Anda di halaman 1dari 55

30

Bab 3
Transformasi Laplace

3.1 Pendahuluan
Di dalam perancangan dan analisa sistem pengaturan akan banyak dijumpai
persamaan-persamaan differensial dimana ia merupakan pemodelan dari suatu sistem.
Untuk mengetahui sifat-sifat dari suatu sistem, persamaan-persamaan tersebut harus
dipecahkan, dan salah satu teknik untuk memecahkan persamaan differensial adalah
dengan menggunakan metode Transformasi Laplace.

3.2 Tujuan Khusus


Setelah membaca bab ini diharapkan mahasiswa dapat:
1. Mengetahui tentang dasar matematis yang diperlukan dalam sistem kendali
2. Dapat menyelesaikan masalah transformasi Laplace dan persamaan differensial.
3. Dapat menggunakan metode transformasi laplace dalam menyelesaikan persamaan
sistem kendali

3.3 Teorema Transformasi Laplace


Salah satu cara untuk menganalisa karakteristik dan gejala-gejala yang terjadi
pada sebuah sistem kontrol adalah menggunakan kaidah Transformasi Laplace
Transformasi Laplace mengubah suatu fungsi dalam domain waktu, f(t), menjadi fungsi
dalam domain lain, yaitu domain kompleks, F(s). Secara matematis, bentuk
transformasi ini adalah sebagai berikut:

dimana

dimana σ (sigma) adalah bagian real, dan ω (omega) adalah bagian


imaginer dari s dan j = √-1. Pada umumnya, ω menyatakan suatu frekuensi.

30
31

Dari Persamaan di atas, jika diinginkan mengubah kembali fungsi frekuensi, F(s), ke
fungsi waktu, f(t), maka diperlukan kebalikan dari Transformasi Laplace (dikenal
dengan istilah Invers Transformasi Laplace), yang dituliskan sebagai berikut:

Namun, untuk mengaplikasikan Transformasi Laplace dalam menganalisa


sebuah sistem kontrol, tidak harus menurunkan semua fungsi-fungsi waktu yang ada
secara matematika. Karena, telah terdapat tabel Transformasi Laplace yang dapat
digunakan secara langsung. Tabel Transformasi Laplace adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1. Transformasi Laplace

Domain Waktu f(t) Domain Frequensi F(s)


(t) 1
1
u(t)
s
−at 1
e
s+a
k
sin (kt)
s +k 2
2

s
cos (kt)
s +k 2
2

1
T
s2
cf (t ) cF (s)
df (t )
sF ( s)−f (0)
dt
F (s)
∫ f (t )dt s

Selain telah diturunkan secara praktis Transformasi Laplace dari beberapa


fungsi yang sering dipakai, terdapat pula tabel yang menggambarkan beberapa
teorema Transformasi Laplace untuk menyelesaikan fungsi-fungsi yang lebih
kompleks. Beberapa teorema tersebut adalah linearitas, superposisi, diferensiasi,
integrasi, translasi waktu, translasi frekuensi, diferensial kompleks, integrasi kompleks.
Teorema-teorema tersebut secara ringkas dijelaskan dalam tabel 3.2
32

Tabel 3.2 Sifat Transformasi Laplace


No Teorema Nama
∞ Definisi
L{F(t )}=F (s)=∫ e−st t dt
1 0
Teorem linear
2 L{kf (t )}=kF( s)
3 ℒ {f 1 (t )+f 2 (t )}=F (s )=F 1 ( s )+ F2 ( s ) Prinsip linear
4 −at Teorema peralihan frekuensi
ℒ {e f (t )}=F( s)=F (s+a )
5 −sT Teorema peralihan waktu
ℒ {f (t−T )}=e F (s)
6 Teorema skala
1 s
{f (at )}= F ( )
7 ℒ a a
df Teorema differensiasi
8 ℒ dt[ ]
=sF ( s )−f (0−)

d2 f
9

[ ]
dt 2
= s2 F (s )−f (0−)−f ' (0−)
n
Teorema differensiasi

dn f
10
ℒ dt[ ]
n
= s n F ( s )−f ∑ s n−k f k −1' (0−)
k −1
Teorema differensiasi

Teorema intergrasi
11 1 F( s)
{∫0− f (τ )dτ }=
ℒ s Teorema nilai akhir
12
f (∞ )=Lim sF ( s )
s→0
f ( 0+)=Lim sF (s ) Teorema nilai akhir
s→∞

Contoh 3-1
Sebuah fungsi waktu sebagai berikut ini;
f ( t )=5 u ( t )+ 3 e−2 t

Rubah persamaan tersebut kedalam tranformasi laplace.


Berdasarkan table 3.2 dan 3.1 diatas

L [ 5 u ( t ) ] =5 L [ u ( t ) ] =5/ s
3
L [ 3 e−2 t ]=3 L [ e−2 t ] =
s+ 2

Maka ;
33

5 3
F ( s ) =F [ 5u ( t ) ] +3 e−2 t= +
s s+2
Atau dapat juga dituliskan dalam bentuk;

8 s+10
F ( s) =
s( s+ 2)

3.4 Partial Fraction Expansion


Pada contoh di atas, nampak bahwa penyelesaian Transformasi Laplace
memiliki 2 bentuk, yaitu:
5 3
F (s)= + Sebagai bentuk pertama, dan
s s +2
8 s+10
F ( s) = , Sebagai bentuk kedua.
s( s+ 2)

Jika diinginkan kembali persamaannya dalam fungsi waktu (dengan


menggunakan kaidah Invers Transformasi Laplace), maka penyelesaian bentuk yang
pertama akan lebih mudah dikerjakan, karena sudah terdapat fungsi dasarnya pada
table transformasi laplace. Sedangkan bentuk yang kedua, harus diubah terlebih
dahulu ke bentuk yang pertama. Proses perubahan bentuk kedua ke bentuk
pertama penulisan ini dikenal dengan istilah Partial Fraction Expansion (PFE).
Sebuah contoh sederhana PFE diilustrasikan dalam hubungan berikut ini:

Jika konstanta a, b, dan c telah diberikan, maka problemnya adalah mencari koefisien
PFE k1 dan k2.
Secara umum, sebuah fungsi rasional adalah sebagai berikut:

dimana N(s) adalah polinom pembilang dan D(s) adalah polinom penyebut.
Maka, untuk dapat menyelesaikan PFE, akar-akar dari polinom penyebut haruslah
diketahui terlebih dahulu, sehingga fungsi tersebut dapat dituliskan sebagai berikut:
34

Maka, untuk mendapatkan harga kj, terdapat beberapa kemungkinan. Pertama, jika
semua pi polinom penyebut memiliki harga real yang unik, maka:

sedangkan, jika polinom penyebut memiliki pi yang harganya real dan berulang, maka:

Untuk lebih jelasnya tentang pembahasan diatas, perhatikan dua contoh berikut:

Contoh 1. Diketahui sebuah Fungsi Laplace:

maka, PFE dapat diturunkan sebagai berikut:

Koefision PFE dikalkulasi sehingga didapat:

Jadi, PFE adalah:

Sehingga Inverse Transformasi Laplace-nya adalah:

Contoh 2. Diketahui sebuah Fungsi Laplace:

maka, koefisien-koefisien PFE dihitung sehingga:


35

Jadi, menghasilkan PFE:

Sehingga, Inverse Transformasi Laplace-nya, adalah:

3.5 Metode Transformasi Laplace


Untuk memudahkan bagi pengguna matematika, terdapat beberapa cara yang
digunakan untuk menentukan transformasi Laplace. Cara tersebut adalah:
a. Metode langsung, berkaitan dengan definisi.
Metode ini berkaitan langsung dengan definisi

L{F(t )}=∫ e− st F (t )dt
0
p
=Lim∫ e−st F (t )dt
p →∞ 0

Contoh
p
= lim ∫ e−st tdt
p →∞ 0

p
1
= lim ∫ t .− d(e−st )
p →∞ 0 s
p
1
=− lim te−st −∫ e−st dt
s p →∞ 0
p
1 1
s p →∞ [
=− lim te−st + e−st
s ]
0

1 1
=−
s [ ]
0−
s
36

1
=
s2
=f (s)

b. Metode Deret
Misal F(t) mempunyai uraian deret pangkat yang diberikan oleh
2 3
F(t )=a0 +a1 t +a2 t + a3 t +. ..

