Anda di halaman 1dari 391

DIAGNOSA AND TERAPI MASTITIS

Soedarmanto Indarjulianto
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas
Gadjah Mada Jl. Fauna 2, Yogyakarta,
55281, Indonesia
E-mail: indarjulianto@yahoo.com
indarjulianto@ugm.ac.id
Mastitis
• Apakah Mastitis?
1. Definisi
2. Penyebab
3. Faktor Predisposisi
4. Patogenesis
5. Gejala Klinis
6. Pemeriksaan
7. Diagnosis
8. Terapi dan Pencegahan
• Untung/rugi??
Mastitis
Ambing Sapi
Ambing Kambing
Histologi
Mastitis
• Apakah Mastitis?
1. Definisi
2.
3. Faktor Predisposisi
4. Patogenesis
5. Gejala Klinis
6. Pemeriksaan
7. Diagnosis
8. Terapi dan Pencegahan
• Untung/rugi??
Mastitis
• Apakah Mastitis?
1. Definisi
2. Penyebab
3.
4. Patogenesis
5. Gejala Klinis
6. Pemeriksaan
7. Diagnosis
8. Terapi dan Pencegahan
• Untung/rugi??
FAKTOR PREDISPOSISI
• BENTUK AMBING
• LAKTASI
• STADIUM LAKTASI
• UMUR
• PRODUKSI TINGGI
• KEBERSIHAN KANDANG
• MANAJEMEN PEMERAHAN
• MANAJEMEN DRY PERIOD (MASA KERING)
Bentuk Ambing

• Ambing yang
bergantung sangat
rendah akan mudah
kontak dengan laintai
kandang sehingga
beresiko terserang
mastitis
UMUR

Makin tua sapi semakin peka karena:


a. Mekanisme penutupan lubang putting
susu semakin menurun
b.Kesembuhan semakin lambat
STADIUM LAKTASI

Beresiko terserang mastitis karena:


a. Minggu pertama dan minggu terakhir
masa laktasi
b.Minggu pertama kering kandang
Faktor mempermudah terjadinya Mastitis

a. Kondisi hewan/ternak
b.Kondisi lingkungan yang buruk
c. Agen penyebab penyakit(mikroba)
d.Pemerahan (Alat/mesin pemerah susu)
LUKA ATAU LECET PADA AMBING
ATAU PUTING SUSU

• Yang diakibatkan oleh lantai kandang


yang kasar, kuku yang panjang atau tajam,
sikat yang keras, memerah dengan cara
yang kasar, memerah dg cara menarik
putting, dll
KONDISI LINGKUNGAN

Kondisi yang mempermudah kejadian


mastitis:
a. Kandang dan ternak yang basah dan kotor
b.Peternak/pemerah/pekerja: kuku tajam,
pakaian kotor,dll
Mastitis
• Apakah Mastitis?
1. Definisi
2. Penyebab
3. Faktor Predisposisi
4.
5. Gejala Klinis
6. Pemeriksaan
7. Diagnosis
8. Terapi dan Pencegahan
• Untung/rugi??
Pathogenesis of Mastitis
Quiz
• Apakah Mastitis Merugikan???
Mastitis
• Apakah Mastitis?
1. Definisi
2. Penyebab
3. Faktor Predisposisi
4.
5.
6. Pemeriksaan
7. Diagnosis
8. Terapi dan Pencegahan
• Untung/rugi??
• SUSU ( )
– HANYA SUSU YANG BERUBAH (
)
• AMBING
– SUSU BERUBAH ( )
– AMBING BERUBAH ( )
• SAPI
– SUSU BERUBAH ( )
– AMBING BERUBAH ( )
– SAPI BERUBAH ( )
Mastitis Klinis 8 %
• Dideteksi pada 20 ekor kambing (8 %)ekor kambing jika dilihat dari jumlah
ambingnya sebanyak 29 ambing (5,9 %).
• Gejala Klinis yang Nampak (ternak )
– Serous 10 buah (50 %)
– Kataral 7 buah (35 %)
– Purulent kataral 3 buah (15 %)
• Gejala Klinis yang Nampak (ambing)
– Serous 15 buah (51,7 %)
– Kataral 9 buah (31 %)
– Purulent kataral 5 buah (17,2 %)
• Menunjukkan tanda depresi (65%), kurang nafsu makan (75%),
peningkatan suhu tubuh lebih dari 40 ° C (100 %).
Mastitis Sub Klinis
• Terjadi pada 81 ekor kambing (32,4% )
• Dari jumlah ambing yang dideteksi sebanyak
116 buah (23,5 %).
KLINIS: TANDA RADANG
• Merah
• Bengkak
• Nyeri/sakit
• Demam
• Penurunan fungsi
NormAL
Mastitis sub klinis
Merupakan peradangan pada ambing tanpa
ditemukan gejala klinis pada ambing dan air
susu
a. Sapi terlihat seperti sehat: nafsu makan biasa
dan suhu tubuh normal
b. Ambing normal
c. Susu tidak menggumpal dan warna tidak
berubah
• Tetapi melalui pemeriksaan akan didapatkan

a. Jumlah sel radang meningkat


b. ditemukan kuman penyebab penyakit
c. susu menjadi pecah(terbentuk butiran
halus atau gumpalan
No Contoh Batasan Jumlah sel Somatik/ml susu
1. Kurang dari 100.000 Ambing
100.000-150.000 Diduga radang
Kwartir
Lebih dari 150.000 Radang, gangguan sekresi
2. Individu Lebih dari 100.000 Diduga radang
Kurang dari 100.000 baik
100.000-200.000 Cukup baik
3. Radang
200.000-400.00 cukup
Lebih dari 400.000 jelek

Mastitis sub klinis hanya diketahui setelah dilaksanakan pengujian. Jumlah


mastitis sub klinis dapat mencapai 60-70%, bahkan lebih, dari jumlah sapi
laktasi. Kerugian akibat mastitis subklinis lebih besar daripada mastitis klinis.
Mastitis Klinis
Mastitis
• Apakah Mastitis?
1. Definisi
2. Penyebab
3. Faktor Predisposisi
4. Patogenesis
5. Gejala Klinis
6.
7. Diagnosis
8. Terapi dan Pencegahan
• Untung/rugi??
• Fisik Pasien
• Ambing
• Susu
– Klinis
– Laboratoris
• Lapangan
• Laboratorium
UJI MASTITIS
.
Mastitis
• Apakah Mastitis?
1. Definisi
2. Penyebab
3. Faktor Predisposisi
4. Patogenesis
5. Gejala Klinis
6. Pemeriksaan
7.
8. Terapi dan Pencegahan
• Untung/rugi??
Anamnesa

Hasil
Pemeriksaan

Diferensial
Diagnosis
• Anamnesa
– Produksi
– Susu pecah
• Hasil pemeriksaan Fisik/klinis
– Sapi, ambing, susu
• Hasil Pemeriksaan Laboratorik
– Sel Somatic
– Agen
Mastitis
• Apakah Mastitis?
1. Definisi
2. Penyebab
3. Faktor Predisposisi
4. Patogenesis
5. Gejala Klinis
6. Pemeriksaan
7. Diagnosis
8.
• Untung/rugi??
PRINSIP TERAPI
• MENGHILANGKAN KAUSATIF
– Pemilihan Antibioka

• EFEKTIFITAS
• RUTE TERAPI
• MENGHINDARI PENULARAN
Terapi Intramamae
Terapi Intramuskuler
PENCEGAHAN
• MANAJEMEN PEMELIHARAAN
• MANAJEMEN PEMERAHAN
• MANAJEMEN SAPI KERING
• KONTROL KESEHATAN SAPI DAN AMBING
Penularan dari ambing mastitis ke ambing
sehat dapat terjadi melalui
a. Kain lap ambing:
1. Sehelai kain lap ambing digunakan untuk
seluruh ternak laktasi
2. kain lap ambing digunakan tidak tepat
b. Tangan pemerah kotor
c. Urutan pemerahan yang salah
d. Peralatan pemerahan kotor
THANK YOU
PENYAKIT/GANGGUAN SISTIM
URINARI

Soedarmanto Indarjulianto
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas
Gadjah Mada Jl. Fauna 2, Yogyakarta,
55281, Indonesia
E-mail: indarjulianto@yahoo.com
indarjulianto@ugm.ac.id
BALANOPOSTITIS
Radang pada gland penis
Demam
Pembesaran Gland penis
Pus
PENYAKIT SISTIM URINARI

• INFEKSIUS
– BAKTERI, VIRUS, FUNGI
• NONINFEKSIUS
LEPTOSPIROSIS
Leptospirosis
merupakan penyakit
zoonosis yang
disebabkan oleh
bakteri dari genus
Leptospira

Tergantung pada
lokasi, serogrup
LEPTOSPIROSIS
Leptospira
• Beberapa contoh serovar
– hardjo
– pomona
– canicola
– icterohaemorrhagiae
– grippotyphosa.
SAPI
• Sapi adalah hospes (utama) L. hardjo
• Dapat menginfeksi semua umur, termasuk
anak sapi
• Sering kali menghasilkan status karier di
ginjal yang berhubungan dengan
pelepasan urin jangka panjang
• dapat di saluranreproduksi. Infertilitas
karena infeksi persisten

Center for Food Security andublic Health, Iowa State University, 2011
SISTEM REPRODUKSI
• Leptospirosis dengan nonhost-
adapted Lepto serovars d juga
menyerang sapi bunting yang
menyebabkan
– kematian embrio, abortus, lahir mati,
retensi plasenta, dan kelahiran anak
sapi yang lemah
• Abortus biasanya terjadi tiga sampai
sepuluh minggu setelah infeksi
Gejala Klinis
• Tanda-tanda klinis Lepto bergantung
– tingkat resistensi
– serovar yang menginfeksi
– umur hewan
• Anak sapi: Demam tinggi, anemia,
urine merah, ikterus, dan terkadang
kematian dalam tiga sampai lima
hari.
GEJALA KLINIS SAPI DEWASA
• Gejala awal seperti demam dan
kelesuan seringkali lebih ringan dan
biasanya tidak diketahui
• Dapat mati karena leptospirosis
• Sapi laktasi: Produksi turun dan susu
yang mereka hasilkan menjadi kental
dan kuning (selama seminggu atau
lebih)
TERAPI
• Antibiotika: penicillin , oxytetracycline,
Doxycycline
• Hewan yang terinfeksi harus dipisahkan dari
hewan lain untuk menghindari penularan
penyakit.
• Ketika infeksi melanda kelompok, terutama
ketika banyak sapi bunting yang terlibat,
pengobatan dan vaksinasi simultan untuk semua
hewan akan mengurangi kasus baru dan aborsi
jika pengobatan diberikan pada awal infeksi
kawanan
PENCEGAHAN
• Vaksinasi
• Program imunisasi utama terdiri dari
2x dengan jarak empat minggu,
diikuti setiap tahun
• Anak sapi yang lahir dari sapi yang
divaksinasi hanya kebal selama
sekitar enam bulan, dan akan
membutuhkan program vaksinasi
sendiri
PENYAKIT KULIT
• Ringworm atau dermatofitosis adalah infeksi oleh
cendawan pada bagian kutan/ superfisial atau bagian dari
jaringan lain yang mengandung keratin (bulu, kuku, rambut
dan tanduk).
• Zoonosis
• Menular antar sesama hewan, dan antara manusia dengan
hewan (antropozoonosis) dan hewan kemanusia (zoonosis)
• Hewan yang terserang umumnya hewan piaraan yaitu
anjing, babi, domba, kucing, kuda, kambing, sapi dan
lainnya, namun yang paling utama ialah anjing, kucing, sapi.
• Ringworm merupakan penyakit penting untuk hewan
khususnya ternak piara dikarenakan;
(1) Potensi menular dan memperlihatkan gejala klinis yang
merugikan pada sekelompok hewan
(2) Mempunyai pengaruh dan pengobatan yang lama
(3) Spora dermatofitnya dapat bertahan hidup pada
lingkungan selama bertahun-tahun sehingga bila ada
ternak yang lewat di daerah tersebut akan terinfeksi
(4) Sumber infeksi zoonosis dari hewan kemanusia
(5) Menyebabkan kegatalan sehingga hewan tak nyaman
(6) Menjadi reservoir infeksi meski secara gejala klinis
sembuh.
• Penyebab ringworm ialah cendawan dermatofit yaitu
sekelompok cendawan dari genus Epidermophyton,
Microsporum dan Trichophyton
• Tergolong fungi imperfekti (Deuteromycetes), karena
pembiakannya dilakukan secara aseksual, namun ada
juga yang secara seksual tergolong Ascomycetes.
• Jenis dermatofit jumlahnya adalah 38 jenis, namun
kemudian dapat dibedakan lagi menjadi 84 strain
Dermatophytes
 Trichophyton sp
 Epidermophyton
 Microsporum sp
Grup dermatopites

 Anthropophilic (humans), tetapi juga ditemukan pada hewan.


