Anda di halaman 1dari 8

Meningkatkan Kesadaran Mahasiswa dalam Berwakaf

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akuntansi Syari’ah

Oleh:

Atika Gando Suri (1810532011)

Dosen Pengampu : Vima Tista Putriana, Ph.D.

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

TAHUN 2020
Pendahuluan

Pengembangan wakaf selama ini masih terbatas pada wakaf yang sifatnya tidak
bergerak dan tahan lama. Di zaman modern ini, salah satu bentuk dan gerakan wakaf yang
banyak mendapat perhatian adalah  wakaf tunai. Wakaf tunai merupakan salah satu solusi
yang dapat membuat wakaf lebih produktif karena uang tidak hanya sebagai alat tukar
menukar saja namun memiliki kekuatan yang umum dimana setiap orang bisa
menyumbangkan harta tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah terlebih dahulu (Agustianto
2011). Praktik wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah,
wakaf tidak hanya untuk orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk
membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para stafnya,
gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat kepada
pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian Negara untuk mengatur pengelolaan wakaf
sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat. (Tabung Wakaf,
2015)
Sebagai mahasiswa, dalam menjalankan tri dharma perguruan tinggi, sudah
sepatutnya mahasiswa juga ikut serta dalam upaya membangun kesejahteraan masyarakat.
Salah satu bentuknya adalah dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya berwaqaf di
lingkungan Pendidikan Tinggi. Sebab, selain adanya kemudahan dalam bertransaksi waqaf
saat ini, mahasiswa juga dinilai mampu untuk menjadi pengelola waqaf berdasarkan ilmu
yang telah didapat. Oleh sebab itu, melalui essay ini penulis mencoba memaparkan
bagaimana pentingnya peran mahasiswa sebagai agent of change dapat menjadi seorang
wakif dan sekaligus menjadi pengelola waqaf. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan
kesadaran mahasiswa dalam berwakaf sehingga dapat ikut andil dalam meningkatkan
kesejahteraan umat terkhususnya kesejahteraan mahasiswa dan lingkungan Pendidikan
Tinggi.

Sejarah Waqaf

Menurut Mundzir Qahaf (2006,h. 12) , wakaf di zaman Islam telah dimulai bersamaan
dengan dimulainya masa kenabian Muhammad di Madinah yang ditandai dengan
pembangunan Masjid Quba’, yaitu masjid yang dibangun atas dasar takwa sejak dari pertama,
agar menjadi wakaf pertama dalam Islam untuk kepentingan agama. Peristiwa ini terjadi
setelah Nabi hijrah ke Madinah dan sebelum pindah ke rumah pamannya yang berasal dari
Bani Najjar. Kemudian disusul dengan pembangunan Masjid Nabawi yang dibangun di atas
tanah anak yatim dari Bani Najjar setelah dibeli oleh Rasulullah dengan harga delapan ratus
dirham. Dengan demikian, Rasulullah telah mewakafkan tanah untuk pembangunan masjid.
Peristiwa sejarah yang sangat penting dan mungkin bisa dianggap sebagai peristiwa
wakaf terbesar dalam sejarah manusia, baik dari sisi pelaksanaan maupun perluasan
pemahaman tentang wakaf adalah wakaf tanah yang dibebaskan oleh Umar Ibn Khattab di
beberapa Negara seperti Syam, Mesir dan Iraq. Hal ini dilakukan Umar setelah
bermusyawarah dengan para sahabat, yang hasilnya adalah tidak boleh memberikan tanah
pertanian kepada para tentara dan mujahid yang ikut dalam pembebasan tersebut. Dengan
mengambil dalil pada QS Al-Hasyr: 7-10, Umar memutuskan agar tanah-tanah tersebut
dijadikan wakaf bagi umat Islam dan generasi Islam yang akan datang. Bagi para petani
pengguna tanah-tanah wakaf ini dikenakan pajak yang dalam ekonomi Islam disebut pajak
bumi (Itang & Iik Syakhabyatin 2017,h. 235).
Praktik wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah,
wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal
untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para
stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme
masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian Negara untuk mengatur
pengelolaan wakaf sebagai sector untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi
masyarakat.
Wakaf pada mulanya hanyalah  keinginan seseorang yang ingin berbuat baik dengan
kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun,
setelah masyarakat Islam merasakan betapa manfaatnya lembaga wakaf, maka timbullah
keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuk lembaga yang
mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara
umum seperti masjid atau secara individu atau keluarga.
Pada masa dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah bin Ghar Al-
Hadramiy pada masa khalifah Hisyam bin Abd Malik. Ia sangat perhatian dan tertarik dengan
pengembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga wakaf tersendiri sebagaimana lembaga
lainnya di bawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan
dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan di seluruh Negara Islam. Pada saat itu juga,
Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan lembaga
wakaf di bawah Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan
kepada yang berhak dan yang membutuhkan.
Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan “shadr al-Wuquf”
yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. Demikian
perkembangan wakaf pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang manfaatnya dapat
dirasakan oleh masyarakat, sehingga lembaga wakaf berkembang searah dengan pengaturan
administrasinya. (Tabung Wakaf, 2015)