= ∑ an t n
n=0

Maka transformasi Laplacenya dapat diperoleh dengan menjumlahkan transformasi


setiap sukunya dalam deret, sehingga:
L{F(t )}=L {a0 }+ L {a 1 t}+ L{a2 t 2 }+ L{a3 t 3 }+. ..
a o a1 2 ! a2
= + + 3 +. ..
s s2 s
∞ n! an
=∑
n+0 s n+1 , syarat ini berlaku jika deretnya konvergen untuk s > γ

c. Metode Persamaan differensial


Metode ini menyangkut menemukan persaman differensial yang dipenuhi oleh F(t)
dan kemudian menggunakan teorema-teorema di atas.
d. Menurunkan terhadap parameter
e. Aneka ragam metode, misalnya dengan menggunakan teorema-teorema yang ada.
Menggunakan tabel-tabel, melalui penelusuran rumus yang sudah ditetapkan


L{F(t )}=∫ e− st F (t )dt
0

3.6 Sifat-sifat Transformasi Laplace


Transformasi Laplace suatu fungsi mempunyai beberapa sifat, sifat-sifat tersebut
antara lain:
a) Sifat linear
37

Jika c 1 dan c 2 adalah sebarang konstanta, sedangkan F1 (t ) dan F2 (t )

adalah fungsi-fungsi dengan transformasi-transformasi Laplace masing-masing

f 1 (s) dan f 2 (s ) , maka:

L{c 1 F1 (t )+ c 2 F2 (t )}=c 1 f 1 ( s)+c 2 f (s )


Bukti:

L{c 1 F(t )+c 2 F2 (t )}=∫ e−st {c 1 F1 (t )+c 2 F 2 (t )}dt
0
∞ ∞
=∫ e c 1 F1 (t )dt+∫ e−st c 1 F2 (t )dt
−st

0 0
p ∞
=c 1 ∫ e−st F1 (t )dt+c 2∫ e−st F 2 (t )dt
0 0

=c 1 f 1 ( s )+c 2 f 2 (s )

1. L{5 t−3}=L{5 t−3 a}=L {5 t}−L{3}


=5 L {t }−3 L {1}
1 1
=5 −3
s 2 s
5 3
= 2−
s s

2. L{6 sin 2 t−5cos 2t }=L{6 sin 2 t}−L {5 cos2 t}


=6 L {sin 2 t}−5 L {cos2t }
2 s
=6 2
−5 2
s +4 s +4
12−5 s
=
s 2 +4

3. L{(t 2 +1 )2 }=L{t 4 +2t 2 +1}


4 2
=L {t }+L {2t }+L{1}
38

4 2
=L {t }+2 L {t }+L{1}
4! 2! 1
=
s 4+1 ( )
+2 2+1 +
s s
24 4 1
= + +
s5 s3 s

5t 2
4. L{4 e +6 t −3 sin 4 t+2 cos2 t}

=L {4 e 5t }+L{6 t 2 }−L{3 sin 4 t }+L {2cos 2t }


=4 L { e5 t } +6 L { t 2 }−3 L { sin 4 t } +2 L { cos 2 t }
1 2 4 s
=4 +6 3 −3 2 + 2 2
s−5 s s +4 s +4
4 12 12 2s
= + 3− 2 + 2
s−5 s s + 16 s + 4

Dengan menggunakan sifat linear, tentukan transformasi Laplace fungsí berikut.

1. F(t )=2t 2 +e−t t

2. F(t )=6 sin 2t−cos 2t

3. F(t )=(sin t−cost )2


1
F(t )=cosh 3 t− sinh t
4. 2
3
5. F(t )=2t +2

6. F(t )=(sin t−3)2

b) Sifat translasi atau pergeseran pertama

Jika L{F(t )}=f (s ) maka L {e 2t F(t )}=f (s−a)


Bukti

L{F(t )}=∫ e− st F (t )dt=f ( s)
Karena 0 , maka
39


L{e F (t )}=∫ e−st e at F (t )dt
at

0

−(s−a )t
=∫ e F(t )dt
0

=f (s−a)
Contoh:
−3t
1. Tentukan L{e F(t )} jika L {F (t )}=f ( s)

Menurut sifat 2 di atas, L{e at F (t )}=f (s−a )

Maka L{e−3t F(t )}=f ( s−(−3 ) )

=f (s+3 )

2. Tentukan
L{e 2t F (t )}, jika L{F(t )}=f ( as )
at
Menurut sifat 2 di atas, L{e F (t )}=f (s−a )

Karena
L{F(t )}=f ( as ) , maka L{e 2t
F(t )}=f ( s−2a )
s 2
=f ( − )
a a
s
L{e−t F (t )} jika L {cos 2 t}= 2
3. Tentukan s +4
s
L {cos 2 t}= 2
Karena s +4 maka menurut sifat translasi pertama
L{e−t F (t )} =f (s+1)
s+1
L{e−t F (t )} =
(s +1)2 +4
s+ 1
= 2
s +2 s+5

−2t
4. Tentukan L{e (3 cos6 t−5 sin 6 t )}
Me6nurut sifat linear,
40

L{e−2t (3 cos6 t−5 sin 6t )}=L{e−2t (3 cos6 t )}−L {e−2 t (5 sin 6 t )}


=3 L {¿ −2 t cos6t }−5 L{e−2t sin 6t} }
s 6
L{cos 6 t } = 2
dan L {sin 6 t }= 2
Karena s +36 s +36
maka menurut sifat translasi
3 L{¿ −2t cos6t}=3f ( s+2)
( s+2 )
=3
( s+2 )2 +36 ,
dan
6
5 L{¿ −2t sin6t}=5
(s+2)2+36
sehingga
( s+2 ) 6
L{e−2t (3 cos 6 t−5 sin 6 t )}=3 2
−5
L{e (s +2) +36 (s+2)2 +36

3 s−24
= 2
s + 4 s+ 40
Soal
Tentukan transformasi Laplace fungsi

1) F(t )=e−t sin2 t

2) F(t )=(1+te−t )3
−t
3) F(t )=e (3 sinh 2 t−5 cosh 2 t )

4) F(t )=(t+ 2)2 e t

5) F(t )=e 2t ( sinh 2 t+cosh3 t )

6) F(t )=e− √t (1+2t )

c. Sifat translasi atau pergeseran kedua

Jika L{F(t )}=f (s ) dan G(t)=¿ {F (t−a),untuk t>a¿¿¿


41

maka
L{G(t )}=e−as f (s )
Bukti

L{(G(t )}=∫ e−st G(t )dt
0
a ∞
=∫ e−st G(t )dt+∫ e− st G(t )dt
0 a
a ∞
=∫ e−st (0 )dt+∫ e−st F (t−a )dt
0 a

=∫ e−st F(t−a)dt
a

Misal u = t-a maka t = u+a dan du = dt, sehingga


∞ ∞
−st −s(u+a)
∫e F(t−a)dt=∫ e F (u)du
a 0

−as
=e ∫ e−su F(u)du
0

=e−as f ( s)
Contoh

2π 2π
Carilah L{F(t )} jika
{
F(t)=¿ cos(t− ),t> ¿ ¿¿¿
3 3
Menurut definisi transformasi Laplace

L{F(t )}=∫ e− st F (t )dt
0
2 π /3 ∞
= ∫ e−st (0)dt + ∫ e−st cos(t−2 π /3 )dt
0 2 π /3

−s (u+2 π /3)
=∫ e cosudu
0
42


−2 πs /3
=e ∫ e−su cosudu
0
−2 πs/ 3
se
=
s2 +1

d. Sifat pengubahan skala


1 s
Jika L{F( t )}=f (s ) maka
()
L{F( at )}= f
a a

Bukti
Karena

L{F(t )}=∫ e− st F(t )dt
0

maka

L{F( at )}=∫ e−st F (at )dt
0

du
u=at maka du=adt sehingga dt=
Misal a

Menurut definisi
L¿ ¿
∞ −u s
=∫ e
a( ) F(u ) du
0
a
s
1 −( a ) u
= ∫e F (u)du
a
1 s
= f
a a ()
Contoh:
6
L{F(t )}= =f (s )
1. Jika ( s+2 )3
1 s
L{F(3 t )}= f ( )
maka 3 3
43

6
= 3
s
( )
3 +2
3
6.9
=
( s+6 )3
Soal:

1. Hitunglah L{F(t )} jika F(t)=¿ {( t−1)2 ,t>1 ¿ ¿¿¿


2
s −s+1
L{F(t )}=
2. Jika (2 s+1)2 (s−1) , carilah L{F(2 t )}

e−1/s
L{F(t )}= , −t
3. Jika s carilah L{e F (3t )}
Jawab
−1/s
e
L{F(t )}= =f ( s ),
Karena s maka menurut sifat 4 diperoleh
1 s
L{F(3 t )}= f
3 3 ()
3

s
1e
L{F(3 t )}=
3 s
Sehingga 3
3
1 −
= e s
s
=f (s)

Berdasarkan sifat Jika L{F(t )}=f (s )

maka L{e at F (t )}=f (s−a ) (sifat 2)

Maka L{e−t F (3 t )}=f ( s+1 )


3
1 − ( S +1 )
= e
( s+1 )
44

3.7 Transformasi Laplace pada Persamaan Diferensial


Teorema Laplace diatas akan diaplikasikan ketika akan dicari penyelesaian
persamaan dari sebuah model matematika. Sebagian besar sistem fisik dapat dinyatakan
dalam bentuk model matematika. Pada umumnya, model matematika tersebut,
dituliskan dalam bentuk sebuah Persamaan Diferensial Biasa (Ordinary Differential
Equation). Persamaan diferensial adalah persamaan matematika untuk sebuah
fungsi yang tidak diketahui dengan satu atau beberapa variable yang berhubungan
dengan fungsi itu sendiri dimana turunannya dalam beberapa order. Persamaan
diferensial sangat penting dan dipakai luas dalam bidang keteknikan, fisika, ekonomi
dan disiplin ilmu yang lain.
Contoh berikut ini merupakan tahapan untuk menyelesaikan persoalan
Persamaan Diferensial dengan menggunakan transformasi Laplace. Jika diketahui
sebuah model matematika sebagai berikut:

Pada persamaan ini, f(t) adalah fungsi pendorongnya, x(t) adalah respon
sistemnya. Jika diterapkan Transformasi Laplace, dengan mengasumsikan semua
harga awal adalah nol, maka akan didapat:

maka, perbandingan respon dengan pendorongnya, didapat:

Jika, diketahui bahwa fungsi pendorong, f(t), adalah fungsi tangga satuan (unit step
function), maka F(s) = 1/s, sehingga:
X ( s )=G ( s ) F ( s )=¿
X ( s )=¿
Dengan menggunakan prinsip PFE, maka didapat:
2
k 1=sF ( s ) ⃒ s=0 = ⃒ =1
(s +1)( s+ 2) s=0
2
k 2=( s+1)F ( s ) ⃒ s=−1= ⃒ =−2
s(s+ 2) s=−1
45

2
k 3=( s+2)F ( s ) ⃒ s=−2= ⃒ =1
s(s+ 1) s=−2
Dengan menggunakan Tabel Transformasi Laplace, maka respon sistem adalah:
1 −2 1
X ( s )= + + , sehingga
2 s+1 s+ 2

x ( t )=1−2 e−t +e−2 t

Contoh soal
Dengan menggunakan sifat transformasi Laplace dari turunan-turuan, tunjukkan
bahwa
a
L{sin at }= =f ( s )
s +a2
2

2
Misal F(t )=sin at diperoleh F '(t )=a cosat , F ''(t )=−a sin at
1
L{sin at }=− L¿¿
sehingga a2
Dengan menggunakan sifat transformasi Laplace dari turunan-turunan diperoleh
1
L{sin at }= −
( ) a2
( sf ( s )−sF ( 0 )−F ' ( 0) ) f

1 a
a ( s +a )
2
=− s 2
−s ( 0 )−a2 2

1 as 2
=− (
a2 s2 +a2
−a )
1 as 2 −as 2 −a3
=−
a2 (
s 2 + a2 )
a
=
s + a2
2

3.8 Tansformasi Laplace dari integral-integral


t
f ( s)
Jika L{F(t )}=f (s ) maka
L
{ 0
}
∫ F(u )du = s

Bukti:
46

t
G(t )=∫ F (u)du
Misal 0 maka G' (t )=F (t ) dan G(0)=0
Dengan mentransformasikan Laplace pada kedua pihak, diperoleh:
L{G' (t )}=L{F(t )}
⇔ sL{G(t )}−G{0}=f ( s)
⇔ sL{G(t )}=f (s )
f ( s)
⇔ L {G(t )}=
s
t
f ( s)
Jadi diperoleh
L
{ ∫ F(u )du =
0
} s

Contoh
t

1. Carilah
L
{∫ 0
sin u
u
du
}
sin t
F(t )=
Misal t
1
L{F(t )}=arctan
Maka s
Sehingga menurut sifat transformasi di atas
t
f (s ) 1
L
{∫
0
sin u
u
du =
} s
= arctan
s
1
s
t

2. Buktikan
L
{ ∫
0
sin u
u }1
du = arctan
s
1
s

Bukti:
t
sin u
F(t )=∫ du maka F (0 )=0
Misal 0 u

sin t
F '(t )=
t dan tF '(t )=sint
Dengan mengambil transformasi Laplace kedua bagian
1
L{tF '(t )}=L {sin t }= 2
s +1
47

d 1
⇔ sf (s )=− 2
ds s +1

1
⇔ sf (s)=−∫ 2
ds
s +1
⇔ sf (s )=−arctan s+C
Lim sf ( s )=lim F (t )=F(0 )=0
Menurut teorema harga awal, s→∞ t→0

π
c=
Sehingga diperoleh 2 .
1 1
sf (s)= arctan
Jadi s s


cosu ln ( s2 +1 )
3. Buktikan
{
L∫
t u
du =
}
2s

Bukti:

cosu cost
F(t )=∫ du F '(t )=−
Misal t u maka t atau t {F '(t )}=−cos t
L{tF '(t )}=L {−cos t}
d s d s
(−1 )
ds
( sf ( s)−F(0 ))=− 2 atau
s +1 ds ( )
sf ( s )= 2
s +1
s
sf (s )=∫ 2
ds
s +1
1
= ln ( s2 +1 ) +c
2
lim sf (s )=lim F (t )=0 ,
s→ 0 t→ 0
Menurut teorema harga akhir, sehingga c = 0.
2
1 ln(s +1 )
sf (s )= ln ( s 2 +1 ) +0 f (s )=
Jadi 2 atau 2s

n
3.8.1 Perkalian dengan t
48

Jika L{F(t )}=f (s ) maka L¿ ¿


Bukti.

f (s)=∫ e− st F(t )dt
Karena 0 maka menurut aturan Leibnitz untuk menurunkan
dibawah tanda integral, diperoleh:

df d
ds
=f '( s)=
ds (∫ e0
−st
F (t )dt
)

=∫ ∂ e−st F(t )dt
0 ∂s

=∫−te−st F (t )dt
0

=−∫ e−st {tF(t )}dt
0

=−L {tF (t )}
df
L{tF(t )}=− =−f ' (s)
Jadi ds
Contoh

1. Tentukan L{t sin at }


Jawab
a
L{sin at }=
s +a2 , maka menurut sifat perkalian dari pangkat t
2 n

diperoleh
n
d f (s)
L{tF ( t )}=(−1 )n
dsn , sehingga
d a
L{t sin at }=(−1)
(
ds s 2 +a 2 )
2 as
=
( s + a2 )2
2

2. Tentukan L{t 2 cosat }


49

2
d s
Menurut sifat di atas,
L{t 2 cos at }=(−1)2
(
ds s + a2
2 2 )
d a2 −s2
=
(
ds ( s 2 +a2 )2 )
3 2
2s −6 a s
= 2 23
(s +a )
3.8.2 Sifat pembagian oleh t
F (t ) ∞
Jika L{F(t )}=f (s ) maka
L
t 0
{ }
=∫ f (u )du

Bukti:
F(t )
G(t )=
Misal t maka F(t )=tG(t )
Dengan menggunakan definisi transformasi Laplace untuk kedua bagian, maka

d
L{F(t )}=L {tG (t )} atau f (s)=− L {G(t )}
diperoleh bentuk ds atau

dg
f (s)=−
ds
Selanjutnya dengan mengintegralkan diperoleh
dg
∫ f (s)=∫ − ds
.
s
g(s)=−∫ f (u)du


=∫ f (u)du
s

F (t ) ∞
Jadi
L { }
t
=∫ f (u )du
0

Soal-soal
1) Tentukan transformasi Laplace untuk fungsi yang diberikan
50

a. F(t )=t cos2 t

b. F(t )=t sin 3 t

c. F(t )=t(3 sin 2 t−2cos 5t )


2
d. F(t )=t sin t
2
e. F(t )=(t −3 t +2)sin 3 t

f. F(t )=t 3 cost


2
g. F(t )=t sin t

2) Jika
F(t)=¿ {t2 ,0<t≤1 ¿ ¿¿¿
Carilah L{F ''(t )}

2t ,0  t  1
F (t )  
3) Diketahui t , t  1

a. carilah L{F(t )}

b. carilah L{F '(t )}

c. apakah L{F '(t )}=sf ( s )−F (0) berlaku untuk kasus ini

3
∫ te−3t sin tdt=50
4) Tunjukkan bahwa 0

5) Tunjukkan bahwa
t
1
(2 −u 2 −t
L= ∫ (u −u+ e ) du = L{t −t +e }
0 s )
6) Perlihatkan bahwa

e−at −e−bt s+b


a.
L{ t
=ln|
s+a
| }
2 2
cosat−cos bt 1 s +b
b.
L= { t
= ln| 2 2 |
2 s +a }
7) Tunjukkan bahwa:
51

1
1−u−u 1 1
a.
L= ∫
( 0 u )
du = ln|1+ |
s s

t1

{∫ }
t
f (s)
L dt 1∫ F( u ) du = 2
L{F(t )}=f (s ) maka s
Jika 0 0

3.9 Transformasi Laplace Invers


Definisi

Jika transformasi Laplace suatu fungsi F(t) adalah f(s), yaitu jika L{F(t )}=f (s )
maka F(t) disebut suatu transformasi Laplace Invers dari f(s). Secara simbolis ditulis

F(t ) = L−1 {f ( s)} . L−1 disebut operator transformasi Laplace invers.


Contoh.

