Naskah Pengamatan Ilmiah (Repaired)
Naskah Pengamatan Ilmiah (Repaired)
MS. WIBISONO
08041381419061
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
Universitas Sriwijaya
2019
HALAMAN PENGESAHAN
SKRIPSI
Oleh:
MS. WIBISONO
08041381419061
Mengetahui,
Ketua Jurusan Biologi
FMIPA UNSRI
Universitas Sriwijaya
HALAMAN PERSETUJUAN
ii
Karya ilmiah berupa Skripsi dengan judul “Analisis Arsitektural Struktur Aerial
Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.)” telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji
Karya Tulis Ilmiah Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam pada
tanggal 7 Oktober 2019.
Anggota:
Mengetahui,
Universitas Sriwijaya
HALAMAN PERNYATAAN INTEGRITAS
iii
MS. Wibisono
Universitas Sriwijaya
iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
MS. Wibisono
v Universitas Sriwijaya
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-
Nya hingga saat ini sehingga penelitian dapat terlaksana dengan lancar dan naskah
tulisan berupa skripsi ini dapat diselesaikan. Tulisan ini menyajikan suatu sudut
pandang tersendiri dalam melihat tumbuh-tumbuhan, yaitu melalui pendekatan
arsitektur tumbuhan. Selain sebagai suatu syarat dalam menyelesaikan pendidikan
strata-1, tujuan dari tulisan ini adalah menggunakan sudut pandang tersebut dan
menerapkan pendekatan arsitektur tumbuhan dalam mengapresiasi jenis-jenis
tumbuhan asli di sekitar, yang dalam kasus ini Tembesu (Fagraea fragrans),
kemudian menyajikan hasil atau informasi yang dapat dipertimbangkan dalam
ranah arsitektur tumbuhan sebagai suatu pendekatan dalam memahami tumbuh-
tumbuhan.
Sangat mungkin sekali tulisan ini tidak akan dapat diselesaikan dengan
baik tanpa adanya bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak. Saya sangat
berterimakasih kepada Drs. Juswardi, M. Si atas petunjuk serta sarannya dan yang
telah memberikan waktu dan kebebasan dalam menentukan jadinya skripsi ini.
Kepada Singgih Tri Wardana, S. Si., M. Si atas sarannya dan yang telah sangat
banyak memberikan dorongan untuk terselesaikannya naskah skripsi. Kepada
Dra. Harmida, M. Si dan Dra. Nita Aminsih, M. P. sebagai dosen penguji yang
juga sangat banyak memberikan dukungan serta dorongan demi kelancaran dan
juga terselesaikan pada waktunya. Terimasih juga disampaikan kepada:
1. Dr. Arum Setiawan, M.Si selaku Ketua Jurusan Biologi Fakultas MIPA
Universitas Sriwijaya.
2. Dr. Elisa Nurnawati, M.Si selaku Sekretaris Jurusan Biologi Fakultas MIPA
Universitas Sriwijaya.
3. Drs. Agus Purwoko, M.Sc selaku Dosen Pembimbing Akademik.
4. Seluruh Staff dosen Jurusan Biologi, Fakultas MIPA Universitas Sriwijaya
yang telah membimbing dan memberikan semua pengetahuan yang
berharga.
5. Staf administrasi atas kemudahan dalam urusan administratif.
Studi yang dilakukan ini masih begitu sederhana dengan hanya menerapkan
konsep-konsep dasar tanpa tujun khusus lainnya. Sementara riset di bidang
arsitektur tumbuhan saat ini sudah begitu berkembang dan mulai dikaitkan dengan
berbagai bidang lain yang bahkan menuju ke arah aplikasi. Namun, bahkan
"pengembaraan terjauh pun dimulai dengan satu langkah" dan apa yang disajikan
di sini rasanya sudah cukup memberi gambaran awal atau persepsi mengenai
'arsitektur' atau paling tidak bangun dasar suatu bagian tumbuhan (Tembesu) dari
sudut pandang pendekatan arsitektur tumbuhan secara khusus maupun dalam
pengertiannya yang lebih luas.
Pada akhirnya dengan semua kekurangan dan keterbatasan barangkali cara
pandang ini dapat paling tidak sedikit lebih dekat dalam mengilhami untuk
sekedar mengenali dan menerima pola-pola yang ditampilkan di alam sebelum
memikirkan apapun tentang kemungkinan manfaat yang dapat diperoleh.
Penulis
Universitas Sriwijaya
RINGKASAN
M. Satrio Wibisono; Dibimbing oleh Drs. Juswardi, M.Si dan Singgih Tri
Wardana, S.Si. M. Si.
Setiap jenis tumbuhan memiliki bentuk yang khas yang berbeda dari jenis lainnya.
