Anda di halaman 1dari 19

PEMBERDAYAAN UMKM & BDSP DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI (M-1)

PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, MENENGAH (UMKM)


DAN BUSINESS DEVELOPMENT SERVICES PROVIDER (BDSP)
DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI

I. PENDAHULUAN

Upaya pengembangan dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)
dewasa ini mendapat perhatian yang cukup besar dari berbagai pihak, baik pemerintah,
perbankan, swasta, lembaga swadaya masyarakat maupun lembaga-lembaga internasional. Hal ini
dilatarbelakangi oleh besarnya potensi UMKM yang perlu diefektifkan sebagai motor penggerak
perekonomian nasional setelah mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan.

Peran UMKM dalam perekonomian domestik semakin meningkat terutama setelah krisis
1997. Di saat perbankan menghadapi kesulitan untuk mencari debitur yang tidak bermasalah,
UMKM menjadi alternatif penyaluran kredit perbankan. Berdasarkan statistik BPS tahun 2000,
UMKM (kurang lebih 40 juta unit) mendominasi lebih dari 90% total unit usaha dan menyerap
angkatan kerja dengan prosentase yang hampir sama. Data BPS juga memperkirakan 57% PDB
bersumber dari unit usaha ini dan menyumbang hampir 15% dari ekspor barang Indonesia.
Ditinjau dari reputasi kreditnya, UMKM juga mempunyai prestasi yang cukup membanggakan
dengan tingkat kemacetan kredit yang relatif kecil. Pada akhir 2002, kredit bermasalah UMKM
(NPL) hanya 3,9%, jauh lebih kecil dibandingkan dengan total kredit perbankan yang mencapai
10,2%.

Kondisi tersebut mencerminkan bahwa pemberian kredit ke UMKM merupakan salah satu
upaya dalam rangka penyebaran risiko perbankan, sementara suku bunga kredit UMKM sesuai
dengan tingkat bunga pasar sehingga bank akan mempunyai margin yang cukup. Sektor ini
mempunyai ketahanan yang relatif lebih baik dibandingkan dengan usaha besar karena kurangnya
ketergantungan pada bahan baku impor dan potensi pasar yang tinggi mengingat harga produk
yang dihasilkan relatif rendah sehingga terjangkau oleh golongan ekonomi lemah. Namun
demikian, UMKM juga mempunyai karakteristik pembiayaan yang unik, yakni diperlukannya
ketersediaan dana pada saat ini, jumlah dan sasaran yang tepat, prosedur yang relatif sederhana,
adanya kemudahan akses ke sumber pembiayaan serta perlunya program pendampingan
(technical assistance).

Dibalik ketangguhan puluhan juta UMKM di atas, upaya pengembangan UMKM masih
menjumpai berbagai kendala seperti pengelolaan usaha yang masih tradisional, kualitas Sumber
Daya Manusia (SDM) yang belum memadai, skala dan teknik produksi yang rendah serta masih
terbatasnya akses kepada lembaga keuangan, khususnya perbankan.

Berbagai upaya dalam rangka pengembangan UMKM telah dilakukan oleh berbagai pihak
antara lain dengan memperkenalkan pola pendekatan dalam rangka pembiayaan UMKM seperti
pola PHBK, pola pendekatan klaster dan pola kemitraan. Terakhir ini, pendekatan yang dilakukan
oleh Pemerintah yaitu dengan mengoptimalkan pemanfaatan tenaga BDSP yang dapat berfungsi
sebagai jembatan penghubung antara UMKM dengan perbankan. Pemanfaatan tenaga BDSP ini

1
PEMBERDAYAAN UMKM & BDSP DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI (M-1)

diyakini pula dapat membantu pemerintah dalam mensukseskan program penanggulangan


kemiskinan melalui optimalisasi penyaluran kredit perbankan kepada UMKM.

Hal ini diperkuat dengan adanya MOU antara Menko Kesra selaku Ketua Komite
Penanggulangan Kemiskinan (KPK) dan Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 22 April 2002
yaitu yang merupakan komitmen perbankan dalam rangka ikut serta dalam program
penanggulangan kemiskinan. Dalam MoU tersebut tercantum kegiatan yang akan dilakukan
masing-masing pihak, yang dituangkan dalam suatu action plan.

Berdasarkan pemikiran di atas, agar pemberdayaan UMKM melalui pemberdayaan BDSP


dapat berjalan dengan baik, maka pada tanggal 22 Februari 2003 ditandatangani Kesepakatan
Bersama antara Deputi Gubernur Bank Indonesia dan Sekretaris KPK tentang Pembentukan
Satuan Tugas (Satgas) Pemberdayaan Konsultan Keuangan/Pendamping UMKM Mitra Bank
(KKMB/BDSP). Satgas inilah yang secara konseptual melakukan pemberdayaan BDSP. Di
tingkat daerah, pembentukan Satuan Tugas Daerah (Satgasda) dilakukan dengan SK Gubernur
untuk Provinsi dan SK Bupati/Walikota untuk tingkat Kabupaten/Kota dengan melibatkan unsur
Pemerintah Daerah, KPK, Perbankan, Bank Indonesia dan lembaga lainnya di tingkat daerah.

Pada tanggal 8 Juni 2005, MOU Gubernur Bank Indonesia dengan Menteri Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku ketua Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) tersebut
di atas telah diperbaharui dengan lebih memperjelas tugas dan tanggung jawab masing-masing
pihak.

II. PENGERTIAN DAN CIRI-CIRI UMKM

2.1. Usaha Mikro


2.1.1. Pengertian usaha mikro
Usaha Mikro sebagaimana dimaksud menurut Keputusan Menteri Keuangan
No.40/KMK.06/2003 tanggal 29 Januari 2003, yaitu usaha produktif milik keluarga atau
perorangan Warga Negara Indonesia dan memiliki hasil penjualan paling banyak
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per tahun. Usaha Mikro dapat mengajukan kredit kepada
bank paling banyak Rp.50.000.000,-.