1. Karena
L { s−21 }=e 2t

maka
L−1 { e 2t } =
1
s−2
s s
2. Karena
L
{ }
s +32
= cos t √ 3 e
maka
L−1 { cos t √ 3 }= 2
s +3
1 sinh at sinh at 1
3. Karena
L
{ }
s −a22
=
a
maka
L−1 { a }
= 2 2
s −a

Ketunggalan Transformasi Laplace Invers


Misal N(t) adalah suatu fungsi dan L{N(t)} = 0 maka L{F(t)+N(t)} = L{F(t)} Dengan
demikian dapat diperoleh dua fungsi yang berbeda dengan transformasi Laplace yang
sama.
Contoh

F1 (t )=e−3 t dan
F2 (t)=¿ {0 untuk t=1¿¿¿¿
1
L−1 {F 1 (t )}=L−1 {F 2 (t )}=
Mengakibatkan s+3
Jika kita menghitung fungsi-fungsi nol, maka terlihat bahwa transformasi Laplace
invers tidak tunggal. Akan tetapi apabila kita tidak dapat memperhitungkan fungsi-
52

fungsi nol (yang tidak muncul dalam kasus-kasus fisika) maka ia adalah tunggal.
Hasilnya dinyatakan oleh teorema berikut.
Teorema Lerch
Jika membatasi diri pada fungi-fungsi F(t) yang kontinu secara sebagian-sebagaian

dalam setiap selang berhingga 0 ¿ t ≤N dan eksponensial berorde untuk t > N, maka

inversi transformasi laplace dari f(s) yaitu L−1 { f (s ) }=F (t ) , adalah tunggal. Jika
tidak ada pernyataan lainnya, maka kita selalu menganggap ketunggalan di atas.
Berdasarkan definisi di atas, dapat ditentukan transformasi Laplace invers beberapa
fungsi sederhana pada tabel 3.3 dibawah ini.
Tabel 3.3 TransformasimLaplace Invers
Nomor f(s) L−1 {f ( x)}=F (t )
1. 1 1
s
2. 1 t
s2
3. 1 n
, n=0,1,2,3 ,. .. t
n+1
s n!
at
4. 1 e
s−a
5. 1
s +a2
2 sin at
a
6. s cos at
s +a2
2

7. 1 sinh at
s −a2
2
a
8. s cosh at
s −a2
2

9. 2 2 t cos at
s −a
(s 2 +a 2 )2

3.9.1 Sifat-sifat transformasi Laplace Invers


Beberapa sifat penting dari transformasi Laplace invers adalah:
1) Sifat Linear
53

Misal c 1 dan c 2 adalah sebarang bilangan konstanta, sedangkan f 1 (s) dan

f 2 (s) berturut-turut adalah transformasi Laplace dari F1 (t ) dan F2 (t ) , maka:

L−1 {c1 F 1 (t )+c 2 F 2 (t )}=L−1 {c1 F 1 (t )}+L−1 {c 2 F 2 (t )}

=L−1 {c 1 F1 (t )}+L−1 {c 2 F 2 (t )}

=c 1 L−1 {F1 (t )}+c 2 L−1 {F 2 (t )}


=c 1 f 1 ( s )+c 2 f 2 (s )
Contoh
3 s−12 3s 12
L−1
{ 2
s +9 } { } { }
=L−1 2
s +9
−L−1 2
s +9
s 1
{ } { }
=3 L−1 2
s +9
−12 L−1 2
s +9
sin 3 t
=3 cos3 t−12
3
2) Sifat translasi atau pergeseran pertama

Jika L−1 {f (s)}=F (t ) maka L−1 {f (s−a)}=eat F(t )


Contoh
1 sinh 3 t
L−1
{ } 2
s −9
=
t
maka
1 1 2 t sinh 3 t
L
−1
{
( s2 −2 s+13
=L
−1
} {
( s−2)2 +9
=e
3 }
3) Sifat translasi atau pergeseran kedua

Jika L−1 {f (s)}=F (t ) maka

−1 as
L {e f(s)}=¿ { F(t−a), untuk t>a¿¿¿
Contoh
1
L−1
{ } 2
s +1
=sin t
maka
54

πs

{ }{

3
e π π
L−1 2
= ¿ sin(t− ),untuk t> ¿ ¿¿¿
s −9 3 3
4) Sifat pengubahan skala
1 t
−1
Jika L {f (s)}=F (t ) maka
L−1 {f (ks )}= F
k k ()
Contoh
3s 1 t
Karena
L−1
{ } 2
s
s +1
=cos t
maka diperoleh
−1
L
{ (3 s ) +1 3
2 } ()
= cos
3

5) Transformasi Laplace invers dari turunan-turunan

dn
Jika L−1 {f (s)}=F (t ) maka
(n )
L−1 {f ( s)}=L−1 { ds }
f ( s) =(1−)n t n F (t )

Contoh
2 d 2 −4 s
Karena
L−1
{ } s +42
=sin 2 t
dan
( )
2
= 2
ds s + 4 ( s + 4 )2
maka diperoleh

d 2 −4 s
L−1 { } (
ds s + 4
2
=L−1 2
( s +4 )2 )
=(−1 )n t n sin 2t=−t sin 2t

6) Transformasi Laplace invers dari antiturunan-antiturunan



F (t )
Jika L−1 {f (s)}=F (t ) maka
L−1
{
∫ f (u )du =
s
} t

Contoh
1 1 1 1 1 1
Karena
L−1
{ = L−1 −
3 s (s+1) 3 } {
= − e−t
s s+1 3 3 maka
}
π
1 1 1 1−e−t
diperoleh
L
−1
(∫ 3 u − 3(u+1) du = 3
0
) ( ) t
55

n
7) Sifat perkalian dengan s

Jika L−1 {f (s)}=F (t ) maka L−1 {sf ( s)}=F '(t )


Dengan demikian perkalian dengan s berakibat menurunkan F(t) Jika
f(t) ¿ 0 , sehingga
L−1 {sf ( s)−F (0)}=F ' (t )
−1
⇔ L {sf ( s)}=F '(t )−F(0 )δ(t ) dengan δ (t ) adalah fungsi delta Dirac atau
fungsi impuls satuan.
Contoh
5
arena
L−1
{ 2
s + 25 }
=sin 5 t
dan sin 5 t=0 maka
5s d
L−1
{ }
= (sin 5 t )=5 cos 5 t
s + 25 dt
2

8) Sifat pembagian dengan s


t
f (s )
Jika maka
L −1
{ } s
=∫ F (u )du
0

Jadi pembagian dengan s mengakibatkan integral F(t) dari 0 sampai dengan t.


Contoh
2
Karena
L−1
{ } 2
s +4
=sin 2 t
maka diperoleh
t t
2 1 1
L−1
{ 2
=∫
s( s + 4 ) 0 }
sin2 u du=
2
cos 2u ( )
= ( cos 2 t−1 )
0 2

9) Sifat konvolusi

Jika L−1 {f (s)}=F (t ) dan L−1 {g( s)}=G(t ) maka


t
−1
L {f (s) g( s)}=∫ F (u )G(t−u )du=F∗G
0
56

F*G disebut konvolusi atau faltung dari F dan G, dan teoremanya dinamakan
teorema konvolusi atau sifat konvolusi.
Contoh

Karena
L−1 { s+41 }=e −4 t
L {
dan
−11
s−2 }
=e 2t

t
1
L {
( s+4 )(s−2 ) }
−4 u 2( t−u )
−1
=∫ e e du=e 2t +e−4 t
maka diperoleh 0

3.9.2 Metode Transformasi Laplace Invers


Menentukan transfomasi Laplace dapat dilakukan dengan beberapa cara,
sehingga dalam transformasi Laplace invers terdapat beberapa metode yang dapat
digunakan, antara lain:
1) Metode pecahan parsial
P(s)
Setiap fungsi rasional Q( s) , dengan P(s) dan Q(s) fungsi pangkat banyak

P(s)
(polinom) dan derajat P(s) lebih kecil dari Q(s). Selanjutnya Q( s) dapat ditulis
jumlah dari fungsi rasional yang mempunyai bentuk

A As+B
r
atau dan seterusnya , r =1,2,3 ,. .. .
(as+b) (as +bs +c )r
2

Dengan memperoleh transformasi Laplace invers tiap pecahan parcial maka dapat

P (s)
ditentukan
L−1 { }
Q( s)

Konstanta A, B, C, …… dapat diperoleh dengan menyelesaikan pecahan-pecahan


dan menyamakan pangkat yang sama dari kedua ruas persamaan yang diperoleh
atau dengan menggunakan metode khusus.

Contoh
3 s+16
1. Tentukan
L−1
{ s2 −s−6 }
57

Jawab
3 s+16 3 s+16
L
−1
{ 2
s −s−6
=L
} {
−1
(s+2)( s−3) }
3 s+16 A B
= +
(s +2)( s−3) s +2 s−3
A ( s−3)+ B(s +2)
=
s2 −s−6
( A+B )s+(2 B−3 A )
=
s2 −s−6
atau A+B = 3 dan 2B-3A = 16 atau 2(3-A)–3A=16 sehingga didapat
A = -2 dan B = 5
3 s+16 −2 5
L−1
{( s+2 )(s−3 )
=L−1
} {
+
s+2 s−3 }
=L−1 { s+−22 }+ L {s−35 }
−1

−2t 3t
=−2 e +5 e

s−1
2. Tentukan
L
−1
{
( s+3 )(s 2 +2 s+2 ) }
Jawab
s−1 A Bs+C
L
−1
{ 2
( s+3 )(s +2 s+2 )
=L
−1
} {+ 2
s+3 ( s +2 s+2 ) }
A Bs+ C A (s 2 +2 s+2 )+( Bs +C )( s+ 3)
+ =
s+ 3 s 2 +2 s+2 ( s+ 3)( s2 + 2 s+2 )
As2 +2 As+2 A+Bs 2 +(3 B+C )s+3 C
=
(s +3 )(s 2 +2 s+ 2)
Sehingga

s−1 ( A + B)s 2 +(2 A+3 B+C )s +(2 A +3 C )