 Zoophilic (animals)
 Geophilic (ditemukan di tanah).
Geofilik Antropofilik Zoofilik

o Hidup o Biasa o Bersifat


dilingkungan menginfeksi pathogen
sebagai manusia pada hewan
saprofit o Ditularkan o Dapat
o Jarang antar ditularkan ke
menyebabka manusia manusia
n infeksi pada o Trichophyton o Microsporum
hewan dan rubrum, canis (kucing)
manusia. Trichophyton dan
o Trichophyton kanei, Micropsorum
ajelloi, Trichophyton nan-num
trichophyton schoenleini (babi)
terrestre

8
Patogenesis Dermatofit Lapisan Keratin:
•Kulit
•Rambut
Stratum korneum •kuku

Spora dari Pengeluaran Keratinase


•Merah
lingkungan,
•Bengkak
hewan, Reaksi Inflamasi •Panas
manusia
Berpindah dari lokasi infeksi

Kebotakan (lesi berbentuk Ring)

9
10
GK
Sapi
• Bagian permukaan kulit dan bulu yang terinfeksi akan
ditemukan adanya lesi berbentuk bulatan-bulatan
seperti cincin dalam berbagai ukuran dan berwarna
keputih-putihan, yang dalam keadaan intensif dapat
disertai dengan adanya kerak-kerak peradangan dan
kerontokan bulu
• Lesi ini dapat ditemukan pula di daerah kepala, leher,
dada dan bahu
• Pada sapi tak dijumpai tanda-tanda kegatalan, saat
parah tubuhnya sangat kurus dan tidak ada nafsu makan
Gejala Klinis

 Lesi kulit seperti nodul, kerak, dan alopesia spesifik pada daerah
kepala, leher, dada, perut, kaki depan, kaki belakang & daerah
panggul

 Lesi sekitar 2 cm-15 cm

 Alopecia disebabkan oleh adanya inflamasi pada folikel rambut


Jenis Fungi

Sumber : Emenuga V.N and Oyeka C.A. (2013)


Sumber :Emeka I. NWEZE (2011)
Pemeriksaan langsung
Diagnosa

Pemeriksaan dengan
menggunakan Wood lamp

Biopsi (Punch Biopsi)

Isolasi dan Identifikasi


Dermatofit

17
Diagnosa
 UV Ligth 366 nm (M. canis, M. distortum, M. audouini, M.
ferugineum)
 Pengambilan sampel dengan scraping pada lesi
 Pengujian menggunakan 20% KOH
 Inokulasi Sabouraud dextrose agar + Chloramphenicol
(0.5mg/dl) (S+C),
 Sabouraud dextrose agar + Chloramphenicol (0.5mg/dl) +
Cyclohexamide (0.5mg/dl) (S+C+A)
 Casein basal medium + thiamin
 Dermasel agar (Oxoid, UK), (cycloheximide, chloramphenicol,
gentamicin)
Pengobatan
 Fluconazole,
 Ketoconazole
 Miconazole
 ergosterol biosynthesis inhibitors
 (Emenuga and Oyeka, 2013)
MYIASIS
 Myiasis merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh
larva lalat (belatung) yang menyerang semua jenis hewan
vertebrata berdarah panas dan manusia
 Hewan yang pernah dilaporkan menderita myiasis di Indonesia
antara lain sapi, kambing, domba, kerbau, kuda, anjing, babi dan
ayam
AGEN INFEKSI
 Larva lalat penyebab penyakit ini memakan jaringan hidup dan
mati atau nekrosis
 Agen primer penyebab myiasis terbagi menjadi tiga,
 lalat Cochliomya hominivorax yang tersebar di benua Amerika
 lalat Wohlfahrtia magnifica yang tersebar di Eropa hingga Tiongkok
 lalat Chrysomya bezziana yang tersebar di kawasan Afrika bagian
tropis dan sub tropis, subkontinen India, Asia Tenggara termasuk
Indonesia dan Papua Nugini
 Myiasis pada hewan di Indonesia telah dilaporkan terjadi di
berbagai provinsi baik di pulau Jawa maupun di luar pulau Jawa
DAMPAK PENYAKIT
 Myiasis dilaporkan menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat
besar, terutama di daerah-daerah sentral ternak
 Penyakit menular yang mempunyai dampak sosial ekonomi atau
mempunyai nilai kepentingan kesehatan di dalam suatu negara,
serta berdampak nyata dalam perdagangan internasional terkait
dengan produk-produk asal hewan
 Menyebabkan penurunan bobot badan dan produksi susu,
penurunan kualitas kulit dan wol, abortus dan gangguan sistem
pertahanan tubuh hospes
 Prevalensi myiasis di Indonesia baik pada ternak yang dipelihara
secara ekstensif maupun intensif tercatat cukup tinggi
 Myiasis di Indonesia paling banyak menyerang 2 hewan yaitu
sapi (65,5 %) dan kambing (22,34 %)
 Berdasarkan hasil identifikasi, seluruh penyebab myiasis
traumatika pada kambing, domba dan sapi di Indonesia adalah
lalat Old World Screwworm (OWS), Chrysomya bezziana
(Diptera: Calliphoridae)
 lalat betina cenderung memilih luka yang masih segar
 Lalat C. bezziana dapat bertelur hingga 245 telur yang diletakkan pada
tepi luka terbuka maupun tubuh hewan yang lembab
 Dalam waktu 12 – 24 jam telur menetas dan larva yang dihasilkan akan
memakan dan menghancurkan jaringan hidup
 Setelah 12-18 jam larva berkembang menjadi larva tahap kedua yang
akan menerobos ke dalam jaringan lebih dalam, menggali, dan
mengoyak jaringan otot. Larva yang memakan jaringan hidup pada
luka tersebut menyebabkan ukuran luka menjadi semakin besar dan
dalam
 Larva pertama (L1) sampai dengan larva 3 (L3) /larva dewasa
membutuhkan waktu 6 – 7 hari
 Setelah menjadi L3, larva akan jatuh ke tanah dan menggali
tanah untuk menjadi pupa. Pupa akan menjadi imago setelah 7
hari (E)
 Lalat ini disebut parasit obligat karena memerlukan jaringan
hidup untuk pertumbuhannya
 Lalat Chrysomya sp. dapat menyebabkan myiasis dalam area
yang luas dengan cepat, karena mampu terbang sejauh 100 km.
GEJALA KLINIS
 Penurunan nafsu makan
 Ada luka belatung
 Gelisah
 Demam
 Anemia
• Anamnesa
– waktu kejadian
• Hasil pemeriksaan Fisik/klinis
– Pasien
– luka
– belatung
• Hasil Pemeriksaan Laboratorik
– lalat/belatung
– darah
TERAPI
 Pembersihan larva lalat pada bagian yang terinfeksi larva
 Penyemprotan dichlofention 1% pada luka (Gusanex®) kemudian
larva yang keluar diambil menggunakan pinset
 Bagian luka diirigasi menggunakan larutan Penstrep (setiap ml
mengandung Procaine Penicillin 200 mg, Dihydrostreptomycin
Sulphate 250 mg, 1,5 mg Hydroxybenzoate Esters, 1,25 mg
sodium formaldehyde sulphoxylate)
 Pemberian 1 mg/kg berat badan dypenhidramin HCl IM
 Oxytetracycline (Limoxin-200 LA®)
Laminitis
Inflammation of laminae.
Inflamation, degeneration, necrosis of dermal
and epidermal laminae in the hoof wall of
horses and ruminants.

Sequela of digestive disturbances and other


disorder that cause endotoxemia and
elaboration of inflammatory mediators.
(enteritis; colonic torsion; grain overload,
rumen acidosis lactic acid; carbohydrate or
protein overfeeding histamin; septic metritis,
mastitis endotoxin)
Laminitis

Corticosteroids
Excessive weight bearing
Fed excess in concentrates
Concrete surface
Laminitis

Pathophysiology:
Integrity of laminar suspending
mechanism depending on maintenance
of protein (cystoskeletal and
intercellular junctions)
Decreased protein synthesis and
laminar perfusion initiate laminar
degeneration
Laminitis

Disorder (elaborate cytotoxic factors for


laminae, increase tension on laminae)
Factor that cause swelling and edema lead to
functional ischemia of corium
Overingestion produce endotoxin
(overgrowth of bacteria)
Pain result in release of cathecolamine
(vasoconstriction, diminished laminar
perfusion)
Laminitis

Manifestation:
Lameness, depression, anorexia and
reluctance to move, paddle or shift
weight from one foot to the other.
Increased pulsation in digital arteries.
Increased hoof sensitivity
Unwilling to pickup of forefoot or
hindfoot
Laminitis

Manifestation:
Fore limb (horse), shift weight to
hindquarter
Hind limb (ruminant), recumbent
Exudation
Separation of skin from the hoof wall
(dislocation of distal phalanx)
Laminitis

Manifestation:
Chronic laminitis: lameness, abnormal
conformation of the foot
Sole is flat or dropped.
Uneven growth of hoof wall
Sole softens
Hemorrhages
abcess
Laminitis

Clinical Pathology:
Representative alterations associated with
underlying diseases processes:
Neutrofilia and eosinopenia,
Elevated WBC
Elevated glucose, protein, PCV,
respiration rate, rectal temperature
Laminitis
 Radiology (lateromedial and 65o
dorsoproximal palmarodistal projections)

Ventral displacement of the extensor


process
Increaseed distance between the dorsal
cortex of the distal phalanx and the
surface of the hoof wall
Ventral rotation of the tip of the distal
phalanx
Laminitis

Epidemiology:
Mare and stallions > gelding
Ingestion large quant. of fresh grass
Overwight bearing or trauma in the
digit
Persistent feeding of high conc. ration
Stabling on the concrete surface
Laminitis

Epidemiology:
Long van trips
Horse with previous laminitis
Laminitis

Necropsy:
Degeneration of secondary epidermal
laminae (causes separation between primary
epidermal laminae of the hoof wall and the
collagen fibers of the corium)
Abcessation
Distal phalanx may sink or ratated ventrally
or may penetrate the sole
Fracture of the solar margin, osteomyelitis,
or resorption of the distal phalanx
Laminitis

Treatment:
Elimination the causes
Reducing tension on the laminae
Administering NSAIA
Laminitis

Elimination the causes:


Overingestion of grain:
laxative/prgative (3 or 4 L mineral oil)
Dehydration/hypovolemia: I.V.
electrolyte solution
Treatment of placenta retention
Anti endotoxin hyperimmune serum
Laminitis

NSAIA:
Phenylbutazone (4,4 mg/kg orally,bid)
Fluxinin meglumine (1,1 mg/kg, i.v.)
Bimethylsulfoxide (0,2 – 1 mg/kb,
orally)
Laminitis

Reduction of tension:
Shoe,
sand stalls
Bedding heavily with straw (30 – 60
cm)
Laminitis

Promotion of digital circulation:


Walking in soft ground for 5-10 min.
every 3-4 hours (non lame)
α-adrenergic blocking agents to
decrease peripheral vasoconstriction
(acetylpromazine)
Laminitis

Other treatments:
AB
Metionine (20-60 mg/kg, PO, sid)
Biotin (0,03 – 0,2 mg/kg, PO, sid)
Laminitis

Prevention:
Controlling the risk factors
Avoiding of unrestricted grazing
or grain feeding or concentrate
Avoiding of factors causing GI upsets
Avoiding of engorgement on cold
water (overheated horse)
Treatment of placenta retention
Laminitis

Prevention:
Frequent walking
Non Exertional Rhabdomyolisis
Keradangan:
Clostridial myonecrosis
Infeksi Streptococcus
Infeksi virus (BEF,BVD, MCF,bluetongue, FMD,
Equine Influenza)
Sarcocystosis
Nutristional Myodegeneration
Non Exertional Rhabdomyolisis
Nutristional Myodegeneration
Defisiensi vitamin E atau Se
Toxic causes
Gossypol
Ionophores
Insecticida
Medicament lain (chloramphenicol, diazepam,
levamisole, lidocaine, chloramphenicol,
oxytetracycline, ivermectine dll)
Non Exertional Rhabdomyolisis
Traumatic
Downer syndrome
Posanasthetic myoneuropahty
Exertional Rhabdomyolisis
Sporadic
Overexertion
Electrolyte imbalances (Na, K, Cl, Ca, Mg)
Defisiensi
Kehilangan berlebihan melalui keringat
Defisiensi Se atau Vit E
Soluble Carbohydrates
Hormonal imbalances
Lactic Acidosis
Exertional Rhabdomyolisis
Chronic
Polysacharide storage myopathy
Recurent exertional rhabdomyolisis
Hereditary/Congenital
Myopathies
Exercise intolerance associated with
mitochondrial myopathy
Glycogen brancing enzyme deficiency
Phosphorylase deficiency
Myofiber hyperplasia
Muscle necrosis
• Disebut Rhabdomyolisis
• Peningkatan CK, LDH, AST
Septic Arthritis

Inflammatory disease confined to the


joints
Result of bacteria, virus and fungi

Mechanism: hematogenous, trauma,


extension, iatrogenic infections
Septic Arthritis

Manifestation:
Lameness
Classic signs of inflammation
Synovial effusion
Physical exam.
Radiography/Ultraqsonography
Laboratory analyses
Septic Arthritis

Clinical Patahology:
Hematology
Synovial fluid exam.
Radiography
Septic Arthritis

Pathophysiology:
Progression of SA: bacterial invasion,
PMNs, synovitis, and cartilage
destruction.
Host inflammmatory response is the
cause of joint damage.
Fibrine, permanent joint damage,
maintains inflammation.
Septic Arthritis

Pathology:
Intracapsular fibrinous – purulent
exudate
Erosion of articular surface
Septic Arthritis

Treatment:
Antimicrobial agents
Drainage of exudate
Elimination of fibrin clots
Septic Arthritis

Prognosis: poor – good


Outcome of SA is related to:
Duration of infection before treatment
Identity of offending organism
Host factors
Rickets in Ruminants

Rickets (occasionally as osteodystrophy)

In (weaned) young growing animals


characterized by defective
mineralization of developing bones.
Rickets in Ruminants

Cause:
Deficiency of phosphorus or vit D
Deficiency of Ca
Excess diatary phosphorus
Deficiency of Mg, Zn, Vit A
Elevated diatary Fe
Rickets in Ruminants

Manifestation:
Stiffness, reluctance to move,
lameness, joint enlargement, arching
of the back, enlargement of
costochondral junctions
Longbone (limb): curved forward
outward
Rickets in Ruminants

Manifestation:
Tooth: delayed and irregular
eruption, mottled and poorly calcified

Anorexic, decreased growth/weight


gain/poor feed efficiency
Rickets in Ruminants

Diff. diagnosis:
Fluorosis, arthritis, copper deficiency,
Mn deficiency, hyperparathyroidism
Rickets in Ruminants

Clinical Pathology:
Elevated AP
Serum Ca and P are often normal
Bone ash (Ash:OM, normal=3:2;
rickets= 1:2 s/d 1:3)
Dietary analyses
Rickets in Ruminants

Pathophysiology:
Failure of cartilage to mineralize
Failure of growing cartilage to degenerate

Irregular persisitence of cartilage

Formation of osteoid on persisitent cartilage that


form irregularity of osteochondral junctions
Overgrowth os fibrous tissue in the metaphysis

Bone deformity
Rickets in Ruminants

Diagnosis:
Dietary history and clinical signs
(radiographic finding)
Histologic examination

Prognosis: fair - good


Rickets in Ruminants

Treatment :
Adequate Ca and P intake
Vit D

Prevention: Providing balanced diet


Osteomyelitis

Infectious inflammatory disease of bone


substance and its marrow cavity.