2.1.2. Ciri-ciri usaha mikro


a) Jenis barang/komoditi usahanya tidak selalu tetap, sewaktu-waktu dapat
berganti;
b) Tempat usahanya tidak selalu menetap, sewaktu-waktu dapat pindah tempat;
c) Belum melakukan administrasi keuangan yang sederhana sekalipun, dan tidak
memisahkan keuangan keluarga dengan keuangan usaha;
d) Sumber daya manusianya (pengusahanya) belum memiliki jiwa wirausaha
yang memadai;
e) Tingkat pendidikan rata-rata relatif sangat rendah;
f) Umumnya belum akses kepada perbankan, namun sebagian dari mereka
sudah akses ke lembaga keuangan non bank;
g) Umumnya tidak memiliki izin usaha atau persyaratan legalitas lainnya
termasuk NPWP.

2
PEMBERDAYAAN UMKM & BDSP DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI (M-1)

2.1.3. Contoh usaha mikro


a) Usaha tani pemilik dan penggarap perorangan, peternak, nelayan dan
pembudidaya;
b) Industri makanan dan minuman, industri meubelair pengolahan kayu dan
rotan,industri pandai besi pembuat alat-alat;
c) Usaha perdagangan seperti kaki lima serta pedagang di pasar dll.;
d) Peternakan ayam, itik dan perikanan;
e) Usaha jasa-jasa seperti perbengkelan, salon kecantikan, ojek dan penjahit
(konveksi).

Dilihat dari kepentingan perbankan, usaha mikro adalah suatu segmen pasar yang cukup
potensial untuk dilayani dalam upaya meningkatkan fungsi intermediasi-nya karena usaha mikro
mempunyai karakteristik positif dan unik yang tidak selalu dimiliki oleh usaha non mikro, antara
lain :
a) Perputaran usaha (turn over) cukup tinggi, kemampuannya menyerap dana yang mahal
dan dalam situasi krisis ekonomi kegiatan usaha masih tetap berjalan bahkan terus
berkembang;
b) Tidak sensitive terhadap suku bunga;
c) Tetap berkembang walau dalam situasi krisis ekonomi dan moneter;
d) Pada umumnya berkarakter jujur, ulet, lugu dan dapat menerima bimbingan asal
dilakukan dengan pendekatan yang tepat.

Namun demikian, disadari sepenuhnya bahwa masih banyak usaha mikro yang sulit
memperoleh layanan kredit perbankan karena berbagai kendala baik pada sisi usaha mikro
maupun pada sisi perbankan sendiri.

2.2. Usaha Kecil

2.2.1. Pengertian usaha kecil


Usaha Kecil sebagaimana dimaksud Undang-undang No.9 Tahun 1995 adalah usaha
produktif yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau
memiliki hasil penjualan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) per tahun serta
dapat menerima kredit dari bank maksimal di atas Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sampai
dengan Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

2.2.2. Ciri-ciri usaha kecil


a) Jenis barang/komoditi yang diusahakan umumnya sudah tetap tidak
gampang berubah;
b) Lokasi/tempat usaha umumnya sudah menetap tidak berpindah-pindah;
c) Pada umumnya sudah melakukan administrasi keuangan walau masih
sederhana, keuangan perusahaan sudah mulai dipisahkan dengan keuangan keluarga, sudah
membuat neraca usaha;
d) Sudah memiliki izin usaha dan persyaratan legalitas lainnya termasuk
NPWP;

3
PEMBERDAYAAN UMKM & BDSP DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI (M-1)

e) Sumberdaya manusia (pengusaha) memiliki pengalaman dalam berwira


usaha;
f) Sebagian sudah akses ke perbankan dalam hal keperluan modal;
g) Sebagian besar belum dapat membuat manajemen usaha dengan baik
seperti business planning.
2.2.3. Contoh usaha kecil
a) Usaha tani sebagai pemilik tanah perorangan yang memiliki tenaga kerja;
b) Pedagang dipasar grosir (agen) dan pedagang pengumpul lainnya;
c) Pengrajin industri makanan dan minuman, industri meubelair, kayu dan
rotan, industri alat-alat rumah tangga, industri pakaian jadi dan industri kerajinan tangan;
d) Peternakan ayam, itik dan perikanan;
e) Koperasi berskala kecil.

2.3. Usaha Menengah

2.3.1. Pengertian usaha menengah


Usaha Menengah sebagaimana dimaksud Inpres No.10 tahun 1998 adalah usaha bersifat
produktif yang memenuhi kriteria kekayaan usaha bersih lebih besar dari Rp200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak sebesar Rp10.000.000.000,00, (sepuluh milyar
rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha serta dapat menerima kredit dari bank
sebesar Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) s/d Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

2.3.2. Ciri-ciri usaha menengah


a) Pada umumnya telah memiliki manajemen dan organisasi yang lebih baik,
lebih teratur bahkan lebih modern, dengan pembagian tugas yang jelas antara lain, bagian
keuangan, bagian pemasaran dan bagian produksi;
b) Telah melakukan manajemen keuangan dengan menerapkan sistem
akuntansi dengan teratur, sehingga memudahkan untuk auditing dan penilaian atau
pemeriksaan termasuk oleh perbankan;
c) Telah melakukan aturan atau pengelolaan dan organisasi perburuhan, telah
ada Jamsostek, pemeliharaan kesehatan dll;
d) Sudah memiliki segala persyaratan legalitas antara lain izin tetangga, izin
usaha, izin tempat, NPWP, upaya pengelolaan lingkungan dll;
e) Sudah akses kepada sumber-sumber pendanaan perbankan;
f) Pada umumnya telah memiliki sumber daya manusia yang terlatih dan
terdidik.