{( s+3 )( s2 +2 s+2 )
=
}{ ( s+3 )( s 2 +2 s +2) }
Diperoleh A+B = 0, 2A+3B+C=1, 2A+3C=-1
58

4 4 1

Atau A = 5 , B = 5 , dan C = 5

4 4 1

Akhirnya diperoleh
−1
L
{ s−1
}
( s+3 )(s 2 +2 s+2 )
=L
−1
{ −
5
+
s+
5 5
s+3 ( s2 +2 s+2 ) }
4 4 1
L−1 { −
5
+ 2
s+
5 5
s+3 (s +2 s+2)
4
=− L−1
5
1
+ }
4 ( s+1 )
s+3 5 ( s+1)2 +1 { } { }
4 4
=− e−3 t + e−t cost
5 5
2) Metode Deret
Jika f(s) mempunyai statu uraian dari kebalikan pangkat dari s yang diberikan oleh
ao a1 a2 a3
f ( s )= + + + +.. .
s s2 s 3 s 4
Maka dibawah persyaratan-persyaratan yang sesuai kita dapat menginversi suku
demi suku untuk memperoleh
2
a2 t a3 t
F( t )=ao +a1 t + + +. ..
2! 3!
Contoh
1

{}

s
e
L−1
Tentukan s
Jawab
1

{ }

s
e 1 1 1 1
s s {
= 1− + 2 − 3 +. ..
s 2! s 3!s }
1 1 1 1
=
{ − + −
s s 2 2 ! s 3 3 ! s4
+ .. .
}
1

{ }
− s
2
e 1 1 1 1
Sehingga
L−1
s {
= L−1 − 2 + 3 − 4 +.. .
s s 2 !s 3 !s }
59

2 3
t t
=1−t + 2 2
− 2 2 2
1 2 1 2 3 + ...

3) Metode persamaan diferensial


4) Turunan terhadap statu parameter
5) Aneka ragam metode yang menggunakan teorema-teorema
6) Penggunaan tabel
7) Rumus inversi kompleks

8) Rumus Penguraian Heaviside


Andaikan P(s) dan Q(s) adalah fungsi pangkat banyak (polinom) dan derajat P(s)

lebih kecil dari Q(s). Misal Q(s) mempunyai n akar-akar yang berbeda yaitu αk ,
k= 1, 2, 3, 4, ..., n. Maka
n
P (s) P(α k ) αk t
L−1
{ } =∑
Q( s) k=1 Q' (α k )
e

Bukti rumus di atas diuraikan sebagai berikut:

Karena Q(s) adalah polinomial dengan n akar berbeda α 1 , α 2 , α 3 , ... , α n

maka menurut metode pecahan-pecahan parsial diperoleh


P( s ) A1 A2 Ak An
= + +. . .+ +
Q( s ) s−α 1 s−α 2 s−α k s−α n .....(1)

Dengan mengalikan kedua ruas dengan (s- α k ) dan mengambil s →α k dengan


menggunakan aturan L’Hospital diperoleh
P( s ) s−α k
A k = lim
s →α k Q(s )
(s−α k )=lim P (s )
s →α k Q(s ) { }
s−α k
= lim P( s )lim
s→α k { }
s→α k Q( s )

s−α k
=P(α k ). lim
{ }
s →αk Q( s )
1
=P(α k )
Q '( s) ...
60

Sehingga (1) dapat ditulis sebagai


P(s ) P(α 1 ) 1 P (α 2 ) 1 P(α k ) 1 P(α n ) 1
= . + . +. ..+ + .
Q( s ) Q '( α 1 ) s−α 1 Q '(α 2 ) s−α 2 Q' (α k ) s−α k Q ' ( αn ) s−α n

dengan demikian
P(s) P(α 1 ) 1 P(α 2 ) 1 P( α k ) 1 P( α n ) 1
L−1 { } {
Q( s)
=L−1 . + .
Q '( α 1 ) s−α 1 Q' (α 2 ) s−α 2
+.. .+ .
Q ' ( α k ) s−α k
+. ..+ .
Q' (α n ) s−α n }
P (α 1 ) 1 −1 P( α 2 1 P( α k 1 −1 P(α n ) 1
L
−1
{ .
Q ' (α 1 ) s−α 1
+L
} { .
Q' (α 2 ) s−α 2 }
+. . ..+ L
−1

{ .
Q ' (α k s−α k }
+. ..+ L { .
Q '( α n ) s−α n }
P(α 1 ) α1 t P( α 2 ) α2 t P( α k ) α k t P(α n ) α n t
= .e + . e +. ..+ . e +.. .+ .e
Q' (ε 1 ) Q' (α 2 ) Q '(α k ) Q ' (α n )
n
P( α k ) αk t
=∑ e
k=1 Q '(α k )

9) Fungsi Beta
Jika m>0 dan n>0 didefinisikan fungsi beta sebagai
1

∫ um−1 (1−n)n−1 du
B(m,n) = 0 a dan kita dapat memperlihatkan sifat-sifat:
Γ (m) Γ(n )
B (m, n )=
1. Γ (m+n )
π
2
1 Γ ( m)Γ (n)
∫ sin 2m−1 θ cos2 m−1θ dθ= 2 B(m , n)= 2 Γ (m+n )
2. 0

Soal-soal
1. Tentukan,

a.
L−1 {124−s }
2 s−5
b.
L−1
{ }
s2 −9
61

3 s−8 4 s−24
c.
L
−1
{ −
s2 + 4 s2 −16 }
3 s−2 7

d.
L−1
{ s
5
2

3 s+2
}
s
e.
L
−1
{ }
( s+1 )3

3 s−14
f.
L−1
{ 2
s −4 s+ 8 }
8 s+ 20
g.
L−1
{ 2
s −12 s+ 32 }
s+1

h.
L−1
{ } s
3
2

5 s−2
i.
L−1
{ 3 s 2 + 4 s+8 }
s 4 s−24

j.
L−1
{ ( s+ 4 )
5
2

s2 −16 }
s +1
k.
L
−1
{ ( s +2 s+2)2
2 }
1
l.
L
−1
{( s+4 )(s 2 +4 ) }
1
m.
L
−1
{ ( s2 +1)3 }
2. Buktikan bahwa:
3 s+16
a.
L−1
{ } 2
s −s−6
=5 e 2 t −2 e−2 t

2 s−1 3 1
b.
L−1
{ } 3
s −s
=1− e−t + et
2 2
62

−t −2t
s +1 1 1
c.
L
−1
{ 2 }
= e
6 s +7 s+ 2 2
2
− e
2
3

t
11 s 2−2+5 3
d.
L −1
{( s−2)(2 s−1 )(s+1) 2 }
=5 e2 t − e 2 +2 e−t

27−12 s
e.
L
−1
{ 2
( s+4 )(s +9 ) }
−4t
=3 e −3 cos(3 t )

s 2−16 s−24 1
f.
L−1
{ }
= sin(4 t )+cos(2 t )−sin(2 t )
s4 +20 s2 +64 2

s−1 1 4 −3t
g.
L
−1
{ =
}
( s+3 )(s 2 +2 s+2 ) 5
( 4 cos t−3 sin t ) −
5
e

3. Dengan menggunakan rumus penguraian Heaviside, tunjukkan bahwa


2 s−11
a.
L−1
{ ( s+2 )(s−3 ) }
19 s+27
b.
L−1
{ ( s−2)( s+1 )(s+3) }
2 s 2−6 s+5
c.
L−1
{ ( s3 −6 s2 +11s−6 }
2 s2
d.
L−1
{ ( s+1 )(s−2 )(s−3 ) }

3.10 Rangkuman

Penggunaan metode transformasi laplace dalam sistem kendali memberikan


beberapa keuntungan, diantaranya; 1). Dengan bantuan metode Laplace akan
memungkinkan penggunaan teknik grafis untuk memprediksikan kinerja sistem tanpa
menyelesaikan persamaan differensial sistem. 2). Dengan metode laplace akan
63

memungkinkan untuk mendapatkan komponen transien dan komponen steadi state


secara bersamaan sebagai jawaban persamaan atas penyelesaian persamaan differencial.

