Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM AKUSTIK
PROGRAM STUDI S-1 TEKNIK FISIKA ITS
TAHUN AJARAN 2020/2021

DISUSUN OLEH

MOH. FAHMI AL ALAM 5009201095

ASISTEN PRAKTIKUM

HARIS IHSANNUR 02311840000086

LABORATORIUM VIBRASTIC
DEPARTEMEN TEKNIK FISIKA
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
PRAKTIKUM – 2
DIRECTIVITY
ANALYSIS OF
LOUDSPEAKER
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Akustik adalah ilmu tentang bunyi, yaitu gerak gelombang dalam gas, zat cair
dan padat, dan efek dari gerak gelombang tersebut. Dengan demikian ruang lingkup
akustik berkisar dari akustik fisik dasar hingga maju seperti bioakustik,
psikoakustik dan musik, dan mencakup bidang teknis seperti teknologi transduser,
perekaman dan reproduksi suara, desain teater dan ruang konser, dan kontrol
kebisingan[1]. Salah satu penerapan akustik dalam mentransmisikan suara adalah
loudspeaker.
Loudspeaker adalah sebuah transduser elektroakustik, sebuah alat yang
mengubah sinyal audio elektrik menjadi suara[2]. Loudspeaker terdiri dari beberapa
komponen utama yaitu cone, suspension, magnet permanen, voice coil dan juga
kerangka. Prinsip kerja loudspeaker yaitu voice coil membangkitkan medan magnet
dan berinteraksi dengan magnet permanen. Sinyal listrik yang melewati voice coil
akan menyebabkan arah medan magnet berubah secara cepat dan terus menerus
sehingga terjadi gerakan tarik dan tolak dengan magnet yang membuat cone
bergetar. Getaran inilah yang menimbulkan suara pada loudspeaker. Terdapat 2
jenis loudspeaker yaitu loudspeaker pasif yang tidak memiliki amplifier dan
loudspeaker aktif yang memiliki amplifier. Penggunaan loudspeaker sangatlah
beragam mulai dari pemutar musik, audio pada teater, menyampaikan pengumuman
dan lain-lain. Loudspeaker memiliki beberapa parameter penting dan salah satunya
adalah indeks keterarahan[3].
Setiap loudspeaker memiliki indeks keterarahannya masing-masing. Indeks
keterarahan menunjukkan kondisi suara yang dihasilkan sebuah sumber pada titik
tertentu di sekeliling sumber suara. Indeks keterarahan (dalam dB) dapat
didefinisikan sebagai perbandingan intensitas akustik pada titik tertentu pada
permukaan bola imajiner yang mengelilingi loudspeaker terhadap intensitas rata-
rata di seluruh permukaan bola[4]. Indeks keterarahan bisa dirumuskan sebagai 10
kali dari hasil logaritma basis 10 dari perbandingan daya pada titik tertentu terhadap
rata-rata daya.
Untuk itu, praktikum P2 dilakukan untuk mengetahui indeks keterarahan suatu
loudspeaker beserta pola yang dibentuknya.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan di atas, dapat diambil
rumusan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana cara mengetahui keterarahan dari suatu loudspeaker?
b. Bagaimana cara mengidentifikasi polar pattern dari loudspeaker?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijelaskan di atas, tujuan dari
praktikum P2 ini adalah sebagai berikut :
a. Mengetahui keterarahan dari suatu loudspeaker.
b. Mengidentifikasi polar pattern dari suatu loudspeaker.
BAB 2 METODOLOGI

2.1 Alat dan Bahan.


Alat dan Bahan yang dibutuhkan dalam praktikum P2 ini adalah:
a. Aplikasi Sound Level Meter Analyzer pada handphone sebagai sensor sound
level meter (reciever).
b. Software Real Time Analyzer (RTA) atau software lain sebagai 1000 Hz tone
generator.
c. Loudspeaker pasif, handphone atau laptop sebagai sumber bunyi.
d. Roll meter, tali rafia atau benang sebagai jalur pengukuran.
e. Lakban atau penanda lainnya untuk menandai jarak pengukuran.

