Anda di halaman 1dari 4

Kenapa Sihir Dilarang

Kata ‘sihir’ berasal dari bahasa Arab ‘ sahira-yasharu-sihran’, yang berarti


tipu daya dan pesona. Dalam Ensiklopedi Islam disebutkan, kata ‘sihir’
dipergunakan untuk menyebut jampi-jampi dan tangkaltangkal. Benda-
benda dan bacaan khusus itu dipergunakan untuk tindakantindakan tercela
dan aksi kejahatan secara umum. Di antaranya memalingkan hati
seseorang atau merusak dan mengubah jasadnya, sehingga seseorang
dapat bercerai dari suaminya, sakit, dan sebagainya. 

Sihir yang dilakukan oleh sahir—istilah bagi pelaku sihir— jenisnya


bermacam- macam; ada sihir yang dilakukan dengan mantra-mantra, ada
yang dilakukan dengan menggunakan bendabenda tertentu, dan bahkan
tak jarang dilakukan dengan mempersembahkan sajian-sajian.
Keberadaan aktivitas sihir diakui oleh Alquran, sebagaimana disebutkan
dalam surah an-Nisa ayat 51. Terdapat kata ‘ aljibt’ pada ayat tersebut
yang diidentikkan dengan sihir, sedang kata ‘ at-thaghut’ diartikan dengan
setan . Aktivitas sihir oleh para penyihir juga diabadikan dalam Alquran
surah al-A’raaf ayat 115-117. Ayat itu mengisahkan perbincangan antara
Nabi Musa dan para tukang sihir yang melakukan tipu daya lewat tongkat
yang mereka pakai sehari-hari. 

Islam memandang sihir sebagai perbuatan terlarang. Hukum melakukan


sihir adalah haram. Hal ini karena perbuatan sihir itu sendiri mengandung
kemusyrikan, terdapat unsur pelanggaran akidah, serta campur tangan
setan. Tingkat keharaman sihir amat berat karena termasuk salah satu
dosa besar. Penegasan ini sebagaimana tertuang dalam hadis riwayat
Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah. Hadis lain menyatakan, para pelaku
sihir dikategorikan dalam kelompok orang-orang musyrik, seperti yang
dinukil An-Nasa’i dari Abu Hurairah. 

Tak sekadar balasan di akhirat kelak, Islam memberlakukan hukuman di


dunia juga bagi para penyihir. Sebuah hadis riwayat at-Tirmidzi menyebut,
sanksi bagi mereka ialah hukuman mati. Argumentasi ini diperkuat dengan
atsar yang diriwayatkan Jabalah dari Umar bin Khattab. Secara umum,
menurut Abu Sa’id al-Khadimi, dalil-dalil tersebut meng ungkapkan sanksi
bagi penyihir ialah hukuman mati. Namun, sambung al-Khadimi, bila yang
bersangkutan telah menyatakan pertobatan maka ia tidak dibunuh dan
tobatnya diterima. Akan tetapi, jika ia mengingkari berbuat sihir, maka ia
tetap dibunuh dan tobatnya tidak diterima. 

Sementara itu, Abu Hamid al-Ghazali berpendapat, ilmu sihir tergolong


disiplin ilmu tercela karena memberikan dampak kerugiaan, baik bagi
pelaku maupun objeknya. Meskipun, pada dasarnya, ilmu itu sendiri
tidaklah tercela, tetapi lantaran memberi mudarat atau kerugian, maka ia
menjadi tercela. Demikian pula dengan hukum mempelajarinya. Ketika
tidak dipergunakan untuk praktik kejahatan, maka awalnya tidak jadi soal.
Setelah, beralih fungsi dan tujuan, maka berubah pula hukum dasarnya,
menjadi tercela. 

Terdapat aktivitas supranatural lain di luar sihir, yaitu magis. Menurut


Ensiklopedi Oxford; Dunia Islam Modern, mengutip etnografi yang
terperinci mengenai penduduk Mesir pada awal abad ke-19, terutama
berdasarkan hasil pengamatannya atas penduduk Kairo, Edward W Lane
menyebutkan bahwa kaum intelektual Muslim pada masa itu membedakan
dua jenis praktik magis. Yang pertama, disebut ar ruhani atau magis
spiritual yang didasarkan pada kekuatan misterius-supernatural yang
dimiliki oleh agen spiritual seperti malaikat, jin, dan nama-nama tertentu
Tuhan. 

