN yang lain. Tidak hanya inflasi
yang akan melonjak tetapi angka pengangguran juga akan semakin besar.

21
Tajuk Bisnis: Mengingatkan Kesiapan Menghadapi AEC 2015, Bisnis Indonesia, 19
Maret 2014.

25
Indonesia sebagai negara dengan jumlah populasi terbesar di ASEAN
merupakan sasaran empuk bagi pemasaran produk-produk industri negara
lain.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia
meragukan kesiapan Indonesia dalam menghadapi AEC pada akhir 2015.
Hingga saat ini, pemerintah maupun dunia usaha belum terlihat berupaya
mengintegrasikan program untuk persiapan ke arah AEC. Untuk menghadapi
AEC, Kadin berharap adanya keterlibatan integratif dalam pembuatan
kebijakan pemerintah  Indonesia seperti yang sudah dilakukan negara-negara
Asean lain, di antaranya Singapura, Malaysia, dan Thailand. Dalam hal ini,
Indonesia masih harus berbenah karena sektor swasta masih jauh berada di
luar lingkaran pengambilan keputusan oleh negara. Indonesia perlu serius
mempersiapkan diri. Apalagi, berdasarkan data World Economy Forum
(WEF), daya saing Indonesia berada di urutan 55 dunia pada 2008 dan
kemudian menjadi peringkat 50 dunia tahun 2012.22
Masalah lain yang masih mengganjal bagi pengimplementasian AEC ini
adalah masih ada kekurangsesuaian antara peraturan nasional dengan
komitmen ASEAN. Meskipun pemerintah telah menyatakan bahwa persiapan
Indonesia dalam menyambut AEC sudah mencapai 82 persen, namun angka
tersebut hanya berasal dari keberhasilan Indonesia menjalankan
kesepakatan-kesepakatan dalam AEC, bukan dalam bentuk strategi atau
langkah nyata.
Ada empat isu penting yang perlu kerja keras untuk segera
diantisipasi oleh pemerintah.23 Pertama, implementasi AEC berpotensi
menjadikan Indonesia sekedar pemasok energi dan bahan baku bagi
industrilasasi di kawasan ASEAN, sehingga manfaat yang diperoleh dari
kekayaan sumber daya alam mininal, tetapi defisit neraca perdagangan
22
Kadin Ragukan Kesiapan RI Sambut AEC 2015,
http://www.kemenperin.go.id/artikel/6317/Kadin-Ragukan-Kesiapan-RI-
Sambut-AEC-2015, diunduh 5 April 2014.
23
Empat Hal yang Harus Diantisipasi dalam AEC 2015 Banyak kebijakan yang minim
implementasi,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt526e4f67b3b6e/empat-hal-
yang-harus-diantisipasi-dalam-aec-2015, diunduh 5 Mei 2014.

26
barang Indonesia yang saat ini paling besar di antara negara-negara ASEAN
semakin bertambah. Salah satu yang harus dilakukan oleh Indonesia adalah
menyusun strategi industri, perdagangan dan investasi secara terintegrasi,
paling tidak dalam konteks kerja sama AEC.
Kedua, implementasi AEC akan semakin melebarkan defisit
perdagangan jasa seiring peningkatan perdagangan barang. Dalam hal ini
pemerintah perlu segera mengimplementasikan rencana untuk membangun
dan mendukung indusri transportasi yang menjadi sumber defisit terbesar.
Langkah lainnya, lanjutnya, adalah menetapkan sektor pariwisata sebagai
prioritas dengan menyusun strategi dan kebijakan baru, karena selama ini
pariwisata telah menjadi penyumbang surplus dalam neraca perdagangan
jasa.
Selanjutnya, ketiga, implementasi AEC juga akan membebaskan aliran
tenaga kerja sehingga Indonesia harus mengantisipasi dengan menyiapkan
strategi karena potensi membanjirnya Tenaga Kerja Asing (TKA) akan
berdampak pada naiknya remitansi TKA yang saat ini pertumbuhannya lebih
tinggi daripada remitansi TKI. Akibatnya, ada beban tambahan bagi Indonesia
dalam menjaga neraca transaksi berjalan dan mengatasi masalah
pengangguran.
Keempat, implementasi AEC akan mendorong masuknya investasi ke
Indonesia dari dalam dan luar ASEAN. Indonesia harus bergegas menyiapkan
strategi dan kebijakan yang dapat memberi insentif bagi mitra ekonominya
untuk ikut membangun industri hulu pengolah sumber daya alam. Sehingga,
manfaat ekonomi dari investasi lebih besar, baik dari sisi nilai tambah,
penciptaan lapangan kerja maupun terbangunnya industri hulu.
Selain itu untuk mendorong kesiapan negara menyongsong AEC,
daerah juga perlu dipersiapkan. Karena daerah bisa menjadi korban akibat
diterapkannya AEC produk-produk unggulan daerah bisa saja digantikan oleh
produk-produk dari negara ASEAN lainnya. Setiap daerah harus diberdayakan
sesuai dengan competitive advantage-nya.
B. Langkah-langkah Strategis Pemerintah dalam Menghadapi AEC.
Masalah utama yang saat ini masih sulit diatasi dalam mendorong
daya saing sektor industri nasional adalah persoalan infrastruktur yang masih

