mampu untuk meningkatkan kehidupan masyarakat apabila sebagian besar warganya masih merasa tertekan.
Pihak penekan juga akan mengalami kesulitan dalam menyadarkan masyarakat yang merasa tertekan untuk
dapat mengenali masalah yang dihadapi, berpikir kritis, dan memecahkan masalah yang timbul dalam
realitas kehidupan mereka. Sebaliknya, pada kelompok yang merasa tertekan, seakan-akan telah terbiasa
berada dalam penjara kehidupan yang statis dan masa bodoh. Mereka tidak mampu untuk mengenali dan
memecahkan masalah yang dihadapinya. Suasana kehidupan masyarakat yang merasa tertekan, yang pada
umumnya menderita kemiskinan dan keterlantaran pendidikan, serta berada dalam kebudayaan bisu.
Dalam Sudjana (1991) konsep mengenai penyadaran atau conscientization digunakan untuk
membangkitkan kesadaran diri warga masyarakat terhadap lingkungannya. Kesadaran ini ditumbuhkan
melalui gerakan pendidikan pembebasan. Dimana dalam gerakan pendidikan ini, warga masyarakat sebagai
peserta didik dipandang sebagai subjek yang aktif dan berpotensi, bukan sebuah objek yang hanya sebagai
penerima sesuatu secara pasif. Pendidikan pembebasan dilakukan dengan menghindarkan semua faktor yang
dapat menimbulkan adanya perbedaan antara pihak penekan dengan pihak yang merasa tertekan.
Sedangkan untuk gagasan pendidikan dengan pengajuan masalah atau problem possing education,
adalah sebuah gagasan yang dianjurkan dalam rangka mengatasi gaya belajar yang Freire anggap sebagai
pendidikan gaya bank.
pendidikan gaya bank dimana guru bertindak sebagai penabung yang menabung informasi sementara
murid dijejali informasi untuk disimpan. Freire menyusun daftar antagonisme pendidikan gaya bank itu
sebagai berikut: (1) guru mengajar, murid belajar; (2) guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa; (3)
guru berpikir, murid dipikirkan; (4) guru bicara, murid mendengarkan; (5) guru mengatur, murid diatur; (6)
guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti; (7) guru bertindak, murid membayangkan
bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya; (8) guru memilih apa yang akan diajarkan, murid
menyesuaikan diri; (9) guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang
profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid- murid; (10) guru adalah subyek
proses belajar, murid obyeknya.
Karena itu pendidikan gaya bank menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan penindasan
terhadap sesamanya manusia. Pendidikan gaya bank itu ditolak dengan tegas oleh Paulo Freire.
Penolakannya itu lahir dari pemahamannya tentang manusia. Ia menolak pandangan yang melihat manusia
sebagai mahluk pasif yang tidak perlu membuat pilihan-pilihan atas tanggung jawab pribadi mengenai
pendidikannya sendiri. Bagi Freire manusia adalah mahluk yang berelasi dengan Tuhan, sesama dan alam.
Dalam relasi dengan alam, manusia tidak hanya berada di dunia tetapi juga bersama dengan dunia.
Kesadaran akan kebersamaan dengan dunia menyebabkan manusia berhubungan secara kritis dengan dunia.
Manusia tidak hanya bereaksi secara refleks seperti binatang, tetapi memilih, menguji, mengkaji dan
mengujinya lagi sebelum melakukan tindakan. Tuhan memberikan kemampuan bagi manusia untuk memilih
secara reflektif dan bebas. Dalam relasi seperti itu, manusia berkembang menjadi suatu pribadi yang lahir
dari dirinya sendiri. Bertolak dari pemahaman yang demikian itu, maka ia menawarkan sistem pendidikan
alternatif sebagai pengganti pendidikan gaya bank yang ditolaknya. Sistem pendidikan alternatif yang
ditawarkan Freire disebut pendidikan hadap-masalah.
D. Pendidikan Hadap Masalah
Pendidikan hadap-masalah sebagai pendidikan alternatif yang ditawarkan oleh Freire lahir dari
konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan
hadap-masalah. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam
dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada nara didik
supaya ada kesadaran akan realitas itu. Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada pemahaman
bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari
penindasan budaya, ekonomi dan politik. Kesadaran tumbuh dari pergumulan atas realitas yang dihadapi dan
diharapkan akan menghasilkan suatu tingkah laku kritis dalam diri nara didik.
