Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN

PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA

DISUSUN OLEH :

1. Dani Daffa Muhammad


2. Dimas Bagus Alfrianto 11518954
3. Nuha Nuradilah
4. Oktaf Fitriani
5. Ronny Pratama Simbolon 16518364
6. Septi Qoori Damayanti

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS GUNADARMA

2021
A. Etnis Batak
1. Sejarah Etnis Jawa
Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki banyak suku. Menurut data
dari BPS terdapat 1331 kategori suku di Indonesia.1Salah satu bentuk dan
keragaman suku tersebut adalah suku Batak Toba. Batak Toba adalah satu
dari enam subetnis Batak—dari suku lainnya yaitu, Batak Karo,
Simalungun, Angkola, Mandailing, Pakpak Dairi, dan Nias—yang
menarik untuk diungkap. Sejarah penggunaan istilah “Batak”untuk
penamaan suku tersebut hingga sekarang belum diketahui secara jelas. Ada
beberapa pertanyaan dan pendapat yang muncul tentang hal ini. Sebutlah
misalnya apakah nama itu muncul setelah datangnya kelompok migran di
tanah Batak atau pada awalnya ada kelompok mereka sudah mempunyai
nama suku yang disebut dengan “Batak” dari asal mereka, atau nama
“Batak”itu sendiri setelah munculnya Siraja Batak. Ada juga pendapat
mengatakan istilah “Batak”berasal dari kata “bataha”yaitu nama sebuah negeri
di Burma. Berdasarkan informasi tersebut selanjutnya orang Batak bergerak
ke arah kepulauan Nusantara. Kata “bataha”kemudian beralih menjadi kata
“batak”. Menurut mitologi Batak, asal mula suku Batak berasal dari tanah
Batak, tepatnya dari Pusuk Buhit,sebuah gunung yang terletak di pinggiran
sebelah barat Pulau Samosir. Pulau ini ber-ada di tengah-tengah Danau Toba
yang kini terkenal sebagai tujuan wisata. Secara administrasif kawasan ini
masuk dalam wi-layah Sumatera Utara. Daerah Batak dibuat menjadi sebuah
kabu-paten yaitu Kabupaten Tapanuli Utara,ibukotanya Tarutung. Dalam
mitos tersebut disebutkan manusia yang pertama ialah Si-raja Ihat Manisiadan
Siboru Ihat Manisia. Dari perkawinan me-reka lahirlah tiga orang anak yang
bernama Raja Miokmiok, Patundal Nibegu danAji Lapaslapas. Raja
Miokmiokmempunyai satu orang anak yang bernama Eng Banua.Selanjutnya
Eng Banuamempunyai tiga orang putra, yakni Raja Aceh, Raja Bonang-
bonang danRaja Jau. Raja Bonang-bonangmempunyai seorang anak tunggal
yang bernama Guru Tantan Debata. Guru Tantan Debatabergelar Umpu Raja
Ijolmamempunyai putra tunggal yang bernama Siraja Batak,dan Siraja
Batakmempunyai dua orang putra yang bernama Guru Tatea Bulandan Raja
Isumbaon. Menurut kajian sejarah Siraja Batak inilah yang menjadi ne-nek
moyang orang Batak. Dia merupakan peletak dasar permulaan sejarah suku
Batak. Salah satunya adalah bahasa dan tulisan atau aksara (huruf Batak).
Keturunan Siraja Batakkemudian berkembang semakin banyak melalui jalur
kedua orang anaknya Tatea Bulandan Isumbaon. Pada generasi kelima dan
keenam sesudah Siraja Batakmulailah ada marga-marga yang sekarang ini
diketahui sudah puluhan marga.
Sastra lisan baik genre prosa maupun puisi dapat dijumpai hampir di seluruh
daerah, termasuk di daerah Batak Toba. Namun dewasa ini mulai menunjukkan
gejala perubahan yang mengkhawatirkan yaitu ketidakpedulian masyarakat
terhadap keberadaan sastra lisan. Sastra lisan hanya dipandang sebagai kisah-
kisah yang tidak masuk akal dan berada di luar jangkauan akal sehat. Hal ini
tentu saja menjadi ancaman terhadap eksistensi sastra lisan dalam kehidupan
masyarakat (Nurelide, 2006:15).
Mite (myth), legenda (legend), dan dongeng (folklor) merupakan genre
prosa rakyat yang pernah hidup dalam mayarakat Batak Toba. Mite merupakan
