Anda di halaman 1dari 7

Widodo Suwito dan Indarjulianto S: Staphylococcus aures Penyebab Mastitis pada Kambing Peranakan Etawah

Staphylococcus aureus PENYEBAB MASTITIS PADA KAMBING


PERANAKAN ETAWAH: EPIDEMIOLOGI, SIFAT KLINIS,
PATOGENESIS, DIAGNOSIS DAN PENGENDALIAN

Widodo Suwito1 dan Indarjulianto S2


1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
Jl. Stadion Baru Maguwoharjo No. 22 Karang Sari, Wedomartani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta
widodo.suwito@yahoo.com
2
Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada
Jl Fauna no 2, Yogyakarta 55281

(Makalah masuk 9 Oktober 2012 – Diterima 3 Januari 2013)

ABSTRAK

Mastitis pada kambing Peranakan Etawah (PE) banyak dijumpai dan merugikan secara ekonomis. Staphylococcus aureus
merupakan salah satu bakteri penyebab mastitis klinis maupun subklinis pada kambing PE. Tujuan dari tulisan ini untuk
memberikan informasi mengenai mastitis klinis dan subklinis pada kambing PE yang disebabkan oleh S. aureus. Informasi
tersebut mulai dari aspek epidemiologi, gejala klinis, patogenesis, diagnosis, pengobatan serta pencegahan dan pengendalian.
Penyebab mastitis S. aureus harus dieliminasi karena menimbulkan kematian induk dan anak. Selain itu S. aureus memiliki
risiko yang besar terhadap kontaminasi susu karena menghasilkan toksin dan bersifat tahan panas. Pemeriksaan penyebab
mastitis dengan metode isolasi dan identifikasi bakteri serta penghitungan jumlah sel somatik (JSS) menjadi acuan untuk
menentukan tindakan yang dapat mengurangi kejadian mastitis. Beberapa tindakan preventif terhadap mastitis yang
memungkinkan untuk dilakukan adalah kebersihan saat pemerahan, pencelupan puting dengan desinfektan dan pengobatan
dengan antibiotika pada saat tidak laktasi.
Kata kunci: Kambing PE, mastitis, S. aureus, diagnosis, preventif

ABSTRACT

MASTITIS IN ETTAWA CROSSBRED GOAT (PE) CAUSED BY Staphylococcus aureus: EPIDEMIOLOGY,


CLINICAL SIGNS, PATHOGENESIS, DIAGNOSIS AND CONTROL

Mastitis in Ettawa crossbred goat is commonly found and caused economic loss. Staphylococcus aureus is one of bacteria
caused clinical mastitis or subclinical mastitis in Ettawa crossbred goat. The aim of this review was to provide an overview of
clinical and subclinical mastitis in the Ettawa crossbred goat caused by S. aureus from epidemiological aspect, clinical
symptoms, pathogenesis, diagnosis, treatment, prevention and control. Mastitis should be eliminated because it lead to death for
the goats and lambs. In addition, S. aureus has greater risk for contamination in milk because it produces heat-stable toxin.
Isolation and identification bacteria with total of somatic cell counts are important as a reference to determine the actions to
decrease the occurrence of mastitis. Some preventive measures for mastitis include clean milking, dipping the teats with a
disinfectant and antibiotic treatment during dry lactation.
Key words: Ettawa crossbred goat, mastitis, S. aureus, diagnosis, preventif

PENDAHULUAN Progo dan sebagian Bantul. Susu kambing memiliki


kandungan protein yang lebih tinggi bila dibandingkan
Kambing Peranakan Etawah (PE) merupakan dengan susu sapi dan sebagai sumber mineral, kalsium
salah satu jenis kambing penghasil susu dan daging. serta fosfor yang baik untuk pertumbuhan bayi.
Selain itu kambing PE juga bersifat prolifik dan Kelebihan susu kambing salah satunya memiliki butir
memiliki nilai jual yang tinggi bila dibandingkan lemak yang lebih kecil dibandingkan susu sapi serta
dengan jenis kambing lainnya. Saat ini susu kambing memiliki proporsi asam lemak rantai pendek dalam
diyakini dapat menyembuhkan berbagai penyakit jumlah yang relatif tinggi sehingga susu kambing
dengan harga di pasaran mencapai Rp. 15.000 sampai mudah dicerna (Ceballos et al. 2009).
Rp. 20.000 per liter. Peternakan kambing PE di Salah satu penyakit yang sering dijumpai dalam
Yogyakarta terdapat di Kabupaten Sleman, Kulon budidaya kambing PE adalah mastitis. Beberapa

