Anda di halaman 1dari 26

BAB I

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian

Varicella adalah suatu penyakit infeksi akut primer oleh virus Varicella

Zoster yang menyerang kulit, mukosa dan selaput lendir, klinis terdapat gejala

konstitusi, kelainan kulit polimorf ditandai oleh adanya vesikel-vesikel, terutama

berlokasi di bagian sentral tubuh. Sinonimnya adalah cacar air, chicken pox

(Djuanda, Adhi., dkk, 2011).

Varisela adalah suatu penyakit infeksi akut primer menular, disebabkan

oleh Varicella Zooster Virus (VZV), yang menyerang kulit dan mukosa, dan

ditandai dengan adanya vesikel-vesikel (Straus SE dan Oxman MN, 2004).

B. Etiologi

Varisela disebabkan oleh Varicella Zoster Virus (VZV). Virus ini termasuk

dalam kelompok Herpes Virus. Virus ini berkapsul dengan diameter kira-kira 150-

200 nm. Inti virus disebut capsid yang berbentuk ikosahedral, terdiri dari protein

dan DNA berantai ganda. Berbentuk suatu garis dengan berat molekul 100 juta

dan disusun dari 162 isomer. Lapisan ini bersifat infeksius. VZV dapat ditemukan

dalam cairan vesikel dan dalam darah penderita. Virus ini dapat diinokulasikan

dengan menggunakan biakan dari fibroblas paru embrio manusia kemudian dilihat

dibawah mikroskop elektron. Di dalam sel yang terinfeksi akan tampak adanya sel

raksasa berinti banyak (multinucleated giant cell) dan adanya badan inklusi

eosinofilik jernih (intranuclear eosinophilic inclusion bodies) (Kurniawan,

Martin., dkk, 2009).


Varisela disebabkan oleh Herpes virus varicella atau disebut juga virus

varicella-zoster (virus V-Z). Virus tersebut dapat pula menyebabkan herpes zoster.

Kedua penyakit ini mempunyai manifestasi klinis yang berbeda. Diperkirakan

bahwa setelah ada kontak dengan virus V-Z akan terjadi varisela; kemudian

setelah penderita varisela tersebut sembuh, mungkin virus itu tetap ada dalam

bentuk laten (tanpa ada manifestasi klinis) dan kemudian virus V-Z diaktivasi oleh

trauma sehingga menyebabkan herpes zoster. Virus V-Z dapat ditemukan dalam

cairan vesikel dan dalam darah penderita verisela dapat dilihat dengan mikroskop

electron dan dapat diisolasi dengan menggunakan biakan yang terdiri dari

fibroblas paru embrio manusia (Behrman, Richar E., 1992).

C. Tanda dan Gejala

Gambaran klinik varisela dibagi menjadi 2 stadium (Behrman, Richar E., 1992) :

1. Stadium prodromal: 24 jam sebelum kelainan kulit timbul, terdapat gejala

panas, perasaan lemah (malaise), anoreksia. Kadang-kadang terdapa kelainan

scarlatinaform atau morbiliform.

2. Stadium erupsi: Dimulai dengan terjadinya papula merah, kecil yang berubah

menjadi vesikel yang berisi cairan jernih dan mempunyai dasar eritematous.

Permukaan vesikel tidak memperlihatkan cekungan di tengah (unumbilicated).

Isi versikel berubah menjadi keruh dalam waktu 24 jam. Biasanya vesikel

menjadi kering sebelum isinya menjadi keruh. Dalam 3-4 hari erupsi tersebar;

mula-mula di dada lalu ke muka, bahu dan anggota gerak. Erupsi ini disertai

perasaan gatal. Pada suatu saat terdapat macam-macam stadium erupsi, ini

merupakan tanda khas penyakit verisela. Vesikel tidak hanya terdapat di kulit,

melainkan juga di selaput lendir mulut. Bila terdapat infeksi sekunder, maka

akan terjadi limfadenopatia umum. Karena kemungkinan mendapat varisela


selama masa kanak-kanak sangat besar, maka varisela jarang ditemukan pada

wanita hamil (0,7 tiap 1.000 kehamilan). Diperkirakan 17% dari anak yang

dilahirkan wanita yang mendapat verisela ketika hamil akan menderita

kelainan bawaan berupa bekas luka di kulit (cutaneous scars), berat badan

lahir rendah, hipoplasia tungkai, kelumpuhan dan atrofi tungkai, kenang,

retardasi mental, koriorenitis, atrofi kortikal, katarak atau kelainan pada mata

lainnya. Angka kematian tinggi, bila seorang wanita hamil mendapat varisela

dalam 21 hari sebelum ia melahirkan, maka 25% dari neonatus yang

dilahirkan akan memperlihatkan gejala varisela kongenital pada waktu

dilahirkan sampai berumur 5 hai. Biasanya varisela yang timbul berlangsung

ringan dan tidak mengakibatkan kematian. Sedangkan bila seorang wanita

hamil mendapat varisela dalam waktu 4-5 hari sebelum melahirkan, maka

neonatusnya akan memperlihatkan gejala varisela kongenital pada umur 5-10

hari. Di sini perjalanan penyakit varisela sering berat dan menyebabkan

kematian sebesar 25-30%. Mungkin ini ada hubungannya dengan kurun waktu

fetus berkontak dengan varisela dan dialirkannya antibody itu melalui plasenta

kepada fetus. Seorang neonatus jarang mendapat varisela di bangsal

perinatologi dari seorang perawat atau petugas bangsal lainnya, tapi bila ini

terjadi maka perjalanan penyakit amat ringan dan terlihat gejala-gejala seperti

pada anak yang besar.