Beragam bentuk tumbuhan yang khas ini ditentukan program genetiknya. Ragam
rupa ini dapat dianalisis dengan pendekatan arsitektur tumbuhan. Tembesu
(F. fragrans) termasuk salah satu jenis tumbuhan asli yang membentuk vegetasi
alami di lingkungan dalam kasus ini, Sumatra Selatan. Analisis arsitektural
diterapkan untuk mempelajari pola pertumbuhan dan susunan bangun dari struktur
aerial tembesu.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni 2019 di kawasan kampus
Universitas Sriwijaya, Indralaya. Pengamatan yang bersifat kualitatif dilakukan
pada individu-individu tembesu pada berbagai fase pertumbuhan, yaitu anakan,
juvenil, dan dewasa di lapangan. Pada tiap fase pertumbuhan ditetapkan
sekitar lima individu. Analisis arsitektural kemudian dilakukan dengan
mengamati sejumlah karakter-karakter morfologis yang diperlihatkan individu-
individu F. fragrans tersebut.
Pengamatan pada tiap fase pertumbuhan menunjukan bahwa F. fragrans memiliki
konstruksi batang monopodial dengan pertumbuhan kontinu dan orientasi
ortotropik sementara percabangan simpodial dan ritmik dengan orientasi tumbuh
plagiotropik oleh aposisi. Struktur reproduktif pada fase dewasa tumbuh di posisi
lateral yang memperlihatkan kemampuan pertumbuhan yang tidak terbatas dari
aksis (indeterminate). Karakter-karakter arsitektural F. fragrans menunjukan
tumbuhan ini termasuk ke dalam pohon-pohon dengan model arsitektural
Aubreville.
Kepustakaan : 18 (1978-2018).
ix Universitas Sriwijaya
SUMMARY
Muhammad Satrio Wibisono; under the guidance of Drs. Juswardi, M.Si and
Singgih Tri Wardana, S.Si. M. Si.
Every plant species have their own unique form that different from others. This
variety of forms is determined by the genetic program. This various forms
or appearances can be analysed using plant architecture approach. Tembesu
(F. fragrans) is one of the native plant species that composes natural vegetation in
the environtment in this case, South Sumatra. Architectural analysis is applied to
study the growth pattern and framework of the shape of tembesu aerial structure.
The research was conducted in May until June 2019 in the Sriwijaya University
campus area, Indralaya. Qualitative observations were carried out on tembesu
(F. fragrans) individuals in various phases of development, i.e. seedlings,
juveniles or sapling, and adults trees, in the field with around five individuals in
each phases of development. Architectural analysis is then carried out by
observing a number of morphological characters shown by the individuals that
define their architecture.
The results of the observation on individuals in each phases of development show
that F. fragrans has monopodial trunk construction and continuous growth with
orthotropy orientation while the branching is sympodial and rhythmic with
plagiotropy by apposition in orientation. The reproductive structure in the adult
phase develop on the lateral position which indicates the indeterminate growth
capacity of the axis. The architectural characters of F. fragrans show that this
plant belong to trees that correspond to Aubreville architectural model.
x Universitas Sriwijaya
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
HALAMAN PERSETUJUAN iii
HALAMAN PERNYATAAN INTEGRITAS iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI v
HALAMAN PERSEMMBAHAN vi
KATA PENGANTAR vii
RINGKASAN ix
SUMMARY x
DAFTAR ISI xi
DAFTAR GAMBAR xiii
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 3
1.3. Tujuan Penelitian 3
1.4. Manfaat Penelitian 3
xi Universitas Sriwijaya
2.2.2. Konsep Model Arsitektural 11
2.2.3. Konsep Reiterasi 12
DAFTAR PUSTAKA 41
LAMPIRAN 43
BIODATA PENULIS 50
DAFTAR GAMBAR
Universitas Sriwijaya
Halaman
Gambar 1. Fagraea fragrans............................................................................... 4
Gambar 2. Anakan F. fragrans yang terdiri dari satu kategori aksis................. 15
Gambar 3. (A) Fase anakan F. fragrans. (B) ilustrasi skematik
memperagakan orientasi vertikal dan monopodial. (C) Filotaksis
berhadapan-silang. (D) Simetri radial yang dibentuk filotaksis..... 16
Gambar 4. F. fragrans memasuki fase juvenil dengan pertumbuhan aksis 2.... 17
Gambar 5. F. fragrans fase juvenil yang memiliki dua kategori aksis. (B)
Batang yang sama memperjelas kerangka yang dibentuk oleh
aksis-aksis. (C) Tampak samping................................................. 18
Gambar 6. Fase juvenil dengan pertumbuhan aksis 3 dan 4 serta aksis 2
selanjutnya...................................................................................... 19
Gambar 7. Pertumbuhan aksis 5 pada aksis 2 terbawah dan pertumbuhan
aksis 3 dan 4 pada aksis 2 lain di atasnya........................................ 20
Gambar 8. F. fragrans fase juvenil yang telah memiliki order aksis 5 dan 6.... 21
Gambar 9. (A) Individu yang sama (gambar 8). (B) Bagian atas dari batang
