Halaman
PERNYATAAN i
ABSTRAK ii
ABSTRACT iii
KATA PENGANTAR iv
RIWAYAT HIDUP vi
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN xi
BAB 1 PENDAHULUAN 1
vii
Universitas Sumatera Utara
2.7 Tujuan Pembelajaran Matematika Secara Deduksi 23
4.1 Kesimpulan 55
4.2 Saran 57
DAFTAR PUSTAKA 58
viii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL
3.4 Uji F 48
3.5 Uji T 49
ix
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR
2.5 Diagram penalaran deduktif tentang jumlah besar sudut dalam segitiga
1800 18
4.1 Diagram penalaran deduktif tentang jumlah besar sudut dalam segitiga
180o 56
4.2 Segi 4 64
4.7 Jajarangenjang 68
4.8 Jajarangenjang 69
x
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR LAMPIRAN
xi
Universitas Sumatera Utara
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Universitas Sumatera Utara
2
”Formal deductive proof has its own instructional requirements. These require-
ments are not addressed in instructional practices born in the research related to
algorithmic mathematical problem solving processes. Instead of prescriptive pro-
cedures, heuristicstrategies may be required on emergence. Appropriate knowledge
elements related tocontent knowledge, skills in problem solving process including
representational advancesand planning strategies, metacognitive functions are ma-
jor requirements for learningproof-type geometry problem solving”.( Maduna B. E.
: 2003)
Kesulitan siswa menengah atas dalam pembuktian itu tentu saja akan ber-
pengaruh pada pembelajaran matematika topik yang lebih berat yang sarat de-
ngan pembuktian, seperti topik geometri, dan yang lainnya. Geometri adalah
mata pelajaran khusus yang membantu perkembangan keahlian deduktif yang di
buktikan secara formal di tingkat pendidikan umum. Pemecahan dari permasala-
han pada pembuktian deduktif formal ini dianggap sebagai bukti dari pencapaian
tingginya tingkat kompetensi matematika. Untuk alasan ini, pembuktian deduktif
formal tampaknya menjadi alat ukur/indikator yang wajar siswa menengah per-
tama bagaimana kemampuan penalalarannya tidak hanya geometri tetapi materi
lain dari kurikulum matematika SMP .
Saat ini, dapat di perhatikan hanya sedikit sekali penelitian yang di bu-
at khusus untuk pengembangan permasalahan pembuktian deduktif formal pada
siswa menengah pertama. Pada level SMP, siswa mulai mempelajari secara khusus
bagaimana cara penyelesaian berbagai permasalahan geometri melalui pembuk-
tian deduktif. Hal ini dapat meningkatkan logika berfikir siswa secara nyata
dibandingkan dengan pelajaran lainnya pada di tingkat tersebut. Pembuktian
deduktif formal yang diberikan di dalam kurikulum, dapat membiasakan siswa
untuk mengatasi masalah secara sistematis. Namun pada kenyataan yang terjadi,
saat dilakukan observasi awal bagaimana kemampuan siswa menegah atas dalam
memecahkan permasalahan geometri melalui pembuktian deduktif formal ternya-
ta dapat diambil kesimpulan bahwa siswa dalam observasi ini berada pada level
SMP, menunjukkan performa (kinerja) yang buruk dalam pemecahan masalah
geometri melalui pembuktian deduktif formal. Hal ini, sejalan dengan hasil yang
di peroleh oleh suatu badan National Examinations and Testing Service (NETS)
menunjukkan bahwa para siswa memiliki minat yang rendah dalam menyelesaikan
permasalahan geometri melalui pembuktian deduktif formal, hanya sedikit dari
sampel yang diteliti meraih nilai yang memuaskan (NETS, 2003: 14).
Manfaat Praktis:
Hasil penelitian dapat mengatasi kesulitan yang dialami siswa dalam menye-
lesaikan masalah geometri melalui pembuktian deduktif formal, khususnya siswa
SMP N 1 Medan.
Manfaat Teoritis :
TINJAUAN PUSTAKA
1. Jika besar dua sudut pada suatu segitiga adalah 60o dan 100o maka sudut
yang ketiga adalah 180o − (100o + 60o ) = 20o . Hal ini didasarkan pada
teori matematika yang menyatakan bahwa jumlah besar sudut-sudut suatu
segitiga adalah 180o .
Sejalan dengan contoh-contoh yang telah dikemuka kan di atas, dimana telah
terjadi proses penarikan kesimpulan dari beberapa fakta yang telah diketahui
siswa, maka istilah penalaran (jalan pikiran atau reasoning ) dijelaskan Keraf
(1982: 5) sebagai: ”Proses berpikir yang berusaha menghubung-hubungkan fakta-
fakta atau evidensi-evidensi yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulan”.
