Anda di halaman 1dari 133

AMULET

SAMARKAND

JONATHAN STROUD

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Jakarta, 2007

THE BARTIMAEUS TRILOGY # 1:

THE AMULET OF SAMARKAND

by Jonathan Stroud

Untuk Gina

Temperatur dalam ruangan menurun drastis. Bunga es terbentuk di tirai dan


mengerak tebal di sekeliling bola lampu di langit-langit. Pijaran cahaya di tiap
bohlam mengecil dan meredup, sementara lilin-lilin yang berdiri di tiap
permukaan yang tersedia, sumbunya tertiup padam, tampak seperti sekoloni
jamur. Kamar yang sekarang gelap itu dipenuhi asap belerang yang kuning
menyesakkan, di dalam sana bayangan hitam yang kabur menggeliat dan
melintir. Sayup-sayup dari kejauhan terdengar suarasuara jeritan. Pintu yang
menuju anak tangga tibatiba mendapat tekanan kuat. Pintu itu menggembung ke
arah dalam, kayu-kayunya bergemeretak. Suara langkah kaki yang tak tampak
mengentak lantai kayu dan mulut-mulut yang tidak kasatmata membisikkan
kata-kata jahat dari belakang tempat tidur dan balik meja.

Awan sulfur itu memadat menjadi gumpalan asap tebal yang memuntahkan
sulur-sulur tipis; sulur-sulur itu menjilat-jilat ke udara seperti lidah sebelum
akhirnya menghilang. Gumpalan asap itu tergantung di atas bagian tengah
pentacle, menggelegak 9

Bartimaeus
1
naik menuju langit-langit seperti awan gunung berapi yang meletus. Hampir tak
tampak jeda sedikit pun. Lalu dua mata kuning yang menatap lurus terbentuk di
tengah-tengah asap.

Hei, ini pengalaman pertamanya. Aku ingin menakut-nakutinya.

Dan aku berhasil. Anak laki-laki berambut gelap itu berdiri di tengah-tengah
pentacle-nya. sendiri yang lebih kecil, dipenuhi berbagai tulisan kuno, satu meter
jauhnya dari pentacle besar.

Wajahnya sepucat mayat, tubuhnya gemetar seperti daun mati yang ditiup angin
kencang. Gigi-giginya bergemeletuk karena dagunya bergetar. Keringat menetes
dari alisnya, setiap butir membeku menjadi es ketika terjatuh melewati udara.
Butiranbutiran keringat itu berderak seperti hujan es batu saat jatuh ke lantai.

Semua baik dan lancar, tapi memangnya kenapa? Maksudku, dia tampaknya
baru dua belas tahun. Mata besar, pipi cekung.

Tak banyak kepuasan yang didapatkan dari menakut-nakuti bocah kurus kering.1

Maka aku melayang dan menunggu, berharap anak ini tak memerlukan waktu
lama untuk akhirnya merapalkan mantra pembebasan. Agar tidak bosan, aku
membuat lidah-lidah api biru menjilati bagian dalam tepi pentacle, seakan
mencari jalan keluar untuk menyergapnya. Itu tipuan, tentu saja. Aku telah
memeriksa dan tanda itu digambar dengan cukup baik. Tak ada kesalahan mantra
di mana pun, sayangnya.

1 Tak semua sepakat denganku soal ini. Beberapa menikmatinya sebagai


permainan yang menyenangkan. Mereka dengan licik mencari cara yang tak
terhitung jumlahnya untuk menyiksa para pemanggil mereka dengan
penampakan yang mengerikan.

Biasanya paling tidak kau akan membuat pemanggilmu bermimpi buruk, tapi
kadang kala muslihat ini begitu berhasil sehingga para murid itu biasanya
langsung panik dan melangkah keluar dari lingkaran perlindungan mereka. Itu
berarti semua berjalan lancar?bagi kami. Tapi ini perbuatan yang berisiko.
Sering kali para murid itu berlatih dengan baik. Lalu mereka tumbuh dewasa dan
membalas dendam.
10
Akhirnya tampaknya bocah menyedihkan itu mulai memberanikan diri
berbicara. Aku menebak ini dari getaran di bibirnya yang sepertinya bukan
akibat rasa takut semata. Aku menyingkirkan lidah-lidah api biru, menggantinya
dengan bau busuk.

Anak itu berbicara. Suaranya seperti tercekik.

“Aku memerintahkanmu… untuk… untuk…” Ya ampun, cepatlah! “M-m-


memberitahuku n-namamu.”

Begitulah biasanya mereka memulai, para penyihir muda itu.

Ocehan yang tak berarti. Dia sudah tahu, dan aku tahu dia tahu, namaku; jika
tidak, bagaimana mungkin dia bisa memanggilku?

Kau butuh kata-kata yang tepat, tindakan yang tepat, dan yang paling penting
nama yang tepat. Maksudku, ini kan tidak seperti memanggil taksi?kau tidak
bisa mendapatkan siapa saja jika memanggil.

Aku memilih suara yang dalam dan kental seperti cokelat, yang bergema dari
setiap arah tapi juga seolah tidak dari manamana, yang membuat bulu kuduk di
leher orang-orang yang tak berpengalaman berdiri.

“Bartimaeus.”

Aku melihat anak itu menelan ludah dengan susah payah ketika mendengar
namaku. Bagus?berarti dia tidak sepenuhnya tolol; dia tahu siapa dan apa aku.
Dia tahu reputasiku.

Setelah terdiam beberapa saat untuk menelan segumpal dahak, dia berbicara lagi.
“A-aku memerintahkanmu lagi untuk menjawab. Apakah kau sang B-
Bartimaeus yang pada zaman dahulu dipanggil para penyihir untuk
membetulkan tembok Praha?”

Anak ini benar-benar tukang buang waktu. Siapa lagi kalau bukan aku? Aku
meninggikan volume suara untuk menjawab.
Es yang terbentuk di lampu bohlam bergemeretak seperti gula yang mengeras
menjadi karamel. Di balik tirai yang kotor, 11

kaca jendela berkilau dan bergetar. Tubuh anak itu mendoyong ke belakang.

“Aku Bartimaeus! Aku Sakhr al-Jinni, N’gorso yang Hebat, dan sang Ular dari
Silver Plumes! Aku membangun kembali temboktembok Uruk, Karnak, dan
Praha. Aku berbicara dengan Solomon. Aku pernah berlari bersama nenek
moyang kerbau-kerbau di padang rumput. Aku menjaga Zimbabwe Tua hingga
hujan batu menghancurkannya dan anjing-anjing memakan tuan-tuan mereka.
Aku Bartimaeus! Aku tak bertuan.

Maka aku memerintahkanmu menjawab sekarang, bocah. Siapa kau yang berani
memanggilku?”

Keren, kan? Plus, semua keterangan itu memang benar sehingga efeknya lebih
kuat. Dan aku melakukannya bukan hanya untuk menyombongkan diri. Aku
berharap anak itu akan tegertak sehingga menyebutkan namanya, yang akan
memberiku sesuatu yang dapat digunakan jika dia lengah.2

Tapi aku tidak mujur.

“Dengan lingkaran pembatas, ujung-ujung pentacle, dan rangkaian tulisan kuno,


aku tuanmu! Kau akan mematuhi perintahku!”

Ada sesuatu yang amat memuakkan bila mendengar tingkah menyebalkan ini
dilakukan anak tanggung yang penampilannya acak-acakan, dengan suara
melengking konyol pula. Aku menahan keinginan mengutarakan isi hati dan
menyuarakan jawaban yang biasa. Apa saja asal bisa mempercepat proses ini.

“Apa keinginanmu?”

Aku mengakui bahwa aku sudah dibuatnya terkesan. Kebanyakan penyihir yang
masih hijau melihat dulu, baru ber-2 Aku tak dapat berbuat apa-apa selama
berada di dalam lingkaran, tentu saja. Tapi nanti aku akan mendapatkan
informasi tentang siapa ia sebenarnya, mencari kelemahan karakternya, hal-hal
di masa lalu yang dapat dieksploitasi. Mereka semua memilikinya. Atau lebih
tepatnya, kalian semua memilikinya.
12
tanya. Mereka memeriksa, mengira-ngira potensi kekuatan mereka sendiri, tapi
terlalu gugup untuk mencobanya. Lagi pula kau jarang menemukan penyihir bau
kencur seperti ini memanggil makhluk sekaliber aku.

Anak itu berdeham. Inilah saatnya. Ini saat yang dinantinantikannya.

Dia telah memimpikan hal ini selama bertahuntahun, ketika seharusnya dia
berbaring di tempat tidur memikirkan mobil balap atau cewek. Aku menunggu
perintahnya yang menyedihkan dengan geram. Apa gerangan permintaannya?

Membuat beberapa objek melayang adalah hal yang biasa mereka minta, atau
menggeser benda-benda dari sisi ruangan yang satu ke sisi yang lain. Mungkin
dia menginginkan aku membuat suatu ilusi. Mungkin akan menyenangkan: ada
saja cara untuk pura-pura salah mengartikan permintaannya dan membuatnya
kesal.3

“Aku memerintahkanmu mencuri Amulet Samarkand dari rumah Simon


Lovelace dan membawanya kepadaku saat aku memanggilmu besok subuh.”

“Apa?”

“Aku memerintahkanmu mencuri?”

“Ya, aku dengar apa katamu.” Aku tak bermaksud terdengar naik pitam.
Kelepasan saja, dan nada suaraku yang seram agak terpeleset juga.

“Pergilah!”

“Tunggu sebehtar!” Aku merasakan sensasi mual di perutku yang selalu timbul
jika ada yang mengusirmu. Seolah ada yang menyedot isi perutmu dari
punggung. Pengusirannya harus disebutkan tiga kali sebelum dapat membuatmu
pergi, jika kau berkeras tinggal. Biasanya kau tak ingin berlama-lama. Tapi 3
Seorang penyihir pernah menyuruhku menampakkan cinta sejatinya. Aku
menampilkan bayangan cermin yang kabur.
13
kali ini aku tetap berada di tempatku, berwujud dua mata yang menyala di dalam
asap menggeiegak.

“Kau tahu apa yang kauminta, Nak?”

“Aku tidak akan membicarakan, mendiskusikan, atau tawarmenawar tentang ini


denganmu; tidak juga akan meladeni tekateki, taruhan, atau permainan
kemungkinan; tidak juga?”

“Aku tak berminat mengobrol dengan remaja kerempeng, percayalah, jadi


simpan saja sampah hafalanmu itu. Ada yang memanfaatkanmu. Siapa?kurasa,
mastermu? Pengecut yang bersembuyi di balik anak kecil.” Aku membiarkan
asap menipis sedikit, menampakkan siluetku untuk pertama kali, melayang
redup di balik bayangan. “Jika kau berniat merampok penyihir sejati dengan
memanggilku, berarti kau dua kali bermain api.

Di mana kita? London?”

Anak itu mengangguk. Ya, memang London. Dalam rumah bobrok di tengah
kota. Aku mengamati ruangan dari balik asap kimia. Langit-langit rendah, kertas
pelapis dinding yang terkelupas; poster pudar di dinding. Poster itu
menampakkan pemandangan suram di Belanda?pilihan aneh untuk ukuran
bocah. Aku mengharapkan melihat poster-poster cewek penyanyi pop, pemain
sepak bola… Kebanyakan penyihir adalah konformis, bahkan meskipun masih
muda.

“Ah, malangnya…” Kubuat suaraku lembut dan sedih. “Dunia ini kejam dan
mereka hanya mengajarimu sedikit.”

“Aku tak takut padamu! Aku telah memberikan perintah dan aku menuntut kau
segera pergi!”

Pengusiran kedua. Ususku seakan dilalui mesin penggilas.

Aku merasakan wujudku mulai meredup, berkedip. Anak ini memiliki kekuatan,
walaupun ia masih amat muda.
“Bukan aku yang harus kautakuti; paling tidak, untuk saat ini. Simon Lovelace
akan mendatangimu sendiri jika sadar amuletnya hilang dicuri. Dia takkan
membiarkanmu hidup hanya karena kau masih belia.”
14
“Kau terikat untuk melaksanakan perintahku.”

“Memang.” Aku menyerah, dia bertekad bulat. Dan amat bodoh.

Tangannya bergerak. Aku mendengar suku kata pertama mantra Penjepit


Sistematik. la akan menyakitiku.

Aku pergi. Aku tak mau bersusah payah membuat special effect lagi.
15
2

Saat aku mendarat di tiang lampu jalanan petang itu di London, hujan deras
sedang turun. Nasibku yang buruk. Aku mengambil wujud burung hitam, jenis
yang lincah dengan paruh kuning terang dan bulu hitam pekat. Dalam beberapa
detik saja aku telah menjadi unggas paling basah kuyup yang pernah
mengepakkan sayap di Hampstead. Sambil menolehkan kepalaku ke kanan dan
ke kiri, aku melihat pohon beech besar.

Dedaunan membusuk di kakinya?pohon itu telah gundul diterjang angin


November?tapi dahan-dahannya yang tumbuh rapat menawarkan perlindungan
dari kebasahan ini. Aku terbang menghampirinya, melewati bagian atas mobil
yang melaju sendirian di jalan perkotaan yang lebar. Di balik temboktembok
tinggi dan pagar hijau halaman, bagian muka beberapa vila besar yang putih dan
jelek bersinar menembus gelapnya malam bagaikan wajah mayat.

Well, mungkin suasana hatiku saja yang membuat bangunanbangunan itu


tampak demikian. Ada lima hal yang membuatku khawatir. Pertama, mulai
datangnya rasa sakit samar-samar 16

yang menyertai setiap kali aku mengambil wujud fisik. Aku dapat merasakannya
di tiap helai buluku. Mengubah bentuk akan melenyapkan rasa sakit untuk
sementara, tapi juga mungkin akan menarik perhatian pada tahap penting
perubahan.

Sebelum yakin akan keamanan situasi sekitar, aku harus tetap menjadi burung.

Masalah kedua adalah cuacanya. Tak perlu penjelasan lebih lanjut.

Ketiga, aku melupakan batas-batas yang dimiliki wujud nyata. Ada rasa gatal di
sebelah atas paruhku, dan aku terus berusaha dengan sia-sia menggaruknya
dengan sayap. Keempat, anak itu. Banyak pertanyaan di benakku tentang
dirinya. Siapa dia? Mengapa dia mencari mati? Bagaimana caranya agar aku
dapat membalas dendam padanya sebelum dia mati karena menyuruhku
melakukan tugas ini? Kabar tersiar cepat, dan sudah dapat dipastikan aku akan
mendapat pelecehan karena berkeliaran atas nama anak bau kencur seperti dia.
Kelima… amiiletnya. Dari segi mana pun amulet itu jimat ampuh. Aku sama
sekali tak dapat menebak apa yang akan dilakukan anak itu terhadapnya. Dia tak
mungkin tahu kekuatan sejati benda itu. Mungkin ia hanya akan memakainya
sebagai aksesori fashion yang nyentrik. Mungkin mengutil amulet adalah tren
terbaru, seperti mencungkil velg ban mobil versi penyihir. Bagaimanapun, aku
harus mendapatkannya dulu, dan ini tidak akan mudah, bahkan untukku.

Aku menutup mata burungku dan membuka mata benak, satu demi satu, masing-
masing dalam plane?tingkatan keberadaan?

yang berbeda.1 Aku memandang bolak-balik ke sekitar, melompat-lompat di


dahan untuk mendapatkan peman-1 Aku memiliki akses ke tujuh plane, semua
secara berurutan. Plane-plane itu saling menumpuk seperti lapisan roti pastry
mille-feuille yang remuk. Tujuh plane sudah cukup bagi semua makhluk.
Mereka yang beroperasi pada lebih dari tujuh plane hanya berniat pamer.
17
dangan yang optimal. Tak kurang dari tiga vila di sepanjang jalan itu memiliki
proteksi sihir, yang menunjukkan betapa kayanya area ini. Aku tak memeriksa
dua vila yang agak jauh di ujung jalan sebelah sana; vila yang berada di seberang
kedua vila itulah, yang letaknya di belakang lampu jalan, yang raembuatku
tertarik. Kediaman Simon Lovelace, penyihir.

Plane pertama aman, tapi Simon Lovelace melengkapi plane kedua dengan
jaringan pertahanan?jaringan itu bersinar bagaikan jaring labalaba tipis berwarna
biru di sepanjang tembok tinggi. Tapi tidak berhenti di situ saja; jaring itu terus
menjalar ke atas hingga cukup tinggi, melampaui atap rumah putih yang rendah,
dan menurun lagi ke sisi seberang, membentuk semacam kubah besar yang
bersinar.

Boleh juga, tapi aku dapat mengatasinya.

Tak ada apa-apa di plane ketiga dan keempat, tapi pada plane kelima aku melihat
tiga sentry?penjaga gaib?berpatroli di udara, tepat di balik bibir tembok
halaman. Seluruh tubuh mereka kuning redup, masing-masing memiliki tiga kaki
berotot yang berotasi di tulang rawan mereka. Di atas tulang rawan itu terdapat
setumpuk gumpalan, yang dilengkapi dua mulut dan beberapa mata yang awas.
Makhluk-makhluk itu melintas tanpa aturan, bolak-balik mengelilingi garis batas
pekarangan.

Aku meringkuk di belakang dahan pohon beech secara refleks, tapi aku tahu
mereka tak mungkin dapat melihatku dari jarak itu. Dalam jarak itu aku hanya
tampak sebagai burung hitam di seluruh tujuh plane. Barulah jika aku mendekat,
mereka bakal dapat melihat menembus ilusiku.

Plane keenam aman. Tapi plane ketujuh… ini aneh. Aku tak melihat ada apa-
apa?rumah, jalan, suasana malam tampak tak berubah?tapi, sebut ini intuisi jika
kau suka, aku yakin ada sesuatu di sana, mengintai.

Dengan ragu-ragu, aku menggesekkan paruh ke tonjolan di batang pohon.


Seperti yang kuduga, banyak kegiatan sihir 18

berkekuatan tinggi di sini. Aku pernah mendengar tentang Lovelace. Dia dinilai
sebagai penyihir hebat dan master pemberi tugas yang sulit. Aku beruntung
karena tak pernah dipanggil untuk melayaninya, aku juga tak ingin bermusuhan
dengannya atau para abdinya.

Tapi aku harus mematuhi anak itu.

Burung hitam yang kuyup itu mengudara dari dahan dan melayang
menyeberangi jalan, dengan lincah menghindari pancaran sinar lampu jalan
terdekat. Burung tersebut mendarat di rumput rimbun di sudut tembok. Empat
kantong sampah hitam diletakkan di sana untuk diambil esok pagi. Si burung
hitam melompat-lompat ke balik kantong-kantong itu. Seekor kucing yang telah
mengawasi burung itu2 dari kejauhan menunggu beberapa saat hingga burung
tersebut muncul kembali, kehilangan kesabaran, dan berlari mengejar. Di balik
kantong-kantong itu si kucing tak menemukan si burung, baik hitam maupun
warna lain. Tak ada apa-apa di sana selain tikus tanah yang baru saja menjelma.

2 Dalam dua plane. Kucing memiliki kemampuan itu.


19
3

Aku benci rasa lumpur. Lumpur tak pantas bagi makhluk udara dan api. Beban
tanah yang menyesakkan mengimpitku dengan kuat setiap kali aku
menyentuhnya. Itulah sebabnya aku begitu pemilih mengenai penjelmaanku.
Burung, bagus.

Serangga, bagus. Kelelawar, oke. Semua yang berlari dengan kecepatan tinggi
juga boleh. Penghuni pepohonan lebih bagus lagi. Makhluk bawah tanah, tidak
bagus. Tikus tanah, buruk.

Tapi tak ada gunanya rewel jika kau harus melewati perisai proteksi. Aku benar
saat menebak perisai itu tak’ mencakup bawah tanah. Si tikus tanah menggali
liang dalam-dalam, jauh ke dalam, ke bawah pondasi tembok. Tak ada alarm
sihir yang menyala, walaupun kepalaku terantuk kerikil lima kali.1 Aku
menggali ke arah atas lagi, menggapai permukaan setelah dua puluh menit
mengendus, menggaruk, dan menghadapkan hidungku yang seperti manik ke
arah cacing-cacing gemuk.

Aku menemukan cacing di setiap dua kerukan.

1 Lima kerikil yang berbeda. Bukan kerikil yang sama lima kali. Hanya ingin
memperjelas masalah ini. Karena terkadang kalian umat manusia begitu bebal.
20
Si tikus tanah menjulurkan kepala dengan hatihati, keluar dari gundukan tanah
kecil yang didorongnya ke permukaan pekarangan Simon Lovelace yang amat
rapi. Tikus itu memandang sekeliling, memeriksa keadaan. Lampu menyala di
dalam rumah, di lantai dasar. Tirainya tertutup. Lantai-lantai atas, dalam jarak
pandang si tikus tanah, semua gelap. Rentangan biru tembus pandang sistem
keamanan sihir melengkung di atas. Satu sentry kuning melintas dengan konyol
tiga meter di atas semak-semak. Yang dua lagi mungkin berada di belakang
rumah.

Aku mencoba lagi melihat plane ketujuh. Masih tidak ada apa-apa, namun masih
terasa adanya bahaya yang tak menyenangkan itu. Oh, well.

Si tikus tanah kembali masuk ke liang dan menggali di bawah akar-akar rumput
menuju rumah. la muncul di petak bunga persis di bawah jendela terdekat. la
berpikir keras. Tak ada gunanya mempertahankan penyamaran ini, meski ia
tergoda menyusup melalui gudang bawah tanah. Ia harus mencari metode yang
berbeda.

Telinga si tikus tanah yang berbulu menangkap suara gelak tawa dan gelas-gelas
beradu. Suara itu begitu nyaring terdengar, bergema dari jarak yang dekat.
Ventilasi udara, retak dimakan usia, terpasang di dinding tak lebih dari setengah
meter jauhnya.

Ventilasi itu bisa jadi jalan masuk.

Dengan perasaan lega, aku menjelma menjadi lalat.


21
4

Dari balik perlindungan ventilasi udara, aku mengintip dengan mata multifasetku
ke dalam ruang duduk yang ditata dengan selera agak tradisional. Karper tebal
yang terhampar di lantai, kertas pelapis dinding bergaris-garis yang jelek, benda
kristal mengerikan yang berpura-pura menjadi kandelir, dua lukisan minyak
yang gelap termakan usia, sofa dan dua kursi malas (juga bergaris-garis), meja
kopi rendah yang memuat baki perak, lalu, di atas baki itu, sebotol anggur merah
dan tak ada gelas. Gelas-gelas itu berada di tangan dua manusia.

Salah satunya wanita. la tampak masih muda (untuk manusia, yang artinya amat
sangat muda) dan mungkin cukup cantik meski agak berisi. Mata besar, rambut
gelap, model bob.

Aku langsung menghafal wajahnya. Aku akan muncul dengan wujud wanita itu
besok ketika kembali mengunjungi si bocah.

Tapi telanjang. Mari kita lihat bagaimana respons wataknya yang sekeras baja
tapi masih begitu hijau itu!1

1 Bagi yang penasaran, aku tak memiliki kesulitan menjelma jadi wanita.
Ataupun 22

Tapi saat ini aku lebih tertarik memerhatikan si pria yang membuat wanita itu
tersenyum dan mengangguk-angguk. Pria itu jangkung, kurus, tampan, sedikit
berkesan kutu buku, dengan rambut yang licin disisir ke belakang dan dilumuri
minyak rambut berbau tajam. la mengenakan kacamata bundar kecil dan
memiliki bibir lebar dengan gigi-gigi rapi. Rahangnya kuat. Sesuatu
memberitahuku inilah si penyihir, Simon Lovelace.

Apakah karena aura kekuatan dan wibawanya yang tak dapat dijelaskan? Atau
apakah karena gerak tubuhnya yang mengisyaratkan penguasaan penuh atas
seluruh ruangan? Atau karena imp?setan peliharaan?kecil yang melayang-layang
di atas bahunya (pada plane kedua), dengan waspada memerhatikan keadaan
sekeliling, mengawasi bahaya yang mungkin mengintai?
Aku menggosok-gosokkan kedua kaki depanku dengan kesal.

Aku harus berhati-hati sekali. Imp itu membuat segalanya menjadi lebih rumit.2

Sayang sekali aku bukan labalaba. Labalaba dapat duduk diam berjam-jam tanpa
masalah. Lalat jauh lebih tak bisa diam. Tapi jika aku berubah di sini, abdi si
penyihir pasti akan merasakannya. Aku harus memaksa tubuh engganku
bergerak, dan mengabaikan rasa sakit yang mulai mendera lagi, kali ini di dalam
lapisan kulit luarku yang keras.

Si penyihir berbicara. Dia nyaris tak melakukan apa-apa selain itu. Si wanita
memandangnya dengan mata bak anjing pria. Dalam beberapa hal kurasa
menjelma menjadi wanita sedikit lebih sulit, tapi aku takkan menjelaskannya
sekarang. Wanita, pria, tikus tanah, belatung?jika sudah terbentuk, mereka
semua sama, kecuali sedikit variasi dalam kemampuan kognitif.

2. Jangan salah. Aku tidak takut pada imp itu. Aku dapat meremukkannya tanpa
berpikir dua kali. Tapi dia ada di sana karena dua alasan: loyalitas penuhnya
kepada sang master dan matanya yang tangkas. Dia takkan tertipu
penyamaranku scbagai lalat meski hanya sedetik pun.
23
spaniel lebar dan konyol, penuh kekaguman sehingga aku tergoda untuk
menggigitnya.

“…Akan menjadi acara yang paling menyenangkan, Amanda. Kau akan menjadi
pusat perhatian masyarakat London!

Apakah kau tahu Perdana Menteri sendiri berharap bisa melihat tanah milikmu?
Ya, aku mendengarnya dari sumber tepercaya. Musuh-musuhku mendesaknya
selama bermingguminggu dengan tuduhan-tuduhan keji, tapi dia tetap
berkomitmen menyelenggarakan konvensi itu di Hall. Jadi kaulihat, sayangku,
aku masih dapat memengaruhinya saat diperlukan.

Kuncinya adalah tahu cara menanganinya, bagaimana mempermainkan


kesombongannya… Jangan bilang siapasiapa, tapi sebetulnya dia agak lemah.
Spesialisasinya adalah Charm, dan bahkan sekarang, dia sudah jarang
mempergunakannya. Untuk apa? Dia memiliki pria-pria bersetelan untuk
melakukannya….”

