Anda di halaman 1dari 53

SKRIPSI

ANALISIS ARSITEKTURAL STRUKTUR AERIAL TEMBESU


(Fagraea fragrans Roxb.)

Diajukan sebagai Syarat untuk Menyelesaikan Pendidikan Program Strata-1 pada


Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sriwijaya

MS. WIBISONO
08041381419061

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA

Universitas Sriwijaya
2019
HALAMAN PENGESAHAN

SKRIPSI

ANALISIS ARSITEKTURAL STRUKTUR AERIAL TEMBESU


(Fagraea fragrans Roxb.)

Diajukan sebagai Syarat untuk Menyelesaikan Pendidikan Program Strata-1 pada


Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sriwijaya

Oleh:
MS. WIBISONO
08041381419061

Indralaya, Oktober 2019

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Drs. Juswardi, M.Si Singgih Tri Wardana, S.Si., M.Si


NIP. 196309241990021001 NIP. 197109111999031004

Mengetahui,
Ketua Jurusan Biologi
FMIPA UNSRI

Dr. Arum Setiawan, M.Si


NIP. 197211221998031001

Universitas Sriwijaya
HALAMAN PERSETUJUAN
ii
Karya ilmiah berupa Skripsi dengan judul “Analisis Arsitektural Struktur Aerial
Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.)” telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji
Karya Tulis Ilmiah Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam pada
tanggal 7 Oktober 2019.

Inderalaya, 7 Oktober 2019

Tim Penguji Karya Tulis Ilmiah berupa Skripsi:


Ketua:

1. Drs. Juswardi, M.Si (…………………………...)


NIP. 196309241990021001

Anggota:

2. Singgih Tri Wardana, S.Si., M.Si (…………………………...)


NIP. 197109111999031004

3. Dra. Harmida, M.Si (…………………………...)


NIP. 196704171994012001

4. Dra. Nita Aminasih, M.P. (………………………...…)


NIP. 196205171993032001

5. Drs. Mustafa Kamal, M.Si (………………………..….)


NIP. 196207091992031005

Mengetahui,

Dekan FMIPA Ketua Jurusan Biologi

Prof. Dr. Iskhaq Iskandar, M.Sc. Dr. Arum Setiawan, M.Si.


NIP. 197210041997021001 NIP. 197211221998031001

Universitas Sriwijaya
HALAMAN PERNYATAAN INTEGRITAS
iii

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : M. Satrio Wibisono


NIM : 08041381419061
Judul : Analisis Arsitektural Struktur Aerial Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.)

Menyatakan bahwa Skripsi saya merupakan hasil karya sendiri didampingi


dosen pembimbing dan bukan hasil penjiplakan/plagiat. Apabila ditemukan unsur
penjiplakan/plagiat dalam Skripsi ini, maka saya bersedia menerima sanksi
akademik dari Universitas Sriwijaya sesuai aturan yang berlaku.
Demikian, pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar dan tanpa ada
paksaan dari siapapun.

Inderalaya, Oktober 2019

MS. Wibisono

Universitas Sriwijaya
iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Muhammad Satrio Wibisono


NIM : 08041381419061
Judul : Analisis Arsitektural Struktur Aerial Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.)

Memberikan izin kepada Pembimbing dan Universitas Sriwijaya untuk


mempublikasikan hasil penelitian saya untuk kepentingan akademik apabila
dalam waktu 1 (satu) tahun tidak mempublikasikan karya penelitian saya. Dalam
kasus ini saya setuju untuk menempatkan Pembimbing sebagai penulis
korespondensi (Corresponding author).
Demikian, pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar dan tanpa ada
paksaan dari siapapun.

Indralaya, Oktober 2019

MS. Wibisono

v Universitas Sriwijaya
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-
Nya hingga saat ini sehingga penelitian dapat terlaksana dengan lancar dan naskah
tulisan berupa skripsi ini dapat diselesaikan. Tulisan ini menyajikan suatu sudut
pandang tersendiri dalam melihat tumbuh-tumbuhan, yaitu melalui pendekatan
arsitektur tumbuhan. Selain sebagai suatu syarat dalam menyelesaikan pendidikan
strata-1, tujuan dari tulisan ini adalah menggunakan sudut pandang tersebut dan
menerapkan pendekatan arsitektur tumbuhan dalam mengapresiasi jenis-jenis
tumbuhan asli di sekitar, yang dalam kasus ini Tembesu (Fagraea fragrans),
kemudian menyajikan hasil atau informasi yang dapat dipertimbangkan dalam
ranah arsitektur tumbuhan sebagai suatu pendekatan dalam memahami tumbuh-
tumbuhan.
Sangat mungkin sekali tulisan ini tidak akan dapat diselesaikan dengan
baik tanpa adanya bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak. Saya sangat
berterimakasih kepada Drs. Juswardi, M. Si atas petunjuk serta sarannya dan yang
telah memberikan waktu dan kebebasan dalam menentukan jadinya skripsi ini.
Kepada Singgih Tri Wardana, S. Si., M. Si atas sarannya dan yang telah sangat
banyak memberikan dorongan untuk terselesaikannya naskah skripsi. Kepada
Dra. Harmida, M. Si dan Dra. Nita Aminsih, M. P. sebagai dosen penguji yang
juga sangat banyak memberikan dukungan serta dorongan demi kelancaran dan
juga terselesaikan pada waktunya. Terimasih juga disampaikan kepada:

1. Dr. Arum Setiawan, M.Si selaku Ketua Jurusan Biologi Fakultas MIPA
Universitas Sriwijaya.
2. Dr. Elisa Nurnawati, M.Si selaku Sekretaris Jurusan Biologi Fakultas MIPA
Universitas Sriwijaya.
3. Drs. Agus Purwoko, M.Sc selaku Dosen Pembimbing Akademik.
4. Seluruh Staff dosen Jurusan Biologi, Fakultas MIPA Universitas Sriwijaya
yang telah membimbing dan memberikan semua pengetahuan yang
berharga.
5. Staf administrasi atas kemudahan dalam urusan administratif.

vii Universitas Sriwijaya


viii

6. Teman-teman serta rekan-rekan kolega yang yang secara langsung maupun


tidak langsung mempengaruhi semuanya.
7. Semua pihak yang telah berperan dalam penulisan dan penyelesaian skripsi
ini.

Studi yang dilakukan ini masih begitu sederhana dengan hanya menerapkan
konsep-konsep dasar tanpa tujun khusus lainnya. Sementara riset di bidang
arsitektur tumbuhan saat ini sudah begitu berkembang dan mulai dikaitkan dengan
berbagai bidang lain yang bahkan menuju ke arah aplikasi. Namun, bahkan
"pengembaraan terjauh pun dimulai dengan satu langkah" dan apa yang disajikan
di sini rasanya sudah cukup memberi gambaran awal atau persepsi mengenai
'arsitektur' atau paling tidak bangun dasar suatu bagian tumbuhan (Tembesu) dari
sudut pandang pendekatan arsitektur tumbuhan secara khusus maupun dalam
pengertiannya yang lebih luas.
Pada akhirnya dengan semua kekurangan dan keterbatasan barangkali cara
pandang ini dapat paling tidak sedikit lebih dekat dalam mengilhami untuk
sekedar mengenali dan menerima pola-pola yang ditampilkan di alam sebelum
memikirkan apapun tentang kemungkinan manfaat yang dapat diperoleh.

Indralaya, Oktober 2019

Penulis

Universitas Sriwijaya
RINGKASAN

ANALISIS ARSITEKTURAL STRUKTUR AERIAL TEMBESU


(Fagraea fragrans Roxb.)

Karya Tulis berupa Skripsi, Juli 2019

M. Satrio Wibisono; Dibimbing oleh Drs. Juswardi, M.Si dan Singgih Tri
Wardana, S.Si. M. Si.

Architectural Analysis of Aerial Structure of Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.)

Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas


Sriwijaya.

xii + 50 halaman, 26 gambar, 1 tabel

Setiap jenis tumbuhan memiliki bentuk yang khas yang berbeda dari jenis lainnya.
Beragam bentuk tumbuhan yang khas ini ditentukan program genetiknya. Ragam
rupa ini dapat dianalisis dengan pendekatan arsitektur tumbuhan. Tembesu
(F. fragrans) termasuk salah satu jenis tumbuhan asli yang membentuk vegetasi
alami di lingkungan dalam kasus ini, Sumatra Selatan. Analisis arsitektural
diterapkan untuk mempelajari pola pertumbuhan dan susunan bangun dari struktur
aerial tembesu.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni 2019 di kawasan kampus
Universitas Sriwijaya, Indralaya. Pengamatan yang bersifat kualitatif dilakukan
pada individu-individu tembesu pada berbagai fase pertumbuhan, yaitu anakan,
juvenil, dan dewasa di lapangan. Pada tiap fase pertumbuhan ditetapkan
sekitar lima individu. Analisis arsitektural kemudian dilakukan dengan
mengamati sejumlah karakter-karakter morfologis yang diperlihatkan individu-
individu F. fragrans tersebut.
Pengamatan pada tiap fase pertumbuhan menunjukan bahwa F. fragrans memiliki
konstruksi batang monopodial dengan pertumbuhan kontinu dan orientasi
ortotropik sementara percabangan simpodial dan ritmik dengan orientasi tumbuh
plagiotropik oleh aposisi. Struktur reproduktif pada fase dewasa tumbuh di posisi
lateral yang memperlihatkan kemampuan pertumbuhan yang tidak terbatas dari
aksis (indeterminate). Karakter-karakter arsitektural F. fragrans menunjukan
tumbuhan ini termasuk ke dalam pohon-pohon dengan model arsitektural
Aubreville.

Kata Kunci : Fagraea fragrans, Arsitektur Tumbuhan, Karakter-Karakter


asiMorfologis, Fase Pertumbuhan, Model Arsitektural.

Kepustakaan : 18 (1978-2018).

ix Universitas Sriwijaya
SUMMARY

ARCHITECTURAL ANALYSIS OF AERIAL STRUCTURE OF


TEMBESU (Fagraea fragrans Roxb.)

Scientific paper in the form of a Skripsi, July 2019

Muhammad Satrio Wibisono; under the guidance of Drs. Juswardi, M.Si and
Singgih Tri Wardana, S.Si. M. Si.

Analisis Arsitektural Struktur Aerial Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.)

