Anda di halaman 1dari 41

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum w.w
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan yang menciptakan manusia dan
menambah ilmu pengetahuan bagi mereka yang berusaha mendapatkannya.
Salawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah, penghulu dan
mahaguru bagi kita semua. Alhamdulillah Pedoman Kerja Pelayanan HIV AIDS
Tahun 2020 RSUD Gandus Palembang telah kita miliki. Pedoman ini diharapkan
menjadi acuan dalam peningkatan mutu pelayanan di lingkungan RSUD Gandus
Palembang yang kita cintai ini.
Ucapan terimakasih kepada Tim HIV – AIDS yang telah menyelesaikan
Pedoman Kerja Pelayanan HIV AIDS Tahun 2020 di RSUD Gandus Palembang
ini. Kami percaya bahwa tidak ada yang sempurna kecuali Allah SWT, saran dan
masukan dari kita sangat diharapkan untuk kesempurnaan pedoman ini untuk
masa yang akan datang.
Wassalamu’alaikum w. w.

BAtusangkar, Januari 2017


Direktur

Dr. AFRIZAL HASAN


NIP 19760529 200604 1 008
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


HIV dan AIDS adalah masalah darurat global. Di seluruh dunia lebih dari
20 juta orang meninggal sementara 40 juta orang telah terinfeksi. Fakta yang
lebih memprihatinkan adalah bahwa di seluruh dunia setiap hari virus HIV
menular kepada sekitar 2000 anak di usia 15 tahun, terutama berasal dari
penularan ibu-bayi, menewaskan 1400 anak di bawah 15 tahun, dan menginfeksi
lebih dari 6000 orang muda dalam usia produktif antara 15-24 tahun yang juga
merupakan mayoritas dari orang-orang yang hidup dengan HIV dan AIDS
(ODHA). Estimasi yang dilakukan pada tahun 2003 diperkirakan di Indonesia
terdapat sekitar 90.000-130.000 orang terinfeksi HIV, sedangkan data yang
tercatat oleh Departemen Kesehatan RI sampai dengan Maret 2005 tercatat 6.789
orang hidup dengan HIV/AIDS.
Untuk mengantisipasi dan menghadapi ancaman epidemi ini Indonesia
telah menyusun dan melaksanakan Strategi Penanggulangan HIV dan AIDS
melalui dua periode yang dimuat dalam Strategi Nasional Penanggulangan HIV
dan AIDS 1994-2003 dan tahun 2003-2007.
Di tahun-tahun mendatang tantangan yang dihadapi dalam upaya
penanggulangan HIV dan AIDS semakin besar dan rumit. Mengembangkan hasil-
hasil yang telah dicapai dan menjabarkan paradigma baru dalam upaya
penanggulangan HIV dan AIDS menjadi upaya yang komprehensif, terpadu, dan
diselenggarakan secara sinergis oleh semua pemangku kepentingan
(stakeholders). Akselerasi upaya perawatan, pengobatan dan dukungan kepada
ODHA dijalankan bersamaan dengan akselerasi upaya pencegahan baik di
lingkungan sub-populasi berperilaku risiko tinggi maupun yang berperilaku
risiko rendah dan masyarakat umum.
Tingginya tingkat penyebaran HIV dan AIDS pada kelompok manapun
berarti bahwa semakin banyak orang menjadi sakit, dan membutuhkan jasa
pelayanan kesehatan. Melihat tingginya prevalensi di atas maka masalah
HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat luas. Oleh
karena itu penanganan tidak hanya dari segi medis tetapi juga dari psikososial
dengan berdasarkan pendekatan kesehatan kesehatan masyarakat melalui upaya
pencehan primer, sekunder, dan tertier.
Mengetahui status HIV lebih dini memungkinkan pemanfaatan pelayanan
HIV AIDS terkait dengan pencegahan, perawatan, dukungan, dan pengobatan
merupakan salah satu upaya dalam penanggulangan HIV AIDS.Perubahan
perilaku seseorang dari beresiko menjadi kurang beresiko terhadap kemungkinan
tertular HIV memerlukan bantuan perubahan emosional dan pengetahuan dalam
suatu proses yang mendorong nurani dan logika. Proses mendorong ini sangat
unik dan membutuhkan pendekatan individual.
Oleh karena itu perlu adanya program-program pencegahan HIV AIDS yang
efektif dan memiliki jangkauan layanan yang semakin luas seperti, program
pengobatan, perawatan dan dukungan yang komprehensif bagi ODHA untuk
meningkatkan kualitas hidupnya. Sehubungan dengan permasalahan tersebut
maka TIM HIV AIDS RSUD Gandus Palembangperlu menyusun pedoman
pelayanan terkait dengan Pelayanan HISV AIDS.
1.2. TUJUAN
a. Umum :
Meningkatkan mutu layanan di RSUD Gandus Palembang berkaitan
dengan Pelayanan HIV AIDS di Rumah Sakit
b. Khusus :
1. Sebagai Pedoman bagi semua jajaran pelaksana pelayanan di RSUD
Gandus Palembang dalam hal pelayanan HIV AIDS di RS.
2. Menurunkan angka kesakitan HIV di RS terkait dengan MDG’s 6.

1.3. SASARAN
Pimpinan, pengambil kebijakan di rumah sakit, petugas kesehatan dan
pelaksana kesehatan lainnya di RSUD Gandus Palembang
BAB II
SITUASI HIV AIDS DI INDONESIA

2.1 EPIDEMIOLOGI HIV AIDS DI INDONESIA


Penyakit HIV-AIDS hingga kini tetap belum dapat disembuhkan, tercatat
oleh WHO secara kumulatif jumlah kematian akibat AIDS di dunia pada tahun
2006 mencapai lebih dari 25 juta jiwa. Penularan HIV/AIDS dapat terjadi melalui
tiga jalur utama masuknya virus HIV ke dalam tubuh, yaitu melalui hubungan
seksual berisiko, paparan dengan cairan atau jaringan tubuh yang terinfeksi
(misalnya penggunaan jarum suntik yang tidak steril dan tranfusi darah), serta
dari ibu ke janin atau bayi (perinatal) selama dalam kandungan melalui placenta,
saat persalinan melalui cairan genital dan saat menyusui melalui pemberian ASI.
Jumlah HIV/AIDS yang tercatat sebenarnya jauh lebih kecil dari prevalensi
sesungguhnya yang dibaratkan sebagai fenomena gunung es. Indonesia termasuk
dalam kategori epidemi dengan tingkat prevalensi HIV yang rendah di dunia,
yaitu sekitar 0,2%. Jumlah kasus baru AIDS di Indonesia dalam kurun waktu
tiga tahun terakhir mengalami turun naik yaitu pada tahun 2008 sebanyak 4.969
kasus, tahun 2009 sebanyak 3.863 kasus, tahun 2010 sebanyak 4.158 kasus.
Secara kumulatif jumlah HIV positif di Indonesia hingga Desember 2010 tercatat
sebanyak 44.292 kasus dan AIDS sebanyak 24.131 kasus, diantaranya
berdasarkan jenis kelamin laki-laki sebesar 73,04%, perempuan sebesar 26,58%,
dan sisanya tidak diketahui sebesar 0,38%, usia reproduksi aktif (15-49 tahun)
sebesar 62,5%, transmisi perinatal sebesar 2,60%, balita (<4 tahun) sebesar
1,99% dengan total kematian sebesar 18,81% dari jumlah total 24.131 kasus.
Saat ini perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat
diAsia. Indonesia berada pada level epidemi HIV terkonsentrasi
(concentratedepidemic) kecuali Tanah Papua yang termasuk epidemi HIV yang
meluas.Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-
populasiberisiko tinggi yaitu pengguna napza suntik, hetero dan homoseksual
( WPS,waria ). Sejak tahun 2000, prevalensi HIV mulai konstan di atas 5% pada
beberapasub-populasi berisiko tinggi tertentu. Di Tanah Papua (Provinsi Papua
dan Papua Barat), prevalensi HIV menunjukkan tingkat epidemi yang
meluas(generalized epidemic) yaitu lebih besar dari 1% pada masyarakat
umum.Hasil estimasi jumlah ODHA di Indonesia tahun 2011 berkisar
591.823ODHA. Penularan melalui heteroseksual menjadi faktor risiko utama
(59,8%)diikuti penggunaan jarum suntik (18%) pada akhir Maret 2013.Menurut
data Kementerian Kesehatan RI hingga Maret 2013, secara kumulatif jumlah
kasus AIDS yang dilaporkan berjumlah 43.347 kasus dengan infeksi penyerta
terbanyak adalah TB yaitu sebesar 3.997 kasus (30,9%).

Peningkatan jumlah penderita HIV/AIDS tersebut tidak menunjukkan


indikasi kearah pencapaian target Millennium Development Goals untuk HIV dan
AIDS, dimana akan dicapai pengendalian penyebaran dan mulai penurunan
jumlah kasus baru HIV/AIDS hingga tahun 2015. Jumlah wanita yang terinfeski
HIV lebih sedikit dibanding laki-laki namun demikian penderita HIV/AIDS pada
usia reproduksi aktif (15-49 tahun) tinggi. Kondisi tersebut berpotensi pada
penularan HIV melalui ibu ke bayi cenderung meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah perempuan HIV positif yang tertular dari pasangan sexnya.
Berdasarkan hasil proyeksi dari Komisi Penanggulangan AIDS Nasional,
diperkirakan ibu hamil HIV positif sebanyak 5.730 orang pada tahun 2010 akan
meningkat menjadi 8.170 orang pada tahun 2014.Lebih dari 90% kasus bayi
yang terinfeksi HIV, akibat penularan dari ibu ke bayi. Di negara maju, risiko
seorang bayi tertular HIV dari ibunya sekitar 1-2% karena tersedia layanan
optimal pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi. Tetapi di negara berkembang
atau negara miskin, tanpa adanya akses intervensi, risikonya antara 25%-45%.5
Bayi HIV positif kemungkinan akan terjadi gangguan tumbuh kembang karena
lebih sering mengalami infeksi bakteri maupun virus, mendapat hukuman sosial
berupa stigmatisasi, diskriminasi dari masyarakat dan tentunya akan kehilangan
ibunya.
BAB III
PROGRAM PELAYANAN HIV AIDS