Si penyihir mengoceh seperti ini selama beberapa menit, menyebutkan nama-


nama orang penting dengan energi yang tak ada habisnya. Si wanita meminum
anggurnya, mengangguk, terkesiap, dan berseru terkejut di saat-saat yang tepat,
kian lama kian merapat pada pria itu di sofa. Aku nyaris mendengkur karena
bosan.3

Tibatiba si imp menjadi waspada. Kepalanya berputar 180

derajat dan dia menatap pintu di sisi lain ruangan. Makhluk itu menarik telinga si
penyihir perlahan untuk memberi peringatan.

Beberapa detik kemudian, pintu terbuka dan pelayan 3 Kalau yang


mendengarkan percakapan ini manusia, dia mungkin akan ternganga terkejut.
Kisah korupsi dalam Pemerintahan Inggris yang diutarakan si penyihir sangat
mendetail. Tapi aku tidak terkesan. Berhubung pernah melihat banyak
kebudayaan yang jauh lebih hebat runtuh dan menjadi debu, aku tak tertarik
dengan masalah ini. Aku menghabiskan waktu dengan sia-sia untuk berusaha
memperkirakan kekuatan supernatural mana yang kira-kira terikat untuk
melayani Simon Lovelace. Tak ada salahnya mempersiapkan diri.
24
pria berjaket hitam dengan kepala botak masuk dengan sikap hormat.

“Maaf, Sir, tapi mobil Anda telah siap.”

“Terima kasih, Carter. Kami takkan lama.”

Pelayan itu keluar. Si penyihir meletakkan kembali gelas anggurnya (yang masih
penuh) ke meja kopi dan meraih tangan si wanita. Dia mengecup tangan itu
dengan sopan santun pria terhormat. Di balik punggungnya si imp menunjukkan
raut wajah muak.

“Amat menyakitkan bagiku karena kau harus pergi, Amanda, tapi tugas
memanggil. Aku takkan berada di rumah malam ini.

Bolehkah aku menghubungimu lagi? Kita ke teater, besok malam, mungkin?”

“Akan sangat menyenangkan, Simon.”

“Kalau begitu sudah diputuskan. Kawan baikku Makepeace sedang


mempertunjukkan drama baru. Aku akan mendapatkan tiketnya segera.
Sekarang, Carter akan mengantarmu pulang.”

Pria, wanita, dan imp keluar, membiarkan pintu terbuka lebar.

Mengikuti mereka, seekor lalat yang waspada perlahan keluar dari tempat
persembunyian dan melayang tanpa suara melintasi ruangan ke tempat strategis
yang dapat memperlihatkan pemandangan ke seluruh ruang selasar depan.
Selama beberapa menit terdapat aktivitas, mantel-mantel diserahkan, perintah
diberikan, pintu-pintu dibanting tertutup. Lalu si penyihir meninggalkan
kediamannya.

Aku terbang ke selasar. Ruangan itu besar dan dingin, lantainya dilapisi tegel
hitam-putih. Tanaman pakis hijau terang tumbuh di pot-pot keramik raksasa.
Aku terbang mengelilingi lampu kristal, mendengarkan. Suasana amat hening.
Satusatunya suara yang terdengar bersumber dari dapur di kejauhan, dan suara
itu cukup wajar?hanya bunyi benturan panci dan piring lalu beberapa suara
sendawa keras, mungkin berasal dari si juru masak.
25
Aku berdebat dengan diriku sendiri apakah akan mengirimkan sinyal sihirku
dengan hatihati untuk menemukan artefakartefak milik si penyihir, tapi
memutuskan itu terlalu berisiko.

Makhluk-makhluk sentry di luar mungkin akan menangkap sinyalnya, itu satu


hal, bahkan kalaupun tidak ada penjagaan lain. Aku, si lalat, harus berburu
sendiri.

Semua plane aman. Aku terbang melintasi selasar, lalu?

mengikuti insting?menyusuri tangga ke atas.

Di landasan tangga, koridor yang dilapisi karpet tebal membentang ke dua arah,
setiap dinding digantungi lukisanlukisan minyak. Aku segera tertarik dengan
lorong yang mengarah ke kanan, karena di tengahnya ada mata-mata. Bagi mata
manusia, itu alarm kebakaran, tapi pada plane yang lain bentuk aslinya
terungkap: katak bermata menonjol tak menyenangkan yang duduk jungkir balik
di langit-langit. Setiap sekian menit sekali, katak itu melompat di tempatnya,
berputar sedikit. Jika si penyihir kembali, makhluk itu akan membeberkan segala
hal yang telah terjadi.

Aku mengirimkan sihir ringan ke arah katak itu. Asap tebal yang berminyak
muncul dari langit-langit dan mengelilingi si mata-mata, menghalangi
pandangannya. Ketika dia melompat dan mendengkung kebingungan, aku
terbang dengan kecepatan tinggi melewatinya melintasi lorong menuju pintu di
ujung.

Selain terpisah dari pintu-pintu lain di koridor itu, yang satu ini tak memiliki
lubang kunci; di balik cat putih, kayunya diperkuat dengan lempengan besi. Dua
alasan bagus untuk mencoba pintu ini terlebih dahulu.

Ada celah sempit di bawah pintu itu. Celahnya terlalu sempit untuk dimasuki
serangga, tapi aku toh sudah gatal ingin berubah wujud. Si lalat menjelma
menjadi asap, yang lolos tanpa terlihat melalui celah di bawah pintu persis
sebelum asap yang meliputi si katak menipis dan menghilang.
Di dalam ruangan aku menjadi anak kecil.
26
Kalau tahu siapa nama murid penyihir itu, aku akan membalas dendam dengan
mengambil wujudnya, hanya untuk memberi Simon Lovelace petunjuk saat dia
menyelidiki pencurian ini. Tapi tanpa nama, aku tak dapat menguasainya.

Maka aku menjelma menjadi bocah lelaki yang pernah kukenal dulu, seseorang
yang dulu pernah kusayangi. Abunya telah lama mengalir bersama sungai Nil,
maka kejahatanku tak akan menyakitinya, lagi pula mengingatnya seperti ini
membuatku senang. Kulitnya cokelat, matanya bersinar, tubuhnya mengenakan
jubah putih. Anak lelaki itu melihat sekeliling dengan gerakan yang biasa
dilakukannya dulu, kepalanya sedikit ditelengkan ke samping.

Ruangan itu tak berjendela. Ada beberapa lemari yang menempel ke dinding,
dipenuhi perlengkapan sihir. Kebanyakan barangbarang itu tak berguna, hanya
cocok untuk aksi panggung,4 tapi ada beberapa barang yang menarik di sana.

Ada terompet pemanggil yang aku tahu asli, karena melihatnya saja membuatku
mual. Hanya dengan satu tiupan, segala yang berada dalam kekuasaan sang
penyihir akan datang bersimpuh di kakinya memohon ampun dan mendesak
diberi tugas. Itu instrumen yang jahat serta amat tua dan aku tak mau dekat-
dekat. Di kabinet lain ada mata yang terbuat dari 4 Oh, semua itu memang cukup
mengesankan bila kau bukan penyihir. Coba kulihat, ada bola kristal, cermin
pengintai, tengkorak dari makam-makam, persendian orang-orang suci, tongkat-
tongkat perantara sihir yang dirampas dari para shaman di Siberia, botol-botol
berisi darah yang asalnya diragukan, topeng dukun, buaya yang diawetkan,
koleksi tongkat sihir, satu rak jubah untuk segala jenis upacara, dan banyak
sekali buku tebal tentang sihir yang tampaknya dilapisi kulit manusia sejak
permulaan zaman, tapi kemungkinan telah diproduksi masal minggu lalu oleh
pabrik di Catford. Para penyihir menyukai semua ini; mereka menyukai segala
misteri simsalabim yang meliputi benda-benda itu (dan setengah
memercayainya, beberapa dari mereka) dan mereka tergila-gila akan efek yang
ditimbulkan benda-benda tersebut kepada orang-orang yang bukan penyihir. Di
balik semua alasan itu, benda-benda omong kosong ini mengalihkan perhatian
orang pada sumber kekuatan mereka yang sebenarnya: kami.
27
tanah liat. Aku pernah melihat yang seperti itu, di kepala golem?boneka tanah
liat yang bisa dihidupkan dengan sihir.

Aku ingin tahu apakah si bodoh itu mengetahui potensi benda tersebut.
Kemungkinan besar tidak?dia bisa saja mendapatkannya untuk koleksi benda
antiknya setelah perjalanan pesiar ke Eropa Tengah. Pariwisata penyihir… yang
benar saja.5 Well, kalau mujur, benda itu akan membunuhnya suatu hari nanti.

Dan di sanalah tersimpan Amulet Samarkand. Benda itu berada di dalam


kotaknya sendirian, terlindungi pelapis kaca dan reputasinya sendiri. Aku
melangkah mendekat, menyisir ketujuh plane, mencari adanya bahaya dan
mendapati?well, tak ada yang sangat jelas sih, tapi di plane ketujuh aku samar
merasa ada yang bergerak. Bukan di sini, tapi dekat. Sebaiknya aku cepat-cepat.

Amulet itu kecil, warnanya pudar, dan terbuat dari emas tempaan. Amulet itu
tergantung di rantai emas pendek. Di tengah-tengahnya terdapat batu giok
berbentuk oval. Emasnya dicetak dengan motif timbul yang menggambarkan
kuda-kuda berlari. Kuda adalah harta yang berharga bagi orang-orang Asia
Tengah pembuat amulet itu tiga ribu tahun lalu. Mereka kemudian menguburnya
di dalam makam salah seorang putri raja mereka. Seorang arkeolog dari Rusia
menemukannya pada tahun 1950-an, dan tak lama setelah itu amulet tersebut
dicuri para penyihir yang menyadari nilainya. Bagaimana amulet itu berada di
tangan Simon Lovelace?siapa persisnya yang ia bunuh atau tipu untuk
mendapatkannya?aku tak tahu.

5 Mereka semua menyukainya?bergerombol naik kereta (atau, karena


kebanyakan dari mereka memiliki banyak uang, menyewa pesawat jet) untuk
pergi tur ke kota-kota sihir kuno. Semua mendesah dan berseru kegirangan
melihat situs-situs terkenal?kuil-kuil, tempat kelahiran penyihir-penyihir
terkenal, tempat mereka menemui ajal dengan mengerikan. Dan mereka semua
siap menyambar potonganpotongan patung atau merampok pasar gelap, berharap
mendapatkan barangbarang sihir yang oke dengan harga miring. Bukan masalah
vandalisme terhadap warisan budaya yang membuatku keberatan. Hanya saja
semua itu begitu vulgar.
28
Aku menelengkan kepala lagi, mendengarkan. Hcning di dalam rumah.

Aku mengangkat tangan ke arah kabinet, tersenyum pada pantulan bayanganku


saat dia mengepalkan tangan.

Lalu aku menurunkan tangan dan menggerakkannya menembus kaca.

Denyutan energi sihir bergetar pada ketujuh plane. Aku menyambar amulet itu
dan menggantungkannya di leherku. Aku berbalik dengan cepat. Ruangan masih
seperti sebelumnya, tapi aku dapat merasakan sesuatu di plane ketujuh, bergerak
cepat dan menghampiriku.

Sudah bukan waktunya mengendap-endap lagi.

Ketika berlari menuju pintu, aku menyadari dari ujung mataku ada portal yang
tibatiba terbuka di udara kosong. Di dalam portal itu terdapat kegelapan hitam
yang segera tertutup begitu sesuatu melangkah keluar.

Aku menyerang pintu dengan kepalan tangan anak lelakiku yang kecil. Pintu itu
remuk terbuka seperti kartu remi yang terlipat. Aku berlari melewatinya tanpa
berhenti.

Di koridor, si katak menoleh ke arahku dan membuka mulut.

Gumpalan lendir hijau keluar, yang seketika meluncur cepat ke arahku,


membidik kepalaku. Aku menunduk dan lendir itu muncrat mengenai dinding di
belakangku, menghancurkan lukisan dan segalanya sampai ke batu bata di
baliknya.

Aku melontarkan petir Kompresi ke arah si katak. Bersama suara koakan penuh
penderitaan, dia meletus menjadi gumpalan kental sebesar kelereng dan terjatuh
ke lantai. Aku tak mengurangi kecepatan. Ketika berlari menyusuri koridor, aku
membuat Perisai pelindung di sekeliling wujud fisikku kalaukalau ada peluru
susulan.

Ternyata ini langkah bijaksana karena detik berikutnya Detonasi menghantam


lantai persis di belakangku. Ledakannya begitu hebat sehingga membuatku
terlontar kepala terlebih da-29

hulu ke sudut koridor dan nyaris menembus dinding. Api hijau menjilat-jilat di
sekelilingku, meninggalkan bekas pada dekorasi koridor seperti jari-jari tangan
raksasa.

Aku berjuang bangkit di antara reruntuhan bata yang pecah dan menoleh ke
belakang.

Berdiri di depan pintu yang rusak di ujung koridor, tampak sesuatu yang
berwujud pria yang bertubuh amat tinggi, berkulit merah terang, dan berkepala
serigala.

“Bartimaeus!”

Detonasi melesat lagi melalui koridor. Aku berjungkir balik di bawahnya,


mengincar tangga, dan ketika ledakan hijau itu menghancurkan sudut dinding,
aku berguling-guling menuruni tangga, menerobos pegangan tangga, dan
meluncur sejauh dua meter ke bawah, menuju lantai hitam-putih, membuat
tegelnya retak lumayan parah.

Aku berdiri dan melihat ke arah pintu depan. Melalui kaca buram di sebelah
pintu, aku dapat melihat sosok kuning besar salah satu sentry di luar. Makhluk
itu diam menunggu, tak menyadari dia dapat terlihat dari dalam. Aku
memutuskan mencari jalan keluar yang lain. Maka terbuktilah bahwa otak yang
lebih cerdas akan selalu menang melawan otot, kapan saja!

Omong-omong, aku harus segera kabur. Suarasuara dari atas menandakan


adanya pengejaran.

Aku berlari melintasi beberapa ruangan?perpustakaan, ruang makan?setiap kali


berusaha kabur lewat jendela dan setiap kali mengurungkan niat ketika salah
satu atau lebih dari makhluk-makhluk kuning itu tampak melayang di luar
jendela.

Kebodohan mereka yang membiarkan diri mereka dapat dilihat hanya dapat
diimbangi kesigapanku mengelak dari senjata sihir macam apa pun yang mereka
bawa.
Di belakangku, namaku diteriakkan dengan suara penuh kemurkaan. Dengan
rasa frustrasi yang meningkat, aku mem-30

buka pintu berikutnya dan mendapati diriku berada di dapur.

Tak ada lagi pintu yang menuju ke dalam, tapi ada satu yang membuka ke
ruangan yang tampaknya rumah kaca yang menempel di sisi rumah utama,
dipenuhi tumbuhan obat dan pepohonan. Setelah itu terbentang pekarangan?juga
ketiga prajurit penjaga itu, yang datang meluncur mengitari rumah dengan
kecepatan menakjubkan kaki-kaki mereka yang berputar.

Untuk mencuri waktu, aku memasang Perisai pada pintu di belakangku. Lalu
aku memutar tubuh dan menatap si juru masak.

Dia duduk bersandar di kursinya dengan kaki di atas meja, pria itu gemuk
dengan raut periang dan wajah merah serta pisau daging besar di tangannya. Dia
tampak tekun sekali memotong kuku-kukunya dengan pisau itu, menjentikkan
setiap potongan kuku dengan ahli ke udara, yang kemudian mendarat di perapian
di sebelahnya. Sambil melakukan itu, dia menatapku tak berkedip dengan kedua
matanya yang kecil dan gelap.

Aku resah. Tampaknya dia tidak kebingungan melihat bocah Mesir berlari
masuk ke dapurnya. Aku memeriksa pria itu pada plane-plane berbeda. Satu
sampai enam dia tetap tampak sama, juru masak gemuk dalam balutan celemek
putih. Tapi pada plane ketujuh…

Oh-oh.

“Bartimaeus.”

“Faquarl.”

“Apa kabar?”

“Lumayan.”

“Lama tidak bertemu.”

“Ya. Kurasa.”
“Sayang sekali ya?”

“Ya. Well… aku di sini sekarang.”

“Kau di sini sekarang, memang.”

Nurul Huda Kariem MR. 31 nurulkariem@yahoo.com Sementara percakapan


menyenangkan ini berlangsung, suarasuara Detonasi bertubi-tubi datang dari
balik pintu. Perisaiku tetap utuh, untungnya. Aku tersenyum sesopan yang
kubisa.

“Tampaknya Jabor masih tetap bersemangat seperti biasa.”

“Ya, dia masih sama. Hanya saja kupikir dia agak sedikit lapar, Bartimaeus. Itu
satusatunya perubahan yang kulihat dalam dirinya. Dia tampaknya tak pernah
merasa puas, bahkan setelah diberi makan. Dan itu amat jarang dilakukan
akhirakhir ini, seperti yang dapat kaubayangkan.”

“‘Perlakukan dengan kejam, bikin mereka jadi tajam’, itu kata-kata mutiara
mastermu, bukan? Tetap saja, dia pasti cukup berkuasa sehingga dapat
memeliharamu dan Jabor sebagai budaknya.”

Si juru masak menyunggingkan senyum tipis dan dengan jentikan pisaunya dia
membuat sepotong kuku melayang berputarputar ke langit-langit. Potongan kuku
itu menancap pada plester pelapis langit-langit dan tetap bercokol di sana.

“Nah, nah, Bertimaeus, kita tak menggunakan kata B itu dalam perbincangan
beradab, bukan? Jabor dan aku hanya menunggu waktu.”

“Tentu saja.”

“Omong-omong tentang perbedaan kekuasaan, aku menyadari kau menghindar


untuk berhadapan denganku pada plane ketujuh. Ini sepertinya kurang sopan.
Mungkinkah kau tidak nyaman dengan wujud asliku?”

“Mual, Faquarl, bukan tak nyaman.”6

“Well, sungguh menyenangkan. Omong-omong, aku mengagumi pilihan


wujudmu, Bartimaeus. Pantas sekali. Tapi kulihat kau agak terbebani dengan
sebuah amulet. Mungkin kau mau berbaik hati melepaskannya dan
meletakkannya di meja. Lalu 6 Tampangku juga tidak keren, tapi Faquarl
memiliki terlalu banyak tentakel, aku tak tahan
32
jika kau bersedia menyebutkan nama penyihir yang mempekerjakanmu, aku
mungkin akan mempertimbangkan mengakhiri pertemuan ini tanpa kejadian
fatal.”

“Kau baik sekali, tapi kau tahu aku tak dapat melakukan itu.”7

Si juru masak menghunjam meja dengan ujung pisau dagingnya.

“Aku akan berterus terang. Kau bisa dan akan melakukannya.

Tidak ada masalah pribadi, tentu; suatu hari mungkin kita akan bekerja sama
lagi. Tapi sekarang aku pun terikat, sama seperti dirimu. Aku juga memiliki
tugas untuk kuselesaikan.

Maka kita tiba, seperti biasa, pada pertanyaan mengenai kekuatan. Koreksi jika
aku keliru, tapi aku melihat kau tak memiliki rasa percaya diri seperti biasanya
hari ini?jika memilikinya, kau tentu telah kabur melalui pintu depan, menumpas
para triloid itu saat kau melintas, alih-alih membiarkan mereka menggiringmu
mengelilingi rumah ke arahku.”

“Aku hanya mengikuti langkah kakiku.”

“Mmm. Mungkin sebaiknya kau berhenti berusaha minggir ke arah jendela,


Bartimaeus. Usahamu yang menyedihkan itu bahkan akan tampak jelas dengan
mata8, lagi pula, para triloid itu menunggumu di sana. Serahkan amulet itu,
kalau tidak kau akan mendapati Perisai pelindungmu yang bobrok itu tak akan
berguna sama sekali.”

Dia berdiri dan mengulurkan tangan. Jeda beberapa saat. Di belakang Perisaiku,
Detonasi-Detonasi Jabor yang sabar (meski tak imajinatif) masih terdengar.
Pintunya sendiri telah lama menjadi abu. Di pekarangan, ketiga penjaga
melayang-layang, 7 Tidak seluruhnya betul. Aku bisa saja menyerahkan amulet
itu dan gagal dalam tugas. Tapi kemudian, meski aku dapat kabur dari Faquarl,
aku masih harus kembali dengan tangan kosong kepada anak lelaki berwajah
pucat itu. Kegagalanku akan membuatku tunduk padanya, melipatgandakan
kekuasaannya, dan entah bagaimana aku tahu ini bukan ide yang bagus.
8 Aduh.
33
mata mereka tertuju padaku. Aku melihat ke sekeliling ruangan mencari
inspirasi.

“Amuletnya, Bartimaeus.”

Aku mengangkat lengan, dan dengan desahan berat yang agak dramatis,
mengambil amulet itu. Lalu aku melompat ke kiri. Pada detik yang sama aku
melepaskan Perisai di pintu.

Faquarl mendecak kesal dan mulai menggerakkan tangan.

Ketika melakukan itu, dia terhantam telak ledakan Detonasi dahsyat yang datang
dari celah terbuka tempat Perisaiku tadinya berada. Detonasi itu melontarkannya
ke belakang ke dalam perapian, batu-batu bata runtuh menimpanya.

Aku melesat ke arah rumah kaca persis ketika Jabor masuk melalui celah terbuka
ke dalam dapur. Saat Faquarl bangkit dari reruntuhan, aku melintasi pekarangan.
Ketiga penjaga itu mengepungku, mata mereka terbuka lebar dan kaki-kaki
mereka berputar. Cakar-cakar mirip sabit muncul dari ujung gumpalan kaki
mereka. Aku merapalkan mantra Iluminasi yang paling terang. Seluruh
pekarangan terang benderang bagaikan dibanjiri sinar matahari yang meledak.
Mata para penjaga itu terbutakan; mereka mencicit kesakitan. Aku melompati
mereka dan berlari melintasi pekarangan, menghindari peluru-peluru sihir yang
berdesingan dari arah rumah, membakar pepohonan.

Di ujung pekarangan, di antara tumpukan kompos dan mesin pemotong rumput,


aku melompati tembok. Aku menerobos jaring sihir yang berkisi-kisi,
meninggalkan lubang berbentuk tubuh anak lelaki. Seketika lonceng alarm mulai
bergaung di seluruh halaman.

Aku menjejakkan kaki di trotoar, amulet itu terayun-ayun dan membentur


dadaku. Dari balik tembok aku mendengar derap langkah kaki. Waktunya
berubah wujud.

Burung rajawali Peregrine adalah binatang tercepat dalam sejarah. Burung itu
dapat mencapai kecepatan dua ratus kilo-34
meter per jam bila terbang menukik. Jarang yang dapat mencapai kecepatan ini
secara horisontal di atas atap-atap rumah di London Utara. Beberapa mungkin
ragu apakah ini dapat dilakukan, apalagi sambil membawa amulet berat yang
tergantung di leher. Apa pun yang pernah dikatakan orang, saat Faquarl dan
Jabor menapakkan kaki di jalan belakang Hampstead, sambil membuat rintangan
tak kasatmata yang segera diterobos mobil van yang melaju kencang, aku sudah
tak tampak di manamana.

Aku telah pergi jauh.


35
Lebih penting dari segalanya,” kata masternya, “ada satu fakta yang harus kita
tanamkan ke dalam batok kepalamu yang menyedihkan itu sehingga kau takkan
melupakannya di hari mendatang. Dapatkah kautebak fakta apa itu?”

“Tidak, Sir,” kata si anak lelaki.

“Tidak?” Alisnya yang seperti sikat terangkat mengejek. Terpana, si anak lelaki
memerhatikan alis-alis itu menghilang di balik rambut putih yang berumbai-
rumbai. Di sana, nyaris secara malu-malu, kedua alis itu bersembunyi beberapa
saat, sebelum akhirnya tibatiba turun dengan tajam mengerikan.

“Tidak. Kalau begitu…” Si penyihir mencondongkan tubuh dari kursinya. “Aku


akan memberitahumu.”

Dengan gerakan lambat yang disengaja, penyihir itu menyatukan jemarinya


sehingga ujung-ujungnya membentuk kubah melengkung, yang ditudingkannya
kepada si anak lelaki.

“Ingat ini” katanya dengan suara lirih. “Demon adalah makhluk yang amat jahat.
Mereka akan melukaimu jika mampu.

Kau mengerti ini?”


36
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.

MR. Collection’s

Si anak lelaki masih memerhatikan alis-alis itu. la tak dapat mengalihkan


perhatian. Sekarang mereka berkerut ke bawah dengan seram, dua mata panah
tajam yang menyatu. Mereka bergerak dengan tangkas?ke atas, ke bawah,
miring, menyudut, terkadang bersamasama, terkadang hanya salah satu. Karena
bergerak seolah memiliki kehidupan sendiri, alis-alis itu menimbulkan rasa
tertarik yang aneh pada diri si anak lelaki.

Lagi pula, rasanya jauh lebih baik memerhatikan alis-alis itu daripada bertemu
pandang dengan mata masternya.

Si penyihir terbatuk memberi peringatan. “Kau mengerti?”

“Oh?ya, Sir.”

“Well, nah, kau bilang mengerti, dan aku yakin kau memang bersungguh-
sungguh?tapi…” Sebelah alis terangkat tinggi-tinggi dengan menakjubkan.
“Tapi aku belum yakin betul kau memang benar-benar dan sungguh-sungguh
mengerti.”

“Oh, ya, Sir; ya, saya mengerti. Demon adalah makhluk jahat juga keji dan akan
melukaimu jika kaubiarkan, Sir.” Si anak lelaki bergerak-gerak gelisah di
bantalan yang didudukinya.

Dia amat bersemangat ingin membuktikan telah mendengarkan dengan tekun. Di


luar, sinar matahari musim panas membakar rerumputan dan trotoar yang panas;
van penjual es krim melintas dengan riang di bawah jendela lima menit lalu.

Tapi hanya seberkas cahaya siang menyilaukan yang dapat menyinari tepi tirai
merah yang berat di dalam ruangan si penyihir; udara di dalam ruangan pengap
dan menyesakkan. Anak lelaki itu berharap pelajaran akan segera berakhir, agar
ia dapat diperbolehkan pergi.
“Saya telah mendengarkan dengan saksama, Sir,” katanya.

Masternya mengangguk. “Apakah kau pernah melihat demon?” dia bertanya.

“Belum, Sir. Maksud saya, hanya dalam buku.”

“Berdiri.”
37
Anak lelaki itu berdiri dengan cepat, sebelah kakinya nyaris tergelincir dari
bantalan. la menunggu dengan canggung, kedua lengan di samping tubuh. Sang
master menunjuk pintu di belakangnya dengan sambil lalu. “Kau tahu ada apa di
balik itu?”

