Segala puji dan syukur panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat serta
hidaya-Nya, penyusunan Tugas Besar Perencanaan Geometrik Jalan ini dapat diselesaikan
dengan baik dan tepat pada waktunya. Tugas Besar ini disusun untuk memenuhi salah satu
persyaratan akademik di Jurusan Teknik Sipil Universitas Sangga Buana YPKP Bandung.
Dalam kesempatan ini, penyusun ingin mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam segala hal atas terselesaikannya Tugas Besar ini.
Ucapan terimakasih ini kami haturkan kepada:
1. Orang tua dan keluarga yang telah memberikan semangat serta dorongan baik
moril maupun materil selama penyusunan laporan ini.
2. Bapak Dr.Ir. Didin Kusdian, MT selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan banyak bimbingan selama penyusunan laporan ini.
3. Rekan – rekan Jurusan Teknik Sipil angkatan 2016 dan angkatan 2017
Universitas Sangga Buana YPKP yang yang selalu memberikan dorongan serta
motivasi kepada penulis dan pihak – pihak yang secara langsung maupun tidak
langsung telah membantu selama penyusunan laporan.
Penulis menyadari bahwa dalam laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk
itu kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis harapkan. Semoga Tugas Besar
ini dapat bermanfaat, terimakasih.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB VI KOORDINASI ALINYEMEN VERTIKAL DAN
ALINYEMEN HORIZONTAL ............................................................................................... 24
BAB VII PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN STA 0+000 s/d 0+700 ......................... 25
Alinemen Horizontal. ....................................................................................................... 25
Alinemen Vertikal............................................................................................................. 25
Gambar Diagram Superelevasi (Terlampir)
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perencanaan geometrik jalan raya merupakan bagian dari perencanaan jalan yang
dititik beratkan pada perencanaan bentuk fisik sehingga dapat memenuhi fungsi dasar dari
jalan yaitu memberikan pelayanan yang optimum pada arus lalu lintas dan sebagai akses ke
rumah-rumah. Dalam lingkup perencanaan geometrik tidak termasuk perencanaan tebal
perkerasan jalan, walaupun dimensi dari perkerasan merupakan bagian dari perencanaan
geometrik sebagai bagian dari perencanaan jalan seutuhnya. Demikian pula dengan drainase
jalan. Jadi tujuan dari perencanaan geometrik jalan adalah menghasilkan infra struktur yang
aman, efisiensi pelayanan arus lalu lintas dan memaksimalkan rasio tingkat
penggunaan/biaya pelaksanaan. Ruang, bentuk, dan ukuran jalan dikatakan baik, jika dapat
memberikan rasa aman dan nyaman kepada pemakai jalan.
Yang menjadi dasar perencanaan geometrik adalah sifat gerakan, dan ukuran
kendaraan, sifat pengemudi dalam mengendalikan gerak kendaraannya, dan karakteristik arus
lalu lintas. Hal-hal tersebut haruslah menjadi bahan pertimbangan perencana sehingga
dihasilkan bentuk dan ukuran jalan, serta ruang gerak kendaraan yang memenuhi tingkat
kenyamanan dan keamanan yang diharapkan. Bagian ini akan diuraikan pada bab
selanjutnya.
Pada gambar tersebut akan terlihat apakah jalan tersebut merupakan jalan
lurus, menikung ke kiri atau ke kanan. Sumbu jalan terdiri dari serangkaian
garis lurus, lengkung berbentuk lingkaran dan lengkung peralihan dari bentuk
garis lurus ke bentuk busur lingkaran. Perencanaan geometrik jalan
memfokuskan pada pemilihan letak dan panjang dari bagian-bagian ini, sesuai
dengan kondisi medan sehingga terpenuhi kebutuhan akan pengoperasian lalu
lintas, dan keamanan (ditinjau dari jarak pandangan dan sifat mengemudikan
kendaraan di tikungan).
Pada gambar tersebut akan terlihat apakah tersebut tanpa kelandaian, mendaki
atau menurun. Pada perencanaan alinyemen vertikal ini dipertimbangkan
bagaimana meletakkan sumbu jalan sesuai kondisi medan dengan
memperhatikan sifat operasi kendaraan, keamanan, jarak pandangan dan
fungsi jalan. Pemilihan alinyemen vertikal berkaitan pula dengan pekerjaan
tanah yang mungkin timbul akibat adanya galian dan timbunan yang harus
dilakukan.
