Anda di halaman 1dari 3

Interpretasi Paulo freire

Secara sadar maupun tidak, hubungan antara guru dan murid dalam dunia pendidikan
tak jarang bisa jadi sebuah bentuk penindasan. Kenyataan ini dibuktikan oleh
teoretikus pendidikan Brasil Paulo Freire melalui pengalamannya saat mengajarkan
orang-orang dewasa di Brasil supaya melek huruf.

Dalam kasus ini, penindasan dijelaskan Freire sebagai dehumanisasi atau proses
penghilangan harkat manusia yang dilakukan secara terstruktur melalui tatanan yang
tidak adil. Akibatnya, orang-orang lemah yang merasakan dehumanisasi dari para
penindas mendambakan kebebasan.

Sayangnya, seringkali mereka salah kaprah memperjuangkan kebebasan. Bukannya


membalikkan keadaan dengan menciptakan humanisasi, mereka justru menerapkan
kembali penindasan itu. Dehumanisasi pun terus berputar, dan kebebasan akan terus
menjadi angan-angan karena kebebasan sejatinya harus diperjuangkan dengan
kesadaran diri

Freire mengibaratkan penindasan di dunia pendidikan sebagai "sistem bank". Dalam


pendidikan semacam ini, hanya guru yang dianggap memiliki pengetahuan,
sedangkan murid hanyalah "celengan kosong". Murid dituntut mengikuti apa yang
diminta sang guru, dan kreativitas mereka pun menjadi kerdil karena penindasan
terselubung ini.

Untuk mengatasainya, Freire memberikan konsep pendidikan hadap-masalah sebagai


solusi pembebasan dari penindasan ini. Komunikasi menjadi aspek penting dalam
konsep pendidikan ini untuk memastikan adanya pemahaman, tak sekadar
pemindahan informasi.

Melalui dialog, akan bangkit kesadaran dan pemikiran kritis; tak ada lagi istilah
"celengan kosong", yang dianggap sebagai "benda" dan hanya bisa menerima jalan
pikir yang "ditabungkan" guru ke dalamnya.

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bersama Results Internasional


menyebut ada tiga permasalahan utama pendidikan di Indonesia. Masing-masing,
yakni kualitas guru, sekolah yang tidak ramah anak dan deskriminasi terhadap
kelompok marginal.

"Ada tiga isu strategis yang perlu mendapat perhatian," kata Koordinator Nasional
JPPI Ubaid Matraji dalam Seminar Internasion dan Laporan Right to Education Index
(RTEI)

Ia menyebut, penelitian RTEI mengukur lima faktor utama, yakni pemerintahan,


ketersediaan, aksesibilitas, penerimaan, dan adaptasi. Dari lima faktor itu, Indonesia
mendapatkan skor 77 persen untuk laporan pendidikan. Namun, posisi Indonesia
sejajar dengan Nigeria dan Honduras. 

Ironisnya, ia menyebut, kualitas pendidikan Indonesia berada di bawah Filipina (81


persen) dan Etiopia (79 pensen). Penelitian itu menempatkan Inggris (87 persen) di
urutan teratas. Disusul, Kanada (85 persen) dan Australia (83 persen).

Ubaid menjelaskan, kualitas guru yang rendah disebabkan rasio ketersediaan guru,
khususnya di daerah terdepan, terluar dan tertinggal (3T). Berdasarkan hasil uji
kompetensi guru pada 2016 menunjukkan nilai di bawah standar. Ia menyebut, hal
tersebut tidak sebanding dengan anggaran yang dialokasikan untuk gaji guru.

Sementara itu, Ubaid menjelaskan, hasil penelitian menunjukkan, lingkungan sekolah


di Indonesia belum ramah anak. Ia mencontohkan, hal itu terlihat dari masih
maraknya kekerasan di sekolah, baik fisik maupun bukan fisik

Tujuan Pendidikan menurut Freire adalah membebaskan manusia dari kondisi-kondisi


penindasan yang telah membawa kehidupan manusia pada sikap “tidak manusiawi”,
baik itu korban penindasan maupun pelaku penindasan. Freire menganggap bahwa
situasi penindasan bukanlah keharusan sejarah, tetapi lebih karena diciptakan, maka
pendidikan berfungsi untuk merubah itu semua.

Dalam melawan segala situasi penindasan ini, terlebih dahulu manusia haruslah
memiliki kesadaran bahwa telah terjadi penindasan dan memiliki perasaan bahwa ia
mampu untuk merubah itu semua.

Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi kesadaran magis (magical


consciousness), kesadaran naïf (naival consciousness), dan kesadaran kritis (critical
consciousness)

·Kesadaran magis yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat
kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya masyarakat miskin yang
tidak mampu melihat kaitan antara kemiskinan mereka dengan sistem politik dan
kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun
supranatural) sebagai penyebab dan ketidakberdayaan.

·Kesadaran naïf, keadaan yang dikatagorikan dalam kesadaran ini adalah lebih
melihat aspek manusia menjadi akar penyebab masalah masyarakat.

·Kesadaran kritis, kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai
sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari “blaming the victims” dan lebih
menganalisis. Untuk secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik,
ekonomi budaya dan akibatnya pada keadaan masyarakat.
Untuk membangun kesadaran ini, metode pendidikan tidak bisa dilakukan secara
searah, harus dilakukan secara dua arah, di mana guru dan murid harus berada dalam
kondisi sejajar agar murid tidak berperan sebagai obyek yang hanya berperan sebagai
wadah yang harus diisi oleh ilmu pengetahuan yang hanya berasal dari sang guru
(pendidikan gaya bank”, tetapi guru dan murid harus bisa berperan ganda (guru bisa
menjadi murid, murid pun bisa menjadi guru), karena dalam menghadapi
permasalahan sehari-hari pengalaman setiap orang berbeda-beda dan berbeda pula
cara mengatasi permasalahan yang dihadapi sehingga tidak ada orang yang lebih
pandai dari orang lain begitu juga sebaliknya.

Anda mungkin juga menyukai