Soedarmanto Indarjulianto
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas
Gadjah Mada Jl. Fauna 2, Yogyakarta,
55281, Indonesia
E-mail: indarjulianto@yahoo.com
indarjulianto@ugm.ac.id
Mastitis
• Apakah Mastitis?
1. Definisi
2. Penyebab
3. Faktor Predisposisi
4. Patogenesis
5. Gejala Klinis
6. Pemeriksaan
7. Diagnosis
8. Terapi dan Pencegahan
• Untung/rugi??
Mastitis
Ambing Sapi
Ambing Kambing
Histologi
Mastitis
• Apakah Mastitis?
1. Definisi
2.
3. Faktor Predisposisi
4. Patogenesis
5. Gejala Klinis
6. Pemeriksaan
7. Diagnosis
8. Terapi dan Pencegahan
• Untung/rugi??
Mastitis
• Apakah Mastitis?
1. Definisi
2. Penyebab
3.
4. Patogenesis
5. Gejala Klinis
6. Pemeriksaan
7. Diagnosis
8. Terapi dan Pencegahan
• Untung/rugi??
FAKTOR PREDISPOSISI
• BENTUK AMBING
• LAKTASI
• STADIUM LAKTASI
• UMUR
• PRODUKSI TINGGI
• KEBERSIHAN KANDANG
• MANAJEMEN PEMERAHAN
• MANAJEMEN DRY PERIOD (MASA KERING)
Bentuk Ambing
• Ambing yang
bergantung sangat
rendah akan mudah
kontak dengan laintai
kandang sehingga
beresiko terserang
mastitis
UMUR
a. Kondisi hewan/ternak
b.Kondisi lingkungan yang buruk
c. Agen penyebab penyakit(mikroba)
d.Pemerahan (Alat/mesin pemerah susu)
LUKA ATAU LECET PADA AMBING
ATAU PUTING SUSU
Hasil
Pemeriksaan
Diferensial
Diagnosis
• Anamnesa
– Produksi
– Susu pecah
• Hasil pemeriksaan Fisik/klinis
– Sapi, ambing, susu
• Hasil Pemeriksaan Laboratorik
– Sel Somatic
– Agen
Mastitis
• Apakah Mastitis?
1. Definisi
2. Penyebab
3. Faktor Predisposisi
4. Patogenesis
5. Gejala Klinis
6. Pemeriksaan
7. Diagnosis
8.
• Untung/rugi??
PRINSIP TERAPI
• MENGHILANGKAN KAUSATIF
– Pemilihan Antibioka
• EFEKTIFITAS
• RUTE TERAPI
• MENGHINDARI PENULARAN
Terapi Intramamae
Terapi Intramuskuler
PENCEGAHAN
• MANAJEMEN PEMELIHARAAN
• MANAJEMEN PEMERAHAN
• MANAJEMEN SAPI KERING
• KONTROL KESEHATAN SAPI DAN AMBING
Penularan dari ambing mastitis ke ambing
sehat dapat terjadi melalui
a. Kain lap ambing:
1. Sehelai kain lap ambing digunakan untuk
seluruh ternak laktasi
2. kain lap ambing digunakan tidak tepat
b. Tangan pemerah kotor
c. Urutan pemerahan yang salah
d. Peralatan pemerahan kotor
THANK YOU
PENYAKIT/GANGGUAN SISTIM
URINARI
Soedarmanto Indarjulianto
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas
Gadjah Mada Jl. Fauna 2, Yogyakarta,
55281, Indonesia
E-mail: indarjulianto@yahoo.com
indarjulianto@ugm.ac.id
BALANOPOSTITIS
Radang pada gland penis
Demam
Pembesaran Gland penis
Pus
PENYAKIT SISTIM URINARI
• INFEKSIUS
– BAKTERI, VIRUS, FUNGI
• NONINFEKSIUS
LEPTOSPIROSIS
Leptospirosis
merupakan penyakit
zoonosis yang
disebabkan oleh
bakteri dari genus
Leptospira
Tergantung pada
lokasi, serogrup
LEPTOSPIROSIS
Leptospira
• Beberapa contoh serovar
– hardjo
– pomona
– canicola
– icterohaemorrhagiae
– grippotyphosa.
SAPI
• Sapi adalah hospes (utama) L. hardjo
• Dapat menginfeksi semua umur, termasuk
anak sapi
• Sering kali menghasilkan status karier di
ginjal yang berhubungan dengan
pelepasan urin jangka panjang
• dapat di saluranreproduksi. Infertilitas
karena infeksi persisten
Center for Food Security andublic Health, Iowa State University, 2011
SISTEM REPRODUKSI
• Leptospirosis dengan nonhost-
adapted Lepto serovars d juga
menyerang sapi bunting yang
menyebabkan
– kematian embrio, abortus, lahir mati,
retensi plasenta, dan kelahiran anak
sapi yang lemah
• Abortus biasanya terjadi tiga sampai
sepuluh minggu setelah infeksi
Gejala Klinis
• Tanda-tanda klinis Lepto bergantung
– tingkat resistensi
– serovar yang menginfeksi
– umur hewan
• Anak sapi: Demam tinggi, anemia,
urine merah, ikterus, dan terkadang
kematian dalam tiga sampai lima
hari.
GEJALA KLINIS SAPI DEWASA
• Gejala awal seperti demam dan
kelesuan seringkali lebih ringan dan
biasanya tidak diketahui
• Dapat mati karena leptospirosis
• Sapi laktasi: Produksi turun dan susu
yang mereka hasilkan menjadi kental
dan kuning (selama seminggu atau
lebih)
TERAPI
• Antibiotika: penicillin , oxytetracycline,
Doxycycline
• Hewan yang terinfeksi harus dipisahkan dari
hewan lain untuk menghindari penularan
penyakit.
• Ketika infeksi melanda kelompok, terutama
ketika banyak sapi bunting yang terlibat,
pengobatan dan vaksinasi simultan untuk semua
hewan akan mengurangi kasus baru dan aborsi
jika pengobatan diberikan pada awal infeksi
kawanan
PENCEGAHAN
• Vaksinasi
• Program imunisasi utama terdiri dari
2x dengan jarak empat minggu,
diikuti setiap tahun
• Anak sapi yang lahir dari sapi yang
divaksinasi hanya kebal selama
sekitar enam bulan, dan akan
membutuhkan program vaksinasi
sendiri
PENYAKIT KULIT
• Ringworm atau dermatofitosis adalah infeksi oleh
cendawan pada bagian kutan/ superfisial atau bagian dari
jaringan lain yang mengandung keratin (bulu, kuku, rambut
dan tanduk).
• Zoonosis
• Menular antar sesama hewan, dan antara manusia dengan
hewan (antropozoonosis) dan hewan kemanusia (zoonosis)
• Hewan yang terserang umumnya hewan piaraan yaitu
anjing, babi, domba, kucing, kuda, kambing, sapi dan
lainnya, namun yang paling utama ialah anjing, kucing, sapi.
• Ringworm merupakan penyakit penting untuk hewan
khususnya ternak piara dikarenakan;
(1) Potensi menular dan memperlihatkan gejala klinis yang
merugikan pada sekelompok hewan
(2) Mempunyai pengaruh dan pengobatan yang lama
(3) Spora dermatofitnya dapat bertahan hidup pada
lingkungan selama bertahun-tahun sehingga bila ada
ternak yang lewat di daerah tersebut akan terinfeksi
(4) Sumber infeksi zoonosis dari hewan kemanusia
(5) Menyebabkan kegatalan sehingga hewan tak nyaman
(6) Menjadi reservoir infeksi meski secara gejala klinis
sembuh.
• Penyebab ringworm ialah cendawan dermatofit yaitu
sekelompok cendawan dari genus Epidermophyton,
Microsporum dan Trichophyton
• Tergolong fungi imperfekti (Deuteromycetes), karena
pembiakannya dilakukan secara aseksual, namun ada
juga yang secara seksual tergolong Ascomycetes.
