Anda di halaman 1dari 458

OLIGARKI

DAN DEMOKRASI
Kajian Sumber Daya Kekuasaan
Kiai dan Jawara di Banten

i
UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

Ketentuan Pidana
Pasal 113

(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk
Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk
Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp
4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
ii
AHMAD MUNJIN

OLIGARKI
DAN DEMOKRASI
Kajian Sumber Daya Kekuasaan
Kiai dan Jawara di Banten

NUSA LITERA INSPIRASI


2018
iii
OLIGARKI DAN DEMOKRASI
Kajian Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara di Banten

Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Nusa Litera Inspirasi

Cetakan pertama Oktober 2018


All Right Reserved
Hak cipta dilindungi undang-undang

Penulis: Ahmad Munjin


Gambar sampul: Agus Sukoyo
Penata letak: NLi Team

OLIGARKI DAN DEMOKRASI


Kajian Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara di Banten
xxvi + 431: 14,5 cm x 20,5 cm
ISBN: 978-602-5668-55-5
Anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI)

Penerbit Nusa Litera Inspirasi


Jl. KH. Zainal Arifin
Kabupaten Cirebon, Jawa Barat
redaksinu@gmail.com
www.nusaliterainspirasi.com
HP: 0821-1976-9742/0857-1644-6889

Isi di luar tanggungjawab percetakan.

iv
KATA PENGANTAR

Segala puji milik Allah SWT. Dengan rasa penuh syukur,


penulis mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan
Program Magister (S2), di Sekolah Pascasarjana (SPs), Univer-
sitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang mene-
rapkan metodologi interdisciplinary. Saat dinyatakan lolos sebagai
mahasiswa SPs, muncul perasaan campur aduk, senang sekaligus
khawatir atas kewajiban yang dibebankan sebagai konsekuensi
menjadi mahasiswa pascasarjana. Namun demikian, peneliti sadar
bahwa menerima amanat ini merupakan salah satu wujud syukur
terhadap Yang Maha Kuasa. Salah satu pembuktiannya adalah de-
ngan menjalankan amanat menuntut ilmu sebaik-baiknya. Sebab,
secara spiritual, tugas penelitian ini bukan hanya berasal dari UIN
Jakarta melalui SPs, tapi juga dari Allah SWT melalui kitab suci
Alquran dalam ayat pertamanya diwahyukan yang berbunyi, iqra’.
Peneliti dan semua umat Islam tentu sangat bangga memi-
liki kitab suci yang ayat pertamanya diturunkan berisi perintah
riset tersebut. Peneliti berharap penelitian ini, Oligarki dan
Demokrasi: Kajian Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara di
Banten menjadi sebagian kecil dari pelaksanaan perintah iqra.
Sebagai salah satu noktah dari umat Islam, peneliti merasa
terpanggil demikian dan bercita-cita Islam benar-benar menjadi
agama yang rahmatan li al-'a>lami>n melalui pencapaian ilmu dan
sains tertinggi para penganutnya. Hasil penelitian ini diharapkan
membawa manfaat besar bagi kemajuan ilmu pengetahuan,
kemanusian, dan perkembangan demokrasi di Indonesia pada
umumnya dan di Banten pada khususnya.
Dalam proses penelitian, betapapun sederhananya tentu
merupakan hasil dari proses-proses yang justru tidak sederhana
dan melibatkan banyak pihak. Oleh karena itu, peneliti mengu-
capkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A.,
Rektor UIN Jakarta dan Prof. Dr. Masykuri Abdillah, M.A.,
v
Direktur Sekolah Pascasarjana yang telah memberikan suasana
dan sarana yang kondusif untuk pembelajaran di level pascasarjana
baik secara fisik maupun sistem. Terima kasih tak terhingga untuk
semua dosen SPs yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Prof.
Dr. Azyumardi Azra, CBE, M.A. yang telah mewanti-wanti pene-
liti untuk menghindari tema penelitian yang terlalu luas. Selain
untuk mempermudah juga untuk menghemat waktu, tenaga, dan
biaya penelitian.
Ali Munhanif, Ph.D, sebagai promotor penelitian ini yang
telah memberikan pencerahan bahwa pembatasan penelitian bukan
hanya pada ruang, waktu, dan lingkup penelitian, tapi juga teori
penelitian. Oleh karena itu, penelitian ini hanya fokus pada empat
sumber daya kekuasaan, yakni: koersif, jabatan resmi, hak politik
formal, mobilisasi, dan material. Yang disebut terakhir merupakan
sumber daya kekuasaan oligarkis sedangkan empat lainnya meru-
pakan basis kekuasaan elite dalam sistem demokrasi. Doktor Ali
juga, di tengah jadwalnya yang padat dan sibuk, tak henti-henti
mengkritisi isi penelitian ini. Dalam banyak diskusi bimbingan
dengan peneliti, Doktor Ali lebih banyak bersikap skeptis terha-
dap posisi penelitian ini terutama perihal oligarki yang sumber
daya kekuasaannya bukan material yang dinegasikan oleh pene-
litian ini.
Prof. Dr. Murodi, M.A. sebagai penguji Ujian Proposal
penelitian ini yang dengan tanpa kompromi menekankan penting-
nya untuk menghilangkan sikap tendensius dalam penulisan
ilmiah. Jika dibiarkan sikap tersebut akan menggerus kadar keil-
miahan sebuah karya. Apalagi jika penulisan yang tendensius itu
tidak dilengkapi dengan data-data. Kemudian, Prof. Dr. Salman
Harun, M.A. yang telah menyarankan kepada peneliti untuk
mengungkapkan teori oligarki secara jernih dan utuh sehingga
tuntas dan lengkap. Atas saran tersebut, peneliti mengungkapkan
teori oligarki mulai dari definisi, proses pembentukkannya yang
berbasis stratifikasi material, siapa oligark dan bagaimana oligar-
ki, rezim pertahanan harta, hingga efek oligarki, yakni ketidak-

vi
setaraan materi yang ekstrem menyebabkan ketidaksetaraan poli-
tik yang ekstrem pula.
Prof. Andi Faisal Bakti, M.A. Ph.D yang telah membe-
rikan terobosan metodologis dalam proses penelitian ini. Tero-
bosan dimaksud adalah proses menurunkan teori ke dalam konsep-
konsep yang ditemukan di lapangan penelitian. Metodologi yang
disodorkan Prof. Andi sangat berdaya guna dan aplikatif dalam
proses penelitian ini. J.M. Muslimin, M.A. Ph.D perihal teknik
penulisan terutama footnote. Lalu, Yusuf Rahman, Ph.D. yang
menekankan tentang aspek Islam dari penelitian ini sebagai pro-
gram studi pengkajian Islam dengan konsentrasi agama dan politik
yang disinpenelitiankan menjadi politik Islam.
Prof. Dr. Zulkifli, M.A., penguji Ujian Work in Progress
(WIP) I yang menyarankan pengemasan kembali oligarki dalam
perspektif Islam. Begitu juga Prof. Dr. Ahmad Rodoni, M.M.,
penguji II Ujian WIP I yang menyarankan pentingnya konsistensi
penulisan nama orang dalam teknik penulisan penelitian ini. Dr.
Kusmana, M.A. penguji I Ujian Work in Progress (WIP) II yang
telah menyarankan untuk melakukan abstraksi atas temuan pene-
litian ini. Temuan tersebut harus dibandingkan dengan temu-an-
temuan dalam tema-tema yang serupa dari para peneliti dan
akademisi lain. Begitu juga dengan Dr. M. Arief Mufraini, Lc.,
M.Si penguji II Ujian Work in Progress (WIP) II yang telah
memberikan saran tentang pentingnya melakukan abduction
dalam ilmu sosial di mana peneliti disarankan untuk keluar dari
kungkungan teori oligarki Jeffrey A. Winters. Doktor Arief me-
nyarankan untuk melakukan teorizing dari temuan-temuan di
lapangan—from nothing to teorizing.
Prof. Dr. Masykuri Abdillah, Ketua Sidang yang merang-
kap Penguji Ujian Pendahuluan atas sarannya untuk menambah-
kan teori demokrasi yang tampak kurang terlihat di bab II. Sebab,
peneliti terlalu fokus pada teori oligarki. Begitu juga dengan
pembatasan masalah yang sejatinya meliputi: konsep, tempat dan
waktu. Peneliti juga diminta untuk memberikan uraian yang jelas
mengenai term "pemberdayaan" dan "money politics" sehingga

vii
terlihat perbedaan dari keduanya. Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor,
M.A., sebagai Penguji I atas sarannya untuk berani "menabrak"
teks sehingga tidak terkooptasi olehnya. Peneliti juga dii-ngatkan
untuk menambah wawancara dengan informan. Begitu juga
dengan pengecekan kembali penggunaan bahasa Inggris dalam
penelitian ini. Peneliti juga diminta untuk memperkuat kembali
literature review. Peneliti diingatkan tentang banyaknya kata yang
berulang-ulang.
Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si.yang mempertanyakan riset
ini apakah mencakup isu-isu aktual, misalnya tentang posisi
penguasaan akses dengan masuknya Andika Hazrumy sebagai
Wakil Gubernur Banten saat ini. Peneliti disarankan untuk melihat
komparasi oligarki di zaman Tubagus Chasan Sochib dengan
oligarki yang diteruskan oleh keturunannya, seperti Ratu Atut
Chosiyah. Peneliti juga diminta untuk memiliki data tentang
bisnis keluarga Tubagus Chasan Sochib dan korelasinya dengan
kekuasaan di Banten. Intinya, Dr. Gun Gun menyarantkan untuk
update data, bangun logika dengan lebih koheren, dan perkuat
analisis terutama tentang asumsi yang berkembang di masyarakat
bahwa oligarki di Banten tidak dapat dipatahkan. Untuk itu,
alangkah baiknya jika uraian mengenai kekuatan ekonomi keluar-
ga Tubagus Chasan Sochib dibuat bagan.
Kepada Asep Muhammad Saepul Islam, sahabat setia
peneliti yang telah memberikan inspirasi tentang pencapaian
pengetahuan terdalam secara efektif, produktif dan tanpa lelah.
Aceng Abdul Qodir yang telah memberikan rujukan kitab-kitab
hadis dalam bentuk PDF. Kepada Abdul Aziz Nurizun yang telah
membantu kelancaran penelitian di Banten. Alimani yang telah
membawa peneliti lebih dekat dengan aspek budaya, politik, dan
ekonomi Banten. Peneliti telah ditemani mengunjungi kawasan
industri baja PT Krakatau Steel Tbk, industri kimia PT Chandra
Asri Tbk, dan energi listrik Pembangkit Listrik Tenaga Uap
(PLTU) yang menyuplai setrum untuk Jawa-Bali, Pelabuhan
Merak yang super sibuk di Cilegon yang menjadi salah satu basis
sumber daya kekuasaan material Provinsi Banten. Peneliti juga

viii
dibawa ke Masjid Agung Serang dan berziarah ke Makam Sultan
Maulana Hasanuddin dengan jutaan nilai historis di dalamnya.
Keesokan harinya, peneliti ditemani untuk wawancara dengan
pihak Badan Pusat Satitik (BPS) Provinsi Banten di Kota Serang.
Di atas semua itu, terima kasih atas sambutan, keramahtamahan
dan telah menjadi guide yang baik. Ali juga telah menjadi penutur
ulang sejarah jawara dan kiai yang baik.
Peneliti juga berutang budi kepada Prof. Jeffrey A.
Winters, Prof. M.A. Tihami, Syarif Hidayat, Leo Agustino, Abdul
Hamid dan Okomato Masaaki. Dengan segala kerendahan hati,
peneliti berani mengatakan, tanpa karya-karya mereka yang luar
biasa, karya ini mungkin tidak akan pernah ada. Secara khusus,
Profesor Jeffrey A. Winters, ilmuwan politik Northwestern Uni-
versity, Amerika Serikat yang dengan baik hati memberikan ma-
sukkan kepada peneliti untuk coba menulis pembukaan penelitian
dengan serangkaian kalimat deklaratif yang jernih, tegas, dan
berani. Kata dia, sering mahasiswa mondar mandir dengan hala-
man pembuka yang seperti air di panci yang hangat terlebih
dahulu dan baru kemudian mendidih. Prof. Winters menyarankan
kepada peneliti untuk membuat pembaca kaget dengan kalimat
pertama.
Secara kelembagaan, peneliti juga berterima kasih kepada
BPS Provinsi Banten, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi
Banten, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Indonesian
Corruption Watch (ICW). Lembaga-lembaga tersebut memiliki
peran yang sangat penting dalam penyediaan data-data sekunder
yang kredibel dan eligible dalam penelitian ini. Begitu juga
dengan Perpustakaan nasional atas akses jurnal internasional
secara daring dan gratis.
Kepada kedua orang tua peneliti, H. Ojidin, S.Pd.I. dan
Popon Fatimah yang telah mendorong anak-anaknya untuk cinta
pengetahuan. Kepada istriku tercinta, Eva Syaripatunnisa, S.E.Sy.
atas pengertian dan bantuannya dalam proses-proses penelitian
ini. Begitu juga adik-adik tercinta, Lala Nurlatipah, S.Psi., Eni

ix
Nuraeni, S.Sos., dan Mahbub Hamdani yang selalu menjadi
semangat dan inspirasi bagi peneliti.
K.H. Irfan Hielmy (almarhum), pengasuh Pondok Pesan-
tren Darussalam Ciamis, Jawa Barat yang terus menginspirasi
untuk cinta ilmu di mana saja dan kapan saja sehingga mendorong
semangat peneliti untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih
tinggi. Salah satu moto Kiai Irfan adalah ‘bukalah satu pintu,
niscaya terbuka pintu-pintu lainnya.’ Penelitian ini pun diharap-
kan menjadi pembuka pintu-pintu lain tersebut. Oleh karena itu,
karya ini diharapkan menjadi sebab dipertemukannya peneliti
dengan ilmuwan-ilmuwan lain dari berabagai bidang keilmuan
baik secara fisik ataupun gagasan setelah melalui proses membaca
dunia dan dibaca dunia.
Dr. Herdi Sahrasad dan Kakak Emi yang telah menjadi
‘orang tua’ peneliti di Jakarta. Terima kasih banyak atas akomo-
dasi, diskusi, dan dorongannya kepada peneliti untuk terus
menulis. Tema penelitian ini pun pada dasarnya lahir dari diskusi
panjang di rumah Dr. Herdi. Di lapangan, Adam Sofian, Kepala
Seksi Neraca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi
Banten dan Fitron Nur Ikhsan, juru bicara keluarga besar Ratu
Atut Chosiyah. Terima kasih banyak telah menjadi informan yang
ramah dan baik.
Terima kasih kepada Muchlis Hasyim Jahya dan Fahmi
Alamsyah yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti
untuk mencari nafkah di PT Indonesia News Center (INC) dengan
bendera Inilahcom. Terima kasih kepada PT INC yang telah
memberikan keleluasan waktu sehingga peneliti bisa bekerja
kapan saja dan di mana saja menyesuaikan dengan proses penger-
jaan penelitian ini. Meskipun demikian, pekerjaan tersebut tetap
saja menguras banyak waktu sehingga memaksa peneliti melaku-
kan penelitian dalam waktu yang sangat kikir. Akan tetapi, beker-
ja di mana saja dan kapan saja telah menjadi win-win solution dan
menjadi jembatan bagi pekerja sekaligus menjadi peneliti.
Dindien Ridhotulloh, Pemimpin Redaksi, Wahid Ma’ruf,
dan Iwan Purwantono, Redaktur Pelaksana yang telah menang-

x
gung beban pekerjaan peneliti saat absen dari tugas sehari-hari
karena kuliah. Mereka semua pasti sangat direpotkan di saat-saat
peneliti mengikuti jam-jam perkuliahan dan melakukan penelitian
lapangan. Terima kasih dan mohon maaf atas semua itu. Moh.
Nabil, Luthfi Syarkawi, Irham Yuanamu, Nengsih, Moh. Shofan
dan Dr. Abdul Karim yang telah dengan setia mendengarkan
‘ocehan’ dan ‘curhatan’ peneliti perihal oligarki yang menjadi
tema penelitian ini dan memberikan feedback yang cerdas dan
mencerahkan.
Tanpa mengurangi rasa hormat dan terima kasih, tentu
masih banyak nama dan lembaga yang belum disebutkan di sini.
Akan tetapi, itu bukan berarti peran mereka sedikit dan tidak
penting dalam proses penelitian ini. Semoga peran masing-masing
menjadi amal ibadah yang tidak ternilai demi kemajuan ilmu
pengetahuan dan kemanusiaan dan mendapat pahala tak terhingga
di sisi Allah SWT.
Di atas semua itu, meski peran mereka semua sangat besar
dan penting dalam proses-proses penelitian ini, semua kekeliruan
dalam penulisan karya ilmiah ini sepenuhnya tetap merupakan
tanggungjawab peneliti pribadi. Selebihnya, peneliti mengharap-
kan kritik dan saran konstruktif dari para pembaca yang budiman
untuk perbaikan penulisan penelitian ini dan penelitian-penelitian
selanjutnya di masa yang akan datang.

Jakarta, Agustus 2018

Ahmad Munjin

xi
xii
ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengelaborasi profil sum-


ber daya kekuasaan kiai dan jawara di Banten. Metodologi
penelitian ini adalah kualitatif yang mengombinasikan studi litera-
tur yang luas dan penelitian lapangan. Sumber data primer dalam
penelitian ini adalah wawancara dengan beberapa kiai di Banten,
juru bicara keluarga besar Ratu Atut Chosiyah dan Kepala Seksi
Neraca Konsumsi Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. Sedang-
kan sumber sekunder adalah data-data ekonomi Provinsi Banten
tahun 2000-2017, Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara
(LHKPN) yang dirilis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
dan literatur lainnya, seperti buku, jurnal, penelitian, disertasi,
majalah, koran, makalah seminar dan media berbasis daring. Data-
data yang dihasilkan dibaca dengan teori oligarki Jeffrey A.
Winters, Oligarchy. New York: Cambridge University Press,
2011.
Penelitian ini membuktikan, kekayaan yang menjadi basis
sumber daya kekuasaan oligarkis sangat dominan dalam sistem
demokrasi di Banten. Temuan penelitian ini memperkuat peneliti-
an-penelitan sebelumnya yang juga menunjukkan dominasi kekua-
saan oligarkis dalam sistem demokrasi di Indonesia. Jeffrey A.
Winters (2011) menyimpulkan, kekayaan secara inheren tidak bisa
dilepaskan dari sumber daya kekuasaan yang potensial. Richard
Robison dan Vedi R Hadiz (2004) mengatakan, politik Indonesia
kontemporer merupakan kelanjutan dari politik oligarkis yang
dibangun dan dibesarkan Orde Baru.
Dalam konteks Banten, Okamoto Masaaki dan Abdul
Hamid (2008) menyatakan, jawara mungkin selalu eksis sebagai
kekuatan sosial tapi tidak sebagai aktor politik tanpa dukungan
kuat secara politik dan ekonomi dari pemerintah pusat. Leo
Agustino (2010) menyatakan, rezim Soeharto menunjuk jawara
yang dianggap kuat (local strongman) sebagai kaki tangan yang
xiii
saling menguntungkan di Banten untuk menjaga ketenteraman
politik dan mengeksploitasi ekonomi.
Penelitian ini berbeda dengan kesimpulan akademisi lain
yang tidak melihat dominasi kekuasaan oligarkis. M.A. Tihami
(1992) menyatakan, kelestarian kepemimpinan di Banten merupa-
kan hasil dari perilaku kiai dan jawara dalam sistem sosial yang
mempunyai hubungan sibernetik dengan agama dan magi dalam
sistem budaya. Michael Buehler (2014) mengatakan, politik lokal
di Indonesia tidak dihasilkan oleh oligarki melainkan oleh elite-
elite negara yang telah menyesuaikan diri dengan watak peruba-
han politik pasca-Orde Baru. R. William Liddle (2013) menyebut-
kan basis kewenangan kekuasaan personal di Indonesia sudah
bertransformasi secara fundamental menjadi kekuasan legal-
konstitusional yang otonom.
Thomas B. Pepinsky (2014) menilai teori oligarki terlalu
kaku karena hanya fokus pada sumber daya kekuasaan material
dibandingkan non-material. Marcus Mietzner (2014) menyatakan,
politik Indonesia dicirikan dengan level fragmentasi yang tinggi di
mana terdapat baik elemen-elemen oligarki maupun non-oligarki.
Edward Aspinall (2014) menyatakan, Indonesia tetap merupakan
tempat kontestasi politik yang setara. Teri L. Caraway dan
Michele Ford (2014) menilai para teoretikus oligarki gagal menga-
kui kemunculan gerakan kelas pekerja yang dinamis sebagai
pengembangan empiris dalam politik Indonesia kontemporer.

Kata kunci: hak politik formal, kekuasaan koersif, mobilisasi,


jabatan resmi, kekuasaan material, elite, oligarki,
dan demokrasi

xiv
PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi Arab-Latin dalam buku ini mengacu


pada pedoman ALA-LC Romanization Tables, sebagaimana
berikut:

b = ‫ب‬ z = ‫ز‬ f = ‫ف‬

t = ‫ت‬ s = ‫س‬ q = ‫ق‬

th = ‫ث‬ sh = ‫ش‬ k = ‫ك‬

j = ‫ج‬ s{ = ‫ص‬ l = ‫ل‬

h{ = ‫ح‬ d{ = ‫ض‬ m = ‫م‬

kh = ‫خ‬ t{ = ‫ط‬ n = ‫ن‬

d = ‫د‬ z{ = ‫ظ‬ h = ‫ه‬

dh = ‫ذ‬ ‘ = ‫ع‬ w = ‫و‬

r = ‫ر‬ gh = ‫غ‬ y = ‫ي‬

Short :a=´ ; i=ِ ; u= ِ

Long : a< = ‫ ; ا‬i> = ‫; ي‬ ū=‫و‬

Diphthong : ay = ‫; يا‬ aw = ‫وا‬

xv
xvi
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR_v
ABSTRAK_xiii
PEDOMAN TRANSLITERASI_xv
DAFTAR ISI_xvii
DAFTAR TABEL, GRAFIK, BAGAN, DAN GAMBAR_xxi
DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM_xxiii

BAB I PENDAHULUAN_1
A. Latar Belakang Masalah_1
B. Permasalahan_20
1. Identifikasi Masalah_20
2. Perumusan Masalah_21
3. Pembatasan Masalah_21
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan_22
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian_25
1. Tujuan Penelitian _25
2. Manfaat Penelitian_26
E. Metodologi Penelitian_26
1. Jenis Penelitian_26
2. Jenis dan Sumber Data_27
3. Teknik Pengumpulan Data_29
4. Pendekatan_29
5. Teknik Penulisan _30
F. Sistematika Penulisan_30

BAB II OLIGARKI, DEMOKRASI DAN ISLAM_35


A. Teori Oligarki dan Demokrasi_35
1. Oligarki antara Definisi Material dan Nonmaterial_36
2. Pembentukan Oligarki: Penaklukan atau Akumulasi
Kekayaan_41

xvii
3. Distingsi antara Elite dan Oligarki_50
4. Dari Oligarki Panglima hingga Oligarki Sipil_59
5. Oligarki dan Demokrasi: Kekuasaan Material versus
Partisipasi_64
B. Kritik terhadap Teori Oligarki: Individu sebagai Fokus_72
C. Kompatibilitas versus Inkompatibilitas Oligarki dengan
Demokrasi_79
1. Kompatibilitas Oligarki dengan Demokrasi_79
2. Inkompatibilitas Oligarki dengan Demokrasi_85
D. Oligarki dalam Perspektif Islam_88
1. Oligarki dalam Perspektif Alquran_89
2. Oligarki dalam Perspektif Hadis_97
3. Oligarki dalam Pandangan para Ulama_100

BAB III DINAMIKA SUMBER DAYA KEKUASAAN KIAI


DAN JAWARA DI BANTEN _109
A. Peran Kiai dan Jawara pada Era Kolonial_110
1. Kiai dan Jawara sebagai Elite bagi Masyarakat Banten_110
2. Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara sebagai Elite_115
3. Kekuasaan Material: Benih-benih Kekuasaan Oligarkis
Jawara_124
B. Era Soekarno (Orde Lama): Dari Mobilisasi ke Jabatan
Resmi_129
C. Rezim Orde Baru dan Pasang Surut Kekuasaan Kiai-
Jawara_138
1. Dominasi Kekuasaan Oligarkis Rezim terhadap Mobilisasi
Kiai_138
2. Mobilisasi Kiai versus Kekuasaan Koersif Orde Baru_147
3. Chasan Sochib: Oligark Sultanistik Produk Orde Baru_157
D. Era Reformasi: Kiai Tenggelam dan Jawara Dominan_176
1. Kekuasaan Mobilisasi Kiai yang Terfragmentasi_176
2. Kekuasaan Mobilisasi Kiai sebagai Makelar Politik_181
3. Penguatan Jawara dengan Kekuasaan Oligarkis_189

xviii
BAB IV JAWARA DAN SUMBER DAYA KEKUASAAN
MATERIAL DI BANTEN_217
A. Pembentukan Provinsi Banten: Antara Motif Material dan
Nonmaterial _217
B. Ketimpangan Ekonomi sebagai Prasyarat Oligarki_232
1. Tren Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Banten 2000-
2016_233
2. Stratifikasi Material di Provinsi Banten_238
3. Sumber Daya Material Kiai dan Jawara dalam Struktur
Ekonomi di Banten_253
C. Keluarga Jawara Chasan Sochib sebagai Oligark di Banten_259
1. Para Ahli Waris Tubagus Chasan Sochib_260
2. Kadar Oligarki para Anggota Keluarga Besar Chasan
Sochib_263
D. Transformasi Kekayaan Menjadi Tampuk Kekuasaan
Oligarkis_283
1. Peran Tb. Chasan Sochib sebagai Oligark di Balik
Layar_284
2. Pilkada Langsung 2006 dan Dominasi Kelompok Rau_302
3. Ratu Atut Chosiyah dan Pemilih Pragmatis_309
4. Relawan Banten Bersatu (RBB): Kekuasaan Material,
Mobilisasi, dan Koersif_314
5. Ratu Atut Chosiyah dan Gaya Kepemimpinan
Akomodatif_318
E. Politico-Business Oligarchy dan Politik Pertahanan Harta_328
1. Dari Kekayaan ke Jaringan Bisnis dan Politik_329
2. Regenerasi Politik dan Strategi Berkuasa Tiga Periode_332
3. Empat Pilar Kendali dan Dominasi Keluarga Ratu Atut
Chosiyah_338
4. Faktor Penentu Kemenangan Airin Rachmi Diany dan
Andika Hazrumy_357

xix
BAB V PENUTUP_381
A. Kesimpulan_381
B. Refleksi, Implikasi, dan Rekomendasi_382

DAFTAR PUSTAKA_385
GLOSARIUM_409
INDEKS_417
BIOGRAFI PENULIS_429

xx
DAFTAR TABEL, GRAFIK, BAGAN,
DAN GAMBAR

Tabel 2.1. Perbedaan Teori Elite dengan Teori Oligarki_55


Tabel 2.2. Perbedaan-Persamaan Oligarki dan Demokrasi
Aristoteles _65
Tabel 2.3. Konsep Islam tentang Oligarki_106
Tabel 3.1. Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara pada Era
Kolonial di Banten_127
Tabel 3.2. Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara pada Era
Soekarno (Orde Lama) di Banten_135
Tabel 3.3. Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara pada Era
Soeharto (Orde Baru) di Banten_151
Tabel 3.4. Sumber Daya Kekuasaan Tubagus Chasan Sochib
pada Era Orde Baru_173
Tabel 3.5. Biaya Proyek Berdasarkan Kategori Aktivitas dan
Sumber Pendanaan_196
Tabel 3.6. Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara pada Era
Reformasi di Banten_206
Tabel 3.7. Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara_213
Tabel 4.1. Motif Material dan Nonmaterial Pembentukan
Provinsi Banten_229
Tabel 4.2. Material Power Index (MPI) Ratu Atut Chosiyah_267
Tabel 4.3. Material Power Index (MPI) Anggota Keluarga Besar
Tubagus Chasan Sochib_277
Grafik 4.1. Tren Pertumbuhan Ekonomi Banten 2000-2016_234
Grafik 4.2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi
Banten (Triliun Rupiah) atas Dasar Harga Kontan
2010 dan Harga Berlaku Tahun 2012-2016_236
Grafik 4.3. Rasio Ketimpangan Pendapatan di Provinsi
Banten_239

xxi
Grafik 4.4. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas Dasar
Harga Berlaku Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi
Banten (Triliun Rupiah) Tahun 2012-2016_240
Grafik 4.5. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tanpa
Komponen Industri atas Dasar Harga Berlaku Menu-
rut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten (Triliun
Rupiah) Tahun 2012-2016_243
Grafik 4.6. Pengeluaran per Kapita yang Disesuaikan Menurut
Kabupaten/Kota di Provinsi Banten (Juta Rupiah/
Tahun), 2013-2016_244
Grafik 4.7. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita
(Juta Rupiah) di Provinsi Banten Tahun 2016_245
Grafik 4.8. Jumlah Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota
di Provinsi Banten (ribu orang), 2013-2016 _246
Grafik 4.9. Perkembangan IDI Provinsi Banten, 2009-2016_251
Bagan 2.1. Teori Oligarki_49
Bagan 4.1 Silsilah Ahli Waris Tubagus Chasan Sochib _261
Bagan 4.2 Jaringan Perusahaan Keluarga Besar Tb. Chasan
Sochib_336
Bagan 4.3. Peran Tb. Chaeri Wardana sebagai Oligark di Balik
Layar_349
Bagan 4.4. Alur Politico-Business Oligarchy dan Politik Perta-
hanan Harta Keluarga Tb. Chasan Sochib_356
Gambar 4.1 Peta Wilayah Provinsi Banten_220

xxii
DAFTAR SINGKATAN
DAN AKRONIM

ABK Amanat Bintang Keadilan


ADB Asian Development Bank
Alipp Aliansi Independen Peduli Publik
AMPB Aliansi Martabat Perempuan Banten
APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Bakor PPB Badan Koordinasi Pembentukan Provinsi
Banten
Banten FSPP Banten Communication Forum for Pesantren
BKPM Badan Koordinasi Penanaman Modal
BPK Badan Pemeriksa Keuangan
BPPKB Badan Pembina Potensi Keluarga Besar Banten
BPS Badan Pusat Satitik
BUMN Badan Usaha Milik Negara
BURT Badan Urusan Rumah Tangga
CAPAS Center for Asia-Pacific Area Studies
CSEAS Center for Southeast Asian Studies
Dapil Daerah Pemilihan
DASK Dokumen Anggaran Satuan Kerja
DI/TII Darul Islam/Tentara Islam Indonesia
DPD Dewan Pimpinan Daerah
DPP Dewan Pengurus Pusat
DPR Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
FISIP Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
FKKTM Forum Komunikasi Kiai dan Tokoh
Masyarakat
FSPPS Forum Komunikasi Pesantren Salafi
Gapensi Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional
Indonesia
xxiii
Golkar Golongan Karya
HAM Hak-hak Asasi Manusia
HMI Himpunan Mahasiswa Islam
IAIN Institut Agama Islam Negeri
Ical Aburizal Bakrie
ICW Indonesia Corruption Watch
IDI Indeks Demokrasi Indonesia
INC Indonesia News Center
Kadin Kamar Dagang dan Industri
KBBI Kamus Besar Bahasa Indonesia
KH Kiai Haji
KKN Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
KNI Komite Nasional Indonesia
KNPI Komite Nasional Pemuda Indonesia
KPK Komisi Pemberantasan Korupsi
KPPB Komite Pembentukan Provinsi Banten
KPU Komisi Pemilihan Umum
KTP Kartu Tanda Penduduk
Lakpesdam NU Lembaga dan Pengembangan Sumber Daya
Manusia Nahdlatul Ulama
LBB Lembaga Banten Bersatu
LHKPN Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara
Negara
LNPRT Lembaga Non-Profit
LSI Lembaga Survei Indonesia
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
M3B Majelis Musyawarah Masyarakat Banten
MK Mahkamah Konstitusi
MPI Material Power Index
MUI Majelis Ulama Indonesia
NU Nahdlatul Ulama
PAN Partai Amanat Nasional
PAP Panitia Akuntabilitas Publik
Parkindo Partai Kristen Indonesia
Parmusi Partai Muslimin Indonesia

xxiv
Partai IPKI Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan
Indonesia
Partai Islam Perti Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah
Partai Murba Partai Musyawarah Rakyat Banyak
PBB Partai Bulan Bintang
PCC Presidium for a Clean Community
PDB Produk Domestik Bruto
PDI Partai Demokrasi Indonesia
PDI-P Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan
PDRB Produk Domestik Regional Bruto
Perda Peraturan Daerah
Peta Pembela Tanah Air
PHK Pemutusan Hubungan Kerja
PK Partai Keadilan
PKS Partai Keadilan Sejahtera
PKB Partai Kebangkitan Bangsa
PKI Partai Komunis Indonesia
PKK Panitia Pengisian Keanggotaan
PKRI Partai Katolik Republik Indonesia
Plt. Pelaksana Tugas
PLTU Pembangkit Listrik Tenaga Uap
PMDN Penanaman Modal Dalam Negeri
PMII Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
PMTB Pembentukan Modal Tetap Bruto
PNI Partai Nasional Indonesia
PNU Partai Nahdlatul Ulama
Pokja PPB Kelompok Kerja Pembentukan Provinsi Banten
PPP Partai Persatuan Pembangunan
PPPSBBI Persatuan Pendekar Persilatan Seni Budaya
Banten Indonesia
PSII Partai Syarikat Islam Indonesia
RBB Relawan Banten Bersatu
SBY Susilo Bambang Yudhoyono
Sekda Sekretaris Daerah
SPD Sozialdemokratische Partei Deutschlands

xxv
Tb. Tubagus
TKR Tentara Keamanan Rakyat
TNI Tentara Nasional Indonesia
UMKM Usaha Mikro Kecil dan Menengah
Untirta Universitas Tirtayasa

xxvi
Ahmad Munjin 1

Bab I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kasus Banten memperlihatkan dengan jelas bahwa demo-
krasi di Indonesia sudah dibajak oleh para oligark. Seperti di nega-
ra-negara lain, kenyataan demokrasi di Indonesia kontemporer
masih “jauh panggang dari api” untuk ideal. Padahal, sudah ba-
nyak orang yang berjuang mati-matian untuk mencapainya. Setiap
orang dewasa memang mendapatkan satu suara yang menjadi hak
politik formalnya1 melalui prinsip one person one vote. Banyak
juga calon dan partai berkompetisi untuk memenangkan pemilihan
dalam interval pemilu. Akan tetapi, para oligarklah yang menjadi
pemenangnya. Dengan kekuatan kekayaan mereka, para oligark
justru memainkan peranan utama. Hasilnya adalah kesetaraan
radikal dari kekuatan politik formal di satu sisi, beriringan dengan
pengaruh politik yang timpang secara ekstrem melalui kekayaan di
sisi yang lain. Jadi, demokrasi dan oligarki merupakan hubungan
yang kontradiktif tapi menyatu.
Buku ini menguji hubungan yang mengejutkan tersebut
pada level provinsi melalui contoh kasus Banten. Karena Banten
hanya merupakan contoh kasus, yang ingin dipotret sebenarnya
tidak terbatas pada satu wilayah ini saja. Cara yang sama juga
digunakan untuk melihat seluruh daerah di Tanah Air dan dalam
konteks politik nasional.Teori dan fakta-fakta yang dihadirkan
dalam buku ini bukan hanya membantu dalam memahami bagai-
mana sistem demokrasi dan oligarki menyatu di Indonesia tapi
juga membuka diskusi tentang reformasi semacam apa yang
memungkinkan (atau tidak memungkinkan) menjadi efektif dalam
menggeser keseimbangan demi kepentingan warga biasa bukan

1
Jeffrey A. Winters, Oligarchy (New York: Cambridge Univer-
sity Press, 2011), 13.
2 Oligarki dan Demokrasi...

orang kaya. Sebab, semua negara demokrasi modern merupakan


demokrasi yang terstratifikasi. Artinya, negara-negara tersebut
mengombinasikan secara sekaligus kesetaraan partisipasi yang
luar biasa dengan ketidaksetaraan material yang luar biasa pula.2
Oligarki semacam itu menjadi kecenderungan pemerinta-
han di beberapa daerah pascareformasi 1998. Kondisi itu juga ter-
jadi seiring bergulirnya otonomi daerah di Indonesia sejak 1999.
Padahal, Indonesia sejatinya menjadi negara demokratis yang
sangat menjanjikan setelah terbebas dari sistem kekuasaan yang
otoriter. Sebab, kejatuhan rezim Soeharto pada 21 Mei 1998
merupakan optimisme bagi masyarakat di Tanah Air setelah pesi-
misme bersemayam selama satu dasawarsa terakhir kekuasaan
rezim tersebut. Kejatuhan penguasa Orde Baru itu dinilai sebagai
peluang bagi terjadinya dinamisasi kehidupan politik Indonesia
yang muncul secara sangat dramatis.3
Optimisme tersebut cukup beralasan jika semata melihat
transisi dari rezim otoriter ke sistem demokratis. Akan tetapi, jika
melihat transisi oligarki yang terjadi dalam peralihan kepemim-
pinan tersebut, dinamika politik Indonesia belum menggembira-
kan. Oligarki yang relatif jinak di bawah dominasi oligarki sulta-
nistik justru mengalami transisi ke oligarki liar di bawah pemerin-
tahan demokratis yang tak punya kemampuan untuk mengendali-
kan para oligark.4 Oleh karena itu, transisi oligarki menjadi sangat
penting dan relevan dalam diskursus akademik karena menyang-
kuat masalah kualitas demokrasi. Secara legal-formal, suksesi
kepemimpinan di pusat ataupun di daerah tertentu bisa terjadi
secara demokratis tetapi yang berkuasa adalah oligarki liar.

2
All modern democracies are "stratified democracies"—mea-
ningthat they combine tremendous equality with tremendous inequality.
Jeffrey A. Winters, pesan e-mail kepada peneliti, 21 Juli 2018.
3
Eep Saefulloh Fatah, Zaman Kesempatan: Agenda-agenda
Besar Demokratisasi Pasca-Orde Baru(Bandung: Penerbit Mizan, 2000),
endorsement di cover belakang.
4
Winters, Oligarchy,37.
Ahmad Munjin 3

Jeffrey A. Winters mendefinisikan oligarki sebagai terkon-


sentrasinya kekuasaan atas materi yang didasarkan pada penega-
kan klaim-klaim atau hak-hak atas kepemilikan dan kekayaan.5
Sedangkan Robison dan Hadiz mengidentifikasi rezim Orde Baru
sebagai oligarki kompleks (complex oligarchy). Oligarki ini dide-
finisikan sebagai sebuah sistem pemerintahan di mana hampir
semua kekuasaan politik dipegang oleh segelintir orang kaya yang
membuat kebijakan masyarakat umum. Kebijakan tersebut hanya
menguntungkan mereka sendiri secara finansial dan kurang atau
sama sekali tidak memperhatikan kepentingan sebagian besar
warga negaranya.6
Secara singkat, menurut Winters, oligarki muncul karena
terkonsentrasinya kekayaan (stratifikasi materi).Stratifikasi mate-
ri sebenarnya bukanlah hal baru. Ketimpangan tersebut merupakan
sesuatu yang sangat kuno sejak bentuk masyarakat berubah men-
jadi kompleks.Stratifikasi materi sudah terjadi sejak ribuan tahun
lalu. Kira-kira5.000 tahun yang lalu sudah muncul stratifikasi
kekayaan yang cukup besar.Anehnya, menurut Winters, sejak
kemunculannya, stratifikasi materi tidak pernah terhapus atau
menghilang. Sratifikasi kekayaan adalah sifat masyarakat manusia
yang paling bertahan dalam sejarah baik dalam sistem pemerinta-
han monarki, otoritarian, maupun dalam sistem demokrasi. Stra-

5
“Oligarchy is defined by concentrated material power based on
enforced claims or rights to property and wealth.” Lihat Winters,
Oligarchy, 11.
6
Aslinya: “A system of government in which virtually all poli-
tical power is held by a very small number of wealthy... people who
shape public policy primarily to benefit themseles financially... while
displaying little or no concern for the broader interest of the rest of the
citizenry.” Lihat Richard Robison dan Vedi R Hadiz, Reorganising
Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets
(London: Routledge Curzon, 2004), 16-17, note 6.
4 Oligarki dan Demokrasi...

tifikasi juga bertahan dalam sistem ekonomi negara agraris,


industri, digital, ataupun jasa.7
Lebih jauh Winters menegaskan, sejak demokrasi muncul,
kira-kira 250 atau 300 tahun yang lalu, stratifikasi kekayaan justru
meningkat. Dalam sistem politik yang ekslusif di mana banyak
orang tidak boleh berpartisipasi, terjadinya stratifikasi kekayaan
tidaklah mengherankan. Akan tetapi, jika semua orang bisa ber-
partisipasi dalam sistem politik yang demokratis, salah satu hal
yang diharapkan adalah mengecilnya gap (ketimpangan) atau
stratifikasi antara orang yang paling kaya dengan orang biasa atau
miskin.Kenyataannya, gap tersebut meningkat sejak demokrasi
lahir. Yang menjadi pertanyaan besar adalah mengapa demokrasi
tidak bisa menjadi alat untuk membuat sistem ekonomi menjadi
lebih adil.Tujuannya, bukanlah fairness (keadilan) yang sempurna
di mana setiap orang punya kekayaan persis sama dengan setiap
orang lainnya. Sebab, tujuan semacam itu merupakan dreamland
yang tidak akan pernah tercapai.8 Menurut Winters, harapan terha-
dap demokrasi sebenarnya lebih realistis. Dia mencontohkan, gap
di antara grup yang paling kaya dan orang biasa, mungkin hanya
100 kali lipat atau bahkan 1.000 kali lipat. Kalau bisa, angka
tersebut, dinilai dia, sudah luar biasa. Sebab, gap tersebut terhi-
tung kecil.9
Sejarah kuno mencatat stratifikasi materi dari 500 senator
terkaya di Roma pada jaman Imperial Rome dibandingkan dengan
kekayaan orang biasa atau awam yang kebetulan menjadi petani
kecil atau budak. Kekayaan orang terkaya saat itu mencapai
10.000 kali. Kemudian, maju ke jaman sekarang di abad 20. Di
Amerika Serikat, stratifikasi materi pada 500 orang terkaya diban-
dingkan orang biasa, mencapai 20.000 kali. Data ini jelas menun-
jukkan stratifikasi material di AS dua kali lipat lebih tinggi dari

7
Jeffrey A. Winters, “Oligarchy and the Jokowi Administra-
tion,” Kuliah Umum Jurusan Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri
Jakarta, Senin, 8 Juni 2015.
8
Winters, “Oligarchy and Jokowi.”
9
Winters, “Oligarchy and Jokowi.”
Ahmad Munjin 5

Roma. Padahal, pada masa kuno Roma justru masih menganut


sistem perbudakan (slavery society). “Di Indonesia, 50 orang ter-
kaya dibandingkan orang biasa berdasarkan Produk Domestik
Bruto (PDB) per kapita, mencapai 630.000 kali gap-nya. Itu meru-
pakan data awal, fact of beta.”10
Yang menarik, lanjut Winters, dengan terjadinya konsen-
trasi kekayaan, stratifikasi material juga memiliki efek konsentrasi
kekuasaan.Sebab, kekayaan merupakan salah satu sumber daya
kekuasaan (material power resources) sehingga istilah money is
powermenjadi benar adanya. Tidak hanya itu, kekayaan juga
merupakan bentuk kekuasaan yang sangat fleksibel karena bisa
digunakan dalam situasi dan kondisi yang berbeda-beda. “Itu
adalah fenomena dunia dan sejarah. Jadi, stratifikasi seperti itu
tidaklah baru tapi sulit sekali diatasi.”11
Dengan demikian, konsolidasi demokrasi di Indonesiapun
menghadapi tantangan besar yaitu kenyataan bahwa negara masih
jauh dari demokrasi yang sebenarnya. Demokrasi baru berjalan
secara prosedural dan masih jauh dari tujuan subtansial. Demo-
krasi dalam alam pikiran Indonesia saat ini baru sekadar alat-
teknis dan belum mencerminkan alam kejiwaan, kepribadian dan
cita-cita nasional.12 Sebatas alat teknis, karena demokrasi dijalan-
kan oleh kedangkalan, tanpa memberikan ruang bagi kedalaman
etika dan penalaran.13 “Perekrutan kepemimpinan politik lebih
menekankan sumber daya alokatif (logistik) ketimbang sumber
daya otoritatif (kemampuan). Demokrasi tidak menjadi ajang
penguatan ”meritokrasi” (pemerintahan oleh orang-orang yang

10
Winters, “Oligarchy and Jokowi.”
11
Winters, “Oligarchy and Jokowi.”
12
Yudi Latif, “Keluar dari Krisis Demokrasi” Orasi Poltik dalam
acara Syukuran dan Peluncuran Buku Satu Dasawarsa Perhimpunan
Bakumsu (Bantuan Hukum & Advokasi Rakyat Sumatera Utara) dengan
Tema ‘Kratos Minus Demos, Demokrasi Indonesia: Catatan dari Bawah,’
Medan, 4 Mei 2012.
13
Yudi Latif, “Demokrasi tanpa Kedalaman,” Kompas, 16 April
2013.
6 Oligarki dan Demokrasi...

mampu); sebaliknya, menjadi katalis bagi ”mediokrasi” (pemerin-


tahan oleh orang-orang medioker).”14
Indeks Demokrasi Global 2011, yang dikeluarkan oleh
Economist Inteligence Unit, melaporkan peringkat (rangking)
demokrasi Indonesia berada di urutan 60 dari 167 negara yang
diteliti. Peringkat ini jauh di bawah Timor Leste (42), Papua
Nugini (59), Afrika Selatan (30), dan Thailand (57). Pada 2012,
rangking tersebut membaik ke 53. Indonesia masuk dalam kate-
gori flawed democracy (cacat demokrasi) yang ditandai, antara
lain, oleh pemilu yang tidak bersih, pemerintahan yang korup dan
ingkar janji-janji pemilu, serta keterancaman pluralisme. Menurut
Latif, cacat demokrasi ini mengarahkan Indonesia mendekati
ambang negara gagal.15
Berdasarkan Failed State Index, yang dikeluarkan oleh
The Fund for Peace dan Foreign Policy Magazine, selama periode
2005-2010, Indonesia selalu berada dalam ketegori negara ‘dalam
peringatan’ (warning).Posisi ini lebih dekat jaraknya dengan posisi
‘waspada’ negara gagal dibandingkan dengan posisi ‘bertahan.’
Indonesia bahkan belum masuk di zona negara moderat. Yang
lebih merisaukan, keberhasilan Indonesia untuk menurunkan
peringkat kegagalannya selama periode 2007-2009—dari urutan
ke 55 (2007), menjadi 60 (2008) dan 62 (2009)—mengalami
kenaikan lagi pada tahun pertama periode kedua pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada 2010, peringkat negara
gagal Indonesia memburuk satu tingkat menjadi urutan ke 61 dari
62 (2009). Namun demikian, pada 2013, indeks kegagalan
Indonesia membaik, menempati rangking 76 sejajar dengan Azer-
baijan. Sayangnya, perbaikan rangking ini tidak megeluarkan
Indonesia dari kategori ‘peringatan’ dan masih jauh untuk menca-
pai posisi stabil, 109 yang ditempati oleh Kazakhstan.16

14
Latif, “Demokrasi tanpa Kedalaman”
15
Latif, “Keluar dari Krisis Demokrasi”
16
“The Failed States Index 2013,” data diakses tanggal 7 Juli
2013 dari http://ffp.states index.org/rankings-2013-sortable.
Ahmad Munjin 7

Semua itu disinyalir akibat demokrasi yang baru berjalan


pada level kulit luar dan belum sampai pada hakikatnya yakni
terwujudnya keadilan dan kemakmuran. Yudi Latif menggambar-
kan situasi demokrasi Indonesia yang lebih mengkhawatirkan.
Menurut dia, perkembangan demokrasi dalam krisis otoritas kepe-
mimpinan dapat mengarah pada kehidupan yang lebih buruk. Yudi
mengutip Humphrey Hawksley dalam Democracy Kills yang
memperlihatkan potret yang mengerikan.
“Penduduk di bawah sistem demokrasi yang salah urus lebih
berisiko tetap miskin atau terbunuh ketimbang di bawah sistem
kediktatoran. Sebagai contoh, pendapatan rata-rata di negara oto-
ritarian China adalah dua kali lipat dari negara demokrasi India.
Harapan hidup dari warga negara demokratis Haiti hanya menca-
pai 57 tahun dibandingkan dengan mereka yang hidup di bawah
kediktatoran Kuba yang mencapai 77 tahun.”17
Di Indonesia, seiring dengan otonomi daerah, demokrasi
prosedural pada beberapa pemerintahan provinsi dan kabupaten
justru menghasilkan akumulasi kekuasaan oleh orang-orang ter-
kaya dari kelompok atau keluarga tertentu. Akibatnya, meminjam
teori ‘democracy trap’, demokrasi mengalami pembajakan oleh
para penguasa oligarki lokal yang justru sah secara legal formal.
Sebab, akumulasi kekuasaan tersebut didapat melalui pemilu lang-
sung yang didasarkan pada prinsip one person one vote.
Jika berkaca pada beberapa negara, memang terjadi juga
oligarki yang ‘bertopeng’ demokrasi. Bahkan, di Amerika Serikat
pun yang menjadi kampiun demokrasi ditengarai punya kecende-
rungan pada oligarki.18 Penguasa yang terpilih berasal dari seke-
lompok orang terkaya yang pada akhirnya, memperkaya diri
sendiri dan membajak cita-cita demokrasi. Meski begitu, terdapat
pula pengejawantahan oligarki yang berisi mayoritas penguasa
feodal.

17
Latif, “Keluar dari Krisis Demokrasi,” 3.
18
Jeffrey A. Winters dan Benjamin I. Page, “Oligarchy in the
United States?” Perspectives on Politics 7 (2009): 731-751.
8 Oligarki dan Demokrasi...

Salah satu contoh suksesi kepemimpinan oligarki yang


dihasilkan melalui prosedur demokrasi adalah Kamboja. Di per-
mukaan (superfisial), pemimpin terpilih menggambarkan tentang
fungsi demokrasi parlementer secara penuh. Parlemen dan perdana
menteri dipilih melalui prosedur demokrasi untuk periode lima
tahun. Faktanya, gambaran tersebut sama sekali keliru. Di balik
semua itu, penguasa Kamboja, tidak lain kecuali oligarki—sebuah
pemerintahan yang dijalankan oleh sekelompok kecil kleptokratik
atau plutokratik19 di mana Perdana Menteri Hun Sen menjadi
kepalanya.20 Faktor oligarkilah yang dituding sebagai penyebab
rakyat Kamboja tetap miskin dan terbelakang untuk beberapa
generasi. Realitas yang menyedihkan, segelintir individu mengua-
sai Kamboja saat ini dengan salah urus. Kamboja memiliki tanda-
tanda yang nyata tentang tampilnya seorang individu yang zalim
(despotic) dengan elite-elite kleptokratik dan plutokratik. Mereka
diizinkan untuk menjarah sumber daya alam Kamboja dan meram-
pas tanah-tanah orang desa sesuka hati. Dengan satu tanda tangan
dari penguasa oligarki, segala keinginan tercapai.21
India mengalami nasib serupa. India merupakan negara
ketiga terbesar di dunia yang pertumbuhan oligarkinya tercepat.
Rasionya mencapai 17,2% terhadap Produk Domestik Bruto
(PDB) yang menumpuk pada 55 miliarder India. Sistem pemerin-
tahan India mengambarkan tentang buruknya gambaran demokrasi
dan oligarki. Para politikus yang terpilih secara demokratis disuap
oleh orang-orang terkaya India. Dua kelompok tersebut (politikus
dan orang-orang terkaya) kemudian memperkaya diri mereka
sendiri dengan mengorbankan mayoritas penduduk biasa. Para

19
Kamus Besar Bahasa Indonesiaoffline mendefinisikan plutok-
rasi sebagai sistem politik yang dikuasai oleh kaum kaya atau kaum
pemilik modal (kapitalis).
20
“Hun Sen: The Oligarkic Ruler of Cambodia?” artikel diakses
tanggal 28 September 2013, dari http://khmerization.blogspot.com/2008/
06/hun-sen-oligarkic-ruler-of-cambodia.html.
21
“Hun Sen: The Oligarkic Ruler”
Ahmad Munjin 9

oligark India yang terbesar berasal dari kalangan industrialis


seperti Ambanis, Adanis, Birlas, Mittals, Premjis dan Tatas.22
Seperti India, Pakistan juga merupakan oligarki. Hanya
saja, elite-elite feodal mendominasi oligarki Pakistan dibanding-
kan kalangan industri. Para oligark itu mendominasi badan legis-
lasi Pakistan. Mayoritas dari mereka berasal dari pemilik tanah di
berbagai pelosok dan berlatar belakang suku. Nama-nama terke-
nal, antara lain the Bhuttos and Khuhros of Larkana, the Chau-
dhrys of Gujarat, Tiwanas of Sargodha, Daulatanas of Vehari, the
Jatois and Qazi Fazlullah family of Sindh, the Gilanis, Qureshis
and Gardezis of Multan, the Nawabs of Qasur, the Mamdots of
Ferozpur/Lahore, Ghaffar Khan-Wali Khan family of Charsadda
dan dari berbagai kepala suku Baloch seperti Bugtis, Jamalis,
Legharis, dan Mengals. Kekuasaan keluarga politik tersebut dida-
sarkan pada keturunan, luasnya kepemilikan tanah, dan monopoli
kekerasan—kemampuan untuk mengontrol, melawan, dan membe-
bankan kekerasan.23
Di lain sisi, Pakistan juga memang memiliki elite-elite
industri. Yang terbesar antara lain, Manshas (Nishat Group), Syed
Maratib Ali dan Babar Ali (Packages) Saigols, Hashwanis, Adam-
jees, Dawoods, Dadabhoys, Habibs, Monnoos, Lakhanis dan yang
lainnya. Hanya saja, kekuasan kolektif mereka redup jika diban-
dingkan dengan kekuasaan dari kelompok keluarga feodal. Satu-
satunya pegecualian adalah elite industri Sharif Brothers yang
memiliki industri Ittefaq Group dan juga memimpin Liga Muslim
Pakistan (Pakistan Muslim League (Nawaz Group). Liga Muslim
Pakistan merupakan salah satu partai politik terbesar di Pakistan.
Meski begitu, Sharif Brathers juga terlalu mengandalkan duku-
ngan dari beberapa keluarga feodal yang secara cepat bisa mengu-
bah loyalitasnya.24

22
Riaz Haq, “Comparing Oligarchies of India and Pakistan,”
artikel diakses tanggal 28 September 2013, dari http://www.riazhaq.com/
2011/08/comparing-oligarkies-of-india-and.html.
23
Haq, “Comparing Oligarkies,”
24
Haq, “Comparing Oligarkies,”
10 Oligarki dan Demokrasi...

Pada beberapa negara, menurut Winters dan Page, para


oligark memang menyandarkan kekuasaan mereka pada identitas
ras atau kesukuan, keterpandangan (noble birth) atau agama. Akan
tetapi, kekuasaan oligarkis selalu mencakup isu-isu yang meme-
ngaruhi kepentingan material yang inti dari orang-orang kaya
dalam menjaga klaim terhadap apa yang mereka miliki dan me-
mungkinkan pencaplokan yang lebih banyak.25 Di Indonesia,
banyak kekuasaan oligarkis yang disandarkan pada identitas
keturunan. Paling tidak, terdapat 26 kekuasaan politis daerah yang
kental dengan nuansa oligarki ini.26 Dua di antaranya terdapat di

25
Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 733.
26
Oligarki-oligarki dinasti di daerah lain di antaranya:
1. Sjachroedin ZP, Gubernur Lampung. Dia juga merupakan: (a) Ayah
dari Bupati Lampung Selatan Rycko Menoza; dan (b) Ayah dari
Wakil Bupati Pringsewu Handiytya Narapati;
2. Syahrul Yasin Limpo, Gubernur Sulawesi Selatan. Dia juga merupa-
kan kakak kandung Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo;
3. Andi Idris Syukur, Bupati Barru, Sulawesi Selatan. Dia juga merupa-
kan anak mantan Bupati Barru;
4. Adelheid So, Wakil Bupati Tana Toraja, Sulawesi Selatan, merupa-
kan istri dari mantan Bupati Tana Toraja Juhanis Amping Situru;
5. M Natsir Ibrahim, Wakil Bupati Takalar, merupakan anak mantan
Bupati Takalar Ibrahim Rewa;
6. Sinyo Harry Sarundajang, Gubernur Sulawesi Utara, merupakan ayah
dari Wakil Bupati Minahasa Ivan SJ Sarundajang;
7. Harley Alfredo Benfica Mangindaan, Wakil Wali Kota Manado, Sula-
wesi Utara. Dia merupakan anak dari Menteri Perhubungan yang juga
Gubernur Sulawesi Utara periode 1995-2000 E.E. Mangindaan;
8. Bachrum Harapan, Bupati Padang Lawas Utara, Sumatra Utara. Dia
merupakan orang tua kandung dari Wali Kota Padang Sidempuan
Andar Amin Harahap;
9. Zumi Zola Zulkifli, Bupati Tanjung Jabung Timur, Jambi. Dia meru-
pakan anak mantan Gubernur Jambi periode 1999-2004 Zulkifli
Nurdin;
10. Zulkifli Nurdin, Gubernur Jambi. Dia merupakan mertua Wakil
Bupati Muaro Jambi Kemas Muhammad;
Ahmad Munjin 11

provinsi Banten. Pertama, Atut Chosiyah, Gubernur Banten. Dia


juga merupakan: (a) Kakak kandung Wakil Bupati Serang Ratu
Tatu Chasanah; (b) Kakak tiri Wali Kota Serang Tubagus Haerul
Jaman; (c) Kakak ipar wali kota Tangerang Selatan Airin Rachmi
Diany; (d) Anak tiri Wakil Bupati Pandeglang Heryani; dan (e)

11. Neneng Hasanah Yasin, Bupati Bekasi. Dia merupakan menantu


mantan Bupati Bekasi Saleh Manaf;
12. Anna Sophanah, Bupati Indramayu. Dia merupakan istri mantan
Bupati Indramayu Irianto MS Syafiuddin alias Yance;
13. Ati Suhari, Wali Kota Cimahi. Dia merupakan istri mantan Wali
Kota Cimahi Itoc Tochija;
14. Dadang Naser, Bupati Bandung, merupakan menantu bupati periode
sebelumnya, Obar Sobarna;
15. Widya Kandi Susanti, Bupati Kendal, Jawa Tengah. Dia merupakan
mantan Bupati Kendal Hendy Boedoro;
16. Sri Hartini, Wakil Bupati Klaten, Jawa Tengah. Dia merupakan istri
mantan Bupati Klaten (alm) Haryanto;
17. Sri Suryawidati, Bupati Bantul, DI Yogyakarta. Dia merupakan istri
mantan Bupati Bantul Idham Samawi;
18. Puput Tantriana, Bupati Probolinggo, Jawa Timur. Dia merupakan
istri mantan Bupati Probolinggo Hasan Aminudin;
19. Haryanti Sutrisno, Bupati Kediri, Jawa Timur. Dia merupakan man-
tan Bupati Kediri Sutrisno;
20. Mohammad Makmun Ibnu Fuad, Bupati Bangkalan, Jawa Timur. Dia
merupakan anak mantan Bupati Bangkalan Fuad Amin;
21. Ferry Zulkarnain, Bupati Bima, NTB, merupakan kakak dari Wakil
Bupati Bima Syafrudin M Nur;
22. Supian Hadi, Bupati Kota Warringin Timur, Kalimantan Tengah. Dia
merupakan menantu Bupati Seruyan, Darwan Ali;
23. Rita Widyasari, Bupati Kutai Kertanegara. Dia merupakan anak
mantan Bupati Kutai Kertanegara Syaukani Hasan Rais; dan
24. Tuasikal Abua, Bupati Maluku Tengah. Dia juga merupakan kakak
mantan Bupati Maluku Tengah Abdullah Tuasika.
A.Syalaby Ichsan, “SelainAtut, Puluhan Daerah Jalankan Politik
Dinasti,” Republika, 18 Oktober 2013, diakses 19 Oktober 2013,
http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/10/19/muvdp8-
selain-atut-puluhan-daerah-jalankan-politik-dinasti.
12 Oligarki dan Demokrasi...

ibu kandung dari Wakil Gubernur Banten Andika Hazrumy.


Kedua, Ahmed Zaki Iskandar, Bupati Tangerang. Dia juga meru-
pakan anak mantan Bupati Tangerang Ismet Iskandar.27
Oleh karena itu, tampak jelas bahwa Banten merupakan
salah satu provinsi yang mengalami pengakumulasian kekuasan
oleh orang-orang terkaya dari salah satu keluarga yang memben-
tuk oligarki dinasti.28 Oligarki tersebut terbentuk setelah Banten
menjadi provinsi yang tergolong muda dengan menempati urutan
ke-30 dari jumlah provinsi yang ada di Indonesia.29 Menurut
Robison dan Hadiz, oligarki terdiri atas tiga kelompok: pertama,
pejabat negara; kedua, keluarga-keluarga yang mengandung unsur-
unsur bisnis dan politik (politico-business families); dan ketiga,
para konglomerat bisnis.30 Dalam konteks Banten, oligarki masuk
dalam kelompok yang kedua. Keluarga jawara menguasai unsur-
unsur bisnis dan politik di Provinsi Banten sehingga mendapatkan
kekuasaan eksekutif mulai tingkat provinsi hingga kabupatan dan
kota. Unsur-unsur bisnis tersebut menjadi modal kapital bagi
keluarga jawara untuk memenangkan kontestasi politik dalam

27
Ichsan, “SelainAtut, Puluhan Daerah Jalankan Politik Dinasti”
28
Dinasti adalah kata benda (noun) yang didefinisikan sebagai
serangkaian penguasa atau pemimpin yang semuanya berasal dari keluar-
ga yang sama atau suatu periode di mana negara dipimpin oleh mereka.
Lihat “Dynasty,” dalam Cambridge Advanced Learner’s Dictionary
(Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 383, “a series of rulers
or leaders who are all from the same family, or a period when a country
is ruled by them”.
29
Provinsi Banten lahir dari pemekaran wilayah provinsi Jawa
Barat tepat pada Rabu, 4 Oktober 2000 dengan payung hukum Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2000. Provinsi Banten diresmikan pada 18
November 2000. Libat Asep Kurnia dan Ahmad Sihabudin, Saatnya
Baduy Bicara, (Jakarta: PT Bumi Aksara dan Untirta, 2010), 41.
30
R. William Liddle, “Marx atau Machiavelli? Menuju Demo-
krasi Bermutu di Indonesia dan Amerika,” Orasi Ilmiah dalam rangka
Nurcholish Madjid Memorial Lecture V, Kamis, 8 Desember 2011, di
aula Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina, Jakarta.
Ahmad Munjin 13

pemilu yang menjadi salah satu elemen utama dalam demokrasi


prosedural.
Pada saat yang sama, pemiludalam demokrasi elektoral
memang berbiaya mahal. Akibatnya, hanya orang-orang yang kuat
secara ekonomi yang lebih berpeluang memenangkan kontestasi
dalam pemilu. Proposisi ini menguatkan diktum Barringrton
Moore yang menyatakan, “tanpa kelas borjuis, tak ada demo-
krasi.”31 Salah satu bukti mahalnya biaya pemilu bisa ditunjukkan
oleh besarnya biaya kampanye (campaign expenditure). Praktik
politik uang (money politics) atau vote buying pun punya celah
untuk masuk menjadi salah satu variable dalam belanja kampanye.
Politik uang diyakini cukup ampuh untuk menarik dukungan dari
pemilih pragmatis.32 Politik uang didefinisikan sebagai tindakan
secara sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi
lainnya kepada seseorang untuk tidak menggunakan hak pilihnya
atau memilih peserta pemilu tertentu, atau menggunakan hak pilih
dengan cara tertentu.33
Dalam beberapa studi, banyak faktor dipercaya meme-
ngaruhi sikap dan perilaku massa terhadap politik uang. Salah
satunya adalah temuan bahwa faktor pendidikan diyakini bisa
mengurangi kecenderungan transaksi politik uang atau mengura-
ngi jumlah pemilih yang bisa disuap.34 Banyak studi juga yang

31
Edward Aspinal, “The Power of Property: Oligarchy and
Democracy in World History,” Taiwan Journal of Democracy 8 (2012):
169-173.
32
Indikator Politik Indonesia, “Sikap dan Perilaku Pemilih
terhadap Politik Uang,” Survei Dapil September-Oktober 2013 dan
Survei Nasional Maret 2013.
33
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pasal 139
ayat 2.
34
Pedro C. Vicente, “A Model of Vote-buying with an Incum-
bency Advantage,” Makalah dan Hasil-hasil Eksperimen Januari 2013.
Artikel diakses 3 Juni 2014 dari http://www.pedrovicente.org/vb.pdf.
14 Oligarki dan Demokrasi...

menunjukkan warga miskin rentan terhadap praktik politik uang.35


Dari sisi ini, tampak bahwa uang dan kekuasan punya hubungan
timbal balik dan menguntungkan orang-orang terkaya akibat sum-
ber daya kekuasaan material yang dimilikinya. Uang diperlukan
untuk mendapatkan kekuasan dan kekuasaan diperlukan untuk
mendapatkan dan melindungi kekayaan.
Dari perspektif Islam, secara normatif, Alquran mengecam
sifat akumulatif atas kekayaan dari para oligark seperti tercermin
pada Surat al-Taka>thur, al-Humazah, dan T>{a>ha>. Surat al-Taka>thur
menggambarkan tentang kecenderungan manusia yang suka me-
ngakumulasi harta hingga melupakan hari akhir. Al-Humazah
menjelaskan persangkaan orang kafir bahwa harta bisa membu-
atnya kekal. Sementara itu, surat T>{a>ha mengambarkan persekong-
kolan antara Fir‘aun (penguasa), Korun (pengusaha) dan Tentara
sehingga dalam kategori ilmu politik modern bisa disebut oligarki.
Enam abad lalu, sosiolog muslim Ibn Khaldu>n (732-808
H/1332-1406 M), dalam konteks sistem pemerintahan yang masih
primitif, sudah mengangkat masalah solidaritas berbasis kesukuan
dan ikatan darah dengan apa yang disebutnya as}abi>yah. Ibn
Khaldu>n membagi istilah as}abiyah menjadi dua model. Pertama,
as}abi>yah dalam pengertian positif dengan menunjuk pada konsep
persaudaraan (brotherhood). Konsep ini membentuk solidaritas
sosial masyarakat untuk bekerjasama, mengesampingkan kepenti-
ngan pribadi (self-interest), dan memenuhi kewajiban kepada
sesama. Semangat ini kemudian mendorong terciptanya keselara-
san sosial dan menjadi kekuatan dalam menopang kebangkitan dan
kemajuan peradaban. Kedua, as}abi>yah dalam pengertian negatif
yang menimbulkan kesetiaan dan fanatisme buta dan tidak dida-
sarkan pada aspek kebenaran. Konteks pengertian yang kedua
inilah yang tidak dikehendaki karena akan mengaburkan nilai-nilai
kebenaran yang diusung dalam prinsip-prinsip agama.36

35
Indikator Politik Indonesia, “Sikap dan Perilaku Pemilih”
36
‘Abd al-Rah{ma>n ibn Khaldu>n, Muqaddimah ibn Khaldu>n
(Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>>yyah, 1993), 122.
Ahmad Munjin 15

Sementara itu, Ibn Taymi>yah menyebutkan, sebagian


besar kezaliman yang dilakukan penguasa dan rakyat adalah me-
ngambil barang yang tidak halal, menahan barang yang wajib
dikeluarkan, dan menimbun harta yang tidak boleh disimpan.37
Dalam konteks penguasa, penimbunan harta merupakan salah
salah satu faktor pendukung oligarki di mana harta dan kekuasan
saling memperkuat. Harta bisa mempertahankan kekuasaan dan
kekuasan bisa mengakumulasi kekayaan.
Dalam konteks Banten, uniknya, oligarki yang terbentuk
mendapatkan legitimasi modern (rasional-legal) sekaligus legiti-
masi tradisional tak seperti pemerintahan oligarkis di provinsi lain
pada umumnya. Legitimasi tradisional adalah penerimaan masya-
rakat atas kewenangan, keputusan atau kebijaksanaan yang diam-
bil pemimpin dalam lingkup tradisional. Kewenangan tradisional
didasarkan pada kepercayaan di antara anggota masyarakat bahwa
tradisi lama dan kedudukan kekuasaan yang dilandasi oleh tradisi
itu adalah wajar dan patut dihormati.38 Di satu sisi, penguasa men-
dapat legitimasi modern sejak pemilu gubernur Banten pertama
kali digulirkan pada tahun 2001. Artinya, secara prosedural guber-
nur mendapatkan legitimasi modern karena melewati proses
pemilihan umum yang demokratis. Di sisi yang lain, gubernur juga
mendapatkan legitimasi kekuasaan berbasis tradisi. Sebab, Guber-
nur Banten Ratu Atut Chosyiah39 merupakan keturunan Jawara

37
Ibn Taymi>yah, Al-Siya>sahal-Shar‘iyyah fi> Is}la>hi al-Ra>‘i> wa al-
Ra‘i>yyah, (Tanpa Tempat Terbit: Da>r al-Ka>tib al-‘Arabi>, Tanpa Tahun
Terbit), 47-48.
38
Budiardjo, Aneka Pemikiran, 15.
39
Pada mulanya, Ratu Atut Chosyiah adalah wakil gubernur
yang berpasangan dengan Gubernur Banten Djoko Munandar untuk
periode 2001-2006. Namun, di tengah jalan, gubernur pertama Banten ini
dicopot gara-gara tersangkut kasus korupsi. Sebagai wakil gubernur,
Atut pun ditunjuk sebagai pelaksana tugas (Plt) gubernur Banten tahun
2005. Baru pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Banten tahun 2006,
Atut terpilih menjadi gubernur Banten dengan wakilnya Mohammad
Masduki. Lihat M. Rizal, “Klan Atut dari Jawara Beralih ke Uang,”
16 Oligarki dan Demokrasi...