1
WARTAZOA Vol. 23 No. 1 Th. 2013

kerugian akibat mastitis antara lain penurunan produksi produksi susu juga dapat berpengaruh terhadap
susu sekitar 10-25%, kematian anak karena tidak kejadian mastitis. Penelitian yang dilakukan oleh
mendapatkan kolostrum, peningkatan biaya pengobatan Moroni et al. (2005) menyebutkan bahwa faktor risiko
yang cukup mahal, meningkatnya jumlah hewan yang mastitis pada kambing antara lain produksi yang tinggi,
harus dikeluarkan, dan susu ditolak di pasaran karena telah melahirkan lebih dari tiga kali, pada akhir laktasi
jumlah sel somatik (JSS) yang tinggi (Leitner et al. dan jumlah anak sekelahiran atau litter size. Sedangkan
2008). Penelitian yang dilakukan oleh Bergonier et al. Tørmod et al. (2007) menyatakan bahwa kejadian
(2003) menunjukkan bahwa 18% kambing yang mastitis pada domba kebanyakan terjadi pada satu
menderita mastitis klinis mengalami kematian. Susu minggu sebelum dan delapan minggu setelah beranak.
yang memiliki JSS tinggi apabila digunakan untuk Saat ini teknik molekuler mulai diterapkan untuk
pembuatan keju menyebabkan keju cepat menjadi asam mempelajari epidemiologi sehingga karakteristik dan
dan kualitas keju menjadi jelek (Albenzio dan Santilo perubahan genetik agen penyakit dapat diketahui.
2011). Penelitian yang dilakukan oleh Contreras et al. Teknik molekuler tersebut antara lain Pulsed Field Gel
(2003) menunjukkan bahwa kerugian akibat mastitis Electrophoresis (PFGE), Multilocus Enzyme
pada kambing di beberapa negara Eropa sebesar 36 Electrophoresis (MLEE), Ribotyping Random
Euro per kambing dalam satu tahun. Amplified Polymorphic DNA Polymerase Chain
Reaction (RAPD-PCR), Amplified Fragment Length
Polymorphism (AFLP) dan Restriction Fragment
EPIDEMIOLOGI Length Polymorphism (RFLP) (Jørgensen et al. 2005;
Pisoni et al. 2009; Kamaleldin et al. 2010; Onni et al.
Kejadian mastitis pada kambing PE di Yogyakarta 2012). Metode tersebut memiliki kelebihan dan
sering terjadi namun data epidemiologi belum banyak kekurangan, oleh karena itu gabungan ketiga metode
dilaporkan. Hal ini berbeda dengan beberapa negara phagetyping, biotyping dan ribotyping lebih efisien
yang menggunakan susu kambing sebagai bahan dasar untuk menentukan epidemiologi mastitis yang
pembuatan keju. Berdasarkan JSS dalam susu maka disebabkan oleh S. aureus. Penelitian yang dilakukan
kejadian mastitis subklinis pada kambing berkisar oleh Isrina et al. (2011) dengan teknik AFLP
9-50% Sanchez et al. (2007) sedangkan mastitis klinis menunjukkan bahwa S. aureus asal manusia, sapi dan
sebesar 25,5% terjadi setelah melahirkan atau 40 hari makanan masing-masing memiliki gen hla (alpa
pasca melahirkan (McDougall et al. 2002). hemolitik). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh
Infeksi bakteri merupakan penyebab mastitis yang Larsen et al. (2002) S. aureus penyebab mastitis pada
paling banyak dijumpai. Staphylococcus sp. merupakan sapi asal benua Eropa dan Amerika menghasilkan
bakteri yang paling banyak diisolasi dari kasus mastitis enterotoksin yang berbeda. Hal yang berbeda terjadi
klinis maupun subklinis. Prevalensi mastitis klinis dan pada mastitis domba yang disebabkan oleh S. aureus
subklinis pada kambing sekitar 36,4% dengan dengan menggunakan PFGE sebanyak 86% isolat tidak
prevalensi masing-masing Staphylococcus spp. non- dapat dibedakan walaupun dari asal yang sama
hemolytic 38,2%, S. aureus 11,0%, E. coli 1,6% dan (Tørmod et al. 2007).
Pseudomonas spp. 1,2% (Contreras et al. 2007).
Prevalensi mastitis subklinis pada kambing di negara
Israel berkisar 35-71% dan Staphylococcus aureus GEJALA KLINIS
koagulase negatif sebagai penyebabnya (Leitner et al.
2004). Penelitian yang dilakukan oleh Taufik et al. Berdasarkan gejala klinis, mastitis dikelompokkan
(2011) menunjukkan bahwa prevalensi Staphylococcus menjadi dua yaitu mastitis klinis dan subklinis.
koagulase negatif dan positif yang diisolasi dari susu Mastitis klinis menampakkan gejala klinis seperti
kambing di Bogor masing masing 76,7 dan 86,7%. pembengkakan pada kambing (Gambar 1),
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Purnomo et meningkatnya suhu tubuh dan frekuensi nafas, nafsu
al. (2006) menunjukkan 12 isolat S. aureus berhasil di makan turun yang disertai dengan perubahan komposisi
isolasi dari 56 sampel susu kambing PE asal air susu maupun bentuk ambing. Mastitis subklinis
Yogyakarta. Perbedaan prevalensi tersebut dapat ditandai dengan peningkatan JSS dalam susu tanpa
disebabkan oleh sistem manajemen pemeliharaan dan disertai pembengkakan ambing, dan jika diuji dengan
pemerahan yang berbeda. Perbaikan dalam sanitasi menggunakan California Mastitis Test (CMT) maka
pemerahan dapat menekan kejadian mastitis klinis terjadi koagulasi (Marogna et al. 2012).
sekitar 1% dan mastitis subklinis 5-10% (Contreras et Bedasarkan waktu kejadiannya mastitis klinis
al. 2007). dibagi menjadi empat yaitu hiperakut, akut, subakut
Kejadian mastitis berhubungan dengan faktor dan kronis. Karakteristik dari mastitis hiperakut adalah
risiko seperti manajemen pemerahan yang kurang terjadi peradangan ambing secara mendadak yang
higienis, pemerahan yang tidak tuntas serta sanitasi disertai dengan reaksi sistemik dari dalam tubuh dan
kandang yang kurang baik. Status kelahiran induk serta berlangsung sangat cepat. Mastitis gangrenosa

