Anda di halaman 1dari 14

BERTEOLOGI DALAM BUDAYA

POPULER - DENGAN KONSEP DIY


ITUT DIAN SETYAWIJAYA 52130003

I. Latar Belakang

“Karena cara terbaik untuk memahami inti dari sebuah bentuk adalah dengan
mempelajari akibatnya, mari kita catat apa yang diucapkan oleh Presiden
Indonesia Soekarno, kepada sekelompok besar eksekutif Hollywood di tahun
1956. Ia mengatakan bahwa ia melihat mereka sebagai orang-orang radikal dan
revolusioner yang telah dengan cepat menggerakan perubahan politik di Timur.
Apa yang dilihat orang-orang Timur dalam sebuah film Holywood adalah sebuah
dunia tempat semua orang-orang biasa memiliki mobil dan alat-alat pemanas dan
lemari es elektronik. Karenanya orang-orang Timur sekarang melihat mereka
sendiri sebagai orang-orang biasa yang telah dipisahkan dari hak-hak hidup orang
1
biasa”

Kalimat di atas, merupakan komentar Soekarno, yang dicatat oleh McLuhan, yang
kemudian dikutip oleh Budiman. Dalam pandangan Soekarno, bisa dipahami
kekhawatirannya, bahwa bangsa yang baru saja merdeka, melihat film Hollywod, melihat
kekontrasan, membandingkan kondisi yang dialaminya, dan kemudian akan berpikir
bahwa situasi yang terjadi pada dirinya lebih buruk, dibandingkan dengan yang terjadi di
Hollywod. Sementara trauma penjajahan yang dialami Indonesia selama 3,5 abad juga
belum dilupakan. Pada era Soekarno, peredaran film-film tersebut dilarang. Apa yang
disampaikan oleh Soekarno pada saat itu, tentu saja masih relevan untuk diperhatikan
pada saat ini. Pada era tersebut bisa dilihat adanya penolakan terhadap masuknya budaya-
budaya barat ke Indonesia.
Pada generasi berikutnya, Orde Baru, peredaran film-film Hollywod,
diperbolehkan oleh rezim Soeharto. Di satu sisi, dalam konteks Indonesia, menurut
beberapa orang, perilaku masyarakat budaya massa ternyata juga merefleksikan satu
bentuk lain dari ketakjuban masyarakat pada segala sesuatu hal yang berasal dari luar.2
Menurut Budiman, hal tersebut berakar dari dua hal, pertama sindrom yang diderita

1
H, Budiman, Lubang Hitam Kebudayaan (Yogyakarta : Kanisius, 2002), h. 185,186.
2
Ibid, h 249.
masyarakat-masyarakat bekas jajahan yang cenderung melihat bekas penjajahnya sebagai
wakil dari keberhasilan dalam segala hal. Kedua, orientasi pembangunan ekonomi yang
diberlakukan oleh rezim Orde Baru sejak awal jelas-jelas menjadikan negara-negara di
Barat sebagai model yang harus ditiru. 3 Jika melihat situasi tersebut dari pandangan
Soekarno, yang telah disampaikan sebelumya. Dari sini bisa dilihat, pada titik tertentu,
bangsa Indonesia, menjadikan Barat, sebagai model, baik itu secara budaya, ekonomi,
pendidikan, gaya hidup ataupun yang lainnya. Dan film, menjadi salah satu media
terbesar, sebagai media penyebaran produk-produk budaya Barat, termasuk budaya
populer. Meski demikian, penulis tidak bermaksud mengkesampingkan media yang lain.
Namun, pada akhir Orde Baru, penulis melihat adanya pergeseran media, media
yang dalam pandangan penulis lebih obyektif dibandingkan film, yaitu internet. Mengapa
demikian? Karena dengan internet, setiap orang bisa memasukan berbagai informasi dan
mengakses informasi, tanpa dibatasi oleh badan sensor. Meski saat ini penyedia layanan
internet, mencoba membatasi situs yang bisa diakses, namun kenyataanya sensor tersebut
dapat mudah ditembus. Sementara film, bisa dibatasi oleh badan sensor, meskipun ada
film yang dilarang masuk ke Indonesia, tetapi dari internet, film tersebut bisa diunduh.
Pengguna internet dapat memilih informasi seperti apa, yang dapat dipercayainya.
Keluasan data dan pandangan inilah, yang penulis nilai lebih obyektif. Karena itu
kebiasaan “tanya sama mbah Google”, menjadi sebuah kebiasaan umum, bagi para
pengguna internet. Internet juga menjadi tempat yang cukup berpengaruh terhadap
banyak hal, salah satunya dapat dilihat pada Obama dan Jokowi, yang memakai media
sosial di internet, untuk berkampanye dan membangun kepercayaan publik, dan pada
akhirnya menjadi presiden.
Di satu sisi internet bisa juga membantu menyadarkan masyarakat Indonesia,
bahwa di Barat tidak selalu dalam kondisi yang “wah”, seperti di film (jika melihat
pandangan Soekarno). Tetapi juga memperlihatkan realitas lain di luar negeri, termasuk
Barat, karena di internet bisa didapatkan informasi dari sudut pandang yang lain. Menarik
untuk diceritakan, dalam sebuah forum di internet, penulis melihat kenyataan, bahwa
tidak semua orang barat pandai, ada juga yang bodoh, yang “oot” 4 , tidak disiplin,
sehingga membuka kesadaran, bahwa orang Indonesia tidak selalu di bawah orang Barat.