Biological Major, Faculty of Mathematics and Natural Science, Sriwijaya


University

xii + 50 pages, 26 figures, 1 table

Every plant species have their own unique form that different from others. This
variety of forms is determined by the genetic program. This various forms
or appearances can be analysed using plant architecture approach. Tembesu
(F. fragrans) is one of the native plant species that composes natural vegetation in
the environtment in this case, South Sumatra. Architectural analysis is applied to
study the growth pattern and framework of the shape of tembesu aerial structure.
The research was conducted in May until June 2019 in the Sriwijaya University
campus area, Indralaya. Qualitative observations were carried out on tembesu
(F. fragrans) individuals in various phases of development, i.e. seedlings,
juveniles or sapling, and adults trees, in the field with around five individuals in
each phases of development. Architectural analysis is then carried out by
observing a number of morphological characters shown by the individuals that
define their architecture.
The results of the observation on individuals in each phases of development show
that F. fragrans has monopodial trunk construction and continuous growth with
orthotropy orientation while the branching is sympodial and rhythmic with
plagiotropy by apposition in orientation. The reproductive structure in the adult
phase develop on the lateral position which indicates the indeterminate growth
capacity of the axis. The architectural characters of F. fragrans show that this
plant belong to trees that correspond to Aubreville architectural model.

Key words : Fagraea fragrans, plant architecture, morphological characters,


ciSphase of development, architectural model.

Literature cited : 18 (1978-2018).

x Universitas Sriwijaya
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
HALAMAN PERSETUJUAN iii
HALAMAN PERNYATAAN INTEGRITAS iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI v
HALAMAN PERSEMMBAHAN vi
KATA PENGANTAR vii
RINGKASAN ix
SUMMARY x
DAFTAR ISI xi
DAFTAR GAMBAR xiii

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 3
1.3. Tujuan Penelitian 3
1.4. Manfaat Penelitian 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) 4
2.1.1. Klasifikasi 4
2.1.2. Persebaran 5
2.1.3. Pemanfaatan 6
2.2. Arsitektur Tumbuhan 6
2.2.1. Dasar Morfologi untuk Analisis Arsitektur Tumbuhan 7
2.2.1.1. Proses Pertumbuhan 7
1. Pertumbuhan terbatas vs. tidak terbatas 8
2. Pertumbuhan ritmik vs. kontinu 8
2.2.1.2. Proses Percabangan 8
1. Percabangan terminal vs. lateral 8
2. Percabangan segera vs. tertunda 8
3. Monopodial vs. simpodial 9
4. Percabangan ritmik vs. kontinu 9
5. Percabangan akrotoni vs. mesotoni atau basitoni 9
6. Hipotoni, epitoni dan ampitoni xii 9
2.2.1.3. Diferensiasi Morfologis Aksis 10
1. Ortotropi, plagiotropi dan aksis campuran 10
2.2.1.4. Posisi (terminal vs. lateral) Organ Reproduktif 10

xi Universitas Sriwijaya
2.2.2. Konsep Model Arsitektural 11
2.2.3. Konsep Reiterasi 12

BAB 3. METODE PENELITIAN


3.1. Waktu dan Tempat 13
3.2. Alat dan Bahan 13
3.3. Metode 13
3.3.1. Cara Kerja 13
3.3.2. Pengamatan Karakteristik Morfologis 14
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Perkembangan dan Arsitektur Tembesu (Fagraea fragrans) 15
4.1.1. Anakan 15
4.1.2. Juvenil 15
4.1.3. Dewasa 24
4.2. Orientasi Plagiotropik oleh Aposisi 29
4.3. Batang Monopodial dan Cabang Simpodial 31
4.4. Pertumbuhan Kontinu dan Percabangan Ritmik 35
4.5. Percabangan Sileptik 36
4.6. Model Arsitektural 37

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1. Kesimpulan 40
5.2. Saran 40

DAFTAR PUSTAKA 41
LAMPIRAN 43
BIODATA PENULIS 50

DAFTAR GAMBAR

Universitas Sriwijaya
Halaman
Gambar 1. Fagraea fragrans............................................................................... 4
Gambar 2. Anakan F. fragrans yang terdiri dari satu kategori aksis................. 15
Gambar 3. (A) Fase anakan F. fragrans. (B) ilustrasi skematik
memperagakan orientasi vertikal dan monopodial. (C) Filotaksis
berhadapan-silang. (D) Simetri radial yang dibentuk filotaksis..... 16
Gambar 4. F. fragrans memasuki fase juvenil dengan pertumbuhan aksis 2.... 17
Gambar 5. F. fragrans fase juvenil yang memiliki dua kategori aksis. (B)
Batang yang sama memperjelas kerangka yang dibentuk oleh
aksis-aksis. (C) Tampak samping................................................. 18
Gambar 6. Fase juvenil dengan pertumbuhan aksis 3 dan 4 serta aksis 2
selanjutnya...................................................................................... 19
Gambar 7. Pertumbuhan aksis 5 pada aksis 2 terbawah dan pertumbuhan
aksis 3 dan 4 pada aksis 2 lain di atasnya........................................ 20
Gambar 8. F. fragrans fase juvenil yang telah memiliki order aksis 5 dan 6.... 21
Gambar 9. (A) Individu yang sama (gambar 8). (B) Bagian atas dari batang
diperjelas mengilustrasikan panjang internodus yang relatif
konstan antara nodus bercabang dan tidak bercabang..................... 22
Gambar 10. Satu cabang pada dua nodus yang berurutan unit simpodial......... 23
Gambar 11. Bunga majemuk pada F. fragrans dewasa.................................... 24
Gambar 12. Porsi cabang F. fragrans dengan struktur reproduktif pada
posisi lateral.................................................................................. 25
Gambar 13. (A) Bunga majemuk F. fragrans dalam keadaan kuncup.............. 26
Gambar 14. Bentuk tajuk dan batang monopodial pohon pada fase dewasa..... 27
Gambar 15. Percabangan simpodial yang tersamarkan pada pohon dewasa..... 28
Gambar 16. Bekas yang ditinggalkan struktur reproduktif yang telah
digugurkan.................................................................................... 29
Gambar 17. Unit arsitektural dari F. fragrans yang memiliki lima kategori
aksis (A1 sampai A5).................................................................. 30
Gambar 18. Bentuk dan orientasi percabangan plagiotropik oleh aposisi......... 31
Gambar 19. Suatu porsi cabang F. fragrans tampak diagonal atas
memperlihatkan keseluruhan panjang yang dicapai dengan
sambungan aksis-aksis yang terkonstruksi secara sumpodial
dan melebarmenempati ruang secara mendatar dengan
orientasi plagiotropik oleh aposisi............................................... 32

xiii

Universitas Sriwijaya
xiv

Gambar 20. (A) Suatu porsi cabang tampak samping memperlihatkan


susunan aksis-aksis yang mendatar. (B) Suatu cabang tampak
atas............................................................................................... 33
Gambar 21. Batang monopodial F. fragrans..................................................... 34
Gambar 22. Percabangan simpodial F. fragrans dari aksis-aksis relatif
sebanding..................................................................................... 34
Gambar 23. Percabangan ritmik pada aksis 1.................................................. 35
Gambar 24. Aksis-aksis lateral dengan hipopodium yang membentuk
sebagian besar panjang aksis....................................................... 36
Gambar 25. Model Aubreville yang diilustrasikan Halle et al. (1978)........... 37
Gambar 25. Ilustrasi skematik yang menggambarkan tren bangun dasar atau
bentuk model Aubreville pada F. fragrans Tembesu) secara
umum............................................................................................ 38

Universitas Sriwijaya
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Setiap jenis tumbuhan memiliki bentuk yang khas yang telah ditentukan
secara genetik. Bentuk khas tersebut dapat dicapai secara bertahap selama
perkembangan tumbuhan dari kecambah sampai menjadi dewasa dengan adanya
diferensiasi yaitu perubahan-perubahan fisiologis dan morfologis pada sel,
jaringan dan organ tumbuhan yang terjadi secara berurutan dan berlangsung
sesuai dengan program genetiknya (Hidayat, 1994). Organisasi pada tumbuhan
mencerminkan program genetik yang terkontrol secara tepat yang menentukan
perkembangannya (Halle et al., 1978).
Suatu pendekatan dalam memahami program pertumbuhan suatu tumbuhan
selama rentang hidupnya berdasarkan cetak biru genetik dapat dilakukan melalui
analisis arsitektural. Halle et al. (1978) menjelaskan bahwa konsep dari arsitektur
melibatkan gagasan bentuk, secara implisit juga memuat terjadinya bentuk
tersebut. Urutan perkembangan bentuk sepanjang hidup suatu tumbuhan juga
terungkap oleh konsep model arsitektural dan reiterasinya. Studi arsitektural telah
memberi definisi dari sejumlah konsep dan gagasan yang menyediakan alat yang
kuat untuk mempelajari bentuk tumbuhan dan aturan intrinsik morfogenetik dan
ontogenetik.
Arsitektur dari suatu tumbuhan itu sendiri didefinisikan oleh Reinhardt
(2002) sebagai organisasi tiga dimensi dari tubuh tumbuhan. Halle et al. (1978)
mendefinisikannya sebagai ekspresi morfologikal yang tampak dari cetak biru
genetik dari suatu pohon pada suatu waktu, yang menurut Kuiper (1994)
merupakan ekspresi dari keseimbangan antara potensialitas perkembangannya
(dikontrol secara genetik) dan tekanan lingkungan yang mempengaruhinya.
Arsitektur tumbuhan memuat konsep model arsitektural. Model arsitektur
pohon merupakan gambaran morfologi pada suatu waktu yang merupakan hasil
rangkaian seri pertumbuhan yang nyata dan dapat diamati setiap saat. Model
arsitektur biasanya diterapkan untuk tumbuhan berhabitus pohon sebagai
gambaran dari salah satu fase dalam rangkaian pertumbuhan pohon tersebut