2
Widodo Suwito dan Indarjulianto S: Staphylococcus aures Penyebab Mastitis pada Kambing Peranakan Etawah

merupakan salah satu bentuk mastitis klinis per akut Staphylococcus sp. dan Streptococcus sp. Penelitian
yang kebanyakan disebabkan oleh S. aureus (Bleul et yang dilakukan oleh Hall dan Rycroft (2007) sebanyak
al. 2006). Selain mastitis gangrenosa juga dijumpai ada 40% S. aureus berhasil diisolasi dari kasus mastitis
toksemia mastitis dengan gejala depresi, nafsu makan klinis dan subklinis pada kambing di negara Inggris.
turun, suhu tubuh meningkat, otot lemah, Staphylococcus aureus ada dua macam yaitu S. aureus
pembengkakan kelenjar mamae disertai kelainan air koagulase positif dan negatif. Mastitis klinis dan
susu yang dihasilkan. Efek toksemia mastitis antara subklinis dapat disebabkan oleh S. aureus koagulase
lain menyebabkan kematian kambing atau sapi yang positif dan negatif. Mastitis klinis dan subklinis di
didahului dengan gejala dehidrasi, depresi, koma dan negara Canada disebabkan oleh Mannheimia
akhirnya mati (Bleul et al. 2006). haemolytica 26%, S. aureus koagulase positif (23%)
Mastitis akut ditandai dengan peradangan ambing dan S. aureus koagulase negatif (17%) (Arsenault et al.
secara mendadak disertai dengan gejala sistemik dan 2008). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh
kejadiannya sedikit lebih lambat bila dibandingkan Contreras et al. (2007) penyebab mastitis klinis dan
dengan mastitis hiperakut. Mastitis subakut subklinis antara lain Staphylococcus spp. non hemolytic
karakteristiknya hampir sama dengan mastitis akut 38,2%, S. aureus 11,0%, E. coli 1,6% dan
namun kejadiannya tidak secepat mastitis akut, Pseudomonas spp. 1,2%.
sedangkan pada mastitis kronis ditandai dengan Mastitis klinis dan subklinis juga disebabkan oleh
pembengkakan ambing yang terjadi dalam waktu lama kelompok bakteri Gram negatif walaupun jarang
(Marogna et al. 2012). terjadi. Bakteri E. coli dan S. aureus dilaporkan oleh
Bleul et al. (2006) sebagai penyebab toksik mastitis
pada sapi perah. Mastitis klinis dan subklinis pada
kambing yang disebabkan oleh Pseudomonas
aeroginosa dilaporkan oleh Heras et al. (1999). Selain
bakteri, mastitis klinis dan subklinis juga disebabkan
oleh Candida sp., Mycoplasma sp. dan virus.
Mycoplasma bovis banyak menyebabkan mastitis pada
sapi perah dan sangat sulit untuk diobati (Nicholas dan
Ayling 2003), sedangkan Candida rugosa dilaporkan
oleh Crawshaw et al. (2005) menyebabkan mastitis
pada kambing yang banyak terjadi pasca pemberian
antibiotika intra mammae. Lentivirus merupakan
kelompok virus yang dapat menyebabkan mastitis
walaupun kasusnya sangat jarang (Turin et al. 2005)
dan virus tersebut disebarkan melalui anak kambing
yang sedang menyusu induknya.