3
Ibid, 249.
4
Salah satu bahasa slang di Internet, yang menunjuk kepada berbicara/ berkomentar tidak sesuai konteks
yang dibicarakan.
Sehingga Barat tidak perlu dipandang sebagai sebuah surga saat ini. 5 Tetapi perlu
diperhatikan, lautan informasi di internet perlu diwaspadai. Karena terlalu banyak
informasi, maka kebinggungan terhadap informasi mana yang harus dipercayai dapat
menjadi masalah. Selain itu kebocoran informasi personal, ataupun sebuah kelompok juga
perlu diperhatikan.6
Jika membaca beberapa buku tentang budaya populer, penulis lebih sering melihat
analisis buku didasarkan pada produk-produk yang bisa dilihat secara langsung, misal
film, program televisi, baju, dll. Namun penulis jarang melihat analisis yang didasarkan
pada produk-produk yang berbentuk metode, ideologi, atau pemahaman terhadap sesuatu.
Di Internet bisa terjadi pasar bebas, penyebaran ideologi, penyebaran metode,
pertarungan membangun kepercayaan publik, debat kusir, pemasaran produk budaya, dan
sebagai media bagi budaya populer. Salah satu budaya populer yang berkembang di
internet dengan produknya berupa metode adalah do it yourself, atau sering disingkat
sebagai DIY. Secara bebas, DIY atau do it your self, dapat diterjemahkan sebagai “lakukan
hal ini sendiri/ secara mandiri”. Dalam pengamatan penulis, DIY mempunyai beberapa
kelebihan, misalnya membantu menyelesaikan masalah; gratis; pada beberapa kasus dapat
menghemat (yang dalam beberapa pandangan, produk budaya populer cenderung
konsumtif) 7 ; menawarkan beberapa solusi, sehingga dapat dipilih yang paling sesuai
dengan konteks yang dihadapi; dan karena DIY tidak dikembangkan hanya dengan satu
sumber (barat, misalnya), namun berasal dari berbagai penjuru dunia, sehingga dapat
dilepaskan dari pandangan bahwa bangsa tertentu lebih baik.
Berangkat dari konsep-konsep positif diatas, maka penulis mencoba mengangkat
DIY dalam paper akhir. Tentu saja sangat baik untuk mempertanyakan apakah sebenarnya
DIY, adakah efek negatif-positif di dalam DIY, sekaligus mengkritisi pandangan penulis
terhadap DIY. Dan kaitannya dengan teologi, penulis mencoba melihat konsep teologis
yang ada di dalam DIY. Sebagai batasan dalam pembuatan paper ini, bab I berisi latar
belakang. Bab II, berisi pembahasan terhadap DIY dan kritik-kritik terhadapnya. Bab III,
berisi dasar teori mengenai pendekatan-pendekatan berteologi didalam budaya populer.
Bab IV, penulis akan melihat teologi seperti apa yang dapat dikembangkan dari DIY. Bab
V, kesimpulan dan saran.