diperjelas mengilustrasikan panjang internodus yang relatif
konstan antara nodus bercabang dan tidak bercabang..................... 22
Gambar 10. Satu cabang pada dua nodus yang berurutan unit simpodial......... 23
Gambar 11. Bunga majemuk pada F. fragrans dewasa.................................... 24
Gambar 12. Porsi cabang F. fragrans dengan struktur reproduktif pada
posisi lateral.................................................................................. 25
Gambar 13. (A) Bunga majemuk F. fragrans dalam keadaan kuncup.............. 26
Gambar 14. Bentuk tajuk dan batang monopodial pohon pada fase dewasa..... 27
Gambar 15. Percabangan simpodial yang tersamarkan pada pohon dewasa..... 28
Gambar 16. Bekas yang ditinggalkan struktur reproduktif yang telah
digugurkan.................................................................................... 29
Gambar 17. Unit arsitektural dari F. fragrans yang memiliki lima kategori
aksis (A1 sampai A5).................................................................. 30
Gambar 18. Bentuk dan orientasi percabangan plagiotropik oleh aposisi......... 31
Gambar 19. Suatu porsi cabang F. fragrans tampak diagonal atas
memperlihatkan keseluruhan panjang yang dicapai dengan
sambungan aksis-aksis yang terkonstruksi secara sumpodial
dan melebarmenempati ruang secara mendatar dengan
orientasi plagiotropik oleh aposisi............................................... 32
xiii
Universitas Sriwijaya
xiv
Universitas Sriwijaya
BAB 1
PENDAHULUAN
1 Universitas Sriwijaya
2
(Arijani, 2006). Sejauh ini telah teramati 23 model arsitektur pohon, yang
dijumpai di alam (Barthelemy et al., 2007), berdasarkan perilaku meristem apikal
dalam memproduksi sistem percabangan.
Konsep model arsitektur ini umumnya diterapkan pada tumbuhan yang
membentuk pohon atau arboresen dalam pengertian habitusnya. Namun, bukan
berarti tidak berlaku pada tumbuhan herba atau semak yang tidak dikatakan
berhabitus pohon. Ini mungkin disebabkan karena konsep arsitektur tumbuhan
pada awalnya diperkenalkan dari pengamatan morfologis terhadap pohon-pohon
di wilayah tropis oleh Halle et al. (1978).
Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) termasuk jenis pohon asli vegetasi di
daerah Sumatra Selatan. Lemmens et al. (1995) menjelaskan bahwa tembesu
merupakan jenis yang sangat adaptif dan dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah
dan kondisi lingkungan dan Damayanti et al. (2017), tembesu secara alami
tumbuh di hutan alam rawa gambut. Namun, tembesu (F. fragrans) umumnya
begitu dikenal karena pemanfaatan kayunya. Menurut Asmaliyah et al. (2012),
tembesu adalah jenis pohon penghasil kayu yang terkenal di Provinsi Sumatra
Selatan. Kayunya digunakan baik sebagai kayu gergajian maupun kayu bulat
untuk tiang, jembatan, furnitur, lemari, kusen pintu dan jendela dan ukiran kayu.
Meskipun demikian, alasan mendasar analisis arsitektural terhadap tumbuhan
ini bukan karena obsesi dari sisi pemanfaatannya, sebagai komoditas kayu yang
populer. Namun, memandang sebagai tumbuhan dengan satu kesatuan bentuk dan
perkembangan yang dapat diungkap melalui pendekatan arsitektural serta
apresiasi terhadap jenis tumbuhan yang membentuk vegetasi alami dari
lingkungan dalam kasus ini. Sebagai salah satu dari begitu banyak jenis penyusun
vegetasi alami lainnya, juga tidak ada alasan khusus atau tujuan aplikatif yang
membuat jenis ini begitu spesial dibanding yang lain. Namun, pada akhirnya, dari
semua perspektif, tetap dapat dilihat dan diterima sebagai bentuk informasi dari
suatu pendekatan ilmiah yang memang telah dipertimbangkan.
Sejumlah penelitian yang bersifat sistematika pada F. fragrans, seperti studi
yang dilakukan Wong dan Sugumaran (2012), sebenarnya telah menyertakan
keterangan tentang pengamatan singkat dan model arsitektur tumbuhan ini.
Namun, sejak diketahui bahwa dalam rangka memahami model arsitektural harus
Universitas Sriwijaya
3
1.3. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk memahami organisasi bentuk atau susunan
bangun dan pola pertumbuhan struktur aerial tembesu (Fagraea fragrans Roxb.).
1.4. Manfaat
Penelitian ini akan mengantarkan pada pemahaman tentang aspek arsitektural
dari suatu tumbuhan khususnya tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) yang secara
langsung paling tidak menyediakan suatu bentuk informasi atau data dari
pendekatan ilmiah arsitektur tumbuhan.
BAB 2
Universitas Sriwijaya
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1. Klasifikasi
Klasifikasi tembesu menurut Heyne (1987) (Rosalia, 2008):
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Angiospermae
Ordo : Gentianales
Famili : Loganiaceae
Genus : Fagraea
Spesies : Fagraea fragrans Roxb.
Universitas Sriwijaya
bagian dalam kulit pohon coklat hingga kuning. Tajuk pohon berbentuk kerucut
(cone) (Lemmens et al., 1995).
