Anda di halaman 1dari 77

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diare merupakan salah satu penyakit infeksi yang menjadi penyebab utama

morbiditas dan mortalitas di negara berkembang termasuk Indonesia. Di

Indonesia, diperkirakan setiap anak pernah mengalami episode serangan diare

rata-rata 3 kali per tahun dan lebih dari 80% mortalitas terjadi pada anak berusia

kurang dari 2 tahun (Ragil et al., 2017). Diare merupakan penyakit endemis di

Indonesia yang ditandai dengan konsistensi tinja lembek atau cair dan frekuensi

buang air besar tiga kali atau lebih dalam sehari (Dinas Kesehatan Jawa Timur,

2016). Salah satu jenis diare yang umumnya terjadi pada anak adalah disentri

basiller (WHO, 2010).

Disentri basiller merupakan penyakit infeksi peradangan akut saluran

pencernaan dengan kondisi kronis yang dapat berakibat fatal pada penderita jika

tidak ditangani dengan benar (Arthasari, 2015). Gejala pada disentri basiler

meliputi diare cair berdarah atau berlendir, nyeri perut, demam, dan merasakan

keinginan untuk buang air besar bahkan ketika usus kosong (Lampell and

Maurelli, 2003). Penyebab tersering disentri basiller adalah bakteri Shigella sp

(Hegar, 2013). Salah satu jenis bakteri Shigella sp yang paling patogen adalah

Shigella dysenteriae (Williams, 2016). Shigella dysentriae dapat bertahan hidup

di lingkungan asam pada lambung dan menyerang sel-sel epitel usus besar yang

menyebabkan usus mengalami inflamasi dan sel-sel usus menjadi rusak sehingga

menimbulkan gejala dan meningkatkan morbiditas disentri basiller (Sari, 2015).

1
Indonesia mengalami kejadian luar biasa (KLB) diare pada tahun 2010

hingga 2017 sebanyak 21 kali yang tersebar di beberapa kabupaten atau kota

dengan jumlah penderita sekitar 1.725 orang dan jumlah kematian 34 orang (case

fatality rate 1,97%). Dari hasil rekapitulasi Kementrian Kesehatan Republik

Indonesia, menunjukkan case fatality rate (CFR) diare >1%. Padahal, pemerintah

Indonesia mentaksirkan CFR <1% (Kemenkes, 2017). Pada tahun 2016, kasus

diare di kota Malang mencapai 13.770 kasus, sedangkan kasus diare di Surabaya

ditemukan mencapai 60.627 (Dinas Kesehatan Jawa Timur, 2016).

Angka kejadian disentri basiler yang disebabkan oleh Shigella dysenteriae

sebanyak 165 juta kasus tiap tahun di dunia. Sekitar 99% kasus disentri basiler

terjadi di negara berkembang terutama pada anak berusia dibawah lima tahun

dengan mortalitas antara 28.000 hingga 48.000 tiap tahun (WHO, 2016). Hal ini

disebabkan oleh kepadatan penduduk dan sanitasi buruk sehingga memudahkan

penularan penyakit (Williams, 2016). Di Indonesia, disentri basiler menyumbang

angka mortalitas sebesar 29% yang terjadi pada kelompok umur satu sampai

empat tahun (Bangkele, 2015).

Berdasarkan prevalensi tersebut, maka disentri basiler yang terjadi pada anak

dibawah lima tahun merupakan masalah yang cukup fatal karena komplikasi yang

dihasilkan dapat menyebabkan kematian (Abdullah et al., 2012). Komplikasi

disentri basiler yang dapat menyebabkan kematian meliputi perforasi usus,

prolaps rektum, kejang, dehidrasi, hiponatremi, toxic megacolon dan sindrom

hemolitik uremik (Kusumaningsih, 2010).

Menurut Global Enteric Multicentre Study (GEMS), kasus disentri basiler

harus segera diobati dengan antibiotik tepat agar tidak berakibat fatal (Williams,

2
2016). Penggunaan antibiotik mampu mengurangi risiko serius komplikasi dan

kematian, mempersingkat durasi gejala, dan mempercepat eliminasi Shigella

dysenteriae (Williams, 2016). Akan tetapi, masalah yang sering muncul saat ini

adalah terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik (Zuhri, 2013). Bahkan,

terdapat strain Shigella dysenteriae yang resisten terhadap beberapa antibiotik

seperti ampicilin, kotrimoksazol dan asam nalidiksat (Nafianti, 2005). Resistensi

tersebut membuat eradikasi Shigella sp menjadi lebih sulit.

Untuk mencegah agar tidak terjadi resistensi bakteri terhadap antibiotik, para

peneliti berusaha untuk menemukan terapi alternatif yang lebih poten, murah, dan

memiliki efek samping yang kecil (Zuhri, 2013). Oleh sebab itu, atensi

pemerintah dan masyarakat Indonesia beberapa tahun terakhir ini dalam

penggunaan obat herbal terjadi peningkatan. Hal ini membuat banyak peneliti

meningkatkan penggunaan bahan herbal sebagai obat alternatif yang mempunyai

efek antibakteri (Tanumihardja et al., 2013). Hal tersebut juga sejalan dengan

firman Allah yaitu Surat Ar-Ra’d (13) ayat 4 yang berbunyi :

Artinya : “Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan

kebun-kebun anggur, tumbuhan-tumbuhan dan pohon korma yang bercabang dan

yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian

tumbuh-tumbuhan itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya

3
pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang

berfikir” (QS ar Ra’d (13) : 4).

Dalam ayat di atas menyeru kita untuk berfikir bahwa semua yang ada di

bumi diciptakan memiliki tujuan. Seperti Allah menciptakan berbagai macam

tumbuh-tumbuhan yang sesungguhnya tumbuhan tersebut memiliki banyak

manfaat bagi manusia. Salah satu manfaat dari tumbuhan tersebut adalah memiliki

khasiat sebagai obat. (Rahmawati, 2018). Salah satu tumbuhan tersebut adalah

daun jeruk purut (Citrus hystrix).

Daun jeruk purut (Citrus hystrix) merupakan tanaman perdu yang mudah

dijumpai di Indonesia. Daun jeruk purut (Citrus hystrix) sering dimanfaatkan

sebagai bahan penyedap masakan dan bahan obat-obatan herbal (Miftahendrawati,

2014). Menurut Yuliani (2011), daun jeruk purut (Citrus hystrix) memiliki

senyawa metabolit sekunder seperti alkaloid, polifenol, minyak atsiri, tannin, dan

flavonoid yang mempunyai efek antibakteri. Menurut penelitian yang telah

dilakukan Miftahendarwati (2014), ekstrak daun jeruk purut (Citrus hystrix)

terhadap bakteri Streptococcus mutans memiliki aktivitas antibakteri dengan

menghasilkan konsentrasi hambat minimal sebesar 5% dan zona hambat sebesar

7,2 mm.

Dikarenakan kandungan daun jeruk purut (Citrus hystix) yang mempunyai

aktivitas antibakteri dan belum ada penelitian terhadap bakteri Shigella

dysenteriae, maka penting dilakukan penelitian untuk menguji potensi antibakteri

pada daun jeruk purut (Citrus hystrix) terhadap bakteri Shigella dysenteriae.

4
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka didapatkan beberapa

rumusan masalah:

1.2.1 Apakah ekstrak daun jeruk purut (Citrus hystix) mempunyai aktivitas

antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri Shigella dysenteriae secara in

vitro?

1.2.2 Bagaimanakan pengaruh ekstrak daun jeruk purut (Citrus hystrix) terhadap

daya hambat bakteri Shigella dysenteriae?

1.2.3 Berapa konsentrasi minimum ekstrak daun jeruk purut (Citrus hystrix)

yang mampu menghambat pertumbuhan (KHM = konsentrasi hambat

minimum) bakteri bakteri Shigella dysenteriae secara in vitro?

1.2.4 Berapa konsentrasi minimum ekstrak daun jeruk purut (Citrus hystrix)

yang mampu membunuh pertumbuhan (KBM = konsentrasi bunuh

minimum) bakteri bakteri Shigella dysenteriae secara in vitro?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak daun jeruk purut (Citrus

hystrix) terhadap pertumbuhan bakteri Shigella dysenteriae dengan secara

in vitro.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Untuk mengetahui pengaruh pemberian ektrak daun jeruk purut (Citrus

hystrix) terhadap daya hambat bakteri Shigella dysenteriae

5
1.3.2.2 Untuk mengetahui konsentrasi minimum ekstrak daun jeruk purut (Citrus

hystrix) yang memiliki aktivitas menghambat dan membunuh

pertumbuhan bakteri Shigella dysenteriae secara in vitro.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat bagi penulis, sebagai media dalam menambah ilmu pengetahuan

dan wawasan tentang efektivitas ekstrak daun jeruk purut (Citrus hystrix)

terhadap bakteri Shigella dysenteriae.

1.4.2 Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan informasi

bagi masyarakat umum mengenai tanaman herbal Indonesia, yaitu daun

jeruk purut (Citrus hystrix) dimana penelitian memberikan gambaran

bahwa ekstrak daun jeruk purut memiliki potensi antibakteri terhadap

bakteri Shigella dysenteriae.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daun Jeruk Purut (Citrus hystrix)

2.1.1 Taksonomi dan Morfologi

Jeruk purut (Citrus hystrix) adalah salah satu tanaman perdu yang

dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai penyedap masakan, terutama bagian buah

dan daunnya. Dalam istilah asing, jeruk purut dikenal sebagai kaffir lime. Jeruk

purut tumbuh di daerah tropis terutama di bagian Asia Selatan (Miftahendrawati,

2014). Jeruk purut tergabung kedalam famili Rutaceae, yaitu bagian daun dan

buahnya bisa digunakan oleh penduduk sebagai obat tradisional (Setiawan, 2000).

Taksonomi jeruk purut (Citus hytrix) adalah sebagai berikut

(Miftahendrawati, 2014):

Kerajaan : Plantae
Sub Kerajaan : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Rosidae
Bangsa : Sapindales
Suku : Rutaceae
Marga : Citrus
Jenis : Citrus hystrix D. C.

Daun jeruk purut (Citrus hystrix) memilik bentuk daun majemuk, menyirip,

dan memiliki anak berdaun satu. Daun jeruk purut (Citrus hystrix) biasanya

tumbuh berpasangan yang membentuk angka delapan. Daun jeruk purut memiliki

panjang sekitar 8 hingga 15 cm dan lebar 2 hingga 6 cm (Miftahendrawati, 2014).

Pada bagian permukaan daun jeruk purut (Citrus hystrix) licin, berbintik kecil

7
berwarna jernih dimana permukaan bagian bawah berwarna hijau muda atau hijau

kekuningan dan permukaan bagian atas berwarna hijau tua serta sedikit

mengkilap. Daun jeruk purut (Citrus hystrix) ketika dihancurkan akan

menghasilkan bau harum. Untuk tangkai daun jeruk purut melebar seperti tunas

(anak) daun. Helaian tunas daun berbentuk bundar sampai lonjong dengan induk

bulat, dan berpucuk tumpul hingga runcing, tepi beringgit (Soepomo, 2012).

Gambar 2.1 Morfologi Daun Jeruk Purut (Citrus hytrix)


(Sumber: Efek Antibakteri Ekstrak Daun Jeruk Purut (Citrus hystrix) terhadap Bakteri
Streptococcus mutans, 2014)

2.1.2 Manfaat

Jeruk purut (citrus hystrix) merupakan salah satu jenis rempah yang banyak

menghiasi cita rasa kuliner Nusantara seperti bumbu pecel, gado-gado, mendol,

mendoan dan lainnya. Perbanyakan jeruk purut dapat dilakukan dengan cara

penanaman biji atau pencangkokan. Nama latin  Citrus hystrix mempunyai arti

“jeruk landak”  karena keberadaan duri-duri pada batangnya (BBPP, 2017)

Jeruk purut tergabung kedalam famili Rutaceae, yaitu bagian daun dan

buahnya bisa dimanfaatkan oleh penduduk sebagai obat tradisional. Bagian daun

8
mampu mengobati keletihan setelah sakit berat dan meningkatkan aroma harum

pada masakan (Soepomo, 2012).

Kandungan kimia yang terdapat di dalam daun jeruk purut (Citrus hystrix)

seperti tanin, steroid/ triterpenoid dan minyak atsiri mempunyai manfaat untuk

kesehatan. Beberapa manfaat daun jeruk purut (Citrus hystrix) terhadap kesehatan,

sebagai berikut :

1. Obat penyembuhan setelah sakit berat, yaitu dengan cara daun jeruk purut

direbus bersama dengan air, kemudian air rebusan terebut digunakan untuk

mandi.

2. Obat terkilir, edema, atau fraktur, yaitu penghancuran daun jeruk purut

bersama daun jambu air kemudian campuran tersebut direkatkan pada lokasi

yang terkena.

3. Obat untuk influenza, yaitu dengan cara merebus daun jeruk purut dengan air

kemudian diminum dalam keadaan hangat. Saran penyajian juga bisa

ditambahkan dengan madu untuk meningkatkan stamina tubuh.

4. Sebagai relaksasi, karena bau harum yang istimewa dari daun jeruk purut

(Citrus hystrix) dan minyak atsiri yang terkandung didalamnya bisa

merilekskan otak (pikiran) dan mengurangi stres.

5. Sebagai antibiotik,  karena efek farmakologis daun jeruk purut menghalangi

masuknya bakteri ke dalam tubuh.

6. Sebagai anti inflamasi.

(BBPP, 2017)

Di sisi lain senyawa minyak atsiri yang terkadung didalam daun jeruk purut

dapat disuling kemudian dimanfaatkan sebagai aromaterapi. Kandungan alamiah

9
dari tanaman ini selain mudah dibudidayakan, juga perlu adanya penyuluhan

manfaat daun jeruk bagi kesehatan agar bisa digunakan sebagai apotik keluarga

Indonesia yang terjangkau, mudah didapat, dan siap setiap saat diperlukan. Selain

itu kuliner Nusantara yang memanfaatkan daun jeruk purut sebagai bumbu dapur

baik untuk membuat makanan atau jajanan tradisional perlu dihargai karena bisa

mendukung masyarakat Indonesia untuk sehat tanpa menggunakan bahan kimia

(BBPP, 2017).

2.1.3 Fitokimia

Fitokimia merupakan ilmu yang berhubungan dengan senyawa organik

seperti struktur kimia, biosintesis, perubahan serta metabolisme, fungsi biologis,

isolasi, dan perbandingan komposisi senyawa kimia dari berbagai jenis tanaman.

Analisis fitokimia berfungsi untuk mengetahui senyawa metabolit sekunder

tanaman yang diduga memiliki efek toksin atau efek farmakologis (Agustina,

2017).

Fitokimia yang terkandung di dalam daun jeruk purut (Citrus hystrix) adalah

flavanoid, triterpenoid/ steroid, alkaloid, kuinon, monoterpnoin/ sesquiterpenoid

dan minyak atsiri (Arfania,2017). Jeruk purut (Citrus hystrix) merupakan salah

satu keanekaragaman flora di Indonesia. Jeruk purut oleh masyarakat Indonesia

dimanfaatkan sebagai penyedap masakan dan aroma terapi (Dalimartha, 2006).