5
Bandingkan dengan Budiman, h. 251.
6
Bandingkan dengan Budiman, h. 88-98,
7
Bandingan, Sofjan, Dicky dan Hidayati, Mega, 2013, Religion and Television in Indonesia: Ethics Surrounding
Dakwahtainment. Geneva: Globethics.net. h. 93-98.
II. DIY
1. DIY dalam Teori
Cukup sulit memahami batasan DIY. Sebagai gambaran, simak pengalaman
Foege berikut. Foege mengalami permasalahan, yaitu kerusakan pada layar
smartphone miliknya. Ketika disampaikan kepada dealer smartphone yang
bersangkutan, dealer menyampaikan, bahwa dealer sekarang hanya menjual
smartphone dan tidak memperbaikinya. Ditengah kebingungan, Foege mencoba
memperbaiki samartphone tersebut sendiri. Setelah berdialog dengan Google search
engine, Foege menemukan video tutorial step by step, bagaimana mengganti layar
yang rusak. Kembali lewat Google search engine, Foege menemukan penjual, yang
menjual layar pengganti. Setelah memesan, pesanan sampai kepada Foege beberapa
hari kemudian. Dan kemudian Foege mencoba mengikuti instruksi video yang telah
dilihatnya. Hanya dengan 10 menit, smartphone milik Foege bisa bekerja dengan baik
seperti baru.8 Pengalaman Foege diatas merupakan salah satu contoh dari budaya DIY.
Stacey Kuznetsov dan Eric Paulos mendefinisikan DIY sebagai berbagai
kreasi, modifikasi atau memperbaiki sebuah object tanpa bantuan profesional yang
dibayar. Kuznetsov dan Paulos, menekankan bahwa sebagian besar budaya DIY tidak
termotivasi oleh tujuan komersial.9 Sementara Ami Spencer, dalam bukunya DIY The
Rise of Lo-Fi Culture, menekankan bahwa aspek terpenting dari menciptakan budaya
secara individual adalah kemampuan untuk DIY. Arti dari “self” merupakan
representasi semua dalam kontrol secara pribadi, bebas dari sensor dan presentasi
yang salah. 10 Etos DIY adalah pentingnya membuat bentuk baru budaya dan
menyampaikan hal tersebut kepada orang lain dengan tujuan/ syarat-syarat pribadi.11
Berangkat dari apa yang disampaikan oleh Spencer, dapat dilihat bahwa DIY
ditekankan pada kebebasan individu untuk berkarya. Menurut Kim Bryan, dkk,
budaya DIY adalah seperangkat istilah yang mengacu kepada berbagai aktivitas