D. Patofisiologi

Virus varisela-zoster masuk ke dalam tubuh manusia melalui mukosa

saluran nafas atau orofaring. Multiplikasi virus ditempat tersebut diikuti oleh

penyebaran virus dalam jumlah sedikit melalui darah dan limfe (viremia primer).

Virus dimusnahkan oleh sel sistem retikuloendotelial, yang merupakan tempat


utama replikasi virus selama masa inkubasi. Selama masa inkubasi virus dihambat

sebagian oleh mekanisme pertahanan tubuh yang terinfeksi, replikasi virus dapat

mengalahkan pertahanan tubuh yang belum berkembang, sehingga 2 minggu

setelah infeksi terjadi viremia sekunder dalam jumlah yang lebih banyak. Viremia

tersebut menyebabkan demam dan malese anorexia serta menyebarkan virus ke

seluruh tubuh, terutama ke kulit dan mukosa. Lesi kulit yang terjadi berupa

makula, sebagian besar berkembang menjadi papula, vesicula, pustula, dan krusta

sesudah beberapa hari. Vesicula biasanya terletak pada epidermis (Boediardja.,

Siti Aisah., dkk, 2003).

Respons imun pasien yang kemudian berkembang akan menghentikan

viremia dan menghambat berlanjutnya lesi pada kulit dan organ lain. Terjadinya

komplikasi varisela (pneumonia dan lain-lain) mencerminkan gagalnya respons

imun tersebut menghentikan replikasi serta penyebaran virus dan berlanjutnya

infeksi. Keadaan ini terutama terjadi pada pasien imunokompromais. Dalam 2-5

hari setelah gejala klinis varisela terlihat, antibody (IgG, IgM, IgA) spesifik

terhadap VVZ dapat dideteksi dan mencapai titer tertinggi pada minggu kedua

atau ketiga. Setelah itu titer IgG menurun perlahan, sedangkan IgM dan IgA

menurun lebih cepat dan tidak terdeteksi satu tahun setelah infeksi. Imunitas

selular terhadap VVZ juga berkembang selama infeksi dan menetap selama

bertahun-tahun. Pada pasien imunokompeten imunitas humoral terhadap VVZ

berfungsi protektif terhadap varisela, sehingga pajanan ulang tidak menyebabkan

infeksi (kekebalan seumur hidup). Imunitas selular lebih penting daripada

imunitas humoral untuk penyembuhan varisela. Pada pasien imunokompromais,

oleh karena imunitas humoral dan selularnya terganggu, pajanan ulang dapat

menyebabkan rekurensi dan varisela menjadi lebih berat dan berlangsung lebih

lama (Boediardja., Siti Aisah., dkk, 2003).


E. Penatalaksanaan

1. Pengobatan Umum

Pada pasien imunokompeten varisela biasanya ringan dan dapat sembuh

sendiri. Untuk mengatasi gatal dapat diberikan kompres dingin atau lotion

kalamin dan antihistamin oral. Bila lesi masih vesicular dapat diberikan bedak

agar tidak mudah pecah, dapat ditambahkan antipruritus di dalamnya,

misalnya mentol 0,25-0,5%. Bila vesikel sudah pecah atau sudah terbentuk

krusta, dapat diberikan salap antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder

bacterial. Mandi rendam dalam air hangat yang diberi antiseptik dapat

mengurangi gatal dan mencegah infeksi bacterial sekunder pada kulit. Krim

atau lotion kortikosteroid serta salap bersifat oklusif sebaiknya tidak

digunakan (Boediardja., Siti Aisah., dkk, 2003).

Kadang diperlukan antipiretik/analgetik, tetapi golongan salisilat

sebaiknya dihindari karena sering dihubungkan dengan terjadinya sindrom

Reye. Kuku jari tangan harus dipotong dan dijaga kebersihannya untuk

mencegah infeksi sekunder dan parut yang dapat terjadi karena garukan

(Boediardja., Siti Aisah., dkk, 2003).

2. Obat Antivirus

Dengan tersedianya obat antivirus yang efektif terhadap VVZ, dokter

maupun pasien/orang tua pasien sering dihadapkan pada pilihan untuk

menggunakan obat antivirus atau tidak. Pada anak imunokompeten, varisela

biasanya ringan sehingga umumnya tidak memerlukan pengobatan antivirus.

Antivirus efektif bila diberikan dalam 24 jam setelah awitan lesi kulit karena

dapat lebih cepat menurunkan demam serta gejala kulit dan sistemik.

Pada bayi/anak imunokompromais berat, antivirus intravena merupakan obat

pilihan agar kadar dalam plasma cukup tinggi untuk menghambat replikasi
virus. Antivirus intravena secara bermakna dapat menurunkan morbiditas dan

mortalitas varisela pada pasien imunokompramais, terutama bila diberikan

dalam 72 jam setelah awitan lesi kulit. Pada pasien imunokompromais ringan

dapat diberikan antivirus oral (Boediardja., Siti Aisah., dkk, 2003).

Pengobatan secara sistemik dapat dengan memberikan antivirus.

Beberapa analog nukleosida seperti acyclovir, famciclovir, valacyclovir, dan

brivudin, dan analog pyrophosphate foskarnet terbukti efektif untuk mengobati

infeksi VZV. Acyclovir adalah suatu analog guanosin yang secara selektif

difosforilasi oleh timidin kinase VZV sehingga terkonsentrasi pada sel yang

terinfeksi. Enzim-enzim selular kemudian mengubah acyclovir monofosfat

menjadi trifosfat yang mengganggu sintesis DNA virus dengan menghambat

DNA polimerase virus. VZV kira-kira sepuluh kali lipat kurang sensitif

terhadap acyclovir dibandingkan HSV. Valacyclovir dan famcyclovir,

merupakan prodrug dari acyclovir yang mempunyai bioavaibilitas oral lebih

baik daripada acyclovir sehingga kadar dalam darah lebih tinggi dan frekuensi

pemberian obat berkurang (Straus, Stephen E. Oxman, 2008).