3.1. KEBIJAKAN
Program Pelayanan HIV AIDS di RSUD Gandus Palembang berdasarkan
pada SK Direktur RSUD Gandus Palembang tentang kebijakan pelayanan HIV
AIDS dengan kebijakan‐kebijakan sebagai berikut :
1. Peningkatan penyelenggaraan pelayanan atau perawatan kesehatan HIV
-AIDS yang berkesinambungan yang berfokus kepada pasien, RSUD
Gandus Palembangmelihat kebutuhan pasien selama perawatan, baik di
rawat jalan maupun rawat inap.
2. Untuk pasien yang sedang dirawat inap dan melihat ada gejala gejala
infeksi opportunistik , maka RSUD Gandus Palembangmelalui tim medis
atau keperawatan dapat melakukan pemeriksaan rapid test tanpa melalui
konseling dengan menggunakan konsep Test Inisiatif Petugas Kesehatan
(TIPK)
3. Untuk pasien yang sudah di diagnosa dengan Orang Dengan HIV-AIDS
(ODHA) atau pun pasangannya yang ingin mempunyai keturunan maka
dianjurkan untuk mengikuti Program Pencegahan Penularan Ibu Anak
(PPIA)
4. Untuk pasien yang mendapat layanan ke rumah sakit, maka RSUD
Gandus Palembangakan memberi konseling, informasi dan edukasi
kepada pasien dan keluarga yang tepat tentang tindak lanjut pelayanan
atau perawatan
5. Untuk pasien yang tidak langsung dirujuk ke rumah sakit lain, maka
RSUD Gandus Palembang akan memberi informasi dan edukasi kepada
pasien dan keluarga yang tepat tentang tindak lanjut pelayanan atau
perawatan
6. Untuk merujuk pasien kerumah sakit RSUD Gandus Palembang
menentukan bahwa rumah sakit penerima dapat menyediakan kebutuhan
pasien yang akan dirujuk
7. Untuk pasien yang sudah didiagnosis orang dengan HIV-AIDS (ODHA),
maka setiap kunjungan dilakukan skrening TB
8. Untuk pasien yang sudah didiagnosa dengan ODHA maka konselor /
petugas RSUD Gandus Palembangharus merujuk ke kelompok dukungan
sebaya/ pendamping (LSM) yang sudah bekerjasama degan RS.
9. Untuk peningkatan mutu layanan diperlukan monitoring dan evaluasi serta
pelaporan kegiatan dan dilaksanakan pertemuan triwulan.
10. Kebijakan ini secara teknis pelaksanaannya dijabarkan lebih lanjut
dalam bentuk Standar Prosedur Operasional (SPO)

3.2 PELAYANAN HIV DAN AIDS


Pelayanan kesehatan primer yang komprehensif (Comprehensive Primary
Health Care) adalah strategi untuk meningkatkan kesehatan masyarakat secara
menyeluruh. Hal tersebut dilakukan dengan memandang penting berbagai
masalah sosial yang berpengaruh terhadap masalah kesehatan, melibatkan
masyarakat danmenyediakan fasilitas pelayanan kesehatan secara meratayang
dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat.Pelayanan kesehatan primer yang
komprehensif pada dasarnya adalah strategi meningkatkan derajat kesehatan
individu dan masyarakat melalui aktifitas menyeluruhyang mencakup promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif. Hal tersebut dilakukan dengan memfokuskan
perhatian pada upaya mengentaskan masalah mendasar (underlying)yang
menjadi penyebab masalah kesehatanmasyarakat.
Pelayanan kesehatan primer yang komprehensiftersebut dilakukan melalui
kerja sama berbagaisektor serta keterlibatan pemerintah, kekuatan politikdan
partisipasi masyarakat.Strategi pelayanan kesehatanprimer yang komprehensif
perlu memperhatikan mekanismemendasar yang menjadi penyebab
munculnyamasalah HIV/AIDS tersebut. Selanjutnya, dilakukan berbagailangkah
edukasi dan promosi kesehatan pada seluruhlapisan masyarakat, khususnya
kelompok yang berisikosangat tinggi. Selain itu, juga perlu dilakukan
pengobatandan rehabilitasi terhadap para penderitaHIV/AIDS
Pelayanan di tingkat puskemas merupakan pelayanan HIV dasar yang
tentunya pada tahap tertentu memerlukan rujukan ke tingkat pelayanan
sekunder atau tertier (rumah sakit) serta melibatkan seluruh pihak seperti KPA,
SKPD lainnya, LSM, Kelompok Dampingan Sebaya, masyarakat maupun
keluarga.
RSUD Gandus Palembang. Rumah Sakit ini memberikan pelayanan
rujukan terkait HIV AIDS, yaitu :
1. Pelayanan Konseling dan Test HIV ( KTS)
Konseling dalam KTS adalah kegiatan konseling yang menyediakan
dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah
penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggung
jawab, pengobatan ARV dan memastikan pemecahan berbagai masalah
terkait dengan HIV/AIDS.
Konseling dan Testing Sukarela yang dikenal sebagai Voluntary
Counselling and Testing (VCT) merupakan salah satu strategi kesehatan
masyarakat dan sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan
HIV/AIDS berkelanjutan.

2. Perawatan, Dukungan dan Pengobatan (PDP)


Sebagai tindak lanjut terhadap hasil tes HIV yang menyatakan hasil positif
HIV selanjutnya akan di rujuk ke Rumah Sakit Achmad Mochtar (RSAM)
Bukittinggi dan RSUP DR M Djamil Padang untuk dilakukan pemeriksaan
CD4 dan pemberian ARV. Pasien dapat memilih apakah ia akan
melanjutkan pengobatannya di Rumah Sakit atau dirujuk kerumah sakit
rujukan yang dekat dengan tempat berdomisilinya. Dalam layanan HIV
AIDS pemberian ARV dapat langsung diberikan tanpa memandang jumlah
CD4nya kepada mereka yang HIV (+) yaitu pada ibu hamil, pasien
koinfeksi TB, pasien koinfeksi Hepatitis B dan C, LSL, WPS, Penasun,
ODHA yang pasangan tetapnya memiliki status HIV (-) dan tidak
menggunakan kondom secara konsisten.
3. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA)
Layanan ini mencakup pelayanan Ante Natal Care (ANC) dan melakukan
tes HIV bagi ibu hamil, Pelaksanakan layanan PPIA dengan
menitikberatkan pada upaya promotif dan preventif.
4. Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM)
Layanan ini dilaksanakan dalam rangka mengurangi risiko penularan HIV
melalui penggunaan jarum suntik pada kelompok Penasun. Pencandu
obat obatan yang menggunakan jarum suntik akan beralih meminum obat
dan secara perlahan-lahan diharapkan dapat terlepas dari kecanduan
obat.
BAB IV
PENGENALAN PENYAKIT HIV AIDS

4.1 DEFINISI HIV AIDS.


HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus yaitu virus yang
termasuk kelompok keluarga retrovirus dan dapat menyebabkan penyakit AIDS.
Seseorang yang terinfeksi HIV,akan mengalami infeksi seumur hidup. Banyak
ODHA tetap asimptomatik (tanpa tanda dan gejala darisuatu penyakit) untuk
jangka waktu panjang dan tidak mengetahui bahwa dirinya terinfeksi. Meskipun
demikian, mereka dapat menulari orang lain.
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome.
Acquired artinya tidak diturunkan tetapi ditularkan dari satu ke orang lainnya;
Immune adalah sistem daya tahan tubuh atau kekebalan tubuh terhadap
penyakit; Deficiency artinya tidak cukup atau kurang; dan Syndrome adalah
kumpulantanda dan gejala penyakit. Acquired Immune Deficiency Syndrome
adalah bentuk lanjut dari infeksi HIV. AIDS merupakan kumpulan gejala
penyakit yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang
mengakibatkan rusaknya/menurunnya sistem kekebalan tubuh terhadap
berbagai penyakit. Apabila HIV ini masuk ke dalam peredaran darah seseorang,
maka HIV tersebut menyerap sel-sel darah putih. Sel-sel darah putih ini adalah
bagian dari sistem kekebalan tubuh yang berfungsi melindungi tubuh dari
serangan penyakit. HIV secara berangsur-angsur merusak sel darah putih hingga
tidak bisa berfungsi dengan baik.

4.2 SEJARAH HIV AIDS


Penyakit ini pertama kali timbul di Afrika, Haiti, dan Amerika Serikat pada
tahun 1978.Pada tahun 1979 pertama kali dilaporkan adanya kasus-kasus
Sarkoma Kaposi dan penyakitpenyakitinfeksi yang jarang terjadi di Eropa,
penyakit ini menyerang orang-orang Afrika yangbermukim di Eropa. Sampai saat
ini belum disadari oleh para ilmuwan bahwa kasus-kasustersebut adalah AIDS.
Sindrom yang kini telah menyebar ke seluruh dunia ini pertama kali
dilaporkan olehGotlieb dan kawan-kawan di Los Angeles pada tahun 1981. Orang
yang terinfeksi virus HIV akanberpotensi sebagai pembawa dan penular virus
selama hidupnya walaupun orang tersebut tidakmerasa sakit dan tampak
sehat.Dalam tahun yang sama yaitu pada tahun 1981 Amerika Serikat
melaporkan adanyakasus Sarkoma Kapusi dan penyakit infeksi yang jarang
terjadi di kalangan homoseksual. Hal inimenimbulkan dugaan yang kuat bahwa
transmisi penyakit ini terjadi melalui hubungan seksual.Pada tahun 1982 CDC-
USA (Centers for Disease Control) Amerika Serikat untukpertamakali membuat
defenisi kasus AIDS. Sejak tahun 1982 dilakukan surveilans terhadapkasus-
kasus AIDS.
Pada tahun 1982 –1983 mulai diketahui adanya transmisi diluar jalur
hubungan seksual,yaitu melalui transfusi darah, penggunaan jarum suntik
secara bersama oleh parapenyalahgunaan narkotik dan obat-obat terlarang. Pada
tahun ini juga Luc Montagnier dariPasteur Institute, Paris Institute menemukan
bahwa penyebab kelainan ini adalah LAV(Lymphadenopathy Associated Virus).
Pada tahun 1984 diketahui adanya transmisi heteroseksual di Afrika dan
pada tahun yangsama diketahui bahwa HIV menyerang sel limfosit T penolong.
Pada tahun itu juga Gallo dkk dariNational Institute of Health, Bethesda, Amerika
Serikat menemukan HTLV III (Human T CellLymphotropic Virus Type III) sebagai
penyebabkan kelainan ini. Pada tahun 1985 ditemukanantigen untuk melakukan
tes Elisa, pada tahun itu juga diketahui bahwa HIV juga menyerang selotak.
Pada tahun 1986 International Committee on Taxonomy of Virus
memutuskan namapenyebab penyakit AIDS adalah HIV sebagai pengganti LAV
dan HLTV.AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) atau SIDA (Syndrom
Imuno DeficiencyAkuisita) adalah sebuah penyakit yang dengan cepat menyebar
keseluruhan dunia (pandemi).Di Indonesia pertama kali mengetahui adanya
kasus AIDS pada bulan April tahun 1987,pada seorang warganegara Belanda
yang meninggal di RSUP Sanglah Bali akibat infeksi sekunderpada paru-paru,
sampai pada tahun 1990 penyakit ini masih belum mengkhawatirkan,
namunsejak awal tahun 1991telah mulai adanya peningkatan kasus HIV/AIDS
menjadi dua kali lipat(doubling time) kurang dari setahun, bahkan mengalami
peningkatan kasus secara ekponensial.