• Jenis dermatofit jumlahnya adalah 38 jenis, namun
kemudian dapat dibedakan lagi menjadi 84 strain
Dermatophytes
Trichophyton sp
Epidermophyton
Microsporum sp
Grup dermatopites
8
Patogenesis Dermatofit Lapisan Keratin:
•Kulit
•Rambut
Stratum korneum •kuku
9
10
GK
Sapi
• Bagian permukaan kulit dan bulu yang terinfeksi akan
ditemukan adanya lesi berbentuk bulatan-bulatan
seperti cincin dalam berbagai ukuran dan berwarna
keputih-putihan, yang dalam keadaan intensif dapat
disertai dengan adanya kerak-kerak peradangan dan
kerontokan bulu
• Lesi ini dapat ditemukan pula di daerah kepala, leher,
dada dan bahu
• Pada sapi tak dijumpai tanda-tanda kegatalan, saat
parah tubuhnya sangat kurus dan tidak ada nafsu makan
Gejala Klinis
Lesi kulit seperti nodul, kerak, dan alopesia spesifik pada daerah
kepala, leher, dada, perut, kaki depan, kaki belakang & daerah
panggul
Pemeriksaan dengan
menggunakan Wood lamp
17
Diagnosa
UV Ligth 366 nm (M. canis, M. distortum, M. audouini, M.
ferugineum)
Pengambilan sampel dengan scraping pada lesi
Pengujian menggunakan 20% KOH
Inokulasi Sabouraud dextrose agar + Chloramphenicol
(0.5mg/dl) (S+C),
Sabouraud dextrose agar + Chloramphenicol (0.5mg/dl) +
Cyclohexamide (0.5mg/dl) (S+C+A)
Casein basal medium + thiamin
Dermasel agar (Oxoid, UK), (cycloheximide, chloramphenicol,
gentamicin)
Pengobatan
Fluconazole,
Ketoconazole
Miconazole
ergosterol biosynthesis inhibitors
(Emenuga and Oyeka, 2013)
MYIASIS
Myiasis merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh
larva lalat (belatung) yang menyerang semua jenis hewan
vertebrata berdarah panas dan manusia
Hewan yang pernah dilaporkan menderita myiasis di Indonesia
antara lain sapi, kambing, domba, kerbau, kuda, anjing, babi dan
ayam
AGEN INFEKSI
Larva lalat penyebab penyakit ini memakan jaringan hidup dan
mati atau nekrosis
Agen primer penyebab myiasis terbagi menjadi tiga,
lalat Cochliomya hominivorax yang tersebar di benua Amerika
lalat Wohlfahrtia magnifica yang tersebar di Eropa hingga Tiongkok
lalat Chrysomya bezziana yang tersebar di kawasan Afrika bagian
tropis dan sub tropis, subkontinen India, Asia Tenggara termasuk
Indonesia dan Papua Nugini
Myiasis pada hewan di Indonesia telah dilaporkan terjadi di
berbagai provinsi baik di pulau Jawa maupun di luar pulau Jawa
DAMPAK PENYAKIT
Myiasis dilaporkan menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat
besar, terutama di daerah-daerah sentral ternak
Penyakit menular yang mempunyai dampak sosial ekonomi atau
mempunyai nilai kepentingan kesehatan di dalam suatu negara,
serta berdampak nyata dalam perdagangan internasional terkait
dengan produk-produk asal hewan
Menyebabkan penurunan bobot badan dan produksi susu,
penurunan kualitas kulit dan wol, abortus dan gangguan sistem
pertahanan tubuh hospes
Prevalensi myiasis di Indonesia baik pada ternak yang dipelihara
secara ekstensif maupun intensif tercatat cukup tinggi
Myiasis di Indonesia paling banyak menyerang 2 hewan yaitu
sapi (65,5 %) dan kambing (22,34 %)
Berdasarkan hasil identifikasi, seluruh penyebab myiasis
traumatika pada kambing, domba dan sapi di Indonesia adalah
lalat Old World Screwworm (OWS), Chrysomya bezziana
(Diptera: Calliphoridae)
lalat betina cenderung memilih luka yang masih segar
Lalat C. bezziana dapat bertelur hingga 245 telur yang diletakkan pada
tepi luka terbuka maupun tubuh hewan yang lembab
Dalam waktu 12 – 24 jam telur menetas dan larva yang dihasilkan akan
memakan dan menghancurkan jaringan hidup
Setelah 12-18 jam larva berkembang menjadi larva tahap kedua yang
akan menerobos ke dalam jaringan lebih dalam, menggali, dan
mengoyak jaringan otot. Larva yang memakan jaringan hidup pada
luka tersebut menyebabkan ukuran luka menjadi semakin besar dan
dalam
Larva pertama (L1) sampai dengan larva 3 (L3) /larva dewasa
membutuhkan waktu 6 – 7 hari
Setelah menjadi L3, larva akan jatuh ke tanah dan menggali
tanah untuk menjadi pupa. Pupa akan menjadi imago setelah 7
hari (E)
Lalat ini disebut parasit obligat karena memerlukan jaringan
hidup untuk pertumbuhannya
Lalat Chrysomya sp. dapat menyebabkan myiasis dalam area
yang luas dengan cepat, karena mampu terbang sejauh 100 km.
GEJALA KLINIS
Penurunan nafsu makan
Ada luka belatung
Gelisah
Demam
Anemia
• Anamnesa
– waktu kejadian
• Hasil pemeriksaan Fisik/klinis
– Pasien
– luka
– belatung
• Hasil Pemeriksaan Laboratorik
– lalat/belatung
– darah
TERAPI
Pembersihan larva lalat pada bagian yang terinfeksi larva
Penyemprotan dichlofention 1% pada luka (Gusanex®) kemudian
larva yang keluar diambil menggunakan pinset
Bagian luka diirigasi menggunakan larutan Penstrep (setiap ml
mengandung Procaine Penicillin 200 mg, Dihydrostreptomycin
Sulphate 250 mg, 1,5 mg Hydroxybenzoate Esters, 1,25 mg
sodium formaldehyde sulphoxylate)
Pemberian 1 mg/kg berat badan dypenhidramin HCl IM
Oxytetracycline (Limoxin-200 LA®)
Laminitis
Inflammation of laminae.
Inflamation, degeneration, necrosis of dermal
and epidermal laminae in the hoof wall of
horses and ruminants.
Corticosteroids
Excessive weight bearing
Fed excess in concentrates
Concrete surface
Laminitis
Pathophysiology:
Integrity of laminar suspending
mechanism depending on maintenance
of protein (cystoskeletal and
intercellular junctions)
Decreased protein synthesis and
laminar perfusion initiate laminar
degeneration
Laminitis
Manifestation:
Lameness, depression, anorexia and
reluctance to move, paddle or shift
weight from one foot to the other.
Increased pulsation in digital arteries.
Increased hoof sensitivity
Unwilling to pickup of forefoot or
hindfoot
Laminitis
Manifestation:
Fore limb (horse), shift weight to
hindquarter
Hind limb (ruminant), recumbent
Exudation
Separation of skin from the hoof wall
(dislocation of distal phalanx)
Laminitis
Manifestation:
Chronic laminitis: lameness, abnormal
conformation of the foot
Sole is flat or dropped.
Uneven growth of hoof wall
Sole softens
Hemorrhages
abcess
Laminitis
Clinical Pathology:
Representative alterations associated with
underlying diseases processes:
Neutrofilia and eosinopenia,
Elevated WBC
Elevated glucose, protein, PCV,
respiration rate, rectal temperature
Laminitis
Radiology (lateromedial and 65o
dorsoproximal palmarodistal projections)
Epidemiology:
Mare and stallions > gelding
Ingestion large quant. of fresh grass
Overwight bearing or trauma in the
digit
Persistent feeding of high conc. ration
Stabling on the concrete surface
Laminitis
Epidemiology:
Long van trips
Horse with previous laminitis
Laminitis
Necropsy:
Degeneration of secondary epidermal
laminae (causes separation between primary
epidermal laminae of the hoof wall and the
collagen fibers of the corium)
Abcessation
Distal phalanx may sink or ratated ventrally
or may penetrate the sole
Fracture of the solar margin, osteomyelitis,
or resorption of the distal phalanx
Laminitis
Treatment:
Elimination the causes
Reducing tension on the laminae
Administering NSAIA
Laminitis
NSAIA:
Phenylbutazone (4,4 mg/kg orally,bid)
Fluxinin meglumine (1,1 mg/kg, i.v.)