Freire membagi empat tingkatan kesadaran manusia. Yang pertama adalah kesadaran intransitif ,
dimana seseorang hanya terikat pada kebutuhan jasmani, tidak sadar akan sejarah dan tenggelam dalam
masa kini yang menindas.
Tingkat kesadaran kedua yakni kesadaran semi intransitif atau kesadaran magis. Kesadaran ini terjadi
dalam masyarakat berbudaya bisu, dimana masyarakatnya tertutup. Ciri kesadaran ini adalah fatalistis.
Hidup berarti hidup di bawah kekuasaan orang lain atau hidup dalam ketergantungan.
Tingkat ketiga adalah kesadaran naif. Pada tingkatan ini sudah ada kemampuan untuk
mempertanyakan dan mengenali realitas, tetapi masih ditandai dengan sikap yang primitif dan naif, seperti:
mengindentifikasikan diri dengan elite, kembali ke masa lampau, mau menerima penjelasan yang sudah jadi,
sikap emosi kuat, banyak berpolemik dan berdebat tetapi bukan dialog.
Sedangkan tingkat kesadaran yang terakhir yakni kesadaran kritis transitif. Kesadaran kritis transitif
ditandai dengan kedalaman menafsirkan masalah-masalah, percaya diri dalam berdiskusi, mampu menerima
dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog. Pada tingkat ini orang mampu merefleksi dan melihat hubungan
sebab akibat.
Bagi Freire pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis
transitif. Memang ia tidak bermaksud bahwa seseorang langsung mencapai tingkatan kesadaran tertinggi itu,
tetapi belajar adalah proses bergerak dari kesadaran nara didik pada masa kini ke tingkatan kesadaran yang
di atasnya.
Dalam proses belajar yang demikian kontradiksi guru murid (perbedaan guru sebagai yang menjadi
sumber segala pengetahuan dengan murid yang menjadi orang yang tidak tahu apa-apa) tidak ada. Nara
didik tidak dilihat dan ditempatkan sebagai obyek yang harus diajar dan menerima. Demikian pula
sebaliknya guru tidak berfungsi sebagai pengajar. Guru dan murid adalah sama-sama belajar dari masalah
yang dihadapi. Guru dan nara didik bersama-sama sebagai subyek dalam memecahkan permasalahan. Guru
bertindak dan berfungsi sebagai koordinator yang memperlancar percakapan dialogis. Ia adalah teman dalam
memecahkan permasalahan. Sementara itu, nara didik adalah partisipan aktif dalam dialog tersebut. Materi
dalam proses pendidikan yang demikian tidak diambil dari sejumlah rumusan baku atau dalil dalam buku
paket tetapi sejumlah permasalahan. Permasalahan itulah yang menjadi topik dalam diskusi dialogis itu yang
diangkat dari kenyataan hidup yang dialami oleh nara didik dalam konteksnya sehari-hari, misalnya dalam
pemberantasan buta huruf.
Pertama-tama peserta didik dan guru secara bersama-sama menemukan dan menyerap tema-tema
kunci yang menjadi situasi batas (permasalahan) nara didik. Tema-tema kunci tersebut kemudian
didiskusikan dengan memperhatikan berbagai kaitan dan dampaknya. Dengan proses demikian nara didik
mendalami situasinya dan mengucapkannya dalam bahasanya sendiri. Inilah yang disebut oleh Freire
menamai dunia dengan bahasa sendiri. Kata-kata sebagai hasil penamaan sendiri itu kemudian dieja dan
ditulis. Proses demikian semakin diperbanyak sehingga nara didik dapat merangkai kata-kata dari hasil
penamaannya sendiri.
E.
Pendidikan Pembebasan
Beberapa konsep Freire mengenai pendidikan yang membebaskan dan memanusiakan adalah,
pendidikan ditujukan pada kaum tertindas dengan tidak berupaya menempatkan kaum tertindas dan penindas
pada dua kutub berseberangan dimana, pendidikan bukan dilaksanakan atas kemurah-hatian palsu kaum
penindas untuk mempertahankan status quo melalui penciptaan dan legitimasi kesenjangan. Pendidikan
kaum tertindas lebih diarahkan pada pembebasan perasaan/idealisme melalui persinggungannya dengan
keadaan nyata dan praksis. Penyadaran atas kemanusiaan secara utuh bukan diperoleh dari kaum penindas,
melainkan dari diri sendiri. Dari sini sang subjek-didik membebaskan dirinya, bukan untuk kemudian
menjelma sebagai kaum penindas baru, melainkan ikut membebaskan kaum penindas itu sendiri. Pendidikan
ini bukan bertujuan untuk menjadikan kaum tertindas menjadi lebih terpelajar, tetapi untuk membebaskan
dan mencapai kesejajaran pembagian pengetahuan.