Penelitian mengenai jeruk purut masih terbatas dilakukan dibandingkan

ketersediaan jeruk purut di alam yang melimpah. Menurut penelitian sebelumnya

ditemukan bahwa daun jeruk purut mengandung senyawa aktif seperti alkaloid,

flavonoid, terpenoid, tanin dan saponin. Penelitian lanjut membuktikan bahwa

10
ekstrak etil asetat dan kloroform daun jeruk purut mempunyai efek sitotoksisitas

pada sel kanker serviks, neuroblastoma dan kanker payudara. Selain itu, penelitian

yang dilakukan oleh Hutadilok-towatana et al. (2006) menunjukkan bahwa

ekstrak daun dan buah jeruk purut memiliki aktivitas antioksidan, antimikroba,

antiinflamasi, dan menangkap radikal bebas. Berdasarkan penelitian-penelitian

tersebut menunjukkan bahwa jeruk purut memiliki potensi sebagai kandidat obat

herbal terstandar (OHT).

Tabel 2.1 Analisis Fitokimia Daun Jeruk Purut (Citrux hystrix)


No Golongan senyawa Hasil (+/-) Keterangan
.
1. Alkaloid + Terbentuk endapan putih dan

keruh
2. Flavonoid + Terbentuk endapan kuning
3. Polifenolat + Terbentuk endapan hitam agak

pekat
4. Tannin + Terbentuk endapan putih
5. Kuinon + Terbentuk warna kuning

kemerahan
6. Saponin - Tidak terbentuk busa
7. Monoterpenoin dan + Terbentuk warna-warna hijau

sesquiterponoid hitam kebiruan


8. Triterpenoid dan steroid - Tidak terbentuk warna biru-

ungu
(Sumber: Telaah Fitokimia Ekstrak Etanol Daun Jeruk Purut di Kabupaten Karawang, 2017)

Flavonoid merupakan salah satu senyawa kimia yang dapat ditemukan pada

tanaman vaskuler. Flavonoid termasuk phenylbenzopyrones (phenylchromones)

bestruktur dasar berbentuk dua cincin utama (dua cincin benzen A dan B) dan

disambungkan melalui cincin heterosiklik piron atau piran (dengan ikatan ganda)

11
atau bisa dikatakan dengan cincin “C”. Flavonoid mempunyai berat molekul

rendah (Middleton et al., 2000).

Mekanisme kerja flavonoid sebagai antimikroba dapat dibagi menjadi 3

yaitu menghambat sintesis asam nukleat, menghambat fungsi membran sel dan

menghambat metabolisme energi. Mekanisme antibakteri flavonoid menghambat

sintesis asam nukleat adalah cincin A dan B yang memegang peran penting dalam

proses interkelasi atau ikatan hidrogen dengan menumpuk basa asam nukleat yang

menghambat pembentukan DNA dan RNA. Letak gugus hidroksil di posisi 2’,4’

atau 2’,6’ dihidroksilasi pada cincin B dan 5,7 dihidroksilasi pada cincin A

berperan penting terhadap aktivitas antibakteri flavonoid. Flavonoid menyebabkan

terjadinya kerusakan permeabilitas dinding sel bakteri, mikrosom, dan lisosom

sebagai hasil interaksi antara flavonoid dengan DNA bakteri (Rijayanti, 2014).

Mekanisme kerja flavonoid menghambat fungsi membran sel adalah

membentuk senyawa kompleks dengan protein ekstraseluler dan terlarut sehingga

dapat merusak membran sel bakteri dan diikuti dengan keluarnya senyawa

intraseluler. Penelitian lain menyatakan mekanisme flavonoid menghambat fungsi

membran sel dengan cara mengganggu permebealitas membran sel dan

menghambat ikatan enzim seperti ATPase dan phospholipase (Rijayanti, 2014).

Flavonoid dapat menghambat metabolisme energi dengan cara menghambat

penggunaan oksigen oleh bakteri. Flavonoid menghambat pada sitokrom C

reduktase sehingga pembentukan metabolisme terhambat. Energi dibutuhkan

bakteri untuk biosintesis makromolekul (Rijayanti, 2014).

Flavonoid mempunyai sifat antibakteri dengan cara berinteraksi langsung

dengan DNA bakteri. Struktur dasar DNA pada bakteri berperan penting dalam

12
proses transkripsi dan duplikasi, oleh sebab itu flavonoid berkemampuan

mengganggu stabilitas struktur DNA heliks ganda yang dapat mempengaruhi

semua proses pertumbuhan dan metabolisme bakteri. Ketika flavonoid dan bakteri

berinteraksi akan mengakibatkan kerusakan permeabilitas dinding sel bakteri,

mikrosom dan lisosom. Flavonoid juga mampu menghasilkan energi transduksi

yang akan mempengaruhi sitoplasma bakteri dan memperlambat motilitasnya.

Diketahui bahwa ion hidroksil yang terdapat pada flavonoid secara kimiawi dapat

mengubah senyawa organik dan transportasi nutrisi sehingga menyebabkan efek

toksisitas sel bakteri (Sumono, 2008).

Flavonoid dapat dimanfaatkan sebagai anti nyeri. Flavonoid mampu

mengurangi sitokin seperti IL1 dan TNFa yang dihasilkan oleh makrofag,

sehingga rasa sakit dan kerusakan jaringan dapat terminimalisir. Flavonoid dapat

meningkatkan proses mitogenesis, sel interaksi dan adhesi yang memiliki peran

dalam ephitelisasi proses. Selain itu, flavonoid juga dapat digunakan sebagai

proses penyembuhan pasca operasi. Flavonoid dapat meningkat proliferasi

fibroblast dan produksi kolagen. Flavonoid juga dapat mengurangi rasa sakit

dengan cara menghambat sintesis prostaglandin (Sumono, 2008). Meurut Parwata

(2016), flavonoid berfungsi sebagai antiinflamasi karena flavonoid dapat

menghambat sitokin proinflamasi seperti TNFα, IL 1β, IL6 dan Interferon γ.

Bioaktivitas flavonoid yang ditunjukkan antara lain efek antipiretik, analgetik

dan antiinflamasi. Flavonoid bekerja sebagai inhibitor cyclooxygenase.

Cyclooxygenase (COX) berfungsi memicu pembentukan prostaglandin.

Prostaglandin berperan dalam proses inflamasi dan peningkatan suhu tubuh.

13
Apabila prostaglandin tidak dihambat maka terjadi peningkatan suhu tubuh yang

akan mengakibatkan demam (Amalia, 2016).

Mekanisme flavanoid dalam menghambat proses terjadinya inflamasi melalui

2 cara, yaitu dengan menghambat permeabilitas kapiler dan menghambat

metabolisme asam arakidonat dan sekresi enzim lisosom dari sel neutrofil dan sel

endothelial. Flavanoid terutama bekerja pada endothelium mikrovaskular untuk

mengurangi terjadinya hipermeabilitas dan radang. Beberapa senyawa flavanoid

dapat menghambat pelepasan asam arakhidonat dan sekresi enzim lisosom dari

membran dengan jalan memblok jalur siklooksigenase. Penghambatan jalur

siklooksigenase dapat menimbulkan pengaruh lebih luas karena reaksi

siklooksigenase merupakan langkah pertama pada jalur yang menuju ke hormon

eikosanoid seperti prostaglandin dan tromboksan (Amalia, 2016).

Gambar 2.2 Bentuk Kimia Flavonoid


(Sumber: The effects of plant flavonoids on mammalian cells: Implications for inflammation, heart
disease, and cancer, 2000).

Menurut penelitian yang dilakukan Sumono (2008), Minyak atsiri mampu

menghambat pertumbuhan dengan cara denaturisasi asam nukleat. Proses

denaturisasi melibatkan perubahan stabilitas protein sehingga menyebabkan

perubahan struktural dan memungkinkan terjadinya proses koagulasi. Protein

yang mengalami proses denaturisasi akan kehilangan aktivitas fisiologisnya dan

14
tidak dapat berfungsi baik. Perubahan yang terjadi pada protein dan dinding sel

akan meningkatkan permeabilitas sel. Apabila permeabilitas sel meningkat maka

dapat merusak sel (Sumono, 2008).

Gambar 2.3 Bentuk Kimiawi Minyak Atsiri.


(Sumber: Moringaoleifera Lam. (Sahijan) – a plant with a plethora of diverse therapeutic
benefits: an update retrospection. Medicinal and Aromatic Plants, 2009)

Steroid adalah senyawa kompleks dengan 4 cincin yang saling bercampur

dan mampu larut didalam lemak. Senyawa steroid yang sering dijumpai pada

tumbuhan adalah sterol (Bhat, 2009). Sensitivitas komponen steroid dapat

menyebabkan kebocoran pada liposom (Madduluri, 2013). Steroid mempu

berinteraksi dengan membran fosfolipid sel yang bersifat permeabel terhadap

senyawa-senyawa lipofilik sehingga menyebabkan penurunan integritas dan

morfologi membran sel menjadi rapuh dan lisis (Ahmed, 2007).

Gambar 2.4 Bentuk Kimiawi Steroid


(Sumber: Moringaoleifera Lam. (Sahijan) – a plant with a plethora of diverse therapeutic
benefits: an update retrospection. Medicinal and Aromatic Plants, 2009)

Alkaloid adalah senyawa kimia yang memiliki satu atau lebih atom nitrogen.

Alkaloid memiliki ciri-ciri seperti mempunyai tidak bewarna, sifat okuler yang

tidak pasif, dan berbentuk kristal. Selain berbentuk kristal, terdapat bentuk cairan

bersuhu lingkungan 37 ̊C seperti nikotin. Alkaloid bisa berbentuk garam air laut.

Hal ini terjadi karena senyawa tersebut bisa digabungkan dengan pelarut asam

15
klorida atau asam sulfat yang ditambahkan basa dengan kalsium laktat atau

natrium hidroksida (Sirait, 2007).

Gambar 2.5 Bentuk Kimiawi Alkaloid


(Sumber: Penuntun Fitokimia dalam Farmasi, 2007)

Mekanisme antibakteri pada alkalaoid adalah dengan cara mengganggu

struktur penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga membuat dinding sel

tidak terbentuk utuh dan menyebabkan kematian sel. Mekanisme lain antibakteri

pada senyawa ini adalah mampu sebagai interkelator DNA dan menghambat

enzim topoisomerase bakteri (Karou, 2005).

Tanin adalah senyawa rumit yang terdiri dari senyawa fenolik yang sulit sulit

mengkristal sserta dipisahkan, serta mengendapkan protein dari larutannya.. Tanin

bermanfaat sebagai astringen, antidiare, antibakteri, dan antioksidan (Paendong et

al., 2012).

Mekanisme kerja antibakteri pada senyawa tanin yaitu dengan cara

menginhibisi enzim reverse transkriptase dan DNA topoisomerase sehingga sel

bakteri tidak dapat terbentuk (Nuria, 2009). Tanin mempunyai aktivitas

antimikroba yaitu dengan cara menghambat adhesi yang dilakukan bakteri,

menggangu transport protein dalam sel, dan menginaktifkan enzim. Selain itu,

tanin menyerang polipeptida sel sehingga pembentukan dinding sel menjadi tidak

utuh (Sari, 2011). Bakteri yang hidup didalam keadaan aerobik biasanya

memerlukan zat besi untuk melakukan fungsinya, termasuk mengurangi dari

prekursor ribonukleotida DNA. Apabila kapasitas pengikat besi diperkuat oleh

tanin, maka enzim reverse transkriptase dan DNA topoisomerase sel bakteri tidak

dapat terbentuk (Akiyama, 2001).

16
Gambar 2.6 Bentuk Kimiawi Tanin
(Sumber: Penuntun Fitokimia dalam Farmasi, 2007)

Mekanisme kerja saponin sebagai antibakteri yaitu dapat menyebabkan

kebocoran protein dan enzim dari dalam sel. Saponin dapat menjadi anti bakteri

karena zat aktif permukaannya mirip detergen, akibatnya saponin akan

menurunkan tegangan permukaan dinding sel bakteri dan merusak permebialitas

membran. Rusaknya membran sel ini sangat mengganggu kelangsungan hidup

bakteri. Saponin berdifusi melalui membran luar dan dinding sel yang rentan

kemudian mengikat membran sitoplasma sehingga mengganggu dan mengurangi

kestabilan membran sel. Hal ini menyebabkan sitoplasma bocor keluar dari sel

yang mengakibatkan kematian sel. Agen antimikroba yang mengganggu membran

sitoplasma bersifat bakterisida (Akiyama, 2001).

2.1.4 Mekanisme Antibakteri

Antibiotik merupakan suatu senyawa yang digunakan untuk menginhibisi

proses dalam tubuh mikroorganisme. Antibiotik diproduksi oleh mikroorganisme

hidup dan mempunyai struktur analog yang dibuat secara sintetik dengan kadar

17
paling kecil. Selain dari mikrooorganisme tertentu, adapun beberapa antiboitik

bisa dari tumbuhan tingkat tinggi atau binatang (Soekardjo dan Siswandono,

2000).

Salah satu jenis antiboitik yaitu obat antibakteri. Antibakteri merupakan

senyawa yang mampu menginhibisi hingga melenyapkan perkembangan bakteri.

Antibakteri bisa dikatakan bagus apabila memiliki toksisitas selektif dan minimal,

artinya obat hanya membahayakan mikroorganisme namun tidak membahayakan.

Antibakteri dibagi menjadi tiga golongan, yaitu bakteriostatik, bakteriosidal, dan

bakteriolitik. Bakteriostatik adalah antibakteri yang mampu menginhibisi

pertumbuhan bakteri tetapi tidak melenyapkan dengan cara menginhibisi sintetis

protein atau mengikat ribosom. Bakteriosidal adalah antibakteri yang mampu

melenyapkan sel tetapi tidak terjadi lisis (pecah). Dan bakteriolitik adalah

antibakteri yang menyebabkan sel menjadi lisis (pecah) (Talaro, 2008).

Berdasarkan daya hambat, antibakteri diklasifikasikan menjadi 2 golongan,

yaitu broad spectrum (berspektrum luas) dan narrow spectrum (berspektrum

sempit). Broad spectrum bekerja sebagai antibakteri pada bakteri gram negatif

dan bakteri gram positif. Sedangkan narrow spectrum bekerja sebagai antibakteri

pada bakteri gram negatif saja atau bakteri gram positif saja (Talaro, 2008).

Berdasarkan proses kerjanya, antibakteri dapat diklasifikasikan menjadi 4

cara. Cara pertama adalah menghambat sintesis dinding sel. Dinding sel terdapat

peptidoglikan (polimer mucopeptida rumit) yang berisi gabungan rantai

polipeptida tinggi dan mengadung amino N-acetylglucosamine dan asam

acetylmuramic (Jawetz et al., 2005). Dinding sel berperan sebagai pertahanan dan

18
melindungi bakteri dari dismilaritas tekanan osmotik yang tinggi baik di dalam

maupun di luar sel (Talaro, 2008).