FAKTOR VIRULENSI

Staphylococcus aureus memiliki beberapa faktor


virulensi yang berperanan penting dalam patogenesis.
Faktor virulensi tersebut antara lain: tipe antigen
permukaan, enzim degradasi, enterotoksin, leukosidin
dan hemolisin (Peacock et al. 2002 ).
Tipe antigen permukaan terdiri dari clumping
factor A (ClfA), clumping factor B (ClfB), fibronektin
protein A, kolagen protein, elastin protein, sialoprotein,
protein A (IgG-binding protein), CP5 sintesis enzim,
CP8 sintesis enzim dan intraseluler adhesi protein A.
Gambar 1. Mastitis klinis pada kambing Antigen permukaan memegang peranan penting dalam
Sumber: Koleksi Pribadi
proses penempelan antara S. aureus dengan sel epitel
kelenjar mammae serta pembentukan biofilm yang
berperan sebagai barier protektif (Ote et al. 2011).
ETIOLOGI Kemampuan mengkoagulasi plasma merupakan
salah satu faktor virulensi yang penting dalam
Mastitis klinis dan subklinis umumnya disebabkan patogenesis S. aureus (Ote et al. 2011). Staphylococcus
oleh infeksi bakteri Gram positif seperti aureus pada kondisi tertentu mampu membentuk

3
WARTAZOA Vol. 23 No. 1 Th. 2013

kapsul dan beberapa kapsul tersebut membentuk lendir PATOGENESIS


yang berfungsi sebagai benteng pertahanan.
Enzim degradasi S. aureus terdiri dari beberapa Sumber S. aureus berasal dari kulit di sekitar
jenis antara lain: toksin eksfoliatif A (etA), toksin ambing, tangan pemerah, kain yang digunakan untuk
eksfoliatif B (etB), toksin eksfoliatif D (etD), serine mengeringkan ambing, mesin pemerah dan lingkungan
protease (SpIA) dan serine V8 protease. Faktor sekitar kandang. Infeksi terjadi saat kondisi otot dari
virulensi tersebut berperan dalam invasi bakteri ke puting susu terbuka dan S. aureus masuk melalui teat
dalam sel-sel epitel (Ote et al. 2011). canal. Sebanyak 102 colony forming unit (cfu) S.
Staphylococcus aureus menghasilkan enterotoksin aureus mampu menimbulkan mastitis dan S. aureus
yang bersifat super antigenik. Toksin super antigenik koagulase negatif paling banyak dilaporkan sebagai
terdiri dari beberapa jenis enterotoksin (SE) yaitu A, B, penyebab mastitis subklinis pada kambing (Moroni et
C, D, E, G, H, I, J, L, M, N, O dan toxic shock al. 2005). Tahap selanjutnya S. aureus menempel pada
syndrome toxin-1 (TSST-1). Super antigen merupakan permukaan sel epitel kelenjar mamae, membentuk
molekul yang memiliki kemampuan untuk koloni dan berkembang lebih lanjut.
menstimulasi sel T dalam sel hospes dan bersifat Fase akut merupakan tahap pertama saat infeksi S.
pyrogenic, menginduksi cytokine, imunosupresif, aureus pada kelenjar mamae yang diikuti dengan gejala
meningkatkan shock endotoxin dan menyebabkan demam, nafsu makan turun, ambing bengkak, adanya
kebocoran dari pembuluh darah (Oliveira et al. 2011). jonjot-jonjot dalam susu dan terjadi pengerasan dari
Enterotoksin merupakan hal yang sangat penting ambing. Kejadian mastitis gangrenosa berlangsung
sangat cepat dan apabila tidak segera ditangani dapat
dalam food borne disease dan berdasarkan reaksi
mengakibatkan nekrosis dan kematian ternak. Kejadian
serologi enterotoksin C (SEC) dibagi menjadi tiga sub
mastitis gangrenosa lebih sering terjadi pada kambing