1
• Penampang Melintang Jalan.
Bagian-bagian dari jalan seperti lebar dan jumlah jalur, ada atau tidaknya
median, drainase permukaan, kelandaian lereng tebing galian dan timbunan,
serta bangunan pelengkap lainnya dapat dilihat pada gambar ini.
Tujuan dari penyusunan Tugas Besar ini adalah sebagai persyaratan untuk memenuhi syarat
kelulusan mata kuliah perencanaan Geometrik Jalan dan mendapat wawasan dari
pengaplikasian Geometrik jalan pada umumnya
1.3 Manfaat
Manfaat dari penyusunan Tugas Besar ini adalah Mahasiswa mampu mendesain jalan yang
baik, aman, dan nyaman untuk memenuhi unsur keselamatan penggunaan jalan dan tidak
mengganggu ekosistem.
2
BAB II
PENAMPANG MELINTANG JALAN
Penampang melintang jalan merupakan potongan melintang tegak lurus sumbu jalan.
Pada potongan melintang jalan dapat terlihat bagian-bagian jalan. Bagian-bagian jalan yang
utama dapat dikelompokkan sebagai berikut:
c. Bahu Jalan.
Adalah jalur yang terletak berdampingan dengan jalur lalu lintas yang berfungsi
sebagai:
1. Ruangan untuk tempat berhenti sementara kendaraan yang mogok atau yang
sekedar berhenti karena pengemudi ingin berorientasi mengenai jurusan yang
akan ditempuh, atau untuk beristirahat.
2. Ruangan untuk menghindarkan diri dari saat-saat darurat, sehingga dapat
mencegah terjadinya kecelakaan.
3. Memberikan kelegaan pada pengemudi, dengan demikian dapat meningkatkan
kapasitas jalan yang bersangkutan.
4. Memberikan sokongan pada konstruksi perkerasan jalan dari arah samping.
5. Ruangan pembantu pada waktu mengadakan pekerjaan perbaikan atau
pemeliharaan jalan.
6. Ruangan untuk lintasan kendaraan-kendaraan patroli, ambulans, yang sangat
dibutuhkan pada keadaan darurat seperti terjadinya kecelakaan.
3
e. Median.
Pada arus lalu lintas yang tinggi seringkali dibutuhkan median guna memisahkan arus
lalu lintas yang berlawanan arah. Jadi median adalah jalur yang terletak di tengah jalan
untuk membagi jalan dalam masing-masing arah.
2. Pengaman tepi.
Bertujuan untuk memberikan ketegasan tepi badan jalan. Jika terjadi kecelakaan,
dapat mencegah kendaraan keluar dari badan jalan. Umumnya dipergunakan di
sepanjang jalan yang menyusur jurang, pada tanah timbunan dengan tikungan yang
tajam, pada tepi-tepi jalan dengan tinggi timbunan lebih besar dari 2,5 meter, dan
pada jalan-jalan dengan kecepatan tinggi.
4
2.4 Bagian konstruksi jalan.
Lapisan perkerasan jalan dapat dibedakan atas :
Lapisan permukaan
Sejalur tanah tertentu diluar Daerah Manfaat Jalan tetapi di dalam Daerah Milik Jalan
dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan keluasan keamanan penggunaan jalan antara
lain untuk keperluan pelebaran Daerah Manfaat Jalan dikemudian hari.
5
BAB III
PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN
Dalam perencanaan geometrik jalan terdapat beberapa parameter perencenaan, seperti
kendaraan rencana, kecepatan rencana, volume dan kapasitas jalan, dan tingkat pelayanan
yang diberikan oleh jalan tersebut. Parameter-parameter ini merupakan penentu tingkat
kenyamanan yang dihasilkan oleh suatu bentuk geometrik jalan.
3.2 KECEPATAN.
Kecepatan adalah besaran yang menunjukkan jarak yang ditempuh kendaraan
dibagi waktu tempuh. Biasanya dinyatakan dalam km/jam. Kecepatan ini
menggambarkan nilai gerak dari kendaraan. Perencanaan jalan yang baik tentu saja
haruslah berdasarkan kecepatan yang dipilih dari keyakinan bahwa kecepatan tersebut
sesuai dengan kondisi dan fungsi jalan yang diharapkan.