2.3.3. Contoh usaha menengah


Jenis atau macam usaha menengah hampir menggarap komoditi dari hampir seluruh
sektor mungkin hampir secara merata, yaitu:
a) Usaha pertanian, perternakan, perkebunan, kehutanan skala menengah;
b) Usaha perdagangan (grosir) termasuk expor dan impor;
c) Usaha jasa EMKL (Ekspedisi Muatan Kapal Laut), garment dan jasa
transportasi taxi dan bus antar proponsi;
d) Usaha industri makanan dan minuman, elektronik dan logam;

4
PEMBERDAYAAN UMKM & BDSP DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI (M-1)

e) Usaha pertambangan batu gunung untuk kontruksi dan marmer buatan.

2.4. Kriteria Jenis Usaha Berdasarkan Jumlah Tenaga Kerja


Kriteria jumlah karyawan berdasarkan jumlah tenaga kerja atau jumlah karyawan
merupakan suatu tolak ukur yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) untuk menilai
usaha kecil atau besar, sebagai berikut :
Usaha Mikro Usaha Kecil Usaha Usaha Besar
Menengah
Jumlah Tenaga < 4 orang 5-19 orang 20-99 orang > 100 orang
Kerja

III. PEMBERDAYAAN UMKM

Pengembangan UMKM di Indonesia masih memerlukan upaya yang lebih serius,


khususnya untuk usaha mikro mengingat usaha ini memiliki porsi yang cukup besar dari jumlah
usahanya dan dari segi akses kepada pembiayaan masih mengalami berbagai kendala. Adapun
kendala yang dihadapi tersebut, baik dari sisi usaha itu sendiri maupun dari sisi perbankan adalah
sebagai berikut :
a. Kendala dari sisi usaha mikro :
- Kelemahan dalam aspek legal dan formalitas (perijinan);
- Tidak memiliki kekayaan sebagai jaminan kredit sehingga oleh bank dipandang
beresiko tinggi;
- Lokasi usaha sering kali jauh dari jangkauan Bank;
- Volume usaha dan kebutuhan kredit rata-rata per nasabah masih kecil sehingga
perbankan menganggap biaya transaksi terlalu tinggi dan tidak efisien;
- Kelemahan dalam aspek pengelolaan usaha dan administrasi keuangan.
b. Kendala pada sisi perbankan :
- Bank kurang pengalaman berhubungan dengan debitur pengusaha mikro;
- Bank enggan mengalokasikan tenaga dan kredit untuk melayani kredit mikro
karena dianggap tidak efisien dan beresiko tinggi.

3.1. Pendekatan dalam Pemberdayaan UMKM

3.1.1. Program Pengembangan Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat


(PHBK)
Untuk membantu perbankan Indonesia mengatasi berbagai kendala tersebut di atas dan
agar perbankan dapat melayani sektor riil khususnya pada segmen usaha mikro secara aman dan
saling menguntungkan, maka Bank Indonesia sejak tahun 1989 telah menyelenggarakan Program
Pengembangan Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK). Konsep PHBK
adalah suatu pola pelayanan keuangan yang diperkenalkan dan disediakan oleh BI kepada

5
PEMBERDAYAAN UMKM & BDSP DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI (M-1)

perbankan dan sektor riil untuk mengembangkan hubungan keuangan antara bank dan usaha
mikro dengan pendekatan kelompok, yang diuraikan berikut ini.

A. Tujuan pelaksanaan PHBK


- Mengembangkan, memperluas dan membudayakan layanan keuangan
komersial perbankan kepada pengusaha mikro agar dapat meningkatkan pendapatannya.
- Membantu perbankan untuk memperluas segmen pasar usaha mikro secara
aman dan saling menguntungkan.

B. Partisipan PHBK adalah:


- Bank, yaitu Bank Umum dan BPR sebagaimana disebutkan dalam UU
tentang Perbankan.
- LPSM atau Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat, yaitu lembaga
nir-laba yang memiliki program pengembangan sosial ekonomi khususnya bagi UMK.
- Instansi Pemerintah, yaitu lembaga Pemerintah pada berbagai tingkatan
yang memiliki atau terkait dengan program pengembangan sosial ekonomi khususnya
bagi UMK.
- Koordinator kelompok, yaitu suatu lembaga informasi atau program yang
mempunyai kepedulian terhadap mengembangan dan pembinaan kelompok masyarakat
dalam rangka memajukan sosial ekonomi.

C. Sasaran PHBK
Sasaran PHBK adalah Pengusaha mikro yang tergabung dalam kelompok Swadaya
Masyarakat (KSM).
Pengusaha mikro adalah pelaku usaha di semua sektor ekonomi dengan kekayaan di luar
tanah dan bangunan maksimum Rp 25 juta. Pengusaha mikro terdiri dari petani kecil, peternak,
pengrajin, nelayan, industri kecil, pedagang kaki lima, bakulan di pasar, pengusaha mikro
dibidang jasa dan lain-lain baik di kota maupun di pedesaan, termasuk masyarakat yang
berpenghasilan tetap/pensiunan sepanjang anggota tersebut mengelola usaha produktif, baik yang
belum maupun yang sudah akses terhadap kepada layanan perbankan.
Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) adalah sekumpulan orang yang melakukan
kegiatan usaha skala mikro yang tergabung dalam satu ikatan pemersatu, yang saling mengenal
dan percaya satu sama lain serta bersepakat untuk bekerjasama meningkatkan pendapatannya.
Dalam rangka PHBK, KSM dibedakan atas dua jenis, yang melakukan peranan yang
berbeda dalam kegiatan hubungan keuangan dengan bank, yaitu:
a. Kelompok Simpan Pinjam (KSP)
Adalah KSM yang melakukan kegiatan simpan pinjam dari, oleh dan untuk para anggotanya.
Kredit dari bank bersifat memperkuat sumber dana kelompok yang akan dipinjamkan kepada para
anggotanya. Dalam hubungan keuangan dengan bank KSP bertindak sebagai executing agent.
b. Kelompok Pengusaha Mikro (KPM)
Adalah KSM yang semua anggotanya sepakat bekerjasama untuk memperoleh layanan bank guna
mengembangkan usaha. Dalam hubungan keuangan dengan bank KPM bertindak sebagai
channeling agent.