Pada anak normal varicella biasanya ringan dan dapat sembuh sendiri.

Pengobatan topical dapat diberikan. Untuk mengatasi gatal dapat diberikan

kompres dingin, atau lotion kalamin, antihistamin oral. Cream dan lotion yang

mengandung kortikosteroid dan salep yang bersifat oklusif sebaiknya tidak

digunakan. Kadang diperlukan antipiretik, tetapi pemberian golongan salisilat

sebaiknya dihindari karena sering dihubungkan dengan terjadinya sindroma

Reye. Mandi rendam dengan air hangat dapat mencegah infeksi sekunder

bakterial (Straus, Stephen E. Oxman, 2008).

Anti virus pada anak dengan pengobatan dini varicella dengan pemberian

acyclovir (dalam 24 jam setelah timbul ruam) pada anak imunokompeten


berusia 2-12 tahun dengan dosis 4 x 20 mg/kgBB/hari selama 7 hari

menurunkan jumlah lesi, penghentian terbentuknya lesi yang baru, dan

menurunkan timbulnya ruam, demam, dan gejala konstitusi bila dibandingkan

dengan placebo. Tetapi apabila pengobatan dimulai lebih dari 24 jam setelah

timbulnya ruam cenderung tidak efektif lagi. Hal ini disebabkan karena

varicella merupakan infeksi yang relatif ringan pada anak-anak dan manfaat

klinis dari terapi tidak terlalu bagus, sehingga tidak memerlukan pengobatan

acyclovir secara rutin. Namun pada keadaan dimana harga obat tidak menjadi

masalah, dan kalau pengobatan bisa dimulai pada waktu yang menguntungkan

(dalam 24 jam setelah timbul ruam), dan ada kebutuhan untuk mempercepat

penyembuhan sehingga orang tua pasien dapat kembali bekerja, maka obat

antivirus dapat diberikan (Straus, Stephen E. Oxman, 2008).

Pada remaja dan dewasa, pengobatan dini varicella dengan pemberian

acyclovir dengan dosis 5 x 800 mg selama 7 hari menurunkan jumlah lesi,

penghentian terbentuknya lesi yang baru, dan menurunkan timbulnya ruam,

demam, dan gejala konstitusi bila dibandingkan dengan placebo (Straus,

Stephen E. Oxman, 2008).

Secara acak, pemberian placebo dan acyclovir oral yang terkontrol pada

orang dewasa muda yang sehat dengan varicella menunjukkan bahwa

pengobatan dini (dalam waktu 24 jam setelah timbulnya ruam) dengan

acyclovir oral (5x800 mg selama 7 hari) secara signifikan mengurangi

terbentuknya lesi yang baru, mengurangi luasnya lesi yang terbentuk, dan

menurunkan gejala dan demam. Dengan demikian, pengobatan rutin dari

varicella pada orang dewasa tampaknya masuk akal. Meskipun tidak diuji, ada

kemungkinan bahwa famciclovir, yang diberikan dengan dosis 200 mg per

oral setiap 8 jam, atau valacyclovir dengan dosis 1000 mg per oral setiap 8
jam mudah dan tepat sebagai pengganti acyclovir pada remaja normal dan

dewasa (Straus, Stephen E. Oxman, 2008).

Banyak dokter tidak meresepkan acyclovir untuk varicella selama

kehamilan karena risiko bagi janin yang dalam pengobatan belum diketahui.

Sementara dokter lain merekomendasikan pemberian acyclovir secara oral

untuk infeksi pada trisemester ketiga ketika organogenesis telah sempurna,

ketika mungkin ada peningkatan terjadinya resiko pneumonia varicella, dan

ketika infeksi dapat menyebar ke bayi yang baru lahir. Pemberian acyclovir

intravena sering dipertimbangkan untuk wanita hamil dengan varicella yang

disertai dengan penyakit sistemik (Straus, Stephen E. Oxman, 2008).

Percobaan terkontrol yang dilakukan pada orang dewasa imunokompeten

dengan pneumonia varicella menunjukkan bahwa pengobatan dini (dalam

waktu 36 jam dari rumah sakit) dengan acyclovir intravena (10mg/kgBB

setiap 8 jam) dapat mengurangi demam dan takipnea dan meningkatkan

oksigenasi. Komplikasi serius lainnya dari varicella pada orang yang

imunokompeten, seperti ensefalitis, meningoencephalitis, myelitis, dan

komplikasi okular, sebaiknya diobati dengan acyclovir intravena (Straus,

Stephen E. Oxman, 2008).

Percobaan terkontrol pada pasien immunocompromised dengan varicela

menunjukkan bahwa pengobatan dengan asiklovir intravena menurunkan

insiden komplikasi yang mengancam kehidupan visceral ketika pengobatan

dimulai dalam waktu 72 jam dari mulai timbulnya ruam. Acyclovir intravena

menjadi standar perawatan untuk varicella pada pasien yang disertai dengan

imunodefisiensi substansial. Meskipun pemberian terapi oral dengan

famciclovir atau valacyclovir mungkin cukup untuk pasien dengan derajat

ringan gangguan kekebalan tubuh, tetapi tidak ada uji klinis terkontrol yang
menunjukkan secara pasti. Pada penyakit berat atau wanita hamil dapat

diberikan acyclovir IV 10mg/kgBB tiap 8 jam selama 7 hari (Straus, Stephen

E. Oxman, 2008).

Serum imuno globulin-gama tidak dianjurkan kecuali pada penderita

leukemia, penyakit keganasan lain dan bila terdapat defisiensi imunologis.