2.2 Langkah Percobaan


Langkah percobaan dan setting alat pada praktikum P1 ini adalah sebagai berikut:
a. Lakukan percobaan ini di dalam ruangan tertutup.
b. Susun alat pengukuran (reciever) dan sumber suara. Pastikan sensor tegak lurus
dengan arah loudspeaker sumber suara, seperti yang ditunjukkan pada Gambar
2.1 di bawah.

Gambar 2.1 Penyusunan Alat Praktikum P2

c. Pastikan sumber suara berjarak 50 cm dari permukaan pantul pada semua


sisinya.
d. Buat skema pengambilan data pada sekeliling sumber suara pada jarak R yang
merupakan free field. Tandai posisi pengukuran setiap sudut 45⁰ dari 0⁰ sampai
315⁰ seperti Gambar 2.2 di bawah ini.

270⁰

225⁰ 315⁰

180⁰ 0⁰

135⁰ 45⁰

90⁰
Gambar 2.2 Skema Pengukuran setiap 45⁰

e. Pada aplikasi Sound Level Meter Analyzer, pilih parameter pengukuran LAF.
f. Ukur tingkat tekanan bunyi latar belakang (background noise), lalu catat
hasilnya.
g. Lalu setelah itu bangkitkan sumber bunyi berupa tone 1000 Hz melalui software
RTA.
h. Ukur Sound Pressure Level pada setiap titik dengan volume yang konstan.
Lakukan pengukuran sebanyak 3 kali dan hitung rata-ratanya.
i. Olah hasil pengukuran Sound Pressure Level pada setiap sudut untuk mencari
tekanan bunyi kuadrat (𝑝2 ), faktor keterarahan relatif 0⁰ (𝑄𝑟𝑒𝑙 ) dan indeks
keterarahan relatif (𝐷𝐼𝑟𝑒𝑙 ) menggunakan rumus di bawah.

𝑆𝑃𝐿
∴ 𝑝2 = 10 10 ∙ 𝑝0 2
𝑝2
∴ 𝑄𝑟𝑒𝑙 =
𝑝𝑠𝑢𝑑𝑢𝑡 0 2
∴ 𝐷𝐼𝑟𝑒𝑙 = 10 𝑙𝑜𝑔𝑄𝑟𝑒𝑙
j. Plot hasil faktor keterarahan pengukuran yang didapatkan.
k. Lakukan perhitungan manual untuk mencari faktor keterarahan relatif 0⁰ (𝑄𝑟𝑒𝑙 )
dan indeks keterarahan relatif (𝐷𝐼𝑟𝑒𝑙 ). Hal ini dilakukan untuk membandingkan
hasil pengukuran dengan perhitungan. Rumus yang digunakan sebagai berikut.

2
2 ∙ 𝐽1 (𝑘 ∙ 𝑎 ∙ 𝑠𝑖𝑛𝜃)
∴ 𝑄𝑟𝑒𝑙 =( )
𝑘 ∙ 𝑎 ∙ 𝑠𝑖𝑛𝜃
∴ 𝐷𝐼𝑟𝑒𝑙 = 10 𝑙𝑜𝑔𝑄𝑟𝑒𝑙

l. Plot hasil faktor keterarahan perhitungan dan bandingkan dengan faktor


keterarahan hasil pengukuran.
BAB 3 ANALISIS DATA

3.1 Analisis Data


Sebelum dilakukan pengukuran Sound Pressure Level (SPL), terlebih
dilakukan proses kalibrasi untuk menguji eror dan kelayakan pada reciever yang
digunakan. Reciever yang digunakan adalah microphone yang ada pada handphone
Samsung Galaxy A6. Data kalibrasi yang didapatkan adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1 Hasil Kalibrasi Microphone

Mean (dB) Standard Deviasi Error (%)

78.42 0.117 0.64

Dari data di atas, eror yang didapatkan sangatlah kecil yaitu hanya 0.64%.
Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa reciever layak untuk
digunakan dalam pengukuran.
Setelah itu dilakukan pengukuran pada sekeliling loudspeaker setiap sudut 45⁰
dari 0⁰ sampai 315⁰ seperti yang sudah diilustrasikan pada Gambar 2.2.
Loudspeaker yang digunakan pada pengukuran ini adalah loudspeaker Comson CS
77 yang disambungkan pada laptop Acer Aspire 3 A315. Software yang digunakan
sebagai tone generator adalah Realtime Time Analyzer. Dan aplikasi yang
digunakan pada reciever adalah Sound Analyzer. Hasil yang didapatkan adalah
sebagai berikut:

Tabel 3.2 Hasil Pengukuran Sound Pressure Level


Sudut Pengambilan Pengambilan Pengambilan Rata SPL
Pengukuran Pertama (dB) Kedua (dB) Ketiga (dB) (dB)
0 69.68 69.94 71.92 71
45 71.74 71.64 72.50 72
90 66.22 65.93 66.01 66
135 65.62 65.64 67.06 66
(Lanjutan Tabel 3.2)
Sudut Pengambilan Pengambilan Pengambilan Rata SPL
Pengukuran Pertama (dB) Kedua (dB) Ketiga (dB) (dB)
180 60.59 59.42 60.40 60
225 68.03 68.21 67.80 68
270 67.38 67.47 67.07 67
315 71.62 71.76 71.19 72

Pengukuran di atas dijalankan dengan loudspeaker yang memiliki rentang free


field pada jarak 23 cm – 46 cm. Dan pengukuran pada setiap sudut di atas memakai
jarak R 45 cm.

Setelah didapatkan nilai SPL pada setiap sudut, data tersebut diolah untuk
mencari indeks keterarahan relatif (𝐷𝐼𝑟𝑒𝑙 ) dari loudspeaker. Langkah pertama yaitu
mencari nilai kuadrat dari tekanan bunyi (𝑝2 ) pada setiap sudut pengukuran
menggunakan rumus berikut:

𝑝2
𝑆𝑃𝐿 = 10 𝑙𝑜𝑔
𝑝0 2
𝑆𝑃𝐿
𝑝2 = 10 10 ∙ 𝑝0 2

Dengan keterangan:
SPL = Sound Pressure Level (dB)
p = Tekanan Bunyi (Pa)
p0 = Tekanan Bunyi Referensi, 2 x 10-5 Pa

Setelah didapatkan nilai kuadrat tekanan bunyi, dilanjutkan dengan mencari


faktor keterarahan relatif (Qrel) pada setiap sudut dengan sudut 0⁰ sebagai
referensinya. Rumus yang digunakan yaitu:

𝑝2
𝑄𝑟𝑒𝑙 =
𝑝𝑠𝑢𝑑𝑢𝑡 0⁰ 2
Dengan keterangan:
Qrel = Faktor Keterarahan Realtif
p = Tekanan Bunyi (Pa)
psudut 0⁰ = Tekanan Bunyi Referensi pada sudut 0⁰

Setelah itu, dilakukan perhitungan untuk mencari DI relatif (DIrel)


menggunakan rumus:
𝐷𝐼𝑟𝑒𝑙 = 10 𝑙𝑜𝑔𝑄𝑟𝑒𝑙

Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 3.3 di bawah ini. Pada tabel tersebut
tersedia data tekanan bunyi kuadrat (𝑝2 ), faktor keterarahan relatif 0⁰ (𝑄𝑟𝑒𝑙 ) dan
indeks keterarahan relatif (𝐷𝐼𝑟𝑒𝑙 ) pada setiap sudut.

Tabel 3.3 Hasil Pengukuran Directivity Index Relatif


Sudut Q Relatif DI Relatif
SPL (dB) p2
Pengukuran Pengukuran Pengukuran
0 70.51 0.0045 1.00 0.00
45 71.96 0.0063 1.40 1.45
90 66.06 0.0016 0.36 -4.46
135 66.11 0.0016 0.36 -4.40
180 60.14 0.0004 0.09 -10.37
225 68.01 0.0025 0.56 -2.50
270 67.30 0.0021 0.48 -3.21
315 71.52 0.0057 1.26 1.01