8
Alec Foege, The tinkerers : the amateurs, DIYers, and inventors who make America great, (New York : Basic
Books), 2013, hlm. 1,2.
9
S. Kuznetsov & E. Paulos, “Rise of the Expert Amateur: DIY Projects, Communities, and Cultures”, diunduh
dari cdn.makezine.com/uploads/2010/11kuznetsovdiy.pdf, Jumat 5 Juni 2015, hlm 1.
10
A, Spencer, DIY The Rise of Lo-Fi Culture, (London : Marion Boyars, ) h. 38
11
Ibid, 12
politik akar rumput dengan komitmen kepada ekonomi gotong royong, kerjasama,
non komodifikasi seni, perampasan teknologi digital dan komunikasi, dan alternatif
teknologi. 12 Sedangkan Wolf dan McQutty memahami DIY sebagai kebiasaan
individu yang melibatkan raw dan semi-raw material dan bagian komponen untuk
diproduksi, merubah, atau merekonstruksi material yang dimiliki, termasuk yang
diambil dari alam.13
Istilah DIY sering dideskripsikan dengan penerbitan buku, zine, komik
alternatif secara mandiri; band atau artis yang merelease musik mereka dengan dana
sendiri; Recycle, Reuse, Reduce, gerakan yang mendorong orang-orang untuk
memakai berbagai benda yang ditemukan di rumah untuk dipakai ulang; pemakaian
open-source hardware untuk membuat peralatan scientific; memakai single-board-
computer murah misalnya arduino, raspberry Pi, sebagai sistem terpadu untuk
berbagai aplikasi; DIY Bio, yang merupakan gerakan secara individu atau komunitas
kecil yang mempelajari biologi dan life science dengan memakai metode yang sama
seperti dipakai oleh lab tradisional; dll.14
2. Etika DIY
Ryan Moore dan Michael Roberts, yang melakukan penelitian terhadap
perilaku punk di Amerika, menyampaikan bahwa di dalam komunitas punk terdapat
etika DIY. Moore dan Roberts berpendapat bahwa gerakan sosial punk berbasis
kepada etika DIY, dan memampukan subkultur punk untuk membangun substansi
infrastruktur media underground. Dalam penelitian tersebut, Moore dan Roberts,
melihat bahwa punk selalu melibatkan etika DIY ketika berhubungan dengan politik.
Ada tiga hal yang dilakukan oleh punk ketika berkenaan dengan politik saat itu.
Pertama melawan rasisme; kedua “hardcore movement”, gerakan melawan aksi
Presiden Reagan; dan ketiga “riot grrrl” 15 , gerakan untuk memberikan jalan bagi
wanita untuk membuat jaringan dengan individu lain dan berbagi kepercayaan feminis
mereka. 16 Moran yang mencoba meneliti ulang penelitian Moore dan Roberts
menemukan partisipan setuju bahwa DIY merupakan dasar etika punk, sehingga pusat
dari partisipan komunitas punk adalah etika DIY, yaitu ide untuk dapat menghasilkan
12
K, Bryan, dkk, Do It Yourself A Handbook for Changing Our World, (London : Pluto Press, 2007), h. xii.
13
En.m.wikipedia.org/wiki/Do_it_yourself Juni 2015, 15.30 WIB
14
En.m.wikipedia.org/wiki/Do_it_yourself Juni 2015, 15.30 WIB
15
“Riot grrrl”, merupakan zine (majalah yang diterbitkan secara pribadi) oleh Kathleen Hanna dan Tobi Vail.
Riot grrl sangat dekat dengan gerakan feminis, pengakuan keberadaan lesbian, dll.
16
S. Kuznetsov & E. Paulos, “Rise of the Expert Amateur: DIY Projects, Communities, and Cultures”, hlm 1.
16
A, Spencer, DIY The Rise of Lo-Fi Culture, h. 59.
mendistribusikan ide dan seni tanpa interferensi dari pihak lain, merupakan ide utama
di dalam punk. 17 Menarik untuk disimak bahwa etika DIY merupakan perlawanan
terhadap budaya yang umum, politik yang berkuasa, kekuatan ekonomi, media dan
sektor lain. Saat ini budaya DIY merefleksikan antikonsumerisme, pemberontakan dan
kreativitas, mensupport ideologi dimana orang dapat membuat daripada membeli
yang mereka inginkan.18
3. Media-produk
Melihat dari definisi dari DIY, nampaknya DIY sendiri sebenarnya ideologi
dari sebuah budaya populer, sehingga media dari DIY sendiri dapat bermacam-
macam. Misalnya zine yang memakai media majalah sebagai medianya (saat internet
muncul peranan blog mulai mengeser zine). Kemudian musik indie yang memakai
musik sebagai media. Dengan kemunculan internet, internet seolah menjadi media
yang sangat menguntungkan bagi DIY. Hal tersebut karena internet sendiri
menyediakan kebebasan dalam menyampaikan informasi. Kemungkinan untuk
adanya sensor sangat terbatas. Selain internet sebagai media, internet dapat juga
sebagai perekat didalam komunitas DIY (sebelum internet seperti saat ini, distro
sebagai tempat bertemu dalam komunitas DIY). Di dalam internet ada berbagai
komunitas DIY, yang mempunyai segemen DIY tersendiri, misalnya Instructables,
Dorkbot, Adafruit, Ravelry, Craftster, Etsy, dll.
Seperti yang disampaikan diatas, bahwa DIY sebenarnya merupakan ideologi
didalam sebuah budaya, maka produk dari DIY dapat bermacam-macam. Misalnya
metode perbaikan sebuah alat, aplikasi komputer, buku, majalah, t-shirt, pin, dll.
4. DIY di Indonesia
Perkembangan DIY di Indonesia, dapat terdeteksi dari komunitas film indie.
Meskipun film indie sebelum era reformasi sudah ada, namun dengan adanya
reformasi film indie mempunyai kesempatan untuk muncul. Gatot Prakosa menyebut
film tersebut sebagai “side-stream”. 19 Beberapa contoh film tersebut adalah film
Kepada yang terhormat titik 2, yang diproduksi oleh Dimas Jayasrana and Bastian,
mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman. Antara 1999 and 2001, dalam atmosfer
reformasi terlihat adanya kebebasan yang tidak terbatas, membuat film menjai
aktivitas yang sangat populer di Indonesia. Kemudian ada forum komunitas yang
17
Ibid, h. 64,65.
18
Stacey Kuznetsov & Eric Paulos, “Rise of the Expert Amateur: DIY Projects, Communities, and Cultures”,
diunduh, hlm 1
19
Katinka van Heeren, Contemporary Indonesian Film_ Spirits of Reform and Ghosts From the Past h. 51.
bernama “mafin” yang merupakan singkatan dari “makhluk film independen”.
Kelompok ini mendistribusikan filmnya dengan caranya sendiri, lewat festival film
independen, melihat adanya batasan waktu mereka membentuk forum tersendiri untuk
bertukar pandangan tentang film dengan internet dan melakukan pertemuan secara
teratur. Beberapa film lain adalah “Dunia kami, duniaku, dunia mereka” oleh Adi
Nugroho, “Kameng gampoeng nyang keunong geulawa” oleh Aryo Danusiri, dll.20
Menarik juga untuk disampaikan adalah bermunculan situs penjulan online di
Indonesia yang meng-akomodasi kebutuhan DIY di segmen elektronik, misalnya
Digiware.com, Indoware.com, Prasimax.com dengan situsnya mikron123.com,
Indotronic.com, Innovaticelectronic.com. Kesemuanya situs tersebut menjual produk
yang berhubungan dengan DIY dengan single-board-computer.
5. Kritik terhadap DIY
Melihat dari berbagai hal diatas nampaknya DIY mempunyai banyak hal yang
positif, namun ada juga yang dapat dikritisi. DIY pada dasarnya merupakan budaya
yang bergerak didalam keinginan manusia untuk bebas dalam berkarya, berbicara dan
menceritakan pada dunia apa yang telah dilakukannya. Seperti yang disampaikan oleh
Budiman, bahwa budaya massa mencari konsumen, pertama memberi kepuasan
kultural, kedua menjajikan hiburan kultural. Ketidakmampuan masyarakat untuk
membedakan kebutuhan real dari godaan kebutuhan semu yang ditawarkan oleh
budaya industri melahirkan banyak implikasi sosial dan kultural yang sangat
kompleks.21 Pada point inilah konsumerisme masuk. Budaya DIY-nya sendiri tidak
bermasalah namun “keinginan” yang bermasalah. Contoh yang paling mudah adalah
bermuncul-lan situs online yang menawarkan perangkat untuk ber-DIY. Hal ini tentu
paling mudah ditemukan pada DIY, yang berhubungan dengan teknologi tinggi,
dimana pelaku DIY hanya dapat memakai bahan yang merupakan bahan semi-raw
material. Contohnya adalah single-board-computer murah, yang pelaku DIY kadang
terjerumus kepada keinginan untuk mencoba, mengumuli, mengembangkan aplikasi
dari single-board-computer murah tersebut yang pada dasarnya mungkin tidak
dibutuhkan. Salah satu contoh cara yang dipakai oleh produsen single-board-computer
murah adalah kompetisi untuk membuat aplikasi dari single-board-computer murah
dari produknya.