Bacteria (the most), Fungi

Mechanism: hematogenous,
trauma/surgery, secondary to a
contagious focus of infection
Osteomyelitis

Manifestation:
Local inflammation, soft tissue swelling,
Lameness, fever, anorexia, depression,
general malaise

Hematogenous or secondary to
respiratory/gastrointestinal/umbilical
infection
Osteomyelitis

Clinical Patahology:
Hematology
Synovial fluid exam.
Radiography
Osteomyelitis

Manifestation:
Chronic:
no fever and depression
firm swelling, reluctance to bear
weight on limb, mild to moderate
lameness, and presence of
draining fistulous tract (purulent)
Osteomyelitis

Manifestation:
Radiographic:
Soft tissue swelling (only during the initial
signs of infection)
Osteolysis
Destruction of cortical bone
Osteomyelitis

Manifestation:
Clinical Pathology:
Elevated WBC (left shift)
Elevated plasma fibrinogen (acute)
Synovial fluid:
elevated leukocyte and protein
bacteria (gram stain)
Blood culture (in neonate)
Osteomyelitis

Pathophysiology:
Mechanical trauma results in
sequestration of cortical bone, soft
tissue, regional vasculature injury and
venous stasis.
Increased capillary permeability
permits infiltration of inflammatory
cells (engulf bacteria)
Osteomyelitis

Pathophysiology:
Proteolytic lysosomal enzymes (lysed
neutrophils) induces bone and local
tissue necrosis
Accumulation and exudation of serum,
neutrophils, bacteria, and non visible
tissue accumulates.
Osteomyelitis

Pathophysiology:
Inadequate host defense mechanism:
bacterial colonization in periosteal,
cortical and medullary regions
Antibody and antibiotic can not
penetrate the infected area: the
sequestrum/necrotic bone are
enveloped by granulation tissue and
new bone forming envolucrum
Osteomyelitis

Pathophysiology:
Draining sinus tract

Hematogenous Osteomyelitis: Vascular stasis


(endothelial lining of capillaries is incomplete
and allows extravasation of bacteria and
erytrocytes)
Leucocyte is absent in this location in the
young animal
Osteomyelitis

Pathophysiology:
Only macrophage is available for
defense against bacteria.
The critical factor:
The inability of macrophage to
eliminate bacteria effectively
Osteomyelitis

Diagnosis:
History, physical exam. findings,
microb. culture results, and
radiographic findings
Osteomyelitis

Treatment:
Combination of Antimicrobial agents
and Surgical intervension
Drainage of exudate
Osteomyelitis

Prevention:
Early and aggressive surgery in
neonate has high risk for
septicemia
AB administration 1-2 hour
before and 72 hours after
surgery
Defisiensi Vitamin A

Irkham Widiyono
2020
• Vitamin A (retinol) terdapat di tanaman hijau
• Retinol dapat disintesis oleh mukosa usus
halus dari prekursor carotinoid tanaman (β
carotene atau retinoid).
• Carotenoid dlm hijauan dikonversi menjadi
retinoid di dalam liver dan usus
• Defisiensi terjadi utamanya pada ruminansia
yang sedang tumbuh
• Vitamin ini labil dalam pakan, sehingga sering
menurun akibat penyimpanan pakan
beberapa tahun
• Pakan rendah vitamin A: biji-bijian, beet pulp,
kulit biji kapas
Epidemiologi
• Kebutuhan vit A = 40-80 IU/kg/hari
• Pakan rendah caroten: sorghum, brewer’s grain,
jerami gandum
• Hewan memiliki akumulasi cadangan vit A di liver
(utk kekurangan singkat). Pada sapi yang diberi
pakan tanpa vit A, gejala klinik muncul setelah
180 hari. Gejala papilledema dan kebutaan cepat
muncul setelah cadangan hepar habis. Anak yang
dilahirkan menunjukkan defisiensi
Epidemiologi
• Defisiensi primer: hewan yang diberi pakan
kering dlm waktu lama, hewan dipelihara
dalam kamar dan tidak disuplementasi.
• Destruksi carotene oleh faktor fisik dan
lingkungan: panas, sinar matahari,
suplementasi trace mineral, dan kelembaban.
Pelleting dan kontak dengan rancid fat juga
menurunkan stabilitas vit A.
Epidemiologi
• Defisiensi Vit A sekunder:
– gangguan absorpsi, gangguan konversi caroten
menjadi retinol di usus, dan peningkatan kebutuhan
sementara kandungan dalam pakan rendah.
– Destruksi vit A oleh mikroflora terjadi di rumen dan
abomasum.
– Demam, laktasi, suhu lingkungan meningkat, dan
energi tidak memadai meningkatkan kebutuhan vit A
– Hewan betina lebih resisten dibanding jantan, karena
pada hewan betina terjadi interconversion estrogen
menjadi vit A
Epidemiologi
• Defisiensi Vit A sekunder:
– Konsumsi minyak mineral waktu lama hambat
absorpsi vit A
– Ingesti chlorinated naphthalen hambat konversi
caroten jadi vit A
– Nitrate dalam pakan yang tinggi dapat
menginaktivasi vit A intraruminal dengan oksidasi ,
tetapi bila konsumsi nitrat hanya subtoksik secara
klinis tidak penting.
Patofisiologi
• Vitamin A berperan menjamin regenerasi rhodopsin di
retina dan mempertahankan integritas jaringan
• Vitamin A berpengaruh thd osteoclast, osteoblast, jaringan
epitel, plexus chorioid, dan jaringan reproduksi.
• Vili arachnoid dan retina sensitiv thd vitamin.
• Def Vit A menyebabkan penebalan duramater, yang
berakibat absorpsi CSF menurun dari granulasi arachnoid
dan nerve rootlets. Terjadi penyempitan foramina
tengkorak, shg akibat kedua hal tsb terjadi peningkatan
tekanan CSF dan ditransmisikan ke syaraf optik (terjadi
papilledema). Penutupan foramen optik akibatkan
transection syaraf optik.
Patofisiologi
• Tiga hal sebabkan kebutaan pd def vit A:
– Nyctalopia: disebabkan oleh penurunan
pembentukan vitamin A aldehide dalam
regenerasi pigmen visual rhodopsin (reversible)
– Perubahan degenerativ pada lapisan retina luar
(reversible bila ditangani pada fase awal)
– Stenosis foramen optik dan kompresi syaraf optik
(irreversible)
• Def Vit A juga menganggu fungsi immune
humoral (patogenesis tidak jelas)
Gejala Klinis
• Gejala neurologis dipengaruhi oleh faktor umur:
– Pada hewan muda: anoreksia, kebutaan, diare dan
pneumonia
– Pada hewan dewasa: stargazing attitude, buta, diare,
anasarca, nistagmus, strabismus, exophthalmos,
kehilangan reflex pupil, dan konvulsi klonik-tonik.
Kejang hanya beberapa menit diikuti pemulihan
parsial. Hewan dapat mati saat konvulsi, stimulasi
mengakibatkan konvulsi tonik-klonik. Sebelum
kematian sering didahului hiperestesia dan koma
Gejala Klinis
• Gejala neurologis dipengaruhi oleh faktor umur:
– Pada hewan muda: anoreksia, kebutaan, diare dan
pneumonia
– Pada hewan dewasa: stargazing attitude, buta, diare,
anasarca, nistagmus, strabismus, exophthalmos,
kehilangan reflex pupil, dan konvulsi klonik-tonik.
Kejang hanya beberapa menit diikuti pemulihan
parsial. Hewan dapat mati saat konvulsi, stimulasi
mengakibatkan konvulsi tonik-klonik. Sebelum
kematian sering didahului hiperestesia dan koma
• Gejala:
– Pada hewan dewasa: BCS bagus jika tidak terjadi
parasitisme atau defisiensi nutrisional lain
– Perubahan optalmologik (karakteristik): pupil melebar
dan tidak responsiv, batas optic disk tidak jelas dan
terlihat seperti jantung terbalik, disk yang
membengkak menimbulkan bayangan pada retina,
pembuluh darah tampak tortuous (banyak pilinan),
warna disk menjadi faded (hilang warna). Pada kasus
yang melanjut disk mengalami atrofi, kusam, keabu-
abuan, pipih, dan lebih kecil dari normal.Kornea
biasanya tidak menunjukkan perubahan klinis
• Gejala:
– Reproduksi: fetus malformed, aborsi, kehilangan
libido, degenerasi testis, jumlah sprema menurun,
pedet yang lahir buta, lemah, mengalami penebalan
sendi carpal, domed forehead
– Respon reflek pupil terhadap sinar: Defiensi vit A tidak
responsif, sedang pada polioencepalomalacia dan
keracunan garam responsif (pada polioencepomalacia
dan keracunan Pb masih memiliki fungsi
mesencephalon dan sayaraf optik normal, sedang
pada defisiensi vit A terjadi degenerasi retina dan
konstriksi syaraf cranial II pada bagian foramen optik)
Patologi klinik
• Kadar vitamin A dan β-caroten serum masing-
masing kurang dari 7 dan 70 µg/dL (normal
vitamin A 25-85 µg/dL dan β-caroten 150-397
µg/dL)
• Hepar: Kadar vitamin A 60-200 µg/dL dan β-
caroten 4-800 µg/dL
• Hematologi: tidak konsisten
• CSF: mononuclear cells pleocytosis (40-50
cells/dL) dan kadar protein meningkat (140
mg/dL)
Postmortem
• Papilledema
• Hemoragi disekitar optic disk
• Kongesti vena disekitar optic disk
• Degenerasi sel gangglion retinal
• Penipisan retinal fokal
• Fusi bagian retina ke plexus choroid
• Doming tulang frontal, pembesaran carpi, kompresi
cerebellar dan cerebralherniasi cerebellum,
hiperkeratosis ruminal, peningkatan keratinisasi epitel
squamous membrana mukosa penis dan preputium,
ulcerasi dan pengkabutan korneal
Postmortem
• Anasarca, metaplasia squamosa kelenjar ludah,
degenerasi epitelium testikular germinal
• CNS: nekrosis dan demyelinisasi, akumulasi sel
fagositik di area nekrotik, gliosis dan vakuolasi
fokal syaraf, kehilangan sel Purkinje pada
cerebellum dan lapisan granular dan molekular.
Meninges menebal akibat fibrosis dan
keradangan (sel mononuklear). Mikroskopik
tulang: pelebaran canal sentral dan penurunan
osteoclastic lacunae
Penanganan dan Pencegahan
• Buta akibat kerusakan retina dan syaraf optik berat
tidak dapat dipulihkan dengan pemberian vitamin A
• Sapi yang alami encephalopathy akut dan papilledema
sederhana dapat menunjukkan respon posisitf
terhadap pemberian vitamin A (440 IU/kg parenteral
yang diikkuti 6000 IU/kg setiap 50-60 hari sampai
pakan diperkaya dengan vit A). Terapi dosis oral tinggi
jg penting karena caroten dan suspensi vit A tidak
digunakan secara efektif bila diberikan secara
parenteral. Juga, pada pedet yang defisien, konversi
caroten menjadi vit A terhambat
Penanganan dan Pencegahan
• Pencegahan:
– Suplementasi vit A disarankan untuk ternak yang
kurang memperoleh akses pakan hijauan
– Biasanya pakan konsentrat diperkaya dengan
vitamin A.
– Serbuk Vitamin A jg bisa ditambahkan ke dalam air
minum pd level 425,000 U/50 gallon, diberikan
terus selama defisien dalam pakan
– Defisiensi subklinis pada domba dpt diberikan
mineral-vit premix (1644,5 juta IU vit A/ton)
Disfungsi Syaraf Karena Sulfur