6
PEMBERDAYAAN UMKM & BDSP DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI (M-1)

Baik KSP maupun KPM harus memenuhi persyaratan tertentu untuk dapat dihubungkan
dengan bank. PHBK menetapkan kriteria kelayakan KSP maupun KPM seperti pada Tabel 1 di
bawah ini :

Tabel 1. Kriteria KSP dan KPM Pada Konsep PHBK


Aspek Kriteria KSP Kriteria KPM
Mempunyai ikatan pemersatu Mempunyai ikatan pemersatu
Lebih dari 20 orang 5 s/d 10 orang
Sebagian pelaku usaha Semua pelaku usaha
Keanggotaan Belum punya akses ke Bank Belum atau sudah punya akses
ke Bank (tabungan) dan tidak
sedang menikmati kredit dari
bank atau lembaga lain
Ada AD/ART tertulis Tidak ada AD/ART tapi harus
ada kesepakatan anggota tertulis
Organisasi Ada Rapat Anggota Tahunan
(RAT)
Pengurus dipilih RAT Ketua dipilih anggota
Ada pembukuan (Neraca,L/R)
Berpengalaman lebih dari satu Tidak perlu berpengalaman,
tahun dapat dibentuk baru oleh bank
LPSM atau koordinator
kelompok
Usaha Kegiatan simpan pinjam

Bank yang berminat mengembangkan pelayanan keuangan kepada pengusaha mikro dapat
dilakukan pendekatan kepada KSM melalui suatu proses identifikasi, seleksi, pembinaan dan
pelayanan kredit.
1) Identifikasi dalam rangka pelayanan kepada KSP melalui :
- LPSM yang memiliki kelompok binaan KSP untuk model 1 dan 3
- Dinas/Instansi Pemerintah yang memiliki kelompok atau populasi usaha
mikro binaan untuk model 1.
2) Identifikasi dalam rangka pelayanan kepada KPM melalui :
- LPSM/Dinas/Instansi yang memiliki kelompok binaan KPM untuk model 1.
- Koordinator kelompok yang memiliki kelompok binaan KPM untuk model 2.

D. Model Hubungan Bank dengan KSM


1. Model hubungan 1a

7
PEMBERDAYAAN UMKM & BDSP DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI (M-1)

Mou LPSM/ Pembinaan


DINAS/
INSTANSI
Konsultasi

Kredit
BANK KSM
(KSP/KSM)
Pembayaran angsuran dan bunga

Gambar 1. Model hubungan 1a, antara bank dengan KSM

Bank melakukan pelayanan keuangan langsung kepada kelompok Bank dan


LPSM/Dinas/Instansi Pemerintah membuat perjanjian kerja sama dalam rangka
pembentukan dan atau pembinaan kelompok dengan kewajiban bank memberikan fee
biaya pembinaan yang diperhitungkan dalam tingkat bunga kredit. Dalam hubungan ini
LPSM/Dinas/Instansi bertindak sebagai channeling agent.

2. Model hubungan 1b

Koordinasi KOORDINATOR Pembinaan


KELOMPOK

BANK Kredit KSM


(KPM)
Pembayaran angsuran dan bunga

Gambar 2. Model hubungan 1b antara bank dengan KSM

Bank melakukan pelayanan keuangan langsung kepada kelompok yang sudah dibentuk
dan dibina oleh koordinator kelompok. Bank dan koordinator kelompok melakukan
koordinasi dalam penyaluran dan pengembalian kredit. Mengenai kompensasi terhadap
koordinator kelompok diberikan sesuai kesepakatan masing-masing pihak antara bank,
koordinator kelompok dan KPM.

3. Model hubungan 2

Kredit
BANK LPS KSM (KSP)
M

8
PEMBERDAYAAN UMKM & BDSP DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI (M-1)

Kredit
Pembinaan

Gambar 3. Model hubungan 3 antara bank dengan KSM

Bank memberikan pelayanan keuangan kepada kelompok melalui LPSM. Biaya kegiatan
pembinaan diperoleh LPSM dari selisih bunga kredit dari bank dengan yang dibayar oleh
kelompok. Akad kredit dilakukan antara bank dengan Pimpinan LPSM yang memiliki
kewenangan legal. Kemudian akad kredit antara pimpinan LPSM dengan Ketua atau
Pengurus kelompok yang memperoleh kuasa dari para anggotanya atau atas dasar
keputusan rapat anggota yang dibuktikan oleh dokumen berita acara atau notulen. Dalam
hubungan ini LPSM bertindak sebagai executing agent.