4.3 PERJALANAN ALAMIAH HIV


Secara umum tahapan perjalanan alamiah infeksi HIV sebagai berikut:
Sindroma retroviral akut terjadi 2 – 3 minggu setelah terinfeksi virus, berupa
demam, sakit kepala, ruam, diare dll (flu-like syndrome) pada sekitar 30-
50%pasien, yang berlangsung selama 2 – 3 minggu. Dalam waktu 4-12
mingguakan terjadi pembentukan antibodi HIV (serokonversi), periode ini yang
disebut sebagai masa jendela (window period). Kemudian pasien akan mengalami
infeksi HIV kronik asimptomatik (periode laten) selama rata-rata 5-10 tahun
sebelum akhirnya menjadi simptomatik akibat terjadinya infeksi oportunistik
yang menuju ke arah AIDS (Aquired Immune DeficiencySyndrome) . Infeksi HIV
simptomatik (AIDS) akan berlangsung selama ratarata 2 tahun, kemudian akan
meninggal dunia. HIV berjalan sangat progresif merusak sistem kekebalan tubuh.
Sebagian besar orang dengan HIV akan meninggal dalam beberapa tahun
setelahAIDS muncul, bila tidak diberi pengobatan dan perawatan yang memadai.
Sesudah HIV memasuki tubuh seseorang maka tubuh itu terinfeksi dan virus
mulai bereplikasi terutama dalam sel limfosit T CD4 dan makrofag.
HumanImmunodeficiency Virus akan mempengaruhi sistem kekebalan
tubuh dengan menghasilkan antibodi untuk HIV. Masa antara masuk virus
sampai terbentuknya antibodi yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan
laboratorium adalah selama 4-12 minggu. Masa ini disebut sebagai masa jendela
(windowperiod). Selama masa jendela, pasien sangat infeksius, mudah
menularkanHIV kepada orang lain, meskipun hasil pemeriksaan laboratorium
antibodimasih negatif.Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap tanpa gejala untuk
jangka waktu yang cukup lama bahkan sampai 10 tahun atau lebih. Orang ini
sangat mudah menularkan infeksinya kepada orang lain dan hanya dapat
dikenali dari pemeriksaan antibodi HIV. Kemudian virus memperbanyak diri
secara cepat(replikasi) dan diikuti dengan perusakan sel limfosit T CD4 dan sel
kekebalan lainnya sehingga terjadilah sindroma penurunan daya tahan tubuh
yang progresif (progressive immunodeficiency syndrome).
Progresivitas tergantung beberapa faktor seperti usia (sangat cepat pada
usiakurang dari 5 tahun atau di atas 40 tahun), infeksi lainnya dan adanya
faktor genetik (herediter).

4.4 CARA PENULARAN


Penularan HIV terjadi melalui kontak seksual, darah, penularan dari ibu
keanak selama masa kehamilan, persalinan dan pemberian ASI.
HumanImmunodeficiency Virus tidak ditularkan dari orang ke orang lain melalui
bersalaman, berpelukan, bersentuhan atau berciuman. Tidak ada bukti
bahwaHIV dapat ditularkan melalui penggunaan toilet, kolam renang, alat makan
atau minum secara bersama atau gigitan serangga seperti nyamuk.
Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah cara yang paling
dominandari semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual
dapatterjadi selama kontak seksual denganpenetrasi vaginal, anal, oral
seksualantara dua individu. Risiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal
yangtidak menggunakan alat pelindung bagi yang terinfeksi HIV.
Penularan dari darah dapat terjadi jika darah donor tidak
dilakukanpemeriksaan antibodi HIV, penggunaan ulang jarum dan semprit
suntikatau penggunaan alat medis lainnya. Kejadian diatas dapat terjadi
padasemua pelayanan kesehatan.
Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya selama
dalamkandungan, saat persalinan dan saat menyusui. Risiko penularan dari ibu
keanak tanpa intervensi program sangat bervariasi diantara negara danumumnya
diperkirakan antara 25-40% di negara berkembang dan < 2% diEropa dan
Amerika Utara. Pada umumnya risiko terbesar terjadi pada saatpersalinan.
Infeksi Menular Seksual (IMS) diketahui mempermudah penularan HIV
yangselanjutnya dapat berkembang menjadi AIDS dengan tingkat kematian
yangtinggi. Infeksi menular seksual juga merupakan petunjuk tentang
terdapatnyaperilaku seksual berisiko tinggi. Secara umum, IMS dapat
meningkatkan risikopenularan HIV melalui hubungan seksual sebanyak 3 - 5
kali lebih besar.Oleh karena itu, jika dijumpai pasien TB dengan gejala IMS harus
segeradirujuk ke layanan IMS. Infeksi Menular Seksual yang paling sering
dijumpaiadalah herpes genitalis, HIV dan sifilis, gonore dan klamidia.

4.5 KELOMPOK BERISIKO


Penyebaran HIV dipengaruhi oleh perilaku berisiko pada
kelompokmasyarakat. Berdasarkan perilaku dan potensi tertular HIV,
masyarakatdapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Kelompok tertular (infected people) adalah mereka yang sudah
terinfeksiHIV.
b. Kelompok berisiko tertular atau rawan tertular (high-risk people)
adalahmereka yang berperilaku sangat berisiko untuk tertular HIV.
Dalamkelompok ini termasuk penjaja seks baik perempuan, laki-laki dan
wariaserta pelanggannya, pengguna napza suntik (penasun).
Narapidanatermasuk dalam kelompok ini.
c. Kelompok rentan (vulnerable people) adalah kelompok masyarakat
yangkarena lingkup pekerjaan, lingkungan, ketahanan dan atau
kesejahteraankeluarga yangrendah dan status kesehatan yang labil
sehingga rentanterhadap penularan HIV. Termasuk dalam kelompok rentan
adalah orangdengan mobilitas tinggi baik sipil maupun militer, perempuan,
remaja,anak jalanan, pengungsi, ibu hamil, penerima transfusi darah dan
petugaspelayanan kesehatan.
d. Masyarakat Umum (general population) adalah mereka yang tidaktermasuk
dalam ketiga kelompok yang telah disebutkan di atas.

4.6 UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN AIDS.


Pencegahan tentu saja harus dikaitkan dengan cara-cara penularan HIV
seperti yangsudah dikemukakan. Ada beberapa cara pencegahan HIV/AIDS,
yaitu :
a. Pencegahan penularan melalui hubungan seksual, infeksi HIV terutama
terjadi melaluihubungan seksual, sehingga pencegahan AIDS perlu
difokuskan pada hubungan seksual.Untuk ini perlu dilakukan penyuluhan
agar orang berperilaku seksual yang aman danbertanggung jawab, yakni :
hanya mengadakan hubungan seksual dengan pasangan
sendiri(suami/isteri sendiri), kalau salah seorang pasangan anda sudah
terinfeksi HIV, maka dalammelakukan hubungan seksual perlu
dipergunakan kondom secara benar, mempertebal imanagar tidak
terjerumus ke dalam hubungan-hubungan seksual di luar nikah.
b. Pencegahan penularan melalui darah dapat berupa : pencegahan dengan
cara memastikanbahwa darah dan produk-produknya yang dipakai untuk
transfusi tidak tercemar virus HIV,jangan menerima donor darah dari
orang yang berisiko tinggi tertular AIDS, gunakan alat-alatkesehatan
seperti jarum suntik, alat cukur, alat tusuk untuk tindik yang bersih dan
suci hama.
c. Pencegahan penularan dari Ibu-Anak (Perinatal).Ibu-ibu yang ternyata
mengidap virus HIV/AIDS disarankan untuk tidak hamil atau mengikuti
program Pencegahan penularan ibu-anak (PPIA)
Selain dari berbagai cara pencegahan yang telah diuraikan diatas, ada
beberapa carapencegahan lain yang secara langsung maupun tidak langsung ikut
mencegah penularan atau penyebaran HIV/AIDS.Kegiatan tersebut berupa
kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang dalamimplementasinya
berupa : konseling AIDS dan upaya mempromosikan kondomisasi, yangditujukan
kepada keluarga dan seluruh masyarakat yang potensial tertular HIV/AIDS
melaluihubungan seksual yang dilakukannya.Dengan cara ini keluarga dan
masyarakat secara terus menerus akan mendapatinformasi yang baru (up to
date) tentang HIV/AIDS sehingga keluarga akan lebih waspada danmampu
mengembangkan langkah –langkahpraktis untuk melindungi anggota
keluarganyadari penularan HIV serta untuk mengurangi tumbuhnya sikap yang
menganggap bahwakeluarganya sendiri tidak mungkin akan terinfeksi oleh virus
AIDS ini.
BAB V
PENATALAKSANAAN PELAYANAN HIV AIDS

5.1 Pelayanan Konseling dan Test HIV ( KTS)


Konseling dan Testing Sukarela yang dikenal sebagai Voluntary
Counselling and Testing (VCT) merupakan salah satu strategi kesehatan
masyarakat dan sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS
berkelanjutan. Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang
menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS,
mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang
bertanggung jawab, pengobatan ARV dan memastikan pemecahan berbagai
masalah terkait dengan HIV/AIDS.
Masyarakat yang membutuhkan pemahaman diri akan status HIV agar
dapat mencegah dirinya dari penularan infeksi penyakit yang lain dan penularan
kepada orang lain. Masyarakat yang datang ke pelayanan VCT disebut dengan
klien. Sebutan klien dan bukan pasien merupakan salah satu pemberdayaan
dimana klien akan berperan aktif dalam proses konseling. Tanggung jawab klien
dalam konseling adalah bersama mendiskusikan hal-hal yang terkait dengan
informasi akurat dan lengkap tentang HIV/AIDS, perilaku berisiko, testing HIV
dan pertimbangan yang terkait dengan hasil negative atau positif .
a. Model layanan VCT di RSUD Prof DR M Ali Hanafiah Sm Batusangkar,
terdiri dari :
1. Mobile VCT (Penjangkauan dan keliling)
Layanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Sukarela model penjangkauan
dan keliling (mobile VCT) yang dilaksanakan rumah sakit bekerjasama dengan
LSM atau layanan kesehatan lain yang langsung mengunjungi sasaran kelompok
masyarakat yang memiliki perilaku beresiko atau beresiko tertular HIV/AIDS
diwilayah tertentu. Layanan ini diawali dengan survey atau penelitian atas
kelompok masyarakat di wilayah tertentu dan survey tentang layanan kesehatan
dan layanan dukungan lainnya di daerah setempat.
2. Status VCT (Klinik VCT tetap)
Pusat Konseling dan Testing HIV/AIDS Sukarela terintegrasi di poliklinik
VCT RSUD Prof DR M Ali Hanafiah SM BatusangkarPoliklinik ini telah berjalan
dalam memberikan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan
Konseling dan Testing HIV/AIDS, layanan pencegahan, perawatan, dukungan
dan pengobatan terkait dengan HIV/AIDS.