Dalam Sudjana (1991), Freire menegaskan bahawa pendidikan yang tidak mampu membangkitkan
diri pada peserta didik dan masyarakat adalah tidak manusiawi dan karena itu, tidak usah diberi hak hidup.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa pembangunan tidak akan terwujud melalui pendidikan yang tidak
membangkitkan kesadaran peserta didik dan masyarakat terhadap dunia dan lingkungannya.
Melalui pendidikan pembebasan, penduduk yang tuna aksara telah dapat diserahkan pada kesadaran
baru tentang dirinya. Mereka dirangsang mampu menenali keadaan lingkungannya secara kritis dan
kemudian mampu menentukan langkah-langkah yang akan ditempuh untuk mengubah lingkungannya.
Bila pembebasan sudah tercapai, pendidikan Freire adalah suatu kampanye dialogis sebagai suatu
usaha pemanusiaan secara terus-menerus. Pendidikan bukan menuntut ilmu, tetapi bertukar pikiran dan
saling mendapatkan ilmu (kemanusiaan) yang merupakan hak bagi semua orang tanpa kecuali. Kesadaran
dan kebersamaan adalah kata-kata kunci dari pendidikan yang membebaskan dan kemudian memanusiakan.
F. Daftar Rujukan
kih, Mansour. 2011. Paulo Freire Tanpa Mitos: Sebuah Pengantar, (Online), (http://Paulo-Freire-Tanpa-MitosSebuah-Pengantar_iBlog.mht, diakses 26 Februari 2012).
djana, H.D. 1991. Pendidikan Luar Sekolah Wawasan Sejarah Perkembangan Falsafah dan Teori Pendukung
Asas. Bandung: Penerbit Nusantara Press.
afiI, Agus. 2006. Freire: Pendidikan yang Membebaskan, (Online), (http://www.mailarchive.com/majelismuda@yahoogroups.com/msg01014.html, diakses 2 Februari 2012).
Membaca pemikiran Paulo Freire tidak bisa dipisahkan dari sejarah hidupnya di
masa kecil. Maka, dengan mengetahui biografi hidupnya akan semakin memperjelas
pembacaan terhadap alur pemikiran Paulo Freire.
Paulo Freire adalah seorang tokoh pendidikan Brasil dan teoretikus pendidikan yang
berpengaruh di dunia. Paulo Freire juga adalah tokoh pendidikan yang sangat kontroversial. Ia
menggugat sistem pendidikan yang telah mapan dalam masyarakat Brasil. Freire dilahirkan di
Recife, sebuah kota pelabuhan
seorang pengikut aliran kebatinan, tanpa menjadi anggota dari agama resmi. Baik
budi, cakap, dan mampu untuk mencintai.
Ibunya, Edeltrus Neves Freire, berasal dari Pernambuco, beragama Katolik,
lembut, baik budi, dan adil. Merekalah yang dengan contoh dan cinta mengajarkan
kepada Paulo Freire untuk menghargai dialog dan menghormati pendapat orang lain.
Pada tahun 1929 krisis ekonomi melanda Brasil. Orang tuanya, yang termasuk
kelas menengah
sangat hebat. Akibat kondisi seperti itu, Freire terpaksa belajar mengerti apa artinya
menjadi lapar bagi seorang anak sekolah. Sehingga pada umur 11 tahun, karena
pengalaman yang mendalam akan kelaparan, bertekad
untuk mengabdikan kehidupannya pada perjuangan melawan kelaparan, agar anakanak lain jangan sampai mengalami kesengsaraan yang tengah dialaminya. 2 [2]
Pada tahun 1943, Freire mulai belajar di Universitas Recife, sebagai seorang mahasiswa
hukum, tetapi ia juga belajar filsafat dan psikologi bahasa. Meskipun ia lulus sebagai ahli
hukum, ia tidak pernah benar-benar berpraktik dalam bidang tersebut. Sebagai buktinya, ia
pernah berkarier dalam waktu pendek sebagai seorang pengacara. Sebaliknya, ia bekerja
1[1] Denis Colins. Paulo Freire His Life, Works and Thought. (New York: Paulist Press, 1977). p.