Cara yang kedua adalah menghambat membran sel. Membran sitoplasma

membatasi sel yang berperan sebagai pertahanan permeabilitas, transport aktif,

dan mengontrol internal sel. Jika peran membran sitoplasma rusak maka akan

terjadi keluarnya makromolekul sel, sehingga menyebabkan sel mati (Jawetz et

al., 2005). Antibakteri berikatan dengan membran fospolipid yang menyebabkan

pemisahan protein dan basa nitrogen sehingga membran bakteri pecah dan terjadi

kematian bakteri (Talaro, 2008).

Cara yang ketiga adalah menghambat sintesis protein (translasi dan

transkripsi material genetik). RNA, DNA dan protein memiliki fungsi yang

berguna untuk kehidupan sel. Hal ini menandakan jika terjadi gangguan pada

pembentukan atau fungsi maka menimbulkan kerusakan keseluruhan sel.

Mekanisme kerjanya adalah menghalangi RNA berikatan pada tempat spesifik

ribosom, selama pemanjangan rantai peptida (Talaro, 2008).

Cara keempat adalah menghambat sintesis asam nukleat. Penyusunan DNA

dan RNA bakteri merupakan proses lama dan memerlukan enzim untuk

prosesnya. Antibakteri mengganggu sintesis asam nukleat yaitu dengan cara

menginhibisi sintesis nukleitida, menginhibisi replikasi, atau menghentikan

transkripsi (Talaro, 2008).

2.2 Bakteri Shigella dysenteriae

2.2.1 Morfologi dan Taksonomi

19
Bakteri Shigella sp. merupakan bakteri patogen usus yang menginfeksi

salauran pencernaan dan dikenal sebagai penyebab penyakit disentri basiler.

Shigella sp. merupakan bakteri gram negatif dan bersifat fakultatif anaerob

(tumbuh baik secara aerob). Shigella sp. memiliki bentuk batang yang ramping

dan pada biakan muda, bakteri Shigella berbentuk kokobasil. Bakteri ini masuk ke

dalam Enterobacteriace genus Shigella (Jawetz et al, 2001). Shigella sp.

diklasifikan menjadi empat species yaitu: Shigella dyseneteriae, Shigella flexneri,

Shigella sonnei dan Shigella boydii (Jawetz et al, 2005).

Shigella sp. adalah bakteri berwujud batang yang memiliki ukuran 0,5 – 0,7

µm x 2 – 3 µm, tidak berspora dan tidak berflagel sehingga tidak mampu

bergerak. Koloni bakteri ini berbentuk bulat, konveks, dan transparan dengan tepi

utuh. Shigella sp. mempunyai diameter kurang lebih 2 mm dalam 24 jam.

Pertumbuhan cepat bakteri ini dalam suhu 37ºC pada media Mac Conkey, SA,

EMBA dan Endo. Sifat biokimia pada Shigella sp. adalah mampu

memfermentasikan glukosa (kecuali Shigella sonei) dan tidak memfermentasikan

laktosa. Shigella sp. mampu membentuk asam dari karbohidrat tetapi jarang

menghasilkan gas. Shigella sp. juga dapat dibagi menjadi dua yaitu

memfermentasikan manitol dan tidak memfermentasikan manitol (Jawetz, 2005).

Kingdom : Bacteria
Filum : Proteobacteria
Kelas : Gammaproteobacteria
Ordo : Enterobacteriales
Famili : Enterobactericaeae
Genus : Shigella
Spesies : Shigella dysenteriae

20
Tabel 2.2 Spesies Shigella sp. yang Patogen
Identifikasi saat ini Grup dan Manitol Ornithin
tipe Dekarboksilase
Shigella dyseneteriae A - -
Shigella flexneri B + -
Shigella boydii C + -
Shigella sonnei D + +
(Sumber: Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, 2005)

2.2.2 Sifat Biakan

Bakteri Shigella dysenteriae memperbanyak dirinya dengan cara

pembelahan biner. Pembelahan biner merupakan sifat sel induk yang

menghasilkan sifat sel anakan yang mirip dengannya. Pembelahan biner dapat

diklasifiasikan menjadi tiga proses, yaitu (1) proses pertama, sitoplasma terbelah

oleh sekat yang tumbuh tegak lurus (2) proses kedua, tumbuhnya sekat akan

diikuti oleh dinding melintang (3) proses ketiga, terpisahnya kedua sel anak yang

identik (Nygren et al., 2012).

Pada keadaan normal, umumnya bakteri mampu membelah dirinya setiap 20

menit sekali. Apabila pembelahan berlangsung selama satu jam, maka akan

dihasilkan delapan anakan sel. Tetapi terdapat faktor pembatas pada pembelahan

bakteri seperti kekurangan nutrisi makanan, suhu tidak sesuai, dan adanya

organisme pemangsa bakteri (Jawetz, 2005).

2.2.3 Identifikasi Bakteri

21
Isolat yang diduga bakteri Shigella sp. tumbuh pada cawan petri yang berisi

SSA dengan ciri koloni tidak berwarna (bening). Isolat bakteri yang diduga

Shigella sp. diidentifikasi dengan didahului pewarnaan gram terlebih dahulu,

kemudian identifikasi dilanjutkan dengan uji biokimia untuk mengidentifikasi

isolat yang diduga Shigella sp (Normande, 2014).

Gambar 2.6. Koloni Shigella sp. pada SSA


(Sumber: Identifikasi Bakteri Patogen dan Kualitas Mikrobiologi Nasi Kuning Berbahan
Beras Organik dan Non Organik dengan Metode Pemasakan Tradisional dan Modern, 2016)

Menurut Madigan et al. (2009) Shigella sp. menghasilkan reaksi positif uji

MR dan uji fermentasi glukosa (tanpa menghasilkan gas); reaksi negatif pada uji

VP, urea, dan sitrat; memfermentasikan glukosa dan tidak dapat menghasilkan

H2S pada media TSIA; dan hasil bervariasi pada uji indol (Normande 2014).

22
Gambar 2.7 Hasil Uji Biokimiawi Shigella sp.
(Sumber: Bakteri Enteropatogen pada Penderita Diare dan Kondisi Higiene Sanitasi
Lingkungan Inang di Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor, 2014)

Tabel 2.3 Hasil Uji Biokimiawi Shigella sp.


Uji Biokimiawi Shigella sp.
MR +
VP -
Urea -
TSIA +
Fermentasi Glukosa +
Indol -
Sitrat -
(Sumber: Bakteri Enteropatogen pada Penderita Diare dan Kondisi Higiene Sanitasi
Lingkungan Inang di Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor, 2014)

Tabel 2.4 Hasil Uji Biokimiawi Spesies Shigella sp.

Uji Biokimia S. dysenteriae S. flexneri S. bodyii S. sonnei


Motilitas - - - -
Penggunaan Sitrat - - - -
Glukosa + + + +
Mannitol - - + +
Maltosa - + + +
Sukrosa - - - +
Laktosa - - - +
H2S - - - -
Methyl Red + + + +
VP - - - -
Urease - - - -
Indol - - + -
(Sumber: Identifikasi Bakteri Patogen dan Kualitas Mikrobiologi Nasi Kuning Berbahan
Beras Organik dan Non Organik dengan Metode Pemasakan Tradisional dan Modern, 2016)

2.2.4 Struktur Antigen

23
Shigella sp. memiliki pola antigen yang kompleks yaitu antigen O. Antigen

O somatik Shigella sp. tersusun atas lipopolisakarida. Spesifitasnya serologiknya

bergantung pada polisakarida. Terdapat lebih dari 40 serotipe. Shigella dibagi

dalam empat serogrup berdasarkan komponen-komponen utama antiagen O

yaitu : (Jawetz, 2001).

Grup A : Shigella dysenteriae

Grup B : Shigella flexneri

Grup C : Shigella bodyii

Grup D : Shigella sonnei

Setiap serogroup dibagi lagi dalam serotip berdasarkan komponen

minorantigen O. Sampai saat ini sudah ditemukan 10 serotip S.dysenteriae, 6

serotip S. Flexneri, 15 S. Bodyii, 1 serotip S. Sonnei (Jawetz, 2001). Antigen O

merupakan bagian terluar dari lipopolisakarida dinding sel. Beberapa polisakarida

spesifik O mengandung gula yang unik. Antigen O bersifat tahan panas dan

alkohol. Antigen O bisa terdeteksi melalui aglutinasi bakteri. Antibodi terhadap

antigen O paling utama adalah IgM (Jawetz, 2005).

2.2.5 Faktor Virulensi

Shigella sp. merupakan penyebab utama disentri basiler yang berada seluruh

dunia. Gejala disentri basiler meliputi diare berdarah, kram perut, dan demam.

Kemampuan Shigella sp. untuk menyebabkan penyakit telah dikaitkan dengan

faktor virulensi yaitu plasmid virulensi, T3SS, dan toksin (Yang, 2015).

Shigella sp. menggunakan Sistem Sekresi Tipe III untuk mengirimkan

protein efektornya ke sitoplasma sel inang. Beberapa protein efektor yang

24
dikodekan pada plasmid virulensi Shigella sp. memungkinkan patogen menyerang

sel inang dan bergerak melalui sitoplasma eukariotik. Banyak dari protein yang

sama ini membantu patogen menempel pada dinding sel inang. Invasi antigen B

plasmid (IpaB) memulai pengikatan pada sel inang sementara juga memulai jalur

yang membunuh makrofag setelah infeksi, IpaC mengaktifkan protein untuk

membentuk kompleks polimerisasi aktin yang memungkinkan Shigella sp. untuk

bergerak dan menyebar di dalam sel inang (Yang, 2015).

Untuk mengendalikan dan waktu sekresi protein efektor, Shigella

merasakan kondisi oksigen lingkungan dan menggunakan protein efektor esensial.

Dalam lingkungan oksigen rendah, patogen memanjang jarum T3SS sehingga

mencegah protein efektor dari yang dikeluarkan. Saat bakteri mendekati sel inang,

yang membutuhkan oksigen, bakteri itu mengglikosilasi LPS untuk

mempersingkat mereka dan dengan demikian mengekspos jarum T3SS. Setelah

Shigella sp. mentranslokasi IpaB dan IpaC ke ujung jarum, IpaB mengikat ke

permukaan sel inang, mengakhiri perubahan dalam membran sel sel inang, dan

bekerja dengan IpaC untuk memasukkan jarum ke dalam sel inang (Yang, 2015)

Ekspresi protein IpaB diatur oleh protein faktor transkripsi VirB. VirB

diatur oleh faktor transkripsi VirF. VirF dan VirB adalah regulator transkripsi

virulensi yang dikodekan pada virasmensi plasmid, mengendalikan ekspresi gen

yang terkait virulensi. VirF secara langsung mengaktifkan ekspresi gen virulensi

icsA dan virB. Gen icsA mengkodekan protein IcsA (VirG), yang berinteraksi

langsung dengan protein Wuralott-Aldrich syndrome (N-WASP). N-WASP pada

gilirannya merekrut nuklear aktin (Arp2/3) dalam sel inang. Proses ini mengarah

25
pada polimerisasi tidak langsung dari aktin sel inang untuk memajukan

pergerakan intraseluler bakteri (Yang, 2015).

Shigella sp. memproduksi toksin dimana akan berikatan dengan reseptor dan

menyebabkan aktivasi proses sekresi sehingga terjadi diare cair yang merupakan

gejala awal penyakit. Selanjutnya, perjalanan penyakit melibatkan usus besar dan

invasi jaringan sekitar. Shigella menghasilkan toksin yang dapat dibedakan

menjadi tiga jenis yaitu : Shigella enterotoksin 1 (ShET-1), Shigella enterotoksin

2 (ShET-2), dan toksin Shiga (Stx). ShET-1 dan ShET-2 memiliki kemampuan

untuk menginduksi sekresi cairan ke dalam usus, sehingga menyebabkan gejala

diare berair yang parah. ShET-1 merupakan racun AB yang mengandung satu

subunit A dan beberapa subunit B, yang dikodekan oleh gen set1A dan set1B pada

kromosom. Subunit B dapat berikatan dengan reseptor spesifik pada sel target.

Subunit A tunggal melakukan reaksi enzimatik toksik dalam sel. ShET-2

dikodekan oleh gen sen pada plasmid virulensi dan disekresikan oleh T3SS.

ShET-2 memiliki kemampuan untuk menginduksi proses inflamasi sel epitel

melalui sekresi IL-8 (Yang, 2015).

Shiga toksin (Stx) adalah eksotoksin yang hanya diproduksi oleh S.

dysenteriae serotipe 1 dan serotipe E. coli tertentu (Pacheco dan Sperandio, 2012).

Stx merupakan sitotoksik untuk berbagai jenis sel dan bertanggung jawab untuk

pengembangan lesi vaskular di usus besar, ginjal, dan sistem saraf pusat. Stxs

menampilkan struktur AB5-toksin yang mengandung subunit A enzimatik yang

secara kovalen terkait dengan lima subunit B, yang dikodekan oleh stxA dan gen

stxB, masing-masing, pada kromosom. Subunit A merupakan protein sitotoksik

yang bekerja pada komponen 28S rRNA ribosom eukariotik dan menghambat

26
sintesis protein serta merusak sel oleh apoptosis . Pentamer subunit B

mengarahkan bentuk pengikatan holotoxin ke reseptor Gb3 glikolipid yang

sensitif pada permukaan sel eukariotik. Setelah mengikat Gb3, Stx diinternalisasi

oleh endositosis dan diangkut dari endosom awal ke jaringan trans-Golgi dan

kemudian ke retikulum endoplasma. Setelah diinternalisasi, subunit A dibelah

menjadi fragmen A1 k1A A1 yang aktif secara enzimatik dan fragmen 4 kDa A2

oleh Furin. Hanya fragmen A1-toksin yang ditranslokasi ulang ke sitoplasma dan

memicu proses apoptosis sel (Pacheco dan Sperandio, 2012).

Gambar 2.9 Patogenesis Shigella sp.


(Sumber: Molecular Pathogenesis of Shigella spp.: Controlling Host Cell Signaling, Invasion,
and Death by Type III Secretion, 2008)

Shigella sp. menyebar melalui penularan fecal-oral dan dari manusia ke

manusia. Shigella sp. akan masuk ke dalam tubuh dengan menelan makanan atau

air yang terkontaminasi. Ketika Shigella sp. tiba di usus, bakteri diangkut

melintasi lapisan epitel kolon melalui sel-M. Setelah melewati sel-M, Shigella sp.

ditelan oleh makrofag yang menetap di kantong limfoid yang mendasarinya.

Namun, Shigella sp. akan menggunakan T3SS untuk menyembunyikan berbagai

faktor virulensi, untuk menghindari fagosom dan menginduksi apoptosis

makrofag. Kematian makrofag memicu pelepasan sitokin proinflamasi seperti IL

27
1β dan IL 18. IL 1β memicu peradangan usus kuat dan IL-18 terlibat dalam

menghasilkan respons antibakteri yang efektif. IL-18 mengaktifkan sel-sel

pembunuh alami (NK) dan mendorong produksi gamma interferon (IFN-γ),

sehingga memperkuat respon imun bawaan (innate immune responses). Namun,

peran sitokin ini dalam disentri basiler belum sepenuhnya dijelaskan (Hilbi et al.,

2008).