Banten dari ayahnya, Tubagus Chasan Sochib yang menjadi sim-


bol legitimasi tradisional di Banten. Akibatnya, legitimasi dan
kewenangan gubernur terpilih pun tidak semata-mata rasional-
legal tapi juga tradisional dan kharismatik sebagaimana tiga
pembagian yang dikemukakan sosiolog Max Weber (1864-1922).40
“Wewenang tradisional berdasarkan kepercayaan di antara
anggota masyarakat bahwa tradisi lama serta kedudukan kekuasa-
an yang dilandasi oleh tradisi itu adalah wajar dan patut dihorma-
ti. Wewenang kharismatik berdasarkan kepercayaan anggota ma-
syarakat pada kesaktian dan kekuatan mistik atau religius seorang
pemimpin. Wewenang rasional-legal berdasarkan kepercayaan
pada tatanan hukum rasional yang melandasi kedudukan seorang
pemimpin.”41
Atas dasar kewenangan tradisional dan kharismatik itu,
dua entitas informal leader di Banten yang direpresentasikan oleh
Jawara dan Kyai dan kental dengan unsur keislamannya berperan
penting dalam proses percaturan politik dan pengaruh di Banten.
Bahkan, menurut Fahmi Irfani, persaingan di tingkat informal
turut menjalar ke tingkat formal. “...tidak heran jika ada calon
yang ingin maju dalam persaingan pemilihan kepala daerah dan
calon legislatif dalam putaran pemilu, jika tidak mau tertinggal,
mau tidak mau harus merangkul kedua entitas tersebut.”42
Dengan kewenangan tradisional yang disandangnya seba-
gai jawara, setelah memajukan anaknya, Ratu Atut sebagai seba-
gai calon gubernur dan sukses memenangkannya, Chasan Sochib
merancang anggota keluarga besarnya untuk aktif terlibat di
bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Hasilnya, keluarga

artikel diakses tanggal 3 Juli 2013, dari http://news.detik.com/read/


2011/09/12/145200/1723198/159/klan-atut-dari-jawara-beralih-ke-uang.
40
Miriam Budiardjo, dkk., Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan
Wibawa (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991), 14-15.
41
Budiardjo, dkk., Aneka Pemikiran, 15.
42
Fahmi Irfani, Jawara Banten: Sebuah Kajian Sosial, Politik,
dan Budaya (Jakarta: Young Progressive Muslim (YPM) Press, 2011),
142.
Ahmad Munjin 17

besar Chasan Sochib sukses mengakumulasi kekuasan dalam


asosiasi bisnis, partai politik, jabatan eksekutif, jabatan legislatif,
organisasi bela diri, organisasi pemuda, organisasi olah raga, dan
organisasi sosial budaya.43 Chasan Sochib sendiri memang tidak
memegang jabatan politik, tetapi sebagaimana pengakuan dirinya
bahwa dia adalah ‘gubernur jenderal’ yang menunjukkan bahwa
dia adalah penguasa sesungguhnya di Banten.44
Dalam perspektif demokrasi, seiring mengguritanya ke-
kuasaan Hasan Sochib yang direpresentasikan oleh Gubernur
Banten, kontrol atas kekuasaan menjadi semakin lemah. Betapa
tidak, anggota legislatif yang sejatinya menjalankan fungsi check
and ballance tidak bisa berkutik karena mengalami conflict of
interest. Sebab, beberapa anggota legislatif tersebut merupakan
bagian dari keluarga besar Hasan Sochib. Akibatnya, sangat tepat
di sini, penulis mengutip Lord Acton, bahwa kekuasaan cenderung
untuk menjadi korup dan kekuasaan mutlak menjadi korup secara
mutlak pula.45
Tak mengherankan, pada Kamis, 27 Oktober 2011,
pengamat politik Burhanuddin Muhtadi menilai Pilkada Banten
sebagai yang terburuk se-Indonesia. Menurut dia, pesta demokrasi
untuk memilih gubernur dan wakil gubernur itu diwarnai kecura-
ngan dan praktek politik uang secara terstruktur. Burhanuddin

43
Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, “Dinasti Tb. Chasan
Sochib: Gubernur Jenderal dari Banten,” Konstelasi, Edisi ke-31 April
2011. Artikel diakses 6 Juli 2013, dari http://www.p2d.org/index.php/
kon/52-31-april-2011/273-dinasti-h-tb-chasan-sochib--gubernur-jenderal-
dari-banten.html.
44
Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, “Dinasti Tb. Chasan
Sochib”
45
Soelaeman Soemardi, “Cara-cara Pendekatan terhadap Kekua-
saan Sebagai Suatu Gejala Sosial,” dalam Miriam Budiarjo, Aneka Pemi-
kiran tentang Kuasa dan Wibawa, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1991), 31. Lihat juga, Lord Acton, Essay on Freedom and Power, 1907.
Aslinya:“Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolu-
tely,”
18 Oligarki dan Demokrasi...

mengatakan, Pilkada Banten sebagai potret paling buruk penye-


lenggaraan pilkada se-Indonesia, sarat money politics, baik terang-
terangan maupun sembunyi-sembunyi.46
Dari pembahasan di atas, ada beberapa masalah yang
teridentifikasi. Pertama, transisi demokrasi selalu diselubungi
dengan transisi oligarki yang justru mengurangi kualitas demo-
krasi. Transisi inilah yang sering kali luput dari perhatian para
peneliti, karena terlalu fokus pada transisi demokrasi. Padahal,
jika fokus pada aktor-aktor dalam transisi demokrasi, akan sangat
jelas besarnya peranan para oligark dalam transisi atau suksesi
kepemimpinan baik di daerah maupun di pusat.
Kedua, secara historis, kemunculan demokrasi tidak ber-
hasil mempersempit stratifikasi material yang mendefinisikan dan
membentuk oligarki. Setelah demokrasi muncul, stratifikasi mate-
rial tetap ada. Padahal, demokrasi telah berhasil memberikan
kekuasaan politik formal yang tersebar secara merata melalui hak
pilih dengan prinsip one person, one vote. Dalam sejarah manusia,
demokrasi merupakan sistem yang sangat rata (equal) secara
radikal dan jarang terjadi pada sistem lain. Sebab, demokrasi dida-
sarkan pada konsep bahwa setiap orang mendapat jumlah suara
yang sama yakni satu suara;47
Ketiga, mahalnya biaya demokrasi yang direpresentasikan
dalam belanja kampanye pemilu (campaign expenditures) mem-
beri ruang yang lebih besar pada oligark untuk berkuasa. Meski
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mengeluarkan aturan yang
membatasi baik pemasukan dan pengeluaran dana kampanye,48 itu

46
Ayu Cipta, “Pilkada Banten Dinilai Terburuk se-Indonesia,”
artikel diakses pada 6 Juli 2013 dari http://www.tempo.co/read/news/
2011/10/27/179363638/ Pilkada-Banten-Dinilai Terburuk-Se-Indonesia.
47
Jeffrey A. Winters, “Oligarchy and the Jokowi Administra-
tion,” Kuliah Umum Jurusan Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri
Jakarta, Senin, 8 Juni 2015.
48
Komisi Pemilihan Umum (KPU), “Peraturan Komisi Pemili-
han Umum Nomor 8 Tahun 2015 tentang Dana Kampanye Peserta Pemi-
Ahmad Munjin 19

hanya efektif untuk tim kampanye yang secara resmi dilaporkan


ke KPU. Padahal, dikeluarkannya aturan ini agar tercipta pemilu
yang adil sesuai azas demokrasi. Dana pemasukan dan pengelua-
ran yang dikelola secara ‘diam-diam’ dan tidak dilaporkan ke KPU
oleh para relawan tetap tidak dapat dikontrol sehingga para oli-
garki masih tetap leluasa menggunakan sumber daya materialnya
dalam pemilu. Bahkan, kalaupun ada kasus money politic pada
level relawan, kandidat pasangan calon tidak bisa dituntut secara
hukum karena dalih relawan tidak terkait dengan pasangan calon.
Yang menjadi tanggung jawab pasangan calon adalah tim kam-
panye, bukan relawan.
Keempat, melalui kekuasaan material yang dimiliki, para
oligark juga memanfaatkan sumber daya kekuasaan lain seperti
otoritas tradisional untuk memperkuat posisi politiknya. Dalam
konteks ini, para oligark juga bisa mengendalikan atau paling
tidak mengajak elite-elite lain yang sumber daya kekuasaannya
non-material seperti orang-orang yang memiliki sumber daya
politik mobilisasi di sektor media atau tokoh organisasi kemasya-
rakatan.
Kelima, dalam sistem demokrasi elektoral, dengan me-
manfaatkan lembaga survei dan modal capital yang dimilikinya,
para oligark bisa mencalonkan kepala daerah yang disukai rakyat
sehingga hasil akhir tetap menjadi kemenangan para oligark.
Calon terpilih pun, akan kesulitan menghilangkan conflict of in-
terest dari para oligark yang notabene jadi kendaraan bagi calon
terpilih. Jadi, kalaupun pemimpin terpilih bukanlah seorang oli-
gark, para oligark tetap berkuasa besar di belakangnya dengan satu
set kepentingan mereka yaitu pertahanan kekayaan.
Satu pertanyaan yang telah menarik perhatian cukup besar
peneliti adalah elemen tertentu apakah yang membantu tebentuk-
nya oligarki di Banten. Elemen terbentuknya oligarki, di satu sisi
adalah kewenangan tradisional direpresentasikan oleh Kyai dan

lihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau
Walikota dan Waklil Walikota.”
20 Oligarki dan Demokrasi...

Jawara di Banten dan legtimasi tradisonal yang diberikan oleh


masyarakat Banten kepada jawara dan kiai. Tapi di sisi lain, sum-
ber daya kekuasaan materialjuga sangat menentukan terpilihnya
kepala daerah yang punya kewenangan tradisional dan sekaligus
mendapatkan legitimasi legal-rasional.
Di atas semua itu, perpaduan antara sumber daya material
(modal kapital) dan nonmaterial (modal sosial) mendukung ter-
bentuknya akumulasi kekuasaan oligarkis di Banten. Sumber daya
kekuasaan non-material yang direpresentasikan oleh masih kuat-
nya otoritas dan legitimasi tradisional yang dimiliki oleh keluarga
tertentu juga turut memperkuat sumber daya material dalam me-
raih kekuasaan oligarkis.Gejala-gejala sosial dan politik tersebut
menarik untuk diteliti sehingga menjadi fakta-fakta yang bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Oleh karena itu, berdasar-
kan masalah di atas, penulis mengangkat judul tesis:Oligarki dan
Demokrasi: Kajian Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara di
Banten.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah
Dari pembahasan di atas, kemunculan oligarki melalui
proses atau prosedur demokrasi yang sah sehingga membajak
kualitas dan subtansi demokrasi itu, teridentifikasi beberapa masa-
lah sebagai berikut:
1. Sistem demokrasi tidak bisa meminimalisasi terkonsentra-
sinya kekayaan sehingga stratifikasi material tetap me-
langgengkan oligark dan oligarki;
2. Transisi demokrasi selalu diselubungi dengan transisi
oligarki yang justru mengurangi kualitas demokrasi;
3. Biaya demokrasi yang mahal yang direpresentasikan da-
lam belanja kampanye pemilu (campaign expenditures)
memberi ruang yang lebih besar pada oligark untuk
berkuasa;
Ahmad Munjin 21

4. Melalui kekuasaan material yang dimiliki, para oligark


juga memanfaatkan sumber daya kekuasaan lain seperti
otoritas tradisional; dan
5. Dalam sistem demokrasi elektoral, dengan memanfaatkan
lembaga survei dan modal capital yang dimilikinya, para
oligark bisa mencalonkan kepala daerah yang disukai rak-
yat sehingga hasil akhir tetap menjadi kemenangan para
oligark.

2. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, penulis meru-
muskan penelitian ini dengan dua pertanyaan berikut ini:
1. Bagaimana profil sumber daya kekuasaan kiai dan jawara
di provinsi Banten?
2. Bagaimana peran kekuasaan material keluarga jawara
dalam menciptakan sistem pemerintahan oligarkis di pro-
vinsi Banten?

3. Pembatasan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini diba-
tasi pada empat hal, yakni definisi, ruang dan waktu, subjek pene-
litian, serta teori yang digunakan.Tujuannya, untuk menghindari
peninjauan yang terlalu luas dan memudahkan penjelasan terhadap
masalah yang diteliti.
Pertama, dari sisi definisi, oligarki adalah kekuasaan yang
dijalankan oleh para warga negara terkaya yang selalu tumbuh
menjadi golongan kecil; Demokrasi adalah sebuah metode untuk
mencapai keputusan bersama tanpa kekerasan dengan mengaman-
kan partisipasi menyeluruh dari pihak-pihak berkepentingan; Sum-
ber daya kekuasaan adalah segala sesuatu yang bisa digunakan
atau dimanfaatkan untuk memengaruhi hasil; Kiai adalah pemim-
pin agama (Islam) yang sakral dan memiliki otoritas serta legiti-
masi kharismatis yang luas; dan Jawara adalah pemimpin informal
darigama bersifat profane yang dilengkapi dengan kecakapan ilmu
bela diri dan sumber daya kekuasaan material yang ekspansif.
22 Oligarki dan Demokrasi...

Kedua, dari sisi ruang dan waktu, penelitian ini mengambil tempat
di Provinsi Banten yang mencakup empat kabupaten dan kota.
Adapun dari sisi waktu, penelitian ini dimulai pada awal 2014 dan
berakhir pada pertengahan 2018. Jika ada perbedaan dinamika
dengan hasil penelitian ini setelah pertengahan 2018, perkemba-
ngan tersebut tidak tercakup dalam penelitian ini.
Ketiga, subjek penelitian ini adalah beberapa kiai di Pro-
vinsi Banten dan para anggota keluarga jawara Tb. Chasan Sochib
(1930-2011) mulai dari anak, cucu, hingga menantu yang mendu-
duki jabatan publik baik eksekutif maupun legislatif. Oleh karena
itu, tidak semua oligark di Provinsi Banten menjadi subjek dalam
penelitian ini. Keempat, secara teori penelitian ini dibatasi pada
lima sumber daya kekuasaan baik materialataupun non-material
yang direpresentasikan oleh otoritas dan legitimasi tradisionalkiai
dan jawara di Banten. Kelima sumber daya kekuasaan tersebut
adalah hak politik formal, kekuasaan koersif, kekuasaan mobili-
sasi, jabatan resmi, dan kekuasaan material. Dari kelima sumber
daya tersebut, hanya kekuasaan material yang menjadi basis
kekuasaan dalam sistem oligarkis. Empat lainnya merupakan sum-
ber daya kekuasaan elite yang menjadi basis kekuasaan dalam
demokrasi.

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan


Penelitian tentang dinamika kekuasaan di Banten sudah
dilakukan oleh beberapa sarjana. M.A.Tihami yang mendukung
teori aksi (theory of action) Talcott Parsons, menyimpulkan, sis-
tem sosial (perilaku kepemimpinan) ternyata ditentukan oleh
sistem budaya; namun juga sistem sosial memengaruhi sistem
budaya. Hubungan antara sistem budaya dan sistem sosial ini dise-
but hubungan sibernetik.49 Menurut Tihami, kelestarian kepemim-
pinan kiai dan jawaradi Banten disebabkan oleh perilaku keduanya
dalam kepemimpinan. Masing-masing merupakan elemen dalam
49
M.A. Tihami, “Kiai dan Jawara di Banten: Studi tentang
Agama, Magi, dan Kepemimpinan di Desa Pasangrahan Serang, Banten,”
Tesis Magister, UniversitasIndonesia, 1992), i.
Ahmad Munjin 23

sistem sosial yang mempunyai hubungan sibernetik dengan agama


dan magi dalam sistem budaya. Itulah alasan mengapa, sebutan
kyai dan jawara sebagai pemimpin bagi orang Banten masih
sangat lekat. Kedua pemimpin tersebut telah berpengaruh sejak
zaman penjajahan Belanda. Bahkan dalam cerita rakyat dikatakan,
kedua pemimpin tersebut ada sejak zaman kesultanan Banten yang
pertama (kira-kira pada abad ke-16). Keberadaannya yang sudah
lama dan tetap sampai sekarang, menunjukkan betapa lestarinya
kedua pemimpin tersebut.50
Okamoto Masaaki and Abdul Hamid membuat proposisi,
bahwa, mungkin jawara selalu eksis sebagai kekuatan sosial tapi
tidak sebagai aktor politik tanpa dukungan kuat dari pemerintah
pusat.51 Fahmi Irfani menyimpulkan pada masa Orde Baru jawara
menjadi rekanan pemerintah pusat dan lokal dengan pola hubu-
ngan yang saling menguntungkan baik secara politik maupun
ekonomi. Kelompok jawara mendapatkan proyek-proyek pemerin-
tah. Pada masa reformasi, kelompok jawara menguasai sektor
politik di Banten.52
Kemudian, Leo Agustino menarik benang merah, dinasti
politik di Banten merupakan hasil dari sosialisasi rezim sebelum-
nya yaitu Soeharto yang menunjuk beberapa kerabat dan kolega-
nya menjadi ‘kaki tangan’ baik di pusat maupun di daerah untuk
menjaga ketenteraman politik dan menageksploitasi ekonomi.
Khusus di daerah Banten, kaki tangan (patron-client) tersebut
adalah jawara yang dianggap kuat (local strongmen). Jawara men-
daulat anggota keluarganya untuk terlibat aktif menjaga ‘harta’
Soeharto di daera Orang lokal kuat tersebut membangun dinasti
politik mulai dari tingkat provinsi, kabupaten, hingga kota.

50
Tihami, “Kiai dan Jawara,” iii.
51
Okamoto Masaaki and Abdul Hamid, “Jawara in Power, 1999-
2007,” Indonesia 86 (2008): 138.
52
Fahmi Irfani, Jawara Banten: Sebuah Kajian Sosial, Politik,
dan Budaya. (Jakarta: Young Progressive Muslim (YPM) Press, 2011),
177.
24 Oligarki dan Demokrasi...

Tujuannya, agar semua perkara dapat terkoordinasi di bawah


kendalinya. Inilah yang terjadi di Banten.53
Dalam konteks dinasti politik, Leo menjelaskan, jawara
memiliki status ganda, yakni sekaligus sebagai pengusaha. Seba-
gai pengusaha, mereka memaksimalkan sumber daya keuangan
yang dimiliki. Sementara itu, dalam kapasitasnya sebagai jawara,
mereka menggunakan sumber daya ‘keilmuan’ yang mereka kua-
sai.54 Sementara itu, menurut Lili Romli, jawara Banten sekarang
ini tidak identik dengan jawara55 tulen seperti zaman dahulu yang
memiliki kemampuan bela diri pencak silat dan ilmu kedigdaya-
an.56
Najmu L. Sopian menganalisis hubungan antara oligarki-
oligarki lokal dan kemunculan dinasti-dinasti politik di Indonesia
dan Philipina. Di antara kesimpulan Najmu adalah dominasi
Jawara di Banten dan Sulawesi Selatan sejak era otonomi daerah
mengonfirmasi tesis dari Hadiz bahwa proses demokratisasi di
Indonesia sudah dibajak oleh ‘the predatory patronage’ dari elite-
elite lokal.57
Dari sisi pendekatan, buku ini memang mirip dengan apa
yang sudah dilakukan Najmu, karena sama-sama memotret dina-
mika kekuasaan dengan menggunakan teori oligarki. Akan tetapi,
meski mengakui konsentrasi kekuasaan sebagai faktor terbentuk-
53
Agustino, “Dinasti Politik Pascaotonomi Orde Baru,” 110.
54
Agustino, “Dinasti Politik Pascaotonomi Orde Baru”
55
Fahmi Irfani secara gamblang memberikan berbagai definisi
jawara yang dikemukakan para akademisi. Lihat Irfani, Jawara Banten,
10-17.
56
Lili Romli, “Jawara Banten: Konteks Historis, Kedudukan dan
Peranannya,” dalam Leo Agustino, Politik dan Perubahan: Antara Refor-
masi Politik di Indonesia dan Politik Baru di Malaysia(Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2009), 133.
57
Najmu L. Sopian, “Political Dynasties and the Emergence of
Local Oligarchs in Post-Suharto Indonesia and the Philippines,” paper
diajukan untuk memenuhi persyaratan kuliah tentang Politics of Sout-
heast Asia pada the Department of Political Science, Northwestern Uni-
versity, 2014.
Ahmad Munjin 25

nya oligarki, Najmu tidak fokus pada sumber daya kekuasaan


material (material power resources) yang direpresentasikan oleh
Indeks Kekuasaan Material (Material Power Index). Inilah yang
membedakan buku ini dengan penelitian Najmu.
Dari sisi objek, buku ini memang sama dengan penelitian
M.A.Tihami, Leo Agustino, dan Okamoto Masaakibeserta Abdul
Hamid, karena sama-sama mengkaji kekuasaan jawara. Akan
tetapi, mereka lebih menggunakan sudut pandang elite sedangkan
penelitian ini menggunakan teori oligarki di mana sumber daya
kekuasaannya adalah material. Sebab, setiap oligark adalah elite,
tapi tidak setiap elite adalah oligark. Tihami, misalnya, menemu-
kan hubungan sibernetik antara jawara (elite) dalam sistem
budaya dengan kepemimpinan dalam sistem sosial di Banten yang
melestarikan kekuasaan Jawara dalam konteks antropologis. Pene-
liti, dalam buku ini, justru fokus pada kekuasaan Jawara dari aspek
sumber daya kekuasaan materialnya dalam sistem demokrasi
elektoral yang jelas tidak menjadi perhatian utama dalam peneliti-
an Tihami.

D. Tujuan dan ManfaatPenelitian

1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini: Pertama, untuk melakukan kajian
kritis terhadap aspek-aspek yang mendukung terbentuknya sistem
pemerintahan oligarkis di Banten; Kedua, untuk menunjukan
berbagai informasi dan data mengenai tipologi sumber daya ke-
kuasaan dan legitimasi politik yang mendukung terbentuknya
sistem oligarkis yang akan dikonfirmasi baik dari sisi kelas pengu-
asa maupun data-data sekunder lain; Ketiga, untuk mengelaborasi
sumber daya kekuasaan material (material power resources) yang
mengekploitasi legitimasi tradisional dan sumber daya kekuasaan
lain non-material dalam mendapatkan dan mempertahankan ke-
kuasaan tersebut; dan Keempat, untuk menunjukkan masyarakat
Banten memberikan legitimasi mereka pada penguasa oligarkis
sekaligus konsekuensi politiknya.
26 Oligarki dan Demokrasi...

2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan memiliki kontribusi yang signifikan
bagi disiplin ilmu lain yang relevan, seperti antropologi, sosiologi,
dan ekonomi. Dari sisi kegunaan, hasil studi ini akan memberikan
pelajaran berharaga bagi transisi demokratisasi Indonesia pada
umumnya dan Banten pada khususnya. Secara spesifik kajian ini
mendukung proses transisi dari pemerintahan tradisional dengan
sumber daya kekuasaan materialke pemerintahan yang modern.
Studi ini juga menunjukan cara pendistribusian politik dan ekono-
mi yang sejatinya terjadi secara setara. Selain itu, hakikat demo-
krasi menegaskan bahwa otonomi daerah bukan untuk memberi-
kan kekuasaan politik pada suatu keluarga terkaya melainkan
kepada semua warga negara. Walhasil, fakta bahwa kegagalan
untuk merealisasikan yang esensi bertentangan dengan demokrasi
itu sendiri. Di sinilah, pentingnya penelitian yang fokus pada oto-
ritas dan legitimasi lokal tradisional dan kekuasaan materialbagi
Indonesia.

E. Metodologi Penelitian
Metodologi adalah proses, prinsip dan prosedur yang digu-
nakan untuk mendekati permasalahan dan mencari jawaban.
Artinya, metodologi adalah suatu pendekatan umum untuk meng-
kaji penelitian.58

1. Jenis Penelitian
Jenis penelitan ini adalah kualitatif yaitu menggambarkan
ranah-ranah kehidupan ‘dari dalam ke luar’ dari sudut pandang
orang-orang yang terlibat. Dengan cara itu, jenis penelitian ini
diharapkan berkontribusi pada pemahaman yang lebih baik atas
realitas sosial dan menggambarkan perhatian pada proses-proses,

58
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma
Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2006), 145.
Ahmad Munjin 27

pola-pola makna, dan corak struktural.59 Metode penelitian kuali-


tatif dibedakan dengan metode penelitian kuantitatif dalam arti
metode penelitian kualitatif tidak mengandalkan bukti berdasar-
kan logika matematis, prinsip angka, atau metode statistik.60
Namun demikian, meski penelitian kualitatif dalam ba-
nyak bentuknya sering menggunakan jumlah penghitungan, pene-
litian tidak menggunakan nilai jumlah seperti yang digunakan
dalam pengumpulan dan analisis data dalam eksperimen dan
survei.61 Contohnya seperti yang dilakukan kaum interaksionisme
simbolik yang ada kalanya menggunakan metode kuantitatif
sederhana, dilengkapi data statistik bersifat deskriptif (noninferen-
sial), terutama ketika mereka ingin menemukan suatu pola menye-
luruh dalam data mereka.62 Begitu juga dalam konteks penelitian
ini. Untuk deskripsi dan menemukan pola menyeluruh dalam data
tentang oligarki, studi ini juga banyak mengambil manfaat dari
data Produk Domestik Bruto (PDB) dan Gini Coefficient dari
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten dan Laporan Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dari Komisi Pembe-
rantasan Korupsi (KPK).

2. Jenis dan Sumber Data

a. Jenis Data
Terdapat dua jenis data dalam penelitian ini, yaitu data
kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif adalah data yang
mengandung pemahaman-pemahaman tentang kompleksitas, rin-
cian, dan konteks dari subjek penelitian. Data jenis ini seringkali
berisi berbagai teks seperti salinan (transkrip) wawancara dan

59
Uwe Flick, Ernst von Kardorff, dan Ines Steinke, eds., A Com-
panion to Qualitative Research (London: Sage Publications, 2004), 3.
60
Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, 150.
61
Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, 150.
62
Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, 146.
28 Oligarki dan Demokrasi...

catatan lapangan atau materi-materi audiovisual.63 Sementara itu,


data kuantitatif adalah data yang bisa digambarkan secara nume-
rik (sistem angka) tentang pengertian dari objek-objek, variabel-
variabel, dan nilai-nilainya.64

b. Sumber Data
Terdapat dua jenis sumber data dalam penelitian ini yakni
sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data pri-
mer adalah adalah data asli yang dikumpulkan untuk tujuan pene-
litian yang spesifik.65 Oleh karena itu, data primer belum ada
sebelum penelitian ini dilakukan. Sedangkan sumber data sekun-
der adalah bahan analisis yang didapat dengan cara kembali meng-
gunakan data yang sudah ada sebelumnya untuk mendapatkan
pemahaman ilmiah dan metodologis baru.66 Dengan kata lain, data
sekunder adalah data yang pada awalnya sudah dikumpulkan
untuk tujuan yang berbeda dan digunakan kembali untuk menja-
wab pertanyaan penelitian yang lain.67 Oleh karena itu, data-data
tersebut sudah ada sebelum penelitian ini dilakukan.
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah wawan-
cara dengan beberapa kiai di Banten, juru bicara keluarga besar
Ratu Atut Chosiyah dan Kepala Seksi Neraca Konsumsi Badan
Pusat Statistik Provinsi Banten. Sedangkan sumber sekunder ada-
lah data-data ekonomi Provinsi Banten tahun 2000-2017, Laporan
Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dirilis oleh

63
Joop J. Hox dan Hennie R. Boeije, “Data Collection, Primary
vs. Secondary,” dalam Encyclopedia of Social Measurement, Volume I,
ed. Kimberly Kemp-Leonard (Tanpa Tempat Terbit: Elsevier Inc., 2005),
593.
64
Hox dan Boeije, “Data Collection,” 593.
65
Hox dan Boeije, “Data Collection,” 593.
66
Sarah Irwin dan Mandy Winterston, “Debates in Qualitative
Secondary Analysis: Critical Reflections,” Timescapes Working Paper
Series: an Economic and Social Research Council (ESRC) Qualitative
Longitudinal Study, no. 4 (2011): 2.
67
Hox dan Boeije, “Data Collection,” 593.
Ahmad Munjin 29

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan literatur lainnya,


seperti buku, jurnal, majalah, koran, dan media berbasis daring.

3. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang menjadi sumber utama
buku ini adalah kombinasi studi literatur yang luas dan penelitian
lapangan. Antara lain, wawancara mendalam (semi-kualitatif)
dengan para tokoh yang menjadi subjek atau orang terkait peneli-
tian ini dan tokoh-tokoh dari lembaga-lembaga lain yang relevan.
Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibat-
kan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seorang
lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan
tujuan tertentu.”68 Wawancara mendalam disebut juga wawancara
tak terstruktur yang bersifat luwes di mana susunan pertanyaan-
nya dan susunan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat diubah
pada saat wawancara. Perubahan tersebut disesuaikan dengan ke-
butuhan dan kondisi saat wawancara termasuk karakteristik sosial
budaya--agama, suku, gender, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan
dan sebagainya—responden yang dihadapi.69

4. Pendekatan
Metodologi dipengaruhi atau berdasarkan perspektif teo-
retis yang digunakan untuk melakukan penelitian. Perspektif
teoretis adalah suatu kerangka penjelasan atau interpretasi yang
memungkinkan peneliti memahami data dan menghubungkan data
yang rumit dengan peristiwa dan situasi lain.70 Dalam konteks
penelitian ini, peneliti menggunakan teori oligarkidari Jeffrey A.
Winters, Oligarchy (New York: Cambridge University Press,
2011). Winters merevisi teori oligarki yang campur aduk dengan
teori elite yang memasukkan unsur-unsur oligarki selain material.
Untuk memudahkan cara berpikir, peneliti mengikuti alur teori
oligarki Winters tersebut dan menurunkannya ke dalam konsep-
68
Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, 180.
69
Mulyana,Metodologi Penelitian Kualitatif, 181.
70
Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, 145.
30 Oligarki dan Demokrasi...

konsep baik dalam Alquran dan Hadis maupun konsep yang pene-
liti temukan dalam kasus penelitian ini yaitu oligarki di Provinsi
Banten. Peneliti menggunakan teori tersebut untuk membaca
semua data yang peneliti berhasil himpun.

5. Teknik Penulisan
Penelitian ini menggunakan kaidah penulisan akademik
Turabian Style yang menjadi rujukan penulisan akademik di
Amerika Utara dan Pedoman Penulisan Bahasa Indonesia, Trans-
literasi, dan Pembuatan Notes dalam Karya Ilmiah yang diter-
bitkan oleh Sekokah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.

F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam menjawab permasalahan
penelitian buku ini, peneliti menggambarkan secara sistematis
urutan logika pembahasan menjadi beberapa bagian berikut ini:
Bab I yang merupakan pendahuluan dari buku ini berisi
tentang latar belakang masalah. Bagian ini memuat tentang kondi-
si demokrasi di Indonesia yang seharusnya (das sollen) dan kenya-
taan demokrasi (das sein) yang diganduli oleh suksesi kepemim-
pinan oligarkis sehingga menggerus kualitas demokrasi. Kondisi
itu menjadi fenomonal global, nasional, dan lokal. Dalam konteks
ini, peneliti fokus pada kasus lokal, yakni provinsi Banten. Latar
belakang masalah tersebut dirumuskan ke dalam permasalahan
yang meliputi identifikasi masalah, pembatasan masalah, dan
perumusan masalah. Studi terdahulu yang relevan juga memberi-
kan konteks pada penelitian ini.
Pada bab ini, peneliti juga menetapkan tujuan penelitin,
manfaat atau signifikasi penelitian, dan metodologi penelitian.
Metodologi penelitian mencakup jenis penelitian, jenis dan
sumber data, dan pendekatan atau teori. Pendekatan dan teori
berguna untuk membaca data-data yang berhasil peneliti himpun.
Pada bagian akhir bab pertama ini, peneliti mendeskripsikan siste-
Ahmad Munjin 31

matika penulisan yang merupakan alasan atau alur logis pembaban


pada penulisan buku ini.
Bab II berisi kerangka teori yang mencakup teori oligarki
dan perdebatan akademik sesuai dengan tema penelitian ini, yaitu
oligarki, demokrasi, dan Islam. Dalam konteks teori, pertama-
tama, perdebatan muncul mulai dari definisi oligarki antara ke-
lompok pendukung definisi material dan nonmaterial. Perdebatan
juga mencuat pada teori pembentukan oligarki mulai dari penak-
lukan hingga akumulasi kekayaan. Yang tak kalah menarik adalah
terjadinya penyimpangan teori oligarki ke teori elite pada abad 20.
Peneliti pun menampilkan distingsi antara kedua teori tersebut
pada bab ini. Lalu, peneliti memaparkan jenis-jenis oligarki mulai
dari oligarki panglima hingga oligarki sipil. Secara dialektis,
peneliti mempertentangkan oligarki dengan demokrasi di mana
terjadi ‘pertarugan sengit’ antara kekuasaan material pada oligarki
versus partisipasi pada demokrasi. Sebelum itu, peneliti mendes-
kripsikan perbedaan, persamaan, dan sintesis oligarki dengan
demokrasi.
Namun demikian, teori oligarki pun sebenarnya tak lepas
dari kritik. Pada bagian ini, peneliti menghadirkan penantang teori
oligarki yang di antaranya adalah teori aksi di mana individu seba-
gai fokus bukan pertentangan kelas seperti dalam tesis oligarki.
Setelah itu, peneliti menganalisis perdebatan perihal kompatibi-
litas versus inkompatibilitas oligarki dengan demokrasi. Pada
bagian akhir bab ini, peneliti melihat oligarki dalam perspektif
Islam. Dalam konteks ini, peneliti memaparkan oligarki dalam
perspektif Islam baik secara normatif ataupun empiris. Yang
dimksud secara normatif adalah oligarki sebagaimana sudah diteo-
rikan pada bagian awal bab II ini, dibaca ulang dalam perspektif
Alquran dan Hadis serta para ulama klasik. Kemudian, peneliti
juga menghadirkan pandangan para ulama klasik terhadap oligarki
sebagai fakta empiris.
Bab III mengelaborasi dinamika sumber daya kekuasaan
kiai dan jawara di banten. Pasca-Reformasi 1998, jawara tidak lagi
berperan sebagai santri dan pelayan bagi kiai. Dengan sumber
32 Oligarki dan Demokrasi...

daya kekuasaan material yang mendefinisikannya sebagai oligark


dan oligarki, jawara menjadi lebih dominan dibandingkan kekua-
saan elite yang melekat pada para kiai. Tubagus Chasan Sochib
(1930-2011), seorang tokoh jawara di Banten sukses mentransfor-
masikan dirinya dari material elite menjadi oligark sultanistik.
Terdapat beberapa faktor yang telah mengantarkan jawara pada
perubahan sosialnya yang signifikan itu. Pertama, alasan antropo-
logis yang mengharuskan jawara menjadi kaya dan ekspansi
bisnisnya yang tidak terbatasi oleh teritori desanya; Kedua,
hubungan jawara dengan rezim Orde Baru terjadi secara saling
menguntungkan baik secara politik maupun ekonomi; dan Ketiga,
intervensi rezim Orde Baru pada kiai justru menggerus kekuatan
sumber daya kekuasaan elite yang disandang oleh para kiai.
Pada bab III ini, peneliti membandingkan sumber daya
kekuasaan antara kiai dan jawara. Perubahan sosial dalam dinami-
ka kekuasaan keduanya sama-sama dipengaruhi oleh faktor ekster-
nal (eksogen) yakni rezim penguasa mulai dari era kolonial hingga
era reformasi. Peneliti memotretnya dengan lima teori sumber
daya kekuasaan, yaitu: hak politik formal, kekuasaan mobilisasi,
kekuasaan koersif, jabatan resmi, dan kekuasaan material. Sumber
daya kekuasaan yang terakhir inilah yang mendefinisikan sese-
orang menjadi oligark dan menciptakan sistem oligarki sekaligus
membedakannya dengan kekuasaan elite dalam demokrasi.
Pada bab IV, peneliti menganalisis jawara dan sumber
daya kekuasaan materialnya di banten.Banyak anggota keluarga
besar Tubagus Chasan Sochib berada di tampuk kekuasaan baik
eksekutif maupun legislatif. Pada bab IV ini, peneliti mengelabo-
rasi bagaimana sumber daya material yang menjadi basis kekuasa-
an oligarkis beroperasi pada keluarga besar jawara tersebut. Tidak
seperti bab III yang membandingkan kekuasaan elite kiai dengan
kekuasaan oligarkis jawara, pada bab ini peneliti lebih fokus pada
kekuasaan material dari para warga negara terkaya di Banten itu.
Mereka tumbuh menjadi golongan kecil di dalam masyarakat
sebagaimana diwakili oleh para anggota keluarga jawara. Untuk
itu, peneliti menguji empat hal, yakni: pertama, prasyarat terben-
Ahmad Munjin 33

tuknya oligark dan oligarki di Banten dan secara spesifik pada


keluarga jawara Tubagus Chasan Sochib, yakni ketidaksetaraan
materi yang ekstrem (stratifikasi material); kedua, oligark dan
oligarki; ketiga, pertahanan kekayaan yang mencakup harta dan
pendapatan; dan keempat merupakan implikasi dari kekuasaaan
oligarkis, yakni ketidaksetaraan materi dan politik yang ekstrem.
Dengan demikian, perwujudan kekuasaan oligarkis pada keluarga
jawara bisa tergambarkan dengan jelas.
Bab V merupakan bagian akhir dari keseluruhan buku ini.
Bab ini, pertama berisi kesimpulan yang mencakup kesimpulan
besar dan kesimpulan kecil (kasus). Kesimpulan besar diandaikan
menjadi teori yang bisa berlaku di seluruh dunia sehingga diharap-
kan buku ini memiliki implikasi teoretis secara global dan layak
dibaca dunia. Sementara itu, kesimpulan kasus, merupakan contoh
kasus dari kesimpulan besar tersebut secara lebih spesifik yakni
oligarki di Banten.
Kedua, bab ini bersisi diskusi yang meliputi refleksi,
implikasi, dan saran (rekomendasi). Refleksi merupakan renungan
peneliti atas kesimpulan buku ini. Sementara itu, implikasi menca-
kup dua hal: Pertama, implikasi teoretis yakni implikasi teori
oligarki terhadap teori lain dan disiplin ilmu lain. Kedua, implikasi
kasus yaitu nasib demokrasi di Banten jika suksesi kepemimpinan
selalu dimenangkan oleh para oligark. Bagian akhir dari bab ini
adalah saran atau rekomendasi: Pertama, saran untuk perkemba-
ngan demokrasi di Banten; dan Kedua saran untuk penelitian
selanjutnya tentang oligarki.[]
34 Oligarki dan Demokrasi...
Ahmad Munjin 35

Bab II
OLIGARKI, DEMOKRASI
DAN ISLAM

Dalam konteks politik kontemporer, sistem politik oligar-


kis yang justru lahir dari rahim demokrasi telah memancing
banyak perdebatan. Perbedaan pendapat muncul mulai dari defini-
si, perbedaannya dengan teori elite hingga masalah kompatibilitas
oligarki dengan demokrasi. Sebagian kalangan menolak definisi
generik oligarki yakni ‘segelintir orang’ yang campur aduk dengan
teori elite. Begitu juga soal apakah oligarki sejalan dengan demo-
krasi atau tidak. Pada bab ini, peneliti akan menyajikan perdeba-
tan tersebut dalam konteks pembahasan teori oligarki menurut
para ahli. Kemudian, pada bagian akhir dari bab ini, peneliti akan
mengomparasikan sistem politik oligarkis dengan sistem politik
Islam baik secara normatif maupun empiris sehingga bisa menja-
wab bagaimana oligarki dalam perspektif Islam.

A. Teori Oligarki dan Demokrasi


Pada subbab ini, peneliti menjelaskan teori oligarki dan
demokrasi. Pertama, penjelasan mengenai definisi demokrasi dan
oligarki baik dalam pengertian elite (non-material) yang menjadi
basis sumber daya kekuasaan demokratis ataupun dalam pengerti-
an oligarkis (material). Kedua, pembentukan oligarki yang menca-
kup penaklukan dan akumulasi kekayaan; Ketiga, perbedaan anta-
ra elite dan oligarki; Keempat, penjelasan mengenai jenis-jenis
oligarki mulai dari oligarki panglima hingga oligarki sipil; dan
Kelima, hubungan antara oligarki dan demokrasi yang memper-
tentangkan kekuasaan material versus kekuasaan partisipasi.
36 Oligarki dan Demokrasi...

1. Oligarki antara Definisi Material dan Nonmaterial


Secara etimologi, oligarki berasal dari bahasa Yunani
oligarkhia yang berarti pemerintahan sedikit orang.1 Kata tersebut
tersusun dari oligoiyang berarti sedikit dan arkhein yang berarti
memerintah.2 Kemudian, bahasa Arab menyerap kata oligarki
menjadi al-u>li>gharshi>yyah (‫)األوليغارشية‬.3Menurut istilah, oligarki ada-
lah kekuasan yang dijalankan oleh para warga negara terkaya yang
selalu tumbuh menjadi golongan kecil.4 Adapun definisi demo-
krasi secara generik adalah kekuasaan dari, oleh, dan untuk rakyat
yang secara bahasa berasal dari frase Yunani yang terdiri dari dua
kata, yaitu demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan).5 Sedangkan se-
cara terminologis, demokrasi didefinisikan sebagai sebuah metode
untuk mencapai keputusan bersama tanpa kekerasan dengan meli-
batkan partisipasi menyeluruh dari pihak-pihak atau kelompok-
kelompok berkepentingan.6

1
Secara generik, definisi demokrasi adalah kekuasaan banyak
orang (the rule of many); oligarki adalah kekuasaan sedikit orang ( the
rule of a few); dan tirani adalah kekuasaan satu orang (the rule of one
man). Sara Ahbel-Rappe dan Rachana Kamtekar, eds., A Companion to
Socrates (Malden, MA, Oxford, dan Victoria: Blackwell Publishing Ltd.,
2006), 216.
2
Jeffrey A. Winters, Oligarchy (New York: Cambridge Univer-
sity Press, 2011), 1.
3
‘Abd al-Waha>b al-Kaya>li>, Mawsu>‘ah al-Siya>sah (Beirut: al-
Muassasah al-‘Arabi>yah li al-Dira>sa>t wa al-Nashr, 1985), 415.
4
Jeffrey A. Winters dan Benjamin I. Page, “Oligarchy in the
United States?” Perspective on Politics no. 4 (Desember 2009): 732.
5
Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Res-
pons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-
1993 (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2004), 71.
6
John Keane, “Noberto Bobbio 1909-n/a,”dalam The Routledge
Dictionary of Twentieth-Century Political Thinkers, eds. oleh Robert
Benewick dan Philip Green (London dan New York: Routledge, 1998),
27. Untuk sejarah demokrasi dan definisi terminologisnya yang lebih
luas, lihat Abdillah, Demokrasi di Persimpangan, 71-3.
Ahmad Munjin 37

Dalam konteks definisi, para ilmuwan berbeda pendapat


tentang unsur-unsur oligarki. Perbedaan tersebut membawa konse-
kuensi teoretis masing-masing yang sangat fundamental. Di satu
sisi, sebagian ilmuwan memasukkan unsur material sebagai dasar
kekuasaan yang direpresentasikan oleh kekayaan dan hak milik. Di
lain sisi, ilmuwan lainnya tidak memasukkan unsur material seba-
gai dasar kekuasaan dan fokus pada definisi etimologis dari
oligarki yakni kekuasaan segelintir orang.
Hanya saja, yang sepakat definisi kekuasaan segelintir
orang pun, dalam konteks asal kelompok tersebut, para ahli juga
ternyata berbeda pendapat. Perbedaan tersebut tergantung pada
tempat dan periode sejarahnya. Perbedaan tersebut juga akibat
munculnya teori elite pada abad 20 yang memasukkan unsur oli-
garki selain kekayaan.7 Konsekuensi teoretisnya, beberapa kekua-
saan segelintir orang (oligarkis) bisa berasal dari kelompok ras
atau etnik, keturunanatau agama.8 Ada juga yang mengaitkan oli-
garki dengan organisasi,9 kelompok feodal, kelompok orang kaya,
kelompok intelektual, kelompok ulama10dan kelompok militer.11
Di antara definisi-definisi terminologis dari para ilmuwan
yang tidak memasukkan unsur material dalam oligarki terutama
diwakili oleh teori elite. Robert Michels (1876-1936) mendefinisi-
kan oligarki sebagai kekuasaan sedikit orang dari kelompok
7
Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732.
8
Winters dan Page, “Oligarchy in the United States?” 733.
9
Joel D. Wolfe, “Robert Michels 1876-1936,” dalam The Rout-
ledge Dictionary of Twentieth-Century Political Thinkers, eds. Robert
Benewick dan Philip Green (London dan New York: Routledge, 1998),
175.
10
Saeed Rahnema dan Haideh Moghissi, “Clerical Oligarchy and
the Question of “Democracy” in Iran,” Monthly Review 52 no. 10 (Maret
2001): 28-40.
11
Amany Lubis, Sistem Pemerintahan Oligarki dalam Sejarah
Islam (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), cover belakang. Lihat juga
Edward Shils, “Angkatan Bersenjata dalam Pembangunan Politik Nega-
ra-negara Baru,” dalam Elite dalam Perspektif Sejarah, ed. Sartono
Kartodirdjo (Jakarta: LP3ES, 1983), 207.
38 Oligarki dan Demokrasi...

organisasi. Oleh karena itu, siapa yang bicara organisasi, secara


otomatis bicara oligarki. Sebab, organisasi pada dirinya menum-
buhkan oligarki.12 Carl Joachim Friedrich (1937) juga menafsirkan
oligarki dalam pengertian bahasa Yunani yang literal sebagai
kekuasaan segelintir orang yang bisa diterapkan baik pada sistem
pemerintahan ataupun pada kelompok-kelompok di luar pemerin-
tahan seperti partai-partai politik, kelompok gereja, dan korporasi
bisnis.13Sementara itu, ‘Abd al-Waha>b al-Kaya>li> mendefinisikan
oligarki sebagai pemerintahan dan negara di mana kewenangan de
facto berada di tangan segelintir orang yang terbentuk di dalam
masyarakat.14
Sementara itu, para pemikir yang memasukkan unsur
material sebagai titik tekan dalam teori oligarki mereka, di anta-
ranya, adalah: Sokrates (c. 469–399 B.C.E)15yang mendefinisikan
oligarki sebagai pemerintahan orang-orang kaya yang di dalamnya
harta benda sangat diagung-agungkan.16Begitu juga dengan Plato
(427-347 B.C.)17 yang mendefinisikasn oligarki sebagai konstitusi
yang didasarkan pada penilaian kekayaan di mana orang kaya
berkuasa dan orang miskin tidak punya peran dalam pemerinta-
han.18 Vedi R. Hadiz dan Richard Robison (2013) mendefinisikan
oligarki sebagai hubungan-hubungan sistem kekuasaan yang
memungkinkan terjadinya konsentrasi kekayaan dan kewenangan
12
Wolfe, “Robert Michels,” 175.
13
Carl Joachim Friedrich, “Oligarchy,” dalam Encylopaedia of
the Social Sciences, volume XI-XII, ed. Edwin R.A. Seligman (New
York: The Macmillan Company, 1937), 462.
14
Kaya>li>, Mawsu>‘ah al-Siya>sah, 415.
15
Ahbel-Rappe dan Kamtekar, eds., Companion to Socrates,
414.
16
Leo Strauss dan Joseph Cropsey, eds., History of Political Phi-
losophy (Chicago dan London: The University of Chicago Press, 1987),
61.
17
Strauss dan Cropsey, eds., History of Political Philosophy , 33.
18
John M. Cooper dan D. S. Hutchinson, eds. Plato: Complete
Works (Indianapolis dan Cambridge: Hackett Publishing Company,
1997), 1162.
Ahmad Munjin 39

sekaligus pertahanan kolektifnya.19 Sebelum itu, Richard Robison


dan Vedi R Hadiz (2004) mengidentifikasi rezim Orde Baru seba-
gai oligarki kompleks (complex oligarchy). Oligarki ini didefini-
sikan sebagai sebuah sistem pemerintahan di mana hampir semua
kekuasaan politik dipegang oleh segelintir orang kaya yang
membuat kebijakan masyarakat banyak. Kebijakan tersebut hanya
menguntungkan mereka sendiri secara finansial dan kurang atau
sama sekali tidak memperhatikan kepentingan sebagian besar
warga negaranya.20
Definisi ‘kekuasaan segelintir orang’ mendapat kritik
tajam terutama dari Jeffrey A. Winters. Proposisi tersebut telah
menjebak para ilmuwan pada definisi generik yang terpaku pada
pengertian etimologis semata. Mereka mengabaikan prinsip utama
oligarki yaitu kekayaan yang menjadi dasar material pembentu-
kannya. Alih-alih meneguhkan teori oligarki, mereka justru terje-
bak pada teori elite. Artinya, tanpa mempertimbangkan dasar
material itu, menurut Winters, oligarki sebenarnya tak pernah ada
meskipun yang berkuasa adalah segelintir orang. Oleh karena itu,
tidak setiap pemerintahan segelintir orang adalah oligarkis. Sebab,
kata Winters, jumlah orang yang berkuasa, sebagaimana digagas
oleh Aristoteles (384-322 B.C.)21 bukanlah dasar utama teori
oligarki.22

19
Vedi R. Hadiz dan Richard Robison, “The Political Economy
of Oligarchy and the Reorganization of Power,” Indonesia, no. 96
(Oktober 2013): 37.
20
“A system of government in which virtually all political power
is held by a very small number of wealthy... people who shape public
policy primarily to benefit themselves financially... while displaying
little or no concern for the broader interest of the rest of the citizenry.”
Richard Robison dan Vedi R Hadiz, Reorganising Power in Indonesia:
The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (London dan New Yor,
NY: RoutledgeCurzon, 2004), 16-17, note 6.
21
Strauss dan Cropsey, eds., Political Philosophy, 118.
22
Winters, Oligarchy, 2.
40 Oligarki dan Demokrasi...

Winters dan Benjamin I. Page memang mengakui kekaya-


an sebenarnya bukanlah satu-satunya sumber daya kekuasaan.23
Atas dasar itu, ‘kekuasaan segelintir orang’ bisa juga terbentuk
atas dasar sumber daya kekuasaan yang lain di luar kekayaan. Me-
nurut Winters, sumber daya kekuasaan di luar kekayaan bukanlah
sumber daya pemerintahan oligarkis melainkan demokratis.
Winters dan Page menegaskan, konsep oligarki yang dimaknai
‘segelintir orang’ kemudian kehilangan kejelasan dan elaborasinya
karena campur aduk dengan pengertian tentang kekuasaan elite.24
Sebagai revisi atas definisi ‘segelintir orang,’ Winters dan
Benjamin I. Page (2009) meluruskan konsep oligarki dengan me-
ngadopsi definisi yang berasal dari Aristoteles. Oligarki merupa-
kan kekuasan yang dijalankan oleh para warga negara terkaya
yang selalu tumbuh menjadi golongan kecil.25 Pada bagian lain,
Winters (2011) menghilangkan frasa ‘golongan kecil’ dengan
mendefinisikan oligarki sebagai terkonsentrasinya kekuasaan atas
materi yang didasarkan pada penegakan klaim-klaim atau hak-hak
atas kepemilikan dan kekayaan.26 Hilangnya frasa ‘golongan kecil’
bagi Winters, pada hemat peneliti, bisa dipahami. Sebab, dia
berpendapat, jumlah penguasa bukanlah teori utama oligarki.
Definisi Winters itu, jelas lebih menekankan pada prinsip
oligarki, yakni ‘kekayaan’ dibandingkan definisi etimologisnya,
‘segelintir orang.’ Dari sisi ini, definisi terminologis tak selama-
nya sejalan dengan pengertian etimologisnya. Jadi, dalam kerang-
ka Winters, kekuasaan segelintir orang yang berasal dari kelom-
pok ras, etnik, keturunan, agama, organisasi, feodal, intelektual,
ulama,27 dan militer28 bukanlah oligarki selama sumber daya ke-

23
Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732.
24
Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732.
25
Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732.
26
Oligarchy is defined by concentrated material power based on
enforced claims or rights to property and wealth. Lihat Winters,
Oligarchy, 11.
27
Bedakan dengan Saeed Rahnema dan Haideh Moghissi yang
menyebut rezim penguasa di Iran yang didominasi oleh para ulama
Ahmad Munjin 41

kuasaannya tidak dibangun di atas basis material,29yaitu hak milik


dan kekayaan.

