Anda di halaman 1dari 10

Kidung Gregorian adalah pusat tradisi kidung Barat, semacam kidung liturgis monofonik dari

Kekristenan Barat yang mengiringi perayaan misa dan ibadat-ibadat ritual lainnya. Kumpulan
besar kidung ini adalah musik tertua yang dikenal karena merupakan kumpulan kidung pertama
yang diberi notasi pada abad ke-10. Secara umum, kidung-kidung Gregorian dipelajari melalui
metode viva voce, yakni dengan mengulangi contoh secara lisan, yang memerlukan pengalaman
bertahun-tahun lamanya di Schola Cantorum. Kidung Gregorian bersumber dari kehidupan
monastik, di mana menyanyikan 'Ibadat Suci' sembilan kali sehari pada waktu-waktu tertentu
dijumjung tinggi seturut Peraturan Santo Benediktus. Melagukan ayat-ayat mazmur
mendominasi sebagian besar dari rutinitas hidup dalam komunitas monastik, sementara sebuah
kelompok kecil dan para solois menyanyikan kidung-kidung. Dalam sejarahnya yang panjang,
kidung Gregorian telah mengalami banyak perubahan dan perbaikan sedikit demi sedikit.

Sejarah
Kidung Gregorian terutama digubah, dikodifikasi, dan diberi notasi di wilayah-wilayah Eropa
Barat dan Eropa Tengah yang dikuasai Bangsa Frank pada abad ke-9 dan ke-10, dengan
penambahan-penambahan dan penyuntingan-penyuntingan dikemudian hari, tetapi naskah-
naskah dan banyak dari melodi-melodinya jauh berasal dari beberapa abad sebelumnya.
Meskipun banyak orang meyakini bahwa Paus Gregorius Agung sendiri yang menciptakan
kidung Gregorian, para sarjana kini percaya bahwa kidung tersebut membawa-bawa nama Paus
itu sejak sintesis Karolingian yang terjadi di kemudian hari antara kidung Romawi dan Kidung
Gallika, dan pada masa itu mencatut nama Gregorius I merupakan 'trik pemasaran' untuk
memberi kesan adanya inspirasi suci sehingga dapat menghasilkan satu protokol liturgis yang
akan digunakan di seluruh kekaisaran. Satu kekaisaran, satu Gereja, satu Kidung - kesan
kesatuan merupakan isu pokok pada era Karolingian.

Selama abad-abad berikutnya kidung Gregorian tetap menempati jantung musik Gereja, di mana
ia menumbuhkan berbagai cabang dalam arti bahwa praktik-praktik performansi yang baru
bermunculan di mana musik baru dalam naskah yang baru diperkenalkan atau pun kidung-
kidung yang sudah ada diberi tambahan dengan cara menyusunnya menjadi Organum. Bahkan
musik polifonik yang muncul dari kidung-kidung kuno nan luhur dalam Organa oleh Leonin dan
Perotin di Paris (1160-1240) berakhir dengan kidung monofonik dan dalam tradisi-tradisi di
kemudian hari gaya-gaya komposisi baru dipraktikkan dalam jukstaposisi (atau ko-habitasi)
dengan kidung monofonik. Praktik ini berlanjut sampai ke masa hidup Francois Couperin, yang
misa-misa organnya dimaksudkan untuk dinyanyikan silih berganti dengan kidung homofonik.
Meskipun hampir tidak digunakan lagi sesudah periode Baroque, kidung mengalami kebangkitan
kembali pada abad ke-19 dalam Gereja Katolik Roma dan sayap Anglo-Katolik dari Komuni
Anglikan.

Notasi

Kidung-kidung Gregorian ditulis dalam notasi grafis yang menggunakan seperangkat tanda-
tanda khusus yang disebut neuma, yang memperlihatkan suatu gerak musik dasar (lihat notasi
musik). Dalam buku-buku kidung yang terdahulu, pemberian notasi dilakukan dengan cara
menyingkat kata-kata dalam kalimat syair sedapat mungkin lalu diimbuhi neuma-neuma di
atasnya. Dalam tahap selanjutnya ditambahkan satu atau lebih garis paranada, dan pada abad ke-
11 kebutuhan untuk memperlihatkan pula interval-interval menciptakan notasi balok, yang kelak
menjadi sumber dari notasi balok modern dalam lima garis paranada yang dikembangkan pada
abad ke-16 Kidung gregorian merupakan tradisi musik yang dominan dan sentral di seluruh
Eropa dan menjadi akar perkembangan musik yang bersumber darinya, seperti kebangkitan
polifoni pada abad ke-11.