Vidarabine atau adenine arabinoside in vitro mempunyai sifat anti virus

terhadap virus varicella. Vidarabine dapat digunakan dengan hasil yang baik

pada penderita pneumonie varicella. Dosis yang dianjurkan ialah

15mg/kgBB/hari, tidak toksik terhadap sumsum tulang dan tidak menekan

immune response (Hasan, Rusepno dan Husein Alatas, 2007).

F. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Herper J (2000), pemeriksaan varicella dapat dilakukan beberapa

test, yaitu :

1. Tzanck smear

Preparat diambil dari discraping dasar vesikel yang masih baru, kemudian

diwarnai dengan pewarnaan hematocylin-eosin, giemsa’s wright’s, toulidine

blue atau papanicopalaou’s. Dengan menggunakan mikroskop cahaya akan

dijumpai multinucleatid giant cells. Pemeriksaan ini sensitifitasnya 84%,

dimana test ini tidak dapat membedakan antara varicella zoster dan herpses

simpleks virus.

2. Direct Fluorescent Assay (DFA)

Preparat diambil dari scraping dasar vesikel tetapi apabila sudah berbentuk

krusta, dimana pemeriksaan ini kurang sensitif. Hasil pemeriksaan ini lebih

cepat dan membutuhkan mikroskop fluorescence. Test ini dapat menemukan


antigen virus varicella zoster, dimana test ini dapat membedakan antara

varicella zoster dan herpses simpleks virus.

3. Polymerase Chain Reaction (PCR)

Pemeriksaan dengan metode ini sangat cepat dan sensitif. Metode ini dapat

digunakan dalam berbagai jenis preparat seperti scraping dasar vesikel dan

apabila sudah berbentuk krusta dapat jugan digunakan sebagai preparat.

Sensitifitasnya berkisar 97-100%, dimana test ini dapat menemukan nucleic

acid dari virus varicella zoster.

4. Biopsi kulit

Hasil pemeriksaan hispatologis ditemukan adanya vesikel intraepidermal

dengan degenerasi sel epidermal dan acantholysis. Pada dermis bagian atas

ditemukan adanya lympocytic infiltrate.

G. Komplikasi

Komplikasi pada anak-anak umumnya jarang terjadi. Komplikasi lebih

sering terjadi pada orang dewasa, berupa ensefalitis, pneumonia,

glomerulonephritis, karditis, hepatitis, keratitis, konjungtivitis, otitis, arteritis, dan

kelainan darah (beberapa macam purpura) (Djuanda, Adhi., dkk, 2011).

Pada anak sehat, varicella merupakan penyakit ringan dan jarang disertai

komplikasi. Angka mortalitas pada anak usia 1-14 tahun diperkirakan 2/100.000

kasus, namun pada neonatus dapat mencapai hingga 30%. Komplikasi tersering

umumnya disebabkan oleh infeksi sekunder bakterial pada lesi kulit, yang

biasanya disebabkan oleh Stafilokokus aureus atau Streptokokus beta hemolitikus

grup A, sehingga terjadi impetigo, furunkel, selulitis, atau erisipelas, tetapi jarang

terjadi gangren. Infeksi fokal tersebut sering menyebabkan jaringan parut, tetapi

jarang terjadi sepsis yang disertai infeksi metastase ke organ yang lainnya. Vesikel
dapat menjadi bula bila terinfeksi stafilokokus yang menghasilkan toksin

eksfoliatif (Siregar, RS, 2004).

Pneumonia varicella hanya terdapat sebanyak 0,8% pada anak, biasanya

disebabkan oleh infeksi sekunder dan dapat sembuh sempurna. Pneumonia

varicella jarang didapatkan pada anak dengan system imunologis normal,

sedangkan pada anak dengan defisiensi imunologis atau pada orang dewasa tidak

jarang ditemukan (Hasan, Rusepno dan Husein Alatas, 2007).

Pneumonia, otitis media, dan meningitis supurativa jarang terjadi dan

responsif terhadap antibiotik yang tepat. Bagaimanapun juga, superinfeksi bakteri

umum dijumpai dan berpotensi mengancam kehidupan pada pasien dengan

leukopenia (Hasan, Rusepno dan Husein Alatas, 2007).

Varicella pada kehamilan mengancam ibu dan janinnya. Infeksi yang

menyebar luas dan varicella pneumonia dapat mengakibatkan kematian pada ibu,

tetapi baik kejadian maupun keparahan pneumonia varicella tampaknya

meningkat secara signifikan pada kehamilan. Janin dapat meninggal karena

kelahiran prematur atau kematian ibu karena varicella pneumonia berat, tetapi

varicella selama kehamilan, tidak, jika tidak secara subtansial meningkatkan

kematian janin. Namun demikian, pada varicella yang tidak disertai komplikasi,

viremia pada ibu dapat menyebabkan infeksi intrauterin (kongenital), dan dapat

menyebabkan abnormalitas kongenital. Varicella perinatal (varicella yang terjadi

dalam waktu 10 hari dari kelahiran) lebih serius daripada varicella yang terjadi

pada bayi yang terinfeksi beberapa minggu kemudian (Siregar, RS, 2004).

Morbiditas dan mortalitas pada varicella secara nyata meningkat pada

pasien dengan defisiensi imun. Pada pasien ini replikasi virus yang terus-menerus

dan menyebar luas mengakibatkan terjadinya viremia yang berkepanjangan,

dimana mengakibatkan ruam yang semakin luas, jangka waktu yang lebih lama
dalam pembentukan vesikel baru, dan penyebaran visceral klinis yang signifikan.

Pada pasien dengan defisiensi imun dan diterapi dengan kortikosteroid mungkin

dapat berkembang menjadi pneumonia, hepatitis, encephalitis, dan komplikasi

berupa perdarahan, dimana derajat keparahan dimulai dari purpura yang ringan

hingga parah dan seringkali mengakibatkan purpura yang fulminan dan varicella

malignansi (Siregar, RS, 2004).