2. Pembentukan Oligarki: Penaklukan atau Akumulasi Kekayaan


Secara historis, menurut Carl Joachim Friedrich, kemun-
culan jenis pemerintahan oligarkis dipicu oleh salah satu dari dua
rangkaian keadaan yang utama. Pengaruh dari masing-masing
kondisi itu, bisa dilacak berkali-kali dalam periode sejarah yang

sebagai clerical oligarchy (oligarki para ulama). Padahal, basis kekuasa-


annya adalah jabatan resmi dan mobilisasi, bukan material. Lihat Rahne-
ma dan Moghissi, “Clerical Oligarchy,” 28-40.
28
Bandingkan dengan Amany Lubis yang menyebutkan salah
satu kesultanan Islam yang berkuasa panjang, yakni Dinasti Mamluk
(648-792 H/1250-1517) sebagai oligarki militer. Menurut Amani Lubis,
Dinasti Mamluk tidak menerapkan sistem turun temurun dalam suksesi
kekuasaan melainkan membentuk sistem oligarki militer yang memberi-
kan peluang bagi elite Mamluk yang paling perkasa untuk berkuasa.
Meski bercorak oligarki militer, Dinasti Mamluk banyak menerapkan
nilai-nilai demokratis, yang sekarang disebut sebagai pluralisme dan
multikulturalisme. Dalam konteks oligarki militer, Amani Lubis berpato-
kan pada oligarki secara generik, yaitu kekuasaan sedikit orang tanpa
mengukur basis kekuasaanya, yaitu kekayaan. Basis kekuasaan oligarki
militer lebih cocok dibaca sebagai kekuasaan keorsif yang justru menjadi
salah satu basis kekuasaan elite dalam sistem demokrasi bukan oligarki.
Lubis, Sistem Pemerintahan Oligarki, cover belakang.
Begitu juga dengan Edward Shils yang menyebutkan kaum mili-
ter di sepuluh negara baru telah mengambil kedudukan yang menentukan
dalam gelanggang politik sebagai oligarki militer yang modern. Kesepu-
luh negara tersebut adalah Indonesia, Birma, Laos, Pakistan, Irak, Uni
Emirat Arab, Sudan, Yordania, Libanon, dan Republik Korea. Shils,
“Angkatan Bersenjata,” 208.
29
Bedakan dengan J. Danang Widoyoko yang menulis oligarki
dalam pengertian segelintir elite dengan pendekatan modal sosial yang
dihubungkan dengan korupsi politik tanpa mengukur kadar oligarkinya
dari sisi wealth power. Lihat J. Danang Widoyoko, Oligarki dan Korupsi
Politik Indonesia: Strategi Memutus Oligarki dan Reproduksi Korupsi
Politik (Malang: Setara Press, 2013).
42 Oligarki dan Demokrasi...

berbeda-beda. Pertama, ketika terjadi penaklukan bersenjata terha-


dap wilayah berpenduduk banyak oleh kelompok ras yang berbeda
seperti Yunani pada periode awal, suku Jermanik pada periode
migrasi, the Golden Horde dan Incas; Kedua, saat terjadinya
akumulasi kekayaan secara besar-besaran di tangan kelompok ma-
syarakat yang relatif kecil (sedikit) yang tidak bisa mempertahan-
kan kekuasaannya tanpa dukungan militer dan pemerintah.30
Oligarki ini memiliki hubungan dengan plutokrasi, meskipun yang
utama bisa ditemukan dalam rajutan masyarakat yang erat seperti
negara-kota Yunani, Italia, dan Jerman, dan bisa juga muncul pada
pemerintahan serupa pada abad delapan belas di Inggris; kecende-
rungan serupa, menurut Friedrich, mungkin juga bisa terdeteksi di
negara fasis Italia dan Sosialis Nasional Jerman.31
Sementara itu, dengan mengadopsi pendekatan sumber
daya kekuasaan (power resources) yang dibangun oleh Korpi
(1985),32 Winters dan Page mengakui akumulasi kekayaan sebagai
sumber utama kemunculan oligarki. Menurut keduanya, para
oligark dan oligarki bisa didefinisikan dan dipahami secara baik
dengan memfokuskan perhatian pada level individu perihal sum-
ber daya kekuasaan, khususnya sumber daya kekuasaan material
sebagaimana mengejawantah dalam harta benda (kekayaan) dan
hak milik.33 Blomley (2003, 121), sebagaimana dikutip Winters,
menyatakan bahwa hak milik (property) bersifat relasional inhe-
ren, sehingga “ditegakkan terhadap yang lain (held against

30
Friedrich, “Oligarchy,” 463.
31
Friedrich, “Oligarchy,” 463.
32
Lihat juga Walter Korpi dan Joakim Palme, “New Politics and
Class Politics in the Context of Austerity and Globalization: Welfare
State Regress in 18 Countries, 1975-95,” American Political Science
Review 97, no. 3 (Agustus 2003): 425-446.
33
Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732. Lihat juga
Nicholas Blomley, “Law, Property, and the Geography of Violence: The
Frontier, the Survey, and the Grid,” Annals of the Association of Ameri-
can Geographers 93, no. 1 (Maret 2003): 121-141.
Ahmad Munjin 43

others).”34 Konsep hak milik ini lebih dekat dengan proposisi yang
dibangun oleh prinsip libertarian tentang self-ownership (kepemi-
likan diri). Menurut prinsip ini, setiap orang memiliki dirinya
sendiri dan karena itu tidak berutang baik atas jasa maupun atas
produk terhadap orang lain. Prinsip ini biasa digunakan untuk
membela ketidaksetaraan kapitalis yang justru diklaim untuk
merefleksikan kebebasan setiap orang dalam melakukan apa saja
yang dia kehendaki atas dirinya sendiri.35
Hanya saja, dalam konteks hak milik, Winters tidak
mempermasalahkan apakah hak milik itu didapat dengan cara-cara
yang legitimate atau tidak. Winters lebih fokus pada implikasi
dari hak milik itu. Menurut Winters, para ahli ekonomi meman-
dang, hak milik bersifat ekslusif dalam arti bisa dipegang oleh satu
individu atau lembaga dengan menyangkal klaim pihak lain. Akan
tetapi, sifat ekslusif juga membuat hak milik rawan terkena tanta-
ngan, yang disebut para ahli ekonomi sebagai biaya penegakan
hak (enforcement costs)36. Klaim “semuanya milikku” akan selalu
dibalas tanggapan “kata siapa?” atau “kata apa?” Ancaman-anca-
man dari tantangan seperti itu makin meningkat selagi kelangkaan
harga meningkat; selagi makin banyak orang membuat klaim dan
klaim tandingan; dan selagi besar harta yang diklaim oleh sedikit
orang menjadi makin tak merata. Menurut Winters, klaim, klaim
tandingan, ekslusi, dan ketidaksetaraan menjelaskan mengapa
harta tidak bisa dipertahankan tanpa sarana penegasan hak. Kebu-
tuhan akan kapasitas pemaksaan yang ampuh meningkat selagi
ketidakseimbangan-ketidakseimbangan harga yang diklaim me-
ningkat. Terciptalah tantangan politik besar bagi orang kaya seba-
gai individu maupun kelompok. Karena alasan itulah pertahanan

34
Winters, Oligarchy, 20.
35
G. A. Cohen, Self-Ownership, Freedom, and Equality (Cam-
bridge: Cambridge University Press, 1995), i.
36
A. Mitchell Polinsky dan Steven Shavell, “Enforcement Costs
and the Optimal Magnitude and Probability of Fines,” the Journal of
Law and Economics 35, no. 1 (April, 1992): 133.
44 Oligarki dan Demokrasi...

kekayaan menjadi dinamika politik utama dan tujuan semua


oligark.37
Dalam konteks ini, Aristoteles sebagaimana dikutip Joac-
him Friedrich, telah membedakan prinsip oligarki yakni kekayaan
(wealth) dengan kebajikan (virtue) yang menjadi prinsip aristo-
krasi.38 Pada umumnya, menurut Friedrich,39 Winters dan Benja-
min I. Page,40 karakteristik oligarki mengacu pada ketidaksetaraan
politik ekstrem yang secara niscaya menyebabkan ketidaksetaraan
materi yang ekstrem pula. Ketimpangan tersebut sangat kontras
terjadi, terutama menurut Friedrich, saat kesejahteraan masyara-
kat secara keseluruhan sedang mengalami penurunnan.41 Akan
tetapi, Winters sendiri justru membalik karakteristik umum terse-
but. Dia menyatakan, ketidaksetaraan materi yang ekstrem secara
niscaya menghasilkan ketidaksetaraan politik yang ekstrem pula.
Kondisi ini bisa terjadi baik dalam sistem demokrasi maupun
otoritarian.42 Para oligark adalah aktor-aktor yang secara personal
menguasai atau mengontrol akumulasi kekayaan yang massif—
sebuah bentukkekuasaan materi yang berbeda dengan semua
sumber-sumber kekuasaan yang lain. Kekayaan jenis ini, menurut
Winters dan Page, siap dikerahkan untuk tujuan-tujuan politik.43
Tingkatan dan karakter kekuasaan oligarkis berbeda-beda
tergantung pada tempat dan periode sejarah, mulai dari yang liar
dan tidak terbatas hingga yang jinak dan terbatas.44 Di beberapa
negara, para oligark menyandarkan kekuasaan mereka pada identi-
tas ras atau kesukuan, keterpandangan (noble birth), atau agama.
Akan tetapi, kekuasaan oligarkis selalu mencakup isu-isu yang

37
Winters, Oligarchy, 20.
38
Friedrich, “Oligarchy,” 463.
39
Friedrich, “Oligarchy,” 463-64.
40
Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 744.
41
Friedrich, “Oligarchy,” 464.
42
Jeffreys A. Winters, “Oligarchy and Democracy in Indonesia,”
Indonesia 96 (Oktober 2013): 12.
43
Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 733.
44
Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 733.
Ahmad Munjin 45

memengaruhi kepentingan material yang inti dari orang-orang


kaya dalam menjaga klaim terhadap apa yang mereka miliki dan
memungkinkan pencaplokan yang lebih banyak.45 Secara jelas,
kepentingan-kepentingan oligarki terfokus pada mempertahankan
kekayaan (menolak penyitaan dengan paksa) dan mempertahankan
pendapatan (menolak redistribusi hukum kepemilikan sehingga
kepemilikan pribadi dinyatakan aman). Sejak peradaban awal
hingga tumbuhnnya negara modern, para oligark mencurahkan
sebagian besar perhatian mereka untuk mempertahankan kepemili-
kan. Para oligark juga memaksakan diri untuk membuat investasi
utama dalam kapasitas-kapasitas untuk kekerasan dan pemak-
saan.46
Pertahanan kekayaan, lanjut Winters, memiliki dua dimen-
si yaitu pertahanan harta dan pertahanan pendapatan. Keduanya
dinilai penting bagi keberadaan dan keberlangsungan oligarki.
Akan tetapi, kadar relatif keduanya dan kadar keterlibatan
langsung oligark dalam politik pertahanan harta dan pendapatan
sangat beragam.47 Winters dan Page menyatakan, terdapat tiga
aspek kekayaan material yang menyebabkan harta benda bisa
melayani kebutuhan sumber daya kekuasan politis secara unik dan
tetap dalam banyak peradaban manusia. Pertama, kekayaan secara
umum terkonsentrasi di antara sangat sedikit warga negara.
Kedua, kekayaan material dalam bentuk apapun (uang di bank,
kepemilikan saham perusahaan-perusahaan, kepemilikan tanah)—
hampir di semua tempat dan waktu—secara mudah bisa diterje-
mahkan ke dalam pengaruh politik yang subtansial. Ketiga, kepe-
milikan kekayaan material disertai dengan satu set kepentingan-
kepentingan politik. Kepentingan-kepentingan untuk melanggeng-
kan dan melindungi kekayaan tersebut; kepentingan-kepentingan
untuk menentukan penggunaannya secara bebas dalam berbagai

45
Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 733.
46
Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 733.
47
Winters, Oligarchy, 23.
46 Oligarki dan Demokrasi...

tujuan; dan kepentingan-kepentingan untuk memperoleh kekayaan


yang lebih banyak lagi.48
Oligarki, Winters dan Page menegaskan, terbentuk oleh
kekayaan material49 yang sangat terkonsentrasi secara umum.
Kondisi itu disertai dengan kekuasaan politik yang besar dan doro-
ngan untuk menggunakan kekuasaan tersebut agar memenangkan
bentuk tertentu dari keuntungan ekonomi-politik. Oleh karena itu,
kepemilikan kekayaan yang besar mendefinisikan keanggotaan
dalam sebuah oligarki, menyediakan sarana untuk mengerahkan
kekuasaan oligarkis, dan memberikan insentif untuk menggunakan
kekuasaan tersebut demi tujuan-tujuan politik inti dalam membela
kekayaan. Pertahanan atas kekayaan tergantung pada konteks
nasional dan sejarah yang bisa berarti mempertahankan kekayaan,
mempertahankan keuntungan, atau kedua-duanya.50 Argumen Wi-
nters dan Page adalah hanya kekayaan semacam itu yang secara
konsisten merupakan sumber daya kekuasaan politik yang utama.
Kekayaan semacam itu pula yang seringkali merupakan sumber
daya paling penting yang berhubungan dengan kebijakan-kebija-
kan tertentu.
Jelas, Winters dan Page mengakui, kekayaan bukanlah
satu-satunya sumber daya kekuasaan politik. Kekuasaan bisa juga
berasal dari memegang jabatan politik formal, berasal dari menik-
mati hak-hak politik (seperti “one person one vote/satu orang
satusuara”51 di bawah sebuah sistem pemilihan yang demokratis),

48
Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732.
49
Kekayaan material (material wealth) adalah hal-hal yang me-
nimbun kekayaan seperti tanah, sumber-sumber makanan, kepemilikan
harta rumah tangga, dan barang-barang perhiasan yang bisa diwariskan.
Anna Marie Prentiss, et al., “The Cultural Evolution of Material Wealth-
Based Inequality at Bridge River, British Columbia,” American Anti-
quity 77, no. 3, (2012): 543.
50
Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732.
51
Hans A. von Spakovsky dan Elizabeth H. Slattery, “One Per-
son, One Vote: Advancing Electoral Equality, Not Equality of Represen-
tation,” Legal Memorandum no. 161 (10 September 2015): 2.
Ahmad Munjin 47

berasal dari kapasitas personal dan organisasional untuk memo-


bilisasi orang lain, dan bisa juga berasal dari kapasitas koersif atau
kekuatan bersenjata. Dalam kebanyakan pemerintahan modern,
bagaimanapun, fungsi koersif dimonopoli secara luas oleh
negara.52
Dalam sejumlah atau kebanyakan sistem politik, terkon-
sentrasinya kekayaan di tangan sekelompok kecil anggota masya-
rakat merupakan sumberdaya kekuasan politik yang serbaguna dan
ampuh. Saat masyarakat umum berpolitik, dengan kekayaan,
oligark bisa merekrut atau mengajak sumber daya-sumber daya
politik lain yang sangat berpengaruh. Dalam keadaan yang luar
biasa, memutuskan ancaman terhadap kepemilikan dan kekayaan
bisa memprovokasi para warga negara terkaya untuk terlibat
dalam membuat kerusuhan dan kadang-kadang terlibat reaksi
kekerasan politik dan ekonomi.53
Keistimewaan kualitas kekuasaan politik yang didasarkan
pada kekayaan adalah kekuasaan ini tidak tergantung pada lama-
nya waktu atau aksi yang luas oleh individu-individu dari orang-
orang kaya sendiri atau tidak juga mengandalkan potensinya atas
mobilisasi dan koordinasi di antara para oligark. Orang-orang kaya
seringkali mengontrol organisasi besar seperti perusahaan-perusa-
haan bisnis, yang bisa bertindak demi mereka. Mereka bisa merek-
rut tentara professional, aktor-aktor yang cakap dari kelas mene-
ngah dan kelas atas yang bekerja sebagai advokat-advokat bergaji
dan pembela kepentingan utama dari oligark.54 Dalam masyarakat
modern, aktor-aktor tersebut seringkali merupakan penghuni
yayasan-yayasan, berbagai think tanks, firma hukum yang terko-
neksi politik, konsultan-konsultan, dan organisasi-organisasi lobi.
Pada waktu tertentu, mereka merupakan politikus-politikus atau
pejabat-pejabat yang direkrut dan didanai oleh orang-orang kaya.
Mereka berbaur secara halus ke dalam politik pluralis kompleks
yang saling memberi dan menerima. Meski begitu, karakter, fokus
52
Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732.
53
Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732.
54
Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732.
48 Oligarki dan Demokrasi...

dan pengaruh mereka benar-benar berbeda: tujuannya untuk


memajukan kepentingan-kepentingan material dasar dari orang-
orang kaya.55
Winters menjelaskan, sebagaimana dikutip Fajar Kuala
Nugraha, pada dasarnya tidak semua oligark terjun langsung
dalam perebutan kekuasaan. Tingkatannya, dapat diukur melalui
seberapa besar ancaman terhadap kekayaan para oligark. Artinya,
semakin besar kadar ancaman dari kekuasaan, semakin aktif para
oligark dalam perebutan kekuasaan baik melalui Pemilu maupun
Pemilukada. Kondisi ini, berbeda halnya ketika ancaman terhadap
kekayaan oligark relatif kurang, bahkan cenderung mendapatkan
perlindungan dari negara sehingga dapat dipastikan keterlibatan
oligark dalam politik praktis sangat pasif. Sebagai gantinya, para
oligark akan berusaha membangun hubungan patron-client56
dengan aktor-aktor negara.57
Level keterlibatan oligark dalam politik praktis melalui
Pemilu atau Pemilukada juga, menurut Nugraha, menjadi jawaban
atas pertanyaan kritis yang dilontarkan oleh beberapa kalangan
yang mempertanyakan bagaimana mungkin oligarki dan demo-

55
Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732.
56
Hubungan patron-client(sebuah hubungan pertukaran antar
peran) adalah sebuah kasus khusus dalam ikatan dyadic (dua-orang) yang
melibatkan pertemanan instrumental secara luas di mana seorang indivi-
du dari status sosioekonomi yang lebih tinggi ( patron) menggunakan pe-
ngaruh dan sumber dayanya untuk memberikan perlindungan atau berba-
gai manfaat atau keduanya, terhadap seorang individu yang status sosio-
ekonominya lebih rendah (client). Pada gilirannya, client memberikan
imbalan dengan menawarkan dukungan dan bantuan secara umum,
termasuk pelayanan personal kepada patron. Dalam literatur antropologi,
patron-client berhubungan dengan beberapa istilah seperti clientelism,
dyadic contract, personal network, dan action-set. James C. Scott,
“Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia,” The
American Political Science Review 66 no. 1 (Maret 1972):92.
57
Fajar Kuala Nugraha, “Pemilukada: Menguatnya Politik Oli-
garki Lombok Timur Tahun 2013,” Jurnal Mahasiswa Ilmu Pemerintahan
1, no. 2 (2014): 4.
Ahmad Munjin 49

krasi dapat berjalan dalam satu sistem politik. Meskipun, pada


dasarnya oligarki dan demokrasi memiliki dasar kekuasaan berbe-
da, di mana oligark meletakkan konsentrasi kekuasaan pada
kekayaan (klaim terhadap kepemilikan dan kekayaan), sedangkan
demokrasi meletakkan konsentrasi pada persebaran kekuasaan
nonmaterial seperti hak, prosedur, dan tingkat partisipasi.58 Impli-
kasinya, menurut Nugraha, adalah demokrasi telah dimanfaatkan
oleh para oligark hingga akhirnya menciptakan demokrasi di
bawah bayang-bayang oligarki. Nugraha pun pesimistis. Alih-alih
demokrasi berhasil menghentikan para oligark untuk memperta-
hankan kekuasaan dan kekayaan, para oligark justru melakukan
berbagai cara demi menyesuaikan diri pada demokrasi.59

Bagan 2.1. Teori Oligarki

Ketidaksetaraan materi yang ekstrem (stratifikasi material)

Oligark dan Oligarki

Pertahanan Kekayaan(Harta dan Pendapatan)

Ketidaksetaraan materi dan politik yang ekstrem

Sumber: Diolah dari Winters, Jeffrey A.Oligarchy. New York:


Cambridge University Press, 2011.

Dari Bagan 2.1. terlihat bahwa oligarki terbentuk dan


terdefinisikan saat terjadi stratifikasi kekayaan yang ekstrem. Ke-
kayaan jenis inilah yang mendorong oligark untuk mempertahan-

58
Nugraha, “Politik Oligarki,” 4.
59
Nugraha, “Politik Oligarki,” 5.
50 Oligarki dan Demokrasi...

kannya. Dalam hal ini, terdapat dua jenis pertahanan yaitu perta-
hanan harta dan pertahanan pendapatan yang dilakukan melalui
jalur politik. Munculah istilah, politik pertahanan kekayaan. Jika
oligark berkuasa langsung, motif pertahanan kekayaan pun jadi
melebar ke motif-motif sumberdaya kekuasaan lain yang non-
mterial. Jika berkuasa tak langsung (di balik layar), motif kekuasa-
an pun semata pertahanan kekayaan. Akibatnya, jika oligarki tidak
dijinakkan oleh hukum dalam sistem demokrasi, kekuasaan
oligarkis akan menimbulkan ketidaksetaraan materi yang ekstrem
dan ketidaksetaraan politik yang ekstrem pula.

3. Distingsi antara Elite dan Oligarki


Penafsiran materialis60 tentang oligarkisangat dominan
sejak jaman dahulu sampai kemunculan teori elite pada penghu-
jung abad 19. Teori elite dibangun oleh para sarjana seperti
Gaetano Mosca (1858-1941), Vilfredo Pareto (1848-1923), dan
Robert Michels (1876-1936). Mereka merentangkan analisis ten-
tang oligarki dengan memasukkan sumber-sumber kekuasaan lain
selain kekayaan.61 Akibatnya, konsep oligarki campur aduk
dengan teori elite. Menurut Winters, memang para penggagas
teori elite pertama—Mosca, Pareto, dan Michels—mengakui ada-
nya tempat bagi kekuasaan material. Akan tetapi, dalam tulisan
mereka, ketiganya coba menggeser perhatian analitis ke aspek
kekuasaan minoritas lain di antara para pelaku yang berpengaruh
di puncak pemerintahan dan kerajaan. Akibatnya, walau ketiganya
membahas oligark dan oligarki, istilah-istilah tersebut mereka

60
Konsep materialis bermuara pada teori materialisme historis
Karl Marx yang diturunkan dari dialektika historis Hegel. Materialisme
historis tersebut didasarkan pada sumber daya alokatif tertinggi dalam
organisasi sosial melalui penerapan hubungan-hubungan atau kekuatan-
kekuatan dialektika produksi secara universal. Lihat Anthony Giddens, A
Contemporary Critique of Historical Materialism: Power, Property, and
the State (Berkeley dan Los Angeles: University of California Press,
1981), 109.
61
Winters dan Page, “Oligarchy in the US?”733.
Ahmad Munjin 51

gunakan bergantian dengan elite, bangsawan, elite pemerintah,


dan kelas penguasa. Pembauran makna dan pencampuran istilah
itu, menurut Winters, mengawali hilangnya kejernihan dan presisi
seputar konseptualisasi materialis atas oligark dan sumber daya
kekuasaannya.62
Mosca menyatakan, semua masyarakat mengandung seke-
lompok kelas yang relatif kecil (oligarkis) yang berkuasa dan seke-
lompok kelas sangat besar yang terdiri dari mayoritas penduduk
yang dikuasai.Dalam kerangka Mosca, kelas yang relatif kecil
tidak mesti terbentuk atas dasar material yang dalam kerangka
Winters, itu bukanlah oligarki melainkan elite. Oleh karena itu,
menurut Mosca, demokrasi tidak pernah memperkenalkan kekua-
saan mayoritas.63 Begitu juga dengan Paretoyang mengelaborasi
segelintir orang dari kelas borjuis Italia. Pareto mengkritik kelas
borjuis itu yang dinilainya telah memanfaatkan negara untuk
mempromosikan apa yang disebutnya bourgeois socialism (sosia-
lisme borjuis) melalui pajak, berbagai monopoli dan belanja mili-
ter. Akan tetapi, semua itu justru dirancang untuk memperkuat
pengusaha-pengusaha industri dan tuan-tuan tanah tertentu.64
Sementara itu, Michels mempopulerkan jargon, “orang
yang bicara organisasi, bicara oligarki.”65 Jargon tersebut merupa-
kan “hukum besi oligarki.” Pada 1911, Michels mengokohkan
dirinya sebagai teoretikus utama tentang elite melampaui Mosca
dan Pareto untuk mengjelaskan mengapa dominasi elite tak dapat
dihindari.66 Dengan mengambarkan pengetahuannya yang detil
tentang the Social Democratic Party of Germany (dalam Bahasa
Jerman: Sozialdemokratische Partei Deutschlands atau SPD),

62
Winters, Oligarchy, 31.
63
Bellamy, “Gaetano Mosca,” 182.
64
Richard Bellamy, “Vilfredo Pareto 1848-1923,” dalam The
Routledge Dictionary of Twentieth-Century Political Thinkers, eds.
Robert Benewick dan Philip Green (London dan New York: Routledge,
1998), 197.
65
Wolfe, “Robert Michels,” 175.
66
Wolfe, “Robert Michels,” 175.
52 Oligarki dan Demokrasi...

Michels berargumen, para elite lebih cakap, sedangkan orang


kebanyakan secara psikologis tunduk. Organisasi pada dirinya
menumbuhkan oligarki. Jika Karl Marx berpendapat bahwa domi-
nasi kapitalis tergantung pada pemisahan buruh dari kontrol alat-
alat produksi, Michels berargumen bahwa oligarki berasal dari
cara di mana organisasi memisahkan anggotannya dari alat-alat
kekuasaan kolektif. Pembagian buruh menyebabkan para pemim-
pin secara fungsional sangat diperlukan, mendongkrak posisi
sosial mereka atas rakyat jelata (proletariat).67
Dengan demikian, menurut Michels, para elite mengeje-
wantahkan berbagai kepentingan kelas mereka. Akbatnya, mereka
mengabaikan tujuan dasar untuk mendukung kelestarian organi-
sasi. Pada saat yang sama, organisasi mengingkari kesempatan
para anggotanya untuk ikut serta. Organisasi mendidik anggota-
nya agar tetap patuh dan mencegah mereka agar tidak mengontrol
pengambilan keputusan. Persaingan antar elite memang muncul,
tapi konsesi dan kerja sama menjamin kelangsungan mereka.
Pemberontakan dari bawah mengancam kecakapan pemimpin-
pemimpin dalam mengatur agenda isu, meskipun kontrol mereka
atas administrasi tetap menjamin dominasi elite.68
Winters menilai “hukum besi oligarki” Michels yang
terkenal itu,banyak mengandung kebingunan. Kalau diteliti lebih
cermat, ternyata bukan teori oligarki, melainkan analisis mengenai
bagaimana kaum elite akhirnya mendominasi semua organisasi
yang kompleks.69 Dalam kerangka Winters, itu bukanlah oligarki
melainkan “hukum besi elitisme.” Penilaian Winters ini bisa dipa-
hami karena prinsip oligarki adalah kekyaan sedangkan Michels
lebih fokus pada kekuasaan ‘segilintir orang’ dari aktor-aktor
organisasi. Padahal, menurut Winters, jumlah orang yang berkuasa
bukanlah dasar utama teori oligarki atau demokrasi yang digagas
Aristoteles.70

67
Wolfe, “Robert Michels,” 175.
68
Wolfe, “Robert Michels,” 175.
69
Winters, Oligarchy, 2.
70
Winters, Oligarchy, 2.
Ahmad Munjin 53

Akibatnya, menurut Winters, makna oligarki yang me-


ngacu ke Michels, begitu tidak jelas. Sebab, hampir semua sistem
politik atau komunitas yang belum melibatkan keikutsertaan para
anggotanya secara penuh dan terus-menerus disebut oligarkis.71
Winters dan Page menegaskan, konsep oligarki kemudian kehila-
ngan kejelasan dan elaborasinya karena campur aduk dengan
pengertian tentang kekuasaan elite.72Lalu, Winters dan Page
mencontohkan Pareto yang melihat demokrasi liberal sebagai
kepalsuan “demagogic plutocracies”73 di mana para politikus, bos-
bos partai, pemimpin-pemimpin perserikatan, para kapitalis, dan
elite-elite lain terlibat dalam hubungan patron-client (kaki tangan)
yang disiram aliran uang.74
Pemahaman utama oligarki, mengacu ke Winters, adalah
aktor memimpin dan mengontrol sebagian besar material yang
terpusat dan bekerja untuk mempertahankan kekayaan dalam
status sosial ekslusif.75 Sedangkan elite adalah minoritas pelaku di
puncak masyarakat yang berpengaruh karena mereka memegang
jabatan di pemerintahan, organisasi-organisasi besar (baik sekuler
maupun religius), atau korporasi (baik pribadi maupun publik).76
Winters menegaskan, dinamika poltik dan tujuan utama oligark
adalah pertahanan kekayaan. Pertahanan ini merupakan satu pola
konsisten dalam sejarah manusia di mana pengumpulan kekayaan
dan kekuasaan yang besar terjadi di tangan minoritas yang sangat
kecil.77
Dalam sistem negara modern, pertahanan kekayaan tak
lagi membuat oligark mempersenjatai diri dan bertarung membela
klaim harta, atau menggunakan sumber daya material untuk

71
Winters, Oligarchy, 2.
72
Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732.
73
Joseph V. Femia, Pareto and Political Theory (London dan
New York: Routledge, 2006), 100-23.
74
Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732.
75
Winters, Oligarchy, 6.
76
Winters, Oligarchy, 13.
77
Winters, Oligarchy, 21.
54 Oligarki dan Demokrasi...

membeli jasa kemampuan pemaksaan pihak lain. Menurut


Winters, pergulatan oligark bergeser, menjadi pengerahan sumber
daya material bagi professional spesialis (pengacara, akuntan,
konsultan penghindaran pajak, dan pelobi) untuk tetap menjaga
sebanyak-banyaknya harta dan pendapatan mereka agar tidak
jatuh ke tangan negara. “Jadi, sifat oligark tak terpisahkan dari
hakikat rezim pertahanan harta.”78 Inilah yang membedakan oli-
garki dengan elite79 yang tujuan politik utamnaya adalah perebu-
tan kekuasaan. Oleh karena itu, pelaku yang berasal dari minoritas
kecil yang menggunakan sumberdaya kekuasaan dari jabatan
resmi merupakan elite dan bukan oligarki.80
Dasar kemunculan oligarki adalah konsentrasi kekayaan
yang sangat ekstrem di masyarakat. Sedangkan dasar kemunculan
elite adalah struktur kelas81 yang terdapat di masyarakat.82 Semen-
tara itu, jumlah penguasa dalam oligarki bukanlah teori utama
baik banyak maupun sedikit. Yang terpenting adalah kekuasaan
tersebut didasarkan pada kekayaan. Oleh karena itu, oligarki
selalu merujuk pada hubungan erat antara kekayaan dan kekua-

78
Winters, Oligarchy, 24.
79
Elite adalah mereka yang memiliki kontrol atau akses yang
sangat tak sepadan atau ekstrem terhadap sumber daya ekonomi, sosial,
budaya, politik, atau pengetahuan (knowledge capital). Shamus Rahman
Khan, “The Sociology of Elites,” The Annual Review of Sociology no.
38(Mei 2012): 361.
80
Winters, Oligarchy, 14.
81
Kata “kelas” biasa digunakan baik sebagai kata benda maupun
sebagai kata sifat. Sebagai kata benda, orang mungkin mengajukan per-
tanyaan, “Menurut Anda, Anda termasuk kelas apa?” dan jawabannya
mungkin “Kelas pekerja.” Sebagai kata sifat, kata kelas membatasi
serangkaian konsep-konsep: hubungan kelas, struktur kelas, lokasi kelas,
formasi kelas, kepentingan kelas, konflik kelas, dan kesadaran kelas.
Istilah kelas menjadi lebih produktif saat digunakan sebagai kata sifat
(adjective). Erik Olin Wright, ed. Approaches to Class Analysis (Cam-
bridge: Cambridge University Press, 2005), 8.
82
Winters, Oligarchy, 275.
Ahmad Munjin 55

saan.83 Di sisi lain, jumlah penguasa dalam elite adalah minoritas


yang dominan dan kekuasaannya didasarkan pada pendidikan dan
informasi, kerumitan organisasi, etnis, dan jejaring ekslusif seperti
yang terbentuk dalam kekuasaan komite eksekutif dan pemerinta-
han perwakilan.84

Tabel 2.1. Perbedaan Teori Elite dengan Teori Oligarki


No Indikator Teori Elite Teori Oligarki

(1) (2) (3) (4)


Aktor memimpin dan
Minoritas pelaku di puncak mengontrol sebagian besar
masyarakat yang material yang terpusat dan
1 Pemahaman utama berpengaruh karena mereka bekerja untuk
memegang jabatan di mempertahankan kekayaan
organisasi-organisasi besar. dalam status sosial
ekslusif.
2 Masalah inti Perebutan kekuasaan. Pertahanan kekayaan.
Konsentrasi kekayaan
Struktur kelas yang terdapat
3 Dasar Kemunculan yang cukup ekstrem di
di masyarakat.
masyarakat.
Sumber daya kekuasaan
berasal dari non material Sumber daya kekuasaan
seperti jabatan baik formal utama adalah material
maupun informal. (dengan bentuk yang
Akibatnya, ketika masa beragam), sehingga
4 Sumber daya kekuasaan
jabatan telah usai berbagai menjabat atau tidak
kekuasaan yang dimiliki menjabat, kekuasaan besar
secara otomatis menghilang tetap dimiliki oligark di
bahkan kecil peluang untuk tengah masyarakat.
menjadi elite kembali.

Minoritas elite (berdasarkan Tidak tergantung pada


pendidikan dan informasi, minoritas maupun
5 Jumlah penguasa
kerumitan organisasi, etnis, mayoritas jika berkuasa
dan jejaring eksklusif). berdasarkan kekayaan.

83
Winters, Oligarchy, 27.
84
Winters, Oligarchy, 31.
56 Oligarki dan Demokrasi...

Sumber: Fajar Kuala Nugraha, “Pemilukada: Menguatnya


Politik Oligarki Lombok Timur Tahun 2013,”
Jurnal Mahasiswa Ilmu Pemerintahan 1, no. 2
(2014): 4.

Kemudian, Winters membagi sumber daya kekuasaan85


individu ke dalam lima jenis. Empat di antaranya merupakan sum-
ber daya kekuasaan elite dan sisanya merupakan sumber daya
kekuasaan oligark dan oligarki. Kelima jenis sumber daya kekua-
saan tersebut adalah kekuasaan berdasarkan hak politik formal,
jabatan resmi dalam pemerintahan atau organisasi, kekuasaan
pemaksaan (koersif), kekuasaan mobilisasi, dan kekuasaan
material.86
Hak politik formal adalah hak pilih bagi semua orang dan
berpartisipasi dalam politik yang merupakan sumber daya kekua-
saan yang paling banyak dan paling tersebar pada level individu.
Hak ini mencakup satu suara untuk setiap orang, kebebasan ber-
pendapat tanpa ditindas, dan kesempatan mendapat akses terha-
dap informasi yang dimiliki semua orang dalam masyarakat.87
Sedangkan jabatan resmi yang tinggi di pemerintahan, organisasi
besar (sekuler dan agama), atau perusahaan (pribadi dan publik),
menurut Winters, adalah suatu sumber daya kekuasaan yang pu-
nya pengaruh dramatis pada profil kekuasaan segelintir individu.
Pada zaman modern, organisasi-organisasi tersebut adalah badan
berdasarkan aturan yang mengonsentrasikan kekuasaan dengan
menghimpun sumber daya keuangan, jejaring operasi, dan penge-

85
Bandingkan dengan Bo Rothstein, Marcus Samanni, dan Jan
Teorell, “Explaining the Welfare State: Power Resources vs. The Quality
of Government,” European Political Science Review: European Consor-
tium for Political Research (Tanpa Bulan dan Tahun Terbit), 1-28.
86
Winters, Oligarchy, 11-20.Lihat juga Abdul Aziz Ahmad,
“Catatan Pembubaran HTI: Kanan, Kiri, dan Oligarki,” Gatra, 17 Mei
2017, 22-23.
87
Winters, Oligarchy, 13.
Ahmad Munjin 57

lompokan anggota atau bawahan yang bisa dipimpin, dilibatkan,


atau diperintah melalui kelembagaan.88
Sementara itu, kekuasaan pemaksaan (koersif)89 adalah
komponen profil kekuasaan yang bersifat individu dan telah
berubah secara radikal seiring berjalannya peradaban. Gagasan
terpenting Weber, menurut Winters, adalah fokus kepada peran
dan lokasi sosial pemaksaan dan kekerasan sebagai ciri khas
negara modern dibandingkan segala bentuk politik sebelumnya.
Sebelum kemunculan negara modern, kapasitas pemaksaan terse-
bar di antara banyak pelaku di masyarakat. Ketidakseimbangan
ekstrem dalam kapasitas individu melakukan kekerasan berarti
bahwa kekuasaan pemaksaan itu penting dalam profil kekuasaan
individu. Pencapaian utama negara modern adalah perlucutan
senjata yang efektif atas semua individu, atau mengikuti kata-kata
Weber,90 kemampuan negara memonopoli sarana pemaksaan yang
sah.91
Kekuasaan mobilisasi adalah kapasitas individu untuk me-
nggerakkan atau memengaruhi yang lain—kemampuan memimpin
orang, meyakinkan pengikut, menciptakan jejaring, menghidupkan
gerakan, memancing tanggapan, dan menginspirasi orang untuk
bertindak (termasuk membuat mereka mengambil risiko dan
berkorban). Kekuasaan mobilisasi juga merujuk pada perubahan
88
Winters, Oligarchy, 13-14.
89
Kekuasaan pemaksaan (coercive power) adalah kemampuan
agen dalam mejalankan konsekuensi negatif kepada pihak lain seperti
penurunan pangkat atau mutasi ke tugas atau jabatan yang kurang dii-
nginkan. Margaret Ann Faeth, “Power, Authority and Influence: A Com-
parative Study of the Behavioral Influence Tactics Used by Lay and
Ordained Leaders in the Episcopal Church,” (Disertasi PhD Virginia
Polytechnic Institute and State University, 2004), 11.
90
“Today, however, we have to say that a state is a human com-
munity that (successfully) claims the monopoly of the legitimate use of
physical force within a given territory .” Max Weber, “Politics as a Voca-
tion,” dalam From Max Weber: Essays in Sociology, eds. H. H. Gerth
dan C. Wright Mills (New York: Oxford University Press, 1946), 78.
91
Winters, Oligarchy, 15.
58 Oligarki dan Demokrasi...

yang kadang tajam pada profil kekuasaan individual pelaku yang


berada dalam keadaan mobilisasi pada periode tertentu. “Pelaku
dengan konsentrasi tinggi kekuasaan mobilisasinya termasuk
kategori elite, bukan oligark.”92
Terakhir adalah sumber daya kekuasaan material. Keka-
yaan, menurut Winters, adalah sumber daya kekuasaan yang men-
definisikan oligark dan menggerakkan politik serta proses oligarki.
Sumber daya kekuasaan material menyediakan dasar untuk
tegaknya oligark sebagai pelaku politik yang tangguh. Sumber
daya material dalam berbagai bentuk (yang paling luwes adalah
uang tunai) sudah lama dikenali sebagai sumber kekuasaan ekono-
mi, sosial, dan politik. Orang bisa menjadi sama sekali tak berkua-
sa kalau tidak punya kekayaan. Akan tetapi, orang masih bisa
mendapat kuasa melalui sumber-sumber daya kekuasaan lainnya.
Meski begitu, kumpulan kekayaan yang besar dan terkonsentrasi
di tangan sebagian kecil anggota masyarakat mewakili sumber
daya kekuasaan yang bukan hanya tak tersedia bagi yang tidak
memiliki harta, tapi juga jauh lebih luwes dan kuat daripada
sumber daya kekuasaan formal atau prosedural seperti hak pilih
yang setara bagi semua orang—terutama bila diukur di tingkat
individu. “Keluwesan luar biasa kekuasaan material itulah yang
menjadikannya sangat penting dalam politik. Kekuasaan material
yang bisa membeli pertahanan kekayaan, baik dalam bentuk
kemampuan pemaksaan atau menyewa jasa pertahanan dari pro-
fessional yang ahli.”93
Dengan demikian, tidak setiap kekuasaan yang dipegang
oleh segelintir orang adalah oligarkis. Kekuasaan yang didasarkan
pada sumber daya kekuasaan94 material semata yang memenuhi
kategori tersebut. Sumber daya material itu mengejawantah dalam

92
Winters, Oligarchy, 15-16.
93
Winters, Oligarchy, 18.
94
Lihat juga Michael Kellermann, “Power Resources Theory and
Inequality in the Canadian Provinces,” (makalah dipresentasikan pada
the Harvard Comparative Political Economy Workshop, Cambridge,
MA., 7-8 Oktober 2005).
Ahmad Munjin 59

kekayaan dan hak milik. Sumber daya inilah yang mendorong


terbentuknya oligarki saat terjadi ketimpangan ekonomi yang
tajam. Jika sumber daya ekonomi menyebar secara merata sehing-
ga mencapai keseimbangan tertentu, oligarki pun tak pernah ada.
Jadi, setiap oligark memang dapat dipastikan sebagai elite. Akan
tetapi, tidak setiap elite adalah oligark. Hanya elite dengan sum-
ber daya kekuasaan yang didasarkan pada kekayaanlah yang dise-
but oligark. Konsekuensinya, para sarjana yang mendefinisikan
oligarki secara generik yaitu ‘kekuasaan segelintir orang’ dan
melupakan prinsipnya yaitu ‘kekayaan’ menjadi terbantahkan.

4. Dari Oligarki Panglima hingga Oligarki Sipil


Selama berabad-abad, menurut Winters, oligarki dianggap
diperkuat oleh kekayaan. Anggapan tersebut dikacaukan oleh teori
elite pada awal abad keduapuluh. Kesamaan berbagai oligarki
sepanjang sejarah adalah bahwa kekayaan mendefinisikan dan
memperkuat oligarki dan secara inheren membuat oligarki teran-
cam. Motif keberadaan semua oligarki adalah mempertahankan
kekayaan. Upaya mempertahankan kekayaan itu bermacam-ma-
cam, tergantung apa yang dihadapi, termasuk seberapa jauh oligar-
ki terlibat dalam menghadirkan koersi/pemaksaan yang mendasari
klaim hak milik, dan juga apakah upaya itu dilakukan secara
sendiri-sendiri atau kolektif.95
Dengan demikian, menurut Winters, semua oligarki bisa
digolongkan menurut empat ciri utama: Pertama, kadar keterliba-
tan langsung oligark dalam melakukan pemaksaan yang menyo-
kong klaim atau hak milik atas harta dan kekayaan; Kedua,
keterlibatan oligark dalam kekuasaan atau pemerintahan; Ketiga,
sifat keterlibatan dalam pemaksaan dalam kekuasaan itu—
terpecah atau kolektif; dan Keempat, apakah oligark bersifat liar
atau jinak (penjinakan oleh pihak luar lebih umum serta lebih
stabil daripada penjinakan oleh diri sendiri).96 Garis perbatasan

95
Winters, Oligarchy, i.
96
Winters, Oligarchy, 32.
60 Oligarki dan Demokrasi...

historis paling penting di antara oligarki memisahkan oligarki


sebelum dan sesudah munculnya negara-bangsa modern. Bentuk
dominan oligarki sebelum kemunculan negara adalah oligark seba-
gai pelaku pemaksa yang berkuasa. Terpecah atau kolektifnya
kekuasaan mereka mengalami perubahan bersama-sama bangkit
dan runtuhnya imperium. Keragaman tersebut menghasilkan
empat tipe oligarki: oligarki panglima (warring), oligarki penguasa
kolektif (ruling), oligarki sultanistik (sultanistic) dan oligarki sipil
(civil).97
Oligarki panglima (warring) adalah oligarki yang perpeca-
hannya antar-oligark berada pada tingkat tertinggi. Kalaupun ada
persekutuan bersifat tak stabil dalam konteks persaingan keras
yang selalu berubah. Tiap sosok otoritas unggul yang muncul di
antara para oligark hanya bisa mendominasi untuk sementara.
Konflik dan ancaman umumnya bersifat lateral antar-oligark
panglima. Klaim atas wilayah sumber kekayaan, sumber daya, dan
populasi bawahan tumpang tindih dan menjadi bahan seteru.
Pengumpulan kekayaan dengan cepat paling banyak terjadi mela-
lui penaklukan, walau para oligark panglima juga mengambil
surplus98 dari produsen primer. Sumber daya pemaksaan dan mate-
rial terjalin amat erat bagi oligark panglima sehingga nyaris tak
terpisahkan. Kapasitas pemaksa ada untuk pertahanan kekayaan,
dan kekayaan digunakan untuk memelihara kapasitas pemaksa.99
Sementara itu, oligarki penguasa kolektif (ruling) adalah
para oligark yang masih berperan besar secara pribadi dalam
pelaksanaan kekerasan, namun berkuasa secara kolektif dan mela-
lui lembaga yang memiliki norma atau aturan main.100 Sedangkan
oligarki sultanistik (sultanistic) terbentuk ketika terjadi monopoli
sarana pemaksaan berada di tangan satu oligark, bukan negara

97
Winters, Oligarchy, i.
98
Surplus adalah jumlah yang melebihi hasil biasanya; berkele-
bihan; sisa. Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring), entri
“surplus.”
99
Winters, Oligarchy, 35.
100
Winters, Oligarchy, 35.
Ahmad Munjin 61

terlembaga yang dibatasi hukum. Di dalamnya, marak hubungan


patron-klien dengan norma perilaku dan kewajiban tertentu yang
terkait dengannya. Akan tetapi, penegakan hukum tidak ada atau
beroperasi sebagai sistem kekuasaan hukum yang bersifat priba-
di.101Terakhir, seperti oligarki sultanistik, oligarki sipil (civil)
adalah oligark yang sepenuhnya tak bersenjata dan tidak berkuasa
langsung. Kekuasaan bersifat sporadis selaku tokoh politik indivi-
dual, bukan dalam kapasitas oligarkis. Bedanya dengan sultanis-
tik, pada oligarki sipil, yang menggantikan individu tunggal seba-
gai pelaksana pemaksaan yang mempertahankan harta oligarki,
adalah adanya lembaga pelaku yang dikendalikan oleh hukum.102
Dalam oligarki penguasa kolektif, para oligark menyerah-
kan sebagian besar kekuasaan kepada kelompok oligark. Para
oligark sebagai kelompok lebih kuat daripada sembarang anggota-
nya. Dalam oligarki sultanistik, mereka menyerahkan sebagian
besar kekuasaan kepada satu individu. Satu oligark lebih kuat
daripada yang lain. Sedangkan dalam bentuk murni oligarki sipil,
para oligark menyerahkan sebagian besar kekuasaan kepada peme-
rintah tak-pribadi dan terlembaga di mana hukum lebih kuat
daripada semua individu. Dengan tersedianya pertahanan harta
oleh negara, pertahanan kekayaan dalam oligarki sipil terpusat
pada pertahanan pendapatan—upaya mengelak dari jangkauan
tangan negara yang hendak melakukan redistribusi kekayaan.103
Dari sisi jinak-liarnya, oligarki panglima tak pernah jinak.
Sebab, oligark panglima, per definisi, menurut Winters, hampir
selalu terlibat konflik kekerasan dengan sesamanya, dan mereka
merupakan pemilik wilayahnya sendiri sampai dijatuhkan. Semen-
tara itu, dalam oligarki penguasa kolektif, para oligark bisa sete-
ngah bersenjata sampai sepenuhnya tak bersenjata. Kemampuan
oligark menjinakkan diri sendiri secara kolektif bergantung kepada
apakah alat pemaksa dan pengendali kolektif bisa digunakan
untuk membatasi perilaku individu atau kelompok kecil oligark.
101
Winters, Oligarchy, 35.
102
Winters, Oligarchy, 36.
103
Winters, Oligarchy, 36.
62 Oligarki dan Demokrasi...

Oligarki penguasa kolektif bisa gagal membatasi perilaku meru-


gikan para oligark, tanpa ada individu atau kelompok kecil yang
mampu menantang atau menggulingkan kelompok penguasa.
Akibatnya, pihak-pihak itu boleh jadi melakukan gangguan terha-
dap kedamaian di pusat imperium (menghasut kelompok-kelom-
pok berdasar kelas atau status kewarganegaraan atau bentuk
indentitas lain), intrik politik yang merusak kestabilan di dalam
oligarki penguasa kolektif, aksi militer untuk memperkaya diri di
provinsi dan di luar (“menyalahgunakan” alat pemaksa kolektif),
atau korupsi besar-besaran. Selama oligarki penguasa kolektif
yang cacat bertahan, semua prilaku barusan adalah bukti adanya
oligarki liar.104
Di sisi lain, ketika keadaan dibalik dan satu individu atau
kelompok kecil oligark bukan hanya berhasil menguasai alat
pemaksa oligarki penguasa kolektif dan mengerahkannya untuk
melawan kelompok penguasa, melainkan juga menstabilkan dan
mungkin melembagakan bentuk dominasi lebih sempit itu, maka
itu merupakan contoh transisi dari oligarki penguatan kolektif
yang liar ke oligarki sultanistik yang jinak. Peristiwa seperti itu
terjadi di bawah Julius Caesar di Roma dan di bawah Marcos di
Filipina, walau pada kasus Marcos, kapasitas menjinakkan oligar-
ki-nya terbatas. Akhir kekuasaan otoriter di Filipina pada 1980-an
di Indonesia pada 1990-an banyak dielu-elukan sebagai transisi
menuju demokrasi. Akan tetapi, studi Winters mengungkap
dengan jelas tentang adanya satu lagi transisi penting yang terja-
di—dari oligarki relatif jinak di bawah dominasi sultanistik ke
oligarki liar di bawah pemerintah demokratis yang tak punya
kemampuan untuk mengendalikan para oligark.105 Demokrasi
tidak melenyapkan oligarki melainkan bersatu dengan oligarki.
Selain itu, inti masalah kekuasaan hukum (rule of law) di banyak
masyarakat adalah menjinakkan oligarki.106

104
Winters, Oligarchy, 37.
105
Winters, Oligarchy, 37.
106
Winters, Oligarchy, i.
Ahmad Munjin 63

Matthijs Bogaards menilai tidak begitu jelas atas empat


taksonomi atau pembagian jenis oligarki yang mewarnai sebagian
besar buku Winters tentang Oligarchy yang berisi studi-studi
kasus yang ilustratif itu.107 Sebab, dalam konteks oligarki sipil,
menurut Bogaards para oligark sama sekali tidak memerintah baik
secara individu maupun secara kolektif. Oleh karena itu, mereka
tidak membutuhkan perhatian orang lain atas kepentingan-kepen-
tingan mereka.108 Padahal, menurut Winters, oligarki sipil itulah
yang sepenuhnya kompatibel dengan demokrasi dengan mengacu
pada pengertian sebagaimana Winters lacak ke Aristoteles.
Oligarki sipil bisa menjadi demokratis kecuali oligarki sebagaima-
na didemontrasikan oleh kasus Singapura.109
Sementara itu, Robison dan Hadiz membagi oligarki ke
dalam tiga kelompok yang disebutnya merupkan perwujudan oli-
garki kompleks: pertama, pejabat negara (birokrat) alias politico-
bureaucrates;110kedua, keluarga-keluarga yang mengandung unsur-
unsur bisnis dan politik (politico-business families);111 dan ketiga,
para konglomerat bisnis.112 Menurut Robison dan Hadiz, sebagai-
mana dikutip J. Danang Widoyoko, oligarki yang dibangun dan
dibesarkan sejak masa Orde Baru mampu bertahan dan beradaptasi
dengan sistem politik dan ekonomi baru. Oligarki tersebut meru-
pakan aliansi sosial yang cair dan luas dari kekuasaan birokrasi,
korporasi yang diuntungkan oleh berbagai kebijakan protektif dan

107
Matthijs Bogaards, ulasan tentang Oligarchy, Jeffrey A.
Winters, Acta Politica 47 no. 3 (2012): 324.
108
Bogaards, ulasan tentang Oligarchy, 324.
109
Bogaards, ulasan tentang Oligarchy, 325.
110
Robison dan Hadiz, Reorganising Power, 14.
111
Robison dan Hadiz, Reorganising Power, 53-54.
112
Robison dan Hadiz, Reorganising Power, 12. Perihal taksono-
mi oligarki menurut Robison dan Hadiz, lihat juga R. William Liddle,
“Marx atau Machiavelli? Menuju Demokrasi Bermutu di Indonesia dan
Amerika” Orasi Ilmiah dalam rangka Nurcholish Madjid Memorial Lec-
ture V, Kamis, 8 Desember 2011, di aula Nurcholish Madjid, Universitas
Paramadina, Jakarta.
64 Oligarki dan Demokrasi...

fasilitas pemerintah serta organisasi korporatif yang menopang


kekuasaan Orde Baru. Krisis ekonomi dan politik serta berbagai
program reformasi meskipun membuat oligarki melemah dan ter-
fragmentasi, tetapi tidak menghancurkan basis sosial para
oligark.113
Jika mengacu pada sumber daya kekuasaan material
oligarki yang dibangun oleh Winters yakni akumulasi kekayaan
ekstrem, ketiga jenis oligarki Robison dan Hadiz, belum tentu
semuanya masuk kategori oligarkis. Hanya para konglomerat bis-
nislah yang berpeluang besar memenuhi syarat dan mendefinisikan
dirinya sebagai oligark. Sementara itu, politico-bureaucratesdan
politico-business families bisa masuk kategori oligarkis jika
akumulasi kekayaan yang mereka lakukan mencapai kategori
ekstrem. Jika tidak mencapai level yang ekstrem, dua jenis oligar-
ki tersebut masih berada dalam ranah teori elite bukan oligarki.
Sebab, birokrat-politik dan keluarga-keluarga bisnis-politik hanya
terdefinisikan sebagai oligark secara generik yakni ‘segelintir
orang’ tapi belum terdefinisikan secara prinsip dan sumber daya
kekuasaannya.

5. Oligarki dan Demokrasi: Kekuasaan Material versus Partisipasi


Sejak kelahirannya, kira-kira 250 tahun silam, demokrasi
tidak pernah berhasil mengatasi persoalan stratifikasi material.
Dalam demokrasi elektoral, yang terjadi adalah kontestasi dan
kompetisi timpang dalam pemilu. Hak pilih hanya membangun
arena pertarungan yang tak seimbang secara ekstrem antara
kekuasaan material dengan kekuasaan partisipasi. Pertaruangan
tersebut terjadi dalam bentuk hak pilih dalam demokrasi elektoral
yang menjalankan prinsip one person one vote. Satu suara orang
biasa memang sama dengan satu suara orang super kaya di bilik
suara. Akan tetapi, di luar bilik suara, orang super kaya dengan
wealth power-nya bisa memengaruhi jutaan suara. Apalagi, jika
113
J. Danang Widoyoko, Oligarki dan Korupsi Politik Indonesia:
Strategi Memutus Oligarki dan Reproduksi Korupsi Politik (Malang:
Setara Press, 2013), 6.
Ahmad Munjin 65

wealth power tersebut menggunakan media massa baik cetak


maupun elektronik untuk memengaruhi opini jutaan pemirsa.
Sebelum membahas persaingan dua jenis kekuasaan tersebut
(material dan partisipasi) lebih jauh, peneliti akan menghadirkan
terlebih dahulu, persamaan, perbedaan, dan sintesis antara oligarki
dan demokrasi.

a. Perbedaan, Persamaan, dan Sintesis Oligarki dan Demokrasi


Pada subbab ini, peneliti menjelaskan perbedaan, persama-
an, dan sintesis antara oligarki dan demokrasi. Indikator-indika-
tornya adalah fakta, penguasa, perbedaan sejati, jumlah penguasa,
motif berkuasa, kesetaraan/ketidaksetaraan, masalah inti, dan
sintesis. Lihat Tabel 2.2 berikut ini:

Tabel 2.2. Perbedaan-Persamaan Oligarki


dan Demokrasi Aristoteles
No. Indikator Oligarki Demokrasi

(1) (2) (3) (4)


Di mana-mana orang kaya hanya sedikit dan
1 Fakta
orang miskin banyak
Orang-orang yang
Orang miskin, bukan
memiliki harta
2 Penguasa orang kaya menjadi
memegang
penguasa.
pemerintahan.
3 Perbedaan sejati Kekayaan Kemiskinan
Bilamana manusia
berkuasa berdasarkan
kekayaan, baik mereka
sedikit atau banyak, Bila kaum miskin
4 Jumlah penguasa maka itu oligarki. berkuasa, itulah
Oligarki selalu merujuk demokrasi.
kepada hubungan erat
antara kekayaan dan
kekuasaan.
66 Oligarki dan Demokrasi...

Lanjutan Tabel 2.2


(1) (2) (3) (4)
Aristoteles tak pernah mengganggap serius
perbedaan antara motif mulia pemerintahan demi
kepentingan bersama versus kepentingan pribadi.
Siapapun yang berkuasa (baik oligarki maupun
demokrasi) bakal mementingkan dirinya sendiri.
Ketidaksetaraan material ekstrem menghasilkan
5 Motif berkuasa situasi di mana “yang miskin dan yang kaya
saling berkelahi. Pihak mana pun yang unggul,
bukannya mendirikan pemerintahan yang adil
dan mengutamakan rakyat, malah menganggap
supremasi politik sebagai hadiah kemenangan,
dari satu pihak mendirikan demokrasi sementara
pihak lain mendirikan oligarki”
Kesetaraan/
6 Ketidaksetaraan materi Kesetaraan politik
ketidaksetaraan
Supremasi politik
7 Masalah inti Pertahanan kekayaan
sebagai hadiah
Perpaduan oligarki dan demokrasi dengan
harapan segelintir orang kaya tidak akan menjadi
Sintesis oligarki
8. terlalu menindas dan mayoritas orang miskin
versus demokrasi
tidak akan mengancam atau menantang orang
kaya.
Sumber: Diolah dari Jeffrey A. Winters, Oligarchy (New
York: Cambridge University Press, 2011), 27-28.

Aristoteles menawarkan skema beberapa bentuk rezim


yang sederhana. Prinsip yang pertama adalah rezim-rezim tersebut
dipastikan baik atau buruk. Di satu sisi, rezim yang fokus pada
kebaikan bersama, disebut Aristoteles sebagai rezim yang baik. Di
sisi lain, rezim yang hanya mementingkan diri sendiri disebut
pemerintahan yang buruk. Prinsip kedua, rezim penguasa bisa ter-
bentuk dengan kekuasaan satu orang, sedikit orang, atau banyak
orang. Penguasa tunggal disebut monarki, apabila baik, dan apa-
bila kekuasaan tersebut buruk, maka disebut tirani. Kekuasaan
sedikit orang disebut aristokrasi apabila baik, dan oligarki apabila
buruk; Kekuasaan banyak orang, apabila baik disebut polity (sebu-
Ahmad Munjin 67

ah masyarakat politik),114 dan apabila buruk disebut demokrasi.


Bentuk rezim terbaik menurut Aristoteles adalah pangkat raja dan
yang terburuk adalah tirani.115
Menurut Kurt A. Raaflaub, dasar dan tujuan demokrasi
adalah menjaga kebebasan, kekuasaan, dan kepentingan-kepenti-
ngan materi masyarakat banyak (demos) sedangkan oligarki hanya
melayani kepentingan-kepentingan elite dan menghasilkan “per-
budakan” terhadap masyarakat dari kelas bawah.116 Berdasarkan
interpretasi Raaflaub itu, Thucydides (c. 460-c. 400 B.C.) meng-
ekspresikan kredo politik yaitu sebuah konstitusi campuran, per-
paduan antara elemen-elemen demokrasi dengan oligarki dengan
menolak elemen-elemen yang ekstrem dari keduanya. Dengan
demikian, Thucydides mengakui konstitusi campuran antara de-
mokrasi dan oligarki sebagaimana digagas oleh Plato, Aristoteles,
dan Polybius. Akan tetapi, Thucydides tidak menyatakan secara
tegas bahwa konstitusi campuran itu merupakan pilihan terbaik-
nya.117
Sedangkan menurut Winters, pemahaman atas oligark dan
oligarki bermula dengan pengamatan, ketidaksetaraan material
ekstrem menghasilkan ketidaksetaraan politik yang ekstrem pula.
Padahal, sebagian besar penafsiran demokrasi memandang keseta-
raan politik merupakan perkara akses dan keterlibatan dalam pro-
ses politik. Suatu bangsa menjadi demokratis dan ketidaksetaraan
politik teratasi ketika semua anggota masyarakat berhak berpar-
tisipasi bebas dan penuh, untuk memberi suara, berbicara, berkum-

114
Peter F. Drucker, A Functioning Society: Selections from
Sixty-Five Years of Writing on Community, Society, and Polity (New
Brunswick dan London: Transaction Publishers, 2003), 57.
115
Daniel Adam Doneson, “The Contest of Regimes and the
Problem of Justice: Political Lessons from Aristotle's Politics” (Disertasi
PhD the University of Chicago, 2006), 26.
116
Kurt A. Raaflaub, “Thucydides on Democracy and Oligar-
chy,” dalam Brill’s Companion to Thucydides, eds. Antonios Rengakos
dan Antonis Tsakmakis (Leiden dan Boston: Brill, 2006), 210.
117
Raaflaub, “Thucydides,” 189.
68 Oligarki dan Demokrasi...

pul, mendapat akses informasi, mengajukan keberatan tanpa


diintimidasi, dan memegang jabatan sampai tingkat politik ter-
tinggi. Ketidaksetaraan material di antara warga negara diakui
secara luas sebagai isu politik, tapi bukan sebagai sumber utama
kekuasaan politik yang tak seimbang.118
Winters menegaskan, oligarki bertumpu pada terkonsen-
trasinya kekuasaan material sedangkan demokrasi bertumpu pada
penyebaran kekuasaan non-material.119 Atas dasar itu, Winters
mendefinisikan oligarki dan demokrasi sebagai distribusi jenis-
jenis kekuasaan yang sangat berbeda secara radikal. Demokrasi
mengacu pada tersebarnya kekuasaan politik formal yang dida-
sarkan atas hak-hak, prosedur-prosedur, dan level-level partisipasi
umum. Sebaliknya, oligarki mengacu pada terkonsentrasinya ke-
kuasaan material yang didasarkan pada penegakan klaim-klaim
atau hak-hak kepemilikan atau kekayaan. Itulah sifat dasar kekua-
saan politik yang bisa diperluas atau dipersempit sebagaimana
sistem-sistem menjadi lebih atau kurang demokratis adalah berbe-
da dengan kekuasaan politik yang bisa disebarkan atau dikonsen-
trasikan secara material. Inilah alasan mengapa demokrasi dan
oligarki sungguh-sungguh kompatibel yang menyebabkan dua
ranah kekuasaan tidak bertentangan.120
Pada hemat peneliti, di satu sisi, konsentrasi kekayaan
para oligark memang memicu konsentrasi kekuasaan politik. Akan
tetapi, di lain sisi, secara formal-prosedural demokrasi, kekuasaan
non-material seperti kekuasaan politis tetap tersebar secara merata
melalui konsep one person one votesehingga wajar jika Winters
menganggap oligarki kompatibel dengan demokrasi. Hanya saja,
secara subtansial, konsentrasi kekuasaan politik pada segelintir
orang terkaya patut diakui sebagai hal yang bertentangan dengan
substansi demokrasi. Dalam konteks ini, peneliti berargumen,
oligarki lebih merupakan keniscayaan dibandingkan kompatibili-

118
Winters, Oligarchy, 4-5.
119
Winters, “Oligarchy and Democracy,” 20.
120
Winters, Oligarchy, 39.
Ahmad Munjin 69

tas selama demokrasi gagal mendorong pemerataan pertumbuhan


ekonomi.
Apalagi, menurut Winters, para oligark menyadari bahwa
demokrasi merupakan ancaman-ancaman baru yang potensial.
Secara historis yang terekam hingga ke era Aristoteles pun,
demokrasi selalu diisi dengan komentar-komentar yang gugup dari
orang-orang terkaya tentang bagaimana kekuasaan demokratis di
tangan mayoritas bisa mengancam stratifikasi materi dengan cara
mengambil dan meredistribusi kekayaan dari kelompok yang sedi-
kit.121 Bangkitnya lembaga dan politik kontemprer, termasuk
kemunculan demokrasi, menurut Winters, tidak menghilangkan
oligark dan juga tidak membuat oligarki usang secara politis.
Sebab, dalam demokrasi elektoral nyaris tidak ada pembatas yang
bisa efektif membatasi bentuk-bentuk kekuasaan material yang
dipegang oleh para oligark. Bahkan, dalam demokrasi industri
maju, sebagian konsentrasi terbesar sumber daya material dikuasai
secara pribadi dan digunakan dalam politik oleh minoritas amat
kecil demi tujuan-tujuan oligarkis.
Dengan demikian, sistem yang demokratis di segala aspek
lain masih mengandung ketidakseimbangan kekuasaan besar bila
banyak sumber daya material terkonsentrasi di sedikit tangan.
Jadi, walau bentuk dan cirinya telah banyak berubah sejak bang-
kitnya masyarakat pertama dengan stratifikasi material, oligarki
telah bertahan melalui periode-periode sejarah dan berbagai ben-
tuk pemerintahan selama kekayaan tetap terkonsentrasi di segelin-
tir orang.122
Sementara itu, perihal transisi menuju demokrasi, Winters
menjelaskan, jatuhnya material diktator di suatu negara seperti
Soeharto yang pernah berhasil menjinakkan oligarki sering
menghasilkan transisi menuju demokrasi sekaligus transisi menuju
oligarki liar. Lembaga formal hukum yang segaja dilemahkan sela-

121
Winters, “Oligarchy and Democracy in Indonesia,” 15.
122
Winters, Oligarchy, 10.
70 Oligarki dan Demokrasi...

ma periode otoriter ternyata terlalu lemah untuk mengendalikan


oligark ketika demokrasi elektoral menggantikan kediktatoran.123

b. Kekuasaan Material versus Kekuasaan Partisipasi


Menurut Gertrude Himmelfarb, dalam kerangka Lord
Acton, demokrasi lebih tepat didefinisikan sebagai partisipasi
masyarakat dalam urusan pemerintahan dibandingkan kekuasaan
rakyat yang tidak terbatas dalam urusan kemasyarakatan.124
Dalam konteks demokrasi elektoral, Winters memberikan peneka-
nan pada kekuasaan partisipasi masyarakat dalam pemungutan
suara dibandingkan kekuasaan material yang melekat dari orang-
orang terkaya. Menurut dia, kekuatan partisipasi dan kekuatan
material dalam demokrasi elektoral menjadi tidak setara. Sebab,
segelintir orang dengan kekuatan uang, jauh lebih kuat diban-
dingkan kekuatan mayoritas yang hanya mengandalkan kekuatan
partisipasi.125
Kemunculan demokrasi memicu kompetisi di antara
wealth power dengan participation power. Salah satu definisi
demokrasi adalah semua orang bisa berpartisipasi, bebas bicara,
bebas berpikir, bebas berkumpul, bebas mengeluh, bebas bersuara
dan bebas memilih. Dengan demikian, salah satu definisi demo-
krasi adalah hak atau kapasitas setiap orang untuk berpartisipasi
terutama dalam pemilu.126 Dalam sejarah manusia, demokrasi

123
Winters, Oligarchy, 38.
124
Gertrude Himmelfarb, pendahuluan untuk Essays on Freedom
and Power, oleh Lord Acton (Boston, Mass.: The Beacon Press, 1949),
lxi.
125
Jeffrey A. Winters, “Oligarchy and Democracy,” The Ameri-
can Interest 7, no. 2 (Desember 2011): 20.
126
Menurut Saiful Mujani, tidak ada ukuran pasti tentang dimen-
si partisipasi politik. Akan tetapi, ada beberapa ukuran yang bisa dijadi-
kan patokan yaitu aktivitas politik yang mencakup pencoblosan (membe-
rikan hak suara), kampanye, menghubungi pejabat publik, kerja kemasya-
rakatan, dan melakukan protes politik. Saiful Mujani, “Religious Democ-
rats: Democratic Culture and Muslim Political Participation in Post-
Ahmad Munjin 71

merupakan sistem yang sangat rata (equal) secara radikal dan


jarang terjadi pada sistem lain. Sebab, demokrasi didasarkan pada
konsep bahwa setiap orang mendapat jumlah suara yang sama
yakni satu suara (one person one vote).127
Akan tetapi, Winters menggarisbawahi, transisi dari sis-
tem non-partisipasi ke sistem partisipasi, tidak berarti semua
kesenjangan kekuasaan hilang. Yang berubah hanya satu dari
transisi tersebut yaitu semua orang bisa berpartisipasi. Semua
kesenjangan kekuasaan yang lain tetap terjadi terutama kekuasaan
kekayaan. Sebelum transisi ke demokrasi, ada orang kaya (oligark)
yang sangat berkuasa (powerful) dan setelah transisi ke demokrasi
pun, tetap ada orang kaya yang sangat berkuasa. Padahal, semua
orang mendapatkan satu suara. Kesenjangan tersebut mendefinisi-
kan para oligark sebagai orang yang berkuasa karena kekayaan.128
Oligark memang mendapat satu suara juga secara ritual
demokrasi dalam pemilu. Akan tetapi, jika oligark itu kebetulan
memiliki media, suara oligark melalui jalur keuangan dan media-
nya itu, berbeda dengan suara orang biasa. Oligark memiliki
kekuatan untuk mendanai partai, mendanai kampanye, dan menda-
nai kelompok tertentu yang mau naik dan menggeser kelompok
lain yang tidak dikehendakinya. Padahal, secara prosedural, demo-
krasi berjalan sempurna. Akibatnya, jika semua calon merupakan
pilihan oligarki, pemimpin terpilih pun merupakan pilihan oligar-
kis. Keterpilihan seorang pemimpin semacam itu merupakan kom-
binasi kekuasaan kekayaan dengan kekuasaan partisipasi dalam
demokrasi. Di Indonesia, kata Winters, yang dominanadalah
wealth power dibandingkan participation power.129

Suharto Indonesia” (Disertasi Ph.D, the Ohio State University, 2003),


43.
127
Jeffrey A. Winters, “Oligarchy and the Jokowi Administra-
tion,” Kuliah Umum Jurusan Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri
Jakarta, Senin, 8 Juni 2015.
128
Winters, “Oligarchy and Jokowi.”
129
Winters, “Oligarchy and Jokowi.”
72 Oligarki dan Demokrasi...