Setelah dilepaskan dari makrofag yang mati, Shigella sp. akan bergerak

dengan polimerasi aktin yang distimulasi oleh GTPase Rho-family sehingga

mampu menginvasi sel epitel (EC) sekitar dan bermultipliakasi. Invasi EC akan

menimbulkan respons peradangan yang kuat. Sistem pengawasan intraseluler

yang dimediasi Nod1 merasakan fragmen peptidoglikan bakteri yang dirilis oleh

Shigella sp. dan mengaktifkan faktor nuklir κB (NF-κB), yang memicu regulasi

dan sekresi kemokin chemokine IL-8. IL-8 memediasi rekrutmen besar leukosit

neutrofil polimorfonuklear (PMN) ke lokasi infeksi (Hilbi et al, 2008).

PMN menghancurkan integritas lapisan epitel, sehingga memungkinkan

lebih banyak bakteri luminal untuk mencapai submukosa tanpa membutuhkan sel

M. Dengan demikian, pembunuhan makrofag, penghancuran lapisan epitel, dan

masuknya PMN secara masif memperburuk infeksi bakteri dan lesi jaringan.

Proses-proses ini sangat penting untuk pengembangan diare dan patologi khas dari

disentri basiler. Namun, pada akhirnya, PMN direkrut ke lokasi infeksi untuk

menjebak dan membunuh bakteri, sehingga menyelesaikan infeksi. Selain itu,

IFN-γ memainkan peran penting untuk resistensi bawaan terhadap infeksi

Shigella sp (Hilbi et al., 2008).

28
2.3 Disentri Basiler

2.3.1 Definisi

Disentri basiler atau shigellosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan

oleh bakteri genus Shigella (Bangkele, 2015). Bakteri Shigella menginvasi epitel

yang melapisi ileum, usus besar, dan rektum (Kotloff, 2018). Disentri basiler

merupakan salah satu masalah kesehatan di di negara berkembang dengan tingkat

higienitas yang rendah. Disentri basiler menyebar melalui transmisi fecal oral

(Kroser, 2018).

2.3.2 Epidemiologi

Kejadian disentri basiler di dunia diperkirakan 165 juta episode setiap tahun.

Sekitar 99% kasus terjadi di negara dengan ekonomi rendah dan menengah,

terutama pada anak berusia dibawah 5 tahun sekitar 65% (Taylor, 2008). Bakteri

Shigella telah diidentifikasi sebagai patogen utama penyebab diare pada masa

kanak-kanak di seluruh dunia, dan diperkirakan sekitar 1,1 juta kematian per

tahun, 61% di antaranya adalah anak berusia dibawah 5 tahun (Christopher,

2010).

Negara-negara berkembang sering mengalami kejadian disentri basiler

karena kepadatan dan sanitasi yang buruk. Bayi, anak-anak yang tidak diberi ASI

atau kurang gizi dan orang dewasa berusia > 50 tahun memiliki risiko kematian

yang tinggi (WHO, 2005). Bakteri S. boydii dan S. sonnei biasanya menyebabkan

gejala yang cukup ringan (berair atau diare berdarah saja), S. flexneri dan S.

dysenteriae masing-masing bertanggung jawab atas endemik dan epidemi di

negara berkembang, dengan tingkat penularan tinggi dan signifikasi fatalitas kasus

29
disentri basiler. S. dysenteriae (Tipe 1, juga dikenal sebagai Shiga bacillus)

mampu menyebabkan penyakit yang lebih parah dan berkepanjangan karena

produksi sitotoksin kuat (Shiga) yang dikaitkan dengan pengembangan sindrom

hemolitik-uraemik (Taylor, 2008).

2.3.3 Faktor Risiko

2.3.3.1 Karakteristik penduduk

a. Jenis Kelamin

Penyakit disentri basiler sebenarnya tidak ada hubungannya dengan jenis

kelamin. Pada KLB disentri tahun 2010, presentasi perempuan sebesar 49%

dan laki-laki sebesar 51% (Kemenkes RI, 2011). Tetapi, menurut El Azar et

al (2009), perempuan mempunyai resiko lebih tinggi dibandingkan laki-laki

karena perempuan sering terlibat dalam kegiatan rumah tangga yang menjadi

sumber patogen.

b. Pendidikan

Pendidikan mampu mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang,

sehingga semakin tinggi pendidikan maka pengetahuan yang dimiliki banyak

dan semakin rendah pendidikan maka pengetahuan yang dimiliki cukup

rendah terutama pengetahuan dalam merawat anak. Disentri basiler banyak

terjadi pada anak yang memiliki ibu berusia <25 tahun dan memiliki tingkat

pendidikan rendah (Trung et al, 2006). Namun, berbeda hasil penelitian yang

dilakukan oleh Mannan dan Rahman (2010), bahwa pendidikan ibu tidak ada

pengaruh dengan kejadian disentri basiler.

30
c. Pekerjaan

Kelompok tidak bekerja cenderung mmpunyai pengahasilan rendah.

Penghasilan rendah akan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan sehingga

praktik kebersihan juga kurang (Lubby et al, 2011).

2.3.3.2 Perilaku Mencuci Tangan

Perilaku cuci tangan sangat penting untuk diterapkan di kehidupan sehari-

hari, sebab makanan yang telah diolah dengan higienis bisa menjadi makanan

terkontaminasi akibat penjamahan oleh tangan kotor. Perilaku cuci tangan adalah

kebiasaan yang menghubungkan kebersihan seseorang dalam mencegah penularan

patogen yang menyebabkan penyakit. Perilaku cuci tangan bisa dilakukan dengan

cara membersihkan tangan dengan air bersih dan sabun sebelum memegang

makanan, alat makan, dan setelah membuah tinja (Kemenkes R1, 2011).

Menurut Listiono (2010), jalur masuk virus, bakteri atau patogen

penyebab diare ketubuh manusia dikenal dengan 4 F, yaitu fields (tanah), flies

(lalat), fluids (cairan), dan fingers (tangan). Tahapan pencemaran dimulai dari

tinja manusia (feces) yang bersambung mengkontaminasi 4 F sampai cemaran

tersebut bergeser ke makanan atau minuman.

2.3.3.3 Higiene dan Sanitasi Makanan

Higiene merupakan usaha meningkatkan kesehatan dengan cara melindungi

atau memelihara kebersihan seperti membuang makanan basi, mencuci tangan,

sedangkan sanitasi merupakan usaha meningkatkan kesehatan dengan cara

memelihara atau melindungi kebersihan lingkungan. Sehingga dapat disimpulkan

31
bahwa higiene dan sanitasi adalah upaya kesehatan untuk mengendalikan faktor

tempat, peralatan, orang, dan makanan yang mampu menimbulkan terganggunya

kesehatan atau intoksikasi makanan (Kemenkes, 2010).

2.3.3.4 Sarana Sanitasi Lingkungan

a. Air Bersih

Air bersih yang digunakan untuk keperluan sehari-hari, dan sumber air

bersih yang tidak terjaga higienitasnya dapat menyumbang 88% penyebab

diare. Menurut Kyoto (2003), kualitas air bersih yang tinggi dapat

mengurangi risiko terkena diare sebesar 20%. Air yang tidak tercemar

(bersih) bisa menjadi lokasi terbaik untuk perkembang biakan bakteri

penyebab penyakit, salah satunya bakteri penyebab disentri (Carrel el al,

2011). Sumber air bersih bisa berasal dari air hujan, air sungai, air sumur dan

mata air.

Pengambilan air dari sumber bisa menggunakan kran yang dihubungkan

dengan selang air, timba, atau pompa listrik. Timba yang dipakai harus dijaga

kebersihannya dengan cara digantung dan tidak boleh diletakkan di lantai

kembali. Selang air harus terbebas dari sisa air untuk mencegah pertumbuhan

lumut. Tempat penampung air harus dilengkapi dengan penutup yang tidak

berbahan kain atau daun. Pembersihan penampuangan air dibersihkan secara

rutin yaitu minimal satu kali dalam seminggu dan diletakkan di tempat yang

jauh dari risiko pencemaran (Kemenkes RI, 2010).

2.3.3.5 Sarana Pembuangan Kotoran

Kotoran atau tinja merupakan hasil sisa dari sistem pencernaan yang

berpotensial menjangkitkan diare (Kemenkes RI, 2010). Tinja dari orang sehat

32
mengandung satu juta bakteri per gram. Oleh sebab itu, perlu disediakan jamban

untuk menampung kotoran salah satunya jamban cemplung (WHO,2009). Jamban

cemplung merupakan jamban untuk menampung tinja yang terdapat lubang dan

mempunyai fungsi untuk megendapkan lumpur pada dasar lubang atau menyerap

cairan ke tanah. Pembuatan jamban perlu diperhatikan jarak dan sumber air

bersih/ sumur terdekat yaitu > 10 meter (Kemenkes RI, 2010).

Pembuatan jamban yang buruk mampu menjadi sumber penyakit dan

mencemari sumber air atau permukaan tanah disekitarnya.pembuatan jamban

yang baik harus mampu meghindarkan munculnya lalat, tidak bebau, kontruksi

bangunan yang kokoh dan kuat (BPPT, 2005). Dan menurut Kemenkes RI (2010),

jamban yang baik tidak boleh terjamah oleh manusia atau binatang perantara

penyakit, tidak mencemari udara, tidak menimbulkanpenyakit menular.

Pembuangan kotoran yang baik merupakan usaha memotong rantai

penularan penyakit dengan cara mengisolasi tinja yang terinfeksi agar tidak

menularkan ke pejamu yang baru (Kusnoputranto, 1999). Menurut Ersey (1985)

menyatakan bahwa pembuangan tinja mampu mengurangi kejadian diare sebesar

22%. Rumah yang tidak mempunyai jamban bisa meningkatkan kejadian diaere,

salah satunya disentri (Trung et al, 2006).

2.3.3.5 Penanganan Sampah

Sampah adalah benda atau produk sisa dalam bentuk padat akibat aktivitas

manusia yang tidak bermanfaat dan tidak dikehendaki oleh pemiliknya dan

dibuang sebagai barang yang tidak berguna. Sampah dalam rumah harus

diletakkan di wadah tertutup dan kedap air. Pengelolaan sampah yang tidak baik

adalah pembungan sampah dengan cara dibuang ke sungai atau dibuang

33
sembarangan atau dibakar agar tidak menjadi tempat bekrembangnya vektor dan

perantara penyakit (Kemenkes RI, 2010).

2.3.4 Etiologi

Penyebab disentri adalah bakteri shigella dan amoeba. Bakteri shigella

merupakan penyebab disentri yang terpenting dan tersering (±60% kasus disentri

yang dirujuk serta hampir semua kasus disentri yang berat dan mengancam jiwa

disebabkan oleh Bakteri Shigella sp.). Dan amoeba adalah penyebab disentri

amoeba (Entamoeba hystolitica) dimana lebih sering terjadi pada anak usia > 5

tahun (William, 2016).

2.3.5 Patofisiologi

Disentri basiler menyebar dengan cara transmisi fecal-oral. Cara penularan

bisa juga karena mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi,

kontak dengan barang yang terinfeksi, atau melalui seksual. Hewan perantara

seperti lalat mampu menyebarkan penyakit dengan membawa kotoran yang

terkontaminasi. Untuk menyebabkan suatu penyakit, sedikitnya 10 basil Shigella

dysenteriae sedangkan 100-200 basil Shigella sonnei atau infeksi Shigella

flexneri. Virulensi Shigella mampu menahan pH rendah pada asam lambung.

Masa inkubasi bakteri ini dari 12 jam sampai 7 hari, tapi biasanya 2-4 hari

(Sureshbabu, 2016).

Infeksi shigella hampir selalu terbatas di saluran cerna. Penyakit ini sangan

menular karena menghasilkan dosis infektif sebesar 103 organisme. Proses

patogenesis yang terlibat yaitu berawal dari invasi ke sel epitel mukosa, kemudian

menginduksi proses fagositosis, berhasil meloloskan diri dan keluar dari vakuola

34
fagositik, bermultiplikasi dan menjalar ke sel sekitarnya. Mikroabses pada dinding

usus besar dan ileum terminal menyebabkan nekrosis membran mukosa, ulserasi

superfisial, perdarahan dan pembentukan pseudomembran pada daerah ulserasi.

Pseudomembran ini terdiri dari fibrin, leukosit, debris sel, membran mukosa yang

nekrotik, dan bakteri. Saat proses mereda, jaringan granulasi mengisi ulkus dan

terbentuk jaringan parut (Fitria, 2008).

Bakteri masuk ke dalam tubuh dan berada di usus halus menuju ileum

terminal dan kolon melekat pada permukaan dan kolon, melekat pada permukaan

mukosa, berkembang biak, reaksi peradangan hebat, sel-sel terlepas, timbul ulkus,

sehngga menyebabkan disentribasiler (tinja lembek, bercampur darah, mukus dan

pus, nyeri abdomen mules, tenesmus ani) (Brooks et al., 2001).

Penyembuhan spontan dapat terjadi dalam waktu kurang lebih dua hingga

tujuh hari, terutama pada penderita dewasa yang sehat sebelumnya, sedangkan

pada pasien muda, pasien tua serta penderita gizi buruk, maka penyembuhan

penyakit ini membutuhkan waktu yang lebih lama (Fitria, 2008).

2.3.6 Manifestasi Klinis

Disentri basiler disebut juga Shigellosis. Disentri berarti gangguan yang

ditandai adanya peradangan usus yaitu peradangan pada kolon, nyeri perut, dan

BAB berdarah atau bermucus. Tempat alamiah bakteri penyebab disentri berada

di usus besar manusia. Infeksi Shigella dysenteriae terbatas pada saluran

pencernaan saja, dan penyebaran melalui aliran darah sangat jarang ditemui

(Ahmed, 2008).

Bakteri S. dysenteriae mampu menyebabkan tiga bentuk diare :

35
a. Disentri sederhana dengan tinja lembek disertai adanya darah, mukus, atau

pus.

b. Watery diarrhea

c. Kombinasi antara disentri sederhana dengan watery diarrhea.

(Fitia, 2008).

Gejala disentri basiller adalah adanya nyeri perut, demam, BAB berdarah

dan berlendi serta merasakan keinginan untuk buang air besar (kotoran) bahkan

ketika usus kosong. Gejala awal terkena penyakit ini ditandai dengan munculnya

nyeri abdomen, demam, dan diare cair tetapi belum berdarah, kemudian

dilanjutkan muncul feses berdarah setelah 3-5 hari kemudian. Lama gejala rata-

rata pada orang dewasa sekitar tujuh hari. Pada kasus yang berat bisa menetap

hingga 3 – 4 minggu (Lampel and Maurelli, 2003).

Adapun manifestasi ekstraintestinal disentri basiller seperti gejala pernapasan,

gejala neurologis (meningismus), dan Hemolytic Uremic Syndrome. Untuk

mendiagnosis secara pasti bisa dilakukan pulasan feses yang menunjukkan adanya

PMN dan sel darah merah. Kultur feses dapat bermanfaat untuk mengindentifikasi

bakteri atau melihat sensitivitas antibiotik (Lightfoot, 2003).