Tembesu memiliki daun tunggal berwarna hijau dengan posisi daun
berhadapan silang. Memiliki stipula berbentuk cawan kecil pada sumbu daun.
(Rosalia, 2008). Daun oblong-lanceolat hingga oblong-obovat, 4-15 cm × 1,5-6
cm, ujung biasanya akuminata yang pendek hingga panjang, pembuluh sekunder
sedikit menonjol, petiola dengan panjang 1-2,5 cm, stipula membulat dan secara
terpisah bebas dari petiola (Lemmens et al., 1995). Daun seluruhnya berlekatan 4-
9 pasang bergabung di dekat pangkalnya (Rosalia, 2008).
Bunga bisexual dengan lebar 20-25 cm, warna putih krem dan berubah
menjadi kuning dengan aroma yang khas. Susunan bunga tembesu dalam bentuk
malai, dan panjang tabung tajuk bunga 1-2,5 cm. Sedangkan tabung mahkota
bunga sedikit mencorong, dengan panjang 0,7-2,3 cm (Rosalia, 2008). Buah
umumnya berbentuk elipsoid, 0,7-1 cm panjang, berwarna jingga atau merah
(Lemmens et al., 1995). Regenerasi alami tembesu umumnya berasal dari tunas
akar, sangat jarang dijumpai regenerasi alami yang berasal dari biji atau benih.
Dengan karakter tersebut, tembesu dapat membentuk tegakan yang berasal dari
akar (Mindawati et al., 2014).
2.1.2. Persebaran
Di Indonesia tembesu tumbuh tersebar secara alami di beberapa wilayah
seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa Barat, Maluku dan Irian Jaya.
Tembesu secara alami tumbuh sebagai tanaman pionir pada areal terbuka bekas
terbakar, lahan alang-alang atau pada hutan sekunder yang lembab (Mindawati et
al., 2014). Tembesu merupakan jenis yang sangat adaptif dan dapat tumbuh pada
berbagai jenis tanah dan kondisi lingkungan, seperti pada tanah datar dan sarang,
tanah pasir atau tanah liat berpasir, serta tanah miskin. Selanjutnya dikatakan pula
bahwa tembesu dapat tumbuh baik pada tanah dengan drainase yang buruk dan di
rawa tembesu tumbuh berasosiasi dengan gelam (Melaleuca spp.). Secara umum,
jenis ini menghendaki iklim basah sampai agak kering dan tumbuh baik
pada ketinggian 0-500 m dari permukaan laut (Lemmens et al., 1995).
Universitas Sriwijaya
6
2.1.3. Pemanfaatan
Tembesu (Fragraea fragrans Roxb.) merupakan salah satu jenis tanaman
yang banyak dimanfaatkan dan mempunyai nilai ekonomi tinggi (Mindawati et
al., 2014). Tembesu adalah jenis pohon penghasil kayu yang terkenal di Provinsi
Sumatera Selatan. Jenis ini memiliki keunggulan dari sisi ekologi dan ekonomi
(Asmaliyah et al., 2012). Dari sisi ekologi, tembesu merupakan jenis tanaman
pionir yang mempunyai kemampuan daya hidup yang baik pada lahan marginal,
tahan terhadap api, dan pada setiap fase pertumbuhannya tanaman ini dapat hidup
baik di lahan-lahan terbuka (Rustam et al., 2018).
Fagraea fragrans merupakan sumber utama dari kayu tembesu. Kayu tahan
lama dan berharga digunakan baik sebagai kayu gergajian maupun kayu bulat
untuk tiang dan dalam konstuksi rumah, jembatan, bantalan rel kereta api, tiang
listrik dan telefon, furnitur, lemari, kusen pintu dan jendela dan ukiran kayu.
Pohonnya ditanam sebagai pohon rindang dan hias di taman, dan sepanjang jalan,
dan juga untuk tujuan reforestasi (Lemmens et al., 1995).
Universitas Sriwijaya
7
pohon pada suatu saat begitu juga hukum alam yang mengatur perkembanganya
(Kuiper, 1994).
Arsitektur percabangan merupakan gambaran morfologi pada suatu fase
tertentu dari suatu rangkaian seri pertumbuhan pohon yang nyata dan dapat
diamati setiap waktu (Hasanudin, 2013). Arsitektur dari suatu tumbuhan
tergantung pada sifat alami dan pengaturan relatif dari setiap bagian-
bagiannya; itu adalah ekspresi dari sebuah keseimbangan antara proses
pertumbuhan endogen dan kendala eksogen yang diberikan oleh lingkungan
(Barthelemy & Caraglio, 2007).
2.2.1. Dasar Morfologi dan Kriteria untuk Deskripsi dan Analisis Arsitektur
Tumbuhan
Morfologi tumbuhan, dalam arti historis dan lebih luas dan sebagai sebuah
disiplin sintetis, dapat dianggap sebagai salah satu dari sumber inspirasi dari studi
arsitektur tumbuhan. Ada beberapa sifat morfologis utama yang umumnya
digunakan dalam analisis arsitektural tumbuhan dan mereka dapat dikelompokan
berdasarkan empat kategori: (1) proses pertumbuhan, (2) proses percabangan, (3)
diferensiasi morfologis dari batang dan (4) posisi (lateral vs. terminal) dari
struktur reproduktif. Meskipun merujuk pada konsep morfologi dasar, terminologi
terkait istilah tersebut terbukti terkadang membingungkan dan mengarah pada
interpretasi yang salah (Barthelemy & Caraglio, 2007).