B. Kritik terhadap Teori Oligarki: Individu sebagai Fokus


Kritik tajam terhadap oligarki datang dari R. William
Liddle, Thomas B. Pepinsky,131 dan Marcus Mietzner.132 Ketiga-
130

nya menilai keliru teori oligarki, terutama yang digunakan oleh


Richard Robison bersama Vedi R. Hadiz dan Jeffrey A. Winters
untuk menjelaskan kekuasaan Orde Baru dan setelah kejatuhan
Soeharto. Liddle bahkan menyatakan, teori oligarki merupakan
sebuah nasihat tentang pesimisme.133 Ketiganya menyodorkan
teori baru sebagai revisi atas teori oligarki. Liddle menyuguhkan
teori aksi, Pepinsky mengajukan teori pluralisme, dan Mietzner
menyuguhkan level-level pragmentasi politik di Indonesia.
Sementara itu, Edward Aspinall, Teri L. Caraway dan Michele
Ford lebih fokus pada gerakan penting kelas bawah yang juga
bertentangan dengan tesis oligarki.134
Menurut Liddle, Robison dan Hadiz telah membangun
teori kritis paling lengkap dan persuasif. Hanya saja, buku mere-
ka,tidaklah menggambarkan pertentangan klasik Marxis antara
borjuis dan proletariat melainkan merupakan cara di mana elite
pemerintahan dan elite bisnis Indonesia telah merespons a la
Harvey terhadap kesempatan dan tatanan kapitalis global. Menu-
rut Robison dan Hadiz, sebuah “oligarki kompleks” sudah terben-
tuk semasa Orde Baru Soeharto.135 Saat terbentuk, oligarki Indo-

130
R. William Liddle, “Quality of Democracy in Indonesia:
Toward a Theory of Action,” Indonesia 96 (Oktober 2013): 63.
131
Michele Ford dan Thomas B. Pepinsky, eds., Beyond Oligar-
chy: Wealth, Power, and Contemporary Indonesian Politics (Ithaca, New
York: Cornell University Press, 2014), 83.
132
Ford dan Pepinsky, eds., Beyond Oligarchy, 114.
133
Disampaikan Liddle secara lisan dalam orasi ilmiahnya dalam
rangka Nurcholish Madjid Memorial Lecture V dengan tema “Marx atau
Machiavelli? Menuju Demokrasi Bermutu di Indonesia dan Amerika,”
pada Kamis, 8 Desember 2011, di aula Nurcholish Madjid, Universitas
Paramadina, Jakarta Selatan.
134
Ford dan Pepinsky, eds., Beyond Oligarchy, 135.
135
Liddle, “Quality of Democracy,” 63.
Ahmad Munjin 73

nesia ini terdiri dari tiga elemen: pejabat negara, keluarga politico-
business, dan konglomerat bisnis.
Menurut Robison dan Hadiz, lanjut Liddle, oligarki
kompleks masih berkuasa hingga sekarang meskipun rezim Orde
Baru yang otoriter jatuh pada 1998 dan diganti oleh institusi-
institusi demokratis secara formal. Robison dan Hadiz juga mem-
bantah bahwa desentralisasi berimbas positif pada kualitas demo-
krasi Indonesia. Yang berkuasa sekarang baik di pusat maupun di
daerah, lebih dari satu dekade setelah reformasi 1998 masih
merupakan individu-individu atau representasi mereka dari tiga
grup elite di atas.136
Prediksi Robison dan Hadiz dinilai Liddle pesimistis,
seraya mengutip: “Kemungkinan bahwa partai-partai reformis
yang solid mungkin muncul dari sisa-sisa yang didorong oleh
sebuah agenda yang koheren dari liberalisme pasar daripada dicap-
lok dalam sebuah sistem dari berbagai hubungan kekuasaan yang
tertanam dalam perburuan rente yang muncul bahkan lebih jauh
dari biasanya… [Artinya] sebuah sistem pemerintahan demokra-
tis, di mana aparatur negara akan menyediakan beberapa bentuk
tatanan yang di dalam tatanan tersebut para oligark akan lebih
berkuasa dibandingkan pasar.”137
Sejak lama, lanjut Liddle, para peneliti politik Indonesia
bisa memahami kemunculan argumen Robison dan Hadiz baik
sebagai observasi empiris maupun sebagai keluhan moral. Selama
Orde baru, argumen itu dianggap masuk akal untuk dipercaya
bahwa pejabat tinggi melanggar sumpah jabatan untuk mendapat
imbalan materi. Hal ini juga tampak jelas, bahwa para anggota

136
Liddle, “Quality of Democracy,” 64.
137
Robison dan Hadiz, Reorganising Power, 265, “[T]he possi-
bility that cohesive reformist parties might emerge from the wreckage,
driven by a coherent agenda of market liberalism rather than being
swallowed in a system of power relations embedded in the pursuit of
rents appears even more remote than ever … [This means] a system of
democratic rule where the state apparatus will provide some form of
order in which oligarchies rather than markets will prevail,”
74 Oligarki dan Demokrasi...

keluarga pejabat dan konglomerat swasta merupakan bagian dari


sebuah sistem patron-clientyang menguntungkan mereka dengan
mengorbankan bangsa dan negara. Namun demikian, argumen
teori kritis tersebut dinilai keliru oleh Liddle baik sebagai keluhan
moral maupun sebagai analisis empiris.138
Sebagai keluhan moral, argumen oligarki Robison dan
Hadiz tak lengkap. Memang tak bisa disangkal bahwa banyak
pejabat, para anggota keluarga pejabat, dan konglomerat dengan
koneksi pemerintah yang mendapatkan keuntungan ‘busuk’
semasa Orde Baru.139 Meski begitu, menurut Liddle, tetap saja,
tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia
yang mendekati 8% terjaga selama lebih dari seperempat abad dan
menguntungkan mayoritas penduduk. Sejarah ini, menurut Liddle
tercatat secara baik oleh beberapa ekonom termasuk Anne
Booth,140 Hal Hill,141 dan Peter Timmer.142
Secara empiris, Liddle menegaskan, penguasa Orde Baru
bukanlah sebuah oligarki melainkan diktator tunggal, Soeharto.
Semua keputusan penting diambil oleh Soeharto sendiri untuk
mewujudkan berbagai tujuan yang berbeda-beda dan yang utama
adalah mewujudkan kelestarian kekuasaannya. Elemen-elemen
oligarki dari Orde Baru itu, bertindak sekaligus sebagai basis
dukungan bagi Soeharto dan sebagai instrumen atau sumber daya
politik yang digunakan Soeharto. Tanpa apresiasi terhadap peran
Soeharto sebagai penguasa yang sadar diri, menurut Liddle, mus-
tahil bisa memahami pasang surut nasib dari kelompok-kelompok

138
Liddle, “Quality of Democracy,” 64.
139
Liddle, “Quality of Democracy,” 64.
140
Anne Booth, ed., The Oil Boom and After: Indonesian Econo-
mic Policy and Performance in the Soeharto Era (Singapura: Oxford
University Press, 1992).
141
Hal Hill, The Indonesian Economy since 1966 (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996).
142
Peter Timmer, “The Road to Pro-Poor Growth: The Indone-
sian Experience in Regional Perspective,” Bulletin of Indonesian Econo-
mic Studies 40, no. 2 (2004): 177-207.
Ahmad Munjin 75

ekonomi tertentu semasa Orde Baru dan cara-cara pergeserannya


yang memengaruhi ekonomi dan pemerintahan (polity) secara
luas.143 Selain itu, lanjut dia, satu hal yang penting, sejumlah
sumber daya politik yang lain tidak ditekankan oleh Robison dan
Hadiz secara lebih kritis. Dalam konteks ini adalah kekuatan
tentara yang merupakan sumber daya koersif yang memungkinkan
Soeharto mencengkram kekuasaannya selama 33 tahun.144
Setidaknya, ini merupakan inkamben bagi para sarjana
yang menggunakan bangunan abstrak—seperti oligarki kompleks,
tapi juga variabel-variabel ilmu politik lain seperti kelompok-
kelompok kepentingan, gerakan-gerakan sosial, dan kepercayaan
keagamaan—dibandingkan aksi-aksi konkrit dari individu-indivi-
du sebagai variabel-variabel independen dan dependen mereka
untuk menentukan watak dari fakta yang meyakinkan mereka dan
meyakinkan yang lainnya tentang keabsahan klaim-klaim mereka.
Dalam kasus Orde Baru Soeharto, misalnya, teori aksi secara
epistemologis jauh lebih mudah, paling tidak dalam tiga penger-
tian untuk menyuguhkan fakta yang diterima secara luas untuk
proposisi bahwa Soeharto atau menteri yang relevan dalam setiap
kasus yang mengumumkan kebijakan ekonomi tertentu dibanding-
kan memperlihatkan bahwa itu telah dilakukan oleh oligarki.
Apabila seseorang fokus pada kebijakan-kebijakan Soeharto dan
para birokratnya, kemudian, pertama-tama, aksi tersebut sudah
direportase secara publik. Kedua, akibatnya kepada yang lain dari
aksi tersebut sudah siap dilacak. Ketiga, pertanyaan-pertanyaan
tentang kolusi, pembagian tanggung jawab, dan seterusnya jangan
timbul apabila klaim-klaim tersebut dibuat oleh hanya beberapa
orang aktor individu. Perhatian itu tidak tampak dalam literatur
kritis tentang Indonesia.

143
Lihat, sebagai contoh, analisis dari Thomas Pepinsky tentang
ekonomi politik yang menyebabkan kejatuhan Orde Baru. Thomas
Pepinsky, Economic Crises and the Breakdown of Authoritarian Regi-
mes: Indonesia and Malaysia in Comparative Perspective (Cambridge:
Cambridge University Press, 2009.
144
Liddle, “Quality of Democracy,” 65.
76 Oligarki dan Demokrasi...

Tentu saja, sebagai individu-individu, para pejabat negara


(termasuk tentara), keluarga para pejabat, dan konglomerat swasta
punya tujuan masing-masing, termasuk tujuan-tujuan yang bisa
direalisasikan melalui tindakan pemerintah yang menguntungkan.
Selama Orde Baru, tampanya kebanyakan dari individu-individu
itu sudah terpuaskan dengan terpenuhinya kebutuhan atau
tuntutan mereka. Buktinya, kata Liddle, hanya sedikit individu,
untuk tidak menyebut kelompok-kelompok kepentingan secara
signfikan, yang memberontak atau memutuskan hubungan mereka
dengan Soeharto.145
Fakta itu, bagamanapun, tidak mengindikasikan bahwa
kelompok-kelompok tersebut menguasai negara. Mereka mendu-
kung Orde Baru karena Soeharto melayani kepentingan mereka.
Sumber daya politik mereka—seperti kekayaan, status, gengsi,
informasi, organisasi, pengetahuan, dan jabatan, semuanya dimo-
bilisasi atau dikerahkan oleh Soeharto untuk membangun dan
mempertahankan kekuasaannya. “Tak lebih dari itu.”146
Sistem pemerintahan telah berubah secara dramatis sete-
lah Mei 1998. Sejak reformasi, telah ada ribuan penguasa, yakni,
para presiden, para gubernur, para kepala daerah, dan para wali-
kota pada level eksekutif, plus legislator baik di pusat maupun di
daerah. Dalam istilah Weberian, basis otoritas Orde Baru adalah
kekuasaan pribadi (personal rule)147 yang dalam hal ini tidak
berbeda dengan Demokrasi Terpimpin ala Soekarno. Sekarang,
basis kewenangan tersebut berubah menjadi kekuasan legal-

145
Liddle, “Quality of Democracy,” 65.
146
Liddle, “Quality of Democracy,” 65.
147
Personal rule adalah tipe sistem politik yang khusus di mana
persaingan dan perjuangan lebih ditentukan oleh seorang individu yang
berkuasa secara penuh dan segaja dibandingkan ditentukan oleh lemba-
ga-lembaga, ideologi-ideologi, kebijakan-kebijakan publik, dan kelom-
pok-kelompok kepentingan pada umumnya. Orang yang berkuasa penuh
secara sengaja itu sangat fundamental dalam membentuk kehidupan poli-
tik. Petros B. Ogbazghi, “Personal Rule in Africa: The Case of Eritrea,”
African Studies Quarterly 12, no. 2 (2011): 2.
Ahmad Munjin 77

konstitusional. Pejabat pemerintahan terpilih telah menjadi sum-


ber daya politik yang otonom dan kuat. “Sulit dibayangkan ada-
nya transformasi politik yang lebih fundamental dari itu.”148
Sementara itu, Pepinsky melihat perpolitikan Indonesia
lebih dinamis dan menilai teori oligarki terlalu kaku karena hanya
fokus pada sumber daya kekuasaan material dibandingkan sumber
daya kekuasaan non-material. Dengan menggunakan pluralisme
sebagai alat analisis, Pepinsky mengkrtik oligarki. Argumennya
adalah “aktor-aktor berpolitik untuk menghasilkan kebijakan-
kebijakan yang mereka sukai.” Keterlibatan politik tersebut men-
dorong terbentuknya saluran politik individu, saluran politik
mayoritas atau preferensi kolektif.149 Seperti Liddle, Pepinsky
menunjukkan kelemahan tesis oligarki untuk mengakui pengaruh
antara sumber daya kekuasaan material dan non-material. Menurut
Pepinsky, sebagaimana dikutip Jayadi Hanan, oligarki gagal
menghadirkan penjelasan yang sistematik tentang hubungan
antara kekayaan material dengan hasil-hasil politik.150
Selanjutnya, Mietzner mengatakan, politik Indonesia dici-
rikan dengan level fragmentasi yang tinggi yang di dalam frag-
mentasi tersebut terdapat baik elemen-elemen oligarki maupun
non-oligarki.151 Oleh karena itu, menurut Mietzner, motivasi para
oligark untuk terlibat dalam politik juga berbeda-beda—mulai dari
kepentingan ekonomi-politik dan keangkuhan personal hingga
akumulasi modal pribadi yang lebih luas atau sekadar mencari
penghasilan untuk mendanai operasi-operasi politik mereka. Atas
dasar itu, teori oligarki dinilainya tidak mampu menangkap pen-
tingnya operasi-operasi untuk melawan kelompok-kelompok

148
Liddle, “Quality of Democracy,” 65.
149
Ford dan Pepinsky, eds., Beyond Oligarchy, 83.
150
Djayadi Hanan, ulasan tentang Beyond Oligarchy: Wealth,
Power, and Contemporary Indonesian Politics, eds. Michele Ford and
Thomas B. Pepinsky, Contemporary Southeast Asia 36, no. 3 (2014):
490.
151
Ford dan Pepinsky, eds., Beyond Oligarchy, 114.
78 Oligarki dan Demokrasi...

oligarki di dalam partai-partai dan parlemen.152 Mietzner mencon-


tohkan gerakan-gerakan aktivis hak-hak perempuan, aktivis buruh
dan aktivis hak-hak asasi manusia (HAM).
Edwad Aspinall menilai terlalu berlebihan dalam melihat
Indonesia sebagai tempat dominasi politk. Sebab, Indonesia sebe-
narnya masih tetap merupakan tempat kontestasi politik yang
setara.153 Protes-protes jalanan dan gerakan-gerakan sosial meru-
pakan persoalan utama dalam kehidupan politik di Indonesia
termasuk aktor-aktor politik dan friksi-friksi di antara mereka baik
itu kepentingan oligarki, popular, maupun kepentingan lainnya.
Semua itu terjadi di berbagai ranah seperti parlemen, partai, dan
politik electoral. Caraway dan Ford juga mengungkapkan hal sena-
da dengan mengatakan, para teoretikus oligarki gagal mengakui
kemunculan gerakan kelas pekerja yang dinamis sebagai pengem-
bangan empiris dalam politik Indonesia kontemporer.154 Kemam-
puan gerakan-gerakan buruh untuk menaikkan level upah mini-
mum, antara lain, merupakan bukti bahwa gerakan kelas bawah
adalah kekuatan politik yang penting yang memiliki pengaruh
jelas terhadap politik Indonesia.
Di atas semua itu, kompetisi model elite dinilai menjadi
penting. Penilaian tersebut datang dari Michael Buehler dalam
studinya tentang pembuat kebijakan syariah di 25 daerah di Tanah
Air. Buehler menemukan, politik lokal di Indonesia tidak dihasil-
kan oleh oligarki melainkan oleh elite-elite negara yang telah
menyesuaikan diri dengan watak perubahan politik di Indonesia
pasca-Orde Baru. Para elite secara selektif menjangkau kelompok-
kelompok masyarakat yang bisa memberikan mereka sumber
daya-sumber daya yang diperlukan untuk memenangkan pemilu.155
Menurut Hanan, meski argumen antara pendukung oligar-
ki dan non-oligarki jelas bertentangan, mereka tetap punya kesa-
maan. Mereka sama-sama mengakui bahwa proses-proses politik

152
Ford dan Pepinsky, eds., Beyond Oligarchy, 115.
153
Ford dan Pepinsky, eds., Beyond Oligarchy, 135.
154
Ford dan Pepinsky, eds., Beyond Oligarchy, 155.
155
Ford dan Pepinsky, eds., Beyond Oligarchy, 174.
Ahmad Munjin 79

dalam demokrasi Indonesia lebih dinamis dengan aktor-aktor,


kepentingan dan lembaga-lembaga politik yang sangat beraneka
ragam. Perbedaan utamanya terletak pada level pengaruh dan
pentingnya mereka menautkan diri dengan aktor-aktor dan lem-
baga-lembaga politik yang beraneka ragam. Bagi pendukung tesis
oligarki, para oligark berpengaruh hingga pada tingkat tertentu di
mana orang lain bisa terabaikan. Sementara itu, para pendukung
non-oligarki menyatakan, kekuasaan dan hasil-hasil politik sangat-
lah variatif tergantung pada konteks, kendala dan kesempatan
yang membentuk aktor-aktor tersebut.156

C. Kompatibilitas versus Inkompatibilitas Oligarki dengan De-


mokrasi
Pada sub-bab ini, peneliti membandingkan pandangan
bahwa oligarki sesuai atau kompatibel dengan demokrasi dengan
pendapat sebaliknya. Perbandingan tersebut dielaborasi baik dari
sudut pandang oligarki dalam pengertian material mauapun non-
material (elite). Dalam pengertian material, sumber daya kekuasa-
an oligarkis berasal dari akumulasi kekayaan yang ekstrem se-
dangkan dalam pengertian elite, sumber daya kekuasaan oligarki
berasal dari non-material seperti jabatan resmi, kekuasaan mobi-
lisasi, atau hak politik formal.

1. Kompatibilitas Oligarki dengan Demokrasi


Dukungan terhadap oligarki, pertama-tama datang dari
Barrington Moore dengan diktum terkenalnya, “no bourgeoisie, no
democracy”157--tak ada demokrasi tanpa kelas borjuis.Borjuis ada-
lah kelas masyarakat dari golongan menengah ke atas yang biasa-
nya dipertentangkan dengan rakyat jelata. Kelas menengah secara
ekonomi tentunya memenuhi prinsip utama oligarki menurut Aris-
totels yakni kekayaan. Moore berargumen, demokrasi merupakan

156
Hanan, ulasan tentang Beyond Oligarchy, 491-92.
157
Edward Aspinall, “The Power of Property: Oligarchy and
Democracy in World History,” ulasan tentang Oligarchy, Jeffrey A. Win-
ters, Taiwan Journal of Democracy 8, no. 1 (Juli 2012): 172.
80 Oligarki dan Demokrasi...

produk dari sebuah serangan kaum borjuis pemberontak terhadap


tuan tanah aristokrasi yang terbelakang.158
Dukungan selanjutnya muncul dari Gaetano Mosca (1858-
1941)159 yang menyatakan, semua masyarakat mengandung seke-
lompok kelas yang relatif kecil yang berkuasa dan sekelompok
kelas sangat besar yang terdiri dari mayoritas penduduk yang
dikuasai.160 Demokrasi tidak pernah memperkenalkan kekuasaan
mayoritas.161 Oleh karena itu, demokrasi semata-mata mencipta-
kan manipulasi terhadap yang dikuasai oleh yang menguasai
secara lebih halus. Dalam kritiknya yang sangat brilian, Mosca
memperlihatkan bagaimana para wakil rakyat di Italia menguna-
kan segala cara mulai dari janji-janji palsu hingga suap langsung
agar mereka terpilih. Bahwa mereka terpilih secara bebas oleh
para pemilih adalah mitos.162 Pada 1896, Mosca memperhalus

158
Jeffery M. Paige, “The Social Origins of Dictatorship Democ-
racy and Socialist Revolution in Central America,” Makalah disampai-
kan pada Pertemuan Tahunan the American Sociological Association,
San Franscisco, California, 8 Agustus, 1989, 3.
159
Mosca mengombinasikan wawasan politisi profesional de-
ngan wawasan filsuf konstitusi. Konsepsi Mosca tentang kelas penguasa
sangat berbeda. Tidak seperti teori Pareto, tujuan elitisme Mosca lebih
menentukan dibandingkan sekadar deskriptif karena menjadi sebuah usa-
ha untuk menjustifikasi dan mengamankan kekuaaan kelas borjuis yang
liberal di mana Mosca sendiri merupakan bagian dari kelas tersebut.
Lihat Richard Bellamy, “Gaetano Mosca 1858-1941” dalam The Rout-
ledge Dictionary of Twentieth-Century Political Thinkers, eds. Robert
Benewick dan Philip Green (London dan New York: Routledge, 1998),
182.
160
Mosca mempertahankan pendapat, kelas penguasa berutang
jabatan dari manfaat organisasi sekelompok kecil atas kelompok yang
besar. Kekuasaan juga berutang kepada bakat-bakat unggul dari anggota
kelompok kecil. Akan tetapi, tiadanya perubahan bentuk pemerintahan,
bisa menggantikan sifat dasar semua sistem politik yang elitis. Lihat
Bellamy, “Gaetano Mosca,” 182.
161
Bellamy, “Gaetano Mosca,” 182.
162
Bellamy, “Gaetano Mosca,” 182.
Ahmad Munjin 81

teorinya. Dia membedakan antara pemegang kekuasaan pemerin-


tahan yang sebenarnya atau kelas politik (political class) dengan
elemenelemen lain dari elite seperti para industrialis, anggota-
anggota profesi, dan lain-lain. Dia sekarang mengakui, bahwa
kelas penguasa terdiri dari kelompok-kelompok tersebut serta para
politikus.163
Robert Michels (1876-1936) memberikan pernyataan
senada perihal dominasi elite yang tidak dapat dihindari. “Orang
yang bicara organisasi, bicara oligarki. Dominasi elite tak dapat
dihindari.”164 Pada 1911, Michels mengokohkan dirinya sebagai
teoretikus utama tentang elite melampaui Mosca dan Pareto untuk
menjelaskan mengapa dominasi elite tak dapat dihindari.165

163
Versi pertama dari karya Mosca, Teorica Dei Governi e
Governo Parliamentare pada 1884 meletakkan doktrinnya secara terang
benderang. Versi kedua, Elementi di Scienza Politica pada 1896 memper-
halus teorinya ke dalam dua macam. Pertama, dia membedakan antara
pemegang kekuasaan pemerintahan yang sebenarnya atau kelas politik
(political class) dengan elemen-elemen lain dari elite seperti para indus-
trialis, anggota-anggota profesi, dan lain-lain. Dia sekarang mengakui,
bahwa kelas penguasa terdiri dari kelompok-kelompok tersebut serta
para politikus.
Kedua, dia berpendapat bahwa suatu masyarakat yang semakin
kompleks menciptakan mekanisme-mekanisme pengekangan moral dan
hukum serta pengendalian bersama untuk mengatur interaksi sosial dan
untuk membatasi perilaku egois. Fenomena tersebut membentuk apa
yang Mosca sebut sebagai a society’s juridical defence (pertahanan yuri-
dis masyarakat). Versi terakhir dari teori Mosca, edisi kedua Elementi
pada 1923, di mana dia menambahkan seluruh volumenya, menghasilkan
perubahan pandangan dia yang dramatis. Sampai saat itu Mosca telah
menganggap demokrasi sebagai berkah yang sangat beragam dan menen-
tang semua upaya untuk memperluas demokrasi. Sebagai orang yang
konservatif secara sosial, Mosca membenci peluang-peluang yang dita-
warkan untuk kebangkitan elite populis. Lihat Bellamy, “Gaetano
Mosca,” 182.
164
Wolfe, “Robert Michels,” 175.
165
Wolfe, “Robert Michels,” 175.
82 Oligarki dan Demokrasi...

Michels berargumen, para elite lebih cakap, orang kebanyakan


secara psikologis tunduk dan bahwa organisasi pada dirinya
menumbuhkan oligarki.166
Dukungan selanjutnya, datang dari Jeffrey A. Winters. Dia
mengatakan, demokrasi dan oligarki tidak bertentangan sebagai-
mana dipersepsikan banyak orang. Beberapa bentuk demokrasi
bahkan bisa mendorong oligarki.167 Usaha terbaru untuk mendefi-
nisikan para oligark dan oligarki, khususnya dalam konteks
Amerika, dinilai Winters dan Page, sudah kandas karena beberapa
alasan—penyebab utamanya adalah karena oligarki sudah ditafsir-
kan secara keliru sebagai tidak kompatibel dengan demokrasi baik
secara konseptual maupun fungsional. Winters dan Page berpen-
dapat, oligarki membatasi demokrasi tapi tidak meletakkan
demokrasi sebagai kepalsuan.168
Lembaga-lembaga demokratis pada dirinya tidak mampu
untuk menjauhkan segelintir orang kaya dari terkonsentrasinya
kekuasaan politik.169 Menurut dia, golongan masyarakat kaya bisa
dikeluarkan dari kategori oligark jika entah bagaimana kekayaan
dilucuti dari potensi politiknya yang melekat.170 Dengan demiki-
an, oligarki dan demokrasi beroperasi dalam satu sistem.171
Winters menilai merupakan pembacaan keliru atas Aristoteles,
jika teori oligarki melihat oligarki dan demokrasi sebagai sesuatu
yang tertutup satu sama lain atau berpandangan bahwa demokrasi
adalah palsu jika oligarki muncul di dalamnya.172 Aristoteles
justru menyerukan sebuah sistem politik yang ideal, yakni peme-
rintahan (the polity) yang menggabungkan oligarki dan demokrasi
secara lincah.173

166
Wolfe, “Robert Michels,” 175.
167
Winters, “Oligarchy and Democracy,” 18.
168
Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 733.
169
Winters, “Oligarchy and Democracy,” 18.
170
Winters, “Oligarchy and Democracy,” 27.
171
Winters, “Oligarchy and Democracy,” 27.
172
Winters, “Oligarchy and Democracy,” 27.
173
Winters, “Oligarchy and Democracy,” 27.
Ahmad Munjin 83

Hak pilih universal dan kebebasan liberal, lanjut Winters,


memberdayakan persamaan semua warga negara secara radikal.
Akan tetapi, prinsip one-person/one-vote tidak terlalu kuat untuk
mencegah para oligark menggunakan kekuatan uang dengan
ketimpangan yang tajam. Oleh karena itu, kesetaraan yuridis
formal menempati posisi yang sangat penting demi terciptanya
manusia yang bebas. Namun demikian, kesetaraan politik penuh,
bahkan pada demokrasi yang paling liberal sekalipun, merupakan
hal mustahil selama terkonsentrasinya kekayaan menempatkan
pengaruh politik yang sangat timpang di tangan segelintir warga
negara. Winters menilai Demokrasi yang menyatu dengan oligarki
jauh lebih baik dibandingkan tidak ada demokrasi sama sekali.
Semua itu, merupakan langkah parsial menuju kesetaraan dan
representasi politik secara penuh.174
Literatur-literatur tentang oligarki dan demokrasi biasa
melihatnya sebagai dua aturan politik yang saling tertutup.
Winters dan Page justu melihat oligarki dan demokrasi sebagai
kompatibel dan bahkan seringkali melebur. Dengan demikian,
keduanya tidak sependapat dengan pandangan bahwa orang-orang
kaya mendominasi seluruh aspek politik.175 Dalam sistem politik
formal yang demokratis, perjuangan-perjuangan Dahlian pluralis-
tic176—dan bahkan tersegmentasi (bukan umum dan revolusioner)
berbagai mobilisasi massa—mungkin membawa hari pada banyak
isu termasuk masalah-masalah ras, kewanitaan, gay, etnisitas,
agama, moralitas, senjata, atau lingkungan. Semua itu merupakan
isu-isu yang sangat penting bagi kebanyakan warga biasa sedang-
kan bagi orang-orang kaya, isu-isu tersebut sangat terbatas dan
merupakan keprihatinan lintas sektoral. Di sini, Winters dan Page
membuktikan bahwa kritik-kritik sebelumnya tentang “bias-bias
pluralisme” masuk ke dalam sesuatu, bahwa distribusi kekayaan
yang tidak merata di AS merupakan sumber terbentuknya oligarki,

174
Winters, “Oligarchy and Democracy,” 27.
175
Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732.
176
Robert A. Dahl, Dilemas of Pluralist Democracy: Autonomy
vs. Control (New Haven and London: Yale University Press, 1982), 114.
84 Oligarki dan Demokrasi...

dan bahwa ilmuwan-ilmuwan politik Amerika, harus lebih banyak


memperhatikan isu-isu tersebut dibandingkan apa yang mereka
kerjakan. Tingkat kegagalan mereka melakukan hal itu, lapangan,
meskipun kerumitan teknisnya bertambah, hanya mencapai sedikit
kemajuan dibandingkan besarnya harapan.177
R. William Lidlle mendukung kompatibilitas oligarki
dengan demokrasi tapi justru dengan menolak teori oligarki yang
dibangun Richard Robison dan Vedi R Hadiz tentang oligarki
kompleks dan teori oligarki Jeffrey A. Winters. Liddle menilai
keliru teori keduanya tetang oligarki yang digunakan untuk mem-
baca kekuasaan Orde Baru. Dengan mengacu pada teori aksi,178
Orde Baru diidentifikasi oleh Liddle justru sebagai diktator tung-
gal, Soeharto, bukan oligark. Oleh karena itu, jika Robison pesi-
mistis dengan perkembangan demokrasi Indonesia pasca-Orde
Baru karena merupakan kelanjutan oligarki Soeharto, Liddle justru
sebaliknya.179
Di atas semua itu, dukungan terhadap kompatibilitas
oligarki dengan demokrasi, lebih mempertimbangkan pada aspek
penyebab kemunculan oligarki dan demokrasi. Di antara penyebab
itu adalah: Pertama, demokrasi merupakan produk dari sebuah
serangan kaum borjuis pemberontak terhadap tuan tanah aristo-
krasi yang terbelakang; Kedua, semua masyarakat mengandung
sekelompok kelas yang relatif kecil yang berkuasa dan sekelom-
pok kelas sangat besar yang terdiri dari mayoritas penduduk yang
dikuasai. Demokrasi tidak pernah memperkenalkan kekuasaan
mayoritas; Ketiga, para elite lebih cakap sedangkan orang keba-
nyakan secara psikologis tunduk dan bahwa organisasi pada diri-
nya menumbuhkan oligarki; Keempat, lembaga-lembaga demokra-

177
Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732-33.
178
Lihat juga Walter Korpi yang membandingkan pendekatan
sumber daya kekuasaan versus teori aksi dan teori konflik. Walter Korpi,
“Power Resources Approach vs. Action and Conflict: On Causal and
Intentional Explanations in the Study of Power,” Sociological Theory 3,
no. 2 (Musim Gugur, 1985): 31-45.
179
Liddle, “Quality of Democracy,” 65.
Ahmad Munjin 85

tis tidak mampu menjauhkan segelintir orang kaya dari terkon-


sentrasinya kekuasaan politik. Golongan masyarakat kaya bisa
dikeluarkan dari kategori oligark jika kekayaan dilucuti dari
potensi politiknya yang melekat; dan Kelima, oligark yang terus
mewarnai perkembangan demokrasi, tidak selamanya berarti
negatif.

2. Inkompatibilitas Oligarki dengan Demokrasi


Pandangan yang menolak kompatibilitas oligarki dengan
demokrasi, pertama, datang dari Lord Acton. Penolakan tersebut
muncul secara implisit dari proposisinya yang menyatakan, “ke-
kuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut, korup
secara absolut pula.”180 Dari sisi ini, kekuasaan oligarkis cende-
rung absolut sehingga bertentangan dengan demokrasi. Acton
berkaca ke masa di saat kekuasaan mutlak bertahan hampir sepe-
rempat abad di Athena yang menyebabkan peran negara hilang.
Masyarakat Athena yang merasa lelah dan putus asa, mengakui
bahwa kekuasaan absolut merupakan penyebab kehancuran mere-
ka. “Mereka memahami bahwa untuk kebebasan, keadilan, dan
penegakan hukum yang setara, secara niscaya demokrasi harus
membatasi dirinya sendiri untuk mengendalikan oligarki.”181
Dengan demikian, Acton jelas menolak oligarki yang tak terken-
dali sehingga kekuasaan menjadi absolut.
Begitu juga dengan Richard Robison dan Vedi R. Hadiz
yang pesimistis terhadap obligarki. Mereka memperkenalkan kon-
sep oligarki kompleks yang didefinisikan sebagai sistem pemerin-
tahan di mana hampir semua kekuasaan politik dipegang oleh
segelintir orang kaya yang membuat kebijakan masyarakat
banyak, hanya menguntungkan mereka sendiri secara finansial dan
kurang atau sama sekali tidak memperhatikan kepentingan sebagi-
an besar warga negaranya.182

180
John Emerich Edward Dalberg-Acton (Lord Acton), Essays
on Freedom and Power (Boston, Mass.: The Beacon Press, 1949), 364.
181
Acton, Freedom and Power, 41.
182
Robison dan Hadiz, Reorganising Power, 16-17.
86 Oligarki dan Demokrasi...

Vilfredo Pareto (1848-1923) juga menolak kompatibilitas


oligarki dengan demokrasi karena telah membajak demokrasi itu
sendiri. Oligarki direpresentasikan oleh segelintir orang dari kelas
borjuis Italia. Pareto mengkritik kelas borjuis itu yang dinilainya
telah memanfaatkan negara untuk mempromosikan apa yang
disebutnya bourgeois socialism(sosialisme borjuis) melalui pajak,
berbagai monopoli dan belanja militer. Akan tetapi, semua itu
justru dirancang untuk memperkuat pengusaha-pengusaha industri
dan tuan-tuan tanah tertentu.183 Pareto juga menilai, popular
socialism bahkan lebih buruk. Sebab, sosialisme populer menggu-
nakan negara untuk meredistribusi kekayaan kepada para pekerja
tapi pada saat yang sama justru menumbuhkan lebih banyak
perampas daripada jumlah pencipta kekayaan.184 Padahal, pada
mulanya, dia berharap sistem yang lebih demokratis akan membu-
at sebuah situasi di mana tidak ada kelas dominan memegang
kendali negara untuk keuntungan kelasnya sendiri.185
Penolakan kesesuaian oligarki dengan demokrasi juga
datang dari Edward Shils. Sebab, menurut Shils, oligarki lebih
akomodatif terhadap kesenjangan antara elite modern dengan
massa rakyat. Padahal, demokrasi menghendaki tertutupnya ju-
rang pemisah tersebut demi terbentuknya masyarakat politik yang
modern bukan hanya dalam ekonomi dan pemerintahan tapi juga
dalam tata moralitas. Kalaupun, jurang pemisah tersebut tertutupi,
sifat koersif dari rezim oligarki juga menyebabkan semunya
penutupan jurang pemisah tersebut. Oleh karena itu, oligarki lebih
dapat berdampingan dengan sistem adat daripada demokrasi. Se-
bab, demokrasi dalam banyak hal juga menyimpang dari tradisi.186

183
Richard Bellamy, “Vilfredo Pareto 1848-1923,” dalam The
Routledge Dictionary of Twentieth-Century Political Thinkers, eds.
Robert Benewick dan Philip Green (London dan New York: Routledge,
1998), 197.
184
Bellamy, “Vilfredo Pareto,” 197.
185
Bellamy, “Vilfredo Pareto,” 197.
186
Shils, “Angkatan Bersenjata,” 216-17.
Ahmad Munjin 87

Edmund Burke (1729–1797) juga menolak kesesuaian


oligarki dengan demokrasi. Meskipun, Burke tak mempertim-
bangkan demokrasi sebagai rezim pilihan. Dia lebih mendukung
aristokrasi sehingga mengokohkan pemerintahan monarki. Sebab,
menurut dia, masayarakat tidak bisa berkuasa; masyarakat adalah
elemen yang pasif sebagai lawan dari penguasa aktif di dalam
negara. Karena itu, oligarki lebih cenderung kepada sistem
pemerintahan aristokrasi. “Kalaupun suatu masyarakat dipimpin
oleh salah satu jenis oligarki yang ganas, mereka harus dipimpin
oleh true natural aristocracy melalui menteri-menteri yang bukan
hanya sebagai penguasa alamiah tapi juga panduan alami.”187
Pendapat senada dilontarkan Lili Romli, Profesor Riset
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang melihat oligar-
ki dan demokrasi sebagai hubungan yang bertentangan. Hanya
saja, untuk kasus Indonesia, lebih cocok disebut oligarki demokra-
si. Ini berbeda dengan istilah Robert Michels yang mengukuhkan
demokrasi oligarki.188 Adalah Yuki Fukuoka189 yang telah mengu-
kuhkan istilah oligarki demokrasi. Fukuoka melihat oligarki dan
demokrasi sebagai hubungan kontradiktif tapi menyatu. Michels
mengatakan, meskipun di dalam negara demokrasi, oligarki tetap
ada. Di Indonesia tumbuh oligarki demokrasi di mana para oligark
memanfaatkan prosedur-prosedur demokrasi untuk berkuasa.
Mereka memanfaatkan mekanisme demokrasi untuk berkuasa atas
pemerintahan dan uang. Ini bertentangan dengan substansi demo-
krasi. Para oligark menurut Richard Robison dan Vedi R. Hadiz
merupakan predator yang menghisap rakyat untuk memperkaya
diri sendiri dan kelompoknya.190 Itulah politik oligarki dinasti
yang terjadi di Banten. Menguasai resources untuk diri sendiri,

187
Strauss dan Cropsey, eds., Political Philosophy, 696.
188
Wolfe, “Robert Michels,” 175.
189
Yuki Fukuoka, “Oligarchy and Democracy in Post-Suharto
Indonesia,” Political Studies Review 11 ( 2013): 52-64.
190
Robison dan Hadiz, Reorganising Power, 16-17, note 6.
88 Oligarki dan Demokrasi...

keluarga dan kelompoknya sehingga semakin uangnya semakin


melimpah.191
Jika para pendukung kompatibilitas oligarki dengan
demokrasi lebih melihat kepada penyebab kemunculannya, para
penentangnya lebih mempertimbangkan pada akibat yang ditim-
bulkan dari sistem pemerintahan oligarkis. Di antara akibat-akibat
tersebut adalah: Pertama, kekuasaan oligarkis cenderung absolut
dan kekuasaan absolut mengakibatkan kekuasaan korup secara
absolut pula; Kedua, kekuasaan oligarkis dalam membuat kebija-
kan masyarakat banyak, cenderung hanya menguntungkan mereka
sendiri secara finansial dan kurang atau sama sekali tidak memper-
hatikan kepentingan sebagian besar warga negara; Ketiga, kekua-
saan oligarkis ditengarai telah membajak substansi demokrasi;
Keempat, oligarki melestarikan kesenjangan antara elite modern
dengan massa rakyat. Padahal, demokrasi menghendaki tertutup-
nya jurang pemisah tersebut; dan Kelima, oligarki lebih cenderung
kepada sistem pemerintahan aristokrasi dibandingkan demokrasi.

D. Oligarki dalam Perspektif Islam


Pada sub-bab ini, peneliti mendeskripsikan pandangan
Alquran dan Hadis secara normatif192 terhadap oligarki baik dalam
kategori material maupun dalam kategori elite. Di satu sisi, pada
kategori material, oligarki dimengerti sebagai kekuasaan yang
bersumberdaya dari kekayaan. Di lain sisi, pada kategori elite
oligarki dipahami dalam definisi generiknya yaitu kekuasaan sege-
lintir orang. Secara umum, Aquran dan Hadis memandang negatif
oligarki dalam pengertian material dan memandang positif oligar-

191
Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem-
baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang
Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus,
2018.
192
Normatif adalah berpegang teguh pada norma; menurut nor-
ma atau kaidah yang berlaku. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) versi online/daring (dalam jaringan) entri ‘normatif.’
Ahmad Munjin 89

ki dalam pengertian elite. Setelah itu, peneliti melihat bagaimana


pandangan para ulama terhadap oligarki secara empiris.193

1. Oligarki dalam Perspektif Alquran


Dalam pengertian material, mengacu pada pendapat
Aristoteles,194 Sokrates,195 dan Plato,196 prinsip oligarki adalah
kekayaan. Pada abad 21, prinsip tersebut ditegaskan kembali oleh
Richard Robison beserta Vedi R. Hadiz,197 Benjamin I. Page,198
dan Jeffrey A. Winters199 setelah mengalami penyimpangan ke
teori elite yang dibangun oleh Gaetano Mosca,200 Vilfredo Pare-
to,201 dan Robert Michels.202Para oligark berlomba-lomba meraih
kekayaan tersebut sehingga terkonsentrasilah kekayaan pada sege-
lintir orang. Secara normatif, sejak empat belas abad yang lalu,
Quran sudah melansir kecenderungan tersebut dalam surat al-
Taka>thur ayat pertama dan kedua:

}2{ ‫} َح ََّّت مز ْر م مُت الْ َم َقاب َِر‬1{ ‫َألْه مَاُكم التَّ ََكث ممر‬

“Saling memperbanyak telah melengahkan kamu, sampai kamu


telah menziarahi kubur-kubur.”203

193
Empiris adalah bagian dari pengetahuan yang didasarkan pada
observasi dan eksperimen bukan didasarkan pada teori. Lihat entri
‘empirical’ dalam Martin H. Manser, Oxford Learner’s Pocket Dictio-
nary, New Edition (Oxford: Oxford University Press, 1991), 137.
194
Friedrich, “Oligarchy,” 463.
195
Strauss danCropsey, eds.,Political Philosophy, 61.
196
Cooper dan Hutchinson, eds. Plato: Complete Works, 1162.
197
Robison dan Hadiz, Reorganising Power, 16-17, note 6.
198
Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732.
199
Winters, Oligarchy, 11.
200
Bellamy, “Gaetano Mosca,” 182.
201
Bellamy, “Vilfredo Pareto,” 197.
202
Wolfe, “Robert Michels,” 175.
203
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan
Keserasian al-Qur’an volume 15 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 486.
90 Oligarki dan Demokrasi...

Menurut M. Quraish Shihab, kata al-taka>thur (‫ )التكاثر‬bera-


sal dari kata kathrah/banyak (‫)كثرة‬. Patron dari al-taka>thur menun-
jukkan adanya dua pihak atau lebih yang bersaing, semua berusaha
memperbayak dan sama-sama mengklaim memiliki lebih banyak
dari pihak lain hingga mengunjungi kubur-kubur leluhur untuk
membuktikan keunggulan atau kelengahan berlanjut hingga ajal
menjemput. Tujuannya adalah berbangga dengan kepemilikannya.
Shihab mendefinisikan al-taka>thur sebagai persaingan antara dua
pihak atau lebih dalam hal memperbanyak hiasan dan gemerlapan
duniawi, serta usaha untuk memiliki sebanyak-banyaknya tanpa
menghiraukan norma dan nilai-nilai agama.204 Yang dikecam oleh
ayat tersebut adalah persaingan yang membuat seseorang lengah
(‫ )اللهو‬sehingga mengabaikan hal-hal yang lebih penting. Menurut
Shihab, ada tiga ayat yang menggambarkan faktor-faktor yang
dapat melengahkan manusia: Pertama, angan-angan kosong (Q.S.
al-H}ijr [15]: 3); Kedua, perniagaan dan jual beli (Q.S. al-Nu>r [24]:
37); dan Ketiga, harta dan anak-anak (Q.S. al-Muna>fiqu>n [63]:
9).205
Jika Winters menunjukkan kekayaan ekstrem secara kuan-
titatif dengan membuat Material Power Index (Indeks Kekuasaan
Material),206 Quran menunjukkannya secara kualitatif dengan
kalimat ‘sampai kamu telah menziarahi kubur-kubur.’ Winters
membuat rasio kekayaan orang biasa terhadap orang terkaya,
Quran membuat ajal sebagai batasnya. Baik Winters maupun
Quran sama-sama menunjukkan kekayaan ekstrem yang memben-
tuk dan mendefinisikan oligarki. Pengertian kualitatif juga sudah
ditunjukkan oleh Aristoteles yang menyebutkan kekayaan sebagai
prinsip utama oligarki;207 Sokrates yang menyebutkan oligarki

204
Shihab, Tafsir al-Mishbah, 486.
205
Shihab, Tafsir al-Mishbah, 487.
206
Winters, Oligarchy, 78.
207
Friedrich, “Oligarchy,” 463.
Ahmad Munjin 91

mengagung-agungkan harta benda,208 dan Plato yang menyebutkan


kekayaan menjadi penilaian utama oligarki.209
Pada abad 21, Richard Robison dan Vedi R. Hadiz me-
nambahkan ‘kekuasaan segelintir orang kaya’ dengan ‘kebijakan
yang hanya menguntungkan mereka sendiri secara finansial dan
kurang atau sama sekali tidak memperhatikan kepentingan sebagi-
an besar warga negara.210 Frasa ‘menguntungkan mereka sendiri’
dan ‘kurang atau sama sekali tidak memperhatikan’ dalam bahasa
Quran disebut ‘lengah (‫ ’)اللهو‬sebagaiman termaktub dalam surah
al-Taka>thur itu.
Menurut Alquran harta adalah ujian (al-Anfa>l [8]: 28, al-
Fajr [89]: 15-16 dan 17-20), perhiasan kehidupan dunia yang
kontras dengan kebajikan yang terus menerus (al-Kahfi [18]: 46),
harta belum tentu kebaikan (al-Mu’minu>n [23]: 55-56), orang kafir
beranggapan harta akan membuat mereka selamat dan kekal (al-
Humazah [104]: 1-3), akumulasi harta sebagai sikap melampaui
batas (al-‘Alaq [96]: 6-7), orang kaya itu bisa lebih jahat dari
penguasa yang tersirat dalam penyebutan Qa>ru>n mendahului
Firaun, dan Haman (al-‘Ankabu>t [29]: 39), orang kaya zaman nabi
Shua>yb susah diatur (Hu>d [11]: 87), menolak berinfaq (Ya>si>n [36]:
47), tidak akan berpegang teguh pada agama (al-Fath [48]: 11),
harta sebagai musuh (al-Tagha>bu>n [64]: 14), harta tidak berguna
yang dikontraskan dengan hati bersih (al-Shu>ra> [42]: 88-89), harta
itu milik Allah (al-Nu>r [24]: 33).
Islam tidak pernah melarang manusia untuk menjadi orang
kaya. Banyak riwayat dan hadis, bahkan sering mendorong manu-
sia untuk berusaha mencari harta. Mati dalam keadaan mencari
nafkah untuk keluarga tergolong orang yang sha>hid. Akan tetapi,
Islam menegaskan, jangan sampai harta menjadi tujuan hidup
yang melampaui batas. Cukuplah ia menjadi kendaraan menuju
Allah.

208
Strauss dan Cropsey, eds., Political Philosophy, 61.
209
Cooper dan Hutchinson, eds. Plato: Complete Works, 1162.
210
Robison dan Hadiz, Reorganising Power, 16-17, note 6.
92 Oligarki dan Demokrasi...

Sementara itu, dalam pengertian elite (oligarki yang dipa-


hami sebagai kekuasaan segelintir orang), dalam nada yang
positif, Allah berfirman dalam surat al-An‘a>m: 165:

ٍ ‫َوه َمو َّ ِاَّلي َج َعلَ م ُْك َخ َالئِ َف ْاألَ ْر ِض َو َرفَ َع ب َ ْعضَ م ُْك فَ ْو َق ب َ ْع ٍض د ََر َج‬
ِ َ ‫ات ِل َي ْبلم َو م ُْك ِِف َمآ َءاَتَ م ُْك ا َّن َرب َّ َك‬
‫َسي مع‬
}161{ ‫الْ ِع َق ِاب َوان َّ مه لَ َغ مف ٌور َر ِح ٌمي‬

“Dan Dia (Allah) yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di


bumi dan Dia meninggikan sebagian dari kalian atas sebagian
(yang lain) beberapa tingkat.”

T}a>riq al-Suwayda>n menemukan padanan oligarki dalam


Alquran, dalam kata al-mala’ (‫)المأل‬211 yang merupakan kata benda
dan berarti kepala, ketua, atau para pemuka. Kata yang seakar
dengan mala’ muncul 40 kali dalam Alquran. Akan tetapi, kata
yang berarti ketua (mala’) muncul sebanyak 30 kali. Kata tersebut
muncul dalam surat 2 ayat 246; surat 7 ayat 60, 66, 75, 88, 90,
103, 109, 127; surat 10 ayat 75, 83, dan 88; surat 11 ayat 27, 38,
dan 97; surat 12 ayat 43; surat 23 ayat 24, 33, dan 46; surat 26
ayat 34; surat 27 ayat 29; 32, dan 38; surat 28 ayat 20, 32, dan 38;
surat 37 ayat 8; surat 38 ayat 6 dan 69; dan surat 43 ayat 46.212
Dari tiga puluh ayat tersebut, belum bisa dipastikan
apakah semua pemuka tersebut termasuk ke dalam kategori
oligarki atau bukan. Sebab, ayat-ayat tersebut lebih menunjukkan
penolakan para pemuka terhadap ajaran tauhid yang dibawa oleh
para Nabi: Nu>h,213 Hu>d,214 S{a>lih,215 Shu‘ayb,216 dan Mu>sa>.217 Jika

211
T}a>riq al-Suwayda>n, Silsilat Qashash al-’Anbiya>’: Qishat Nu>h}
212
Entri mala’dalam The Quranic Arabic Corpus, http://corpus.
quran.com/qurandicti onary.jsp?q=mlA (diakses Minggu, 7 November
2015).
213
Hafidzh Dasuki, et al., Alquran dan Tafsirnya, Jilid III
(Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1995), 457.
214
Dasuki, et al., Alquran dan Tafsirnya, 463.
215
Dasuki, et al., Alquran dan Tafsirnya, 472.
Ahmad Munjin 93

penolakan tersebut didasarkan pada kesombongan mereka akibat


kekayaan yang menjadi sumber daya kekuasaan yang dimilikinya
untuk menentang para Nabi, baru bisa dikategorikan oligarki. Jika
tidak, kata mala’tersebut semata merupakan kategori elite. Ini
merupakan konsekuensi penelaahan yang berpatokan pada sumber
daya kekuasaan material oligark dan oligarki yakni kekayaan.218
Dengan demikian, secara normatif sistem pemerintahan
oligarkis bertentangan dengan Alquran. Sebab, tujuan negara
menurut Alquran adalah untuk beriman dan bertakwa:

‫الس َمآ ِء َو ْاألَ ْر ِض َولَ ِكن َك َّذبموا فَآَخ َْذَنَ م ُْه ِب َما‬
َّ ‫َولَ ْو َأ َّن َأ ْه َل الْ مق َرى َءا َمنموا َوات َّ َق ْوا لَ َفتَ ْح َنا عَلَْيْ ِ م بَ َر ََك ٍت ِم َن‬
}66{ ‫ون‬ َ ‫ََكنموا يَ ْك ِس مب‬
Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti
Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan
bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami),
maka Kami siksa mereka sesuai atas apa yang telah mreka
kerjakan (al-A’ra>f [7]: 96).

Keimanan dan ketakwaan tersebut dimanifestasikan dalam


tujuan pendirian negara yaitu usaha memakmurkan bumi, menye-
jahterakan umat manusia, membebaskan rakyat dari kelaparan,
mewujudkan keamanan dan ketertiban umum, dan mewujudkan
kehidupan bangsa yang sejahtera lahir dan batin.219 Tujuan negara
ialah untuk memelihara keamanan dan integritas negara, menjaga
hukum dan ketertiban, dan untuk memajukan negeri hingga setiap
individu dalam negeri itu dapat merealisasikan seluruh potensinya

216
Dasuki, et al., Alquran dan Tafsirnya, 494.
217
Dasuki, et al., Alquran dan Tafsirnya, 522.
218
Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732.
219
Muchlis M. Hanafi, et al., eds., Tafsir Alquran Tematik:
Alquran dan Kenegaraan, Seri 5 (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf
Alquran, 2011), 10.
94 Oligarki dan Demokrasi...

dan bisa memberikan sumbangan bagi kesejahteraan semua warga


negara.220
Tujuan berdirinya negara menurut Alquran, pertama,
mengembangkan kehidupan beragama yang mencakup tiga bagian:
(a) mengembangkan kehidupan beragama masyarakat dari poli-
teisme (kemusyrikan) menuju monoteisme (tauhid);221 (b) melin-
dungi kebebasan beragama;222 dan (c) membimbing umat agar
mengamalkan agama dengan baik dan benar.223Kedua, melindungi
segenap bangsa (warga negara).224 Ketiga, memajukan kesejahte-
raan umum.225 Keempat, mencerdaskan kehidupan bangsa.226

220
Hanafi, et al., eds., Alquran dan Kenegaraan, 10.
221
Lihat Q.S. Hu>d [11]: 50-51, al-Naml [27]: 29-31, 23-24, 24-
26, 27-28, dan 31, al-Baqarah [2]: 251, al-Nisa>’ [4]: 54, dan S}a>d [38]: 34-
35. Hanafi, et al., eds., Alquran dan Kenegaraan, 50-58.
222
Lihat Q.S. al-Baqarah [2]: 256. Hanafi, et al., eds., Alquran
dan Kenegaraan, 58-60.
223
Lihat Q.S. al-Hajj [22]: 40 dan al-An‘a>m [6]: 108. Hanafi, et
al., eds., Alquran dan Kenegaraan, 60-63.
224
Al-Sha>tibi> merumuskan prinsip melindungi segenap bangsa
dan warga negara sebagai bentuk penghormatan dan perlindungan terha-
dap manusia dan nilai kemanusiaan dengan lima pilar h}ima>yat (perlindu-
ngan). Kelima pilar perlindungan tersebut merupakan tujuan syariat
Islam yang juga merupakan salah satu tujuan negara. Kelima pilar terse-
but disebut al-kulliya>t al-khamsyaitu h}ima>yat al-di>n(memelihara agama),
h}ima>yat al-nafs(melindungi jiwa), h}ima>yat al-‘aql(memelihara akal/ke-
cerdasan/intelek), h}ima>yat al-nasl(memelihara keturunan) dan h}ima>yat
al-amwa>l(melindungi hak milik atau harta). Penghormatan terhadap ma-
nusia termaktub dalam Q.S. al-Ti>n [95]: 4, al-Isra>’ [17]: 70. Lalu, lara-
ngan membunuh dalam Q.S. al-Ma>’idah [5]: 32; Allah memuliakan
manusia dan larangan menjualnya (Q.S. al-An‘a>m [6]: 151), hukuman
bagi yang merampok harta, anak atau perempuan untuk dieksploitasi
(Q.S. al-Ma>’idah [5]: 33-34), pencegahan aborsi (Q.S. al-Isra>’ [17]: 32),
perintah menutup aurat (Q.S. al-Ah}za>b [33]: 59), dan larangan mem-
bantu tindakan aborsi (Q.S. al-Ma>’idah [5]: 2). Hanafi, et al., eds.,
Alquran dan Kenegaraan, 63-79.
225
Lihat Q.S. Hu>d [11]: 61, al-Baqarah [2]: 30, al-Hijr [15]: 82,
Quraish [106]: 4, Saba’ [34]: 15, al-Naml [27]: 33-34, al-A‘ra>f [7]: 96, al-
Ahmad Munjin 95

Kelima, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan


kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.227
Oligarki juga bertentangan dengan prinsip-prinsip berne-
gara menurut Alquran, yakni amanah,228 keadilan,229 musyawa-

An‘a>m [6]: 44, al-Nahl [16]: 112, al-Balad [90]: 1-2, al-Ti>n [95]: 3.
Hanafi, et al., eds., Alquran dan Kenegaraan, 79-88.
226
Lihat Q.S. al-Baqarah [2]: 151. Hanafi, et al., eds., Alquran
dan Kenegaraan, 88-91.
227
Lihat Q.S. al-H{ajj [22]: 39-40 yang membolehkan kamu mus-
lim untuk memerangi siapa saja yang tidak memiliki niat baik untuk
berdamai dan al-Anbiya>’ [21]: 107 yang menegaskan misi kerasulan
Muhammad adalah menebar pesona perdamaian dan menjadi rahmat bagi
seluruh alam. Hanafi, et al., eds., Alquran dan Kenegaraan, 91-92.
228
Dalam Alquran terdapat enam ayat yang secara eksplisit me-
nyebut ama>nah dengan mufrad (tunggal) dan jamaknya. Keenam ayat
tersebut adalah surah al-Baqarah [2]: 283, al-Nisa>’ [4]: 58, al-Anfa>l [8]:
27, al-Mu’minu>n [23]: 8, al-Ma‘a>rij [70]: 32, dan al-Ah}za>b [33]: 72.
Sedangkan sifat amanah para rasul, Alquran mengungkapkan kalimat
rasu>l ami>n. Ungkapan tersebut tercantum dalam Alquran sebanyak enam
ayat, yaitu a-Shu‘ara>’ [26]: 107, 125, 143, 162, dan 178 dan al-Dukha>n
[44]: 18; na>s}ih} ami>n pada al-A‘ra>f [7]: 68; al-ru>h} al-ami>n pada al-Shu‘ara>
[26]: 193; qawiyy ami>n pada al-Naml [27]: 39; Nabi Musa sebagai al-
qawiyy al-ami>n pada al-Qas}as} [28]: 26; yang menunjukkan tempat de-
ngan sebutan maqa>m ami>n pada al-Dukha>n [44]: 51; dan dengan sebutan
al-balad al-ami>n pada al-Ti>n [95]: 3. Sebutan al-ami>n menunjukkan suatu
derajat tertinggi terhadap pihak yang memiliki sebutan tersebut, mulai
dari gelar rasul hingga gelar untuk suatu kota. Hanafi, et al., eds.,
Alquran dan Kenegaraan, 101.
229
Keadilan merupakan bagian pokok dalam kepemimpinan
(ima>mah). Alquran menyebutkan kata adil sebanyak 54 kali dan juga
yang semakna dengan itu seperti qist} dengan berbagai mushtaqq (deri-
vasinya) sebanyak 25 kata. Kosakata adil sudah menjadi bahasa Indone-
sia yang diartikan seimbang. Banyak ayat yang memerintahkan keadilan,
di antaranya surah al-Nahl [16]: 90, al-An‘a>m [6]: 152, al-Ma>’idah [5]: 8,
dan S}a>d [38]: 26. Hanafi, et al., eds., Alquran dan Kenegaraan, 113-15.
96 Oligarki dan Demokrasi...

rah,230 persamaan,231 dan kerjasama atau tolong-menolong.232


Ama>>nah dalam Alquran dapat dikategorikan sebagai amanah
dalam urusan pribadi, keluarga, masyarakat dan negara;233 Kea-
dilan meliputi berbagai tingkatan antara lain keadilan terhadap
diri sendiri, keluarga, masyarakat (mujtama‘) dan negara;234 Mu-
syawarah merupakan prinsip penting dalam menegakkan kemas-
lahatan, baik yang bersifat individual, sosial maupun pemerinta-
han;235 Prinsip persamaan (musa>wah) harus ditegakkan dalam
konteks ekonomi, politik, dan sosial;236 dan Kebersamaan merupa-
kan suatu hal yang niscaya dalam kehidupan, bahkan dengan
makhluk-makhluk lain. Sebab, secara sosiologis, manusia tidak
bisa hidup sendirian.237
Sistem oligarki juga bertentangan dengan nilai-nilai dasar
tentang kemasyarakatan. Masykuri Abdillah mencatat tujuh nilai
dasar tetang kemasyarakatan dalam Alquran.238 Ketujuh nilai

230
Perintah musyawarah dalam Alquran terdapat dalam surah A<li
‘Imra>n [3]: 159 dan al-Shu>ra> [42]: 38 berikut ini:
ِ ‫هللا ِلنتَ لَ ُه ْم َولَ ْو ُكنتَ َف ًّظا َغلِي َظ ْال َق ْل‬
ْ‫ب الَن َفضُّوا مِنْ حَ ْولِكَ َفاعْ فُ َع ْن ُه ْم َواسْ َت ْغفِر‬ ِ َ‫َف ِبمَا رَ حْ َم ٍة مِّن‬
ِّ ْ َ َّ َ َ ْ
َ َ َ َ‫ْت‬ َ َ
ِ ‫اورْ ُه ْم فِي األ ْم ِر فإِذا َعزم فت َوك ْل َعلى‬
}951{ َ‫هللا إِنَّ هللاَ ُيحِبُّ ال ُمت َوكلِين‬ ِ ‫لَ ُه ْم َو َش‬
ُ ‫صالَ َة َوأَ ْم ُر ُه ْم‬
}83{ َ‫شورَ ى َب ْي َن ُه ْم َو ِممَّا رَ َز ْق َنا ُه ْم يُن ِف ُقون‬ َّ ‫َوالَّذِينَ اسْ َتجَ ابُوا لِرَ ب ِِّه ْم َوأَ َقامُوا ال‬
Lihat Hanafi, et al., eds., Alquran dan Kenegaraan, 122-24.
231
Ayat-ayat Alquran yang mengindikasikan persamaan adalah
Surah al-H{ujura>t [49]: 13, al-Zalzalah [99]: 6, al-Nisa>’ [4]: 105, dan al-
Kahf [18]: 28. Hanafi, et al., eds., Alquran dan Kenegaraan, 128.
232
Aquran sudah menyatakan secara eksplisit adanya kehidupan
berjamaah yaitu tolong menolong (ta‘a>wun) seperti yang termaktub pada
surah al-Ma>’idah [5]: 2. Lihat Hanafi, et al., eds., Alquran dan
Kenegaraan, 132.
233
Hanafi, et al., eds., Alquran dan Kenegaraan, 102.
234
Hanafi, et al., eds., Alquran dan Kenegaraan, 115.
235
Hanafi, et al., eds., Alquran dan Kenegaraan, 120.
236
Hanafi, et al., eds., Alquran dan Kenegaraan, 131.
237
Hanafi, et al., eds., Alquran dan Kenegaraan, 132.
238
Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika Sosial Politik di
Indonesia(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011), xv-xviii.
Ahmad Munjin 97

dasar tersebut adalah pertama, keadilan (al-‘ada>lah) yang tertuang


dalam QS. Al-Ma>’idah: 8; Kedua, kepercayaan dan akuntabilitas
(al-ama>nah) yang tertuang dalam QS. Al-Nisa>’: 57; Ketiga,
persaudaraan (al-ukhuwwah) dan kemajemukan (al-ta‘addudiyyah)
yang tercermin dalam QS. Al-Hujura>t: 10 dan 13; Keempat,
persamaan (al-musa>wah) yang tertuang dalam QS. Al-Hujura>t: 13;
Kelima, kebebasan (al-hurriyyah) yang termaktub dalam QS. Al-
Baqarah: 256; Keenam, permusyawaratan (al-shu>ra>) yang tercer-
min dalam QS. Al-Shu‘ara>: 38 dan QS. A<li ‘Imra>n: 159; dan Ketu-
juh, perdamaian (al-silm) yang tertuang dalam QS. Al-Anfa>l: 61.

2. Oligarki dalam Perspektif Hadis


Dalam kategori material, selain dalam Alquran, karakte-
ristik akumulatif terhadap kekayaan yang menjadi prinsip utama
oligarki, juga tertuang dalam beberapa hadis Nabi. Dalam sebuah
hadis qudsi dinyatakan: “Seandainya material manusia (yang
lengah) memilikidua lembah yang penuh emas, niscaya ia mengi-
nginkan lembah ketiga. Tidak ada yang memenuhi rongga (ambisi)
putra-putri Adam kecuali tanah.” Sambil membaca alha>kum al-
taka>thur, Rasul SAW bersabda, “Putra-putri Adam berkata,
‘Hartaku, hartaku.” Hai Manusia! Engkau tidak memiliki dari (apa
yang engkau anggap) hartamu kecuali apa yang telah engkau
makan dan engkau habiskan, atau apa yang engkau pakai dan
lapukkan, atau apa yang engkau sedekahkan sampai habis. Selain
dari itu, semuanya akan engkau tinggalkan untuk orang orang
lain.” (Hadis Riwayat [HR] Muslim melalui Mutharrif).239
Dalam riwayat al-Bukha>ri>,240 hadis tersebut berbunyi
sebagai berikut:

239
Shihab, Tafsir al-Mishbah, 487.
240
Hadis riwayat al-Bukhari, Kita>b al-Riqaq, halaman (h.) 1971
dengan nomor (no.) Hadis 6439; Muslim, Kitab al-Zaka>t, h. 658 no. 1744
dan h. 658 no. Hadis 1744; al-Sunan al-Tirmi>dzi> h. 528 no. 2337; dan
Ahmad ibn Hanbal h. 2951 no. 11.819, h. 3067 no. 12.306, h. 3089 no.
12.392, h. 3130 no. 12584, h. 3243 no. 13.064, h. 3243 no. 13086, h. 3260
no. 13140, h. 3270 no. 13174, h. 3336 no. 13461, dan h. 919 no. 3491.
98 Oligarki dan Demokrasi...

