Anda di halaman 1dari 12

A.

CEKUNGAN BONE
Pulau Sulawesi merupakan salah satu dari lima pulau terbesar di kepulauan Indonesia,
memiliki bentuk khas seperti huruf “K”. Pulau Sulawesi ini yang terletak pada daerah
dengan tektonik kompleks di zona pertemuan antara lempeng Eurasian, Indo-Australia
dan Pasifik (Hamilton, 1979; Silver et al., 1983).

Pulau Sulawesi terbentuk dari zona tektonik yang berarah utara-selatan (Sukamto, 1975).
Zona tersebut adalah dimulai dari barat ke timur yaitu Busur Volkanik Tersier Sulawesi
Barat, Busur Volkanik Kuarter Minahasa-Sangihe, Jalur Metamorfik Kapur-Paleogen
Sulawesi Tengah, Jalur Ofiolit Kapur Sulawesi Timur dan asosiasi sedimen pelagic
penutup dan fragmen mikro benua Banda Paleozoik yang berasal dari Lempeng Benua
Australia). Kontak antara provinsi tektonik ini adalah sesarsesar (Gambar 2).

Pada bagian utara pulau Sulawesi terdapat Palung Sulawesi Utara yang terbentuk oleh
subduksi kerak samudera laut Sulawesi, sedangkan di bagian tenggara Sulawesi terdapat
Sesar Tolo yang dipicu oleh subduksi antara lengan tenggara Pulau Sulawesi dengan
bagian utara Laut Banda, dimana kedua struktur utama tersebut dihubungkan oleh sesar
Palu-Koro dan Matano Dibagian barat Sulawesi terdapat selat Makassar yang
memisahkan Lengan bagian barat Sulawesi dengan Busur Sunda yang merupakan bagian
lempeng Eurasia yang diperkirakan terbentuk dari proses pemekaran lantai samudera
pada masa Miosen, sedangkan dibagian timur terdapat fragmen-fragmen benua yang
berpindah karena sesar geser dari New Guinea (Hall dan Willson 2000, dalam
Armstrong, 2012).

Cekungan Bone terletak di Teluk Bone (Gambar 1), dimana bagian barat dan timur di
batasi oleh Lengan Sulawesi Barat dan Lengan Sulawesi Timur, bagian utara dibatasi oleh
Sulawesi Tengah dan bagian selatan dibatasi oleh Laut Jawa. Teluk Bone mencakup area seluas
sekitar 30.000 kilometer persegi. Kedalaman air di Teluk Bone berkisar dari 200 sampai 3.000
meter. Cekungan Bone ini dipotong oleh beberapa sesar seperti; Sesar Palu- Koro, dan Sesar
Walanae, serta diapit dua tinggian yaitu tinggian Bonerate disebelah barat dan tinggian Kabaena
di sebelah timur, mengakibatkan berbagai jenis batuan bercampur sehingga posisi stratigrafinya
menjadi sangat rumit.

Pada tahun 2011 Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (P3GL) mengadakan
survey geologi dan geofisika di daerah perairan Teluk Bone (Gambar 1) dengan menggunakan
Kapal Riset Geomarin III (Sarmili, 2011). Fokus utama makalah ini adalah untuk menafsirkan
proses sedimentasi di cekungan Bone berdasarkan data seismik pantul. Perbedaan karakter
reflektor dalam seismik pantul ini akan ditafsirkan sebagai acuan jenis sedimen apa saja dan serta
hubungan stratigrafinya dalam proses pengendapannya.

Cekungan Bone dibagi menjadi 6, (enam) satuan batuan menurut Yulihanto (2004) yaitu satuan
batulempung A, satuan batugamping B, satuan batuan vulkanik C, satuan batugamping D,
satuan batupasir E dan satuan termuda sedimen pengisi lembah F (Channel-filled sediment).

Sekuen A disetarakan dengan Batulempung yang merupakan sekuen yang berada paling bawah
dari cekungan Bone dan memiliki umur yang paling tua berdasarkan pada kenampakan dari
Formasi Malawa di bagian Lengan Barat dan Formasi sedimen pelagik dan ofiolit di Lengan
Timur pada kolom kesebandingan (Gambar 12), yakni berumur Eosen dengan ketebalan satuan
ini mencapai 450 meter dengan kedalaman disekitar 3986 meter di bawah permukaan laut.