Penyanyi

Seekor burung merpati perlambang Roh Kudus hinggap pada pundak Paus Gregorius I menjadi
simbol inspirasi ilahi

Kidung Gregorian secara tradisional dinyanyikan oleh paduan suara pria dan anak-anak lelaki di
dalam gereja-gereja, atau oleh biarawan dan biarawati di dalam kapela-kapela mereka. Kidung
ini adalah musik dari Ritus Romawi, dinyanyikan dalam Misa dan Ibadat Harian monastik.
Meskipun kidung gregorian menggantikan atau menyingkirkan tradisi-tradisi kidung-kidung asli
Kristiani Barat lainnya dan menjadi musik resmi liturgi Kristiani Barat, kidung ambrosian masih
tetap dipergunakan di Milan, dan ada pula para musikolog yang mengeksprolasi baik kidung
gregorian dan ambrosian maupun kidung Mozarabik milik umat Kristiani Spanyol. Meskipun
kidung gregorian tidak lagi diwajibkan, Gereja Katolik Roma masih secara resmi
menganggapnya sebagai musik yang paling cocok untuk peribadatan. Pada abad ke-20, kidung
gregorian mengalami resurgensi musikologis dan populer.

NEUMA

Nama neume (dibaca “num” atau “nyum”) berasal dari bahasa Yunani pneuma yang memiliki
arti “nafas”. Not neume adalah notasi yang menjadi cikal bakal not balok modern. Namun, tidak
seperti not balok modern yang ditulis dalam lima garis paranada, not neume hanya ditulis dalam
empat garis paranada. Alasannya adalah not neume ditulis pertama-tama untuk lagu Gregorian
yang selalu dinyanyikan dengan suara manusia yang memiliki jangkauan suara (ambitus) yang
terbatas dibanding dengan instrumen musik. Empat garis paranada sudah mencukupi karena
kebanyakan lagu Gregorian memang tidak membutuhkan garis yang banyak. Not neume juga
tidak memiliki tanda tempo ataupun kunci nada. Selain itu, prinsip not neume sama dengan not
balok modern. Bila notnya bergerak ke atas, maka nada lagunya bergerak ke atas, dan
sebaliknya. Not neume juga dibaca dari kiri ke kanan.

Membaca not neume lebih mudah bila kita memakai sistem solfege (sistem Do-Re-Mi) daripada
sistem kunci (sistem C-D-E-F-G-A-B-C). Prinsip sistem solfege akan selalu kita pakai, yaitu
jarak antarnada dari Do sampai ke Do atas adalah 1 – 1 – ½ – 1 – 1 – 1 – ½. Bagi yang belum
terbiasa dengan jarak nada ini, artinya jarak antara nada Do dan Re adalah satu. Di antara nada
Do dan Re, terdapat nada tengahnya yaitu nada Di (nada Do yang dinaikkan setengah) yang
nilainya setara dengan nada Ra (nada Re yang diturunkan setengah). Jarak antara nada Mi dan Fa
serta antara nada Si dan nada Do adalah setengah, jadi tidak ada nada di antara masing-masing
pasang nada tersebut. Mari kita lihat cara membaca neume dari awal.

Di tiap awal not neume, terdapat simbol klef. Perhatikan simbol klef berikut:

Klef ini menunjukkan letak nada Do. Tanda ini selalu terletak di garis paranada. Dengan
demikian, jarak antara di bawah garis paranada yang memuat klef ini selalu dibunyikan setengah
lebih rendah dari nada Do, yaitu nada Si. Dengan merunut sistem solfege, maka not neume dapat
dibaca sebagai berikut:
Prinsip yang sama juga berlaku untuk simbol klef berikut. Klef ini adalah klef Fa:

Simbol klef Fa menunjukkan di mana letak nada Fa. Simbol klef Fa juga selalu terletak di garis
paranada.

Kedua klef ini berfungsi sebagai penanda bagi kita untuk menemukan melodi. Klef ini dapat
muncul di semua garis paranada, namun tanda klef tidak menjadi nada pusat atau sentral dari
lagu yang ditulis. Fungsi klef sangat sederhana: hanya menunjukkan di mana nada Do atau nada
Fa.