b. Tahapan Pelayanan VCT


Alur penatalaksanaan VCT dan keterampilan melakukan konseling pra testing
dan konseling pasca testing perlu memperhatikan tahapan berikut ini :

Perencanaan Rawatan

Psikososial anjutan

Konseling Pasca-testing

Koseling Pra-testing

Penilaian Risiko Klinik

Keterampilan Mikro Konseling Dasar

Komunikasi Perubahan Perilaku

Alasan di lakukannya VCT

Informasi Dasar HI

Tahapan Penatalaksanaan :
1. Penerimaan klien :
a. Informasikan kepada klien tentang pelayanan tanpa nama (anonimus)
sehingga nama tidak ditanyakan
b. Pastikan klien datang tepat waktu danusahakan tidak menunggu
c. Jelaskan tentang prosedur VCT .
d. Buat catatan rekam medik klien dan pastikan setiap klien mempunyai
nomor kodenya sendiri.
 Kartu periksa Konseling dan Testing
 Klien mempunyai kartu dengan nomor kode.
 Data ditulis oleh konselor. Untuk meminimalkan kesalahan, kode
harus diperiksa ulang oleh konselor dan perawat/pengambil darah.
2. Konseling pra testing HIV/AIDS
a. Periksa ulang nomor kode klien dalam formulir.
b. Perkenalan dan arahan
c. Membangun kepercayaan kilen pada konselor yang merupakan dasar
utama bagi terjaganya kerahasiaan sehingga terjalin hibungan baik dan
terbin sekap saling memahami.
d. Alasan kunjungan dan klarisifikasi tentang fakta dan mitos tentang
HIV/AIDS
e. Penilaian risko untuk membantu klien mengetahui factor resiko dan
menyiapkan diri untuk pemeriksaan darah
f. Memberikan pengetahuan akan implikasi terinfeksi atau tidak terinfeksi
HIV dan memfasilitasi diskusi tentang cara menyesuaikan diri dengan
status HIV
g. Di dalam konseing pra testing seorang konselor VCT harus dapat
membuat keseimbangan antara pemberian informasi, penilaian resiko
dan merespon kebutuhan emosi klien.
h. Konselor VCT melakukan penilaian sistem dukunagn
i. Klien memberika persetujuan tertulisnya (Informed Consent) sebelum
dilakukannya testing HIV/AIDS.

Konseling Pra testing HIV/AIDS dalam keadaan khusus atau sedang


dirawat inap di RSUD Gandus Palembang:
a. Dalam keadaan klien sedang dalam rawat inap maka konseling dapat
dilakukan di ruangan pasien dirawat oleh konselor samping tempat
tidur atau dengan memindahkan tempat tidur klien ke ruang yang
nyaman dan terjaga kerahasiaanya
b. Dalam keadaan klien tidak stabil maka VCT dapat dilakukan langsung
kepada klien dengan prinsip Provider‐initiated HIV testing and
counselling (PITC) yaitu suatu tes HIV dan konseling yang diprakarsai
oleh petugas kesehatan kepada pasien sebagai bagian dari standar
pelayanan medis. Tujuan utamanya adalah untuk membuat keputusan
klinis dan/atau menentukan pelayanan medis khusus yang tidak
mungkin dilaksanakan tanpa mengetahui status HIV pasien. Apabila
pasien yang datang atau dirawat inap menunjukkan adanya gejala yang
mengarah ke HIV maka tanggung jawab dasar dari petugas kesehatan
adalah menawarkan tes dan konseling HIV kepada pasien tersebut
sebagai bagian dari tatalakasana klinis. Sebagai contoh petugas
kesehatan memprakarsai tes dan konseling HIV kepada pasien TB dan
pasien suspek TB, pasien IMS, pasien gizi buruk, pasien dengan gejala
atau tanda IO lainnya.
3. Informed Concent
a. Semua klien sebelum menjalani testing HIV harus memberikan persetujuan
tertulisnya.
b. Informed Consent pada anakyaitu orangtua dapat memberikan persetujuan
konseling dan testing HIV/AIDS untuk anaknya

4. Testing HIV dalam VCT


Prinsip testing HIV adalah sukarela dan terjaga kerahasiaannya. Testing
dimaksud untuk menegakkan diagnose. Terdapat serangkaian testing yang
berbeda-beda karena perbedaan prinsip metoda yang di gunakan. Testing yang
digunakan adalah testing serologis untuk mendeteksi antibody HIV dalam serum
atau plasma. Spesimen adalah darah klien yang di ambil secara intravena,
plasma atau serumnya. Penggunaan metode testing cepat (rapid testing)
memungkinkan klien mendapatkan hasil testing pada hari yang sama. Tujuan
testing HIV ada 4 yaitu untuk membantu menegakkan diagnosis, pengamanan
darah donor (skrining), untuk surveilans, dan untuk penelitian. Hasil testing yang
disampaikan kepada klien adalah benar milik klien. Petugas laboratorium harus
menjaga mutu dan kofidensialitas. Hindari terjadinya kesalahan, baik teknis
(technical error) maupun manusia (human error). Petugas laboratorium (perawat)
(mengambil) darah setelah klien menjalani konseling pra testing.
5. Konseling Pasca Testing
Konseling pasca testing membantu klien memahami dan menyesuaikan diri
dengan hasil testing. Konselor mempersiapkan klien untuk menerima hasil
testing, memberikan hasil testing, memberikan hasil testing, dan menyediakan
informasi selanjutnya. Konselor mengajak klien mendiskusikan strategi untuk
menurunkan penularan HIV.
1. Kunci utama dalam menyampaikan hasil testing.
a. Periksa ulang seluruh hasil klien dalam catatan medic. Lakukan hal ini
sebelum bertemu klien, untuk memastikan kebenarannya.
b. Sampaikan hasil hanya kepada klien secara tatap muka.
c. Berhati-hatilah dalam memanggail klien dari ruang tunggu
d. Seorang konselor tak diperkenankan memberikan hasil pada klien atau
lainnya secara verbal dan non verbal selagi berada di uang tunggu
e. Hasil testing tertulis.
2. Tahapan penatalaksanaan konseling pasca testing
a. Pedoman penyampaian hasil testing negative
 Periksa kemungkinan terpapar dalam periode jendela
 Buatlah ikhtisar dan gali lebih lanjut berbagai hambatan untuk seks
aman, pemberian makanan pada bayi dan penggunaan jarum suntik
yang aman
 Periksa kembali reaksi emosi yang ada
 Buatlah rencana lebih lanjut
b. Pedoman penyampaian hasil testing positif
 Perhatian komunikasi non verbal saat menggali klien memasuki ruang
konseling
 Pastikan klien siap menerima hasil .
 Tekanan kerahasiaan .
 Lakukan secara jelas dan langsung .
 Sediakan waktu cukup untuk menyerap informasi tentang hasil,
Selanjutnya :
a. Periksa apa yang diketahui klien tentang hasil testing .
b. Dengan tenang bicarakan apa arti hasil pemeriksaan .
c. Galilah ekspresi dan ventilasikan emosi .
d. Terangkan secara ringkas tentang : Tersedianya fasilitas untuk tindak
lanjut dan dukungan, 24 jam pendampingan, dukungan informasi verbal
dengan informasi tertulis, rencana nyata, ddanya dukungan dan orang
terdekat,aApa yang akan dilakukan klien dalam 48 jam, strategi
mekanisme penyesuaian diri, tanyakan apakah klien masih ingin
bertanya, beri kesempatan klien untuk mengajukan pertanyaan
dikemudian hari, rencanakan tindak lanjut atau rujukan jika diperlukan.

5.2 Perawatan, Dukungan dan Pengobatan (PDP)


HIV merupakan penyakit yang kronik yang akan disandang selama hidup
ODHA. Sepertihalnya penyakit kronik yang lain maka HIV memerlukan
perawatan dan pemantauan statuskesehatannya secara terus menerus secara
berkesinambungan, seperti halnya perawatanuntuk penyakit kronik yang lain.
1. Definisi perawatan berkesinambungan
Perawatan komprehensif berkesinambungan adalah perawatan yang
dilakukansecara holistik dan terus menerus sejak dari rumah hingga ke rumah
sakit (RS)dan sebaliknya melalui sistem jejaring yang bertujuan memperbaiki
danmemelihara kualitas hidup ODHA dan keluarganya. Perawatan
komprehensimeliputi pelayanan medis, keperawatan dan pelayanan pendukung
lainnyaseperti aspek promosi kesehatan, pencegahan penyakit,
perawatanpenyembuhan dan rehabilitasi untuk memenuhi kebutuhan fisik,
psikologi, sosialdan kebutuhan spritual individu termasuk perawatan paliatif.
2. Komponen perawatan berkesinambungan
a. Konseling dan tes HIV secara sukarela untuk memudahkan pasien masuk
kedalam keperawatan komprehensif berkesinambungan.
b. Manajemen gejala klinis melalui diagnosis secara dini dan
pengobatansecara tepat serta dukungan lainnya.
c. Asuhan keperawatan untuk menghilangkan ketidaknyamanan fisis yang
sakit,hygiene, peningkatan pengendalian infeksi, perawatan paliatif dan
terminal,pelatihan untuk keluarga di rumah, pendidikan pencegahan dan
promosikondom.
d. Perawatan di rumah dan masyarakat, meliputi pelatihan keluarga dan
tenagasukarela dalam peningkatan kesehatan, pengobatan gejala umum
danperawatan paliatif.
e. Promosi nutrisi yang baik, dukungan psikogis dan emosional,
dukunganspiritual dan konseling.
f. Membentuk kelompok pendukung di masyarakat untuk
memberikandukungan emosi pada ODHA dan keluarganya.
g. Eliminasi stigma HIV/AIDS dan mengembangkan sikap positif dalam
masyarakat bagi ODHA dan keluarganya.
h. Pendidikan keperawatan dalam HIV/AIDS bagi pemberi asuhan
HIV/AIDS,anggota keluarga, tetangga dan tenaga sukarela/volunteer.
i. Membangun kemitraan diantara pemberi pelayanan (klinik, sosial,
kelompokpendukung) agar rujukan dapat dilakukan secara baik.