Sekuen B disetarakan dengan Batugamping yang diperkirakan merupakan satuan yang mewakili
dari Formasi Tonasa dan Formasi Tampakura yang berumur Oligosen (Gambar 11) dengan
ketebalan variasi yang mencapai 900 meter dengan kedalaman terdalam sekitar 3407 meter di
bawah permukaan laut. Pada sekuen ini terlihat cekungan dengan bentuk yang memanjang
dengan bagian selatan lebih luas dari pada bagian utara.
Sekuen C disetarakan dengan Batuan Vulkanik (Gambar 12) yang merupakan satuan yang
mewakili Formasi Camba dan Molasa Sulawesi Formasi Langkowala (Miosen bawah hingga
tengah). Pada cekungan ini terdapat beberapa ketebalan sedimen yang mencapai 200 meter
dengan kedalaman sekitar 3114 meter di bawah permukaan laut.

Sekuen D yang disetarakan dengan Batugamping (Gambar 12) mewakili Formasi Tacipi dan
termasuk pada Molasa Sulawesi Formasi Eemoiko yang berumur Miosen tengah. Memiliki
ketebalan sedimen hingga 700 meter. dengan kedalaman sekitar 3021 meter di bawah
permukaan laut. Sekuen ini embentuk cekungan yang memanjang dengan arah utara-selatan,
dimana semakin kearah utara maka sedimen semakin dangkal dan sebaliknya semakin kearah
selatan sedimen semakin dalam.

Satuan Batupasir E mewakili endapan Formasi Walanae dan Molasa Sulawesi. Satuan ini
memiliki ketebalan hingga 1000 meter pada kedalaman mencapai 3278 meter di bawah
permukaan laut. Pada sekuen ini terdapat pula cekungan Kuarter yang berada di bagian atas
darisekuen dan terisi oleh endapan baru. Morfologi sekuen ini memiliki bentuk lonjong
memanjang dengan bagian terdalam berada pada bagian selatan dan dangkal pada bagian utara.

B. CEKUNGAN BUTON

Kepulauan Buton berlokasi di bagian timur Indonesia, tepatnya di pantai timur Sulawesi
Tenggara. Stratigrafi dan struktur kepulauan dibedakan dari Sulawesi Tenggara dan
Kepulauan Muna. Tetapi terdapat kesamaan antara Buton dan kepulauan di sebelahnya pada
Busur Banda, terutama Timor, Seram, dan Pulau Buru. Secara Administratif Kabupaten
Buton terletak di posisi 4.30º - 7.0º LS dan 125º - 125º BT. Cekungan Buton memiliki batas-
batas sebagai berikut :

Sebelah Utara : Pulau Wawoni


Sebelah Selatan : Laut Flores
Sebelah Barat : Kepulauan Muna dan Teluk Bone
Sebelah Timur : Laut Banda
Sebelah Tenggara : Platform Tukangbesi
FISIOGRAFI REGIONAL

Berdasarkan geomorfologinya fisiografi daerah Buton dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :

 Bagian Selatan terdiri atas perbukitan dan lembah berarah timur laut dengan teras-teras
reef yang terangkat dan topografi karst.
 Bagian Tengah didominasi oleh pegunungan yang berarah utara sepanjang pantai barat,
batuan sedimennya berarah timur laut.
 Bagian Utara didominasi oleh pegunungan di tepi pantai yang memiliki bentuk
menyerupai tapal kuda, pola pengalirannya berarah ke selatan menuju rawa mangrove
pada cekungan lambele. Secara umum pegunungan-pegunungan yang ada berarah barat
laut-tenggara yang memiliki relief rendah disertai dengan koral reef yang terangkat.