5.
2[2]Sumaryo. Pendidikan Yang Membebaskan dalam Martin Sardy, Mencari Identitas
Pendidikan. (Bandung: Alumni, 1981). p. 29.
rekan
gurunya.
pembaruan pendidikan di bekas koloni-koloni Portugis di Afrika, khususnya Guinea Bissau dan
Mozambik. Pada akhir tahun 1960-an inilah ia menulis salah satu bukunya yang paling
terkenal, Pedagogy of the Oppressed.
Pada tahun 1979, Freire kembali ke Brasil dan menempati posisi penting di Universitas
Sao Paulo. Freire bergabung dengan Partai Buruh Brasil (PT) di kota So Paulo, dan bertindak
sebagai penyedia untuk proyek melek huruf dewasa dari tahun 1980-1986. Ketika PT menang
dalam pemilu-pemilu munisipal pada 1986, Freire diangkat menjadi Sekretaris Pendidikan
untuk So Paulo.
Dan pada tahun 1986 juga, istrinya Elza meninggal dunia. Kemudian Freire menikahi
Maria Arajo Freire dan melanjutkan pekerjaan pendidikannya sendiri yang radikal.
Tahun 1988, ia ditunjuk menjadi Menteri Pendidikan untuk kota Sao Paulo, sebuah posisi
yang memberinya tanggung jawab untuk mereformasi dua pertiga dari seluruh sekolah negeri
yang ada.
Pada 1991, didirikanlah Institut Paulo Freire di So Paulo untuk memperluas dan
menguraikan teori-teorinya tentang pendidikan rakyat. Institut ini menyimpan semua arsip
Freire.
Freire meninggal pada 2 Mei 1997, dalam usia 75, akibat penyakit jantung. Selama
hidupnya, ia menerima beberapa gelar doktor honoris causa dari berbagai universitas di
seluruh dunia. Ia juga menerima beberapa penghargaan, di antaranya:
1. UNESCOs Peace Prize tahun 1987.
2. Dari The Association of Christian Educators of the United States sebagai The Outstanding
Christian Educator pada tahun 1985.
3.
dipengaruhi
oleh
aliran
pemikiran
2.
perubahan sosial.
3. Metode pengajaran harus didasarkan pada prinsip-prinsip demokratis yang bertujuan untuk
mengenali dan menjawab tantangan sosial yang ada.
Dari ketiga prinsip ini dapat diketahui bahwa di dalam Rekonstruksionisme peranan
pendidikan sekolah bukanlah sebagai transmitor (penyampai) kebudayaan yang bersifat pasif,
sebagaimana diyakini oleh aliran-aliran yang lebih tradisional, tetapi sebagai agen yang
menjadi pionir yang aktif dalam melakukan reformasi sosial. Hal ini terlihat secara jelas dalam
pemikiran Freire.
Ada beberapa tema sentral dalam konsep pendidikan pembebasan dalam
pemikiran Paulo Freire, yaitu Humanisasi, pendidikan hadap masalah (problem-posing
education), konsientisasi, dialog. Masalah sentral bagi manusia adalah humanisasi.
Humanisasi merupakan sesuatu hal yang wajib diperjuangkan, karena sejarah
menunjukkan humanisasi dehumansisi merupakan alternative yang real.
6[6] Robert W. Pazmio. Foundational Issues in Christian Education: An Introduction in Evangelical
Perspective (Grand Rapids: Baker, 1988). P. 68.
7[7] Ozmon & Craver. Philosophical Foundations of Educations. (Colombus: Merril, 1986) 135-163.
8[8] Robert W. Pazmio, Foundational Issues... p. 109.
9[9] George R. Knight. Philosophy of Education. (Michigan: Andrew University Press, 1989). P. 116119.
bank.
Dalam
pendidikan
itu
guru
merupakan
subyek
yang
memiliki
pengetahuan yang diisikan kepada murid. Murid adalah wadah atau suatu tempat
deposit belaka. Dalam proses belajar itu murid hanya sebagai objek belaka. Sangat
jelas dalam pendidikan semacam itu, bagi Freire, tidak terjadi komunikasi yang
sebenarnya antara guru dan murid. Praktik pendidikan semacam itu mencerminkan
penindasan yang terjadi di masyarakat sekaligus memperkuat struktur-struktur yang
menindas.