3. Tempat dan sarana perawatan berkesinambungan


RumahPerawatan rumah adalah perawatan kepada orang sakit di rumah
merekasendiri. Perawatan ini melibatkan orang mereka sendiri atau
keluarga,saudara, tetangga, perawat, bidan, pekerja kesehatan dan pekerja sosial
lain.Perawatan diberikan seperti perawatan fisik, psikososial, spiritual dan
paliatif.
Komunitasperawatan komunitas adalah perawatan yang diberikan oleh
komunitas.Perawatan ini dapat diberikan oleh perawat, bidan, petugas
kesehatanmasyarakat, tokoh masyarakat, tokoh agama, LSM dan lain lain
PuskesmasPerawatan untuk ODHA di fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes)
dasar.
Rumah SakitPelayanan bagi ODHA yang diberikan di RS oleh dokter, perawat,
konselor,pekerja sosial dan pelayanan pendidikan.
4. Manfaat Perawatan berkesinambungan untuk perawatan HIV/AIDS
Bila perawatan komprehensif dan berkesinambungan berhasil dibangun
akanmemberikan banyak keuntungan untuk ODHA antara lain:
 Mengurangi beban perawatan pada keluarga.
 Memperbaiki kualitas hidup ODHA.
 Mengurangi stigma dan diskriminasi.

5.3 Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA)


Sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1987 sampai dengan tahun
2011, kasus AIDS telah tersebar di 368 (73,9%) dari 498 kabupaten/kota.Pada
tahun 2011 tercatat kasus AIDSterbesar justru terjadi pada kelompokibu rumah
tangga (22%) dan 2,7% kasusAIDS ditularkan dari ibu HIV positif kebayinyanya.
2,53%).Lebih dari 90% kasus anak yangterinfeksi HIV, ditularkan melalui
prosespenularan dari ibu ke anak. Virus HIVdapat ditularkan dari ibu yang
terinfeksiHIV kepada anaknya selamakehamilan, pada saat persalinan,
danselama menyusui.
Dampak buruk dari penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah apabila:
1. Terdeteksi dini
2. Terkendali (ibu melakukan prilaku hidup sehat, ibu mendapatkan ARV
profilaksis secara teratur, ibu melakukan ANC secara teratur, petugas
kesehatan menerapkan pencegahan infeksi sesuai Kewadaan Standar).
3. Penatalaksanaan persalinan yang aman.
4. Pembarian makanan bayi yang aman dan sesuai (PASI atau susu formula),
dengan konseling mengenai manfaat risiko pemberian ASI dan susu
formula. Perlu dukungan bagi ibu mengenai keputusan terhadap pilihan
pemberian makanan bayi. Jika pilihan ibu adalah ASI ekslusif, maka
diberikan konseling manajeman laktasi; jika pilihan ibu susu formula
ekslusif, maka dijelaskan mengenai AFASS.
5. Pemantauan ketat tumbung-kembang bayi dang balita dari ibu dengan
HIV.
6. Adanya dukungan dan perhatian yang berkesinambungan kepada ibu, bayi
dan keluarganya.
Menurut WHO ada empat prog yang perlu diupayakan untuk mencegah
terjadinya penularan HIV dari ibu ke anak, meliputi.
a. Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduksi.
b. Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu dengan HIV.
c. Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi
yang dikandungnya.
d. Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu
dengan HIV beserta bayi dan keluarganya.

A. Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduksi.


Memberikan pengertian dan penjelasan kepada perempuan dalam usia
reproduksi mengenai:
1. Setiap perempuan dalam usia reproduksi menghindari perilaku berisiko
terkena HIV dan IMS dan pasangan yang mempunyai pasangan yang
beresiko.
2. Jangan berhubungan seksual dengan pria berisiko tinggi atau saiapapum
tanpa mengetahui status HIV .
3. Setiap perempuan dalam usia reproduksi untuk tidak menggunakan alat
suntik tidak steril.
Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan dalam upaya pencegahan primer antara
lain:
1. Sosialisasi mengenai HIV/AIDS dilakukan pada usia dini mengenai
kesehatan reproduksi, HIV/AIDS dan napza disesuaikan dengan tingkat
umur.
2. Informasi dan pendidikan kesehatan umum.
3. Tes HIV dan konseling.
4. Tes rutin bagi yang pernah melakukan kegiatan berisiko.
5. Konseling pasangan dan tes kepada pasangan.
6. Mempraktekan kegiatan seks yang aman.
7. Menunda kegiatan seksual.
8. Komunikasi perubahan perilaku untuk menghindari perilaku risiko tinggi.

B. Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu dengan HIV


Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan dalam upaya pencegahan
kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu dengan HIV:
1. Menyediakan konseling dan layanan perencanaan keluarga untuk
meyakinkan perempuan dengan HIV membuat keputusan berdasarkan
informasi yang benar.
2. Mempraktekan kegiatan seks yang aman.
3. Memberikan informasi alat kontrasepsi yang dianjurkan.
4. Mengatur kehamilan bagi odha dan pasanganya.
Pembelian alat kontrasepsi yang aman dan efketif serta konseling yag
bekualitas akan membantu ODHA dalam melakukan seks yang aman,
mempertimbangkan jumlah anak yang dilahirkanya, serta menghindari lahirnya
anak yang terinfeksi HIV.
Alat kontrasepsi yang dianjurkan bagi ibu/pasangan dengan HIV adalah kondom,
karena bersifat proteksi ganda. Jenis kontrasepsi lainya (kontrasepsi hormonal
jangka panjang (pil, suntik dan implan ) bukan kontraindikasi bagi ODHA.
Namun, interaksi obat ARV dengan kontrasepsi hormonal (terutama yang
menggandung estrogen) perlu diperhatikan.
Menurut panduan WHO tahun 2004 perempuan dengan HIV umumnya dapat
menggunakan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) dengan beberapa kondisi
khusus, yaitu:
 Insersi AKDR dapat dilakukan pada perempuan dengan HIV tanpa gejala-
gejala AIDS.
 Insersi AKDR dapat dilakukan pada perempuan dengan HIV yang
meminum ARV dan secara klinis baik.
 Insersi AKDR tidak direkomendasikan pada perempuan dengan AIDS dan
tidak mendapat ARV.
 AKDR juga tidak direkomendasikan untuk perempuan yang mendapat ARV
tetapi secara klinis tidak baik.
 Jika seorang pengguna AKDR terinfeksi HIV atau jika pengguna AKDR
dengan HIV kemudian menderita AIDS,AKDR tidak harus dicabut. Namun,
perempuan tersebut harus dipantau kemungkinan terkena PID.
Pasca persalinan perlu konseling ulang mengenai pertimbangan jumlah anak
yang akan dilahirkannya. Jika ibu dengan HIV tetap ingin memiliki ana,
dianjurkan jarak antar kelahiran minimal 2 tahun.

C. Mencegah terjadinya penularan dari ibu dengan HIV kepada bayi


Bentuk intervensi berupa:
a. Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif
b. Layanan konseling dan tes HIV secara sukarela (VCT) maupun konseling
singkat dari petugas kesehatan
c. Pemberian obata anti retroviral(ARV)
d. Persalinan yang aman
e. Konseling tentang HIV dan makanan bayi, serta pemberian makanan bayi

D. Memberikan dukungan psiokologis, sosial dan perawatan kepada ibu


dengan HIV, beserta bayi dan kerluarganya
Upaya PMTCT tidak berhenti setelah ibu melahirkan, karena ibu tersebut
terus menjalani hidup dengan HIV di tubuhya, maka dukungan psikologis, sosial
dan perawatan sepanjang waktu tetap dibutuhkan. Jika bayi dari ibu tersebut
tidak terinfeksi HIV, masa depanya tetap perlu dipikirkan, karena adanya
kemungkinan orang tua bayi meninggal dunia. Sedangkan bila bayi terinfeksi
HIV, pengobatan ARV diperlukan seperti odha lainya.
Dengan dukungan prikososial yang baik, ibu dengan HIV akan bersikap
optimis dan bersemangat mengisi kehidupanya, sehingg ia akan betindak bijak
dan positif untuk senantiasa menjaga kesehatan diri dan anaknya, dan
berperilaku sehat agar tidak terjadi penularan HIV dari dirinya ke orang lain.