Irkham Widiyono
2020
• Sulfur dioksidasi menjadi sulfit dan kemudian
menjadi sulfat dan sulfuric acid.
• Sumber: kotoran ternak, pembakaran minyak dan
batubara (sulfur dioxide, SO2; hidrogen sulfide)
• Sulfur dioxide sering dipakai sbg food additive
(pengawet pangan dan winemaking:
antimikrobial, hambat enzim, menahan
diskolorasi) dan fumigant gas (menjadi sulfurous
acid yg didisosiasi jadi bisulfite, HSO3, dan ion
sulfite, SO3)
• Ammonium sulfat sbg urinary acidifier (sebagai
ganti ammonium bicarbonat) dapat menimbulkan
polioencephalomalacea (lesi di thalamus dan
striatum)
• Domba yang konsumsi pelet dg kandungan 0,43%
sulfur (konsumsi 170 mg/kg/hari) alami: depresi,
buta, head pressing, nistagmus, epistotonus
• Sapi yang konsumsi air dg kandungan sodium
sulfat 7200 ppm alami PEM
• Sulfur dioksida bila termakan menyebabkan
defisiensi thiamine
• Kandungan Sulfur dioxide diatas 800 mg/kg
menurunkan thiamine (thiamine dipecah
menjadi pirimidin dan thiazole, inaktif)
• Pada sapi, efek toksik sulfur thd CNS bersifat
primer, tidak sekunder akibat defisiensi
thiamine)
• Pada ruminansia, mikroorganisme dalam rumen
merubah sulfur menjadi hidrogen sulfide
(neurotoxin yang mudah diabsorpsi dan penetrasi
membran sel dan blood brain barrier, BBB)
• Sulfide menghambat berbagai enzim yang terlibat
dalam metabolisme oksidativ
• Sulfide menghambat respirasi dengan memblok
catorid body dan berikatan dengan hemoglobin
membentuk sulfhemoglobin sehingga
menurunkan kapasitas mengangkut oksigen.
• Dalam jumlah yang tinggi, sulfide di dalam rumen
dapat mengakibatkan defisit thiamine sekunder
(mekanisme tidak diketahui)
• Ion sulfite adalah nucleophile kuat yang siap
berikatan dengan thiamine yang secara sekunder
mengurangi thiamine.
• Problematika terkait konsumsi sulfur berlebihan
pada sapi termasuk Polioencephalomalacia (PEM)
atau cerebrocortical necrosis (CCN)
• Bentuk PEM lain, disebabkan oleh thiaminase
di digesta rumen dan level thiamine
pyrophosphate (TPP) yang rendah di dalam
darah dan otak. Perlakuan anak domba
dengan susu tanpa thiamine sebabkan PEM,
namun perlu waktu lebih dari 5 minggu.
Gejala klinis:
• Subakut (gejala muncul beberapa jam sampai beberapa hari):
– Terpisah dari kelompok, Nafsu makan hilang, Jalan gontai,
Sering memperlihatkan kebutaan, Berjalan dengan kepala
menengadah, eksitasi dan menyerang sekitar, Diare,
hiperestesia, tremor
– Bila melanjut: kebutaan, head presing, episthotonus,
dorsomedial strabismus, miosis (kontraksi pupil), repetitive
chewing, head tilt, ambruk, konvulsi clonic tonic, dan mati
– Nafas, pulsus, suhu tubuh biasanya tidak ada perubahan.
Nafas bau hydrogen sulfide (bila terkait dengan konsumsi
sulfur)
• Pada kasus akut, gejala klinis:
– Ambruk dan koma
– Konvulsi tonic-clonic
– Tetap ambruk dengan hipertonic diantara kejang

• Hewan muda lebih peka


• Penghentian konsumsi bahan yang
mengandung sulfur mengakibatkan perbaikan
Diagnosa banding:
– Lakto asidosis, terutama pada hewan yang baru saja
mengkonsumsi karbohidrat yang mudah difermentasi.
Hewan yang alami laktoasidosis menunjukkan gejala
ataxia, feses cair berbau dan perutnya berisi air dan
distensi, timpani, dan ambruk lateral.
– Enterotoxemia type D
– Meningoencephalitis
– Defisiensi vitamin A
– Rabies
– Keracunan ethylene glycol
– Encephalitis IBR
• Diagnosis:
– Pemeriksaan kadar sulfur dalam pakan dan air
– Nekropsi:
• Karena sulfur: isi rumen bau sulfid,
• Makroskopik: kebengkakan, pelunakan dan perataan cortex,
gyri berubah warna menjadi kekuningan, area nekrotik
menunjukkan fluoresens di bawah sinar UV (365 nm). Pada
kasus berat dpt ditemukan herniasi di foramen magnum atau
occipital cortex . Hewan sembuh dan dinekropsi beberapa
bulan kemudian menunjukkan adanya atrofi cerebral dan
adanya kista kortikal submeningeal
• Diagnosis:
– Nekropsi:
• Mikroskopik: nekrosis laminar difus, edema interselular
dan intraselular, nekrosis neuronal, gliosis, dan
neuronophagia (destruksi neuron oleh sel fagosit)
Prognosis:
– Pada kasus akut dan subakut yang melanjut:
genting, perlu penanganan khusus
– Yang bertahan hidup mungkin irrebersibly
decorticated dan perlu diculling saja karena
anoreksia, performens jelek, ataksia, buta
– Yang terpapar moderat bisa jadi masih produktiv
• Treatment:
– Thiamine (parenteral): 10-20 mg/kg IM/SC 3x/d
menerus selama 3-7 hari (biasanya ada perubahan
dalam 24 jam). Hewan yang alami kasus berat
mungkin tidak respon thd pengobatan ini.
– Untuk mengurangi edema cerebral: Sodium
dexamethasone 1-2 mg/kg IM/IV, diuretika,
mannitol
– Konvulsi dapat dikurangi dengan pemberian
penobarbithal, pentobarbital atau diazepam
• Pemberian urea: di rumen diurai menjadi ammonia (pKa >
9), jika kadar ammonia melebihi 20 mg/mL maka pH rumen
meningkat dan terjadi absorpsi ammonia, diangkut ke liver
melalui vena porta.
• Ammonia tertimbun di cairan tubuh dan toksik (ammonia
mudah menembus Brain Blood Border otak: organ paling
sensitif thd ammonia).
• Kalau dlm otak ada ammonia, aktivitas glutamate
dehidrogenase dibelokkan ke glutamat dan menghasilkan
glutamine sehingga siklus intermediate menurun, sedikit
oxaloacetic acide yang diregenerasi sehingga otak
kekurangan ATP (keracunan ammonia berkembang). Terjadi
akumulasi glutamin dan aspartate dan punya aktivitas
neurotransmiter yang dapat menonjolkan disfungsi.
• Non rumiannsia: kurang sensitiv terhadap
keracunan ammonia.
• Liver mengkonversi ammonia menjadi urea yang
mudah diekskresikan melalui urin atau recycled
by gut microbes.
• Pada saat kelaparan, sumber glukoneogenesis
adalah protein otot (degradasi otot jadi AA:
alanine dan glutamine)
• Mula2: alanin jadi glukosa dan urea, kemudian
glutamin digunakan utk bentuk alanine dan sbg
substrat replikasi epitel usus
• Glutamin dalam urin juga digunakan untuk
glukoneogenesis di ginjal
• Pada saat kelaparan, ekskresi nitrogen turun,
kehilangan urea menurun, tetapi ammonia sbg buffer
keton dlm urin meningkat.
• Ringkasan: pada saat kelaparan, glukoneogenesis
melalui 3 jalur:
– Hepatic glycogenolysis
– Hepatic dari pembebasan gliserol dan asam amino otot
– Renal dari residu glutamin dan gliserol yang dibebaskan
Ammonia
• Ammonia adalah gas yang sangat toxic, irritant
sebabkan keluar air mata, respirasi dangkal, dan
leleran hidung.
• Pada level 100 ppm sebabkan stress dan
menurunkan resistensi thd infeksi dan laju
pertumbuhan.
• Pada level 100-150 ppm dpt sebabkan 30% babi
muda alami penurunan laju pertumbuhan dan
meningkatkan lesi tulang turbinate. Juga
memperjelek konsekuensi infestasi larva ascarid.
Ammonia
• Ammonisasi pakan ditujukan untuk perbaikai
kualitas pakan dan turunkan metabolit toksik
jamur (toxin dari Acremonium)
• Overammonisasi (>3% BK) menghasilkan
pembentukan 4-methylimidazole (juga masuk
susu). Pemberian mollases memperparah.
• Pedet dapat alami keracunan akibat konsumsi
susu induk yang tampak tidak bermasalah
(akumulasi ammonia di susu)
• Toxin sebabkan disfungsi CNS (hiperestesia,
ataksia, dan adopsi cara berdiri kuda-kuda)
Ammonia
• Gambaran Klinis:
– Sapi hiperestetik dan ataksia. Dalam keadaan istirahat:
sawhorse stance, tetapi pada saat exitasi: hiperaktiv,
frenzy (kegilaan) selama beberapa menit, termasuk
berteriak-teriak dan menabrak benda (kebutaan),
ambruk, dan kadang diikuti konvulsi. Peeriode
spasmodik berlangsung 15-20 menit, setelah itu
hewan tenang. Kejadian dapat berulang bila terjadi
keberisikan
• Level ammonia di dalam darah 8,16 µg/dL dan
CSF meningkat (8,16 µg/dL)
Ammonia
Treatment:
• Tidak ada obat spesifik
• Pemberian acepromazine 0,045 mg/kg IV dan
thiamine 1,14 mg/kg IM dilaporkan memberi
manfaat
Hypomagnesemia tetany

Irkham Widiyono
2020
Distribusi
• Mg tubuh: 70% di tulang, 30% cairan intraselular
(sedikit di cairan ekstraselular)
• Kadar Mg plasma: kuda 0,6-1,2 mM; sapi0,6-1,3
mM; domba 0,8-1,4 mM; babi 0,9-1,7 mM (70%
ultrafiltrable, 30% terikat protein).
• Kandungan dalam susu: manusia 1 mM (25%
terikat protein), sapi sampai 10 mM (pada sapi
yang dg kadar mg 2,5 mM hanya terdapat 0,4
mM yang terionisasi, selebihnya terikat sitrat,
fosfat, dan ligands lain)
Regulasi Homeostatik Magnesium

• Regulasi tidak jelas


• Sebagian besar ada di dalam sel dan tulang,
dan hanya sebagian kecil di cairan
ekstraselular
• Hipotermia meningkatkan kadar Mg plasma,
dan kembali ke normal dalam satu jam
kemudian. Injeksi Mg dapat menurunkan
temperatur tubuh.
Regulasi Homeostatik Magnesium