Tabel 2.5 Manifestasi Klinis Disentri Basiller


Cara Penularan
Kontak langsung
Makanan atau minuman yang terkontaminasi
Manifestasi Klinis Diagnosis
Diare cair dan diare berdarah pemeriksaan miskroskopi pada feses
Nyeri perut, tenesmus, demam, segear untuk mendeteksi adanya PMN
dan anoreksia Konfirmasi dengan kultur atau serotipe
Dehidrasi ringan hingga sedang tinja
Faktor Resiko yang menyebabkan
Komplikasi
kematian
Abnormalitas metabolik Bayi dan orang dewasa lebih dari 50 tahun

36
Sepsis Anak-anak yang tidak menyusui
Encephalopathy anak-anak dan orang dewasa yang
Toxic megacolon kekurangan gizi
Intestinal perforation Anak-anak dengan campak terakhir
Haemolytic-Uremic syndrome Pasien mengalami dehidrasi, tidak sadar,
Rectal prolaps pada anak Hipo atau hipertermia atau dengan riwayat
kejang
(Sumber: Guidlines for the Control of Shigellosis, including ependemics due to Shigella
dysenteriae type 1, 2005)

2.3.7 Pemeriksaan Penunjang

2.3.7.1 Hematologi

Jumlah WBC total tidak mengungkapkan temuan yang konsisten,

akan tetapi pergeseran ke kiri (peningkatan jumlah sel band) dalam

jumlah WBC diferensial pada pasien dengan diare menunjukkan disentri

basiler. Leukopenia atau reaksi leukemoid kadang terdeteksi. Kultur

darah harus dilakukan pada anak-anak yang tampak terinfeksi, sangat

muda, sakit parah, kurang gizi, atau immunocompromised karena mampu

meningkatan risiko terjadinya bakteremia (Sureshbabu, 2018).

2.3.7.2 Pemeriksaan feses

Isolasi Shigella dari tinja atau spesimen usap dubur bersifat diagnostik

tetapi kurang spesifik. Mikroskopi rutin dapat mengungkapkan lembaran

leukosit pada noda berwarna metilen biru, yang merupakan tes sensitif

untuk kolitis tetapi tidak spesifik untuk spesies Shigella. Pada sekitar 70%

pasien dengan disentri basiler bisa terdeteksi melalui pemeriksaan feses

(Sureshbabu, 2018).

2.3.7.3 Kultur tinja

37
Sampel untuk kultur tinja harus diperoleh dalam semua kasus yang

diduga terkena disentri basiler. Hasil dari kultur tinja paling besar pada

awal perjalanan penyakit. Adapun pedoman untuk mendapatkan spesimen

untuk meningkatkan hasil adalah sebagai berikut: (Sureshbabu, 2018).

a. Setelah pengumpulan spesimen, proses pengkulturan harus segera

dilakukan. Apabila pemrosesan tertunda, bisa menggunakan media

transportasi (misalnya : Buffered salin gliserol).

b. Setelah mengumpulkan sampel feses, segera dilakukan inokulasi pada

setidaknya 2 media kultur yang berbeda.

c. Media untuk meletakkan pesimen bisa menggunakan MacConkey,

xylose-lysine-deoxycholate, Hektoen enteric, atau Salmonella-Shigella,

atau agar biru eosin-metilen.

d. Jika pemrosesan tertunda, sampel swab rektal dapat ditempatkan dalam

media transpor Cary-Blair atau salin gliserol yang disangga.

e. Setelah dilakukan inkubasi semalaman, koloni yang tidak berwarna dan

tidak berfermentasi dapat diuji dengan aglutinasi lateks untuk

menentukan identifikasi awal infeksi Shigella.

(Sureshbabu, 2018).

2.3.7.4 Pemeriksaan lain

Alat diagnostik tambahan, seperti probe gen dan analisis tinja PCR

untuk gen spesifik seperti ipaH, virF, atau virA dapat mendeteksi kasus

yang tidak didiagnosis oleh kultur tetapi biasanya tersedia di laboratorium

penelitian (Sureshbabu, 2018).

38
2.3.8 Tatalaksana

2.3.8.1 Terapi medikamentosa

Tanda-tanda penting apabila konidisi pasien yang mengalami perbaikan

seperti demam berkurang, darah dalam feses sedikit, dan perbaikan nafsu makan.

Jika penyakit mereka tidak terjadi perbaikan dalam dua hari, maka bisa ditransfer

dan melakukan perawatan khusus di rumah sakit. Pasien yang dirawat di rumah

harus diberikan instruksi yang jelas mengenai desinfeksi pakaian, barang pribadi

dan lingkungan terdekatnya (WHO, 2005).

Untuk anak-anak, adapun indikasi ke rumah sakit :

- Bayi muda (<2 bulan)

- Anak-anak yang sakit parah, yang terlihat lesu, memiliki perut kembung dan

nyeri tekan atau kejang-kejang

- Anak-anak dengan kondisi lain yang memerlukan perawatan di rumah sakit.

a. Terapi antibiotik

Pemberian antibiotik harus diberikan, jika mungkin bisa didasarkan pada

data kerentanan dari strain Shigella yang diisolasi di daerah tersebut. Jika

informasi tentang strain lokal tidak tersedia, bisa diambil dari data negara-

negara terdekat atau dari epidemi regional (WHO, 2005).

Resistensi Shigella terhadap ampisilin, kotrimoksazol dan asam

nalidiksat telah menyebar dan ini tidak lagi direkomendasikan. Ciprofloxacin,

sebelumnya digunakan sebagai obat cadangan untuk mengobati disentri

basiller, sekarang adalah obat pilihan untuk semua pasien dengan darah diare,

39
terlepas dari usia mereka. Selain dari ciprofloxacin dan beberapa lainnya

fluoroquinolones, pivmecillinam (amdinocillin pivoxil) dan ceftriaxone saat ini

adalah satu-satunya antibiotik yang biasanya efektif untuk pengobatan strain

Shigella multi-resisten pada semua kelompok umur. Azitromisin adalah juga

dianggap sebagai alternatif untuk perawatan orang dewasa. Ketika antimikroba

yang efektif diberikan, perbaikan harus jelas di dalam 48 jam (WHO, 2005).

Tabel 2.6 Antibiotik untuk Disentri Basiler

(Sumber: Guidlines for the Control of Shigellosis, including ependemics due to Shigella
dysenteriae type 1, 2005)

b. Terapi untuk Dehidrasi dan Asupan Makan

Diare berdarah kadang-kadang dikaitkan dengan dehidrasi karena

kehilangan air dan elektrolit. Oral Rehydration Solutions (ORS) dapat

digunakan untuk semua pasien, termasuk anak-anak. Jika paket ORS tidak

tersedia, larutan rehidrasi oral dapat dibuat sendiri dengan cara menyiapkan air

40
beras yang diberi sedikit garam, air kelapa hijau atau bahkan air biasa dapat

diberikan. Solusi Ringer Laktat adalah cairan yang disukai untuk rehidrasi

intravena, meskipun harus hati-hati pada anak-anak yang kekurangan gizi

karena risiko hipokalemia dan hipoglikemia (WHO, 2005).

Pemberian makan yang berkelanjutan sangat penting bagi semua pasien

dengan diare berdarah untuk mempercepat pemulihan, dan untuk mencegah

hipoglikemia dan kekurangan gizi. Untuk pemilihan makanan harus kaya akan

energi dan protein, harus disediakan. Anak-anak harus diberi makan setidaknya

setiap empat jam. Bayi dan anak-anak yang menyusui harus dilanjutkan disusui

sesering mungkin. Anak kecil sembuh dari diare berdarah harus diberi makan

ekstra setiap hari selama setidaknya dua minggu untuk membantu mereka

memulihkan berat badan yang hilang selama sakit (WHO, 2005).

c. Terapi Suportif

Demam harus dikontrol dengan obat anti piretik (parasetamol atau

asetaminofen). Ini mengurangi risiko kejang dan meningkatkan nafsu makan.

Obat analgesik mungkin bisa diberikan untuk nyeri (misalnya : parasetamol,

asetaminofen). Pemberian zinc direkomendasikan untuk anak-anak hingga usia

lima tahun. Dosis harian adalah 20 mg unsur zinc (seperti seng sulfat, atau seng

asetat atau seng glukonat) sekali sehari selama 10 hingga 14 hari (10 mg per

hari untuk bayi di bawah enam bulan). Hal tersebut telah terbukti mengurangi

keparahan dan lamanya penyakit dan juga untuk mengurangi kejadian dan

keparahan diare dalam dua hingga tiga bulan berikutnya (WHO, 2005).

41
Tabel 2.7 Perawatan Dehidrasi, Asupan makanan dan Suportif

(Sumber: Guidlines for the Control of Shigellosis, including ependemics due to Shigella
dysenteriae type 1, 2005)

2.3.8.2 Terapi non medikamentosa

Langkah-langkah kebersihan dasar dan desinfeksi juga harus diberlakukan

untuk mengurangi risiko penyebaran Shigella sp. ke pasien lain dan staf : (WHO,

2005).

- Sabun dan sejumlah besar air bersih harus disediakan untuk mencuci tangan.

Untuk pemilihan lokasi, alangkah baiknya lokasi mudah diakses dan sangat

terlihat.

- Tangan harus dicuci dengan sabun atau larutan klorin encer sebelum dan

sesudah memeriksa setiap pasien.

- Air dan persediaan lain untuk pasien dengan disentri harus disimpan terpisah

dari air dan persediaan untuk pasien lain.

- Pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan tinja harus diatur secara

terpisah dari pasien lain.

42
2.3.9 Komplikasi

a. Dehidrasi. Dehidrasi adalah komplikasi paling umum dari disentri, dan

anak-anak harus dinilai dan dikelola untuk dehidrasi terlepas dari

komplikasi lain. Berikan cairan sesuai rencana perawatan A, B atau C,

yang sesuai.

b. Penipisan kalium. Penipisan kalium dapat dicegah dengan makanan yang

mengandung banyak kalium seperti pisang, air kelapa atau sayuran

berwarna hijau matang.

c. Demam. Jika anak mengalami demam tinggi sekitar ≥ 39 °C atau ≥ 102,2 °

F maka berikan parasetamol dan pertimbangkan infeksi bakteri yang

parah.

d. Prolaps rektum. Dorong kembali prolaps dubur dengan lembut

menggunakan tangan yang dilindungi sarung tangan atau kain basah. Bisa

juga dengan menggunakan larutan hangat magnesium sulfat jenuh, dan

berikan kompres dengan larutan ini untuk mengurangi prolaps dan edema.

e. Kejang. Kejang tunggal paling sering terjadi. Jika mereka diperpanjang

atau diulang, berikan diazepam. Hindari pemberian diazepam dubur.

Selalu periksa hipoglikemia.

f. Sindrom uremik hemolitik. Jika tes laboratorium tidak memungkinkan,

curigai sindrom hemolitik uraemik pada pasien yang mudah memar, pucat,

kesadaran berubah, dan output urin rendah atau tidak ada sama sekali.

g. Megakolon beracun. Megakolon toksik biasanya disertai demam, distensi

abdomen, nyeri, dan nyeri tekan disertai hilangnya bunyi usus, takikardia,

43
dan dehidrasi. Berikan cairan IV untuk dehidrasi, berikan tabung

nasogastrik, dan mulai antibiotik (Sureshbabu, 2018).

2.4 Metode Ekstraksi

2.4.1 Definisi

Ekstraksi adalah jenis pemisahan satu atau beberapa bahan dari suatu cairan

atau padatan. Proses ekstraksi diawali dari gumpalan ekstrak dengan pelarut

kemudian terjadi gabungan antara pelarut dan bahan sehingga terjadi pengendapan

massa dengan cara difusi. Ekstraksi merupakan proses penarikan senyawa

metabolit sekunder yang dibantu oleh pelarut. Ekstraksi akan lebih cepat

dilakukan pada suhu tinggi, tetapi hal ini dapat mengakibatkan beberapa

komponen mengalami kerusakan (Mukhriani, 2014).

2.4.2 Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Ekstraksi

Adapaun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses ekstraksi yaitu :

a. Perlakuan pendahuluan

Perlakuan pendahuluan dapat mempengaruhi kualitas ekstrak yang

diproduksi. Perlakuan pendahuluan meliputi pengecilan ukuran dan pengeringan

bahan. Semakin ukuran partikel kecil, maka semakin besar luas kontak antara

padatan dengan pelarut, lintasan kapiler dalam padatan menjadi semakin pendek,

dan tahanan menjadi semakin berkurang. Sehingga proses ekstraksi lebih optimal

dan cepat. Teknik pengecilan ukuran bisa dilakukan dengan cara penggilingan,

penghancuran dan pemotongan.

b. Temperatur

44
Semakin tinggi temperatur yang digunakan maka kelarutan bahan yang

diekstraksi dan difusivitas akan meningkat. Akan tetapi suhu terlalu tinggi mampu

merusak bahan.

c. Faktor pengadukan

Pergerakan pelarut di sekitar bahan akibat pengadukan dapat mempercepat

homogenitas bahan dengan pelarut dan meningkatkan laju difusi solute.

Pengadukan dapat dilakukan dengan cara mekanis, pengaliran udara atau dengan

kombinasi keduanya.

(Mukhriani, 2014).

4.2.3 Pelarut

Pelarut merupakan benda cair atau gas yang mampu melarutkan benda

padat, cair atau gas, dan menghasilkan sebuah larutan. Pelarut yang paling sering

digunakan adalah air dan bahan kimia organik (mengandung karbon). Pelarut

mempunyai sifat seperti mudah menguap, mempunyai titik didih rendah dan

meninggalkan substansi terlarut yang didapatkan. Agar bisa memilah antara zat

terlarut dengan pelarut yaitu dimana pelarut umunya terdapat dalam jumlah lebih

besar (Mukhriani, 2014).

Fungsi pelarut dalam reaksi kimia yaitu memudahkan pencampuran antara

reaktan dan reagen yang seharusnya terjadi agar dapat merubah reaktan menjadi

produk. Selain itu, pelarut bisa menjadi pengontrol suhu yang bertujuan untuk

meningkatkan energi dari benturan partikel sehingga partikel tersebut dapat

bereaksi cepat, atau menyerap panas yang dihasilkan selama reaksi eksotermik.

Adapun jenis-jenis pelarut, seperti: (1) Pelarut polar : air, etanol, metanol (2)

45
pelarut semipolar : etil asetat, diklorometan (3) pelarut nonpolar : n-heksan,

petroleum eter, kloroform (Mukhriani, 2014)

Untuk mencapai proses ekstraksi yang optimal, maka pelarut yang dipakai

harus memenuhi beberapa kriteria, seperti :

1. Tidak mudah terbakar, tidak beracun dan harganya relatif murah

2. Tidak bersifat korosif yang dapat merusak alat

3. Tidak mudah bereaksi dengan zat yang akan diekstraksi

4. Kemampuan tinggi untuk diambil kembali

(Mukhriani, 2014).

2.5 Ultrosound – Assisted Solvent Extraction (UAE)

Salah satu metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ultrosound –

Assisted Solvent Extraction (UAE). Ultrosound – Assisted Solvent Extraction

(UAE) merupakan modifikasi metode maserasi yang memakai ultrasound (sinyal

dengan frekuensi tinggi, 20 kHz). Wadah yang berisi sampel simplisia diletakkan

dalam wadah ultasonic dan ultrasound. Hal ini tersebut bertujuan untuk

memberikan tekanan mekanis pada sel sampai menghasilkan rongga pada sampel

(Mukhriani, 2014).

