Disusun Oleh:
Arya Djodipati (16416241004)
Alda Arwinda (16416241033)
Primastuti Winda Wardani (16416241036)
Nadya Novshela (16416241040)
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
dan merupakan pembengkokan cita-cita untuk menjadi manusia yang lebih utuh.
Dehumanisasi ini merupakan produk tatanan yang melahirkan kekerasan para
penindas yang mengubah kaum tertindas menjadi kurang dari manusia.
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat kita pahami bahwa sistem
pendidikan saat ini jika dikaitkan dengan pendidikan menurut Paulo Freire
merupakan pendidikan yang mengekang peserta didik dalam belajar. Oleh karena
itu, dalam makalah ini akan penulis bahas mengenai bagaimana pendidikan yang
membebaskan menurut Paulo Freire sehingga apa yang ingin dicapai dalam hal
memanusiakan manusia dapat tercapai dengan baik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat penulis ajukan rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana hakikat pendidikan menurut Paulo Freire?
2. Apa yang dimaksud dengan pendidikan pembebasan dari Paulo Freire?
3. Bagaimana upaya pembebasan dalam pendidikan berdasarkan Paulo Freire?
4. Bagaimana implementasi pendidikan pembebasan?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah pada sub bab sebelumnya, dapat diketahui
bahwa makalah ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami beberapa hal,
sebagai berikut:
1. Hakikat pendidikan menurut Paulo Freire
2. Hakikat pendidikan pembebasan menurut Paulo Freire
3. Upaya pembebasan dalam pendidikan menurut Paulo Freire
4. Implementasi pendidikan pembebasan
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
Pendidikan pembebasan berawal dari adanya dehumanisasi yaitu keadaan
kurang manusia atau tidak manusia. Dehumanisasi ini bukan hanya menandai
mereka yang kemanusiaannya telah dirampas namun juga menandai pihak yang
telah merampas kemanusiaan tersebut dan merupakan pembengkokan cita-cita
untuk menjadi manusia yang lebih utuh. Dehumanisasi ini merupakan produk
tatanan yang melahirkan kekerasan para penindas yang mengubah kaum tertindas
menjadi kurang dari manusia. Dehumanisasi merupakan pembengkokan cita-cita
untuk menjadi manusia yang lebih utuh, cepat atau lambat kaum tertindas
membebaskan diri sendiri dan membebaskan para penindas mereka. kaum
penindas yang menekan, mengeksploitasi, dan memperkosa dengan
mengandalkan kekuasaan mereka tidak dapat membebaskan kaum tertindas
maupun diri mereka sendiri. Hanya kekuatan yang terangkat dari kelemahan
kaum tertindaslah yang mampu membebaskan keduanya.
Mereka bercita-cita untuk mejadi manusia akan tetapi bagi mereka
“manusia” adalah para penindas. Kaum tertindas sadar bahwa dirinya terinjak-
injak namun persepsi mereka tentang diri mereka sendiri sebagai manusia-
manusia tertindas dikaburkan oleh keadaan terbenam dalam realitas penindasan.
Dalam hal ini persepsi mereka belum menggugah mereka untuk berjuang
melawan penindas tersebut. Bagi mereka manusia baru adalah kaum tertindas
yang kemudian menjadi penindas. Kaum tertindas dihantui oleh rasa takut akan
kebebasan, ketakutan tersebut dapat menuntun mereka menjadi penindas, atau
sebagai yang tertindas. Kaum tertindas telah mengadopsi panduan dari penindas
sehingga takut pada kebebasan. Kebebasan akan menuntut mereka untuk
menggantinya dengan otonomi serta tanggung jawab. Kebebasan diraih melalui
penaklukan, kebebasan harus direbut, kebebasan harus terus dikejar karena
kebebasan merupakan syarat yang tidak bisa ditawar oleh manusia agar dapat
memulai perjuangan untuk menjadi manusia utuh. Oleh karena itu untuk
menaklukan penindasan manusia harus mengenali sebab secara kritis hingga
dapat menciptakan situasi baru yang memungkinkan untuk mencapai keutuhan
5
kemanusiaan. Sampai pada akhirnya pendidikan kaum tertindas, pendidikan yang
harus dilaksanakan dengan, bukan untuk. Pendidikan ini menjadikan penindasan
beserta penyebabnya sebagai objek renungan kaum tertindas dan dari situlah
mereka akan terlibat dalam perjuangan membebaskan diri sendiri. Dalam
perjuangan tersebut pendidikan kaum tertindas akan diperbarui secara terus
menerus.