4. Model hubungan 3

Akad Kredit

Kredit
BAN KPM
Pembinaan
K
Gambar 4. Model hubungan 3 antara bank dengan KPM

Bank mengidentifikasi sendiri kelompok yang telah ada, atau memfasilitasi proses
pembentukan kelompok di antara pengusaha mikro potensial yang sudah terseleksi,
memberikan pelayanan keuangan dan sekaligus membina kelompok-kelompok tersebut
sebagai nasabahnya. Akad kredit dilakukan antara bank dengan Ketua atau Pengurus
kelompok yang memperoleh kuasa dari para anggotanya atau atas dasar keputusan rapat
anggota yang dibuktikan oleh dokumen berita acara atau notulen.
Identifikasi populasi pengusaha mikro untuk model 3 dilakukan melalui pelayanan kredit
kepada usaha mikro dengan :
1) Meminta Ketua/Pengurus KPM maupun KSP untuk mengisi berbagai formulir yang
diperlukan dalam proses pelayanan kredit kepada para anggotanya, seperti :
a. Formulir data anggota
b. Formulir permohonan kredit dan anggota perorangan
c. Formulir rangkuman permohonan kredit para anggota
d. Formulir penilaian kelayakan usaha anggota
e. Formulir permohonan kredit KPM atau KSP ke bank
f. Formulir pengikatan barang jaminan secara FEO atau SKJ
g. Formulir surat kuasa kepada Ketua/Pengurus KPM atau KSP untuk
membuka rekening, menyetor dan menarik tabungan kelompok
h. Formulir surat kuasa dari ketua/pengurus KPM kepada bank untuk
memindah bukukan tabungan perorangan maupun kelompok serta mengeksekusi
barang jaminan anggota (bila ada) apabila kredit macet.
2) Meminta ketua/pengurus KPM menandatangani perjanjian kredit dengan pihak bank.

9
PEMBERDAYAAN UMKM & BDSP DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI (M-1)

3.1.2. Pola Pengembangan Satuan Usaha Berbasis Klaster

Pola pengembangan satuan usaha berbasis klaster adalah suatu pengembangan investasi
bagi kelompok usaha mikro, kecil, menengah berbasis klaster komoditas atau industri yang
mengoptimalkan hubungan antar pengusaha dalam perluasan kesempatan kerja, pemanfaatan
sumberdaya lokal, dan pemasaran. Usaha ini mengkaitkan antara input - proses - output dan pasar
secara terangkai yang berbasis pada satu jenis komoditas (klaster komoditas) atau pada kelompok
industri (klaster industri).
Banyak usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) gagal beroperasi karena tidak
mendapatkan kepastian terhadap penyediaan input dan pemasaran output. Lembaga keuangan
kurang melihat perspektif mata rantai produksi, pengolahan, pemasaran sebagai suatu rangkaian
usaha yang beroperasi secara menyatu dan modal dapat kembali. Keterlibatan input, proses,
output dan akses pasar pada UMKM sering tidak terorganisir secara benar. Paket kebijakan
pengembangan usaha sangat sektoral dan tidak terfokus pada satuan kelompok usaha yang
terangkai. Upaya pemerintah belum optimal dalam mengembangkan jaringan kerja kemitraan
dalam pengembangan UMKM.
Peran pemerintah termasuk pemerintah daerah adalah menyiapkan paket kebijakan
pengembangan UMKM berbasis klaster komoditas atau klaster industri, pengembangan akses
UMKM ke lembaga pasar lokal, domestik dan global.
Peran yang diharapkan dari pemerintah adalah:
1) Menciptakan peluang pasar lokal, domestik dan global sebagai respon terhadap perkembangan
yang ada;
2) Melakukan terbosan-terobosan dalam pengembangan teknologi sistem produksi, pengolahan
dan pemasaran;
3) Menguatkan dan mengaktifkan jalinan hubungan secara kemitraan antar pelaku dalam proses
produksi, pengolahan dan pemasaran;
4) Melakukan identifikasi sumberdaya yang potensial secara lebih intensif;
5) Menciptakan produk yang memiliki keunggulan komparatif;
6) Memanfaatkan sumber daya yang tersedia guna memperoleh nilai tambah yang lebih tinggi.

3.1.3. Pola Pengembangan Usaha dengan Model Kemitraan

Kemitraan menurut Peraturan Pemerintah N.o 44 Tahun 997, adalah kerjasama usaha
antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah dan atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan
dan pengembangan oleh Usaha Menengah dan atau Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip
saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.
Kemitraan dalam rangka keterkaitan usaha diselenggarakan melalui pola-pola yang sesuai
dengan sifat dan tujuan usaha yang dimitrakan dengan diberikan peluang kemitraan seluas-
luasnya kepada Usaha Kecil, oleh Pemerintah dan dunia usaha. Pola-pola kemitraan yang umum
dijumpai antara lain Kemitraan Inti Plasma dan Pola Bapak Angkat.

A. Kemitraan (Inti Plasma)


Dalam pola inti plasma, Usaha Besar dan atau Usaha Menengah sebagai inti membina dan
mengembangkan Usaha Kecil yang menjadi plasmanya antara lain meliputi :

10
PEMBERDAYAAN UMKM & BDSP DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI (M-1)

a. penyediaan dan
penyiapan lahan;
b. penyediaan sarana
produksi;
c. pemberian bimbingan
teknis manajemen usaha dan produksi;
d. perolehan, penguasaan
dan peningkatan teknologi yang diperlukan;
e. pembiayaan; dan
f. pemberian bantuan
lainnya yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha.
Dalam hal kemitraan Usaha Besar dan atau Usaha Menengah dengan Usaha Kecil
berlangsung dalam rangka sub kontrak untuk memproduksi barang dan atau jasa, Usaha Besar
atau Usaha Menengah memberikan bantuan antara lain berupa :
a. kesempatan untuk mengerjakan
sebagian produksi dan atau komponen;
b. kesempatan yang seluas-luasnya dalam
memperoleh bahan baku yang diproduksinya secara berkesinambungan dengan jumlah dan
harga yang wajar;
c. bimbingan dan kemampuan teknis
produksi atau manajemen;
d. perolehan, penguasaan dan peningkatan
teknologi yang diperlukan;
e. pembiayaan.
Dalam kegiatan perdagangan pada umumnya, kemitraan antara Usaha Besar dan atau
Usaha Menengah dengan Usaha Kecil dapat berlangsung dalam bentuk kerjasama pemasaran,
penyediaan lokasi usaha, atau penerimaan pasokan dari Usaha Kecil mitra usahanya untuk
memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh Usaha Besar dan atau Usaha Menengah yang
bersangkutan.
Usaha Besar, Usaha Menengah dan Usaha Kecil yang melaksanakan kemitraan
mempunyai hak untuk :
a. meningkatkan efisiensi usaha dalam kemitraan;
b. mendapat kemudahan untuk melakukan kemitraan;
c. membuat perjanjian kemitraan; dan
d. membatalkan perjanjian bila salah satu pihak
mengingkari.
Usaha Besar dan Usaha Menengah yang melaksanakan kemitraan mempunyai hak untuk
mengetahui kinerja kemitraan Usaha Kecil mitra binaannya. Sementara Usaha Kecil yang
bermitra mempunyai hak untuk memperoleh pembinaan dan pengembangan dari Usaha Besar dan
atau Usaha Menengah mitranya dalam satu aspek atau lebih tentang pemasaran, sumber daya
manusia, permodalan, manajemen dan teknologi.
Usaha Besar dan atau Usaha Menengah yang melaksanakan kemitraan dengan Usaha
Kecil /Mikrober kewajiban untuk melakukan pembinaan kepada mitra binaannya dalam satu
atau lebih aspek :