2.2.1.1. Proses Pertumbuhan
Pertumbuhan utama dari suatu tumbuhan merupakan hasil dari sejumlah
proses yang dapat dibedakan menjadi dua kelompok, namun peristiwa
terkoordinasi: organogenesis dan ekstensi. Permulaan dari organ baru
(organogenesis) merupakan hasil dari fungsi sel-sel yang tidak terdiferensiasi
yang menyusun meristem apikal.
Pertumbuhan tumbuhan dapat dipertimbangkan dalam beberapa cara
tergantung dari macam organ atau level organisasinya (pertumbuhan dari suatu
daun, batang, buah, keseluruhan tumbuhan, dan lain-lain). Analisis arsitektur
tumbuhan akan fokus terutama pada proses ekstensi dari aksis berdaun atau
batang dan tidak membahas rinci proses organogenesis ataupun pertumbuhan
sekunder.
Universitas Sriwijaya
8
Universitas Sriwijaya
9
Universitas Sriwijaya
10
Universitas Sriwijaya
11
Universitas Sriwijaya
12
Universitas Sriwijaya
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.3. Metode
Analisis arsitektural dilakukan dengan metode rekonstruksi. Pengamatan
yang dilakukan bersifat kualitatif terhadap individu-individu tembesu pada
berbagai fase pertumbuhan, yaitu anakan, juvenil, dan dewasa. Lokasi terdapatnya
individu tembesu pada fase pertumbuhan tertentu di lapangan ditetapkan secara
eksplorasi dimana telah dilakukan survei pendahuluan sebelumnya. Pada tiap fase
pertumbuhan ditetapkan sekitar lima individu untuk membandingkan dan
menetapkan generalisasi.
13 Universitas Sriwijaya
14
Universitas Sriwijaya
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.1. Anakan
Fase anakan dimulai setelah tumbuhan berkecambah hingga munculnya
cabang pertama (aksis 2). Fase anakan terdiri dari satu aksis dengan pertumbuhan
batang (aksis 1) tegak lurus, orientasi arah tumbuh vertikal atau bersifat
ortotropik, dan monopodial (Gambar 2 dan 3). Pertumbuhan berlangsung terus-
menerus atau kontinu, tanpa adanya tanda-tanda morfologis dari penghentian
sementara atau fase istirahat pertumbuhan aksis. Daun tersusun dalam dua helai
yang saling berhadapan pada tiap nodus dan menempati bidang yang berbeda dari
nodus yang berurutan atau filotaksis berhadapan-silang. Simetri radial, sesuai
dengan orientasi arah tumbuh dan filotaksis tersebut.
4.1.2. Juvenil
Pertumbuhan cabang (aksis 2) menandai berakhirnya fase anakan dan
dikatakan memasuki fase juvenil. Sebagian besar karakter arsitektural dari
15 Universitas Sriwijaya
17
tumbuhan ini telah terekspresi pada fase ini. Percabangan bersifat lateral, aksis 2
muncul dari ketiak daun aksis utama (aksis 1) (Gambar 5). Tiap meristem aksilar
pada ketiak daun dapat berkembang menjadi aksis lateral dan menghasilkan dua
cabang yang berhadapan tumbuh pada satu nodus (Gambar 4 dan 5), namun juga
dapat hanya salah satu meristem aksilar yang berkembang menjadi aksis lateral
dan hanya menghasilkan satu cabang pada satu nodus. Pertumbuhan aksis 2
bersifat sileptik atau segera.
A2 A2
A2
Universitas Sriwijaya
19
A3
A3 A3
A4
A4
20
Gambar 6. Fase juvenil dengan pertumbuhan aksis 3 (A3) dan 4 (A4)
serta aksis 2 selanjutnya.
Universitas Sriwijaya
Pertumbuhan fase juvenil terus berlanjut, cabang-cabang terus bercabang
lagi, cabang yang berasal dari aksis 3 disebut aksis 4. Aksis 4 ini serupa dengan
aksis induknya (aksis 3) dengan ukuran relatif yang mulai tampak cenderung
sedikit lebih kecil. Aksis 4 tumbuh dengan cara yang sama seperti aksis
sebelumnya (Gambar 7 dan 8). Aksis ini berkembang pada nodus dari salah satu
aksil daun aksis 3 dan segera memanjang meninggalkan aksis induknya yang
menunjukan perlambatan pertumbuhan.
Sejauh ini hingga pertumbuhan aksis 4 semua kategori aksis tetap memiliki
filotaksis yang sama dengan batang utama (aksis 1) yang juga berarti memiliki
ketentuan pengaturan posisional pertumbuhan cabang yang sama, karena cabang
berkembang dari meristem aksilar di ketiak daun. Meskipun demikian, mulai
tampak adanya suatu aturan lain dalam pertumbuhan aksis pada percabangan,
yang berbeda dibanding pada batang utama (aksis 1).