cerita lama yang sering dikaitkan dengan dewa-dewa atau kekuatan-kekuatan
supranatural yang melebihi batas kemampuan manusia yang diungkapkan secara
gaib dan dianggap suci. Legenda merupakan cerita prosa rakyat yang dianggap
oleh empunya cerita sebagai suatu kejadian yang benar-benar terjadi (James
Danandjaja, 1997:66). Sebagian individu dalam masyarakat masih mempercayai
legenda sebagai penuntun hidupnya.
Legenda Namartua Limang merupakan salah satu cerita lisan yang dimiliki
oleh masyarakat Batak Toba di Urat, Desa Suhutnihuta Pardomuan, Kecamatan
Palipi Kabupaten Samosir. Namartua Limang merupakan sebuah situs
bersejarah bagi orang Batak Toba, khususnya bagi keturunan Toga Pandiangan
yang hingga kini masih diyakini masyarakat Samosir khususnya keturunan Toga
Pandiangan. Legenda Namartua Limang mengisahkan bagaimana berdirinya
Namartua Limang, sebuah daerah tempat penyimpanan padi-padi berupa
gundukan milik Raja Parhutala yang kaya raya, keturunan Toga Pandiangan
yang berubah rata menjadi tanah (dikisahkan oleh R. Br.Pandiangan, keturunan
Toga Pandiangan). NamartuaLimang sesuai dengan pemberian nama yang
diamanatkan oleh Ayah Raja Parhutala yaitu Guru Solondason.
B. Materi
1. Intelegensi Umum
Banyak psikolog lintas budaya (seperti Vernon dan Irvine) yang
mengemukakan pengertian inteligensi umum dengan memakai sebuah perangkat
yang lebih terdiferensiasi dari pengalaman - pengalaman budaya untuk
memperhitungkan ragam kinerja tes inteligensi. Bagi Vernon , faktor ini
termasuk: pengalaman persepsi dan kinestetik, stimulasi beragam iklim keluarga
yang "menuntut" tapi"demokratik", stimulasi konseptual dan linguistik ,
ketiadaan keyakinan magis, toleransi terhadap non konformitas dalam keluarga,
keteraturan sekolah dan berlanjut, konsep diri yang positif, minat-minat budaya
yang luas dan pengisian waktu luang lain yang menawarkan beragam
pengalaman.
Irvine (1983), dalam analisis pengaruh ubahan-ubahan "non tes" (ubahan
yang tidak dicakup sebagai bagian tes sebenarnya) pada kinerja tes inteligensi,
membagi ubahan - ubahan ke dalam kategori: penyimpulan rendah (dou-
inferemce) dan penyimpulan tinggi higb-infereme). Ubahan-ubahan
penyimpulan rendah, ubahan harus mengandung suatu hubungan yang lebih
jelas dan langsung antara kinerja tes dan ubahan penjelas yang diusulkan
(seperti praktek, caaching, insentif, berbau sekolahan, kualitas sekolah).
Ubahan-ubahan penyimpulan tinggi, ubahan dituntut memiliki loncatan yang
lebih besar untuk mengaitkan kinerja tes terhadap sebab yang dianggapkan
(seperti etnisitas, status sosioekonomik, gemder, dan tekanan ekologis). Menurut
Irvine, pandangan ini menunjukkan, dalam negara-negara industri, ubahan-
ubahan penyimpul-rendah memiliki pengaruh kecil, tetapi ubahan-ubahan
penyimpul-tinggi memiliki pengaruh lebih terartikulasikan pada skor tes.
Namun, karena alasan yang belum diketahui, di banyak negara dunia ketiga
(terutama Afrika), pola ini berlawanan. Karena perbedaan pola ini, perlu
dihiporesiskan ubahan-ubahan antar Kognisi yang secara konseptual dan
operasional berbeda dalam kajian lintas-budaya.Menyimak kembali kerangka-
kerja ekokulrural sebuah faktor yang belum disebut: akulturasi. Satu alasan
yang mungkin bagi skor-skor tes untuk berinterkorelasi dan menghasilkan suatu
faktor umum dalam kajian lintas-budaya, agaknya "a" (untuk menunjuk
akulturasi secara umum) lebih fundamental ketimbang "g". Pendidikan
(indikator yang sering dari akulturasi karena biasa merupakan sifat persekolahan
gaya Barat) telah ditemukan Vernon dan Irvine sebagai hal yang berperan dalam