Pendidikan tersebut dapat terlahir atau berkembang ketika kaum tertindas
mulai memiliki kesadaran. Pendidikan kaum tertindas adalah alat penemuan kritis
bahwa penindas dan yang ditindas sama-sama merupakan pengejawantahan
dehumanisasi. Dalam pembebasan ini, kaum tertindas harus berhenti menganggap
bahwa penindasan sebagai sebuah jagat tertutup tanpa pintu keluar. Mereka harus
memandang sebagai sebuah situasi pembatas yang dapat mereka ubah.
Pendidikan kaum tertindas sebagai pendidikan humanis dan libertarian
mempunyai dua tahap yang berlainan yaitu kaum tertindas menyingkap selubung
dunia penindasan serta lewat praksis mereka mingikatkan diri pada transformasi
dunia pendidikan itu dan ketika kenyataan penindasan sudah diubah, pendidikan
ini tak lagi menjadi milik khas kaum tertindas melainkan menjadi pendidikan
semua manusia dalam proses pembebasan yang permanen.
Paulo Freire mengharapkan sebuah konsep pendidikan yang
membebaskan, artinya pendidikan diarahkan untuk membangun fitrah manusia
yang seutuhnya, orientasi pendidikan diarahkan untuk membangun manusia. Oleh
karenanya proses pembelajaran yang berlangsung harus kontekstual, dekat dengan
realitas kehidupan peserta didik. Sehingga proses pembelajaran yang berlangsung
mampu menjawab persoalan kehidupan atau persoalan sosial. Sangat tidak
mungkin untuk meraih itu semua dengan menggunakan konsep sekolah “gaya
bank”, sekolah ala kolonial, dan sekolah yang orientasinya hanay untuk menjadi
pekerja yang melanggengkan status quo.
Paulo Freire mengartikan pendidikan pembebasan sebagai suatu bentuk
pendidikan yang mampu menjadikan manusia sebagai manusia yang seutuhnya.
6
Pendidikan sebagai suatu sarana untuk mewujudkan apa yang peserta didik
inginkan. Apa yang mereka pelajari hari ini merupakan apa yang mereka ingin
pelajari atau apa yang ingin mereka ketahui dalam kehidupannya. Oleh karena itu,
peran guru dalam pendidikan pembebasan adalah sebagai media pembelajaran
saja, peserta didik merupakan subjek pembelajaran, bukan sebagai objek dalam
pembelajaran.
Menurut Hirst dalam Assegaf (2004:138), tujuan pendidikan adalah
pengembangan pikiran, sedangkan pikiran berkembang dengan jalan memperoleh
pengetahuan. Pendidikan yang memenuhi tujuan ini disebut oleh Hirst sebagai
pendidikan “liberal”. Oleh karena itu, memperoleh pengetahuan amat dibutuhkan
bagi pengembangan pikiran. Menurut Kneller (1984:17), pengetahuan yang
dikembangkan dalam pendidikan liberal meliputi matematika, sains empiris,
sejarah, agama, moral, pengetahuan antar-pribadi, seni, sastra, dan filsafat. Hirst
juga menyebutkan bahwa pendidikan liberal hendaknya menyediakan pemaham
terhadap pengetahuan tadi, karena kebebasan merupakan ekspresi pengalaman,
perasaan, sikap dan keterampilan yang menekankan pada daya piker kritis,
tanggap dan kreatif dalam menghadapi sesuatu, tanpa ikatan tradisi dan norma
tertentu.