Perkembangan Wakaf di Indonesia

Di Indonesia, pada awalnya bentuk wakaf yang dikenal masyarakat secara luas hanya
dalam wakaf tanah, namun kini setelah dikeluarkannya peraturan perundang-undangan
Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf tunai, masyarakat telah mengenal bahwa wakaf tidak
hanya tanah, tetpi wakaf dapat berbentu uang. Perbincangan tentang wakaf sejak awal
memang selalu diarahkan pada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah, bangunan, pohon
untuk diambil buahnya dan sumur untuk dambil airnya. Sedangkan untuk wakaf benda tidak
bergerak baru mengemuka belakangan ini. Di antara wakaf benda bergerak yang sedang
banyak dibicarakan adalah bentuk wakaf yang dengan sebutan Cash Waqf, yang
diterjemahkan dengan wakaf uang. Namun jika melihat objek wakafnya yang berupa uang,
maka wakaf ini lebih tepat kalau diterjemahkan dengan wakaf uang. Wakaf tunai adalah
wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, dan lembaga atau badan hukum dalam
bentuk uang tunai. (Nurul Huda dan M.Heykal 2010) .
Sesuai dengan keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tertanggal 26 April
2002 diterangkan bahwa yang dimaksud dengan wakaf uang (cash wakaf/ waqf al-nuqud)
adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam
bentuk uang tunai. Dalam pengertian tersebut, yang dimaksud dengan uang adalah surat-surat
berharga (Keputusan Komisi Fatwa MUI yang dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2002).
Wakaf tunai ini termasuk salah satu wakaf produktif. Seorang ahli zakat K.H. Didin
Hafiduddin menjelaskan bahwa wakaf produktif merupakan pemberian dalam bentuk sesuatu
yang bisa diupayakan untuk digulirkan untuk kebaikan dan kemaslahatan umat. Mengenai
bentuknya bisa berupa uang maupun surat-surat berharga. (Itang & Iik Syakhabyatin 2017)
Indonesia adalah salah satu negara yang giat dalam peningkatan literasi wakaf.
Berbagai peraturan dan undang-undang disusun sedemikian rupa demi memperkuat aturan
tentang wakaf di Indonesia. Salah satu komitmen dari pemerintah dalam menyukseskan
penyelenggaraan pengelolaan wakaf di Indonesia adalah dengan didirikannya Badan Wakaf
Indonesia. Kelahiran Badan Wakaf Indonesia (BWI) merupakan perwujudan amanat yang
digariskan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Kehadiran BWI,
sebagaimana dijelaskan dalam pasal 47, adalah untuk memajukan dan mengembangkan
perwakafan di Indonesia. Untuk kali pertama, Keanggotaan BWI diangkat oleh Presiden
Republik Indonesia, sesuai dengan Keputusan Presiden (Kepres) No. 75/M tahun 2007, yang
ditetapkan di Jakarta, 13 Juli 2007. Jadi, BWI adalah lembaga independen untuk
mengembangkan perwakafan di Indonesia yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat bebas
dari pengaruh kekuasaan manapun, serta bertanggung jawab kepada masyarakat. Kelahiran
badan resmi pemerintah tersebut pada akhirnya melahirkan berbagai konsep dalam
pengembangan literasi wakaf di berbagai kalangan. (Dirga 2019)

Aplikasi Konsep Waqaf di Pendidikan Tinggi

Sudah merupakan tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan fasilitas