1 Universitas Sriwijaya
2

(Arijani, 2006). Sejauh ini telah teramati 23 model arsitektur pohon, yang
dijumpai di alam (Barthelemy et al., 2007), berdasarkan perilaku meristem apikal
dalam memproduksi sistem percabangan.
Konsep model arsitektur ini umumnya diterapkan pada tumbuhan yang
membentuk pohon atau arboresen dalam pengertian habitusnya. Namun, bukan
berarti tidak berlaku pada tumbuhan herba atau semak yang tidak dikatakan
berhabitus pohon. Ini mungkin disebabkan karena konsep arsitektur tumbuhan
pada awalnya diperkenalkan dari pengamatan morfologis terhadap pohon-pohon
di wilayah tropis oleh Halle et al. (1978).
Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) termasuk jenis pohon asli vegetasi di
daerah Sumatra Selatan. Lemmens et al. (1995) menjelaskan bahwa tembesu
merupakan jenis yang sangat adaptif dan dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah
dan kondisi lingkungan dan Damayanti et al. (2017), tembesu secara alami
tumbuh di hutan alam rawa gambut. Namun, tembesu (F. fragrans) umumnya
begitu dikenal karena pemanfaatan kayunya. Menurut Asmaliyah et al. (2012),
tembesu adalah jenis pohon penghasil kayu yang terkenal di Provinsi Sumatra
Selatan. Kayunya digunakan baik sebagai kayu gergajian maupun kayu bulat
untuk tiang, jembatan, furnitur, lemari, kusen pintu dan jendela dan ukiran kayu.
Meskipun demikian, alasan mendasar analisis arsitektural terhadap tumbuhan
ini bukan karena obsesi dari sisi pemanfaatannya, sebagai komoditas kayu yang
populer. Namun, memandang sebagai tumbuhan dengan satu kesatuan bentuk dan
perkembangan yang dapat diungkap melalui pendekatan arsitektural serta
apresiasi terhadap jenis tumbuhan yang membentuk vegetasi alami dari
lingkungan dalam kasus ini. Sebagai salah satu dari begitu banyak jenis penyusun
vegetasi alami lainnya, juga tidak ada alasan khusus atau tujuan aplikatif yang
membuat jenis ini begitu spesial dibanding yang lain. Namun, pada akhirnya, dari
semua perspektif, tetap dapat dilihat dan diterima sebagai bentuk informasi dari
suatu pendekatan ilmiah yang memang telah dipertimbangkan.
Sejumlah penelitian yang bersifat sistematika pada F. fragrans, seperti studi
yang dilakukan Wong dan Sugumaran (2012), sebenarnya telah menyertakan
keterangan tentang pengamatan singkat dan model arsitektur tumbuhan ini.
Namun, sejak diketahui bahwa dalam rangka memahami model arsitektural harus

Universitas Sriwijaya
3

mengamati pohon-pohon secara individual pada usia yang berbeda-beda, termasuk


paling tidak bagian awal dari hidupnya dan dalam lingkungan yang seoptimal
mungkin sehingga modelnya terekspresi secara bebas (Halle et al., 1978). Oleh
sebab itu pemahaman tentang bentuk dan terjadinya bentuk tersebut secara utuh
hanya dapat dicapai melalui proses rekonstruksi berdasarkan prinsip-prinsip
konstruksional melalui karakter-karakter morfologis yang dikenali dari suatu
tumbuhan pada fase-fase pertumbuhannya. Karena itu, masih sangat perlu untuk
melakukan analisis yang lebih dalam dan membuat deskripsi yang lebih rinci.

1.2. Rumusan Masalah


Beragam bentuk tumbuhan yang khas ditentukan oleh program genetiknya.
Ragam rupa ini dapat dianalisis dengan pendekatan arsitektur tumbuhan. Konsep
arsitektur tumbuhan umumnya diterapkan pada struktur tumbuhan yang
ditampilkan di atas permukaan tanah dari jenis tumbuhan yang berhabitus pohon.
Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) termasuk salah satu jenis tumbuhan berhabitus
pohon yang membentuk vegetasi alami di lingkungan dalam kasus ini, Sumatra
Selatan. Sehingga memberi alasan yang baik untuk analisis arsitektural dan
sebagai objek yang akan diungkap susunan bangun dan pola pertumbuhan yang
memberi bentuk struktur aerialnya.

1.3. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk memahami organisasi bentuk atau susunan
bangun dan pola pertumbuhan struktur aerial tembesu (Fagraea fragrans Roxb.).

1.4. Manfaat
Penelitian ini akan mengantarkan pada pemahaman tentang aspek arsitektural
dari suatu tumbuhan khususnya tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) yang secara
langsung paling tidak menyediakan suatu bentuk informasi atau data dari
pendekatan ilmiah arsitektur tumbuhan.

BAB 2

Universitas Sriwijaya
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.)


Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) termasuk ke dalam famili Loganiaceae
atau Gentianaceae. Tembesu tersebar secara alami di Asia tenggara dan India
(Rosalia, 2008). Di Indonesia tembesu tersebar di daerah Jambi, Sumatera
Selatan, Lampung dan Kalimantan Barat (Asmaliyah et al., 2012). Tembesu
secara alami tumbuh di hutan alam rawa gambut. Sebarannya mulai Indomalaysia
sampai ke Birmania. Berdasarkan habitat alaminya mampu hidup di kondisi lahan
asam (Damayanti et al., 2017).

2.1.1. Klasifikasi
Klasifikasi tembesu menurut Heyne (1987) (Rosalia, 2008):
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Angiospermae
Ordo : Gentianales
Famili : Loganiaceae
Genus : Fagraea
Spesies : Fagraea fragrans Roxb.

Sinonim Fagraea wallichiana


Benth. (1856), Fagraea cochinchinensis
A. Chev. (1919), Fagraea sororia J.J.
Smith (1923), Fagraea gigantean
Ridley (1927). Fagraea fragrans di
Indonesia dikenal dengan nama umum
tembesu juga dikenal dengan nama
daerah ki badak (Sunda), kayu tammusu
(Sumatera), ambinaton (Kalimantan) Gambar 1. Fagraea fragrans. 1, habitus; 2,5
ranting dengan bunga dan buah; 3, bunga
(Lemmens et al., 1995). (Sumber: Lemmens et al., 1995).

Tembesu termasuk pohon


berukuran sedang dan kadang besar mencapai tinggi 25(-55) m, dan diameter
batang mencapai 135(-250) cm, permukaan kulit pohon bercelah atau beralur
dalam tidak beraturan, coklat gelap, dan
4

Universitas Sriwijaya
bagian dalam kulit pohon coklat hingga kuning. Tajuk pohon berbentuk kerucut
(cone) (Lemmens et al., 1995).
Tembesu memiliki daun tunggal berwarna hijau dengan posisi daun
berhadapan silang. Memiliki stipula berbentuk cawan kecil pada sumbu daun.
(Rosalia, 2008). Daun oblong-lanceolat hingga oblong-obovat, 4-15 cm × 1,5-6
cm, ujung biasanya akuminata yang pendek hingga panjang, pembuluh sekunder
sedikit menonjol, petiola dengan panjang 1-2,5 cm, stipula membulat dan secara
terpisah bebas dari petiola (Lemmens et al., 1995). Daun seluruhnya berlekatan 4-
9 pasang bergabung di dekat pangkalnya (Rosalia, 2008).
Bunga bisexual dengan lebar 20-25 cm, warna putih krem dan berubah
menjadi kuning dengan aroma yang khas. Susunan bunga tembesu dalam bentuk
malai, dan panjang tabung tajuk bunga 1-2,5 cm. Sedangkan tabung mahkota
bunga sedikit mencorong, dengan panjang 0,7-2,3 cm (Rosalia, 2008). Buah
umumnya berbentuk elipsoid, 0,7-1 cm panjang, berwarna jingga atau merah
(Lemmens et al., 1995). Regenerasi alami tembesu umumnya berasal dari tunas
akar, sangat jarang dijumpai regenerasi alami yang berasal dari biji atau benih.
Dengan karakter tersebut, tembesu dapat membentuk tegakan yang berasal dari
akar (Mindawati et al., 2014).

2.1.2. Persebaran
Di Indonesia tembesu tumbuh tersebar secara alami di beberapa wilayah
seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa Barat, Maluku dan Irian Jaya.
Tembesu secara alami tumbuh sebagai tanaman pionir pada areal terbuka bekas
terbakar, lahan alang-alang atau pada hutan sekunder yang lembab (Mindawati et
al., 2014). Tembesu merupakan jenis yang sangat adaptif dan dapat tumbuh pada
berbagai jenis tanah dan kondisi lingkungan, seperti pada tanah datar dan sarang,
tanah pasir atau tanah liat berpasir, serta tanah miskin. Selanjutnya dikatakan pula
bahwa tembesu dapat tumbuh baik pada tanah dengan drainase yang buruk dan di
rawa tembesu tumbuh berasosiasi dengan gelam (Melaleuca spp.). Secara umum,
jenis ini menghendaki iklim basah sampai agak kering dan tumbuh baik
pada ketinggian 0-500 m dari permukaan laut (Lemmens et al., 1995).

Universitas Sriwijaya
6

2.1.3. Pemanfaatan
Tembesu (Fragraea fragrans Roxb.) merupakan salah satu jenis tanaman
yang banyak dimanfaatkan dan mempunyai nilai ekonomi tinggi (Mindawati et
al., 2014). Tembesu adalah jenis pohon penghasil kayu yang terkenal di Provinsi
Sumatera Selatan. Jenis ini memiliki keunggulan dari sisi ekologi dan ekonomi
(Asmaliyah et al., 2012). Dari sisi ekologi, tembesu merupakan jenis tanaman
pionir yang mempunyai kemampuan daya hidup yang baik pada lahan marginal,
tahan terhadap api, dan pada setiap fase pertumbuhannya tanaman ini dapat hidup
baik di lahan-lahan terbuka (Rustam et al., 2018).
Fagraea fragrans merupakan sumber utama dari kayu tembesu. Kayu tahan
lama dan berharga digunakan baik sebagai kayu gergajian maupun kayu bulat
untuk tiang dan dalam konstuksi rumah, jembatan, bantalan rel kereta api, tiang
listrik dan telefon, furnitur, lemari, kusen pintu dan jendela dan ukiran kayu.
Pohonnya ditanam sebagai pohon rindang dan hias di taman, dan sepanjang jalan,
dan juga untuk tujuan reforestasi (Lemmens et al., 1995).