3.11 Latihan
1. Gunakan menggunakan metode Partial Fraction Expansion, selesaikan fungsi-
fungsi persamaan berikut:
X (s ) 1
G(s )= = 2
a. F ( s ) s +7 s+12
2
d y (t ) dy (t )
2
+10 +20 y (t )=x (t )
b. dt dt

2. Selesaikan persamaan differensial berikut dengan menggunakan trnsformasi


Laplace untuk mendapatkan hubungan output (y) dengan input (x):
dy (t )
2 +6 y (t )=4 x(t )
a. dt
b. 2
d y (t ) dy (t ) dx(t )
3 +12 + 9 y (t )=4 +8 x (t )
c. dt
3 2 dt
2 dt
d y4(td) y (tdy
) (t ) d y(t ) dy
2
+16 +25 2y (t+16 dx(t( t) =2
) x (t )
d. +6
2 dt
3
dt )=4 dt
dt dt dt
63

Bab 4
Pemodelan Sistem Dinamik

4.1 Pendahuluan
Pemodelan sistem dalam ilmu teknik kendali sering disebut juga sebagai pemodelan
matematika sistem kontrol. Dipakai matematika sebagai media analisa sistem control
dikarenakan karekteristik sistem control yang perubahannya dan sifat prosesnya yang
hanya dapat dilihat dengan besaran matematika. Proses analisis dilakukan apabila ada
penyimpangan keluaran (output) yang tidak sesuai dengan harapan atau karena kualitas
output yang tidak sesuai dengan yang diinginkan.
Kontrol problem adalah masalah menentukan set point agar diperoleh target
output yang diinginkan. Untuk menetapkan set point tersebut dibutuhkan pemahamam
sifat-sifat fisis sistem yang didapat dari model sistem dalam keluaran sistem fungsi waktu.
Hal ini hanya bisa dijelaskan dan dipahami dengan menggunakan pendekatan matematika.
Untuk analisis dan desain sistem kendali, sistem f isik harus dibuat model
fisisnya. Model fisis ini harus dapat menggambarkan karakteristik dinamis sistem
tersebut secara memadai. Dari model fisis diturunkan model matematis. Model
matematis diartikan sebagai hubungan matematik yang menghubungkan keluaran sistem
dengan masukannya. Model matematis diperoleh dari hukumhukum fisis sistem yang
bersangkutan seperti dinamika sistem mekanis yang dimodelkan dengan hukumhukum
Newton, dinamika sistem elektrik dimodelkan dengan hukumhukum Kirchoff, ohm dan
lain lain. Model matematis digunakan untuk memperkirakan bagaimana sistem akan
memberikan tanggapan pada kondisikondisi spesifik yang pasti tanpa menguji sistem
fisik yang sebenarnya. Suatu sistem yang memiliki model matematis sama tidak selalu
menggambarkan model fisis yang sama (misal: analogi sistem mekanis dengan sistem
elektrik). Beberapa contoh model matematis untuk sistem tradisional satu input satu output
(SISO) diantaranya. Perhatikan bahwa model matematika tidak unik untuk sistem tertentu
yang diberikan. Sebuah sistem dapat digambarkan dalam banyak cara yang berbeda dan
karena itu mungkin mempunyai banyak model matematika, tergantung pada perspektif
seseorang.
64

Bab ini akan membahas tiga sistem fisik yang akan diturunkan persamaan
matematikanya, yaitu sistem elektrik, sistem mekanik, dan sistem elektromekanik.

.2 Tujuan Khusus
Setelah mempelajari bab ini mahasiswa diharapkan dapat:
a. Menjelaskan pengertian model matematika sistem dinamik
b. Membuat model matematika dari sistem elektrik
c. Membuat model matematika dari sistem mekanik
d. Membuat model matematika dari sistem elektromekanik

4.3 Pengertian Model Matematika


Di dalam kamus IEEE model matematik dari sebuah sistem didefinisikan sebagai
kumpulan persamaan yang digunakan untuk mewakili sistem fisik. Haruslah dimengerti
bahwa tidak ada model matematik yag pasti dari suatu sistem fisik. Dapat ditingkatkan
ketepatan suatu model dengan cara meningkatkan kerumitan persamaan-persamaan, tetapi
tidak pernah dapat dicapai kepastian. Kita umumnya berusaha keras untuk mengembangkan
sebuah model supaya dapat menyelesaikan persoalan tanpa membuat model yang terlalu
rumit. Telah dinyatakan hahwa pembahasan model sistem-sistem fisik melibatkan antara 80%
-90% dari usaha yang diperlukan di dalam analisis dan perancangan sistem kendali/kontrol.
Dalam penelaahan sistem kontrol diharapkan mahasiswa dapat membuat model
sistem dinamika dan menganalisis karakteristik dinamika. Model matematika dan sistem
dinamika didefinisikan sebagai sejumlah persamaan yang menggambarkan dinamika dan
sistem secara tepat, atau paling tidak, cukup baik. Perhatikan bahwa model matematika tidak
unik untuk sistem tertentu yang diberikan. Sebuah sistem dapat digambarkan dalam banyak
cara yang berbeda dan karena itu mungkin mempunyai banyak model matematika, tergantung
pada perspektif seseorang.

Mungkin salah satu model yang paling sederhana dari sistem fisik adalah hukum Ohm
(lebih tepat dikatakan sebagal model Ohm) yang diterapkan pada fenomena resistansi
elektrik. Model ini adalah:
v(t) = i(t)R (1)
65

Pada persamaan ini, v(t) adalah tegangan dalam besaran volt, i(t) adalah arus dalam besaran
ampere, dan R adalah resistensi dalam besaran Ohm. Jika resistansi dihubungkan dengan
sumber tegangan yang diketahui, tegangan akan menjadi masukan sistem dan arus adalah
keluaran sistem (atau tanggapan).
Dinamika banyak sistem, apakah sistem tersebut mekanika, listrik, panas, ekonomi,
biologi, dan seterusnya, mungkin dijelaskan dalam bentuk persamaan diferensial. Persamaan
diferensial demikian dapat diperoleh dengan menggunakan hukum fisika yang
mengendalikan sistem tertentu, misalriya, hukum Newton untuk sistem mekanika dan hukum
Kirchoff untuk sistem listrik. Tanggapan sistem dinamika terhadap masukan (atau fungsi
gaya) dapat diperoleh jika persamaan yang terlibat diselesaikan.
Langkah pertama dalam anialisis sistem dinamik adalah menurunkan model
matematikanya. Harus selalu diingat bahwa menurunkan model matematika yang layak
adalah bagian yang paling penting dalam analisis secara keseluruhan.
Model matematika mungkin mengambil banyak bentuk yang berbeda-beda.
Tergantung dari sistem tertentu, satu model matematika mungkin lebih cocok daripada model
matematika yang lain. Misalnya, pada masalah kontrol optimum, lebih menguntungkan
menggunakan gambaran tempat kedudukan. Di lain pihak. untuk analisis tanggapan transien
atau tanggapan frekuensi dari sistem masukan tunggal, keluaran tunggal, linear, waktu tidak
berubah, gambaran fungsi alih lebih baik dan mudah dari yang lain. Sekali model matematika
dari sistem diperoleh, berbagai macam alat bantu analisis dan komputer dapat digunakan
untuk tujuan analisis sintesis.
Penentuan model matematika untuk fungsi transfer sebuah sistem dapat dilakukan
melalui dua cara yaitu :
1) Penurunan melalui persamaan matematis; Penentuan fungsi transfer yang dilakukan
dengan penurunan persamaan secara matematis mempersyaratkan adanya model
dinamika dari sistem fisis bersangkutan. Keakuratan fungsi transfer yang diperoleh
bergantung pada keakuratan model dinamika fisis tersebut.
2) Pengukuran langsung terhadap sistem fisis sesungguhnya; yaitu dengan mengamati
keluaran sistem fisis tersebut terhadap sinyal uji/masukan tertentu. Untuk melakukan
pengukuran cara ini perlu dipahami analisis sinyal dalam kawasan(domain) waktu dan
kawasan frekuensi.
Dalam menganalisis dan merancang, kita selalu bekerja dengan model matematik dari
sistem fisik yang terlibat. Model dapat atau tidak dapat mewakili dengan tepat karaktenistik
sistem fisik yang sebenarnya. Model dapat dengan tepat mewakili sistem fisik untuk masukan
66

spesifik yang pasti, tetapi dapat menjadi kurang tepat untuk masukan spesitik yang berbeda.
Hal ini digambarkan dengan sebuah contoh.

Contoh:
Suatu resistor karbon biasa l-Ώ,2-W dapat dianggap sebagai sistem fisik. Jika diberikan
tegangan konstan (DC) scbesar 1 V ke dalam resistor, Model matematik memperlihatkan
bahwa arus 1 A akan mengalir. Jika secara fisik kita menghubungkan resistor melalui catu
daya dc 1-V. arus 1 A akan mengalir melalui resistor bergantung dan resistansi murni dari
resistor, karakteristik catu daya dan lainnya. Jika daya yang dibuang di dalam resistansi
adalah:
2
v (t )
p(t )=
R (2)
maka ada daya sebesar 1 W yang dibuang di dalam resistor. Sekarang anggaplah bahwa kita
memiliki percobaan yang sama dengan sumber tegangan 10 V. Model matematik akan
menyatakan bahwa arus 10 A akan mengalir melalui resistansi, dan daya sebesar 100 W akan
dibuang di dalam resistansi. Tetapi, karena resistor fisik hanya dapat menerima daya 2 W,
resistor akan gagal jika dihubungkan dengan catu daya 10 V, yang menyebabkan tidak ada
arus, atau bergantung dari karakteristik catu daya, sekering mungkin terbakar. Pada banyak
kejadian, besamya arus tidak akan tepat 10 A seperti yang diduga oleh model. Jadi
karakteristik resistor 1-W dapat berubah. bergantung dari sinyal masukan (tegangan) yang
diberikan pada peralatan.
Selanjutnya akan dibahas cara mendapatkan model matematik dari sistem fisik. Istilah
model matematik diartikan sebagai hubungan matematik yang menghubungkan keluaran
sistem ke masukannya.
Dalam perancangan dan analisa sistem kontrol, Transformasi Laplace digunakan
untuk mentransformasi persamaan-persamaan diferensial dari sistem menjadi persamaan
aljabar. Persamaan aljabar ini lebih mudah dimanipulasi dan dianalisa jika dibandingkan
dengan persamaan aljabar.
Bentuk Laplace dari respon (output) sebuah sistem dapat dinyatakan sebagai
perkalian bentuk Laplace dari fungsi pendorong (input) dengan sebuah fungsi tertentu. Fungsi
pengali ini dikenal dengan istilah Fungsi Alih (Transfer Function) dari sistem, G(s).
Definisi Fungsi Alih sebuah sistem diilustrasikan pada gambar 4.1 di bawah ini.
67