Ar ruhani dianggap sebagai magis sejati yang terbagi lagi ke dalam dua
tingkatan, yaitu magis tinggi yang mendasarkan kekuatannya kepada
Tuhan dan magis rendah yang bersandar pada kekuatan setan. Magis
tingkat tinggi yang bergantung pada kekuatan misterius Tuhan, malaikat,
atau agen-agen spiritual yang baik lainnya selalu dipraktikkan untuk tujuan
baik, seperti melakukan tindakan, menggunakan benda, atau kata-kata
yang dianggap memiliki kekuatan magis untuk mencegah kemalangan.
Dengan kata lain, magis tingkat rendah digunakan untuk maksud-maksud
jahat melalui perantara iblis. Pelakunya disebut sahir, tukang sihir.
Pembagian magis menjadi dua ka tegori ini sesuai dengan istilah magis
putih dan hitam. 

Kedua, ada jenis al simiya atau magis alami, yaitu praktik magis dengan
menggunakan bahan-bahan alami, seperti wangi-wangian, obat-obatan,
tanpa melalui perantara kekuatan suprana tu ral. Lane juga membahas
astrologi, geomansi, dan alkimia yang waktu itu po puler dan banyak dikaji
oleh orang-orang Mesir. Ilmu-ilmu tersebut umumnya dianggap berbeda
dengan magis. Terdapat praktik magis yang dilakukan secara luas, namun
tidak didasarkan atas bentuk-bentuk magis atau “ilmuilmu” yang disebutkan
di atas. Ilmu ini disebut ilmu al rukkah atau kebijaksanaan yang biasa
dipraktikkan oleh wanitra. 

Ringkasan :

Sihir termasuk dosa besar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda, “Jauhilah dari kalian tujuh perkara yang
membinasakan!”  Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, Apakah tujuh perkara tersebut?” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata, “[1]menyekutukan Allah, [2]sihir, [3]membunuh
seorang yang Allah haramkan untuk dibunuh, kecuali dengan alasan yang
dibenarkan syariat, [4]mengkonsumsi riba, [5]memakan harta anak yatim,
[6]kabur ketika di medan perang, dan [7]menuduh perempuan baik-baik
dengan tuduhan zina”  (HR. Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu
Hurairah)

Kafirkah Tukang Sihir?

Allah ta’ala berfirman (yang artinya),  “Dan Nabi Sulaiman tidaklah kafir,


akan tetapi para syaitan lah yang kafir, mereka mengajarkan sihir kepada
manusia” (Al Baqarah : 102)

Imam Adz Dzahabi rahimahullah  berdalil dengan ayat di atas untuk


menegaskan bahwa orang yang mempraktekkan ilmu sihir, maka dia telah
kafir. Karena tidaklah para syaitan mengajarkan sihir kepada manusia
melainkan dengan tujuan agar manusia menyekutukan Allah ta’ala.[9]

Syaikh As Sa’diy rahimahullah  menjelaskan bahwa  ilmu sihir dapat


dikategorikan sebagai kesyirikan dari dua sisi.
[Pertama] orang yang mempraktekkan ilmu sihir adalah orang yang meminta
bantuan kepada para syaitan dari kalangan jin untuk melancarkan aksinya,
dan betapa banyak orang yang terikat kontrak perjanjian dengan para
syaitan tersebut akhirnya menyandarkan hati kepada mereka, mencintai
mereka, ber-taqarrub kepada mereka, atau bahkan sampai rela memenuhi
keinginan-keinginan mereka.

[Kedua] orang yang mempelajari dan mempraktekkan ilmu sihir adalah


orang yang mengaku-ngaku mengetahui perkara ghaib. Dia telah berbuat
kesyirikan kepada Allah dalam pengakuannya tersebut (syirik
dalam rububiyah  Allah), karena tidak ada yang mengetahui perkara ghaib
melainkan hanya Allah ta’ala semata.[10]

Syaikh Ibnu ’Utsaimin rahimahullah  merinci bahwa orang yang


mempraktekkan sihir, bisa jadi orang tersebut kafir, keluar dari Islam, dan
bisa jadi orang tersebut tidak kafir meskipun dengan perbuatannya tersebut
dia telah melakukan dosa besar.

[Pertama] Tukang sihir yang mempraktekkan sihir dengan memperkerjakan


tentara-tentara syaitan, yang pada akhirnya orang tersebut bergantung
kepada syaitan, ber-taqarrub kepada mereka atau bahkan sampai
menyembah mereka. Maka yang demikian tidak diragukan tentang kafirnya
perbuatan semacam ini.

[Kedua] Adapun orang yang mempraktekkan sihir tanpa bantuan syaitan,


melainkan dengan obat-obatan berupa tanaman ataupun zat kimia, maka
sihir yang semacam ini tidak dikategorikan sebagai kekafiran.[11]

Anda mungkin juga menyukai