A4
A4
A3 A3
A6
A5 A5
A4
A4
A3
23
Gambar 7. Pertumbuhan aksis 5 (A5) dan 6 (A6) pada aksis 2 terbawah dan
pertumbuhan aksis 3 (A3) dan 4 (A4) pada aksis 2 lain di atasnya.
Sementara dua cabang aksis 2 dapat berkembang dari satu nodus pada aksis
1, di sisi lain tidak pernah tumbuh dua tunas lateral dari satu nodus pada suatu unit
Universitas Sriwijaya
simpodial percabangan (Gambar 9B dan 10). Selalu hanya salah satu tunas lateral
dari meristem aksilar pada kedua aksil daun yang berkembang menjadi aksis
lateral, sehingga tidak pernah terjadi dua cabang yang berhadapan. Pada
umumnya, cabang lain tumbuh pada satu nodus berikutnya dari aksil daun di
posisi yang berlawanan dan cenderung mempertahankan keadaan aksis induk
berada di tengah antara kedua aksis tersebut yang akhirnya memberi kesan dua
cabang yang berhadapan.
Gambar 10. Satu cabang pada dua nodus yang berurutan pada unit
simpodial.
Pertumbuhan aksis 5 segera terjadi dari aksis 4 dan cabang yang baru tetap
memiliki sifat yang serupa dengan cabang sebelumnya. Pertumbuhan cabang
terjadi di area distal dari aksis induknya (aksis 4) sehingga menghasilkan seri
linear dari unit simpodial memanjang yang menyerupai ‘gelombang’. Semakin
bertambah jumlah cabang, semakin simpodium (keseluruhan susunan cabang)
condong ke arah horizontal. Aksis 2 akan semakin melengkung atau terkulai pada
bagian proksimalnya dan menghasilkan keadaan dimana orientasi aksis tampak
seolah-olah plagiotropik. Namun, ujung distal dari aksis tersebut yang vertikal
akan tetap menunjukan sifat ortotropiknya. Kecenderungan ini disebut
24
plagiotropik oleh aposisi (plagiotropy by apposistion), juga karena pertumbuhan
unit simpodial yang tidak terbatas.
Pertumbuhan masih terus berlanjut pada fase juvenil ini, seiring dengan
batang bertambah tinggi dan tumbuh cabang-cabang baru, cabang-cabang
Universitas Sriwijaya
terendah mulai gugur. Belum dapat dipastikan hubungan antara jumlah kategori
cabang dengan peralihan ke fase dewasa. Bahkan teramati suatu individu yang
telah memiliki sepuluh kategori aksis dengan tinggi sekitar 5 m, masih belum
menunjukan adanya perkembangan struktur reproduktif.
4.1.3. Dewasa
Fase dewasa dimulai dengan berkembangnya struktur reproduktif untuk
pertama kalinya. Bunga tumbuh di bagian lateral area distal aksis dalam bentuk
bunga majemuk (Gambar 11 dan 12). Bunga majemuk (infloresen) ini cenderung
hampir selalu muncul dari kedua aksil daun yang berhadapan dan pada dua nodus
berurutan, cenderung jarang teramati hanya satu bunga majemuk yang tumbuh
pada satu nodus, dan umumnya dalam keadaan mekar pada posisi nodus ke tiga
dari apikal.
Bunga majemuk berbentuk malai dimana ibu tangkai bunga mengadakan
percabangan secara monopodial yang terdiri dari beberapa cabang dengan dua
cabang berhadapan pada nodus yang sama dan tiap individual bunga akan tampak
berada pada ketinggian yang tidak jauh berbeda membentuk suatu bidang
‘cembung’ dalam rangkaian bunga majemuknya (Gambar 13).
27
Universitas Sriwijaya
Pertumbuhan bunga yang terjadi di bagian lateral tidak mengahiri pertumbuhan
aksis yang menunjangnya dan pucuk apikal tetap mempertahankan potensial
pertumbuhannya. Posisi struktur reproduktif di bagian lateral menunjukan
kemampuan pertumbuhan yang tidak terbatas (indeterminate).
Pohon dewasa yang teramati telah mencapai tinggi sekitar 7 m. Pada fase
dewasa ini mulai dikenali adanya suatu proses ‘pemantapan’. Percabangan tampak
menjadi lebih padat dan rapat di batang utama yang juga karena peningkatan
ukuran diameter batang sementara panjang internodus tidak banyak bertambah.
Pada percabangan (simpodium) pertambahan ukuran terjadi lebih banyak pada
bagian aksis yang membentuk sambungan linear dengan aksis-aksis lainnya,
sementara porsi aksis yang berada di atas titik munculnya aksis lateral tersebut,
28
bagian distal per unit simpodial, seolah-olah tetap pada ukuran awalnya atau lebih
sedikit mengalami peningkatan ukuran (diameter relatif).