11
PEMBERDAYAAN UMKM & BDSP DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI (M-1)

a. Pemasaran, dengan :
1) membantu akses pasar;
2) memberikan bantuan informasi pasar;
3) memberikan bantuan promosi;
4) mengembangkan jaringan usaha;
5) membantu melakukan identifikasi pasar dan perilaku konsumen;
6) membantu peningkatan mutu produk dan nilai tambah kemasan.
b. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia, dengan :
1) pendidikan dan pelatihan;
2) magang;
3) studi banding;
4) konsultasi.
c. Permodalan, dengan :
1) pemberian informasi sumber-sumber kredit;
2) tata cara pengajuan penjaminan dari berbagai sumber lembaga penjaminan;
3) mediator terhadap sumber-sumber pembiayaan;
4) informasi dan tata cara penyertaan modal;
5) membantu akses permodalan.
d. Manajemen, dengan :
1) bantuan penyusunan studi kelayakan;
2) sistem dan prosedur organisasi dan manajemen;
3) menyediakan tenaga konsultan dan advisor.
e. Teknologi, dengan :
1) membantu perbaikan, inovasi dan alih teknologi;
2) membantu pengadaan sarana dan prasarana produksi sebagai unit percontohan;
3) membantu perbaikan sistem produksi dan kontrol kualitas;
4) membantu pengembangan disain dan rekayasa produk;
5) membantu meningkatkan efisiensi pengadaan bahan baku.

Usaha kecil / mikro yang bermitra berkewajiban untuk


a. meningkatkan kemampuan manajemen dan kinerja usahanya secara berkelanjutan, sehingga
lebih mampu melaksanakan kemitraan dengan Usaha Besar atau Usaha Menengah; dan
b. memanfaatkan dengan sebaik-baiknya berbagai bentuk pembinaan dan bantuan yang diberikan
oleh Usaha Besar dan atau Usaha Menengah.

12
PEMBERDAYAAN UMKM & BDSP DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI (M-1)

Berikut ini digambarkan beberapa skema Kemitraan Pola Inti Plasma


Contoh 1 : Kebun Kelapa Sawit
PEMDA

DINAS DINAS
KOPERASI PERKEBUNAN

ASTRA AGRO OFFTA KER KUD


LESTARI KEBUN SAWIT

ANGGOTA ANGGOTA ANGGOTA

PERBANKAN

PERUM PKK

KKMB

Contoh 2 : Peternakan Ayam


PEMDA

DINAS DINAS
KOPERASI PETERNAKAN

KOPERASI
CHARUN
PETERNAK
POKPHAN
AYAM

ANGGOTA ANGGOTA ANGGOTA

PERBANKAN

PERUM PKK

KKMB

B. Pola Bapak Angkat

13
PEMBERDAYAAN UMKM & BDSP DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI (M-1)

Pada dasarnya pola bapak angkat adalah refleksi kesediaan pihak yang mampu (besar) untuk
membantu pihak lain yang kurang mampu (kecil) pihak yang memang memerlukan
pembinaan. Oleh karena itu, pada hakikatnya pola pendekatan tersebut adalah cermin atau
wujud rasa kepedulian pihak yang besar terhadap yang kecil. Pola Bapak angkat dalam
pengembangan UMK umumnya banyak dilakukan BUMN dengan usaha mikro dan kecil.
Berikut ini dicontohkan skema pembinaan kepada UMK dengan pola Bapak Angkat.

PEMDA

DINAS DINAS
KOPERASI PERINDUSTRIAN

KELOMPOK
KRAKATAU PEM BINAAN
PEM BIYAAN INDUSTRI
STEEL EMPING

ANGGOTA ANGGOTA ANGGOTA

PERBANKAN

PERUM PKK

KKMB

3.1.4. Pemberdayaan BDSP

A. Lembaga Jasa Pengembangan Usaha


Sampai saat ini pengertian Business Development Services (BDS) yang diterjemahkan
sebagai “Jasa Pengembangan Usaha (JPU) begitu pula Business Development Services Provider
(BDSP) masih bervariasi sehingga perlu diarahkan agar semua pihak dapat menerimanya dan
menggunakannya. BDS adalah suatu kegiatan dalam bentuk jasa dalam berbagai bidang yang
dilakukan oleh individu dan atau lembaga untuk tujuan pengembangan usaha, dalam hal ini
UMKM. Sedangkan BDSP adalah suatu lembaga yang memberi/menyediakan pelayanan jasa
untuk pengembangan usaha UMKM dalam berbagai bidang antara lain teknis, sosial-ekonomi,
keuangan, dll.
Selain pengertian yang dikemukakan di atas, Committee of Donor Agencies for Small
Enterprise Development mendefinisikan BDS sebagai berikut “jasa non-finansial yang
meningkatkan kinerja suatu perusahaan, akses ke pasar, dan kemampuannya untuk bersaing”.
Sedangkan Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) menyebutkan