20
K. Heeren, Contemporary Indonesian Film Spirits of Reform and Ghosts From the Past, hlm 52-55.
21
H, Budiman, Lubang Hitam Kebudayaan, h. 248.
III. Pendekatan-Pendekatan Teologis terhadap Kebudayaan
Lynch mengembangkan pendekatan terhadap budaya populer dengan tiga
pendekatan author-focused, pendekatan text-based, dan pendekatan ethnographic/
audience-reception. Pendekatan author-focused tertarik kepada eksplorasi bagaimana
kepingan tertentu budaya populer merefleksikan latar belakang, personality, dan niat
tertentu dari author. Dengan pendekatan ini diasumsikan bahwa dengan memahami lebih
tentang author bisa didapat gambaran yang lebih jernih mengenai pusat makna dari
bentuk budaya populer yang dipelajari. Kedua text-base, mengeksplorasi bagaimana bisa
membaca makna “teks” budaya populer tanpa referensi dari orang yang membuatnya.
Pendekatan ini lebih kepada bahasa dan simbol budaya. Ketiga adalah pendekatan
ethnographic atau audience reception, yang berfokus kepada apa makna budaya populer
untuk orang-orang di dunia nyata. Termasuk didalamnya apa makna orang-orang melihat
film atau program TV tertentu, atau mengambil bagian di dalam aktivitas budaya populer
tertentu (berbelanja, berolah raga, dll). Untuk membantu dalam melakukan ketiga
pendekatan diatas Lynch, menyebut ada tiga metode kritik psikoanalisis, kritik ideologi,
dan kritik genre. Kritik psikoanalisis memakai konsep teori psikoanalisi untuk
menganalisa makna dan fungsi dari budaya populer. Kritik ideologi berbagi kepercayaan
yang sama bahwa budaya populer dibutuhkan dimulai dari teori dan titik budaya tertentu.
Kritik genre secara normal dipakai dalam hubungan dengan budaya populer. Asumsinya
adalah mengidentifikasikan dalam kategori sesuai dengan teks, dan kategori tersebut
berbagi karakteristik dasar dan konvensi dimana penulis dan audience tumbuh bersama.22
Berdasar apa yang telah disampaikan oleh Lynch, tampaknya pendekatan yang
penulis lakukan paling baik memakai pendekatan ethnographic/ audience reception,
dibantu oleh kritik ideologi (karena dari data yang penulis peroleh sudah muncul ideologi
yang ada di dalam DIY).