pendidikan yang berkualitas mulai dari Aceh sampai dengan Papua. Masalahnya adalah
apakah cukup total dana pendidikan tersebut diambil dari APBN? Jawaban singkatnya adalah
tidak. Kalaupun cukup, akan ada pengorbanan dari sektor lain dan itu sulit dilakukan.
(Tanjung dan Sukmana 2019)
Perguruan tinggi harus mencari alternatif solusi dalam membiayai segala aktivitas
operasional pendidikan yang dijalankan. Selama ini, perguruan tinggi di Indonesia pada
umumnya belum mampu berkreasi dalam mencari sumber pendanaan alternatif selain dari
APBN. UU Nomor 12 Tahun 2012 telah mengatur berbagai hal terkait penyelenggaraan
pendidikan tinggi di Indonesia, termasuk mengenai pendaanaan dan pembiayaan di bab V
yang mencakup pasal 83 s.d. 89. Pasal 84 ayat 2 menjelaskan perihal sumber pendanaan
pendidikan tinggi yang dapat diperoleh dari masyarakat. Termasuk pada poin b dalam UU
tersebut bahwa pembiayaan dan pendanaan pendidikan tinggi dapat diperoleh dari waqaf.
Wakaf selama ini masih dipandang sebelah mata dalam berbagai aktivitas ekonomi,
termasuk pendanaan pendidikan tinggi di Indonesia. Padahal, jika kita mau merujuk ke
negara lain di dunia, wakaf telah memiliki peran sentral dalam pendanaan pendidikan tinggi.
Sebut saja salah satu universitas tertua di dunia, Universitas Al Azhar di Mesir, yang dapat
berdiri sejak dinasti Fathimiyyah pada 970 masehi hingga hari ini merupakan hasil
pengelolaan wakaf dari masyarakat Mesir secara terus-menerus. Bahkan banyak pula
universitas terkemuka dunia pada hari ini, misalnya Harvard University di Amerika Serikat,
yang juga mengelola dana “wakaf” dengan jumlah sangat besar untuk mendanai operasional
kampus.
Perguruan tinggi sebagai sebagai penyelenggara pendidikan tertinggi setelah jenjang
pendidikan SD-SMP-SMA dan sederajat tentu perlu biaya yang tidak sedikit dalam
menjalankan operasionalnya. Dibutuhkan partisipasi masyarakat luas dalam pendanaan
pendidikan tinggi ditengah anggaran negara yang terbatas untuk mendanai pendidikan tinggi.
Wakaf dapat hadir dalam semangat partisipasi tersebut serta menjadi salah satu alternatif
solusi pendanaan pendidikan tinggi di Indonesia.
Wakaf yang dalam bahasa inggris diartikan sebagai endowment bukanlah hal baru di
pendidikan tinggi seluruh dunia. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, Harvard University di
Amerika Serikat yang merupakan pengelola academic endowment terbesar di dunia memiliki
nilai endowment lebih dari 35 miliar dolar AS pada tahun 2016. Jumlah endowment kampus
tersebut sangat besar dan menjadi penopang pemasukan kampus terbesar dengan presentase
36 persen dari total penerimaan. (Digest of Education Statistics 2018)
Tata kelola endowment harus baik agar dapat menjadi sumber penerimaan yang besar
bagi keuangan kampus. Pengelolaan endowment di Harvard dan kampus-kampus besar
lainnya di dunia dikelola oleh suatu lembaga manajemen yang khusus menangani
urusan endowment sehingga dikerjakan secara profesional oleh ahlinya.
Artinya, endowment sudah dipandang sebagai suatu pendanaan strategis dan sebuah cara
untuk terus menghidupkan aktivitas operasional kampus secara berkelanjutan. Kampus-
kampus di Indonesia harus belajar banyak atas hal tersebut. (Izzudin 2017)
Adapun tujuan dari endowment funds ini untuk diinvestasikan sehingga nilai total
asetnya tidak tergerus inflasi. Hasil investasinya sebagian diinvestasikan lagi. Sebagian lagi
digunakan untuk biaya pendidikan seperti menggaji tenaga pendidik dengan gaji yang tinggi
dan menarik minat tenaga pendidik untuk mampu meningkatkan kualitasnya dan mau
mengajar pada suatu lembaga pendidikan tinggi. Dana itu juga digunakan untuk memperbaiki
ruang kuliah, laboratorium, perpustakaan, dan fasilitas lainnya. Selain itu, hasil dari wakaf ini
digunakan untuk membiayai operasional universitas tersebut. Akibatnya, mahasiswa tidak
hanya bebas biaya pendidikan tetapi setiap bulan mereka mendapatkan bantuan secara
finansial. Dalam Islam, wakaf mendapat penekanan lebih, yaitu tidak hanya unsur duniawi
untuk penyediaan fasilitas penunjuang pendidikan tetapi juga unsur akhirat yang mana pahala
tiada terputus sampai dengan hari kiamat. Sehingga, melihat praktik wakaf yang sudah sangat
maju 454 tahun yang lalu, rasanya tidak berlebihan kalau ke depannya kita bangkitkan lagi
wakaf untuk pendidikan yang dulu pernah ada.  (Tanjung dan Sukmana 2019)
Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, masyarakat diharapkan mengerti tentang bagaimana wakaf