Setelah didapatkan data nilai 𝐷𝐼𝑟𝑒𝑙 pada setiap sudut, data tersebut dituangkan
dalam bentuk gambar untuk mendapatkan gambaran jelas 𝐷𝐼𝑟𝑒𝑙 dari loudspeaker.
Plot gambar 𝐷𝐼𝑟𝑒𝑙 dari loudspeaker ditunjukkan pada Gambar 3.1 di bawah.
Pola Keterarahan Loudspeaker
0
3.00
315 0.00 45
-3.00
-6.00
-9.00
270 -12.00 90

225 135

180

Gambar 3.1 Plot Pengukuran Directivity Index Relatif

Selain mencari DI relatif menggunakan data pengukuran praktikum, dilakukan


juga perhitungan DI relatif secara teoritis untuk membandingkan hasil yang
didapatkan. Yang berbeda dari perhitungan DI relatif secara teoritis adalah
perhitungan faktor keterarahan relatif (Qrel). Rumus yang digunakan untuk mencari
faktor keterarahan relatif (Qrel) adalah:

2
2 ∙ 𝐽1 (𝑘 ∙ 𝑎 ∙ 𝑠𝑖𝑛𝜃)
𝑄𝑟𝑒𝑙 =( )
𝑘 ∙ 𝑎 ∙ 𝑠𝑖𝑛𝜃

Dengan keterangan:
Qrel = Faktor Keterarahan Realtif
J1 = Fungsi Bessel Orde Satu
k = Bilangan Gelombang, 2𝜋/𝜆 dengan 𝜋 = 𝑐/frekuensi
a = Jari-Jari Loudspeaker
θ = Sudut Pengukuran
Setelah mendapatkan faktor keterarahan relatif (Qrel), dilakukan perhitungan
untuk mencari DI relatif secara teoritis. Hasil perhitungan teoritis dapat dilihat pada
Tabel 3.4 di bawah ini.
Tabel 3.4 Hasil Perhitungan Teoritis Directivity Index Relatif
Sudut Q Relatif DI Relatif
Pengukuran Perhitungan Perhitungan
0 1.00 0.00
45 0.92 -0.37
90 0.84 -0.75
135 0.92 -0.37
180 1.00 0.00
225 0.92 -0.37
270 0.84 -0.75
315 0.92 -0.37

Dengan didapatkannya DI relatif secara teoritis, proses perbandingan antara


hasil pengukuran dan perhitungan teoritis dapat dilakukan. Namun sebelum
melakukan perbandingan, dilakukan normalisasi terlebih dahulu terhadap DI relatif
baik hasil pengukuran maupun perhitungan teoritis yang bertujuan untuk
menyeragamkan skala DI yang didapatkan agar analisis perbandingan dapat
dilakukan dengan jelas dan tepat. Hasil normalisasi dari DI relatif dan juga
perbandingannya dapat dilihat pada Tabel 3.5 di bawah.

Tabel 3.5 Hasil Normalisasi Directivity Index Relatif


DI Max 1.447358101 -1.519855618
Degree Pengukuran Perhitungan
0 0.00 0.00
45 1.00 1.00
90 -3.08 2.07
135 -3.04 1.00
180 -7.17 0.00
225 -1.73 1.00
270 -2.22 2.07
315 0.70 1.00
Setelah itu, data perbandingan diolah menjadi plot gambar untuk memudahkan
proses analisis. Gambar perbandingan DI relatif dapat dilihat pada Gambar 3.2.