IV. Teologi yang dimunculkan oleh DIY


1. Gambar Allah
Dalam kisah penciptaan bisa dilihat bahwa Allah merupakan pencipta,
meskipun dalam beberapa pandangan “chaos” telah ada dan Allah melakukan

22
Gordon Lynch, Understanding Theology and Popular Culture (Oxforf : Blackwell Publishing, 2005) 112-117.
23
modifikasi “chos” tersebut, namun hal jelas adalah Allah menciptakan melalui
firman. 24 Terlepas dari pertentangan tersebut yang jelas Allah telah berkarya secara
bebas.
Berangkat dari berbagai batasan DIY yang disampaikan oleh dalam bab 2,
nampak bahwa kebebasan untuk mencipta, berbicara, memodifikasi atau memperbaiki
tanpa adanya pengaruh dari luar secara mandiri adalah suatu yang diperjuangkan dan
diimpikan oleh para pelaku DIY. Jika dipersingkat yang diperjuangkan oleh para
pelaku DIY, adalah ide dan melakukan ide tersebut. Dari sini bisa dilihat bahwa
gambar Allah yang cocok dalam konsep DIY, adalah Allah adalah ide yang berkarya
secara bebas.
2. Konsep Manusia didalam DIY
Didalam DIY manusia dipusatkan kepada ide yang dimilikinya dan kemapuan
untuk melakukan ide tersebut. Hal ini secara jelas disampaikan oleh Spencer yang
menekankan bahwa aspek terpenting dari menciptakan budaya secara individual
adalah kemampuan untuk DIY. Manusia dianggap manusia, adalah ketika tidak
kehilangan daya untuk punya ide sekaligus melakukan idenya tersebut. Di dalam
Kekristenan, manusia diidentikan ciptaan yang segambar dengan Allah.25 Jika gambar
Allah di dalam konsep DIY adalah ide yang berkarya secara bebas, maka demikian
juga manusia, mempunyai kemampuan tersebut. Tentu saja ide tersebut tidak selalu
diidentikan dengan sesuatu ide yang besar, ide yang sederhana dan dapat dilakukan
sudah mencukupi untuk memberikan eksistensi kepada diri manusia. Karya ini tentu
saja juga tidak berarti menghasilkan sesuatu, namun juga berupa kata yang juga bisa
dilihat sebagai karya manusia.
3. Kejahatan / Evil
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, bahwa DIY merupakan bentuk
perlawanan terhadap segala hal yang mencoba menentang seseorang untuk berkarya
secara bebas. Pada tahap ini tentu pertanyaannya adalah kebebasan seperti apa?
Kebebasan di dalam DIY pada akhirnya bisa dilihat ketika kebebasannya tidak
menggangu kebebasan orang lain, sehingga kebebasan orang lain, tidak juga terbatasi.
Perilaku kejahatan adalah ketika kebebasan yang diinginkan, mencoba masuk keruang
kebebasan orang lain. Karena itulah etika DIY selalu melawan kekuasan yang terlalu

23
Kej 1:2.
24
Kej 1:3.
25
Kej 1:27.
besar, didalam bab 2, Ryan Moore dan Michael Roberts sudah memberikan contoh
beberapa perlawanan terhadap kejahatan di dalam konsep DIY.
Di dalam Alkitab, Tuhan Yesus, telah memberikan hukum Kasih, salah
satunya adalah “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”,26 disini dapat
dilihat bahwa ada kesamaan konsep, bahwa batasan untuk kebebasan, dibatasi hukum
kasih. Ketika seseorang mau berada dalam kebebasan (mengasihi diri sendiri), dia
juga harus melihat bahwa orang lain juga membutuhkan kebebasan seperti dirinya
(mengasihi orang lain). Karena itu ketika ada kekuasaan yang mencoba menekan
kebebasan maka dilakukan perlawanan. Hal yang menarik adalah perlawanan yang
dilakukan tidak bersifat fisik, tetapi berupa perilaku-perilaku yang menolak
kemapanan yang ditawarkan oleh penguasa, misalkan saja menolak terhadap produk-
produk yang umum dengan DIY dan membentuk komunitas yang punya ideologi yang
sama. Perlu juga diperhatikan bahwa DIY tidak selalu identik dengan punk, tetapi juga
berbagai orang dengan berbagai status, hal ini bisa dilihat pada penelitian yang
dilakukan oleh Kuznetsov.
4. Keselamatan dan Surga
Dalam konsep DIY, keselamatan dipahami pada kebebasan dalam berkarya itu
sendiri. Ketika seseorang bisa bebas berkarya itulah saat seseorang dapat menikmati
keselamatan. Ini artinya bahwa keselamatan harus diperjuangkan karena pada
manusia perlu untuk melakukan seuatu agar dapat berkarya, disatu sisi jika melihat
ide untuk berkarya itu berasal dari Allah (lihat penjelasan tentang hal ini di bagian
Eklesiologi) maka ada dua pihak yang bekerja sama, yaitu Allah dan manusia itu
sendiri.
Dalam konsep DIY, surga dipandang adalah saat semua manusia bisa berkarya
secara bebas, karena itu meski ada sekelompok orang bisa berkarya secara bebas,
namun ada kelompok lain yang belum bebas, maka kelompok tersebut akan
melakukan perlawanan agar kelompok lain juga bisa bebas untuk berkarya.
5. Eklesiologi – berbagi ide – Gereja DIY
Untuk menemukan bentuk gereja yang berkonsep DIY, penulis akan
mendasarkan dari penelitian yang dilakukan oleh Kuznetsov.27 Berikut data-data yang
penulis peroleh dari penelitian yang dilakukan Kuznetsov. Kuznetsov menuliskan