Bimethylsulfoxide (0,2 – 1 mg/kb,
orally)
Laminitis
Reduction of tension:
Shoe,
sand stalls
Bedding heavily with straw (30 – 60
cm)
Laminitis
Other treatments:
AB
Metionine (20-60 mg/kg, PO, sid)
Biotin (0,03 – 0,2 mg/kg, PO, sid)
Laminitis
Prevention:
Controlling the risk factors
Avoiding of unrestricted grazing
or grain feeding or concentrate
Avoiding of factors causing GI upsets
Avoiding of engorgement on cold
water (overheated horse)
Treatment of placenta retention
Laminitis
Prevention:
Frequent walking
Non Exertional Rhabdomyolisis
Keradangan:
Clostridial myonecrosis
Infeksi Streptococcus
Infeksi virus (BEF,BVD, MCF,bluetongue, FMD,
Equine Influenza)
Sarcocystosis
Nutristional Myodegeneration
Non Exertional Rhabdomyolisis
Nutristional Myodegeneration
Defisiensi vitamin E atau Se
Toxic causes
Gossypol
Ionophores
Insecticida
Medicament lain (chloramphenicol, diazepam,
levamisole, lidocaine, chloramphenicol,
oxytetracycline, ivermectine dll)
Non Exertional Rhabdomyolisis
Traumatic
Downer syndrome
Posanasthetic myoneuropahty
Exertional Rhabdomyolisis
Sporadic
Overexertion
Electrolyte imbalances (Na, K, Cl, Ca, Mg)
Defisiensi
Kehilangan berlebihan melalui keringat
Defisiensi Se atau Vit E
Soluble Carbohydrates
Hormonal imbalances
Lactic Acidosis
Exertional Rhabdomyolisis
Chronic
Polysacharide storage myopathy
Recurent exertional rhabdomyolisis
Hereditary/Congenital
Myopathies
Exercise intolerance associated with
mitochondrial myopathy
Glycogen brancing enzyme deficiency
Phosphorylase deficiency
Myofiber hyperplasia
Muscle necrosis
• Disebut Rhabdomyolisis
• Peningkatan CK, LDH, AST
Septic Arthritis
Manifestation:
Lameness
Classic signs of inflammation
Synovial effusion
Physical exam.
Radiography/Ultraqsonography
Laboratory analyses
Septic Arthritis
Clinical Patahology:
Hematology
Synovial fluid exam.
Radiography
Septic Arthritis
Pathophysiology:
Progression of SA: bacterial invasion,
PMNs, synovitis, and cartilage
destruction.
Host inflammmatory response is the
cause of joint damage.
Fibrine, permanent joint damage,
maintains inflammation.
Septic Arthritis
Pathology:
Intracapsular fibrinous – purulent
exudate
Erosion of articular surface
Septic Arthritis
Treatment:
Antimicrobial agents
Drainage of exudate
Elimination of fibrin clots
Septic Arthritis
Cause:
Deficiency of phosphorus or vit D
Deficiency of Ca
Excess diatary phosphorus
Deficiency of Mg, Zn, Vit A
Elevated diatary Fe
Rickets in Ruminants
Manifestation:
Stiffness, reluctance to move,
lameness, joint enlargement, arching
of the back, enlargement of
costochondral junctions
Longbone (limb): curved forward
outward
Rickets in Ruminants
Manifestation:
Tooth: delayed and irregular
eruption, mottled and poorly calcified
Diff. diagnosis:
Fluorosis, arthritis, copper deficiency,
Mn deficiency, hyperparathyroidism
Rickets in Ruminants
Clinical Pathology:
Elevated AP
Serum Ca and P are often normal
Bone ash (Ash:OM, normal=3:2;
rickets= 1:2 s/d 1:3)
Dietary analyses
Rickets in Ruminants
Pathophysiology:
Failure of cartilage to mineralize
Failure of growing cartilage to degenerate
Bone deformity
Rickets in Ruminants
Diagnosis:
Dietary history and clinical signs
(radiographic finding)
Histologic examination
Treatment :
Adequate Ca and P intake
Vit D
Mechanism: hematogenous,
trauma/surgery, secondary to a
contagious focus of infection
Osteomyelitis
Manifestation:
Local inflammation, soft tissue swelling,
Lameness, fever, anorexia, depression,
general malaise
Hematogenous or secondary to
respiratory/gastrointestinal/umbilical
infection
Osteomyelitis
Clinical Patahology:
Hematology
Synovial fluid exam.
Radiography
Osteomyelitis
Manifestation:
Chronic:
no fever and depression
firm swelling, reluctance to bear
weight on limb, mild to moderate
lameness, and presence of
draining fistulous tract (purulent)
Osteomyelitis
Manifestation:
Radiographic:
Soft tissue swelling (only during the initial
signs of infection)
Osteolysis
Destruction of cortical bone
Osteomyelitis
Manifestation:
Clinical Pathology:
Elevated WBC (left shift)
Elevated plasma fibrinogen (acute)
Synovial fluid:
elevated leukocyte and protein
bacteria (gram stain)
Blood culture (in neonate)
Osteomyelitis
Pathophysiology:
Mechanical trauma results in
sequestration of cortical bone, soft
tissue, regional vasculature injury and
venous stasis.
Increased capillary permeability
permits infiltration of inflammatory
cells (engulf bacteria)
Osteomyelitis
Pathophysiology:
Proteolytic lysosomal enzymes (lysed
neutrophils) induces bone and local
tissue necrosis
Accumulation and exudation of serum,
neutrophils, bacteria, and non visible
tissue accumulates.
Osteomyelitis
Pathophysiology:
Inadequate host defense mechanism:
bacterial colonization in periosteal,
cortical and medullary regions
Antibody and antibiotic can not
penetrate the infected area: the
sequestrum/necrotic bone are
enveloped by granulation tissue and
new bone forming envolucrum
Osteomyelitis
Pathophysiology:
Draining sinus tract
Pathophysiology:
Only macrophage is available for
defense against bacteria.
The critical factor:
The inability of macrophage to
eliminate bacteria effectively
Osteomyelitis
Diagnosis:
History, physical exam. findings,
microb. culture results, and
radiographic findings
Osteomyelitis
Treatment:
Combination of Antimicrobial agents
and Surgical intervension
Drainage of exudate
Osteomyelitis
Prevention:
Early and aggressive surgery in
neonate has high risk for
septicemia
AB administration 1-2 hour
before and 72 hours after
surgery
Defisiensi Vitamin A
Irkham Widiyono
2020
• Vitamin A (retinol) terdapat di tanaman hijau
• Retinol dapat disintesis oleh mukosa usus
halus dari prekursor carotinoid tanaman (β
carotene atau retinoid).
• Carotenoid dlm hijauan dikonversi menjadi
retinoid di dalam liver dan usus
• Defisiensi terjadi utamanya pada ruminansia
yang sedang tumbuh
• Vitamin ini labil dalam pakan, sehingga sering
menurun akibat penyimpanan pakan
beberapa tahun
• Pakan rendah vitamin A: biji-bijian, beet pulp,
kulit biji kapas
Epidemiologi
• Kebutuhan vit A = 40-80 IU/kg/hari
• Pakan rendah caroten: sorghum, brewer’s grain,
jerami gandum
• Hewan memiliki akumulasi cadangan vit A di liver
(utk kekurangan singkat). Pada sapi yang diberi
pakan tanpa vit A, gejala klinik muncul setelah
180 hari. Gejala papilledema dan kebutaan cepat
muncul setelah cadangan hepar habis. Anak yang
dilahirkan menunjukkan defisiensi
Epidemiologi
• Defisiensi primer: hewan yang diberi pakan
kering dlm waktu lama, hewan dipelihara
dalam kamar dan tidak disuplementasi.
• Destruksi carotene oleh faktor fisik dan
lingkungan: panas, sinar matahari,
suplementasi trace mineral, dan kelembaban.