27
jauh dari memadai yang berdampak pada beban biaya logistik tinggi.
Akibatnya, industri nasional kurang efisien. Saat ini biaya logistik rata-rata
sebesar 16% dari total biaya produksi. Idealnya biaya logistik berkisar pada
9% hingga10% dari biaya produksi. Hal lain yang perlu dicermati suku bunga
kredit perbankan di Indonesia lebih tinggi di atas 5% dibandingkan dengan
negara ASEAN lainnya.
Secara garis besar, langkah strategis yang harus dilakukan antara lain
adalah dengan melakukan pembenahan terhadap sektor-sektor potensial yang
startegis dan terkait dengan mekanisme yang telah ditentukan ASEAN dalam
rangka menciptakan pasar bebas dan basis produksi internasional. Langkah
strategis tersebut diantaranya:24 (1) Peningkatan Daya Saing Ekonomi; (2)
Peningkatan Laju Ekspor; (3) Reformasi Regulasi; (4) Perbaikan Infrastruktur;
(5) Reformasi Iklim Investasi; (6) Reformasi Kelembagaan dan Pemerintah;
(7) Pemberdayaan UMKM; (8) Pengembangan Pusat UMKM Berbasis Website;
(9) Penguatan Ketahanan Ekonomi; (10) Peningkatan Partisipasi Semua
Unsur Negara.

Sejauh ini, langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Indonesia


berdasarkan rencana strategis pemerintah untuk menghadapi AEC, antara
lain:
1. Penguatan Daya Saing Ekonomi.
Pada tanggal 27 Mei 2011 Pemerintah meluncurkan Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
MP3EI merupakan perwujudan transformasi ekonomi nasional dengan
orientasi yang berbasis pada pertumbuhan ekonomi yang kuat, inklusif,
berkualitas, dan berkelanjutan.
Hasilnya, Perekonomian Indonesia pada tahun 2011 tumbuh 6,5%,
lebih tinggi dari tahun sebelumnya (6,2%) dengan investasi dan
industri pengolahan sebagai penggeraknya. Neraca pembayaran
mencatat surplus baik pada neraca transaksi berjalan maupun neraca
modal dan finansial. Cadangan devisa meningkat menjadi USD 110,1
miliar. Stabilitas ekonomi tahun 2011 tetap terjaga. Nilai tukar rupiah
24
Sholeh, Persiapan Indonesia Menghadapi AEC (ASEAN Economic Community) 2012,
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2013, 1 (2): 509-522, hal. 6-9.

28
kembali menguat dan kembali stabil setelah melemah oleh kekuatiran
terhadap imbas krisis utang Eropa pada bulan September dan Oktober
2011. Laju inflasi tahun 2011 terkendali sebesar 3,8%. 25
2. Program ACI (Aku Cinta Indonesia)
Menggunakan produk-produk dalam negeri, antara lain adalah: ACI
(Aku Cinta Indonesia). Program ini merupakan salah satu gerakan
Nation Branding yang merupakan bagian dari pengembangan ekonomi
kreatif yang termasuk dalam Inpres No.6 Tahun 2009 yang berisikan
Program Ekonomi Kreatif bagi 27 Kementrian Negara dan Pemda.
Gerakan ini sendiri masih berjalan sampai sekarang dalam bentuk
kampanye nasional yang terus berjalan dalam berbagai produk dalam
negeri seperti busana, aksesoris, entertainment, pariwisata dan lain
sebagainya.26
3. Penguatan Sektor UMKM
Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan UMKM di Indonesia, pihak
Kadin telah mengadakan beberapa program untuk memajukan UMKM
Indonesia. Dari segi pendanaan sendiri, pemerintah telah
mensosialisasikan dan menjalankan program KUR (Kredit Usaha Rakyat).
Tingkat pengembalian KUR cukup baik dengan kredit macet hanya
sebesar 2,1%. Volume penyaluran KUR tersebut dapat dicapai dengan
dukungan dana penjaminan kredit secara penuh pada tahun 2011. 27
4. Perbaikan Infrastruktur
Dalam rangka mendukung peningkatan daya saing sektor riil, selama
tahun 2010 telah berhasil dicapai peningkatan kapasitas dan kualitas
infrastruktur seperti prasarana jalan, perkeretaapian, transportasi darat,
transportasi laut, transportasi udara, komunikasi dan informatika, serta
ketenagalistrikan.28
5. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)

