Interpretasi Paulo Freire
Interpretasi Paulo Freire
Secara sadar maupun tidak, hubungan antara guru dan murid dalam dunia pendidikan
tak jarang bisa jadi sebuah bentuk penindasan. Kenyataan ini dibuktikan oleh
teoretikus pendidikan Brasil Paulo Freire melalui pengalamannya saat mengajarkan
orang-orang dewasa di Brasil supaya melek huruf.
Dalam kasus ini, penindasan dijelaskan Freire sebagai dehumanisasi atau proses
penghilangan harkat manusia yang dilakukan secara terstruktur melalui tatanan yang
tidak adil. Akibatnya, orang-orang lemah yang merasakan dehumanisasi dari para
penindas mendambakan kebebasan.
Melalui dialog, akan bangkit kesadaran dan pemikiran kritis; tak ada lagi istilah
"celengan kosong", yang dianggap sebagai "benda" dan hanya bisa menerima jalan
pikir yang "ditabungkan" guru ke dalamnya.
"Ada tiga isu strategis yang perlu mendapat perhatian," kata Koordinator Nasional
JPPI Ubaid Matraji dalam Seminar Internasion dan Laporan Right to Education Index
(RTEI)
Ubaid menjelaskan, kualitas guru yang rendah disebabkan rasio ketersediaan guru,
khususnya di daerah terdepan, terluar dan tertinggal (3T). Berdasarkan hasil uji
kompetensi guru pada 2016 menunjukkan nilai di bawah standar. Ia menyebut, hal
tersebut tidak sebanding dengan anggaran yang dialokasikan untuk gaji guru.
Dalam melawan segala situasi penindasan ini, terlebih dahulu manusia haruslah
memiliki kesadaran bahwa telah terjadi penindasan dan memiliki perasaan bahwa ia
mampu untuk merubah itu semua.
·Kesadaran magis yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat
kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya masyarakat miskin yang
tidak mampu melihat kaitan antara kemiskinan mereka dengan sistem politik dan
kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun
supranatural) sebagai penyebab dan ketidakberdayaan.
·Kesadaran naïf, keadaan yang dikatagorikan dalam kesadaran ini adalah lebih
melihat aspek manusia menjadi akar penyebab masalah masyarakat.
·Kesadaran kritis, kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai
sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari “blaming the victims” dan lebih
menganalisis. Untuk secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik,
ekonomi budaya dan akibatnya pada keadaan masyarakat.
Untuk membangun kesadaran ini, metode pendidikan tidak bisa dilakukan secara
searah, harus dilakukan secara dua arah, di mana guru dan murid harus berada dalam
kondisi sejajar agar murid tidak berperan sebagai obyek yang hanya berperan sebagai
wadah yang harus diisi oleh ilmu pengetahuan yang hanya berasal dari sang guru
(pendidikan gaya bank”, tetapi guru dan murid harus bisa berperan ganda (guru bisa
menjadi murid, murid pun bisa menjadi guru), karena dalam menghadapi
permasalahan sehari-hari pengalaman setiap orang berbeda-beda dan berbeda pula
cara mengatasi permasalahan yang dihadapi sehingga tidak ada orang yang lebih
pandai dari orang lain begitu juga sebaliknya.