Pelleting dan kontak dengan rancid fat juga
menurunkan stabilitas vit A.
Epidemiologi
• Defisiensi Vit A sekunder:
– gangguan absorpsi, gangguan konversi caroten
menjadi retinol di usus, dan peningkatan kebutuhan
sementara kandungan dalam pakan rendah.
– Destruksi vit A oleh mikroflora terjadi di rumen dan
abomasum.
– Demam, laktasi, suhu lingkungan meningkat, dan
energi tidak memadai meningkatkan kebutuhan vit A
– Hewan betina lebih resisten dibanding jantan, karena
pada hewan betina terjadi interconversion estrogen
menjadi vit A
Epidemiologi
• Defisiensi Vit A sekunder:
– Konsumsi minyak mineral waktu lama hambat
absorpsi vit A
– Ingesti chlorinated naphthalen hambat konversi
caroten jadi vit A
– Nitrate dalam pakan yang tinggi dapat
menginaktivasi vit A intraruminal dengan oksidasi ,
tetapi bila konsumsi nitrat hanya subtoksik secara
klinis tidak penting.
Patofisiologi
• Vitamin A berperan menjamin regenerasi rhodopsin di
retina dan mempertahankan integritas jaringan
• Vitamin A berpengaruh thd osteoclast, osteoblast, jaringan
epitel, plexus chorioid, dan jaringan reproduksi.
• Vili arachnoid dan retina sensitiv thd vitamin.
• Def Vit A menyebabkan penebalan duramater, yang
berakibat absorpsi CSF menurun dari granulasi arachnoid
dan nerve rootlets. Terjadi penyempitan foramina
tengkorak, shg akibat kedua hal tsb terjadi peningkatan
tekanan CSF dan ditransmisikan ke syaraf optik (terjadi
papilledema). Penutupan foramen optik akibatkan
transection syaraf optik.
Patofisiologi
• Tiga hal sebabkan kebutaan pd def vit A:
– Nyctalopia: disebabkan oleh penurunan
pembentukan vitamin A aldehide dalam
regenerasi pigmen visual rhodopsin (reversible)
– Perubahan degenerativ pada lapisan retina luar
(reversible bila ditangani pada fase awal)
– Stenosis foramen optik dan kompresi syaraf optik
(irreversible)
• Def Vit A juga menganggu fungsi immune
humoral (patogenesis tidak jelas)
Gejala Klinis
• Gejala neurologis dipengaruhi oleh faktor umur:
– Pada hewan muda: anoreksia, kebutaan, diare dan
pneumonia
– Pada hewan dewasa: stargazing attitude, buta, diare,
anasarca, nistagmus, strabismus, exophthalmos,
kehilangan reflex pupil, dan konvulsi klonik-tonik.
Kejang hanya beberapa menit diikuti pemulihan
parsial. Hewan dapat mati saat konvulsi, stimulasi
mengakibatkan konvulsi tonik-klonik. Sebelum
kematian sering didahului hiperestesia dan koma
Gejala Klinis
• Gejala neurologis dipengaruhi oleh faktor umur:
– Pada hewan muda: anoreksia, kebutaan, diare dan
pneumonia
– Pada hewan dewasa: stargazing attitude, buta, diare,
anasarca, nistagmus, strabismus, exophthalmos,
kehilangan reflex pupil, dan konvulsi klonik-tonik.
Kejang hanya beberapa menit diikuti pemulihan
parsial. Hewan dapat mati saat konvulsi, stimulasi
mengakibatkan konvulsi tonik-klonik. Sebelum
kematian sering didahului hiperestesia dan koma
• Gejala:
– Pada hewan dewasa: BCS bagus jika tidak terjadi
parasitisme atau defisiensi nutrisional lain
– Perubahan optalmologik (karakteristik): pupil melebar
dan tidak responsiv, batas optic disk tidak jelas dan
terlihat seperti jantung terbalik, disk yang
membengkak menimbulkan bayangan pada retina,
pembuluh darah tampak tortuous (banyak pilinan),
warna disk menjadi faded (hilang warna). Pada kasus
yang melanjut disk mengalami atrofi, kusam, keabu-
abuan, pipih, dan lebih kecil dari normal.Kornea
biasanya tidak menunjukkan perubahan klinis
• Gejala:
– Reproduksi: fetus malformed, aborsi, kehilangan
libido, degenerasi testis, jumlah sprema menurun,
pedet yang lahir buta, lemah, mengalami penebalan
sendi carpal, domed forehead
– Respon reflek pupil terhadap sinar: Defiensi vit A tidak
responsif, sedang pada polioencepalomalacia dan
keracunan garam responsif (pada polioencepomalacia
dan keracunan Pb masih memiliki fungsi
mesencephalon dan sayaraf optik normal, sedang
pada defisiensi vit A terjadi degenerasi retina dan
konstriksi syaraf cranial II pada bagian foramen optik)
Patologi klinik
• Kadar vitamin A dan β-caroten serum masing-
masing kurang dari 7 dan 70 µg/dL (normal
vitamin A 25-85 µg/dL dan β-caroten 150-397
µg/dL)
• Hepar: Kadar vitamin A 60-200 µg/dL dan β-
caroten 4-800 µg/dL
• Hematologi: tidak konsisten
• CSF: mononuclear cells pleocytosis (40-50
cells/dL) dan kadar protein meningkat (140
mg/dL)
Postmortem
• Papilledema
• Hemoragi disekitar optic disk
• Kongesti vena disekitar optic disk
• Degenerasi sel gangglion retinal
• Penipisan retinal fokal
• Fusi bagian retina ke plexus choroid
• Doming tulang frontal, pembesaran carpi, kompresi
cerebellar dan cerebralherniasi cerebellum,
hiperkeratosis ruminal, peningkatan keratinisasi epitel
squamous membrana mukosa penis dan preputium,
ulcerasi dan pengkabutan korneal
Postmortem
• Anasarca, metaplasia squamosa kelenjar ludah,
degenerasi epitelium testikular germinal
• CNS: nekrosis dan demyelinisasi, akumulasi sel
fagositik di area nekrotik, gliosis dan vakuolasi
fokal syaraf, kehilangan sel Purkinje pada
cerebellum dan lapisan granular dan molekular.
Meninges menebal akibat fibrosis dan
keradangan (sel mononuklear). Mikroskopik
tulang: pelebaran canal sentral dan penurunan
osteoclastic lacunae
Penanganan dan Pencegahan
• Buta akibat kerusakan retina dan syaraf optik berat
tidak dapat dipulihkan dengan pemberian vitamin A
• Sapi yang alami encephalopathy akut dan papilledema
sederhana dapat menunjukkan respon posisitf
terhadap pemberian vitamin A (440 IU/kg parenteral
yang diikkuti 6000 IU/kg setiap 50-60 hari sampai
pakan diperkaya dengan vit A). Terapi dosis oral tinggi
jg penting karena caroten dan suspensi vit A tidak
digunakan secara efektif bila diberikan secara
parenteral. Juga, pada pedet yang defisien, konversi
caroten menjadi vit A terhambat
Penanganan dan Pencegahan
• Pencegahan:
– Suplementasi vit A disarankan untuk ternak yang
kurang memperoleh akses pakan hijauan
– Biasanya pakan konsentrat diperkaya dengan
vitamin A.
– Serbuk Vitamin A jg bisa ditambahkan ke dalam air
minum pd level 425,000 U/50 gallon, diberikan
terus selama defisien dalam pakan
– Defisiensi subklinis pada domba dpt diberikan
mineral-vit premix (1644,5 juta IU vit A/ton)
Disfungsi Syaraf Karena Sulfur
Irkham Widiyono
2020
• Sulfur dioksidasi menjadi sulfit dan kemudian
menjadi sulfat dan sulfuric acid.