“Ruang kerja Anda, Sir.”

“Bagus. Pergilah menuruni tangga dan masuk ke sana. Di ujung ruangan ada
meja kerjaku. Di meja ada kotak. Di dalam kotak itu ada sepasang kacamata.
Pakai kacamata itu dan kembali ke sini. Mengerti?”

“Ya, Sir.”

“Baiklah. Pergilah.”

Di bawah tatapan awas masternya, si anak lelaki menghampiri pintu yang terbuat
dari kayu berwarna gelap tanpa dicat, pada permukaannya tampak banyak alur
dan sulur. Dia harus berusaha keras ketika memutar kenop kuningannya, tapi
rasa dingin kenop itu menyenangkan. Pintu membuka tanpa suara di engsel-
engselnya yang diminyaki, si anak lelaki melewatinya dan mendapati dirinya
berdiri di ujung teratas tangga yang dilapisi karpet. Dinding-dindingnya dilapisi
kertas berbungabunga dengan elegan. Jendela kecil yang terdapat di pertengahan
tangga memasukkan seberkas cahaya matahari yang bersahabat.

Anak lelaki itu menuruni tangga dengan hatihati, satu demi satu. Keheningan
dan cahaya matahari membuatnya tenang dan menguapkan sebagian rasa
takutnya. Karena belum pernah masuk ke bagian rumah ini, dia tak tahu apa-apa
kecuali dongeng anakanak yang dapat memenuhi khayalannya tentang apa saja
yang menunggu di dalam ruang kerja sang master.

Bayangan mengerikan tentang buaya-buaya yang diawetkan dan bola-bola mata


di dalam botol meruak ke dalam pikirannya. Dengan marah dia membuang
pikiran itu jauhjauh.

Dia takkan merasa takut.


38
Di kaki tangga ada pintu lagi, mirip dengan yang pertama, tapi lebih kecil dan
bagian tengahnya dihiasi gambar bintang berujung lima yang dicat merah. Anak
lelaki itu memutar kenop pintu dan mendorong: pintu itu membuka dengan
enggan, tersendat karpet tebal. Ketika celah yang terbuka cukup lebar, anak
lelaki tersebut masuk ke ruang kerja.

Tanpa sadar dia menahan napas ketika masuk; sekarang dia mengembuskan
napas kembali, nyaris dengan rasa kecewa.

Pemandangan di sana sungguh biasa. Ruangan panjang dengan buku-buku


berjejer di sisi-sisinya. Di ujung ruangan ada meja kerja besar dari kayu dengan
bangku empuk berlapis kulit di belakangnya. Beberapa pena ada di meja,
bersama beberapa carik kertas, komputer tua, kotak metal kecil. Jendela di
seberang ruangan menampakkan pemandangan pohon horse chestnut yang
rimbun dengan daundaun musim panas. Cahaya dalam ruangan bersemu
kehijauan indah.

Anak lelaki itu melangkah mendekati meja.

Setengah jalan, dia berhenti dan menoleh ke belakang.

Tak ada apa-apa. Namun begitu dia merasa ada yang aneh… Entah kenapa pintu
yang terbuka sedikit, yang dilaluinya hanya beberapa saat lalu, sekarang
memberikan sensasi tidak nyaman. Dia jadi menyesal karena tidak terpikir untuk
menutupnya.

Dia menggeleng. Tidak perlu. Dia akan melaluinya lagi dalam beberapa detik.

Empat langkah tergesa-gesa membawanya ke sisi meja. Dia menoleh lagi. Dia
mendengar suara…

Ruangan itu kosong. Anak lelaki itu mendengarkan dengan kesungguhan kelinci
di semak-semak. Tidak, tak ada suara yang terdengar selain suara lalu lintas
samar-samar di kejauhan.

Dengan mata terbuka lebar, napas berat, anak lelaki itu mengalihkan perhatian
ke meja kerja. Kotak metal itu memantulkan sinar matahari. Dia meraihnya
melintasi permukaan 39

kulit meja kerja. Ini sebetulnya tak perlu?dia bisa saja mengitari meja ke sisi
seberangnya dan mengambil kotak tersebut dengan mudah?tapi sepertinya dia
ingin menghemat waktu, menyambar barang itu, dan keluar. Dia
mencondongkan tubuh di atas meja dan merentangkan tangan, tapi dengan keras
kepala kotak itu tetap berada di luar jangkauan. Anak itu mendorong tubuhnya
ke depan, mengayunkan jari-jarinya dengan membabi buta. Jemarinya tak dapat
mencapai kotak, tapi lengannya yang menebas-nebas membuat wadah pena
terjatuh.

Pena-pena berhamburan di atas lapisan kulit permukaan meja.

Anak lelaki itu merasakan sebutir keringat mengalir dari ketiaknya. Dengan
panik, dia mulai mengumpulkan pena-pena itu dan menjejalkannya kembali ke
dalam wadah.

Terdengar suara terkekeh serak, tepat di belakangnya, di dalam ruangan.

Dia memutar tubuh dengan cepat, menahan teriakan. Tapi tak ada apa pun di
sana.

Beberapa saat anak lelaki itu menyandarkan punggung pada meja, lumpuh akibat
ketakutan. Lalu sesuatu merasuki pikirannya. Lupakan pena-pena itu, benaknya
seperti berkata.

Kotak itu yang kauinginkan. Dengan lambat, dengan gerakan yang tak kentara,
dia mulai merayap mengitari meja, punggungnya menghadap jendela, mata
menatap ruangan.

Sesuatu mengetuk kaca jendela, dengan ketukan mendesak, tiga kali. Dia
berbalik. Tak ada apa-apa; hanya ada pohon horse chestnut di balik jendela,
bergoyang lembut diterpa angin musim panas.

Tak ada apa-apa di sana.

Detik itu sebuah pena yang dijatuhkannya menggelinding dan jatuh dari meja ke
karpet. Pergerakan itu tak menimbulkan suara, tapi dia menangkapnya dari sudut
matanya. Pena yang lain mulai bergoyang maju-mundur?mula-mula per-40
lahan, lalu makin cepat. Tibatiba pena itu berputar, terpental ke bagian bawah
komputer, dan jatuh melalui sisi meja ke lantai. Sebuah pena lagi melakukan hal
yang sama. Lalu satu lagi. Secara mengejutkan, semua pena itu menggelinding,
menuju beberapa arah sekaligus, bergulir dengan cepat ke pinggir meja,
bertabrakan, jatuh, mendarat di lantai, terdiam.

Anak lelaki itu menatap. Pena terakhir jatuh.

Dia tak bergerak.

Sesuatu tertawa lirih, persis di telinganya.

Sambil berteriak dia mengibaskan lengan kiri, tapi tak menyentuh apa-apa.
Kibasan lengannya membuatnya berputar menghadap meja. Kotak itu berada
tepat di hadapannya. Dia menyambarnya tapi lalu langsung menjatuhkannya?
besi kotak itu pasti telah lama terpapar sinar matahari sehingga permukaannya
yang panas menyengat telapak tangan si bocah. Kotak tersebut membentur
permukaan meja dan tutupnya terbuka.

Sepasang kacamata berbingkai tanduk terlempar keluar. Sedetik kemudian,


kacamata itu telah berada di tangannya dan dia berlari menuju pintu.

Sesuatu mengejarnya. Dia merasakan ada yang melompat di belakangnya.

Dia hampir berada di pintu; dia dapat melihat tangga di baliknya yang akan
membawanya kepada sang master.

Tapi pintu itu terbanting menutup.

Si anak lelaki mengguncang-guncangkan kenopnya, menggedor-gedor kayunya,


menggebuk, berteriak memanggil sang master dengan suara tercekik sambil
tersedu, tapi semua itu tanpa hasil. Sesuatu berbisik di telinganya dan dia tak
dapat menangkap kata-katanya. Dalam kepanikan luar biasa, dia menendang
pintu, tapi dia hanya menyakiti ibu jari kakinya dalam sepatu bot kecilnya.

Lalu dia berbalik dan menghadap ke ruangan kosong itu.

Suara gemeresik lirih terdengar di sekelilingnya, ketukan-ke-41

tukan lembut dan langkah-langkah kaki kecil, seakan karpet, buku-buku, rak-rak,
bahkan langit-langit bergesekan dengan benda-benda tak kasatmata yang
bergerak. Salah satu kerai di atas kepala anak lelaki itu bergoyang perlahan
meski tak ada angin yang berembus.

Di sela-sela air matanya, di antara rasa takut, anak lelaki itu menemukan kata-
kata untuk diucapkan.

“Stop!” dia berteriak. “Pergi!”

Suara gemeresik, ketukan, dan langkah kaki berhenti seketika.

Ayunan kerai melambat, makin pelan, dan berhenti.

Ruangan amat hening.

Sambil mereguk udara untuk bernapas, anak lelaki itu berdiri dengan punggung
menempel di pintu, mengawasi ruangan.

Tak ada suara yang terdengar.

Lalu dia teringat kacamata yang masih berada dalam genggamannya.

Setelah mampu menembus kabut kengerian yang meliputinya, dia ingat


masternya menyuruhnya mengenakan kacamata itu sebelum kembali. Mungkin
jika dia melakukan itu, pintu akan terbuka dan dia dapat menaiki tangga menuju
tempat aman.

Dengan jari-jari gemetar dia mengangkat kacamata itu dan mengenakannya.

Dan melihat kebenaran yang berada di ruangan itu.

Seratus demon kecil memenuhi setiap inci ruang di hadapannya.

Mereka bertumpukan di seluruh ruangan, seperti bijibiji melon atau kacang


dalam kantong, banyak sekali kaki yang menekan wajah dan siku yang menyikut
perut. Mereka berkerumun begitu rapat sehingga karpet tidak tampak. Melirik
dengan tatapan jahil, mereka berjongkok di atas meja, tergelantung di lampu
serta rak-rak buku, dan melayang-layang di udara. Beberapa menyeimbangkan
diri di hidung-hidung lancip kawannya atau menggelantung di lengan yang lain.
Beberapa dari mereka memiliki tubuh besar dengan kepala seukuran 42
je’ruk; beberapa lagi kebalikannya. Ada yang memiliki ekor, sayap, dan tanduk,
juga penuh kutil dengan tambahan tangan, mulut, kaki, dan mata. Terlalu banyak
sisik dan rambut serta hal-hal lain di tempat-tempat yang mustahil. Beberapa
memiliki paruh, yang lain memiliki mulut pengisap, kebanyakan memiliki gigi.
Mereka terdiri atas berbagai warna yang dapat dibayangkan, kebanyakan dalam
kombinasi yang tidak cocok.

Dan mereka semua berusaha keras menjadi amat sangat diam seakan tengah
meyakinkan si anak lelaki bahwa tak ada siapasiapa di sana. Mereka berusaha
sekuat tenaga membeku tak bergerak, meski ekor dan sayap mereka bergetar dan
gemetar serta mulut-mulut mereka yang tak mau diam berkedutkedut.

Tapi begitu si anak lelaki mengenakan kacamatanya dan melihat mereka, mereka
sadar dia dapat melihat mereka juga.

Lalu, diiringi teriakan-teriakan gembira, mereka merangsek ke arahnya.

Anak lelaki itu menjerit, terbanting ke pintu lalu meluncur miring ke lantai. Dia
mengangkat tangan untuk melindungi diri, gerakan ini melontarkan kacamata itu
dari hidungnya.

Tak dapat melihat mereka sekarang, dia menutup wajahnya dan bergelung
seperti bola, tercekik suara sayap, sisik, dan cakar-cakar kecil yang mengerikan
di atas, di sekeliling, di sampingnya.

Anak lelaki itu masih berada di sana dua puluh menit kemudian, ketika
masternya masuk untuk menjemputnya dan mengusir kawanan imp itu. Anak
tersebut dibawa ke kamarnya.

Sehari semalam dia tidak makan. Selama seminggu berikutnya dia tak bersuara
dan tak merespons apa-apa, tapi akhirnya berangsur-angsur dia kembali dapat
berbicara dan melanjutkan pelajaran.

Masternya tak pernah berkata apa-apa mengenai insiden tersebut, tapi dia puas
akan hasil akhir pelajaran itu?sumur 43

kebencian dan kengerian telah tergali dalam diri muridnya di ruangan bermandi
cahaya itu.

Ini salah satu pengalaman awal Nathaniel. Dia tak pernah menceritakan kejadian
itu kepada orang lain, tapi bayangbayang yang mengikuti tak pernah
meninggalkan hatinya. Dia berusia enam tahun waktu itu.
44
Masalah dengan benda magis berkekuatan tinggi seperti Amulet Samarkand
adalah benda ini memiliki getaran aura1

sangat jelas yang menarik perhatian, seperti pria bugil di pemakaman. Aku tahu
segera setelah Simon Lovelace diberitahu tentang pelarianku, dia akan
mengirimkan pasukan pencari untuk menemukan getaran pengkhianat ini, dan
lebih lama aku berada di satu tempat, kemungkinan ketahuan akan lebih besar.
Anak lelaki itu takkan memanggilku hingga 1 Semua makhluk hidup memiliki
aura. Bentuk aura seperti awan nimbus berwarna yang mengelilingi tubuh sang
individu dan sebenarnya adalah fenomena visual yang paling dekat dengan bau-
bauan. Aura tampak pada plane pertama, tapi tak kasatmata bagi kebanyakan
manusia. Banyak hewan, seperti kucing, dapat melihatnya; jin dan makhluk-
makhluk sejenisnya juga. Aura berganti warna tergantung suasana hati dan
merupakan indikasi yang berguna untuk mendeteksi rasa takut, benci, sedih, dsb.
Inilah sebabnya mengapa begitu sulit mengelabui kucing (atau jin) jika kau
bermaksud buruk.
45
subuh,2 maka aku memiliki beberapa jam menggelisahkan yang harus kulalui
dengan selamat.

Apa yang akan dikirimkan Simon Lovelace kepadaku? Kecil kemungkinan dia
dapat menyuruh lebih banyak jin berkekuatan seperti Faquarl dan Jabor, tapi
pasti dia dapat mengerahkan segerombolan abdi berkekuatan lebih lemah untuk
ikut mencari.

Biasanya aku dapat membantai foliot dan sejenisnya dengan satu cakar di
belakang punggung, tapi jika mereka datang berombongan, dan aku telah lelah,
bisa timbul kesulitan.3

Aku terbang dari Hampstead dengan kecepatan tinggi dan berlindung di bawah
naungan atap rumah kosong di tepi sungai Thames, di sana aku bersolek
merapikan bulu-buluku dan menatap langit. Setelah beberapa waktu, tujuh
sphere kecil berupa sinar merah melintas rendah di langit. Ketika mencapai
pertengahan sungai, mereka berpencar: tiga melanjutkan ke selatan, dua ke barat,
dua ke timur. Aku mendesakkan tubuhku ke dalam lindungan bayangan atap
rumah, tapi tak dapat 2 Sebenarnya lebih mudah segera kembali kepada anak
gembel itu agar dapat terbebas dari amulet ini. Tapi para penyihir selalu berkeras
melakukan panggilan spesifik dalam waktu spesifik. Hal itu meniadakan
kemungkinan bagi kami untuk menangkap basah mereka (besar kemungkinan
berakibat fatal) dalam keadaan yang tak menguntungkan.

3 Bahkan para penyihir pun bingung akan variasi jenis kami yang tak terbatas,
yang berbeda satu sama lain seperti gajah dengan serangga, atau elang dengan
amuba.

Meski begitu, bicara secara umum, ada lima tingkatan dasar yang biasanya dapat
kautemukan bekerja melayani penyihir. Mereka adalah, dalam urutan semakin ke
bawah semakin kecil kekuatan dan kedahsyatannya: marid, afrit, jin, foliot, imp.

(Ada berkompi-kompi jenis sprite yang lebih lemah daripada imp, tapi para
penyihir tak buang-buang waktu untuk memanggil mereka. Begitu juga, jauh di
atas kekuatan marid, ada beberapa entitas dengan kekuatan luar biasa; mereka
jarang ditemukan di bumi, karena hanya sedikit penyihir yang berani bahkan
hanya untuk mengungkap nama mereka). Pengetahuan mendetail akan hierarki
ini amat vital bagi penyihir maupun kami, karena keselamatan biasanya
tergantung pada pengetahuan akan keberadaanmu. Contohnya, sebagai spesimen
jin yang amat bagus, aku memperlakukan jin-jin lain dan semua yang berada di
tingkat atasku dengan hormat, tapi foliot dan imp akan kuberikan dengusan.
46
memungkiri amulet itu mengeluarkan getaran ekstra saat sphere-sphere pemburu
itu menghilang di sepanjang sungai. Hal ini membuatku gelisah; tak lama
kemudian aku berangkat menuju kerangka kayu yang tingginya setengah crane
di tepi seberang sungai, tempat mereka membangun kondominium mewah
pinggir sungai untuk para penyihir ningrat.

Lima menit yang hening berlalu. Air sungai menggelegak dan berputar di sekitar
pancang dermaga yang berlumpur.

Awan berarak melewati bulan. Cahaya hijau memualkan tibatiba memancar dari
jendela-jendela rumah kosong di seberang sungai. Bayangan-bayangan yang
membungkuk berkeliaran di dalam, mencari-cari. Mereka tak menemukan apa-
apa; cahaya itu membeku dan berubah menjadi kabut bersinar yang melayang
dari jendela dan tertiup pergi. Aku segera terbang ke selatan, melesat dan
meluncur dari jalan ke jalan.

Setengah malam itu aku melanjutkan dansa pelarianku yang penuh kepanikan
melintasi London. Sphere-sphere itu4 berkeliaran dengan jumlah yang lebih
banyak daripada yang kukhawatirkan (jelas lebih dari satu penyihir yang
memanggil mereka) dan muncul di atasku dalam selang-selang waktu beraturan.

Agar tetap aman aku harus terus bergerak, meski begitu aku nyaris tertangkap
dua kali. Suatu kali aku terbang mengelilingi blok perkantoran dan hampir
bertabrakan dengan sphere yang datang dari arah berlawanan; sebuah lagi
menghampiriku saat aku meringkuk di pohon birch Green Park karena terlalu
capek. Dalam dua kejadian itu aku berhasil minggat sebelum bala bantuan
mereka datang.

4 Sphere pemburu seperti ini adalah sejenis imp yang lebih kokoh. Mereka
memiliki cuping telinga besar bersisik dan satu lubang hidung berbulu, yang
membuat mereka amat sensitif pada getaran sihir dan sangat sebal bila terjebak
dalam suarasuara keras atau bau menyengat. Akibatnya sebagian malam itu aku
terpaksa bersembunyi di tengah-tengah Pipa Pembuangan Rotherhithe.
47
Tak lama kemudian aku kelelahan. Menyeret wujud fisikku terus-menerus
membuatku lelah dan mengeluarkan banyak energi yang berharga. Maka aku
merangkai rencana baru?

me’ncari tempat yang bisa meredam getaran Amulet dengan pancaran getaran
sihir lain. Waktunya untuk berbaur dengan kelompok yang jumlahnya besar, ras
yang tak terpunahkan: dengan kata lain, manusia. Sebegitu putus asanya aku.

Aku terbang kembali ke pusat kota. Bahkan di jam-jam selarut ini, para turis di
Trafalgar Square masih berkeliaran di kaki Nelson’s Column dalam arus
keceriaan yang norak, membeli jimat-jimat diskonan dari kios-kios penjualan
resmi yang diapit dua patung singa. Suarasuara getaran sihir yang
menjengkelkan meruak dari lapangan itu. Tempat yang terbaik untuk
bersembunyi.

Seberkas kilat berbulu menghunjam membelah malam dan menghilang di celah


sempit antara dua kios. Kemudian anak lelaki Mesir bermata sayu muncul dan
menyeruak kerumunan orang. Dia mengenakan jins baru dan jaket bomber hitam
berlapis di atas t-shirt putihnya; juga sepasang sepatu olahraga putih besar
dengan tali-temali yang terus-menerus lepas. Dia berbaur dengan kerumunan
orang.

Aku merasakan amulet itu membakar dadaku. Pada selang waktu tertentu amulet
itu mengeluarkan panas intens dalam dua getaran, seperti degup jantung. Aku
sungguh-sungguh berharap getaran itu akan tenggelam di antara sekian banyak
aura di sekitarku.

Kebanyakan piranti sihir di sini adalah untuk pertunjukan, bukan sungguhan.


Plasa itu dipenuhi penjual obat berlisensi yang menjual jimat-jimat murahan dan
perhiasan-perhiasan 48

kecil yang telah disetujui untuk dijual kepada umum.5 Turisturis dengan mata
terbelalak dari Amerika Utara dan Jepang dengan antusias mengaduk-aduk
tumpukan batu multiwarna dan perhiasan-perhiasan tak berguna, berusaha
mengingat batu kelahiran anggota-anggota keluarga mereka di rumah sementara
para penjual beraksen Cockney yang ceria dengan sabar merayu mereka. Kalau
tak ada sinar lampu kamera, aku mungkin berada di desa Karnak, Mesir, lagi.
Tawarmenawar di manamana, seruan-seruan gembira menggema, semua orang
tersenyum.

Pertunjukan lakon penipuan dan keserakahan.

Namun tak semua barang di lapangan itu tak berguna. Di sana-sini pria-pria yang
berwajah lebih bersungguh-sungguh berdiri di pintu masuk tenda-tenda kecil
yang tertutup. Para pengunjung dipersilakan masuk satu demi satu. Tampaknya
ada artefak asli yang bernilai di dalamnya, karena tanpa kecuali pengamat-
pengamat kecil berkeliaran di dekat tiap tenda.

Mereka datang dalam berbagai bentuk yang tak mencolok?

kebanyakan burung dara; aku berusaha tidak terlalu dekat, kalaukalau mereka
lebih awas daripada tampaknya.

Beberapa penyihir berkeliaran di antara kerumunan orang.

Kecil kemungkinan mereka membeli sesuatu dari sini; lebih mungkin mereka
dinas malam di kantor pemerintahan Whitehall dan sedang keluar mencari angin.
Salah satunya (dalam balutan setelan berkelas) ditemani imp dalam plane kedua
yang mengikuti sambil melompat-lompat; yang lain 5 Yang paling populer
adalah potongan kristal yang berfiingsi menebarkan aura perpanjangan
kehidupan. Orangorang menggantungkan benda itu di leher mereka untuk nasib
baik. Potongan itu tak memiliki kekuatan gaib sama sekali, tapi kukira dalam
satu segi benda itu memang memiliki fungsi proteksi: orang yang memakainya
segera menunjukkan mereka orang-orang tolol yang buta sihir, dan hasilnya
mereka tak diacuhkan berbagai partai penyihir yang saling berseteru. Di London,
keadaannya berbahaya bagi orang yang, walaupun sedikit, pernah mengecap
pendidikan sihir: orang itu bisa jadi berguna dan/atau berbahaya?dan akibatnya
orang itu akan menjadi lawan seimbang bagi penyihir-penyihir lain.
49
(berpenampilan lebih kumuh) hanya mengikuti aroma dupa, keringat kering, dan
lilin wangi.

Polisi juga ada di sana?beberapa petugas biasa dan sepasang pria berewok
dengan air muka tajam dari Polisi Malam, membiarkan diri mereka terlihat
cukup jelas untuk mencegah timbulnya masalah.

Dan di sekeliling lapangan, lampu-lampu mobil berseliweran, membawa


menteri-menteri dan penyihir-penyihir lain dari kantor di Parlemen, ke klub
mereka di St. James. Aku berada dekat dengan poros roda kekuasaan besar yang
meliputi keseluruhan kerajaan, dan di sini, jika beruntung, aku akan tetap tak
terdeteksi sampai tiba saatnya dipanggil.

Atau tidak.

Aku berjalan mendekati kios yang tampak amat bobrok dan mengamati barang
dagangannya ketika mendapatkan perasaan tak enak seperti sedang diawasi. Aku
menolehkan kepala sedikit dan memeriksa kerumunan. Gerombolan orang tak
beraturan.

Aku menyisir semua plane. Tak ada bahaya tersembunyi: kawanan orang dungu,
semua membosankan dan

manusiawi. Aku mengarahkan pandangan kembali ke kios dan tanpa sadar


mengambil My Magic Mirror?, sepotong cermin murahan yang ditempel pada
bingkai plastik pink dengan dekorasi jelek bergambar tongkat sihir, kucing, dan
topi penyihir.

Perasaan itu lagi! Aku membalikkan tubuh dengan cepat.

Melalui celah di kerumunan di belakangku, aku melihat penyihir wanita gemuk


pendek, sekelompok anak yang mengerumuni kios, dan polisi yang mengawasi
mereka dengan curiga.

Tampaknya tak seorang pun memerhatikanku. Tapi aku tahu apa yang
kurasakan. Lain kali aku akan siap. Aku berpura-pura tertarik untuk membeli
cermin itu. SALAH SATU OLEHOLEH

TERBAIK DARI LONDON, IBU KOTA SIHIR

DUNIA! teriak label di belakangnya. MADE IN TAIW?

Lalu perasaan itu timbul lagi. Aku berputar lebih cepat dari-50

pada kucing dan?sukses! Aku menatap para pengamatku langsung ke bola mata
mereka. Dua dari mereka, anak lelaki dan anak perempuan, dalam segerombolan
anak. Mereka tak sempat mengalihkan pandangan. Si anak lelaki berusia
pertengahan belasan; jerawat menggempur wajahnya dengan sukses.

Si anak. perempuan lebih muda namun matanya tampak dingin dan keras. Aku
menatap balik. Apa peduliku? Mereka manusia, mereka tak dapat mengetahui
siapa aku sebenarnya.

Biarkan saja mereka memandang.

Setelah beberapa detik mereka menyerah; mereka mengalihkan pandangan. Aku


mengangkat bahu dan mulai melangkah pergi. Terdengar suara batuk keras si
pedagang kios. Aku mengembalikan My Magic Mirror? dengan hatihati ke baki,

nyengir, dan melangkah.

Anakanak itu mengikutiku.

Aku melihat mereka di loket berikutnya, memerhatikan dari belakang kios


gulali. Mereka bergerak bergerombol?mungkin ada lima atau enam orang, aku
tak yakin. Apa mau mereka?

Merampok? Jika begitu, mengapa memilih aku? Banyak kandidat yang lebih
baik, lebih gemuk, lebih kaya. Untuk mengetes, aku mendekati turis bertubuh
kecil dan tampak kaya raya dengan kamera raksasa dan kacamata tebal. Jika aku
ingin merampok seseorang, turis ini berada paling atas dalam daftarku.