‫اَّلل عَ ََل َم ْن َتَ َب‬ َ ‫ون َ مَل َوا ِد ًَي ِن َولَ ْن ي َ ْم َ ََل فَا مه ا َِّل ر‬
‫الُّت ماب َوي َ مت م‬
‫وب َّ م‬ َ ‫لَ ْو َأ َّن ِِل ْب ِن أ َد َم َوا ِد اًي ِم ْن َذه ٍَب َأ َح َّب َأ ْن يَ مك‬
Dalam hadis yang lain, Rasulullah SAW bersabda:
‫وش مك ا ُأل َم مم َأ ْن تَدَ اعَى عَلَ ْي م ُْك َ َمَك تَدَ اعَى َاأل ََكَ مة‬ ِ ‫ « يم‬-‫صَل هللا عليه وسمل‬- ‫اَّلل‬ ِ َّ ‫ول‬‫ع َْن ثَ ْو ََب َن قَا َل قَا َل َر مس م‬
َ ٍ
َّ ‫ فَ َقا َل قَائِ ٌل َو ِم ْن ِق ََّّل َ َْن من ي َ ْو َم ِئ ٍذ قَا َل « ب َ ْل َأن م ُْْت ي َ ْو َم ِئ ٍذ َك ِثريٌ َول ِكن َّ م ُْك غمثَا ٌء َك مغثَا ِء‬.» ‫ا ََل قَ ْص َعِتِ َا‬
ِ‫الس ْيل‬
ِ َّ ‫ فَ َقا َل قَائِ ٌل ًَي َر مسو َل‬.» ‫اَّلل ِِف قملموب م مُِك الْ َوه ََن‬
‫اَّلل‬ ‫اَّلل ِم ْن مصدم و ِر عَدم ِو مُكم الْ َمهَاب َ َة ِمنْ م ُْك َولَ َي ْق ِذفَ َّن َّ م‬
‫َولَ َي ْ ِْنع ََّن َّ م‬
‫َو َما الْ َوه مَن قَا َل مح رب ادلر نْ َيا َو َك َرا ِه َي مة الْ َم ْو ِت‬
Dari Tsauban, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Hampir saja para umat (yang kafir dan sesat,
pen) mengerumuni kalian dari berbagai penjuru, sebagaimana
mereka berkumpul menghadapi makanan dalam piring”. Kemu-
dian seseorang bertanya, “Katakanlah wahai Rasulullah, apakah
kami pada saat itu sedikit?” Rasulullah berkata,”Bahkan kalian
pada saat itu banyak. Akan tetapi kalian bagai sampah yang
dibawa oleh air hujan. Allah akan menghilangkan rasa takut pada
hati musuh kalian dan akan menimpakan dalam hati kalian
’Wahn’. Kemudian seseorang bertanya,”Apa itu ’wahn’?” Rasu-
lullah berkata, “cinta dunia dan takut mati.” (HR. Abu Daud no.
4297 dan Ahmad 5: 278, shahih kata Syaikh Al Albani. Lihat
penjelasan hadits ini dalam ‘Aunul Ma’bud).
Dalam kategori elite (oligarki yang dipahami sebagai
kekuasaan segelintir orang), Quraish merupakan salah satu bentuk
oligarki kesukuan sebagaimana sabda Rasullullah SAW, al-
’aimmah min Quraish (‫ْش‬ ِ‫)األَئ‬.
ٍ ‫ َّم ُة مِنْ قُرَ ي‬241 ْ “Para imam itu (hendaknya
diangkat) dari suku Quraish.” Menurut Quraish Shihab,
241
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dalam Al-
Musnad (11859) dari Anas bin Malik dan Abu Barzah al-Aslami> (18941);
An-Nasa`i dalam al-Sunan Al-Kubra> (5942); Ibn Abi Shaibah dalam Al-
Mushannaf dari Anas (54/8) dan ‘Ali bin Abi> Tha>lib (54/17); Abd al-
Rrazzaq dalam Al-Mushannaf dari ‘Ali (19903); Al-Haki>m dalam al-
Mustadrak (7061) dari ‘Ali; Al-Thabarani dalam Al-Mu’jam al-Kabi>r
dari Anas (724) dan dalam Al-Shaghir dari ‘Ali (426); Al-Baihaqi dalam
Ma’rifat al-Sunan wa al-Atsar dari Anas (1595); Al-Thayalisi dalam Al-
Musnad (957) dari Abu Barzah dan Anas (2325); Al-Khallal dalam Al-
Ahmad Munjin 99

Quraish yang diabadikan Alquran dalam surat Quraish [106]


merupakan suku paling berpengaruh di Mekah.242Suku ini sangat
dikenal dengan sikap persatuan, kekokohan, dan gotong-royong
mereka terutama dalam perdagangan sehingga layak diangkat
menjadi pemimpin.243
Sementara itu, Ibn Khaldu>n menegaskan, saat Nabi me-
nyatakan hendaknya kepemimpinan umatnya dipercayakan kepada
suku Quraish dan agar syarat keturunan Quraish didahulukan
daripada syarat kemampuan, jangan diartikan bahwa kepemim-
pinan umat Muhammad itu merupakan monopoli suku Quraish.
Petunjuk Nabi tersebut diberikan berdasarkan kenyataan bahwa
suku Quraish (paling tidak pada waktu itu) merupakan suku Arab
yang paling terkemuka, punya solidaritas kelompok yang terkuat
dan dominan. Atas dasar itu, Quraish menjadi suku paling berwi-
bawa. Menurut Ibn Khaldu>n, pemimpin negara dari suku yang
demikianlah yang akan mampu secara efektif menjamin ketertiban
negara dan keserasian hubungan antara komponen-komponen
negara itu. Dengan mengikuti alur argumentasi tersebut, Munawir
Sjadzali menarik benang merah: jika suku Quraish tak lagi berada
dalam keadaan sebagai suku yang paling berwibawa dan solida-
ritas kelompoknya tidak lagi dominan, yang berarti pula bahwa
pemimpin yang berasal dari suku Quraish tidak lagi dapat diharap-
kan mampu secara efektif mewujudkan ketertiban negara dan
kerukunan antar warga negara, maka kepemimpinan dapat berpin-

Sunnah (34) dari Salman al-Farisi dan ‘Ali (64); Ibn Abi Ashim dalam al-
Sunnah (929) dari Anas dan Abu Barzah (934); Ar-Ruyani dalam Al-
Musnad (746, 750) dari Abu Barzah; Abu Ya’la al-Maushili dalam al-
Mu’jam (155); Ibn ‘Arabi dalam al-Mu’jam (2259) dari Ali; IbnAsakir
dalam Tarikh Dimasyq (4635) dari Anas; dan Ibnu Adi dalam Al-Kamil
(biografi Ibrahim bin Athiyah Al-Wasithi) dari Anas.
242
Shihab, Tafsir al-Mishbah, 535.
243
Shihab, Tafsir al-Mishbah, 537-538.
100 Oligarki dan Demokrasi...

dah ke suku atau kelompok lain yang memiliki wibawa yang lebih
besar dan solidaritas kelompok yang lebih kuat.244

3. Oligarki dalam Pandangan para Ulama


Menurut Munawir Sjadzali, terdapat dua ciri umum pada
gagasan politik Ibn Abi Rabi’ (w. 272 H/885 M), Farabi> (w. 339
H/950 M), Mawardi> (972-1058 M) Ghazali> (1058-1111 M), Ibn
Taymi>yah (1263-1328 M), dan Ibn Khaldu>n (1332-1406 M).
Pertama, pada pendapat mereka, tampak jelas adanya pengaruh
alam pikiran Yunani, terutama pandangan Plato, meskipun kadar
pengaruh tersebut tidak sama antara satu pemikir dengan pemikir
yang lain. Kedua, kecuali Farabi, mereka mendasarkan pikirannya
atas penerimaan terhadap sistem kekuasaan yang ada pada zaman
mereka masing-masing. Bahkan, ada di antara mereka, dalam
penyajian gagasannya bertitik tolak pada pemberian legitimasi
atau keabsahan kepada sistem pemerintahan yang ada atau mem-
pertahankan status quobagi kepentingan penguasa dan baru kemu-
dian menawarkan saran-saran perbaikan dan reformasi.245
Dari sekian banyak bentuk pemerintahan, Ibn Abi Rabi’
secara tegas menolak sistem pemerintahan oligarki yaitu pemerin-
tahan yang dipegang oleh sekelompok kecil orang kaya. Abi Rabi’
lebih memilih monarki atau kerajaan di bawah pimpinan material
raja serta penguasa tunggal sebagai bentuk yang terbaik. Otoma-
tis, dia juga menolak bentuk pemerintahan lain seperti aristokrasi
yaitu pemerintahan yang berada di tangan sekelompok kecil
orang-orang pilihan atas dasar keturunan atau kedudukan; demo-
krasi yaitu negara yang diperintah langsung oleh seluruh warga
negara; dan lebih-lebih demagogi, apabila para warganya meman-
faatkan hak-hak politiknya yang diberikan oleh sistem demokrasi
secara tidak bertanggungjawab, yang kemudian menimbulkan

244
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah
dan Pemikiran (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press),
1993), 107.
245
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 42.
Ahmad Munjin 101

kekacauan atau anarki.246 Menurut Sjadzali, alasan utama me-


ngapa Ibn Abi Rabi’ memilih monarki sebagai bentuk pemerinta-
han yang terbaik adalah keyakinannya bahwa dengan banyak
kepala, politik negara akan terus kacau dan sukar membina
persatuan.247
Sementara itu, menurut Farabi, negara mempunyai warga-
warga dengan bakat dan kemampuan yang tidak sama satu dengan
yang lain. Di antara mereka, terdapat material kepala dan sejum-
lah warga yang martabatnya mendekati martabat kepala. Masing-
masing memiliki bakat dan keahlian untuk melaksanakan tugas-
tugas yang mendukung kebijaksanaan kepala. Mereka ini, bersa-
ma-sama dengan kepala termasuk peringkat pertama. Di bawah
mereka, terdapat sekelompok warga yang tugasnya mengerjakan
hal-hal yang membantu warga-warga peringkat pertama tersebut.
Kelompok ini, berada pada peringkat (kelas) dua. Di bawah kelas
dua, terdapat kelompok lain, yang bertugas membantu kelas di
atasnya dan seterusnya sampai kepada kelas terakhir dan terendah
yang terdiri dari warga-warga yang tugas mereka dalam negara itu
hanya melayani kelas-kelas yang lain, dan mereka sendiri tidak
dilayani oleh siapa pun.248
Stratifikasi bakat atau kualitas yang digagas oleh Farabi
tersebut baru memenuhi kriteria oligarki secara generik (segelintir
orang) tapi belum masuk pada kriteria oligarki spesifik, yaitu
stratifikasi material di mana kekayaan menjadi sumber daya
kekuasaan. Akan tetapi, jika menilik syarat-syarat pemimpin yang
diajukan, Farabi secara tegas menolak pemerintahan oligarkis.
Syarat yang bertentangan dengan kategori pemimpin oligarkis
adalah larangan bersikap loba dan rakus dan larangan memandang
penting kekayaan dan kesenangan-kesenangan duniawi lain.249

246
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 46.
247
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 46.
248
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 54.
249
Menurut Farabi, kepala bagi negara utama haruslah seorang
pemimpin yang arif dan bijaksana yang memiliki dua belas kualitas
luhur. Sebagian di antaranya telah ada pada pemimpin itu sewaktu lahir
102 Oligarki dan Demokrasi...

Padahal, dalam oligarki, kekayaan sangat diagung-agungkan, men-


jadi penilaian utama, dan diakumulasi secara besar-besaran (loba
dan rakus) sehingga terkonsentrasi pada orang-orang tertentu dan
terus dipertahankan.
Al-Ghazali> tidak secara tegas menolak sistem pemerinta-
han oligarkis. Akan tetapi, dia membuat salah satu syarat pemim-
pin yang bertentangan dengan karakteristik oligarkis, yaitu aku-
mulasi kekayaan dan pendapatan. Syarat tersebut adalah keharu-
san seorang pemimpin memiliki sikap wara>’. Wara>’ adalah kehidu-
pan yang bersih dengan kemampuan mengendalikan diri, tidak
membuat hal-hal yang terlarang dan tercela.250

sebagai watak yang alami atau tabiat yang fitri. Akan tetapi, sebagian
yang lain masih perlu ditumbuhkan melalui pengajaran yang terarah,
pendidikan serta latihan yang menyeluruh dengan disiplin yang ketat.
Adapun, dua belas kualitas luhur itu adalah: (1) lengkap anggota badan-
nya; (2) baik daya pemahamannya; (3) tinggi intelektualitasnya; (4) pan-
dai mengemukakan pendapatnya dan mudah dimengerti uraiannya; (5)
pencinta pendidikan dan gemar mengajar; (6) tidak loba atau rakus dalam
hal makanan, minuman dan wanita; pencinta kejujuran dan pembenci
kebohongan; (8) berjiwa besar dan berbudi luhur; (9) tidak memandang
penting kekayaan dan kesenangan-kesenangan duniawi yang lain; (10)
pencinta keadilan dan pembenci perbuatan zalim; (11) tanggap dan tidak
sukar diajak menegakkan keadilan dan sebaliknya sulit melakukan atau
menyetujui tindakan keji dan kotor; dan (12) kuat pendirian terhadap
hal-hal yang menurutnya harus dikerjakan, penuh keberanian, tinggi
antusiasme, bukan penakut dan tidak berjiwa lemah atau kerdil. Sjadzali,
Islam dan Tata Negara, 56.
250
Ghazali> menyodorkan sepuluh syarat yang harus dipenuhi
oleh seseorang untuk dapat diangkat menjadi kepala negara, sultan, atau
raja. Kesepuluh syarat tersebut adalah (1) dewasa atau aqil baligh; (2)
otak yang sehat; (3) merdeka dan bukan budak; (4) laki-laki; (5) keturu-
nan Quraish; (6) pendengaran dan penglihatan yang sehat; (7) kekuasaan
yang nyata; (8) hidayah; (9) ilmu pengetahuan; dan (10) wara>’ . Sjadzali,
Islam dan Tata Negara, 78.
Ahmad Munjin 103

Sedangkan Ibn Taimi>yah, sedikit sekali berbicara tentang


kepala negara251 bahkan sama sekali tidak menyinggung tentang
cara dan mekanisme pengangkatan kepala negara.252 Intinya,
menurut Taimi>yah, para penguasa harus memiliki sifat amanah
yang mempunyai dua macam manifestasi: pertama amanah dalam
penunjukkan dan pengangkatan pejabat-pejabat negara; dan
kedua, dalam pengelolaan kekayaan negara serta perlindungan atas
harta benda dan hak milik rakyat.253 Ibn Taimi>yah berpendapat,
dalam penunjukkan atau pengangkatan pembantu-pembantu, baik
mereka yang bertugas pada pemerintah pusat seperti wazir, para
panitera yang mengepalai berbagai bidang, para pejabat tinggi
lainnya, para hakim, para panglima angkatan dan komandan kesa-
tuan, para pejabat di daerah, material kepala negara harus berusa-
ha mencari orang-orang yang secara objektif betul-betul memiliki
kecakapan dan kemampuan untuk jabatan-jabatan tersebut. Kepa-
la negara, jangan sampai terpengaruh oleh faktor-faktor subjektif
seperti hubungan keluarga dan sebagainya.254

251
Ibn Taimi>yah, al-Siya>sah al-Shar‘i>yah fi> Is}la>h} al-Ra>‘i> wa al-
Ra‘i>yah (Tanpa Tempat Terbit: Da>r al-Ka>tib al-‘Arabi>, Tanpa Tahun
Terbit), 169-76.
252
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 83.
253
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 84.
254
Keharusan mengadakan seleksi secara objektif itu, menurut
Taimi>yah, tidak terbatas pada para pejabat tingkat atas, tetapi sampai
pada jabatan-jabatan seperti imam masjid, muazin, guru, kepala pasar
dan kepala desa. Taimiyah menegaskan, tidak dibenarkan material kepala
negara menyimpang dari ketentuan aspek kecakapan dan kemampuan. Di
antaranya, mengangkat seseorang untuk satu jabatan sedangkan terdapat
orang lain yang lebih memenuhi syarat kecakapan, hanya karena kepala
negara dengan orang-orang yang diangkat itu masih ada hubungan kelu-
arga, atau karena ada hubungan sahabat, atau berasal dari satu daerah
yang sama, atau sama-sama pengikut satu mazhab atau tarikat, atau
sama-sama satu bangsa—sama-sama Arab, Persia, atau Turki. Taimiyah
juga melarang jabatan itu diberikan atas imbalan pembayaran uang atau
jasa, atau disebabkan oleh kebencian atau rasa permusuhan terhadap
orang-orang yang sebenarnya secara objektif lebih memiliki kecakapan
104 Oligarki dan Demokrasi...

Pengangkatan pejabat negara yang amanah dilakukan


secara objektif perlu mendapat penekanan di sini--apakah bisa
pemimpin oligark mengangkat pejabat dengan melepaskan faktor
sujektivitasnya. Karena tujuan kekuasaannya adalah rezim perta-
hanan kekayaan, tentu oligark akan sulit memilih pejabat negara
yang didasarkan pada aspek kecakapan dan kemampuannya sema-
ta. Kalaupun yang dipilih adalah orang cakap dan mampu, tentu
pemilihan itu mendapat embel-embel yaitu membantu pertahanan
kekayaan oligark yang menjadi tujuan utama kekuasaannya. Jadi,
sulit bagi oligark untuk melakukannya secara objektif selama tuju-
an kekuasaannya untuk kekayaannya sendiri dan kurang perhatian
pada kesejahteraan masyarakat banyak sebagaimana dikehendaki
demokrasi. Dari sisi karakteristik pemimpin ini, Taimi>yah jelas
menolak pemerintahan oligarkis.
Amanat kedua, menurut Taimi>yah, mengenai pengelolaan
kekayaan negara dan perlindungan harta benda milik para warga
negara. Di satu sisi, dalam pengelolaan kekayaan negara, rakyat
tidak dibenarkan menolak membayar segala kewajiban yang telah
ditentukan oleh kepala negara. Di lain sisi, kepala negara harus
membelanjakan dana yang diterima dari rakyat dan dari sumber-
sumber lain secara baik sesuai dengan petunjuk Alquran dan
Sunah, dan tidak mempergunakannya sekehendak hawa nafsunya.
Kepala negara harus sadar sepenuhnya bahwa dana tersebut
bukanlah miliknya melainkan merupakan amanat atau titipan.
Pada saat yang sama, kepala negara harus menjamin bahwa segala
kewajiban keuangan dari negara untuk rakyat harus selalu dipe-
nuhi. Kepala negara juga harus melindungi hak milik, harta benda
dan kekayaan warga negara terhadap ancaman atau gangguan,
baik dari aparat negara maupun dari sesama rakyat.255
Dari penjelasan itu, terdapat dua jenis amanah, yakni
pertama yang menjadi kewajiban rakyat dan kedua yang menjadi
kewajiban pemimpin. Dengan demikian, amanah itu ditujukan

dan kemampuan untuk mengisi jabatan tersebut. Sjadzali, Islam dan Tata
Negara, 85.
255
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 87.
Ahmad Munjin 105

kepada oligarkbaik sebagai warga negara maupun sebagai pemim-


pin. Secara jelas, menurut Winters, kepentingan-kepentingan oli-
garki terfokus pada mempertahankan kekayaan (menolak penyita-
an dengan paksa) dan mempertahankan pendapatan (menolak
redistribusi hukum kepemilikan sehingga kepemilikan pribadi
dinyatakan aman).256Padahal, menurut Ibn Taimi>yah, rakyat tidak
dibenarkan menolak segala kewajiban. Pada saat yang sama,
pemimpin harus memenuhi kewajiban keuangan negara dan melin-
dungi hak milik warga negara dan tidak diselewengkan untuk
memperkaya diri yang menjadi kecenderungan oligarki. Dari sisi
ini, Taimi>yah jelas menolak sistem pemerintahan oligarkis.
Menurut Sjadzali, Ibn Khaldu>n termasuk kelompok pemi-
kir Islam yang berpendirian bahwa salah satu syarat agar dapat
menjadi khalifah atau imam, yang merupakan pemimpin tertinggi
dunia Islam adalah seseorangyang harus berasal dari keturunan
Quraish. Dalam konteks ini, suku Quraish termasuk oligarki dalam
kategori elite, yaitu segelintir orang yang sumber daya kekuasa-
annya bukan material.257Hanya saja, Khaldu>n tidak semata menda-
sarkan syarat tersebut kepada sabada Nabi SAW sebagaimana
pemikir Islam yang lain bahwa kepemimpinan umat Islam berada
pada suku Quraish. Ibn Khaldu>n coba melakukan rasionalisasi atas
ketentuan tersebut. Berdasarkan teori ‘as}a>bi>yah-nya, Khaldu>n
mengemukakan bahwa orang-orang Quraish adalah pemimpin-
pemimpin terkemuka, original dan tampil dari Bani Mudhar.
Dengan jumlahnya yang banyak, solidaritas kelompoknya yang
kuat, dan keanggunannya, suku Quraish memiliki wibawa yang
kuat atas cabang-cabang dan ranting-ranting lain dari Bani
Mudhar. Seluruh bangsa Arab mengakui kenyataan itu dan hormat
kepada keunggulan suku Quraish. Oleh karena itu, jika kepemim-
pinan diserahkan kepada suku lain, dikhawatirkan akan timbul
tantangan dan pembangkangan yang berakibat pada kehancuran.258

256
Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 733.
257
Winters, Oligarchy, 18-20.
258
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 106-07.
106 Oligarki dan Demokrasi...

Jika melihat syarat-syarat pemimpin yang diajukan oleh


para ulama klasik tersebut, tak satu pun yang mendukung peme-
rintahan oligarkis. Akan tetapi, sebagaimana dinyatakan oleh
Sjadzali, dalam praktiknya, beberapa ulama memberikan legitima-
si atau keabsahan kepada sistem pemerintahan yang ada atau
mempertahankan status quobagi kepentingan penguasa dan baru
kemudian menawarkan saran-saran perbaikan dan reformasi.259
Mafhum muwafaqah dari proposisi Sjadzali tersebut adalah jika
pemerintahan yang berkuasa adalah oligarkis, tentu para ulama
memberikan legitimasinya untuk kemudian memberikan koreksi
pada sistem tersebut. Dari sini tampak, para ulama mengamalkan
prinsip tada>ruj (reformasi bertahap). Apalagi, Ibn Taymiyah se-
cara tegas menyatakan, “lebih baik dipimpin oleh pemimpin yang
kafir yang adil, daripada dipimpin oleh pemimpin muslim yang
zalim.”260 Jadi, dalam kerangka Taimi>yah, pemimpin oligarkis
lebih baik daripada tanpa pemimpin demokratis sebagaimana
Winters mengatakan, demokrasi yang menyatu dengan oligarki
lebih baik daripada tak ada demokrasi sama sekali.261
Tabel 2.3. Konsep Islam tentang Oligarki
No. Indikator Teori Oligarki Konsep Islam
1. Aktor/Subjek Oligark Al-Mutaka>thir
Al-U<li>gharshi>yah
2. Sistem Oligarki
(Bahasa Arab)
Dasar Stratifikasi
3. Daraja>t
Kemunculan Material
Sumber Daya
4. Kekayaan Al-Amwa>l
Kekuasaan

259
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 42.
260
Abu Tholib Khalik, “Pemimpin non-Muslim dalam Perspektif
IbnTaimiyah,” Analisis: Jurnal Studi Keislaman, 14, no. 1 (Juni 2014):
73.
261
Winters, “Oligarchy and Democracy,” 27.
Ahmad Munjin 107

Lanjutan Tabel 2.3

No. Indikator Teori Oligarki Konsep Islam


Pertahanan Al-Taka>thur, Hub
5. Motif Berkuasa
kekayaan al-Dunya>’
Ketidaksetaraan
6. Efek/Akibat politik dan materi Melampaui batas
yang ekstrem

Dari paparan Tabel 2.3. di atas, peneliti melihat benang


merah adanya perubahan teori oligarki sejak jaman Yunani kuno
hingga abad 19 dan setelahnya hingga saat ini. Perubahan tersebut
terletak pada unsur-unsur oligarki yang semula semata kekayaan
menjadi bertambah dengan masuknya unsur selain kekayaan seba-
gaimana dibangun teori elite. Setelah itu, para ilmuan kembali ke
unsur awal oligarki yaitu kekayaan sebagaimana diwakili Jeffrey
A. Winters. Belakangan, teori-teori tersebut pun coba mendapat
tantangan dari teori aksi yang digagas R. William Liddle.
Perdebatan yang paling mencuat seputar oligarki adalah
perihal kompatibilitas oligarki dengan demokrasi. Bagi yang men-
dukung, mereka berpandangan bahwa dominasi elite tak dapat
dihindarkan dalam sistem demokrasi. Sementara itu, yang meno-
lak lebih melihat pada akibat di mana karakteristik oligarki memi-
cu ketidaksetaraan politik yang berujung pada ketidaksetaraan
materi. Dari sisi ini, oligarki jelas memicu ketimpangan ekonomi
dalam sebuah masyarakat. Oleh karena itu, semakin oligarkis
suatu pemerintahan, semakin timpang ekonomi masyarakat suatu
daerah atau suatu negara. Meski begitu, sebagian pendukung kom-
patibiltas oligarki dengan demokrasi, juga melihatnya dari sudut
pandang yang negatif, bernada sinis dan pesimistis baik terhadap
oligarki maupun demokrasi.
Sementara itu, oligarki dalam perspektif Islam, secara
tegas Alquran dan Hadis mengecam sikap lengah akibat aksi aku-
mulatif terhadap kekayaan yang menjadi karakteristik oligark dan
108 Oligarki dan Demokrasi...

oligarki. Secara teori, kekayaan secara intrinsik menjadi salah satu


sumber daya kekuasaan yang mendefinisikan oligark dan oligarki.
Sementara itu, para ulama klasik lebih bersikap akomodatif terha-
dap sistem kekuasaan pada zaman mereka sambil melakukan
reformasi bertahap pada sistem tersebut. Mafhu>m muwafaqah-
nyaadalah jika yang berkuasa saat itu adalah sistem oligarkis, para
ulama tersebut dipastikan melegitimasinya untuk kemudian mem-
perbaikinya. Secara normatif, sistem pemerintahan Islam lebih
kompatibel dengan demokrasi dibandingkan oligarki. Kesimpulan
ini didasarkan pada tujuan negara menurut Alquran, yakni ama-
nah, keadilan, musyawarah, persamaan, dan kerjasama atau
tolong-menolong. []
Ahmad Munjin 109

Bab III
DINAMIKA
SUMBER DAYA KEKUASAAN
KIAI DAN JAWARA DI BANTEN

Pasca-Reformasi 1998, jawara tidak lagi berperan sebagai


santri dan pelayan bagi kiai. Dengan sumber daya kekuasaan
material yang mendefinisikannya sebagai oligark dan oligarki,
jawara menjadi lebih dominan dibandingkan kekuasaan elite yang
melekat pada para kiai. Tubagus Chasan Sochib (1930-2011),
seorang tokoh jawara di Banten sukses mentransformasikan diri-
nya dari seorang elite menjadi oligark sultanistik. Terdapat bebe-
rapa faktor yang telah mengantarkan jawara pada perubahan
sosialnya yang signifikan itu. Pertama, alasan antropologis yang
mengharuskan jawara menjadi kaya dan ekspansi bisnisnya yang
tidak terbatasi oleh teritori desanya; Kedua, hubungan jawara
dengan rezim Orde Baru terjadi secara saling menguntungkan baik
secara politik maupun ekonomi; dan Ketiga, intervensi rezim Orde
Baru pada kiai justru menggerus kekuatan sumber daya kekuasaan
elite yang disandang oleh para kiai.
Pada bab III ini, peneliti membandingkan sumber daya
kekuasaan antara kiai dan jawara. Perubahan sosial dalam dinami-
ka kekuasaan keduanya sama-sama dipengaruhi oleh faktor ekster-
nal (eksogen) yakni rezim penguasa mulai dari era kolonial hingga
era reformasi. Peneliti memotretnya dengan lima teori sumber
daya kekuasaan, yaitu: hak politik formal, kekuasaan mobilisasi,
kekuasaan koersif, jabatan resmi, dan kekuasaan material. Sumber
daya kekuasaan yang terakhir inilah yang mendefinisikan sese-
orang menjadi oligark dan menciptakan sistem oligarki sekaligus
membedakannya dengan kekuasaan elite dalam demokrasi.
110 Oligarki dan Demokrasi...

A. Peran Kiai dan Jawara pada Era Kolonial


Pada sub bab ini, peneliti menjelaskan peran kiai dan
jawara yang sama-sama merupakan elite bagi masyarakat Banten.
Peneliti melacak sumber daya kekuasaan elite apa saja yang dimi-
liki dan melekat pada kiai dan jawara. Kemudian, dijelaskan ten-
tang bagaimana dialektika sumber daya kekuasaan elite tersebut
dengan rezim penguasa di era kolonial. Terakhir, peneliti mengela-
borasi benih-benih sumber daya kekuasaan material pada kekuasa-
an kiai dan jawara yang memungkinkan tumbuh menjadi kekuasa-
an oligarkis.

1. Kiai dan Jawara sebagai Elite bagi Masyarakat Banten


Meski benih-benih sumber daya kekuasaan material yang
mentransformasikan jawara dari elite ke oligarki sudah muncul
pada masa-masa kolonial, jawara belum terdefinisikan sebagai
oligark. Jawara dan kiai sama-sama berperan sebagai elite bagi
masyarakat Banten. Kedua entitas informal leader ini teridentifi-
kasi memiliki kekuasaan mobilisasi yang menonjol selain hak
politik formal, jabatan resmi, dan kekuasaan koersif. Kekuasaan
material memang lebih didominasi oleh jawara tetapi belum
mencapai kategori oligark karena sifatnya masih dalam skala kecil
dan tradisional.
M.A. Tihami1 Okamoto Masaaki2 dan Dadi Darmadi3 me-
nyatakan, kiai dan jawara merupakan elite bagi masyarakat

1
M.A. Tihami, “Kiai dan Jawara di Banten: Studi tentang Aga-
ma, Magi, dan Kepemimpinan di Desa Pasanggrahan Serang, Banten,”
Tesis Magister, Universitas Indonesia, 1992, 2.
2
Okamoto Masaaki, “The Rise of the “Realistic” Islamist Party:
PKS in Indonesia,” dalam Islam in Contention: Rethinking Islam and
State in Indonesia, eds. Ota Atsushi, Okamoto Masaaki, dan Ahmad
Suaedy (Jakarta: Wahid Institute, Kyoto: Center for Southeast Asian
Studies (CSEAS), Taiwan: Center for Asia-Pacific Area Studies
(CAPAS), 2010), 235-36.
3
Dadi Darmadi, “The Geger Banten of 1888: An Anthropo-
logical Perspective of 19th Century Millenarianism in Indonesia,” Heri-
Ahmad Munjin 111

Banten. Akan tetapi, Darmadi melihat potensi kekuasaan material


yang menjadi sumber daya kekuasaan oligarkis pada dua entitas
informal leader4 tersebut sedangkan Tihami hanya melihat potensi
tersebut pada jawara. Menurut Darmadi, masyarakat Banten
memiliki sistem differensiasi sosial yang khusus. Tiga kelompok
elite secara khusus mendominasi kehidupan perdesaan: ulama atau
kiai, jawara, dan priyayi.5 Dalam budaya Sunda, istilah priyayi
disebut kaum ménak.6Ketiga kelompok tersebut terlibat penuh
dalam pemberontakan di Banten. Dalam kelompok ulama, bebe-
rapa perbedaan bisa saja terjadi. Pada level bawah, adalah kelom-
pok priyayi yang direpresentasikan oleh para haji, orang-orang
yang sudah melaksankan ziarah ke Makah.
Secara umum, menurut Darmadi, ketiga kelompok terse-
but lebih kaya dari anggota-anggota masyarakat. Kelebihan ketiga

tage of Nusantara: International Journal of Religious Literature and


Heritage, 4 no. 1 (Juni 2015): 74.
4
Pemimpin informal (informal leader) adalah seseorang yang
karena latar belakang pribadi yang kuat mewarnai dirinya, memiliki
kualitas subyektif atau obyektif yang memungkinkannya tampil dalam
kedudukan di luar struktur organisasi resmi. Akan tetapi, ia dapat
memengaruhi kelakuan dan tindakan suatu kelompok masyarakat, baik
dalam arti positif maupun negatif. Dalam masyarakat muslim pemimpin
informal dimaksud bisa ulama, kiai, ustaz, atau tokoh masyarakat. Lihat
Nicholas Argyres dan Vai-Lam Mui, “Rules of Engagement, Informal
Leaders, and the Political Economy of Organizational Dissent,” makalah
disampaikan pada pertemuan tahunan the Strategic Management
Society, the Society for the Advancement of Behavioral Economics, the
Western Economic Association, the International Society for New Insti-
tutional Economics, and the Informs College on Organization Science,
Juli 2000, 22.
5
Darmadi, “Geger Banten of 1888,” 74.
6
Istilah ménak digunakan dalam budaya Sunda untuk merujuk
pada seseorang yang dijunjung tinggi, termasuk aristokrasi dan para peja-
bat tinggi; lihat Nina Herlina Lubis, “Religious Thoughts and Practices
of the Kaum Ménak: Strengthening Traditional Power,” Studia Islamika:
Indonesian Journal for Islamic Studies 10 no. 2 (2003): 7.
112 Oligarki dan Demokrasi...

kelompok elite tersebut dari sisi kekayaannya bisa dikategorikan


sebagai “benih-benih” tapi belum masuk kategori sebagai oligark.
Dalam konteks kekayaan itu, baik kiai, jawara, maupun priyayi
sama-sama memiliki potensi kekuasaan material.7 Di level atas,
kiai sebagai elite memiliki basis pengaruh yang luas menjangkau
wilayah luar perdesaan dan dalam beberapa kasus kekuasaan kiai
melampaui wilayah Banten. Sejak pertanian menjadi aspek
terpenting dalam kehidupan ekonomi di Banten, ketiga grup
tersebut berbagi eksploitasi ekonomi mereka dengan para petani
kaya atau tuan tanah.8
Dalam kehidupan masyarakat Banten, menurut M.A.
Tihami, terdapat aturan-aturan yang disebut agama dan darigama.
Agama adalah aturan-aturan yang dianggap sakral, sedangkan
darigama adalah aturan-aturan yang biasa (profan), meskipun yang
biasa ini juga berasal dari agama atau “diselimuti” oleh agama
(sakral).9 Kepemimpinan agama direpresentasikan oleh kiai dan
kepemiminan darigama diwakili oleh jawara.10 Kedua kepemimpi-
nan ini dinilai Tihami sama kuat.

7
Kekuasaan material adalah sumber daya kekuasaan yang bera-
sal dari kekayaan. Kekayaan mendefinisikan oligark, menggerakkan poli-
tik dan proses oligarki. Sumber daya kekuasaan material menyediakan
dasar untuk tegaknya oligark sebagai pelaku politik yang tangguh. Sum-
ber daya material mengejawantah dalam berbagai bentuk. Yang paling
luwes adalah uang tunai. Kekayaan sudah lama dikenali sebagai sumber
kekuasaan ekonomi, sosial, dan politik. Orang bisa menjadi sama sekali
tak berkuasa kalau tidak punya kekayaan. “Keluwesan luar biasa kekua-
saan material itulah yang menjadikannya sangat penting dalam politik.
Kekuasaan material bisa membeli pertahanan kekayaan, baik dalam ben-
tuk kemampuan pemaksaan atau menyewa jasa pertahanan dari profesio-
nal yang ahli.” Lihat Winters, Oligarchy, (New York: Cambridge
University Press, 2011), 18.
8
Darmadi, “Geger Banten of 1888,” 74-75.
9
Tihami, “Kiai dan Jawara,” 97.
10
Jawara adalah suatu golongan sosial yang mengandalkan kebe-
ranian dan kekuatan fisik, agresif, terbuka (blak-blakan) dan sompral
(tutur kata yang keras). “Untuk menunjang keandalan fisiknya itu,
Ahmad Munjin 113

Kewenangan terhadap agama dan darigama melahirkan


dua kepemimpinan yakni kepemimpinan agama dan kepemimpi-
nan bukan agama (dunia). Orang Banten, lebih tepatnya masya-
rakat Pasanggrahan, Serang, menyebut pemimpin agama ini
dengan kiai, dan pemimpin dunia dengan pamaréntah, walaupun
tidak selamanya pemimpin ini menjadi pejabat pemerintahan.
Misalnya, orang kaya (pengusaha) yang dianggap sebagai pemim-
pin, disebut juga dengan pamingpin pamarentah karena dianggap
menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Kiai dan pamarentah ini
menjadi pemimpin karena mempunyai kelebihan-kelebihan diban-
dingkan dengan orang kebanyakan. Kelebihan kiai sebagaimana
disebutkan di atas, adalah dalam kemampuannya memiliki magi
dan menyebarkannya kepada masyarakat yang memerlukannya.11
Ada beberapa macam magis yang dibutuhkan oleh masya-
rakat. Sebagian di antaranya adalah magi tentang kadigjayaan
(kesaktian) yang meliputi jenis-jenis kesereman dalam penampilan
sehingga ditakuti orang, kekebalan tubuh dari senjata tajam, dan
kekuatan fisik dalam bersilat. Magi semacam inilah yang dibutuh-
kan dan dimiliki oleh sebagian orang yang disebut jawara. Magi
seperti ini diperoleh dari kiai dengan bentuk atau melalui pembe-
rian formula-formulanya.12
Lebih jauh Tihami menjelaskan, kiai dan jawara diakui
sebagai pemimpin. Hanya saja, kepemimpinan jawara punya per-
syaratan khusus. Syarat tersebut adalah harus menduduki jabatan
pemerintahan (desa) atau menjadi orang kaya (pengusaha). Karena
ada perbedaan jabatan, pihak yang dipimpin pun berbeda pula.
Kepemimpinan kiai ternyata tidak terbatasi oleh batas-batas teri-
torial tertentu. Sebab, selain jabatannya sebagai pemimpin upaca-
ra-upacara agama, kiai juga ahli magi. Oleh karena itu, seorang
kiai dianggap sebagai pemimpin bukan saja dalam lingkungan

jawara membutuhkan magi walaupun dalam bentuk yang paling mudah,


misalnya jimat, rajah dan sebagainya yang kesemuanya itu paling banyak
diperoleh dari kiai.” Lihat Tihami, “Kiai dan Jawara,” 13.
11
Tihami,“Kiai dan Jawara,” 99.
12
Tihami,“Kiai dan Jawara,” 99.
114 Oligarki dan Demokrasi...

desanya, tetapi juga pada desa-desa lainnya bahkan jauh ke


tempat-tempat lain. Di sisi lain, kepemimpinan jawara yang
berkedudukan sebagai orang kaya (pengusaha) juga tidak terbatas
pada territorial tertentu, tetapi tidak seluas kiai. Sebab, bagi orang
orang kaya berlaku relasi dagang. Jadi, kepemimpinan jawara yang
berkedudukan sebagai pejabat pemerintahan desa terbatas pada
lingkungan desanya. Artinya, orang-orang di luar desa yang dipe-
rintahnya, tidak mengakuinya sebagai pemimpin. Hanya saja, dari
sisi relasi dagangnya, jawara tidak terbatas hanya di desanya.13
Okamoto Masaaki menyebut kiai dan jawara sebagai
informal leaders yang sangat penting. Banten memiliki banyak
pesantren. Kiai merupakan pemilik dan pengelola pesantren-
pesantren tersebut yang mengajarkan ajaran Ahl al-Sunnah wa al-
Jama>‘ah, terutama di wilayah selatan. Begitu juga dengan jawara14
yang merupakan kategori lain dari informal leaders. Secara
historis, di Banten Utara merupakan tempat di mana jawara lebih
terkonsentrasi dan merupakan tempat di mana komunis pada 1926
mempertahankan basisnya. Kecamatan Ciomas dan Pabuaran
berlokasi di antara Banten Utara dan Banten Selatan yang juga
dikenal sebagai wilayah kiai dan jawara dan bahasa Sunda sebagai
bahasa ibu mereka.15 Di atas semua itu, kiai dan jawara sebagai
elite bagi masyarakat Banten merupakan kenyataan yang tidak
terbantahkan.

13
Tihami,“Kiai dan Jawara,” 105.
14
Menurut Masaaki, jawara adalah semacam orang kuat perdesa-
an atau orang yang secara semi-sosial melekat kecekatan di dan sekitar
desa dan mereka memiliki kecapakan dalam seni bela diri yang disebut
pencak silat. Beberapa jawara yang sangat berpengaruh dipercaya memi-
liki kekuatan magis yang disebut ilmu. Ilmu berasal dari bahasa Arab dan
memiliki dua makna. Makna ilmu pertama sebagai sains atau pengetahu-
an dan kedua sebagai pengetahuan supranatural. Dalam konteks Banten,
pengertian tentang ilmu adalah definisi yang kedua. Lihat Masaaki,
“Rise of Realistic Islamist Party,” 235.
15
Masaaki, “Rise of Realistic Islamist Party,” 236; lihat juga
Tihami,“Kiai dan Jawara,” 30-32, 50.
Ahmad Munjin 115

Dengan demikian, jelas terlihat bahwa jawara dan kiai


sama-sama merupakan elite bagi masyarakat Banten. Kedua enti-
tas informal leaderini dari sisi kepemilikan harta juga lebih kaya
dibandingkan masyarakat kebanyakan. Akan tetapi, kekayaan
tersebut tentu saja belum bisa dimasukkan ke dalam kategori
oligark. Sebab, kekayaan oligark harus mencapai ribuan kali lipat
dibandingkan kekayaan rakyat biasa yang direpresentasikan mela-
lui incomepercapita. Namun demikian, benih-benih oligarki itu
justru tumbuh pada kepemimpinan jawara. Sebab, di satu sisi,
kepemimpinan jawara bagi masyarakat Banten meski secara
kekuasaan terbatas pada desanya, tapi tidak terbatas dari sisi
ekspansi bisnisnya. Di lain sisi, meski kekuasaan kharismatik kiai
tidak terbatasi oleh teritori desa, kiai tidak punya kekuasaan
ekspansi bisnis seperti jawara yang kepemimpinannya mensyarat-
kan kekayaan.

2. Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara sebagai Elite


Menurut Jeffrey A. Winters, kekuasaan elite dicirikan oleh
empat sumber daya kekuasaan, yakni hak politik formal, mobili-
sasi, jabatan resmi, dan kekuasaan koersif. Sementara itu, kekua-
saan material menjadi sumber daya kekuasaan oligarkis sekaligus
menegasikannya dari kekuasaan elite.16 Pada bagian ini, peneliti
akan mengelaborasi kekuasaan elite kiai dan jawara dari sudut
pandang empat sumber daya kekuasaan tersebut.
Jika dilihat dari empat sumber daya kekuaan elite, kiai
dan jawara pada era penjajahan lebih mendominasi kekuasaan
mobilisasi. Sedangkan sumber daya kekuasaan dari sisi hak politik
formal17 yang melekat pada kiai dan jawara belum muncul. Sebab,

16
Winters, Oligarchy, 11-20.
17
Menurut Winters, hak politik formal adalah sumber daya ke-
kuasaan yang paling tak langka dan paling tersebar di tingkat individu
dalam keadaan adanya hak pilih bagi semua orang dan sedikitnya rinta-
ngan untuk berpartisipasi dalam politik. Hak politik ini dianggap sebagai
kebebasan liberal karena mencakup satu suara untuk setiap orang, kebe-
basan berpendapat tanpa ditindas, dan kesempatan mendapatkan akses
116 Oligarki dan Demokrasi...

Indonesia baru mengadakan pemilu untuk pertama kalinya pada


195518 atau sepuluh tahun pascakemerdekaan. Pemilu yang sering
dikatakan sebagai pemilu Indonesia paling domokratis itu bertu-
juan memilih anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dan Konstituante.
Perihal kekuasaan mobilisasi,19 kiai memiliki kedudukan
dan peran strategis di masyarakat. Pada masa kesultanan, sebagian
pemuka agama ini masuk sistem birokrasi pemerintahan, baik di
tingkat pusat maupun lokal. Ketika kesultanan dihapuskan dan
Banten menerapkan sistem birokrasi Barat, hanya sebagian kecil
ulama yang menjadi pangreh praja (penguasa lokal pada era
kolonial). Sebagian besar lainnya, justru memandang hina kekua-
saan kolonial, dan menjadi simbol perlawanan terhadap penjajah.
Eksploitasi kolonial di Banten telah mendorong rakyat melancar-
kan pemberontakan. Para kiai, bersama kaum jawara merupakan
motor utama berbagai gerakan sosial yang marak dan menegaskan
betapa besarnya kekuasaan mobilisasi20 kiai di Banten abad ke-19.
Pemberontakan-pemberontakan itu terus berlangsung sampai
permulaan abad ke-20, dan kiai tetap menjadi pelopor utama.21

terhadap informasi yang dimiliki semua orang dalam masyarakat. Hak


politik, lanjut Winters, baru menjadi benar-benar penting di antara indi-
vidu kalau bersifat makin ekslusif, baik secara formal maupun praktik.
Lihat Winters, Oligarchy, 13.
18
Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in
Indonesia(Jakarta dan Kuala Lumpur: Equinox Publishing, 2007), 414-
450.
19
Kekuasaan mobilisasi adalah kapasitas individu untuk meng-
gerakkan atau memengaruhi yang lain—kemampuan memimpin orang,
meyakinkan pengikut, menciptakan jejaring, menghidupkan gerakan, me-
mancing tanggapan, dan menginspirasi orang untuk bertindak (termasuk
membuat mereka mengambil risiko dan berkorban). Lihat Winters,
Oligarchy, 15.
20
Winters, Oligarchy, 15.
21
Tb. Iman Ariyadi, “Kiai dan Jawara dalam Politik Banten,”
Gatra, 6 November 2013, 24.
Ahmad Munjin 117

M.A. Tihami mencatat, pada abad 19, kiai berhasil memo-


bilisasi masyarakat untuk memberontak seperti puncak pemberon-
takan petani di Cilegon pada 1888 yang dipimpin oleh Kiai Haji
Wasid.22 Besarnya kekuasaan mobilisasi kiai saat itu didukung
oleh beberapa faktor: Pertama, berdirinya lembaga-lembaga
pengajaran agama Islam yang disebut dengan pesantren pada abad
ke-18 yang ditandai dengan berdirinya pesantren tertua di
Caringin, Banten. Upaya ini bukan hanya didorong oleh keinginan
orang-orang Islam untuk memperdalam ajaran agamanya, tetapi
juga karena mulai masuknya pengaruh orang Belanda di lingku-
ngan keraton-keraton (Cirebon dan Banten). Menurut Tihami,
apapun yang mendorong munculnya lembaga pesantren dalam
konteks Islamisasi memunculkan adanya figur kepemimpinan
yang menjadi elite dalam masyarakat, yaitu kiai. Kiai adalah pihak
yang memberikan pengajaran agama Islam (sebagai guru) dalam
pesantren itu.23
Kedua, kedudukan kiai sebagai “perpanjangan tangan”
sultan dalam proses Islamisasi di daerah-daerah perdesaan. Sebab,
kesultanan berdiri atas dasar upaya Islamisasi, baik untuk me-
ngembangkan pengaruh maupun untuk memperkuat kekuasaan
dan kedudukan sultan. Kondisi ini sangat menguntungkan kiai
yang kedudukannya sebagai pemimpin masyarakat. Kedudukan
kiai semacam itu terus berlangsung walaupun kesultanan Banten
telah berakhir pada tahun 1820, yaitu Sultan Rafiuddin (1813-
1830) sebagai sultan Banten yang terakhir. Berakhirnya kesulta-
nan seiring dimulainya kekuasaan pemerintah kolonial Belanda.24
Ketiga, kiai mendapatkan dukungan dari masyarakat yang mem-
benci Belanda karena telah memporak-porandakan sistem kesulta-
nan. Itulah yang menjadi kunci keberhasilan mobilisasi kiai.25

22
Tihami, “Kiai dan Jawara,” 2.
23
Zamarkhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang
Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES. 1985), 19.
24
Tihami, “Kiai dan Jawara,” 1-2.
25
Tihami, “Kiai dan Jawara,” 2.
118 Oligarki dan Demokrasi...

Abdul Hamid juga mencatat besarnya kekuasaan mobili-


sasi26 dari kepemimpinan kiai pada masa penjajahan Banten.
Mobilisasi yang berperan besar itu dijalankan dalam dua pembe-
rontakan anti-Belanda. Pada 1888, beberapa kiai yang sangat
berpengaruh mengendalikan sentimen anti-Barat melalui kajian
mereka di Mekah. Mereka memimpin sebuah pemberontakan
dalam skala besar. Para kiai menyiapkan dan mengorganisasi
pemberontakan melalui jaringan dengan murid-murid mereka.27
Salah satu bukti besarnya kekuasaan mobilisasi kiai saat itu
diperlihatkan oleh Imam Nawawi Al-Bantani yang menggelorakan
semangat perjuangan dari Tanah Suci. Imam Nawawi Al-Bantani
yang melekat padanya otoritas dan legitimasi kharismatik yang
besar melalui pengajarannya kepada para santri asal Tanah Air
selalu mengobarkan api perjuangan melawan penjajahan di Banten
dan Indonesia secara umum.28
Para santrinya merespons dengan mendirikan berbagai
organisasi masyarakat dan lembaga pendidikan di Tanah Air
sebagai bagian penting dari perjuangan melawan penjajah dan
mengembangkan Islam di Tanah Air. Di antara murid-muridnya
adalah K.H. Kholil Bangkalan, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim
Asyari Tebuireng, K.H. Asnawi Kudus Jawa Tengah, K.H. Arsyad
Thowil Banten, K.H. Najihun Tangerang, K.H. Tubagus Muham-
mad Asnawi Caringin, K.H. Ilyas Serang, K.H. Abd Gaffar
Tirtayasa, K.H. Tubagus Bakri Purwakarta, dan K.H. Jahari Ceger
Bekasi. Ketokohan Imam Nawawi Al-Bantani semakin kuat
seiring penyebaran karya-karyanya di Indonesia melalui murid-

26
Winters, Oligarchy, 15.
27
Sartono Kartodirdjo, The Peasants Revolt of Banten in 1888,
Its Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Social Movements
in Indonesia (Dordrecht: Springer Science+Business Media Dordrecht,
1966).
28
Tim Raksa Ajar Indonesia, kata pengantar pada terjemahan
Sala>lim al-Fud}ala>’: Menapaki Tangga-tangga Keutamaan Hidup, oleh
Imam Nawawi Al-Bantani (Serang: Dinas Perpustakaan dan Kearsipan
Provinsi Banten, 2017), 21-22.
Ahmad Munjin 119

muridnya yang berkiprah di Tanah Air. Hingga kini, buku-buku


Imam Nawawi masih diajarkan di sejumlah pesantren di Nusan-
tara bahkan lembaga-lembaga studi keislaman di dunia.29
Kiai juga memainkan kekuasaan penting dalam memobili-
sasi pemberontakan komunis di Banten pada 1926. Ketidakpuasan
dengan kebijakan moderat dan usaha-usaha purifikasi Islam dari
para pemimpin Sarekat Islam, organisasi Islam terbesar saat itu,
sebagian kiai saat itu memilih untuk bergabung dengan PKI
(Partai Komunis Indonesia) untuk berjuang melawan Belanda
sebagai musuh bersama.30 Kekuatan politik kiai mencapai puncak-
nya pada masa perlawanan lokal tersebut.
Sementara itu, perihal kekuasaan mobilisasi31 jawara di
masa kolonial, Masaaki dan Hamid menjelaskan perjumpaan seja-
rah antara negara dengan gerakan bawah tanah di Jawa (Java
underground). Pada awal abad 19, jawara Banten telah dikenal
oleh birokrat kolonial Belanda dan wilayah Banten saat itu terke-
nal tidak aman. Selama abad 19, Banten merupakan salah satu
area perdesaan di Jawa yang paling rusuh. Masaaki dan Hamid
mencatat, pada periode 1810-1870, tidak kurang dari sembilan
belas pemberontakan yang dimobilisasi jawara di Banten.32
Di Jawa, lebih jauh Masaaki dan Hamid menjelaskan, bis-
nis dari material pencuri adalah pekerjaan yang merupakan bagian
dari pelayanan pemerintahan kota. Pekerjaan tersebut disediakan

29
Tim Raksa Ajar Indonesia, kata pengantar, 21-22.
30
Abdul Hamid, “The Kiai in Banten: Shifting Roles in Cha-
nging Times,” dalam Islam in Contention: Rethinking Islam and State in
Indonesia, eds. Ota Atsushi, Okamoto Masaaki, dan Ahmad Suaedy
(Jakarta: Wahid Institute, Kyoto: Center for Southeast Asian Studies
(CSEAS), Taiwan: Center for Asia-Pacific Area Studies (CAPAS),
2010), 424. Lihat juga Michael C. Williams, Communism, Religion, and
Revolt in Banten (Athens: Ohio University Center for International
Studies, 1990).
31
Winters, Oligarchy, 15.
32
Okamoto Masaaki dan Abdul Hamid, “Jawara in Power 1999-
2007,” Indonesia 86 (Oktober 2008): 114.
120 Oligarki dan Demokrasi...

kepada banyak masyarakat, beberapa di antaranya dengan inves-


tasi. Pemerintah kota juga otomatis menyediakan banyak keuntu-
ngan bagi penjaganya. “Tidak ada kepala desa yang menganggap
desanya sempurna dan berada dalam tatanan yang baik kecuali
apabila desa tersebut tidak memiliki paling tidak satu pencuri—
seringkali desa punya beberapa pencuri yang berada di bawah
komando pencuri paling pintar atau paling tua yang disebut
Djago.”33
Laporan tersebut, menurut Masaaki dan Hamid, sangat
menarik karena ditulis pada 1872 oleh pengusaha perkebunan
tembakau swasta di Kediri. Pengusaha pertanian itu membuat
sketsa tentang sebuah situasi perdesaan Jawa di mana pencurian
ternak, intimidasi, pembakaran rumah dengan sengaja, penipuan
pajak tanah, dan kekerasan fisik muncul setiap hari. Pada saat
yang sama, pemerintahan kolonial benar-benar kehilangan daya
cengkramnya.34
Pada masa kolonial, lanjut Masaaki dan Hamid, aktor
utama di Banten adalah jawara.35 Jawara memiliki semacam
kekuatan sosial yang memungkinkan mereka sewaktu-waktu me-
langgar aturan masyarakat dan (menggertak) dengan mengguna-
kan kesaktiannya saat diperlukan. Kekuatan sosial jawara tersebut
disebut oleh Jeffrey A. Winters sebagai kekuasaan koersif.36
Menurut Winters, sebelum kemunculan negara modern, kapasitas

33
Henk Schulte Nordholt, “The Jago in the Shadow: Crime and
‘Order’ in the Colonial State in Java,” terj. Ernst van Lennep, RIMA
(Review of Indonesian and Malaysian Affairs): a Semi-Annual Survey of
Political, Economic, Social and Cultural Aspects of Indonesia and
Malaysia 25, no. 1 (Juni-Agustus, 1991): 74-91. Lihat juga Masaaki dan
Hamid, “Jawara in Power,” 114.
34
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 114-15.
35
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 115.
36
Kekuasaan koersif adalah pengaruh atau kapasitas individu
atau kelompok terhadap yang lain atas dasar atau dengan cara pemaksaan
dan kekerasaan. Lihat Winters, Oligarchy, 15.
Ahmad Munjin 121

pemaksaan tersebar di antara banyak pelaku di masyarakat.37


Dalam konteks Banten di era kolonial, kapasitas pemaksaan dan
kekerasaan itu menyebar di antara para jawara. Ketidakseimba-
ngan ekstrem dalam kapasitas individu melakukan kekerasaan
berarti bahwa kekuasaan pemaksaan itu penting dalam profil
kekuasan individu. Artinya, ketidakseimbangan itu bisa menentu-
kan apakah kekuasaan individu tersebut sebagai elite atau oligark.
Kapasitas pemaksaan itu juga bisa menentukan jenis oligarki yang
melekat pada individu tersebut nantinya.
Pencapaian utama negara modern, lanjut Winters, adalah
perlucutan senjata yang efektif dari semua individu, atau mengi-
kuti kata-kata Weber,38 kemampuan negara memonopoli sarana
pemaksaan yang sah. Artinya, jika seorang anggota masyarakat
melukai orang lain dan layak dihukum, yang menghukum pelaku
adalah negara dan bukan orang yang dilukai.39 Akan tetapi, dalam
konteks Banten dalam konteks negara modern pun, kapasitas
pemaksaan dan kekerasaan dalam hal tertentu masih belum pupus
sepenuhnya, karena masih melekat pada kapasitas kekuasaan
jawara.
Pada era kolonial, sebagian di antara para jawara memeras
atas nama biaya “keamanan” atau biaya tanah dari sarang perju-
dian dan pelacuran. Mereka juga terlibat dalam aktivitas kri-minal
atau aktivitas yang nyaris merupakan kejahatan seperti mencuri
dan pemerasan. Jawara merupakan pihak yang bertanggung jawab
atas pencurian ternak sapi dan penjualannya kembali melalui
mobilisasi40 atas jaringan luas wilayah yang dikuasainya. Jawara
lainnya menjadi penyedia layanan keamanan (security provider)

37
Winters, Oligarchy, 15.
38
“Today, however, we have to say that a state is a human com-
munity that (successfully) claims the monopoly of the legitimate use of
physical force within a given territory.” Max Weber, “Politics as a Voca-
tion,” dalam From Max Weber: Essays in Sociology, eds. H. H. Gerth
dan C. Wright Mills (New York: Oxford University Press, 1946), 78.
39
Winters, Oligarchy, 15.
40
Winters, Oligarchy, 15.
122 Oligarki dan Demokrasi...

untuk desa-desa sebagai kacung bagi kepala desa masing-masing


atau mereka sendiri sebagai kepala-kepala desa.41
Mulai awal abad sembilan belas, negara kolonial Belanda
mulai memperluas kekuatannya hingga level perdesaan di Jawa.
Sistem pendapatan pertanian opium yang dijalankan oleh pengu-
saha China menjalin kerjasama dengan pejabat birokrasi dan
mengawali kerjasama yang luas antara para kepala desa dan jago
atau jagabaya (istilah bahasa Jawa lokal untuk bandit).42
Para kepala desa menjadi lebih berposisi sebagai birokrat
dibandingkan pemimpin masyarakat yang berpengaruh. Para kepa-
la desa ini mendapatkan otoritas mereka dari negara kolonial
Belanda. Mereka diakui secara resmi sebagai pemimpin formal
desanya dan mereka mengeksploitasi orang-orang desa dengan
meminta pajak dan kerja rodi sesuai permintaan negara kolonial
Belanda. Oleh karena itu, para kepala desa memperkuat dan
memusatkan kekuasaan mereka dan kekuasaan Belanda di desa-
desa. Beberapa jago atau jagabaya datang untuk melayani para
kepala desa ‘formal’ dan membantu mereka dalam mengumpulkan
banyak kekayaan yang menjadi motif kekuasaan oligarkis43

41
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 115.
42
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 115.
43
Motif kekuasaan oligarkis adalah pertahanan dan akumulasi
kekayaan. Menurut Winters, secara jelas, kepentingan-kepentingan oli-
garki terfokus pada mempertahankan kekayaan (menolak penyitaan de-
ngan paksa) dan mempertahankan pendapatan (menolak redistribusi hu-
kum kepemilikan sehingga kepemilikan pribadi dinyatakan aman). Sejak
peradaban awal hingga tumbuhnnya negara modern, para oligark mencu-
rahkan sebagian besar perhatian mereka untuk mempertahankan kepemi-
likan. Pada saat yang sama, para oligark juga memaksakan diri untuk
membuat investasi utama dalam kapasitas-kapasitas untuk kekerasan dan
pemaksaan. Pertahanan kekayaan, lanjut Winters, memiliki dua dimensi
yaitu pertahanan harta dan pertahanan pendapatan. Keduanya dinilai
penting bagi keberadaan dan keberlangsungan oligarki. Akan tetapi,
kadar relatif keduanya dan kadar keterlibatan langsung oligark dalam
politik pertahanan harta dan pendapatan sangat beragam. Lihat Winters,
Oligarchy, 23.
Ahmad Munjin 123

dengan intimidasi dan kekerasan yang oleh Winters disebut


kekuasaan pemaksaan dan pemerasan (koersif) itu. Sementara itu,
jago yang lain mendapatkan kekuasaan dengan membantu petani
opium China di jajahan Jawa. Jaringan hubungan toleransi dan
kerja sama di antara para kepala desa, jago, dan pemerintahan
pusat secara umum dipahami untuk menghubungkan antara negara
kolonial Belanda dengan desa-desa di Jawa.44
Namun demikian, kata Masaaki dan Hamid, sejarah di
Banten cukup berbeda. Mobilisasi,45 konsolidasi dan sentralisasi
kekuasaan di bawah para kepala desa hanya sebagian yang sukses
di wilayah Banten. Sebab, sistem penanaman opium kolonial-
secara khusus yang menjadi elemen kunci dalam konsolidasi dan
sentralisasi kekuasaan di level lokal tidak pernah berakar di wila-
yah Banten. Banten merupakan area tertutup bagi penjualan
opium dan tidak menerima perkebunan opium secara resmi. Aki-
batnya, pembagian kekuasaan yang mencolok antara pemimpin-
pemimpin formal dan informal bertahan di Banten dan penetrasi
negara kolonial ke dalam masyarakat menjadi lemah. Untuk itu,
tidak ada motif untuk melakukan kontrol atas kekerasan pribadi di
wilayah itu.
Karena alasan inilah, lanjut Masaaki dan Hamid, jawara di
Banten tetap eksis sebagai kekuatan sosial yang independen dan
berpengaruh bersama-sama dengan ulama bahkan hingga mema-
suki abad ke-21. Pada akhir abad 19, sebuah perjuangan anti-
kolonial yang disebut pemberontakan Cilegon pecah di Banten.
Jawara dan ulama melakukan mobilisasi46 untuk berjuang bersa-
ma-sama melawan kekuatan kolonial belanda.47
Di atas semua itu, tampak jelas bahwa kiai dan jawara di
Banten pada era kolonial, sama-sama memiliki sumber daya ke-
kuasaan elite, yakni kekuasaan mobilisasi. Meskipun, dalam kon-
teks tertentu, kekuasaan mobilisasi jawara bisa saja digunakan

44
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 115.
45
Winters, Oligarchy, 15.
46
Winters, Oligarchy, 15.
47
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 115-116.
124 Oligarki dan Demokrasi...

dalam pengertian yang negatif karena kekuasaan koersifnya.


Sedangkan dalam pengertian yang positif, kekuasaan mobilisasi
kiai dan jawara yang paling menonjol digunakan untuk melakukan
pemberontakan terhadap pemerintahan kolonial Belanda.

3. Kekuasaan Material: Benih-benih Kekuasaan Oligarkis Jawara


Untuk memberikan konteks pada benih-benih oligarki
jawara, adanya oligarki di Banten pada era kolonial, menurut
Edmund Scott, sebagaimana dikutip Claude Guillot terlacak ke
tahun 1604. Pada tahun tersebut Pangeran Mandalika, saudara
laki-laki dari almarhum raja Maulana Muhamad, membakar atap-
atap rumah jerami pada September dengan menggunakan panah-
panah berapi. Tujuannya, untuk menimbulkan kerugian pada para
oligark yang subjeknya adalah pedagang-pedagang dan mengobar-
kan pemberontakan dengan membuat ibu kota kelaparan.48
Sebelum itu, pada 1580, Claude Guillot menyebutkan,
para penguasa oligarkis yang terdiri dari para pedagang dan kaum
yang mendukung kegiatan niaga memilih raja yang masih bocah di
antara para pengeran yang berhak atas takhta. Padahal, calon
penantang lain dalam suksesi kepemimpinan tersebut memiliki
kemampuan sesungguhnya untuk memerintah. Para oligark yang
merupakan anggota kelas menengah borjuis membentuk suatu
dewan perwalian yang berpihak penuh untuk kepentingan mereka.
Dengan lemahnya kekuasaan raja, kelompok ini mengatur Banten
selama, paling tidak, tiga dasawarsa,49 sebuah durasi kekuasaan
yang sama lamanya dengan rezim Orde Baru di Indonesia abad 20.
Banten pun telah berubah dari sistem kerajaan menjadi republik
oligarkis hingga munculnya material pangeran yang bersemangat

48
Lihat Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-
XVII, diterjemahkan oleh Hendra Setiawan dkk. (Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, École Française d’Extrême-Orient, Forum Jakarta-
Paris, dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional,
2008), 117.
49
Guillot, Banten, 227.
Ahmad Munjin 125

tinggi dan melawan para oligark dengan pasukan tentara. Perang


tersebut menjadi perang saudara dan para oligark pun menyerah.50
Guillot tidak menyebutkan siapa nama pangeran dimak-
sud. Yang jelas, pangeran tersebut mengangkat dirinya sendiri
sebagai pemimpin dari sebuah dewan perwalian yang baru dan
membuang pejabat sebelumnya yang terdiri dari gologan rakyat
jelata dan pendukung oligark ke wilayah dekat negeri itu pada
1609. Menurut sebuah dokumen Belanda, lanjut Guillot, tujuh ribu
orang terpaksa meninggalkan Banten. Setelah itu, raja menjalan-
kan kekuasaan mutlak di Banten.51 Semua itu mencerminkan per-
tarungan monopoli ekonomi dan politik antara kerajaan (monarki)
melawan oligarki saat itu.52
Jika Guillot menemukan aktor-aktor oligarkis yang terdiri
dari para pedagang dan kaum yang mendukung kegiatan niaga,
peneliti melihat asal-mula terbentuknya kekuasaan oligarkis
jawara secara antropologis.53 Oligarki yang terbentuk berdasarkan
sumber daya kekuasaan material54 itu, salah satunya berasal dari
persyaratan jawara sebagai pemimpin. Syarat tersebut adalah
keharusan jawara menduduki jabatan pemerintahan (desa) atau
orang kaya (pengusaha).55 Syarat kekayaan inilah yang menjadi
cikal bakal terbentuknya kekuasaan material yang menjadi sumber
daya kekuaaan oligarkis yang pada gilirannya menyebar ke seluruh
Banten. Dengan kekayaan, keluarga jawara, bahkan mendapatkan
kekuasaan tersebut melalui legitimasi legal-formal dalam pemilu
langsung yang melampaui legitimasi kharismatik dan otoritas
tradisionalnya--yang juga dimiliki kiai--sebagai jawara. Berbeda
dengan kiai, kepemimpinan jawara hanya diakui jika syarat jaba-

50
Guillot, Banten, 227.
51
Guillot, Banten, 227.
52
Guillot, Banten, 229.
53
Tihami, “Kiai dan Jawara,” 105.
54
Winters, Oligarchy, 18-20.
55
Tihami, “Kiai dan Jawara,” 105.
126 Oligarki dan Demokrasi...

tan kepala desa (kekuasaan dari jabatan resmi) dan kekayaan


(kekuasaan material) terpenuhi.56
Karena perbedaan jabatan, menurut M.A. Tihami, pihak
yang dipimpin pun berbeda pula. Kepemimpinan kiai ternyata
tidak terbatas oleh batas-batas teritorial tertentu. Sebab, selain
sebagai pemimpin dalam peribadahan, kiai juga sebagai ahli magi.
Akibatnya, seorang kiai Banten dianggap sebagai pemimpin bukan
saja dalam lingkungan desanya tetapi juga pada desa-desa lainnya
bahkan ke tempat-tempat lain yang jauh. Begitu juga dengan
kepemimpinan jawara yang berkedudukan sebagai orang kaya
(pengusaha) juga tidak terbatas pada teritorial tertentu dalam
konteks relasi dagangnya. Sedangkan kepemimpinan jawara seba-
gai pejabat pemerintahan desa terbatas pada lingkungan desanya;
orang-orang di luar desa yang diperintahnya tidak mengakui jawa-
ra sebagai pemimpin.57
Menurut Tihami, untuk menjadi pemimpin, jawara tidak
cukup mempunyai keberanian (kawani-bahasa Sunda) secara fisik
yang didukung oleh kemampuan magis. Sebab, kemampuan
seperti itu juga banyak dimiliki oleh orang-orang biasa. Untuk
menjadi pemimpin, selain berani jawara tersebut harus berasal dari
jabatan-jabatan tertentu yang dalam stratifikasi sosial berada pada
strata atas.58
Pada mulanya, keharusan memiliki kekayaan bagi kepe-
mimpinan jawara bermotif mulia yakni untuk tujuan tolong meno-
long yang menjadi prinsip jawara. Sebab, dalam prinsip jawara,
tidak mungkin bisa menolong orang lain jika diri sendiri masih
harus ditolong karena miskin.59 Sifat tolong menolong ini harus
diwujudkan oleh jawara selain melalui kesaktiannya juga sekaligus
dengan kekayaannya. Sebab, dalam alam pikiran jawara, tidak

56
Tihami, “Kiai dan Jawara,” 105.
57
Tihami, “Kiai dan Jawara,” 105.
58
Tihami, “Kiai dan Jawara,” 97.
59
Fahmi Irfani, Jawara Banten: Sebuah Kajian Sosial, Politik
dan Budaya (Jakarta: Young Progressive Moslem Press, 2011), 14.
Ahmad Munjin 127

mungkin mereka bisa menolong orang miskin jika jawaranya


sendiri seorang miskin.