Kecepatan Rencana.
Hampir semua rencana bagian jalan dipengaruhi oleh kecepatan, baik secara
langsung seperti tikungan horizontal, kemiringan melintang ditikungan, jarak pandang
6
maupun secara tak langsung seperti lebar lajur, lebar bahu, kebebasan melintang dan
lain-lain. Oleh karena itu pemilihan kecepatan rencana sangat mempengaruhi keadaan
seluruh bagian-bagian jalan dan biaya untuk pelaksanaan jalan tersebut.
Medan dikatakan datar jika kecepatan kendaraan truk sama dengan atau
mendekati kecepatan mobil penumpang.
Kecepatan rencana yang diambil akan lebih besar untuk jalan luar kota
daripada di daerah kota. Jalan raya dengan volume tinggi dapat direncanakan
dengan kecepatan tinggi, karena penghematan biaya operasi kendaraan dan biaya
operasi lainnya dapat mengimbangi tambahan biaya akibat diperlukannya
tambahan biaya untuk pembebasan tanah dan konstruksi. Tetapi sebaliknya jalan
raya dengan volume lalu lintas rendah tidak dapat direncanakan dengan kecepatan
rencana rendah, karena pengemudi memilih kecepatan bukan berdasarkan volume
lalu lintas saja, tetapi juga berdasarkan batasan fisik. Kecepatan rencana 80km/jam
dilihat dari sifat kendaraan pemakai jalan, dan kondisi jalan, merupakan kecepatan
rencana tertinggi untuk jalan tanpa pengawasan jalan masuk. Sedangkan
kecepatan rencana 20 km/jam merupakan kecepatan terendah yang masih
mungkin untuk dipergunakan. Untuk jalan tol, yaitu jalan dengan pengawasan
penuh, kecepatan rencana yang dipilih dapat 80-100 km/jam.
Kecepatan rencana untuk jalan arteri tentu saja harus dipilih lebih tinggi dari jalan
kolektor.
7
Perubahan kecepatan rencana yang dipilih di sepanjang jalan tidak boleh terlalu besar
dan tidak dalam jarak yang terlalu pendek. Perbedaan sebesar 10 km/jam dapat
dipertimbangkan karena akan menghasilkan beda rencana geometrik yang cukup
berarti.
Volume lalu lintas yang tinggi membutuhkan lebar perkerasan jalan yang lebih
lebar, sehingga tercipta kenyamanan dan keamanan. Sebaliknya jalan yang terlalu
lebar untuk volume lalu lintas rendah cenderung membahayakan, karena pengemudi
cenderung mengemudikan kendaraannya pada kecepatan yang lebih tinggi sedangkan
kondisi jalan belum tentu memungkinkan. Dan disamping itu mengakibatkan
peningkatan biaya pembangunan jalan yang jelas tidak pada tempatnya.
LHRT adalah jumlah lalu lintas kendaraan rata-rata yang melewati satu jalur
jalan selama 24 jam dan diperoleh dari data selama satu tahun penuh.
Untuk dapat menghitung LHRT haruslah tersedia data jumah kendaraan yang
terus menerus selama 1 tahun penuh. Mengingat akan biaya yang diperlukan dan
membandingkan dengan ketelitian yang dicapai serta semua tempat di Indonesia
mempunyai data volume lalu lintas selama 1 tahun, maka untuk kondisi tersebut dapat
pula dipergunakan satuan “Lalu Lintas Harian Rata-rata (LHR)”.
8
LHR adalah hasil bagi jumlah kendaraan yang diperoleh selama pengamatan
dengan lamanya pengamatan.
LHR atau LHRT untuk perencanaan jalan baru diperoleh dari analisa data
yang diperoleh dari survey asal dan tujuan serta volume lalu lintas di sekitar jalan
tersebut.