• Asidosis dan alkalosis juga dapat


mempengaruhi Mg plasma, tetapi arahnya
bervariasi.
• Pada manusia, kadar Mg plasma menurun
sejak awal kehamilan, pada akhir kehamilan
sekitar 20% dibawah nilai normal
Efek Hipomagnesemia
• Eksitabilitas neuromuskular meningkat,
hiperefleksia, kram
• Takikardia, aritmia, dan hipertensi
• Pelepasan PTH menurun,
Pembatasan Mg selama Pertumbuhan
• Defisiensi Mg mengakibatkan sintesis protein
terganggu shg pertumbuhan jelek
• Defisiensi terjadi akibat kebutuhan meningkat
(bukan karena balans negatif), sehingga lebih
dikarenakan absorpsi Mg tidak memadai
untuk kebutuhan pertumbuhan dan juga
karena kehilangan Mg pasca absorpsi (ginjal
dan sekresi)
Pembatasan Mg selama Pertumbuhan
• Hipomagnesemia (pada hewan dewasa)
biasanya akibat: asupan Mg yang tidak
memadai, sekresi Mg susu yang tinggi tanpa
asupan Mg yang memadai, kalsifikasi
abnormal, malabsorpsi, dan diare.
• Hipomagnesimia dpt terjadi akibat kerusakan
sel (ekskresi meningkat)
• Asupan Mg kurang karena konsumsi pakan
rumput yang tumbuh subur
Pembatasan Mg selama Pertumbuhan
• Plasma Mg menurun sampai level rendah selama
fase laktasi (sapi dan domba), tetapi Mg susu
tidak turun. Ini sebabkan defisiensi di ECF. Tanda
klinis: anoreksia, kurang istirahat, tetani, staggers,
melanjut ke konvulsi.
• Tetani sering muncul pada: pergantian pakan
kering ke rumput segar subur (banyak kandung
ammonium) atau rumput yang dipupuk urea
(ammonium berikatan dg Mg jadi kompleks
MgNH4PO4)
Pembatasan MG selama Pertumbuhan
• Ruminansia dewasa kurang mampu
memobilisasi Mg dari tulang dibanding non
ruminansia.
• Puasa dapat mengakibatkan penurunan Mg
plasma secara cepat.
• Pada pedet absorpsi Mg banyak terjadi di usus
besar, sedang pada ruminansia dewasa
absorpsi Mg terutama terjadi di usus kecil.
Pembatasan MG selama Pertumbuhan
• Kelinci dengan diet defisien vit-E mengalami
penurunan kandungan Mg di otot. Pada
manusia penderita epilepsi ditemukan kadar
Mg ECF yang tinggi dan hipomagnesemia,
sedang pada psikotik memiliki kadar Mg yang
rendah
Tetani Hipomagnesemik pada Sapi
• Tetani Hipomagnesimia berkaitan dengan penurunan
Mg dlm plasma (< 1,2 mM) dan CSF (< 1,0 mM).
• Kebutuhan Mg: maintenance 3 mg/kg dan 120 mg/kg
susu
• Resiko tinggi: sapi /domba yang dipelihara di rumput
yang tumbuh subur atau biji-bijian hijau muda, intake
ammonia dan K yang tinggi, bila hewan mengalami
hipokalsemia (Rumput subur muda juga dorong
asidosis metabolik dan diare yang menurunkan
absorpsi Mg); hewan yang kurang pakan dan alami
kedinginan
Tetani Hipomagnesemik pada Sapi
• Ion Mg adalah Co-factor berbagai enzim yang
diaktivasi ion metal, sehingga ini penting utk
berbagai jalur metabolik (fosforilasi oksidativ,
oksidasi pirufat dan alfa ketoglutarat), transfer
fosfat, beta oksidasi dari asam lemak, dan
jalur fosfat pentosa.
• Mg ion rendah akan mempengaruhi fungsi ion
membran sel, meningkatkan transmisi impuls
syaraf (termasuk sinaps autonomik).
Tetani Hipomagnesemik pada Sapi
• Berbagai fungsi tubuh terpengaruh oleh
defisiensi Mg sehingga terjadi: gangguan
pertumbuhan, vasodilatasi perifer, anoreksia,
serangkaian gangguan fungsi neural dan
muskular (hiperiritabilitas, kekakuan otot,
inkoordinasi,, dan konvulsi), detak jantung
meningkat, tekanan darah menurun seiring
dengan penurunan suhu tubuh, kadar tiamin
tubuh menurun.
Tetani Hipomagnesemik pada Sapi
• Mobilisasi mineral tulang dimulai setelah terjadi
penurunan Mg plasma.
• Gejala klinik pada kejadian akut berkaitan dengan
sistem syaraf: nervous yang berlebih, tingkah laku
yang tidak dpt diprediksi, tremor otot, gerak
telinga tidak normal, gerakan
mengunyah/menggigit yang diikuti dengan
pengeluaran liur berbuih, hipersensitivitas
dengan episode berisik dan gallop yang liar,
inkoordinasi, kolaps, konvulsi tonik-klonik, dan
mati.
Tetani Hipomagnesemik pada Sapi
• Gejala klinik pada kejadian subakut pemunculannya
lebih lambat dengan gejala sama tetapi lebih rendah
tingkatan gejalanya.
• Induk domba yang digembalakan pada rumput subur
muda dan menyusui 2 anak sering mengalami kejadian
ini.
• Pemberian transaconitic acid (TAA, sering ditemukan
pada rumput gandum) bisa mengikat ion Mg. Bila TAA
diberikan secara oral dengan potassium chloride pada
sapi dapat terjadi grass tetany. TAA di rumen diubah
menjadi tricarballylic acid yang terabsorbsi dan
menghambat aconitase sehingga terjadi ekskresi Mg
yang meningkat.
Tetani Hipomagnesemik pada Pedet
• Pada pedet umur 2-4 bulan yang hanya susu saja
atau alami diare kronik yang diberi pengganti
susu (penurunan absorpsi Mg).
• Kadar Mg plasma < 0,7 mM
• Sering disertai hipokalsemia
• Gejala klinik sama dengan gejala pada hewan
dewasa
• Postmortem diagnosis dapat dibantu dengan
analisis Mg dari cairan vitreous dari hewan
sampai 2 hari setelah mati. Sebelum mati, gejala
klinik lebih berkaitan dengan level CSF
Keracunan Pb

Irkham Widiyono
2020
• Keracunan Pb pada ruminansia akibatkan
encephalopathy akut, sedang pada kuda
sebabkan polineuritis kronik
• Keracunan pada sapi, kambing, domba sebabkan
kebutaan, ataxia, penurunan sensorik , sedang
pada kuda sebabkan disfagia, kehilangan BB, dan
pneumonia aspirasi sekunder
• Kejadian pada sapi lebih sering karena suka
menjilat objek dan kesukaannya meminum
destilat petroleum yang terkontaminasi
Gejala Klinik
• Pada sapi (gangguan CNS):
– berdiri sendiri dan depresi;
– Hiperestesia
– Muscular fasciculation
– Rapid, spastic twitching of eyelids and other fascial
muscles
– Ataxia, conscious propioceptive deficits, buta (tapi
refleks pupil normal), headpressing, odontoprisis,
coma, convulsion.
– Episodic running, hiperesthesia, dan bellowing
(teriak2),
– Akumulasi liur berbusa, bload, diare
Gejala Klinik
• Pada kuda:
– Kehilangan BB
– Paralisis laryngel dan pharyngeal, pneumonia aspirasi
– Dysphonia
– Roaring
– Conscious propioceptive deficits
– Kehilangan tonus anal
– Paralisis fasial
– Kesulitan mastikasi
– Tremor muskular
– Kejang psikomotor
– Mati dalam keadaan emasiasi
Gejala Klinik
• Terjadi perubahan mikroskopik pada
myokardium shg tejadi hipertensi arterial
(120-150 mmHg) dan abnormalitas EKG (30
hari pasca keracunan): terjadi peningkatan
durasi dan amplitudo gelombang P,
perpanjangan interval PR, penurunan interval
QT dan inverted T wave pada Lead II
Patologi Klinik
• Kadar Pb jaringan: 20-100 ppm di liver, 30
ppm di ginjal, 5000 ppm di tulang (nilai
referensi kadar Pb jaringan = 0,05-2,5 ppm;
dengan metoda modern, kadar Pb dalam
darah maksimum = 0,03 ppm)
• Kadar Pb cairan rumen pada sapi keracunan
berkisar 0-11,875 ppm
Patologi Klinik
• Pada keracunan kronik, kadar Pb darah normal
tetapi kadar Pb tulang tinggi (Diagnosa dpt
dilakukan dengan pemberian EDTA 75 mg/kg
yakni terjadi peningkatan kadar Pb dalam darah,
dan ekskresi di urin meningkat 40x lipat dalam
beberapa jam)
• Kadar phorphirin dan α-aminolevulinic acid (ALA)
eritrosit: phorphirin meningkat dlm darah (kadar
normal pedet 21,6-45,6 ug/dl whole blood; 113-
143 ug/dl eritrosit), urin dan feses. Kadar ALA
urin meningkat diatas 500 ug/ml.
Patologi Klinik
• Kadar Pb lingkungan. Hijauan tercemar toxic
mengandung > 30 ppm
• Normal hemogram
• Hemolitik anemia (respon sumsum tulang tidak
memadai): anisositosis, poikilositosis,
polichromasia, hypochromia, Howell Jolly bodies,
metarubricytes, basophilic stiping (terjadi sejak
bbrp jam sampai 100 hari). Pada kuda tidak jadi
indikator spesifik tetapi sugestiv
• CSF: kadar protein dan monomuclear cells
meningkat
Patofisiologi
• Masuk tubuh lewat gastrointestinal dan respirasi
• Faktor yang berpengaruh dlm absorpsi di GI:
masa tinggal, calcium (mengikat), bersama Cd
memperparah gambaran klinis keracunan Pb
• Pb terabsorpsi terikat protein eritrosit (plasma
rendah), pada akhir masa hidup eritrosit
dimetabolisir dan disimpan di tulang sbg difosfat
dan sebagian kecil ke jaringan lunak dan dibuang
lewal GI. Halflife Pb darah= 9 hari, tapi kadar
darah tetap tinggi untuk 39 minggu
Patofisiologi
• Menghambat free sulfhydyl groups of enzyms
spt ALA dehydratase & ferro chelatase: terjadi
kerusakan sel syaraf dan anemia (hambat
pembentukan heme, pemendekan masa
hidup SDM).
• Pb di otak sebabkan hemoragi cerebellar dan
edema
• Menghambat absorpsi Se: white muscle
disease
Postmortem
• Edema, kongesti cortex cerebri, berwarna
kekuningan, dan pemipihan gyri
• Kebengkakan sel endotelial, odema sel
Purkinje, intracellular acid fast bodies in renal
tubular cells,
Penanganan
• Chelation dg Ca-disodium-EDTA, IV lambat, 73
mg/kg BB setiap hari selama 3-5 hari. Istirahat
2 hari dan diulang lagi. Atau pemberian 110
mg/kg diberikan selang 12 jam selama 2 hari,
istirahat 2 hari dan diulang lagi.
• Fluid and nutritional
• Thiamine 2 mg/kg (sapi), ruminansia kecil 500
mg
• Ruminotomi atau diberi laxansia Mg sulfat
Pencegahan
• Hilangkan sumber pencemaran
• Asupan NaCl pada level 1,5 g/kg atau kurang
berpengaruh thd pertumbuhan dan berat
badan
• Asupan NaCl sebesar 1,75 g/kg sebabkan
keracunan kronik
• Asupan NaCl sebesar 2,2 g/kg sebabkan
keracunan akut pd sapi dan kuda, sedang pada
domba sebesar 6 g/kg.
• Konsumsi air dengan kandungan 7 g/L timbulkan
keracunan akut
• Air dg kandungan garam <3 g/L aman utk konsumsi
• Keracunan garam berasosiasi dengan konsumsi air:
– dengan ketersediaan air yang konstan sapi dapat
mentolerir asupan garam dlm pakan sampai 13%. Kadar
garam total dlm pakan tidak boleh lebih dari 4%)
– Dengan pembatasan air minum, level toxic menurun (pada
sapi dg air terbatas menunjukkan keracunan bila
mengkonsumsi 0,9% NaCl)
– Konsumsi air dengan kadar garam 1% timbulkan toksikosis
bila tidak disediakan air bebas ion
• Konsumsi air dengan kadar garam 0,7%
menurunkan fertilitas sapi betina
• Konsumsi air dengan kadar garam 0,25%
menekan produksi susu
• Anak sapi mengalami keracunan akibat konsumsi
susu pengganti 4 L yang memiliki kadar 2,6%
• Pada musim panas, sapi lebih rentan thd
keracunan garam karena kehilangan air insensitiv
yang meningkat.
• Garam dlm tap water = 196 ppm
Patofisiologi:
• Garam masuk parenkim CNS dan CSF (asupan tinggi atau
asupan air kurang) dan berakumulasi secara difusi pasiv di
neuron dan CSF timbulkan hiperosmolalitas dan
menurunkan mekanisme energy-dependent Na-transport
• Hiperosmolality memacu pusat haus. Bila pusat haus
terpacu dan terjadi asupan air bebas ion, maka terjadi
ekspansi volume ekstraselular dan terjadi
normoosmolalitas plasma. Air berdifusi ke CSF dan neuron
yang hiperosmolal, sebabkan: CNS edema, tekanan
intracranial meningkat, encephalopathy.
• Bila asupan garam mendadak tinggi, maka hiperosmolality
di usus dapat sebabkan intestinal catharsis dan diarrhea
• In mice: High salinity dramatically affects ovarian
follicle development and the extent of follicular
atresia. High salt intake inhibited follicle
development by inducing the granulosa and theca
cells that surround the oocytes to undergo apoptosis
(repressed granulosa cell proliferation and
promoted cell apoptosis).
• In human cells and Zebrafish: High salt diet (5 or
10%) group showed abnormal testicular histology as
well as spermatogenic defects.
Kasus pada Babi:
• Gejala klinis a.l: anoreksia, haus, pruritus, konstipasi,
opistotonus, nistagmus, tremor, kebutaan, deafness
(ketulian), wandering (berkelana), head pressing, circling,
pivoting (berputar dg satu sumbu), konvulsi epileptiform,
koma.
• Kejadian berlangsung 2-4 hari sampai mati
• Kadar Na+ dalam serum dan CSF di atas 160 mEq/L (> 1800
ppm berat basah) akibatkan eosinopenia, eosinophilic cuffs
di sekitar pembuluh darah di cerebral cortex dan meninges,
cerebral edema, and necrosis.
• Minum berlebih sebabkan cerebral edema (mortalitas
tinggi)
• Pada ruminansia, gejala klinis a.l:
– anoreksia, diare mucohemorrhagic, colic
– haus,
– dehidrasi,
– kehilangan berat badan,
– hipothermia,
– Gejala syarafi: inkoordinasi, ataxia, bawling (meraung),
constant chewing movement, agresiv, konvulsi, head
pressing, head-neck extension/star gazing; pada kasus
keracunan kronik: depresi, dehidrasi.
– Kadar Na serum meningkat dari 135-145 mEq/L menjadi
170-210 mEq/L
Pengaruh Kandungan Garam Air minum thd
Performans Pada Sapi
Konsentrasi Garam Efek Klinis
(ppm atau mg/L)

< 1000 Tidak ada efek


1000-3000 Diare temporer, produksi susu menurun
3000-5000 Bisa terjadi produksi susu dan asupan pakan menurun,
dan menimbulkan gagal reproduksi