Mengapa dipakai dua klef? Masing-masing klef mengindikasikan jangkauan nada yang berbeda
yang diminta dalam masing-masing lagu. Hal ini akan sangat membantu karena langgam
Gregorian memiliki banyak modus lagu yang berbeda. Dengan bantuan klef yang sesuai dengan
modus lagu, seluruh not neume dalam lagu dapat kita baca dengan mudah.

Sedikit petunjuk: jangan terjebak dengan pola kunci (C, D, E, F, G, A, B, dan C). Lebih mudah
menggunakan pola klef sebagai klef Do dan klef Fa daripada menganggapnya sebagai klef C
atau klef F. Tidak seperti notasi modern, Anda bebas menempatkan not neume dalam jangkauan
nada menyanyi yang nyaman bagi Anda. Penempatan nada Do ataupun nada Fa untuk masing-
masing klef dapat dimulai di mana saja, atau dengan kata modern, Anda dapat dengan bebas
menentukan nada dasar berdasarkan jangkauan nyanyiannya: Do=C, Do=D, Do=E, dan
seterusnya. Sedikit catatan tambahan untuk pemusik: nada tonika tidak selalu ditentukan oleh
klef. Tonika bisa berupa nada awal lagu, namun lebih sering di nada akhir lagu.

Dalam lagu Gregorian, terdapat pulsa (pulse atau beat) dasar yang selalu konstan di sepanjang
melodi. Pulsa ini tidak berwujud dalam ketukan yang dapat kita dengar, kita hanya dapat
merasakannya dalam hati.

Mari kita mulai dengan beberapa contoh.


Lagu di atas memuat beberapa simbol ritme dasar sebagai berikut:
Beberapa aturan tambahan: Not dengan tanda titik di sebelah kanannya dinyanyikan senilai dua
pulsa. Contohnya dapat dilihat lagu di atas. Suku kata –bis dalam kata nobis, suku kata –o dalam
tuo, serta suku kata –lem dalam Jerusalem dinyanyikan senilai dua pulsa. Aturan lain, not
dengan garis di atasnya (dinamakan episema, dan bisa juga muncul di bawah not) dinyanyikan
dengan ditahan sedikit lebih lama. Dalam lagu di atas, not episema terdapat pada suku kata no
dalam kata nobis, serta suku kata tu dalam kata tuo.

Beberapa tanda kecil yang dapat membantu: tanda garis yang terlihat seperti tanda petik tunggal
di garis paranada paling atas dinamakan ictus dan berfungsi untuk mengorganisasikan ritme.
Perhatikan pula tanda kecil yang terlihat di akhir baris pertama. Tanda ini bernama custos dan
tidak bernilai apapun. Tanda ini tidak dinyanyikan dan semata-mata berfungsi untuk
menunjukkan posisi di mana not pertama di baris selanjutnya akan bermula.
Sekarang cobalah membaca lagu di atas. Lagu tersebut akan berbunyi sebagai berikut (sengaja
saya tuliskan solfege secara hurufiah supaya makin jelas) :

  do    do     do   do   doredo       dosido                                                                          


Con – fir – ma  hoc     De      –      us

  do     do  do    do     do   la  do  sila   sol                                                                      


Quod  o – pe – rat – us  es  in   no – bis,

sol      sol        solla       fa        la  dosi  sol                                                                      
A      temp  –  lo       sanc – to  Tu  –  o

  la         do    si   do   la      sol     sol                                                                            


Quod  est   in   Je – ru –  sa – lem.

(Arti lagu tersebut: Nyatakanlah, Ya Tuhan, karya-Mu pada kami, dari bait-Mu yang agung yang
terletak di Yerusalem.)

Mari kita lihat contoh lain. Berikut adalah lagu Da Pacem yang ditulis dalam klef Fa:

(Arti lagu tersebut: Berilah damai, Ya Tuhan, di hari ini: karena tidak ada siapapun yang akan
membela kami selain Engkau, Tuhan kami.)

Ada tanda lain yang terlihat seperti tanda mol (flat) modern:
Tanda ini memang adalah tanda mol yang berfungsi seperti tanda mol modern, yaitu menurunkan
nada Si sebanyak ½ sehingga menjadi nada Sa. Dalam lagu Gregorian, hanya nada Si yang bisa
diturunkan ½ dengan mendapat tanda mol, sedangkan nada lain tidak bisa diturunkan. Tanda ini
berlaku untuk not sampai pada garis birama selanjutnya. Dalam langgam Gregorian, tidak ada
tanda kres (sharp) dalam lagu.