UAE bisa difungsikan untuk mendapatkan kandungan antioksidan yang

lebih tinggi dengan waktu yang cepat. Ultrasonik mempunyai sifat non-

destructive dan non invasive, sehingga dapat dengan mudah diadaptasikan ke

berbagai aplikasi. Dengan adanya ultrasonik, maka waktu yang dibutuhkan proses

ektraksi senyawa organik pada tanaman dengan pelarut organik lebih cepat dan

46
pemecahan dinding sel dari bahan keandungan yang ada di dalamnya dapat keluar

dengan mudah (Sholihah, 2017)

UAE menggunakan kativasi akustik untuk memproduksi gelembung

kativasi sehingga menghasilkan gaya gesek yang tinggi. Hal tersebut bertujuan

untuk merusak dinding sel sehingga pelarut dapat masuk ke dalam bahan uji dan

meningkatkan kontak antara pelarut dengan senyawa yang akan diekstraksi.

Keuntungan UAE yaitu dapat meningkatkan hasil ekstraksi, waktu ekstraksi cepat

menggunakan suhu rendah, dan volume pelarut yang sedikit. Sedangkan,

kekurangannya adalah memerlukan energi dan biaya yang besar. Rendemen yang

dihasilkan dengan menggunakan metode ini lebih tinggi dibandingkan dengan

menggunakan metode konvensional. Faktor yang mempengaruhi ekstraksi

menggunakan Ultrasound Assisted Extraction yaitu ukuran partikel, jenis pelarut,

rasio pelarut dengan bahan, suhu, lama waktu ekstraksi, intensitas akustik,

ketinggian sampel (dalam bentuk cair), dan siklus dari paparan gelombang

ultrasonik (Sholihah, 2017)

2.6 Metode Uji Antimikroba

2.6.1 Metode Difusi cakram

Metode difusi cakram merupakan metode yang sering digunakan di

laboratorium mikrobiologi klinis untuk pengujian keefektifan antimikroba secara

rutin. Prosedur pertama yang dilakukan dalam metode difusi cakram yaitu

menumbuhkan mikroorganisme uji yang terstandarisasi pada pelat agar. Prosedur

kedua yaitu cakram kertas filter (berdiameter sekitar 6 mm) yang sudah

mengandung senyawa uji dengan konsetrasi yang sesuai dan ditempatkan pada

47
permuakaan agar. Cawan Petri diinkubasi dalam kondisi yang sesuai. Agen

antimikroba akan berdifusi ke dalam agar dan menghambat pertumbuhan

mikroorganisme uji dan kemudian dilakukan pengukuran dengan menggunakan

parameter zona hambat pertumbuhan bakteri (Balouiri et al., 2016).

Metode ini memiliki kekurangan yaitu area penghambatan pertumbuhan

bakteri tidak berarti kematian bakteri, sehingga tidak dapat membedakan efek

bakterisidal dan bakteriostatik. Metode difusi cakram tidak tepat untuk

menentukan konsentrasi penghambatan minimum (KHM), karena tidak mungkin

untuk mengukur jumlah agen antimikroba yang digunakan dalam media agar.

Namun demikian, perkiraan KHM dapat dihitung untuk beberapa mikroorganisme

dan antibiotik dengan membandingkan zona penghambat dengan algoritma yang

telah ditentukan. Metode ini memiliki banyak keuntungan dibandingkan dengan

metode yang lain yaitu kesederhanaan, biaya yang murah, dapat menguji jumlah

mikroorganisme dan agen antimikroba yang sangat banyak (Balouiri et al., 2016).

2.6.2 Metode Dilusi

Metode dilusi merupakan metode yang paling tepat dalam menentukan nilai

KHM, karena metode ini mampu untuk memperkirakan konsentrasi agen

antimikroba yang diuji dalam agar (dilusi agar) atau media kaldu (macrodilution

atau mikrodilusi). Baik metode kaldu atau dilusi yang dapat digunakan untuk

mengukur aktivitas antimikroba in vitro secara kuantitatif terhadap bakteri dan

jamur. Nilai KHM yang diperoleh didefinisikan sebagai konsentrasi terendah dari

agen antimikroba yang diuji yang dapat menghambat pertumbuhan

mikroorganisme yang diuji, dan biasanya dinyatakan dalam mg/ml atau mg/l

(Balouiri et al., 2016).

48
Broth mikro atau makro dilusi adalah salah satu metode pengujian aktivitas

antimikroba yang paling dasar. Prosedur ini melakuakan pembuatan pengenceran

agen antimikroba dua kali lipat (misalnya 1, 2, 4, 8, 16 dan 32 mg/ml) dalam

media pertumbuhan cair yang dituangkan dalam tabung yang berisi volume

minimal 2 ml (macrodilution) atau dengan yang lebih kecil volume menggunakan

plat mikrotitrasi 96-well (mikrodilution). Kemudian, setiap tabung atau sumur

diinokulasi dengan inokulum mikroba yang disiapkan dalam media yang sama

setelah pengenceran suspensi mikroba standar yang disesuaikan dengan skala 0,5

McFarland. Setelah pencampuran dengan baik, tabung yang diinokulasi atau pelat

mikrotitrasi 96-well diinkubasi (kebanyakan tanpa agitasi) dalam kondisi yang

sesuai tergantung pada mikroorganisme uji. (Balouiri et al., 2016)

Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) merupakan konsentrasi terendah

agen antimikroba yang sepenuhnya menghambat pertumbuhan organisme dalam

tabung atau sumur mikrodilusi seperti yang terdeteksi oleh mata tanpa bantuan.

Tidak seperti metode mikrodilusi, kelemahan utama dari metode makrodilusi

adalah pekerjaan yang menjenuhkan, manual, risiko kesalahan dalam persiapan

solusi antimikroba untuk setiap tes, dan jumlah reagen dan ruang yang relatif

besar diperlukan (Balouiri et al., 2016)

49
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep


Ekstrak Citrus
hystrix

Alkaloid Saponin Minyak Atsiri Tanin Flavonoid

Mengganggu Mengganggu Denaturasi Inhibisi enzim Menghambat sisntesis


Peptidoglikan permeabilitas asam nukleat reverse transkriptase Asam Nukleat,
sehingga membran sel dan DNA menghambat fungsi
dinding sel topoisomerase membran sel,
tidak terbentuk mengambat metabolisme
energi

Shigella dysenteriae

Sel M

Polimerasi Fagositosis oleh


aktin makrofag

Invasi sel Apoptosis


makrofag

Multiplikasi
Melepas
sitokin
Respon
inflamasi
IL 18 IL 1β dan TNFα
Merekrut
PMN

Manifestasi disentri :
Demam, Diare cair dan
berdarah, nyeri perut

50
Keterangan :
: Yang diteliti : Memiliki

: Yang tidak diteliti : Menyebabkan/ terjadi

: Kandungan ekstrak : Menghambat

3.2 Deskripsi Kerangka Konsep

Bakteri Shigella dysentriae merupakan salah satu etiologi dari disentri

basiler. Bakteri shigella dapat ditularkan melalui facal-oral (makanan dan

minuman yang terkontaminasi). Bakteri Shigella dysentriae masuk ke dalam

tubuh manusia melalui sel-sel mikro (Sel M). Ketika bakteri tersebut sudah

masuk, maka akan terjadi proses fagositosis oleh makrofag. Akan tetapi bakteri

Shigella dysentriae mempunyai faktor virulensi yaitu  Invasion Plasmid Antigens

(Ipas) yang merupakan bagian dari T3SS. Ipas terdiri dari Ipa A, Ipa B, Ipa C, dan

Ipa D. Ipa B berfugsi untuk mengontrol sistem sekresi, membantu bakteri untuk

melarikan diri dari fagosom dan menginduksi apoptosis pada makrofag. kematian

makrofag menyebabkan pelepasan sitokin IL 18, IL1β,dan TNFα. Efek pelepasan

dari sitokin (IL1β,dan TNFα) akan menyebabkan manifestasi klinis disentri

basiler.

Setelah terjadinya apoptosis makrofag, akan menstimulasi GTPase Rho-

Family untuk memicu polimerasi aktin sebagai alat geraknya agar bisa

menginvasi ke dalam sel epitel. Kemudian bakteri tersebut melakukan

multiplikasi intraseluler dan interseluler. Multiplikasi dan penyebaran bakteri ini,

akan memicu respon inflamasi agar bisa merekrut PMN yaitu neutrofil. Neutrofil

memediasi untuk pembersihan bakteri dan penghancuran sel yang terinfeksi.

51
Sebagai hasil dari proses inflamasi tersebut, maka sel-sel kolon rusak dan

menunjukkan manifestasi dari disentri basiler seperti diare cair dan berdarah.

Daun jeruk purut (Citrus hystrix) mempunyai senyawa metabolit sekunder

yang bisa berfungsi sebagai antibakteri dan antiinflamsi. Metabolit sekunder

sebagai antibakteri seperti alkaloid, saponin, minyak atsiri, tanin, flavonoid.

Metabolit sekunder sebagai antinflamasi adalah flavonoid. Sehingga daun jeruk

purut (Citrus hystrix) diharapkan bisa menjadi obat alternatif untuk disentri

basiler.

Mekanisme antibakteri metabolit sekunder dari Daun Jeruk Purut (Citrus

hystrix) seperti Alkaloid bekerja dengan menggangu komponen penyusun

peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara

utuh dan menyebabkan kematian sel. Minyak atsiri bekerja dengan

mendenaturisasi asam nukleat sehingga akan kehilangan aktivitas fisiologisnya

dan tidak dapat berfungsi baik. Saponin bekerja dengan cara menganggu

permeabilitas membran sel bakteri sehingga menyebabkan sel bakteri lisis. Tanin

bekerja dengan menginhibisi enzim reverse transkriptase serta DNA

topoisomerase sehingga struktur sel bakteri tidak dapat terbentuk. Mekanisme

kerja flavonoid sebagai antimikroba dapat dibagi menjadi tiga yaitu menghambat

sintesis asam nukleat, menghambat fungsi membran sel dan menghambat

metabolisme energi.

3.3 Hipotesis
H0 : Ekstrak daun jeruk purut (Citrus hystrix) tidak memiliki aktivitas
antibakteri terhadap pertumbuhan Shigella dysenteriae
H1 : Ekstrak daun jeruk purut (Citrus hystrix) memiliki aktivitas
antibakteri terhadap pertumbuhan Shigella dysenteriae

52
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif jenis eksperimental dan

desain eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain eksperimen

sederhana (Posttest Only Control Group Design) yang bertujuan untuk

mengetahui potensi antibakteri ekstrak daun jeruk purut (Citrus hystrix) terhadap

bakteri Shigella dysenteriae.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

4.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

4.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2019 – Maret 2020.

4.3 Sampel Penelitian

Sampel pada penelitian ini adalah bakteri Shigella dysentriae yang diperoleh

dari Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya,

Malang.

53
4.3.1 Kriteria Inklusi

Koloni Shigella dysenteriae yang tumbuh pada media Salmonella-Shigella

Agar (SSA) dengan perlakuan dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 18-24 jam.

4.3.1 Kriteria Inklusi

Koloni Shigella dysenteriae yang tumbuh pada media Salmonella-Shigella

Agar (SSA) disertai pertumbuhan jamur atau kontaminan lain.

4.4 Bahan dan Alat yang Digunakan

4.4.1 Bahan yang Digunakan

No. Bahan Jumlah


1. Daun jeruk purut (Simplisia serbuk daun jeruk purut 1000 g

yang berasal dari UPT. Materia Medica Batu


2. Alkohol 70 % 1000 ml
3. Aquadest 2 botol
4. Agar SSA Secukupnya
5. NB dan NAP Secukupnya
6. Kultur murni Shigella dysenteriae 1 tabung
7. Etanol 96 % Secukupnya
8. Ciprofloxacin 500 gram
9. Etil asetat Secukupnya

4.4.2 Alat yang Digunakan

No. Alat Jumlah


1. Autoklaf 1
2. Neraca analitik 1
3. Ose bulat 8
4. Korek api 1
5. Kertas cakram Secukupnya
6. Labu erlenmayer 250 ml dan 500 ml 3

54
7. Inkubator 1
8 Penggaris 30 cm 1
9. Rotatory evaporator 1
10. Kulkas 1
11. Tabung reaksi pendek dan panjang 8
12. Rak tabung reaksi 1
13. Beaker glass (50 ml, 100 ml, 200 ml, 500 4

ml)
14. Mikro pipet 1
15. Gelas ukur (10 ml, 25 ml, 50 ml, 100 ml) 4
16. Cawan petri (diameter 10 cm) 40
17. Colony counter 1
18. Mikropipet 1
19. Kertas saring Secukupnya
20. Gunting 1
22. Batang pengaduk Secukupnya
23. Pinset 1
24. Bunsen Secukupnya
25. Eksikator 1
26. Oven 1
27. Kapas Secukupnya
28. Toples 1

4.5 Definisi Operasional

a. Variabel dependen :

Adalah variabel yang menjadi akibat dari variabel independen atau

dipengaruhi oleh variabel independen. Variabel dependen pada penelitian

ini adalah pertumbuhan bakteri Shigella dysenteriae pada medium SSA.

b. Variabel independen :

Adalah variabel yang mempengaruhi variabel dependen atau yang

menjadi sebab perubahan variabel dependen. Variabel independen pada

penelitian ini adalah ekstrak daun jeruk purut (Citrus hytrix) dengan

konsentrasi 5%, 10%, 15%, 20%, dan 25%.

c. Variabel kontrol :

55
Adalah variabel yang berpengaruh pada penelitian tetapi dapat

dikendalikan atau dinetralisir oleh peneliti. Variabel kontrol dibagi

menjadi dua, yaitu variabel kontrol negatif dan variabel kontrol positif.

Variabel kontrol positif yang digunakan adalah ciprofloxacin dan variable

kontrol negatif yang digunakan adalah aquades.

A
C

Keterangan :

A : variabel independen (konsentrasi Citrus hystrix)

B : variabel kontrol (ciprofloxacin dan aquades)

C : variabel dependen (pertumbuhan bakteri Shigella dysenteriae)

Variabel Definisi Operasional Indikator


Ekstrak daun jeruk Hasil ekstraksi berupa serbuk Konsentrasi ekstrak

purut (Citrus yang diperoleh dari cara pada setiap tabung

Hystrix) maserasi yang dimodifikasi

(UEA) dengan pelarut etanol

96%.
Konsentrasi Hambat Merupakan konsentrasi minimal Tingkat kekeruhan

Minimum (KHM) bahan coba yang mampu pada media NB.

menghambat pertumbuhan

bakteri setelah diinkubasi 24 jam

dan tidak tumbuh koloni bakteri

56
yang diketahui dengan cara

mengamati kekeruhan pada

media perbenihan dengan

menggunakan metode dilusi

tabung.
Konsentrasi Bunuh Konsentrasi minimal bahan coba Jumlah koloni

Minimum (KBM) yang dapat membunuh bakteri bakteri Shigella

sebesar 99 % atau 100 % pada dysenteriae di media

media NAP. NAP.