Tapi ketika aku meninggalkannya dan berkelit ke dalam kerumunan orang,


anakanak itu langsung mengikuti.

Aneh. Dan menjengkelkan. Aku tak ingin berubah dan terbang pergi; aku terlalu
capek. Aku hanya ingin dibiarkan sendirian.

Aku masih memiliki waktu panjang sebelum matahari terbit.

Aku mempercepat langkah; anakanak itu juga. Lama sebelum kami melakukan
tiga putaran mengelilingi lapangan, aku sudah bosan. Dua polisi memerhatikan
kami berputarputar dan pasti akan menghentikan kami sebentar lagi, meski 51

hanya untuk mencegah diri mereka menjadi pusing. Waktunya untuk pergi. Apa
pun yang diincar anakanak ini, aku tak ingin menarik perhatian lebih banyak
orang.

Ada stasiun kereta bawah tanah dekat-dekat sini. Aku melompat-lompat


menuruni tangga, melewati begitu saja pintu masuk ke Underground, dan naik
kembali di sisi jalan sebelah sana, di seberang Central Square. Anakanak itu
menghilang?

mungkin mereka berada dalam kereta bawah tanah. Sekaranglah kesempatanku.


Aku membelok ke salah satu sudut jalan, melalui toko buku, dan merunduk di
gang. Aku menunggu di sana selama beberapa saat, dalam lindungan bayangan
di antara bak-bak sampah.

Satu-dua mobil melaju melewati ujung gang. Tak ada yang membuntutiku.

Aku tersenyum simpul. Kupikir aku telah mengelabui mereka.

Aku keliru.
52
Anak lelaki Mesir itu berjalan di sepanjang gang, berbelok ke kanan beberapa
kali dan keluar ke salah satu dari sekian banyak jalan raya yang mengelilingi
Trafalgar Square. Aku mengkaji ulang rencanaku sambil melangkah.

Lupakan lapangan itu. Terlalu banyak anak menyebalkan berkeliaran di sana.


Tapi mungkin jika aku menemukan tempat berlindung di dekat-dekat sini,
getaran Amulet akan tetap sulit ditemukan para sphere. Aku dapat meringkuk di
balik beberapa tong sampah hingga pagi. Itu satusatunya pilihan. Aku terlalu
lelah untuk terbang lagi.

Dan aku ingin berpikir.

Rasa sakit itu mulai lagi, berdenyut-denyut di dada, perut, tulangku. Tidak sehat
untuk terjebak dalam sebuah tubuh selama ini. Bagaimana manusia dapat
menahannya tanpa menjadi gila, aku tak pernah tahu.1

Aku melangkah menyusuri jalan yang gelap dan dingin, 1 Atau… mungkin itu
malah menjelaskan banyak hal.
53
mengamati bayanganku berpindah-pindah melompati celahcelah segi empat
jendela di sepanjang sisi jalan. Bahu si anak lelaki itu mengerut melawan angin,
tangannya terbenam dalam-dalam di saku jaket. Sepatu olahraganya menggesek
beton jalanan. Postur tubuhnya menggambarkan dengan sempurna suasana
hatiku yang kesal. Seiring langkahku, amulet itu membentur-bentur dadaku. Jika
saja memiliki kuasa, aku akan segera menariknya dan melemparkannya ke
keranjang sampah terdekat sebelum buruburu menghilang. Tapi aku terikat pada
perintah anak itu.2 Aku harus terus menjaganya.

Aku mengambil jalan samping menghindari lalu lintas. Kegelapan total akibat
bayangan gedung-gedung tinggi menyelimuti kedua sisinya, menekanku.
Perkotaan membuatku murung, nyaris seperti bila berada di bawah tanah.
London tempat yang paling buruk?dingin, kelabu, dipenuhi bau-bauan tajam dan
hujan.

Kota ini membuatku merindukan daerah Selatan, karena gurun pasirnya dan
langit birunya yang kosong.

Sebuah gang lagi menuju ke kiri, dipenuhi kardus-kardus basah dan surat-surat
kabar. Secara otomatis aku menyisir ketujuh plane, tak melihat apa-apa. Gang ini
bolehlah. Aku 2 Ada beberapa kasus ketika si makhluk halus mencoba menolak
perintah. Pada salah satu kejadian penting, Asmoral the Resolute diinstruksikan
masternya membunuh sang jin Ianna. Tapi Ianna telah lama menjadi sekutu
terdekat Asmoral dan mereka saling mencintai. Meski masternya terus
memberikan perintah tegas yang semakin kejam, Asmoral menolak berbuat apa-
apa. Sayangnya, walaupun keteguhannya sebanding dengan tantangan yang
diberikan kepadanya, inti rohnya telah terikat pada tarikan perintah sang master
yang tak dapat ditolak. Tak lama kemudian, karena Asmoral tetap pada
pendiriannya, dia benar-benar terbelah dua.

Ledakan yang terjadi menghancurkan sang penyihir, istananya, dan lingkungan


perkotaan Baghdad yang mengelilinginya. Setelah kejadian tragis ini, para
penyihir belajar untuk berhati-hati dalam memberikan perintah serangan
langsung terhadap makhluk halus pihak lawan (jika lawannya penyihir, itu lain
soal). Bagi kami, kami menghindari konflik yang bersifat prinsipil. Hasilnya,
loyalitas di antara sesama kami hanyalah sementara dan dapat berubah kapan
saja. Secara garis besar, pertemanan adalah strategi.
54
tidak mengacuhkan dua ambang pintu pertama karena alasan kebersihan. Pintu
ketiga kering. Aku duduk di sana.

Sudan waktunya aku memikirkan rangkaian kejadian yang berlangsung malam


ini. Malam ini begitu sibuk. Ada si anak lelaki berwajah pucat itu, Simon
Lovelace, Amulet, Jabor, Faquarl… Adonan yang cukup mengerikan. Tetap saja,
apalah artinya? Saat matahari terbit aku akan menyerahkan Amulet dan terbebas
dari kekacauan menyedihkan ini selamanya.

Kecuali urusanku dengan anak lelaki itu. Dia akan membayarnya, mahal. Kau
tak dapat menurunkan derajat Bartimaeus dari Uruk dengan menjadikannya
gembel di gang belakang West End dan berharap dapat selamat. Pertama-tama,
aku akan mencari tahu namanya, lalu?

Tunggu…

Langkah-langkah kaki di gang… Beberapa pasang sepatu bot datang


menghampiri.

Mungkin ini hanya kebetulan. London adalah kota. Orangorang


menggunakannya. Orangorang menggunakan gang-gang.

Siapa pun yang datang mungkin sedang pulang melalui jalan pintas.

Menyusuri gang yang sama tempat aku kebetulan bersembunyi.

Aku tak percaya pada yang namanya kebetulan.

Aku merapat pada kegelapan ambang pintu dan membuat mantra Pelapis
Perlindungan di seputar wujudku. Selapis anyaman benang hitam melindungiku
di tempat aku duduk dalam bayangan, membuatku melebur dengan kegelapan.
Aku menunggu.

Langkah sepatusepatu bot itu mendekat. Siapakah itu?

Patroli Polisi Malam? Penyihir-penyihir kaki tangan Simon Lovelace yang


dikirimnya? Mungkin tenyata para sphere itu berhasil melihatku.
55
Bukan polisi maupun penyihir. Mereka anakanak dari Trafalgar Square tadi.

Lima anak lelaki, dipimpin si gadis. Mereka berjalan lambatlambat, menoleh ke


kanan dan ke kiri sambil lalu. Aku merasa sedikit rileks. Aku tersembunyi
dengan baik, dan bahkan jika tidak pun, tak ada yang perlu ditakuti dari mereka
saat ini, setelah kami berada di luar jarak pandang publik. Patut diakui, anakanak
lelaki itu bertubuh besar dan tampak menyeramkan, namun mereka tetap saja
anakanak, dibalut jins dan jaket kulit. Si gadis mengenakan jaket kulit hitam dan
celana panjang yang berkibar selebar-lebarnya dari lutut ke bawah.

Banyaknya bahan pada celana itu dapat dipakai untuk membuat sepasang celana
lagi bagi orang cebol. Mereka datang menyusuri gang, menerobos sampah. Aku
menyadari sekarang betapa anehnya keheningan mereka.

Dalam keraguan, aku mengecek kembali seluruh plane. Pada setiap plane, semua
tampak seperti seharusnya. Enam anakanak.

Terlindung di balik lapisan pelindungku, aku menunggu mereka berlalu.

Si gadis itu memimpin jalan. Dia kini sejajar denganku.

Merasa aman di balik lapisan pelindung, aku menguap.

Salah satu dari anak lelaki menepuk pundak si gadis.

“Di situ,” katanya, menunjuk.

“Tangkap,” kata si gadis.

Sebelum aku punya kesempatan untuk tersadar dari kekagetan, tiga anak lelaki
yang paling tegap melompat ke ambang pintu dan menyerangku. Saat mereka
menyentuh jalinan Pelapis Perlindungan, benangnya terkoyak dan menguap
menjadi kehampaan. Sesaat aku terjebak di antara gelombang pasang yang
terdiri atas tekanan bahan-bahan kulit, aftershave murahan, dan bau badan. Aku
diduduki, ditonjok, dan dipukul di kepala. Aku tergopoh-gopoh berdiri dengan
gerakan canggung memalukan.
56
Lalu aku membuat diriku tegak kembali. Bagaimanapun, aku kan Bartimaeus.

Gang itu disinari sekilas ledakan panas dan cahaya terang.

Batu bata di ambang pintu tampak seperti habis terbakar di kompor.

Aku terkejut menyadari anakanak lelaki itu masih bertahan.

Dua di antara mereka mencengkeram pergelangan tanganku, sementara yang


ketiga melingkarkan kedua lengan di pinggangku erat-erat.

Aku mengulangi efek yang kubuat dengan tekanan lebih tinggi. Alarm mobil di
jalan sebelah mulai menyala. Kali ini, kuakui, aku berharap dicengkeram tangan-
tahgan gosong tiga sosok mayat rontok.3

Tapi anakanak lelaki itu masih di sana, mendenguskan napas berat dan bertahan
seperti maut yang mencengkeram.

Sesuatu yang aneh tengah terjadi di sini.

“Pegang dia kuat-kuat,” kata si gadis.

Aku menatapnya, dia menatapku. Dia sedikit lebih tinggi daripada wujudku
sekarang, dengan mata gelap, rambut gelap panjang. Dua anak lelaki yang lain
berdiri di kedua sisinya seperti pengawal kehormatan berjerawat. Aku menjadi
tak sabaran.

“Apa maumu?” aku bertanya.

“Ada yang melingkar di lehermu.” Gadis itu secara mencengangkan memiliki


suara tegas dan berkesan berkuasa untuk orang semuda dia. Aku menebak
umurnya sekitar tiga belas tahun.

“Kata siapa?”

“Benda itu tampak jelas dalam dua menit terakhir, dungu.


3 Berbeda dari pendapat orang tentang masalah ini, kebanyakan dari kami tak
tertarik untuk menyakiti manusia biasa. Ada beberapa perkecualian, tentu saja,
salah satunya Jabor. Meskipun begitu, bahkan bagi sesosok jin yang ramah
sepertiku, kesabaranku ada batasnya.
57
Terlompat keluar dari balik t-shirt-mu ketika kami menyerangmu.

“Oh. Bisa diterima.”

“Serahkan.”

“Tidak.”

Gadis itu mengangkat bahu. “Maka kami akan mengambilnya.

Ini pemakamanmu.”

“Kau tidak sungguh-sungguh tahu siapa aku, bukan?” Aku mengatakannya


sebiasa mungkin, dengan sedikit sentuhan nada mengancam. “Kau bukan
penyihir.”

“Memang.” Dia menyemburkan kalimat itu.

“Penyihir tahu tidak boleh bermairi-main dengan lawan seperti aku.” Aku sibuk
membangun faktor kedahsyatan reputasiku lagi, walaupun ini cukup sulit
dilakukan bila ada seonggok otot tak berotak mencengkeram pinggangmu.

Gadis itu menyeringai dengan tatapan dingin. “Apakah penyihir dapat melawan
kelicikanmu sehebat kami?”

Dalam hal ini, dia benar juga. Pertama-tama, penyihir takkan mau mendekatiku,
bahkan dalam jarak terdengarnya gonggongan anjing, tanpa perlindungan hingga
ke ujung pedang dengan mantra dan pentacle. Kemudian dia akan membutuhkan
bantuan imp untuk menemukanku di balik Pelapis Perlindunganku; dan
akhirnya, dia harus memanggil sesosok jin kelas berat untuk menaklukkanku.
Jika dia berani. Tapi gadis ini beserta kawan-kawan lelakinya telah melakukan
semuanya sendiri, tanpa tampak kerepotan.

Seharusnya aku melontarkan Detonasi berkekuatan penuh atau sejenisnya, tapi


aku terlalu capek untuk melakukan yang berat-berat. Aku kembali melontarkan
ancaman kosong.
Aku tertawa dengan suara mengerikan. “Hah! Aku mempermainkanmu.”

“Itu ancaman kosong.”

Aku mencoba taktik lain. “Berlawanan dengan kebiasaanku,”


58
aku berkata, “kuakui bahwa aku tertarik. Aku salut akan keberanianmu
menyapaku. Jika kauberitahu aku nama dan tujuanmu, aku takkan mengambil
nyawamu. Bahkan, aku mungkin dapat membantumu. Aku memiliki banyak
kemampuan.”

Yang membuatku kecewa, gadis itu malah mengatupkan kedua tangannya di


telinga. “Jangan beri aku kata-kata manismu, demon!” katanya. “Aku takkan
tergoda.”

“Tentunya kau tak menginginkan permusuhan dariku,” aku melanjutkan, dengan


suara menenangkan. “Persahabatan dariku lebih disukai.”

“Aku tak peduli akan keduanya,” kata si gadis, menurunkan tangannya. “Aku
hanya ingin apa pun itu yang melingkar di lehermu.”

“Kau tak bisa mendapatkannya. Tapi kau bisa mendapatkan perlawanan jika kau
mau. Selain kerusakan yang akan timbul di pihakmu, aku akan memastikan
melontarkan sinyal yang bakal membawa Polisi Malam menyerbu kita seperti
setansetan dari neraka. Kau tidak menginginkan perhatian mereka, bukan?”

Kalimat itu membuatnya mengernyit sedikit. Aku memanfaatkan keunggulanku.

“Jangan naif,” kataku. “Pikirkanlah. Kau berusaha merampokku untuk


mendapatkan objek berkekuatan besar. Benda ini milik penyihir kejam. Jika kau
berani menyentuhnya saja, dia akan menemukanmu dan menggantung kulitmu di
pintunya.”

Entah karena ancamanku atau tuduhan bahwa dia naif yang membuatnya kesal,
gadis itu terpengaruh. Aku dapat melihatnya dari bibirnya yang cemberut.

Aku mencoba menggerakkan sedikit salah satu sikuku. Anak lelaki yang
memegangnya menggeram dan mengeraskan cengkeramannya di lenganku.

Suara sirene meraung dari beberapa jalan jauhnya. Si gadis beserta para
bodyguard-nya memandang ujung gang ke arah 59
kegelapan dengan gelisah. Beberapa tetes air hujan turun dari langit yang
tersembunyi.

“Cukup,” kata si gadis. Dia melangkah mendekatiku.

“Hatihati,” kataku.

Dia mengulurkan tangan. Saat dia melakukannya, aku membuka mulut dengan
amat sangat perlahan. Lalu dia meraih rantai yang melingkari leherku.

Dalam sekejap aku menjadi buaya Nil dengan rahang ternganga.

Aku mengatupkan rahang menyambar jari-jarinya.

Gadis itu menjerit dan menarik tangannya lebih cepat daripada yang kukira
dapat dilakukannya. Gigi-gigiku yang siap merobek hanya terpisah setitik dari
kuku-kuku jarinya. Aku mencoba menggigitnya lagi, meronta-ronta ke kiri dan
ke kanan dalam cengkeraman penangkapku. Gadis itu berteriak, tergelincir, dan
terjatuh di atas tumpukan sampah, menabrak salah seorang dari kedua
pengawalnya hingga terjatuh. Transformasiku yang tibatiba membuat ketiga
anak lelaki yang memegangiku terkejut, terutama yang mencengkeram bagian
tengah tubuhku yang besar dan bersisik. Genggamannya melemah, namun yang
dua lagi masih bertahan. Ekorku yang panjang dan keras menyabet ke kiri, lalu
ke kanan, membuat kontak memuaskan dengan dua tengkorak keras yang
bergemeretak.

Otak mereka, jika mereka memilikinya, terguncang dengan indah; rahang-rahang


mereka mengendur, begitu pula cengkeraman mereka.

Salah satu dari kedua pengawal si gadis hanya terkejut sebentar.

Dia tersadar, meraih kantong jaketnya, mengeluarkan benda mengilat.

Saat dia melemparkan benda itu, aku berubah lagi.

Pertukaran cepat dari besar (si buaya) menjadi kecil (rubah) adalah tindakan
pandai, jika aku boleh menyombongkan diri.

Enam lengan yang berjuang menangani tubuh bersisik skala besar tibatiba
mendapati diri mereka mencengkeram udara 60
saat seonggok bulu merah kecil dan cakar-cakar yang berputar terjatuh ke tanah
di sela jari-jari mereka yang meraba-raba.

Pada detik yang sama, senjata perak melesat melewati tempat tadinya leher si
buaya berada dan tertancap di daun pintu besi.

Rubah itu berlari melintasi gang, kaki-kakinya tergelincir di kerikil yang licin.

Suara peluit yang memekakkan terdengar di depan. Si rubah mempercepat


larinya. Lampu-lampu senter menerangi dan berputarputar di sekitar pintu-pintu
dan dinding-dinding bata.

Langkah-langkah kaki berlari mengikuti cahaya senter.

Itu yang kuperlukan. Polisi Malam datang.

Ketika seberkas sinar terayun ke arahku, aku melompat dengan lincah ke dalam
kantong plastik sampah yang terbuka.

Kepala, badan, ekor berbulu?hilang; cahaya itu menyapu melewati kantong


sampah dan berlalu menuju bagian dalam gang.

Pria-pria berdatangan sekarang, berteriak-teriak, meniup peluit, berlarian ke arah


aku meninggalkan gadis itu beserta kawan-kawannya. Lalu ada suara geraman,
bau yang tajam; dan sesuatu yang bisa saja anjing besar bergegas mengejar
mereka dalam gelapnya malam.

Suarasuara itu bergema menjauh. Sambil melingkarkan tubuh dengan nyaman di


antara kantong sampah yang mengempis dan satu kerat botol kosong berbau
cuka, si rubah mendengarkan, kedua telinganya terjulur ke depan. Suara teriakan
dan tiupan peluit melemah dan berbaur, dan bagi si rubah suarasuara itu seakan
bersatu dan menjadi lolongan gelisah.

Kemudian suarasuara itu semakin samar. Gang menjadi hening.

Sendiri di antara bau busuk, si rubah bersembunyi.

Nurul Huda Kariem MR. 61 nurulkariem@yahoo.com eBook oleh :

Arthur Underwood adalah penyihir kelas menengah yang bekerja di


Kementerian Dalam Negeri. Dia pria penyendiri, susah diajak bekerja sama. Dia
tinggal bersama istrinya, Martha, di rumah tinggi bergaya Georgia di daerah
Highgate.

Mr. Underwood belum pernah memiliki murid, dan ia tak menginginkannya. Dia
cukup bahagia bekerja seorang diri.

Tapi dia tahu cepat atau lambat, seperti penyihir-penyihir lain, dia akan
mendapatkan giliran dan menerima seorang anak dalam rumahnya.

Benar saja, hal yang tak dapat dihindari itu terjadi: suatu hari sepucuk surat
datang dari Kementerian Tenaga Kerja, berisi permintaan yang dibencinya itu.
Sambil menerima meski dengan hati dongkol, Mr. Underwood melaksanakan
tugas.

Pada sore hari yang telah ditentukan, dia berangkat ke kantor Kementerian untuk
mengambil tanggung jawabnya yang tak bernama.

Dia menuruni tangga marmer di antara dua tiang granit dan 62

eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.

nurulkariem@yahoo.com

MR. Collection’s

masuk ke selasar yang bergenia. Selasar itu berupa ruangan luas tanpa dekorasi;
para pekerja kantoran berlalu-lalang dalam diam, bolak-balik melalui pintu-pintu
kayu di tiap sisinya, sepatusepatu mereka membuat suara berderak di lantai. Di
seberang lorong, dua patung mantan Menteri Tenaga Kerja dibangun dalam skala
besar, ada meja terhimpit di antara dua payung itu, di atasnya tampak tumpukan
tinggi kertas. Mr. Underwood mendekat. Barulah setelah mencapai meja itu, dia
dapat mengintip melalui gundukan berkas yang berantakan dan melihat wajah
petugas kantor yang kecil dan sedang tersenyum.

“Halo, Sir,” kata si petugas.

“Menteri Muda Underwood. Aku ke sini untuk menjemput murid baruku.”


“Ah?ya, Sir. Saya sudah menunggu Anda. Silakan menandatangani beberapa
dokumen ini…” Petugas itu mencari-cari di tumpukan di dekatnya. “Tak akan
makan waktu lama. Lalu Anda dapat menjemput bocah itu di ruang duduk
siang.”

“‘Bocah’? Dia anak lelaki kalau begitu?”

“Anak lelaki, lima tahun. Amat pandai, jika hasil tesnya dapat dijadikan penentu.
Jelas sedang sedikit sedih sekarang ini…” Si petugas menemukan berlapis-lapis
kertas dan mengambil pena yang bertengger di telinganya. “Tolong paraf tiap
halaman, tanda tangani di titik-titik yang disediakan…”

Mr. Underwood menggerakkan pena. “Orangtuanya?mereka telah pergi,


kukira?”

“Ya, Sir. Mereka pergi sesegera mungkin. Pasangan yang seperti biasa: ambil
uangnya dan kabur, jika Anda mengerti maksud saya, Sir. Nyaris tak sempat
mengucapkan selamat tinggal pada bocah itu.”

“Dan semua prosedur normal kerahasiaan??”

“Akta kelahirannya telah diambil dan dihancurkan, Sir, dan dia telah dengan
tegas diperintahkan melupakan nama lahirnya dan tak mengatakannya kepada
siapa pun. Dia sekarang secara 63

resmi telah tak ternoda. Anda dapat mulai mengajarnya dari nol.”

“Baiklah.” Sambil mendesah, Mr. Underwood membubuhkan tanda tangan


terakhirnya yang seperti cakar ayam dan menyerahkan dokumen-dokumen itu
kembali. “Jika itu sudah semua, kukira aku harus segera menjemputnya.”

Dia menyusuri beberapa koridor sepi dan melalui pintu berpanel berat menuju
ruangan bercat terang yang dipenuhi mainan untuk menghibur anakanak yang
tak bahagia. Di sana, di antara kuda-kudaan yang tersenyum lebar dan boneka
penyihir dari plastik yang mengenakan topi kerucut konyol, dia menemukan
anak lelaki berwajah pucat. Anak itu habis menangis, tapi untungnya telah
berhenti. Dua mata merah bengkak memandangnya tanpa ekspresi. Mr.
Underwood berdeham.

“Aku Underwood, mastermu. Kehidupanmu yang sebenarnya dimulai sekarang.


Ikut denganku.”

Anak itu menyedot ingus dengan keras. Mr. Underwood melihat dagu anak itu
bergetar, tangisnya hampir meledak.

Dengan rasa tidak suka, dia meraih tangan anak lelaki itu, menariknya hingga si
bocah berdiri, dan menuntunnya keluar menyusuri koridor-koridor bergema ke
mobilnya yang telah menunggu.

Dalam perjalanan kembali ke Highgate, penyihir itu mencoba satu-dua kali


untuk bercakap-cakap dengannya, tapi balasannya hanya kebisuan yang diiringi
air mata. Mr. Underwood jadi tidak senang; dengan dengusan frustrasi, dia
menyerah dan menyalakan radio untuk mendengarkan skor pertandingan kriket.
Bocah itu duduk tak bergerak di bangku belakang, menatap lutut.

Istrinya menyambut mereka di pintu. Dia membawa senampan biskuit dan


segelas cokelat panas yang mengepul, lalu segera 64

menggiring anak lelaki itu ke ruang duduk yang nyaman, di mana api telah
menyala di perapian.

“Kau takkan bisa membuatnya bicara, Martha,” Mr. Underwood menggerutu.


“Belum bersuara sama sekali.”

“Dan kau heran? Dia ketakutan, anak malang. Serahkan dia padaku.” Mrs.
Underwood adalah wanita gemuk yang luar biasa, berambut amat putih yang
dipotong pendek sekali. Dia menyuruh anak lelaki itu duduk di kursi dekat
perapian dan menawarkan sepotong biskuit. Anak itu tak mengacuhkan sama
sekali.

Setengah jam berlalu. Mrs. Underwood mengoceh ceria tentang apa saja yang
terlintas di kepalanya. Anak lelaki itu minum sedikit cokelat dan menggigit
sepotong kecil biskuit, tapi selebihnya hanya memandang perapian sambil
membisu.

Akhirnya, Mrs. Underwood mengambil keputusan. Dia duduk di sebelah anak


itu dan merangkul pundaknya.

“Nah, Sayang,” katanya, “ayo kita buat kesepakatan. Aku tahu kau telah dilarang
menyebutkan namamu kepada siapa pun, tapi kau dapat membuat pengecualian
untukku. Aku tak dapat mengenalmu dengan baik hanya dengan memanggilmu
‘Nak’, bukan? Nah, jika kau memberitahuku namamu, aku akan memberitahumu
namaku?dengan kepercayaan penuh.

Bagaimana? Apakah itu anggukan? Baiklah kalau begitu. Aku Martha. Dan kau
adalah…?”

Dengusan kecil, suara yang lebih kecil lagi. “Nathaniel”

“Nama yang indah, Sayang, dan jangan khawatir, aku takkan memberitahu siapa
pun. Kau sudah merasa lebih baik, bukan? Nah, sekarang, makan sepotong
biskuit lagi, Nathaniel, dan aku akan mengantarmu ke kamarmu.”

Setelah anak itu diberi makan, dimandikan, lalu akhirnya dibaringkan di tempat
tidur, Mrs. Underwood melapor kepada suaminya, yang berada di ruang
kerjanya.
65
“Akhirnya dia tertidur,” katanya. “Aku takkan kaget jika anak itu mengalami
shock?dan tidak aneh, orangtuanya meninggalkannya begitu saja. Kupikir
sungguh memalukan, merenggut seorang anak dari rumahnya di usia amat
muda.”