mampu meningkatkan kesejahteraan umat terutama dalam aspek penididikan tinggi. Tidak
menututup kemungkinan bahwa mahasiswa juga ikut berperan penting dalam pelaksanaan
wakaf yang ada terkhususnya lingkungan kampus, sudah banyaknya kemudahan-kemudahan
dalam melakukan transaksi waqaf seperti adanya waqaf tunai. Kebutuhan akan fasilitas yang
memadai, biaya hidup yang mencukupi mendorong mahasiswa untuk dapat saling
berpegangan tangan membantu satu sama lain.
Selain itu, dengan tingginya tingkat kesadaran mahasiswa dalam berwaqaf akan
mampu memperdalam kemampuannya menjadi pengelola waqaf. Hal ini dapat tercapai
dengan diberikannya kepercayaan dan pelatihan yang memadai dari lembaga hukum yang
telah dipercaya dalam mengelola wakaf seperti BWI untuk menjadikan mahasiswa sebagai
perpanjangan tangan dalam menggalang dana wakaf di lingkungan kampus. Mengutip dari
UU no. 41 Tahun 2004 tentang wakaf yang menjadi legalitas wakaf di Indonesia menegaskan
bahwa pengelolaan wakaf dilaksanakan oleh nazhir (pihak yang menerima dan mengelola
harta benda wakaf) dari wakif (pemberi wakaf) .
Dalam UU tersebut juga disebutkan bahwa nazhir (pengelola wakaf) meliputi 3 pihak,
yaitu perseorangan (wakaf diserahkan pada seseorang yang diberi tanggung jawab untuk
mengelolanya), organisasi (baik yang bersifat dan badan hukum. (Gustiana dan Ihsan 2017, h.
56). Hal tersebut menunjukan bahwa, mahasiswa juga memenuhi persyaratan menjadi
pengelola wakaf (nazir). Dengan menjadi pelopor dalam pengelolaan wakaf, mahasiswa
secara langsung bukan hanya meningkatkan literasi akan pentingnya wakaf namun juga dapat
mengaplikasikan ilmu wakaf yang mereka peroleh pada lingkungan sekitar mereka untuk
meningkatkan kepedulian terhadap sesama.

Referensi

Agustianto 2011, ‘Wakaf uang dalam hukum positif dan prospek pemberdayaan ekonomi syari’ah’,
Artikel, NIZWAF, dilihat 11 Mei 2020, <http://www.agustiantocentre.com/?p=599#_ftn3>

Tabung Wakaf 2015, Sejarah wakaf alaw perwkafan islam, Dompet Duafa, dilihat 11 Mei 2020
<http://tabungwakaf.com/sejarah-wakaf-awal-perwakafan-islam/>
Qahaf, Mundir 2006, Al-Waqf al-Islami Tatawwuruhu, Idaratuhu, Tanmiyatuhu, Dimasyq Syurriah:
Dar al Fikr.

Huda, Nurul dan Mohamad Heykal 2010, Lembaga Keuangan Islam, Jakarta: Kencana.

Itang dan Iik Syakhabyatin 2017, ‘Sejarah wakaf di Indonesia’, Jurnal Keislaman, Kemasyarakatan
dan Kebudayaan, Vol. 18 No. 2 , h. 235 dilihat tanggal 11 Mei 2020, <file:///C:/Users/WIN
%2010%20PRO/Downloads/1151-157-2812-1-10-20181015.pdf>

Dirga, Gusti A.P 2019, Wakafpreneur upaya meningkatkan gerakan mahasiswa sadar wakaf di
lingkungan kampus, Sharinanews.com, dilihat tanggal 11 Mei 2020,
<https://sharianews.com/posts/wakafpreneur-upaya-meningkatkan-gerakan-mahasiswa-sadar-wakaf-
di-lingkungan-kampus>

Tanjung, Hendri dan Raditya Sukmana 2019, ‘Wakaf untuk kualitas perguruan tinggi’,
Repulika.co.id, dilihat tanggal 11 Mei 2020, <https://republika.co.id/berita/pveb57440/wakaf-untuk-
kualitas-perguruan-tinggi>

Al Farras Adha, Izzudin 2017, ‘Menakar potensi wakaf untuk pendidikan tinggi di Indonesi’,
Repulika.co.id, dilihat tanggal 11 Mei 2020, <https://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-
warga/wacana/17/03/15/omuiru408-menakar-potensi-wakaf-untuk-pendidikan-tinggi-di-indonesia>

Digest of Education Statistics 2018, Table 333.90 Endowment funds of the 120 degree-granting
postsecondary institutions with the largest endowments, by rank order: Fiscal year 2017, dilihat
tanggal 11 Mei 2020, < https://nces.ed.gov/fastfacts/display.asp?id=73>

Gustiana dan Hidayatul Ihsan 2017, ‘Pembiayaan berbasis wakaf pada perguruan tinggi sebagai
alternatif pilihan: tinjauan literatur’, Polibisnis, Volume 9 No. 1 , h. 56, dilihat tanggal 11 Mei 2020, <
file:///C:/Users/WIN%2010%20PRO/Downloads/75-85-1-PB.pdf>

Anda mungkin juga menyukai