Dalam pendidikan liberal, metodologi pengajarannya mengutamakan
keterlibatan peserta didik sebesar-besarnya dalam bentuk partisipatoris, misalnya
diskusi, resitasi, eksperimentasi, inquiry, discovery, dan lain-lain yang dapat
mengekspresikan kebebasan berpikir seseorang (Assegaf, 2004: 139). Misalnya
dalam diskusi terjadi tukar pendapat antar peserta dimana masing-masing orang
bebas mengemukakan pemikirannya. Hal serupa juga dijumpai pada metode
resitasi, eksperimen, inquiry dan discovery yang juga membuka peluang peserta
untuk bebas berpikir kritis dan kreatif dalam mengembangkan kemampuannya.
Kebebasan menimbulkan kreativitas. Seseorang yang kreatif dapat terlihat
dari kemampuannya mengatasi masalah, mampu menciptakan ide alternative
untuk memecahkan masalah, mampu memindahkan ide dari satu pola pikir ke
pola pikir yang lain. Seluruh kemampuan pengembangan ide dan sensitivitas
7
terhadap persoalan yang merupakan ciri kreatif tersebut tak dapat terbentuk
bilamana dalam diri seseorang terjadi tekanan dan pembatasan atas kebebasannya
(Assegaf. 2004: 139).
Dalam kebebasan, terdapat pengakuan atas hak dari diri sendiri dan hak
orang lain, sama seperti dirinya. Dalam kebebasan terdapat keseimbangan antara
hak dan kewajiban. Demokratisasi pendidikan proses pembelajaran seluruh civitas
akademika untuk memajukan pendidikan. Pendidikan yang demokratis
melibatkan secara aktif dalam seluruh proses pendidikannya bukan berpusat pada
guru sehingga murid berperan sebagai objek didik atau sebagaimana yang
dikatakan oleh Paulo Freire dengan istirah pendiddikan gaya bank dimana murid
dilibatkan seperti celengan yang siap diberi koin (Assegaf, 2004:141).
Pendidikan yang demokratis menerapkan system andragogi yang
menuntut keaktifan siswa untuk berbuat (learning by doing). Proses pendidikan
yang menekankan pentingnya nilai-nilai kebebasan dan demokrasi inilah yang
menjadikan pendidikan bernuansa humanis. Perlakuannya menggunakan
pendekatan humanistik. Peran guru dalam system pendidikan andragogi adalah
sebagai mediator, fasilitator, atau pembina. Menurut Assegaf (2004: 141) dalam
proses pendidikan yang humanis akan terjadi interaksi yang intens antara guru-
murid, murid-murid, bahkan guru-guru sehingga pola komunikasinya berbentuk
multi-ways traffic communication. Selama ini, pendidikan di Indonesia masih
banyak menggunakan pola komunikasi satu arah atau one way traffic
communication.
Pada pola komunikasi satu arah atau (one way traffic communication),
guru menyampaikan pelajaran kepada muridnya tanpa sedikitpun memberikan
kesempatan kepada muridnya untuk berdialog atau berkomunikasi dua arah. Hal
ini menyebabkan pembelajaran bersifat teacher-centered karena materi dan
metode pengajarannya ditentukan oleh guru. Murid hanya sekedar duduk, diam,
mencatat dan menghafal pengetahuan yang ditentukan oleh guru. Pola
komunikasi ini tidak tidak memiliki kekuatan pembebas bagi para murid untuk
mengembangkan daya pikir kritis dan kreatif (Assegaf, 2004: 143). Hal ini
8
mengakibatkan hubungan antara guru-murid ataupun murid-murid berlangsung
tidak demokratis.