penyebaran skor-skor tes inteligensi. Umum ditemukan "tahun-tahun sekolah"
dijadikan prediktor tunggal dari skor tes di banyak kajian. Maka masuk akal
untuk, dalam ketiadaan kendali statistik terhadap pengalaman akulturasi,
mempertimbangkan statistik terhadap pengalaman akulturasi,
mempertimbangkan koherensi skor tes yang mungkin tak disebabkan suatu
keseragaman "g" secara lintas-budaya, tetapi karena keseragaman "a". Oleh
karena itu, alasan menemukan suatu faktor tunggal dalam analisis tentang
kinerja tes kognitif mungkin tidak berada dalam aparatus kognitif seseorang,
tetapi disebabkan suatu pengalaman umum dari persekolahan formal bergaya
Barat.
2. Epistemologi genetik
Seperti pendekatan inteligensi umum, sumbangan teoretik Piaget meletakkan
anggapan tentang koherensi antara kinerja-kinerja kognitif ketika berbagai tugas
disajkan kepada individu. Tapi, berlawanan dengan pendekatan inteligensi
umum, empat taraf diajukan secara berturut (dengan struktur kognitif yang
melandasi), masing-masing silih berganti sejak seorang anak berkembang
(Piaget, 1972). Yang pertama dari inteligensi-inteligensi ini (sensorimotor) telah
dipaparkan dalam . Pandangan lintas budaya terhadap teori ini telah dilontarkan
Segall dkk. secara panjang lebar (1990). Oleh karena itu, dalam bab ini hanya
kami sajikan simpulan ringkas gagasan-gagasan dasar sambil menyertainya
dengan suatu pertimbangan tentang perkembangan terakhirnya (disebut "neo-
Piagetian" Dalam telaah perkembangan, seorang anak diandaikan melewati
taraf-taraf suatu sekuensi beraturan: sensorimotor, preopesional, operasional
kongkret, dan operasional formal. Pada tiap taraf, tampak "struktur kognitif" (di
tengah memasukkan struktur-struktur sebelumnya. Dua proses yang dilalui
perubahan ini ialah "asimilasi"(pengintegrasian unsur-unsur eksternal yang
baru) dan"akomodasi" (adaptasi struktur internal ke dunia eksternal yang sama
sekali baru).dalam taraf sensori-motor (diatas usia 2 tahun), anak berjumpa
realitas dengan cara-cara dasar melalui indera periferal dan aktivitas motorik.
Pada taraf operasional kongkret (dalam masyarakat industrial Barat sekitar usia
6 atau 7 tahun dan berlanjut sampai sekitar pubertas) anak dapat melakukan
tugas-tugas, sangat dikenal dengan "konservasi" yang mengandung
"reversabilitas pemikiran. Di antara kedua taraf ini (usia 2 hingga 6
tahun),terdapat masa preoperasional. Selama masa ini, anak mulai
mengorganisasikan dunia gagasan. Sedangkan taraf operasional formal (sesudah
pubertas) merupakan masa munculnya kapasitas untuk menerapkan penalaran
hipotetis Kognisi dan pemikiran ilmiah. Sementara kinerja berbagai tugas pada
suatu taraf diperkirakan berkaitan satu sama lain terdapat, entah apa, beberapa
penjenjang an temporal (disebut borizomtal decalages) dari kinerja. Contoh,
konservasi kuantitas yang biasa tampak sebelum berat dan berat sebelum
volume.Dengan memperhatikan faktor anteseden perkembangan kognitif, Piaget
(1966) mengajukan empat kategori. Pertama, faktor biologis, terletak pada dasar
kematangan sistem saraf dan tak berkaitan (dalam pandangan Piager) dengan
faktor sosial atau budaya. Kedua, faktor equilibrasi, melibatkan otoregulasi yang
berkembang sebagai organisme biologis, berinteraksi dengan lingkungan
fisiknya. Bagi Piaget, faktor ini mungkin juga tak bersinggung an dengan
lingkungan sosial seseorang. Yang ketiga, faktor sasial, faktor yang berlaku
umum pada semua masyarakat (bandingkan "prasyarat fungsional yang harus
dipenuhi untuk keberlangsungan suatu masyarakat funtional prernquisites