Zona hambat Zona hambat yang ditandai Diameter zona

dengan adanya daerah jernih hambat

pada medium biakan bakteri.

4.6 Prosedur Penelitian

Prosedur yang dilakukan terdiri dari sterilisasi alat, pembuatan ekstrak daun

jeruk purut dengan metode UAE, pengenceran, pembuatan medium kultur,

pembutan suspensi bakteri, menentukan KHM, KBM, dan zona hambat

antimikroba.

4.6.1 Sterilisasi Alat

Semua alat yang digunakan dalam penelitian ini harus disterilkan terlebih

dahulu. Alat yang digunakan untuk sterilisasi alat adalah autoklaf. Autoklaf

adalah alat sterilisasi yang digunakan dalam penelitian mikrobiologi dengan

menggunakan uap air panas yang bertekanan. Pada umunya tekanan yang

digunakan yaitu 15 Psi atau sekitar 2 atm dan dengan pada suhu 1210C selama 15

menit. Sebelum dimasukkan ke dalam autoklaf, perlu pembungkusan alat terlebih

57
dahulu agar alat tidak rusak. Pembungkus dari kertas untuk membungkus sarung

tangan, tip mikropipet, dan gelas ukur. Pembungkus dari alumunium foil untuk

membungkus pinset, batang pengaduk, cawan petri, dan tabung reaksi. Dan untuk

membungkus Labu Erlenmeyer dengan mengisi aquades sebanyak 250 ml

kemudian ditutup dengan kapas yang dipadatkan.

4.6.2 Pembuatan Ekstrak Daun Jeruk Purut (Citrus hystrix)

4.6.2.1 Pembuatan simplisia

Daun jeruk purut (Citrus hystrix) diperoleh dari tanaman sendiri. Daun jeruk

purut (Citrus hytrix) yang digunakan untuk membuat simplisia harus segar, warna

daun tidak terlalu tua atau muda, mengkilap, dan bebas dari noda kecokalatan.

Kemudian dikirim ke UPT. Materia Medica Batu. Sekitar 1000 gram daun jeruk

purut (Citrus hytrix) yang terpilih dan terkumpul dicuci terlebih dahulu kemudian

dikeringkan di dalam ruang pengeringan selama kurang lebih 48 jam hingga daun

jeruk purut (Citrus hytrix) tersebut benar-benar kering. Daun yang sudah kering

tersebut dihaluskan hingga menjadi serbuk dengan menggunakan mesin

penggiling. Serbuk daun jeruk purut (Citrus hytrix) dimasukkan ke dalam toples

dan diberi silica gel untuk mengurangi kelembapan, kemudian disimpan di dalam

almari penyimpanan simplisia.

4.6.2.2 Pembuatan Ekstrak Daun Jeruk Purut (Citrus hystrix)

Simplisia daun jeruk purut (Citrus hytrix) ditimbang sebanyak 30 gram dan

dimasukkan kedalam labu erlenmeyer, kemudian dilarutkan dengan pelarut etanol

96% sebanyak 200 ml. Selanjutnya dilakukan ekstraksi dengan bantuan

gelombang ultrasonik (>20 kHz) selama 6 menit dengan 3 kali jeda tiap 2 menit,

58
pada tiap jeda pengulangan diaduk menggunakan batang pengaduk. Ekstrak etanol

96% disaring dengan menggunakan kertas saring lalu diambil filtratnya.

Selanjutnya dilakukan ekstraksi kedua menggunakan 150 ml etanol 96% dengan

cara yang sama, berikutnya dilakukan ekstraksi ketiga menggunakan 150 ml

etanol 96% dengan cara yang sama hingga total pelarut yang telah digunakan

sejumlah 500 ml. Selanjutnya dilakukan ekstraksi bertingkat menggunakan

simplisia serbuk daun jeruk purut (Citrus hytrix) menggunakan pelarut etil asetat

dengan jumlah dan cara yang sama seperti pada saat ekstraksi menggunakan

pelarut etanol 96%. Masing-masing filtrate diuapkan menggunakan vacuum

rotary evaporator dengan suhu 50oC dan putaran 70 rpm hingga ekstrak menjadi

kental. Ekstrak kental ditampung kedalam cawan petri, lalu dimasukkan kedalam

oven pada suhu 40˚C hingga ekstrak menjadi kering. Kemudian digiling menjadi

serbuk.

4.6.3 Pengenceran

Pengenceran terbuat dari ekstrak daun jeruk purut (Citrus hytrix) untuk

menghasilkan berbagai konsentrasi yang akan digunakan dalam menghambat

pertumbuhan Shigella dysenteriae. Konsentrasi pengenceran yaitu 5%, 10%, 15%,

20%, 25%. Metode yang digunakan untuk membuat ekstrak daun jeruk purut

(citrus hytrix) dengan berbagai konsentrasi adalah metode dilusi tabung.

1. Konsentrasi 5% : Pencampuran sediaan ekstrak daun jeruk purut

(Citrus hytrix) 0,5 gram dengan 10 ml akuades

steril
2. Konsentrasi 10% : Pencampuran sediaan ekstrak daun jeruk purut

(Citrus hytrix) 1 gram dengan 10 ml akuades

59
steril
3. Konsentrasi 15% : Pencampuran sediaan ekstrak daun jeruk purut

(Citrus hytrix) 1,5 gram dengan 10 ml akuades

steril
4. Konsentrasi 20% : Pencampuran sediaan ekstrak daun jeruk purut

(Citrus hytrix) 2 gram dengan 10 ml akuades

steril
5. Konsentrasi 25% : Pencampuran sediaan ekstrak daun jeruk purut

(Citrus hytrix) 2,5 gram dengan 10 ml akuades

steril

4.6.4 Pembuatan Medium

4.6.4.1 Media SSA

Timbang Salmonella dan Shigella Agar (SSA) dengan menggunakan neraca

analitik sebanyak 10g, kemudian tambahkan aquades sebanyak 500 ml ke dalam

labu Erlenmeyer. Panaskan labu Erlenmeyer pada pemanas air sampai SSA larut

dengan air. Kemudian sterilkan dengan menggunakan autoklaf pada temperatur

121oC selama 15 menit. Untuk pembuatan agar miring, dibiarkan pada suhu

ruangan selama ± 30 menit sampai media memadat pada kemiringan 30 o . Media

Agar miring digunakan untuk inokulasi bakteri.

4.6.4.2 Media cair NB

Media cair NB (Nutrient Broth) sebanyak 12 gram media NB (Nutrien Broth)

ditambah akuades sampai 100 ml, kemudian dipanaskan sampai semua bahan

larut dengan sempurna, setelah itu media disterilkan dalam autoclave pada suhu

121°C selama 15 menit dengan mengatur tekanan sebesar 15 dyne/cm3 (1 atm).

60
4.6.5 Peremajaan Biakan Bakteri dan suspensi bakteri Shigella dysentriae

Pembuatan biakan muda dan suspensi bakteri Shigella dysentriae. Bakteri

yang akan diuji setiap kali harus dibiakmudakan terlebih dahulu, dengan cara

menggoreskan biakan dari stok bakteri ke agar miring SSA yang masih baru.

Kemudian diinkubasi di dalam inkubator pada suhu 37°C selama 24 jam.

Untuk suspensi bakteri, diambil 1 ml dari hasil peremajaan biakan murni

bakteri Shigella dysenteriae dimasukkan tabung reaksi yang berisi 5 ml NaCl

fisiologis 0,9% Kemudian divortek supaya homogen, kemudian dibandingkan

dengan standart 0,5 Mc Farland dengan kepadatan bakteri sebanyak 108 sel/ml.

Kemudian diencerkan 100x pada media NaCl fisiologis 0,9% dan media NB.

didapatkan suspensi bakteri sebanyak 106 bakteri sel/ml, bakteri siap diujikan.

4.6.5 Pembuatan Larutan Pembanding Ciprofloxacin

Larutan kontrol positif dibuat dari sediaan obat tablet Ciprofloxacin 500 mg,

dengan cara satu tablet Ciprofloxacin digerus. Setelah itu ditimbang 65 mg dan

dilarutkan dalam 50 ml aquades, selanjutnya dibuat dengan cara diambil 1 ml

larutan dan ditambahkan aquades hingga 10 ml untuk memperoleh larutan

ciprofloxacin 5µg/50µl. Larutan ini digunakan sebagai kontrol positif pada

pengujian.

4.6.7 Estimasi Jumlah Pengulangan

Jumlah estimasi dihitung dengan rumus (Lukito, 1998):

p ( n-1 ) ≥ 16

61
Keterangan :

n = jumlah pengulangan

p = jumlah perlakuan atau konsentrasi

penelitian ini menggunakan 5 konsentrasi (5%, 10%, 15%, 20%, dan 25%)

dari ekstrak etanol daun jeruk purut (p=5), maka di dapatkan jumlah

pengulangan :

p ( n-1 ) ≥ 1

5 (n-1) ≥ 16

5n – 5 ≥ 16

5n ≥ 21 ; n ≥ 4,2 ≈ 4

Dengan demikin untuk memenuhi uji statistik diperlukan 4 kali

pengulangan.

4.6.6 Pengujian antibakteri

4.6.6.3 Metode Dilusi Tabung

Uji Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) Dan Konsentrasi Bunuh

Minimum (KBM). Uji KHM adalah konsentrasi terkecil obat yang dapat

menghambat pertumbuhan bakteri secara makroskopik. Berikut langkah-langkah

uji metode dilusi tabung :

a. Menyiapkan tabung reaksi sebanyak 7 tabung (5 tabung untuk perlakuan, 2

tabung untuk kontrol).

62
b. Kontrol negatif diisi dengan 0,5 ml aquades, 9 ml media NB, dan 0,5 ml

suspensi bakteri. Sehingga didapatkan 10 ml pada tabung rekasi. Kemudian

ditandai dengan K- pada kertas label.

c. Kontrol positif diisi dengan 0,5 ml larutan ciprofloxacin, 9 ml media NB

dan dan 0,5 ml suspensi bakteri. Sehingga didapatkan 10 ml pada tabung

rekasi. Kemudian ditandai dengan K+ pada kertas label.

d. Menandai 5 tabung untuk perlakuan pada kertas label (A1,A2,A3,A4, dan

A5)

e. Tabung 1 (A1) diisi dengan 0,5 ml ekstrak daun jeruk purut (Citrus hystrix)

9 ml media NB, dan 0,5 ml suspensi bakteri. Sehingga didapatkan 10 ml

pada tabung rekasi.

f. Tabung 2 (A2) diisi dengan 1 ml ekstrak daun jeruk purut (Citrus hystrix) 9

ml media NB, dan 0,5 ml suspensi bakteri. Sehingga didapatkan 10 ml pada

tabung rekasi.

g. Tabung 3 (A3) diisi dengan 1,5 ml ekstrak daun jeruk purut (Citrus hystrix)

9 ml media NB, dan 0,5 ml suspensi bakteri. Sehingga didapatkan 10 ml

pada tabung rekasi.

h. Tabung 4 (A4) diisi dengan 2 ml ekstrak daun jeruk purut (Citrus hystrix) 9

ml media NB, dan 0,5 ml suspensi bakteri. Sehingga didapatkan 10 ml pada

tabung rekasi.

i. Tabung 5 (A5) diisi dengan 2,5 ml ekstrak daun jeruk purut (Citrus hystrix)

9 ml media NB, dan 0,5 ml suspensi bakteri. Sehingga didapatkan 10 ml

pada tabung rekasi.

j. Seluruh tabung dihomogenkan dengan menggunakan vortex.

63
k. Seluruh tabung reaksi tersebut dinkubasi dalam inkubator pada suhu 37°C

selama 18-24 jam. Kemudian dilakukan pengamatan keseluruhan tabung

terhadap kejernihan tabung dengan melihat kontrol positif dan negatif.

l. Hasil tiap tabung kemudian di Streaking (penggoresan) pada media Nutrient

Agar Plate (NAP)

m. Diinkubasi pada suhu 37°C selama 18-24 jam.

n. Diamati ada tidaknya pertumbuhan (koloni) bakteri dan dilakukan

penghitungan koloni bakteri dengan menggunakan colony counter

o. Langkah ini diulang sebanyak 4 kali

4.6.6.2 Metode Difusi

Uji efektivitas antibakteri ini dilakukan dengan menggunakan ekstrak

daun jeruk purut (Citrus hystrix), ciprofloxacin sebagai kontrol positif, dan

aquades sebagai kontrol negatif terhadap bakteri Shigella dysentriae. Berikut cara-

cara melakukan pengujian bakteri :

a. Menyiapkan empat buah cawan petri yang sudah steril.

b. Menyiapkan empat buah cawan petri yang berisi medium NA.

c. Masukkan bakteri Shigella dysentriae dengancara mengambil Cotton swab

kemudian dicelupkan dalam biakan bakteri kemudian kapas ditekan pada sisi

tabung agar tiris. Cotton swab diulaskan pada seluruh permukan cawan petri

yang berisi medium secara merata.

d. Menyiapkan 28 buah paper disc, yang masing-masing dibagi tujuh kelompok

untuk ekstrak daun jeruk purut dengan konsentrasi 5%, 10%, 15%, 20%,

25%, ciprofloxacin dan aquades kedalam empat cawan petri. Kedalam

64
masing-masing cawan petri diletakkan tujuh buah paper disk. Tempatkan

paper disk di atas medium yang terdapat biakan bakteri Shigella dysentriae

kemudian ditekan dengan pinset agar paper disc benar-benar melengket pada

media, setelah itu ditetesi dengan ekstrak daun jeruk purut, ciprofloxacin dan

aquades sebanyak satu kali tetes (20 mikroliter).

e. Selanjutnya cawan petri tersebut diinkubasi dengan temperatur 37ºC selama

1x24 jam.

f. Pengukuran antibakteri diperoleh dengan mengukur zona bening pada media

yang padat dengan menggunakan penggaris millimeter. Zona bening yang

menjadi petunjuk tidak adanya bakteri S. dysenteriae yang tumbuh pada

setiap perlakuan.

65
4.7 Alur Penelitian

Persiapan alat dan Pembuatan Simplisia Bakteri S.dysenteriae


bahan

Pembuatan ekstraksi Peremajaan bakteri


Sterilisasi alat dan
bahan
Pembuatan larutan uji Suspensi bakteri

Pembuatan medium

K- A1 A2 A3 A4 A5 K+

Nuntrient Broth Cawan petri berisi


dan suspensi medium dan bakteri uji
bakteri 106 sel/ml
Paper disc yang sudah
Inkubasi pada suhu ditetesi perlakuan dan
37ºC selama 18-24 kontrol
jam

Inkubasi dengan temperatur


Kekeruhan media 37ºC selama 1x24 jam
KHM
agar cair

Pengukuran zona hambat


Streaking pada dengan penggaris
media NAP

Inkubasi pada suhu Analisis data


37ºC selama 18-24
jam

Perhitungan koloni KBM

Analisis data

66
Keterangan :
: Metode Dilusi Tabung
: Tahap Persiapan
: Metode Difusi
K- : Kontrol negatif (Aquades + bakteri uji + NB)
A1 : Konsentrasi 5%
A2 : Konsentrasi 10%
A3 : Konsentrasi 15%
A4 : Konsentrasi 20%
A5 : Konsentrasi 25%
K+ : Kontrol positif (Ciprofloxacin + bakteri uji + NB)

4.7

67
4.8 Analisis Data

Pada penelitian ini, data analisis yang digunakan adalah Uji One-Way

Analysis of Variance (ANOVA) karena variabel yang diuji hanya satu yaitu

diameter zona hambat yang dihasilkan oleh masing-masing konsentrasi ekstrak

daun jeruk purut (Citrus hytrix) terhadap S. dysenteriae yang diinokulasikan pada

medium agar. Syarat Uji One-Way Analysis of Variance (ANOVA) adalah data

yang diuji harus homogen (homogenitas) dan berdistribusi normal (normalitas).