Komplikasi pada susunan saraf seperti ensefalitis, ataksia, nistagmus,

tremor, myelitis transversa akut, kelumpuhan saraf muka, neuromielitis optika

atau penyakit Devic dengan kebutaan sementara, sindroma hipotalamus yang

disertai dengan obesitas dan panas badan yang berulang-ulang. Penderita varicella

dengan komplikasi ensefalitis setelah sembuh dapat meninggalkan gejala sisa

seperti kejang, retardasi mental dan kelainan tingkah laku (Hasan, Rusepno dan

Husein Alatas, 2007).

Komplikasi susunan saraf pusat pada varicella terjadi kurang dari 1

diantara 1000 kasus. Varicella berhungan dengan sindroma Reye (ensepalopati

akut disertai degenerasi lemak di liver) yang khas terjadi 2 hingga 7 hari setelah

timbulnya ruam. Dulu, dari 15-40% pada semua kasus sindroma Reye

berhubungan dengan varicella, khususnya pada penderita yang diterapi dengan

aspirin saat demam, dengan mortalitas setinggi 40%. Ataksia serebri akut lebih

umum terjadi daripada kelainan neurologi yang lainnya. Encephalitis lebih jarang

lagi terjadi yaitu pada 1 diantara 33.000 kasus, tetapi merupakan penyebab

kematian tertinggi atau menyebabkan kelainan neurologi yang menetap.

Patogenesa terjadinya ataksia serebelar dan ensephalitis tetap jelas, dimana pada

banyak kasus ditemukan adanya VZV antigen, VZV antibodi, dan VZV DNA

pada cairan cerebrospinal pada pasien, yang diduga menyebabkan infeksi secara

langsung pada sistem saraf pusat (Martin, Kurniawan., dkk, 2009).


Anak dengan sistem imunologis yang normal jarang mendapat komplikasi

tersebut di atas, sedangtkan anak dengan defisiensi imunologis, anak yang

menderita leukemia, anak yang sedang mendapat pengobatan anti metabolit atau

steroid (penderita sindrom nefrotik, demam reumatik) dan orang dewasa sering

mendapat komplikasi tersebut, kadang-kadang varicella pada penderita tersebut

dapat menyebabkan kematian (Hasan, Rusepno dan Husein Alatas, 2007).

H. Prognosis

Dengan perawatan yang teliti dan memperhatikan higiene memberi

prognosis yang baik dan jaringan parut yang timbul sangat sedikit.6 Infeksi primer

varicella memiliki tingkat kematian 2-3 per 100.000 kasus dengan case fatality

rate pada anak berumur 1-4 tahun dan 5-9 tahun (1 kematian per 100.000 kasus).

Pada bayi rata-rata resiko kematian adalah sekitar 4 kali lebih besar dan pada

dewasa sekitar 25 kali lebih besar. Rata-rata 100 kematian terjadi di USA sebelum

ditemukannya vaksin varicella, komplikasi yang menjadi penyebab utama

kematian, antara lain: pneumonia, komplikasi SSP, infeksi sekunder, dan

perdarahan (Martin, Kurniawan., dkk, 2009).


BAB II

KONSEP DASAR KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1. Biodata

a. Identitas Pasien

Di dalam identitas hal-hal yang perlu di kaji antara lain nama pasien,

alamat pasien, umur pasien biasanya kejadian ini mencakup semua usia

antara anak-anak sampai dewasa, tanggal masuk rumah  sakit penting

untuk di kaji untuk melihat perkembangan dari pengobatan, penanggung

jawab pasien agar pengobatan dapat di lakukan dengan persetujuan dari

pihak pasien dan petugas kesehatan.

2. Riwayat Kesehatan

a. Keluhan Utama

Gejala yang sering menyebabkan penderita datang ke tempat pelayanan

kesehatan adalah nyeri pada lesi yang timbul dan gatal-gatal pada daerah

yang terkena pada fase-fase awal  pada varicella.

b. Riwayat penyakit Sekarang

Penderita merasakan nyeri yang hebat, terutama pada area kulit yang

mengalami peradangan berat dan vesikulasi yang hebat, selain itu juga

terdapat lesi/vesikel perkelompok dan penderita juga mengalami demam.

c. Riwayat penyakit keluarga

Tanyakan kepada penderita ada atau tidak anggota keluarga atau teman

dekat  yang terinfeksi virus ini.


d. Riwayat penyakit dahulu

Sering diderita kembali oleh klien yang pernah mengalami penyakit herpes

simplek atau memiliki riwayat penyakit seperti herpes zoster.

B. Pengkajian Fisik

1. Tingkat keasadaran

a. Kesadaran Umum

b. TTV

2. Aktivitas / Istirahat

Tanda : penurunan kekuatan tahanan

3. Integritas ego

Gejala : masalah tentang keluarga, pekerjaan, kekuatan, kecacatan.Tanda :

ansietas, menangis, menyangkal, menarik diri, marah.

4. Makan/cairan

Tanda : anorexia, mual/muntah

5. Neuro sensori

Gejala : kesemutan area bebas Tanda : perubahan orientasi, afek, perilaku

kejang (syok listrik), laserasi corneal, kerusakan retinal, penurunan ketajaman

penglihatan

6. Nyeri / Kenyamanan

Gejala : Sensitif untuk disentuh, ditekan, gerakan udara, peruban suhu.

7. Keamanan

Tanda : umum destruksi jaringan dalam mungkin terbukti selama 3-5 hari

sehubungan dengan proses trambus mikrovaskuler pada kulit.