Pola komunikasi multi arah atau (multi-ways traffic communication),
melibatkan keaktifan dan kreativitas semua pihak. Antara sesama murid, guru-
murid, bahkan antar sesama guru pun terjadi interaksi yang intens. Materi dan
metode pembelajaran tidak lagi didominasi oleh guru, melainkan juga melibatkan
keikutsertaan para murid (student-centered, student active learning). Akibatnya,
semua pihak dapat berkomunikasi dan saling memberikan masukan. Pola ini jelas
lebih bebas dan demokratis dibandingkan dengan pola yang pertama. Pendidikan
damai pada dasarnya mengembangkan nilai-nilai kebebasan dan demokrasi
seperti ini.
11
didik jauh dari realitasnya. Sebagai contoh, peserta didik yang tinggal di
daerah agraris. Maka kurikulum pendidikan harusnya melibatkan dan lebih
menguatkan mengenai hal seputar pertanian. Dan usahakan pendidikan itu
nyambung dengan dunia peserta didik. Materi yang dipelajari tidak jauh jauh
dari hidupmu dunianya. Hal tersebut berguna agar ilmu yang dimiliki mampu
berguna untuk mengatasi permasalahan dalam hidupnya.
Pendidikan yang dialogis dengan yang tertindas dapat menuntun pada
dunia yang lebih manusiawi. Melakukan proses pembelajaran yang dialogis atau
tidak satu arah. Murid dan pengajar saling berinteraksi, di mana di dalamnya
terdapat daya tawar.
Di Indonesia sudah terdapat beberapa sekolah yang menerapkan
pendidikan pembebasan tersebut, salah satunya adalah di Bantul, Yogyakarta.
Sebagai suatu pendidikan alternatif, SALAM (Sanggar Anak Alam) merupakan
suatu sekolah alternatif yang menerapkan sistem pembebasan/memerdekakakn
bagi peserta didiknya. SALAM didirikan oleh Sri Wahyaningsih dan suaminya
(Toto) pada tahun 2000 dengan semboyan “Mendengar, saya lupa. Melihat, saya
ingat. Melakukan, saya paham. Menemukan sendiri, saya kuasai”. Sebagai suatu
sekolah alternatif, SALAM berusaha untuk mendidik murid-muridnya secara
kontekstual, ia mengajarkan atau mendampingi peserta didik untuk belajar
mengenai apa yang mereka ingin pahami, bukan memaksa peserta didik untuk
paham mengenai apa yang akan guru ajarkan di sekolah. Ketika peserta didik
ingin belajar mengenai ikan dan memancing, maka guru akan memfasilitasi anak
untuk mencari buku mengenai ikan dan memancing, kemudia peserta didik
diminta untuk membaca, diajak ke kali atau kolam untuk praktik memancing dan
terakhir peserta didik diminta untuk membuat laporan mengenai hasil belajar
mengenai ikan dan memancing tersebut hingga anak benar-benar mendapatkan
apa yang mereka inginkan dari proses belajarnya.
Konsep pembelajaran yang dilakukan di SALAM sedikit banyak
mengadopsi dari konsep pendidikan pembebasan ala Pauolo Freire. Berikut
merupakan analisisnya.
12
1. Memanusiakan manusia
SALAM percaya bahwa setiap individu itu istimewa. Sudah mempunyai
bakatnya masing-masing, sehingga peran sekolah hanya sebatas
mengantarkan maupun mendampingi siswa untuk menjadi dirinya sendiri.
Sekolah hanya sekedar memfasilitasi untuk mewujudkan proses pembelajaran
agar siswa dapat secara aktif mengembangkan potensi yang dimilikinya. Hal
tersebut diungkapkan oleh Toto Rahardjo (2018: 12).
2. Dialogis
Di awal semester, kegiatan yang dilakukan di SALAM ialah menentukan tema
riset yang hendak dilakukan dalam satu semester ke depan, di sini siswa bebas
memilih topik yang sesuai dengan minatnya. Tidak lupa, orangtua dan
fasilitator juga ikut mendampingi dan memberi pertimbangan-pertimbangan
tersebut. SALAM menerapkan konsep pembelajaran yang dinamakan sebagai
“Daur Belajar”. Di mana di dalamnya terdapat komunitas belajar yang terdiri
dari siswa itu sendiri, fasilitator, dan juga orang tua. Hal tersebut sangat
memungkinkan adanya dialog dan saling berinteraksi. Dan jelas siwa
diposisikan sebagai subyek pendidikan, bukan obyek pendidikan.