Uji normalitas menggunakan Kalmogorov-Smirnov Test dengan tujuan untuk

mengetahui apakah data yang diuji berdistribusi normal atau tidak. Jika hasil uji

signifikan dengan standar signifikansi (α = 0,05) maka normalitas dan

homogenitas terpenuhi. Apabila nilai signifikansi (p) lebih besar dari α = 0,05

maka data terdistribusi normal sedangkan jika nilai signifikansi (p) lebih kecil dari

α = 0,05 maka data tidak terdistribusi normal. Uji homogenitas menggunakan

Levene Test dengan tujuan mengetahui apakah dua atau lebih kelompok data

berasal dari populasi yang memiliki varians sama atau tidak. Uji Normalitas, Uji

Homogenitas, dan Uji One-Way Analysis of Variance (ANOVA) diolah

menggunakan program analisis statistik yaitu Statistical Package for the Social

Sciences (SPSS) versi 23.

68
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, P., & Musbita, E. 2017. Petunjuk Praktik Pengembangan Praktikum

Biologi Sekolah. Surakarta: Laboratorium Biologi Program Studi

Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Muhammadiyah Surakarta.

Ahmed, Bahar. 2007. Chemistry Of Naturan Products. New Delhi: Departement

of Pharmaceutical Chemistry Faculty of Science.

Akiyama, Hisanori. 2001. Antibacterial Action of Several Tannins Against

Staphylococcus Aureus. 48, 487-491. Jepang: Department of

Dermatology, Okayama University.

Amalia, S., Sri, W., & Eka, K.U. 2016. Uji Aktivitas Antibakteri Fraksi n-heksan

Kulit Buah Naga Merah (Hylocereus polyrhizus Britton & Rose)

Terhadap Bakteri Staphyloccus aureus ATCC 25923. Jurnal Fitofarmaka

Indonseia. 1 (2).

Arfania, Maya. 2017. Telaah Fitokimia Ekstrak Etanol Daun Jeruk Purut (Citrix

hystrix DC) di Kabupaten Karawang. Vol. 2 No. 2. Karawang: Program

Studi Farmasi Universitas Buana Perjuangan Karawang.

Arta, Maria Jessica. 2016. Identifikasi Bakteri Patogen dan Kualitas Mikrobiologi

Nasi Kuning Berbahan Beras Organik dan Non Organik dengan Metode

Pemasakan Tradisional dan Modern. Semarang: Universita Katolik

Soegijapranata.

69
Balouiri, M., Sadiki, M., Ibnsouda, S.K., 2016. Methods for in vitro evaluating

antimicrobial activity: A review. J. Pharm. Anal. 6, 71–79.

https://doi.org/10.1016/j.jpha.2015.11.005.

Bangkele, Elli. 2015. Efek Antibakteri dari Ekstrak Lengkuas Putih (Alpinia

galangal swartz) terhadap Shigell dysenteriae. Volume 01, Nomor 02.

Universitas Tadulako: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.

Bhatt S, Pandey A, Pandey RD, Tripathi P, Gupta PP, Haider J, , Singh AV. 2009.

Moringaoleifera Lam. (Sahijan) – a plant with a plethora of diverse

therapeutic benefits: an update retrospection. Medicinal and Aromatic

Plants 1(1) :2-8

Brooks, G.F., J.S Butel, dan S.A. Morse. 2005. Mikrobiologi Kedoketeran.

Salemba: Medika. Jakarta.

Carrel et al. 2011. Diarrheal disease risk in rural bangladesh decreases as

tubewell density increases: a zero-infltaed and geograhically weighted

analysis.

Christopher PRH, David KV, John SM, et al. 2010. Antibiotic therapy for

Shigella dysentery. Cochrane Database Sys Rev.

Dalil, Fitri. 2016. Hadis-hadis tentang Farmasi: Sebuah Kajian Integratif dalam

Memahami Hdist Rasulullah. IAIN Batusangkar.

Dzen, J. M., 2003. Bakteriologik Medik. Hal: 187-197. Malang: Bayumedia.

El Azar Grace eet, al. 2009. Effect of Womens Perceptions and household

practices on children waterbone illnes in low income community. NCBI.

70
Fitria, Y., Astawan. 2008. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Biji Teratai Nymhaea

pubescens Willd) terhadap Bakteri Patogen Penyebab Diare. J.

Teknologi Pangan, 19(2), 158-164.

Hegar, Badriul. 2013. Disentri. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-

RSCM. Available from http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-

anak/disentri.

Hilbi, Hubert and Gunnar N,. 2008. Molecular Pathogenesis of  Shigella  spp.:

Controlling Host Cell Signaling, Invasion, and Death by Type III

Secretion. Vol 21 No 01. American Society fot Microniology.

Hutadilok-Towatana, N., Chaiyamutti, P., Panthong, K., Mahabusarakam, W.,

Rukachaisirikul, V., 2006. Antioxidant and free radical scavenging

activities of some plants used in Thai folk medicine. Pharm. Biol. 44,

221-228

Jawetz, E., Melnick. 2005, Mikrobiologi Kedokteran, diterjemahkan oleh

Mudihardi, E., Kuntaman, Wasito, E. B., Mertaniasih, N. M., Harsono,

S., Alimsardjono, L., Edisi 22, 327-335, 362-363, Penerbit Salemba

Medika, Jakarta

Jawetz, Melnick. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 23. Jakerta: EGC.

Jawetz, Melnick. 2007. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 23. Jakerta: EGC.

Karou, Damintoti. 2005. Antibacterial activity of Alkaloids from Sida Acuta. Vol

4 No. 12. African Journal of Biotechnology.

Kementrian Kesehatan RI. 2010. Buku Pedoman Pengendalian penyakit diare.

Direktorat jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Jakarta.

71
Kementrian Kesehatan RI. 2011. Buku Pedoman Pengendalian Penyakit Diare.

Direktorat jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Jakarta.

Kementrian Kesehatan RI. 2011. Situasi Diare di Indonesia. Jakarta: Pusat Data

dan Informasi Kementrian Kesehatan RI.

Kementrian Kesehatan RI. 2017. Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia.

Jakarta.

Komariyatika dan Pawenang. 2011. Faktor yang berhubungan dengan kualitas

bakteriologis air sumur gali. No 7. Unnes.

Kotloff KL, Nataro JP, BlackwelderWCet al. Burden and aetiology of diarrhoeal

disease in infants and young children in developing countries.

Kroser, Joyan. 2018. Shigellosis. Available in: https: //emedicine. medscape. com/

article/ 182767- overview.

Kyoto. 2003. Water, sanitation, and hygiene at Kyoto, handwashing and

sanitation need to be marketed as if they were consumer product. NCBI.

Lampel KA, Maurelli AT. 2003. Shigella Species Cgapter 11: International

Handbook of Foodborn Pathogens. Hal 167-180. New York.

Libby Stephen P et al. 2005. Effect of handwahing on child health: a randomized

controlled trial. Bangladesh.

Lightfoot D. 2003. Shigella Chapter 17:Foodborn Microorganisms of Public

Health Signicance. Edisi ke-6. Australian Institute of FoodScience and

Technology (Nws Branch). Hal 543-552. Sydeny.

72
Listiono. 2010. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian diare di

wilayah kerja Puskesmas Lebakwangi Kecamatan Cigudeg Kabupaten

Bogor. Bogor: FKM UI.

Madduluri, Sureshabu. 2013. In Vitro Evaluation of Antibacterial Activity of Five

Indegenous Plants Extract Againist Five Bacterial Pathogens of Human.

Vol 5. No. 4. Departement of Biochemistry, University Acharya

Nagarjuna.

Mannan and Rahman (2010). Esploring the link between food hygiene practices

and dairrhoea amaong the children ofgarments worker mothers in

Dhaka.

Middleton, E., Kandaswami, C., Theoharides, T.C., 2000. The effects of plant

flavonoids on mammalian cells: Implications for inflammation, heart

disease, and cancer. Pharmacol. Rev. 52, 673–751

Miftahendarwati, 2014. Efek Antibakteri Ekstrak Daun Jeruk Purut ( Citrus

hystrix) Terhadap Bakteri Streptococcus mutans ( in vitro ). Makassar:

Fakultas Kedokteran Gigi. Universitas Hasanudin.

Mukhriani, 2014, Ekstraksi, Pemisahan Senyawa, dan Identifikasi Senyawa Aktf,

Jurnal Kesehatan, 7(2): 361-367.

Mustaqof, Ahmad. 2015. Sistem Pakar untuk Mendiagnosis Penyakit Infeksi

Menggunakan Forward Chaining. Volume 04, Nomor 01. Universitas

Sebelas Maret: Jurusan Informatika.

Nafianti, Selvi. 2005. Resisten Trimetoprim-Sulfametoksazol terhadap Shigellosis.

Volume 07, Nomor 01. Medan: FK USU Ilmu Kesehatan Anak.

73
Normande, Bob. 2014. Bakteri Enteropatogen pada Penderita Diare dan Kondisi

Higiene Sanitasi Lingkungan Inang di Kacamatan Cigudeg Kabupaten

Bogor. Bogor: Departemen Biologi, IPB.

Nuria, Maulita. 2009. Uji AktivitasAntibakteri Ekstrak Etanol Daun Jarak Pagar

(Jatropha curcas L) Terhadap Bakteri Staphlococcus Aureus ATCC

25923, E. Coli, dan Salmonella typhi ATCC 1408. Vol 5. No 2.

Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Nygren, B.L., K.A. Schilling, E.M. Blanton, B.J. Silk, D.J. Cole, dan E.D. Mintz.

2012. Foodborne outbreaks of shigellosis in the USA. Journal of US

National Library of Medicine National Institutes of Helath. 141(2):233–

241.

Pacheco and Sperandio, 2012 A.R. Pacheco, V. Sperandio Shiga toxin in

enterohemorrhagic  E. coli: regulation and novel anti-virulence

strategies. Front. Cell. Infect. Microbiol.

Paendong, Liberty. 2012. Penentuan Kandungan Tanindan Uji Aktivitas

Antoksidan Ekstrak Biji Buah Alpukat (Persea americana Mill.).

Manado: Universitas Sam Ratulangi.

Parwata, I Made. 2016. Kimia Organik Bahan Alam: Flavonoid. Denpasar:

Fakultas Udayana.

Ragil, Dyah. 2017. Hubungan antara Pengetahuan dan Kebiasaan Mencuci

Tangan Pengasuh dengan Kejadian Diare pada Anak. Jurnal of Health

Education. Universitas Negeri Semarang.

74
Rijayanti, Rika. 2014. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Mangga

Bacang Magnifera foetida L.) Terhadap Staphylococcus aureus secara

In Vitro. Universitas Tanjugpura.

Sari, Fahriya. 2011. Ekstraksi Zat Aktif Antimikroba dari Tanaman Yodium

(Jatropha Multifida Linn) Sebagai Bahan Baku Alternatif Antibiotik

Alami. Semarang.

Setiawan, Dalimartha. 2000. Atlas Tumbuhan Obat Jilid II. Jakarta: PT. Pustaka

Pembangunan Swadaya Nusantara.

Sholihah, Mar’atus. 2017. Aplikasi Gelombang Ultrasonik untuk Meningkatkan

Rendemen Ekstraksi dan Efektivitas Antioksi dan Kulit Manggis. Vol 5,

No 2, P 161-168. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Sirait, Midian. (2007). Penuntun Fitokimia dalam Farmasi. Bandung: Penerbit

ITB.

Siswandono dan Soekardjo, B., 2000, Kimia Medisinal, Edisi 2, 228-232, 234,

239, Airlangga University Press, Surabaya.

Soepomo. 2012. Jeruk Purut (Citrus Hystrix DC.). Indonesia: Pusat Data &

Informasi PERSI. BBPP. 2017. Apotik Rumah (Daun Jeruk Purut).

Available in https:// bbppketindan. Bppsdmp .pertanian. go. id/.

Sumono, A., SD, A.W., 2008. The use of bay leaf (Eugenia polyantha Wight) in

dentistry. Dent. J. (Majalah Kedokt. Gigi) 41, 147.

Talaro, K. P. 2008. Foundation in Microbiology: Basic Principles, Sixth Edition,

Mc Graw Hill, New York.

75
Tanumihardja, Maria. 2013. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Terstandar Akar

Sidaguri terhadap E. Faecalis and Actinomyces spp. Volume 12, Nomor

02. Makasar: Universitas Hasanudin.

Taylor M. Enterohaemorrhagic Escherichia coli and Shigella dysenteriae type 1-

induced haemolytic uraemic syndrome. Paediatr Nephrol. 2008;23:1425–

1431.

Thompson CT, N. Vinh, P. Duc, A. Wolbers, M, Vinh H, et al. Clinical

implications of reduced susceptibility to fluoroquinolones in paediatric

Shigella sonnei and Shigella flexneri infections. Journal of antimicrobial

chemotherapy. 2016;71(3):807-815.

Trung Vu Nguyen et al. 2005. Etiology and epidemiology of diarrhea in Children

in Hanoi,. Vietnam.

Tumwine James K. 2002. Diarrhoea and Effect of Different Water Sources,

Sanitation and hygiene behavior in East Africa. NCBI.

Viessman. Jr Warren and Hammer, Mark J. 2005. Water Supply and Pollution

control. Sevent edition. Person Educational International.

WHO 2017. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/diarrhoeal-disease

Williams, Phoebe. 2016. Dysentery (Shigellosis): Current WHO Guidelines and

the WHO Essential Medicine List for Children. World Health

Organization.

Williams, Phoebe. 2016. Dysentery (Shigellosis): Current WHO Guidelines and

the WHO Essential Medicine List for Children. World Health

Organization.

76
World Health Organization. 2005. Guidelines for the control of shigellosis,

including epidemics due to Shigella dysenteriae type 1. Available from:

http://www.who.int/cholera/publications/shigellosis/en/.

World Health Organization. 2017. Diarrhoeal disease. Available from:

https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/diarrhoeal-disease.

Yuliani, Ratna. 2011. Aktivitas Antibakteri Minyak Atsiri Daun Jeruk Purut

terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Volume 12,

Nomor 02. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Zuhri, Isnaini. 2013. Aktivitas Antibakteri Kombinasi Ekstrak Etanol daun Jambu

Monyet dan Tetrasiklin terhadap Staphylococcus aureus sensitif dan

Mutiresisten Antibiotik. Universitas Muhammadiyah Surakarta: Fakultas

Farmasi.

77

Anda mungkin juga menyukai