Tabel 3.1. Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara


pada Era Kolonial di Banten
Sumber Daya
No Indikator-indikator
Kekuasan
(1) (2) (3)
Sumber daya kekuasaan dari sisi hak
politik formal yang melekat pada kiai
Hak Politik Formal dan jawara belum muncul. Sebab,
1
(Elite/Demokrasi) Indonesia baru mengadakan pemilu
untuk pertama kalinya pada 1955 atau
sepuluh tahun pascakemerdekaan.
a. Jawara memiliki semacam kekuatan
sosial yang memungkinkan mereka
sewaktu-waktu melanggar aturan
masyarakat dan menggertak dengan
menggunakan kesaktiannya saat
diperlukan;
Kekuasaan
b. Sebagian di antara jawara memeras
2 Pemaksaan/Koersif
atas nama biaya “keamanan” atau
(Elite/Demokrasi)
biaya tanah dari sarang perjudian
dan pelacuran; dan
c. Jawara juga terlibat dalam aktivitas
kriminal atau aktivitas yang nyaris
merupakan kejahatan seperti
mencuri dan pemerasan.
a. Kiai memiliki basis pengaruh yang
luas menjangkau wilayah luar
perdesaan dan dalam beberapa
kasus melampaui wilayah Banten;
Kekuasaan
b. Pada 1888, beberapa kiai yang
3 Mobilisasi
sangat berpengaruh mengendalikan
(Elite/Demokrasi)
sentimen anti-Barat melalui kajian
mereka di Mekah. Mereka
memimpin sebuah pemberontakan
dalam skala besar;
128 Oligarki dan Demokrasi...

Lanjutan Tabel 3.1


(1) (2) (3)
c. Pada abad 19, kiai berhasil
memobilisasi masyarakat untuk
memberontak seperti puncak
pemberontakan petani di Cilegon
pada 1888 yang dipimpin oleh Kiai
Haji Wasid;
d. Kiai memainkan kekuasaan penting
dalam memobilisasi pemberontakan
komunis di Banten pada 1926;
e. Pada akhir abad 19, jawara dan
ulama memobilisasi masa melawan
kekuatan kolonial Belanda yang
disebut pemberontakan Cilegon;
dan
f. Pada periode 1810-1870, jawara
Banten memobilisasi tidak kurang
dari sembilan belas pemberontakan.
a. Kiai merepresentasikan
kepemimpinan agama dan jawara
merepresntasikan kepemimpinan
Jabatan Resmi darigama (profan);
4
(Elite/Demokrasi) b. Kedudukan kiai sebagai
“perpanjangan tangan” sultan
dalam proses Islamisasi di daerah-
daerah perdesaan.
a. Pada 1580, para penguasa oligarkis
yang terdiri dari para pedagang dan
kaum yang mendukung kegiatan
niaga memilih raja yang masih
bocah di antara para pengeran yang
Kekuasaan Material
5 berhak atas takhta;
(Oligarki)
b. Dengan lemahnya kekuasaan raja,
kelompok orang kaya mengatur
Banten selama, paling tidak, tiga
dasawarsa, sebuah durasi kekuasaan
yang sama lamanya dengan rezim
Ahmad Munjin 129

Lanjutan Tabel 3.1


(1) (2) (3)
Orde Baru di Indonesia abad 21;
c. Pada September 1604, Pangeran
Mandalika membakar atap-atap
rumah jerami dengan menggunakan
panah-panah berapi untuk
menimbulkan kerugian pada para
oligark yang subjeknya adalah
pedagang-pedagang;
d. Secara antropologis, kiai dan
jawara cenderung lebih kaya
dibandingkan masyarakat
kebanyakan;
e. Kepemimpinan jawara
mensyaratkan kekayaann; dan
Ekspansi bisnis jawara tidak
terbatasi pada teritori desanya
sehingga menjadi benih-benih
kekuasaan oligarkis.

Dari Tabel 3.1. di atas, peneliti menarik benang merah


bahwa pada era kolonial kiai dan jawara sama-sama memiliki
sumber daya kekuasaan yang seimbang baik sebagai elite maupun
potensi keduanya sebagai oligark. Kiai dan jawara sama-sama
merupakan kelompok terkaya dibandingkan masyarakat kebanya-
kan. Akan tetapi, meski seimbang bukan berarti sama. Kiai lebih
menonjol dari sisi sumber daya kekuasaan elite dan jawara lebih
menonjol dari sisi sumber daya kekuasaan oligarkis.

B. Era Soekarno (Orde Lama): Dari Mobilisasi ke Jabatan Resmi


Pada 1920-an, partai komunis memperluas pengaruhnya
secara cepat. Sebagian jawara Banten melakukan mobilisasi60
untuk bersekutu (kembali) dengan ulama dan bergabung dengan

60
Winters, Oligarchy, 15.
130 Oligarki dan Demokrasi...

partai komunis untuk melawan Belanda. PKI Cabang Banten bah-


kan mendirikan seksi jawara dan seksi ulama.61 Pada permulaan
abad ke-20 itu, seiring dengan diperkenalkannya politik etis
(ethische politiek), muncul berbagai pergerakan di Hindia-Belan-
da. Salah satunya adalah Sarekat Islam (SI), yang memperoleh
sambutan luas dari para kiai di Banten. Pada 1921, terjadi perpe-
cahan sehingga terdapat SI Merah yang berhaluan kiri. Kelompok
SI Merah ini kemudian bergabung dengan PKI. Para ulama Banten
menganggap SI kurang berani dan kurang radikal. Oleh karena itu,
ketika PKI berdiri dan membuka cabang di Banten, banyak ulama
tertarik dan menjadi anggota. Ketika terjadi pemberontakan
komunis di Banten 1926, banyak pula kiai terlibat. Salah satunya
Kiai Achmad Chatib, Residen Banten, yang dibuang ke Boven
Digul.62
Pada zaman Jepang, sejumlah kiai di Banten, seperti Kiai
Achmad Chatib dan KH Sjam‘un, bergabung dengan Peta
(Pembela Tanah Air).63 Setelah pendudukan Jepang berakhir pada
1945, muncullah kevakuman kekuasaan. Meski Soekarno dan
Hatta secara langsung mendeklarasikan kemerdekaan Republik
Indonesia, republik yang terbentuk tidaklah sepenuhnya. Sebab, di
mana-mana terjadi perpecahan. Pada kasus wilayah Banten, keka-
cauan tatanan diikuti oleh sebuah revolusi sosial yang menyalakan
konflik kelas dan etnis. Rezim kolonial Belanda dan rezim militer
Jepang mendorong elite-elite luar untuk menjadi birokrat puncak
di Banten. Sebagian besar mereka merupakan orang-orang Sunda
dari wilayah Priangan. Elite-elite luar tersebut juga sering kali
menemukan kesulitan untuk menyesuaikan dengan posisi baru
mereka karena alasan suasana keislamannya yang mendalam dan
kurangnya rasa hormat formal dari masyarakat Banten yang
diperlihatkan kepada mereka.64

61
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 115-116.
62
Ariyadi, “Kiai dan Jawara,” 24.
63
Ariyadi, “Kiai dan Jawara,” 24.
64
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 116.
Ahmad Munjin 131

Kesulitan tersebut membayangi kekuasaan elite mereka


yang kemudian melahirkan ‘Bantenbantahan’ (Banten keras kepa-
la atau bandel). Pada saat yang sama, masyarakat Banten tidak
suka diperintah oleh orang-orang luar dan memendam perasaan
xenophobia.65
Oleh karena itu, berakhirnya pendudukan Jepang menjadi
kesempatan bagi jawara dan ulama untuk memimpin mobilisasi66
pemberontakan terhadap kekuatan birokrat Sunda dari kekuasaan
dan mengambil kekuasaan formal untuk mereka sendiri. Pergola-
kan sosial dan politik telah membawa jawara dan ulama ke atas
panggung politik. Dalam konteks ini, pada masa kemerdekaan,
peranan kiai bertambah besar karena mereka aktif dalam peme-
rintahan daerah, mulai tingkat keresidenan sampai kelurahan.
Selain memegang jabatan tinggi seperti residen dan bupati, para
ulama juga menjadi pejabat dan pegawai pemerintahan. Mereka
juga menjadi bagian penting dalam revolusi fisik untuk memperta-
hankan kemerdekaan.67
Namun demikian, pengambilalihan negara lokal oleh
pemimpin informal itu tidaklah bertahan lama. Ketika negara
Indonesia mengambil alih kedaulatan dari Belanda pada 1949 dan
mulai mengonstruksi bangsa baru, jawara digulingkan dari posisi
birokrasi puncak mereka. Kebanyakan dari jawara pun pada akhir-
nya bergabung dengan dunia kriminal.68
Sementara itu, kekuasaan mobilisasi jawara dan kiai per-
nah mengantarkan para kiai kepada jabatan resmi yang dominan di
Keresiden Banten setelah Jepang menyerah dan menyisakan sebu-

65
Xenopobia adalah sensasi rasa takut atau fobia terhadap sese-
orang atau kelompok orang tertentu yang dianggap aneh atau asing.
Lihat AKM Ahsan Ullah dan Ahmed Shafiqul Huque, Asian Immigrans
in North America with HIV/AIDS: Stigma, Vulnerabilities, and Human
Rights (London: Springer, 2014), 6.
66
Winters, Oligarchy, 15.
67
Ariyadi, “Kiai dan Jawara,” 24.
68
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 116.
132 Oligarki dan Demokrasi...

ah kevakuman kekuasaan.69 Saat itu para tokoh masyarakat Ban-


ten termasuk perwakilan pemuda, jawara, dan perempuan melaku-
kan mobilisasi masa untuk memilih Kiai Haji (KH) Tubagus
Achmad Chatib70 untuk menjalankan pemerintahan sipil sebagai
Residen Banten pada akhir Agustus 1945.71 Residen Banten men-
jadi sumber daya kekuasaan bagi Achmad Chatib dari sisi jabatan
resmi.72 Dari sini tampak jelas kekuasaan mobilisasi jawara dan
kiai menghasilkan jenis kekuasaan elite yang lain, yakni jabatan
resmi. Kondisi ini juga mendorong kiai-kiai lain untuk mendapat-
kan sumber daya kekuasaan yang sama. Sebab, di beberapa tem-
pat, rakyat secara spontan mengganti pejabat pemerintahan secara
khusus dengan kiai.73
Kemudian, di sisi lain, kekuasaan dari jabatan resmi para
kiai tersebut mendapat respons dari Dewan Rakyat yang dipimpin

69
Masa pendudukan Jepang di Indonesia dimulai pada tahun
1942 dan berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945. Lihat Dwi Mulyatari,
“Buku Putih Masa Pendudukan Jepang,” ulasan tentang War, Nationa-
lism and Peasants: Java under the Japanese Occupation 1942-1945, ditu-
lis oleh Shigeru Sato, Wacana 2, no. 1 (April, 2000): 140-44.
70
Asep Muslim, et al., “Dinamika Peran Sosial Politik Ulama
dan Jawara di Pandeglang Banten,” Mimbar 31, no. 2 (Desember, 2015):
461-474.
71
Suharto, “Banten Masa Revolusi 1945-1949: Proses Integrasi
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,” (Disertasi Doktor, Univer-
sitas Indonesia, 2001).
72
Jabatan resmi adalah sumber daya kekuasaan yang berasal dari
jabatan resmi yang tinggi di pemerintahan, organisasi besar baik sekuler
maupun agama, atau jabatan di perusahaan baik swasta maupun perusa-
haan negara. Sumber daya kekuasaan tersebut punya pengaruh dramatis
pada profil kekuasaan segelintir individu. Pada zaman modern, organisa-
si-organisasi tersebut adalah badan berdasarkan aturan yang mengonsen-
trasikan kekuasaan dengan menghimpun sumber daya keuangan, jejaring
operasi, dan pengelompokan anggota atau bawahan yang bisa dipimpin,
dilibatkan, atau diperintah melalui kelembagaan. Lihat Winters, Oligar-
chy, 13-14.
73
Hamid, “Kiai in Banten,” 424.
Ahmad Munjin 133

oleh Ce Mamat, kepala Komite Nasional Indonesia (KNI) cabang


Serang. Untuk sementara, Ce Mamat mengambil alih pemerinta-
han dari Achmad Chatib melalui pemberontakan mereka. Namun
demikian, akhirnya, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang di-
pimpin oleh Kiai Sjam’un mengalahkan Ce Mamat dan para
pengikutnya. Melalui serangkaian peristiwa tersebut, hampir
semua jabatan resmi pemerintahan, militer, polisi dan aparat hu-
kum ditempati oleh kiai dari level provinsi hingga kabupaten. Kiai
Achmad Chatib juga membentuk Majelis Ulama yang terdiri dari
empat puluh kiai berpengaruh sebagai lembaga penasihat.74
Namun demikian, berbagai persoalan muncul ketika sebu-
ah stasiun radio mengungkap sebuah rencana bagi Banten untuk
memisahkan diri dari Republik Indonesia. Rencana pemisahan diri
tersebut di bawah Residen KH Achmad Chatib, yang akan
menjadi Sultan. Pemerintah pusat dengan kekuasaan koersifnya,
mengintervensi dan mulai membatasi kekuasaan Residen Banten
dan kiai. Setelah Desember 1946, pemerintah pusat mengutus
delegasi-delegasi pemerintah sebagai wakil gubernur Jawa Barat
yang berlokasi di Serang dan wakil residen Banten.75 Pemerintah
pusat juga secara bertahap mengganti kiai dari posisi-posisi jaba-
tan dengan pejabat-pejabat professional. Akhirnya, KH Achmad
Chatib ditempatkan ke pemerintahan provinsi Jawa Barat (Ban-
dung), di mana wilayah Banten menjadi bagian dari Jawa Barat
pada saat itu, Desember 1949, setelah TKR mengalahkan KNI.
Pada saat inilah kekuasaan jabatan resmi kiai dalam struktur
pemerintahan formal berakhir.76
Sejak saat itu juga hingga pertengahan 1960, menurut
Abdul Hamid, kiai bukan lagi merupakan kelompok yang benar-
benar dominan dalam politik lokal di Banten. Mereka terfragmen-
tasi dalam banyak partai politik, meskipun mereka masih memiliki

74
Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudari, Catatan Masa
Lalu Banten (Serang: Saudara, 1993).
75
Williams, Communism, Religion, and Revolt, 306-07.
76
Hamid, “Kiai in Banten,” 424-25.
134 Oligarki dan Demokrasi...

kekuasaan tertentu, memegang beberapa jabatan di parlemen lokal


dan pusat.77
Sementara itu, sumber daya kekuasaan dari sisi hak politik
formal78 pada era Soekarno, para kiai dan jawara baru benar-benar
mendapatkannya pada pemilu 195579 untuk pertama kalinya di
Indonesia. Memberikan suara dengan cara mencoblos di balik bilik
pemungutan suara, menurut Winters, menyebabkan hak politik
formal menjadi sumber daya kekuasaan yang paling tak langka
dan paling tersebar di tingkat individu.
Sebab, pemilu tersebut memungkinkan adanya hak pilih
bagi semua orang meskipun tidak sedikit rintangan untuk berparti-
sipasi dalam pemilu tersebut.80 Hak politik formal ini dianggap
sebagai kebebasan liberal karena mencakup satu suara untuk
setiap orang (one person, one vote), kebebasan berpendapat tanpa
ditindas, dan kesempatan mendapatkan akses terhadap informasi
yang dimiliki semua orang dalam masyarakat. Hak politik, lanjut
Winters, baru menjadi benar-benar penting di antara individu

77
Hamid, “Kiai in Banten,” 425.
78
Lihat Winters, Oligarchy, 13.
79
Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in
Indonesia(Jakarta dan Kuala Lumpur: Equinox Publishing, 2007), 414-
450.
80
Pemilu tahun 1955 dilaksanakan saat keamanan negara masih
kurang kondusif. Beberapa daerah dirundung kekacauan oleh Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) khususnya pimpinan Kartosu-
wirjo. Dalam keadaan seperti ini, anggota angkatan bersenjata dan polisi
juga memilih. Mereka yang bertugas di daerah rawan, digilir datang ke
tempat pemilihan. Tingkat partisipasi rakyat sangat besar, sekitar 90%
dari semua warga yang punya hak pilih ikut berpartisipasi. Lebih dari 39
juta orang memberikan hak suaranya dan mewakili 91,5% dari para
pemilih terdaftar. Prosentase suara sah yang besar, sebesar 80% dari sua-
ra yang masuk. Padahal banyak anggota panitia yang buta huruf dan
lebih dari 70% penduduk Indonesia masih buta huruf. Lihat Hermawan
Sulistyo, “Electoral Politic in Indonesia: A Hard Way to Democracy,”
dalam Electoral politics in Southeast & East Asia, ed. Aurel Croissant
(Singapora: Friedrich-Ebert-Stiftung, 2002), 75-99.
Ahmad Munjin 135

kalau bersifat makin ekslusif, baik secara formal maupun prak-


tik.81 Inilah yang disebut oleh Winters disebuat sebagai kekuasaan
partisipasi (participation power) yang selalu berhadapan dengan
kekuasaan oligarkis (material power) atau disebut juga wealth
power.82

Tabel 3.2. Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara pada Era
Soekarno (Orde Lama) di Banten
Sumber Daya
No Indikator-indikator
Kekuasaan
(1) (2) (3)
Sumber daya kekuasaan dari sisi hak
politik formal pada era Soekarno, para
Hak Politik Formal
1 kiai dan jawara baru benar-benar
(Elite/Demokrasi)
mendapatkannya pada pemilu 1955
untuk pertama kalinya di Indonesia.
a. Ketika negara Indonesia mengambil
alih kedaulatan dari Belanda pada
1949 dan mulai mengonstruksi
bangsa baru, jawara digulingkan
dari posisi birokrasi puncak mereka.
Kebanyakan dari jawara pun pada
akhirnya bergabung dengan dunia
Kekuasaan
kriminal; dan
2 Koersif
b. Seiring rencana pemisahan diri di
(Elite/Demokrasi)
bawah Residen KH Achmad
Chatib, yang akan menjadi Sultan
Banten, pemerintah pusat dengan
kekuasaan koersifnya,
mengintervensi dan mulai
membatasi kekuasaan Residen
Banten dan kiai.

81
Lihat Winters, Oligarchy, 13.
82
Jeffrey A. Winters, “Oligarchy and the Jokowi Administra-
tion,” Kuliah Umum Jurusan Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri
Jakarta, Senin, 8 Juni 2015.
136 Oligarki dan Demokrasi...

Lanjutan Tabel 3.2

(1) (2) (3)


a. Pada 1920-an, sebagian jawara
Banten melakukan mobilisasi untuk
bersekutu (kembali) dengan ulama
dan bergabung dengan PKI untuk
melawan Belanda;
b. Berakhirnya pendudukan Jepang
menjadi kesempatan bagi jawara
dan ulama untuk memimpin
mobilisasi pemberontakan terhadap
kekuatan birokrat Sunda dari
kekuasaan dan mengambil
kekuasaan formal untuk mereka
sendiri;
Kekuasaan
c. Pada akhir Agustus 1945, setelah
3 Mobilisasi
Jepang menyerah dan menyisakan
(Elite/Demokrasi)
sebuah kevakuman kekuasaan, para
tokoh masyarakat Banten termasuk
perwakilan pemuda, jawara, dan
perempuan melakukan mobilisasi
masa untuk memilih Kiai Haji (KH)
Tubagus Achmad Chatib untuk
menjalankan pemerintahan sipil
sebagai Residen Banten; dan
d. Kiai Achmad Chatib juga
membentuk Majelis Ulama yang
terdiri dari empat puluh kiai
berpengaruh sebagai lembaga
penasihat.
a. Residen Banten menjadi sumber
daya kekuasaan bagi Achmad
Chatib dari sisi jabatan resmi;
Jabatan Resmi
4 b. Jabatan resmi Achmad Chatib
(Elite/Demokrasi)
sebagai residen Banten mendorong
kiai-kiai lain untuk mendapatkan
sumber daya kekuasaan yang sama.
Ahmad Munjin 137

Lanjutan Tabel 3.2

(1) (2) (3)


c. (jabatan resmi) karena di beberapa
tempat, rakyat secara spontan
mengganti pejabat pemerintahan
secara khusus dengan kiai;
d. Hampir semua jabatan resmi
pemerintahan, militer, polisi dan
aparat hukum ditempati oleh kiai
dari level provinsi hingga
kabupaten; dan
Setelah Desember 1946 hingga
pertengahan 1960, kiai bukan lagi
merupakan kelompok yang benar-
benar dominan dalam politik lokal
di Banten. Mereka terfragmentasi
dalam banyak partai politik,
meskipun mereka masih memiliki
kekuasaan tertentu, memegang
beberapa jabatan di parlemen lokal
dan pusat.
a. Seperti era kolonial, pada era
Soekarno secara antropologis, kiai
dan jawara cenderung lebih kaya
dibandingkan masyarakat
kebanyakan;
Kekuasaan Material b. Begitu juga dengan kepemimpinan
5
(Oligarki) jawara mensyaratkan kekayaann;
dan
c. Ekspansi bisnis jawara tidak
terbatasi pada teritori desanya
sehingga menjadi benih-benih
kekuasaan oligarkis.

Dari Tabel 3.2. peneliti menarik benang merah bahwa


dinamika sumber daya kekuasaan kiai dan jawara pada era
Soekarno (Orde Lama) tidak jauh berbeda dengan kondisi pada era
138 Oligarki dan Demokrasi...

kolonial. Artinya, dua entitas informal leader sama-sama memiliki


sumber daya kekuasaan elite dan benih-benih kekuasaan oligarkis.
Yang berbeda adalah aktor yang berhadapan dengan kiai dan
jawara. Jika pada era kolonial, kiai dan jawara berhadapan dengan
penjajah, pada era Soekarno mereka berhadapan dengan pemerin-
tah pusat. Walhasil, kiai, jawara, dan pemerintah pusat lebih
merupakan representasi dialektis kekuasaan elite dibandingkan
oligarki.

C. Rezim Orde Baru dan Pasang Surut Kekuasaan Kiai-Jawara


Pada sub bab ini, peneliti menjelaskan dominasi kekua-
saan oligarkis rezim Orde Baru di satu sisi dan kalahnya kekua-
saan mobilisasi kiai di sisi yang lain. Pada saat yang sama, kiai
yang mempertahankan kekuasaan mobilisasinya dan tidak mau
tunduk pada kekuasaan rezim oligarkis, Orde Baru menggunakan
kekuasaan koersifnya dengan melakukan tindakan represif. Kon-
disi ini kontras dengan hubungan antara rezim Orde Baru dengan
jawara yang justru saling menguntungkan. Akibatnya, berbeda
dengan kekuasaan kiai yang tenggelam, jawara berhasil mentrans-
formasikan dirinya dari penguasa elitis menjadi oligarkis.

1. Dominasi Kekuasaan Oligarkis Rezim terhadap Mobilisasi Kiai


Negara menjadi lebih kuat dengan naiknya Soeharto seba-
gai presiden pada 1960-an setelah periode yang panjang negara
relatif lemah. Gerakan 30 September pada 1965 mengawali era
baru seiring militer yang dipimpin oleh Soeharto mulai menggasak
musuh negara yang sah. Dengan kekuasaan koersifnya,83 militer
dan para aktivis Islam membunuh sekitar 500.000 komunis dan
memenjarakan sejuta lebih. Sejak saat itu, rezim otoritarian Soe-
harto mulai mengontrol masyarakat Indonesia baik dengan meng-
gunakan ‘pemikat’ yang menyangkut materi maupun dengan tong-
kat komando. Negara saat itu terasa hadir di mana-mana. Jawara

83
Lihat Winters, Oligarchy, 15.
Ahmad Munjin 139

dan ulama di Banten pun segera menjadi target dari usaha-usaha


tersebut untuk kembali mendapatkan kontrol.84
Rezim Orde Baru Banten menyatukan etnis yang terbagi
antara pengusa dan yang dikuasai. Pembagian ini memiliki akar-
nya kepada periode kolonial Belanda. Terutama, orang-orang
Sunda yang berasal dari wilayah Priangan menguasai jabatan pen-
ting dan posisi militer dari Bupati, sekretaris daerah, dan komando
militer distrik. Contohnya, dua belas dari tujuh belas bupati di
Serang, Lebak, dan Pandeglang sejak 1970 hingga 1998 merupa-
kan orang non-Banten (dengan satu identitas etnis dari tujuh belas
bupati tidak diketahui). Hanya sedikit jumlah orang Banten yang
mendapatkan posisi birokrasi yang tinggi; hanya 10% dari posisi
level menengah di kabupaten Serang pada akhir 1990-an yang
dipegang oleh orang asli Banten.85
M.A. Tihami,86 Leo Agustino,87 Okamoto Masaaki,88 dan
Abdul Hamid89 melihat besarnya pengaruh rezim Soeharto terha-
dap kekuasaan kiai dan jawara di Banten. Pengaruh tersebut
sangat menentukan pasang surut sumber daya kekuasaan kiai dan
jawara. Sumber daya kekuasaan kiai dan jawara pada era Orde
Baru dari sisi hak politik formal termanifestasi dalam Pemilu 1971
yang diikuti oleh 10 kontestan partai politik, yaitu: Partai Katolik
Republik Indonesia (PKRI), Partai Syarikat Islam Indonesia
(PSII), Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia
(Parmusi), Golongan Karya (Golkar), Partai Kristen Indonesia
(Parkindo), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Partai
Nasional Indonesia (PNI), Partai Islam Perti(Persatuan Tarbiyah
Islamiyah) dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia

84
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 116-17.
85
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 117.
86
Tihami, “Kiai dan Jawara,” 104.
87
Leo Agustino, “Dinasti Politik Pascaotonomi Orde Baru: Pe-
ngalaman Banten.” Prisma: Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi, Volume
29, No. 3 (Juli 2010), 109.
88
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power, 112.
89
Hamid, “Kiai in Banten,” 421.
140 Oligarki dan Demokrasi...

(IPKI). Kemudian, Pemilu 1977-1997, yakni: Pemilu 1977, 1982,


1987, 1992, dan 1997 yang diikuti oleh 3 kontestan yang sama,
yaitu: Partai Persatuan Pembangunan, Golongan Karya, dan Partai
Demokrasi Indonesia.90
Di luar kekuasaan hak politik formal, Tihami lebih meli-
hat kiai dan rezim Orde Baru sebagai sebuah hubungan yang posi-
tif dan saling menguntungkan. Sementara itu, Agustino, Masaaki,
dan Abdul Hamid lebih melihat hubungan yang saling mengun-
tungkan itu hanya terjadi pada jawara-rezim Orde Baru. Hubungan
rezim dengan para kiai lebih dilihat sebagai hubungan di mana
kekuasaan oligarkis di bawah kepemimpinan seorang oligark sul-
tanistik,91 Soeharto,92 sebagai kooptasi dan penjinakan kekua-saan
mobilisasi93 yang melekat pada kiai.
Tihami mengatakan, hubungan kiai dengan jawara yang
notabene merupakan orang kaya dengan kekuasaan materialnya
atau pejabat terjadi dalam bentuk dukungan politik. Jawara seba-

90
Artis, “Eksistensi Partai Politik dan Pemilu Langsung dalam
Konteks Demokrasi di Indonesia,” Jurnal Sosial Budaya 9, no. 1 (Janu-
ari-Juli 2012): 63.
91
Sultanistik adalah oligarki yang terbentuk ketika terjadi mono-
poli sarana pemaksaan berada di tangan satu oligark, bukan negara ter-
lembaga yang dibatasi hukum. Di dalamnya, marak hubungan patron-
klien dengan norma perilaku dan kewajiban tertentu yang terkait dengan-
nya. Akan tetapi, penegakan hukum tidak ada atau beroperasi sebagai
sistem kekuasaan hukum yang bersifat pribadi. Lihat Winters, Oligarchy,
35.
92
Winters memasukkan Soeharto ke dalam kategori oligark sul-
tanistik. Sebab, Presiden RI ke-2 itu sukses menjinakkan banyak oligark
lain di Indonesia untuk beberapa dekade. Akan tetapi, sistem hukum di
Indonesia tidak mampu mengendaliakn secara hukum oligark-oligark
bangsa selama periode demokrasi elektoral pascakejatuhan Soeharto
pada 1998. Menurut Winters, transisi Indonesia dari sistem otoritarian ke
demokrasi hanya mengubah oligarki jinak di bawah sultanistik ke oligar-
ki liar yang tidak bisa dikendalikan oleh penegakan hukum. Lihat
Winters, Oligarchy, 37.
93
Winters, Oligarchy, 15.
Ahmad Munjin 141

gai pejabat tentu saja (harus) menjadi pendukung Golongan Karya


(Golkar). Dukungan politk itu diperkuat oleh kiai yang memiliki
kekuasaan mobilisasi dalam bentuk yang nyata, yaitu bahwa kiai
juga dalam pandangan politiknya adalah pendukung Golkar. Di
sinilah Tihami melihat positifnya dukungan ini karena menambah
kuat posisi (kedudukan) kiai sebagai pemimpin di masyarakat
karena mendapat kekuatan dari dukungan pejabat. Demikian pula
jawara yang termasuk orang kaya, memilih Golkar sebagai wadah
politiknya. Sebab, bagi jawara, wadah Golkar bisa mempermudah
mereka dalam memperoleh kesempatan untuk memperlancar usaha
(memperoleh tender) atau bahkan mendapatkan usaha baru.94
Itulah yang ditunjukkan oleh Haji Tubagus Hasan Sochib. Selain
menjabat direktur di PT Sinar Ciomas dan pemimpin pendekar
silat, Sochib juga merupakan salah satu pimpinan Golkar tingkat
kabupaten. Dengan demikian, kiai-jawara dengan rezim Orde Baru
melalui Golkar menjadi hubungan yang saling menguntungkan
(simbiosis mutualisme).95
Berbeda dengan Tihami, menurut Masaaki, kejatuhan
Soeharto dan permulaan demokratisasi merupakan era pergolakan
yang lain. Politik lokal di Banten pasca-Soeharto sudah mengala-
mi transformasi politik yang utama dan mengubah peran kiai dan
jawara.96 Tokoh utama dalam periode transisi, Masaaki menegas-
kan, bukanlah seorang kiai melainkan jawara tertentu, yakni Tuba-
gus Chasan Sochib yang menggunakan dominasinya yang luar
biasa dalam kehidupan ekonomi politik masyarakat Banten.97
Senada dengan Masaaki, Hamid melihat hubungan kiai-
rezim Orde Baru sebagai penjinakan dan kooptasi politik oleh
rezim terhadap kekuasaan elite para kiai. Hamid menyebutnya
sebagai korporatisasi kiai oleh Orde Baru yang terjadi dalam
pemilihan umum. Menurut Hamid, menyadari besarnya kekuasaan

94
Tihami, “Kiai dan Jawara,” 104.
95
Tihami, “Kiai dan Jawara,” 104.
96
Masaaki, “Rise of Realistic Islamist Party,” 236.
97
Masaaki, “Rise of Realistic Islamist Party,” 236.
142 Oligarki dan Demokrasi...

mobilisasi98 kiai sebagai pemimpin di Banten, rezim Orde Baru


mulai pada 1967 berusaha untuk mendekati mereka. Usaha-usaha
tersebut lebih fokus pada Kabupaten Serang yang merupakan
pusat aktivitas politik di Banten sejak era kolonial.99
Pemerintahan provinsi di Bandung dipimpin oleh Guber-
nur Solichin G.P. dan aparat militer menggagas sebuah ide meng-
kooptasi kiai untuk mendukung Golkar pada akhir 1960-an.
Solichin mendiskusikan ide ini dengan para pimpinan militer dan
para pejabat pemerintah senior. A.T. Witono, komandan militer
regional Siliwangi dengan antusias menyambut gagasan ini. Alha-
sil, dua pejabat ini bertemu dengan K.H. Mahmud, seorang kiai
yang sangat dihormati oleh masyarakat Banten untuk mendapat-
kan persetujuannya dalam membujuk para kiai untuk mendukung
Golkar. Letjen Surono, komandan pertahanan Divisi II (Jawa-
Madura) juga mengunjungi Banten untuk berbicara dengan KH
Mahmud dan kiai Banten yang lain. Namun demikian, pertemuan
pertama ini gagal membuahkan hasil.100
Presiden Soeharto, dengan kekuasaan material dan koer-
sifnya, kemudian membuat terobosan dalam situasi tersebut. Dia
memanggil KH Mahmud dan kiai lain dalam sebuah pertemuan di
Batukuwung dekat Anyer. Tidak ada catatan soal motif kesepaka-
tan, pada akhir pertemuan, para kiai tersebut mendeklarasikan
bahwa mereka akan menjadi para pendukung Golkar. Pada 3 Mei
1970, organisasi ulama Satkar Ulama didirikan di Banten dengan
KH Mahmud sebagai ketua umum.101 Satkar Ulama kemudian
menjadi anggota Hasta Karya, sebuah sayap Golkar. Keterlibatan

98
Winters, Oligarchy, 15.
99
Hamid, “Kiai in Banten,” 425.
100
Hamid, “Kiai in Banten,” 425.
101
Sudiarti Artati, “Perubahan Peran Ulama dalam Masyarakat
Serang: Studi Kasus Dua Pesantren di Kabupaten Serang, Banten, Jawa
Barat,” Tesis Magister Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia, 1988, 45.
Ahmad Munjin 143

langsung Soeharto merupakan awal mula pemerintah berusaha


untuk “menjinakkan” kiai Banten.102
Menuju pemilihan umum 1971, kiai dalam Satkar Ulama
bukan hanya melakukan kampanye di pesantren-pesantren mereka,
tapi juga meminta dalam khutbah-khutbah mereka bahwa Muslim
di Banten harus memilih Golkar. Akibatnya, Golkar menang
dengan persentase pemilih yang besar di level 49,83 persen,
mengalahkan pesaingnya seperti Partai Nasional Indonesia (PNI),
Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) sebelumnya Masyumi, dan
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) di Serang. Pemerintah
sangat mengerti bahwa merangkul kiai bisa memastikan pemerin-
tah untuk menancapkan kekuasaannya pada masyarakat Banten
dengan jauh lebih mudah.103
Mengikuti pembentukan Satkar Ulama, pemerintah berha-
sil “menjinakkan” jawara pada 1971. Satkar Jawara pun dibentuk
yang belakangan berubah nama menjadi Persatuan Pendekar Persi-
latan Seni Budaya Banten Indonesia (PPPSBBI) pada 1973. Satkar
ini juga menjadi pilar Orde Baru di Banten.104
Meski pemerintahan Soeharto sangat keras menekan
partai-partai politik Islam, para petinggi Partai Persatuan Pemba-
ngunan (PPP) mengambil strategi untuk membangkitkan sentimen
agama di antara kaum Muslimin untuk persiapan pemilu 1977.
Seiring bertambahnya jumlah khutbah dan pertemuan-pertemuan
Jumat, kiai PPP menekankan keislaman partai mereka. Mereka
mengunakan kakbah sebagai symbol partai. Hasilnya, pada pemilu
1977 di Serang, PPP menang dengan total suara 54,97 persen.
Sementara itu, Golkar mengamankan 42,52 persen, sedangkan
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menempati posisi terakhir
dengan perolehan tipis 2,52 persen. Reaksi Golkar cepat dan
kejam. Mereka menggelandang banyak pendukung PPP termasuk

102
Hamid, “Kiai in Banten,” 425-26.
103
Hamid, “Kiai in Banten,” 426.
104
Hamid, “Kiai in Banten,” 426.
144 Oligarki dan Demokrasi...

kiai ke komando militer daerah untuk interogasi atau hukuman


penjara.105
Mengevaluasi hasil pemilu tersebut, Ketua Golkar Serang,
Suwandi, menyimpulkan bahwa Golkar gagal karena partai ini
tidak memiliki akar yang kuat dalam masyarakat Islam di Banten.
Golkar memutuskan untuk mengambil strategi merekrut kiai ke
dalam jajarannya dan membentuk sayap Islam di dalam Golkar.
Partai tersebut membuat sebuah kebijakan untuk memastikan bah-
wa paling tidak 30 persen anggota dewan penasihat pada level
kabupaten adalah kiai. Pada level kabupaten dan desa, kiai lokal
dan ustaz ditunjuk sebagai manajer pada organisasi lokal
Golkar.106
Golkar juga menemukan bahwa kiai akan menjadi pendu-
lang suara yang efektif. “Pendulang suara” adalah istilah Golkar
untuk tokoh masyarakat yang maju sebagai kandidat pimpinan
legislative tapi dipersiapkan untuk mengundurkan diri ketika
Golkar menominasikan orang di bawah pengaruhnya sebagai ang-
gota legislaatifnya setelah pemilu. Hasil dan maneuver yang mirip
yang pertama kali diimplementasikan di Serang dan kemudian di
wilayah lain terutama di Banten, Golkar mengalahkan PPP pada
1982 dengan 48,57 persen suara, dibandingkan dengan perolehan
PPP 47,98 persen, dan suara PDI sebesar 3,45 persen.107
Namun demikian, kemenangan tipis tersebut tidak memu-
askan Golkar. Menyadari pentingnya dukungan Muslim untuk
kemenangan mereka, Golkar kemudian mempercepat strategi
untuk mengakomodasi tokoh-tokoh Islam dan kiai. Golkar merek-
rut mereka ke dalam Satkar Ulama dalam skala besar setelah
Dewan Permusyawarahan Nasional pada 1985. Pemerintah lokal
juga memberikan Golkar kandidat-kandidat kiai demi berbagai
dukungan yang dibutuhkan untuk memenangkan pemilu. {Pada
jajak pendapat 1987, Golkar hanya memilih Muslim, termasuk

105
Artati, “Perubahan Peran Ulama,” 47.
106
Hamid, “Kiai in Banten,” 427.
107
Hamid, “Kiai in Banten,” 427.
Ahmad Munjin 145

mereka yang berasal dari militer, untuk calon legislative Serang


dari Golkar.108
Golkar juga berusaha untuk menempatkan sekolah-seko-
lah Islam yang berkaitan dengan tokoh-tokoh berpengaruh di
bawah pengaruh partai tersebut. Hamid mencontohkan, intervensi
Golkar yang sangat kuat dalam konflik internal Al-Khaeriyah,
sebuah pesantren berpengaruh di Serang. Setelah meninggal
pendirinya, KH Sjam’un, KH Sadeli Hasan dan KH Rahmatullah
Syam’un bersaing dengan keras sebagai posisi penerus. Ketika
saudara laki-laki dari KH Rahmatullah Syam’un yakni Fathullah
Syam’un coba untuk memisahkan diri dari konflik, Golkar me-
ngambil kesempatan. Anggota-anggota Golkar mendekati Fathul-
lah Syam’un dan menunjuknya sebagai pimpinan Golkar di
Serang. Fathullah Syam’un maju dalam pemilu 1987 dan setelah
menang, dia dinominasikan sebagai ketua DPRD Serang 1987-
1992 yang didukung oleh bupati Serang dan komandan militer
daerah. Kemudian, Golkar juga menggunakan pengaruh terhadap
Al-Khaeriyah dan sekolah-sekolah Islam lain, melalui anggota
Golkar KH Wahab Afif yang juga merupakan anggota Al-Khae-
riyah dan dekan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan
Gunung Djati di Serang (sekarang IAIN Maulana Hasanuddin
Serang). Dia menggunakan posisinya untuk memobilisasi dosen-
dosen IAIN lain untuk mengikuti kampanye Golkar. Mahasiswa
pun memprotesnya dengan serangkaian demonstrasi, menuduh
Wahab Afif bertindak tidak adil dan tidak loyal terhadap PPP.109
Pada saat yang sama, PPP mengalami penurunan jumlah
anggotanya. Mulai pada 1978, internal PPP terpecah ke dalam dua
kubu: Nahdlatul Ulama (NU) dan Muslimin Indonesia. Konflik
tersebut mencapai klimaks ketika NU keluar dari PPP dan dari
arena politik formal pada 1984 melalui deklarasinya untuk kem-
bali ke khittah 1926 yang menetapkan NU sebagai organisasi

108
Artati “Perubahan Peran Ulama,” 52.
109
M.A. Tihami, ed., Refleksi Pemikiran Fiqh: Mensyukuri 70
Tahun Prof. K.H. Abdul Wahab Affif, M.A. (Serang: Sengpho Founda-
tion, 2006), 25 dan 158.
146 Oligarki dan Demokrasi...

independen.110 Kejadian tersebut memperlemah PPP, bukan hanya


pada level pemerintahan pusat tapi juga pada level lokal di
Serang.111
Pukulan telak dari rezim Orde Baru melalui jabatan ekse-
kutif dan legislatif yang sangat mematikan bagi PPP adalah kehi-
langan identitas Islamnya. Undang-undang No. 3/1985 tentang
partai-partai politik dan Golkar serta Undang-undang No. 8/1985
tentang organisasi-organisasi sosial menuntut agar Pancasila men-
jadi satu-satunya ideologi bagi semua organisasi. Semua partai
politik diharuskan memakai salah satu motif dari Pancasila dan
perisai Garuda sebagai simbol mereka. Akibatnya, pada pemilu
tahun 1987, PPP dilarang menggunakan Kakbah, sebuah simbol
yang sangat familiar bagi seluruh kaum Muslim. Sebagai gantinya,
PPP harus menggunakan symbol bintang. Hal ini berarti bahwa
PPP kehilangan identitasnya sebagai sebuah partai Islam. Pada
praktiknya, juru kampanye PPP mendapatkan kesulitan dalam
membedakan diri mereka dari Golkar atau PDI. Banyak kiai bah-
kan berbelot menjadi pendukung Golkar.112
Alhasil dari manuver pemerintah dan masalah-masalah
lain, pada pemilu 1987, PPP hanya mendapatkan 29,19 persen
suara di Serang, sementara Golkar mendominasi dengan perolehan
suara 60,35 persen. Dari sinilah, Golkar maju mendominasi politik
di Banten.113
Itulah penjelasan tentang bagaimana kiai di Banten diako-
modasi oleh Golkar dan pada gilirannya, para kiai dan pesantren
mereka mendapatkan keamanan politik dan keuntungan ekonomi.
Kondisi ini membuktikan dominasi kekuasaan material Orde Baru
yang direpresentasikan oleh Golkar terhadap kekuasaan mobilisa-
si114 kiai. Apalagi, yang terpenting, dukungan ekonomi (kekuasaan

110
M. Dien Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), 52.
111
Hamid, “Kiai in Banten,” 428-29.
112
Hamid, “Kiai in Banten,” 429.
113
Hamid, “Kiai in Banten,” 429.
114
Winters, Oligarchy, 15.
Ahmad Munjin 147

material) Golkar memastikan keberlangsungan dan pembangunan


pesantren mereka. Kiai Mahmudi mengakui bahwa dukungan
keuangan dan material dari Golkar pada era Orde Baru jauh lebih
besar dibandingkan dukungan dari partai-partai politik lain terma-
suk PPP dan partai-partai Islam lain di era reformasi. Kiai
Mahmudi telah mengabdi sebagai coordinator tim pemenangan di
level kecamatan untuk Golkar di Banten selama 10 tahun.115

2. Mobilisasi Kiai versus Kekuasaan Koersif Orde Baru


Di sisi yang lain, rezim Orde Baru dan militernya mene-
kan kiai yang dianggap kurang mendukung Golkar. Akhirnya,
kebanyakan dari kiai-kiai tersebut menghindari realitas politik dan
fokus pada pengajaran mereka. Sebagian juga memilih untuk ber-
hijrah sebagaimana Nabi melakukannya dari Mekah ke Madinah.
Sebagai contoh, kiai Damanhuri asal Cihideung, Pandeglang yang
pergi ke Mekah.116
Saudara ipar Kiai Damanhuri, Kiai Dimyati, salah satu
kiai terkemuka di Banten menderita penganiayaan oleh rezim
Orde Baru. Kiai Dimyati sangat dihormati, santri dan tokoh ma-
syarakat menggunakan gelar Abuya (Kiai Senior) bagi Dimyati.
Pesantren Abuya Dimyati di Cidahu, Pandeglang merupakan
rumah bagi santri dari Banten, Jakarta, Bogor, dan Sumatera. Saat
dia dianggap sebagai kiai paling senior, dia juga memberikan
pelajaran mingguan bagi kiai dari pesantren seluruh Banten. Dia
juga merupakan pemimpin tarekat Syadziliyah (aliran sufi) di
Indonesia, dan dia secara luas dipercaya memiliki kebijaksanaan
dan kekebalan.117 Menjelang pemilu 1977, Abuya Dimyati dikenal
sebagai anti-pemerintah dan anti-Golkar. Pada 11 Maret 1977,
sebelum khutbah Jumat, dia menyatakan bahwa masyarakat ja-
ngan merasa takut atau terintimidasi oleh kepentingan-kepenti-
ngan salah satu kontestan dalam pemilu, apapun ancamannya.

115
Hamid, “Kiai in Banten,” 429-30.
116
Hamid, “Kiai in Banten,” 430.
117
Mohamad Hudaeri, et al., “Studi tentang Kharisma Kiai dan
Jawara di Banten,” Laporan Penelitian Departemen Agama, 2007, 71.
148 Oligarki dan Demokrasi...

Menolak slogan “Golkar adalah pemerintah,” dia menjawab,


“Pemerintah adalah Republik Indonesia dan bukan Golkar.”118
Situasi jadi memanas ketika polisi memenjarakan Abuya
Dimyati tiga hari kemudian. Kondisi ini nyaris membawa seisi
kota Pandeglang ke jurang anarki. Santri dan jawara sepakat untuk
mengeluarkan Abuya dari penjara. Namun demikian, anarki bisa
dihindari ketika Abuya Dimyati mengirimkan pesan melalui sipir
penjara kepada para pemimpin jawara yang ingin membebaskan-
nya dari jeruji: “Saya baik-baik saja di penjara; jangan lakukan
apapun.” Abuya dihukum enam bulan dalam penjara.119
Kejadian-kejadian mitis dan mistis mewarnai isu ini.
Dikatakan, bahwa Abuya Dimyati, meski berada di penjara, pada
saat yang sama sering terlihat di pesantren Cidahu. Banyak orang
juga telah melihat di rumahnya, di pasar Pandeglang, atau salat di
masjid Agung Pandeglang. Kemudian, pejabat penegak hukum
yang terlibat dalam penahanan Abuya Dimyati dilaporkan menga-
lami pengalaman buruk. Hakim yang menghukum Abuya menjadi
bisu dan seorang pejabat polisi yang memenjarakannya menjadi
gila.120
Menurut Hamid, bukan hanya individu kiai, tapi juga
organisasi-organisasi Islam beserta kiai-kiainya sebagai anggota
seperti Mathla’ul Anwar (MA), mendapatkan perilaku represif. Di
bawah kepemimpinan Nafsirin Hadi, Mathla’ul Anwar terbentuk
lebih cenderung memiliki hubungan yang dekat dengan gerakan
Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Lalu, Mathla’ul
Anwar juga mengartikulasikan ketidaksetujuannya dengan pelak-
sanaan Pancasila sebagai satu-satunya bagi organisasi. Hal ini
menyebabkan tegangnya hubungan Mathla’ul Anwar dengan
pemerintah.121

118
Murtadho Dimyati, Manakib Abuya Cidahu dalam Pesona
Langkah di Dua Alam (Pandeglang: Tanpa Nama Penerbit, 2008), 192-
198.
119
Hamid, “Kiai in Banten,” 430-31.
120
Hamid, “Kiai in Banten,” 431.
121
Hamid, “Kiai in Banten,” 431.
Ahmad Munjin 149

Nafsirin Hadi menjadi ketua Mathla’ul Anwar sejak


kongres XII di Jakarta pada 1975, menggantikan KH M. Muslim
yang meninggal pada 1974. Selama sepuluh tahun kepemimpinan
Nafsirin Hadi, Matla’ul Anwar terjebak pada kekacauan. Pertama,
perselisihan antara Nafsirin Hadi dengan sekretars jenderal, Irsjad
Djuwaeli, yang kemudian berakhir dengan pemecatan dari jaba-
tannya.122 Hubungan yang buruk dengan pemerintah juga beraki-
bat pada pembatalan kongres Mathla’ul Anwar yang direncanakan
di provinsi Lampung. Kondisi ini juga menyebabkan perpecahan
internal dalam kepemimpinan Mathla’ul Anwar dan memberikan
kesempatan emas bagi pemerintah untuk mengintervensi. Pada
kongres Mathla’ul Anwar 1985 di Menes, kelompok yang prope-
merintah behasil bukan hanya mendongkel Nafsirin Hadi dari
posisinya di kantor pusat Mathla’ul Anwar tapi juga mengeluar-
kannya dari organisasi tersebut dengan dukungan penuh dari
Letjen Alamsjah Ratuperwiranegara. Yang propemerintah, Kiai
Burhani mengambil alih posisi direktur, dan Irsjad Djuwaeli
menjadi sekretaris jenderal.123
Pada kongres Mathla’ul Anwar 1991 yang dibuka oleh
Wakil Presiden Soedharmono, Irsjad Djuwaeli terpilih menjadi
direktur Matla’ul Anwar Pusat. Di bawah kepemimpinannya,
Mathla’ul Anwar mendeklarasikan dukungannya untuk Golkar.
Pada 1992, Irsjad Djuwaeli menjadi anggota DPR dari Golkar.
Irsjad Djuwaeli percaya bahwa keputusan untuk mendukung
Golkar akan memberikan pengaruh signifikan terhadap perkemba-
ngan organisasi tersebut baik di level lokal maupun pusat. Dengan
kongres ke-14 di Jakarta pada 1991, Mathla’ul Anwar memiliki
cabang-cabang di tujuh belas provinsi.124 Dalam sistem korpora-

122
Irsjad Djuwaeli, Membawa Mathla‘ul Anwar ke Abad XXI
(Jakarta: Pengurus Besar Mathla‘ul Anwar, 1997), 30.
123
Dindin Nurul Rosidin, “Quo Vadis Mathla‘ul Anwar,” Maka-
lah disampaikan pada Rapat Kerja Nasional Mathla‘ul Anwar di Batam,
2007.
124
Djuwaeli, Membawa Mathla’ul Anwar, 31.
150 Oligarki dan Demokrasi...

tisasi Golkar, Mathla’ul Anwar mencapai perkembangan yang luar


biasa di seluruh Indonesia.125
Di atas semua itu, Hamid menarik benang merah, setelah
mencapai puncaknya sebagai pemimpin informal dalam pemerin-
tahan sipil dan militer selama era revolusi, kekuasaan kiai dalam
dunia politik Orde Baru sudah menurun karena beberapa faktor
eksternal dan internal.126
Faktor eksternal yang dominan adalah intervensi Orde
Baru. Di bawah tekanan dan represi yang kuat dari rezim tersebut,
kiai menghadapi sebuah dilemma dari tiga pilihan: Pertama, ber-
gabung dengan partai penguasa (baca: Golkar); Kedua, beroposisi
dengan pemerintah; dan Ketiga, menarik diri dari realitas politik
dan fokus pada pendidikan. Menurut Hamid, tak satupun dari
ketiga pilihan tersebut benar-benar menguntungkan. Bergabung
dengan Golkar dan menjadi broker politik bagi organisasi ini
berarti mereka menjadi sangat tergantung pada Golkar, mulai dari
kurikulum pesantren mereka hingga pendanaan. Ketergantungan
ini di lain sisi juga menyebabkan turunnya kharisma mereka. Salah
satu kiai seperti itu disebut kolega-koleganya sebagai “kiai yang
ditinggalkan oleh masyarakat.” Inilah sebenarnya, menurut Hamid
yang diinginkan oleh strategi korporatis Orde Baru. Rezim Orde
Baru paham bahwa kekuasaan kiai terletak pada kharisma mereka.
Oleh karena itu, Golkar menjinakkan mereka dalam organisasi
korporatis seperti Satkar Ulama untuk mencabut kharisma dari
kiai. Beroposisi dengan pemerintah juga benar-benar tidak me-
nguntungkan. Sebagaimana terlihat pada penahanan Abuya Dim-
yati dan para kiai PPP, rezim Orde Baru sangat kejam terhadap
kiai yang menolak untuk bekerjasama dengan pemerintah.127
Pada pilihan ketiga, menarik dari realitas politik, kiai
harus berhadapan dengan faktor internal yakni melemahnya ke-
kuasaan mereka. Pendidikan pesantren tersisihkan oleh pendidikan
modern dan kiai semakin terpinggirkan dalam dunia pengetahuan
125
Hamid, “Kiai in Banten,” 432.
126
Hamid, “Kiai in Banten,” 439.
127
Hamid, “Kiai in Banten,” 439-40
Ahmad Munjin 151

dan pembelajaran modern. Berkurangnya jumlah santri berarti


kesulitan ekonomi bagi kiai. Para kiai juga menjadi gagal mela-
kukan regenerasi. Sejak setiap pesantren tidak lagi berada di ba-
wah pengaruh satu kiai, pemilihan kiai penerus pesantren sering-
kali menimbulkan konflik-konflik.128

Tabel 3.3. Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara


pada Era Soeharto (Orde Baru) di Banten
No Sumber Daya Kekuasan Indikator-indikator
(1) (2) (3)
Sumber daya kekuasaan kiai dan
jawara pada era Orde Baru dari sisi
hak politik formal, termanifestasi
dalam Pemilu 1971 yang diikuti
oleh 10 kontestan partai politik.
Hak Politik Formal
1 Kemudian, Pemilu 1977-1997,
(Elite/Demokrasi)
yaitu: 1977, 1982, 1987, 1992, dan
1997 yang diikuti oleh 3 kontestan
yang sama, yaitu: Partai Persatuan
Pembangunan, Golongan Karya,
dan Partai Demokrasi Indonesia.
a. Rezim Orde Baru dan
militernya menekan kiai yang
dianggap kurang mendukung
Golkar;
b. Sudara ipar Kiai Damanhuri,
Kiai Dimyati, salah satu kiai
Kekuasaan Koersif terkemuka di Banten menderita
2
(Elite/Demokrasi) penganiayaan oleh rezim Orde
Baru;
c. Polisi memenjarakan Abuya
Dimyati selama enam bulan,
tiga hari setelah penolakan kiai
terkemuka tesebut atas slogan
“Golkar adalah pemerintah,”

128
Hamid, “Kiai in Banten,” 440
152 Oligarki dan Demokrasi...

Lanjutan Tabel 3.3


(1) (2) (3)
dengan jawaban, “Pemerintah
adalah Republik Indonesia dan
bukan Golkar”; dan
d. Organisasi-organisasi Islam
beserta kiai-kiainya sebagai
anggota seperti Mathla’ul
Anwar (MA), mendapatkan
perilaku represif dari rezim
Orde Baru. Hubungan yang
buruk dengan pemerintah
berakibat pada pembatalan
kongres Mathla’ul Anwar yang
direncanakan di provinsi
Lampung. Pada kongres
Mathla’ul Anwar 1985 di
Menes, kelompok yang
propemerintah behasil bukan
hanya mendongkel Nafsirin
Hadi dari posisinya di kantor
pusat Mathla’ul Anwar tapi
juga mengeluarkannya dari
organisasi tersebut dengan
dukungan penuh dari Letjen
Alamsjah Ratuperwiranegara.
a. Rezim Orde Baru dan para kiai
merupakan hubungan di mana
kekuasaan oligarkis di bawah
kepemimpinan seorang oligark
Kekuasaan Mobilisasi sultanistik, Soeharto, sebagai
3
(Elite/Demokrasi) kooptasi dan penjinakan
kekuasaan mobilisasi kiai;
b. Dukungan politk jawara dengan
kekuasaan materialnya terhadap
Golkar diperkuat oleh kiai yang
Ahmad Munjin 153

Lanjutan Tabel 3.3

(1) (2) (3)


memiliki kekuasaan mobilisasi
dalam bentuk yang nyata, yaitu
bahwa kiai juga dalam
pandangan politiknya adalah
pendukung Golkar;
c. Menyadari besarnya kekuasaan
mobilisasi kiai sebagai
pemimpin di Banten, rezim
Orde Baru mulai pada 1967
berusaha untuk mendekati
mereka;
d. Menuju pemilihan umum 1971,
kiai dalam Satkar Ulama bukan
hanya melakukan kampanye di
pesantren-pesantren mereka,
tapi juga meminta dalam
khutbah-khutbah mereka bahwa
Muslim di Banten harus
memilih Golkar;
e. Mengikuti pembentukan Satkar
Ulama, Orde Baru berhasil
“menjinakkan” jawara pada
1971. Satkar Jawara pun
dibentuk yang belakangan
berubah nama menjadi
Persatuan Pendekar Persilatan
Seni Budaya Banten Indonesia
(PPPSBBI) pada 1973;
f. Meski pemerintahan Soeharto
sangat keras menekan partai-
partai politik Islam, para
petinggi Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) mengambil
strategi untuk membangkitkan
sentimen agama di antara kaum
154 Oligarki dan Demokrasi...

Lanjutan Tabel 3.3


(1) (2) (3)
Muslimin untuk persiapan
pemilu 1977 melalui khutbah-
khutbah;
g. Menyadari pentingnya
dukungan Muslim untuk
kemenangan mereka, Golkar
kemudian mempercepat strategi
untuk mengakomodasi tokoh-
tokoh Islam dan kiai. Golkar
merekrut mereka ke dalam
Satkar Ulama dalam skala besar
pada 1985; dan
Golkar juga berusaha untuk
menempatkan sekolah-sekolah
Islam yang berkaitan dengan
tokoh-tokoh berpengaruh di
bawah pengaruh partai tersebut.
a. Pada 3 Mei 1970, organisasi
ulama Satkar Ulama didirikan
di Banten dengan KH Mahmud
sebagai ketua umum;
b. Merespons kebangkitan
sentimen Islam PPP pada
pemilu 1977, Golkar merekrut
Jabatan Resmi kiai ke dalam jajarannya dan
4
(Elite/Demokrasi) membentuk sayap Islam di
dalam Golkar. Paling tidak, 30
persen anggota dewan penasihat
pada level kabupaten adalah
kiai. Pada level kabupaten dan
desa, kiai lokal dan ustaz
ditunjuk sebagai manajer pada
organisasi lokal Golkar;
Ahmad Munjin 155

Lanjutan Tabel 3.3


(1) (2) (3)
c. Pukulan telak dari rezim Orde
Baru melalui jabatan eksekutif
dan legislatif yang sangat
mematikan bagi PPP adalah
kehilangan identitas Islamnya.
Undang-undang No. 3/1985
tentang partai-partai politik dan
Golkar serta Undang-undang
No. 8/1985 tentang organisasi-
organisasi sosial menuntuk agar
Pancasila menjdai satu-satunya
ideologi bagi semua organisasi;
dan
d. Kiai Dimyati merupakan
pemimpin tarekat Syadziliyah
(madzhab sufi) di Indonesia,
dan dia secara luas dipercaya
memiliki kebijaksanaan dan
kekebalan;
Yang propemerintah, Kiai
Burhani mengambil alih posisi
direktur, dan Irsjad Djuwaeli
menjadi menjadi sekretaris
jenderal.
a. Rezim Orde Baru dan para kiai
merupakan hubungan di mana
kekuasaan oligarkis di bawah
kepemimpinan seorang oligark
Kekuasaan Material sultanistik, Soeharto, sebagai
5
(Oligarki) kooptasi dan penjianakan
kekuasaan mobilisasi kiai;
b. Hubungan kiai dengan jawara di
mana notabene jawara
merupakan orang kaya dengan
156 Oligarki dan Demokrasi...

Lanjutan Tabel 3.3


(1) (2) (3)
kekuasaan materialnya atau
pejabat terjadi dalam bentuk
dukungan politik terhadap
Golongan Karya (Golkar);
c. Bagi jawara, wadah Golkar bisa
mempermudah mereka dalam
memperoleh kesempatan untuk
memperlancar usaha
(memperoleh tender) atau
bahkan mendapatkan usaha
baru;
d. Orde Baru melakukan
“korporatisasi” terhadap kiai
yang terjadi dalam pemilihan
umum; dan
e. Presiden Soeharto, dengan
kekuasaan material dan
koersifnya memanggil KH
Mahmud dan kiai lain dalam
sebuah pertemuan di
Batukuwung dekat Anyer. Para
kiai pun mendeklarasikan
dukungannya terhadap Golkar.

Dari Tabel 3.3. peneliti menyimpulkan bahwa besarnya


kekuasaan elite dari kiai dan jawara justru dikooptasi dan diman-
faatkan oleh rezim Orde Baru dengan kekuasaan material dan
koersifnya yang menonjol. Akan tetapi, hubungan rezim dengan
jawara saling menguntungkan tapi tidak untuk kiai. Orde Baru ha-
nya memanfaatkan kekuasaan elite kiai melalui mobilisasi sedang-
kan hubungannya dengan jawara lebih menguntungkan secara
ekonomi. Hal tersebut terjadi karena sifat dasar dari kiai sebagai
elite sedangkan jawara berperan sebagai oligark. Jadi, jika hubu-
ngan Orde Baru dengan kiai terbatas pada konteks kepentingan
elite sedangkan hubungannya dengan jawara mencakup konteks
Ahmad Munjin 157

bisnis. Akibatnya, benih-benih oligarki tumbuh subur pada jawara


sedangkan pada kiai tidak.

3. Chasan Sochib: Oligark Sultanistik Produk Orde Baru


Ulama dan jawara merupakan pemimpin informal di
Banten. Kedua kepemimpinan ini terkooptasi ke dalam mesin
politik partai pemerintah, yakni Golongan Karya (Golkar) pada
awal 1970-an. Ironisnya, pemerintahan Orde Baru menjiplak apa
yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) seksi Banten pada
1920-an dalam mengorganisasi dua kekuatan sosial tersebut. Pada
1971, Golkar mengorganisasikan ulama ke dalam Satkar Ulama
dan mengorganisasikan jawara lokal ke dalam Satkar Pendekar
pada 1972.129 Satkar ini kemudian berubah nama menjadi Persatu-
an Pendekar Persilatan Seni Budaya Banten Indonesia (PPPSBBI).
Sebanyak 122 padepokan silat terafiliasi ke PPPSBBI di Banten
dan dimobilisasi untuk mendukung Golkar selama Pemilu selain
untuk menopang kekuatan tentara dan polisi.
Tubagus Chasan Sochib merupakan jawara yang menjadi
ketua umum Satkar Pendekar sekaligus salah satu dari anggota
panitia eksekutif Satkar Ulama. Dia bertindak sebagai jembatan
antara militer, birokrat, dan Golkar dengan masyarakat Banten
termasuk aktor kriminal bawah tanah. Chasan mengklaim kekua-
saan mobilisasinya130 yang besar itu dengan mengatakan, tiga ribu
jawara melayaninya dan mereka siap siaga sepanjang waktu.131
Klaim Chasan tersebut, salah satunya bisa dibuktikan dengan
pengamanan lahan pabrik PT Krakatau Steel saat itu. Haji Embay
Mulia Syarief, seorang tokoh silat dari Kota Serang, Banten meru-
pakan mantan tangan kanan (orang kepercayaan) dari Chasan
Sochib.
Sochib memberikan Embay proyek pengamanan lahan di
Cilegon yang saat itu rencananya dibangun pabrik PT Krakatau
Steel Tbk. Sebab, saat itu masih ada sebagian penduduk yang
129
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 117.
130
Winters, Oligarchy, 15-18.
131
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 117.
158 Oligarki dan Demokrasi...

tidak senang pada pembangunan pabrik itu meski lahan sudah


dibebaskan sesuai peraturan yang berlaku. Setiap pekerja selesai
memasangi patok, pada malam harinya patok-patok tersebut pun
dicabuti. Saat rombongan dari PT Sinar Ciomas datang, kata
Embay, hal itu pun tidak lagi terjadi. Embay menjelaskan ia bisa
sukses menyelesaikan pekerjaannya karena dekat dengan jawara-
jawara lokal. Ia bahkan mengaku merangkul jawara lokal untuk
bekerja di proyek tersebut. Alhasil, konflik pun berakhir dan
pabrik peleburan baja milik BUMN tersebut bisa berdiri dan
beroperasi hingga kini. Embay bertahan di perusahaan tersebut
hingga tahun 1974.132
Chasan Sochib menjadi berpengaruh di banyak aspek
kehidupan masyarakat Banten dan memainkan sebuah kekuasaan
sebagai “penyambung lidah” untuk Jakarta dan Bandung; orang
luar yang ditunjuk sebagai birokrat puncak bersandar padanya dan
jaringannya sebagai jembatan ke dua kebantenan. Pejabat kepoli-
sian setempat dan tentara memiliki hubungan erat dengan Sochib.
Ideologi Sochib dan PPPSBBI terhitung nasionalistis dan dia
membanggakan bahwa PPPSBBI merupakan satu-satunya LSM
yang “melindungi [masyarakat], mempertahankan negara dan
bangsa” dan juga “mempertahankan kepolisian” dan “membela
militer.” Sochib lebih jauh bahkan mengatakan bahwa PPPSBBI
mencintai kepolisian dan militer karena organisasi tersebut telah
mendukung mandat proklamasi kemerdekaan 1945.
Faktanya, menurut Masaaki dan Hamid, Sochib melalui
PPPSBBI membantu polisi dan tentara dengan memberikan pelati-
han silat bagi anggota polisi dan militer dan memberikan bantuan
keuangan dari keuntungan bisnisnya. Dengan kekuatan jaringan
lokal dan ideologi nasionalisnya, Sochib mampu membangun

132
Nurmulia Rekso Purnomo, “Kisah Tokoh Silat yang Jadi
Tangan Kanan Chasan Sochib,” Tribunnews.com dirilis pada Jumat, 18
Oktober 2013, diakses pada Senin, 22 Agustus 2016, http://www.tribun
news.com/nasional/2013/10/18/kisah-tokoh-silat-yang-jadi-tangan-
kanan-chasan-sochib.
Ahmad Munjin 159

hubungan erat dengan anggota dewan pusat Golkar, seperti Akbar


Tanjung dan para pemimpin TNI pada masa Orde Baru.133
Dengan demikian, menurut Syarif Hidayat134 dan Leo
Agustino,135 Tubagus Chasan Sochib menjadi salah satu orang
kuat yang membangun dinasti politik di Banten pada era Orde
Baru yang berlanjut ke era Reformasi. Seiring melemahnya penga-
ruh kiai, jawara menjadi sosok yang paling berpengaruh baik seca-
ra politik maupun ekonomi selama Orde Baru di Banten. Fakta-
nya, tokoh paling kaya dan paling berkuasa di Banten adalah
Tubagus Chasan Sochib yang notabene merupakan pemimpin
jaringan jawara yang paling besar dan berkuasa di era Banten
kontemporer, yakni PPPSBBI.136
Secara informal, Sochib secara luas disebut sebagai
“Gubernur Jenderal” atau disingkat menjadi “Gubjen.” Sebutan ini
dulunya merupakan gelar resmi yang digunakan selama periode
kolonial terutama untuk menyebut pejabat Belanda di East Indies
(Hindia Belanda). Gelar ini biasanya dipanggil dengan kedipan
dan senyuman sebagai sebuah isyarat status yang lebih besar dari
peran kehidupan Sochib yang seharusnya. Sochib merupakan
tokoh legendaris di Banten kontemporer dengan sejumlah istri dan
belasan anak.137

133
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 118-19.
134
Syarif Hidayat, “Shadow State? Business and Politics in the
Province of Banten,” dalam Renegotiating Boundaries: Local Politic in
post-Suharto Indonesia, ed. Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klin-
ken (Leiden: KITLV Press, 2007), 203-24.
135
Agustino, “Dinasti Politik,” 109.
136
Daromir Antonovych Rudnyckyj, “Islamic Ethics and Spiri-
tual Economy in Contemporary Indonesia” (Disertasi Ph.D., Universitas
California, Berkeley, 2006), 70.
137
Masaaki memberikan gambaran singkat tentang kehidupan
Chasan Sohib. Lihat Okamoto Masaaki, “Local Politics in Decentralized
Indonesia: The Governor General of Banten Province,” IIAS Newsletter
34 (2004): 23.
160 Oligarki dan Demokrasi...