Gambar 4.1 Blok diagram dan fungsi alih

dan dinyatakan secara matematik sebagai berikut:

4.4 Model Matematika Sistem Elektrik


Di dalam sistem elektrik, sebuah tegangan adalah pendorong gerakan-gerakan
elektron. Gerakan-gerakan elektron tersebut, jika melalui sebuah konduktor akan
menghasilkan suatu arus. Semakin banyak elektron yang bergerak berarti semakin kecil
resistansi dari bahan konduktor tadi. Sebagian besar komponen elektrik digunakan agar
dapat mengendalikan arus elektron ini.
Hukum Tegangan Kirchoff (Kirchof Volt Law) dan Hukum Arus Kirchoff (Kirchoff
Current Law), yaitu:

(3)
Jumlah arus pada setiap titik percabangan aadalah nol, dan jumlah tegangan
pada setiap loop adalah nol. Hukum-hukum ini merupakan dasar dari prosedur proses
pemodelan matematika sistem elektrrik. Sebenarnya, terlalu banyak jenis-jenis
komponen elektrik yang biasar digunakan. Namun, bab ini hanya akan membahas
model matematika dari komponen yang sederhana, biasa disebut dengan komponen pasif dan
linear. Komponen pasif yang akan dibahas adalah: Resistor, Kapasitor dan Induktor.
Resistor, disimbolkan seperti tampak pada gambar 4.2, memiliki persamaan
matematika sebagai berikut:

Gambar 4.2 Simbol Resistor

(4)
68

Sedangkan Kapasitor mempunyai simbol dan persamaan matematika sebagai berikut:

Gambar 4.3 Simbol Kapasitor

(5)
dan, simbol serta persamaan matematika Induktor adalah:

Gambar 4.4 Simbol Induktor


69

(6)
Biasanya, penggunaan arus, i, lebih disukai dalam penggunaan komponen
elektrik praktis. Namun, agar tampak lebih mudah dari segi matematika, penggunaan
muatan, q, akan digunakan pada bab ini. Penggunaan muatan, q, akan membuat persamaan
matematikanya menjadi persamaan diferensial biasa.
Sebagai contoh, sebuah rangkaian RLC digambarkan pada gambar 4.5 di bawah
ini:

Gambar 4.5 Rangkaian RLC

Dengan menggunakan KVL (Kirchoff Volt Law), maka persamaan voltase input (ei) dan
persamaan voltase output (eo) dapat ditulis sebagai berikut:

(7)
Dalam bentuk Laplace, persamaan di atas dapat ditulis:

(8)
Dengan demikian hubungan antara voltase input (Ei) dengan voltase output (Eo) atau disebut
juga sebagai fungsi alih sistem rangkaian listrik di atas adalah:

(9)
Jika rangkaian RLC tersebut mempunyai 2 loop, seperti tampak pada gambar 4.6:
70

Gambar 4.6 Rangkaian Elektrik 2 Loop

maka akan terdapat 2 persamaan, yaitu:


persamaan pada loop 1:

(10)
persamaan pada loop 2:

(11)
Gabungkan persamaan (8) dan (9) maka akan didapat:

(12)
Dengan menggunakan aturan Cramer, maka I2 dari persamaan (10) di atas bisa di dapatkan.

(13)
Dimana;

Sehingga model matematika yang menunjukkan hubungan antara output I2( s) dengan input
V(s) atau disebut juga sebagai fungsi transfer bisa didapat sebagai berikut

(14)
71

4.5 Model Matematika Sistem Mekanik

4.5.1 Model Mekanis Sistem Translasi


Sebuah sistem mekanis yang terdiri dari sebuah massa [m], sebuah pegas (dinyatakan
oleh konstanta elastisitas k) dan damping koefeisient atau koefisien redaman b yang
menyatakan gesekan mekanis terhadap massa seperti telihat pada gambar 4.7.

Gambar 4.7 Spring-mass-damper sistem 1

Keterangan :

Gaya yang dihasilkan oleh pegas : f k=k⋅x


dx
f b =b
Gaya yang dihasilkan oleh peredam : dt
Sebelum menulis persamaan yang diperlukan, sebaiknya kita membuat Free Body Diagram
(FBD) dari system, pembuatan FBD dimaksudkan untuk merepresentasikan semua gaya yang
bekerja pada masing masing massa dari system.

Fk = k . x
M F
Fd = b . v

= M. a

Selanjutnya dengan mengaplikasikan gaya luar F yang bekerja pada system,dimana akan
berlawanan dengan arah gaya yang mencoba mempertahankan bodi (system) pada tempatnya
semula yaitu gaya pegas (Fk) dan gaya gesek mekanis. Gesekan mekanis ini dapat dinyatakan
sebagai fungsi kecepatan dengan B adalah koefisien gesekan. Dengan demikian gaya gesekan
Fg adalah sama dengan gaya damping (Fd), Fd = Bv. Jika benda massa m ditarik oleh gaya F
dengan arah seperti pada gambar 4.7 maka persamaan gerak untuk sistem diatas menurut
hukum Newton II dapat dituliskan sebagai berikut:
72

∑ F=ma
f −k . x−b.v=m .a (15)
di mana x adalah perpindahan massa m setiap saat.
2
dx dv d x
v= dan a= = 2
Selanjutnya karena dt dt dt , maka persamaan (15) dapat juga dituliskan:
2
dx d x
f −kx−b =m 2
dt dt (16)
Dari bentuk (16), persamaan tersebut adalah persamaan differensial linear orde dua yang
tidak homogen dengan t sebagai variabel bebas, x sebagai variabel tidak bebas dan F a sebagai
fungsi masukan. Solusi umum persamaan (16) ini bergantung pada bentuk F a. Bentuk Fa yang
paling umum adalah fungsi tangga (step function), konstanta atau fungsi sinus. Dalam bentuk
laplace persamaan (16) ditulis sebagai:
ms 2 X ( s)+bXs( s)+kX (s )=F( s) (17)
Fungsi alih :
X (s ) 1
= 2
F( s ) ms +bs +k (18)

Contoh pertama dari sistem mekanis translasi diperlihat pada gambar 4.7. Jika besaran
masa dari sistem diketahui sebesar 1 kg, dengan konstanta pegas 1 Nm dan damping
koefisien sebesar 2 N.sec.m, maka dengan menerapkan persamaan 18 maka fungsi transfer
sistem dapat ditulis sebagai berikut:
X (s) 1 1
= 2 =
F( s ) s +2 s +1 (s +1)( s+1 ) (19)

Contoh kedua dari sistem mekanis ditunjukkan dalam gambar 4.8 di bawah ini. Model
matematika yang akan dibuat adalah untuk menggambarkan hubungan antara perubahan
posisi massa m (relatif terhadap tanah) yang berada di dalam gerobak terhadap posisi
gerobak.
73

Gambar 4.8 Sistem mekanis tipe 1


Dimana,
m = Massa (Kg)
a = Percepatan (m/s2)
F = Gaya (N)
Kondisi sistem diasumsikan dengan:
 Pada saat t < 0; gerobak dalam keadaan diam (tidak bergerak)
 Pada saat t = 0; gerobak digerakkan dengan kecepatan konstan, sehingga

du
=kons tan
dt
 y= output relative terhadap tanah

Selanjutnya dengan menggunakan prinsip hukum Newton II, maka persamaan dinamis sistem
dapat diekpresikan demgan menggunakan persamaan linear diferensial sebagai berikut;

(20)
Dalam bentuk Transformasi laplace persamaan tersebut menjadi:

(21)
Disamping Spring-mass-damper sistem yang diuraikan diatas (susunan horizontal),
sistem ini bisa juga tersusun secara vertical, misalnya pada sistem suspensi. Pada contoh
ketiga berikut, kita akan menurunkan model matematika untuk fungsi transfer dari sistem
yang terlihat pada gambar 4.9.
74

Gambar 4.9 Sistem suspensi

P adalah daya yang diberikan ke massa (input), dan y adalah


pergerakan tranlasi yang dihasilkan (output). Persamaan
dinamika dari sistem translasi ini dapat diturunkan melalui hukum
Newton pada sistem translasi yaitu :

∑ F=ma
dimana :
m = massa [Kg]
a = percepatan [m/det2]
f = Gaya
Berdasarkan hukum Newton II diatas, diperoleh:

(22)
Transformasi Laplace dari persamaan (22) adalah

(23)
Dengan demikian Fungsi Transfer dari rangkaian mekanik translasi pada gambar 4.9 adalah:

(24)

4.5.2 Model Mekanis Sistem Rotasi


Dalam contoh kasus selanjutnya kita akan menentukan fungsi transfer dari sebuah
sistem rotasi mekanis seperti yang dtunjukkan pada gambar 4.10.
75

Gambar 4.10 sistem rotasi mekanik 1

T : Momen Putar → masukan


θm : Penyimpangan sudut → keluaran
D : Gesekan
Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah membuat free bodi diagram untuk system
rotasi mekanik diatas,.