2.2. Arsitektur Tumbuhan


Arsitektur tumbuhan didefinisikan sebagai organisasi tiga dimensi dari tubuh
tumbuhan. Untuk bagian dari tumbuhan yang berada di atas tanah, ini mencakup
pola percabangan, sebagaimana juga ukuran, bentuk dan posisi dari daun dan
bunga (Reinhardt & Kuhlemeier, 2002).
Arsitektur pohon merupakan ekspresi morfologikal yang tampak dari cetak
biru genetik dari suatu pohon pada suatu waktu. Seri dari arsitektur pohon dalam
keadaan yang ideal menentukan program pertumbuhan yang secara genetik stabil.
Program pertumbuhan yang menentukan fase arsitektural yang bersifat berurutan
disebut sebagai model. Ada 24 model pohon yang dikenali dimana 23 model telah
dinamai dari ahli botani terkenal (Sunarno & Halle, 1986).
Arsitektur dari suatu pohon merupakan ekspresi dari keseimbangan antara
potensialitas perkembangannya (dikontrol secara genetik) dan tekanan lingkungan
yang mempengaruhinya. Model arsitektural pohon merupakan program
pertumbuhan yang menentukan fase arsitektural secara berurutan dari suatu
pohon. Model arsitektural mengekspresikan kerangka kerja dari bentuk suatu

Universitas Sriwijaya
7

pohon pada suatu saat begitu juga hukum alam yang mengatur perkembanganya
(Kuiper, 1994).
Arsitektur percabangan merupakan gambaran morfologi pada suatu fase
tertentu dari suatu rangkaian seri pertumbuhan pohon yang nyata dan dapat
diamati setiap waktu (Hasanudin, 2013). Arsitektur dari suatu tumbuhan
tergantung pada sifat alami dan pengaturan relatif dari setiap bagian-
bagiannya; itu adalah ekspresi dari sebuah keseimbangan antara proses
pertumbuhan endogen dan kendala eksogen yang diberikan oleh lingkungan
(Barthelemy & Caraglio, 2007).

2.2.1. Dasar Morfologi dan Kriteria untuk Deskripsi dan Analisis Arsitektur
Tumbuhan
Morfologi tumbuhan, dalam arti historis dan lebih luas dan sebagai sebuah
disiplin sintetis, dapat dianggap sebagai salah satu dari sumber inspirasi dari studi
arsitektur tumbuhan. Ada beberapa sifat morfologis utama yang umumnya
digunakan dalam analisis arsitektural tumbuhan dan mereka dapat dikelompokan
berdasarkan empat kategori: (1) proses pertumbuhan, (2) proses percabangan, (3)
diferensiasi morfologis dari batang dan (4) posisi (lateral vs. terminal) dari
struktur reproduktif. Meskipun merujuk pada konsep morfologi dasar, terminologi
terkait istilah tersebut terbukti terkadang membingungkan dan mengarah pada
interpretasi yang salah (Barthelemy & Caraglio, 2007).
2.2.1.1. Proses Pertumbuhan
Pertumbuhan utama dari suatu tumbuhan merupakan hasil dari sejumlah
proses yang dapat dibedakan menjadi dua kelompok, namun peristiwa
terkoordinasi: organogenesis dan ekstensi. Permulaan dari organ baru
(organogenesis) merupakan hasil dari fungsi sel-sel yang tidak terdiferensiasi
yang menyusun meristem apikal.
Pertumbuhan tumbuhan dapat dipertimbangkan dalam beberapa cara
tergantung dari macam organ atau level organisasinya (pertumbuhan dari suatu
daun, batang, buah, keseluruhan tumbuhan, dan lain-lain). Analisis arsitektur
tumbuhan akan fokus terutama pada proses ekstensi dari aksis berdaun atau
batang dan tidak membahas rinci proses organogenesis ataupun pertumbuhan
sekunder.

Universitas Sriwijaya
8

1. Pertumbuhan terbatas vs. tidak terbatas


Pada banyak spesies tumbuhan, bagian apikal akan gugur atau berhenti setelah
beberapa periode pemfungsian atau mungkin berubah menjadi suatu struktur yang
terspesialisasi (bunga, infloresen, duri, sulur, sel parenkim, dan lain-lain)
kehilangan kapasitas pemanjangannya. Dalam kasus ini, aksis dipertimbangkan
memiliki pertumbuhan terbatas. Sebaliknya, pertumbuhan tidak terbatas merujuk
pada aksis dimana meristem apikal secara terus-menerus mempertahankan
potensial perumbuhannya.
2. Pertumbuhan ritmik vs. kontinu
Pucuk yang tidak memiliki tanda penghentian endogen dari ekstensi
(pertumbuhan kontinu) dibedakan dari pucuk yang memiliki tanda periodisitas
endogen dan penghentian ekstensi (pertumbuhan ritmik). Meskipun organogenesis
dipertimbangkan, kedua pola perumbuhan ini lebih fokus dengan ekstensi.
2.2.1.2. Proses Percabangan
Meskipun arsitektur dari sejumlah tumbuhan berpembuluh terdiri dari
hanya satu aksis vegetatif sepanjang rentang hidupnya, sebagian besar
menampilkan arsitektur yang lebih kompleks yang terdiri dari sejumlah aksis,
dimana yang satu berasal dari yang lain berdasarkan proses berulang yang disebut
percabangan.
1. Percabangan terminal vs. lateral
Sebuah meristem apikal atau sel apikal awal dapat langsung membelah dan
memunculkan dua atau lebih aksis baru, yang menghasilkan dikotom atau
politom. Sering ditemui pada pakis dan lumut, percabangan terminal ini, jarang
terekspresi pada angiospermae. Dalam kasus lain, proses percabangan bergantung
pada delimitasi zona sel embrionik di samping daun yang terbentuk, seperti
meristem aksilar. Proses percabangan lateral ini adalah yang paling umum
diantara angiospermae dan gimnospermae (Barthelemy & Caraglio, 2007).
2. Percabangan segera vs. tertunda
Begitu terinisiasi, suatu meristem aksilar dapat tetap dorman atau dapat
berkembang aksis lateral. Aksis lateral dapat memanjang segera setelah inisiasi
meristem lateral atau setelah suatu fase dimana meristem lateral tetap inaktif dan
sangat sering terlindung dalam kuncup lateral. Pola percabangan ini dikatakan

Universitas Sriwijaya
9

masing-masing sebagai percabangan ‘segera’ atau ‘tertunda’. Istilah percabangan


segera vs. tertunda juga merujuk pada ‘sileptik vs. proleptik’.
3. Monopodial vs. simpodial
Tergantung pada tidak terbatas atau terbatasnya pola pertumbuhan dari aksis,
pola percabangannya dapat bersifat monopodial atau simpodial. Pada kasus
selanjutnya, satu, dua atau lebih cabang-cabang dapat berkembang setelah
kematian, absisi, aborsi, atau transformasi dari apeks, pola percabangan simpodial
yang dihasilkan memenuhi syarat sebagai mono-, di- atau polikasial.
4. Percabangan ritmik vs. kontinu
Didefinisikan dan digunakan pertama kali untuk deskripsi arsitektur
tumbuhan, istilah ini berkontribusi dalam karakterisasi dan definisi dari model
arsitektural dan memperhitungkan distribusi topologi aksis-aksis saudara pada
aksis induk. Bergantung pada apakah semua meristem aksilar dari suatu batang
berkembang menjadi aksis lateral, atau apakah aksis lateral dikelompokan sebagai
tingkatan yang berbeda dengan pergantian beraturan yang jelas dari suksesi nodus
bercabang dan tidak bercabang pada batang utama, percabangan masing-masing
dikatakan sebagai kontinu atau ritmik.
5. Percabangan akrotonik vs. mesotonik atau basitonik
Dalam rangka menjelaskan kecenderungan posisional perkembangan dari
aksis lateral pada suatu batang utama vertikal, dibedakan tiga modalitas. Akrotoni
adalah perkembangan umum aksis lateral pada bagian distal dari suatu aksis
induk. Basitoni pertama kali dipertimbangkan sebagai kecenderungan
perkembangan dari aksis lateral pada bagian basal dari suatu batang vertikal.
Mesotoni digunakan untuk kecenderungan perkembangan dari cabang-cabang
pada bagian median dari suatu batang atau aksis.
6. Hipotoni, epitoni dan ampitoni
Dalam rangka menjelaskan kecenderungan pengaturan dari aksis lateral pada
aksis induk yang horizontal, melengkung, atau miring, dibedakan tiga modalitas.
Berdasarkan pada terminology ini, kecenderungan perkembangan dari cabang-
cabang pada posisi atas, lateral atau basal dari aksis induk dikatakan masing-
masing sebagai epitoni, amphitoni atau hipotoni (Barthelemy & Caraglio, 2007).

Universitas Sriwijaya
10

2.2.1.3. Diferensiasi Morfologis Aksis


Orientasi umum dari aksis dan disposisi spasial dari daun-daunnya
merupakan kepentingan utama dalam strategi pertumbuhan dari tumbuhan. Pada
suatu tumbuhan, beberapa aerial sementara yang lain mungkin tumbuh di bawah
tanah; beberapa bersifat mengeksplorasi ruang, sementara yang lain lebih
berhubungan dengan akifitas diseminasi reproduktif atau ekploitasi lingkungan
melalui fotosintesis. Polimorfisme aksis ini menunjukan suatu diferensiasi
morfologis berhubungan dengan aktifitas dan ekspresi meristem.
1. Ortotropi, plagiotropi dan aksis campuran
Pada kebanyakan tumbuhan terutama pada pohon-pohon, dua tipe utama dari
aksis dapat dibedakan berdasarkan tegak lurus atau horizontalnya orientasi umum
mereka. Ortrotopi merujuk pada aksis yang orientasi umumnya vertikal dan
simetri radial, dengan daun dalam spiral, oposit atau berkarang, dan cabang lateral
tersusun ke semua arah. Aksis plagiotropi memiliki orientasi umum horizontal
atau miring dan simetri bilateral sehingga daun (filotaksis berseling/distichous)
dan cabang-cabang secara umum tersusun dalam satu bidang.
Selain itu, sejumlah aksis dapat memiliki fitur antara atau orientasi sekunder
dari aksis dapat suatu saat terjadi yang sehingga memperumit karakterisasi pasti
mereka. Pada banyak tumbuhan, satu meristem tunggal dapat memunculkan suatu
aksis dengan sifat campuran. Terkadang suatu aksis dapat memiliki porsi
proksimal ortotropik dan plagiotropik ujung distal; superposisi dari ‘aksis
campuran’ semacam itu adalah fitur khas dari perkembangan batang pada
sejumlah tumbuhan.
2.2.1.4. Posisi (terminal vs. lateral) dari Seksualitas dan Organ Reproduktif
Sebagaimana studi arsitektural dalam sejarahnya fokus terutama pada
struktur vegetatif dari tubuh tumbuhan, struktur reproduktif dipertimbangkan
secara utuh dan berdasarkan pengaruh mereka pada pertumbuhan dan
percabangan. Karena kejadian merekan pada pertumbuhan dan percabangan,
posisi lateral atau terminal dari struktur reproduktif akan dipertimbangkan sebagai
contoh apakah mereka hasil dari transformasi meristem lateral atau terminal
(Barthelemy & Caraglio, 2007).