Pada hemat peneliti, dinasti politik yang dibangunnya itu


adalah oligarki. Sebab, gurita bisnisnya telah mendefinisikannya
sebagai seorang oligark dan membentuk sistem politik oligarkis.
Kekuasaan yang diraihnya didasarkan pada sumber daya kekuasa-
an elite dan material sekaligus yang mengejawantah dalam keka-
yaan yang dimilikinya.
Sochib dilahirkan di kabupaten Serang pada 1930 dan
merupakan keponakan dari Haji Tubagus Kaking, pemilik PT
Kalimaya.138 Dia masuk pesantren sebelum bergabung dengan unit
kekuasaan gerilya selama periode revolusi. Sebelum kekuasaan
politik dan ekonominya membesar, Chasan mula-mula bekerja
mengatur para buruh kasar di Jakarta dan bongkar muat di pelabu-
han Tanjung Priok. Kemudian, dia kembali ke Bantenuntuk men-
coba peruntungan dengan mendapatkan berbagai kontrak peme-
rintah untuk proyek-proyek pekerjaan umum. Bisnis-bisnis me-
nguntungkan lainnya adalah bertindak sebagai seorang perantara
dalam spekulasi tanah di Banten. Hal itu terjadi setelah pemerin-
tah Indonesia membangkitkan produksi baja di Cilegon dan
mendesain kota tersebut menjadi sebuah kawasan pembangunan
industri. Sochib meyakinkan para petani skala kecil untuk menjual
ladang kecil mereka dan kemudian dengan cepat berbalik dan
menjual kembali tanah tersebut ke perusahaan industri yang terta-
rik dengan wilayah Cilegon seiring berkembangnya infrastruktur
industri. Anak perempuan Sochib, Ratu Atut Chosiyah, seorang
politikus Golkar, terpilih menjadi wakil gubernur Banten untuk
masa jabatan yang bermula pada Desember 2001.139
Pengalaman kerjanya dimulai dengan melakukan penga-
walan bisnis beras dan jagung antarpulau Jawa-Sumatera. Peker-
jaan inilah yang menjadi cikal bakal pengakumulasian kekayaan
Chasan Sochib yang belakangan mendefinisikannya sebagai seo-

138
Nurmulia Rekso Purnomo, “Kondisi Kantor Perusahaan Milik
Chasan Sochib Kini,” Tribunnews.com, dirilis Jumat, 18 Oktober 2013,
diakses 22 Agustus 2016, http://www. tribunnews.com/nasional/2013/
10/18/kondisi-kantor-perusahaan-milik-chasan-sochib-kini.
139
Rudnyckyj, “Islamic Ethics,” 70-71.
Ahmad Munjin 161

rang oligark sultanistik. Tak hanya sampai di situ, Sochib mulai


merintis bisnisnya sendiri dengan menjadi penyedia kebutuhan
logistik untuk divisi militer Kodam VI Siliwangi sejak 1967.140
Pada saat yang sama, Kodam Siliwangi berkepentingan atas kesta-
bilan politik di Banten. Mereka membutuhkan orang lokal untuk
menjadi perpanjangan tangan di daerah. Di mata para komandan
Kodam VI Siliwangi, Banten adalah daerah yang rawan dipenga-
ruhi oleh kekuatan komunis baik sebelum ataupun sesudah tragedi
1965. Atas dalih kepentingan politik keamanan dan ekonomi di
Banten, Chasan Sochib mendapatkan banyak keistimewaan dari
Kodam VI Siliwangi dan pemerintah Jawa Barat. Sebagian besar
proyek pemerintah khususnya di bidang konstruksi banyak diberi-
kan kepada Chasan Sochib.
Dalam konteks yang lebih luas, Leo Agustino melihat
bukan hanya hubungan Hasan Sochib dengan Kodam VI Siliwangi
dan pemerintah Jawa Barat pada level lokal melainkan dengan
rezim Orde Baru pada level nasional. Menurut Agustino, kokoh-
nya Chasan Sochib sebagai oligark sultanistik, dapat dipastikan
merupakan hasil dari sosialisasi rezim sebelumnya,141 Soeharto
yang oleh Winters juga dikategorikan sebagai oligark sultanistik.
Rezim Orde Baru menjadi faktor eksogen (eksternal) yang mendu-
kung transformasi kejawaraan Chasan Sochib menjadi oligark
sultanistik. Bedanya, Sochib merupakan oligark sultanisntik pada
level lokal sedangkan Soeharto pada level nasional yang terjadi
dalam sistem politik Indonesia yang menganut sistem demokratis.
Menurut Agustino, saat rezim Orde Baru berkuasa, kekuasaan

140
Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, “Dinasti Tb. Chasan
Sochib: Gubernur Jenderal dari Banten,” Konstelasi, Edisi ke-31 April
2011. Artikel diakses 6 Juli 2013, dari http://www.p2d.org/index.php/
kon/52-31-april-2011/273-dinasti-h-tb-chasan-sochib--gubernur-jenderal-
dari-banten.html.
141
Agustino, “Dinasti Politik,” 109.
162 Oligarki dan Demokrasi...

berpusat di tangan satu orang, yaitu Soeharto yang disebut oleh


Olson sebagai stationarybandits.142
Pemusatan tersebut bertujuan untuk memperlancar proses
rent-seeking activities143 melalui jejaring patron-client.144 Untuk
mengawal kekuasaan di Tanah Air yang sangat luas, Soeharto
menunjuk dan mengangkat beberapa kerabat dan koleganya men-
jadi kaki tangan baik di pusat maupun di daerah. Tujuannya untuk
menjaga ketenteraman politik dan mengeksploitasi ekonomi. Khu-
sus di daerah, kaki tangan patron-client Jakarta bisa berupa orang
pusat yang ditransfer ke daerah atau warga setempat yang diang-
gap kuat di daerah (local strongman). Mengikuti logika itu, dinasti
politik Soeharto, bukan hanya berlangsung di Jakarta, tapi juga
merasuk hingga pelosok negeri.145
Dengan menggunakan logika stationary bandits, orang
kuat di daerah mendaulat anggota keluarga untuk terlibat aktif
dan bahu-membahu menjaga kepentingan ekonomi Soeharto, di
daerah. Supaya pekerjaan mereka mudah dikerjakan, local strong-

142
Mancur Olson, “Dictatorship, Democracy, and Development,”
The American Political Science Review 87, no. 3 (September 1993): 568.
143
Anne O. Krueger, “The Political Economy of the Rent-
Seeking Society,” The American Economic Review 64, no. 3(Juni 1974):
291-303.
144
Hubungan patron-client (sebuah hubungan pertukaran antar
peran) adalah sebuah kasus khusus dalam ikatan dyadic (dua-orang) yang
melibatkan pertemanan instrumental secara luas di mana seorang indivi-
du dari status sosioekonomi yang lebih tinggi ( patron) menggunakan
pengaruh dan sumber dayanya untuk memberikan perlindungan atau ber-
bagai manfaat atau keduanya, terhadap seorang individu yang status
sosioekonominya lebih rendah (client). Pada gilirannya, client membe-
rikan imbalan dengan menawarkan dukungan dan bantuan secara umum,
termasuk pelayanan personal kepada patron. Dalam literatur antropologi,
patron-client berhubungan dengan beberapa istilah seperti clientelism,
dyadic contract, personal network, dan action-set. James C. Scott,
“Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia,” The
American Political Science Review 66, no. 1 (Maret 1972): 92.
145
Agustino, “Dinasti Politik,” 109.
Ahmad Munjin 163

man membangun dinasti politik mulai dari tingkat provinsi, kabu-


paten hingga kota. Tujuannya, agar semua perkara yang ada di
semua tingkatan dapat terkoordinasi di bawah kendalinya. Resis-
tensi masyarakat tidak jarang dihadapi dengan tindakan refresif.
Dalam teori sumber daya kekuasaaan oleh Winters, ini disebut
sebagai kekuasaan koersif.146 Ini pula yang berlaku di Banten.
Dalam kapasitasnya sebagai pengusaha, jawara sangat
berkepentingan dalam mendapatkan akses sumber daya yang
dikendalikan pemerintah daerah. Menurut Agustino, jawara tentu
akan memfungsikan status gandanya secara maksimal. Sebagai
pengusaha, mereka memaksimalkan sumber daya keuangan yang
dimiliki, sementara dalam kapasitas sebagai jawara mereka dapat
menggunakan sumber daya ‘keilmuan’ yang mereka kuasai. Untuk
hal yang pertama, ketenaran Sochib sebagai pengusaha kelas atas,
terutama dalam bidang konstruksi, bukan hal baru. Sebab, status
itu telah melekat pada dirinya sejak 1980-an.147
Ketika Banten belum ditetapkan sebagai provinsi, Sochib
banyak menjalin hubungan dengan pemerintah Provinsi Jawa
Barat. Sochib juga sering dipercaya untuk mengerjakan proyek-
proyek fisik kontstruksi skala besar baik di Jawa Barat secara
umum maupun Banten. Sedangkan status Sochib sebagai tokoh
jawara merupakan sisi lain dari identitas yang sulit dipisahkan
darinya. Sebab, status sebagai tokoh jawara bukan hanya dipe-
roleh berdasarkan garis keturunan, tapi juga karena peranannya
sebagai pendiri salah satu organisasi jawara terbesar dan terkemu-
ka di Indonesia saat ini, PPPSBBI.148
Sementara itu, yang mendukung kekuasaan materialnya,
Chasan Sochib mendirikan PT Sinar Ciomas Raya pada 1967.
Sampai saat ini, Sinar Ciomas merupakan perusahaan terbesar di
Banten, khususnya di bidang konstruksi jalan dan bangunan fisik
lainnya. Perusahaan ini sering memenangkan kontrak pemerintah
yang dibiayai oleh lembaga-lembaga donor, seperti Asian Deve-
146
Winters, Oligarchy, 15.
147
Agustino, “Dinasti Politik,” 110.
148
Agustino, “Dinasti Politik,” 110.
164 Oligarki dan Demokrasi...

lopment Bank (ADB) dan Bank Dunia149 untuk jalan dan proyek-
proyek pembangunan pasar, seperti proyek konstruksi Pasar Rau
dan proyek-proyek pembangunan jalan di kabupaten Bekasi dan
kabupaten Karawang.150
Yang menarik, kesuksesan bisnisnya itu ditransformasikan
menjadi kekuasaan mobilisasi.Berdasarkan penuturan juru bicara
keluarga Ratu Atut Chosiyah, Tb. Chasan Sochib selalu mengada-
kan acara pertunjukan hiburan setelah memenangkan tender suatu
proyek konstruksi atau infrastruktur.151 Di antaranya adalah
jaipongan dan debus. Lalu, dia menyawer atau memberikan uang
kepada penari. Bukan hanya itu, dia bahkan membagikan uang
kepada semua orang yang terlibat dalam acara pertunjukan tradi-
sional tersebut. Kebanyakan orang mengira hal itu merupakan
persoalan jaipongan atau debus semata, padahal juga merupakan
urusan pemberdayaan. Pemberian uang kepada penari merupakan
pemberdayaan kearifan lokal. Begitu juga dengan pertunjukan
debus. Semua personelnya mendapatkan dana pemberdayaan
untuk seni lokal. Dana pemberdayaan mengalir ke semua orang
yang terlibat dalam acara tersebut—penari, pemasang banner,
umbul-umbul dan bendera, juru masak, para jawara pengatur
parkir, supir, dan pemasang panggung. Begitu juga dengan pihak
TNI sebagai pemilik tenda. Kalau ada 100 proyek yang dime-
nangkan tendernya, tenda tersebut otomatis akan terpakai 100 hari
untuk pesta—diantaranya pertunjukan debus dan jaipongan.
Apalagi, acara yang diadakan juga selalu dalam sekala besar.
Dengan demikian, jika Tb. Chasan Sochib memenangkan tender,

149
Max Lane, Decentralization and Its Discontents: An Essay on
Class, Political Agency and National Perspective in Indonesian Politics
[Iseas Monograph Series] (Singapura: Institute of Southeast Asian
Studies (Iseas), 2014), 64-65.
150
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 119.
151
Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara
Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019,
di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017.
Ahmad Munjin 165

lalu pencairan dana, semua orang akan terlibat dalam hidupnya.


Ratusan orang pun akan mendapatkan dana pemberdayaan sehing-
ga semua orang merasa hidup bersama dia. Itulah apa yang dia
dapatkan dan itu juga yang kemudian dia bagi kepada banyak
orang. Walhasil, Tb. Chasan Sochib pun punya jaringan yang sa-
ngat luas152 dan berbuah menjadi sumber daya kekuasaan mobi-
lisasi.153
Pada hemat peneliti, bagi-bagi uang yang dimaknai seba-
gai pemberdayaan itu merupakan reduksi makna menjadi lebih
halus atau eufemisme dari politik uang (money politics) dalam
pengertian tidak langsung. Sebab, hal itu tidak dilakukan dalam
konteks jual beli suara dalam Pilkada. Secara sederhana, politik
uang (money politics) didefinisikan sebagai jual beli suara.154
Sedangkan pemberdayaan adalah proses inklusif untuk memberi-
kan semangat, memberi peluang, mengembangkan kapasitas untuk
swasembada, kepercayaan diri, penegaskan diri, dan otonomi yang
melekat pada kelompok-kelompok yang termarjinalisasi dan tak
berdaya (seperti perempuan) dan masyarakat (kaum) melalui
pembangkitan kesadaran, partisipasi pro-aktif dalam kehidupan
publik dan mobilisasi hak yang tepat.155 Jadi, bagi-bagi uang

152
Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara
Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019,
di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017.
153
Winters, Oligarchy, 15-18.
154
Burhanuddin Muhtadi, “Politik Uang dan Dinamika Elektoral
di Indonesia: Sebuah Kajian Awal Interaksi antara Indentitas Kepartaian
dan Patron-Klien,” Jurnal Penelitian Politik 10, no. 1 (Juni 2013): 42.
155
Empowerment is an inclusive process of encouraging, enab-
ling and developing the capability for self-sufficiency, self-dependence,
self-assertion and autonomy of the marginalised and disempowered gro-
ups (like women) or community (dalits/tribes) through consciousness-
raising, pro-active participation in public life and mobilisation for right
entitlements. Lihat Subhash Sharma, “The Dynamics of Women’s
Empowerment: A Critical Appraisal,” Social Change 47, no. 3 (Agustus
2017): 400.
166 Oligarki dan Demokrasi...

merupakan money politics. Akan tetapi, Tb. Chasan Sochib seba-


gai informal rule156 akan mendapatkan imbal hasil dari investasi
politiknya itu pada masa-masa mendatang. Meski pada saat Orde
Baru masih berkuasa, Sochib tidak terlibat dalam kekuasaan
formal, dia sangat menyadari pentingnya investasi politik itu.
Menurut Guillermo O’Donnell, sebagaimana dikutip Burhanuddin
Muhtadi, sistem politik informal harus dipahami karena fokus
eksklusif hanya pada sistem atau aturan formal akan mengabaikan
perhatian peneliti kepada informal politics yang justru lebih
berpengaruh dalam menentukan institusi politik. Mengabaikan
informal politics seperti patrimonialisme dan patron-klien akan
membuat peneliti kehilangan “rules of the game” yang seringkali
bersifat tak tertulis, tapi berurat akar sejak lama.157
Untuk memantapkan bisnisnya, Chasan Sochib menguasai
sejumlah organisasi bisnis seperti Kamar Dagang dan Industri
Daerah Banten, Gabungan Pengusaha Konstruksi Nasional Indo-
nesia Banten, dan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi
Nasional Indonesia Banten.158 Keterlibatannya meluas hingga ke
Perusahaan Negara Krakatau Steel, perusahaan baja terbesar di
Asia Tenggara. Begitu juga dengan perusahaan di sektor pariwi-
sata dan perumahan.159 Kekuasaan material tersebut yang memba-
wa dan mendefinisikannya sebagai seorang oligark.
Jika melihat jenis-jenis oligarki, Sochib terdefinisikan
sebagai oligark sultanistik160 karena kepiawaiannya mengoordina-

156
Guillermo O’Donnell, “Another Institutionalization: Latin
America and Elsewhere,” Working Paper #222 The Helen Kellogg Insti-
tute for International Studies (Maret 1996).
157
O’Donnell, “Another Institutionalization.” Lihat juga, Bur-
hanuddin Muhtadi, “Politik Uang dan Dinamika Elektoral di Indonesia:
Sebuah Kajian Awal Interaksi antara Indentitas Kepartaian dan Patron-
Klien,” Jurnal Penelitian Politik 10, no. 1 (Juni 2013): 45.
158
Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, “Dinasti Tb. Chasan
Sochib.”
159
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 117-18.
160
Winters, Oligarchy, 35.
Ahmad Munjin 167

sikan oligark-oligark lain dalam jejaring bisnisnya meniru apa


yang sudah dilakukan rezim Soeharto.161 Ia juga menempati posisi
puncak pada organisasi-organisasi atau asosiasi-asosiasi bisnis
yang secara hirarki keorganisasian otomatis menempatkannya di
posisi oligark sultanistik. Sebab, dia membawahi oligark-oligark
lain. Sebagai buktinya, dia memegang posisi kunci dalam asosiasi-
asosiasi bisnis seperti Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dan
Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi).
Sochib menempatkan ‘orang-orangnya’ yang juga masuk kategori
oligark pada panitia eksekutif asosiasi-asosiasi tersebut pada level
lokal.162 Oleh karena itu, jabatan pada organisasi bisnis menye-
matkan dua sumber daya kekuasaan bagi Sochib, yaitu kekuasaan
jabatan resmi dan kekuasaan material yang mengantarnya sebagai
seorang oligark sultanistik.
Secara teori, Jeffrey A. Winters menyatakan, sultanistik
adalah oligarki yang terbentuk ketika terjadi monopoli sarana
pemaksaan di tangan satu oligark, bukan negara terlembaga yang
dibatasi hukum. Di dalamnya, marak hubungan patron-klien de-
ngan norma perilaku dan kewajiban tertentu yang terkait dengan-
nya. Akan tetapi, penegakan hukum tidak ada atau beroperasi
sebagai sistem kekuasaan hukum yang bersifat pribadi.163 Jika
Winters menyebutnya monopoli sarana pemaksaan yang penuh
patron-client, dalam konteks Chasan Sochib, patron-client terse-
but adalah kepiawaiannya dalam koordinasi.
Chasan Sochib menjadikan Kadin dan Gapensi sebagai
salah satu sarana monopoli yang disebut Winters sebagai “pemak-
saan”. Salah satu buktinya adalah sertifikasi dari Kadin dan
Gapensi yang sangat dibutuhkan untuk pengadaan proyek peme-
rintah. Sochib menggunakan persyaratan ini untuk mengoordina-

161
Bandingkan dengan Yuki Fukuoka yang menyebut Soeharto
sebagai rezim sultanistik (sultanistic regimes). Lihat Yuki Fukuoka,
“Oligarchy and Democracy in Post-Suharto Indonesia,” Political Studies
Review 11 ( 2013): 52-64.
162
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 117-18.
163
Winters, Oligarchy, 35.
168 Oligarki dan Demokrasi...

sikan proyek-proyek di daerah Banten. Koordinasi tersebut telah


membuatnya berlimpah uang dan kekuatan ekonomi. Kartika
Supriatna, seorang penduduk dan wakil gubernur provinsi Jawa
Barat yang bertugas di wilayah Banten pada 1976-1983, membuk-
tikan kemampuan koordinasi proyek Sochib pada saat itu dan
kemampuannya untuk mengakumulasi prestise sosial dan keka-
yaan.164
Dengan kekuatan koordinasi dan penegakkan sumber daya
material yang sudah di tangan, baik jawara yang berada di bawah
kontrol Sochib maupun para oligark lain yang menjadi pengikut-
nya yang menjadi (sub)kontraktornya menerima bagian keuntu-
ngan atau menjadi birokrat. Masaaki dan Hamid mencontohkan
Embay Mulya Syarif, meski belakangan menjadi cenderung kritis
terhadap Sochib, dibantu oleh Sochib dan menjadi kader Gapensi
dan kepala Kadin di Kabupaten Serang. Sekretaris Jenderal Kantor
Pusat PPPSBBI tahun 2000, Kasmiri Assabudu, memiliki perusa-
haan konstruksi, Bunda. Uci Sanusi, kontraktor lain yang terafi-
liasi dengan Sochib, belakangan menjadi anggota DPRD kabupa-
ten. Sekretaris Jenderal PPPSBBI untuk kabupaten Serang, Mas
Santoso masuk birokrasi lokal dan kemudian menjadi Kepala
Departemen Sanitasi Kabupaten Serang.165
Pada mulanya, keharusan memiliki kekayaan bagi kepe-
mimpinan jawara bermotif mulia yakni untuk tujuan tolong meno-
long yang menjadi prinsip jawara. Sebab, dalam prinsip jawara,
tidak mungkin bisa menolong orang lain jika diri sendiri masih
harus ditolong karena miskin.166 Sifat tolong menolong ini harus
diwujudkan oleh jawara selain melalui kesaktiannya juga sekaligus
dengan kekayaannya. Sebab, dalam alam pikiran jawara, tidak
mungkin mereka bisa menolong orang miskin jika jawaranya sen-
diri seorang miskin.
Namun demikian, dalam perkembangannya, motif mulia
itu berubah dari tolong menolong menjadi sifat akumulatif tanpa
164
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 118.
165
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 118.
166
Irfani, Jawara Banten, 14.
Ahmad Munjin 169

batas sehingga kekayaan terkonsentrasi pada segelintir orang


jawara. Kepemimpinan jawara sebagai pengusaha yang tidak
terbatas pada teritorial tertentu dalam konteks relasi dagangnya,
memungkinkan jawara untuk mengakumulasi kekayaan sebanyak-
banyaknya. Peluang tersebutlah yang mendefinisikan jawara seba-
gai oligark pada akhirnya. Karena tidak terbatasnya hubungan
dagang tersebut, masuklah jawara pada fase status baru sebagai
patron-klien kekuasaan. Jawara sebagai local strongman menjadi
patron bagi pemerintah pusat, dalam hal ini adalah rezim Orde
Baru.167
Mengguritanya akumulasi kekayaan Chasan Sochib harus
diakui belum terdapat data valid yang menunjukkan total kekaya-
annya secara kuantitatif dan presisi. Padahal, perhitungan angka
kuantitatif tersebut sangat diperlukan untuk mengonfirmasi kate-
gori Sochib sebagai seorang oligark. Data-data yang peneliti
dapatkan dari berbagai media, baru sebatas perkiraan, yakni sebe-
sar seperempat triliun rupiah.168 Itupun bukan harta milik Sochib
sendiri melainkan keluarga besarnya. Tiadanya data resmi yang
valid bisa dipahami karena Sochib seringkali bertindak di balik
layar dan berfungsi sebagai koordinator. Selain itu, perusahaan-
perusahaan dan proyek-proyek yang dijalankannya seringkali tidak
mengatasnamakan dirinya sendiri melainkan atas nama orang lain
di bawah koordinasinya.169
Beruntung, di tengah krisis ekonomi yang melanda Indo-
nesia pada pertengahan 1997, gelombang demonstrasi mahasiswa
datang bertubi-tubi menuntut perubahan dan berakhir dengan
lengsernya Soeharto. Kekuasaan pusat di daerah pun mulai mere-
dup. Namun demikian, pemusatan kekuasaan di daerah tidak serta-
merta lenyap. Local strongman yang menjelma menjadi oligarki

167
Agustino, “Dinasti Politik,” 109
168
Antons, et al., “Klan Chasan Diduga Punya Harta Seperempat
Triliun,” Tempo.co, dirilis pada Senin, 4 November 2013, diakses pada
Rabu, 24 Agustus 2016, http://haji.tempo .co/konten_berita/politik/2013/
11/04/526970/Klan-Chasan-Diduga-Punya-Harta-Ratusan-Miliar.
169
Hidayat, “Shadow State,” 219-20.
170 Oligarki dan Demokrasi...

baru menggantikan kekuasaan rezim Orde Baru pada lokal dengan


tetap menggunakan cara-cara lama. Dalam konteks ini, local
strongman tersebut adalah Tubagus Chasan Sochib. Sochib bukan
hanya dikenal sebagai petinggi partai Golongan Karya dan orang
tua Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, Sohib juga adalah
Ketua Kamar dan Industri Indonesia (Kadin) Provinsi Banten,
Ketua Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten
Indonesia (PPPSBBI), dan pimpinan beberapa asosiasi dan lemba-
ga besar di Banten.
Dinasti politik Sochib, awalnya dikenal dengan istilah
jawara yang kemudian berdiaspora menjadi jawara-pengusaha.Di
era kolonial, kategorisasi jawara dan kiai masih sangat ken-
tal. Jawara adalah orang yang punya kematangan ilmu silat
sekaligus kematangan ilmu agama. Oleh karena itu, hubu-
ngan jawara kiai saat itu sangat erat. Sekarang, dalam panda-
ngan keluarga jawara, kategori untuk jawara sendiri diakui
hampir tinggal simbol. Apalagi, masyarakat di Banten seba-
gian sudah masuk kategori urban (pendatang) sehingga terja-
di asimilasi budaya. Jawara sudah mengalami transformasi
dari jawara tulen menjadi pekerja sebagai force (kekuatan).
Jika seseorang memiliki sebuah proyek dan diganggu oleh
LSM, jawara yang akan menghadapinya. Begitu juga jika
diganggu secara hukum. Saat seseorang berada dalam proses
tender dan mendapat gangguan, jawara juga yang maju.
Jawara pun berubah menjadi semacam centeng.170
Sementara itu, kiai dulu adalah guru bagi orang-orang
belajar silat di padepokan yang muridnya disebuat jawara. Keba-
nyakan pesantren memiliki padepokan. Oleh karena itu, ada
keeratan hubungan antara jawara dan kiai pada awalnya. Zaman

170
Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara
Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019,
di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017.
Ahmad Munjin 171

pun berubah. Proses regenerasi jawara tidak seketat regenerasi


kiai. Lulusan pesantren dan punya ilmu agama tidak bisa semba-
rangan mendirikan pesantren. Setelah santri pandai ilmu agama
baru dia bisa menjadi kiai. Di antara buktinya adalah kecakapan
berceramah dan membaca kitab kuning. Begitu sulit bagi seorang
ulama untuk mewariskan ilmu kepada santrinya sehingga bisa
menjadi ulama berikutnya. Kiai mengajarkan ilmu agama tapi
tidak benar-benar ahli sehingga dirasa tidak enak oleh masyarakat,
kiai tersebut tidak akan menjadi panutan. Sebab, menjadi kiai itu
bukan hanya soal keilmuan, tapi juga soal trust orang untuk
mengikutinya. Proses untuk menjadi ulama pun menjadi sangat
terseleksi dari sekian banyak orang.
Kondisi itu, berbeda dengan orang yang masuk padepokan
milik pesantren untuk belajar menjadi jawara. Tanpa harus punya
kapabilitas jawara, bahkan hanya bermodal gertak pun, dia sudah
dilegitimasi sebagai jawara. Sekarang, preman saja bisa mengkla-
im sebagai jawara. Tanpa bisa silat pun, karena orang pernah
sesaat belajar silat, akan menjadi jawara secara simbolik. Padahal
sebenarnya, apakah seseorang bisa silat atau tidak yang menjadi
otoritas kejawaraannya hanya bisa diketahui saat digunakan.171
Tidak seperti dulu, proses seleksi untuk menjadi jawara
saat ini jauh lebih mudah dibandingkan menjadi kiai yang jauh
lebih susah. Karena perbedaan spektrum proses seleksi tersebut,
secara otomatis dan perlahan terjadi pemisahan antara jawara dan
kiai. Orang tidak akan punya loyalitas dan tidak percaya terhadap
kiai jika tidak bisa ceramah dan cakap membaca kitab kuning.
Orang tidak akan memasukkan anaknya ke pesantren yang kapabi-
litas kiainya seperti itu. Intinya, untuk mendapatkan legitimasi
kiai jauh lebih sulit. Bandingkan dengan seseorang yang belajar
ilmu agama dan silat di pesantren. Setelah itu, hasil belajar aga-
manya kurang bagus. Tanpa harus belajar ilmu agama lebih dalam,

171
Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara
Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019,
di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017.
172 Oligarki dan Demokrasi...

dia bisa memilih menempuh untuk menjadi jawara. Silatnya pun


sebenarnya tidak terlalu cakap. Akan tetapi, kalau orang jadi
jawara, ‘ngejago’ saja sudah menjadi jawara. Itulah yang kemudi-
an memisahkan antara ulama dan jawara.172
Dulu ada keeratan antara kiai dan jawara. Lalu, lambat
laun terpisah karena persoalan sosiologis tadi. Padahal tempat
lahirnya sama, yakni pesantren. Jawara dan kiai sama-sama lahir
dari pesantren tapi kemudian berbeda secara perlahan. Sekarang
kategori jawara yang kental seperti dulu, sudah terkikis. Sedang-
kan kategori ulama masih utuh karena faktor sosiologis juga.
Orang tanpa harus pintar silat, bisa menjadi jawara. Padahal,
orang dulu yang disebut jawara itu adalah orang memiliki kapa-
sitas ilmu agama yang baik dan ilmu kesaktian atau kanuragan dan
kebatinan yang baik pula. Sebab, santri dan jawara sama-sama
merupakan murid kiai yang belajar di pesantren. Oleh karena itu,
jawara dulu banyak dipercaya memiliki ilmu kekebalan dan ilmu
agama.173
Tb. Chasan Sochib termasuk orang berhasil mengkapita-
lisasi sifat koersifnya sebagai jawara. Dia pun menjelma menjadi
jawara-pengusaha. Penjelmaan ini merupakan campuran sumber
daya kekuasaan elite dan oligarki. Oleh karena itu, jawara Banten
sekarang ini tidak identik dengan jawara tulen seperti zaman
dahulu yang memiliki kemampuan bela diri pencak silat dan ilmu
kedigdayaan. Memang masih ada yang memiliki kemampuan
semacam itu, tetapi dalam konteks dinasti politik, jawara kini
memiliki status rangkap, yakni sebagai pengusaha.174Aktivitas

172
Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara
Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019,
di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017.
173
Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara
Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019,
di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017.
174
Agustino, “Dinasti Politik,” 110.
Ahmad Munjin 173

Sochib tidak terbatas pada jawara dan dunia bisnis. Modal sosial
dengan kekuasaan elitenya semakin kuat karena Sochib merupa-
kan pendiri sebuah universitas swasta dan museum Banten. Sochib
juga merupakan kepala Generasi ’45 cabang Serang, sebuah ko-
mite yang mewadahi para mantan anggota angkatan kemerdekaan
Indonesia.175
Keluarga besar Chasan Sochib, sebagaimana diduga
Tempo, memiliki harta kekayaan seperempat triliun176 yang men-
definisikan mereka sebagai satu keluarga oligark. Definisi tersebut
merupakan hasil dari Indeks Kekuasaan Material (Material Power
Index) yang perhitungannya adalah total kekayaan keluarga
Chasan Sochib dibagi rata-rata income per kapita yang dalam
konteks masyarakat Banten direpresentasikan oleh data PDRB per
kapita. Dengan demikian, indeks kekuasaan material keluarga
Chasan Sochib adalah 6.355 kali. Di atas semua itu, di bawah ini,
peneliti memberikan table yang mengambarkan profil kekuasaan
Chasan Sochib baik sebagai elite maupun oligark.
Tabel 3.4. Sumber Daya Kekuasaan Tubagus Chasan Sochib pada
Era Orde Baru
Sumber Daya Kekuasaan
No.
Elite Material (Oligarkis)
(1) (2) (3)
Ketua Persatuan Pendekar
Persilatan dan Seni Budaya
1 Asosiasi Bisnis
Banten (PPPSBB) (jabatan
resmi)
Ketua Kamar Dagang dan
Ketua Wushu Indonesia
2 Industri (Kadin) (jabatan resmi,
Banten (jabatan resmi)
kekuasaan material)
Ketua Gabungan Pengusaha
Ketua Satkar Ulama Banten Konstruksi Nasional Indonesia
3
(jabatan resmi) (Gapensindo) Banten (jabatan
resmi, kekuasaan material)

175
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 118.
176
Antons, et al., “Klan Chasan.”
174 Oligarki dan Demokrasi...

Lanjutan Tabel 3.4.


(1) (2) (3)
Ketua Lembaga Pengembangan
Pendiri sebuah universitas
Jasa Konstruksi (LPJK) Nasional
4 swasta dan museum Banten
Indonesia Banten (jabatan resmi,
(jabatan resmi).
kekuasaan material)
Ketua Generasi ’45 cabang
5 Perusahan-perusahaan
Serang (jabatan resmi)
Sebanyak 122 padepokan
silat terafiliasi ke PPPSBBI
yang dipimpin Chasan
Sochib di Banten dan
6 PT Sinar Ciomas Raya
dimobilisasi untuk
mendukung Golkar selama
Pemilu selain tentara dan
polisi (mobilisasi).
Mengguritanya akumulasi
kekayaan Chasan Sochib harus
diakui belum terdapat data valid
yang menunjukkan total
kekayaannya secara kuantitatif
Chasan Sochib bertindak dan presisi kecuali sebatas
sebagai jembatan antara perkiraan, yakni sebesar
militer, birokrat, dan seperempat triliun rupiah
7
Golkar dengan masyarakat (kekuasaan material). Sebab,
Banten termasuk kriminal Sochib seringkali bertindak di
bawah tanah (mobilisasi). balik layar dan berfungsi sebagai
koordinator sehingga perusahaan-
perusahaan dan proyek-proyek
yang dijalankannya seringkali
tidak mengatasnamakan dirinya
sendiri.
Kartika Supriatna, seorang
Chasan mengklaim tiga ribu penduduk dan wakil gubernur
jawara melayaninya dan provinsi Jawa Barat yang
8
mereka siap siaga sepanjang bertugas di wilayah Banten pada
waktu (mobilisasi). 1976-1983, membuktikan
kemampuan koordinasi proyek.
Ahmad Munjin 175

Lanjutan Tabel 3.4.


(1) (2) (3)
Sochib pada saat itu dan
kemampuannya untuk
mengakumulasi prestise sosial
dan kekayaan (mobilisasi dan
material)
Sochib memberikan Embay
proyek pengamanan lahan di
Cilegon, yang saat itu rencananya
dibangun pabrik Krakatau Steel
(material).
Sochib melalui PPPSBBI
membantu polisi dan tentara
dengan memberikan pelatihan
silat bagi anggota polisi dan
militer dan memberikan bantuan
keuangan dari keuntungan
bisnisnya (mobilisasi dan
material).
Chasan bekerja mengatur para
buruh kasar di Jakarta dan
bongkar muat di pelabuhan
Tanjung Priok (mobilisasi dan
material).
Sochib mendapatkan berbagai
kontrak pemerintah untuk
proyek-proyek pekerjaan umum
(material).
Bisnis-bisnis menguntungkan
lainnya untuk terlibat adalah
bertindak sebagai seorang
perantara dalam spekulasi tanah
di Banten (material).
Sumber: Data diolah dan disarikan dari pembahasan di atas dari
subbab ini.
176 Oligarki dan Demokrasi...

Dari Table 3.4. di atas, terlihat jelas, bahwa Chasan


Sochib pada era Orde Baru memiliki sumber daya kekuasaan baik
elite maupun oligarki. Dia terdefinisikan sebagai oligarki sultanis-
tik karena menguasai posisi puncak pada asosiasi-asosiasi bisnis
dan kepiawaiannya dalam mengoordinasikan oligark-oligark lain
baik sebagai kontraktor maupun sebagai sub kontraktor. Sochib
merupakan oligark produk Orde Baru karena bisnisnya berkem-
bang melalui proyek-proyek yang didapatkannya dari pemerintah.

D. Era Reformasi: Kiai Tenggelam dan Jawara Dominan


Pada subbab ini, peneliti menjelaskan fragmentasi politik
kiai ke dalam banyak partai politik yang memperlemah kekuasaan
mobilisasinya.177 Partai politik hanya memanfaatkan kekuasaan
mobilisasi kiai untuk menguntungkan partai dan tidak terlalu
menguntungkan bagi kiai. Kondisi ini memaksa para kiai untuk
bersikap pragmatis sehingga pada kiai tertentu bahkan terlibat
makelar politik dengan menggunakan kekuasaan mobilisasi yang
dimilikinya. Di sisi yang lain, jawara tampil dominan dengan
kekuasan materialnya yang menjadi basis kekuasaan oligarkis.

1. Kekuasaan Mobilisasi Kiai yang Terfragmentasi


Setelah kejatuhan Orde Baru, Indonesia menjalani sebuah
periode liberalisasi politik. Kebebasan politik menyebabkan
perkembangbiakan partai-partai politik secara cepat seperti jamur
setelah hujan. Pada era Reformasi ini, sumber daya kekuasaan dari
sisi hak politik formal178 baik kiai maupun jawara, seperti halnya
hak politik formal masyarakat pada umumnya, mengejawantah
dalam pemilu 1999, 2004, 2009, dan 2014. Pemilu 1999 merupa-
kan pemilu yang dipercepat dan pemilu tidak langsung di mana
konstituen memilih partai bukan calon. Sejak pemilu 2004, baru
pemilihan langsung diselenggarakan.179 Namun demikian, penga-

177
Winters, Oligarchy, 15.
178
Winters, Oligarchy, 13.
179
Pada tahun 2004 pemilihan umum telah dilaksanakan secara
langsung di Indonesia yang diikuti oleh berbagai partai politik dalam
Ahmad Munjin 177

ruh kiai dan jawara terhadap pilihan masyarakat sangat ditentukan


oleh sumber daya kekuasaan lain dari kiai dan jawara, yaitu:
kekuasaan mobilisasi, koersif, jabatan resmi, dan material daripa-
da hak politik formalnya.
Bagi para kiai, era Reformasi merupakan masa di mana
kekuasaan mobilisasinya semakin lemah. Pada masa Orde Baru,
lemahnya mobilisasi tersebut karena kooptasi atau dalam bahasa
Abdul Hamid ‘korporatisasi’ oleh rezim180 yang juga memiliki
sumber daya kekuasaan oligarkis. Sedangkan pada era reformasi,
lesunya kekuasaan mobilisasi kiai karena faktor fragmentasi poli-
tiknya ke dalam banyak partai politik. Pada saat yang sama, jawa-
ra dengan kekuasaan elite plus oligarkisnya mengalami surplus
kekuasaan.
Menurut Abdul Hamid, pada era Reformasi kiai kembali
memiliki berbagai kewajiban untuk mendukung pemerintah.
Mereka terpragmentasi di sejumlah partai-partai politik, sedang-
kan sisanya setia dengan Golkar, seperti Kiai Wahab Afif, Kiai
Salman Al Faris, dan KH Irsyad Djuwaeli. Berdirinya Partai

pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR dan DPD serta pemilihan
kepala daerah di Indonesia. Dalam pemilihan presiden dan wakil presi-
den, telah dijelaskan dalam UUD 1945 pasal 6A ayat 1, “Presiden dan
wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”.
Tersosialisasinya pasal 6A ayat 1 UUD 1945 ini baru pada waktu
pemilihan presiden tahun 2004 sekagus pemilihan legislatif untuk tingkat
pusat. Di samping pemilihan presiden secara langsung, juga berlaku
dalam pemilihan kepala daerah. Ini didukung oleh undang-undang otono-
mi daerah nomor 32 tahun 2004 pasal 24 ayat 5 yang berbunyi, “Kepala
daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara lang-
sung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”. Sebelum timbulnya pasal
24 ayat 5 ini, proses pemilihan kepala daerah diatur berdasarkan undang-
undang nomor 22 tahun 1999 jo No. 151 tahun 2000 tentang cara pemili-
han, pengesahan, dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala
daerah secara prosedural kewenangan masih berada di tangan anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Lihat Artis, “Eksistensi
Partai Politik,” 74-75.
180
Hamid,“Kiai in Banten,” 425-429.
178 Oligarki dan Demokrasi...

Kebangkitan Bangsa (PKB) oleh Kiai Abdurrahman Wahid (Gus


Dur) membuat banyak kiai kembali ke dunia politik. Beberapa kiai
memulai karir politiknya pada level lokal seperti Kiai Aminuddin
Ibrahim dan Kiai Muhtadi Dimyati di PKB.181
Secara umum, menurut Abdul Hamid, berbicara mengenai
kiai di Banten pada era reformasi adalah kekuasaannya minor
dalam politik. Mereka menjadi asisten bagi politikus non-kiai.
Pada pemilihan bupati Pandeglang 2005, kiai memimpin posisi
penting dalam tim kampanye bagi petahana Dimyati Natakusu-
mah. Ketua MUI Pandeglang, KH Datep, bahkan mengeluarkan
sebuah fatwa untuk memilih Dimyati dalam pemilu. Saat menge-
luarkan fatwa sebagai ketua MUI, KH Datep jelas menggunakan
kekuasaan elitenya dari sisi jabatan resmi.182 Fatwa ini secara luas
dirumorkan bahwa semua ketua cabang MUI di seluruh kabupaten
menerima sejumlah uang dari Dimyati. Sejumlah uang tersebut
merupakan kekuasaan material183 yang menjadi basis sumber daya
kekuasan oligarkis. Mahasiswa Nahdlatul Ulama, Lembaga dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpes-
dam NU) cabang Pandeglang, dan Gerakan Pemuda Ansor mela-
kukan demostrasi menuntut agar MUI bertindak netral dan bahwa
KH Datep dimutasi dari jabatannya sebagai ketua MUI Pandeg-
lang. Pada akhirnya, MUI Banten menghentikan sementara KH
Datep sebagai ketua MUI Pandeglang.184
Namun demikian, kiai tetap meneruskan dukungannya
untuk Dimyati. Dia memiliki pengaruh kuat di kalangan kiai teru-
tama karena Dimyati memiliki kekuasaan dari sisi jabatan
resmi185, yakni sebagai ketua PPP provinsi Banten. Selain itu,
alasan utama dukungan kiai tersebut adalah fakta bahwa selama
periode pemerintahannya, Dimyati banyak memberikan sejumlah

181
Hamid, “Kiai in Banten,” 432-433.
182
Winters, Oligarchy, 13-14.
183
Winters, Oligarchy, 18.
184
Hamid, “Kiai in Banten,” 433.
185
Winters, Oligarchy, 13-14.
Ahmad Munjin 179

bantuan material bagi pesantren dan para pengurusnya. KH Datep


menggambarkan situasinya:
Pada saat itu, banyak program pemerintah untuk memban-
tu madrasah tidak terpenuhi. Yang ditakutkan adalah apabila
Bupati atau pejabatnya diganti. Program-program untuk madrasah
akan terlupakan atau kembali memulai dari awal. Kami semua
bekerja keras, paling tidak 75 persen dari program keagamaan bisa
terealisasi. Pada saat itu, tidak ada infrastruktur untuk praktik-
praktik keagamaan, atau dukungan finansial untuk guru-guru
agama, madrasah, dan lain-lain. Sekarang, satu sekolah menerima
kontribusi dan insentif bagi staf pengajar. Sekarang, dana insentif
senilai Rp2,7 juta per sekolah dan beberapa mendapatkan Rp3
juta.186
Kiai juga menjadi kekuatan yang diperhitungkan pada
pemilihan gubernur Provinsi Banten 2006. Empat pasangan calon
untuk gubernur dan wakil gubernur bersaing dalam pemilu. Keem-
pat pasangan tersebut adalah Zulkieflimansyah-Marissa Haque
yang didukung oleh PKS dan PSI; Tryana Sjam’un-Benjamin
Davnie yang didukung oleh PPP dan PAN; H Ratu Atut Chosiyah-
HM Masduki yang didukung oleh Golkar, PDIP, Partai Bulan
Bintang (PBB), Partai Bintang Reformasi (PBR), dan Partai
Damai Sejahtera (PDS); dan Irsyad Djuwaeli-Mas Ahmad Daniri
didukung oleh Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Demokrat.
Semua calon berusaha keras untuk memanfaatkan kiai yang
ujungnya memenangkan dukungan dari masyarakat. Atut Chosi-
yah sebagai contoh mendirikan Satkar Ulama untuk memobili-
sasi187 kiai yang belakangan dipimpin oleh ayahnya Chasan
Sochib, sebagai elemen pendukung penting bagi tim kampanye-
nya. Zulkieflimansyah mendapatkan dukungan dari Forum Komu-
nikasi Kiai dan Tokoh Masyarakat (FKKTM) yang dipimpin oleh
KH Ubing. Tryana Sjam’un mendapat dukungan dari beberapa

186
Rahmatullah, “Peran Kiai dalam Pilkada Kabupaten Pandeg-
lang,” Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Mahasiswa Pasca-
sarjana, Universitas Gadjah Mada (UGM), 2008), 15.
187
Winters, Oligarchy, 15.
180 Oligarki dan Demokrasi...

pengurus Banten Communication Forum for Pesantren (Banten


FSPP), sedangkan Irsjad Djuwaeli mengandalkan dukungan dari
Mathla’ul Anwar dan Kiai Khozinul Asror dari NU.188
Persaingan pun cukup sengit untuk mendapatkan duku-
ngan kiai. Atut Chosiyah gagal mengamankan kesepakatan duku-
ngan dari kiai karena anggota-anggota dari Banten FSPP menolak
untuk mendukung Atut dan lebih memilih untuk tetap netral.
Faktanya, bagaimanapun, beberapa anggota senior dari organisasi
tersebut mendukung Zulkieflimansyah dan Tryana Sjam’un. Me-
respons penolakan dukungan dari FSPP, tim kampanye Atut
Chosiyah mendirikan Forum Komunikasi Pesantren Salafi
(FSPPS) dan akhirnya memenangkan pemilu. Pada 2007, gubernur
baru mengalokasikan anggaran senilai Rp750 juta per tahun untuk
pesantren, yang sebelumnya sudah disalurkan melalui FSPP.189
Menurut Hamid, dukungan dari kiai menjadi faktor pen-
ting bagi para politikus dalam memenangkan pemilu dan Pilkada.
Para politikus memanfaatkan kekuasaan mobiliasi190 kiai untuk
mendapatkan dukungan masyarakat lokal, sementara kiai menggu-
nakan kompetisi politik untuk mendapatkan keuntungan ekonomi
yang dalam kategori oligarki disebut sebagai kekuasaan mate-
rial.191 Keuntungan ekonomi bagi kiai bermakna semakin kuatnya
cengkraman kekuasaan material192 para politikus atas kiai. Per-
mintaan yang sesuai dengan suplai, politikus dan kiai sama-sama
aktif dalam melakukan pendekatan satu sama lain. La Ode
Asrarudin dari Golkar menyatakan bahwa politikus yang piawai
dalam kalkulasi secara tepat, kiai akan melakukan pendekatan
kepada mereka. Politikus memilih kiai dari Majelis Taklim karena
jamaah mereka tinggal di Banten. Sementara itu, kiai pesantren
tidak selalu menjadi target karena banyak santri mereka yang

188
Hamid, “Kiai in Banten,” 434.
189
Hamid, “Kiai in Banten,” 434.
190
Winters, Oligarchy, 15.
191
Winters, Oligarchy, 18.
192
Winters, Oligarchy, 18.
Ahmad Munjin 181

berasal dari luar Banten sehingga tidak memiliki hak suara dalam
suksesi kepemimpinan di Banten.193
Itulah kenyataan bagaimana kiai pascaera Orde Baru yang
berhenti menjadi broker budaya atau pembangkit perubahan
sosial, dan berubah haluan menjadi broker politik. Kondisi ini
terutama karena pesantren dan kiai lemah secara ekonomi. Jumlah
santri yang belajar di pesantren, khususnya pesantren Salafi me-
ngalami penurunan. Mereka tidak bisa bersaing dengan pendidikan
modern yang memberikan pengetahuan dan kecakapan yang
dibutuhkan dalam kehidupan modern. Akibatnya, pesantren men-
jadi punya ketergantungan sebagai institusi pendidikan, baik
dalam pengertian kurikulum maupun pendanaan mereka.194

2. Kekuasaan Mobilisasi Kiai sebagai Makelar Politik


Karena merelakan diri berada dalam bayang-bayang
kekuasaan material para politikus demi keuntungan ekonomi, kiai
menjadi lebih pragmatis secara terbuka, terutama dalam urusan
politik. Menurut Tb. Iman Ariyadi, pemilihan kepala daerah secara
langsung memberikan legitimasi yang kuat sebagai pialang politik
(political broker), bahkan memanfaatkan status tersebut bagi
kepentingan yang bersifat sosial-keagamaan ataupun pribadi.
Dengan aktifnya kiai dalam politik, seperti pemberian dukungan
terhadap kandidat atau partai, memberikan keuntungan secara
finansial terhadap diri kiai dan pesantren atau organisasi sosial
yang dipimpinnya.195Pada pemilu 2004, Kiai KA, seorang pim-
pinan NU di Pandeglang, menyarankan kepada seorang kandidat
bagi DPRD bahwa dia mendapatkan persetujuan dari 40 kiai
terkemuka di Pandeglang dan memobilisasi dukungan politik me-
reka yang disimbolkan dengan sebuah doa bersama. Kandidat
tersebut melakukan saran tersebut, menyiapkan keperluan yang
dibutuhkan, dan mengundang banyak orang. Sebelum doa bersama

193
Hamid, “Kiai in Banten,” 434-35.
194
Hamid, “Kiai in Banten,” 435.
195
Tb. Iman Ariyadi, “Kiai dan Jawara dalam Politik Banten,”
Gatra, 6 November 2013,25.
182 Oligarki dan Demokrasi...

dimulai, Kiai KA memohon kepada calon legislatif bahwa dia dan


empat puluh kiai dibayar kembali atas jasanya. Hal ini membi-
ngungkan calon karena mereka tidak membicarakan soal uang
sebelumnya. Bagaimanapun, karena mereka terlanjur mengirimkan
undangan dan media sudah memberitakan agenda tersebut, kandi-
dat memenuhi permintaan Kiai KA setelah negosiasi tertentu. Doa
bersama dilakukan terlebih dahulu.196
Dua pekan kemudian, kandidat tersebut tertegun melihat
kandidat DPRD lain mengadakan kegiatan serupa, doa bersama
dengan jumlah masa yang lebih besar tapi dengan kiai yang sama.
Kandidat tersebut pun berkesimpulan bahwa Kiai KA tidak lebih
dari event organizer yang mengadakan doa bersama demi uang,
tanpa benar-benar menawarkan dukungan politik. Muchtar Man-
dala, seorang kandidat yang didukung oleh PKB, memiliki penga-
laman dengan kejadian yang hampir mirip dengan kiai yang sama
ketika dia maju sebagai calon gubernur Banten. Kiai KA, seorang
yang sering berkunjung, menunjukkan dukungannya kepada
Muchtar Mandala. Akan tetapi, Muchtar menyadari bahwa kiai
tersebut sudah melakukan pendekatan kepada Kiai Muhtadi Dim-
yati, seorang anggota PKB yang lain, dan kandidat lain, sementara
masih merencanakan untuk memeras uang Muchtar Mandala. Kiai
KA dan kandidat lain tidak menyadari bahwa Kiai Muhtadi
Dimyati merupakan pendukung utama Muchtar Mandala.197
Kemakelaran kiai, menurut Hamid, tidak jauh berbeda
dengan pengalaman pada pemilihan presiden 2004, sejak arahan
dari ketua umum Golkar, Akbar Tanjung, tentang Koalisi Nasio-
nal bagi para Pimpinan dan Kader Golkar Banten di Pandeglang
pada 21 Agustus 2004. KH Ujang Rapiudin, seorang tokoh
agamalokal, berbicara blak-blakan tentang uang sebelum menutup
acara dengan doa. “Masyarakat tidak membutuhkan kaos atau foto
kandidat; yang terpenting adalah amplop berisi uang.”198 Pernya-
taan KH. Ujang Rapiudin tersebut jelas menunjukkan betapa
196
Hamid, “Kiai in Banten,” 435.
197
Hamid, “Kiai in Banten,” 435-36.
198
Hamid, “Kiai in Banten,” 436.
Ahmad Munjin 183

lemahnya sumber daya kekuasaan elite yang dimiliki kiai di hada-


pan sumber daya kekuasaan material yang melekat pada partai
Golkar. Meskipun, sumber daya kekuasan material199 Golkar
dalam konteks kampanye merupakan bagian kecil dari kekuasaan
oligarkis yang menguasai partai berlambang beringin tersebut.
Lebih jauh Hamid menjelaskan, para pejabat pemerintah
daerah juga paham bahwa mereka harus memberikan pendanaan
kepada kiai dan harus menjalin hubungan yang baik dengan me-
reka agar pekerjaan mereka berjalan mulus. Hamid mencontohkan,
direktur sebuah lembaga Pemda Banten, setiap saat dan seterus-
nya memberikan pendanaan proyek (di bawah Rp50 juta) kepada
seroang kiai terkemuka tanpa melalui prosedur penawaran
terbuka.200
Menurut Hamid, masyarakat melihat kecenderungan ini
dengan sangat sinis. “Di masa lalu, pemerintah mendekati kiai,
tapi sekarang kiai mendekati pemerintah”201 “Di masa lampau,
Banten merupakan tempat bagi ribuan kiai dan jutaan santri, tapi
sekarang, kiai mendapatkan jutaan [rupiah dari politikus dan
pemerintah] dan santri mendapatkan ribuan [rupiah dari kiai].”202
Pada saat yang sama, kiai juga melihat kekuasaan mereka
juga secara sinis. Menyadari lemahnya posisi mereka, para kiai
menganalogikan diri mereka, menurut Abdul Hamid, sebagai
“janur kuning”—semata dekorasi untuk menandakan meriahnya
sebuah pesta tapi dilupakan dan bahkan dibuang sesaat setelah
pesta usai. Kiai dengan kekuasaan mobilisasi203 melalui kharisma-
nya telah dimanfaatkan oleh para aktor politik untuk memberikan
legitimasi bagi kelompok tertentu, tapi segera dilupakan sesaat
pemilu selesai.204

199
Winters, Oligarchy, 18.
200
Hamid, “Kiai in Banten,” 436.
201
Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan
(Yogyakarta: LKIS, 2003).
202
Hamid, “Kiai in Banten,” 436.
203
Winters, Oligarchy, 15.
204
Hamid, “Kiai in Banten,” 436-437.
184 Oligarki dan Demokrasi...

Apakah dukungan dari kiai menjamin dukungan dari


masyarakat? Pada praktiknya, para politikus mengakui bahwa
dukungan dari kiai tidak sesignifikan seperti yang diharapkan.
Zulkieflimansyah mengadakan kegiatan di mana ribuan ulama
yang merepresentasikan kekuasaan mobilisasi205mendeklarasikan
dukungan mereka bagi pencalonannya untuk gubernur Banten di
Lebak. Kenyataannya, dia hanya mendapatkan persentase suara
yang tidak signifikan di Lebak.206
Satkar Ulama dan FSPPS menawarkan dukungan meraka
bagi Atut Chosiyah. Akan tetapi, ini juga dianggap tidak signifi-
kan dibandingkan dengan dukungan kekuasaan mobilisasi,207
kekuasaan material,208 dan dalam konteks tertentu kekuasaan
koersif209 dari keluarga dan jawara di bawah kekuasaan ayahnya
Chasan Sochib. Kiai yang mengikuti kegiatan para politikus
mungkin percaya bahwa partisipasi mereka tidak berarti dukungan
sepenuhnya. Pada kenyataannya pun kondisi ini tidak jarang bah-
wa kiai membingungkan anggota masyarakat mereka dengan
menunjukkan loyalitas melalui kekuasaan mobilisasinya210 itu
kepada lebih dari satu kandidat demi mendapatkan dukungan
materi.211 Menurut juru bicara keluarga Ratu Atut Chosiyah,
Fitron Nur Ikhsan, dukungan dari kiai jauh lebih penting dalam
membangun citra sebagai seorang Muslim yang baik dibandingkan
dukungan suara riil. Fitron berasumsi, bahwa di Banten, hubungan
dekat dengan kiai memiliki konotasi yang positif.212
Meski begitu, tetap faktornya utamanya adalah mengguri-
tanya sumber daya ekonomi yang dimiliki klan Ratu Atut Chosi-
yah. Termasuk para kiai yang dimobilisasi oleh kekuatan logistik

205
Winters, Oligarchy, 15.
206
Hamid, “Kiai in Banten,” 437.
207
Winters, Oligarchy, 15.
208
Winters, Oligarchy, 18.
209
Winters, Oligarchy, 15.
210
Winters, Oligarchy, 18.
211
Hamid, “Kiai in Banten,” 437.
212
Hamid, “Kiai in Banten,” 437.
Ahmad Munjin 185

mereka. Ada gula, ada semut. Terutama, yang dekat dengan


kelompok jawara, yaknikiai-kiai pragmatis, bukan kiai khos yang
kharismatik.Di Banten, kiai-kiai khos seperti di Jawa Timur sudah
berkurang. Jawa Timur punya kiai yang menjadi panutan. Dulu
Banten juga punya kiai khos, seperti Abuya Dimyati. Sepeninggal
Abuya Dimyati tidak ada lagi kiai yang menjadi center. Tidak ada
kiai yang menjadi pusat rujukanyang dituruti oleh semua kiai.
Sekarang, masing-masing kiai punya pandangan politik yang
berbeda-beda karena terfragmentasi. Kiai punya otoritas kekuasa-
annya sendiri. Sebagian, bahkan menjadi korban politicalbuying.
Disertasi Iman Ariyadi di Universitas Indonesia menunjukkan
beberapa kiai yang juga pragmatis mendukung Ratu Atut Chosi-
yah pada Pilgub 2011.213
Saat Ratu Atut Chosiyah masih menjadi gubernur, kiai-
kiai yang dulu membantu dalam pemenangan pemilihan gubernur,
mendapat fasilitas umrah. Dengan cara ini, Ratu Atut Chosiyah
dan klannya merajai semua lapisan masyarakat. Kiai, jawara, dan
LSM dikooptasi. Dinasti ini dinilai sangat sempurna dibandingkan
dinasti di provinsi lain. Sebab, melibatkan berbagai macam pihak
dan logistik. Pihak LSM menilai sangat tidak beretika ketika
kemudian para kiai diseret-seret ke dalam ranah politik praktis
untuk kepentingan mereka. Mereka mendatangi para kiai dan
tentu para kiai menerima dengan tangan terbuka. Akan tetapi,
bukan berarti kiai yang datang kepada mereka. Kiai yang loyal
sering muncul mendampingi Andika Hazrumy saat pencalonan
wakil gubernur di 2017. Dalam konteks ini, terdapat kiai yang
loyal kepada dinasti tapi ada juga yang tidak loyal.214
Haji Embay Mulya Syarieftermasuk kiai yang tidak loyal
dan keras kepada dinasti. Dia tokoh agama karena berpredikat
sebagai ulama tapi anti terhadap dinasti Atut Chosiyah. Padahal,
dia masih memiliki hubungan keluarga dengan Tb. Chasan Sochib.

213
Tb. Iman Ariyadi, “Peran Kiai dalam Pemilihan Gubernur
Provinsi Banten 2011” (Disertasi doktor Unitversitas Indonesia, 2014).
214
Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten
Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018.
186 Oligarki dan Demokrasi...

Jadi, tidak semua kiai terkooptasi oleh Tb. Chasan Sochib dan
klannya.Di awal-awal, Embay juga memang merupakan kaki
tangan Tb. Chasan Sochib dan terlibat banyak proyeknya. Akan
tetapi, setelah melihat gejalanya tidak sehat seperti terjadi korupsi
luar biasa di era Sochib, Embay mundur dan jelas terang-terangan
melawan dinasti. Perlawanan ini dibuktikan ketikda dia menjadi
calon wakil gubenur berpasangan dengan Rano Karno pada Pilgub
2017 untuk melawan dinasti, meski pada akhirnya kalah. Perlawa-
nan itu sudah lama dilakukan.215
Selain perlawanan dari Embay, ada juga kiai lain yang
justru militan dan bahkan mengharamkan perempuan menjadi
imam (gubernur).216 Dengan demikian, tidak semua kiai masuk
pada dunia politik di mana kiai melakukan barter kekuasaan
mobilisasinya dengan kekuasaan material217 para politikus dari
klan Ratu Atut Chosiyah. Menurut Hamid, Kiai Munfasir di
Ciomas adalah salah satu kiai di Banten yang tetap tidak tertarik
dengan politik. Dia tinggal di sebuah kehidupan yang terisolasi
dari pengaruh hiruk-pikuk kepentingan politik dengan berbagai
sumber daya kekuasaannya baik sebagai elite maupun oligarki.
Kiai ini terisolasi di pesantrennya, Cipulus, Ciomas, Banten.
Pesantrennya merupakan rumah bagi sedikit santri saja. Mereka
yang berminat belajar di situ tidak diizinkan memakan apapun
dari luar pesantren. Mereka cukup makan nasi, ikan, dan buah-
buahan seperti pisang dan papaya yang tumbuh di pesantren
tersebut.218

215
Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten
Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018.
216
Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem-
baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang
Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus,
2018.
217
Winters, Oligarchy, 18.
218
Hamid, “Kiai in Banten,” 437.
Ahmad Munjin 187

Beberapa kiai dengan kekuasaan mobilisasinya219 justru


mendirikan kelompok radikal, menolak partisipasi politik dalam
gaya demokratis. Di antara mereka adalah Front Hizbullah yang
didirikan oleh KH Cecep Bustomi dari Pandeglang. Tujuan dari
kelompok tersebut adalah mengimplementasikan syariat Islam dan
melawan semua bentuk perbuatan jahat. Front Hizbullah menerap-
kan metode radikal dalam mencapai tujuan-tujuannya. Kelompok
ini mendorong anggota-anggotanya untuk menggunakan kekuasa-
an koersif220 dan mobilisasinya221 untuk menghancurkan atau
mengganggu apapun yang mereka pikir terkontaminasi elemen-
elemen kejahatan. Kategori elemen kejahatan termasuk beberapa
bentuk hiburan yang ditampilkan pada acara pernikahan ataupun
khitanan. Para anggota secara aktif terlibat dalam aksi-aksi des-
truktif pada 1999 dan 2000. Akan tetapi, aktivitas mereka menjadi
lemah setelah meninggalnya Kiai Cecep Bustomi karena temba-
kan dari penyerang tak dikenal pada 24 Juli 2000, sebagai akibat
dari konflik kelompoknya dengan Kopassus.222
Kasus lain bahwa kiai terlibat kekerasan sebagai represen-
tasi kekuasaan koersif223 adalah pengepungan masa terhadap
gedung Koran Banten Daily yang dipimpin oleh Kiai Aminuddin,
pimpinan cabang PKB Provinsi Banten. Mereka memprotes atas
sebuah foto yang tercetak dalam koran tersebut menunjukkan de-
monstran membawa sebuah karikatur Abdurrahman Wahid (presi-
den saat itu). Isu tersebut kemudian teratasi dengan intervensi
melalui kekuasaan jabatan resmi224 dari Hakamuddin Jamal,
penjabat gubernur Banten saat itu.225
Menurut Hamid, dua kasus tersebut tampaknya, bagaima-
napun, bukan mainstream melainkan pengecualian. Jarang terjadi

219
Winters, Oligarchy, 15.
220
Winters, Oligarchy, 15.
221
Winters, Oligarchy, 15.
222
Hamid, “Kiai in Banten,” 437-38.
223
Winters, Oligarchy, 15.
224
Winters, Oligarchy, 13-14.
225
Hamid, “Kiai in Banten,” 438.
188 Oligarki dan Demokrasi...

konflik kekerasan yang berhubungan dengan Islam di Banten,


meskipun muncul radikalisme agama di Indonesia pada era pasca-
Soeharto secara umum.226 Yang jelas, kiai semakin pragmatis se-
cara politik sehingga kekuasaan mobilisasi227 mereka terkooptasi
oleh kekuasaan material228 para politikus. Akibatnya, kekuasaan
kiai yang dengan kekuasaan mobilisasi mereka menggunakan
pengaruh politiknya terhadap masyarakat, mengalami perubahan.
Kekuasaan mereka sebagai broker kultural pada periode penjaja-
han berubah menjadi broker politik pada era Suharto, dan akhirnya
meminjam istilah Abdul Hamid, berperan sebagai ‘janur kuning’
pada era reformasi. Kiai coba memenuhi kebutuhan dasar mereka
dengan “menjual” masyarakat yang mereka klaim punya pengaruh
kepada mereka melalui kekuasaan mobilisasinya. Namun demiki-
an, lanjut Hamid, mereka sebenarnya memegang daya tawar
(bargaining position) yang lemah baik bagi para politikus maupun
partai-partai politik.229
Abdul Hamid menegaskan kiai di Banten tidak mampu
memengaruhi hasil pemilihan secara signifikan. Mereka hanya
“janur kuning” tanpa kharisma yang diabaikan pascapemilihan. Di
mata masyarakat, kiai yang terlibat politik tidak lagi menjadi pa-
nutan (role model) yang harus diikuti sehingga menggerus kekua-
saan mobilisasinya.230 Di mata para politikus pun, memanfaatkan
kiai untuk dukungan tidak lagi menjadi jaminan dengan hasil yang
memuaskan. Di mata kiai, menerima bantuan materi (kekuasaan
material)231 dalam politik praktis mencerminkan tidak lebih dari-
pada sebuah kesadaran dari kekuasaan mereka sebagai “janur
kuning.” Itulah kekuasaan politik kiai di Banten sekarang ini,
tidak kurang dan tidak lebih.232

226
Hamid, “Kiai in Banten,” 438.
227
Winters, Oligarchy, 15.
228
Winters, Oligarchy, 18.
229
Hamid, “Kiai in Banten,” 440
230
Winters, Oligarchy, 15.
231
Winters, Oligarchy, 18.
232
Hamid, “Kiai in Banten,” 440
Ahmad Munjin 189

Di atas semua itu, jelas terlihat bahwa pada mulanya kiai


merupakan agen kultural dengan kekuasaan mobilisasinya yang
dominan sebagai individu kharismatik pada era revolusi. Kekua-
saan tersebut mulai pudar pada era Orde Baru karena rongrongan
kekuasaan material dan represif dari rezim yang justru mengikis
kekuasaan mobilisasi kiai. Kondisi itu berlanjut hingga era
reformasi sehingga para kiai terjebak pada politik praktis dengan
‘menjual’ klaim atas sisa-sisa kharisma yang menjadi modal
kekuasaan mobilisasi mereka.