• Sumber: kotoran ternak, pembakaran minyak dan
batubara (sulfur dioxide, SO2; hidrogen sulfide)
• Sulfur dioxide sering dipakai sbg food additive
(pengawet pangan dan winemaking:
antimikrobial, hambat enzim, menahan
diskolorasi) dan fumigant gas (menjadi sulfurous
acid yg didisosiasi jadi bisulfite, HSO3, dan ion
sulfite, SO3)
• Ammonium sulfat sbg urinary acidifier (sebagai
ganti ammonium bicarbonat) dapat menimbulkan
polioencephalomalacea (lesi di thalamus dan
striatum)
• Domba yang konsumsi pelet dg kandungan 0,43%
sulfur (konsumsi 170 mg/kg/hari) alami: depresi,
buta, head pressing, nistagmus, epistotonus
• Sapi yang konsumsi air dg kandungan sodium
sulfat 7200 ppm alami PEM
• Sulfur dioksida bila termakan menyebabkan
defisiensi thiamine
• Kandungan Sulfur dioxide diatas 800 mg/kg
menurunkan thiamine (thiamine dipecah
menjadi pirimidin dan thiazole, inaktif)
• Pada sapi, efek toksik sulfur thd CNS bersifat
primer, tidak sekunder akibat defisiensi
thiamine)
• Pada ruminansia, mikroorganisme dalam rumen
merubah sulfur menjadi hidrogen sulfide
(neurotoxin yang mudah diabsorpsi dan penetrasi
membran sel dan blood brain barrier, BBB)
• Sulfide menghambat berbagai enzim yang terlibat
dalam metabolisme oksidativ
• Sulfide menghambat respirasi dengan memblok
catorid body dan berikatan dengan hemoglobin
membentuk sulfhemoglobin sehingga
menurunkan kapasitas mengangkut oksigen.
• Dalam jumlah yang tinggi, sulfide di dalam rumen
dapat mengakibatkan defisit thiamine sekunder
(mekanisme tidak diketahui)
• Ion sulfite adalah nucleophile kuat yang siap
berikatan dengan thiamine yang secara sekunder
mengurangi thiamine.
• Problematika terkait konsumsi sulfur berlebihan
pada sapi termasuk Polioencephalomalacia (PEM)
atau cerebrocortical necrosis (CCN)
• Bentuk PEM lain, disebabkan oleh thiaminase
di digesta rumen dan level thiamine
pyrophosphate (TPP) yang rendah di dalam
darah dan otak. Perlakuan anak domba
dengan susu tanpa thiamine sebabkan PEM,
namun perlu waktu lebih dari 5 minggu.
Gejala klinis:
• Subakut (gejala muncul beberapa jam sampai beberapa hari):
– Terpisah dari kelompok, Nafsu makan hilang, Jalan gontai,
Sering memperlihatkan kebutaan, Berjalan dengan kepala
menengadah, eksitasi dan menyerang sekitar, Diare,
hiperestesia, tremor
– Bila melanjut: kebutaan, head presing, episthotonus,
dorsomedial strabismus, miosis (kontraksi pupil), repetitive
chewing, head tilt, ambruk, konvulsi clonic tonic, dan mati
– Nafas, pulsus, suhu tubuh biasanya tidak ada perubahan.
Nafas bau hydrogen sulfide (bila terkait dengan konsumsi
sulfur)
• Pada kasus akut, gejala klinis:
– Ambruk dan koma
– Konvulsi tonic-clonic
– Tetap ambruk dengan hipertonic diantara kejang
Irkham Widiyono
2020
Distribusi
• Mg tubuh: 70% di tulang, 30% cairan intraselular
(sedikit di cairan ekstraselular)
• Kadar Mg plasma: kuda 0,6-1,2 mM; sapi0,6-1,3
mM; domba 0,8-1,4 mM; babi 0,9-1,7 mM (70%
ultrafiltrable, 30% terikat protein).
• Kandungan dalam susu: manusia 1 mM (25%
terikat protein), sapi sampai 10 mM (pada sapi
yang dg kadar mg 2,5 mM hanya terdapat 0,4
mM yang terionisasi, selebihnya terikat sitrat,
fosfat, dan ligands lain)
Regulasi Homeostatik Magnesium
Irkham Widiyono
2020
• Keracunan Pb pada ruminansia akibatkan
encephalopathy akut, sedang pada kuda
sebabkan polineuritis kronik
• Keracunan pada sapi, kambing, domba sebabkan
kebutaan, ataxia, penurunan sensorik , sedang
pada kuda sebabkan disfagia, kehilangan BB, dan
pneumonia aspirasi sekunder
• Kejadian pada sapi lebih sering karena suka
menjilat objek dan kesukaannya meminum
destilat petroleum yang terkontaminasi
Gejala Klinik
• Pada sapi (gangguan CNS):
– berdiri sendiri dan depresi;
– Hiperestesia
– Muscular fasciculation
– Rapid, spastic twitching of eyelids and other fascial
muscles
– Ataxia, conscious propioceptive deficits, buta (tapi
refleks pupil normal), headpressing, odontoprisis,
coma, convulsion.
– Episodic running, hiperesthesia, dan bellowing
(teriak2),
– Akumulasi liur berbusa, bload, diare
Gejala Klinik
• Pada kuda:
– Kehilangan BB
– Paralisis laryngel dan pharyngeal, pneumonia aspirasi
– Dysphonia
– Roaring
– Conscious propioceptive deficits
– Kehilangan tonus anal
– Paralisis fasial
– Kesulitan mastikasi
– Tremor muskular
– Kejang psikomotor
– Mati dalam keadaan emasiasi
Gejala Klinik
• Terjadi perubahan mikroskopik pada
myokardium shg tejadi hipertensi arterial
(120-150 mmHg) dan abnormalitas EKG (30
hari pasca keracunan): terjadi peningkatan
durasi dan amplitudo gelombang P,
perpanjangan interval PR, penurunan interval
QT dan inverted T wave pada Lead II
Patologi Klinik
• Kadar Pb jaringan: 20-100 ppm di liver, 30
ppm di ginjal, 5000 ppm di tulang (nilai
referensi kadar Pb jaringan = 0,05-2,5 ppm;
dengan metoda modern, kadar Pb dalam
darah maksimum = 0,03 ppm)
• Kadar Pb cairan rumen pada sapi keracunan
berkisar 0-11,875 ppm
Patologi Klinik
• Pada keracunan kronik, kadar Pb darah normal
tetapi kadar Pb tulang tinggi (Diagnosa dpt
dilakukan dengan pemberian EDTA 75 mg/kg
yakni terjadi peningkatan kadar Pb dalam darah,
dan ekskresi di urin meningkat 40x lipat dalam
beberapa jam)
• Kadar phorphirin dan α-aminolevulinic acid (ALA)
eritrosit: phorphirin meningkat dlm darah (kadar
normal pedet 21,6-45,6 ug/dl whole blood; 113-
143 ug/dl eritrosit), urin dan feses. Kadar ALA
urin meningkat diatas 500 ug/ml.
Patologi Klinik
• Kadar Pb lingkungan. Hijauan tercemar toxic
mengandung > 30 ppm
• Normal hemogram
• Hemolitik anemia (respon sumsum tulang tidak
memadai): anisositosis, poikilositosis,
polichromasia, hypochromia, Howell Jolly bodies,
metarubricytes, basophilic stiping (terjadi sejak
bbrp jam sampai 100 hari). Pada kuda tidak jadi
indikator spesifik tetapi sugestiv
• CSF: kadar protein dan monomuclear cells
meningkat
Patofisiologi
• Masuk tubuh lewat gastrointestinal dan respirasi
• Faktor yang berpengaruh dlm absorpsi di GI:
masa tinggal, calcium (mengikat), bersama Cd
memperparah gambaran klinis keracunan Pb
• Pb terabsorpsi terikat protein eritrosit (plasma
rendah), pada akhir masa hidup eritrosit
dimetabolisir dan disimpan di tulang sbg difosfat
dan sebagian kecil ke jaringan lunak dan dibuang
lewal GI. Halflife Pb darah= 9 hari, tapi kadar
darah tetap tinggi untuk 39 minggu
Patofisiologi
• Menghambat free sulfhydyl groups of enzyms
spt ALA dehydratase & ferro chelatase: terjadi
kerusakan sel syaraf dan anemia (hambat
pembentukan heme, pemendekan masa
hidup SDM).