3. Kontekstual/Dekat dengan realitas
Proses pembelajaran di SALAM berangkat dari peristiwa nyata sehari-hari,
yang ada di lingkungan sekolah dan lingkungan sekitar. Dari peristiwa itu
diharapkan agar siswa mampu menangkap dan mengenal dua unsur yang
melekat pada peristiwa yaitu yang tersurat dan tersirat. Sebagai contoh kecil,
pembelajaran di SALAM juga bersentuhan dengan masyarakat sekitar. Seperti
pembelajaran mengenai pertanian meliputi pemahaman teknik menanam dan
memanen dengan memanfaatkan sawah di samping sekolah. Belajar ekonomi
dengan datang langsung ke Angkringan Wongso milik warga sekitar sekolah
mengenai tata cara jual beli, titip jual, jenis uang, pembayaran, jenis makanan,
alat dan bahan. Dan masih banyak lagi.
4. Kesetaraan
SALAM bukan sekolah yang “ekslusif”. Siapa saja bisa sekolah di sini, tidak
memandang status ekonominya, si kaya dan si miskin bisa sekolah di sini.
13
Proses pembelajaran yang dimunculkanpun tidak memperlihatkan adanya
kesenjangan ekonomi diantara para siswanya. Selain itu, SALAM tidak
mengenal adanya sistem rangking. Bagi SALAM, sekolah atau proses
pembelajaran itu bukan sebuah kompetisi untuk saling mengunggulkan satu
dengan yang lainnya.
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut Freire (1984: 32) pendidikan akan membantu pembentukan sikap
kritis, mengangkat kesadaran naïf yang telah menjebak masyarakat pada suatu
proses sejarah yang irasional. Pendidikan dianggap sebagai suatu hal yang dapat
memperlancar pergeseran kesadaran transitif-naif menuju kesadaran transitif-
kritis yang akan mengembangkan kemampuan manusia untuk melihat tantangan-
tantangan zaman untuk menyiapkan rakyat dalam melawan kecenderungan
emosional dari masa transisi. Paulo Freire menggagas adanya pendidikan yang
membebaskan atau pendidikan pembebasan. Pendidikan pembebasan berawal dari
adanya dehumanisasi yaitu keadaan kurang manusia atau tidak manusia.
Dehumanisasi ini bukan hanya menandai mereka yang kemanusiaannya telah
dirampas namun juga menandai pihak yang telah merampas kemanusiaan tersebut
dan merupakan pembengkokan cita-cita untuk menjadi manusia yang lebih utuh.
Dehumanisasi ini merupakan produk tatanan yang melahirkan kekerasan para
penindas yang mengubah kaum tertindas menjadi kurang dari manusia. Upaya
yang ditawarkan oleh Paulo Freire untuk menciptakan sistem pendidikan yang
membebaskan ialah dengan solusi berupa Problem Possing Education atau
Pendidikan Hadap Masalah. Contoh nyata dari upaya yang ditawarkan oleh Paulo
Freire yaitu upaya pemberantasan buta huruf yang dilaksanakan pada masa
dimana masyarakat masih tertindas oleh kaum penindas.
Adapun penerapan pendidikan pembebasan ala Paulo Freire dalam
pembelajaran yaitu pendidikan yang ideal seharusnya berorientasi kepada nilai-
nilai humanisme (mengembalikan kodrat manusia menjadi pelaku atau subyek,
bukan penderita atau objek), pendidikan seharusnya menjadi kekuatan penyadar
dan pembebas umat manusia dari kondisi ketertindasan, proses belajar hendaknya
berbentuk “investigasi kenyataan”.
15
16
DAFTAR PUSTAKA
17