Sedimentasi pada buton di kontrol oleh 4 tektonik event :

 Pre-Rift Perm sampai Akhir Trias. Pengendapan dari sedimen kontinental pada
half-graben, dicirikan dengan adanya pengangkatan, erosi, dan vulkanisme lokal.
Terjadi penurunan dan pengendapan sedimen laut terbuka diikuti dengan neogen
collision. Pada lapisan berumur trias di intrusi dike batuan beku dan menandakan
awal dari rifting, pembentukan patahan ekstensional, dan regional subsidence.
 Rift-Drift Akhir Trias sampai Oligosen. Periode transisi menuju pada lingkungan
laut terbuka dengan sedimentasi pada pasif margin terjadi pada pertengahan
sampai akhir Jura hasil pengendapan klastik-klastik syn orogenic pada cekungan
neogen merupakan hasil dari erosi dan sesar naik yang berarah timur akibat
pengangkatan lapisan berumur Trias sampai Oligosen.
 Syn dan Post Orogenic awal Miosen sampai Pliosen terjadi subduksi, kompresi,
dan deformasi hingga pertengahan Miosen pada bagian selatan menghasilkan
pengangkatan dan erosi dari klastik-klastik syn orogenic berumur awal Miosen
sehingga terbentuk unconformity secara regional. Collision dari Pulau Buton-
Muna tidak mempengaruhi bagian utara Pulau Buton sampai pertengahan Miosen.
Pada akhir pertengahan Miosen sampai akhir Miosen terjadi obduksi sehingga
menghasilkan ketidakselarasan atau unconformity. Setelah pertengahan Miosen
terjadi sistem sesar geser utama (Kioko) yang memapaskan sedimen dari dua
lingkungan yang berbeda. Pada lima juta tahun yang lalu terjadi perubahan
deformasi dan gaya struktural yang disebabkan oleh zona subduksi Buton
terhadap Muna serta Buton terhadap Tukang Besi. Collision antara Buton dengan
Tukang Besi terekam pada lapisan berumur akhir Pliosen, collision oblique ini
menghasilkan pergerakan strike-slip dan dip-slip yang mengakibatkan
pengangkatan dan subsidence lokal (Chamberlain et al.,1990; Fortuin et al., 1990)
hingga saat ini.
 Resen Orogenic, selatan Buton sekarang mengalami pengangkatan sedangkan
utaranya mengalami penurunan (de Smet et al., 1989). Mikrokontinen Buton pada
saat ini juga mengalami transpressive strike-slip terhadap mikroplate Tukang Besi
dan Muna, lempeng Buton bergerak ke arah utara. Orientasi en-echelon wrench
fault dengan orientasi timur laut yang berhubungan dengan antiklin pada selat
Buton mengindikasikan bahwa terjadi pengaktifan kembali paleo suture zone,
pergerakan utamanya sinistral strike-slip.

KLASIFIKASI CEKUNGAN

Berdasarkan posisi subduksi plateform Tukang Besi terhadap Buton, Cekungan Buton termasuk
ke dalam Fore Arc Basin.

C. CEKUNGAN ARJUNA

A. Ulasan Singkat Geologi Regional

Cekungan Jawa Barat Utara telah dikenal sebagai hydrocarbon province utama di
wilayah Pertamina DOH JBB, Cirebon. Cekungan ini terletak di antara Paparan Sunda di Utara,
Jalur Perlipatan – Bogor di Selatan, daerah Pengangkatan Karimun Jawa di Timur dan Paparan
Pulau Seribu di Barat. Cekungan Jawa Barat Utara dipengaruhi oleh sistem block faulting yang
berarah Utara – Selatan. Patahan yang berarah Utara - Selatan membagi cekungan menjadi
graben atau beberapa sub-basin, yaitu Jatibarang, Pasir Putih, Ciputat, Rangkas Bitung dan
beberapa tinggian basement, seperti Arjawinangun, Cilamaya, Pamanukan, Kandanghaur–
Waled, Rengasdengklok dan Tangerang. Berdasarkan stratigrafi dan pola strukturnya, serta
letaknya yang berada pada pola busur penunjaman dari waktu ke waktu, ternyata cekungan Jawa
Barat telah mengalami beberapa kali fase sedimentasi dan tektonik sejak Eosen sampai dengan
sekarang (Martodjojo, 2002).

B. Tektonostratigrafi dan Struktur Geologi

Cekungan Jawa Barat Utara terdiri dari dua area, yaitu laut (offshore) di Utara dan darat
(onshore) di Selatan (Darman dan Sidi, 2000). Seluruh area didominasi oleh patahan ekstensional
(extensional faulting) dengan sangat minim struktur kompresional. Cekungan didominasi oleh
rift yang berhubungan dengan patahan yang membentuk beberapa struktur deposenter (half
graben), antara lain deposenter utamanya yaitu Sub-Cekungan Arjuna dan Sub-Cekungan
Jatibarang, juga deposenter yang lain seperti : Sub-Cekungan Ciputat, Sub-Cekungan Pasirputih.
Deposenter-deposenter itu didominasi oleh sikuen Tersier dengan ketebalan melebihi 5500 m.