tipe yaitu SEC1, SEC2 dan SEC3 (Alarcon et al. 2006).
dan domba dari pada sapi (Bleul et al. 2006).
Enterotoksin bersifat tahan pada suhu 110ºC selama 30
Gambaran mikroskopis kelenjar mammae yang
menit dan dalam jumlah 106-108 colony forming unit terinfeksi S. aureus terlihat ada ulserasi, erosi dari sel-
(cfu)/ml berpotensi menghasilkan toksin dengan sel duktus laktiferus, infiltrasi sel radang dalam sel
konsentrasi 1µg (Alarcon et al. 2006). Enterotoksin tipe alveoli dan terjadi penyusutan sel alveoli.
C merupakan penyebab paling banyak pada kasus Infeksi S. aureus dipengaruhi oleh tipe permukaan
intoksikasi setelah minum susu (Tamarapau et al. dinding sel bakteri. Permukaan dinding sel S. aureus
2001). mempunyai sifat hidrofobisitas yang tinggi, sehingga
Toxic shock syndrome toxin-1 merupakan protein memudahkan reaksi penempelan antara S. aureus
dengan ikatan peptida tunggal yang memiliki berat dengan sel epitel kelenjar mamae. Penelitian yang
molekul 22.000 ka, bersifat isoelektrik dan merupakan dilakukan oleh Zecconi et al. (2006) menunjukkan
penghasil pyrogenic eksotoksin yang paling besar adanya protein ekstra seluler seperti kolagen dan
selain dari Streptococcus grop A. Mastitis yang fibronektin (Fn) yang akan memudahkan terjadinya
disebabkan oleh S. aureus penghasil Toxic shock reaksi penempelan antara S. aureus dengan sel epitel
syndrome toxin-1 dapat menyebabkan demam, tekanan kelenjar mamae. Reaksi penempelan S. aureus dengan
darah menurun, pembesaran dari berbagai organ dan sel epitel kelenjar mamae ada dua tipe yaitu reaksi
kematian (Oliveira et al. 2011). Beberapa sifat TSST-1 spesifik dan non spesifik yang merupakan reaksi fisika
antara lain mampu menginduksi terjadinya demam, kimia.
meningkatkan lethal shock endotoxin, menstimulasi
proliferasi non spesifik sel T, menginduksi pelepasan
DIAGNOSIS, PROGNOSIS DAN PENGOBATAN
interleukin-1 (Oliveira et al. 2011).
Staphylococcus aureus memiliki kemampuan
Kasus mastitis pada kambing di lapangan ada dua
menghasilkan faktor virulensi hemolisin. Hemolisin
macam yaitu klinis dan subklinis. Diagnosis mastitis
dihasilkan saat S. aureus berkoloni dan bersifat klinis ditentukan berdasarkan gejala klinis seperti
menghemolisis sel darah merah. Produksi hemolisin pembengkakan ambing (Gambar 1) yang disertai
dapat diketahui dengan menanam bakteri tersebut dengan peningkatan suhu tubuh, ambing terasa panas,
dalam media agar darah. Hemolisin terbentuk apabila frekuensi napas meningkat serta hewan tidak mau
di sekitar koloni S. aureus terlihat zona terang atau makan. Salah satu indikator mastitis akut dapat
terjadi hemolisis dari sel darah merah. Tipe hemolitik menggunakan kadar haptoglobin dan serum amyloid
yang dihasilkan dari S. aureus ada empat macam yaitu sedangkan mastitis subklinis dengan peningkatan JSS
α, ß, γ dan δ. Hemolisin yang penting dalam (Pyorala et al. 2011).
patogenesis S. aureus adalah tipe α dan ß. Tipe Mastitis klinis yang tidak segera ditangani akan
hemolisin α diproduksi sekitar 20-50%, sedangkan ß memberikan prognosis dubius sampai infausta.
toksin sekitar 75-100% (Dinges et al. 2000). Pengobatan mastitis klinis dapat diberikan dengan