Perubahan pada cabang-cabang terus terjadi. Peningkatan ukuran tidak terjadi
sama di semua bagian di sepanjang cabang. Dari bagian pangkal ke ujung unit
simpodial terakhir pada simpodium, terdapat perbedaan ukuran gradual menjadi
lebih kecil, dari yang awalnya memiliki ukuran (diameter) yang relatif sama di
sepanjang aksis pada satu unit simpodial maupun dalam keseluruhan simpodium
Universitas Sriwijaya
dan perbedaan hanya sedikit tampak per unit aksis. Pertumbuhan ini seolah-olah
tidak terikat lagi pada satuan unit simpodial, dan bagian distal yang sesungguhnya
dari suatu unit aksis yang masih melanjukan pertumbuhan apikal setelah
memunculkan cabang, justru tampak seperti aksis lateral yang lebih kecil. Proses
ini juga menyamarkan lengkungan atau struktur menyerupai ‘gelombang’ yang
awalnya dihasilkan dari percabangan (Gambar 14 dan 19).
Universitas Sriwijaya
29
Universitas Sriwijaya
30
A B
Gambar 17. Unit arsitektural dari F.
fragrans yang memiliki lima kategori aksis (A1 sampai A5). (A) ilustrasi diagramatis
dari pohon (tampak samping) memperlihatkan posisi relatif dari kategori-kategori
aksis; (B) ilustrasi diagramatis dari tingkatan cabang-cabang (tampak atas) dengan
dua cabang pada tiap aksis, cabang yang lebih pudar berada di bawahnya .
Batang (A1) Dahan (A2) Ranting (A3) Ranting (A4) Ranting (A5)
Orientasi Orientasi Orientasi Orientasi
Arah tumbuh proksimal proksimal proksimal proksimal
vertikal horizontal atau horizontal atau horizontal atau horizontal atau
(ortotropik) miring, distal miring, distal miring, distal miring, distal
vertikal vertikal vertikal vertikal
Pertumbuhan Pertumbuhan Pertumbuhan Pertumbuhan Pertumbuhan
kontinu kontinu kontinu kontinu kontinu
Monopodial Simpodial Simpodial Simpodial Simpodial
Pertumbuhan Pertumbuhan Pertumbuhan Pertumbuhan Pertumbuhan
tak terbatas tak terbatas tak terbatas tak terbatas tak terbatas
(indeterminate) (indeterminate) (indeterminate) (indeterminate) (indeterminate)
Percabangan Percabangan Percabangan Percabangan Percabangan
ritmik dan ritmik dan ritmik dan ritmik dan ritmik dan
sileptik sileptik sileptik sileptik sileptik
Filotaksis Filotaksis Filotaksis Filotaksis Filotaksis
berhadapan- berhadapan- berhadapan- berhadapan- berhadapan- 31
silang silang silang silang silang
Tabel 1. Ringkasan fitur-fitur morfologis dari kelima kategori aksis F. fragrans.
Universitas Sriwijaya
Gambar 18. Bentuk dan orientasi yang cenderung horizontal
dari percabangan plagiotropik oleh aposisi.
Universitas Sriwijaya
Gambar 21. Batang monopodial F. fragrans.
35
Universitas Sriwijaya
Pertumbuhan batang atau aksis F. fragrans berlangsung secara terus-
menerus. Tidak ada tanda-tanda dari suatu periode penghentian pertumbuhan
seperti yang disebutkan dalam Bell (1991), yaitu daun sisik, porsi nodus-nodus
yang rapat pada batang, atau perbedaan ukuran daun yang teratur yang
mengindikasikan suatu ritme pertumbuhan dari sifat pertumbuhan ritmik.
Tiap internodus memiliki panjang yang relatif sama di sepanjang aksis yang
menandai pertumbuhan yang konstans dari waktu ke waktu, meskipun pada area
distal unit simpodial setelah pertumbuhan cabang memiliki jarak antar nodus yang
menjadi lebih pendek. Karakteristik tersebut menunjukan sifat pertumbuhan
kontinu yang dibedakan oleh Barthelemy & Caraglio (2007), dengan tidak adanya
tanda penghentian endogen dari ekstensi batang.
Gambar 23. Percabangan ritmik pada aksis 1. Tanda putih menunjukan porsi
36
batang dengan nodus tanpa cabang, tanda hitam menunjukan porsi
dengan nodus bercabang.
Universitas Sriwijaya
mempertimbangkan distribusi topologikal dari aksis-aksis pada aksis induk dan
mendefinisikan percabangan ritmik saat aksis lateral dikelompokan sebagai
tingkatan-tingkatan yang berbeda dengan suatu pergantian beraturan yang jelas
dari suksesi nodus bercabang dan tidak bercabang.
H
H
Universitas Sriwijaya
penundaan, daun pertama (prophylls) muncul sangat jauh pada aksis, bagian
proksimal pada cabang yang panjang dari profil tersebut diberi nama hipopodium.