Pada suatu keadaan dengan volume lalu lintas yang rendah, pengemudi akan
merasa lebih nyaman mengendarai kendaraan dibandingkan jika dia berada pada
daerah tersebut dengan volume lalu lintas yang lebih besar. Kenyamanan akan
berkurang sebanding dengan bertambahnya volume lalu lintas. Dengan perkataan lain
rasa nyaman dan volume arus lalu lintas tesebut berbanding terbalik. Tetapi
kenyamanan dari kondisi arus lalu lintas yang ada tak cukup hanya digambarkan
dengan volume lalu lintas tanpa disertai data kapasitas jalan, dan kecepatan pada jalan
tersebut.
9
• Kecepatan mulai dipengaruhi oleh keadaan lalu lintas, tetapi tetap dapat dipilih
sesuai kehendak pengemudi.
10
1. Menghindarkan terjadinya tabrakan yang dapat membahayakan kendaraan dan
manusia akibat adanya benda yang berukuran cukup besar, kendaraan yang sedang
berhenti, pejalan kaki, atau hewan-hewan pada lajur jalannya.
2. Memberi kemungkinan kendaraan untuk mendahului kendaraan lain yang
bergerak dengan kecepatan lebih rendah dengan mempergunakan lajur di
sebelahnya.
3. Menambah efisiensi jalan tersebut, sehingga volume pelayanan dapat dicapai
semaksimal mungkin.
4. Sebagai pedoman bagi pengatur lalu lintas dalam menempatkan rambu-rambu lalu
lintas yang diperlukan pada setiap segmen.
• Jarak pandangan henti yaitu jarak pandangan yang dibutuhkan untuk menghentikan
kendaraannya.
• Jarak pandangan menyiap yaitu jarak pandangan yang dibutuhkan untuk dapat
menyiap kendaraan lain yang berada pada lajur jalannya dengan menggunakan lajur
untuk arah yang berlawanan.
11
BAB IV
ALINYEMEN HORIZONTAL
Alinyemen horizontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang horizontal.
Alinyemen horizontal dikenal juga dengan nama “situasi jalan” atau “trase jalan”. Alinyemen
horizontal terdiri dari garis-garis lurus yang dihubungkan dengan garis-garis lengkung. Garis
lengkung tersebut dapat terdiri dari busur lingkaran ditambah busur peralihan, busur
peralihan saja ataupun busur lingkaran saja.
Dimana :
m = massa = G/g
G = berat kendaraan
g = gaya gravitasi bumi
a = percepatan sentrifugal = V2/R
V = Kecepatan kendaraan
R = jari-jari lengkung lintasan
G V²
F=
g R
12
4.2 LENGKUNG PERALIHAN.
Secara teoritis perubahan jurusan yang dilakukan pengemudi dari jalan lurus
(R= ∞) ke tikungan berbentuk busur lingkaran (R= Re) harus dilakukan dengan
mendadak. Tetapi hal ini tidak perlu, karena :
Pada pertama kali membelok yang dibelokkan adalah roda depan, sehingga jejak roda
akan melintasi lintasan peralihan dari jalan lurus ke tikungan berbentuk busur
lingkaran.
Akibat keadaan di atas, gaya sentrifugal yang timbul pun berangsur-angsur dari R tak
berhingga di jalan lurus sampai R=Rc pada tikungan berbentuk busur lingkaran.
Pada lengkung horizontal yang tumpul dengan jari-jari yang besar lintasan kendaraan
masih dapat tetap berada pada lajur jalannya, tetapi pada tikungan tajam kendaraan
akan menyimpang dari lajur yang disediakan, mengambil lajur lain di sampingnya.
Guna menghindari hal tersebut, sebaiknya dibuatkan lengkung dimana lengkung
tersebut merupakan peralihan dari R=tak berhingga ke R=Rc. Lengkung ini disebut
lengkung peralihan.
1. Pengemudi dapat dengan mudah mengikuti lajur yang telah disediakan untuknya,
tanpa melintasi lajur lain yang berdampingan.
2. Memungkinkan mengadakan perubahan dari lereng jalan normal ke kemiringan
sebesar superelevasi secara berangsur-angsur sesuai dengan gaya sentrifugal yang
timbul.
3. Memungkinkan mengadakan peralihan pelebaran perkerasan yang diperlukan dari
jalan lurus ke kebutuhan lebar perkerasan pada tikungan-tikungan yang tajam.