8. Data subjektif

Pasien merasa lemas, tidak enak badan, tidak nafsu makan dan sakit kepala.
9. Data Objektif

a. Integumen : kulit hangat, pucat dan adanya bintik-bintik kemerahan pada

kulit yang berisi cairan jernih.

b. Metabolik : peningkatan suhu tubuh.

c. Psikologis : menarik diri.

d. GI : anoreksia.

e. Penyuluhan / pembelajaran : tentang perawatan luka varicela.

C. Diagnosa Keperawatan

1. Resiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan kulit.

2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi pada kulit.

3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan luka pada kulit

4. Nyeri akut berhubungan dengan peradangan, lesi kulit (chicken pox)

5. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi

6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurangnya

intake makanan.

7. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan malaise


D. Intervensi Keperawatan

1. Resiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan kulit


Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan
Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil

Risiko infeksi kerusakan NOC : NIC :


jaringan kulit  Immune Status  Pertahankan teknik aseptif
Faktor-faktor risiko :  Knowledge : Infection  Batasi pengunjung bila perlu
 Prosedur Infasif control  Cuci tangan setiap sebelum dan
 Kerusakan jaringan dan  Risk control sesudah tindakan keperawatan
peningkatan paparan Setelah dilakukan  Gunakan baju, sarung tangan sebagai
lingkungan tindakan keperawatan alat pelindung
 Malnutrisi selama…… pasien tidak  Ganti letak IV perifer dan dressing
 Peningkatan paparan mengalami infeksi dengan sesuai dengan petunjuk umum
lingkungan patogen kriteria hasil:  Gunakan kateter intermiten untuk
 Imonusupresi  Klien bebas dari tanda menurunkan infeksi kandung kencing
 Tidak adekuat dan gejala infeksi  Tingkatkan intake nutrisi
pertahanan sekunder  Menunjukkan  Berikan terapi
(penurunan Hb, kemampuan untuk antibiotik:.................................
Leukopenia, penekanan mencegah timbulnya
 Monitor tanda dan gejala infeksi
respon inflamasi) infeksi
sistemik dan lokal
 Penyakit kronik  Jumlah leukosit dalam
 Pertahankan teknik isolasi k/p
 Imunosupresi batas normal
 Inspeksi kulit dan membran mukosa
 Malnutrisi  Menunjukkan perilaku
terhadap kemerahan, panas, drainase
 Pertahan primer tidak hidup sehat
 Monitor adanya luka
adekuat (kerusakan  Status imun,
 Dorong masukan cairan
kulit, trauma jaringan, gastrointestinal,
gangguan peristaltik) genitourinaria dalam  Dorong istirahat
batas normal  Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan
gejala infeksi
 Kaji suhu badan pada pasien
neutropenia setiap 4 jam
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi pada kulit
Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan
Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil

Kerusakan integritas kulit NOC : NIC : Pressure Management


berhubungan dengan lesi  Tissue Integrity : Skin  Anjurkan pasien untuk menggunakan
pada kulit and Mucous pakaian yang longgar
Eksternal : Membranes  Hindari kerutan pada tempat tidur
 Hipertermia atau  Wound Healing :  Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih
hipotermia primer dan sekunder dan kering
 Substansi kimia Setelah dilakukan  Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien)
 Kelembaban tindakan keperawatan setiap dua jam sekali
 Faktor mekanik selama….. kerusakan  Monitor kulit akan adanya kemerahan
(misalnya : alat yang integritas kulit pasien  Oleskan lotion atau minyak/baby oil
dapat menimbulkan luka, teratasi dengan kriteria pada derah yang tertekan
tekanan, restraint) hasil:
 Monitor aktivitas dan mobilisasi
 Immobilitas fisik  Integritas kulit yang pasien
 Radiasi baik bisa
 Monitor status nutrisi pasien
 Usia yang ekstrim dipertahankan
 Memandikan pasien dengan sabun
(sensasi, elastisitas,
 Kelembaban kulit dan air hangat
temperatur, hidrasi,
 Obat-obatan  Kaji lingkungan dan peralatan yang
pigmentasi)
Internal : menyebabkan tekanan
 Tidak ada luka/lesi
 Perubahan status  Observasi luka : lokasi, dimensi,
pada kulit
metabolik kedalaman luka, karakteristik,warna
 Perfusi jaringan baik
 Tonjolan tulang cairan, granulasi, jaringan nekrotik,
 Menunjukkan
 Defisit imunologi tanda-tanda infeksi lokal, formasi
pemahaman dalam
 Berhubungan dengan traktus
proses perbaikan
dengan perkembangan  Ajarkan pada keluarga tentang luka
kulit dan mencegah
 Perubahan sensasi dan perawatan luka
terjadinya sedera
 Perubahan status nutrisi berulang  Kolaburasi ahli gizi pemberian diae
(obesitas, kekurusan) TKTP, vitamin
 Mampu melindungi
 Perubahan status cairan kulit dan  Cegah kontaminasi feses dan urin
 Perubahan pigmentasi mempertahankan  Lakukan tehnik perawatan luka
 Perubahan sirkulasi kelembaban kulit dan dengan steril
 Perubahan turgor perawatan alami  Berikan posisi yang mengurangi
(elastisitas kulit)  Menunjukkan tekanan pada luka
DO: terjadinya proses
 Gangguan pada bagian penyembuhan luka
tubuh
 Kerusakan lapisa kulit
(dermis)
 Gangguan permukaan
kulit (epidermis)

3. Gangguan body image berhubungan dengan luka pada kulit


Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan
Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil

Gangguan body image NOC: NIC :


berhubungan dengan luka pada  Body image Body image enhancement
kulit  Self esteem  Kaji secara verbal dan nonverbal
DS: Setelah dilakukan respon klien terhadap tubuhnya
 Depersonalisasi bagian tindakan keperawatan  Monitor frekuensi mengkritik
tubuh selama …. gangguan dirinya
 Perasaan negatif tentang body image  Jelaskan tentang pengobatan,
tubuh pasien teratasi dengan perawatan, kemajuan dan prognosis
 Secara verbal menyatakan kriteria hasil: penyakit
perubahan gaya hidup  Body image positif  Dorong klien mengungkapkan
DO :  Mampu perasaannya
 Perubahan aktual struktur mengidentifikasi  Identifikasi arti pengurangan
dan fungsi tubuh kekuatan personal melalui pemakaian alat bantu
 Kehilangan bagian tubuh  Mendiskripsikan  Fasilitasi kontak dengan individu
 Bagian tubuh tidak secara faktual lain dalam kelompok kecil
berfungsi perubahan fungsi
tubuh
 Mempertahankan
interaksi sosial
4. Nyeri akut berhubungan dengan peradangan, lesi kulit (chicken pox)
Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan
Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil

Nyeri akut berhubungan NOC : NIC :


dengan peradangan, lesi  Pain Level,  Lakukan pengkajian nyeri secara
kulit (chicken pox)  pain control, komprehensif termasuk lokasi,
DS:  comfort level karakteristik, durasi, frekuensi,
 Laporan secara verbal Setelah dilakukan kualitas dan faktor presipitasi
DO: tinfakan keperawatan  Observasi reaksi nonverbal dari
 Posisi untuk menahan selama …. Pasien tidak ketidaknyamanan
nyeri mengalami nyeri, dengan  Bantu pasien dan keluarga untuk
 Tingkah laku berhati-hati kriteria hasil: mencari dan menemukan dukungan
 Gangguan tidur (mata  Mampu mengontrol  Kontrol lingkungan yang dapat
sayu, tampak capek, sulit nyeri (tahu penyebab mempengaruhi nyeri seperti suhu
atau gerakan kacau, nyeri, mampu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
menyeringai) menggunakan tehnik  Kurangi faktor presipitasi nyeri
 Terfokus pada diri nonfarmakologi untuk  Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
sendiri mengurangi nyeri, menentukan intervensi
 Fokus menyempit mencari bantuan)  Ajarkan tentang teknik non
(penurunan persepsi  Melaporkan bahwa farmakologi: napas dala, relaksasi,
waktu, kerusakan proses nyeri berkurang distraksi, kompres hangat/ dingin
berpikir, penurunan dengan menggunakan  Berikan analgetik untuk mengurangi
interaksi dengan orang manajemen nyeri nyeri: ……...
dan lingkungan)  Mampu mengenali  Tingkatkan istirahat
 Tingkah laku distraksi, nyeri (skala, intensitas,
 Berikan informasi tentang nyeri
contoh : jalan-jalan, frekuensi dan tanda
seperti penyebab nyeri, berapa lama
menemui orang lain nyeri)
nyeri akan berkurang dan antisipasi
dan/atau aktivitas,  Menyatakan rasa ketidaknyamanan dari prosedur
aktivitas berulang-ulang) nyaman setelah nyeri
 Monitor vital sign sebelum dan
 Respon autonom (seperti berkurang
sesudah pemberian analgesik pertama
diaphoresis, perubahan  Tanda vital dalam kali
tekanan darah, rentang normal
perubahan nafas, nadi  Tidak mengalami
dan dilatasi pupil) gangguan tidur
 Perubahan autonomic
dalam tonus otot
(mungkin dalam rentang
dari lemah ke kaku)
 Tingkah laku ekspresif
(contoh : gelisah,
merintih, menangis,
waspada, iritabel, nafas
panjang/berkeluh kesah)
 Perubahan dalam nafsu
makan dan minum

5. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi


Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan
Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil

Hipertermia NOC: NIC :


Berhubungan dengan  Thermoregulasi  Monitor suhu sesering mungkin
dengan proses infeksi Setelah dilakukan  Monitor warna dan suhu kulit
P tindakan keperawatan  Monitor tekanan darah, nadi dan RR
DO/DS: selama………..pasien  Monitor penurunan tingkat kesadaran
 kenaikan suhu tubuh menunjukkan :  Monitor WBC, Hb, dan Hct
diatas rentang normal Suhu tubuh dalam batas  Monitor intake dan output
 serangan atau konvulsi normal dengan kreiteria
 Berikan anti piretik:
(kejang) hasil:
 Kelola Antibiotik:
 kulit kemerahan  Suhu 36 – 37
………………………..
 pertambahan RR  Nadi dan RR dalam
rentang normal  Selimuti pasien
 takikardi
 Tidak ada perubahan  Berikan cairan intravena
 Kulit teraba panas/
warna kulit dan tidak  Kompres pasien pada lipat paha dan
hangat aksila
ada pusing, merasa
nyaman  Tingkatkan sirkulasi udara
 Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
 Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
 Catat adanya fluktuasi tekanan darah
 Monitor hidrasi seperti turgor kulit,
kelembaban membran mukosa)

6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

keetidakmampuan untuk memasukkan atau mencerna nutrisi oleh karena faktor

biologis, psikologis atau ekonomi.


Rencana keperawatan
Diagnosa Keperawatan/ Tujuan dan Kriteria Intervensi
Masalah Kolaborasi Hasil