Struktur yang penting pada cekungan tersebut yaitu terdiri dari bermacam-macam area
tinggian yang berhubungan dengan antiklin yang terpatahkan dan blok tinggian (horst block),
lipatan pada bagian yang turun pada patahan utama, keystone folding dan mengena pada
tinggian batuan dasar. Struktur kompresional hanya terjadi pada awal pembentukan rift pertama
yang berarah relative barat laut-tenggara pada periode Paleogen. Sesar ini akan aktif kembali
pada Oligosen. Tektonik Jawa Barat dibagi menjadi tiga fase tektonik yang dimulai dari Pra
Tersier hingga Plio-Pliostosen. Fase tektonik tersebut adalah sebagai berikut :

1. Tektonik Pertama
Pada zaman Akhir Kapur awal Tersier, Jawa Barat Utara dapat dilkasifikasikan sebagai
‘Fore Arc Basin’ dengan dijumpainya orientasi struktural mulai dari Cileutuh, Sub
Cekungan Bogor, Jatibarang, Cekungan Muriah dan Cekungan Florence Barat yang
mengindikasikan kontrol ‘Meratus Trend’. Periode Paleogen (Eosen-Oligosen) di kenal
sebagai Paleogen Extensional Rifting. Pada periode ini terjadi sesar geser mendatar
menganan utama krataon Sunda akibat dari peristiwa tumbukan Lempeng Hindia dengan
Lempeng Eurasia. Sesar-sesar ini mengawali pembentukan cekungan-cekungan Tersier di
Indonesia Bagian Barat dan membentuk Cekungan Jawa Barat Utara sebagai pull apart
basin.
Tektonik ektensi ini membentuk sesar-sesar bongkah (half gnraben system) da
merupakan fase pertama rifting (Rifting I : fill phase). Sedimen yang diendapkan pada
rifting I ini disebut sebagai sedimen synrift I. Cekungan awal rifting terbentuk selama
fragmentasi, rotasi dan pergerakan dari kraton Sunda. Dua trend sesar normal yang
diakibatkan oleh perkembangan rifting-I (early fill) berarah N 60o W – N 40o W dan
hampir N – S yang dikenal sebagai Pola sesar Sunda. Pada masa ini terbentuk endapan
lacustrin dan volkanik dari Formasi Jatibarang yang menutup rendahan-rendahan yang
ada. Proses sedimentasi ini terus berlangsung dengan dijumpainya endapan transisi
Formasi Talangakar. Sistem ini kemudian diakhiri dengan diendapkannya lingkungan
karbonat Formasi Baturaja.
2. Tektonik kedua
Fase tektonik kedua terjadi pada permulaan Neogen (Oligo-Miosen) dan dikenal sebagai
Neogen Compressional Wrenching. Ditandai dengan pembentukan sesar-sesar geser
akibat gaya kompresif dari tumbukan Lempeng Hindia.Sebagian besar pergeseran sesar
merupakan reaktifasi dari sesar normal yang terbentuk pada periode Paleogen.
Jalur penunjaman baru terbentuk di selatan Jawa. Jalur volkanik periode Miosen Awal
yang sekarang ini terletak di lepas pantai selatan Jawa. Deretan gunungapi ini
menghasilkan endapan gunungapi bawah laut yang sekarang dikenal sebagai “old
andesite” yang tersebar di sepanjang selatan Pulau Jawa. Pola tektonik ini disebut Pola
Tektonik Jawa yang merubah pola tektonik tua yang terjadi sebelumnya menjadi berarah
barat-timur dan menghasilkan suatu sistem sesar naik, dimulai dari selatan (Ciletuh)
bergerak ke utara. Pola sesar ini sesuai dengan sistem sesar naik belakang busur atau
yang dikenal “thrust foldbelt system”.