tosociery}" Sementara faktor ini menyertakan lingkungan sosial, bagi Piaget,
faktor itu tampak tak ber-variasi secara lintas-budaya. Yang keempat ialah
faktor penyebaran budaya yang sangat beragam secara lintas-budaya,termasuk
pendidikan, peradaban, dan institusi. Jika Piaget benar, hanya faktor terakhir
yang lebih tepat dicakup pada karena ketidak beragaman yang dihi-potesiskan
ketiga faktor pertama tak dapat diperhitungkan sebagai keberagaman lintas-
budaya dalam kinerja kognitif Saling-silang lintas-budaya terjadi begitu kaya
dan kontroversial. Hal ini juga telah ditelaah berulang kali . Kepentingan kita
ialah membuka mata, telah berlangsung peralihan epistemologis dalam
psikologi lintas-budaya yang di pahami karya Piaget. Kita secara khusus akan
menegaskan beberapa keuntungan, yang dinamakan teori-teori "neo-Piagetian"
telah menjelajah berbagai versi ortodoks teori Piaget ketika teori ini
mempertimbangkan diversitas budaya dalam hitungannya Selain referensi yang
terruju ke suatu teori tunggal, paling sering ke seperangkat tugas yang lebih
terbaku, psikologi Piagetian tak mengalami taraf penelitian homogen yang lebih
lama. Tradisi "ortodoks" cenderung mengikuti suatu orientasi para absolutis.
Mereka menempatkan taraf dan batasan tentang akhir perkembangan sebagai
hal yang berlaku di mana pun, dengan menaruh sedikit perhatian terhadap
kesahihan budaya wacana penaksiran. Piaget sendiri bersikukuh pada
ketaktergugatan teori itu meski ia amat peduli (Piaget, 1966) terhadap
kebutuhan tes-tes empirik lintas-budaya. Dalam teori Piagetian ortodoks,
biasanya tidak ada upaya memasukkan perbedaan-perbedaan budaya dalam
perhitungan. Teori itu berkutat pada suatu materi "epistemik", sering tak
bertegur-sapa dengan keberadaan anak yang memang "nyata duniawi". Taraf-
taraf di-definisikan dengan struktur memusat, menggiring ke pengharapan yang
terlalu condong ke arah "tingkatan-tingkatan perkembangan", tak seperti dalam
"inteligensi umum.Pendekatan Piagetian yang absolutis telah berulang kali
dikritik, terutama karena tafsiran tentang perbedaan budaya berada
mengukuhkan suatu sekuensi perkembangan baku. Tafsiran ini, boleh jadi,
dengan mudah menggiring ke arah penilaian-penilaian berdasarkan sebutan
seperti "keterbelakangan" atau "defisit" menurut norma Barat yang etnosentris
dan berorientasi pada kelas menengah mengajukan argumentasi, tidaklah perlu
mempertalikan sekuensi perkembangan dengan putusan pernilaian jika kerangka
kerja ekokultural digunakan sebagai suatu paradigma pedoman. Tiap wacana
yang adaptif memiliki patokan sendiri untuk berkembang.Penelitian lintas-
budaya yang menggunakan paradigma ini sampai pada simpulan, faktor
ekologis dan budaya tidak mempengaruhi sekuensi taraf-taraf itu, tetapi pada
kecepatan pencapaian taraf-taraf itu (Dasen, 1972). Perbedaan budaya diharap
terjadi pada tingkat kinerja (kulit luar) untuk konsep yang dinilai secara budaya
(dalam hal ini diperlukan adaptasi dalam suatu latar ekokultural tertentu) dan
pada tingkat (lebih dalam) kepiawaian untuk konsep yang tak dinilai. Penelitian
yang menggunakan teknik-teknik pelatihan (Dasen, Ngini, & Lavallée, 1979)
telah menunjukkan, asimptor (aympeate) dalam kurva perkembangan
(peningkatan-peningkatan yang seolah tampak dalam perolehan beberapa
konsep operasional kongkret) biasanya merupakan fenomena kinerja yang tak
tampak dalam banyak kasus setelah pengujian ulang dan sejumlah sesi
pelatihan.Kaitan antara wacana ekokultural dan keluaran kinerja perkembangan
dimapankan dengan konsep enkultrurasi dan praktek-praktek sosialisasi selama
bayi dan kanak-kanak.
3. Konteks budaya