Perbandingan DI Relatif
Pengukuran Perhitungan
0
4
2
315 45
0
-2
-4
-6
270 -8 90

225 135

180

Gambar 3.2 Hasil Perbandingan Normalisasi Directivity Index Relatif

3.2 Pembahasan
Praktikum ini dimulai dengan mengatur posisi loudspeaker dan reciever. Posisi
sepaker harus memiliki margin minimal 50 cm dari bidang pantul untuk
meminimalisir SPL tambahan akibat pemantulan. Posisi reciever juga harus berada
tegak lurus dengan loudspeaker. Loudspeaker yang digunakan adalah Comson CS
77 dengan jari-jari 4.5 cm yang disambungkan pada laptop Acer Aspire 3 A315.
Software yang digunakan sebagai tone generator adalah Realtime Time Analyzer.
Sedangkan Reciever yang digunakan adalah microphone yang ada pada handphone
Samsung Galaxy A6 yang sekaligus digunakan untuk membaca SPL menggunakan
aplikasi Sound Analyzer. Loudspeaker yang dipakai memiliki free field dalam
rentang jarak 23 cm dan 46 cm. Dan pengukuran pada setiap sudut dilakukan pada
jarak 45 cm. Pengukuran menggunakan tone 1000 Hz dari software Realtime Time
Analyzer. Backgorund noise saat melakukan pengambilan data adalah 32.155 dB.
Setelah melakukan pengukuran Sound Pressure Level (SPL) sesuai dengan
langkah penelitian pada setiap sudut, didapatkan hasil yang tertera pada Tabel 3.2.
Secara teori, SPL yang paling besar berada pada sudut 0⁰ dan paling rendah berada
pada 180⁰. Lalu pada pasangan sudut yang simetris yaitu pada sudut 45⁰ - 315⁰, 90⁰
- 270⁰ dan 135⁰ - 225⁰ memiliki SPL yang sama.
Dari Tabel 3.2 tersebut bisa dianalisis bahwa SPL paling besar berada pada
sudut 45⁰ dan 315⁰ dengan SPL sebesar 72 dB. Sedangkan pada sudut 0⁰ hanya
sebesar 71 dB. Hal ini disebabkan karena terdapat tempat instalasi LED dan merek
di depan loudspeaker yang menghalangi jalur suara seperti Gambar 3.3 di bawah
ini.

Gambar 3.3 Kondisi Loudspeaker

SPL paling kecil didapatkan dari pengukuran sudut 180⁰ sesuai dengan teori
yaitu sebesar 60 dB. Untuk pasangan sudut 45⁰ dan 315⁰ memiliki besar SPL yang
sama seperti yang sudah disebutkan di atas. Sedangkan untuk pasangan sudut yang
lain, terdapat perbedaan hasil pengukuran. Pada sudut 90⁰ didapatkan SPL 66 dB
dan pada sudut 270⁰ didapatkan SPL 67⁰. Lalu pada sudut 135⁰ didapatkan SPL 66
dB dan pada sudut 225⁰ didapatkan SPL 68⁰. Meskipun perbedaannya tidak
signifikan, tetap ada faktor yang mempengaruhi didapatkannya hasil ini. Kondisi
ini disebabkan oleh berbedanya area di sekitar sudut-sudut tersebut sehingga pada
sudut-sudut tertentu terdapat tambahan SPL.
Setelah dilakukan pengukuran SPL, data diolah untuk mencari indeks
keterarahan relatif dari loudspeaker. Data pengolahan bisa dilihat pada Tabel 3.3.
Dari data tersebut dilakukan plotting gambar untuk memperjelas indeks keterarahan
relatif dari loudspeaker. Gamabr plot bisa dilihat pada Gambar 3.1.
Dari Gambar 3.1 bisa dilihat bahwa suara yang dihasilkan spekaer akan
bernilai besar jika berada pada sudut 0⁰, 45⁰ dan 315⁰. Lalu menurun pada sudut 90⁰
dan 270⁰. Menurun kembali pada sudut 135⁰ dan 225⁰. Dan dihasilkan suara terkecil
pada sudut 180⁰. Hal ini menunjukkan bahwa loudspeaker yang digunakan dalam
praktikum ini merupakan loudspeaker satu arah yang nilai SPL-nya akan maksimal
pada area depan loudspeaker.
Selain mencari DI relatif menggunakan data pengukuran praktikum, dilakukan
juga perhitungan DI relatif secara teoritis untuk membandingkan hasil yang
didapatkan. Data perhitungan teoritis DI relatif dan dilihat pada Tabel 3.4.
Sebelum melakukan perbandingan, dilakukan normalisasi terlebih dahulu
terhadap DI relatif baik hasil pengukuran maupun perhitungan teoritis yang
bertujuan untuk menyeragamkan skala DI yang didapatkan agar analisis
perbandingan dapat dilakukan dengan jelas dan tepat. Hasil normalisasi dapat
dilihat pada Tabel 3.5. Setelah itu data perbandingan DI relatif diubah dalam bentuk
plot gambar yang dapat dilihat pada Gambar 3.2.
Dari Gambar 3.2 bisa dilihat bahwa plot hasil perhitungan teoritis memiliki
pola yang hampir menyerupai Bi-directional polar pattern. Sedangkan plot hasil
pengukuran memiliki bentuk yang menyerupai cardioid polar pattern. Perbedaan
ini terjadi karena memang loudspeaker yang digunakan merupakan loudspeaker
satu arah atau uni-directional yang memiliki cardioid polar pattern.
Dari Gambar 3.2 tersebut juga bisa dilihat bahwa tidak ada garis yang
bersinggungan kecuali nilai DI relatif pada sudut 0⁰. Dari Gambar 3.2 juga bisa
dilihat bahwa DI relatif hasil pengukuran tidak membentuk cardioid polar pattern
yang sempurna. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan hasil pengukuran dan hasil
perhitungan teoritis. Kondisi ini disebabkan oleh bentuk loudspeaker yang
memanjang dan cukup besar dengan ukuran panjang 35 cm dan ketebalan 14 cm
sehingga pada sudut tertentu, body loudspeaker menghalangi arah datangnya suara.
Gambar 3.4 menunjukkan loudspeaker yang digunakan.
Gambar 3.4 Loudspeaker Comson CS 77
BAB 4 KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan
Dari praktikum P2 tentang Analisis Keterarahan Loudspeaker yang telah
dilaksanakan, didapatkan beberapa kesimpulan yaitu:

a. Keterarahan bisa didapatkan dengan cara mengukur SPL pada setiap sudut 45⁰
dalam rentang sudut 0⁰ sampai 315⁰. Kemudian data tersebut diolah untuk
didapatkan tekanan bunyi kuadrat (𝑝2 ) dan faktor keterarahan relatif 0⁰ (𝑄𝑟𝑒𝑙 )
pada setiap sudut sehingga bisa didapatkan indeks keterarahan relatif (𝐷𝐼𝑟𝑒𝑙 ) dari
suatu loudspeaker. Loudspeaker yang digunakan yaitu Comson CS 77 memiliki
indeks keterarahan relatif terhadap sudut 0⁰ sebesar 1.45 pada sudut 45⁰, -4.46
pada 90⁰, -4.40 pada 135⁰, -10.37 pada 180⁰, -2.50 pada 225⁰, -3.21 pada 270⁰
dan 1.01 pada 315⁰.
b. Polar pattern yang di dapatkan dari loudspekaer Comson CS 77 adalah
menyerupai cardioid. Hal ini menunjukkan bahwa loudspeaker memiliki fokus
output suara yang mengarah ke depan.
c. Meskipun hasil tersebut masih sesuai dengan teori yang ada, hasil percobaan ini
baik indeks keterarahan dan polar pattern memiliki eror yang dipengaruhi oleh
bentuk loudspeaker, sudut-sudut ruangan dan adanya human error.

4.2 Saran
Kendala utama dari praktikum P2 tentang Analisis Keterarahan Loudspeaker
ini adalah bentuk loudspeaker yang besar dan memanjang. Jadi ketika dilakukan
pengukuran sesuai dengan jarak free field yang didapatkan, body loudspeaker
menghalangi pengukuran pada sudut-sudut tertentu. Sehingga disarankan
menggunakan loudspeaker yang memiliki bentuk efisien. Dan jika memungkinkan,
melakukan percobaan di ruangan luas yang memang dikhususkan untuk
pengambilan data.
DAFTAR PUSTAKA

[1] F. Jacobsen, et al., Fundamentals of Acoustics And Noise Control. Denmark:


Technical University of Denmark, Department of Electrical Engineering,
2011.
[2] G. M. Ballou, Handbook for Sound Engineers, 4th Ed. Massachusetts: Taylor
and Francis, 2011.
[3] M. Long, Architectural Acoustic, 2nd Ed. Massachusetts: Academic Press,
2014.
[4] J.G. Tylka & E. Y. Choueiri, On the Calculation of Full and Partial Directivity
Indices. New Jersey: 3D Audio and Applied Acoustic Laboratory, Princeton
University, 2016.
LAMPIRAN

Dokumentasi pengukuran:

Anda mungkin juga menyukai