5000-7000 Gagal konsepsi (keguguran, infertilitas), nafsu makan


turun
>7000 Tidak aman, terutama di musim panas dpt terjadi gejala
klinis encephalophaty, sakit abdominal,diare mukoid,
kehausan, hipersalivasi, poliuria, gejala klinis CNS spt:
knuckling, kebutaan, konvulsi, koma, dan sakit
abdominal
– Post mortem:
• Gastritis atau abomasitis,
• Edema otot skeletal,
• Hydropericardium
• Cerebral edema
• Pelunakan dan perataan gyri cortical
• Mikroskopik: cortical necrosis, poliomalacia,
meningeal/perivascular infiltration of eosinophils (tidak
reliable spt pada babi krn pada sapi sering perivascular
cuffing of mononuclear cells)
Diagnosis:
• Penemuan air dg kadar Na > 7000 ppm
• Penemuan hewan tidak konsumsi air
• Penemuan kadar Na dlm serum atau CSF > 160 mEq/L
(Ratio NaCSF:NaSerum > 1 jg suggestive; Catatan: hewan
yang baru saja diberi air bebas ion ditemukan
normonatremia, hewan keracunan garam selalu miliki
kadar Na dlm CSF meningkat)
• Kadar Na: rumen >0,36% – 0,5%; dalam otak > 150
mEq/L atau 1800 ppm jg suggestive
• Kadar acetyl cholinesterase plasma dan SDM menurun
pada hewan yang konsumsi air bergaram > 0,49%
(setelah 4 bulan konsumsi secara menerus)
• Pengobatan:
Pengobatan cukup sulit
– Ganti segera air minum dan pakan
– Air minum hendaknya mengandung garam < 0.5%
– Dekompresi serebral dengan pemberian diuretik
– Pencegahan:
• Sediakan air secara ad lib, terutama bila hewan diberi
pakan bergaram untuk menurunkan urolithiasis
• Asupan garam harian tidak lebih dari 4% BK
• Pencegahan:
– Ternak hendaknya dijauhkan dari telaga tercemar
atau sumur minyak
– Sapi di lahan rumput pesisiran harus mendapat
akses air sumur.
– Kandungan Na air minum harus < 7000 ppm, jika
tidak asupan Na diet harus diturunkan secara
bersamaan
Diagnostik gangguan kardiovaskular

Pemeriksaan awal dilakukan pada kondisi


tenang dan perhatikan kemungkinan
adanya beban tambahan dalam
melakukan interpretasi (contoh: partus)

Lakukan ulangan pemeriksaan setelah


pembebanan

Insufisiensi sistem kardiovaskular


biasanya ditandai penurunan kinerja fisik
Diagnostik gangguan kardiovaskular

Beberapa parameter penting:

Frekuensi jantung
Bising
Detak jantung
Tekanan vena sentralis
pulsus venosus
Diagnostik gangguan kardiovaskular

Beberapa parameter penting:

Pengisian vena yg tidak memadai


Tekanan darah arterial
Kekosongan O2 perifer
(cyanosis: insufisiensi jantung
atau paru-paru; tetapi mukosa
tetap pucat kalau insufisiensi
jantung karena anemia)
Diagnostik gangguan kardiovaskular

Beberapa parameter penting:


 Motorik pembuluh darah perifer
(vasodilatasi: warna kulit
kemerahan atau vasokonstriksi:
warna kulit pucat, dingin, atau
pelambatan perubahan warna
kulit setelah ditekan: stasis,
perubahan pembuluh darah
septik)
Diagnostik gangguan kardiovaskular

Beberapa parameter penting:

 EKG
 Alat pernafasan (gangguan
jantung sebelah kiri: odema
pulmonum dengan bronchitis,
dispnu inspiratorik, batuk; akut:
odema alveolar, dispnu
campuran, ronchi, insufisiensi
global).
Diagnostik gangguan kardiovaskular

Beberapa parameter penting:


 Hati
(insufisiensi jantung sebelah
kanan: hati membesar dan
degenerasi karena bendung
vena: aktivitas enzim spesifik sel
hepar meningkat, ascites)
Diagnostik gangguan kardiovaskular

Beberapa parameter penting:


 Keseimbangan cairan dan asam-
basa (insufisiensi jantung kronis:
hipervolemia dan hidremia
PCV dan PP turun, odema dan
asites;
schock non kardiogenik:
hipovolemia PCV dan PP
naik)
Diagnostik gangguan kardiovaskular

Beberapa parameter penting:

 insufisiensijantung
dekompensasi, schock stadium
lanjut: lactat asidosis karena
hipoksia jaringan atau asidosis
respiratorik karena odema
pulmonum
Diagnostik gangguan respirasi

Beberapa parameter penting:

 Ekskret dari hidung dan mata


 Batuk
 Frekuensi nafas
 Kerja nafas (dispnu inspiratorik,
dispnu ekspiratorik, campuran
dispnu in- dan ekspiratorik
Diagnostik gangguan respirasi

Beberapa parameter penting:

 Suara abnormal pernafasan


 Suara trachea dan paru-paru
 Suara perkusi paru-paru
 Kejenuhan oksigen (insufisiensi
paru-paru/arterialisasi kurang:
sianosis)
 Gas darah
Diagnostik gangguan respirasi

Beberapa parameter penting:

 Bronchoskopi
 Sekretsitologi
 Pemeriksaan mikrobiologi
 Kapasistas fungsional paru-paru
dan volumina paru-paru
 Roentgen dan echosonografi
 Pemeriksaan histologik (biopsi)
Penyakit jantung valvular

Valvula tricuspid, mitral, pulmonic, dan


aortic. Most result in insufficiency

Result of degenerative changes, trauma,


infection (foot abcess, rumenitis etc.),
inflamation, cardiomyopathy.
Bacterial: streptococci, Arcanobacterium
pyogenes
Predisposition: chronic active infection
Penyakit jantung valvular

Manifestation:
No clinical signs but have cardiac
murmur, valvular regurgitation.
Exercise intolerance, weightloss,
signs of congestive heart failure
(tachycardia, coughing, respiratory
distress, jug. venous distention,
subcut. edema and ascites)
Penyakit jantung valvular

Manifestation:
Cardiac enlargement
Systolyc jug venous pulsation
(tricuspid), venous distention, subcut
edema, ascites (right heart failure)
Tachycardia, tachypnea, coughing,
frothy pulmonary edema (mitral
regurgitation)
Penyakit jantung valvular

Clinical Pathology:
Echocardiography
Laboratory evidence of bacterial
endocarditis etc.
Penyakit jantung valvular

Pathophysiology:
Slow or gradually progessive: may be
asymptomatic but lead to congestive heart
failure
Acute: sudden hemodynamic change
(mitral: pulmonary venous hypertention,
pulmonary edema)
Infection: disseminated sepsis may be the
cause of death or culling of the animal
Penyakit jantung valvular

Necropsy findings:
pathologic changes of valve
Enlargement of chamber
Subcut edema, increased pleural,
periardial and peritoneal fluid
Bacterial embolization
Penyakit jantung valvular

Treatment and prognosis:


Depend on etiology, duration, onset,
severity of the lesion

In general the prognosis is poor when


evidence of valvular incompetence
Penyakit jantung valvular

Treatment and prognosis:


Bacterial infection: longterm use of
bacteriocidal antimicrobials
Edema: diuretics
To improve contractility: digoxin
Penyakit jantung valvular

Prevention:
Many causes can not be controlled
Appropriate therapy of chronic active
infenction
Effective parasite control to eliminate
predisposing causes of valvular heart
diseases
Myocarditis or cardiomyopathy

Myocarditis: inflamation of myocardium


caused by bacterial, viral, parasitic
organism

Bacterial: Staphylococcus, Streptococcus,


Clostridium, Mycobacterium
After septicemia, bacteremia, pericarditis,
endocarditis
Viral: FMD, Equine influenza etc.
Parasitic: strongylosis, toxoplasmosis,
cysticercosis, sarcocystis
Myocarditis or cardiomyopathy
Cardiomyopathy: subacute or chronic disease of
ventricular myocardium without anatomic
valvular disease, congenital malformation of
heart or vessels or pulmonary disease
Myocarditis (horse), inherited (HF cattle),
Ingestion of monensin, gossypol etc.
Vit E, Se, and copper deficiency

Dilated Cardiomyopathy: Ventricular


dilatation, increased ventricular mass,
decreased systolic function
Myocarditis or cardiomyopathy

Manifestation:
Highly variable
Febrile, tachycardia, reluctance to move,
exercise intolerance
Cardiac: arrhythmia, murmur, jug ven
pulsation
Sudden death

Dilated cardiomyopathy: signs of cardiac


failure
Myocarditis or cardiomyopathy

Clinical Pathology:
Vary depend on etiology
Troponin I
ECG (tachycardia, cardiac arrhythmia)
Myocarditis or cardiomyopathy

Pathophysiology:
Acute myocarditis may go on to develop to
idiopathic dilated cardiomyopahty, resulted
in ECG abnormalities and reduced
myocardial performance
(reduced cardiac output that induce activation of renin
angiotensin aldosterone system: increase in
ventricular preload and afterload may cause
pulmonary edema and reduction in cardiac
contractility. Ventricular dilatation, reduced cardiac
output, signs of heart failure)
Myocarditis or cardiomyopathy

Necropsy findings:
Myocarditis
Myocardiopathy:
Enlargement of the heart
Myocardial pallor
Generalized edema, ascites
Microscopic examination: vacuolation
and degeneration
Myocarditis or cardiomyopathy

Treatment :
Depend on etiology
Control of complications
Digoxin
Diuretic
Vasodilatator
Rest
Removal of pleural, abdominal fluid
Myocarditis or cardiomyopathy

Prognosis:
Poor
Myocarditis or cardiomyopathy

Prevention:
Maintenance of good vaccination
program
Parasite control
Preventing of toxic agent ingestion
Good Nutrition
Avoiding breeding of known carrier
Pericarditis

Pericarditis:
Inflamation of pericardium that
results in the accumulation of fluid or
exudate between the visceral and
parietal pericardium
Pericarditis

Cause:
Trauma (internal or external wounds)
Septicemia
Extension of infection from the lung or
pleura
Viral infection
Neoplasia
Pericarditis

Manifestation:
Vary (volume and rate of effusion,
cause)
Auscultation:
tachycardia, muffling of heart sounds,
and absence of the heart sound in the
vetral thorax.
Splashing sounds (cattle)
Pericarditis

Manifestation:
Mucous membrane: congested,
prolonged CRT
Jugular distention and pulsation
Arterial pulses:weak
Percussion: ventral dullness (thorax)
Pericarditis

Clinical Pathology:
Hematology and serology: vary
Radiography: fluid and gas
accumulation in pericardium (specific
in cattle, not in horse)
Echocardiography
Pericarditis

Pathophysiology:
Inflammation results in fluid accumulation
Pericarditis results in decreased
distensibility of the heart, elevation of atrial
pressure, reduced venous flow/return. The
result is depressed ventricular contractility,
stroke volume, cardiac output, arterial
blood pressure and renal blood flow
(cyrculatory collapse)
Pericarditis

Necropsy findings:
Distention of pericardial sac with
serosanguineous fluid (may be foamy and
malodorus)
Fibrinous exudate or fibrosis on epicardium
Congestive heart failure
Histopathologic: pericardial, epicardial,
myocardial fibrosis
Pericarditis

Treatment :
In cattle is unrewarding
Repeated pericardial drainage
Broadspectrum antibiotics

Prognosis: poor
Pericarditis

Prevention:
Routine administration of magnets to
heifers at the pregnancy diagnosis
Routine vaccination for the common
respiratory pathogens
Cor pulmonale
• Effect of lung dysfunction on the heart and is
therefore a secondary form of heart disease.

• Pulmonary hypertension leads to right ventric


hypertrophy, dilation, or failure.

• Primary cause in Cattle: hypoxic


vasoconstriction from high altitude dwelling
(high mountain disease)
• Chronic pulmonary disease
(bronchopneumonia)
• Lungworm infection

• Manifestation:
edema, jug venous distension, dyspnea,
tachypnea, tachycardia, murmur
• Removing the animal from high altitude
• Admin. of oxygen
• Digoxin
• diuretics
TOKSISITAS ANTI NUTRISI
HIJAUAN PAKAN TERNAK
Pendahuluan