4. Menambah keamanan dan kenyamanan bagi pengemudi, karena sedikit kemungkinan
pengemudi ke luar dari lajur.
5. Menambah keindahan dari jalan tersebut, menghindari kesan patahnya jalan pada
batasan bagian lurus dan lengkung busur lingkaran.
Jika perkerasan diputar dengan menggunakan tepi jalan perkerasan sebagai sumbu
putar, maka akan memberikan keuntungan dilihat dari sudut keperluan drainase jalan
13
dan keperluan estetis jalan yang bersangkutan. Hanya saja elevasi sumbu jalan
berubah kedudukan dilihat dari kondisi jalan lurus.
Dengan mempergunakan tepi luar perkerasan sebagai sumbu putar. Metode ini
jarang dipergunakan, karena umunya tidak memberikan keuntungan-keuntungan
sebagaimana cara-cara yang lain, kecuali untuk penyesuaian dengan keadaan medan.
Untuk jalan raya dengan median (jalan raya terpisah) cara pencapaian
kemiringan tersebut, tergantung dari lebar serta bentuk penampang melintang median
yang bersangkut dan dapat dilakukan dengan salah satu dari ketiga cara tersebut
adalah:
14
Gambar. Lengkung busur lingkaran sederhana.
Jika bagian-bagian lurus dari jalan tersebut diteruskan akan memotong titik
yang diberi nama PH (Perpotongan Horizontal), sudut yang dibentuk oleh kedua garis
lurus tersebut, dinamakan “sudut perpotongan “, bersimbol β. Jarak antara TC-PH
diberi simbol Tc. Ketajaman lengkung dinyatakan oleh radius Rc. Jika lengkung yang
dibuat simetris, maka garis 0 – PH merupakan garis bagi sudut TC – 0 – TC. Jarak
antara titik PH dan busur lingkaran dinamakan Ec. Lc adalah panjang busur lingkaran.
Tc = Rc tg ½ β
1
Rc (1−cos2β)
Ec = 1
cos2β
Ec = Tc tg ¼ β
βπ
Lc = Rc, β dalam derajat
180
15
Bina Marga menempatkan ¾ Ls’ dibagian lurus (kiri TC atau kanan CT) dan
¼ Ls’ ditempatkan dibagian lengkung ( kanan TC atau kiri CT ).
AASHTO menempatkan 2⁄3 Ls’ dibagian lurus (kiri TC atau kanan CT) dan 1⁄
3
Ls’ ditempatkan dibagian lengkung (kanan TC atau kiri CT).
1. Pada waktu membelok yang diberi belokan pertama kali hanya roda depan,
sehingga lintasan roda belakang agak keluar lajur (off tracking).
2. Jejak lintasan kendaraan kendaraan tidak lagi berimpit, karena bemper
depan dan belakang kendaraan akan mempunyai lintasan yang berbeda
dengan lintasan roda depan dan roda belakang kendaraan.
3. Pengemudi akan mengalami kesukaran dalam mempertahankan
lintasannya tetap pada lajur jalannya terutama pada tikungan-tikungan
yang tajam atau pada kecepatan-kecepatan yang tinggi.
16
Banyaknya penghalang-penghalang yang mungkin terjadi dan sifat-sifat yang
berbeda dari masing-masing penghalang mengakibatkan sebaiknya setiap faktor
yang menimbulkan halangan tersebut ditinjau sendiri-sendiri.
17
ini dapat sebagai tempat untuk perubahan pencapaian kemiringan
melintang jalan.
f. Pada sudut-sudut tikungan yang kecil, panjang lengkung yang diperoleh
dari perhitungan sering kali tidak cukup panjang. Sehingga memberi kesan
patahnya jalan tersebut. Untuk sudut tikungan 5º, panjang lengkung
sebaiknya dibuat lebih besar dari 150m dan setiap penurunan sudut
lengkung 1º, panjang lengkung ditambah 25 m.
g. Sebaiknya hindarkan lengkung yang tajam pada timbunan yang tinggi.
18
BAB V
ALINYEMEN VERTIKAL
Alinyemen vertikal adalah perpotongan bidang vertikal dengan bidang permukaan
perkerasan jalan melalui sumbu jalan untuk jalan 2 lajur 2 arah atau melalui tepi dalam
masing-masing perkerasan untuk jalan dengan median. Seringkali disebut juga sebagai
penampang memanjang jalan.