Universitas Sriwijaya
39
Universitas Sriwijaya
BAB 5
KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan
Pengamatan yang telah dilakukan membawa pada pengertian bahwa bagian
aerial Tembesu (F. fragrans) dibangun oleh satu sumbu utama (batang
monopodial) yang tumbuh terus-menerus (kontinu dan tidak terbatas) ) ke arah
tegak lurus (ortotropik) dan bercabang secara berkala (percabangan ritmik) ke
arah mendatar (plagiotropik) oleh susunan cabang-cabang sebanding tanpa satu
sumbu utama atau hierarki ukuran (simpodial) yang kemudian menumbuhkan
bunga pada sisi-sisi bagian ujung masing-masing cabang (struktur reproduktif
lateral) yang secara keseluruhan menampilkan pola pertumbuhan dan arsitektur
yang merujuk pada model arsitektur Aubreville.
5.2. Saran
Pengamatan labih dalam terhadap karakter-karakter arsitektural dan mungkin
disertai data-data kuantitatif masih diperlukan dalam rangka membuat
deskripsi yang lebih rinci untuk menelaah lebih jauh aspek arsitektural tumbuhan
ini (F. fragrans) serta barangkali tumbuhan-tumbuhan lainnya dalam lingkungan
yang sama.
40 Universitas Sriwijaya
DAFTAR PUSTAKA
Arijani. 2006. Model Arsitektur Pohon pada Hulu DAS Cianjur Zona Sub-
Montana Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Jurnal Matematika,
Sains, dan Teknologi. 7(2): 71-84.
Asmaliyah, Imanullah, A. dan Darwiati, W. 2012. Identifikasi dan Potensi
Kerusakan Rayap pada Tanaman Tembesu (Fagraea fragrans) di Kebun
Percobaan Way Hanakau, Lampung Utara. Jurnal Penelitian Hutan
Tanaman. 9(4): 187-194.
Barthelemy, D. dan Caraglio, Y. 2007. Plant Architecture: A Dynamic, Multilevel
and Comprehensive Approach to Plant Form, Structure and Ontogeny.
Annals of Botany. 99: 375-407.
Bell, D. A. 1991. Plant Form: An Illustrated Guide to Flowering Plant
Morphology. Oxford University Press.
Chomicki, G., Cairo, M. dan Renner, S. S. 2017. Evolution and Ecology of Plant
Architecture: Integrating Insight from the Fossil Record, Extant
Morphology, Development Genetic and Phylogenies. Annals of Botany.
120: 855-891.
Damayanti, U. R., Supriyanto, Wulandari, S. A. dan Subandy, B. 2017.
Regenerasi Tunas Adventif dari Eksplan Daun Tembesu (Fagraea
fragrans) melalui Teknik Kultur Jaringan. Jurnal Penelitian Hutan
Tanaman. 14(1).
Halle, F., Oldeman, R. A. A. dan Tomlinson, P. B. 1978. Tropical Trees and
Forests: An Architectural Analysis. Springer-Verlag Berlin.
Hasanudin. 2013. Model Arsitektur Pohon Hutan Kota Banda Aceh sebagai
Penunjang Praktikum Morfologi Tumbuhan. Jurnal EduBio Tropika. 1(1):
1-60.
Hidayat, E. B. 1994. Morfologi Tumbuhan. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan: Jakarta.
Hidayat, M., Pratiwi, O., Sartinawati R., Sakti, R. V. 2018. Stratifikasi dan Model
Arsitektur Pohon di Kawasan Hutan Sekunder Pegunungan Deudap Pulo
Aceh Kabupaten Aceh Besar. Prosiding Seminar Nasional Biotik 2018.
Kuiper, L. C. 1994. Architectural Analysis of Douglass-fir Forest. Wageningen
Agricultural University: Netherland.
Lemmens, R. H. M. J., Soerianegara, I., Wong, W. C. 1995. Plant Resources of
South-East Asia 5. (2) Timber trees: Minor commercial timber. PROSEA:
Bogor.
Mindawati, N., Nuromah, S. H. dan Akhmad, C. 2014. Tembesu Kayu Raja
Andalan Sumatera. FORDA PRESS: Bogor.
32
41 Universitas Sriwijaya
42
33
Universitas Sriwijaya
LAMPIRAN
Anakan F. fragrans tumbuh pada area terbuka dan di bawah naungan kanopi.
34
43
Universitas Sriwijaya
44
35
2. Juvenil
45
36
3. Dewasa
Universitas Sriwijaya
Sejumlah individu F. fragrans dewasa. Kulit pohon bercelah dan
beralur dalam dari F. fragrans
dewasa.
46
37
Model-Model Arsitektural
Universitas Sriwijaya
1. Pohon-pohon monoaksial
2. Pohon-pohon poliaksial
a. Aksis vegetatif ekivalen dan ortotropik
38 47
Model Schoute Model Chamberlain Model McClure
Universitas Sriwijaya
Model Leeuwenberg Model Koriba
48
39
Universitas Sriwijaya
Model Stone
Rauh
Cook
49
40
Model Attims Model Scarrone
Universitas Sriwijaya
Model Troll Model Troll
Universitas Sriwijaya