D. Sedimentasi Cekungan

Periode awal sedimentasi di Cekungan Jawa Barat Utara dimulai pada kala Eosen Tengah –
Oligosen Awal (fase transgresi) yang menghasilkan sedimentasi vulkanik darat – laut dangkal
dari Formasi Jatibarang. Pada saat itu aktifitas vulkanisme meningkat. Hal ini berhubungan
dengan interaksi antar lempeng di sebelah selatan Pulau Jawa, akibatnya daerah-daerah yang
masih labil sering mengalami aktivitas tektonik. Material-material vulkanik dari arah timur mulai
diendapkan.

Periode selanjutnya merupakan fase transgresi yang berlangsung pada kala Oligosen Akhir –
Miosen Awal yang menghasilkan sedimen trangresif transisi – deltaik hingga laut dangkal yang
setara dengan Formasi Talang Akar pada awal permulaan periode. Daerah cekungan terdiri dari
dua lingkungan yang berbeda yaitu bagian barat paralic sedangkan bagian timur merupakan laut
dangkal. Selanjutnya aktifitas vulkanik semakin berkurang sehingga daerah-daerah menjadi agak
stabil, tetapi anak cekungan Ciputat masih aktif. Kemudian air laut menggenangi daratan yang
berlangsung pada kala Miosen Awal mulai dari bagian barat laut terus ke arah tenggara
menggenangi beberapatinggian kecuali tinggian Tangerang. Dari tinggian-tinggian ini sedimen-
sedimen klastik yang dihasilkan setara dengan formasi Talang Akar.

Pada Akhir Miosen Awal daerah cekungan relative stabil, dan daerah Pamanukan sebelah barat
merupakan platform yang dangkal, dimana karbonat berkembang baik sehingga membentuk
setara dengan formasi Baturaja, sedangkan bagian timur merupakan dasar yang lebih dalam.
Pada kala Miosen Tengah yang merupakan fase regresi, Cekungan Jawa Barat Utara diendapkan
sediment-sedimen laut dangkal dari formasi Cibulakan Atas. Sumber sedimen yang utama dari
formasi Cibulakan Atas diperkirakan berasal dari arah utara – barat laut. Pada akhir Miosen
Tengah kembali menjauhi kawasan yang stabil, batugamping berkembang dengan baik.
Perkembangan yang baik ini dikarenakan aktivitas tektonik yang sangat lemah dan lingkungan
berupa laut dangkal. Kala Miosen Akhir – Pliosen (fase regresi) merupakan fase pembentukan
Formasi Parigi dan Cisubuh. Kondisi daerah cekungan mengalami sedikit perubahan dimana
kondisi laut semakin berkurang masuk kedalam lingkungan paralik.

Pada Kala Pleistosen – Aluvium ditandai untuk pengangkatan sumbu utama Jawa. Pengangkatan
ini juga diikuti oleh aktivitas vulkanisme yang meningkat dan juga diikuti pembentukan struktur
utama Pulau Jawa. Pengangkatan sumbu utama Jawa tersebut berakhir secara tiba-tiba sehingga
mempengaruhi kondisi laut. Butiran-butiran kasar diendapkan secara tidak selaras diatas Formasi
Cisubuh.

D. CEKUNGAN BARITO

Tektonik Cekungan Barito

Secara tektonik Cekungan Barito terletak pada batas bagian tenggara dari Schwanner
Shield, Kalimantan Selatan. Cekungan ini dibatasi oleh Tinggian Meratus pada bagian Timur dan
pada bagian Utara terpisah dengan Cekungan Kutai oleh pelenturan berupa Sesar Adang, ke
Selatan masih membuka ke Laut Jawa, dan ke Barat dibatasi oleh Paparan Sunda.Cekungan
Barito merupakan cekungan asimetrik, memiliki cekungan depan (foredeep) pada bagian paling
Timur dan berupa platform pada bagian Barat. Cekungan Barito mulai terbentuk pada Kapur
Akhir, setelah tumbukan (collision) antara microcontinent Paternoster dan Baratdaya Kalimantan
(Metcalfe, 1996; Satyana, 1996).