25
KPPN/Bappenas.2012.”Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2013”.Buku I.hal. 27
26
Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, “Menuju ASEAN Economic
Community 2015”, Jakarta,2009, hal. 17.
27
KPPN/Bappenas..”Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2013”.Buku II, Jakarta, 2012,
hal. 32.
28
KPPN/Bappenas.2012.”Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2013”.Buku I.hal. 4-7.

29
Salah satu jalan untuk meningkatkan kualitas SDM adalah melalui
jalur pendidikan. Guna mendukung penuntasan Program Wajib Belajar
Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, Pemerintah menaikkan satuan
biaya program BOS pada jenjang SD/MI/Salafiyah Ula dari Rp 397 ribu
(kabupaten) dan Rp 400 ribu (kota) pada periode 2009-2011 menjadi Rp
580 ribu/siswa/tahun pada tahun 2012, yang mencakup 31,32 juta
siswa. Adapun pada jenjang SMP/MTs/Salafiyah Wustha satuan biaya
dinaikkan dari Rp 570 ribu (kabupaten) dan Rp 575 ribu (kota) menjadi
Rp 710 ribu/siswa/tahun, yang mencakup 13,38 juta siswa. Selain itu,
dalam rangka memberikan layanan pendidikan yang bermutu,
pemerintah telah membangun sarana dan prasarana pendidikan secara
memadai, termasuk rehabilitasi ruang kelas rusak berat. Data
Kemdikbud tahun 2011 menunjukkan bahwa masih terdapat sekitar
173.344 ruang kelas jenjang SD dan SMP dalam kondisi rusak berat. 29
6. Reformasi Kelembagaan dan Pemerintahan
Dalam rangka mendorong Percepatan Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi, telah ditetapkan strategi nasional pencegahan dan
pemberantasan korupsi jangka panjang 2012-2025 dan menengah
2012-2014 sebagai acuan bagi seluruh pemangku kepentingan untuk
pelaksanaan aksi setiap tahunnya. Upaya penindakan terhadap Tindak
Pidana Korupsi (TPK) ditingkatkan melalui koordinasi dan supervisi
yang dilakukan oleh KPK kepada Kejaksaan dan Kepolisian. Selama tahun
2011, KPK telah melakukan strategi peningkatan koordinasi dalam
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan TPK dengan instansi terkait,
melakukan 447 kegiatan supervisi terhadap perkara TPK yang ditangani
oleh Kejaksaan dan Kepolisian melalui pelaksanaan gelar perkara, analisis
perkara dan pelimpahan perkara ke Kepolisian dan Kejaksaan serta
meminta informasi tentang perkembangan penanganan perkara TPK
kepada Kepolisian dan Kejaksaan melalui permintaan Surat Perintah
Dimulainya Penyidikan (SPDP).30