• Hijauan pakan hewan adalah


tanaman dan bagiannya yang dapat
diberikan ke hewan sebagai
sumber nutrisi dan energi.
• Hijauan pakan hewan merupakan
bahan pakan pokok untuk hewan
ruminansia.
• pemanfaatan dari daun, bijian dan
ranting yang bisa dimakan dari
semak dan pohon sebagai pakan
ternak dibatasi oleh adanya zat anti
nutrisi (ANF)
Pendahuluan
• Diantara berbagai macam hijauan, polong-polongan,
bijian leguminosa, daun semak, limbah tanaman
produksi masing masing memiliki ANF yang bervariasi.
Pendahuluan
Pendahuluan
Contoh ANF antara lain adalah :
• Nitrat,
• Oksalat,
• Mimosin,
• Tanin,
• HCN,
• Saponin,
• indospicine,
• asam fitat
Semuanya dapat membahayakan kesehatan ruminansia
maupun monogastrik.
• ANF dapat mengganggu pemanfaatan pakan
dan mempengaruhi kesehatan dan produksi
hewan atau berperan dalam penurunan
asupan nutrisi, pencernaan, penyerapan dan
dapat menghasilkan efek samping lainnya
• Pada dasarnya banyak bahan pakan secara
potensial mengandung satu atau beberapa
jenis antinutrisi.
• Pengaruh negatif dari ANF tidak segera
nampak sebagaimana senyawa toksik pada
pakan
GLUKOSIDA SIANOGENIK
(SIANOGEN)
• Glukosida sianogenik atau sering disebut sianogen
merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder
tanaman yang disintesis dari asam amino.
• Sedangkan sianida (hidrogen sianida, HCN) merupakan
produk hidrolisis dari glukosida sianogenik seperti
linamarin, luteustralin, dan durin.
Asam sianida (HCN)
• Lebih dari 100 jenis tanaman
mempunyai kemampuan untuk
memproduksi asam sianida.
• Jenis tanaman tersebut antara lain
family rosaceae, possifloraceae,
leguminosae, sapindaceae, dan
graminae.
• Manihot utilissima sebagai salah
satu tanaman yang mengandung
asam sianida.
• sianogenik dalam konsentrasi yang
tinggi, contohnya adalah sejumlah
varietas singkong yang dapat
mengandung lebih dari 1 g HCN/kg
bobot basah.
Toksisitas HCN
• Glukosida sianogenik dalam bentuk utuhnya
tidak beracun, yang beracun adalah sianida
(HCN) yang terbebas setelah hidrolisis enzim
atau asam.
• Efek toksik dari HCN umumnya terjadi pada
hewan dan manusia yang mengonsumsi
bahan tinggi glukosida sianogenik yang tidak
mengalami proses pengolahan atau proses
pengolahan tidak sempurna.
Keracunan limbah pencucian singkong
GEJALA, DIAGNOSA DAN TERAPI
KERACUNAN HCN
• HCN bersifat toksik dan paling cepat aktif dalam tubuh
sehingga dapat menyebabkan kematian dalam waktu 30
sampai 45 menit setelah munculnya gejala klinis.
• dosis mematikan dari glikosida sianogenik asal tanaman
tidak dapat ditentukan dengan tepat karena jumlah
glikosida sianogenik dari setiap tanaman yang terkonsumsi
mungkin berbeda beda.
• Pengaruh musim, cuaca, umur tanaman, bagian tanaman
dan jumlah yang terkonsumsi ternak serta proses yang
digunakan sebelum diberikan ke ternak.
• Pada hewan ternak, HCN sudah sejak lama dikaitkan
dengan gejala gejala yang dapat mempengaruhi susunan
syaraf
GEJALA, DIAGNOSA DAN TERAPI
KERACUNAN HCN
• Pada hewan ternak, HCN sudah sejak lama dikaitkan
dengan gejala gejala yang dapat mempengaruhi
susunan syaraf dan menimbulkan ataksia pada domba,
sapi, dan kuda yang merumput .
• Ruminansia lebih peka terhadap keracunan HCN
dibandingkan dengan monogastrik. Lambung
monogastrik yang memiliki pH asam tidak
memungkinkan linamarase untuk bekerja sehingga
mengakibatkan pelepasan hidrogen sianida menjadi
sangat lambat, sehingga eliminasi terjadi lebih cepat
GEJALA, DIAGNOSA DAN TERAPI
KERACUNAN HCN
• Kejadian perakut menunjukan gejala klinis setelah
10-15 menit hewan mengonsumsi pakan beracun
dan mati 2 -3 menit setelah munculnya gejala
klinis.
• Gejala klinis per akut adalah dispnu, cemas,
gelisah, ambruk, kejang dan mati
• Gejala klinis pada keracunan akut muncul dalam
10 menit sampai satu jam berupa hiperventilasi,
penurunan tekanan darah, hipoksemia, eksitasi,
konvulsi, koma dan mati.
GEJALA, DIAGNOSA DAN TERAPI
KERACUNAN HCN
• Gejala klinis yang muncul pada kasus moderat
adalah kembung, ataksia, dispnu, kejang, dan
selanjutnya ambruk.
• keracunan kronis akibat terpapar sianida dapat
teramati melalui perkembangan fungsi tiroid,
pertumbuhan terhambat dan gangguan syaraf
• Keracunan kronis biasanya terjadi pada ternak
yang mengonsumsi singkong dalam jangka waktu
cukup lama.
GEJALA, DIAGNOSA DAN TERAPI
KERACUNAN HCN
• Uji terhadap sampel pakan yang dikonsumsi
dan isi rumen dalam keadaan segar atau beku
di laboratorium merupakan uji untuk
memperoleh hasil diagnosis secara akurat.
• Kunci keberhasilan pengobatan adalah
diagnosa dan pemberian antidota yang tepat.
Pengobatan akan efektif jika riwayat kejadian
dan gejala klinis dapat diketahui sejak awal
GEJALA, DIAGNOSA DAN TERAPI
KERACUNAN HCN
• infus 5 g natrium nitrat dan 15 g natrium
tiosulfat dalam 200 ml air untuk sapi
• 1 g natrium nitrat dan 3 g natrium tiosulfat
dalam 50 ml air untuk domba
• 3 g natrium nitrat dan 15 g natrium tiosulfat
dalam 200 ml air untuk sapi
• domba dan kambing adalah 1 g natrium nitrat
dan 2,5 g natrium tiosulfat dalam 50 ml air.
GEJALA, DIAGNOSA DAN TERAPI
KERACUNAN HCN
• Antidota tersebut diberikan intravena karena jika
diberikan peroral tidak akan terabsorbsi
• Antidota lain yang dapat digunakan adalah
hidroksokobalamin yang merupakan salah satu
bentuk vitamin B12.
• Hidroksokobalamin kemudian bergabung dengan
sianida dan membentuk sianokobalamin. Namun
demikian, hidroksokobalamin kurang efektif bila
digunakan dalam kasus keracunan HCN yang
berat
UREA
Tujuan penggunaan urea :
• Urea merupakan sumber non
protein nitrogen (NPN) paling
sering digunakan sebagai
pengganti pakan protein
• Mudah diperoleh dengan
harga yang murah
• Bentuk : amoniasi, dicampur
dengan molasses, urea
molasses blok, urea molasses
mineral blok, urea molasses
multinutrient blok
Rumus kimia urea : CON2H4 atau
(NH2)2CO.
Keracunan urea
• Keracunan urea adalah salah satu kondisi yang
umum yang ditemukan pada ruminansia
terutama sapi
• Pemberian campuran pakan yang
mengandung urea dalam jumlah besar tanpa
adaptasi terlebih dahulu
• konsentrasi urea tinggi pada pakan basal
dengan energi dan protein rendah serta
hijauan kualitas rendah yang rendah
Gejala klinis
• Indikator yang penting dalam penentuan
diagnosa keracunan urea adalah riwayat atau
sejarah perawatan hewan ternak dan
pengamatan gejala klinis yang muncul.
• pemeriksaan laboratorium terhadap sampel
darah tidak banyak atau kurang memiliki nilai
diagnostik dalam kasus tersebut.
• uji laboratoris dari sampel darah dan cairan
rumen kemungkinan juga dapat membantu
peneguhan diagnosa.
Gejala klinis
• Hewan tidak nyaman
• tremor
• hipersalivasi
• frekuensi pernapasan
meningkat
• dispnu
• dehidrasi
Gejala klinis
• temperatur tubuh meningkat
• inkoordinasi
• atoni rumen
• Kembung
• edema paru paru
• tetani
Gejala klinis
• Gejala tetani akan muncul sebelum kematian
terjadi
• Gejala klinis pada sapi akan muncul 20 - 60
menit setelah mengonsumsi urea
• domba gejala muncul setelah 30 - 90 menit
Terapi keracunan urea
• larutan asam asetat 5-10% secara oral segera
setelah terdiagnosa.
• Pemberian kemudian diulang 2 sampai 3 jam
dengan jumlah setengah dosis awal
• penanganan kasus keracunan urea untuk sapi
dewasa adalah dengan pemberian asam asetat 4
liter peroral dan dapat diulang setiap 20-30 menit
sampai gejala hilang.
• Terapi paling efektif adalah rumenotomi untuk
mengosongkan isi rumen
Terapi keracunan urea
• pengobatan menggunakan asam asetat dengan
konsentrasi lebih dari 10% tidak dianjurkan
karena akan menimbulkan iritasi pada esofagus.
• terapi cairan juga diberikan untuk mengencerkan
toksin yang berada dalam sirkulasi darah.
• Sedangkan antibiotik, antihistamin, dan
kortikosteroid diberikan untuk mencegah
munculnya akibat sekunder
Pencegahan
• pemberian urea secara bertahap
• Pemberian tidak lebih 3% urea dalam konsentrat
(DM)
• Urea jangan diberikan pada hewan puasa,
malnutrisi, atau hewan dengan gangguan fungsi
hati.
• Mencampur urea dengan molase, tebon/ gula bit
atau silase berkualitas tinggi mengurangi risiko
keracunan.
• Pencampuran urea dalam pakan harus merata.
NITRAT/NITRIT
• Tanaman ternak yang
berpotensi mengandung
nitrat tinggi adalah :
• talas-talasan (Araceae),
• kangkung/umbi-umbian
(Convolvulaceae)
• Solanaceae
• Paspalum Vaginatum
• teki-tekian (Genus
Cyperus)
NITRAT/NITRIT
• Ketika ternak mengkonsumsi hijauan, secara
normal nitrat dikonversi dalam rumen menjadi
nitrit -amonia - asam amino dan terakhir menjadi
protein.
• Saat hijauan memiliki konsentrasi nitrat tinggi,
hewan tidak mampu mengkonversi seluruhnya
sehingga terjadi akumulasi nitrit.
• Nitrit diserap ke dalam sirkulasi melalui dinding
rumen mengubah hemoglobin menjadi
methemoglobin
Gejala klinis dan diagnosis
• Apabila perubahan Hb menjadi MetHb ini
mencapai 20-30% dari nilai Hb normal, maka
akan terjadi hipoksia
• Gejala utama ternak mati keracunan nitrit adalah
sesak napas karena kekurangan oksigen.
• Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
keparahan keracunan adalah jumlah konsumsi,
jenis hijauan, tingkat energi atau kecukupan
makanan
Keracunan nitrit
Gejala klinis dan diagnosis
• Diagnosis pertama keracunan nitrat-nitrit
didasarkan pada gejala yang terlihat pada
hewan penderita :
• sulit bernafas,
• Nafas dan pulsus meningkat
• Kelemahan otot
• sianosis
Diagnosis lab.
Analisis nitrat dalam sisa pakan dan analisa nitrit
dalam darah.
Metode untuk menganalisa nitrat :
• pereaksi diphenylamine (DPA)
• pereaksi Gries (kualitatif)
• Nitrat Kit (Merckquant 10020) dan Nitrit Kit
(Merckquant 10007) (semi kuantitatif).
Analisa nitrit dalam darah (serum) :
• khromatografi cair kinerja tinggi (KCKT)
• MetHb mempergunakan alat spektrofotometer.
Pencegahan dan terapi
• Usaha-usaha menghindari keracunan dapat dilakukan
dengan cara :
• Pembuatan silase, Hay dan konsentrat . Silase mengandung
asam laktat dan asam-asam lemak, suasana asam ini akan
mereduksi Nitrit menjadi Amonia .
• Rumput kering/Hay mengandung sejumlah karbohidrat
(Hidrogen Aseptor) dapat mempercepat perubahan Nitrit
menjadi Amonia (NH3 ).
• Bila sudah terbentuk methaemoglobin untuk mengatasinya
memberikan substansi pereduksi yang cepat memasuki
peredaran darah . Misalnya dengan pemberian larutan 2-
4% Metilen biru IV sehingga Haemoglobin berfungsi
kembali
SAPONIN
• Saponin merupakan senyawa glikosida steroid
atau triterpen ditemukan dalam berbagai
tanaman dan memiliki peran penting dalam
pakan ternak.
• Beberapa tanaman terutama leguminosa banyak
digunakan sebagai pakan ternak.
• Pada tanaman saponin terdapat pada akar, umbi,
kulit kayu, daun, biji, dan buah.
• Saponin memiliki dampak positif dan negatif
pada produksi dan kesehatan hewan ternak
karena memiliki aktivitas biologis yang luas
Sumber saponin
• Saponin triterpenoid • bayam (Spinacia
telah teridentifikasi pada oleracea),
lebih dari 500 spesies • tebu (Beta vulgaris L)
tanaman seperti : kedelai • bunga matahari
(Glycine max), (Helianthus annuus L.)
• alfalfa (Medicago sativa), • ginseng (Panax genus)
• teh (Camellia sinensis) • kacang tanah (Arachis
• soap bark hypogaea L ) ,
(Quillajasaponaria) • kacang ginjal (Phaseolus
• chickpeas (Cicer vulgaris)
arietinum),
Dampak negatif saponin
• hambatan pertumbuhan pada hewan
• rasa pahit pada saponin sehingga menurunkan
palatabilitas dan konsumsi pakan
• Saponin dapat mengiritasi selaput mulut dan
saluran pencernaan sehingga dapat
mempengaruhi absorbsi nutrisi
• Iritasi saluran pencernaan tersebut disebabkan
karena saponin yang berada dalam saluran
pencernaan hanya terabsorbsi dalam jumlah yang
kecil.
Dampak negatif saponin
• B. Decumbens (rumput Bede/Signal) juga
mengakibatkan kejadian wabah sporadis
fotosensitisasi pada ternak ruminansia seperti
domba, kambing, sapi dan kerbau
• Kambing lebih resisten dibandingkan dengan
domba
• saponin dari alfalfa dapat mengakibatkan bloat
pada domba. Bloat tersebut kemungkinan
disebabkan oleh perubahan tegangan permukaan
pada isi rumen
Dampak negatif saponin
• saponin dapat mengakibatkan abortus, kegagalan
pembentukan zygot dan kegagalan implantasi.
• Saponin yang terdapat dalam broom weed
(Gutierrezia sp.), guilla lechu (Agave lecheguilla)
atau produk komersial yang mengandung saponin
dapat mengakibatkan abortus dan/atau kematian
pada kambing dan sapi bila diberikan secara
intravena dengan konsentrasi di atas 2-3 mg/kg
berat badan.
Dampak negatif saponin
• saponin dapat mempengaruhi penyerapan
mineral dan vitamin.
• saponin menurunkan absorbsi zat besi pada
tikus percobaan.
• Penurunan absorbsi tersebut lebih diakibatkan
karena pengaruh gangguan transport Fe
melalui sel mukosa dibandingkan dengan
ikatan yang terbentuk antara Fe dengan
saponin.
B. Decumbens (rumput Bede/Signal)
Alopesia pada muka dan sekitar telinga