Untuk mengganti sistem pendidikan seperti itu, Freire mempunyai alternative
yaitu sistem baru yang dinamakan "problem-posing education" atau "pendidikan
hadap masalah" yang memungkinkan konsientisasi. Dalam konsientisasi, guru dan
murid bersama-sama menjadi subyek yang disatukan oleh obyek yang sama. Tidak
ada lagi yang berpikir memikirkan dan yang tinggal menelan, tetapi mereka berpikir
bersama. Guru dan murid harus secara serempak menjadi murid dan guru. Dialog
menjadi unsur sangat penting dalam pendidikan.
Skema sistem pendidikan Paulo Freire
D. Tujuan Pendidikan
Menurut Freire, tujuan utama dari pendidikan adalah membuka mata peserta didik guna
menyadari realitas ketertindasannya untuk kemudian bertindak melakukan transformasi
sosial. Kegiatan untuk menyadarkan peserta didik tentang realita ketertindasannya ini ia
sebut sebagai konsientasi. Konsientasi adalah pemahaman mengenai keadaan nyata yang
sedang dialami peserta didik. Lebih lanjut, Daniel Schipani menjelaskan bahwa konsientasi
dalam pemahaman Freire adalah:
. . . denotes an integrated process of liberative learning and teaching as well as
personal and societal transformation. Conscientization thus names the process of emerging
critical consciousness whereby people become aware of the historical forces that shape their
lives as well as their potential for freedom and creativity; the term also connotes the actual
movement
toward
liberation
and
human
emergence
in
persons,
communities,
and
societies.10[10]
Konsientasi bertujuan untuk membongkar apa yang disebut oleh Freire sebagai
kebudayaan diam.11[11] Diam atau bisu dalam konteks yang dimaksud Freire bukan karena
protes atas perlakuan yang tidak adil. Itu juga bukan strategi untuk menahan intervensi
penguasa dari luar. Tetapi, budaya bisu yang terjadi adalah karena bisu dan bukan membisu.
Mereka dalam budaya bisu memang tidak tahu apa-apa. Mereka tidak memiliki kesadaran
bahwa mereka bisu dan dibisukan. Karena itu, menurut Freire untuk menguasai realitas hidup
ini termasuk menyadari kebisuan itu, maka bahasa harus dikuasai. Menguasai bahasa berarti
mempunyai kesadaran kritis dalam mengungkapkan realitas.
Untuk itu, pendidikan yang dapat membebaskan dan memberdayakan adalah pendidikan
yang melaluinya nara didik dapat mendengar suaranya yang asli. Pendidikan yang relevan
dalam
masyarakat
berbudaya
bisu
adalah
mengajar
untuk
memampukan
mereka
mendengarkan suaranya sendiri dan bukan suara dari luar termasuk suara sang pendidik.
Dalam konteks yang demikian itulah Freire bergumul. Ia terpanggil untuk membebaskan
masyarakatnya yang tertindas dan yang telah dibisukan. Pendidikan gaya bank dilihatnya
sebagai salah satu sumber yang mengokohkan penindasan dan kebisuan itu. Karena itulah, ia
menawarkan
pendidikan
hadap-masalah
sebagai
jalan
membangkitkan
kesadaran
masyarakat bisu.
Salah satu kritikan Freire adalah pendidikan yang berupaya membebaskan kaum
tertindas untuk menjadi penindas baru. Bagi Freire pembebasan kaum tertindas tidak
dimaksudkan supaya ia bangkit menjadi penindas yang baru, tetapi supaya sekaligus
membebaskan para penindas dari kepenindasannya. 12[12]
E. Materi Ajar dan Metode Pengajaran
Materi dalam proses pendidikan yang demikian tidak diambil dari sejumlah rumusan
baku atau dalil dalam buku paket tetapi sejumlah permasalahan. Permasalahan itulah yang
menjadi topik dalam diskusi dialogis, yang diangkat dari kenyataan hidup yang dialami oleh
nara didik dalam konteksnya sehari-hari, misalnya dalam pemberantasan buta huruf.
Pertama-tama peserta didik dan guru secara bersama-sama menemukan dan menyerap
tema-tema kunci yang menjadi situasi batas (permasalahan) nara didik. Tema-tema kunci
tersebut kemudian didiskusikan dengan memperhatikan berbagai kaitan dan dampaknya.