Perlu juga diperhatikan bahwa alinyemen vertikal yang direncanakan itu akan berlaku
untuk masa panjang, sehingga sebaiknya alinyemen vertikal yang dipilih tersebut dapat
dengan mudah mengikuti perkembangan lingkungan.
Alinyemen vertikal disebut juga penampang memanjang jalan yang terdiri dari garis-
garis lurus dan garis-garis lengkung. Garis lurus tersebut dapat datar, mendaki atau menurun,
biasa disebut berlandai. Landai jalan dinyatakan dengan persen.
Pada umunya gambar rencana suatu jalan dibaca dari kiri ke kanan, maka landai jalan
diberi tanda positif untuk pendakian dari kiri ke kanan, dan landai negatif untuk penurunan
dari kiri. Pendakian dan penurunan member efek yang berarti terhadap gerak kendaraan.
19
5.1 ELANDAIAN PADA ALINYEMEN VERTIKAL JALAN.
Landai minimum.
Berdasarkan kepentingan arus lalu lintas, landai ideal adalah landai datar
(0%). Sebaliknya ditinjau dari kepentingan drainase jalan, jalan berlandailah yang
ideal.
Dalam perencanaan disarankan menggunakan :
a. Landai untuk jalan-jalan diatas tanah timbunan yang tidak mempunyai kereb.
Lereng melintang jalan dianggap cukup untuk mengalirkan air di atas badan jalan
dan kemudian ke lereng jalan.
b. Landai 0,15% dianjurkan untuk jalan-jalan di atas tanah timbunan dengan medan
datar dan mempergunakan kereb. Kelandaian ini cukup membantu mengalirkan
air hujan ke inlet atau saluran pembuangan.
c. Landai minimum sebesar 0,3 – 0,5% dianjurkan dipergunakan untuk jalan-jalan di
daerah galian atau jalan yang memakai kereb. Lereng melintang hanya cukup
untuk mengalirkan air hujan yang jatuh di atas badan jalan, sedangkan landai jalan
dibutuhkan untuk membuat kemiringan dasar saluran samping.
Landai maksimum.
Kelandaian 3% mulai memberikan pengaruh kepada gerak kendaraan mobil
penumpang, walaupun tidak seberapa dibandingkan dengan gerakan kendaraan truk
yang terbebani penuh. Pengaruh dari adanya kelandaian ini dapat terlihat dari
berkurangnya kecepatan jalan kendaraan atau mulai dipergunakannya gigi rendah.
Kelandaian tertentu masih dapat diterima jika kelandaian tersebut mengakibatkan
kecepatan jalan tetap lebih besar dari setengah kecepatan rencana. Untuk membatasi
pengaruh perlambatan kendaraan truk terhadap arus lalu lintas, maka ditetapkan
landai maksimum untuk kecepatan rencana tertentu. Bina Marga (luar kota)
menetapkan kelandaian maksimum seperti pada table 5.1, yang dibedakan atas
kelandaian maksimum standar dan kelandaian maksimum mutlak. Jika tidak terbatasi
oleh kondisi keuangan, maka sebaiknya dipergunakan kelandaian standar. AASHTO
membatasi kelandaian maksimum berdasarkan keadaan medan apakah datar,
perbukitan ataukah pegunungan.
20
Tabel 5.1 Kelandaian maksimum jalan. Sumber : Traffic Engineering Handbook, 1992 dan
PGJLK, Bina Marga ‘1990 (Rancangan Akhir).
Jalan Arteri luar kota (AASHTO’90) Jalan antara kota (Bina Marga)
Kecepatan
Kelandaian Kelandaian
rencana
Datar Perbukitan Pegunungan Maksimum Maksimum
km/jam
Standar (%) Mutlak (%)
40 7 11
50 6 10
64 5 6 8
60 5 9
80 4 5 7 4 8
96 3 4 6
113 3 4 5
Tabel 5.2 memberikan panjang kritis yang disarankan oleh Bina Marga (luar
kota), yang merupakan kira-kira panjang 1 menit perjalanan, dan truk bergerak
dengan beban penuh. Kecepatan truk pada saat mencapai panjang kritis adalah sebesar
15 – 20 km/jam.