“Begitulah cara yang dilakukan selama ini, Martha. Para murid harus datang dari
suatu tempat.” Si penyihir tetap menundukkan kepala mempelajari buku di
hadapannya, menunjukkan kesibukan.

Istrinya tak menangkap sindiran itu. “Dia seharusnya diizinkan tinggal bersama
keluarganya,” dia terus mengoceh. “Atau setidaknya bertemu mereka sekali-
sekali.”

Dengan lagak capek, Mr. Underwood meletakkan buku di meja. “Kau tahu persis
itu mustahil. Nama lahirnya harus dilupakan, jika tidak, musuh-musuhnya yang
akan datang bakal menggunakannya untuk melukainya. Bagaimana dia bisa
melupakan namanya jika keluarganya terus berhubungan dengannya?

Lagi pula, tak ada yang memaksa orangtuanya berpisah dengan anak bengal
mereka. Mereka tak menginginkannya, itu faktanya, Martha. Jika tidak, mereka
takkan menjawab iklaniklan itu. Kesepakatannya jelas sekali. Mereka
mendapatkan sejumlah uang pembayaran yang wajar sebagai kompensasi, dia
berkesempatan melayani negaranya pada level tertinggi, dan negara
mendapatkan murid baru. Simpel. Semua orang menang.

Tak ada yang dirugikan.”

“Tetap saja…”

“Kesepakatan itu tak merugikan aku, Martha.” Mr. Underwood meraih bukunya.

“Akan mengurangi kekejamannya jika para penyihir diizinkan melatih anakanak


mereka sendiri”

“Jalan itu akan menimbulkan dinasti-dinasti yang berkompetisi, aliansi-aliansi


keluarga… semua itu akan mengakibatkan peperangan keturunan. Baca buku
sejarahmu, Martha: lihatlah apa yang terjadi di Italia. Jadi, jangan khawatir me-
66

ngenai anak itu. Dia masih muda. Dia akan melupakannya dengan cepat.
Sekarang, bagaimana jika kaubuatkan aku makan malam?”

Rumah penyihir Underwood berupa bangunan yang memberikan kesan ramping,


sederhana, berkelas di jalan itu, namun memanjang luas ke belakang dengan
banyak tangga, koridor, dan beberapa lantai berbeda. Ada lima tingkat secara
keseluruhan: ruang bawah tanah, dipenuhi rak-rak anggur, berkotak-kotak jamur
kalengan, dan bertumpuk-tumpuk kaleng buah kering; lantai dasar, berisi ruang
tamu, ruang makan utama, dapur, dan ruang kaca; dua lantai atas umumnya
berisi kamar mandi, kamar tidur, dan ruang belajar; dan paling atas, loteng di
bawah atap. Di ruangan inilah Nathaniel tidur, di bawah palang-palang rusuk
atap berpelitur yang miring.

Setiap pagi, saat subuh, Nathaniel dibangunkan suara berisik burung-burung


dara dari atap di atasnya. Celah kecil dengan kaca tembus pandang dipasang di
langit-langit. Melalui atap kaca itu, Nathaniel dapat melihat keluar ke cakrawala
langit London yang kelabu dan disapu hujan. Rumah itu berdiri di atas bukit dan
pemandangannya indah; di hari cerah dia dapat melihat menara radio Crystal
Palace jauh di seberang kota.

Kamar tidurnya dilengkapi perabotan murah dari kayu lapis, bufet kecil, meja
belajar dan kursi, juga lemari buku di sisi tempat tidur. Setiap minggu Mrs.
Underwood meletakkan serumpun bunga segar dari kebun dalam vas di meja.

Sejak hari pertama yang menyedihkan itu, istri si penyihir melindungi Nathaniel.
Dia menyukai anak itu dan amat baik terhadapnya. Di dalam rumah yang
terlindung, dia sering memanggil anak itu dengan nama lahirnya, melawan
ketidaksetujuan suaminya.

“Kita bahkan seharusnya tidak mengetahui nama bocah bengal itu,” dia berkata
kepada istrinya. “Dilarang! Dia bisa 67

kena bahaya. Saat dia dua belas tahun, saat umurnya telah cukup, dia akan
diberikan nama baru, nama yang dikenal orang, sebagai penyihir dan pria,
sepanjang sisa hidupnya. Sebelum itu, amat salah jika?”

“Siapa yang akan tahu?” istrinya memprotes. “Tak ada.


Nama itu membuat anak malang itu merasa nyaman.”

Mrs. Underwood satusatunya orang yang menggunakan nama lahir Nathaniel.


Guru-gurunya memanggilnya Underwood, seperti nama masternya. Masternya
sendiri hanya memanggilnya “Nak”.

Membalas kebaikan hatinya, Nathaniel memuja Mrs. Underwood.

Dia mendengarkan setiap kata wanita itu, mematuhi segala perintahnya.

Pada akhir minggu pertamanya berada di rumah itu, Mrs.

Underwood memberi Nathaniel hadiah.

“Ini untukmu,” katanya. “Sudah agak tua dan lusuh, tapi kukira kau mungkin
akan menyukainya.”

Benda itu lukisan perahu-perahu yang berlayar di sungai kecil, dikelilingi tanah
berlumpur dan lahan pertanian datar.

Permukaannya telah gelap termakan usia sehingga detail-detailnya nyaris tak


terlihat, namun Nathaniel segera jatuh sayang pada lukisan tersebut. Dia
memerhatikan Mrs. Underwood menggantungnya di dinding di atas meja
belajarnya.

“Kau akan menjadi penyihir, Nathaniel,” kata wanita itu, “dan itu hadiah terbesar
yang dapat diperoleh anak laki-laki atau perempuan. Orangtuamu telah
berkorban dengan merelakanmu menjalani takdir mulia ini. Tidak, jangan
menangis, Sayang. Maka untuk membalasnya kau harus menjadi tegar, berusaha
sekeras yang kau bisa, dan mempelajari segala yang ditugaskan guru-gurumu.
Dengan mengerjakan itu semua, kau akan memberikan penghormatan kepada
orangtua dan dirimu sendiri. Lihatlah keluar jendela. Berdiri di atas kursi itu.
Seka-68

rang?lihat ke sebelah sana; kau lihat menara kecil di kejauhan itu?”

“Yang itu?”

“Bukan, itu gedung perkantoran, Sayang. Yang kecil berwarna cokelat itu, di
sebelah kiri? Itu dia. Itu Gedung Parlemen, sayangku, tempat seluruh penyihir
andal pergi, untuk memerintah Inggris dan kerajaan kita. Mr. Underwood pergi
ke sana setiap waktu. Dan jika kau bekerja keras dan melakukan semua yang
diperintahkan mastermu, suatu hari nanti kau akan pergi ke sana juga, dan aku
akan merasa bangga, sebangga dirimu sendiri.”

“Ya, Mrs. Underwood.” Nathaniel menatap menara itu sampai matanya terasa
sakit, merekam letaknya di kepala. Pergi ke Parlemen… Suatu hari nanti itu akan
terjadi. Dia akan bekerja keras dan membuat Mrs. Underwood bangga.

Seiring waktu berjalan, dengan tuntunan terus-menerus dari Mrs. Underwood,


rasa rindu Nathaniel mulai memudar. Memori tentang orangtuanya meredup dan
rasa sakit hatinya berangsur hilang, sehingga dia tak merasakannya lagi.
Rutinitas pekerjaan dan pelajaran yang ketat membantu proses ini:
menghabiskan nyaris seluruh waktunya dan hanya menyisakan sedikit
kesempatan untuk melamun. Di hari-hari kerja, rutinitas dimulai dengan Mrs.
Underwood membangunkan dengan dua ketukan cepat di pintu kamarnya.

“Teh di luar, di tangga. Mulut, bukan kaki.”

Panggilan ini ritual yang berasal dari suatu pagi, ketika, dalam perjalanan ke
kamar mandi di bawah, Nathaniel menghambur keluar dari kamarnya dalam
keadaan kebelet, kakinya menabrak gelas, dan melontarkan teh panas ke dinding
di dasar tangga. Nodanya masih tampak bertahuntahun kemudian, seperti noda
percikan darah. Untung masternya tak pernah mengetahui insiden ini. Dia tak
pernah pergi ke loteng.

Setelah membersihkan diri di kamar mandi yang terletak di 69

lantai bawah kamarnya, Nathaniel akan mengenakan kemeja, celana pendek abu-
abu, kaus kaki panjang abu-abu, sepatu hi tarn resmi dan, jika sedang musim
dingin dan udara di dalam rumah terasa dingin, jumper Irlandia tebal yang
dibelikan Mrs. Underwood. Dia akan menyisir rambut dengan hatihati di depan
cermin tinggi di kamar mandi, matanya menyapu bayangan tubuh kurus dan rapi
dengan wajah pucat yang menatapnya dari cermin. Lalu dia turun lewat tangga
belakang menuju dapur, membawa pekerjaan sekolahnya. Sementara Mrs.
Underwood menyiapkan cornflake dan roti panggang, dia akan berusaha
menyelesaikan pekerjaan rumah yang ditinggalkannya semalam. Mrs.
Underwood biasanya membantu sebisanya.

“Azerbaijan? Ibukotanya Baku, kurasa.”


“Bakoo?”

“Ya. Lihat di atlasmu. Untuk apa kau mempelajari itu?”

“Mr. Purcell berkata aku harus menguasai Timur Tengah minggu ini?
mempelajari negara-negara dan sebagainya.”

“Jangan murung begitu. Roti bakarnya sudah siap. Well, penting bagimu untuk
mempelajari ‘sebagainya itu?kau harus mengetahui latar belakangnya sebelum
melanjutkan ke bagianbagian yang menarik.”

“Tapi ini sungguh membosankan”

“Itu yang kau tahu. Aku pernah ke Azerbaijan. Baku kota kumuh, tapi tempat itu
pusat penting untuk mempelajari afrit.”

“Apa itu?”

“Demon yang berasal dari api. Makhluk halus kedua yang paling kuat. Elemen
apinya sangat kuat di pegunungan Azerbaijan.

Itu juga tempat dimulainya keyakinan Zoroastrian; mereka memuja api kelahiran
yang berada dalam setiap makhluk hidup. Jika kau mencari selai cokelat, ada di
belakang sereal.”

“Kapan aku dapat melihat frit?”


70
“Afrit. Tidak dalam waktu dekat, jika kau tahu apa yang baik untukmu.
Sekarang, cepatlah habiskan sarapanmu?Mr.

Purcell menunggu.”

Setelah sarapan, Nathaniel akan mengumpulkan buku-buku pelajarannya dan


pergi ke atas ke ruang belajar di lantai pertama, tempat Mr. Purcell telah
menunggu. Gurunya pria muda berambut pirang yang mulai menipis, yang setiap
kali diratakan dengan sia-sia untuk menyembunyikan kulit kepalanya.

Dia mengenakan setelan abu-abu yang agak kebesaran dan serangkaian dasi
mengerikan berganti-ganti. Nama depannya Walter. Banyak yang membuatnya
gugup, dan berbicara dengan Mr. Underwood (yang harus dilakukannya sekali-
kali) membuatnya kedutan. Sebagai akibat .sarafnya yang selalu tegang, dia
menumpahkan rasa frustrasi pada Nathaniel. Dia pria yang terlalu bermoral
sehingga tidak bisa bertindak terlalu brutal pada anak itu, yang merupakan murid
kompeten; sebagai gantinya, biasanya dia? akan cepat membentak jika Nathaniel
berbuat kesalahan, menyalak seperti anjing kecil.

Nathaniel tidak belajar ilmu sihir dari Mr. Purcell. Gurunya itu tak tahu apa-apa
mengenai sihir. Maka dia harus mengajar pelajaran-pelajaran lain: matematika
dasar, bahasa modern (Prancis, Ceko), geografi, dan sejarah. Pelajaran politik
juga penting.

“Nah sekarang, Underwood muda,” Mr. Purcell berkata.

“Apakah tujuan utama pemerintah kita yang mulia?” Nathaniel menatap kosong.
“Ayolah! Ayolah!”

“Memerintah kita, Sir?”

“Melindungi kita. Jangan lupa bahwa negara kita dalam keadaan perang. Praha
masih menguasai dataran sebelah timur Bohemia, dan kita sedang berjuang
menghalangi angkatan daratnya memasuki wilayah Italia. Sekarang ini adalah
masamasa berbahaya. Para penghasut dan mata-mata berkeliaran di London. Jika
kerajaan kita ingin tetap tegak, pemerintahan 71
yang kuat harus mengaturnya, dan kuat berarti penyihir.

Bayangkan negara ini tanpa mereka! Akan tak terkirakan: orang-orang biasa
akan berkuasa! Kita akan terperosok ke dalam kekacauan, dan pengambilalihan
kekuasaan akan segera terjadi. Semua yang berada di pihak lawan dan anarki
akan memimpin kita. Inilah hal yang harus menjadi cita-citamu, Nak. Menjadi
bagian dari Pemerintah dan memimpin dengan terhormat. Ingadah itu.”

“Ya, Sir.”

“Harga diri adalah kualitas paling penting dalam diri penyihir,”

Mr. Purcell melanjutkan. “Orang yang memiliki kekuatan besar harus


menggunakannya dengan penuh pertimbangan.

Dulu, para penyihir liar pernah berniat menggulingkan kekuasaan: mereka selalu
dikalahkan. Mengapa? Karena penyihir sejati berjuang dengan kebajikan dan
keadilan di sisi mereka.”

“Mr. Purcell, apakah Anda penyihir?”

Sang guru meratakan rambut dan mendesah. “Bukan, Underwood.

Aku… tidak terpilih. Tapi aku tetap melaksanakan tugas sebaik mungkin.
Sekarang…”

“Kalau begitu, Anda commoner?orang biasa?”

Mr. Purcell menggebrak meja dengan telapak tangannya.

“Beraninya! Hanya aku yang boleh mengajukan pertanyaan!

Ambil busur derajatmu. Kita akan membahas geometri.”

Tak lama setelah berulang tahun kedelapan, kurikulum pelajaran Nathaniel


ditambah. Dia mulai belajar kimia dan fisika, juga sejarah agama. Dia juga mulai
mempelajari beberapa bahasa penting, termasuk Latin, Aramaic, dan Yahudi.

Segala aktivitas ini membuat Nathaniel sibuk sejak pukul 09.00 hingga saat
makan siang pukul 13.00, ketika dia turun ke dapur sendirian untuk melahap
sandwich yang telah disiapkan Mrs. Underwood dalam bungkus berembun Saran
Wrap.

Pada sore hari, jadwal pelajaran Nathaniel bervariasi. Dua hari seminggu,
Nathaniel melanjutkan pelajaran bersama Mr.
72
Purcell. Pada dua sore lain, dia dikawal ke ujung jalan menuju kolam renang
umum, tempat pria gemuk yang bentuk kumisnya mirip spatbor mobil
mengawasi latihan yang melelahkan.

Bersama segerombolan anak basah kuyup lainnya, Nathaniel harus berenang


bolak-balik berkali-kali menggunakan semua gaya renang yang pernah
diciptakan. Dia selalu terlalu malu atau terlalu lelah untuk berbicara dengan
murid renang lain, dan mereka, merasa Nathaniel bukanlah murid biasa, tak
pernah mendekatinya. Pada usia delapan tahun, Nathaniel telah dihindari dan
dikucilkan.

Pada dua sore yang lain lagi, aktivitas Nathaniel adalah musik (Kamis) dan
menggambar (Sabtu). Nathaniel lebih membenci musik daripada berenang.
Gurunya, Mr. Sindra, adalah pria gendut lekas marah yang dagunya bergetar jika
dia berjalan.

Nathaniel memerhatikan dagu itu dengan saksama: jika getarannya semakin


cepat, itu tanda pasti datangnya kemarahan.

Kemarahan selalu datang disertai depresi. Mr. Sindra nyaris tak pernah dapat
menahan kemurkaannya jika Nathaniel bermain terlalu cepat, salah membaca
not, atau tak berhasil membaca not tanpa memainkannya, dan hal-hal seperti ini
sering terjadi.

“Bagaimana,” Mr. Sindra berteriak, “kau dapat memanggil lamia jika kau
memetik seperti itu? Bagaimana? Keterlaluan!

Kemarikan benda itu!” Dia merampas dengan kasar lyre di tangan Nathaniel dan
memeluk alat musik itu di dadanya yang Iebar. Lalu, dengan kedua mata
terpejam seolah terbuai, dia mulai memainkannya. Suara melodi yang indah
memenuhi ruang belajar. Jari-jari Mr. Sindra yang pendek dan gemuk bergerak
seperti sosis yang menari di antara senar-senar lyre; di luar burung-burung
berhenti berkicau untuk mendengarkan.

Mata Nathaniel dipenuhi air mata. Memori dari masa lampau yang jauh
melayang-layang bagaikan hantu di depan matanya…
73
“Sekarang kau!” Musik itu berhenti dengan suara mendecit nyaring. Lyre itu
diserahkan kembali kepadanya. Nathaniel mulai memetik senarnya. Jari-jarinya
tergelincir dan bertautan; di luar bebetapa burung terjatuh dari pohon dalam
keadaan pingsan. Rahang Mr. Sindra gemetar seperti puding tapioka dingin.

“Dasar idiot! Stop! Apakah kau ingin lamia memangsamu?

Makhluk itu harus dibuat terpesona, bukan murka! Letakkan instrumen


menyedihkan itu. Kita akan mencoba seruling.”

Seruling atau lyre, suara nyanyian maupun suara sistrum?

apa pun yang dicoba Nathaniel, usahanya yang sia-sia selalu berujung
kemarahan dan keputusasaan. Jauh berbeda keadaannya dengan pelajaran
menggambar, yang berlangsung dengan damai dan baik di bawah asuhan
gurunya, Ms. Lutyens. Dengan tubuh langsing dan sifat manis, dia satusatunya
guru yang dapat diajak Nathaniel bicara dengan bebas. Seperti Mrs.

Underwood, Ms. Lutyens tak memedulikan status Nathaniel yang “tanpa nama”.
Dengan percaya diri, dia menanyakan nama Nathaniel, dan Nathaniel
memberitahukannya tanpa berpikir dua kali.

“Mengapa,” Nathaniel pernah bertanya pada suatu sore musim semi, ketika
mereka duduk di ruang belajar sementara angin sepoi-sepoi bertiup melalui
jendela yang terbuka, “mengapa aku menghabiskan seluruh waktuku untuk
meniru pola ini? Pola ini sulit dan membosankan. Aku lebih memilih
menggambar kebun, atau ruangan ini?atau Anda, Ms. Lutyens.”

Ms. Lutyens tertawa. “Menggambar sketsa bagus untuk para seniman, Nathaniel,
atau untuk wanita-wanita muda kaya yang tak punya pekerjaan lain. Kau takkan
menjadi seniman atau wanita muda kaya, tujuanmu mengangkat pensil sama
sekali berbeda dengan mereka. Kau akan menjadi ahli, ahli gambar teknis?kau
harus dapat meniru segala pola yang kauinginkan, dengan cepat, dengan percaya
diri, dan di atas segalanya, dengan akurat.”
74
Nathaniel memandang muram kertas yang terletak di meja di antara mereka.
Kertas itu menunjukkan gambar rumit daundaun bersulur, bungabunga, dan
tanaman rambat, dengan bentuk-bentuk abstrak terimpit di tengah-tengahnya.
Nathaniel menyalin gambar itu di buku sketsanya dan telah mengerjakannya
selama dua jam tanpa henti. Gambar itu kini setengah jadi.

“Rasanya tak ada gunanya, itu saja,” katanya lirih.

“Bukan tak ada gunanya,” jawab Ms. Lutyens. “Coba kulihat hasil pekerjaanmu.
Well, tidak jelek, Nathaniel, sama sekali tidak jelek, tapi lihat?tidakkah kaupikir
kubah menara ini tampak lebih besar daripada gambar aslinya? Lihat di sini?

Dan kau meninggalkan satu celah pada batang ini?ini kesalahan yang cukup
buruk.”

“Hanya kesalahan kecil. Sisanya lumayan, bukan?”

“Bukan itu intinya. Jika kau menyalin pentacle dan meninggalkan celah di
gambarmu, apa yang akan terjadi? Nyawamu akan menjadi taruhannya. Kau
belum ingin mati kan, Nathaniel?”

“Belum.”

“Nah. Singkatnya, kau tak boleh membuat kesalahan. Mereka akan


menyerangmu jika itu terjadi.” Ms. Lutyens menyandarkan punggungnya di
kursi. “Demi kebaikan, aku harus menyuruhmu mengulang gambar ini dari
awal.”

“Ms. Lutyens!”

“Mr. Underwood takkan menerima kurang dari ini.” Dia terdiam sesaat,
menimbang-nimbang. “Tapi mendengar seruanmu itu kupikir tak ada gunanya
mengharapkanmu membuat yang lebih baik pada kali kedua. Kita akan berhenti
sampai di sini hari ini. Bagaimana kalau kau keluar ke kebun saja?

Tampaknya kau butuh udara segar.”


Bagi Nathaniel, kebun di rumah itu adalah tempat menyendiri 75

dan beristirahat sementara. Tak ada pelajaran yang diadakan di kebun. Tempat
itu tidak memiliki memori tak menyenangkan.

Kebun itu panjang dan sempit serta dikelilingi tembok tinggi dari bata merah.
Rumpun tanaman mawar merambati tembok pada musim panas, dan enam
pohon apel menebarkan pucuk bunga putih di sekitar halaman. Dua semak
tanaman rhododendron terentang melebar ke tengah-tengah kebun?di seberang
semak-semak itu ada area tertutup yang terlindung dari pandangan jendela-
jendela di rumah. Di tempat ini rerumputan tumbuh tinggi dan basah. Pohon
horse chestnut dari halaman sebelah menjulang tinggi, dan bangku dari batu,
hijau tertutup lumut, terletak terlindung di bawah bayangan tembok tinggi.

Di sebelah bangku itu ada patung marmer berbentuk pria yang memegang
seberkas kilat di tangannya. Patung itu mengenakan jaket model Victoria dan
memiliki sepasang cambang raksasa yang menonjol di kedua pipinya seperti
capit kumbang.

Patung itu telah aus termakan cuaca dan ditutupi lapisan tipis lumut, namun tetap
memberikan kesan berkekuatan besar dan berkuasa. Nathaniel terkagum-kagum
padanya dan bahkan berani bertanya kepada Mrs. Underwood siapa sebetulnya
pria itu, tapi wanita itu hanya tersenyum.

“Tanya mastermu,” katanya. “Dia tahu segalanya.”

Tapi Nathaniel tidak berani.

Tempat yang nyaman ini, dengan keterkucilannya, bangku batunya, dan patung
penyihir yang tak dikenal, adalah tempat Nathaniel datang kapan saja dia butuh
menimbun keberanian sebelum memulai pelajaran dengan masternya yang
dingin dan tegas.
76
Saat berusia antara enam sampai delapan tahun, Nathaniel hanya bertemu
masternya sekali seminggu. Pada kesempatankesempatan itu, setiap Jumat sore,
berlangsung ritual besar.

Setelah makan siang, Nathaniel harus pergi ke lantai atas untuk membersihkan
diri dan mengganti kemeja. Lalu, tepat pada pukul 14.30, dia muncul di pintu
ruang duduk masternya di lantai satu. Dia akan mengetuk pintu tiga kali,
kemudian terdengar suara yang mempersilakannya masuk.

Masternya bersandar di kursi anyaman dekat jendela yang menghadap ke jalan.


Wajahnya biasanya tersembunyi di balik bayangan. Cahaya yang memancar dari
jendela mengitarinya seperti kabut remang-remang. Saat Nathaniel masuk,
tangan panjang dan kurus akan melambai ke arah tumpukan tinggi bantalan kursi
yang terletak di bangku Oriental di dinding seberang ruangan. Nathaniel akan
mengambil sebuah bantalan kursi dan meletakkannya di lantai. Kemudian dia
duduk, dengan dada berdebar, mendengarkan dengan saksama agar 77

dapat menangkap setiap nada suara masternya, takut bila ada yang terlewatkan.

Pada tahuntahun awal, si penyihir biasanya puas dengan hanya bertanya


mengenai pelajaran-pelajaran anak lelaki itu, mengundangnya mendiskusikan
vektor, aljabar, atau prinsip probabilitas, memintanya menjabarkan dengan
singkat sejarah Praha atau mengulang, dalam bahasa Prancis, kejadian-kejadian
penting dalam perang Salib. Jawaban-jawabannya nyaris selalu memuaskan?
Nathaniel cepat belajar.

Pada kesempatankesempatan langka, sang master menyuruh Nathaniel berhenti


di tengah-tengah jawaban dan dia sendiri akan berbicara mengenai beberapa
objek dan keterbatasan sihir.

“Penyihir,” katanya, “adalah pengguna kekuasaan. Penyihir melaksanakan


keinginannya dan memengaruhi perubahan. Dia dapat melakukannya dengan
motif egois atau demi kebaikan.

Perbuatannya dapat menghasilkan sesuatu yang baik atau buruk, tapi satusatunya
penyihir buruk adalah yang tidak kompeten.
Apakah definisi inkompetensi, Nak?”

Nathaniel beringsut di bantalan kursinya. “Kehilangan kontrol.”

“Benar. Jika penyihir tetap mengontrol setiap kekuatan yang diperintahkannya


untuk bekerja, dia akan tetap?dia akan tetap apa?”

Nathaniel bergerak maju-mundur. “Eh…”

“Tiga S, Nak, tiga S. Gunakan otakmu.”

“Safe?aman, secret?rahasia, strong?kuat, Sir.”

“Benar. Apakah rahasia besarnya?”

“Makhluk halus, Sir.”

“Demon, Nak. Sebut mereka seperti apa adanya. Apakah yang tak boleh
dilupakan seseorang?”

“Demon adalah makhluk jahat dan akan melukai kita jika bisa, Sir.” Suara
Nathaniel bergetar ketika mengucapkan ini.

“Bagus, bagus. Kau memiliki ingatan yang amat tajam, itu 78

pasti. Berhati-hatilah dalam melafalkan kata-katamu?aku dengar lidahmu


terpeleset tadi. Salah melafalkan sebuah suku kata pada saat yang tidak tepat
akan memberi demon kesempatan yang dicari-carinya.”

“Ya, Sir.”