14
PEMBERDAYAAN UMKM & BDSP DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI (M-1)

sebagai” jasa-jasa bisnis strategis yang meliputi perangkat lunak komputer dan jasa proses
informasi, riset dan jasa pengembangan dan teknis, jasa marketing, jasa pengelolaan organisasi
bisnis dan jasa pengembangan sumber daya manusia”. Sementara ini telah tercapai konsensus
internasional bahwa jasa-jasa perdagangan, hiburan, akomodasi, transportasi dan keuangan dalam
hubungannya dengan penyediaan modal, tidak akan dipertimbangkan sebagai BDS atau jasa
bisnis strategis.
Kementerian Koperasi dan UKM mendefinisikan BDSP sebagai lembaga atau bagian dari
lembaga yang memberikan layanan pengembangan bisnis dalam rangka meningkatkan kinerja
UMKM. Lembaga tersebut berbadan hukum, bukan lembaga keuangan, serta dapat memperoleh
fee dari jasa layanannya. Definisi BDSP dari Swisscontact, suatu lembaga yang aktif dalam
pengembangan BDS di Indonesia, menyebutkan bahwa BDS merupakan bentuk jasa non
keuangan yang disediakan oleh lembaga eksternal (Pemerintah atau Swasta) yang bertugas
memecahkan masalah yang dihadapi UMKM serta memberikan jasa pengembangan bisnis yang
diperlukan.
Dalam hubungan dengan pemberdayaan BDSP maka jasa yang diberikan oleh BDSP
adalah konsultansi/pendampingan dalam hal manajemen/analisis keuangan agar terjadi kemitraan
dengan bank atau terjadinya penyaluran dana bank kepada UMKM tersebut disertai dengan
pembinaannya.

1) Perkembangan Lembaga Jasa Pengembang Usaha


Peningkatan jasa-jasa strategis dianggap mempunyai nilai khusus bagi peningkatan
kinerja UMKM di kebanyakan negara berkembang. Menurut data dan estimasi terakhir
OECD, jasa usaha strategis di negara-negara OECD adalah sebagai berikut:
a) merupakan salah satu dari sektor-sektor ekonomi yang tumbuh paling cepat dengan tingkat
pertumbuhan rata-rata mencapai 10 % per tahun.
b) mencapai total estimasi omzet sekitar US$ 1.5 triliun dalam tahun 1999, atau sekitar
delapan kali PDB Indonesia.
c) memperkerjakan jauh lebih banyak tenaga kerja akibat kegiatan usaha meningkat.
Banyak bukti-bukti lain yang menunjukan manfaat dan perkembangan penyebaran BDSP
sebagai suatu lembaga atau perorangan pemberi jasa-jasa strategis.

2) Jenis Lembaga Jasa Pengembangan Usaha


a) Departemen Teknis – Konsultan/Pendamping Teknis
- Departemen Pertanian – BPP PPL
- Departemen Koperasi & UKM – BDS
- BKKBN – PLKB
- Departemen Perindag, Departemen Sosial – PSL
- Departemen Dalam Negeri – KMT Propinsi dll.
b) Swasta – Konsultan seperti yang tergabung dalam Inkindo, Iwapi, Kadin,
Asosiasi BDS, Swiss Contact dan konsultan swasta lainnya.
c) LPSM – Konsultan/Pendamping Sosial, seperti Bina Swadaya, LP3ES,
Altrabaku dan lain-lain.
d) Lembaga Penelitian – Konsultan/Pendamping seperti lembaga-lembaga
yang dibentuk oleh Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta.

15
PEMBERDAYAAN UMKM & BDSP DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI (M-1)

B. Pembentukan BDSP
Konsultan/Pendamping merupakan anggota atau unsur BDSP yang memenuhi standar
kualifikasi tertentu.
Konsultan/pendamping yang merupakan anggota atau unsur BDSP tersebut menyiapkan
UMKM di bidang non keuangan seperti produksi dan teknologi, manajemen, pengembangan
usaha dan pemasaran. Selama ini, fungsi konsultansi dan pendampingan telah dilakukan oleh
beberapa instansi/lembaga seperti Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) di Departemen Pertanian,
Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) di BKKBN, asosiasi UMKM seperti Ikatan
Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI), Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN),
Perguruan Tinggi dan konsultan swasta baik yang tergabung dalam asosiasi konsultan (misalnya
INKINDO) maupun asosiasi lainnya.

C. Konsep Pemberdayaan BDSP

Sebagaimana telah disebutkan, pengembangan dan pemberdayaan UMKM dilakukan


oleh berbagai pihak baik dinas/instansi pemerintah, perbankan, swasta, lembaga swadaya
masyarakat, maupun lembaga-lembaga internasional. Pemberdayaan UMKM dilakukan oleh
lembaga atau individu-individu pendamping/konsultan yang dibentuk atau bekerja pada lembaga
tersebut dalam bidang teknis, manajemen, keuangan dan sebagainya, sesuai dengan sektor dan
bidang keahlian masing-masing.