Pada Tersier Awal terjadi deformasi ekstensional sebagai dampak dari tektonik
konvergen, dan menghasilkan pola rifting Baratlaut – Tenggara. Rifting ini kemudian menjadi
tempat pengendapan sedimen lacustrine dan kipas aluvial (alluvial fan) dari Formasi Tanjung
bagian bawah yang berasal dari wilayah horst dan mengisi bagian graben, kemudian diikuti oleh
pengendapan Formasi Tanjung bagian atas dalam hubungan transgresi.Pada Awal Oligosen
terjadi proses pengangkatan yang diikuti oleh pengendapan Formasi Berai bagian Bawah yang
menutupi Formasi Tanjung bagian atas secara selaras dalam hubungan regresi. Pada Miosen
Awal dikuti oleh pengendapan satuan batugamping masif Formasi Berai.

Selama Miosen tengah terjadi proses pengangkatan kompleks Meratus yang mengakibatkan
terjadinya siklus regresi bersamaan dengan diendapkannya Formasi Warukin bagian bawah, dan
pada beberapa tempat menunjukkan adanya gejala ketidakselarasan lokal (hiatus) antara Formasi
Warukin bagian atas dan Formasi Warukin bagian bawah.Pengangkatan ini berlanjut hingga
Akhir Miosen Tengah yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya ketidakselarasan regional
antara Formasi Warukin atas dengan Formasi Dahor yang berumur Miosen Atas – pliosen.
Tektonik terakhir terjadi pada kala Plio-Pliestosen, seluruh wilayah terangkat, terlipat, dan
terpatahkan. Sumbu struktur sejajar dengan Tinggian Meratus. Sesar-sesar naik terbentuk dengan
kemiringan ke arah Timur, mematahkan batuan-batuan tersier, terutama daerah-daerah Tinggian
Meratus.

Statigrafi Cekungan Barito

Stratigrafi Cekungan Barito, Cekungan Kutai, dan Cekungan Tarakan.

(Courtney, et al., 1991, op cit., Bachtiar, 2006).

Urutan stratigrafi Cekungan Barito dari tua ke muda adalah :

Formasi Tanjung (Eosen – Oligosen Awal)


Formasi ini disusun oleh batupasir, konglomerat, batulempung, batubara, dan basalt. Formasi ini
diendapkan pada lingkungan litoral neritik.

Formasi Berai (Oligosen Akhir – Miosen Awal)

Formasi Berai disusun oleh batugamping berselingan dengan batulempung / serpih di bagian
bawah, di bagian tengah terdiri dari batugamping masif dan pada bagian atas kembali berulang
menjadi perselingan batugamping, serpih, dan batupasir. Formasi ini diendapkan dalam
lingkungan lagoon-neritik tengah dan menutupi secara selaras Formasi Tanjung yang terletak di
bagian bawahnya. Kedua Formasi Berai, dan Tanjung memiliki ketebalan 1100 m pada dekat
Tanjung.

Formasi Warukin (Miosen Bawah – Miosen Tengah)

Formasi Warukin diendapkan di atas Formasi Berai dan ditutupi secara tidak selaras oleh
Formasi Dahor. Sebagian besar sudah tersingkap, terutama sepanjang bagian barat Tinggian
Meratus, malahan di daerah Tanjung dan Kambitin telah tererosi. Hanya di sebelah selatan
Tanjung yang masih dibawah permukaan.

Formasi ini terbagi atas dua anggota, yaitu Warukin bagian bawah (anggota klastik), dan
Warukin bagian atas (anggota batubara). Kedua anggota tersebut dibedakan berdasarkan susunan
litologinya. Warukin bagian bawah (anggota klastik) berupa perselingan antara napal atau
lempung gampingan dengan sisipan tipis batupasir, dan batugamping tipis di bagian bawah,
sedangkan dibagian atas merupakan selang-seling batupasir, lempung, dan batubara.
Batubaranya mempunyai ketebalan tidak lebih dari 5 m., sedangkan batupasir bias mencapai
ketebalan lebih dari 30 m.

Warukin bagian atas (anggota batubara) dengan ketebalan maksimum ± 500 meter, berupa
perselingan batupasir, dan batulempung dengan sisipan batubara. Tebal lapisan batubara
mencapai lebih dari 40 m, sedangkan batupasir tidak begitu tebal, biasanya mengandung air
tawar. Formasi Warukin diendapkan pada lingkungan neritik dalam (innerneritik) – deltaik dan
menunjukkan fasa regresi.

Formasi Dahor (Miosen Atas – Pliosen)

Formasi ini terdiri atas perselingan antara batupasir, batubara, konglomerat, dan serpih
yang diendapkan dalam lingkungan litoral – supra litoral.