26
Matius 22:39.
27
S. Kuznetsov & E. Paulos, “Rise of the Expert Amateur: DIY Projects, Communities, and Cultures”, hlm 1.
beberapa pendapat partisipan di dalam surveynya. Salah satu partisipan
menyampaikan :
“One of the benefits of being involved in more than one DIY community is to be
able to [ex]change ideas with so many different persons, with different technical,
artistic and professional backgrounds.”
“Each has its own 'personality,' for example, one is more a group of friends who
happen to knit, so we do it together. From that group, I get not only knitting
support and advice, but life advice and companionship… As for an online
community (Ravelry), that’s just a window into the entire world… I get new,
different, fancy, fun, perspective, enlightenment.”
Didalam komunitas DIY, sendiri ada ruang untuk bertanya jawab untuk saling
membantu, berikut beberapa alasan kenapa seseorang mau menjawab pertanyaan yang
diajukan di dalam komunitas DIY, ada beberapa jawaban :
“By responding, I have also gotten feedback on what I posted, and in at least 2
cases, was able to correct technique that (it turns out) I was doing wrong.”
“It’s like that saying that you learn more by teaching and sharing with others.
Every time I pass on a little bit of information to someone else, it helps to ingrain
that knowledge in my head, even spur on a desire to learn more.”
“the other reason I respond to questions/comments is that my approach may help
someone else.”
“to pass on a little bit of wisdom or knowledge.”
Selain berkontribusi dalam menjawab pertanyaan, dalam komunitas DIY juga
ada kontribusi dalam sebuah proyek tertentu, berikut alasan yang muncul :
“Working alone allows you full expression of your individual creativity. Sharing it
with other people with similar interests can provide constructive criticism from people
who understand what you want to do.”
Ada beberapa alasan yang muncul dalam berinteraksi antar partisipan didalam
komunitas DIY, yaitu :
“My in-person meetings are with friends that share my interests, not strangers. It provides a
chance to socialize while sharing an interest.”
“When I get to meet an individual that I've talked to online in-person, it really helps me to
put a face to the name!”