Sebagai contoh, Dari pengetahuan tentang besar dua sudut suatu segitiga yaitu
60o dan 100o maka dapat disimpulkan ataupun dibuat pernyataan lain bahwa
besar sudut yang ketiga pada segitiga itu adalah 20o . Pada intinya, penalaran
merupakan suatu kegiatan, suatu proses atau suatu ak tivitas berpikir untuk
menarik kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru yang benar berdasar
pada beberapa pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan
sebelumnya.
7
Universitas Sumatera Utara
8
materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran dipahami dan di-
latihkan melalui belajar materi matematika.”
Bayangkan sekarang jika para siswa tidak belajar matematika, apa yang
akan terjadi dengan keterampilan berpikir siswa? Pola berpikir yang dikem-
bangkan matematika seperti dijelaskan di atas memang membutuhkan dan meli-
batkan pemikiran kritis, sistematis, logis, dan kreatif. Sekali lagi, bayangkan jika
para siswa tidak belajar matematika. Akan cepatkah siswa menarik kesimpulan
dari beberapa fakta atau data yang siswa dapatkan ataupun yang di ketahui?
Kemampuan bernalar tidak hanya dibutuhkan para siswa ketika siswa belajar
matematika maupun mata pelajaran lainnya, namun sangat dibutuhkan setiap
manusia di saat memecahkan masalah ataupun di saat menentukan keputusan,
sebagaimana dikemukakan mantan Presiden AS Thom as Jefferson dan dikutip
Copi (1978: vii) berikut ini: ” In a republican nation, whose citizens are to be led
by reason and persuasion and not by force, the art of reasoning becomes of first
importance”. Pernyataan itu menunjukkan pentingnya penalaran dan argumen-
tasi dipelajari dan di kembangkan di suatu negara sehingga setiap warga negara
akan dapat dipimpin dengan daya nalar (otak) dan bukannya dengan kekuatan
(otot) saja.
Contoh :
sikan ke dalam suatu bentuk lain misalnya menjadi bentuk simbolis, diagram atau
persamaan untuk mempercepat memproses. Diagram permasalahan berguna un-
tuk mempermudah pemecahan masalah.
Salah satu pelajaran matematika di sekolah yang dipelajari oleh siswa adalah
pelajaran geometri. Geometri adalah cabang matematika yang sudah dikenal
siswa sejak kecil karena geometri banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam Pembelajaran geometri terdapat beberapa teori belajar yang relevan, di
antaranya dikemukakan oleh Van Hiele.
Pada tahap ini, siswa memandang suatu bangun geometri sebagai suatu ke-
seluruhan. Pada tahap ini siswa belum memperhatikan komponen-komponen
dari masing-masing bangun. Dengan demikian, meskipun pada tahap ini
siswa sudah mengenal nama sesuatu bangun, siswa belum mengamati sifat-
sifat dari bangun itu. Sebagai contoh, pada tahap ini siswa tahu suatu
bangun bernama persegi panjang, tetapi siswa belum menyadari sifat-sifat
bangun persegi panjang tersebut.
b. Tahap analisis
d. Tahap deduksi
Pada tahap ini siswa sudah memahami peranan pengertian-pengertian pang-
kal, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan teorema-teorema dalam geomet-
ri. Pada tahap ini siswa sudah mulai mampu menyusun bukti-bukti secara
formal. Ini berarti bahwa pada tahap ini siswa sudah memahami proses
berpikir yang bersifat deduktif-aksiomatis dan mampu menggunakan proses
berpikir tersebut.
e. Tahap akurasi Pada tahap ini, siswa mampu melakukan penalaran secara
formal tentang sistem-sistem matematika (termasuk sistem-sistem geomet-
ri), tanpa membutuhkan model-model yang konkret sebagai acuan. Pada
tahap ini, siswa memahami bahwa dimungkinkan adanya lebih dari satu
geometri. Menurut teori Van Hiele adalah sebagai berikut:
(a) Belajar merupakan suatu proses yang diskontinu, yaitu ada lompatan
dalam kurva belajar yang menyatakan adanya tahap pemikiran diskret
dan berbeda secara kualitatif.;
(b) Tahap-tahap tersebut berurutan dan hierarkhi. Agar siswa dapat ber-
peran dengan baik pada suatu tahap berikutnya dalam hirarkhi Van
Hiele, maka dia harus menguasai sebagian besar dari tahap yang lebih
rendah. Kemajuan darisatu tahap ketahap berikutnya lebih banyak
(c) Konsep-konsep yang secara implisit dipahami pada suatu tahap menja-
di eksplisit dipahami pada tahap berikutnya. Setiap tahap mempunyai
bahasa dan simbol bahasa sendiri yang menghubungkan simbol-simbol
itu.