Adanya pendamping atau konsultan tersebut sangat membantu UMKM dalam


mengembangkan usahanya, akan tetapi untuk mengembangkan usaha lebih jauh UMKM
seringkali menemui kendala untuk akses dengan lembaga keuangan khususnya perbankan. Di
lain pihak perbankan yang memiliki alokasi sumber dana belum dapat menjangkau lebih banyak
UMKM karena keterbatasan informasi dan SDM yang dimiliki. Peranan pendamping/konsultan
dalam menghubungkan UMKM dengan bank menjadi sangat strategis karena dapat menciptakan
kesinambungan usaha UMKM dan dapat mengatasi keterbatasan perbankan dalam menjangkau
UMKM. Konsultan/pendamping UMKM yang mampu menghubungkan dengan bank dapat
menjadi mitra bank

Sehubungan dengan peranan yang strategis tersebut, konsultan/pendamping UMKM perlu


diperkuat dari aspek keuangan dan perbankan melalui pendidikan dan pelatihan yang terpadu,
sehingga menjadi konsultan keuangan/pendamping UMKM yang profesional dan dapat menjadi
mitra bank.

Pemberdayaan BDSP dimaksudkan untuk memberdayakan konsultan/pendamping, baik


swasta maupun yang dibentuk Pemerintah, yang selama ini terlibat dalam pengembangan
UMKM. Pembentukan BDSP didasarkan pada visi untuk memperluas akses sektor UMKM
kepada kredit perbankan, sedangkan misinya adalah memberdayakan Konsultan
Keuangan/Pendamping UMKM agar mampu menyediakan jasa pengembangan bisnis dan
berfungsi sebagai “jembatan penghubung” antara UMKM dan bank.

Pemberdayaan BDSP melibatkan banyak pihak yaitu Pemerintah, KPK, Bank Indonesia,
perbankan dan swasta. Oleh karena itu perlu sebuah wadah atau forum yang dapat melaksanakan
dan mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan BDSP tersebut, yaitu berupa Satuan Tugas.

16
PEMBERDAYAAN UMKM & BDSP DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI (M-1)

BAHAN BACAAN

1. Anggadiredja, Dedi dan Djajamihardja, Didi B. 1991. Ciri-ciri Kewiraswastaan.


PPK/CCK/13?DA-DBD/V/91. Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia.
Jakarta.

17
PEMBERDAYAAN UMKM & BDSP DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI (M-1)

2. Arianto dan Sri Hartini. 2003. Fasilitas Pinjaman Modal Bagi UMKM. Bank dan
Wirausaha. ISSN : 1693-2498 edisi 07.
3. Budi Purwanto. 2003. Fasilitas Pinjaman Modal Bagi UMKM. Bank dan Wirausaha.
ISSN : 1693-2498 edisi 07.
4. Condington, Walter.1993. Environmental marketing, positive strategi for reaching the
green consumer. Mcgraw-Hill.
5. Djaelan, Helmy A. 2003. Pemberdayaan UMKM. PT. Financial Consultant Asia. Jakarta
6. Gittinger, Price, J. (1986). Economic Analysis of Algiculture (Terjemahan : Analisa
Ekonomi Proyek-proyek Pertanian). UI-Press, Johns Hopkins, Jakarta.
7. Sumodiningrat, Gunawan. 2003. Pemberdayaan Masyarakat Menuju Pembangunan
Partisipatif (Disampaikan dalam Diklat Pembangunan Partisipatif
Masyarakat). Jakarta
8. Lessem, Ronnie. 1992. Intrausaha, Analisis Pribadi Pengusaha Sukses. Peterjemah :
Liana Setiono. Seri Pustaka Eksekutif No.19. Jakarta.
9. Pinchot III, Gifford.1985. Intrapreneuring. Harper & Row, Publishers, New York.
10. Peraturan Bank Indonesia No. 5/18/PBI/2003. Tentang Pemberian Bantuan Teknis Dalam
Rangka Pengmebangan Usaha Mikro dan Kecil.
11. Saefuddin Sarief. 1995. Dukungan Pendanaan Menunjang Pengembangan Agribisnis dan
Agroindustri. Rangkuman Lokakarya. Fakultas Pertanian – Universitas
Padjadjaran, Bandung.
12. Soetoro. 1995 Panduan Penyusunan dan Model Studi Kelayakan Proyek-Proyek
Agribisnis dan Agroindustri. Rangkuman Lokakarya. Fakultas Pertanian –
Universitas Padjadjaran, Bandung.
13. Biro Kredit - Bank Indonesia. Modul Pelatihan Pengembangan Hubungan Bank Dengan
Kelompok Swadaya Masyarakat, edisi Desember 2003.
14. Sumahamijaya, Suparman. 1974. Menggali, Menempa dan Mengembangkan Kepribadian
Unggul Wiraswasta. Seri Kewiraswastaan No. 754. Lembaga Bina
Wiraswasta. Jakarta.

18
PEMBERDAYAAN UMKM & BDSP DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI (M-1)

15. Komite Penanggulangan Kemiskinan, 2003. Informasi Dasar Penyusunan Strategi


Penanggulangan Kemiskinan Daerah. Badan Perencanan Pembangunan
Nasional, Jakarta

16. --------------------------, 2003. Informasi Dasar Pengarusutamaan Penanggulangan


Kemiskinan Di Daerah. Badan Perencanan Pembangunan Nasional,
Jakarta

17. --------------------------, 2003. Sistem Data Dan Penentuan Sasaran (Targeting) Dalam
Penanggulangan Kemiskinan. Badan Perencanan Pembangunan Nasional.
Jakarta

18. PT. Jasa Marga, 2002. Etika Bisnis. Program Pelatihan dan Supervisi Bagi Mitra Binaan
PT. Jasa Marga (Persero). Berkerjasama dengan Fakultas Ekonomi
Universitas Kertanegara. Jakarta

19. Unit Bantuan Teknis Pemberdayaan KKMB, 2003. Petunjuk Pelaksanaan Pemberdayaan
Konsultan Keuangan Mitra Bank. Bank Indonesia. Jakarta

20. --------------------------, 2003. Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 1999 Tentang Sistem
Data Dan Penentuan Sasaran (Targeting) Dalam Penanggulangan
Kemiskinan. Badan Perencanan Pembangunan Nasional. Jakarta

19

Anda mungkin juga menyukai