4
Widodo Suwito dan Indarjulianto S: Staphylococcus aures Penyebab Mastitis pada Kambing Peranakan Etawah

antibiotika long acting intra muscular. Antibiotika mastitis subklinis biasanya akan sembuh kecuali ada
golongan Oksitetrasiklin, Tetrasiklin, Gentamisin, infeksi sekunder yang dapat menyebabkan kematian.
Ampisilin dan Eritromisin masih sensitif untuk
pengobatan mastitis pada kambing PE (Purnomo et al.
2006). Pengobatan mastitis akan lebih optimal apabila PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
dikombinasikan antara pemberian antibiotika secara
intra mammae dan antibiotika long acting intra Pencegahan dan pengendalian mastitis pada
muscular serta diberikan multivitamin (Contreras et al. kambing PE memerlukan beberapa strategi dan
2003). Pemberian preparat kortison sebagai anti radang pendekatan yang tepat. Manajemen yang baik mungkin
pada hewan yang sedang laktasi sebaiknya dihindari dapat diaplikasikan seperti penggunaan antiseptik
karena akan menyebabkan produksi susu terhenti. untuk pencelupan puting sebelum dan sesudah
Sedangkan pemberian multivitamin dengan kandungan pemerahan, pemberian antibiotika pada saat kering
unsur selenium (Se) yang tinggi mampu mengurangi laktasi dan vaksinasi. Pemberian antibiotika pada saat
terjadinya mastitis sub klinis pada kambing (Sanchez et masa kering sangat diperlukan untuk mengurangi
al. 2007). kejadian mastitis subklinis (Bergonier et al. 2003).
Diagnosis mastitis subklinis dapat dilakukan Penelitian yang dilakukan oleh Dogruer et al. (2010)
dengan menggunakan reagen IPB-1 atau CMT. Prinsip kombinasi pemberian antibiotika Ampicillin dan
dari pengujian tersebut adalah penghitungan JSS secara Dicloxacillin melalui intra muscular dan intra
tidak langsung dengan indikator reaksi penggumpalan mammae akan memberikan hasil yang optimal.
atau membentuk gel akibat JSS yang tinggi. Jumlah sel Sedangkan pemberian antibiotika pada masa kering
akan memberikan perlindungan terhadap mastitis
somatik dapat dihitung secara langsung dengan metode
subklinis sebesar 20-60%, namun hal tersebut lebih
Breed atau menggunakan alat Fosomatik atau Coulter
efektif pada domba bila dibandingkan dengan kambing
Counter dengan melihat sel radang dalam susu (Moroni
(Dogruer et al. 2010).
et al. 2005). Hasil penelitian McDougall et al. (2002)
Beberapa peternakan di negara maju, vaksinasi
menyatakan bahwa kambing menderita mastitis
mastitis sudah banyak diterapkan walaupun hanya
subklinis apabila JSS mencapai jumlah 1 x 106 sel/ml.
sekedar mengurangi gejala klinis terutama pada
Jumlah sel somatik merupakan indikator yang dapat
mastitis klinis, sedangkan pada mastitis subklinis
digunakan untuk mengetahui peradangan dalam
belum memberikan hasil yang optimal. Vaksinasi
kelenjar susu.
terhadap peternakan yang memiliki kejadian mastitis
Selain itu pemeriksaan mastitis subklinis dapat
tinggi mungkin perlu dipertimbangkan terutama untuk
dilakukan dengan metode Brabanter mastitis test yang
mengurangi kejadian mastitis gangrenosa. Berdasarkan
didasarkan pada perubahan pH. Perubahan pH dan
penelitian yang dilakukan oleh Tollersrud et al. (2002)
kandungan elektrolit dalam susu dapat digunakan untuk penggunaan vaksin mastitis S. aureus lebih efektif pada
mendiagnosis mastitis subklinis (Sudarwanto dan domba dibanding pada kambing. Vaksin mastitis
Sudarnika 2008). Pada umumnya pH susu segar mengandung beberapa komponen superantigen S.
berkisar antara 6,3-6,75, sedangkan pH susu dari aureus seperti adesin, hemolisin α dan ß, kapsul dari
penderita mastitis subklinik diatas 6,75, kecuali dinding sel polisakarida dan adjuvant.
apabila ditemukan Streptococcus agalactiae yang Selain vaksinasi, maka kebersihan kandang, mesin
menyebabkan pH susu sedikit turun. Uji alkohol 70% pemerah, personil yang memerah perlu diperhatikan
dapat digunakan untuk mendiagnosis mastitis subklinis karena dapat berperan sebagai pembawa S. aureus.
karena praktis dan cepat mendapatkan hasil. Prinsip uji Pemeriksaan secara rutin terhadap susu menggunakan
alkohol ditentukan pada perubahan keasaman susu atau CMT atau reagen IPB-1 perlu dilakukan untuk
pH yang disebabkan oleh terbentuknya asam laktat monitoring mastitis subklinis. Penggunaan air untuk
sebagai akibat daya kerja bakteri asam laktat yang mencuci ambing sebelum diperah juga berperanan
banyak ditemukan dalam susu yang pemerahannya dalam mencegah mastitis. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan secara tidak higienis. Metode lain yang dilakukan oleh Heras et al. (1999) air yang digunakan
digunakan untuk mendeteksi mastitis subklinis adalah untuk mencuci ambing berperanan sebagai sumber
dengan melihat aktivitas enzim laktoperoksidase (LP). bakteri penyebab mastitis jika terkontaminasi oleh
Enzim laktoperoksidase (LP) akan meningkat saat P. aerognosa. Kondisi kandang yang kering dapat
terjadi peningkatan jumlah sel somatik (Eyassu et al. menekan kejadian mastitis.
2007). Strategi lain yang dapat diterapkan dalam
Pengobatan mastitis subklinis pada prinsipnya pencegahan mastitis yaitu dengan pencelupan puting
sama dengan mastitis klinis dan selama pengobatan, sebelum dan sesudah pemerahan. Hal ini bertujuan
susu tidak boleh dikonsumsi karena residu antibiotika untuk mengurangi atau mencegah masuknya bakteri ke
dalam susu dapat membahayakan konsumen. Prognosis dalam puting (Contreras et al. 2007). Banyak jenis