Ketidakseimbangan NOC:  Kaji adanya alergi makanan


nutrisi kurang dari  Nutritional status:  Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
kebutuhan tubuh Adequacy of nutrient menentukan jumlah kalori dan nutrisi
Berhubungan dengan :  Nutritional Status : yang dibutuhkan pasien
Ketidakmampuan untuk food and Fluid Intake  Yakinkan diet yang dimakan
memasukkan atau mencerna  Weight Control mengandung tinggi serat untuk
nutrisi oleh karena faktor Setelah dilakukan mencegah konstipasi
biologis, psikologis atau tindakan keperawatan  Ajarkan pasien bagaimana
ekonomi. selama….nutrisi kurang membuat catatan makanan harian.
DS: teratasi dengan indikator:  Monitor adanya penurunan BB
 Nyeri abdomen  Albumin serum dan gula darah
 Muntah  Pre albumin serum  Monitor lingkungan selama
 Kejang perut  Hematokrit makan
 Rasa penuh tiba-tiba  Hemoglobin  Jadwalkan pengobatan dan
setelah makan  Total iron binding tindakan tidak selama jam makan
DO: capacity  Monitor turgor kulit
 Diare  Jumlah limfosit  Monitor kekeringan, rambut
 Rontok rambut yang kusam, total protein, Hb dan kadar Ht
berlebih  Monitor mual dan muntah
 Kurang nafsu makan  Monitor pucat, kemerahan, dan
 Bising usus berlebih kekeringan jaringan konjungtiva
 Konjungtiva pucat  Monitor intake nuntrisi
 Denyut nadi lemah  Informasikan pada klien dan
keluarga tentang manfaat nutrisi
 Kolaborasi dengan dokter tentang
kebutuhan suplemen makanan seperti
NGT/ TPN sehingga intake cairan yang
adekuat dapat dipertahankan.
 Atur posisi semi fowler atau
fowler tinggi selama makan
 Kelola pemberan anti emetik:.....
 Anjurkan banyak minum
 Pertahankan terapi IV line
 Catat adanya edema, hiperemik,
hipertonik papila lidah dan cavitas oval

7. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan malaise, kelemahan umun. Tirah

baring lama/imobilisasi, ketidakseimbangan antara suplai oksigen dengan

kebutuhan
Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan
Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Intoleransi aktivitas NOC : NIC :


Berhubungan dengan Self Care : ADLs  Observasi adanya pembatasan klien
malaise, kelemahan umum,  Toleransi aktivitas dalam melakukan aktivitas
tirah baring lama  Konservasi eneergi
/  Kaji adanya faktor yang
immobilisasi, Setelah dilakukan tindakan menyebabkan kelelahan
ketidakseimbangan antara keperawatan selama ….  Monitor nutrisi dan sumber energi
suplai oksigen denganPasien bertoleransi terhadap yang adekuat
kebutuhan aktivitas dengan Kriteria  Monitor pasien akan adanya
DS: Hasil : kelelahan fisik dan emosi secara
 Melaporkan  Berpartisipasi
secara dalam berlebihan
verbal adanya kelelahan aktivitas fisik tanpa  Monitor respon kardivaskuler
atau kelemahan. disertai peningkatan terhadap aktivitas (takikardi,
 Adanya dyspneu atau tekanan darah, nadi dan disritmia, sesak nafas, diaporesis,
ketidaknyamanan saat RR pucat, perubahan hemodinamik)
beraktivitas.  Mampu melakukan  Monitor pola tidur dan lamanya
DO : aktivitas sehari hari tidur/istirahat pasien
(ADLs) secara mandiri  Kolaborasikan dengan Tenaga
 Respon abnormal dari  Keseimbangan aktivitas Rehabilitasi Medik dalam
tekanan darah atau nadi dan istirahat merencanakan progran terapi yang
terhadap aktifitas tepat.
 Perubahan ECG :  Bantu klien untuk mengidentifikasi
aritmia, iskemia aktivitas yang mampu dilakukan
 Bantu untuk memilih aktivitas
konsisten yang sesuai dengan
kemampuan fisik, psikologi dan
sosial
 Bantu untuk mengidentifikasi dan
mendapatkan sumber yang
diperlukan untuk aktivitas yang
diinginkan
 Bantu untuk mendpatkan alat
bantuan aktivitas seperti kursi
roda, krek
 Bantu untuk mengidentifikasi
aktivitas yang disukai
 Bantu klien untuk membuat jadwal
latihan diwaktu luang
 Bantu pasien/keluarga untuk
mengidentifikasi kekurangan
dalam beraktivitas
 Sediakan penguatan positif bagi
yang aktif beraktivitas
 Bantu pasien untuk
mengembangkan motivasi diri dan
penguatan
 Monitor respon fisik, emosi, sosial
dan spiritual

DAFTAR PUSTAKA

Behrman, Richar E.. Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta: EGC, 1992.


Boediardja., Siti Aisah, dkk. Infeksi Kulit Pada Bayi dan Anak. Jakarta: Fakultas

Kedokteran UI, 2013.

Djuanda Adhi, dkk. Varisela Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin; edisi

Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2011.

Hassan Rusepno, Alatas Husein. Varisela (cacar air,”chicken pox”). Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Anak jilid 2. Jakarta: Infomedika, 2007.

Herper J. Varicella (Chicken Pox). Pediatric Dermatology. Volume 1. Blackwell

Science. 2000.

Martin, Kurniawan., dkk. Varicela Zoster Pada Anak. Yogyakarta. 2009.

(file:///C:/Documents%20and%20Settings/Windows%20XP/My

%20Documents/Downloads/83-89-1-PB.pdf, Diakses 22 Desember 2015).

Straus SE dan Oxman MN. 2004. Varicella and herpes. New York: Mc. Grawhill

inc, 2004.

Straus, Stephen E. Oxman., dMichael N. Schmader, Kenneth E. Varicella. In:

Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine; seventh edition, vol 1 and

2. 2008. P.1885-1895.

Siregar RS. 2004. Varisela. Dalam: Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit; edisi 2.

Jakarta: EGC, 2004.

Wilkinson, Judith dan Nancy R. Ahern. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 9.

Jakarta: EGC, 2011.

LAPORAN PENDAHULUAN VARICELLA

DI RUANG INFECTION CENTER

RSUP Dr. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR


Oleh :

ANDI USMIANTI, S.Kep


NIM : 70900115057

CI LAHAN CI INSTITUSI

( ) ( )

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN IX


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2015

Path Way Varicella

Anda mungkin juga menyukai