ini, Selain itu, seiring bertambahnya jumlah penduduk, maka, volume sampah pun ikut terus
meningkat. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada tahun 2020,
total produksi sampah nasional mencapai 67,8 juta ton. Dengan kata lain, setidaknya 185.753 ton
sampah dihasilkan oleh 270 juta penduduk setiap harinya atau setiap penduduk memproduksi
sekitar 0,68 kilogram sampah per hari. Melonjaknya produksi sampah ini menambah
kemungkinan untuk dibukanya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Indonesia.
Selain lonjakan produksi sampah yang diakibatkan oleh pertumbuhan jumlah penduduk,
tata kelola sampah di Indonesia sendiri terbilang belum optimal. Indonesia cenderung
menggunakan pola linear dalam pengelolaan sampahnya, sementara negara lain telah
menerapkan pola sirkular yang bersandar pada prinsip Reuse, Reduce, and Recycle (3R).
Menurut Kepala Sub Direktorat Barang dan Kemasan, Direktorat Pengelolaan Sampah KLHK
Ujang Solihin Sidik, mengatakan bahwa, kapasitas pengelolaan sampah rata-rata dari 514
kabupaten/kota di Indonesia berada di bawah 50%, kecuali di kota-kota besar yang telah
mencapai angka 70-80%. (sitasi Anton Setiawan. Membenahi Tata Kelola Sampah Nasional).
Diantara permasalahan sampah tersebut, sampah plastik yang notabene nya digunakan
sebagai kemasan berbagai produk merupakan sampah yang sulit ditangani. Menurut Juru
Kampanye Greenpeace Indoensia, Muharram Atha Rasyadi, mengatakan bahwa, pada 2030
kemasan sachet sudah harus menjadi monolayer dan mendorong produsen berinvestasi
dalam penggunaan daur ulang, karena plastik multilayer sulit untuk di daur ulang.
Hal yang diungkapkan oleh Atha berkaitan dengan temuan kasus sampah plastik
kemasan salah satu produk di Indonesia, yakni Indomie. Sri Bebassari, narasumber dari
Indonesia Solid Waste Association, menyatakan bahwa, setiap tahunnya Indomie
memproduksi 17 miliar produk, kemudian, jika pengelolaan sampah tidak optimal, 17
miliar produk tersebut akan menghasilkan sampah yang sangat besar.
Perkembangan teknologi khususnya pada bidang makanan kini telah meningkat pesat.
Penelitian dari ahli gizi, food technologist, analis kimia, dan lain sebagainya telah
mengembangkan beberapa fungsi serta karakteristik dari edible film khususnya untuk
pengemasan makanan. Menyinggung paragraf sebelumnya, permasalahan sampah plastik lebih
banyak disebabkan dari kemasan makanan. Para penggerak kebersihan lingkungan pun mulai
mengembangkan berbagai inovasi untuk mengatasi masalah tersebut. Kemudian edible film
mulai dikembangkan guna mengatasi permasalahan sampah plastik dengan mengganti kemasan
sekali pakai ke kemasan yang dapat dimakan.
Kemajuan terkini mengenai teknologi edible film memiliki beberapa fungsi yang baik
bagi tubuh manusia dan terpercaya mampu menggantikan plastik sebagai kemasan makanan
(sitasi Elsa Díaz-Montes).
3. Mengandung probiotik yang mampu membantu melancarkan pencernaan dan baik bagi
tubuh manusia.
Berdasarkan fungsi di atas, beberapa perusahaan start up telah mengembangkan produk
kemasan yang dapat dimakan. Di dunia, ada 5 perusahaan yang berhasil mengembangkan
kemasan edible food yang menjanjikan menurut (sitasi Start us insight) diantaranya:
1. Skipping Rocks Lab, perusahaan start up yang berasal dari London menyediakan
Disappearing Package bertujuan menyukseskan program recycling. Kemasan ini terbuat
dari jagung, rumput laut, agave, gula, dan lain sebagainya yang bisa dimakan, fleksibel
untuk makanan cair, bersifat dapat diuraikan karena berbasis hayati selama 4 sampai 6
minggu.
2. Evoware menawarkan Seaweed-Based Packaging yakni kemasan berbahan dasar rumput
laut yang dapat dimakan serta ramah bagi lingkungan. Perusahaan start up dari Indonesia
ini berhasil membuat Seaweed-Based Packaging mampu untuk menyerap
karbondioksida.
3. Lain dari kedua bahan dasar tadi, Do Eat menyajikan Potato-Waste Based Packaging
untuk produk kemasan edible food sebagai alternatif daripada plastik dan dapat
mendukung pengawetan makanan. Perusahaan ini berbasis di Belgia, dapat menjadi
alternatif bagi kemasan sekali pakai.
4. Perusahaan Prancis Lactips memperkenalkan Casein-Based Packaging dengan kasein dari
susu sebagai bahan dasarnya untuk membungkus makanan. Kasein yang digabungkan
dengan alkali mampu melindungi oksigen yang terkandung dalam makanan sebanyak 500
kali lebih baik ketimbang bungkus berbahan petroleum.
5. Candy Cutlery mengubah gula menjadi produk Sugarcane-Based Materials, dimana
perusahaan Kanada ini mampu membuat sendok makanan penutup serta gelas kecil dari
100% bahan alami berupa gula. Terdapat varian rasa kopi, vanilla, stroberi, peppermint
pada edible food packaging ini.
Fokus pada Ecoware, perusahaan asli Indonesia ini mendukung ramah lingkungan guna
memecahkan permasalahan terkait sampah plastik. Utamanya, produk ini telah mendapatkan
sertifikasi halal dari MUI serta mampu diuraikan bahkan mampu menjadi pupuk bagi tanaman.
Ecoware mendukung penggunaan plastik alami dengan teknologi kemasan dapat dimakan.
Produk ini juga menyehatkan (sitasi dotasia).
Ecoware menyediakan dua produk yakni seperti yang sudah disinggung sebelumnya;
Seaweed-Based Packaging dan Ello-Jello. Kedua produk ini merupakan edible food packaging
dengan perbedaan Ello-Jello berbentuk cup sementara Seaweed-Based Packaging berbentuk
plastik. Untuk harga sendiri, berkisar di angka IDR17,000,00 dan cara membelinya dapat
langsung mengunjungi laman web Ecoware.
Gambar 2. Produk Evoware (sitasi evoware)
Referensi
Elsa Díaz-Montes: (PDF) Edible Films and Coatings as Food-Quality Preservers: An Overview
(researchgate.net)
Start us insight: 5 Top Edible Packaging Startups Out Of 300 | StartUs Insights (startus-insights.com)
Dotasia: Indonesian eco-social startup uses edible seaweeds to replace plastic packaging | by DotAsia |
Medium
Evoware: Evoware | Evo & Co (rethink-plastic.com)
Jakpost: Indonesian startup goes eco-friendly with edible cup - Lifestyle - The Jakarta Post