• Pb di otak sebabkan hemoragi cerebellar dan
edema
• Menghambat absorpsi Se: white muscle
disease
Postmortem
• Edema, kongesti cortex cerebri, berwarna
kekuningan, dan pemipihan gyri
• Kebengkakan sel endotelial, odema sel
Purkinje, intracellular acid fast bodies in renal
tubular cells,
Penanganan
• Chelation dg Ca-disodium-EDTA, IV lambat, 73
mg/kg BB setiap hari selama 3-5 hari. Istirahat
2 hari dan diulang lagi. Atau pemberian 110
mg/kg diberikan selang 12 jam selama 2 hari,
istirahat 2 hari dan diulang lagi.
• Fluid and nutritional
• Thiamine 2 mg/kg (sapi), ruminansia kecil 500
mg
• Ruminotomi atau diberi laxansia Mg sulfat
Pencegahan
• Hilangkan sumber pencemaran
• Asupan NaCl pada level 1,5 g/kg atau kurang
berpengaruh thd pertumbuhan dan berat
badan
• Asupan NaCl sebesar 1,75 g/kg sebabkan
keracunan kronik
• Asupan NaCl sebesar 2,2 g/kg sebabkan
keracunan akut pd sapi dan kuda, sedang pada
domba sebesar 6 g/kg.
• Konsumsi air dengan kandungan 7 g/L timbulkan
keracunan akut
• Air dg kandungan garam <3 g/L aman utk konsumsi
• Keracunan garam berasosiasi dengan konsumsi air:
– dengan ketersediaan air yang konstan sapi dapat
mentolerir asupan garam dlm pakan sampai 13%. Kadar
garam total dlm pakan tidak boleh lebih dari 4%)
– Dengan pembatasan air minum, level toxic menurun (pada
sapi dg air terbatas menunjukkan keracunan bila
mengkonsumsi 0,9% NaCl)
– Konsumsi air dengan kadar garam 1% timbulkan toksikosis
bila tidak disediakan air bebas ion
• Konsumsi air dengan kadar garam 0,7%
menurunkan fertilitas sapi betina
• Konsumsi air dengan kadar garam 0,25%
menekan produksi susu
• Anak sapi mengalami keracunan akibat konsumsi
susu pengganti 4 L yang memiliki kadar 2,6%
• Pada musim panas, sapi lebih rentan thd
keracunan garam karena kehilangan air insensitiv
yang meningkat.
• Garam dlm tap water = 196 ppm
Patofisiologi:
• Garam masuk parenkim CNS dan CSF (asupan tinggi atau
asupan air kurang) dan berakumulasi secara difusi pasiv di
neuron dan CSF timbulkan hiperosmolalitas dan
menurunkan mekanisme energy-dependent Na-transport
• Hiperosmolality memacu pusat haus. Bila pusat haus
terpacu dan terjadi asupan air bebas ion, maka terjadi
ekspansi volume ekstraselular dan terjadi
normoosmolalitas plasma. Air berdifusi ke CSF dan neuron
yang hiperosmolal, sebabkan: CNS edema, tekanan
intracranial meningkat, encephalopathy.
• Bila asupan garam mendadak tinggi, maka hiperosmolality
di usus dapat sebabkan intestinal catharsis dan diarrhea
• In mice: High salinity dramatically affects ovarian
follicle development and the extent of follicular
atresia. High salt intake inhibited follicle
development by inducing the granulosa and theca
cells that surround the oocytes to undergo apoptosis
(repressed granulosa cell proliferation and
promoted cell apoptosis).
• In human cells and Zebrafish: High salt diet (5 or
10%) group showed abnormal testicular histology as
well as spermatogenic defects.
Kasus pada Babi:
• Gejala klinis a.l: anoreksia, haus, pruritus, konstipasi,
opistotonus, nistagmus, tremor, kebutaan, deafness
(ketulian), wandering (berkelana), head pressing, circling,
pivoting (berputar dg satu sumbu), konvulsi epileptiform,
koma.
• Kejadian berlangsung 2-4 hari sampai mati
• Kadar Na+ dalam serum dan CSF di atas 160 mEq/L (> 1800
ppm berat basah) akibatkan eosinopenia, eosinophilic cuffs
di sekitar pembuluh darah di cerebral cortex dan meninges,
cerebral edema, and necrosis.
• Minum berlebih sebabkan cerebral edema (mortalitas
tinggi)
• Pada ruminansia, gejala klinis a.l:
– anoreksia, diare mucohemorrhagic, colic
– haus,
– dehidrasi,
– kehilangan berat badan,
– hipothermia,
– Gejala syarafi: inkoordinasi, ataxia, bawling (meraung),
constant chewing movement, agresiv, konvulsi, head
pressing, head-neck extension/star gazing; pada kasus
keracunan kronik: depresi, dehidrasi.
– Kadar Na serum meningkat dari 135-145 mEq/L menjadi
170-210 mEq/L
Pengaruh Kandungan Garam Air minum thd
Performans Pada Sapi
Konsentrasi Garam Efek Klinis
(ppm atau mg/L)
Frekuensi jantung
Bising
Detak jantung
Tekanan vena sentralis
pulsus venosus
Diagnostik gangguan kardiovaskular
EKG
Alat pernafasan (gangguan
jantung sebelah kiri: odema
pulmonum dengan bronchitis,
dispnu inspiratorik, batuk; akut:
odema alveolar, dispnu
campuran, ronchi, insufisiensi
global).
Diagnostik gangguan kardiovaskular
insufisiensijantung
dekompensasi, schock stadium
lanjut: lactat asidosis karena
hipoksia jaringan atau asidosis
respiratorik karena odema
pulmonum
Diagnostik gangguan respirasi
Bronchoskopi
Sekretsitologi
Pemeriksaan mikrobiologi
Kapasistas fungsional paru-paru
dan volumina paru-paru
Roentgen dan echosonografi
Pemeriksaan histologik (biopsi)
Penyakit jantung valvular
Manifestation:
No clinical signs but have cardiac
murmur, valvular regurgitation.
Exercise intolerance, weightloss,
signs of congestive heart failure
(tachycardia, coughing, respiratory
distress, jug. venous distention,
subcut. edema and ascites)
Penyakit jantung valvular
Manifestation:
Cardiac enlargement
Systolyc jug venous pulsation
(tricuspid), venous distention, subcut
edema, ascites (right heart failure)
Tachycardia, tachypnea, coughing,
frothy pulmonary edema (mitral
regurgitation)
Penyakit jantung valvular
Clinical Pathology:
Echocardiography
Laboratory evidence of bacterial
endocarditis etc.
Penyakit jantung valvular
Pathophysiology:
Slow or gradually progessive: may be
asymptomatic but lead to congestive heart
failure
Acute: sudden hemodynamic change
(mitral: pulmonary venous hypertention,
pulmonary edema)
Infection: disseminated sepsis may be the
cause of death or culling of the animal
Penyakit jantung valvular
Necropsy findings:
pathologic changes of valve
Enlargement of chamber
Subcut edema, increased pleural,
periardial and peritoneal fluid
Bacterial embolization
Penyakit jantung valvular
Prevention:
Many causes can not be controlled
Appropriate therapy of chronic active
infenction
Effective parasite control to eliminate
predisposing causes of valvular heart
diseases
Myocarditis or cardiomyopathy
Manifestation:
Highly variable
Febrile, tachycardia, reluctance to move,
exercise intolerance
Cardiac: arrhythmia, murmur, jug ven
pulsation
Sudden death
Clinical Pathology:
Vary depend on etiology
Troponin I
ECG (tachycardia, cardiac arrhythmia)
Myocarditis or cardiomyopathy
Pathophysiology:
Acute myocarditis may go on to develop to
idiopathic dilated cardiomyopahty, resulted
in ECG abnormalities and reduced
myocardial performance
(reduced cardiac output that induce activation of renin
angiotensin aldosterone system: increase in
ventricular preload and afterload may cause
pulmonary edema and reduction in cardiac
contractility. Ventricular dilatation, reduced cardiac
output, signs of heart failure)
Myocarditis or cardiomyopathy
Necropsy findings:
Myocarditis
Myocardiopathy:
Enlargement of the heart
Myocardial pallor
Generalized edema, ascites
Microscopic examination: vacuolation
and degeneration
Myocarditis or cardiomyopathy
Treatment :
Depend on etiology
Control of complications
Digoxin
Diuretic
Vasodilatator
Rest
Removal of pleural, abdominal fluid
Myocarditis or cardiomyopathy
Prognosis:
Poor
Myocarditis or cardiomyopathy
Prevention:
Maintenance of good vaccination
program
Parasite control
Preventing of toxic agent ingestion
Good Nutrition
Avoiding breeding of known carrier
Pericarditis
Pericarditis:
Inflamation of pericardium that
results in the accumulation of fluid or
exudate between the visceral and
parietal pericardium
Pericarditis
Cause:
Trauma (internal or external wounds)
Septicemia
Extension of infection from the lung or
pleura
Viral infection
Neoplasia
Pericarditis
Manifestation:
Vary (volume and rate of effusion,
cause)
Auscultation:
tachycardia, muffling of heart sounds,
and absence of the heart sound in the
vetral thorax.