Universitas Sriwijaya
11

2.2.2. Konsep Model Arsitektural


Untuk spesies pohon, pola pertumbuhan yang menentukan fase arsitektural
berurutan disebut model arsitektural, atau singkatnya, modelnya. Model
arsitektural merupakan suatu strategi pertumbuhan inheren yang mendefinisikan
baik cara dimana tumbuhan mengembangkan bentuknya dan arsitektur yang
dihasilkan. Itu mengekspresikan sifat dan urutan aktifitas proses morfogenetik
endogen dari organisme, dan sesuai pada program pertumbuhan fundamental
keseluruhan arsitektural ditetapkan (Barthelemy & Caraglio, 2007).
Model arsitektur pohon adalah bangunan suatu pohon sebagai hasil
pertumbuhan meristematik yang dikontrol secara morfogenetik. Bangunan pohon
ini berhubungan dengan pola pertumbuhan batang, percabangan dan pembentukan
pucuk terminal (Hidayat et al., 2018)
Identifikasi model arsitektural dari suatu tumbuhan apapun didasarkan pada
pengamatan fitur-fitur yang termasuk dalam empat kelompok utama fitur
morfologi sederhana: (1) pola pertumbuhan, seperti pertumbuhan terbatas vs.
tidak terbatas dan ritmik vs. kontinu; (2) pola percabangan, seperti percabangan
terminal vs. lateral dan tanpa cabang, monopodial vs. simpodial, ritmik vs.
kontinu; (3) diferensiasi morfologi aksis, seperti ortotropik vs. plagiotropik; dan
(4) perbungaan lateral vs. terminal.
Tiap model arsitektural didefinisikan oleh kombinasi khusus dari fitur-fitur
morfologi sederhana ini dan diberi nama dari ahli botani terkenal. Meskipun
jumlah dari kombinasi ini secara teori sangat banyak, rupanya hanya ada 23 model
arsitektural yang ditemukan di alam. Masing-masing model ini berlaku sama
untuk arboresen maupun tumbuhan herbaseus, dari daerah tropis maupun
beriklim sedang, dan dapat dimiliki oleh taksa yang berkerabat dekat maupun jauh
(Barthelemy & Caraglio, 2007).
Model-model arsitektural dapat dikelompokan secara berurutan yang sangat
sesuai untuk tujuan komparatif sebagai berikut. Namun, urutan ini bukan
merupakan sekuen evolusioner, atau suatu urutan yang menunjukan peningkatan
taraf spesialisasi.
1. Pohon-pohon monoaksial (dengan meristem apikal tunggal; ‘tidak
bercabang’). Model Holtum dan Corner.

Universitas Sriwijaya
12

2. Pohon-pohon poliaksial (dengan lebih dari satu meristem apikal;


‘bercabang’).
a) Aksis vegetatif semua akuivalen dan ortotropik. Model Tomlinson,
Schoute, Chamberlain, McClure.
b) Aksis vegetatif terdiferensiasi menjadi batang dan cabang. (1) Aksis
ortotrop dan plagiotrop. Model Leeuwenberg, Koriba, Prevost,
Fagerlind, Petit, Nozeran, Aubreville, Massart, Roux, Cook. (2) Aksis
semua ortotropik. Model Scarrone, Stone, Rauh, Attims.
c) Aksis vegetatif campuran (pada awalnya plagiotropik atau ortotropik,
selanjutnya ortotropik atau plagiotropik). Model Mangenot,
Champagnat, dan Troll (Halle et al., 1978).

2.2.3. Konsep Reiterasi


Reiterasi didefinisikan sebagai proses morfogenetik dimana organisme
menduplikasi arsitektur dasarnya sendiri sebagai contoh unit arsitekturalnya. Hasil
dari proses ini disebut ‘kompleks reiterasi’ atau ‘reiterat’. Reiterasi meliputi
sejumlah aspek (sprout dan root-suckers) yang telah sejak lama secara tidak
sengaja diketahui oleh para botanis. Kepentingan mendasar dari konsep ini
terletak pada pengelompokan kembali fenomena ini menjadi satu kesatuan
yang koheren, untuk memunculkan peristiwa morfogenetik yang umum.
Proses reiterasi dapat melibatkan ekspresi dari keseluruhan unit arsitektural
dari aksis 1 sampai kategori aksis yang paling terdiferensiasi (‘lengkap’ atau ‘total
reiterasi’) atau ekpresi dari bagian duplikasi urutan perkembangan hanya bagian
dari unit arsitektural spesies (‘reiterasi sebagian’).
Kompleks reiterasi dapat berasal dari meristem yang dorman dan reiterasi
dalam kasus ini disebut ‘proleptik’ atau ‘tertunda’. Sebaliknya, reiterasi dapat
terjadi dari pergeseran dalam fungsi meristem apikal dari sebuah batang yang
sedang tumbuh yang akhirnya akan menghasilkan ‘struktur yang kurang
terdiferensiasi’, sebagai contoh pucuk cabang yang setelah beberapa waktu
berfungsi menumbuhkan ‘batang figuran’. Dalam kasus ini, reiterasi
dideskripsikan sebagai ‘sileptik’ (atau lebih baik ‘segera’) atau reiterasi oleh
dediferensiasi’. Salah satu atau kedua dari dua tipe dari reiterasi ini dapat
terkualifikasi sebagai total atau parsial (Barthelemy & Caraglio, 2007).

Universitas Sriwijaya
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat


Penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai Juni 2019 di kawasan kampus
Universitas Sriwijaya, Indralaya.

3.2. Alat dan Bahan


Pengamatan dilakukan pada individu-individu tembesu pada berbagai fase
pertumbuhan di lapangan. Peralatan yang digunakan dalam proses pengamatan
yaitu alat-alat ukur seperti penggaris dan meteran gulung, pisau cutter juga alat
dokumentasi berupa kamera.

3.3. Metode
Analisis arsitektural dilakukan dengan metode rekonstruksi. Pengamatan
yang dilakukan bersifat kualitatif terhadap individu-individu tembesu pada
berbagai fase pertumbuhan, yaitu anakan, juvenil, dan dewasa. Lokasi terdapatnya
individu tembesu pada fase pertumbuhan tertentu di lapangan ditetapkan secara
eksplorasi dimana telah dilakukan survei pendahuluan sebelumnya. Pada tiap fase
pertumbuhan ditetapkan sekitar lima individu untuk membandingkan dan
menetapkan generalisasi.

3.3.1. Cara Kerja


Analisis arsitektural dimulai dengan menentukan individual dari berbagai
fase pertumbuhan, mulai dari anakan, juvenil, hingga dewasa dan melakukan
pengamatan kualitatif terhadap sejumlah karakteristik morfologis pada tiap
individu dari masing-masing fase pertumbuhan untuk deskripsi arsitekturnya. Pola
pertumbuhan dan arsitekturnya kemudian dideduksi melalui perbandingan dari
observasi terhadap karakteristik morfologis yang diperlihatkan individu pada tiap
fase pertumbuhan. Tiap fase arsitektural dan pola pertumbuhan dari individu yang
diamati disajikan dalam ilustrasi diagramatis yang representatif. Determinasi
model arsitektural, setelah pemeriksaan terhadap fase-fase tersebut, dilakukan
berdasarkan kunci dan deskripsi model arsitektural oleh Halle et al. (1978).

13 Universitas Sriwijaya
14

3.3.2. Pengamatan Karakteristik Morfologis


Ada beberapa sifat-sifat morfologis utama, menurut Barthelemy et al.
(2007), yang umumnya digunakan dalam analisis arsitektural tumbuhan dan
dikelompokan berdasarkan empat kategori:
1. Pola pertumbuhan, seperti pertumbuhan terbatas vs. tidak terbatas dan
ritmik vs. kontinu
2. Pola percabangan, seperti percabangan terminal vs. lateral dan tanpa
cabang, monopodial vs. simpodial, ritmik vs. kontinu, akrotonik vs.
mesotonik atau basitonik, hipotoni, epitoni atau ampitoni
3. Diferensiasi morfologis dari aksis, seperti ortotropik vs. plagiotropik
4. Posisi dari struktur reproduktif, lateral vs. terminal.
Selain itu, pengamatan filotaksis juga dilakukan untuk melengkapi data dalam
deskripsi arsitekturnya.

Universitas Sriwijaya
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Perkembangan dan Arsitektur Tembesu (Fagraea fragrans)


Analisis arsitektural diterapkan dengan melakukan observasi kualitatif
terhadap sejumlah karakterisik morfologis yang ditampilkan F. fragrans pada tiga
fase pertumbuhan, yaitu fase anakan, juvenil dan dewasa.

4.1.1. Anakan
Fase anakan dimulai setelah tumbuhan berkecambah hingga munculnya
cabang pertama (aksis 2). Fase anakan terdiri dari satu aksis dengan pertumbuhan
batang (aksis 1) tegak lurus, orientasi arah tumbuh vertikal atau bersifat
ortotropik, dan monopodial (Gambar 2 dan 3). Pertumbuhan berlangsung terus-
menerus atau kontinu, tanpa adanya tanda-tanda morfologis dari penghentian
sementara atau fase istirahat pertumbuhan aksis. Daun tersusun dalam dua helai
yang saling berhadapan pada tiap nodus dan menempati bidang yang berbeda dari
nodus yang berurutan atau filotaksis berhadapan-silang. Simetri radial, sesuai
dengan orientasi arah tumbuh dan filotaksis tersebut.

Gambar 2. Anakan F. fragrans yang terdiri dari satu


kategori aksis.

4.1.2. Juvenil
Pertumbuhan cabang (aksis 2) menandai berakhirnya fase anakan dan
dikatakan memasuki fase juvenil. Sebagian besar karakter arsitektural dari

15 Universitas Sriwijaya
17

tumbuhan ini telah terekspresi pada fase ini. Percabangan bersifat lateral, aksis 2
muncul dari ketiak daun aksis utama (aksis 1) (Gambar 5). Tiap meristem aksilar
pada ketiak daun dapat berkembang menjadi aksis lateral dan menghasilkan dua
cabang yang berhadapan tumbuh pada satu nodus (Gambar 4 dan 5), namun juga
dapat hanya salah satu meristem aksilar yang berkembang menjadi aksis lateral
dan hanya menghasilkan satu cabang pada satu nodus. Pertumbuhan aksis 2
bersifat sileptik atau segera.