Pada tahap ini, siswa mampu melakukan penalaran secara formal tentang
sistem-sistem matematika (termasuk sistem-sistem geometri), tanpa membutuh-
kan model-model yang konkret sebagai acuan. Pada tahap ini, siswa memahami
bahwa dimungkinkan adanya lebih dari satu geometri. Teori Van Hiele adalah
sebagai berikut:
1. Belajar merupakan suatu proses yang diskontinu, yaitu ada lompatan da-
lam kurva belajar yang menyatakan adanya tahap pemikiran diskret dan
berbeda secara kualitatif;
4. Setiap tahap mempunyai bahasa dan simbol bahasa sendiri yang menghu-
bungkan simbol-simbol itu.
Pada gambar 2.3, ∠A1 = ∠B2 dan ∠A2 = ∠B1 karena garis m dan n meru-
pakan dua garis sejajar dan dipotong garis ketiga, sehingga sudut-sudut dalam
berseberangannya akan sama besar, yaitu ∠A1 = ∠B2 dan ∠A2 = ∠B1. Per-
hatikan 4ABC di bawah ini, dimana melalui titik C telah dibuat garis m yang
sejajar dengan garis n, sehingga sudut-sudut dalam berseberangannya akan sama
besar, yaitu: ∠A1 = ∠C1 dan ∠B3 = ∠C3
Gambar 2.4 Dua garis sejajar dan dipotong dua garis lain
∠A1 = ∠C1
∠B3 = ∠C3
∠C2 = ∠C2
∠A1 + ∠B3 + ∠C2 = ∠C1 + ∠C3 + ∠C2
Gambar 2.5 Diagram penalaran deduktif tentang jumlah besar sudut dalam se-
gitiga 1800
Aksioma atau sifat pangkal adalah semacam dalil yang kebenarannya tidak per-
lu dibuktikan namun sangat menentukan, karena sifat pangkal inilah yang akan
menjadi dasar untuk membuktikan dalil atau teorema matematika selanjutnya.
Depdiknas (2002: 6) menyatakan bahwa: ”Unsur utama pekerjaaan matematika
adalah penalaran deduktif yang bekerja atas dasar asumsi, yaitu kebenaran suatu
konsep atau pe rnyataan diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelum
nya”.
sung tahu caranya. Jika seorang anak dihadapkan pada suatu permasalah ma-
tematika dan anak tersebut langsung tahu cara menyelesaikannya dengan benar,
maka masalah yang diberikan tidak dapat digolongkan pada kategori soal pemeca-
han masalah. Pada awal abad ke sembilan belas, pemecahan masalah dipandang
sebagai kumpulan keterampilan bersifat mekanis, sistematik, dan seringkali abs-
trak sebagaimana keterampilan yang digunakan pada penyelesaian soal sistem
persamaan. Penyelesaian masalah seperti ini seringkali hanya berlandaskan pada
solusi logis yang bersifat tunggal.
salah baginya, bila siswa ada niat menyelesaikannya. Hudoyo (1988:175) berpen-
dapat bahwa: Suatu pertanyaan merupakan suatu masalah apabila pertanyaan
tersebut menantang untuk dijawab yang jawabannya tidak dapat dilakukan secara
rutin saja. Lebih lanjut pertanyaan yang menantang ini menjadi masalah bagi
seseorang bila orang itu menerima tantangan itu.
pakan aturan tetapi heuristika yang dapat mengurangi kesimpulan yang tidak
perlu. Kesesuaian strategi pada umumnya seperti heuristika dan perencanaan
yang di sorot dalam pemecahan masalah geometri (Schoenfeld,1985:125; Chin-
nappan & Lawson, 1996:3).
Menurut Ruseffendi (Dahlan, 2004) dari unsur yang tidak didefinisikan dan
didefinisikan dapat dibuat asumsi-asumsi dasar atau aksioma atau postulat, yakni
pernyataan dasar dalam matematika yang tidak dibuktikan kebenarannya kare-
na kebenarannya tidak disangsikan lagi. Setelah itu disusunlah teori-teori atau
dalil-dalil yang benar yang berlaku umum. Dalil ini disusun dengan pembuktian
kebenarannya.
berfikir dapat bekerja dengan dasar simbol yang tidak memerlukan referensi dunia
nyatanya.