Splashing sounds (cattle)
Pericarditis
Manifestation:
Mucous membrane: congested,
prolonged CRT
Jugular distention and pulsation
Arterial pulses:weak
Percussion: ventral dullness (thorax)
Pericarditis
Clinical Pathology:
Hematology and serology: vary
Radiography: fluid and gas
accumulation in pericardium (specific
in cattle, not in horse)
Echocardiography
Pericarditis
Pathophysiology:
Inflammation results in fluid accumulation
Pericarditis results in decreased
distensibility of the heart, elevation of atrial
pressure, reduced venous flow/return. The
result is depressed ventricular contractility,
stroke volume, cardiac output, arterial
blood pressure and renal blood flow
(cyrculatory collapse)
Pericarditis
Necropsy findings:
Distention of pericardial sac with
serosanguineous fluid (may be foamy and
malodorus)
Fibrinous exudate or fibrosis on epicardium
Congestive heart failure
Histopathologic: pericardial, epicardial,
myocardial fibrosis
Pericarditis
Treatment :
In cattle is unrewarding
Repeated pericardial drainage
Broadspectrum antibiotics
Prognosis: poor
Pericarditis
Prevention:
Routine administration of magnets to
heifers at the pregnancy diagnosis
Routine vaccination for the common
respiratory pathogens
Cor pulmonale
• Effect of lung dysfunction on the heart and is
therefore a secondary form of heart disease.
• Manifestation:
edema, jug venous distension, dyspnea,
tachypnea, tachycardia, murmur
• Removing the animal from high altitude
• Admin. of oxygen
• Digoxin
• diuretics
TOKSISITAS ANTI NUTRISI
HIJAUAN PAKAN TERNAK
Pendahuluan
Pembesaran liver
Gejala klinis
• Saponin (protodioscin) dalam rumput
Brachiaria spp. dapat mengakibatkan
fotosensitisasi hepatogenik pada ternak.
• Fotosensitisasi hepatogenik pada awalnya
ditandai oleh dehidrasi, anoreksia, depresi,
gerak rumen menurun atau berhenti, feses
kering, mencari tempat teduh, penurunan
berat badandan edema pada telinga atau
bagian tubuh lainnya.
pencegahan
Pencegahan :
• Prosesing bahan pakan untuk
menurunkan kandungan
saponin (pelayuan atau
penjemuran )
• Pemberian HMT pada sapi
(B. humidicola)
yang memiliki kandungan
rendah saponin (B.
humidicola)
•
TANIN
• Tanin merupakan produk sekunder tanaman
yang bersifat kompleks dan terdiri dari
senyawa fenolik yang larut dalam air dan
memiliki berat molekul antara 500 dan 3000
Da
• Secara tradisionil tanin dibagi menjadi dua
kelompok yaitu tanin terhidrolisa (HT) dan
tanin terkondensasi (CT)
TANIN
Sumber tanin :
1. daun petai cina (Leucaena leucocephala ssp.)
2. kacang gude (Cytisus cajan L)
3. Genista (Cytisus canariensis)
4. kacang India (Lathyrus sativus)
5. daun ketapang (Terminalia catappa L)
6. Sesbania sp
TANIN
6. sorghum (Sorghum
bicolor)
7. millet (Panicum
milisceum)
8. barley (Hordeum
vulgare)
Dampak negatif tanin
• Menurunkan palatabilitas, asupan pakan dan
kecernaan
• menurunkan absorbsi
• menurunkan aktivitas mikroba rumen
Gejala klinis
Lesi utama yang terkait dengan keracunan HT:
• Dehidrasi
• Kelemahan umum
• Edema
• gastroenteritis hemoragika,
• nekrosis hati,
• kerusakan ginjal
• Konstipasi
• Mortalitas dan morbiditas yang tinggi diamati pada
domba dan sapi yang diberi pakan mengandung lebih
dari 20% HT.
Terapi dan pencegahan
Tidak ada antidota yang spesifik
• Gejala konstipasi : 1 galon minyak mineral.
• magnesium citrate, magnesium sulfate,
sodium sulfate dan magnesium hydroxide per
oral sebagai laksansia ringan
• Activated charcoal untuk menyerap racun
dalam saluran pencernaan
• Prosesing bahan pakan
OKSALAT
• Senyawa ini memiliki dua macam bentuk, yaitu :
• oksalat yang larut air (soluble oxalate)
• Oksalat terlarut pada umumnya berikatan dengan
sodium (Na+ ), potasium (K+ ), dan amonium
(NH4 + ).
• oksalat yang tidak larut air (insoluble oxalate).
• Sedangkan oksalat yang tidak larut pada
umumnya berikatan dengan ion kalsium (Ca2+),
magnesium (Mg2+), dan besi (Fe2+).
OKSALAT
Asam oksalat banyak dijumpai di dalam
tanaman, termasuk tanaman hijauan pakan
ternak, terutama bagian daun. Salah satu
hijauan pakan ternak yang mengandung asam
oksalat tinggi adalah rumput setaria sp
Sumber oksalat
• Sejumlah bahan pangan/pakan yang tinggi oksalat adalah :
• belimbing,
• lada hitam,
• bayam,
• pisang,
• kakao,
• dan
Biji-bijian dan kacang-kacangan tinggi oksalat :
• Dolichos bilorus, Vigna aconitifolia, Lathyrus sativus, Prunus
amygdalus, Anacardium occidentale, Sesamum indicum,
lentil, kernel, biji mangga, Emblica oicinalis, Grewia
asiatica, labu, terong, dan tomat.
Sumber oksalat
daun-daunan dan umbi- • Musa sapientum (pisang
umbian yang tinggi oksalat: raja dan sayuran), dan kol.
Amaranthus gangeticus, Beberapa pakan lain yang
Amaranthus spinosa, Murrya mengandung asam oksalat,
konigii, Portulaca oleracea, seperti Opuntia spp.,
Spinacea oleracea, Tamarindus rumput niper, jerami padi,
indica, Moringa oleifera (daun eceng gondok (Eichhornia
kelor), singkong, Beta vulgaris crassipes), Atriplex spp., dan
(akar bit), Nelumbium nelumbo Maireana brevifolia.
(batang teratai)
dampak oksalat terhadap ternak
• Oksalat terlarut memiliki kapasitas yang tinggi dalam
mengikat Ca serum darah sehingga mengakibatkan
intoksikasi akut.
• Oksalat juga mengakibatkan pembentukan kalsium
oksalat di ginjal (batu ginjal).
• Oksalat dapat berikatan dengan kalsium (Ca) atau
magnesium (Mg) dalam pakan untuk kemudian
membentuk Ca atau Mg oksalat yang tidak dapat larut.
Pengikatan ini pada akhirnya dapat menyebabkan
kadar Ca atau Mg serum yang rendah serta gagal ginjal
akibat pengendapan garam-garam ini di ginjal.
dampak oksalat terhadap ternak
• Kemampuan oksalat dalam mengikat anion kalsium dan
fosfor dapat menyebabkan mobilisasi mineral tulang
(hipokalsemia).
• Tulang yang mengalami demineralisasi mengalami fibrotik.