5
WARTAZOA Vol. 23 No. 1 Th. 2013

desinfektan yang digunakan untuk pencelupan puting Contreras A, Luengo C, Sanchez A, Corrales JC. 2003. The
antara lain larutan iodium dan klorin. role of intramamary pathogens in dairy goats. Livest
Prod Sci. 79:273-283.
Contreras A, Sierra D, Sanchez A, Corrales JC, Marco JC,
KESIMPULAN
Paape MJ, Gonzalo C. 2007. Mastitis in small
ruminants. Small Rumin Res. 68:145-153.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri
penyebab mastitis klinis dan subklinis pada kambing Crawshaw WM, MacDonald NR, Duncan G. 2005. Outbreak
of Candida rugosa mastitis in dairy herd after
PE. Staphylococcus aureus menghasilkan faktor intramammary antibiotic treatment. Vet Record.
virulensi yang bersifat super antigen dan berperan 156:812-813.
dalam patogenesis. Prevalensi mastitis klinis di lapang
lebih sedikit bila dibanding dengan mastitis subklinis. Dinges MM, Orwin PM, Schlievert PM. 2000. Exotoxins of
Staphylococcus aureus. Clin Microbiol Rev. 13:16-
Gejala mastitis klinis lebih mudah dikenali apabila 34.
dibandingkan dengan mastitis subklinis. Diagnosis
mastitis klinis berdasarkan gejala klinis sedangkan Dogruer G, Saribay MK, Ergun Y, Aslantas O, Demir C,
Ates CT. Short communication. 2010. Treatment of
mastitis subklinis berdasarkan JSS. Jumlah sel somatik
subclinical mastitis in Damascus goats during
secara langsung dapat dihitung dengan metode Breed, Lactation. Small Rumin Res. 90:153-155.
alat Fosomatik dan Coulter Counter, sedangkan secara
tidak langsung menggunakan reagen CMT atau IPB-1, Eyassu S, Donkin EF, Buys EM. 2007. Potential of
lactoperoxidase to diagnose subclinical mastitis in
Brabanter mastitis test, aktivitas enzim
goats. Small Rumin Res. 69:154-158.
laktoperoksidase (LP) dan uji alkohol. Manajemen
pemerahan merupakan salah satu tindakan preventif Heras L, Dominguez A, Lopez I, Garayzabal JF. 1999.
yang perlu dilakukan untuk mengontrol mastitis. Outbreak of acute ovine mastitis associated with
Pseudomonas aeruginosa infection. Vet Record.
Pencelupan puting sebelum dan sesudah pemerahan,
145:111-112.
pemberian antibiotika saat kering laktasi merupakan
alternatif untuk pencegahan terhadap mastitis klinis Hall SM, Rycroft AN. 2007. Causative organisms and
maupun subklinis. Vaksinasi mastitis perlu dikaji somatic cell counts in subclinical intramammary
infections in milking goats in the UK. Vet Record.
efektivitasnya karena belum protektif tetapi
160:19-22.
mengurangi gejala klinis.
Isrina SO, Tato S, Sugiyono, Aryanti ND, Prabawati F. 2011.
Genotypic characterization of staphylococcus aureus
DAFTAR PUSTAKA isolated from bovines, humans, and food in
Indonesia. J Vet Sci. 12:353-361.
Alarcon B, Vicedo B, Aznar R. 2006. PCR-based procedures Jørgensen HJ, Mørk T, Caugant DA, Kearns A, Rørvik LM.
for detection and quantification of Staphylococcus 2005. Genetic variation among Staphylococcus
aureus and their application in food. J Appl Microb. aureus strains from Norwegian bulk milk. J Clin
100:352-364. Microbiol. 71:8352-8361.
Arsenault J, Dubreuil P, Higgins R, Belanger D. 2008. Risk Kamaleldin BS, Ismail J, Campbell J, Mulvey MR, Bourgault
factors and impact of clinical and subclinical mastitis AM, Messier S, Zhao X. 2010. Regional profiling for
in commercial meat-producing sheep flocks in determination of genotype diversity of mastitis
Quebec, Canada. Prev Vet Med. 87:373-393. specific Staphylococcus aureus lineage in Canada by
Albenzio M, Santilo A. 2011. Biochemical characteristics of use of clumping factor A, Pulsed-Field Gel
ewe and goat milk: Effect on the quality of dairy Electrophoresis and spa typing. J Clin Microbiol.
products. Small Rumin Res. 101:33-40. 48:375-386.
Larsen HD, Aarestrup FM, Jensen NE. 2002. Geographical
Bergonier D, Cremoux R, Rupp R, Lagriffoul R, Lagriffoul
variation in the presence of genes encoding
G, Berthelot X. 2003. Mastitis of dairy small
superantigenic exotoxins and ß-hemolysin among
ruminants. Vet Res. 34:689-716.
Staphylococcus aureus isolated from bovine mastitis
Bleul U, Sacher K, Corti S, Braun U. 2006. Clinical finding in Europe and USA. Vet Microbiol. 85:61-67.
in 56 cows with toxic mastitis. Vet Record. 11:677- Leitner G, Merin U, Silanikove N. 2004. Changes in milk
680. composition as affected by subclinical mastitis in
Ceballos LS, Morales ER, Adarve GDLT, Castro JD, goats. J Dairy Sci. 87:1719-1726.
Martinez LP, Sampelayo MRS. 2009. Composition of Leitner G, Silanikove N, Merin U. 2008. Estimate of milk
goat and cow milk produced under similar conditions and curd yield loss of sheep and goats with
and analyzed by identical methodology. J Food Comp intramammary infection and its relation to somatic
Anal. 22:322-329. cell count. Small Rumin Res. 74:221-225.