A2 A2
A2

Gambar 4. F. fragrans memasuki fase juvenil dengan


pertumbuhan aksis 2 (A2).

Perkembangan cabang (aksis 2) dari bagian lateral batang utama (aksis 1)


sementara meristem apikal aksis 1 masih mempertahankan kapasitas
pertumbuhannya benar-benar memastikan sifat monopodial dari konstruksi tubuh
tumbuhan ini. Orientasi arah tumbuh aksis 2 ortotropik dan kontinu dengan
filotaksis berhadapan-silang.
Aksis 2 dapat segera menumbuhkan cabang baru (aksis 3) sebelum
pertumbuhan aksis 2 lain terjadi di batang utama (Gambar 6). Sifat-sifat
morfologis aksis 3 ini serupa dengan aksis 2. Setelah munculnya aksis 3,
pertumbuhan aksis 2 mulai tampak melambat dan jarak antar nodus memendek,
sementara aksis 3 segera memanjang mendahului aksis 2 dengan diameter batang
yang relatif sama. Kecenderungan ini menghasilkan keadaan dimana aksis induk

Universitas Sriwijaya
19

(aksis 2) tidak tampak dominan terhadap cabang-cabangnya dan konstruksi aksis-


aksis (cabang) dikatakan terjadi secara simpodial.
Setelah pertumbuhan aksis 2 yang pertama terjadi, aksis 2 berikutnya dapat
muncul dari nodus yang berurutan atau setelah beberapa nodus kemudian. Tidak
semua nodus memunculkan cabang. Adanya porsi bercabang dan tidak bercabang
sepanjang vertikal aksis induk (aksis 1) menunjukan adanya suatu ritme
pergantian antara waktu terjadi pembentukan cabang dan tidak terjadi
pembentukan cabang. Pola periodisitas ini menunjukan sifat percabangan yang
ritmik.

A3

A3 A3
A4
A4

20
Gambar 6. Fase juvenil dengan pertumbuhan aksis 3 (A3) dan 4 (A4)
serta aksis 2 selanjutnya.

Pertumbuhan cabang dapat terjadi hingga dari tiga nodus berturut-turut


pada aksis 1, dalam sekali periode percabangan, dengan kemungkinan tiap
meristem aksilar dapat berkembang menjadi aksis lateral. Sehingga dua sampai
tiga nodus berurutan dapat memiliki masing-masing dua cabang (aksis 2) yang
berhadapan dan saling bersilangan dengan satu nodus yang berurutan sesuai
dengan aturan filotaksis daunnya. Namun, keadaan tersebut cenderung jarang
terjadi. Pada umumnya sering teramati dua nodus bercabang berturut-turut dengan
dua cabang pada salah satu nodus, kemudian hanya satu cabang pada nodus
lainnya, atau malah hanya satu nodus bercabang.

Universitas Sriwijaya
Pertumbuhan fase juvenil terus berlanjut, cabang-cabang terus bercabang
lagi, cabang yang berasal dari aksis 3 disebut aksis 4. Aksis 4 ini serupa dengan
aksis induknya (aksis 3) dengan ukuran relatif yang mulai tampak cenderung
sedikit lebih kecil. Aksis 4 tumbuh dengan cara yang sama seperti aksis
sebelumnya (Gambar 7 dan 8). Aksis ini berkembang pada nodus dari salah satu
aksil daun aksis 3 dan segera memanjang meninggalkan aksis induknya yang
menunjukan perlambatan pertumbuhan.
Sejauh ini hingga pertumbuhan aksis 4 semua kategori aksis tetap memiliki
filotaksis yang sama dengan batang utama (aksis 1) yang juga berarti memiliki
ketentuan pengaturan posisional pertumbuhan cabang yang sama, karena cabang
berkembang dari meristem aksilar di ketiak daun. Meskipun demikian, mulai
tampak adanya suatu aturan lain dalam pertumbuhan aksis pada percabangan,
yang berbeda dibanding pada batang utama (aksis 1).

A4
A4
A3 A3
A6
A5 A5
A4
A4
A3

23

Gambar 7. Pertumbuhan aksis 5 (A5) dan 6 (A6) pada aksis 2 terbawah dan
pertumbuhan aksis 3 (A3) dan 4 (A4) pada aksis 2 lain di atasnya.

Sementara dua cabang aksis 2 dapat berkembang dari satu nodus pada aksis
1, di sisi lain tidak pernah tumbuh dua tunas lateral dari satu nodus pada suatu unit

Universitas Sriwijaya
simpodial percabangan (Gambar 9B dan 10). Selalu hanya salah satu tunas lateral
dari meristem aksilar pada kedua aksil daun yang berkembang menjadi aksis
lateral, sehingga tidak pernah terjadi dua cabang yang berhadapan. Pada
umumnya, cabang lain tumbuh pada satu nodus berikutnya dari aksil daun di
posisi yang berlawanan dan cenderung mempertahankan keadaan aksis induk
berada di tengah antara kedua aksis tersebut yang akhirnya memberi kesan dua
cabang yang berhadapan.

Gambar 10. Satu cabang pada dua nodus yang berurutan pada unit
simpodial.

Pertumbuhan aksis 5 segera terjadi dari aksis 4 dan cabang yang baru tetap
memiliki sifat yang serupa dengan cabang sebelumnya. Pertumbuhan cabang
terjadi di area distal dari aksis induknya (aksis 4) sehingga menghasilkan seri
linear dari unit simpodial memanjang yang menyerupai ‘gelombang’. Semakin
bertambah jumlah cabang, semakin simpodium (keseluruhan susunan cabang)
condong ke arah horizontal. Aksis 2 akan semakin melengkung atau terkulai pada
bagian proksimalnya dan menghasilkan keadaan dimana orientasi aksis tampak
seolah-olah plagiotropik. Namun, ujung distal dari aksis tersebut yang vertikal
akan tetap menunjukan sifat ortotropiknya. Kecenderungan ini disebut
24
plagiotropik oleh aposisi (plagiotropy by apposistion), juga karena pertumbuhan
unit simpodial yang tidak terbatas.
Pertumbuhan masih terus berlanjut pada fase juvenil ini, seiring dengan
batang bertambah tinggi dan tumbuh cabang-cabang baru, cabang-cabang

Universitas Sriwijaya
terendah mulai gugur. Belum dapat dipastikan hubungan antara jumlah kategori
cabang dengan peralihan ke fase dewasa. Bahkan teramati suatu individu yang
telah memiliki sepuluh kategori aksis dengan tinggi sekitar 5 m, masih belum
menunjukan adanya perkembangan struktur reproduktif.

4.1.3. Dewasa
Fase dewasa dimulai dengan berkembangnya struktur reproduktif untuk
pertama kalinya. Bunga tumbuh di bagian lateral area distal aksis dalam bentuk
bunga majemuk (Gambar 11 dan 12). Bunga majemuk (infloresen) ini cenderung
hampir selalu muncul dari kedua aksil daun yang berhadapan dan pada dua nodus
berurutan, cenderung jarang teramati hanya satu bunga majemuk yang tumbuh
pada satu nodus, dan umumnya dalam keadaan mekar pada posisi nodus ke tiga
dari apikal.
Bunga majemuk berbentuk malai dimana ibu tangkai bunga mengadakan
percabangan secara monopodial yang terdiri dari beberapa cabang dengan dua
cabang berhadapan pada nodus yang sama dan tiap individual bunga akan tampak
berada pada ketinggian yang tidak jauh berbeda membentuk suatu bidang
‘cembung’ dalam rangkaian bunga majemuknya (Gambar 13).

27

Gambar 11. Bunga majemuk pada F. fragrans dewasa.


Pertumbuhan bunga terjadi di seluruh kategori aksis dan umumnya cenderung
lebih banyak pada aksis yang berada di bagian luar atau permukaan tajuk.

Universitas Sriwijaya
Pertumbuhan bunga yang terjadi di bagian lateral tidak mengahiri pertumbuhan
aksis yang menunjangnya dan pucuk apikal tetap mempertahankan potensial
pertumbuhannya. Posisi struktur reproduktif di bagian lateral menunjukan
kemampuan pertumbuhan yang tidak terbatas (indeterminate).

Gambar 14. Bentuk tajuk dan batang monopodial pohon pada


fase dewasa.

Pohon dewasa yang teramati telah mencapai tinggi sekitar 7 m. Pada fase
dewasa ini mulai dikenali adanya suatu proses ‘pemantapan’. Percabangan tampak
menjadi lebih padat dan rapat di batang utama yang juga karena peningkatan
ukuran diameter batang sementara panjang internodus tidak banyak bertambah.
Pada percabangan (simpodium) pertambahan ukuran terjadi lebih banyak pada
bagian aksis yang membentuk sambungan linear dengan aksis-aksis lainnya,
sementara porsi aksis yang berada di atas titik munculnya aksis lateral tersebut,
28
bagian distal per unit simpodial, seolah-olah tetap pada ukuran awalnya atau lebih
sedikit mengalami peningkatan ukuran (diameter relatif).
Perubahan pada cabang-cabang terus terjadi. Peningkatan ukuran tidak terjadi
sama di semua bagian di sepanjang cabang. Dari bagian pangkal ke ujung unit
simpodial terakhir pada simpodium, terdapat perbedaan ukuran gradual menjadi
lebih kecil, dari yang awalnya memiliki ukuran (diameter) yang relatif sama di
sepanjang aksis pada satu unit simpodial maupun dalam keseluruhan simpodium

Universitas Sriwijaya
dan perbedaan hanya sedikit tampak per unit aksis. Pertumbuhan ini seolah-olah
tidak terikat lagi pada satuan unit simpodial, dan bagian distal yang sesungguhnya
dari suatu unit aksis yang masih melanjukan pertumbuhan apikal setelah
memunculkan cabang, justru tampak seperti aksis lateral yang lebih kecil. Proses
ini juga menyamarkan lengkungan atau struktur menyerupai ‘gelombang’ yang
awalnya dihasilkan dari percabangan (Gambar 14 dan 19).

Gambar 15. Percabangan simpodial yang tersamarkan pada pohon dewasa.

Pengenalan terhadap pohon dewasa juga dapat dilakukan dalam keadaan


ketidakhadiran struktur reproduktif (bunga). Tanda-tanda morfologis dari kejadian
sebelumnya dapat ditemukan, seperti ‘bekas luka’ dari organ yang digugurkan.
Tangkai buah yang telah digugurkan meninggalkan bekas luka berupa cekungan
bulat yang berada diantara bekas perlekatan daun pada aksis (Gambar 16). Tanda
morfologis dari struktur reproduktif tersebut akan semakin mudah dikenali karena
biasanya terdapat dua cekungan bulat (bekas luka) yang berada di sisi yang
berlawanan dan di ketinggian yang sama pada aksis yang disebabkan oleh dua
tangkai buah majemuk yang berhadapan.