Dengan proses demikian, nara didik mendalami situasinya dan mengucapkannya dalam
bahasanya sendiri. Inilah yang disebut oleh Freire menamai dunia dengan bahasa sendiri.
Kata-kata sebagai hasil penamaan sendiri itu kemudian dieja dan ditulis. Proses demikian
10[10] Daniel Schipani. Liberation Theology and Religious Education dalam Theologies of Religious
Education (ed. Randolph Crumph Miller; Birmingham: Religious Education, 1996). p 307-308.
11[11] Aloys Maryoto. Pendidikan Sebagai Proses Penyadaran Menurut Paulo Freire dalam
Fenomena. (Edisi 2/Th.V/1994). p. 18.
12[12]Cf. J.B. Banawiratma, Iman. Pendidikan dan Perubahan Sosial. (Yogyakarta: Kanisius, 1991). p.
73.
semakin diperbanyak sehingga nara didik dapat merangkai kata-kata dari hasil penamaannya
sendiri.
Pendidikan hadap-masalah sebagai pendidikan alternatif yang ditawarkan oleh Freire
lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak
dalam pendidikan hadap-masalah. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan
realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia. Realitas
itulah yang harus diperhadapkan pada nara didik supaya ada kesadaran akan realitas itu.
Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada pemahaman bahwa manusia mempunyai
potensi untuk berkreasi dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan budaya,
ekonomi dan politik.13[13]
Dalam pendidikan "hadap masalah" itu guru belajar dari murid dan murid belajar
dari guru. Bagi Freire dialog adalah salah satu unsur penting dalam pendidikan kaum
tertindas. Inti dialog adalah kata. Kata mempunyai dua dimensi refl eksi dan aksi
yang berada dalam interaksi yang radikal. Tanpa refl eksi hanya akan terjadi
aktivisme, dan tanpa aksi hanya akan terjadi verbalisme. Dengan adanya aksi dan
refleksi, kata menjadi benar-benar kata yang sejati. Kata sejati adalah kata yang
memungkinkan mengubah dunia. Dialog adalah pertemuan antara kata dengan
tujuan "memberi nama kepada dunia". Dialog mengandaikan kerendahan hati, yaitu
kemauan untuk belajar dari orang lain meskipun menurut perasaan kebudayaan lebih
rendah, memperlakukan orang lain sederajat, keyakinan bahwa orang lain dapat
mengajar kita. Artinya bahwa tindakan dialogik selalu bersifat kooperatif. Itu berarti
adanya
kesatuan
antara
bawahan
dan
atasan
dalam
usaha
memacu
proses
perubahan.
Kesadaran tumbuh dari pergumulan atas realitas yang dihadapi dan diharapkan akan
menghasilkan suatu tingkah laku kritis dalam diri nara didik. Freire membagi empat tingkatan
kesadaran manusia, yaitu:14[14]
1. Kesadaran intransitif.
Dimana seseorang hanya terikat pada kebutuhan jasmani, tidak sadar akan sejarah dan
2.
3.
tetapi
masih
ditandai
dengan
sikap
yang
primitif
dan
naif,
seperti:
mengindentifikasikan diri dengan elite, kembali ke masa lampau, mau menerima penjelasan
yang sudah jadi, sikap emosi kuat, banyak berpolemik dan berdebat tetapi bukan dialog. 15[15]
4. Kesadaran kritis transitif.
Kesadaran kritis transitif ditandai dengan kedalaman menafsirkan masalah-masalah,
percaya diri dalam berdiskusi, mampu menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog.
Pada tingkat ini orang mampu merefleksi dan melihat hubungan sebab akibat.
Bagi Freire pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang menumbuhkan
kesadaran kritis transitif. Memang ia tidak bermaksud bahwa seseorang langsung mencapai
tingkatan kesadaran tertinggi itu, tetapi belajar adalah proses bergerak dari kesadaran nara
didik pada masa kini ke tingkatan kesadaran yang di atasnya.
para
murid.
Dengan
demikian
kedua
belah
pihak
bersama-sama
mengembangkan kemampuan untuk mengerti secara kritis dirinya sendiri dan dunia
tempat mereka berada. Pengetahuan adalah keterlibatan.
15[15] Paulo Freire. Education For Critical Consciousness. (New York: The Seabury Press,
1973 ), p. 18.