Pembesaran liver
Gejala klinis
• Saponin (protodioscin) dalam rumput
Brachiaria spp. dapat mengakibatkan
fotosensitisasi hepatogenik pada ternak.
• Fotosensitisasi hepatogenik pada awalnya
ditandai oleh dehidrasi, anoreksia, depresi,
gerak rumen menurun atau berhenti, feses
kering, mencari tempat teduh, penurunan
berat badandan edema pada telinga atau
bagian tubuh lainnya.
pencegahan
Pencegahan :
• Prosesing bahan pakan untuk
menurunkan kandungan
saponin (pelayuan atau
penjemuran )
• Pemberian HMT pada sapi
(B. humidicola)
yang memiliki kandungan
rendah saponin (B.
humidicola)

TANIN
• Tanin merupakan produk sekunder tanaman
yang bersifat kompleks dan terdiri dari
senyawa fenolik yang larut dalam air dan
memiliki berat molekul antara 500 dan 3000
Da
• Secara tradisionil tanin dibagi menjadi dua
kelompok yaitu tanin terhidrolisa (HT) dan
tanin terkondensasi (CT)
TANIN
Sumber tanin :
1. daun petai cina (Leucaena leucocephala ssp.)
2. kacang gude (Cytisus cajan L)
3. Genista (Cytisus canariensis)
4. kacang India (Lathyrus sativus)
5. daun ketapang (Terminalia catappa L)
6. Sesbania sp
TANIN
6. sorghum (Sorghum
bicolor)
7. millet (Panicum
milisceum)
8. barley (Hordeum
vulgare)
Dampak negatif tanin
• Menurunkan palatabilitas, asupan pakan dan
kecernaan
• menurunkan absorbsi
• menurunkan aktivitas mikroba rumen
Gejala klinis
Lesi utama yang terkait dengan keracunan HT:
• Dehidrasi
• Kelemahan umum
• Edema
• gastroenteritis hemoragika,
• nekrosis hati,
• kerusakan ginjal
• Konstipasi
• Mortalitas dan morbiditas yang tinggi diamati pada
domba dan sapi yang diberi pakan mengandung lebih
dari 20% HT.
Terapi dan pencegahan
Tidak ada antidota yang spesifik
• Gejala konstipasi : 1 galon minyak mineral.
• magnesium citrate, magnesium sulfate,
sodium sulfate dan magnesium hydroxide per
oral sebagai laksansia ringan
• Activated charcoal untuk menyerap racun
dalam saluran pencernaan
• Prosesing bahan pakan
OKSALAT
• Senyawa ini memiliki dua macam bentuk, yaitu :
• oksalat yang larut air (soluble oxalate)
• Oksalat terlarut pada umumnya berikatan dengan
sodium (Na+ ), potasium (K+ ), dan amonium
(NH4 + ).
• oksalat yang tidak larut air (insoluble oxalate).
• Sedangkan oksalat yang tidak larut pada
umumnya berikatan dengan ion kalsium (Ca2+),
magnesium (Mg2+), dan besi (Fe2+).
OKSALAT
Asam oksalat banyak dijumpai di dalam
tanaman, termasuk tanaman hijauan pakan
ternak, terutama bagian daun. Salah satu
hijauan pakan ternak yang mengandung asam
oksalat tinggi adalah rumput setaria sp
Sumber oksalat
• Sejumlah bahan pangan/pakan yang tinggi oksalat adalah :
• belimbing,
• lada hitam,
• bayam,
• pisang,
• kakao,
• dan
Biji-bijian dan kacang-kacangan tinggi oksalat :
• Dolichos bilorus, Vigna aconitifolia, Lathyrus sativus, Prunus
amygdalus, Anacardium occidentale, Sesamum indicum,
lentil, kernel, biji mangga, Emblica oicinalis, Grewia
asiatica, labu, terong, dan tomat.
Sumber oksalat
daun-daunan dan umbi- • Musa sapientum (pisang
umbian yang tinggi oksalat: raja dan sayuran), dan kol.
Amaranthus gangeticus, Beberapa pakan lain yang
Amaranthus spinosa, Murrya mengandung asam oksalat,
konigii, Portulaca oleracea, seperti Opuntia spp.,
Spinacea oleracea, Tamarindus rumput niper, jerami padi,
indica, Moringa oleifera (daun eceng gondok (Eichhornia
kelor), singkong, Beta vulgaris crassipes), Atriplex spp., dan
(akar bit), Nelumbium nelumbo Maireana brevifolia.
(batang teratai)
dampak oksalat terhadap ternak
• Oksalat terlarut memiliki kapasitas yang tinggi dalam
mengikat Ca serum darah sehingga mengakibatkan
intoksikasi akut.
• Oksalat juga mengakibatkan pembentukan kalsium
oksalat di ginjal (batu ginjal).
• Oksalat dapat berikatan dengan kalsium (Ca) atau
magnesium (Mg) dalam pakan untuk kemudian
membentuk Ca atau Mg oksalat yang tidak dapat larut.
Pengikatan ini pada akhirnya dapat menyebabkan
kadar Ca atau Mg serum yang rendah serta gagal ginjal
akibat pengendapan garam-garam ini di ginjal.
dampak oksalat terhadap ternak
• Kemampuan oksalat dalam mengikat anion kalsium dan
fosfor dapat menyebabkan mobilisasi mineral tulang
(hipokalsemia).
• Tulang yang mengalami demineralisasi mengalami fibrotik.
Kasus yang pernah terjadi di antaranya perubahan bentuk
dan ‘bighead’ pada kuda.
• Biasanya hewan ruminansia tidak terlalu terpengaruh,
tetapi asupan pakan berkepanjangan pada sapi dan domba
di beberapa daerah tropis rumput dapat menyebabkan
hipokalsemia berat.
• Tingginya kadar oksalat di padang rumput tanaman
dianggap sebagai faktor utama pembentukan urolith (batu
ginjal) pada hewan yang merumput.
dampak oksalat terhadap ternak
• Pada konsentrasi yang tinggi, asam oksalat juga diduga
dapat menyebabkan arthritis.
• logam berat yang masuk dalam jaringan akibat terikat
kuat bersama asam oksalat dan masuk dalam sistem
metabolisme, seperti logam kadmium (Cd).
• Ternak nonruminansia cenderung lebih peka terhadap
kandungan oksalat daripada ternak ruminansia.
• Ternak ruminansia pada tahap akhir pencernaan
memiliki bakteri rumen yang dapat membantu
menurunkan kadar oksalat
Gejala klinis
Keracunan Akut:
Gejala klinis terjadi dalam waktu 4 - 48 jam setelah
makan. Pada domba tanda-tanda klinis mungkin
tidak bisa dibedakan dari hipokalsemia.
Gejala klinis :
• Anoreksia
• hipersalivasi
• Kelemahan dan tremor otot, terutama otot-otot
wajah
• Atonia rumen, sedikit kembung
Gejala klinis
• Pollakiuria
• Leleran darah pada hidung
• Dispnea
• Mengejutkan
• Ambruk
• Mati
Gejala klinis
Kronis
• Chronic signs may develop in 1 — 12 months
of exposure and include:
• Depressed appetite
• Scouring
• weight loss
• anaemia
• PU/PD
Mimosin
• Mimosin merupakan asam amino bukan protein
yakni β-(3-hidroksi-4- piridon-1-yl)-L-alanin, dan
secara struktur kimia serupa dengan asam amino
tirosin
• senyawa ini pertama kali diisolasi dari tanaman
Mimosa pudica sehingga dinamakan mimosin.
• Lamtoro (Leucaena leucocephala) merupakan
hijauan khas yang tinggi akan kandungan
mimosin.
Mimosin
• Daun lamtoro mengandung 2–10% mimosin (basis
bahan kering), sedangkan biji lamtoro mengandung 2–
5% mimosin.
• Kandungan mimosin berbeda antara daun yang muda
dan daun tua; umumnya daun muda mengandung
mimosin dengan konsentrasi yang lebih tinggi.
• Daun tua mengandung 1–2% mimosin, sedangkan
daun muda mengandung 3–5% mimosin.
• Bahkan pada daun yang sangat muda, kandungan
mimosin dapat mencapai 12%.
• Faktor pembatas penggunaan hijauan karena bersifat
toksik pada berbagai spesies ternak, baik hewan
monogastrik maupun ruminansia
Mimosin
• Mimosin dapat dikonversi menjadi 3-hidroksi-
4-(1H)-piridon (3,4-DHP) dan 2,3-
dihidroksipiridin (2,3-DHP) oleh mikroba
rumen
• Senyawa 3,4-DHP dapat diekskresikan melalui
urin dalam bentuk bebas maupun bentuk
terkonjugasi khususnya sebagai glukoronida.
Gejala klinis
• Konsumsi mimosin pada konsentrasi yang tinggi :
• kerontokan rambut,
• goiter,
• gangguan reproduksi,
• kerusakan sel epitel,
• menurunkan konsumsi pakan,
• kematian baik pada ternak ruminansia maupun
monogastrik.
• Efek toksik mimosin pada ternak sangat bergantung pada
konsentrasi mimosin pada bahan pakan serta lamanya
ternak mengonsumsi pakan tinggi mimosin tersebut.
Mekanisme
• Mimosin dapat mengikat sejumlah mineral (seperti Zn,
Mg, dan Cu) dan piridoksal fosfat yang diperlukan
untuk aktivitas berbagai enzim, baik sebagai komponen
kofaktor ataupun koenzim.
• Pengikatan ini menghambat aktivitas enzim tirosin
dekarboksilase, tirosinase, dan ribonukleotida
reduktase yang kemudian menghambat konversi
metionin menjadi sistin.
• Sistin komponen asam amino penting pada
rambut/wool. Ketika konversi sistin dari metionin
terhambat, maka sintesis rambut/wool mengalami
hambatan.
adaptasi
• Ternak dapat beradaptasi terhadap lamtoro yang
mengandung mimosin karena ada mikroba
Synergistes jonesii dalam rumen yang mampu
memetabolisasi mimosin dan DHP menjadi
sejumlah senyawa yang tidak toksik.
• Transfer cairan rumen dari ternak ruminansia di
Indonesia dan Hawaii yang mengandung
Synergistes jonesii pada ternak ruminansia di
Australia (melalui proses inokulasi) dapat
menghilangkan permasalahan keracunan
mimosin pada lamtoro.
ASAM FITAT
• Asam fitat (1,2,3,4,5,6-heksakis dihidrogenfosfat
mioinositol) merupakan bentuk penyimpanan utama
fosfor pada biji-bijian dan berperan sebagai komponen
antinutrisi pada ternak.
• Asam fitat memiliki muatan negatif pada rentang pH
yang luas serta memiliki afinitas yang kuat terhadap ion
mineral seperti kalsium, zinc, dan besi.
• gangguan penyerapan pada mineral-mineral tersebut
di usus halus sehingga berpengaruh negatif terhadap
berbagai proses metabolisme tubuh ternak.
ASAM FITAT
Sumber :
• Tanaman legum seperti gamal (Gliricidia), turi
(Sesbania grandiflora), petai cina (Leucaena
leucocephala), kaliandra (Calliandra calothyrsus),
puero (Pueraria phaseoloides) , orok – orok
(Crotalaria juncea ), lamtoro mini (Desmanthus
virgatus), stilo (Stylosanthes graciliaris), siratro
(Macroptilium atropurpureum), kembang telang
(Clitoria ternatea L.) dan Indigofera Sp.
• Sedangkan jenis sereal adalah padi (Oryza sativa L.)
jagung (Zea mays L.) sorghum (Sorghum bicolor L.)
kedelai (Glycine max L.) dan juwawut (Setaria italica
(Linn.) P. Beauv.)
Dampak asam fitat
• Ruminansia memiliki mikroba dalam rumen yang
dapat menghasilkan fitase.
• Enzim tersebut mampu memecah ikatan P
dengan fitat sehingga P dapat terabsorbsi.
• Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
fitat hanya sedikit atau bahkan sama sekali tidak
ada di feses ruminansia yang mengkonsumsi
konsentrat
• Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan
bahwa mikroorganisme rumen mampu
menghidrolisis seluruh fitat dalam rumen.
Dampak asam fitat
• tidak ada efek negatif dari fitat terhadap
penyerapan mineral di ruminansia.
• sapi perah yang berproduksi tinggi, pakan
akan cepat melintasi rumen sehingga
kemungkinan degradasi fitat melalui
fermentasi akan menjadi terbatas. Hal
tersebut disebabkan karena singkatnya waktu
fitat terpapar oleh fitase mikroba
Dampak asam fitat
• Pada ruminansia, pemberian bijian sereal,
legum, dedak padi, bungkil kedelai tampaknya
sampai saat ini tidak menimbulkan masalah
karena mikroba dalam rumen yang dapat
menghasilkan fitase.
GOSIPOL
• Gosipol adalah senyawa fenolik yang pertama kali
diisolasi tahun 1899.
• Nama ini berasal dari nama ilmiah genus
tumbuhan (Gossypium) dikombinasikan dengan
akhiran “ol” dari fenol.
• Gosipol diproduksi oleh kelenjar pigmen di
batang kapas, daun, biji, dan kuncup bunga.
• Kelenjar ini berupa bintik-bintik hitam kecil
tersebar di seluruh tanaman kapas. Kelenjar
pigmen ini paling banyak terdapat dalam biji.

Anda mungkin juga menyukai