E. CEKUNGAN BINTUNI

Secara geografis, Papua dibagi menjadi 3 komponen besar, yaitu bagian Kepala Burung(KB),
leher burung dan badan burung Papua. Cekungan Bintuni berada di Teluk Bintuni-Papua Barat,
tepatnya terletak di bagian kepala-leher burung.
Peta geologi regional Kepala Burung (KB) (Syawal, 2010)

Cekungan Bintuni merupakan cekungan dengan luas ± 30.000 km2 yang cenderung berarah
utara-selatan dengan umur Tersier Akhir yang berkembang pesat selama proses pengangkatan
LFB ke timur dan blok Kemum dari sebelah utara. Cekungan ini di sebelah timur berbatasan
dengan Sesar Arguni, di depannya terdapat LFB yang terdiri dari batuan klastik
berumur Mesozoik dan batu gamping berumur tersier yang mengalami perlipatan dan
tersesarkan. Di sebelah barat cekungan ini ditandai dengan adanya tinggian struktural, yaitu
Pegunungan Sekak yang meluas sampai ke Utara, di sebelah Utara terdapat dataran tinggi
Ayamaru yang memisahkan Cekungan Bintuni dengan Cekungan Salawati yang memproduksi
minyak bumi. Di sebelah selatan, Cekungan Bintuni dibatasi oleh Sesar Tarera-Aiduna, sesar ini
paralel dengan Sesar Sorong yang terletak di sebelah utara KB. Kedua sesar ini merupakan sesar
utama di daerah Papua Barat (Anonim, 2014). Sebagai cekungan yang berada di sekitar
tumbukan antara tiga lempeng, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Hindia Australia, dan
Lempeng Pasifik, Cekungan Bintuni memiliki sejarah tektonik yang sangat kompleks. Menurut
Lemigas (2009), episode tektonik dan struktur geologi yang berkembang tidak dapat dipisahkan
dari empat tektonik skala besar yang terjadi di kawasan Timur Indonesia dan Australia, yaitu:

 Rifting pada Awal Jura di sepanjang batas utara Lempeng Australia (Pulau Papua New
Guinea).
 Rifting Awal Jura di sepanjang barat laut Paparan Autralia termasuk Palung Aru
(NW shelf rift).
 Kolosi Neogen antara Lempeng Pasifik dan Lempeng Australia, serta subduksi pada
Palung New Guinea yang menghasilkan jalur perlipatan Papua dan Lengguru.
 Kolosi Neogen antara Jalur Banda dengan Lempeng Australia yang membentuk Jalur
Kepulauan Kumawa-Onin-Misool.

STRATIGRAFI REGIONAL

Stratigrafi Pratersier Cekungan Bintuni tidak terlepas dari stratigrafi daerah Kepala
Burung secara umum. Menurut LEMIGAS (2009), batuan tertua yang diendapkan adalah
Formasi Kemum berumur Silur sampai Devon yang seiring perjalanan waktu telah terdeformasi
sangat kuat. Sedimen Kelompok Aifam kemudian menumpang di atasnya secara tidak selaras.
Kelompok tersebut meliputi Formasi Aimau yang berumur Karbon, Formasi Aifat yang berumur
Karbon sampai Perem, dan Formasi Ainim yang berumur Perem Akhir sampai Trias Awal.
Formasi Tipuma yang berumur Trias sampai Jura Awal menindih secara tidak selaras Formasi
Ainim. Endapan Kelompok Kambelangan kemudian menindih diatas Formasi Tipuma secara
selaras. Kelompok Kambelangan meliputi Formasi Kambelangan Bawah dan Formasi Jass.
Dalam Kelompok ini, Formasi Kambelangan Bawah yang berumur Jura Tengah sampai Akhir
ditindih secara tidak selaras oleh Formasi Jass yang berumur Kapur Akhir. Di atas Formasi Jass
adalah sedimen berumur Tersier Sedimen Pratersier yang mempunyai potensi menjadi elemen
esensial sistem minyak, yaitu batupasir Formasi Tipuma dan Kambelangan Bawah sebagai
reservoar, serta serpih Formasi Ainim, Tipuma, Kembelangan Bawah, dan Jass sebagai batuan
sumber

Stratigrafi regional

Anda mungkin juga menyukai