Dari berbagai jawaban diatas, nampak berbagi ide merupakan kunci dari relasi
didalam komunitas DIY yang sekaligus menjadi kunci identitas DIY. Sementara, itu
menolong orang lain ketika ada masalah di dalam suatu proyek, juga merupakan
sebuah cara untuk membagikan ide yang dimilikinya untuk membantu orang lain.
Disatu sisi juga ada kesadaran bahwa ide yang dimilikinya terkadang tidak sempurna
sehingga kebutuhan akan ide lain untuk membantu juga muncul.
Dalam Kisah Para Rasul 2:41-47, bisa dilihat bahwa jemaat pertama (yang
merupakan gereja mula-mula) juga memiliki beberapa kesamaan konsep dengan
komunitas DIY. Didalam komunitas DIY orang saling berbagi ide, saling menolong
dalam menghadapi masalah sekaligus berinteraksi secara sosial. Dalam ayat 42,
dikatakan bahwa “….., mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan
berdoa.”, dalam ayat ini bisa dilihat bahwa roti merupakan perlambang dari tubuh
Kristus, didalam DIY, tubuh Kristus bisa diidentikan dengan ide yang tidak akan ada
habisnya meskipun dibagi. Didalam ayat 42, juga disampaikan “Mereka bertekun
didalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan…”Dalam komunitas DIY tentu
tidak ada rasul-rasul, namun keberadaan ide yang dibagikan itu sendiri merupakan
pengajaran yang tidak terbatas karena merupakan tubuh Kristus. Menarik untuk
diperhatikan bahwa di dalam penelitian yang dilakukan Kuznetsov lebih banyak
didominasi oleh wanita sebanyak 2287, laki-laki 186 orang, dan 11 orang transgender.
Dari sini bisa dilihat bahwa dalam komunitas DIY tidak membatasi dengan pertanyaan
“siapakah anda”, dan dalam penelitian tersebut, juga terdapat orang berbagai dengan
tingkat pendidikan yang berbeda-beda. Disini bisa diperhatikan bahwa di dalam
gereja yang berkonsep DIY tidak membedakan status seseorang, setiap orang bisa
berbagi dan membagikan idenya.
Dalam ayat 46, “…..dengan sehati…”, didalam DIY sehati dipahami sebagai
kesamaan ketertarikan, seperti yang disampaikan oleh salah seorang partisipan “….
My in-person meetings are with friends that share my interests, not strangers…”,
disini bisa diperhatikan kesamaan ketertarikan didalam gereja berkonsep DIY adalah
terhadap ide itu sendiri atau Kristus itu sendiri. Dan hal yang menarik adalah ide
tersebut tidak hanya sebagai teori namun dihidupi dan akhirnya ide tersebut
dikerjakan.
Dalam Gereja yang berkonsep DIY, sangat jelas bahwa misi dari keberadaan
gereja adalah membagikan ide untuk menolong orang lain. Hal dapat dilihat pada
realitas, bahwa ide yang ada didalam situs-situs DIY, tidak dikunci / dinikmati oleh
komunitas DIY itu sendiri, namun juga dapat dilihat oleh orang lain yang bisa jadi
bukan bagian dari komunitas DIY, inilah misi utama dan fungsi gereja dengan konsep
DIY. Berbagi ide ini tidak hanya berarti menolong dengan memberi, tetapi juga
berusaha mentransformasikan dari yang sebelumnya tidak bisa menjadi bisa. Dengan
banyaknya pilihan untuk melakukan satu tujuan, nampak bahwa gereja berkonsep
DIY, mencoba untuk menolong tidak hanya berdasar satu konteks saja, namun juga
mencoba menjembatani adanya perbedaan konteks. Hal ini terjadi ketika ada satu
anggota komunitas DIY kesulitan dalam mendapatkan material, anggota yang lain
mencoba memberikan saran untuk memakai material lain yang mungkin bisa dipakai
sebagai material pengganti.
Sebagai rumusan, gereja dengan konsep DIY, adalah gereja yang berdasar
pada kesamaan ketertarikan terhadap Kristus. Yang bermisi membagikan ide yang
merupakan tubuh Kristus untuk menolong orang, tanpa memandang status, sekaligus
berusaha mentranformasikan dan membebaskan orang yang ditolong secara
kontekstual ide/ tubuh Kristus itu sendiri.

V. Kesimpulan dan Saran

Dalam berbagai konsep diatas yang telah disampaikan diatas, tentu akan muncul
beberapa kritik yang dapat disampaikan, terhadap gereja dan jemaat:

1. Gereja perlu ber-DIY, tidak menyerahkan segala sesuatu kepada kaum profesional,
melihat ide-ide yang dimiliki jemaat sekaligus memberikan kesempatan berkarya
kepada jemaat dalam pelayanan tanpa memandang status sosial.
2. Gereja perlu untuk melakukan perlawan (tidak secara fisik), ketika ada pihak yang
kebebasannya dalam berkarya di tekan.
3. Gereja perlu mengembangan metode praktis yang dapat membantu orang, sekaligus
transformatif dalam pelayannya.
4. Jemaat perlu mengembangkan berbagai keahlian dan aktif dalam pelayannan sebagai
bagian dari komunitas.
References

[1] Alkitab ITB LAI 1971, 2004.


[2] Budiman H., Lubang Hitam Kebudayaan (Yogyakarta : Kanisius, 2002).
[3] Bryan, K,. dkk, Do It Yourself A Handbook for Changing Our World, (London : Pluto
Press, 2007).
[4] Dicky S., dan Mega., H, 2013, Religion and Television in Indonesia: Ethics Surrounding
Dakwahtainment. Geneva: Globethics.net.
[5] Foege, A., The tinkerers : the amateurs, DIYers, and inventors who make America great,
(New York : Basic Books, 2013).
[6] En.m.wikipedia.org/wiki/Do_it_yourself diakses 5 Juni 2015, 15.30 WIB
[7] Kuznetsov S. & Paulos E., “Rise of the Expert Amateur: DIY Projects, Communities, and
Cultures”, diunduh dari cdn.makezine.com/uploads/2010/11kuznetsovdiy.pdf, Jumat
5 Juni 2015.
[8] Lynch, Gordon., Understanding Theology and Popular Culture (Oxforf : Blackwell
Publishing, 2005).
[9] Heeren, K. van, Contemporary Indonesian Film Spirits of Reform and Ghosts From the
Past (Oxforf : Blackwell Publishing, 2005).
[8] Spencer, A., DIY The Rise of Lo-Fi Culture, (London : Marion Boyars, ).

Anda mungkin juga menyukai