“Jadi, demon-lah rahasia besarnya. Para commoner sadar akan keberadaan


mereka dan tahu kita dapat berkomunikasi dengan mereka?itulah sebabnya
mereka takut pada kita! Namun mereka tak menyadari seluruh kebenarannya,
yaitu semua kekuatan kita berasal dari demon. Tanpa bantuan demon, kita tak
lain hanyalah pesulap murahan dan tukang obat. Satusatunya kemampuan kita
yang terbesar adalah memanggil mereka dan membuat mereka mematuhi
perintah kita. Jika kita melakukannya dengan benar, mereka hams mematuhi
kita. Jika kita membuat kesalahan sedikit saja, mereka akan menyerang kita dan
mencabik-cabik kita hingga menjadi serpihan. Kita melangkah pada sehelai
benang tipis, Nak. Berapa umurmu sekarang?”

“Delapan, Sir. Sembilan minggu depan.”

“Sembilan? Bagus. Kalau begitu, minggu depan kita akan mulai mempelajari
ilmu sihir yang sesungguhnya. Mr. Purcell sekarang sibuk memberikan basis
pelajaran yang memadai soal pengetahuan dasar. Setelah ini kita akan bertemu
dua kali seminggu, dan aku akan mulai memperkenalkanmu dengan dalil sentral
orde kita. Meski begitu, hari ini kita akhiri dengan kau mengulang alfabet
Yahudi dan dua belas angka pertamanya.

Lanjutkan.”

Di bawah pengawasan master dan para gurunya, pendidikan Nathaniel maju


pesat. Dengan gembira, dia melaporkan perkembangan pelajaran tiap harinya
kepada Mrs. Underwood dan merasa berbungabunga karena dihujani pujian
wanita itu.

Pada sore hari, dia akan menatap ke luar jendela kamarnya, ke 79

arah cahaya kuning di kejauhan yang menandakan menara gedung-gedung


Parlemen, dan melamunkan hari saat dia pergi ke sana sebagai penyihir, sebagai
salah satu menteri dalam pemerintahan yang terhormat.

Dua hari setelah ulang tahunnya yang kesembilan, masternya muncul di dapur
saat dia sarapan.

“Tinggalkan itu dan ikut denganku,” kata si penyihir.

Nathaniel mengikutinya menyusuri lorong dan masuk ke ruangan yang


merupakan perpustakaan masternya. Mr. Underwood berdiri di sebelah rak buku
besar yang dipenuhi buku berbagai ukuran dan warna, mulai dari kamus
bersampul kulit yang tampak antik hingga yang bersampul tipis dan menguning
rapuh dengan simbol-simbol mistis tak beraturan di permukaannya.

“Ini bahan bacaanmu untuk tiga tahun ke depan,” kata masternya, mengetuk-
ngetuk permukaan rak buku. “Saat berusia dua belas tahun, kau sudah harus
menghafal seluruh isinya. Buku-buku ini ditulis dalam bahasa Inggris
Pertengahan, Latin, Ceko, dan Yahudi sebagian besar, walaupun kau juga akan
menemukan yang dalam bahasa Coptic tentang ritual kematian Mesir. Ada
kamus Coptic untuk membantumu membaca.

Terserah padamu bagaimana kau membaca semuanya; aku tak punya waktu
untuk menolongmu. Mr. Purcell akan membantumu meningkatkan kemampuan
bahasamu dengan cepat. Mengerti?”

“Ya, Sir. Sir?”

“Apa, Nak?”

“Jika saya telah selesai membaca ini semua, Sir, apakah saya akan mengetahui
semua yang diperlukan? Untuk menjadi penyihir, maksud saya. Tampaknya
semua amat banyak.”

Masternya mendengus; alisnya naik.

“Lihat ke belakangmu,” katanya.

Nathaniel memutar tubuh. Di balik pintu ada rak buku 80

yang menjulang dari lantai hingga langit-langit; dipenuhi ratusan buku, setiap
buku lebih tebal dan lebih berdebu dibandingkan sebelumnya, jenis buku yang,
orang dapat mengetahuinya tanpa membukanya, berisi tulisan-tulisan kecil
dalam dua kolom di setiap halamannya. Nathaniel menelan ludah.

“Baca semua buku itu;” kata masternya dengan nada kering, “dan kau mungkin
akan berhasil menuju ke suatu tempat. Rak itu memuat ritual dan mantra yang
kauperlukan untuk memanggil demon tertentu; dan kau bahkan belum akan
memulainya hingga kau berusia remaja, maka singkirkanlah dari pikiranmu. Rak
milikmu”?dia mengetuk-ngetukkan jari di permukaan kayunya
lagi?”memberikan pengetahuan persiapan dan sudah lebih dari cukup untuk saat
ini. Sekarang, ikut aku.”

Mereka melanjutkan berjalan ke ruang belajar yang belum pernah dikunjungi


Nathaniel. Sejumlah besar botol dan tabung disimpan di sana dalam rak-rak
bernoda dan kotor, diisi cairan berbagai warna. Beberapa botol itu berisi benda-
benda yang melayang-layang di dalamnya. Nathaniel tak dapat memastikan
apakah ketebalan dan bentuk melingkar kaca botol-botol itu yang menyebabkan
benda-benda di dalamnya tampak menyeramkan dan aneh.
Masternya duduk di bangku tinggi di hadapan meja kerja kayu sederhana dan
memberi tanda agar Nathaniel duduk di sebelahnya. Dia mendorong kotak tipis
di meja. Nathaniel membukanya. Di dalamnya ada sepasang kacamata kecil.
Sepotong memori samar-samar membuatnya merinding hebat.

“Well, keluarkan benda itu, Nak, dia takkan menggigit.

Begitu. Sekarang lihat aku. Perhatikan mataku; apa yang kaulihat?”

Dengan enggan, Nathaniel melihat. Dia merasa sulit memandang mata galak
berwarna cokelat milik pria tua itu, dan akibatnya otaknya membeku. Dia tak
melihat apa-apa.
81
“Well?”

“Mm, mm… maaf, saya tidak…”

“Lihat di sekitar lingkaran biji mataku?ada sesuatu di sana?

“Mm…”

“Oh, dasar bodoh!” Masternya berseru frustrasi dan menarik kulit bawah
matanya, menampakkan bagian merah di dalamnya.

“Tak dapatkah kau melihat? Lensa, Nak! Lensa kontak! Di seputar bagian tengah
mataku! Lihat?”

Dengan putus asa, Nathaniel melihat lagi, dan kali ini dia memang melihat
lingkaran samar, tipis seperti garis pensil di seputar biji mata, menutupinya.

“Ya, Sir,” katanya bersemangat. “Ya, saya melihatnya.”

“Akhirnya. Baiklah.” Masternya duduk santai kembali di bangku tinggi. “Saat


kau berusia dua belas tahun, dua hal penting akan terjadi. Pertama, kau akan
diberi nama baru, yang akan kaugunakan. Mengapa?”

“Untuk mencegah demon menguasai diri saya dengan cara mengetahui nama
lahir saya, Sir.”

“Benar. Penyihir-penyihir lawan akan sama berbahayanya, tentu saja. Kedua,


kau akan menerima sepasang lensa baru, yang dapat kaupakai setiap saat. Lensa
itu akan membantumu melihat sebagian kecil muslihat para demon. Sebelum itu
kau akan menggunakan kacamata ini, tapi hanya jika disuruh, dan tak ada alasan
membawa kacamata ini keluar dari ruang belajar ini. Mengerti?”

“Ya, Sir. Bagaimana cara kacamata ini membantu melihat menembus sesuatu,
Sir?”

“Saat demon berubah wujud, mereka dapat menjadi bentuk apa saja, bukan
hanya dalam dunia keberadaan ini, tapi juga dalam beberapa tingkatan
keberadaan?aku akan memberikan pelajaran mengenai beberapa plane ini
segera, jangan bertanya sekarang. Beberapa demon tingkat tinggi bahkan bisa
menjadi 82

tidak kasatmata; kekejaman perilaku mereka tak ada habisnya.

Lensa-lensa itu, dan kacamata itu bagi skala yang lebih kecil, akan membantumu
melihat dalam beberapa plane sekaligus, memberikan kesempatan bagimu untuk
melihat menembus ilusi mereka. Perhatikan?”

Master Nathaniel meraih rak penuh berisi botol di belakangnya dan memilih
botol kaca besar yang mulutnya ditutup sumbat dan lilin perekat. Di dalamnya
ada cairan garam kehijauan dan tikus mati, bulu-bulunya cokelat dan berdaging
pucat. Nathaniel mengernyit. Masternya menatapnya.

“Menurutmu ini apa, Nak?” dia bertanya.


83
“Tikus, Sir.”

“Jenis apa?”

“Jenis yang berwarna cokelat. Rattus norvegicus, Sir.”

“Bagus. Bahasa Latin pula, heh? Bagus sekali. Salah sama sekali, tapi tetap saja
bagus. Ini sama sekali bukan tikus. Pakai kacamatamu dan lihat lagi.”

Nathaniel mengerjakan apa yang disuruh. Kacamata itu terasa dingin dan berat
di hidungnya. Dia memandang melalui kacanya yang buram, butuh satu atau dua
detik untuk menjadi fokus. Ketika botol itu tampak di depan matanya, Nathaniel
tersentak. Tikus itu telah hilang. Sebagai gantinya tampak makhluk kecil
berwarna hitam dan merah dengan wajah seperti spons, sayap seperti kumbang,
dan perut bagian bawah berbentuk akordion. Mata makhluk itu terbuka dan
ekspresinya terluka. Nathaniel membuka kacamata dan melihat lagi. Si tikus
cokelat tampak mengambang dalam cairan, seperti acar.

“Astaga,” katanya.

Masternya mendengus. “Scarlet Vexation, ditangkap dan dibotolkan Institut


Medis di Lincoln’s Inn. Sesosok imp kecil, tapi terkenal sebagai penebar wabah.
Dia hanya dapat berubah wujud menjadi tikus di plane material. Pada plane-
flane lainnya, wujud aslinya tampak.”

“Apakah dia sudah mati, Sir?” tanya Nathaniel.

“Hmm? Mati? Kupikir begitu. Jika tidak, dia pasti akan marah. Dia telah berada
dalam botol itu selama setidaknya lima puluh tahun?aku mewarisinya dari
masterku.”

Dia mengembalikan botol itu ke rak. “Kaulihat, Nak,” dia melanjutkan, “bahkan
demon yang paling kecil pun kekuatannya jahat, berbahaya, dan licik. Kita tak
boleh melepaskan kesiagaan walau sebentar saja. Perhatikan ini.”

Dari belakang pembakar bunsen, dia mengambil kotak segi empat dari kaca yang
sepertinya tak memiliki tutup. Enam makhluk kecil berdengung di dalamnya,
membentur-bentur dinding penjara mereka. Dari kejauhan mereka tampak
seperti serangga; setelah melihat dari jarak dekat, Nathaniel menyadari kaki
mereka terlalu banyak untuk ukuran serangga.

“Makhluk-makhluk kecil ini,” masternya berkata, “mungkin wujud demon yang


paling rendah. Nyaris tak memiliki inteligensi.

Kau tak memerlukan kacamata untuk melihat wujud asli mereka. Tapi bahkan
mereka ini dapat menimbulkan masalah jika tak ditangani dengan tepat. Kau
lihat sengat berwarna jingga di bawah ekor mereka? Sengat-sengat itu
menimbulkan bengkak menyakitkan pada tubuh korbannya; jauh lebih buruk
daripada sengatan lebah atau tawon. Mereka menjadi metode yang dikagumi
untuk menghukum seseorang, entah dia pesaing menyebalkan… atau murid yang
tak menurut.”

Nathaniel memerhatikan serangga-serangga kecil yang marah itu membenturkan


kepala mereka ke dinding kaca. Dia mengangguk kuat. “Ya, Sir.”

“Makhluk-makhluk kecil yang galak.” Masternya menyingkirkan kotak itu.


“Tapi hanya diperlukan kata-kata perintah yang tepat dan mereka akan mematuhi
semua instruksi. Mereka merupakan demonstrasi, dalam skala terkecil, mengenai
prinsip keahlian kita. Kita memiliki alat-alat berbahaya yang harus kita 84

kontrol. Kini kita akan mulai mempelajari cara melindungi diri.”

Nathaniel segera mengetahui bahwa masih lama sekali baru dia akan diizinkan
menggunakan peralatan-peralatan itu sendiri.

Dia belajar dengan masternya dalam ruangan itu dua kali seminggu, dan selama
berbulan-bulan dia tak melakukan apaapa selain mencatat. Dia belajar tentang
prinsip penggunaan pentacle dan seni tulisan kuno. Dia mempelajari ritual
pensucian yang benar yang harus diperhatikan penyihir sebelum mulai
memanggil makhluk halus. Dia disuruh mengaduk dan menumbuk campuran
dupa yang akan menarik demon atau menyingkirkan yang tak diinginkan. Dia
memotong-motong lilin menjadi berbagai ukuran dan mengaturnya menjadi
beberapa pola. Tapi tak sekali pun masternya memanggil sesuatu.

Tak sabar akan kemajuan pelajarannya, di waktu senggangnya Nathaniel asyik


dengan buku-buku di raknya dalam perpustakaan.
Dia membuat Mr. Purcell terkesan karena rasa laparnya akan pengetahuan. Dia
bekerja keras dalam pelajaran menggambar bersama Ms. Lutyens,
menumpahkan kemampuannya pada pentacle yang dia buat di bawah pandangan
tajam masternya. Dan selama itu, kacamatanya tertimbun debu di rak dalam
ruang belajar.

Ms. Lutyens adalah satusatunya orang tempat dia menumpahkan rasa


frustrasinya.

“Sabar,” wanita itu berkata padanya. “Kesabaran adalah hal terpenting. Jika
terburuburu, kau akan gagal. Dan kegagalan amat menyakitkan. Kau harus selalu
rileks dan berkonsentrasi pada pekerjaanmu sekarang. Nah, kalau kau sudah
siap, aku ingin kau membuat gambar itu lagi, tapi kali ini dengan mata tertutup.”

Enam bulan setelah masa pelatihannya, Nathaniel menyaksikan pemanggilan roh


untuk pertama kalinya. Dia amat sebal 85

karena tak diikutsertakan melakukannya. Masternya menggambar pentacle,


termasuk pentacle kedua tempat Nathaniel harus berdiri di dalamnya. Nathaniel
bahkan tak diizinkan menyalakan lilin dan, yang lebih buruk lagi, dia tak
diperkenankan mengenakan kacamata.

“Bagaimana saya bisa melihat?” dia bertanya, agak terlalu kasar daripada
biasanya bila berbicara dengan masternya; tatapan masternya dengan mata agak
menyipit segera membuatnya tutup mulut.

Pemanggilan itu berlangsung mengecewakan. Setelah merapalkan mantra, yang


dengan lega didapati Nathaniel bahwa dia mengerti sebagian besar di antaranya,
tampaknya tak terjadi apa-apa. Angin sepoi-sepoi berembus ke dalam ruang
belajar; selain itu semua hening. Pentacle yang kosong tetap kosong.

Masternya berdiri di dekatnya, mata terpejam, seperti tertidur. Nathaniel menjadi


amat bosan. Tungkainya mulai sakit. Rupanya demon yang satu ini memutuskan
tidak datang.

Mendadak, dia menyadari dengan terkejut bahwa beberapa lilin di salah satu
pojok ruangan telah tumbang. Setumpuk kertas terbakar, dan apinya menyebar.
Nathaniel berseru kaget dan melangkah…

“Diam di tempat!”
Jantung Nathaniel nyaris berhenti berdetak karena ketakutan.

Dia membeku dengan satu kaki terangkat. Mata masternya terbuka dan
memandangnya tajam dengan tatapan marah. Dengan suara menggelegar,
masternya merapalkan tujuh Kata Pembebasan. Api di pojok ruangan lenyap,
beserta kertas-kertas yang terbakar; lilin-Iilin itu kembali tegak berdiri dan
menyala dengan tenang. Jantung Nathaniel bagai mengerut di dadanya.

“Melangkah keluar dari lingkaran, ya?” Tak pernah dia mendengar suara
masternya begitu bengis. “Aku telah memberitahumu bahwa beberapa dari
mereka tetap tak terlihat. Mereka ahli ilusi dan tahu seribu cara untuk
mengalihkan perhatian serta 86

membujukmu. Satu langkah lagi dan kau sendiri akan tersambar api. Pikirkan itu
sementara kau kelaparan malam ini.

Pergi ke kamarmu!”

Pemanggilan-pemanggilan berikutnya tak terlalu membuat depresi. Hanya


dituntun indra biasanya, Nathaniel memerhatikan demon-demon dalam berbagai
bentuk yang menipu. Beberapa muncul dalam wujud binatang yang sehari-hari
biasa ditemui?

kucing mengeong, anjing bermata besar, hamster pincang menyedihkan yang


membuat Nathaniel tergoda untuk mengangkatnya. Burung-burung kecil yang
manis melompat dan mematuk garis tepi lingkaran mereka. Suatu kali, hujan
pucuk bunga apel jatuh dari langit, memenuhi ruangan dengan keharuman tajam
dan membuat Nathaniel mengantuk.

Dia belajar melawan segala jenis bujukan. Beberapa roh tak kasatmata
menyerangnya dengan bau memuakkan yang membuatnya muntah; yang lain
memesonanya dengan bau parfum yang mengingatkannya akan parfum Ms.
Lutyens atau Mrs.

Underwood. Beberapa berusaha menakut-nakutinya dengan suarasuara


mengerikan?dengan suara koyakan, bisikan, dan seruan-seruan yang tak
tertangkap artinya. Dia mendengar suarasuara aneh memanggil memohon-
mohon, mula-mula bernada tinggi, lalu jatuh menjadi rendah dan makin rendah
sehingga menjadi mirip lonceng pemakaman. Namun dia berhasil menutup
pikiran dari semua ini dan tak pernah sekali pun tergoda keluar dari lingkaran.
Satu tahun telah lewat sebelum Nathaniel diperkenankan mengenakan kacamata
pada tiap pemanggilan. Sekarang dia dapat memerhatikan setiap demon dalam
wujud asli mereka.

Beberapa, yang sedikit lebih kuat, dapat mempertahankan ilusi mereka bahkan
pada plane-plane lain yang terdeteksi. Terhadap seluruh persepsi
membingungkan ini Nathaniel menyesuaikan diri dengan tenang dan percaya
diri. Pelajaran-pelajarannya 87

mengalami kemajuan pesat, rasa percaya dirinya meningkat.

Dia menjadi lebih tegar, lebih lentur, lebih bertekat untuk maju. Dia
menghabiskan seluruh waktu senggangnya mempelajari manuskrip-manuskrip
baru.

Sang master puas akan kemajuan muridnya dan Nathaniel, biarpun tak sabar
dengan kecepatan tahapan pelajarannya, amat senang akan apa yang telah
dipelajarinya. Mereka memiliki hubungan yang produktif, biarpun tidak dekat,
dan mungkin akan terus berlanjut seperti itu jika tak ada insiden mengerikan
yang terjadi pada musim panas sebelum ulang tahun Nathaniel yang kesebelas.
88
Akhirnya, subuh datang juga.

Cahaya pertama yang muncul malu-malu berkelip di langit timur. Lingkaran


cahaya perlahan-lahan muncul dari cakrawala di atas daerah pelabuhan itu. Aku
menyorakinya. Matahari muncul tepat pada waktunya.

Sepanjang malam tadi terjadi urusan yang melelahkan dan kadang-kadang


memalukan. Aku berulang kali harus mengendap-endap, bersembunyi diam-
diam, dan kabur, setiap kali dengan urutan itu, nyaris di seluruh distrik pos di
London.

Aku dikasari gadis berusia tiga belas tahun. Aku bersembunyi di tong sampah.
Dan sekarang, untuk menutup segalanya, aku meringkuk di atap Westminster
Abbey, berpura-pura menjadi patung gargoyle. Keadaan tak mungkin lebih
buruk daripada ini.

Seberkas sinar matahari terbit menimpa bagian pinggir Amulet, yang tergantung
di leherku yang berlumut. Amulet itu memantulkan sinar matahari, terang
bagaikan pantulan kaca. Otomatis aku mengangkat sebelah cakarku untuk me-89

nutupinya, kalaukalau ada yang mengawasi, tapi aku tak terlalu khawatir.

Aku meringkuk dalam tong sampah di gang itu selama dua jam, cukup lama
untuk beristirahat, dan bau sayuran busuk terserap di sekujur tubuhku. Lalu ide
cemerlang muncul di kepalaku untuk menyamar sebagai salah satu patung
penghuni gereja. Di sana aku terlindung ornamen-ornamen sihir yang melimpah
di dalam gedung?ornamen-ornamen itu menutupi sinyal Amulet.1 Dari sudut
pandangku yang menguntungkan, sekarang aku melihat beberapa sphere di
kejauhan, tapi tak ada yang mendekat. Akhirnya malam berlalu, dan para
penyihir yang memburuku telah lelah. Sphere-sphere yang berkeliaran di langit
meredup dan padam. Ketegangan telah lewat.

Ketika matahari terbit, aku menunggu panggilan dengan tidak sabar. Anak lelaki
itu berkata akan memanggilku saat subuh, tapi tak diragukan lagi dia akan terus
tidur seperti umumnya remaja malas.
Sementara menunggu, aku menyusun pikiran-pikiranku.

Satu hal yang pasti adalah anak itu telah dikibuli penyihir dewasa, semacam
bayangbayang pengaruh yang ingin mengalihkan kesalahan kepada anak itu. Tak
sulit menebaknya?tak ada anak seumurnya yang sanggup memanggilku untuk
melaksanakan tugas sebesar ini sendiri. Kemungkinannya adalah si penyihir
misterius ini ingin menjatuhkan Lovelace dan merebut kekuatan Amulet. Jika
benar, dia mempertaruhkan segalanya.

1 Banyak penyihir besar dari abad kesembilan belas dan kedua puluh
dimakamkan di Westminster Abbey setelah (dan dalam satu atau dua kasus,
beberapa saat sebelum) mereka meninggal. Nyaris semua membawa minimal
satu artefak berkekuatan tinggi ke dalam kubur. Ini lebih daripada sekadar untuk
memamerkan kekayaan dan kekuatan mereka, sekaligus membuat benda-benda
tersebut mubazir.

Ini cara untuk dengan licik menghindari benda-benda itu jatuh ke tangan pewaris
mereka?penyihir-penyihir lain tidak mau mengambil benda-benda dari kuburan
tersebut karena takut akan pembalasan dari dunia supernatural.
90
Dilihat dari besarnya jumlah pemburu yang baru saja berhasil kuhindari,
beberapa manusia berpengaruh amat merisaukan hilangnya amulet ini.

Bahkan jika sendirian, Simon Lovelace adalah masalah menakutkan.

Fakta bahwa dia dapat mempekerjakan (dan mengikat) Faquarl dan Jabor
membuktikan itu. Rasanya anak itu takkan memiliki kesempatan hidup jika si
penyihir menemukannya.

Lalu ada gadis itu, anak non-penyihir yang kawan-kawannya dapat melawan
sihirku dan melihat menembus ilusiku. Beberapa abad telah berlalu sejak
terakhir kali aku berurusan dengan manusia sejenis mereka, karena itulah
menemukan mereka di London sini membuatku tertarik. Apakah mereka
mengerti atau tidak akibat kekuatan mereka, sulit diketahui.

Si gadis sepertinya tak tahu persis apa amulet ini, hanya bahwa barang ini cukup
berharga untuk dimiliki. Dia pasti tidak berkomplot dengan Lovelace atau si
bocah. Aneh… aku tak dapat melihat apa sebetulnya kepentingan gadis itu
dalam hal ini.

Oh well, ini takkan menjadi masalahku. Sinar matahari menerpa atap gereja.
Aku mengizinkan sayap-sayapku meregang sedikit dengan nyamannya.

Pada detik itu, panggilan datang.

Seribu kail pancing seakan menancap pada diriku. Aku ditarik ke beberapa arah
sekaligus. Bertahan terlalu lama akan merobek inti rohku, tapi aku memang tak
ingin berlama-lama.

Aku ingin segera menyerahkan Amulet dan pergi.

Dengan harapan yang menjulang tinggi dalam benakku, aku mematuhi panggilan
itu, menghilang dari atap…

…dan muncul seketika di kamar anak itu. Aku melihat sekeliling.

“Baiklah, apa ini?”


91
eBook oleh

Nurul Huda Kariem MR. MR. Collection’s

“Aku memerintahkanmu, Bartimaeus, untuk mengatakan apakah kau telah


melaksanakan tugasmu dengan patuh dan berhasil?”

“Tentu saja?memangnya menurutmu ini apa, perhiasan imitasi?” Aku menunjuk


dengan cakar gargoyle-ku ke Amulet yang tergantung di leherku. Amulet itu
bergoyang dan berpendar ditimpa cahaya lilin yang bergetar. “Amulet
Samarkand.

Benda ini tadinya milik Simon Lovelace. Sekarang jadi milikmu.

Tak lama akan menjadi milik Simon Lovelace lagi. Ambil dan nikmatilah
konsekuensinya. Aku tadi mau bertanya tentang pentacle yang kaugambar ini:
huruf kuno apa ini? Garis tambahan ini?”

Anak lelaki itu membusungkan dada. “Pentacle Adelbrand.”

Jika aku tidak berpengalaman, aku berani bersumpah dia menyeringai mengejek,
raut wajah yang tak wajar untuk orang semuda dia.

Pentacle Adelbrand. Itu artinya masalah. Aku berlagak memeriksa garisgaris


berbentuk bintang dan lingkaran itu dengan dramatis, mencari-cari celah kecil
atau garis tidak lurus di sapuan kapur itu. Lalu aku membaca tulisan-tulisan
kuno dan simbol-simbolnya dengan teliti.

“Aha!” aku mengaum. “Kau salah melafalkan yang ini! Dan kau tahu apa itu
artinya, bukan…?” Aku menekuk tubuhku seperti kucing yang siap menerkam.

Wajah anak itu berubah menjadi campuran warna putih dan merah yang
menarik; bibir bawahnya bergetar; matanya melotot. Tampaknya dia sangat ingin
melarikan diri, tapi dia tak melakukannya, maka rencanaku pun berantakan.2
Cepatcepat dia memeriksa tulisan-tulisan di lantai.
2 Jika penyihir meninggalkan lingkarannya sementara pemanggilan berlangsung,
kuasanya terhadap si korban akan terputus. Aku berharap itu terjadi, maka aku
akan terbebas. Kebetulan, hal itu juga memungkinkan aku melangkah keluar dari
pentacle dan menyerangnya.
92
“Demon bernyali ciut! Pentacle ini rapat?mengikatmu dengan ketat!”