Pemberian Obat Antiretroviral Bagi Ibu Hamil Dengan HIV


Tanpa intrvensi, risiko penularan dari ibu dengan HIV ke anak selama
kehamilan, persalinan dan menyusui mencapai lebih dari 40%. Penggunaan obat
antiretroviral (ARV), intervensi obstetrik, dan tidak menyusui dalam upaya
pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dapat mengurangi risiko penularan
hingga kurang dari 2% di negara – negara maju.Pemberian ARV pada ibu hamil
dengan HIV mempunyai tujuan profilaksi dan terapi.Profilaksis ARV adalah
penggunaan obat antiretroviral jangka pendek yang digunakan perempuan hamil
dengan HIV selama masa kehamilan untuk mengurangi risiko penularan HIV ke
janin yang dikandungya. Sedangkan terapi ARV dalam program PMTCT
mempunyai manfaat serupa dengan terapi ARV untuk pasien HIV pada
umumnya,yaitu:
1. Memperbaiki status kesehatan dan kualitas hidup
2. Menurunkan rawat inap akibat HIV
3. Menurunkan kematian terkait AIDS
4. Menurunkan angka penularan HIV dari ibu ke anak.
Pemberian Terapi ARV
Pedoman WHO tahun 2006 merekomendasikan AZT + 3TC + NVP sebagai
regimen lini pertama untuk perempuan hamil. Berdasarkan pedoman tahun
2010, regimen lini pertama anak direkomendasikan oleh WHO adalah:
 AZT + 3TC + NVP atau
 AZT + 3TC + EFV atau
 TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
 TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
Selain perbedaan dalam pilihan regimen, perbedaan antara pedoman ARV
WHO tahun 2006 dan 2010 juga terdapat pada waktu memulai terapi ARV.
Pembelian Profilaksi ARV
Pedoman WHO 2006 menganjurkan untuk memulai profilaksis ARV pada
trimester ke-3 (28 minggu) kehamilan. Regimen yang direkomendasikan adalah
zidovudin (AZT) 2X1 dosis tunggal nerapine pada onset persalinan, kombinasi
AZT + 3TC selama persalinan dan satu minggu pascasalin.
Pedoman tahun 2010 meliputi dua pilihan, keudanya sebaiknya dimulai
lebih awal pada kehamilan 14 minggu dan kedua pilihan memberikan reduksi
bermakna pada penularan dari ibu ke anak.
a. Pilihan A. AZT 2X sehari untuk profilaksis ibu dan bayi dengan AZT atau
NVP selama 6 minggu setelah lahir jika bayi tidak menyusu. Jika bayi
menyusu, NVP untuk profilaksis bayi sebaiknya dilanjutkan sampai satu
minggu setelah pemberian ASI dihentikan.
b. Pilihan B. Regimen profilaktik yang terdiri dari tiga obat diberikan selama
kehamilan dan selama menyusui.
Penatalaksanaan Obstetri
Untuk mencegah penularan HIV ke anak, beberapa hal perlu diperhatikan.
a. Upaya menurunkan kdar viral load serendah – rendahnya dengan:
- Deteksi dini
- ARV (Anti Retroviral)
- Pola hidup sehat .
b. Pemilihan metode kelahiran tergantung:
- Viral Load
- Kesiapan sarana kesehatan: kewaspadaan universal, saran dan
prasarana, SDM medis dan non medis.
- Status obstetrik
Penelitian meta-analisis 15 studi kohort prospektif tahun 1999 yang
melibatkan 7800 pasangan ibu-bayi menunjukan, bahwa seksiko sesarea
terjadwal atau elektif, yaitu seksio sesarea yang dilakukan sebelum onset
persalinan dan/atau pecah ketuban, dikaitkan dengan berkurangnya penularan
dari ibu ke anak sekitar 55-80% tanpa profilaksis ARV dan dengan ZDV saja.
Penelitian lain tahun 2004 yang melibatkan 2900 kehamilan mendaptkan, bahwa
terapi ARB kombinasi dikaitkan dengan kejadian penularan yang sangat rendah
dan dengan viral load <1000 kopi/ml, angka penularan dari ibu ke anak secara
bermakna lebih rendah dengan ARV kombinasi dibanding dengan ARV tunggal
(0,6% vs 2,2%) tetapi tidak berbeda dengan cara persalinan. Data observasional
dari 4500 perempuan pada European collaborative study menemukan diantara
perempuan dengan viral load yang tidak terdetksi, seksio sesarea elektif tidak
menunjukan keuntungan tambahan dalam menurunkan penularan.
Seksio sesarea elektif sebaiknya dilakukan pada kehamilan 38 minggu,
berdasarkan pemeriksaan klinis dan USG, untuk meminimalkan risiko timbulnya
persalinan atau pecah ketuban sebelum prosedur seksio sesarea. Perempuan
yang direncanakan seksio sesarea tetapi datang dengan tanda-tanda persalinan
atau pecah ketuban dini sebaiknya dikonseling dan dikelola sesuai dengan kadar
viral load terakhir, terapi ARV, dan perkiraan lama persalinan(dilatasi serviks,
pendaratan seviks, dan lamanya pecah ketuban). Seksio sesarea setelah pecah
ketuban ≥4 jam kurang memberikan keuntungan dalam menurunkan risiko
penularan dari ibu ke anak.
Penentuan cara persalinan memerlukan konseling keuntungan dan
kerugian cara persalinan pervaginam atau seksio sesarea, termasuk mobiditas
dan mortalitas maternal, serta besaran resiko penularan bayi. Persalinan
pervaginam dimungkinkan, bila:
1. Ada persetujuan tindakan medis dengan informasi yang sejelas-jelasnya
(informend consent)
2. Viral load tidak terdeteksi (HIV-RNA <1000 kopi/ml)dan/atau meminum
ARV secara teratus sesuai prosedur minimal 4 minggu.
Pemberian Makanan Bayi
Di negara-negara maju pengaruh sinergis ARV pada ibu dan bayi, seksio
sesarea, dan tidak menyusui memberikan hasil penurunan angka penularan
hingga <2%. Pada era HAART High Active Antiretroviral Therapy), angka
penularan bisa lebih rendah lagi <1% kemungkinan karena efek HAART yang
kuat pada viral load.
Rekomendasi-rekomendasi dalam hal memberi makan bayi bagi ibu dengan
HIV
a. Air susu ibu/ASI adalah asupan yang paling baik untuk bayi, karena
komposisinya yang lengkap dan ideal bukan hanya bagi pertumbuhan
serta perkembangan otak yang optimal, tetapi juga untuk perlindungan
dari sebagai penyakit.
b. Pada ibu dengan HIV dan AIDS , maka terdapat risiko transmisi HIV
melalui ASI(5-20%).
c. Pada ODHA tidak dianjurkan untuk memberikan ASI, bila pemberian susu
formula memenuhi syarat AFASS, yaitu:
 Acceptable(dapat diterima), artinya tidak ada hambatan sosial budaya
bagi ibu untuk memberikan susu formula pada bayinya.
 Feasible (layak), artinya ibu dan keluarga punya waktu pengetauan, dan
keterampilan memadai untuk menyiapkan dan memberikan susu
formula kepada bayi.
 Affodarble (terjangkau) artinya ibu dan keluarga mampu membeli susu
formula, tersedia air bersih, bahan bakar untuk memasak dan
perlengkapan lain yang dieperlukan untuk menyapkan susu formula
yang memenuhi syarat.
 Sustainable (berkelanjutan) artinya susu formula dijamin dapat
diberikan setiap hari, siang dan malam selama usia bayi belum
mencapai 6 bulan dan diberikan dalam bentuk segar, serta suplai dan
distribusi susu formula dijamin keberadaanya hingga bayi berusia
setidaknya 6 bulan.
 Save (aman), artinya susu formula harus disimpan secara higienis, tidak
terkontaminasi, saat penyiapanya tersedia air bersih dan takaranya
dapat mencukupi kebutuhan gizi bayi, disuapan dengan tangan
dengan peraltan bersih, serta tidak berdampak peningkatkan
penggunaan susu formula pada masyarakat, khususnya para ibu
menyusui.
d. Bila syarat AFASS tidak dapat dipenuhi maka dianjurkan kepada ibu
dengan HIV untuk menyusui ekslusif selama 6 bulan
e. Bila ibu memilih untuk menyusui ekslusif maka ibu harus mendapat ART.
f. Bila ibu memilih menyusui ekslusif, hentikan pemberian ASI sesegera
mungkin apabila syarat AFASS sudah terpenuhi dan beralih ke susu
formula.
g. Sangat tidak dianjurkan menyusui campur (pemberian ASI bersama
dengan susu formula ataupun makanan/minuman lain), karenan memiliki
risiko penularan HIV pada bayi yang tertinggi. Hal ini disebabkan
pemberian susu formula yang merupakan benda asing dapat menimbulkan
perubahan mukosa dinding usus yang mempermudah masuknya HIV yang
ada di dalam ASI ke peredaran darah bayi.
h. Pilihan apapun yang diambil oleh seorang ibu, setelah mendapat informasi
dan konseling secara lengkap, harus didukung oleh semua pihak.

Jenis-jenis metode pemberian makanan pada bayi dari ibu dengan HIV
a. Tersedia pengganti ASI yang memenuhi syarat AFASS (affordable,
feasible,acceptable,sustainable,safe).
b. Bila kondisi AFASS tidak terpenuhi, maka dapat dipertimbangkan
pemberian ASI ekslusif yang jangka pemberianya singkta atau alternatif
ASI lainya, yaitu:
 Pasteusasi/memanaskan ASI perah.
 Mencari ibu Susu (perempuan lain untuk menyusui bayinya) yang
telah dibuktikan HIV negatif.
c. Bila ibu memilih menyusui bayi, ibu harus memahami teknik menyusui
yang benar untuk menhindarkan peradangan payudara (mastitis) dan lecet
pada puting yang dapat mempertinggi risiko bayi tertular HIV.

5.4 Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual (PMTS)


Program pencegahan HIV melalui transmisi seksual masih belum optimal.
Penggunaan kondom pada perilaku seksual berisiko masih rendah, kejadian
infeksi menular seksual juga tinggi. Akibatnya, banyak perempuan yang
monogami dan bukan pengguna narkoba suntik, tertular HIV dan selanjutnya
berisiko menularkan HIV kepada bayi yang dilahirkannya.
Situasi ini membutuhkan pendekatan yang penuh dengan inovasi baru.
Pendekatan program tidak hanya menjangkau pekerja seks perempuan tetapi
juga menyasar kepada kelompok berisiko lainnya, termasuk waria, laki-laki yang
seks dengan laki-laki (LSL) dan laki-laki berisiko tinggi (LBT) sebagai pembeli
seks. LBT kita kenal sebagai 4 M (mobile man with money in macho
environment), yaitu kelompok laki-laki yang karena pekerjaan atau profesinya
berada jauh dari keluarga. Hal ini dikarenakan LBT dikhawatirkan akan terjadi
peningkatan penularan HIV melalui hubungan heteroseksual di tahun-tahun
mendatang.
Perubahan pendekatan yang sudah lama berjalan ke pendekatan baru
membutuhkan kerja keras, kesungguhan dan dedikasi tinggi. Namun, apabila
kita yakin bahwa perjuangan meningkatkan kesehatan masyarakat adalah suatu
tujuan yang mulia dan kita berupaya mencegah dan lebih banyak orang tidak
tertular, maka tak ada kata menyerah. Buku pedoman ini menjadi panduan
untuk membuat perubahan tersebut menjadi lebih lancar dan berhasil. Pada
akhirnya epidemi HIV dapat terkendali sehingga mampu mencapai nol infeksi
HIV baru, nol kematian karena AIDS dan nol stigma dan diskriminasi.
4 Elemen Kunci PMTS Komprehensif
1. Komunikasi Perubahan Perilaku
2. Penguatan pemangku kepentingan setempat (kepemimpinan, kebijakan
lokal, Perda, keterlibatan pemilik wisma, mucikari, PPS, dll)
3. Pengelolaan  kondom dan pelicin  (pemasokandan distribusi)
4. Skrining dan layanan IMS & PPT.
Komponen program PMTS Paripurna disusun dalam kerangkaprogram
pencegahan melalui transmisi seksual yang bersifat komprehensif,efektif dan
integratif.
1. Komponen I (Komunikasi Perubahan Perilaku)
2. Komponen II (Penguatan Pemangku Kepentingan)
3. Komponen III (Manajemen Rantai Pasokan Kondom dan Pelicin)
4. Komponen IV (Skrining dan Pengobatan IMS dan PPT)
Semua komponen program PMTS Paripurna tersebut harus dilaksanakan
secara komprehensif, integratif dan efektif. Setiap komponen saling mendukung
satu sama lain, untuk memungkinkan dan memfasilitasi terjadinya perubahan
perilaku pada populasi kunci. Penjelasan komponen program PMTS secara
lengkap adalah sebagai berikut:
Komponen 1. Peningkatan Peran Pemangku Kepentingan
Pemangku kepentingan adalah segenap pihak, baik secara
peroranganmaupun organisasi (instansi pemerintah, swasta, organisasi
komunitas) yangmemiliki peran strategis dalam penanggulangan HIV dan AIDS di
suatuwilayah program.Tujuan komponen ini adalah menciptakan lingkungan
yang kondusifuntuk peningkatan pemakaian kondom dan penurunan prevalensi
IMS danHIV bagi LBT, WPS, LSL dan waria secara
berkesinambungan.Peningkatan peran positif pemangku kepentingan berarti
meningkatkankepedulian, komitmen, keberpihakan para pemangku kepentingan
dalam pencegahan IMS dan HIV yang terkoordinir di populasi LBT, WPS, LSL
danwaria, baik ditempat kerja maupun di hotspot.Dukungan dan keterlibatan
pemangku kepentingan merupakan motorpendorong pelaksanaan program.
Dukungan dan keterlibatan aktif pemangku kepentingan diwujudkan dalam
bentuk kepemimpinan dan komitmen untuk membuat program berhasil.