6
Widodo Suwito dan Indarjulianto S: Staphylococcus aures Penyebab Mastitis pada Kambing Peranakan Etawah

Marogna GC Pilo, Vidili A, Tola S, Schianchi G, Leori SG. Purnomo A, Hartatik, Khusnan, Salasia SIO, Soegiyono.
2012. Comparison of clinical findings, 2006. Isolasi dan karakterisasi Staphylococcus aureus
microbiological results, and farming parameters in asal susu kambing Peranakan Ettawa. Media
goat herds affected by recurrent infectious mastitis. Kedokteran Hewan 22:142-147.
Small Rumin Res. 102:74-83. Pyorala S, Hovinen M, Simojoki H, Fitzpatrick J, Eckersall
McDougall S, Pankey W, Delaney C, Barlow J, Patricia AM, PD, Orro T. 2011. Acute phase proteins in milk in
Scruton D. 2002. Prevalence and incidence of naturally acquired bovine mastitis caused by different
subclinical mastitis in goats and dairy ewes in pathogens. Vet Record. 168:535-540.
Vermont USA. Small Rumin Res. 46:115-121. Sanchez J, Montes P, Jimenez A, Andres S. 2007. Prevention
Moroni P, Pison G, Ruffo, Boetter PJ. 2005. Risk factors for of clinical mastitis with barium selenate in dairy goats
intramammary infections and relationship with from a selenium deficient area. J Dairy Sci. 90:2350-
somatic cell counts in Italian dairy goats. Prev Vet 2354.
Med. 69:163-173. Sudarwanto M, Sudarnika E. 2008. Hubungan antara pH susu
Nicholas RA, Ayling RD. 2003. Mycoplasma bovis: disease, dengan jumlah sel somatik sebagai parameter mastitis
subklinik. Media Peternakan 31:107-113.
diagnosis and control. Res Vet Sci. 74:105-112.
Tamarapau S, McKillip JL, Drake M. 2001. Development of
Oliveira L, Rodrigues AC, Hulland C, Ruegg PL. 2011.
a multiplex polymerase chain reaction assay for
Enterotoxin production, enterotoxin gene distribution,
detection and differentiation of Staphylococcus
and genetic diversity of Staphylococcus aureus aureus in dairy products. J Food Protect. 64:664-668.
recovered from milk of cows with subclinical
mastitis. American J Vet Res. 72:1361-1367. Tollersrud T, Norstebo PE, Engvik JP, Anderson SR, Reitan
LJ, Land A. Commun. 2002. Antibody response in
Onni T, Vidili A, Bandino E, Marogna G, Schianchi S, Tola sheep vaccinated against Staphylococcus aureus
S. Short Communication 2012. Identification of mastitis: a comparison of two experimental vaccines
coagulase negative staphylococci isolated from containing different adjuvants. Vet Res. 26:587-600.
caprine milk samples by PCR-RFLP of groEL gene.
Small Rumin Res. 104:185-190. Taufik E, Hildebrandt G, Kleer JN, Wirjantoro TI,
Kreausukon K, Baumann MPO, Pasaribu FH. 2011.
Ote I, Taminiau B, Duprez JN, Dizier I, Jacques GM. 2011. Microbiological quality of raw milk goat in Bogor,
Genotypic characterization by polymerase chain Indonesia. Media Peternakan 34:105-111.
reaction of Staphylococcus aureus isolates associated
Tørmod M, Waage S, Tollersrud T, Kvitle B, Sviland S.
with bovine mastitis. Vet Microbiol. 153:285-292.
2007. Clinical mastitis in ewes; bacteriology,
Peacock SJ, Moore CE, Justice A, Story M, Mackie L, epidemiology and clinical features. Acta Vet Scand.
Kantzanou A, Neill K, Day NP. 2002. Virulent 49:1-8.
combinations of adhesion and toxin genes in natural Turin L, Pisoni G, Giannino ML, Antonini M, Rosati S,
populations of Staphylococcus aureus. Infect Immun. Ruffo G, Moroni P. 2005. Correlation between milk
70:4987-4996. parameters in CAEV seropositive and negative
Pisoni G, Zadoks RN, Vimercati C, Locatelli C, Zanoni MG, primiparous goats during an eradication program in
Moroni P. 2009. Epidemiological investigation of Italian farm. Small Rumin Res. 57:73-79.
Streptococcus equi subspecies zooepidermidis Zecconi A, Cesaris L, Liandris E, Dapra V, Piccinini R.
involved in clinical mastitis in dairy goats. J Dairy 2006. Role of several Staphylococcus aureus
Sci. 92:943-951. virulence factors on the inflammatory response in
bovine mammary gland. Microb Pathol. 40:177-183.

Anda mungkin juga menyukai