“Oke, aku bohong.” Tubuhku mengerut. Sayap-sayapku yang terbuat dari batu
melipat di bawah punukku. “Kau mau amulet ini atau tidak?”

“T-taruh di dalam mangkuk itu.”

Mangkuk sabun kecil terletak di lantai di antara lingkaran terluar kedua pentacle.
Aku mengambil Amulet dan dengan rasa lega yang besar melemparkannya
dengan santai ke mangkuk.

Anak lelaki itu membungkuk untuk mengambilnya. Dari ujung mataku aku
memerhatikannya dengan saksama?jika satu kaki, satu jari, keluar dari
lingkarannya, aku akan menyergapnya lebih cepat daripada belalang yang
sedang berburu.

Tapi anak itu tahu apa yang harus dilakukan. Dia mengeluarkan sebatang ranting
dari saku jaketnya yang lusuh. Di ujung ranting itu tertempel kaitan dari kawat
yang kelihatannya mirip penjepit kertas yang bengkok-bengkok. Dengan
beberapa sodokan dan entakan, dia berhasil mengait tepi mangkuk itu dan
menariknya ke dalam lingkarannya. Lalu dia mengambil rantai amulet itu,
sambil mengernyitkan hidung.

“Uh, baunya busuk!”

“Bukan gara-gara aku. Salahkan saja Pipa Pembuangan Rotherhithe.

Jangan, kalau dipikir-pikir lagi, salahkan dirimu sendiri. Aku menghabiskan


sepanjang malam berusaha menghindari sergapan gara-gara kau. Kau beruntung
aku tak menyelam di sana.”

“Kau dikejar-kejar?” Suaranya nyaris terdengar bersemangat.

Emosi yang salah, Nak?cobalah merasa takut.

“Oleh setengah kompi makhluk halus di London.” Aku memutar bola mata
batuku dan mengatupkan paruhku yang bertanduk.
“Jangan salah, Nak, mereka akan datang kemari, bermata kuning dan haus darah,
siap membekukmu. Kau akan tak berdaya, tak memiliki perlindungan untuk
melawan ke-93

kuatan mereka. Kau hanya punya satu kesempatan; bebaskan aku dari lingkaran
ini dan aku akan membantumu lolos dari genggaman mereka.”3

“Kau pikir aku tolol?”

“Amulet yang berada di tanganmu telah menjawab pertanyaan itu. Well, tak
mengapa. Aku telah melaksanakan perintah, tugasku selesai. Untuk sisa masa
hidupmu yang singkat, selamat tinggal!” Wujudku meredup, mulai lenyap. Riak-
riak kecil uap mengepul dari lantai seakan hendak menelanku dan membawaku
pergi. Cuma harapan kosong?Pentacle Adelbrand takkan membiarkan hal itu
terjadi.

“Kau tak dapat pergi! Aku memiliki tugas lain untuk engkau.”

Lebih daripada segel penahanan baruku yang sekarang, pernyataan-pernyataan


kuno seperti ini membuatku sebal setengah mati. Engkau, demon bernyali ciut?
yang benar saja!

Tak ada yang menggunakan bahasa seperti itu sekarang, dan sudah tak pernah
terdengar sejak dua ratus tahun lalu. Setiap orang bisa menganggap dia
mempelajari ini semua dari buku kuno.

Tapi ada engkau atau tidak, dia benar. Kebanyakan pentacle biasa akan
mengikatmu pada satu tugas saja. Laksanakan, lalu kau bebas untuk pergi. Jika si
penyihir membutuhkanmu lagi, dia harus mengulangi dari awal semua ritual
tetek-bengek melelahkan untuk memanggilmu. Tapi Pentacle Adelbrand
mengenyahkan semua kerepotan itu: garisgaris dan mantramantra tambahannya
seperti mengunci pintu dengan kunci dobel dan menahanmu secara paksa untuk
tugas-tugas selanjutnya.

Ini formula sihir yang kompleks dan membutuhkan stamina serta konsentrasi
orang dewasa, dan ini memberiku amunisi untuk seranganku berikutnya.

3 Yap, dengan menghancurkannya dengan tanganku sendiri sebelum mereka


datang.
94
Aku membiarkan uap menipis. “Nah, di mana dia sekarang?”

Anak lelaki itu sibuk membolak-balik Amulet di tangannya yang pucat. Dia
menengadah heran. “Siapa yang di mana?”

“Si bos, mastermu, sang eminence grise, yang berkuasa di balik takhta. Pria yang
menyuruhmu melakukan pencurian ini, yang memberitahumu apa yang harus
kaukatakan dan harus kaugambar. Pria yang akan berdiri tak tersentuh di balik
bayangan saat jin-jin Lovelace melemparkan mayatmu yang tercabik-cabik ke
atas atap-atap rumah London. Dia bermainmain dengan sesuatu yang tak
kaupahami, memanfaatkan kebodohan dan kesombongan jiwa mudamu.”

Pernyataanku menyakiti hatinya. Bibirnya sedikit mengerut.

“Aku ingin tahu, apa yang dikatakannya kepadamu?” Aku berkata dengan nada
sok berkuasa yang berirama: “Pekerjaan yang baik sekali, anak muda, kau
penyihir kecil terhebat yang pernah kulihat sejak lama. Katakanlah, apakah kau
ingin membangunkan jin yang kuat? Mau? Well, mari kita lakukan! Kita juga
bisa mempermainkan seseorang?mencuri amulet?”

Anak lelaki itu tertawa. Aku tak menduganya. Aku siap menghadapi kemarahan
yang menyembur atau keputusasaan.

Tapi tidak, dia malah tertawa.

Dia membalik amulet itu untuk terakhir kali, lalu membungkuk dan
meletakkannya kembali ke mangkuk. Itu juga tak kuduga. Dengan menggunakan
ranting berkait tadi, dia mendorong mangkuk itu kembali ke tempatnya semula
di lantai.

“Apa yang kaulakukan?”

“Mengembalikannya.”

“Aku tak menginginkannya.”

“Ambil.”
95
Aku tak ingin saling melontarkan penghinaan sok sopan dengan anak dua belas
tahun, terutama yang dapat memaksakan kehendaknya padaku, maka aku meraih
keluar dari lingkaranku dan memungut amulet itu.

“Sekarang apa? Saat Simon Lovelace datang, aku tak mau mempertahankan
benda ini, kau tahu? Aku akan segera mengembalikannya disertai senyuman dan
lambaian. Dan menunjukkan di balik tirai mana kau bersembunyi sambil
gemetar.

Tunggu.

Anak itu mengambil sesuatu dari saku bagian dalam jaketnya yang kedodoran.
Apakah aku sudah menyebutkan bahwa jaket itu tiga ukuran terlalu besar
untuknya? Jaket tersebut jelas tadinya milik penyihir ceroboh, karena, meskipun
telah dipenuhi tambal sulam, jaket itu masih menunjukkan kerusakan yang tak
diragukan lagi akibat api, darah, dan cakaran binatang. Aku berharap anak ini
memiliki nasib yang sama dengan pemilik jaket sebelumnya.

Sekarang dia memegang piringan mengilap di tangan kirinya?

cermin pengintai dari perunggu yang digosok hingga berkilau. Dia mengusapkan
tangan kanannya ke permukaan benda itu beberapa kali dan mulai memandangi
besi yang memantul itu dengan konsentrasi tinggi. Entah imp jenis apa yang
terperangkap di dalamnya, tapi piringan itu segera merespons.

Sebentuk gambar samar mulai menjelma; anak itu memerhatikannya dengan


sungguh-sungguh. Aku terlalu jauh untuk mengintip bayangan yang tergambar
di sana, tapi sementara anak itu sibuk, aku sendiri melihat-lihat sekeliling.

Kamarnya… aku ingin menemukan petunjuk mengenai identitasnya.

Beberapa surat yang ditujukan kepadanya, mungkin, atau papan nama di


jaketnya. Keduanya pernah menjadi petunjuk bagiku. Aku tak mencari nama
lahirnya, tentu saja?itu 96

harapan yang terlalu tinggi?tapi nama resminya bolehlah untuk permulaan.4 Tapi
aku tak beruntung. Barang yang paling pribadi, paling intim, paling
mengungkapkan siapa dirinya?

meja belajarnya?telah ditutup saksama dengan selembar kain hitam tebal.


Lemari pakaian di pojok kamar tertutup; bufet sama saja. Ada vas kaca retak
berisi bunga segar di antara tumpukan lilin?sentuhan yang aneh, benda ini. Aku
menduga dia tak meletakkannya sendiri di sana; rupanya ada orang yang
menyukai bocah ini.

Anak itu melambaikan tangannya pada cermin pengintai dan permukaannya


redup. Dia mengembalikan piringan itu ke sakunya, lalu menatapku tibatiba. Uh-
oh. Ini dia.

“Bartimaeus,” ia mulai, “aku memerintahkanmu membawa Amulet Samarkand


dan menyembunyikannya dalam ruang penyimpanan benda-benda sihir milik
Arthur Underwood, menyembunyikannya sehingga dia tak dapat
menemukannya, dan

melakukan hal ini dengan amat lihai sehingga tak ada seorang pun, baik itu
manusia maupun makhluk halus, dalam plane ini atau plane-plane lain, dapat
melihatmu masuk atau keluar; aku kemudian memerintahkanmu segera kembali
kepadaku, diam-diam dan tak terlihat, untuk menunggu perintah selanjutnya.

4 Semua penyihir memiliki dua nama, nama resmi mereka dan nama lahir. Nama
lahir adalah yang diberikan orangtua mereka, dan karena nama lahir
berhubungan kuat dengan sifat dasar dan tabiat mereka, nama itu merupakan
sumber kekuatan sekaligus kelemahan mereka. Mereka merahasiakannya dari
semua orang, karena jika musuh mengetahuinya, dia dapat menguasai si pemilik
nama, caranya mirip dengan penyihir yang hanya bisa memanggil jin jika dia
mengetahui nama aslinya.

Maka para penyihir menyembunyikan nama lahir mereka dengan hatihati sekali,
menggantinya dengan nama resmi saat mereka cukup umur. Selalu berguna jika
mengetahui nama resmi penyihir?tapi jauh, jauh lebih menguntungkan jika
mengetahui nama rahasianya.
97
Karena telah mengatakannya dalam satu napas, wajahnya membiru setelah itu.5
Aku merengut di balik alis batuku.

“Baiklah. Di mana penyihir malang ini tinggal?”

Anak lelaki itu tersenyum tipis. “Di bawah.”

5 Sangat dianjurkan bila berurusan dengan entitas halus dan cerdik seperti
diriku.

Amat biasa jika tarikan napas diartikan sebagai kaliraat yang telah selesai, yang
dapat mengubah arti instruksinya atau merabuat kalimat itu raenjadi tak berarti.

Jika kami dapat menyalahartikan sebuah kalimat, kami akan dengan senang hati
melakukannya.
98
Di bawah… Well, memang mengejutkan.

“Menjebak mastermu, ya? Nakal.”

“Aku tidak menjebaknya. Aku hanya ingin amulet itu aman, di balik
perlindungan apa pun yang dia miliki. Takkan ada yang menemukannya di
sana.” Dia berhenti sebentar. “Tapi jika mereka menemukannya…”

“Kau akan terbebas dari tuduhan. Taktik khas penyihir. Kau belajar lebih cepat
daripada kebanyakan orang.”

“Takkan ada yang menemukannya.”

“Begitu menurutmu? Kita lihat saja.”

Tetap saja, aku tak dapat melayang-layang di sana bergosip sepanjang hari. Aku
menyelimuti amulet itu dengan mantra, membuatnya mengecil untuk sementara
dalam bentuk sarang labalaba yang melayang terbawa angin. Lalu aku melesak
melalui lubang mata kayu pada lempengan papan terdekat, merayap sebagai asap
menembus celah pada lantai, dan dalam wujud labalaba merangkak dengan
hatihati keluar dari retakan langit-langit ruangan yang berada tepat di bawah.
99
a

eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.

MR. Collection’s

Ruangan itu kamar mandi kosong. Pintunya terbuka; aku berlari menuju pintu
melalui eternit secepat delapan kaki dapat membawaku. Sembari jalan, aku
menggeleng-gelengkan rahangku mengingat kekurangajaran anak itu.

Menjebak penyihir lain: itu hal biasa. Sudah lumrah bila menjadi penyihir,
karena berhubungan dengan daerah kekuasaan.

1 Tapi menjebak mastermu sendiri, itu baru luar biasa?bahkan sungguh unik
pada penyihir dua belas tahun. Tentu, setelah dewasa, para penyihir kadang kala
melakukan hal-hal yang melanggar aturan, tapi tidak saat mereka baru saja
memulai; tidak saat mereka baru saja mempelajari peraturannya.

Bagaimana aku bisa yakin penyihir yang dimaksud adalah masternya? Well,
kecuali praktik yang telah lama dilakukan sekarang diubah dan murid-murid
penyihir dibawa dengan bus ke sekolah berasrama (nyaris tak mungkin terjadi),
tak ada penjelasan lain. Para penyihir mendekap ilmu pengetahuan dekat dengan
jiwa mereka yang keriput, melindungi kekuatan dengan tamak seperti orang
kikir mendekap emas mereka, dan mereka hanya akan mewariskannya dengan
penuh kehatihatian.

Sejak zaman Median Magi, murid-murid selalu tinggal sendiri di rumah guru
mereka?satu master untuk satu murid, menerima pelajaran mereka dalam
kerahasiaan dan diam-diam.

1 Para penyihir adalah kelompok manusia yang paling licik, dengki, dan pandai
memanipulasi di dunia, bahkan jika dibandingkan pengacara dan kalangan
akademis. Mereka memuja kekuasaan dan berusaha mendapatkannya, juga
mencari setiap kesempatan untuk menyikut pesaing mereka. Menurut perkiraan
kasar, setidaknya delapan puluh persen pemanggilan makhluk halus ada
hubungannya dengan menipu sesama penyihir, atau mempertahankan diri dari
hal yang sama.

Kebalikannya, kebanyakan konfrontasi antarmakhluk halus sama sekali bukan


masalah pribadi, hanya karena konfrontasi itu terjadi bukan atas kemauan kami
sendiri. Pada saat itu, misalnya, aku tak membenci Faquarl secara pribadi; well,
sebetulnya itu bohong?aku membencinya, tapi tak lebih membencinya dari
sebelumnya. Lagi pula kebencian di antara kami membutuhkan waktu beberapa
abad, beberapa milenium malah. Para penyihir menganggap percekcokan mereka
sebagai permainan. Namun kami yang harus bersusah-payah.
100
Sejak ziggurat hingga piramid, sejak pohon ek suci hingga gedung pencakar
langit, ribuan tahun telah berlalu namun tak ada yang berubah.

Maka kesimpulannya: sepertinya untuk melindungi dirinya sendiri, anak tak tahu
terima kasih ini mengambil risiko mengarahkan kemurkaan penyihir berkuasa ke
masternya yang tak bersalah. Aku amat terkesan. Meskipun dia hams
bersekongkol dengan orang dewasa?beberapa musuh masternya, mungkin?

rencana jahat ini cukup mengagumkan untuk dilakukan seseorang yang begitu
muda.

Aku melangkahkan kedelapan kakiku,berjingkat-jingkat keluar melalui pintu.


Lalu aku melihat masternya.

Aku belum pernah mendengar tentang penyihir ini, Mr.

Arthur Underwood. Aku menduga dia penyihir kelas rendahan, tukang tipu dan
pembual yang tak pernah berani mengganggu makhluk dengan tingkatan lebih
tinggi seperti aku. Benar saja, saat dia melangkah di bawahku memasuki kamar
mandi (aku keluar di saat yang tepat), penampilannya pantas menjadi penyihir
kelas dua. Penegas pasti dugaan ini bisa dilihat dari atribut-atribut terkenal
sepanjang masa yang ada pada dirinya, yang oleh manusia lain dikaitkan dengan
sihir hebat dan luar biasa: rambut panjang tak terurus berwarna abu tembakau,
janggut panjang putih yang menjulur ke depan seperti haluan kapal, dan
sepasang alis yang rimbun.2 Aku dapat membayangkan pria ini mengendap-
endap di jalan-jalan London mengenakan setelan beludru hitam, rambut berkibar
dramatis ala penyihir dalam dongeng di belakangnya. Dia mungkin memiliki
tongkat dengan ujung berhiaskan emas, bahkan mungkin sehelai jubah gaya. Ya,
dia cocok sekali dengan gambaran 2 Penyihir-penyihir kelas bawah mau
bersusah payah mempertahankan penampilan penyihir tradisional seperti ini.
Kebalikannya, para penyihir yang benar-benar hebat malah lebih senang
berpenampilan seperti akuntan.
101
itu: amat mengesankan. Kebalikan dari sekarang, terseok-seok memakai celana
piama, menggaruk-garuk bagian tubuh yang tak pantas disebutkan dan mengepit
surat kabar yang terlipat di ketiak.

“Martha!” Dia berteriak persis sebelum menutup pintu kamar mandi. Wanita
kecil dan bulat keluar dari kamar tidur.

Untungnya, dia berpakaian lengkap.

“Ya, Sayang?”

“Bukannya kau bilang wanita itu sudah membersihkan rumah kemarin?”

“Ya, memang, Sayang. Kenapa?”

“Karena ada sarang labalaba kotor tergantung di tengah langit-langit, dengan


labalaba menjijikkan menempel di sana.

Kotor. Wanita itu harus dipecat.”

“Oh, aku melihatnya. Kotor sekali. Jangan khawatir, aku akan berbicara pada
wanita itu. Dan aku akan segera membersihkannya dengan kemoceng.”

Penyihir hebat itu menggerutu dan menutup pintu. Wanita itu menggeleng
dengan raut wajah maklum dan, sambil menggumamkan lagu riang, menghilang
ke lantai bawah. Si labalaba “menjijikkan” membuat tanda tidak sopan dengan
dua kakinya dan melangkah melintasi langit-langit, menyeret benang sarang di
belakangnya.

Butuh waktu beberapa menit untuk berkeliaran sebelum akhirnya aku


menemukan ruang kerja di bawah undakan pendek.

Dan di sini aku berhenti. Pintunya diberi perlindungan dari orang-orang tak
berkepentingan berupa jampi berbentuk bintang bersudut lima. Ini rintangan
mudah. Bintang itu tampak dibuat dari cat merah yang mengelupas; meski
begitu, jika pelanggar yang tak sadar membuka pintunya, jebakan itu akan
bereaksi dan cat di pintu itu akan berubah kembali menjadi wujud aslinya?bola
api yang berputar.

Kedengarannya hebat, aku tahu, tapi itu sebenarnya hanya 102

trik dasar. Pelayan rumah yang mau tahu mungkin akan histeris, tapi Bartimaeus
tidak. Aku membuat Perisai di seputar wujudku dan, sambil menyentuh bagian
bawah pintu dengan cakar kecilku, pintu itu kudorong membuka beberapa
sentimeter.

Garisgaris tipis oranye muncul di bagian dalam tepi bintang bersudut lima itu.
Selama sedetik garisgaris itu mengalir bagaikan sesuatu yang cair, menjalar
mengitari bentuk bintang. Lalu semburan api melesat dari ujung teratas bintang,
memantul di dinding dan menukik ke arahku.

Aku telah siap menghadapi hantaman dengan Perisaiku, tapi hantaman itu tak
pernah menyentuhku.

Semburan api melewatiku dan mengenai jejak benang sarang yang kutarik. Dan
benang sarang itu menyedotnya, mengisap api dari bintang itu bagaikan
mengisap jus dengan sedotan.

Dalam sekejap semua berakhir. Api itu lenyap. Api menghilang terisap ke dalam
benang sarang, yang tetap dingin seperti semula.

Dengan sedikit terkejut, aku menoleh. Bentuk bintang yang hangus terpapar
pada pintu ruang kerja. Saat aku memerhati_

kan, jampi itu mulai berubah kembali menjadi merah?gambar bintang tengah
mengisi kembali amunisinya untuk dilontarkan ke pengganggu selanjutnya.

Tibatiba aku menyadari apa yang terjadi. Jelas sekali. Amulet Samarkand
melakukan sesuatu yang memang selayaknya dilakukan amulet-amulet?benda
itu melindungi pemakainya.3

Dengan amat baik pula. Amulet itu telah menyerap jampi 3 Amulet adalah jimat
pelindung; benda yang menghalau kekuatan jahat. Benda ini objek pasif dan
meskipun dapat mengisap atau memantulkan segala jenis sihir berbahaya, amulet
tak dapat secara aktif dikontrol si pemilik. Maka benda ini kebalikan dari
talisman, yang memiliki kekuatan magis aktif yang dapat digunakan sesuai
kehendak pemiliknya. Tapal kuda adalah amulet (primitif); sepatu bot tujuh
league (bot ajaib yang bisa membuat pemakainya bergerak sejauh tujuh league
dalam satu langkah) adalah salah satu bentuk talisman.
103
tanpa kesulitan berarti. Oke-oke saja buatku. Aku membuka Perisaiku,
menyusup ke sela pintu yang terbuka, dan masuk ke ruang kerja Underwood.

Setelah pintu, aku tak menemukan jebakan lain dalam plane mana pun, satu lagi
tanda bahwa penyihir ini berasal dari kelas rendahan. (Aku teringat jaringan
panjang perlindungan yang disebarkan Simon Lovelace dan telah kutembus
dengan amat mudah. Jika anak lelaki itu beranggapan amulet ini akan aman
dalam “lindungan” masternya, dia akan mendapati kebalikannya.) Ruangan itu
rapi, meski berdebu, dan berisi antara lain lemari terkunci yang kuanggap
sebagai tempat penyimpanan harta karun. Aku masuk melalui lubang kunci,
menarik benang sarang di belakangku.

Setelah berada di dalam aku membuat mantra Iluminasi kecil. Tumpukan benda
sihir rongsokan yang menyedihkan disusun dengan kasih sayang dalam rak kaca
tiga susun. Beberapa dari benda-benda itu, seperti Dompet Tinker, dengan saku
rahasianya yang dapat membuat uang “menghilang”, sama sekali tidak
berkekuatan sihir. Membuat perkiraanku yang menyatakan Underwood sebagai
penyihir kelas dua terdengar melebih-lebihkan. Aku nyaris merasa kasihan pada
pria tua bodoh itu. Demi keselamatannya kuharap Simon Lovelace tak pernah
mampir ke sini.

Ada totem burung Jawa di bagian belakang lemari, paruh dan bulunya kelabu
terselaput debu. Aku menarik benang sarang di antara dompet dan kaki kelinci
era Edward dan meletakkannya di belakang totem. Bagus. Takkan ada yang
menemukannya di sana kecuali mereka mencari. Akhirnya aku mengenyahkan
mantra dari benang sarang itu, mengembalikan ukuran dan bentuk amuletnya
seperti semula.

Dengan begitu, tugasku selesai. Aku keluar dari lemari dan ruang kerja tanpa
sekali pun cegukan lalu kembali ke lantai atas.
104
Pada saat inilah dimulai sesuatu yang menarik.

Aku sedang kembali menuju loteng, tentu saja, melalui langit-langit yang miring
di atas tangga, ketika tanpa diduga anak lelaki itu melewatiku menuju ke bawah.
Dia mengikuti istri si penyihir, wajahnya tampak kesal. Rupanya dia baru saja
dipanggil dari kamarnya.

Aku segera menegakkan tubuh. Ini tak bagus untuknya, dan aku dapat melihat
dari wajahnya bahwa dia pun menyadarinya.

Dia seharusnya tahu aku masih berkeliaran di dekat-dekat sini.

Dia tahu aku akan kembali, bahwa perintah yang dia berikan adalah untuk segera
kembali kepadanya, diam-diam dan tak terlihat, untuk menunggu perintah
selanjutnya. Maka dari itu dia tahu aku mungkin sedang mengikutinya sekarang,
mendengarkan dan mengamati, mengetahui lebih banyak mengenai dirinya, dan
bahwa dia tak dapat melakukan apa pun sampai dia kembali berada di kamarnya
dan berdiri kembali dalam pentode.

Singkatnya, dia telah kehilangan kontrol situasi, keadaan yang berbahaya bagi
semua penyihir.

Aku memutar tubuh dan membuntuti mereka dengan bersemangat.

Sesuai dengan yang diperintahkan, tak ada yang melihat atau mendengarku saat
aku merayap mengikuti dari belakang.

Wanita itu menggiring si anak lelaki ke pintu di lantai dasar. “Dia di sana,
Sayang,” katanya.

“Oke,” sahut anak itu. Suaranya ramah dan pasrah, tepat seperti yang
kuinginkan.

Mereka masuk, wanita itu terlebih dahulu, anak lelaki itu kemudian. Pintu
tertutup dengan amat cepat sehingga aku hams dua kali melontarkan benang
secara kilat dan mengayunkan tubuhku melalui celah pintu sebelum tertutup.
Pertunjukan yang canggih?kalau saja ada yang menyaksikannya. Tapi tidak.
Diam-diam dan tak terlihat, itulah aku.
105
Kami berada di dalam ruang makan yang muram. Si penyihir, Arthur
Underwood, duduk sendirian di kepala meja makan yang berwarna gelap dan
mengilat. Cangkir, piring, dan teko kopi dari perak dalam jangkauannya. Dia
masih terbenam dalam surat kabarnya, yang terletak setengah terlipat di meja.

Ketika si wanita dan anak itu masuk, dia mengangkat surat kabar, membuka
lipatannya, menyentakkan halamannya hingga terbuka dengan bergemeresak dan
melipatnya lagi. Dia tak menengadahkan kepala.

Wanita itu melangkah mendekati meja. “Arthur, Nathaniel sudah di sini,”


katanya.

Si labalaba telah melangkah ke sudut gelap di atas pintu.

Mendengar kata-kata ini dia tetap tak bergerak, seperti biasanya labalaba. Tapi
dalam hati dia bersorak.

Nathaniel! Bagus. Itu permulaan.

Aku senang melihat wajah si anak lelaki mengernyit. Matanya dengan cepat
menyapu sekitar, pasti bertanya-tanya apakah aku ada di sana.

Si penyihir tak memberikan tanda bahwa dia telah mendengar, tetap terpaku
pada surat kabarnya. Istrinya mulai menyusun ulang rakaian bunga kering yang
agak menyedihkan di rak perapian. Aku segera menebak siapa yang bertanggung
jawab atas vas bunga di kamar anak lelaki itu. Bungabunga mati untuk sang
suami, yang segar untuk si murid?menarik sekali.