Komponen 2. Komunikasi Perubahan Perilaku (KPP)


KPP adalah berbagai macam kegiatan komunikasi yang direncanakandan
dilakukan secara sistematis untuk memenuhi kebutuhan populasi kunciagar
selalu berperilaku aman. KPP fokus pada pola pikir, nilai-nilai yangdianut dan
perilaku.KPP dilakukan melalui proses interaktif yang melibatkan populasikunci
dalam hal ini adalah LBT, WPS, LSL dan waria untuk
mempromosikan,mengembangkan dan memelihara perilaku aman.Tujuan KPP
adalah mengubah perilaku populasi kunci secara kolektifbaik tingkat individu,
kelompok dan komunitas sehingga kerentanan populasikunci terhadap HIV akan
berkurang.
Komponen 3. Manajemen Pasokan Kondom dan Pelicin
Tujuan komponen ini adalah untuk menjamin ketersediaan dan
akseskondom dan pelicin bagi populasi kunci LBT, WPS, LSL dan waria
dalamjumlah yang cukup.KPA bersama dengan semua pihak terkait melakukan
promosipenggunaan kondom pada populasi LBT, WPS, LSL dan waria.Penyediaan
kondom baik kondom subsidi maupun kondom mandiribagi LBT, WPS, LSL dan
waria akan difasilitasi oleh KPA. Manajemen rantaipasok kondom dan pelicin
menentukan tingkat keberhasilan pelaksanaankomponen 3 ini.
Komponen 4: Penatalaksanaan IMS dan HIV
Dampak dari KPP pada populasi LBT, WPS, LSL dan waria
adalahkemandirian populasi tersebut untuk mencari layanan kesehatan
yangmenyediakan layanan pemeriksaan dan pengobatan IMS dan layanan tes
HIVsesuai kebutuhan populasi kunci. Dalam pelaksanannya, Komponen 4
inimengacu pada pedoman penatalaksanaan IMS yang dilaksanakan oleh
Kementerian Kesehatan RI.
Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi dilakukan secara bersama sesuai
dengankebutuhan Program PMTS Paripurna. Monitoring dan evaluasi
dilakukansecara periodik/sesuai kebutuhan. Monitoring dan evaluasi
menggunakan toolsprogram, dengan menggunakan penilaian mandiri PMTS dan
ataumenggunakan tools monitoring kualitas program PMTS.

5.5 Pelayanan Obat Obatan Anti Retroviral (ARV)


Prinsip pengobatan antiretroviral atau ART secara umum adalah sebagai
berikut:
Tujuan Pengobatan ARV :
1. Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat
2. Memulihkan dan/atau memelihara fungsi imunologis (stabilisasi/
peningkatan selCD4)
3. Menurunkan komplikasi akibat HIV
4. Memperbaiki kualitas hidup ODHA
5. Menekan replikasi virus secara maksimal dan secara terus menerus
6. Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan
HIV

Manfaat ARV
Antiretroviral merupakan suatu revolusi dalam perawatan ODHA. Terapi
dengan antiretroviral atau disingkat ARV telah menyebabkan penurunan angka
kematian dan kesakitan bagi ODHA. Manfaat terapi antiretroviral adalah sebagai
berikut :
1. Menurunkan morbiditas dan mortalitas
2. Pasien dengan ARV tetap produktif
3. Memulihkan sistem kekebalan tubuh sehingga kebutuhan profilaksis
infeksioportunistik berkurang atau tidak perlu lagi
4. Mengurangi penularan karena viral load menjadi rendah atau tidak
terdeteksi,namun ODHA dengan viral load tidak terdeteksi, namun harus
dipandang tetapmenular
5. Mengurangi biaya rawat inap dan terjadinya yatim piatu
6. Mendorong ODHA untuk meminta tes HIV atau mengungkapkan status
HIV-nyasecara sukarela

Macam dan Paduan obat ARV


a. Macam Obat ARV
Macam obat ARV yang digunakan di Indonesia serta cara kerjanya sebagai
berikut:
Nucleoside dan non-nucleoside inhibitors (NRTI dan NNRTI): keduanya
mempunyai "target” enzim yang sama (reverse transcriptase inhibitor). Obat
tersebut mencegah HIV RNA menjadi DNA sehingga HIV tidak dapat masuk ke
inti sel tubuh manusia untuk membuat virus baru.
Protease inhibitors (PI): Pada saat inti sel tubuh manusia membuat materi
HIV,bagian tersebut harus dipotong dan disatukan kembali sebelum membentuk
HIVyang baru keluar dari sel. PI mencegah proses “pemotongan dan penyatuan
kembali”, sehingga bagian-bagian virus yang baru saja terbentuk tidak dapat
dipotong untuk membentuk ‘badan virus’.

b. Paduan Obat ARV


Prinsip dalam pemberian ARV adalah :
1. Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan
beradaalam dosis terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas
penggunaanobat
2. Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan
mendekatkanakses pelayanan ARV .
3. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan
menerapkanmanajemen logistik yang baik.
Paduan ART untuk orang dewasa yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini
pertama adalah:2 NRTI + 1 NNRTI
Mulailah terapi antiretroviral dengan paduan di bawah ini:
TDF + 3TC (atau FTC) EFV (Tenofovir + Lamivudine/atau ATAU
+ Emtricitabine) + Efavirenz)

Paduan di bawah ini dapat digunakan sebagai alternatif dari paduan di atas.
AZT + 3TC + EFV) (Zidovudine + Lamivudine + ATAU
ATAU Efavirenz

AZT + 3TC + NVP (Zidovudine + Lamivudine +


Nevirapine)

TDF + 3TC (atau FTC) (Tenofovir + Lamivudine/atau ATAU


+ NVP Emtricitabine + Nevirapine)

Persyaratan lain sebelum memulai terapi ARV


a. mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara matangdengan
konseling kepatuhan, sehingga pasien paham benar akan manfaat,
carapenggunaan, efek samping obat, tanda-tanda bahaya dan lain
sebagainya yangterkait dengan terapi ARV
b. Pasien yang akan mendapat terapi ARV harus memiliki pengawas minum
obat(PMO), yaitu orang dekat pasien yang akan mengawasi kepatuhan
minum obat.
c. Pasien yang mendapat terapi ARV harus menjalani pemeriksaan
untukpemantauan klinis dengan teratur.

Pengetahuan Dasar Penggunaan ARV


ART atau antiretroviral sampai saat ini merupakan satu-satu obat yang
memberikanmanfaat besar dalam pengobatan ODHA. Namun penggunaan ARV
menuntutadherence dan kesinambungan berobat yang melibatkan peran pasien,
dokter ataupetugas kesehatan, pendamping dan ketersediaan obat. Beberapa hal
khusus yangharus diperhatikan dalam penggunaan antiretroviral adalah sebagai
berikut:
1. Replikasi HIV sangat cepat dan terus menerus sejak awal infeksi,
sedikitnyaterbentuk sepuluh milyar virus setiap hari,namun karena waktu
paruh (half life)virus bebas (virion) sangat singkat, maka sebagian besar
virus akan mati. Walauada replikasi yang cepat, sebagian pasien merasa
tetap sehat tanpa ART selamakekebalan tubuhnya masih berfungsi dengan
baik.
2. Replikasi yang terus menerus mengakibatkan kerusakan sistem kekebalan
tubuhsemakin berat, sehingga semakin rentan terhadap infeksi
oportunistik (IO),kanker, penyakit saraf, kehilangan berat badan secara
nyata (wasting) danberakhir dengan kematian.
3. Viral load menunjukkan tingginya replikasi HIV sehingga penurunan
CD4menunjukkan kerusakan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan
oleh HIV.
4. Nilai viral load menggambarkan progresivitas penyakit dan risiko
kematian.Pemeriksaan secara berkala jumlah CD4 dan viral load (jika
memungkinkan)dapat menentukan progresivitas penyakit dan mengetahui
syarat yang tepatuntuk memulai atau mengubah rejimen ART
5. Tingkat progresivitas penyakit pada ODHA dapat berbeda-beda.
Keputusanpengobatan harus berdasarkan pertimbangan individual dengan
memperhatikangejala klinik, hitung limfosit total dan bila memumgkinkan
jumlah CD4.
6. Terapi kombinasi ART dapat menekan replikasi HIV hingga di bawah
tingkatyang tidak dapat dideteksi oleh pemeriksaan yang peka (PCR).
Penekanan virussecara efektif ini mencegah timbulnya virus yang resisten
terhadap obat danmemperlambat progresivitas penyakit. Jadi tujuan terapi
adalah menekanperkembangan virus secara maksimal.
7. Cara paling efektif untuk menekan replikasi HIV secara terus menerus
adalahmemulai pengobatan dengan kombinasi ARV yang efektif. Semua
obat yangdipakai harus dimulai pada saat yang bersamaan pada pasien
yang baru. Padapasien yang tidak pernah diterapi, tidak boleh
menggunakan obat yang memilikiresistensi silang dengan obat yang pernah
dipakai.
8. Terapi kombinasi ARV harus menggunakan dosis dan jadwal yang tepat.
9. Prinsip pemberian ART diperlakukan sama pada anak maupun
dewasa,walaupun pengobatan pada anak perlu perhatian khusus.
10. Walaupun viral load tidak terdeteksi, ODHA yang mendapat ART
harus tetapdianggap menular. Mereka harus dikonseling agar menghindari
seks yang tidakaman, atau penggunaan NAPZA suntik yang dapat
menularkan HIV ataupatogen menular lain.
11. Untuk menghindari timbulnya resistensi, ART harus dipakai terus
menerusdengan kepatuhan (adherence) yang sangat tinggi, walaupun
sering dijumpaiefek samping ringan.
12. Pemberian ART harus dipersiapkan secara baik dan matang dan
harusdigunakan seumur hidup.
13. Disamping ART, maka infeksi oportunistik harus pula mendapat
perhatian danharus diobati.

