Anda di halaman 1dari 4

KAIN TENUN TANIMBAR

Indonesia memiliki keragaman budaya yang dapat dibanggakan. Salah satu produk
kreatif yang telah ada sejak jaman pra sejarah ialah kain tenun. Secara sederhana, kain tenun
dibuat dengan menyilangkan dua jenis benang sehingga menghasilkan tekstur kain yang
sedikit kasar. Kain tenun bukan hanya terdapat di Indonesia, kain tenun bisa didapatkan juga
di beberapa daerah di Asia, Afrika, bahkan Eropa. Meski demikian, Indonesia mempunyai
jenis yang sangat beragam tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, dari Sumatera
hingga Papua.
Tentunya kita sudah tak asing lagi dari kain tenun asal Sumatera seperti Ulos Batak
atau Songket Palembang dan di tanah Jawa pun terdapat kain Lurik. Bagaimana halnya
dengan daerah lainnya? Kalimantan juga memiliki kain tenun Doyo, Pagatan, dan Sambas. Di
Sulawesi terdapat tenun Toraja, Buton, dan Donggala. Adapula tenun di Nusa Tenggara
Timur dan Barat. Untuk daerah Maluku sendiri salah satu daerah penghasil tenun di Maluku
adalah Tanimbar yang tepatnya berada di Maluku Tenggara Barat.

Tenun Tanimbar adalah tenun ikat dengan proses pengikatan motif benang terlebih
dahulu sebelum diberi warna. Tenun Tanimbar disebut tenun ikat lantaran ada bagian benang
yang diikat atau ditutupi dengan rafia (dulu petenun menggunakan daun lontar) untuk
melindungi bagian tertentu agar tidak turut berubah warna. Teknik ini sudah ratusan tahun
dilakukan sebelum merebak pewarnaan kimia. Proses pewarnaan menggunakan bahan kimia
sudah sangat jamak di Kepulauan Tanimbar setelah sepenuhnya meninggalkan pewarnaan
alam karena rumit dan sulit. Pewarnaan menggunakan bahan kimia selesai dalam hitungan
menit, sementara dengan bahan alam butuh beberapa hari. ”Bahannya pun sekarang sulit
dicari,”
Keterangan ini sebangun dengan penjelasan P Drabbe, misionaris Belanda yang
pernah tinggal selama 20 tahun di Tanimbar dan menulis buku Leven van den Tanembarees
(Leiden, 1940). Buku ini menceritakan proses pemetikan kapas, pemisahan biji, pemintalan,
hingga pewarnaan benang. Untuk mewarnai, benang direndam di dalam air bercampur daun
selama sehari semalam. Setelah itu, benang direndam lagi ke dalam air kapur selama dua hari
agar warnanya tahan lama.
Dahulunya tenun ini biasa dipakai oleh bangsawan-bangsawan Tanimbar. Kain tenun
yang kian langka ditemui adalah jenis kain tenun serat alami yang menggunakan benang hasil
pintalan sendiri dan memakai pewarna alami. hingga tahun 1980-an, masih banyak petenun
menggunakan pewarna alam. Warna hitam diperoleh dari jelaga lampu minyak atau
dedaunan, sementara warna coklat dan merah dari batang tanaman bakau. Petenun biasanya
meminta bantuan suaminya untuk mencari bahan pewarna alam itu di hutan. Dengan proses
berupa pemintalan benang, pencarian warna yang diinginkan, penenunan, dan pencelupan
yang berkali-kali, proses pembuatan kain tenun serat alami bisa memakan waktu yang cukup
lama hingga bertahun-tahun.
Tenun ikat Tanimbar telah berevolusi. Bukan hanya pada sisi bahan dan pewarnaan,
melainkan juga pada motif dan kegunaan. Drabbe mencatat setidaknya ada 16 motif dan
nama kain yang dikenal luas masyarakat Tanimbar pada masa penjajahan Belanda saat
dirinya menyebarkan agama Katolik di sana. Nama itu antara lain tais matan, tais maran
(bergaris hitam putih di kedua sisi kain), tais fuit (berbentuk sarung tanpa motif), dan tais
lar’tameru (layar tameru, mengacu pada nama marga). Adapun motif yang terkenal antara
lain ule rati, tunis (tombak), suar (janur), dan lelemuku (anggrek). Warna dasar kain pun
cenderung gelap seperti hitam dan coklat tua. Adapun dalam buku Tenun Tradisional
Tanimbar di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, W Pattinama menyebut terdapat 41 ragam
hias. Petenun juga meninggalkan kapas sebagai bahan baku karena alasan yang sama: ribet.
Mereka kini beralih ke benang sintetis berbahan katun dan nilon meski kapas sangat berjasa
sebagai bahan baku tenun sebelum mereka mengenal benang sintetis. Kini tinggal 1-2
petenun yang sesekali menenun dengan benang kapas.
Motif-motif itu muncul sebagai hasil interaksi manusia dengan alamnya. Suku
Tanimbar yang kerap berperang dan berburu mengabadikan tombak dalam tenunnya sebagai
simbol keperkasaan. Motif ule rati konon terinspirasi dari serangan hama ulat pada tanaman
warga. Di balik serangan hama yang merusak itu, mereka melihat keindahan yang kemudian
abadi dalam tenun ikat.
Belakangan, warna kain kian variatif dan cenderung terang, seperti warna merah
muda, hijau muda, dan biru menyala. Sebagian kain malah diselipi benang emas sehingga
terkesan menyala dan berkilau. Motifnya pun nyaris tak dikenali lagi karena benar-benar baru
atau pengembangan dari motif lama. Ada motif yang mirip tombak (tunis), tetapi sudah
dimodifikasi.
Kain tenun jenis itu banyak sekali ditemui di Pulau Selaru, seperti di Desa Lingat dan
Kandar. Gaya ini mulai menyebar ke Pulau Yamdena, pulau terbesar di Kepulauan Tanimbar,
meski masih banyak yang menenun dengan warna dasar hitam. ”Tenun di Selaru banyak
dipengaruhi budaya Ambon karena misionaris di sana berasal dari Ambon. Warnanya cerah
dan motifnya berbeda dengan motif klasik Tanimbar,” Yang menggembirakan, tenun ikat
tidak melulu untuk acara adat. Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara Barat
menggairahkan modifikasi kain tenun untuk rompi sekolah dan pakaian para pegawai negeri
sipil. Ini untuk mengerek pamor tenun ikat Tanimbar
Sayangnya seiring dengan tingkat kesulitan pembuatannya, semakin sulit juga para
pengrajin mendapatkan pembeli. Disamping promosi yang masih terbatas, harga yang relatif
mahal adalah salah satu alasan terbesar. Tetapi mengingat tingkat kesulitan serta nilai seni
dan budaya tinggi yang terkandung, sayang rasanya bila pada akhirnya salah satu produk
kreatif Indonesia ini harus punah.
Sebagai bentuk pelestarian, mari mulai mengapresiasi produk budaya dan kreatif
Indonesia dengan mulai menggunakan dan aktif mempromosikannya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Mediane Nurul Fuadah,  Oct 09, 2016, Kain Tenun Tanimbar

2. Mohammad Hilmi Faiq,  08/12/2014, Tenun Tanimbar dalam Evolusi

Anda mungkin juga menyukai