Lajur pendakian.
Pada jalan-jalan berlandai dan volume yang tinggi, seringkali kendaraan-
kendaraan berat yang bergerak dengan kecepatan di bawah kecapatan rencana
menjadi penghalang kendaraan lain yang bergerak dengan kecepatan sekitar
kecepatan rencana. Untuk menghindari hal tersebut perlulah dibuat lajur pendakian.
Lajur pendakian adalah lajur yang disediakan khusus untuk truk bermuatan berat atau
kendaraan lain yang berjalan dengan kecepatan lebih rendah, sehingga kendaraan lain
dapat mendahului kendaraan yang lebih lambat tanpa mempergunakan lajur lawan.
Tabel 5.2 Panjang kritis untuk kelandaian yang melebihi kelandaian maksimum standar
21
5.2 LENGKUNG VERTIKAL.
Pergantian dari satu kelandaian ke kelandaian yang lain dilakukan dengan
mempergunakan lengkung vertikal. Lengkung vertikal tersebut direncanakan
sedemikian rupa sehingga memenuhi keamanan, kenyamanan dan drainase.
Jenis lengkung vertikal dilihat dari letak titik perpotongan kedua bagian lurus
(tangen), adalah :
1. Lengkung vertikal cekung, adalah lengkung dimana titik perpotongan antara
kedua tangent berada di bawah permukaan jalan.
2. Lengkung jalan cembung, adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua
tangent berada di atas permukaan jalan yang bersangkutan.
Letak penyinaran lampu dengan kendaraan dapat dibedakan atas 2 keadaan yaitu :
Jarak pandangan bebas pengemudi pada jalan raya yang melintasi bangunan-
bangunan lain seperti jalan lain, jembatan penyebrangan, viaduct, aquaduct, seringkali
22
terhalangi oleh bagian bawah bangunan tersebut. Panjang lengkung vertikal cekung
minimum diperhitungkan berdasarkan jarak pandangan henti minimum dengan
mengambil tinggi mata pengemudi truk yaitu 1,80 m dan tinggi objek 0,50 m (tinggi
lampu belakang kendaraan). Ruang bebas vertikal minimum 5 m, disarankan
mengambil lebih besar untuk perencanaan yaitu ± 5,5 m, untuk memberi
kemungkinan adanya lapisan tambahan di kemudian hari.
✓ Pada alinyemen vertikal yang relatif datar dan lurus, sebaiknya dihindari hidden
dip, yaitu lengkung-lengkung vertikal cekung yang pendek, dan tidak terlihat jauh.
✓ Pada landai yang menurun yang panjang dan tajam, sebaiknya diikuti dengan
pendakian, sehingga kecepatan kendaraan yang telah bertambah dapat segera
dikurangi.
✓ Jika direncanakan serangkaian kelandaian, maka sebaiknya kelandaian yang
paling curam diletakkan di bagian awal, diikuti oleh kelandaian yang lebih kecil.
✓ Sedapat mungkin dihindari perencanaan lengkung vertikal yang sejenis (cekung
atau cembung) dengan hanya dipisahkan oleh tangen yang pendek.
23
BAB VI
KOORDINASI ALINYEMEN VERTIKAL DAN ALINYEMEN HORIZONTAL
Desain geometrik jalan merupakan desain bentuk fisik jalan berupa 3 dimensi. Untuk
mempermudah dalam menggambarkan bagian-bagian perencanaan, bentuk fisik jalan
tersebut digambarkan dalam bentuk alinyemen horizontal atau trase jalan, alinyemen vertikal
atau penampang memanjang jalan, dan potongan melintang jalan.
Penampilan bentuk fisik jalan yang baik dan menjamin keamanan dari pemakai jalan
merupakan hasil dari penggabungan bentuk alinyemen vertikal dan alinyemen horizontal
yang baik pula. Letak tikungan haruslah pada lokasi yang serasi dengan adanya tanjakan
ataupun penurunan.
1. Alinyemen mendatar dan vertikal terletak pada satu fase, sehinggan tikungan tampak
alami dan pengemudi dapat memperkirakan bentuk alinyemen berikutnya. Jika
tikungan horizontal dan vertikal tidak terletak pada satu fase, maka pengemudi sukar
memperkirakan bentuk jalan selanjutnya, dan bentuk jalan terkesan patah.