Ada beberapa simbol lain yang perlu diperhatikan:

Di dalam penulisan lagu Gregorian dengan not angka di buku Puji Syukur, not quilisma  ini
ditulis sebagai kelompok not dengan huruf “w” di atasnya. Perlakuan untuk not ini persis seperti
yang biasa kita praktikkan: panjangkan not pertama, lalu lanjutkan ke not lanjutannya dengan
berenergi.

Ada pula simbol neume yang bernama not liquescent. Not ini terlihat seperti not yang berbentuk
lebih kecil yang melekat pada not yang lebih besar, seperti misalnya pada bentuk liquescent pada
podatus berikut:
Not yang bentuknya lebih kecil menandakan perlakuan khusus pada huruf di mana not itu
dinyanyikan.  Berikut contoh not liquescent di dalam lagu Sanctus (Kudus) yang biasa kita
nyanyikan:

Huruf “n” pada kata “hosanna” harus dinyanyikan tepat pada saat Anda mencapai not yang lebih
kecil dari dua not dalam suku kata “san”. Prinsip yang sama juga berlaku pada suku kata “cel”
dalam kata “excelsis”: pada saat Anda menyanyikan not yang lebih kecil, Anda sudah harus
mencapai dan mengucapkan huruf “l” pada suku kata “cel”.

Pada bagian “n” di suku kata “san”, nyanyikanlah huruf “n” tersebut dengan merdu dan nyaring
(sonoritas maksimal), tanpa merusak kualitas nyanyian secara keseluruhan. Bayangkan dengan
menaruh lidah Anda di langit-langit mulut dan nyanyikan bunyi “nnnnn” yang jernih dan megah.
Prinsip yang sama juga berlaku untuk huruf “l” dalam suku kata “cel”, walaupun di bagian ini
Anda harus menempatkan bagian dari lidah Anda di tempat yang lebih jauh di langit-langit mulut
Anda.

Not liquescent juga dapat muncul pada suku kata yang mengandung diftong (dua huruf vokal
yang dikombinasikan) seperti pada kata alleluia, autem, dan eius. Pada vokal diftong seperti ini,
pengucapan diftong harus diusahakan lebih mengalir, ringan, dan lancar sehingga didapat kesan
bahwa vokal diftong itu tidak berhenti maupun kehilangan tempo saat dinyanyikan.

Anda perlu sedikit latihan untuk menemukan pengucapan not liquescent yang paling tepat. Perlu
diingat bahwa not liquescent tidak hanya muncul pada bentuk podatus. Berhati-hatilah dan teliti
dalam menyanyikan not neume supaya tidak melewatkan not kecil ini, dan perhatikan perlakuan
huruf untuk menyanyikan not ini.

Simbol neume terakhir yang perlu diperhatikan adalah not neuma yang bernama punctum
inclinatum yang berbentuk seperti lambang wajik dalam permainan kartu. Coba perhatikan
bagian penutup misa pada masa Paskah di bawah ini:
(Dalam liturgi misa di Indonesia: Misa sudah selesai, alleluia, alleluia. Dan dijawab dengan:
Syukur kepada Allah, alleluia, alleluia.)

Perhatikan not neume di suku kata “le” pada kata “alleluia” yang kedua. Di situ terdapat bentuk
podatus yang diikuti dengan beberapa punctum inclinatum (bentuk gabungan ini dinamakan pes
subpunctis). Pada bagian ini, Anda harus menyanyikan not yang ada di depan rangkaian not
punctum inclinatum dengan memberi tekanan lebih, lalu menyanyikan not punctum inclinatum
dengan ringan, mengalir, dan cepat. Tiap not dalam punctum inclinatum tidak memiliki nilai
pulsa yang spesial, namun harus diperlakukan seolah menjadi pengiring not sebelumnya yang
ditekan.

Dengan demikian, pada suku kata “le” tersebut, ketika Anda sampai pada not Do, Anda harus
lebih memberi penekanan pada nada Do, lalu diikuti dengan not Si-La-Sol yang lebih ringan dan
cepat. Ketiga nada Si-La-Sol berfungsi untuk memberi “ekor” pada nada Do yang ditekan.

Anda mungkin juga menyukai