Universitas Sriwijaya
29

Gambar 16. Bekas yang ditinggalkan oleh struktur


reproduktif yang telah digugurkan (L).

4.2. Orientasi Plagiotropik oleh Aposisi


Sejak pada fase anakan F. fragrans telah menunjukan orientasi arah tumbuh
aksis yang bersifat ortotropik. Aksis utama (aksis 1) tumbuh tegak lurus dengan
filotaksis berhadapan-silang yang membentuk simetri radial. Menurut Bell (1991),
pertumbuhan ortotropik menyatakan pertumbuhan dalam suatu arah vertikal.
Setelah memasuki fase juvenil dan terjadi pertumbuhan aksis 3, tampak orientasi
aksis tersebut tidak benar-benar vertikal. Bagian pangkal proksimal semakin
horizontal dan ujung distal tetap menuju vertikal, yang secara keseluruhan terlihat
lebih bersifat plagiotropik dan semakin jelas dengan pertumbuhan aksis
selanjutnya dari aksis tersebut.
F. fragrans memiliki orientasi batang ortotropik sementara percabangan
plagiotropik. Menurut Barthelemy & Caraglio (2007), pada banyak tumbuhan,
satu meristem tunggal dapat memunculkan suatu aksis dengan sifat campuran
yang disebut ‘aksis campuran’. Sebenarnya sifat asli aksis tersebut tidak benar-
benar plagiotropik, aksis tersebut masih memilki filotaksis berhadapan-silang dan
simetri radial yang merupakan ciri dari ortotropik. Namun perilaku
plagiotropiknya lebih disebabkan karena pertumbuhan serial dari aksis lateral
yang terjadi di area distal. Aksis lateral tersebut akan segera menjadi cabang
dengan ukuran yang hampir relatif sama dengan aksis induknya dan mengambil
alih peran perpanjangan selanjutnya, sehingga seolah-olah beban dari aksis lateral
tersebut yang membuat aksis induknya semakin condong ke arah horizontal.

Universitas Sriwijaya
30

A B
Gambar 17. Unit arsitektural dari F.
fragrans yang memiliki lima kategori aksis (A1 sampai A5). (A) ilustrasi diagramatis
dari pohon (tampak samping) memperlihatkan posisi relatif dari kategori-kategori
aksis; (B) ilustrasi diagramatis dari tingkatan cabang-cabang (tampak atas) dengan
dua cabang pada tiap aksis, cabang yang lebih pudar berada di bawahnya .

Batang (A1) Dahan (A2) Ranting (A3) Ranting (A4) Ranting (A5)
Orientasi Orientasi Orientasi Orientasi
Arah tumbuh proksimal proksimal proksimal proksimal
vertikal horizontal atau horizontal atau horizontal atau horizontal atau
(ortotropik) miring, distal miring, distal miring, distal miring, distal
vertikal vertikal vertikal vertikal
Pertumbuhan Pertumbuhan Pertumbuhan Pertumbuhan Pertumbuhan
kontinu kontinu kontinu kontinu kontinu
Monopodial Simpodial Simpodial Simpodial Simpodial
Pertumbuhan Pertumbuhan Pertumbuhan Pertumbuhan Pertumbuhan
tak terbatas tak terbatas tak terbatas tak terbatas tak terbatas
(indeterminate) (indeterminate) (indeterminate) (indeterminate) (indeterminate)
Percabangan Percabangan Percabangan Percabangan Percabangan
ritmik dan ritmik dan ritmik dan ritmik dan ritmik dan
sileptik sileptik sileptik sileptik sileptik
Filotaksis Filotaksis Filotaksis Filotaksis Filotaksis
berhadapan- berhadapan- berhadapan- berhadapan- berhadapan- 31
silang silang silang silang silang
Tabel 1. Ringkasan fitur-fitur morfologis dari kelima kategori aksis F. fragrans.

Universitas Sriwijaya
Gambar 18. Bentuk dan orientasi yang cenderung horizontal
dari percabangan plagiotropik oleh aposisi.

Barthelemy & Caraglio (2007) menjelaskan lagi bahwa sejumlah aksis


campuran dapat memiliki porsi proksimal plagiotropik diikuti oleh ujung distal
ortotropik. Pada kasus semacam itu, modulnya dibentuk oleh percabangan
hipotonik berurutan, menghasilkan sistem percabangan horizontal yang disebut
plagiotropi oleh aposisi, jika pertumbuhan modulnya tidak terbatas atau
plagiotropi oleh substitusi, jika pertumbuhan modulnya terbatas. Pertumbuhan
tidak terbatas atau terbatas ini, menurut Chomicki et al (2017), disebakan oleh
infloresen aksilar atau terminal. Pertumbuhan tidak terbatas dari aksis karena
perbungaan lateral F. fragrans membuat tipe plagiotropiknya ini tergolong
sebagai aposisi.

4.3. Batang Monopodial dan Cabang Simpodial


F. fragrans memiliki konstruksi batang monopodial. Tubuh tumbuhan ini
dibangun oleh satu batang utama yang tumbuh terus-menerus dan dari batang
tersebut muncul cabang-cabang yang lebih kecil (Gambar 21). Sesuai dengan
pengertian oleh Bell (1991), sebuah batang dapat dibangun oleh perpanjangan
34
vegetatif dari satu meristem apikal untuk membentuk satu batang atau unit batang,
aksis yang dibentuk itu adalah monopodium dan strukturnya monopodial.
Tembesu memiliki satu batang yang menunjang seluruh pertumbuhan
cabang-cabangnya. Namun, pada percabangan pemanjangan cabang tidak
dilakukan oleh satu aksis utama. Dari pangkal tempat menempelnya pada batang
hingga ujung terjauh dari cabang, dibentuk oleh sambungan cabang-cabang
dengan ukuran yang relatif sama (Gambar 19 dan 22).

Universitas Sriwijaya
Gambar 21. Batang monopodial F. fragrans.

Meskipun batangnya dibangun secara monopodial, percabangannya


terkonstruksi secara simpodial. Menurut Bell (1991), suatu aksis dapat dibangun
oleh suatu seri linear dari unit-unit bantang, tiap unit batang distal baru
berkembang dari sebuah pucuk aksilar yang terdapat pada unit batang
sebelumnya. Keseluruhan aksis kemudian disebut simpodium, dibentuk oleh
pertumbuhan simpodial, dan tiap anggota dari seri yang berasal dari satu meristem
apikal disebut unit simpodial (atau kaulomer) (Gambar 20).

35

Gambar 22. Percabangan sympodial F. fragrans dari aksis-aksis relatif


sebanding.
4.4. Pertumbuhan Kontinu dan Percabangan Ritmik

Universitas Sriwijaya
Pertumbuhan batang atau aksis F. fragrans berlangsung secara terus-
menerus. Tidak ada tanda-tanda dari suatu periode penghentian pertumbuhan
seperti yang disebutkan dalam Bell (1991), yaitu daun sisik, porsi nodus-nodus
yang rapat pada batang, atau perbedaan ukuran daun yang teratur yang
mengindikasikan suatu ritme pertumbuhan dari sifat pertumbuhan ritmik.
Tiap internodus memiliki panjang yang relatif sama di sepanjang aksis yang
menandai pertumbuhan yang konstans dari waktu ke waktu, meskipun pada area
distal unit simpodial setelah pertumbuhan cabang memiliki jarak antar nodus yang
menjadi lebih pendek. Karakteristik tersebut menunjukan sifat pertumbuhan
kontinu yang dibedakan oleh Barthelemy & Caraglio (2007), dengan tidak adanya
tanda penghentian endogen dari ekstensi batang.

Gambar 23. Percabangan ritmik pada aksis 1. Tanda putih menunjukan porsi
36
batang dengan nodus tanpa cabang, tanda hitam menunjukan porsi
dengan nodus bercabang.

Meskipun pertumbuhan aksis terjadi secara terus-menerus, percabangan


hanya terjadi pada nodus-nodus tertentu di sepanjang batang (aksis 1). Tidak
semua nodus pada aksis 1 memunculkan cabang, tidak semua meristem aksilar
pada aksil daun dari tiap nodus berkembang menjadi tunas lateral. Terdapat porsi
batang dengan sejumlah nodus yang memiliki aksis lateral dan porsi dengan
nodus-nodus tanpa cabang (Gambar 23). Barthelemy & Caraglio (2007)

Universitas Sriwijaya
mempertimbangkan distribusi topologikal dari aksis-aksis pada aksis induk dan
mendefinisikan percabangan ritmik saat aksis lateral dikelompokan sebagai
tingkatan-tingkatan yang berbeda dengan suatu pergantian beraturan yang jelas
dari suksesi nodus bercabang dan tidak bercabang.

4.5. Percabangan Sileptik


Cabang-cabang pada F. fragrans akan segera memanjang begitu terinisiasi.
Pertumbuhan cabang terjadi kurang lebih serentak dengan pertumbuhan apikal
batangnya dan menghasilkan sebuah internodus pertama (proksimal) dari cabang
yang jauh lebih panjang dari internodus-internodus selanjunya. Porsi internodus
yang panjang ini disebut hipopodium (Gambar 24), dihasilkan dari pertumbuhan
cabang yang segera atau sileptik.

H
H

Gambar 24. Aksis-aksis lateral dengan


hipopodium (H) yang
membentuk sebagian besar
panjang aksis. 37

Bell (1991) menjelaskan, primordia aksis lateral dapat segera berkembang


dan tumbuh tanpa adanya suatu penundaan. Pertumbuhan dari aksis lateral tanpa
fase istirahat seperti itu merujuk pada pertumbuhan sileptik. Sebaliknya
pertumbuhan dari kuncup yang dorman disebut pertumbuhan proleptik.
Pembedaannya didasarkan pada waktu dari ekstensi primordium cabang aksilar
dan peristiwanya umumnya ‘terekam’ secara morfologis pada akhir proksimal
dari cabang aksilar dengan kehadiran atau ketidakhadiran strukur protektif atau
bekasnya yang ditinggalkan. Sebagaimana sebuah cabang sileptik tumbuh tanpa

Universitas Sriwijaya
penundaan, daun pertama (prophylls) muncul sangat jauh pada aksis, bagian
proksimal pada cabang yang panjang dari profil tersebut diberi nama hipopodium.