Sekali lagi Underwood membuka lipatan koran, membaliknya, melipatnya lagi,


melanjutkan membaca. Anak lelaki itu berdiri diam menunggu. Karena sekarang
aku terbebas dari lingkaran dan karenanya tak berada dalam kekuasaannya
secara langsung, aku berkesempatan mempelajarinya dengan lebih baik. Dia
telah (tentu saja) menanggalkan jaket compangcampingnya dan sekarang
mengenakan celana panjang serta jumper abu-abu. Rambutnya dibasahi dan
disisir rapi ke 106
belakang. Seberkas kertas dikepit di lengannya. Dia menjelma menjadi anak
patuh.

Dia tak memiliki tanda yang jelas?tak ada tahi lalat, keanehan, tak ada bekas
luka. Rambutnya gelap dan lurus, wajahnya cenderung kecut. Kulitnya pucat
sekali. Jika dilihat sambil lalu, dia biasa-biasa saja. Tapi dari pengamatanku yang
lebih bijaksana dan saksama, ada hal lain yang dapat dilihat: mata yang cerdas
dan penuh perhitungan; jari-jemari yang mengetuk-ngetuk tak sabat di kertas-
kertas yang dikepitnya; yang terpenting adalah raut wajah yang berhati-hati
sehingga dengan halus dapat berubah ke ekspresi apa pun yang orang lain
harapkan.

Saat ini dia menunjukkan wajah patuh dan penuh perhatian yang akan membuat
orang-orang tua tersanjung. Tapi secara terus-menerus matanya menyapu seluruh
ruangan, mencariku.

Aku akan mempermudah usahanya. Ketika dia melihat ke arahku, aku berlari-
lari kecil di tempat, melambaikan beberapa lengan, menggotang-goyangkan
perutku dengan ceria. Dia langsung melihatku, wajahnya menjadi semakin pucat,
menggigit bibirnya. Tapi ia tak dapat berbuat apa-apa terhadapku tanpa
membongkar rahasianya.

Di pertengahan tarianku, Underwood tibatiba menggerutu sebal dan


memukulkan punggung tangannya pada surat kabar yang dibacanya. “Lihat ini,
Martha,” katanya. “Makepiece memenuhi teater lagi dengan omong-kosong dari
timurnya.

Angsa-angsa Arabia… Aku bertanya padamu, pernahkah kau mendengar


rongsokan sentimental seperti ini? Tapi tetap saja karcisnya terjual habis hingga
akhir Januari! Ajaib sekali.”

“Sudah habis? Oh, Arthur, tadinya aku mau pergi…”

“Dan aku mengutip: ‘…ketika misionaris muda yang baik hati dari Chiswick
jatuh cinta pada sesosok jin berkulit sawo matang…’?bukan hanya roman
picisan tapi juga amat berbahaya.

Menyebarkan informasi yang salah pada masyarakat.”


107
“Oh, Arthur…”

“Kau pernah melihat jin, Martha. Pernahkah kau melihat yang ‘bermata sayu
sehingga dapat melumerkan hatimu’? Melumerkan wajahmu, lebih mungkin.”

“Aku yakin kau benar, Arthur.”

“Makepiece harusnya lebih tahu. Memalukan. Aku akan melakukan sesuatu, tapi
dia terlalu dekat dengan Perdana Menten.

“Ya, Sayang. Apa kau ingin tambah kopi, Sayang?”

“Tidak. P.M. harusnya membantu Departemen Dalam Negeri tempat aku


bekerja, daripada buang-buang waktu untuk bersosialisasi. Empat pencurian lagi,
Martha, empat di minggu terakhir. Yang dicuri barangbarang berharga pula.
Kukatakan padamu, kita akan menuju kehancuran.” Sambil berkata begitu,
Underwood mengangkat kumisnya secara ahli dengan satu tangan dan
menyelipkan bibir cangkir di antaranya. Dia minum lama dan berisik. “Martha,
ini sudah dingin. Ambilkan aku kopi lagi.”

Dengan patuh sang istri bergegas menjalankan perintah.

Ketika dia keluar, si penyihir melemparkan surat kabarnya dan akhirnya sudi
menyadari bahwa muridnya ada di sana.

Pria tua itu menggerutu. “So. Kau di sini ya?”

Berlawanan dengan rasa cemasnya, suara anak lelaki itu mantap.

“Ya, Sir. Anda memanggil saya, Sir.”

“Memang. Nah, aku telah berbicara pada guru-gurumu, dan terkecuali Mr.
Sindra, semua memberikan laporan yang memuaskan.”

Dia mengangkat tangan untuk menghentikan anak lelaki itu menyemburkan


kata-kata terima kasih. “Hanya Tuhan yang tahu, kau sebetulnya tak berhak
mendapatkan itu semua setelah perbuatanmu tahun lalu. Meski begitu, biarpun
memiliki kekurangan-kekurangan tertentu, yang telah kutegaskan padamu
berulang kali, kau membuat kemajuan dengan dalil 108

pokoknya. Maka”?jeda yang dramatis?”kurasa waktunya telah tepat bagimu


untuk melaksanakan pemanggilan rohmu yang pertama.”

Dia mengatakan kalimat terakhir itu dengan nada lambat bergaung yang
tentunya disengaja agar si anak lelaki dipenuhi perasaan kagum. Tapi Nathaniel,
dengan senang aku sekarang memanggilnya begitu, pikirannya tengah
bercabang. Ada labalaba dalam benaknya.

Underwood menyadari kegelisahan anak itu. Si penyihir mengetuk-ngetuk meja


dengan tidak sabar untuk mendapatkan perhatian muridnya.

“Dengarkan aku, Nak!” katanya. “Jika prospek pemanggilan roh saja


membuatmu resah, kau sama sekali takkan menjadi penyihir, bahkan tidak juga
sekarang. Penyihir yang memiliki persiapan matang tak takut pada apa pun. Kau
mengerti?”

Anak lelaki itu tersadar, memusatkan perhatian pada masternya.

“Ya, Sir; tentu saja, Sir.”

“Lagi pula, aku akan terus bersamamu selama pemanggilan berlangsung, dalam
lingkaran tambahan. Aku akan mempersiapkan selusin mantra pelindung dan
banyak bubuk rosemary.

Kita akan mulai dengan demon tingkat rendah, sesosok imp natterjack muda.4
Jika sukses, kita akan melanjutkan ke mouler.”5

Ini dapat menjadi ukuran betapa tak perhatiannya si penyihir sehingga dia tak
menyadari adanya kilatan pandangan menghina yang memancar dari mata si
anak lelaki. Dia hanya mendengar jawabannya yang bersemangat. “Ya, Sir. Saya
sangat menantikannya, Sir.”

“Bagus sekali. Kau sudah mendapatkan lensa kontakmu?”

4 Imp natterjack muda: makhluk tidak menarik yang memiliki kesamaan sifat
dengan jenis katak yang membosankan.
5 Mouler. bahkan lebih tidak menarik daripada imp natterjack, jika itu mungkin.
109
“Ya, Sir. Lensanya datang minggu lalu.”

“Bagus. Maka tinggal satu persiapan lagi yang harus kita lakukan, dan itu
adalah…”

“Apakah itu bunyi bel pintu, Sir?”

“Jangan menyelaku, Nak. Berani sekali kau. Persiapan nomor satu, yang akan
kutahan jika kau lancang lagi, adalah memilih nama resmimu. Kita akan
mengaturnya sore ini. Bawa Loew’s Nominative Almanac kepadaku dari
perpustakaan setelah makan siang dan kita akan memilih nama untukmu
bersamasama.”

“Ya, Sir.”

Bahu anak itu merosot; suaranya nyaris tak terdengar. Dia tak perlu melihatku
melompat-lompat di sarangku untuk mengetahui bahwa aku telah mendengar
dan mengerti.

Nathaniel bukan hanya nama resminya! Itu nama aslinya!

Anak tolol itu memanggilku sebelum membuang nama lahirnya.

Dan sekarang aku tahu!

Underwood bergeser di kursinya. “Well, apa yang kautunggu, Nak? Ini bukan
waktunya untuk bengong?kau punya waktu beberapa jam untuk belajar sebelum
makan siang. Pergi sana.”

“Ya, Sir. Terima kasih, Sir.”

Anak lelaki itu bergerak tanpa semangat ke pintu. Sambil mengertakkan rahang
dengan bahagia, aku menyusulnya seraya membuat salto ekstraspesial ke
belakang dengan tendangan oktal.

Aku punya kesempatan membalasnya sekarang. Keadaan menjadi agak


seimbang. la tahu namaku, aku tahu namanya.
la memiliki enam tahun pengalaman, aku punya 5.010.

Perbandingan yang menguntungkan.

Aku mengikutinya naik tangga. Dia melangkah dengan lambat sekarang,


menyeret setiap langkahnya.
110
Ayolah, ayolah! Kembali ke pentacle-mu. Aku menyusulnya, antusias untuk
segera memulai kompetisi.

Oh, dadu benar-benar ada di genggaman makhluk berkaki delapan sekarang.


111
Suatu hari di musim panas, ketika Nathaniel berusia sepuluh tahun, dia duduk
bersama gurunya di bangku batu taman, membuat sketsa pohon horse chestnut di
balik tembok.

Sinar matahari menerpa batu bata merah. Kucing abu-abu putih duduk
berselonjor di tembok, menggoyang-goyangkan ekor perlahan ke kanan dan ke
kiri. Angin sepoi-sepoi menggerakkan dedaunan di pohon dan membawa
semerbak bau semak rhododendron dari seberang halaman. Lumut yang
menyelimuti patung pria yang memegang berkas kilat bersinar keemasan
ditimpa cahaya kuning matahari. Serangga-serangga berdengung.

Hari itu semua berubah.

“Sabar, Nathaniel.”

“Anda sering mengatakan itu, Ms. Lutyens.”

“Dan aku yakin aku akan mengatakannya lagi. Kau terlalu gelisah. Itu
kelemahanmu yang terbesar.”

Nathaniel menggambar garisgaris bayangan dengan kesal.

“Tapi ini sungguh mengesalkan!” serunya. “Dia tak pernah 112

eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.

MR. Collection’s

membiarkanku mencoba apa pun! Aku hanya diperbolehkan mempersiapkan


lilin, dupa, dan hal-hal lain yang dapat kulakukan sambil tidur jungkir balik!
Aku bahkan tak diizinkan berbicara dengan mereka.”

“Tindakan yang tepat,” Ms. Lutyens berkata tegas. “Ingat, aku hanya ingin kau
membuat bayangan halus. Bukan garisgaris tegas.”
“Konyol.” Nathaniel cemberut. “Dia tak menyadari kemampuanku.

Aku telah membaca semua bukunya, dan…”

“Semuanya?”

“Well, semua yang ada di rak buku kecilnya, dan dia berkata semua itu akan
membuatku sibuk sampai usia dua belas tahun.

Aku bahkan belum sebelas tahun, Ms. Lutyens. Maksudku, aku telah menguasai
Mantra Pengarahan dan Penguasaan, sebagian besar; aku bisa memberikan
perintah pada jin, jika dia memanggilnya untukku. Tapi dia bahkan tak pernah
membiarkan aku mencoba.”

“Aku tak tahu mana yang lebih menjengkelkan, Nathaniel?

bualanmu atau sifat pemarahmu. Kau harus berhenti mengkhawatirkan apa yang
belum kaumiliki dan menikmati apa

yang telah kaudapatkan sekarang. Taman ini, misalnya. Aku amat senang kau
mengusulkan kita belajar di sini hari ini.”

“Aku selalu datang ke sini jika dapat. Tempat ini membantuku berpikir.”

“Aku tak heran. Tempat ini nyaman, tersembunyi… dan sedikit sekali tempat
seperti ini di London, maka bersyukurlah.”

“Dia menemaniku.” Yang dimaksud Nathaniel patungnya.

“Aku menyukainya, meskipun aku tak tahu siapa dia.”

“Dia?” Ms. Lutyens menengadah dari buku sketsanya, tapi sambil tetap
menggambar. “Oh, itu gampang. Dia Gladstone.”

“Siapa?”
113
“Gladstone. Pastinya kau tahu. Apakah Mr. Purcell tak mengajarimu sejarah
modern?”

“Kami membahas politik kontemporer.”

“Terlalu modern. Gladstone meninggal dunia lebih dari seratus tahun lalu. Dia
pahlawan besar di masanya. Mungkin ada ribuan patung dengan wujudnya,
ditegakkan di seluruh penjuru negeri. Memang pantas, dilihat dari sudut
pandangmu.

Kau berutang padanya.”

Nathaniel bingung. “Mengapa?”

“Dia satusatunya penyihir terhebat yang pernah menjadi perdana menteri. Dia
memerintah selama tiga puluh tahun pada masa Victoria dan membuat partai-
partai penyihir yang berseteru berada dalam kuasa pemerintah. Kau tentu telah
mendengar duelnya dengan si penyihir Disraeli di Westminster Green? Belum?
Kau harus melihat lokasinya. Bekas hangus di dindingnya masih dipamerkan.
Gladstone terkenal akan energinya yang besar dan keteguhannya saat keadaan
tidak menguntungkan. Dia tak pernah mengubah tekadnya, bahkan ketika
keadaan menjadi buruk.”

“Astaga.” Nathaniel menatap wajah tegas yang memandang dari balik lapisan
lumut. Tangan batunya menggenggam berkas kilat dengan longgar, penuh
percaya diri, siap melontar.

“Mengapa dia berduel, Ms. Lutyens?”

“Kurasa Disraeli melontarkan komentar kurang sopan pada kawan wanita


Gladstone. Itu kesalahan besar. Gladstone tak pernah membiarkan siapa pun
menghina harga dirinya, atau teman-temannya. Dia amat berkuasa dan siap
menantang siapa saja yang berani menghinanya.” Ms. Lutyens meniup serpihan
arang dari sketsanya dan mengangkatnya untuk diperiksa di bawah sinar
matahari.
“Gladstone berbuat lebih banyak daripada siapa pun untuk membuat London
menjadi pusat sihir terkemuka. Pada zaman itu Praha masih merupakan kota
terkuat di dunia, tapi masa-114

nya sudah lama lewat; kota itu sudah tua dan mengalami kemunduran, para
penyihirnya juga saling cekcok di antara perkampungan kumuh. Gladstone
memberikan ide-ide baru, proyek-proyek baru. Dia menarik banyak penyihir
asing ke sini dengan menyediakan barangbarang antik tertentu. London menjadi
kota tujuan. Dan masih seperti itu, untuk baik dan buruknya. Seperti yang
kukatakan, kau harus bersyukur.”

Nathaniel memandang Ms. Lutyens. “Apa maksud Anda dengan, ‘Untuk baik
dan buruknya?’ Apa yang buruk?”

Ms. Lutyens mengerutkan bibir. “Sistem pemerintahan sekarang amat


menguntungkan pihak penyihir dan beberapa orang yang berada di sekitar
mereka. Kurang menguntungkan bagi yang lainnya. Sekarang?coba kulihat hasil
sketsamu.”

Nada suara gurunya membuat Nathaniel naik darah. Pelajaran-pelajarannya


bersama Mr. Purcell melintas di kepalanya.

“Anda tak boleh berbicara seperti itu tentang Pemerintah,”

katanya. “Tanpa penyihir, negeri ini tak memiliki perlindungan!

Para commoner akan berkuasa dan negara akan tumbang. Para penyihir
mengorbankan nyawa mereka demi menjaga keamanan negeri ini! Anda harus
mengingat itu, Ms. Lutyens.”

Bahkan di telinganya sendiri, suaranya terdengar histeris.

“Aku yakin jika kau besar nanti kau akan memberikan banyak pengorbanan
penting, Nathaniel.” Suara Ms. Lutyens terdengar lebih tajam daripada biasanya.
“Tapi kenyataannya tak semua negara memiliki penyihir. Banyak yang berjalan
baik tanpa mereka.”

“Anda tampaknya tahu segalanya.”

“Untuk ukuran guru menggambar yang sederhana? Apakah kudengar nada


terkejut di suaramu?”

“Well, Anda hanya commoner?” Nathaniel segera berhenti, wajahnya bersemu


merah. “Maaf, aku tak bermaksud?”

“Benar sekali,” Ms. Lutyens berkata singkat. “Aku memang commoner. Tapi
bukan cuma para penyihir yang memiliki ilmu 115

pengetahuan, kau tahu. Jauh dari itu. Lagi pula, pengetahuan dan kecerdasan
adalah hal yang berbeda sama sekali. Suatu hari nanti kau akan mengetahuinya.”

Selama beberapa menit mereka menyibukkan diri dengan kertas dan pena tanpa
berbicara. Kucing yang berada di tembok mengibaskan kaki dengan malas ke
lebah yang terbang berputarputar. Akhirnya Nathaniel memecahkan kesunyian.

“Apakah Anda pernah ingin menjadi penyihir, Ms. Lutyens?”

dia bertanya, dengan suara lirih.

Ms. Lutyens tertawa kering. “Aku tak mendapatkan kehormatan itu,” katanya.
“Tidak, aku hanya guru seni, dan bahagia karenanya.”

Nathaniel mencoba lagi. “Apa yang Anda lakukan bila tak berada di sini?
Maksudku bila tak bersamaku.”

“Aku bersama murid-murid lain, tentunya. Apa yang kaukira?

aku akan pulang ke rumah dan bersantai? Aku khawatir Mr. Underwood tak
memberiku cukup upah untuk bersantai.

Aku harus bekerja.”

“Oh.” Tak pernah terpikirkan oleh Nathaniel bahwa Ms.

Lutyens mungkin memiliki murid-murid lain. Kenyataan ini membuat perutnya


terasa melilit.

Mungkin Ms. Lutyens merasakannya; setelah terdiam sebentar dia berbicara lagi
dengan nada yang tak lagi terdengar dingin. “Lagi pula,” katanya, “aku amat
menunggu-nunggu waktu mengajarku di sini. Salah satu yang membuat
pekerjaan mengajarku selama seminggu menjadi lebih ceria. Kau teman
berbincang yang baik, meskipun kau masih condong terburuburu dan
menganggap dirimu tahu segalanya. Maka cerialah dan coba kulihat
kemajuanmu menggambar pohon itu.”

Berlanjut ke pembahasan santai mengenai hal-hal yang berhubungan dengan


seni, perbincangan mereka kembali berjalan dengan damai, tapi tak lama setelah
itu, pelajaran terhenti ka-116

rena kehadiran Mrs. Underwood yang tak diduga-duga, tampaknya dia


kebingungan.

“Nathaniel!” serunya. “Di situ kau rupanya!”

Ms. Lutyens dan Nathaniel berdiri dengan hormat. “Aku telah mencarimu ke
manamana, Sayang,” kata Mrs. Underwood, terengah-engah. “Kupikir kau
berada di kelas…”

“Saya amat menyesal, Mrs. Underwood,” kata Ms. Lutyens.

“Hari amat cerah?”

“Oh, tak apa-apa. Tak masalah sama sekali. Hanya saja suamiku membutuhkan
Nathaniel segera. Dia kedatangan tamu, dan ingin memperkenalkan mereka
padanya.”

“Nah, betul, kan?” Ms. Lutyens berkata lirih ketika mereka bergegas melintasi
halaman. “Mr. Underwood tak mengabaikanmu sama sekali. Dia pasti amat puas
padamu sehingga ingin memperkenalkanmu kepada penyihir-penyihir lain. Dia
akan memamerkanmu!”

Nathaniel tersenyum lemah, tapi tak berkata apa-apa. Membayangkan akan


bertemu dengan penyihir-penyihir lain membuat perutnya terasa mual. Selama
bertahuntahun berada di rumah itu, tak pernah sekali pun dia diizinkan bertemu
kolega-kolega profesional masternya, yang sekali-sekali berkunjung. Dia selalu
diusir ke kamarnya, atau dikurung di lantai atas bersama guru-gurunya. Ini
perkembangan baru yang menggairahkan, walau agak menakutkan. Dia
membayangkan ruangan yang dipenuhi pria-pria tinggi berkuasa dengan sikap
mengancam, melotot memandangnya, dengan janggut-janggut mereka yang
rimbun dan jubah-jubah mereka yang berkibar.
Lututnya gemetar karena gugup.

“Mereka ada di ruang tamu,” Mrs. Underwood berkata saat mereka memasuki
dapur. “Coba lihat dirimu…” Dia membasahi salah satu jarinya dan cepat-cepat
menghapus noda pensil dari sisi kening Nathaniel. “Amat layak. Baiklah,
masuklah ke sana.”
117
Ruangan itu memang penuh; dugaan Nathaniel benar untuk yang satu ini.
Ruangan itu hangat karena suhu tubuh, bau teh, dan usaha untuk bercakap-cakap
sopan. Tapi saat Nathaniel menutup pintu dan beringsut ke sudut untuk
menempati satusatunya ruang yang kosong, di bawah lindungan lemari
pajangan, bayangannya yang megah mengenai sekelompok pria hebat telah
menguap.

Mereka sama sekali tak berpenampilan seperti itu.

Tak ada jubah. Hanya ada sedikit janggut bagus, tapi tak ada yang
semenakjubkan janggut masternya sendiri. Kebanyakan dari para pria itu
mengenakan setelan kusut dengan dasi yang lebih kusut lagi; hanya beberapa
yang berani menambah_

kan beberapa aksesori, seperti rompi dalam abu-abu atau saputangan yang
muncul di saku atas jas. Semua mengenakan sepatu hitam mengilat. Nathaniel
merasa tersesat ke dalam pesta kantor pengurus pekuburan. Tak ada di antara
mereka yang mirip Gladstone, dalam kekuatan atau sikap. Beberapa di antara
mereka pendek, yang lain tampak ketus dan tua, lebih dari satu condong gempal.
Mereka saling berbicara dengan serius, menghirup teh dan menggigit biskuit
kering, dan tak ada yang meninggikan suara mereka lebih dari sekadar gumaman
setuju.

Nathaniel amat kecewa. Dia memasukkan tangannya ke saku dan mendesah


dalam-dalam.

Masternya beringsut di tengah kerumunan, menjabat tangan dan mengeluarkan


suara tawa yang terdengar seperti salakan pendek aneh setiap kali tamunya
mengatakan sesuatu yang dikiranya bermaksud melucu. Matanya melihat
Nathaniel, dia melambaikan tangan memanggil anak itu; Nathaniel menyelinap
di antara piring teh dan perut gendut seseorang dan menghampiri masternya.
118
*

“Ini dia anaknya,” penyihir itu berkata dengan suara kasar, menepuk pundak
Nathaniel dengan gerakan canggung. Tiga pria menunduk menatapnya. Salah
satunya sudah tua, berambut putih, dengan wajah merah seperti tomat terjemur
matahari dan dipenuhi kerutan-kerutan kecil. Yang seorang lagi bertubuh gemuk,
dengan mata yang selalu berair, di usia pertengahan; kulitnya tampak dingin dan
lembap, seperti ikan yang terkapar di meja tukang ikan. Pria yang ketiga jauh
lebih muda dan lebih tampan, dengan rambut tersisir licin ke belakang, kacamata
bundar, dan gigi-gigi putih rapi bersinar sebesar tuts xylophone. Nathaniel balik
memandang mereka tanpa bersuara.

“Sepertinya biasa saja,” kata si pria lembap. Dia menyedot hidung dan menelan
sesuatu.

“Dia lamban soal belajar,” kata master Nathaniel, tangannya masih menepuk-
nepuk pundak Nathaniel dengan sikap tak acuh yang menandakan
ketidaknyamanannya.

“Lamban ya?” kata si pria tua. Aksennya amat kental sehingga Nathaniel nyaris
tak mengerti apa yang dikatakannya.

“Ya, beberapa anak lelaki memang begitu. Kau harus tabah.”

“Kau memukulnya?” tanya si lembap lagi.


119
“Tidak bijaksana. Pukulan akan mendorong daya ingatnya.”

“Berapa umurmu, Nak?” pria yang lebih muda bertanya.

“Sepuluh, Sir,” Nathaniel menjawab sopan. “Sebelas bulan Nov…”

“Masih dua tahun lagi sebelum dia berguna bagimu, Underwood.”

Pria muda itu memotong kalimat Nathaniel seakan anak itu tak ada di sana.
“Banyak memakan dana, kukira.”

“Apa, untuk tempat tidur dan makan? Tentu.”

“Aku bertaruh dia juga makan seperti cerpelai.”

“Rakus ya?” ucap si pria tua. Dia mengangguk dengan menyesal.

“Beberapa anak lelaki memang begitu.”

“Jarang”

Nathaniel mendengarkan dengan kemarahan yang nyaris tak tertahankan. “Saya


tidak rakus, Sir,” katanya dengan suara yang paling sopan. Mata si pria tua itu
meliriknya, lalu memandang ke arah lain seakan dia tak mendengarnya; tapi
tangan masternya menekan pundaknya kuat-kuat.

“Well, Nak; kau harus kembali ke pelajaranmu,” katanya.

“Pergilah.”

Nathaniel amat senang dapat pergi dari sana, tapi saat dia mulai beranjak, pria
muda berkacamata itu mengangkat sebelah tangan.

“Lidahmu tajam rupanya,” katanya. “Tak takut pada orang yang lebih tua
darimu.”

Nathaniel tak berkata apa-apa.


“Mungkin kau berpikir kami tidak lebih baik darimu?”

Pria itu berbicara dengan santai, tapi ketajaman suaranya amat jelas terdengar.
Nathaniel segera mengetahui sebenarnya bukan dirinyalah yang menjadi pusat
sasaran dan pria muda itu menantang masternya melalui dirinya. la merasa
seharusnya menjawab, tapi pertanyaan itu membuatnya bingung harus menjawab
ya atau tidak.

Pria muda itu menyalahartikan sikap Nathaniel yang hanya diam. “Dia pikir dia
terlalu baik untuk berbicara dengan kita sekarang!” katanya kepada kawan-
kawannya dan menyeringai.

Si pria lembap tertawa terkekeh-kekeh sambil menutup mulut dengan tangan dan
si pria tua berwajah merah menggeleng-geleng. “Ck ck,” katanya.

“Pergilah, Nak,” Master Nathaniel berkata lagi.

“Tunggu, Underwood,” si pria muda berkata, tersenyum lebar.

“Sebelum dia pergi, coba kita lihat apa saja yang telah kauajarkan kepada anjing
kecilmu ini. Akan amat menyenangkan.

Kemari, Nak.”

Nathaniel menatap masternya, yang tak membalas tatapannya.

Dengan lambat dan enggan dia mendekati kelompok itu 120

Dapatkan koleksi ebook-ebook lain yang tak kalah menariknya di EBOOK


CENTER http://jowo.jw.lt

Anda mungkin juga menyukai