2. Tikungan yang tajam sebaiknya tidak diadakan di bagian atas lengkung vertikal
cembung atau di bagian bawah lengkung vertikal cekung. Kombinasi yang seperti ini
akan memberikan kesan terputusnya jalan, yang sangat membahayakan pengemudi.
3. Pada jalan yang lurus dan panjang sebaiknya tidak dibuatkan lengkung vertikal
cekung.
4. Kelandaian yang landai dan pendek sebaiknya tidak diletakkan di antara dua
kelandaian yang curam, sehingga mengurangi jarak pandangan pengemudi.
24
BAB VII
PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN STA 0+000 s/d 0+700
Alinemen Horizontal.
Tikungan 01 Tikungan 02
Terletak pada sta 0+212 s/d sta 0+277 Terletak pada sta 0+490,38 s/d sta 0+570,8
V = 50 km/jam V = 50 km/jam
β = 38º β = 36º
Lebar Jalan = 2x3,75 tanpa median Lebar Jalan = 2x3,75 tanpa median
e maks = 10% = 0,10 e maks = 10% = 0,10
R = 95 R = 119
e = 0,096 e = 0,087
Ls = 50 Ls = 45
Tc = R . tg ½ β = 32,711 m Tc = R . tg ½ β = 38, 665 m
Ec = Tc . tg ¼ β = 5, 473 m Ec = Tc . tg ¼ β = 6, 123 m
Lc = 0,01745 . β . R = 63,319 m Lc = 0,01745 . β . R = 74,755 m
Alinemen Vertikal.
Lengkung Vertikal 01 Lengkung Vertikal 02
PPV diketahui berada pada Sta 0+287 ketinggian PPV diketahui berada pada Sta 0+477ketinggian
736 m 736m
Perubahan kelandaian terjadi dari g1 = -2,44% Perubahan kelandaian terjadi dari g1 = 0%
(menurun dari kiri) ke kelandaian g2 = -0% (menurun dari kiri) ke kelandaian g2 = +5,3%
(menurun dari kiri) (menurun dari kiri)
A = g1 – g2 = (-2,44)-(-0) = -2,44 A = g1 – g2 = (0)+(5,3) = 5,3
L = 100 m L = 100m
Sebelum PPV Sebelum PPV
Elevasi di sta 0+200 = 738,228 Elevasi di sta 0+400 = 736
(hasil pengukuran)
Elevasi di sta 0+237 = 737,2 + 0,0244 = Elevasi di sta 0+427 = 736 + 0= 736 [PLV]
737,2244 [PLV]
Elevasi di sta 0+250 bagian tangen Elevasi di sta 0+450 bagian tangen
= 736 + 0,9028 = 736,9028 = 736 + 0 = 736
Elevasi di sta 0+250 bagian lengkung Elevasi di sta 0+450 bagian lengkung
= 736,9028 + 0,0206= 736,923 = 736 + 0,140 = 736,140
PPV PPV
Elevasi di sta 0+287 terletak pada posisi PPV. Elevasi di sta 0+477 terletak pada posisi PPV.
Elevasi sumbu jalan pada sto 0+287 = elevasi Elevasi sumbu jalan pada sto 0+477 = elevasi
PPV + EV = 736 + 0,305 = 736,305 PPV + EV = 736 + 0,662= 736,662
Setelah PPV Setelah PPV
Elevasi di sta 0+300 bagian tangen Elevasi di sta 0+500 bagian tangen
= 736 - 0 = 736 = 736 + 1,219 = 737,219
Elevasi di sta 0+300 bagian lengkung Elevasi di sta 0+500 bagian lengkung
= 736 – 0,167 = 736,167 = 737,219 + 0,193 = 737,412
Elevasi di sta 0+337 = 736 – 0 = 736 [PTV] Elevasi di sta 0+527 = 738,5+0,053 = 738,553
[PTV]
25
Elevasi di sta 0+350 = 736 – 1,26= 734,74 Elevasi di sta 0+550 = 740 + 3,868= 743,869
(hasil pengukuran) (hasil pengukuran)
26