4.6. Model Arsitektural


Sifat-sifat arsitektural yang telah teridentifikasi digunakan untuk menentukan
model arsitektural dari F. fragrans. Sejauh ini telah diketahui bahwa F. fragrans
memiliki konstruksi batang monopodial dengan cabang simpodial, orientasi
tumbuh ortotropik dengan percabangan plagiotropik oleh aposisi, pertumbuhan
kontinu dengan percabangan ritmik, serta posisi struktur reproduktif di bagian
lateral yang menunjukan sifat pertumbuhan tidak terbatas (indeterminate).
Berdasar pada deskripsi Halle et al. (1978), model arsitektural yang merujuk
pada kriteria-kriteria morfologis tersebut adalah model Aubreville (Gambar 25).
Model Aubreville mengacu pada arsitektur yang ditentukan oleh sebuah batang
monopodial dengan pertumbuhan ritmik dan filotaksis spiral atau bersilangan,
menunjang tingkatan-tingkatan cabang yang melingkar (whorled) dengan
filotaksis yang serupa. Cabang-cabang tumbuh secara ritmik, tiap cabang
plagiotropik oleh aposisi. Sejak infloresen lateral, modul tumbuh secara tidak
terbatas. Model ini dinamai dari Andre Aubreville.

Gambar 25. Model Aubreville yang diilustrasikan


Halle et al. (1978).

Universitas Sriwijaya
39

F. fragrans memiliki seluruh sifat-sifat arsitektural yang mendefinisikan


model Aubreville. Namun, terdapat satu karakter morfologis, yaitu pola
pertumbuhan yang berbeda dengan kriteria dari model tersebut. F. fragrans
teridentifikasi memiliki pertumbuhan kontinu sementara model Aubreville
ditentukan berdasarkan pertumbuhan ritmik (Gambar 26). Contoh ideal dari
model Aubreville menurut Halle et al. (1978) adalah Terminalia catappa yang
sangat jelas memperlihatkan struktur yang dihasilkan pola ritmik pertumbuhan,
seperti pergantian antara nodus-nodus yang tersusun rapat dan jarang, distribusi
dari kelompok cabang-cabang rapat (whorled) dalam tingkatan-tingkatan pada
batang, serta bentuk tajuk unik yang benar-benar disebabkan pola ritmik tersebut.
F. fragrans tidak memperlihatkan kecenderungan pola ritmik seperti yang
ditampilkan T. catappa. Meskipun memang dapat dikenali adanya ritme
pertumbuhan cabang berdasarkan porsi batang dengan aksis-aksis lateral pada
nodus dan porsi batang tanpa aksis lateral. Namun, tidak teramati koloni-koloni
yang nyata dari cabang-cabang dan jarak antar nodus-nodus dan cabang-cabang
pada batang tersebut cenderung konstan. Belum dapat dipastikan apakah satu-
satunya kecenderungan tersebut (percabangan ritmik) merupakan ‘ekspresi lemah’
dari sifat pertumbuhan ritmik itu sendiri. Pengamatan lebih dalam dengan
melakukan pengukuran periodik terhadap ukuran dan panjang dari aksis mungkin
memang diperlukan untuk memastikan suatu pola pertumbuhan ritmik.

Universitas Sriwijaya
BAB 5
KESIMPULAN

5.1. Kesimpulan
Pengamatan yang telah dilakukan membawa pada pengertian bahwa bagian
aerial Tembesu (F. fragrans) dibangun oleh satu sumbu utama (batang
monopodial) yang tumbuh terus-menerus (kontinu dan tidak terbatas) ) ke arah
tegak lurus (ortotropik) dan bercabang secara berkala (percabangan ritmik) ke
arah mendatar (plagiotropik) oleh susunan cabang-cabang sebanding tanpa satu
sumbu utama atau hierarki ukuran (simpodial) yang kemudian menumbuhkan
bunga pada sisi-sisi bagian ujung masing-masing cabang (struktur reproduktif
lateral) yang secara keseluruhan menampilkan pola pertumbuhan dan arsitektur
yang merujuk pada model arsitektur Aubreville.

5.2. Saran
Pengamatan labih dalam terhadap karakter-karakter arsitektural dan mungkin
disertai data-data kuantitatif masih diperlukan dalam rangka membuat
deskripsi yang lebih rinci untuk menelaah lebih jauh aspek arsitektural tumbuhan
ini (F. fragrans) serta barangkali tumbuhan-tumbuhan lainnya dalam lingkungan
yang sama.

40 Universitas Sriwijaya
DAFTAR PUSTAKA

Arijani. 2006. Model Arsitektur Pohon pada Hulu DAS Cianjur Zona Sub-
Montana Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Jurnal Matematika,
Sains, dan Teknologi. 7(2): 71-84.
Asmaliyah, Imanullah, A. dan Darwiati, W. 2012. Identifikasi dan Potensi
Kerusakan Rayap pada Tanaman Tembesu (Fagraea fragrans) di Kebun
Percobaan Way Hanakau, Lampung Utara. Jurnal Penelitian Hutan
Tanaman. 9(4): 187-194.
Barthelemy, D. dan Caraglio, Y. 2007. Plant Architecture: A Dynamic, Multilevel
and Comprehensive Approach to Plant Form, Structure and Ontogeny.
Annals of Botany. 99: 375-407.
Bell, D. A. 1991. Plant Form: An Illustrated Guide to Flowering Plant
Morphology. Oxford University Press.
Chomicki, G., Cairo, M. dan Renner, S. S. 2017. Evolution and Ecology of Plant
Architecture: Integrating Insight from the Fossil Record, Extant
Morphology, Development Genetic and Phylogenies. Annals of Botany.
120: 855-891.
Damayanti, U. R., Supriyanto, Wulandari, S. A. dan Subandy, B. 2017.
Regenerasi Tunas Adventif dari Eksplan Daun Tembesu (Fagraea
fragrans) melalui Teknik Kultur Jaringan. Jurnal Penelitian Hutan
Tanaman. 14(1).
Halle, F., Oldeman, R. A. A. dan Tomlinson, P. B. 1978. Tropical Trees and
Forests: An Architectural Analysis. Springer-Verlag Berlin.
Hasanudin. 2013. Model Arsitektur Pohon Hutan Kota Banda Aceh sebagai
Penunjang Praktikum Morfologi Tumbuhan. Jurnal EduBio Tropika. 1(1):
1-60.
Hidayat, E. B. 1994. Morfologi Tumbuhan. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan: Jakarta.
Hidayat, M., Pratiwi, O., Sartinawati R., Sakti, R. V. 2018. Stratifikasi dan Model
Arsitektur Pohon di Kawasan Hutan Sekunder Pegunungan Deudap Pulo
Aceh Kabupaten Aceh Besar. Prosiding Seminar Nasional Biotik 2018.
Kuiper, L. C. 1994. Architectural Analysis of Douglass-fir Forest. Wageningen
Agricultural University: Netherland.
Lemmens, R. H. M. J., Soerianegara, I., Wong, W. C. 1995. Plant Resources of
South-East Asia 5. (2) Timber trees: Minor commercial timber. PROSEA:
Bogor.
Mindawati, N., Nuromah, S. H. dan Akhmad, C. 2014. Tembesu Kayu Raja
Andalan Sumatera. FORDA PRESS: Bogor.

32
41 Universitas Sriwijaya
42
33

Reinhardt, D. dan Khlemeier, C. 2002. Plant Architecture. EMBO reports. 3(9):


846-851.
Rosalia, N. 2008. Penyebaran dan Karakteristik Tempat Tumbuh Pohon Tembesu
(Fagraea fragrans Roxb.) (Studi Kasus di Kawasan Taman Nasional
Danau Sentarum Kapuas Hulu Kalimantan Barat). Tesis. Institut Pertanian
Bogor: Bogor.
Rustam, E. dan Pramono, A. A. 2018. Morfologi dan Perkembangan Bunga-Buah
Tembesu (Fagraea fragrans). PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON.
4(1): 13-19.
Sunarno, B. dan Halle, F. 1986. Architecture of Dicotyledonous Weeds in Some
Areas of Banyumas Regency Central Java. BERITA BIOLOGI. 3(4).

Wong, K. M. dan Sugumaran, M. 2012. Studies in Malesian Gentianaceae III:


Cyrtophyllum reapplied to the Fagraea fragrans alliance. Gardens’
Bulletin Singapore. 64(2): 497-510.

Universitas Sriwijaya
LAMPIRAN

Pengamatan Pertumbuhan F. fragrans


1. Anakan

Anakan F. fragrans tumbuh pada area terbuka dan di bawah naungan kanopi.

Salah satu anakan F. fragrans tampak atas


memperlihatkan simetri radial.

Salah satu anakan F. fragrans yang


berasal dari tunas akar.

34
43
Universitas Sriwijaya
44
35

2. Juvenil

Fase juvenil yang memiliki


sejumlah aksis 2.

Fase juvenil yang telah memiliki


tiga kategori aksis.

Salah satu fase juvenil dengan


tiga cabang aksis 2 tampak Fase juvenil yang telah memiliki enam
atas, posisi cabang sesuai kategori aksis.
dengan aturan filotaksis.

45
36

3. Dewasa

Universitas Sriwijaya
Sejumlah individu F. fragrans dewasa. Kulit pohon bercelah dan
beralur dalam dari F. fragrans
dewasa.

Sejumlah F.fragrans fase dewasa yang memperlihatkan bentuk


tajuknya.

(Sumber: Dokumentasi Pribadi).

46
37

Model-Model Arsitektural

Universitas Sriwijaya
1. Pohon-pohon monoaksial

Model Holtum Model Corner Model Corner

2. Pohon-pohon poliaksial
a. Aksis vegetatif ekivalen dan ortotropik

Model Tomlinson Model Tomlinson

38 47
Model Schoute Model Chamberlain Model McClure

b. Aksis vegetatif terdiferensiasi menjadi batang dan cabang

Universitas Sriwijaya
Model Leeuwenberg Model Koriba

Model Fagerlind Model Prevost Model Petit

48
39

Model Aubreville Model Nozeran

Model Roux Model Massart

Universitas Sriwijaya
Model Stone
Rauh
Cook

49
40
Model Attims Model Scarrone

c. Aksis vegetatif campuran

Model Magenot Model Champagnant

Universitas Sriwijaya
Model Troll Model Troll

(Sumber: Halle et al., 1978)

Universitas Sriwijaya

Anda mungkin juga menyukai