Memulai ARV
Sebelum memulai terapi, perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Penggalian riwayat penyakit secara lengkap
2. Pemeriksaan fisik lengkap
3. Pemeriksaan laboratorium rutin
4. Hitung limfosit total (Total Lymphocite Count/TLC) dan bila
mungkinpemeriksaan CD4.
Penilaian klinis yang mendukung adalah sebagai berikut:
1. Menilai stadium klinis infeksi HIV
2. Mengidentifikasi penyakit yang berhubungan erat dengan HIV di masa lalu
3. Mengidentifikasi penyakit yang terkait dengan HIV saat ini yang
membutuhkanpengobatan
4. Mengidentifikasi pengobatan lain yang sedang dijalani yang
dapatmempengaruhi pemilihan terapi

Riwayat Penyakit
Pertanyaan tentang riwayat penyakit meliputi :
1. Kapan dan dimana diagnosis HIV ditegakkan
2. Kemungkinan sumber infeksi HIV
3. Gejala dan keluhan pasien saat ini
4. Riwayat penyakit sebelumnya, diagnosis dan pengobatan yang
diterimatermasuk infeksi oportunistik
5. Riwayat penyakit dan pengobatan TB termasuk kemungkinan kontak
denganTB sebelumnya
6. Riwayat kemungkinan infeksi menular seksual (IMS)
7. Riwayat dan kemnugkinan adanya kehamilan
8. Riwayat penggunaan ART termasuk riwayat rejimen untuk PMTCT
sebelumnya
9. Riwayat pengobatan dan penggunaan kontrasepsi oral pada perempuan
10. Kebiasaan sehari-hari dan riwayat perilaku seksual
11. Riwayat penggunaan NAPZA suntik

Pemeriksaan Fisik
1. Berat badan, tanda vital
2. Kulit : herpes zoster, sarkoma Kaposi, dermatitis HIV, pruritic papular
eruption(PPE), dermatitis saborik berat, jejas suntikan (needle track) atau
jejas sayatan
3. Limfadenopati
4. Selaput lendir orafaringeal, kandidiasis, sarkoma kaposi, hairy leukiplakia,
HSV
5. Pemeriksaan jantung, paru dan abdomen
6. Pemeriksaan sistem saraf dan otot rangka ; keadaan kejiwaan,
berkurangnyafungsi motoris dan sensoris
7. Pemeriksaan fundus mata : retinitis dan papil edema
8. Pemeriksaan saluran kelamin/ alat kandungan

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan sebelum memulai
terapidengan antiretroviral adalah :
1. Pemeriksaan serologi untuk HIV dengan menggunakan strategi 2 atau
strategi 3 sesuai pedoman
2. Limfosit total atau CD4 (jika tersedia)
3. Pemeriksaan darah lengkap (terutama HB) dan kimia darah
(terutamafungsi hati) dan fungsi ginjal
4. Pemeriksaan kehamilan

Indikasi ART
ODHA dewasa seharusnya segera mulai ART manakala infeksi HIV
telahditegakkan secara laboratoris disertai salah satu kondisi berikut :
1. Secara klinis sebagai penyakit tahap lanjut dari infeksi HIV :
2. Infeksi HIV stadium IV, tanpa memandang jumlah CD4
3. Infeksi HIV stadium III dengan jumlah CD4<350/mm3
4. Infeksi stadium I atau II dengan jumlah CD4<200 mm3
Artinya bahwa ART untuk penyakit stadium IV (kriteria WHO disebut
AIDSklinik) tidak seharusnya tergantung pada jumlah CD4. Untuk stadium III,
bilatersedia sarana pemeriksaan CD4 akan sangat membantu untuk
menentukansaat pemberiaan terapi yang lebih tepat. Tuberkulosis paru dapat
timbul padatahapan dengan jumlah CD4 berapapun, bila jumlah CD4 tersebut
dapatterjaga dengan baik (misalnya >350/mm3), maka terapi dapat ditunda
denganmeneruskan pemantauan pasien secara klinis. Nilai ambang untuk
kondisiStadium III adalah 350/mm3 karena pada nilai nilai dibawahnya
biasanyakondisi pasien mulai menunjukkan perkembangan penyakit yang
cepatmemburuk dan sesuai dengan pedoman yang ada. Bagi pasien dalam
stadiumI atau II, maka jumlah CD4<200/mm3 merupakan indikasi pemberian
terapi.Apabila tidak ada sarana pemeriksaan CD4, maka yang digunakan
sebagaiindikator pemberian terapi pada infeksi HIV simptomatik adalah jumlah
limfosittotal 1200/mm3 atau kurang (misalnya pada stadium II). Sedangkan
padapasien asimptomatik jumlah limfosit total kurang berkorelasi dengan
jumlahCD4. Namun bila dalam stadium simptomatik baru akan bermanfaat
sebagaipetanda prognosis dan harapan hidup.Pemeriksaan viral load (misalnya
dengan menggunakan kadar RNA HIV-1dalam plasma) tidak dianggap perlu
sebelum dimulainya ART dan tidakdirekomendasikan oleh WHO sebagai tindakan
rutin untuk memandupengambilan keputusan terapi karena mahal dan
pemeriksaannya rumit.Diharapkan pada masa mendatang dapat berkembang
cara pemeriksaan viralload yang lebih terjangkau sehingga cara memantau
pengobatan tersebut
dapat diterapkan secara luas.Perlu diperhatikan bahwa sistem pentahapaninfeksi
HIV menurut WHO bagi orang dewasa tersebut dikembangkan padabeberapa
tahun yang lalu dan memiliki keterbatasan tetapi masih bermanfaatuntuk
membantu menetapkan indikator saat memulai terapi.
BAB VI
MONITORING DAN EVALUASI

Monitoring dan evaluasi program sangat penting dilakukan untuk


mengukur kemajuan yang dicapai dan mengetahui dampak dari
programPelayanan HIV AIDS, tujuannya adalah untukmemonitor capaian
program penanggulangan HIV&AIDS pada pencegahan, dukungan, perawatan
dan pengobatan, mitigasi dampak, lingkungan kondusif dan program lainnya.
Sebagai tambahan, juga memberikan gambaran tentang kondisi penanggulangan
HIV/AIDS di RSUD Prof DR M Ali Hanafiah SM Batusangkar
Monitoring dan evaluasi adalah bagian integral dari pengembangan
program, pemberian layanan, penggunaan optimal sediaan layanan, dan jaminan
kualitas. Karena itu untuk kepentingan layanan HIV AIDS di RSUD Prof DR M Ali
Hanafiah SM Batusangkar, maka monitoring dan evaluasi dilakukan dari luar
selama melakukan pelayanan. Monitoring dan evaluasi dilakukan dengan cara
sistematis dan berkala pada program pelayanan HIV AIDS. Monitoring dan
Evaluasi dapat dilakukan secara internal maupun eksternal.
Tujuan Monitoring dan Evaluasi adalah:
1. Untuk menyusun perencanaan dan tindaklanjut
2. Untuk perbaiki pelaksanaan pelayanan HIV AIDS
3. Untuk mengetahui kemajuan dan hambatan pelayanan HIV AIDS
Pelayanan HIV AIDS membutuhkan SDM yang terlatih dan bermotivasi
tinggi. Monitoring secara teratur sangat dibutuhkan untuk memastikan kualitas
yang baik dan konsisten, dan akan membantu staf agar terhindar dari
kejenuhan. Penilaian setiap 6 bulan atau satu tahun oleh Ketua TIM pelayanan
HIV AIDS RSUD Prof DR M Ali Hanafiah SM Batusangkaratau konselor
berpengalaman dari luar institusi layanan. Hasil penilaian disampaikan segera
setelah penilaian selesai kepada tim administrasi bulanan dan manajemen.
Monitoring dan evaluasi pelayanan HIV dapat dikembangkan dalam riset spesifik
dengan membangun dan mengembangkan riset konseling dan testing di tingkat
nasional merupakan hal yang perlu dilakukan. Selain untuk mengenai dampak
dan proses, dapat dilakukan riset khusus yang berkaitan dengan berbagai
pertanyaan yang muncul terkait konseling dan testing. Misal riset tentang
protokol pemeriksaan sampel dengan testing cepat, penerimaan klien akan
ketersediaan akses pada terapi TB, analisis biaya dan sebagainya. Dua jenis
monitoring dan evaluasi yang dilakukan adalah monitoring dan evaluasi
teknis/penatalaksanaan pelayanan klien serta monitoring dan evaluasi program.
Monitoring dan evaluasi hendaknya dilakukan rutin, berkala dan
berkesinambungan Aspek yang perlu dimonitor dan dievaluasi:
1. Kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu,
2. Sumber daya manusia
3. Sarana, prasana, dan peralatan
4. Standar minimal pelayanan HIV AIDS
5. Prosedur Pelayanan HIV AIDS
6. Hambatan pelayanan HIV AIDS
7. Uraian Rincian Layanan dengan menilai ketersediaan petugas
diberbagai tingkatlayanan, kepatuhan terhadap protokol, ketersediaan
materi pengajaran mengenaikesehatan dan kondom, ketersediaan dan
penggunaan catatan terformat,ketersediaan alat testing dan layanan
medik, kepatuhan petugas pada peran dantanggung jawab dan aspek
umum dari operasionalisasi layanan.
8. Pengelolaan yang profesional dan efektif
9. Akuntabilitas dan sustainibilitas.
10. Kepuasan dan evaluasi klien secara langsung atau melalui kotak
saran.
BAB VII
PENUTUP

Pedoman pelayanan HIV AIDS di RSUD Prof DR M Ali Hanafiah SM


Batusangkardigunakan sebagai acuan bagi seluruh jajaran kesehatan yang
terkait dalam pelayanan HIV AIDS di rumah sakit. Keberhasilan pelayanan HIV
AIDS di rumah sakit sangat bergantung pada adanya kebijakan, dedikasi, kerja
keras dan kemampuan para penyelenggara pelayanan serta komitmen bersama
untuk mencapai hasil maksimal yang berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal pengendalian penyakit dan


penyehatan lingkungan. Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing HIV
sekarela.‐‐Jakarta : Departemen Kesehatan RI.2003

Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal pengendalian penyakit dan


penyehatan lingkungan. Pedoman Testing Dan Konseling HIV Terintegrasi Di
Sarana Kesehaan PITC.‐‐Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.2010

Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal pengendalian penyakit dan


penyehatan lingkungan. Modul Materi Pelatihan Kolaborasi TB-HIV Bagi Petugas
Fasilitas Pelayan Kesehatan.‐‐Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.2013

Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal pengendalian penyakit dan


penyehatan lingkungan. Pedoman Nasional Layanan Komprehensif HIV-IMS
Berkesinambungan.‐‐Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2012

Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal pengendalian penyakit dan


penyehatan lingkungan. Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke
Anak (PPIA).‐‐Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.2012

Tjandra, Yoga. Situasi epidemiologi HIV AIDS di Indonesia. Direktorat Jenderal


pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. Kementerian kesehatan RI.
2012

Kementerian Kesehatan RI. Data HIV AIDS. Jakarta . 2009

Komisi pengendalian AIDS (KPA). Stanas Penanggulangan HIV AIDS 2007-2010.


Jakarta 2007

Kementerian Kesehatan RI. Estimasi dan Proyeksi HIV AIDS Tahun 2011-2016.
Kemeterian kesehatan RI. Jakarta 2013

Anda mungkin juga menyukai