T θ

Langkah selanjutnya membuat persamaan kesetimbangan torsi sesuai dengan Newton dan
hukum Hooke, yaitu sebagai berikut:

d2θ
T = Tj = Jα = J 2 , Torsi Pegas (Tk), Tk = k*θ
dt

(25)
Berikutnya, persamaan differensial di atas ditransformasikan dalam bentuk Laplace sehingga
menjadi:

(26)
Sehingga fungsi alih sistem yang menunjukkan perbandingan hubungan output (m) dengan
input (T) adalah:

(27)

Dalam contoh selanjutnya akan diuraikan cara menentukan fungsi transfer (Transfer
Functions) dari sebuah sistem yang terdiri dari inersia beban dan peredam gesekan liat
(viscous damping) seperti telihat pada gambar 4.11.
76

Gambar 4.11 sistem rotasi mekanik 2

Untuk sistem rotasi mekanik, berdasarkan hukum Newton kedua menyatakan:


Jα = ∑ T (28)
dengan: J = momen inersia dari beban [kg.m2]
α = percepatan sudut dari beban [rad/s2]
T = torsi yang diterapkan ke sistem [N.m]
Untuk sistem pada Gambar di atas diperoleh:

J =−bω+ T
dt

J + bω=T
dt

dengan: ω = kecepatan sudut [rad/s]


b = koefisien gesekan liat [N.m/rad/s]
2
dθ dω d θ
ω= dan α= = 2
Selanjutnya karena dt dt dt , maka persamaan di atas dapat juga

dituliskan:
d2 θ dθ
J 2
+b =T
dt dt (29)
di mana  adalah perpindahan sudut setiap saat.
Selanjutnya dalam bentuk laplace dapat di tuliskan sebagai berikut:

Js 2 θ( s)+bsθ(s)=T ( s ) (30)
Sehingga fungsi transfer sistem yang menunjukkan hubungan posisi rotor sebagai output dan
torsi sebagai input adalah:
θ (s ) 1
G(s )= = 2
T (s ) Js +bs (31)
77

4.6 Model Matematika Sistem Elektromekanik


Gambar 4.12 memperlihatkan diagram skematik motor dc yang dikontrol melalui
jangkarnya (mengatur tegangan terminalnya).

Gambar 4.12 Diagram Skematik Motor DC

Parameter-parameter:
θ : perpindahan sudut dari poros motor
Ra : tahanan kumparan jangkar.
La : induktansi kumparan jangkar.
ia : arus kumparan jangkar.
if : arus medan / eksitasi.
ea : tegangan yang diberikan.
eb : gaya gerak listrik (emf) balik.
T : torsi yang diberikan motor.
K : konstanta torsi motor.
Kb : konstanta emf balik.
Torsi T yang dihasilkan motor adalah berbanding lurus dengan hasil kali dari arus
kumparan Ia dan fluks celah udara. Karena arus medan konstan, maka fluks celah udara
konstan, sehingga torsi yang dihasilkan motor sebanding dengan arus jangkar ia:
T = K ia (32)
Bila kumparan magnet berputar maka tegangan induksi balik sebanding dengan
hasil kali fluks dan kecepatan sudut. Untuk fluks yang konstan, tegangan induksi e b
berbanding lurus dengan kecepatan sudut ω =dt/dθ atau:

e b =K b =K b ω
dt (33)
Kecepatan servomotor dc dikontrol oleh tegangan kumparan jangkar e a.
Persamaan diferensial rangkaian listriknya:
78

(34)
Dengan mensubstitusi dua persamaan terakhir di atas, diperoleh persamaan:

(35)
Arus jangkar menghasilkan torsi yang bekerja terhadap inersia dan gesekan sehingga:

(36)
2
dθ dω d θ
ω= dan α = = 2
Karena dt dt dt maka persamaan di atas dapat ditulis sebagai berikut:

d2 θ dθ
J 2 +b =K . I a
dt dt (37)
Dalam bentuk laplace persamaan di atas ditulis sebagai:
2
Js θ( s)+bs θ(s )=K . I a ( s )
( Js 2 +bs ) .θ (s )=K . I a ( s ) (38)
Dengan demikian fungsi transfer yang menggambarkan hubungan antara input arus yang
diberikan terhadap output posisi rotor adalah:
θ( s ) K
= 2
I a (s ) ( Js +bs ) (39)

4.7 Model Matematis Untuk Sistem Ketinggian Air


Tentukan persamaan dinamis untuk sistem ketinggian air berikut ini
79

Gambar 4.13 Sistem Ketinggian Air Tipe I

Jawab :
Dengan beberapa asumsi - Input : Q(t) - Output : H (t) 2 - Semua kondisi awal bernilai
nol Persamaan dinamis sistem yang diekspresikan dengan menggunakan persamaan linear
diferensial.
Untuk tangki 1 C1 dh1 = q1 dt (39)
Dimana
h1−h2
q 1= (40)
R1
Sehingga
dh 1
R1 C 1 +h1=h 2 (41)
dt
Untuk Tangki 2
C2dh2 = (q – q1 – q2) dt (42)
Dimana
h2−h1
q 1= (43)
R1

h2
q 2= (44)
R2
Sehingga,
dh1 R 2 R2
R2 C 2 + h2 +h 2=R 2 q + h1 (45)
dt R 1 R1

Dengan mengeliminasi h1 diperoleh;


80

d 2 h2 dh2 dq
R1 C1 R 2 C 2 2 +( R1 C 1+ R 2 C 2+ R 2 C 1) +h 2=R 2 q + R1 C 1 R 2
dt dt dt
(46)

4.8 Rangkuman
Untuk mengembangkan suatu sistem maka sebelum diimplementasikan pertama
harus memformulasikan model matematikanya sesuai dengan komponen dan tujuan kinerja
sistem. Model matematika sistem dapat diturunkan/diperoleh dengan menggunakan hukum
fisika yang berlaku pada sistem yang ditinjau. Banyak sistem alam dapat dimodelkan
dengan persamaan diferensial. Persamaan diferensial biasa mendiskripsikan bagimana
tingkat perubahan variabel suatu sistem dipengaruhi oleh variabel-variabel di dalam
sistem itu sendiri dan pengaruh dari luar yaitu input. Dalam sistem pengaturan, yang
merupakan dasar pengaturan otomatik adalah P.D. biasa linear biasa dengan koefisien
konstan, sedang apakah persamaan tersebut homogen atau tidak homogen bergantung pada
bentuk dari pada fungsi masukan atau forcing function.

4.9 Latihan
81

3. Tentukan fungsi transfer dari sistem yang terlihat pada gambar di bawah ini jika

d2 y dy
diketahui persamaan dinamik sistem mekaniknya adalah m 2
+b +ky ( t ) =u(t)
dt dx
Dimana m = 1 kg , b = 0.75 Nsec m dan k = 1.25 N m dengan asumsi pada saat t =

dy (0) .
= y (0 )=0
0 nilai y(0) = 0 dan dt . Tentukan tanggapan sistem terhadap
masukan input step.

4. Gambar di bawah memperlihatkan suatu


sistem mekanik yang terdiri dari dasphot-
massa-pegas. Bila x merupakan simpangan
massa M dari titik keseimbangan sebagai
arah positif , gaya redaman damper : fc = -c
dx/dt dan gaya elastis oleh pegas: fk = -kx.
Tentukan fungsi transfer dari sistem yang
menggambarkan hubungan output posisi massa, x terhdap nilai inpu f.
82

5. Jelaskan apa yang dimaksud dengan model matematika dari sebuah sistem.

6. Tentukan transfer function dari model mekanisme dibawah ini, jika diketahui K1 = K2 =
K3 = K dan C1 = C

X
K2
K1

K3
m Fa (t)

C1

7. Buat permodelam matematis dari model fisis seperempat bodi mobil dibawah ini,
tentukan transfer functionsnya serta buat bentuk respon dari system natural model
fisis berikut ini. Diketahui m = 5 kg, C 1 = 2 N Sec/m , C2 = 1 N.Sec/ m, K1 = 1.25
N/m , K2 = 2 N/m dan k3 = 1.5 N/m
82

8. Berdasarkan gambar dibawah ini, buat model matematis dan tentukan fungsi alih
berdasarkan parameter parameter yang diketahui

9. Untuk system pneumatic


seperti yang ditunjukkan
pada gambar berikut ini, asumsikan
bahwa nilai steady state (keadaan
tunak) dari tekanan udara dan
perpindahan (displacement) secara berurutan adalah sebesar P dan X. Asumsikan juga
bahwa tekanan input dirubah dari P ke P+ po, dimana pi adalah perubahan yang kecil dari
tekanan input. Perubahan ini akan menyebabkan terjadinya displacement dibawah
kepada sejumlah kecil x. Anggap bahwa kapasitansi dari gambar dibawah ini adalah C
dan tahanan dari valve adalah sebesar R, dapatkan hubungan transfer function dari
hubungan x dan Pi

Modern Control Engineering , Kotsuhiko Ogata


10. Dapatkan Persamaan transfer function , G(s) =X2(s)/F(s)†, for the translational
mechanical system shown in below,

Norman S Nise, Control


Sistem Engineering.

Anda mungkin juga menyukai