Di Setiap individu dalam sistem sosial menempati sebuah posisi yang


diharapkan mempunyai perilaku diterima yang disebut peran. Setiap pemegan
peran jika tidak dilakukan dengan benar memiliki sanksi-sanksi yang
berpengaruh agar individu berperilaku berdasarkan norma atau bakuan sosial.
Terkadang peran tersebut memiliki hirarki. Jika terdapat suatu hirarki pada
peran tersebut maka strukturnya adalah vertical yang dapat disebut
terstratifikasi.

4. Konformitas

Istilah konformitas berasal dari kata comformity yang artinya adalah bentuk
penyesuaian orang pada tekanan sosial yang nyata atau yang dibayangkan.
Obedience merupakan bentuk penyesuaian yang terjadi ketika orang mengikuti
perintah langsung, biasanya dari seorang yang memiliki otoritas. Menurut
Weiner (2003) Konformitas adalah sebuah fenomena yang biasanya termasuk
sebagai bukti mentalitas seperti kawanan. Fenomena ini memungkinkan orang
untuk mengoordinasikan pemikiran mereka dengan efisien dan mencapai
persetujuan sosial yang diperlukan untuk melakukan tindakan kolektif. Tekanan
dari kelompok biasanya menjadi pendorong. Tekanan untuk seragam selalu ada
dalam kelompok dan dibawa sebagai beban oleh individu sehingga seiring
waktu, individu akan cenderung menyesuaikan diri dengan pendapat dan pola
perilaku anggota kelompoknya.

5. Nilai
Menurut Berry (1999) nilai merupakan suatu konsep yang dipegang teguh
individu atau anggota kelompok secara kolektif mengenai sesuatu yang
diharapkan dan berpengaruh terhadap pemilihan cara maupun tujuan tindakan.
Nilai merupakan ciri dari individu atau masyarakat yang stabil dan berkatian
dengan kepribadian dan pencirian budaya.

Terdapat dua pendekatan yang dikenal luas untuk mengkaji nilai. Pendekatan
ini dibuat oleh Kluckhohn. Pendekatan rokeach mengembangkan dua perangkat
yaitu nilai terminal dan nilai instrumental. Nilai terminal dibatasi sebagai
keberadaan akhir eksistansi yang diimpikan dan nilai instrumental adalah tata
cara berperilaku yang digunakan untuk mencapai keberadaan akhir.

6. Kolektivitas dan individualism

Usaha untuk memahami negosiasi secara lebih sistematis dalam budaya-


budaya yang berbeda menuntut kita untuk lebih mengacu kepada konsep
individualism dan kolektivisme. Sesuatu yang diharapkan dalam budaya
individualism, negosiator semestnya melihat cara negosiasi sebagai prioritas
utama mencapai kesepakatan atau persetujuan yang berdasarkan pada
tuntutantuntutan yang logis dari tugas yang harus diselesaikan pada waktu itu.
Sebaliknya pada budaya kolektif negosiasi dititik beratkan pada kelanjutan
harmoni seteriusnya dalam hubungan mereka dengan kelompok lain.

7. Kognisi sosial

Menurut Morris (2006) Secara umum, kognisi sosial didefinisikan sebagai


proses kognitif yang melibatkan orang lain. Proses-proses ini dapat dilibatkan
dalam interaksi sosial di tingkat kelompok atau individual. Ketika kita
menggunakan istilah kognisi, kita mengacu pada mekanisme bawah sadar di
dalam pikiran yang menghasilkan representasi). Kita tahu misalnya bahwa
perspektif kita sendiri dan perspektif orang lain pada peristiwa yang sama bisa
sangat berbeda. Namun, ketika kita bertindak dalam kehidupan sehari-hari, kita
sering harus menilai perspektif orang lain secara implisit, yang terkadang
mengarah pada salah tafsir atas tindakan orang lain sebagai penghinaan jika kita
tidak mengetahui sudut pandang yang berbeda.

Anda mungkin juga menyukai