Kasus yang pernah terjadi di antaranya perubahan bentuk
dan ‘bighead’ pada kuda.
• Biasanya hewan ruminansia tidak terlalu terpengaruh,
tetapi asupan pakan berkepanjangan pada sapi dan domba
di beberapa daerah tropis rumput dapat menyebabkan
hipokalsemia berat.
• Tingginya kadar oksalat di padang rumput tanaman
dianggap sebagai faktor utama pembentukan urolith (batu
ginjal) pada hewan yang merumput.
dampak oksalat terhadap ternak
• Pada konsentrasi yang tinggi, asam oksalat juga diduga
dapat menyebabkan arthritis.
• logam berat yang masuk dalam jaringan akibat terikat
kuat bersama asam oksalat dan masuk dalam sistem
metabolisme, seperti logam kadmium (Cd).
• Ternak nonruminansia cenderung lebih peka terhadap
kandungan oksalat daripada ternak ruminansia.
• Ternak ruminansia pada tahap akhir pencernaan
memiliki bakteri rumen yang dapat membantu
menurunkan kadar oksalat
Gejala klinis
Keracunan Akut:
Gejala klinis terjadi dalam waktu 4 - 48 jam setelah
makan. Pada domba tanda-tanda klinis mungkin
tidak bisa dibedakan dari hipokalsemia.
Gejala klinis :
• Anoreksia
• hipersalivasi
• Kelemahan dan tremor otot, terutama otot-otot
wajah
• Atonia rumen, sedikit kembung
Gejala klinis
• Pollakiuria
• Leleran darah pada hidung
• Dispnea
• Mengejutkan
• Ambruk
• Mati
Gejala klinis
Kronis
• Chronic signs may develop in 1 — 12 months
of exposure and include:
• Depressed appetite
• Scouring
• weight loss
• anaemia
• PU/PD
Mimosin
• Mimosin merupakan asam amino bukan protein
yakni β-(3-hidroksi-4- piridon-1-yl)-L-alanin, dan
secara struktur kimia serupa dengan asam amino
tirosin
• senyawa ini pertama kali diisolasi dari tanaman
Mimosa pudica sehingga dinamakan mimosin.
• Lamtoro (Leucaena leucocephala) merupakan
hijauan khas yang tinggi akan kandungan
mimosin.
Mimosin
• Daun lamtoro mengandung 2–10% mimosin (basis
bahan kering), sedangkan biji lamtoro mengandung 2–
5% mimosin.
• Kandungan mimosin berbeda antara daun yang muda
dan daun tua; umumnya daun muda mengandung
mimosin dengan konsentrasi yang lebih tinggi.
• Daun tua mengandung 1–2% mimosin, sedangkan
daun muda mengandung 3–5% mimosin.
• Bahkan pada daun yang sangat muda, kandungan
mimosin dapat mencapai 12%.
• Faktor pembatas penggunaan hijauan karena bersifat
toksik pada berbagai spesies ternak, baik hewan
monogastrik maupun ruminansia
Mimosin
• Mimosin dapat dikonversi menjadi 3-hidroksi-
4-(1H)-piridon (3,4-DHP) dan 2,3-
dihidroksipiridin (2,3-DHP) oleh mikroba
rumen
• Senyawa 3,4-DHP dapat diekskresikan melalui
urin dalam bentuk bebas maupun bentuk
terkonjugasi khususnya sebagai glukoronida.
Gejala klinis
• Konsumsi mimosin pada konsentrasi yang tinggi :
• kerontokan rambut,
• goiter,
• gangguan reproduksi,
• kerusakan sel epitel,
• menurunkan konsumsi pakan,
• kematian baik pada ternak ruminansia maupun
monogastrik.
• Efek toksik mimosin pada ternak sangat bergantung pada
konsentrasi mimosin pada bahan pakan serta lamanya
ternak mengonsumsi pakan tinggi mimosin tersebut.
Mekanisme
• Mimosin dapat mengikat sejumlah mineral (seperti Zn,
Mg, dan Cu) dan piridoksal fosfat yang diperlukan
untuk aktivitas berbagai enzim, baik sebagai komponen
kofaktor ataupun koenzim.
• Pengikatan ini menghambat aktivitas enzim tirosin
dekarboksilase, tirosinase, dan ribonukleotida
reduktase yang kemudian menghambat konversi
metionin menjadi sistin.
• Sistin komponen asam amino penting pada
rambut/wool. Ketika konversi sistin dari metionin
terhambat, maka sintesis rambut/wool mengalami
hambatan.
adaptasi
• Ternak dapat beradaptasi terhadap lamtoro yang
mengandung mimosin karena ada mikroba
Synergistes jonesii dalam rumen yang mampu
memetabolisasi mimosin dan DHP menjadi
sejumlah senyawa yang tidak toksik.
• Transfer cairan rumen dari ternak ruminansia di
Indonesia dan Hawaii yang mengandung
Synergistes jonesii pada ternak ruminansia di
Australia (melalui proses inokulasi) dapat
menghilangkan permasalahan keracunan
mimosin pada lamtoro.
ASAM FITAT
• Asam fitat (1,2,3,4,5,6-heksakis dihidrogenfosfat
mioinositol) merupakan bentuk penyimpanan utama
fosfor pada biji-bijian dan berperan sebagai komponen
antinutrisi pada ternak.
• Asam fitat memiliki muatan negatif pada rentang pH
yang luas serta memiliki afinitas yang kuat terhadap ion
mineral seperti kalsium, zinc, dan besi.
• gangguan penyerapan pada mineral-mineral tersebut
di usus halus sehingga berpengaruh negatif terhadap
berbagai proses metabolisme tubuh ternak.
ASAM FITAT
Sumber :
• Tanaman legum seperti gamal (Gliricidia), turi
(Sesbania grandiflora), petai cina (Leucaena
leucocephala), kaliandra (Calliandra calothyrsus),
puero (Pueraria phaseoloides) , orok – orok
(Crotalaria juncea ), lamtoro mini (Desmanthus
virgatus), stilo (Stylosanthes graciliaris), siratro
(Macroptilium atropurpureum), kembang telang
(Clitoria ternatea L.) dan Indigofera Sp.
• Sedangkan jenis sereal adalah padi (Oryza sativa L.)
jagung (Zea mays L.) sorghum (Sorghum bicolor L.)
kedelai (Glycine max L.) dan juwawut (Setaria italica
(Linn.) P. Beauv.)
Dampak asam fitat
• Ruminansia memiliki mikroba dalam rumen yang
dapat menghasilkan fitase.
• Enzim tersebut mampu memecah ikatan P
dengan fitat sehingga P dapat terabsorbsi.
• Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
fitat hanya sedikit atau bahkan sama sekali tidak
ada di feses ruminansia yang mengkonsumsi
konsentrat
• Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan
bahwa mikroorganisme rumen mampu
menghidrolisis seluruh fitat dalam rumen.
Dampak asam fitat
• tidak ada efek negatif dari fitat terhadap
penyerapan mineral di ruminansia.
• sapi perah yang berproduksi tinggi, pakan
akan cepat melintasi rumen sehingga
kemungkinan degradasi fitat melalui
fermentasi akan menjadi terbatas. Hal
tersebut disebabkan karena singkatnya waktu
fitat terpapar oleh fitase mikroba
Dampak asam fitat
• Pada ruminansia, pemberian bijian sereal,
legum, dedak padi, bungkil kedelai tampaknya
sampai saat ini tidak menimbulkan masalah
karena mikroba dalam rumen yang dapat
menghasilkan fitase.
GOSIPOL
• Gosipol adalah senyawa fenolik yang pertama kali
diisolasi tahun 1899.
• Nama ini berasal dari nama ilmiah genus
tumbuhan (Gossypium) dikombinasikan dengan
akhiran “ol” dari fenol.
• Gosipol diproduksi oleh kelenjar pigmen di
batang kapas, daun, biji, dan kuncup bunga.
• Kelenjar ini berupa bintik-bintik hitam kecil
tersebar di seluruh tanaman kapas. Kelenjar
pigmen ini paling banyak terdapat dalam biji.