29
Ibid, hal. 36.
30
Ibid, hal. 21.

30
V. Penutup
Sektor industri memegang peranan penting dalam pertumbuhan
ekonomi negara ditengah kemanjuan teknologi dan meningkatnya kebutuhan
hidup masyarakat dunia yang modern. Dengan integrasi ekonomi ASEAN
melalui AEC, tidak hanya liberalisasi perdagangan yang terjadi tetapi juga
bebasnya arus modal, investasi dan tenaga kerja. Semua ini berdampak pada
sektor industri.
Bila bicara mengenai sektor industri tidak dapat dilepaskan dengan
kegiatan ekspor dan impor. Dengan diimplementasikannya AEC, maka
kebijakan proteksi terhadap produk dalam negeri tidak dapat dilakukan lagi.
Sehingga untuk mampu bersaing, sektor industri perlu meningkatkan
efektifitas dan efisiensinya serta meningkatkan kualitas maupun kuantitas
produknya. Industri Indonesia masih menghadapi masalah-masalah klasik
baik dari segi struktural maupun organisasi.
Kondisi sektor perindustiran masih jauh tertinggal dibanding dengan
negara-negara ASEAN lain yaitu Singapura, Malaysia dan Thailand. Hal ini
dikarenakan daya saing yang masih rendah karena kurangnya dukungan dari
pemerintah. Hal utama yang menjadi penyebab dari rendahnya daya saing
tersebut adalah Pemerintah perlu memberikan dorongan baik melalui aturan
dan kebijakan maupun fasilitas fisik dan infrastruktur yang memadai. Sampai
saat ini belum terlihat upaya nyata dari pemerintah baik dari segi kebijakan
maupun pembangunan fasilitas fisik dan sumberdaya manusia untuk
menghadapi implementasi AEC yang semakin dekat.

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal

Chia, Siow Yue, The ASEAN Economic Community: Progress, Challenges, and
Prospects, ADBI Working Paper Series, No. 440, Oktober 2013.

31
Rachman, Abdul, Peluang dan Tantangan Indonesia Dalam Mendorong ASEAN
Sebagai Kekuatan Ekonomi Baru Asia, Disampaikan dalam acara PATA
Hub City Forum, Yogyakarta, 11 Oktober 2013.

Sholeh, Persiapan Indonesia Menghadapi AEC (ASEAN Economic Community)


2012, eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2013, 1 (2): 509-522.

Tambunan, Tulus T.H., Kebijakan Industri Dalam Menyongsong ME-ASEAN


2015, KADIN Indonesia, Policy Paper No. 16 April 2013.

United nations indUstrial development organization, The Industrial


Competitiveness of Nations Looking back, forging ahead, Competitive
Industrial Performance Report 2012/2013,Vienna, 2013.

Yani, Y. M, Sosialisasi ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC) Blueprint ,


Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, Disampaikan pada acara
Seminar Nasional Bandung, 20 Nopember 2008.

Dokumen Negara
ASEAN Secretariat, ASEAN Economic Community Blueprint, Jakarta, January
2008.
Departemen Perdagangan Republik Indonesia, Menuju ASEAN Community
2015, Jakarta, 2010.
Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional, Kementerian
Perdagangan, Informasi Umum: Masyarakat Ekonomi ASEAN, ASEAN
Community in a Global Community of Nations, Jakarta 2011.

Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, Menuju ASEAN Economic


Community 2015, Jakarta, 2009.

KPPN/Bappenas, Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2013, Buku I, Jakarta,


2012.

KPPN/Bappenas, Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2013, Buku II, Jakarta,

Presiden Republik Indonesia, Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia


Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014, Buku II, Jakarta, 2010.

Koran
Mengingatkan Kesiapan Menghadapi AEC 2015, Bisnis Indonesia, 19 Maret
2014
Pertumbuhan Industri Mendekati 7 Persen, Koran Tempo, 13 November 2013.

32
Tajuk Bisnis: Mengingatkan Kesiapan Menghadapi AEC 2015, Bisnis Indonesia,
19 Maret 2014.

Internet
Empat Hal yang Harus Diantisipasi dalam AEC 2015 Banyak kebijakan yang
minim implementasi,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt526e4f67b3b6e/empat-
hal-yang-harus-diantisipasi-dalam-aec-2015, diunduh 5 Mei 2014.
http://disnakertransduk.jatimprov.go.id/pdf/berita-aec.pdf, diunduh 16 Juni
2014.

http://www.kemenperin.go.id/artikel/19/Kebijakan-Industri-Nasional,
diunduh tanggal 15 April 2014.

http://www.kemenperin.go.id/artikel/19/Kebijakan-Industri-Nasional,
diunduh tanggal 19 Juni 2014.

Kadin Ragukan Kesiapan RI Sambut AEC 2015,


http://www.kemenperin.go.id/artikel/6317/Kadin-Ragukan-Kesiapan-
RI-Sambut-AEC-2015, diunduh 5 April 2014.

www.kemenperin.go.id, diunduh 22 Juni 2014.

33

Anda mungkin juga menyukai