3. Penguatan Jawara dengan Kekuasaan Oligarkis


Pada era reformasi, khususnya setelah Banten menjadi
sebuah provinsi pada tahun 2000, menurut Hamid, kekuatan poli-
tik yang riil telah berpindah dari kiai ke jawara.233 Kekuasaan
oligarkis234 mengejawantah dalam kekuatan politik jawara terse-
but. Sebab, kekuatan politik jawara pada era Reformasi tidaklah
muncul sebagai jawara tulen melainkan jawara yang baru, yakni
jawara-pengusaha yang benih-benihnya tumbuh sejak era Orde
Baru. Kepengusahaan jawara inilah yang melandasi kategorinya
sebagai oligarki karena basis kekuasaanya ditopang oleh kekayaan
di mana kekuatan materialnya itu sudah bertambah besar di bawah
rezim Orde Baru.
Pemerintah Orde Baru mendirikan Satkar Jawara pada
1972 (yang akhir 1973 berubah menjadi PPPSBBI) di Batuku-
wung, Serang sebagai sebuah organisasi yang otonom di dalam
Golkar untuk mendukung potensi Jawara di Banten. Pemerintah
berharap jawara bertindak sebagai pemimpin informal bagi masya-
rakat lokal. H. Tubagus Chasan Sochib memimpin Satkar Jawara
sejak pendiriannya.235 Dalam waktu singkat, Chasan Sochib men-
jadi tokoh jawara yang dominan baik dalam pengertian elite mau-
pun sebagai oligark.

233
Hamid, “Kiai in Banten,” 438.
234
Winters, Oligarchy, 18.
235
Hamid, “Kiai in Banten,” 438.
190 Oligarki dan Demokrasi...

Seiring bergulirnya reformasi, Chasan Sochib mampu


mentransformasikan dirinya ke dalam struktur politik dan ekono-
mi yang baru. Padahal, kejatuhan Soeharto pada Mei 1998, bagai-
mana pun, mengubah sistem pemerintahan informal ini. Sochib
yang merupakan produk Orde Baru pun sejatinya terancam.236
Akan tetapi, meminjam kerangka teoretis Richard Robison dan
Vedi R. Hadiz, Chasan Sochib adalah the old predator237 yang
mampu mengorganisasi kekuasaannya sehingga dia bertahan dari
gerusan arus perubahan reformasi. Chasan Sochib mampu menjel-
ma menjadi the new predator yang menguasai arena politik,
ekonomi, sosial-budaya di Banten. Dalam kasus Banten, Chasan
Sochib pada era Reformasi bahkan jauh lebih berkuasa diban-
dingkan era Orde Baru.238
Padahal, pada awal perubahan provinsi Banten, Chasan
Sochib sinis melihat gerakan dari sejumlah pihak yang menuntut
Banten menjadi provinsi baru. Sochib khawatir perubahan terse-
but akan mengancam keberlangsungan relasi bisnis yang menjadi
basis kekuasaan material239 dan politiknya dengan pejabat di pro-
vinsi Jawa Barat. Teguh Iman Prasetya, dosen FISIP Universitas
Tirtayasa, Boyke (tokoh Banten), Nina Lubis, sejarawan dari
Bandung, dalam diskusi di Hotel Mahadria, Serang, pernah
diancam golok yang merepresentasikan kekuasaan koersif240 oleh
Chasan agar tidak mendukung pembentukan provinsi Banten.241
Akan tetapi, seiring membesarnya arus gerakan pembentukan
provinsi Banten, sikap Sochib segera berbalik dan berperan aktif

236
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 118-19.
237
Richard Robison dan Vedi R. Hadiz, Reorganising Power in
Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Market (London dan
New York: Routledge Curzon, 2004), 223.
238
Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, “Dinasti Tb. Chasan
Sochib.”
239
Winters, Oligarchy, 18.
240
Winters, Oligarchy, 15.
241
Asrori S. Karni dan Gandi Achmad, “Ujung Tanduk Dinasti
Atut,” Gatra, 16 Oktober 2013, 26.
Ahmad Munjin 191

dalam pembentukan Banten sebagai provinsi baru yang terpisah


dari Jawa Barat. Belakangan, perubahan sikap Sochib tersebut jus-
tru menyelamatkan masa depan bisnis dan politiknya di Banten.
Bisnis itulah yang sebenarnya telah mengantar Sochib
masuk ke dalam kelompok orang terkaya di Banten dan mende-
finisikan dia sebagai seorang oligark sultanistik.242 Namun demi-
kian, tidak ada data resmi yang menunjukkan berapa total keka-
yaan Sochib secara pribadi yang menggurita tersebut. Data
tersebut baru bisa terlacak pada total kekayaan beberapa anggota
keluarga besarnya yang menempati jabatan publik, yakni melalui
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) di
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagian besar harta
kekayaan diklaim anggota keluarga besarnya sebagai warisan dari
Sochib.243
Dengan sumber daya kekuasaan materialnya, Sochib
membantu gerakan pemekaran dan mendapatkan pengakuan seba-
gai salah satu tokoh pembentukan provinsi Banten.244 Pengakuan
tersebut merupakan hasil dari pengorbanan kekuasaan material245
yang bebuah kekuasaan jabatan resmi246 yang disematkan oleh
masyarakat secara tidak langsung, yakni sebagai tokoh pemben-
tukan provinsi baru. Setelah Banten menjadi provinsi, Sochib
lebih agresif menyusun kekuatan politiknya. Pada masa Orde
Baru, Sochib hanya bertindak sebagai mitra kapitalis yang sangat
bergantung pada koneksi dengan pejabat sipil dan militer tetapi
tidak aktif dalam merancang siapa yang berkuasa atas politik Jawa
Barat. Dengan adanya struktur politik baru pascapembentukan

242
Winters, Oligarchy, 35.
243
Rakhmatulloh, “Harta Berlimpah, Keluarga Atut Klaim Wari-
san Ayahnya,” Sindonews.com, Sabtu, 12 Oktober 2013, diakses pada
Kamis, 3 November 2016, http://nasional.sindonews.com/read/793800/
13/harta-berlimpah-keluarga-atut-klaim-warisan-ayahnya-1381564726.
244
Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, “Dinasti Tb. Chasan
Sochib.”
245
Winters, Oligarchy, 18.
246
Winters, Oligarchy, 13-14.
192 Oligarki dan Demokrasi...

provinsi Banten, Sochib pun bertindak secara aktif menentukan


siapa yang menjadi penguasa di Banten.247 Tindakannya ini juga
mencirikan dia sebagai oligark sultanistik248 karena Sochib me-
ngendalikan oligark-oligark lain.
Bermula dari upaya memajukan anaknya Ratu Atut Chosi-
yah sebagai calon wakil gubernur pada 2001 dan sukes meme-
nangkannya, Chasan Sochib sukses merancang anggota keluarga
besarnya untuk terlibat aktif di bidang politik, ekonomi, sosial,
dan budaya. Sochib memang tidak memegang jabatan publik, teta-
pi sebagaimana pengakuan dirinya, dia adalah “gubernur jenderal”
yang menunjukkan bahwa dia adalah penguasa sesungguhnya di
Banten.249
Dengan kekuasaan mobilisasinya250 sebagai tokoh jawara,
dia kemudian berusaha mengontrol Satkar Ulama. Meski Chasan
Sochib bukanlah seorang kiai, Sochib memenangkan pemilihan
ketua Satkar Ulama dalam kongres nasional pada tahun 2000,
mengalahkan Kiai Salman Al Faris pada pemungutan suara puta-
ran kedua. Kiai Salman menduga bahwa jawara melakukan inter-
vensi dengan mengganti suara pada kongres tersebut. Kondisi ini,
menurut Hamid, merupakan paradoks yang ironis. Sebab, dalam
fakta yang terang, secara historis jawara merupakan murid atau
bahkan pelayan bagi kiai.251
Nasib serupa terjadi dengan Satkar Ulama Cabang Banten.
Kiai Syahrir Abror, seorang mantan Satpam salah satu perusahaan
di Cilegon, mengambil alih jabatan ketua cabang dari Kiai Subroni
Mansyur pada 2002. Kiai Syahrir bukan berasal dari lingkaran
pesantren, dan dilaporkan dia tidak bisa menulis bahasa Arab

247
Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, “Dinasti Tb. Chasan
Sochib.”
248
Winters, Oligarchy, 35.
249
Okamoto Masaaki, “Local Politics in Decentralized Indone-
sia: The Governor General of Banten Province,” IIAS Newsletter 34 (Juli
2004): 23.
250
Winters, Oligarchy, 15.
251
Hamid, “Kiai in Banten,” 438-39.
Ahmad Munjin 193

dengan benar. Namun demikian, dia memainkan kekuasaan pen-


ting sebagai broker politik dan berkontribusi pada kemenangan
Atut Chosiyah pada pemilihan gubernur 2006 dengan kekuasaan
mobilisasinya. Salah satu bukti konkretnya adalah Satkar Ulama
Cabang Banten yang mengadakan doa bersama dengan ribuan
ulama (kekuasaan mobilisasi) untuk mendoakan kemenangan Atut
Chosiyah dalam pemilihan.252
Dari sisi kekayaannya, Sochib jelas memiliki sumber daya
kekuasaan material253 yang mumpuni. Dari sisi koordinasinya
terhadap para jawara, Sohib juga memiliki kekuasaan mobili-
sasi.254 Dua sumber daya kekuasaan tersebut (material dan mobili-
sasi) digunakan Sochib secara berkelindan dan seringkali diwarnai
dengan sumber daya kekuasaan lain, yakni kekuasaan koersif255
sebagai karakteristik kejawaraannya. Salah satu bukti bahwa
Sochib menggunakan kekuasaan koersifnya adalah kasus ‘pemera-
san proyek’. Menurut Syarif Hidayat, kasus tersebut berakar pada
praktik-praktik monopolistik dalam eksekusi proyek-proyek
infrastruktur fisik milik pemerintah provinsi Banten selama tahun
fiskal 2003.256

252
Hamid, “Kiai in Banten,” 439.
253
Winters, Oligarchy, 18.
254
Winters, Oligarchy, 15.
255
Winters, Oligarchy, 15.
256
Mengacu pada Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/
Jasa Instansi Pemerintah khususnya pada pasal 12 ayat 2, pengadaan ba-
rang/jasa pemborongan dan jasa lainnya dilaksanakan melalui: (a) Pelela-
ngan, yaitu serangkaian kegiatan untuk menyediakan kebutuhan barang/
jasa dengan cara menciptakan persaingan yang sehat di antara penyedia
barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat, berdasarkan metode dan
tata cara tertentu yang telah ditetapkan dan diikuti oleh pihak-pihak
yang terkait secara taat azas sehingga terpilih penyedia jasa terbaik; (b)
Pemilihan langsung, yaitu jika cara pelelangan sulit dilaksanakan atau
tidak menjamin pencapaian sasaran, dilaksanakan dengan cara memban-
dingkan penawaran dari beberapa penyedia barang/jasa yang memenuhi
syarat melalui permintaan harga ulang (price quotation) atau permintaan
194 Oligarki dan Demokrasi...

Berdasarkan Dokumen Anggaran Satuan Kerja (DASK)


Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Banten, dike-
tahui bahwa nilai total dari anggaran konstruksi Banten tahun
fiskal 2003 baik yang berasal dari APBD maupun dari APBN,
sekitar Rp35 miliar. Dari anggaran tersebut, pemerintah provinsi
Banten mendanai beberapa proyek pembangunan fisik dan non-
fisik.
Menurut Syarif Hidayat, dalam pengertian formal, hampir
semua proyek pembangunan pemerintah provinsi Banten selama
tahun fiskal 2003 dilaksanakan melalui tender. Akan tetapi, keba-
nyakan dari tender-tender tersebut semata formalitas untuk
memenuhi prosedur administratif. Pada kenyataannya, lanjut dia,
pemenang tender sudah ditentukan sebelumnya. Chasan Sochib
dengan kekuasaan mobilisasi257 dan materialnya258 memainkan
peran penting dalam memengaruhi panitia tender dan tokoh
penting lain. Modus operandinya bermacam-macam mulai dari
lobi-lobi informal yang merepresentasikan kekuasaan mobilisasi-
nya259 dengan pejabat-pejabat lokal dan distribusi amplop (suap)
yang merepresentasikan kekuasaan materialnya260 hingga intimi-
dasi fisik yang merepresentasikan kekuasaan koersifnya.261 Namun
demikian, Syarif Hidayat mengaku kesulitan untuk mengetahui
nilai persis dari proyek-proyek yang dikelola langsung oleh
Chasan Sochib262 yang mengambarkan seberapa besar kekuasaan
materialnya.263 Sebab, Sochib memiliki perusahaan-perusaan yang

teknis dan harga serta dilakukan negosiasi secara bersaing, baik dila-
kukan untuk teknis maupun harga, sehingga diperoleh harga yang wajar
dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan. Lihat juga Hidayat,
“Shadow State,” 218.
257
Winters, Oligarchy, 15.
258
Winters, Oligarchy, 18.
259
Winters, Oligarchy, 15.
260
Winters, Oligarchy, 18.
261
Winters, Oligarchy, 15.
262
Hidayat, “Shadow State,” 219.
263
Winters, Oligarchy, 18.
Ahmad Munjin 195

terdaftar tidak atas nama dirinya, bahkan seringkali menggunakan


perusahaan-perusahaan lain yang bukan miliknya sebagai strategi
untuk memenangkan tender. Meski tidak terdaftar atas nama
dirinya, Chasan Sochib tetap yang paling berkepentingan dalam
proyek-proyek konstruksi fisik.264 Strategi itu telah mengantarkan
Chasan Sochib menjadi salah satu di antara pengusaha kelas atas
dalam sektor konstruksi. Inilah yang sangat mengutungkannya
sehingga mendefinisikan dirinya sebagai oligark.
Pada 2003, Syarif Hidayat mencatat, nilai total dari pem-
bangunan fisik dan/atau proyek-proyek konstruksi mencapai kisa-
ran Rp18 miliar. Angka ini merupakan 51,4% dari anggaran
pembangunan total provinsi Banten pada tahun tersebut. Sebagian
besar dari proyek-proyek tersebut terkonsentrasi pada enam
lembaga yang melaksanakan proyek-proyek pemda. Keenam lem-
baga tersebut adalah Dinas Bina Marga (konstruksi dan pemeliha-
raan jalan dan jalan raya sekitar Rp3 miliar; Dinas Cipta Karya
(perumahan, gedung, dan pembangunan perkotaan, sekitar Rp4
miliar); Perbaikan irigasi (sekitar Rp2,5 miliar); pelayanan keseha-
tan (sekitar Rp4,6 miliar); dan biro peralatan (sekitar Rp2
miliar).265
Lebih jauh Syarif Hidayat menengarai, Chasan Sochib
menggunakan kekuasaan koersifnya dengan membebankan biaya
tambahan kepada para pesaingnya dalam tender. Untuk proyek
yang tidak dilakukan oleh Sochib sendiri atau tidak dialokasikan
untuk pelaku usaha di kelompoknya, biaya proyek dikenakan 10%
sampai 11% dari nilai proyek. Persentase biaya proyek itu, berda-
sarkan kategori kegiatan dan sumber pendanaan, dapat dilihat
pada Tabel 3.5. berikut ini:

264
Hidayat, “Shadow State,” 219.
265
Hidayat, “Shadow State,” 219-20.
196 Oligarki dan Demokrasi...

Tabel 3.5. Biaya Proyek Berdasarkan Kategori Aktivitas dan


Sumber Pendanaan
Biaya Proyek Berdasarkan
No Klasifikasi Proyek Sumber Pendanaan (%)
APDB APBN
Proyek Jalan dan Jalan
1 10 11
Tol
2 Proyek Irigasi 11 11
Proyek Konstruksi
3 10 10
Gedung
Proyek Pengadaan
4 10 10
Barang
Sumber: Dikutip dari surat edaran yang dikirim pada 12 April 2002
kepada seorang operator bisnis yang pernah menjalankan pro-
yek dengan klasifikasi K-1.266

Fitron Nur Ikhsan, Juru bicara keluarga Ratu Atut Chosiah


menjelaskan konteks biaya tambahan tersebut. Menurut Fitron,
biaya tersebut merupakan bagi hasil. Sebab, selain strategi pem-
berdayaan untuk banyak orang, Tb. Chasan Sochib juga mengka-
der banyak orang. Oleh karena itu, tidak ada pembedaan antara
pengusaha kelompok Sochib dan di luar kelompok. Semua pengu-
saha yang ikut tender dipastikan merupakan kader dari Tb. Chasan
Sochib. Sebagai tokoh pengusaha dan ketua Kadin, Tb. Chasan
Sochib banyak membantu orang yang mau belajar berusaha dan
mendirikan perusahaan bahkan dari awal atau nol. Dia juga
membantu proses pengadaan langsung (PL)267 kadernya. Yang
266
Proyek dengan klasifikasi K-1 adalah kualifikasi dari usaha
kecil milik pelaksana konstruksi yang mensyaratkan kekayaan bersih le-
bih dari Rp50 juta sampai dengan Rp200 juta. Lihat juga Hidayat, “Sha-
dow State,” 219-20.
267
Menurut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010
pasal 1Angka 32, Pengadaan Langsung (PL) adalah pengadaanbarang/
jasa langsung kepada penyedia barang/jasa, tanpa melalui pelelangan/se-
leksi/ penunjukan langsung. Bedakan dengan angka 31, bahwa Penunju-
Ahmad Munjin 197

tidak memiliki modal, diberikan modal; yang tidak bisa mencari


proyek, tidak perlu khawatir, dicarikan proyek; dan yang tidak
bisa mengerjakan proyek, diajarkan sampai bisa mengerjakan
proyek. Setelah jadi dan bisa menjalankan perusahaannya, kader
tersebut mendapatkan pekerjaan untuk melaksanakan proyek milik
Tb. Chasan Sochib. Akan tetapi, nanti keuntungannya akan diba-
gi. Oleh karena itu, tak perlu punya perusahaan pun, dia punya
banyak uang. Sebab, keuntungan dari orang-orang yang dibantu
dan dikader itu kemudian disetor sebagian kepada Tb. Chasan
Sochib sebagai bagi hasil. Itulah yang kemudian diasosiasikan
dalam banyak riset sebagai setoran. Padahal itu sebenarnya meru-
pakan bagi hasil. Meskipun, konsekuensinya Chasan Sochib pada
akhirnya memonopoli dunia usaha.268 Setoran tersebut juga dinilai
oleh pihak BPS Provinsi Banten sebagai biaya ekonomi tinggi.269
Memang, secara perusahaan bisa saja bukanlah milik Tb.
Chasan Sochib dan semua orang Banten bisa mengikuti tender.
Akan tetapi, jika seorang pengusaha mendapatkan proyek dan
keuntungan, harus dibagi dengan Tb. Chasan Sochib. Sebab,
Sochib juga ikut memodalinya dan mengajarinya dari pemula.

kan Langsung adalah metode pemilihan Penyedia Barang/Jasa dengan


cara menunjuk langsung 1 (satu) Penyedia Barang/Jasa; dan angka 26
yang menyebutkan bahwa Pemilihan Langsung adalah metode pemilihan
Penyedia Pekerjaan Konstruksi untuk pekerjaan yang bernilai paling
tinggi Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Salah satu upaya perce-
patan penyerapan anggaran dalam pengadaan barang dan jasa melalui
Pengadaan Langsung (PL) adalah terbitnya Perpres Nomor 70 tahun
2012 yang antara lain poin pentingnya adalah peningkatan batas nilai
pengadaan langsung non konsultansi dari sampai dengan Rp100 juta
menjadi Rp200 juta.
268
Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara
Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019,
di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017.
269
Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Nera-
ca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang,
Senin, 30 Oktober 2017.
198 Oligarki dan Demokrasi...

Itulah yang terlembagakan oleh khalayak dan para pengamat seo-


lah-olah menjadi setoran kepada jawara Tb. Chasan Sochib.
Mungkin pada awalnya, karena Tb. Chasan Sochib merupakan
seorang jawara, dalam proses tender terjadi sedikit pemaksaan dan
unsur kekerasan. Akan tetapi, pada tender-tender berikutnya,
prosesnya sudah mulai stabil. Akibatnya, kalau ada proses hukum
pun yang menjeratnya, Tb. Chasan Sochib bahkan menjadi kehila-
ngan lawan. Sebab, lawan tersebut sudah menjadi bagian dari Tb.
Chasan Sochib. Jika ada 10 perusahaan yang ikut tender, bisa jadi
itu merupakan perusahaannya dan milik orang-orang yang dia
kader. Semua perusahaan dibina dan diajari oleh Tb. Chasan
Sochib sehingga memiliki banyak kader. Kalau dia sudah domi-
nan, siapa lagi yang bisa mengalahkan tendernya karena dia paling
bonafid.270
Kekuasaan koersif271 dari Sochib juga mengejawantah
dalam bentuk isu 'premanisme proyek'. Beberapa anggota DPRD
Banten mencurigai adanya 43malpraktek dalam pengelolaan
proyek-proyek pemerintah provinsi Banten. Kecurigaan pertama
kali muncul dengan adanya laporan resmi dari Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) kepada Ketua DPR-RI pada tanggal 19 Februari
2003.272 Kecurigaan awal praktik premanisme proyek kemudian
muncul pada tanggal 26 Agustus 2003, ketika Fraksi Amanat

270
Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara
Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019,
di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017.
271
Winters, Oligarchy, 15.
272
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan, “Hasil audit
mengungkapkan 14 temuan dengan nilai Rp24,207.67 juta untuk tahun
anggaran 2002 (sampai Oktober), yang dikategorikan menjadi indikasi
kerugian daerah atau negara sebesar Rp5,497.46 juta, tergerusnya penda-
patan daerah atau negara sebesar Rp 333.330.000, pemborosan
Rp10,191.02 juta, inefektivitas Rp8,09.81 juta, dan lain-lain sebesar
Rp94.050.000.” Lihat audit dokumen untuk semester kedua Tahun Ang-
garan 2002, halaman 1-2, BPK.
Ahmad Munjin 199

Bintang Keadilan (ABK) DPRD Provinsi Banten mengajukan


Catatan Akhir Fraksi dalam menanggapi Nota Keuangan gubernur
pada revisi dari APBD untuk tahun 2003.273
Meskipun naskah catatan akhir dari Fraksi ABK tidak
secara eksplisit menyatakan bahwa praktik-praktik premanisme
proyek telah terjadi di provinsi Banten, dan tidak secara langsung
menuduh lembaga-lembaga tertentu atau aktor-aktor yang terlibat
dalam konstelasi ini, pernyataan lisan dan tertulis dari Fraksi ABK
ini berfungsi sebagai faktor pemantik untuk perdebatan lebih jauh
mengenai isu pemerasan proyek di dalam gedung DPRD yang
pada akhirnya berkembang menjadi topik yang dikonsumsi masya-
rakat. Selang sehari setelah Fraksi ABK menyampaikan catatan
akhirnya dalam sidang pleno DPRD Provinsi Banten, perbinca-
ngan mengenai praktik-praktik pemerasan proyek meluas ke luar
gedung DPRD. Polemik di media massa pun antara Chasan Sochib
dan Fraksi ABK tak terelakkan lagi.274
Pada 27 Agustus 2003, Fajar Banten, harian terkemuka di
Banten melansir sebuah laporan dengan headline Chasan Sochib
menolak keberadaan pemerasan proyek. Chasan Sochib, dilapor-
kan, mengatakan bahwa tuduhan pemerasan proyek yang dikemu-

273
Dalam menyajikan Catatan Akhir Fraksi ABK, pemimpin
fraksi menyatakan, “Kami juga ingin menyampaikan terima kasih kepada
semua anggota masyarakat Banten, seperti yang kita semua berbagi per-
sepsi yang sama tentang premanisme proyek. Hanya dengan merobek
keluar praktik menjijikkan ini dengan akar-akarnya dapat perjalanan pro-
vinsi tercinta terhadap pengembangan lanjutkan seperti yang diingin-
kan. Selama perilaku premanisme proyek ini terus berlanjut, tidak peduli
seberapa besar anggaran yang dialokasikan untuk mengembangkan pro-
vinsi kita tercinta, hasil tidak akan pernah mencapai target. Orang-orang
dari Banten tidak akan pernah bisa menikmati kemajuan dan kemakmu-
ran sejati. Praktik premanisme proyek ini adalah bentuk korupsi, kolusi,
dan nepotisme (KKN), dan memberantas mereka harus menjadi prioritas
pertama dalam era reformasi ini. Hanya dengan ketulusan dan keberanian
dari semua pihak akan kita dapat benar-benar menghilangkan praktek-
praktek kotor.” Lihat juga Hidayat, “Shadow State,” 221.
274
Hidayat, “Shadow State,” 221.
200 Oligarki dan Demokrasi...

kakan oleh Fraksi ABK merupakan fitnah. Sochib menilai pernya-


taan Fraksi ABK sebagai sikap destruktif terhadap Banten dan
merupakan penyimpangan dari budaya religus Banten. Menurut
Sochib, dugaan tersebut sama dengan tuduhan bahwa semua
pelaku bisnis di Banten adalah bersalah.275
Saat Chasan Sochib dan grupnya berusaha untuk men-
ciptakan gerakan counter-opinion perihal pemerasan proyek,
dukungan untuk Fraksi ABK sebagai kekuasaan mobilisasi276 terus
mengalir. Di sini tampak jelas dua kekuatan beradu, yakni kekua-
saan mobilisasi277 para oligark berhadapan dengan kekuasaan
mobilisasi para elite. Pada 28 Agustus 2003, lima anggota dari
Presidium for a Clean Community (PCC) bertandang ke DPRD
Provinsi Banten untuk mendeklarasikan dukungan mereka untuk
Fraksi ABK. PCC menyatakan kesiapan mereka untuk bekerja
sama dengan Fraksi ABK untuk memecahkan kasus pemerasan
proyek melalui jalur hukum. PCC menyarankan Fraksi ABK untuk
melaporkan fakta premanisme proyek ke kantor kejaksaan dan
kepolisian.278
Polemik tentang premanisme proyek memanas ketika
Chasan Sochib mengatakan bahwa anggota DPRD Provinsi Ban-

275
Menurut Sochib, pernyataan Fraksi ABK tentang premanisme
proyek bukan hanya akan memecah belah masyarakat tapi juga akan me-
rusak budaya relijius masyarakat Banten. Tuduhan mendasar semacam
ini hanya akan menimbulkan fitnah, ketidakadilan, dan pembunuhan cha-
risma dan tujuan-tujuan masyarakat Banten. Para anggota dewan terse-
but (yang mengeluarkan pernyataan itu) tidak layak menjabat sebagai
wakil rakyat. Sebenarnya, jika terdapat kekurangan dalam pelaksanaan
pembangunan di Banten, (ini bisa) bisa ditingkatkan secara kolektif, dan
apabila terdapat beberapa penyimpangan, bisa diluruskan melalui konsul-
tasi. Lihat Hidayat, “Shadow State,” 221-22.
276
Winters, Oligarchy, 15.
277
Winters, Oligarchy, 15.
278
Fajar Banten, 28-8-2003. Lihat juga Hidayat, “Shadow
State,” 222.
Ahmad Munjin 201

ten seperti ‘maling teriak maling.’279 Polemik mencapai puncak-


nya pada 3 September 2003. Chasan Sochib bersama-sama dengan
sekitar seratus pengusaha Banten lain mendatangi gedung DPRD
Provinsi Banten. Jumlah seratus menunjukkan kekuasaan mobili-
sasi280 dan pengusaha jelas merepresentasikan kekuasaan material
yang menjadi basis kekuatan para oligark. Kedatangan mereka
untuk mengadakan dialog dengan anggota DPRD terutama dengan
anggota dewan dari Fraksi ABK (Fajar Banten 4-9-2003). Para
pengusaha itu meminta Fraksi ABK untuk menunjukkan bukti
konkret tentang keberadaan praktik-praktif pemerasan proyek, dan
menyatakan secara langsung pelaku bisnis mana yang terlibat.
Para pengusaha menuntut Fraksi ABK untuk mencabut pernya-
taannya. Sebab, menurut para pengusaha, pernyataan tersebut
sudah menciptakan ketidaknyamanan di kalangan pengusaha dan
masyarakat. Fraksi ABK juga diminta untuk membuat permintaan
maaf kepada publik yang dimuat pada semua media masa lokal.
Jika Fraksi ABK tidak memenuhi tuntutan, para pelaku usaha
akan menempuh jalur hukum yang berlaku.281
Namun demikian, dialog tersebut, yang hanya berjalan
sekitar dua setengah jam, tidak menghasilan seperti yang diharap-
kan. Sebab, Fraksi ABK berhasil menghindari sikap konfrontatif.
Dikatakan bahwa, ‘sebagai kepanjangan tangan partai-partai poli-
tik, kami tidak bisa memenuhi tuntutan para pelaku usaha bahwa
Fraksi ABK harus mencabut pernyataannya. Kami akan membe-
rikan jawaban secepat kami sudah melakukan pertemuan dengan

279
“Kami ingin meminta kepada para anggota dewan, khususnya
anggota dewan dari Fraksi ABK, untuk menunjuk langsung siapa mereka
yang dimaksud sebagai pemeras (proyek). Saya melihat sesuatu yang
sangat klasik di sini: maling teriak maling. […] Kami punya bukti bahwa
orang tertentu di badan legislatif (anggota-anggota DPRD Provinsi Ban-
ten) telah meminta proyek-proyek dari pimpinan proyek atau dari aso-
siasi-asosiasi dan organisasi-organisasi professional.” (Fajar Banten, 3-9-
2003). Lihat Hidayat, “Shadow State,” 222.
280
Winters, Oligarchy, 15.
281
Hidayat, “Shadow State,” 222-23.
202 Oligarki dan Demokrasi...

partai-partai politik’. Ini merupakan tanggapan masuk akal yang


diberikan di tengah memanasnya dialog baik di dalam gedung
DPRD maupun akibat hadirnya kekuasaan koersif282 dari sejumlah
besar pendekar di dalam dan di luar gedung. Sebuah laporan dalam
Fajar Banten pada 4 September 2003, disebutkan bahwa terdapat
sekitar 50 pendekar Banten berseragam serba hitam yang ber-
kumpul di luar gedung DPRD Provinsi Banten pada saat itu.283
Kemudian, Bueti Nasir, dengan kekuasaan jabatan resmi-
nya284 sebagai anggota Fraksi ABK dari PBB, menyebutkan bah-
wa Fraksi ABK tidak akan menarik pernyataan yang sudah dibuat-
nya tentang pemerasan proyek. Premanisme politik, menurut
Syarif Hidayat merupakan ekspresi yang relatif sopan diban-
dingkan kata-kata lain yang memiliki makna umum yang sama.
Pernyataan serupa keluar dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Banten yang menyatakan, ‘tidak ada jalan bahwa partai-partai
akan menyetujui penarikan pernyataan dan permintaan maaf dari
Fraksi ABK tentang premanisme proyek. Sebab, pernyataan
tersebut tidak menunjuk kepada perorangan (individu-individu
atau lembaga-lembaga yang spesifik).’285
Jawaban secara tidak langsung tersebut dari Fraksi ABK
memicu rekasi keras dari Chasan Sochib khususnya dari para
pengusaha Banten yang merepresentasikan kekuasaan material286
para oligark secara umum. Kamar Dagang dan Industri (Kadin)
Banten mengeluarkan somasi untuk Fraksi ABK melalui surat no.
149/Kadin-Banten/IX/2013 tertanggal 7 September 2003. Dasar
dikeluarkannya somasi tersebut adalah bahwa istilah ‘premanisme
proyek’ menyiratkan bahwa praktik-praktik tidak etis dilakukan
oleh para pelaku bisnis di Banten untuk memenangkan proyek-
proyek.287

282
Winters, Oligarchy, 15.
283
Hidayat, “Shadow State,” 223.
284
Winters, Oligarchy, 13-14.
285
Fajar Banten5-9-2003. Hidayat, “Shadow State,” 223.
286
Winters, Oligarchy, 18.
287
Fajar Banten, 8-9-2003. Hidayat, “Shadow State,” 223.
Ahmad Munjin 203

Atas dasar itu, somasi secara tegas menuntut agar Fraksi


ABK mencabut pernyataannya tentang premanisme proyek dan
meminta maaf kepada Kadin dan kepada masyarakat Banten.
Apabila Fraksi ABK mengabaikan tuntutan tersebut, Kadin Ban-
ten mengancam (kekuasaan koersif)288 untuk melaporkan masalah
tersebut ke kepolisian. Merespons ancaman tersebut, Ketua Fraksi
ABK, Mudjahid Chudori menyatakan bahwa pihaknya tidak takut
dengan ancaman dari Kadin Banten untuk melaporkan masalah
tersebut ke kepolisian. Fraksi ABK mengaku punya bukti kuat dan
nyaman dengan dukungan luas dari berbagai partai.289
Namun demikian, polemik tersebut kemudian memudar.
Syarif Hidayat mengakui sangatlah sulit bagi masyarakat Banten
untuk berharap investigasi tuntas bisa direalisasikan melalui
Fraksi ABK. Berbagai hambatan teknis dan politis menggagalkan
berbagai resolusi dari kasus tersebut melalui jalur hukum. Meski
Fraksi ABK memiliki bukti yang cukup untuk menindaklanjuti
kasus premanisme proyek melalui jalur hukum, fraksi membutuh-
kan dukungan dari Pemda dan khsususnya dukungan dari guber-
nur. Kenyataannya, Fraksi ABK tidak mendapatkan dukungan
tersebut meskipun sudah coba membujuk gubernur.290
Di atas semua itu, sebagian akademisi sudah memberikan
respons kepada situasi-situasi sebagaimana digambarkannya
dengan mendorong re-sentralisasi kekuasaan di tangan pemerintah
pusat. Saran semacam itu, menurut Syarif Hidayat mengabaikan
fakta bahwa tidak semua persoalan di daerah merupakan hasil dari
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Akan lebih akurat,
kata dia, jika melihat semua itu sebagai konsekuensi dari perge-
seran pola-pola interaksi antara negara dan masyarakat pascaera
Soeharto. Masyarakat tidak lagi sepenuhnya tersisihkan, baik
dalam proses pembuatan kebijakan maupun dalam pelaksanaan.
Akan tetapi, ini bukan berarti bahwa sekarang hidup dalam ma-
syarakat sipil sepenuhnya, dalam masyarakat yang sebagian besar
288
Winters, Oligarchy, 15.
289
Fajar Banten, 8-9-2003.
290
Hidayat, “Shadow State,” 223-24.
204 Oligarki dan Demokrasi...

direpresentasikan oleh elite. Pengambilan kebijakan baik pada


level nasional maupun lokal diwarnai oleh persekutuan dan tawar
menawar kepentingan antara aktor-aktor masyarakat dengan
aktor-aktor negara.291 Dalam konteks Banten, aktor-aktor masya-
rakat ditunjukkan oleh Chasan Sochib dan kelompok oligarknya
yang melakukan persekutuan dan tawar menawar dengan segenap
sumber daya kekuasaanya—mobilisasi,292 material,293 dan koer-
sif294 terhadap aktor-aktor negara.
Kasus premanisme proyek di provinsi Banten, menurut
Syarif Hidayat, menunjukkan bahwa perilaku pemerintah daerah
lebih kompleks daripada yang sudah digambarkan dalam literature
sejauh ini. Pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan di
daerah diwarnai oleh kolusi dan tawar menawar kepentingan di
antara elite eksekutif Pemda dengan para oligark yang direpresen-
tasikan oleh kelompok jawara-pengusaha. Apabila realitas empirik
ini berhubungan dengan pergeseran pola-pola interaksi masya-
rakat-negara, kasus Banten menunjukkan bahwa desentralisasi dan
otonomi daerah sudah menciptakan ruang yang lebih besar bagi
elite-elite masyarakat yang menjelma menjadi oligark untuk mem-
bangun dan mengembangkan jaringan informal dengan aktor-aktor
negara di tingkat lokal.295
Premanisme proyek, lanjut Syarif Hidayat, muncul bersa-
maan dengan lemahnya lembaga formal dari pemerintah lokal di
Banten. Ini serupa dengan apa yang William Reno296 (1995) me-
nyebutnya sebagai ‘Shadow State’. Gubernur dan Wakil Gubernur

291
Hidayat, “Shadow State,” 224.
292
Winters, Oligarchy, 15.
293
Winters, Oligarchy, 18.
294
Winters, Oligarchy, 15.
295
Hidayat, “Shadow State,” 224.
296
William Reno, Corruption and State Politics in Sierra Leone
(Cambridge/New York: Cambridge University Press, 1995), 1. Banding-
kan dengan Sahr John Kpundeh, Politics and Corruption in Africa: A
Case Study of Sierra Leone (Lanham, Md.: University Press of America,
1995). Lihat juga Daniel A. Smith, ulasan tentang Corruption and State
Ahmad Munjin 205

menghadapi tantangan besar dalam mendapatkan fungsi sebagai-


mana mestinya sebagai lembaga formal dari pemerintahan lokal.
Salah satunya, karena Chasan Sochib sebagai oligark dan tokoh
utama dalam shadow state memainkan peran sebagai sponsor
politik melalui kekuasaan mobilisasi297 dan koersifnya298 dan
keuangan melalui kekuasaan materialnya299 dalam mendapatkan
keterpilihan dua pemimpin tersebut (gubernur dan wakil guber-
nur). Pengaruh dominan Chasan Sochib atas pelaksanaan pemerin-
tahan daerah menjadi imbalan atas biaya investasi ekonomi
(kekuasaan material) dan politik (kekuasaan mobilisasi dan koer-
sif) yang sudah ia lakukan pada saat pemilihan.300
Dengan demikian, Chasan Sochib jelas memiliki sumber
daya kekuasaan baik sebagai elite maupun oligark pada era Refor-
masi. Kekuasaan elitenya mencakup hak politik formal, mobile-
sasi, dan koersif. Sedangkan kekuasaan oligarkisnya direpresen-
tasikan oleh kekuasaan material dalam bentuk hak milik dan
kekayaan. Hak politik formalnya mengejawantah dalam hak pilih-
nya dalam pemilu langsung pada era Reformasi yang membeda-
kannya dengan pemilihan perwakilan pada era Orde Baru. Semen-
tara itu, kekuasaan mobilisasinya muncul dari Chasan Sochib yang
tidak bertindak sendiri melainkan menggunakan jejaring penga-
ruhnya terhadap jawara (mobilisasi elite) dan kelompok pengusaha
melalui Kadin, kontraktor dan subkontraktornya (mobilisasi
oligark) yang mendefinisikan Sochib sebagai oligark sultanistik.
Kekuasaan koersifnya terwujud dalam sebagian tindakannya yang
bersifat memaksa baik dalam bentuk intimidasi fisik melalui
kekuatan jawara maupun pemaksaan struktural, seperti biaya pro-
yek untuk para pemenang tender di luar kelompok yang menjadi

Politics in Sierra Leone, William Reno dan ulasan tentang Politics and
Corruption in Africa: A Case Study of Sieara Leone , Sahr John Kpundeh,
Africa Today 44, no. 3 (Juli-September 1997): 362-65.
297
Winters, Oligarchy, 15.
298
Winters, Oligarchy, 15.
299
Winters, Oligarchy, 18.
300
Hidayat, “Shadow State,” 224.
206 Oligarki dan Demokrasi...

pesaingnya. Sederet sumber daya kekuasaan elite tersebut telah


mengantar Sochib pada kekuasaan material yang melimpah yang
mendefinisikan dirinya sebagai seorang oligark.
Pada akhirnya, dengan sumber daya kekuasan elite yang
menjadi modal sosial dan sumber daya kekuasaan oligarkis yang
menjadi modal kapital, Chasan Sochib berhasil mengakumulasi
kekuasaan politik meski tidak memegang kekuasaan secara
langsung yang oleh William Reno disebut sebagai shadow state.301
Dalam bahasa Okamoto Masaaki, Sochib berperan sebagai ‘guber-
nur jenderal’302 yang menyebabkan kekuasaan oligarkis di provinsi
Banten terkonsentrasi pada keluarga jawara tersebut. Gurita ke-
kuasaan keluarga Sochib merentang mulai spektrum kekuasaan
elite hingga oligarkis. Keluarga jawara ini menguasai jabatan-
jabatan eksekutif, jabatan legislatif, partai politik (Golkar), aso-
siasi-asosiasi bisnis, organisasi bela diri, organisasi pemuda,
organisasi olah raga, hingga organisasi sosial budaya. Semua profil
kekuasaan tersebut akan dibahas secara rinci pada bab IV buku ini
dari sudut pandang sumber daya kekuasaan oligarkis.
Tabel 3.6. Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara
pada Era Reformasi di Banten
No Sumber Daya Kekuasan Indikator-indikator
(1) (2) (3)
Pada era Reformasi, hak politik
formal kiai dan jawara
mengejawantah dalam Pemilu 1999,
2004, 2009, dan 2014. Namun
Hak Politik Formal
1 demikian, pengaruh hak politik
(Elite/Demokrasi)
formal kiai dan jawara terhadap
pilihan masyarakat sangat
ditentukan oleh sumber daya
kekuasaan lain dari kiai dan jawara.

301
Reno, Corruption and State Politics, 1.
302
Masaaki, “Local Politics,” 23.
Ahmad Munjin 207

Lanjutan Tabel 3.6.

(1) (2) (3)


a. Kiai terlibat kekerasan pada
pengepungan masa terhadap
gedung Koran Banten Daily yang
dipimpin oleh Kiai Aminuddin,
pimpinan cabang PKB Provinsi
Banten;
b. Kekuasaan koersif dari Sochib
mengejawantah dalam bentuk isu
'premanisme proyek'. Beberapa
anggota DPRD Banten
mencurigai adanya 43 malpraktek
dalam pengelolaan proyek-proyek
pemerintah provinsi Banten;
c. Modus operandi Sochib dalam
memengaruhi panitia tender
bermacam-macam mulai dari
lobi-lobi informal yang
Kekuasaan Koersif
2 merepresentasikan kekuasaan
(Elite/Demokrasi)
mobilisasinya dengan pejabat-
pejabat lokal dan distribusi
amplop (suap) yang
merepresentasikan kekuasaan
materialnya hingga intimidasi
fisik yang merepresentasikan
kekuasaan koersifnya. Teguh
Iman Prasetya, dosen FISIP
Universitas Tirtayasa, Boyke
(tokoh Banten), Nina Lubis,
sejarawan dari Bandung, dalam
diskusi di Hotel Mahadria,
Serang, pernah diancam golok
yang merepresentasikan
kekuasaan koersif oleh Chasan
agar tidak mendukung
pembentukan provinsi Banten.
208 Oligarki dan Demokrasi...

Lanjutan Tabel 3.6.


(1) (2) (3)
a. Pada era Reformasi, lesunya
kekuasaan mobilisasi kiai karena
faktor fragmentasi politiknya ke
dalam banyak partai politik;
b. Semua pasangan calon pada
Pilgub 2006, berusaha keras
untuk memanfaatkan kiai yang
ujungnya memenangkan
dukungan dari masyarakat; Para
politikus memanfaatkan kiai
(mobilisasi) untuk mendapatkan
dukungan masyarakat lokal,
Kekuasaan Mobilisasi sementara kiai menggunakan
3
(Elite/Demokrasi) kompetisi politik untuk
mendapatkan keuntungan
ekonomi (kekusaan material);
Atut Chosiyah mendirikan Satkar
Ulama untuk memobilisasi kiai
yang belakangan dipimpin oleh
ayahnya Chasan Sochib, sebuah
elemen pendukung penting bagi
tim
kampanyenya;Zulkieflimansyah
mendapatkan dukungan dari
Forum Komunikasi Kiai dan
Tokoh Masyarakat (FKKTM)
yang dipimpin oleh KH Ubing;
Tryana Sjam’un mendapat
dukungan dari beberapa pengurus
Banten Communication Forum
for Pesantren (Banten FSPP); dan
Ahmad Munjin 209

Lanjutan Tabel 3.6.


(1) (2) (3)
Irsjad Djuwaeli
mengandalkan dukungan dari
Mathla’ul Anwar dan Kiai
Khozinul Asror dari NU;
c. Merespons penolakan dukungan
dari FSPP, tim kampanye Atut
Chosiyah mendirikan Forum
Komunikasi Pesantren Salafi
(FSPPS) dan akhirnya
memenangkan pemilu;
d. Politikus memilih kiai dari
Majelis Taklim karena jamaah
mereka tinggal di Banten.
Sementara itu, kiai pesantren
tidak selalau menjadi target
karena banyak santri mereka
yang berasal dari luar Banten
sehingga tidak memiliki hak
suara dalam suksesi
kepemimpinan di Banten;
e. Pada pemilu 2004, Kiai KA,
seorang pimpinan NU di
Pandeglang, menyarankan kepada
seorang kandidat bagi DPRD
bahwa dia mendapatkan
persetujuan dari 40 kiai
terkemuka di Pandeglang dan
memobilisasi dukungan politik
mereka yang disimbolkan dengan
sebuah doa bersama;
f. Beberapa kiai mendirikan
kelompok radikal, menolak
partisipasi politik dalam gaya
demokratis. Di antara mereka
adalah Front Hizbullah yang
didirikan oleh KH Cecep;
210 Oligarki dan Demokrasi...

Lanjutan Tabel 3.6.


(1) (2) (3)
g. Bustomi dari Pandeglang;
h. Dalam kasus lain, kiai terlibat
kekerasan pada pengepungan
masa terhadap gedung Koran
BantenDaily yang dipimpin oleh
Kiai Aminuddin, pimpinan
cabang PKB Provinsi Banten;
Dengan kekuasaan mobilisasinya
sebagai tokoh jawara, Chasan
Sochib berusaha mengontrol
Satkar Ulama;
a. Ketua MUI Pandeglang, KH
Datep mengeluarkan sebuah
fatwa untuk memilih Dimyati
dalam pemilu 2005;
b. Dimyati Natakusumah memiliki
Jabatan Resmi
4 pengaruh kuat di kalangan kiai
(Elite/Demokrasi)
terutama karena dia merupakan
ketua PPP provinsi Banten;
c. H. Tubagus Chasan Sochib
memimpin Satkar Jawara sejak
pendiriannya 1971;
a. Pada acara arahan dari ketua
umum Golkar, Akbar Tanjung,
tentang Koalisi Nasional bagi
para Pimpinan dan Kader Golkar
Banten di Pandeglang pada 21
Agustus 2004, KH Ujang
Kekuasaan Material
5 Rapiudin, seorang tokoh agama
(Oligarki)
lokal, berbicara blak-blakan
tentang uang sebelum menutup
acara dengan doa dengan
mengatakan, masyarakat tidak
membutuhkan kaos atau foto
kandidat, yang
Ahmad Munjin 211

Lanjutan Tabel 3.6.


(1) (2) (3)
terpenting adalah amplop berisi
uang;
b. Direktur sebuah lembaga Pemda
Banten, setiap saat dan
seterusnya memberikan
pendanaan proyek (di bawah
Rp50 juta) kepada seroang kiai
terkemuka tanpa melalui
prosedur penawaran terbuka;
c. Slogan sinis yang tumbuh di
masyarakat, di masa lampau,
Banten merupakan tempat bagi
ribuan kiai dan jutaan santri, tapi
sekarang, kiai
mendapatkanjutaan [rupiah dari
politikus dan pemerintah] dan
santri mendapatkan ribuan
[rupiah dari kiai];
d. Kekuatan politik jawara pada era
Reformasi tidaklah muncul
sebagai jawara tulen melainkan
jawara yang baru, yakni jawara-
pengusaha;
e. Sochib pernah khawatir
perubahan Banten menjadi
provinsi baru akan mengancam
keberlangsungan relasi bisnis
yang menjadi basis kekuasaan
material dan politiknya dengan
pejabat di provinsi Jawa Barat;
f. Tidak ada data resmi yang
menunjukkan berapa total
kekayaan Sochib secara pribadi
yang menggurita. Data tersebut
baru bisa terlacak pada total
kekayaan beberapa anggota ;
212 Oligarki dan Demokrasi...

Lanjutan Tabel 3.6.


(1) (2) (3)
g. keluarga besarnya yang
menempati jabatan publik, yakni
melalui Laporan Harta Kekayaan
Pejabat Negara (LHKPN) di
Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK);
Sochib memiliki perusahaan-
perusaan yang terdaftar tidak
atas nama dirinya, bahkan
seringkali menggunakan
perusahaan-perusahaan lain yang
bukan miliknya sebagai strategi
untuk memenangkan tender.
Dari Tabel 3.6. di atas, peneliti menyimpulkan bahwa baik
kiai dan jawara pada era Reformasi, sama-sama memiliki kekua-
saan mobilisasi yang besar. Akan tetapi, besarnya kekuasaan
mobilisasi kiai justru masih menjadi ‘bancakan’ para politisi
sehingga kekuatan tersebut terpragmentasi ke dalam beberapa
partai politik. Akibatnya, kekuasaan mobilisasi kiai yang sejatinya
besar itu menjadi lemah. Sementara itu, kekuasaan mobilisasi
jawara justru mendapat tambahan ‘amunisi’ dari tiga sumber daya
kekuasaan lain, yaitu: kekuasaan jabatan resmi, koersif, dan
material. Dua kekuasaan terakhir dari jawara inilah yang justru
berbalik mengooptasi kekuasaan mobilisasi kiai. Salah satu bukti
konkretnya adalah kooptasi jawara terhadap Satkar Ulama.
Pada akhirnya, peneliti menarik kesimpulan dari keseluru-
han pembahasan bab III mengenai sumber daya kekuasaan kiai dan
jawara di Banten sejak era kolonial hingga era Reformasi sebagai-
mana terangkum pada tabel 3.7. berikut ini:
Ahmad Munjin 213

Tabel 3.7. Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara


Lima Sumber Daya Kekuasaan
N Hak
Periode Kekuasaan Jabatan Kekuasaan Kekuasaan
o Politik
Mobilisasi Resmi Koersif Material
Formal
Kiai Kiai
1 Era Kolonial x Jawara x
Jawara Jawara
Era
Kiai Kiai Kiai
2 Soekarno Jawara x
Jawara Jawara Jawara
(Orde Lama)
Era Soeharto Kiai Kiai Kiai
3 Jawara Jawara
(Orde Baru) Jawara Jawara Jawara
Era Kiai Kiai Kiai
4 Jawara Jawara
Reformasi Jawara Jawara Jawara
Sumber: Dirangkum dari keseluruhan pembahasan bab III
mengenai sumber daya kekuasaan kiai dan jawara
di Banten sejak era kolonial hingga reformasi.

Dari Tabel 3.7. peneliti menarik beberapa kesimpulan,


yaitu: Pertama, pada era kolonial baik kiai maupun jawara sama-
sama merupakan elite bagi masyarakat Banten. Yang mencirikan
kekuasaan elite mereka yang paling menonjol adalah mobilisasi.
Di antara indikator-indikatornya adalah mobilisasi masa oleh kiai
dan jawara untuk melakukan beberapa pemberontakan, yakni (a)
pemberontakan melawawan penjajah pada pada abad 19 di mana
kiai berhasil memobilisasi masyarakat untuk memberontak seperti
puncak pemberontakan petani di Cilegon pada 1888 yang dipim-
pin oleh Kiai Haji Wasid; (b) Pada 1888, beberapa kiai yang
sangat berpengaruh mengendalikan sentimen anti-Barat melalui
kajian mereka di Mekah. Mereka memimpin sebuah pemberonta-
kan dalam skala besar. Para kiai menyiapkan dan mengorganisasi
pemberontakan melalui jaringan dengan murid-murid mereka; dan
(c) Kiai juga memainkan kekuasaan penting dalam memobilisasi
pemberontakan komunis di Banten pada 1926.
Sedangkan kekuasaan jabatan resmi pada era kolonial
sama-sama dimiliki baik oleh kiai maupun jawara. Di antara buk-
tinya adalah kiai sebagai pemimpin agama (religious) dan jawara
214 Oligarki dan Demokrasi...

sebagai pemimpin darigama (profan), yakni pemerintahan desa.


Sementara itu, kekuasaan koersif lebih banyak dimiliki oleh para
jawara. Salah satu alasannya adalah jawara memiliki semacam
kekuatan sosial yang memungkinkan mereka sewaktu-waktu me-
langgar aturan masyarakat dan menggertak dengan menggunakan
kesaktiannya saat diperlukan. Semua itu, merupakan sumber daya
kekuaaan elite bagi kiai dan jawara. Oleh karena itu, pada era
kolonial, untuk sumber daya kekuasaan oligarkis, baik kiai mau-
pun jawara belum memilikinya. Benih-benih oligarki--terutama
pada jawara—memang sudah muncul sejak era kolonial karena
secara antropologis keduanya merupakan kelompok terkaya di
masyarakat. Akan tetapi, kekayaan tersebut belum masuk kategori
oligark.
Kedua, dinamika sumber daya kekuasaan kiai dan jawara
pada era Soekarno (Orde Lama) tidak jauh berbeda dengan kondisi
pada era kolonial. Artinya, dua entitas informal leader itu sama-
sama memiliki sumber daya kekuasaan elite dan benih-benih
kekuasaan oligarkis. Yang berbeda adalah aktor yang berhadapan
dengan kiai dan jawara. Jika pada era kolonial, kiai dan jawara
berhadapan dengan penjajah yang menjadi musuh bersama (com-
mon enemy), pada era Soekarno mereka berhadapan dengan peme-
rintah pusat. Walhasil, kiai, jawara, dan pemerintah pusat lebih
merupakan representasi dialektis kekuasaan elite dibandingkan
oligarki.
Ketiga, pada era Soeharto (Orde Baru), kekuasaan elite
dari kiai dan jawara justru dikooptasi dan dimanfaatkan oleh
rezim Orde Baru dengan kekuasaan material dan koersifnya yang
menonjol. Akan tetapi, hubungan rezim dengan jawara justru
saling menguntungkan sementara tidak untuk kiai. Orde Baru
hanya memanfaatkan kekuasaan elite kiai melalui mobilisasi
meraka sedangkan hubungannya dengan jawara lebih mengun-
tungkan secara ekonomi. Hal tersebut terjadi karena sifat dasar
dari kiai sebagai elite sedangkan jawara berperan sebagai oligark.
Jadi, jika hubungan Orde Baru dengan kiai terbatas pada konteks
kepentingan elite sedangkan hubungannya dengan jawara juga
Ahmad Munjin 215

mencakup konteks bisnis. Akibatnya, benih-benih oligarki tumbuh


subur pada jawara sedangkan pada kiai tidak.
Keempat, pada era Reformasi, baik kiai dan jawara sama-
sama memiliki kekuasaan mobilisasi yang besar. Akan tetapi,
besarnya kekuasaan mobilisasi kiai justru masih menjadi ‘banca-
kan’ para politisi sebagaimana terjadi pada era Orde Baru. Oleh
karena itu, kekuatan kiai tersebut terpragmentasi ke dalam bebe-
rapa partai politik. Kekuasaan mobilisasi kiai yang sejatinya besar
itu pun menjadi lemah. Sementara itu, kekuasaan mobilisasi
jawara justru mendapat tambahan ‘amunisi’ dari tiga sumber daya
kekuasaan lain, yaitu: kekuasaan jabatan resmi, koersif, dan mate-
rial. Dua kekuasaan terakhir dari jawara inilah yang justru berbalik
mengooptasi kekuasaan mobilisasi kiai. Salah satu bukti konkret-
nya adalah kooptasi jawara terhadap Satkar Ulama.
Di atas semua itu, kiai yang semula merupakan guru para
jawara terdegradasi seiring besarnya kekuasaan oligarkis jawara
dan rongrongan kepentingan para politikus dan partainya. []
216 Oligarki dan Demokrasi...
Ahmad Munjin 217

Bab IV
JAWARA DAN SUMBER DAYA
KEKUASAAN MATERIAL
DI BANTEN

Banyak anggota keluarga besar Tubagus Chasan Sochib


berada di tampuk kekuasaan baik eksekutif maupun legislatif.
Pada bab IV ini, peneliti mengelaborasi bagaimana sumber daya
material yang menjadi basis kekuasaan oligarkis beroperasi pada
keluarga besar jawara tersebut. Tidak seperti bab III yang mem-
bandingkan kekuasaan elite kiai dengan kekuasaan oligarkis jawa-
ra, pada bab ini peneliti lebih fokus pada kekuasaan material dari
para warga negara terkaya di Banten itu. Mereka tumbuh menjadi
golongan kecil di dalam masyarakat sebagaimana diwakili oleh
para anggota keluarga jawara. Untuk itu, peneliti menguji empat
hal, yakni: pertama, prasyarat terbentuknya oligark dan oligarki di
Banten dan secara spesifik pada keluarga jawara Tubagus Chasan
Sochib, yakni ketidaksetaraan materi yang ekstrem (stratifikasi
material); kedua, oligark dan oligarki; ketiga, pertahanan kekaya-
an yang mencakup harta dan pendapatan; dan keempat merupakan
implikasi dari kekuasaaan oligarkis, yakni ketidaksetaraan materi
dan politik yang ekstrem. Dengan demikian, perwujudan kekua-
saan oligarkis pada keluarga jawara bisa tergambarkan dengan
jelas.

A. Pembentukan Provinsi Banten: Antara Motif Material dan


Nonmaterial
Dengan diwarnai pawai seadanya, provinsi Banten secara
resmi terbentuk pada 4 Oktober 2000.1 Banten merupakan provin-

1
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2000
tentang Pembentukan Provinsi Banten.
218 Oligarki dan Demokrasi...

si pertama di Indonesia pasca-Orde Baru dan pertama terbentuk di


pulau Jawa sejak 1950 ketika empat provinsi lain, yaitu Jawa
Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan
Jawa Barat sudah dikukuhkan.2Banten juga merupakan satu dari
lima provinsi baru yang berdiri sejak berlakunya Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah3 dan Undang-
undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah.4 Banten menjadi ‘kotak
pandora’ bagi terciptanya provinsi-provinsi baru lain melalui
pemekaran provinsi induknya. Provinsi-provinsi baru tersebut
adalah Bangka Belitung, Gorontalo, Maluku Utara, dan Kepulauan
Riau.5
Dari segi etnis, Okamoto Masaaki dan Abdul Hamid
mencatat komposisi wilayah Banten terbagi dua.Wilayah utara
ditempati oleh etnis Jawa dan di selatan ditempati oleh etnis
Sunda. Wilayah utara merupakan tempat di mana jawara terkon-
sentrasi, dan mereka dulu mendukung pemberontakan komunis
pada 1926. Garis pemisah dua wilayah tersebut adalah di sekitar
dua kecamatan Ciomas dan Pabuaran. Dua kecamatan tersebut
merupakan penutur bahasa Sunda yang terkenal dengan keulama-
an dan kejawaraannya. Chasan Sochib berasal dari daerah ini.
Pusat ekonomi, politik, sosial, dan budaya Banten selalu berada di
2
George Quinn, “Coming Apart and Staying Together at the
Centre: Debates Over Provincial Status in Java and Madura,” dalam
Local Power and Politics in Indonesia: Decentralication and Democrati-
sation, eds. Edward Aspinall and Greg Fealy (Pasir Panjang, Singapura:
Institute of Southeast Asian Studies (Iseas), 2003), 164-5.
3
Syarif Hidayat, “Pilkada, Money Politics and the Dangers of
“Informal Governance” Practices,” dalam Deepening Democracy in Indo-
nesia? Direct Elections for Local Leaders (Pilkada), eds. Maribeth Erb
dan Priyambudi Sulistiyanto (Singapura: Institute of Southeast Asian
Sudies, 2009), 135.
4
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
5
Khatib Mansur, Perjuangan Rakyat Banten menuju Provinsi
(Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2001), 531.
Ahmad Munjin 219

utara. Wilayah utara mendominasi wilayah selatan. Akan tetapi,


di sana tidak ada catatan sejarah dan jejak rekam tentang gesekan
antara dua kelompok bahasa (Jawa-Sunda). Identitas kedaerahan
mereka sebagai orang Banten menjadi faktor yang lebih kuat.6
Perihal bahasa, George Quinn (2003), juga mengakui hal
ini menjadi isu dalam pembentukan provinsi Banten meskipun
bukan menjadi salah satu yang utama. Selain bahasa Indonesia dan
Sunda, bahasa Jawa juga dituturkan di Banten terutama di kabu-
paten Serang dan sekitarnya. Para penutur bahasa Jawa banga
dengan dialek lokal mereka yang unik. Hanya saja, Quinn menga-
kui di masa lampau, para penutur bahasa Jawa tersinggung dengan
apa yang mereka lihat sebagai anti-bias bahasa Jawa di antara
pejabat-pejabat dalam pemerintah provinsi Jawa Barat yang
didominasi oleh orang-orang Sunda.7 Oleh karena itu, saat ini
meski semua perbedaan baik hidup di utara maupun di bagian
selatan dari Banten, mereka sepakat menyebut diri mereka sendiri
orang Banten dan memiliki provinsi sendiri yaitu Banten, sebuah
usaha yang akhirnya terealisasi pada tahun 2000.8
Dengan ibu kota Serang, sekitar 70 kilometer sebelah ba-
rat Jakarta, Banten hanya memiliki sedikit populasi, hanya sekitar
8 juta penduduk.9 Pada 2010, penduduk Banten berjumlah 10,6
juta, 11,7 juta di 2014, dan meningkat menjadi 11,9 juta jiwa pada
2015. Sementara itu, laju pertumbuhan penduduk per tahun dalam
kurun 2010-2015 sebesar 2,27% dan 2,14% selama 2014-2015.10

6
Okamoto Masaaki dan Abdul Hamid. “Jawara in Power, 1999-
2007.” Indonesia 86 (2008): 113.
7
Quinn, “Coming Apart,” 166.
8
Masaaki dan Hamid. “Jawara in Power,” 113.
9
George Quinn, “Coming Apart and Staying Together at the
Centre: Debates Over Provincial Status in Java and Madura,” dalam
Local Power and Politics in Indonesia: Decentralication and Democrati-
sation, eds. Edward Aspinall and Greg Fealy (Pasir Panjang, Singapura:
Institute of Southeast Asian Studies (Iseas), 2003), 164-5.
10
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, Provinsi Banten
dalam Angka 2016 (Serang: BPS Provinsi Banten, 2016), 57.
220 Oligarki dan Demokrasi...

Pada 2016, penduduk Banten berjumlah 12,2 juta jiwa dengan laju
pertumbuhan penduduk 2010-2016 sebesar 1,88% dan 2015-2016
di level 2,07%.11
Provinsi ini, pada mulanya, terdiri dari empat kabupaten,
yakni Tangerang, Serang, Lebak, dan Pandeglang serta dua peme-
rintahan kota yang otonom, yaitu Tangerang dan Cilegon.12Pada
tanggal 2 November 2007, Serang kemudian ditetapkan sebagai
kota yang otonom13 yang semula merupakan bagian dari wilayah
Kabupaten Serang. Pada tanggal 29 Oktober 2008, Kota Tange-
rang Selatanjugadiresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Mardi-
yanto14 (lihat Gambar 4.1.).

Gambar 4.1. Peta Wilayah Provinsi Banten

11
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, Provinsi Banten
dalam Angka 2017 (Serang: BPS Provinsi Banten, 2017), 61.
12
Quinn, “Coming Apart,” 164-5.
13
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2007
tentang Pembentukan Kota Serang di Provinsi Banten.
14
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2008
tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan di Provinsi Banten.
Ahmad Munjin 221

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, Provinsi Banten dalam Angka
2016, (Serang: BPS Provinsi Banten, 2016), iii.

Para elite Banten, menurut Quinn, sudah lama memendam


rasa sakit hati terhadap apa yang mereka persepsikan sebagai
pengabaian daerah tersebut oleh pemerintahan provinsi Jawa
Barat di Bandung. Meski aset-aset ekonomi Banten berlimpah
ruah, empat kabupaten masih tetap merupakan yang termiskin di
Jawa Barat.15 Perihal wilayah termiskin, Masaaki dan Hamid
menggambarkan, bagian utara dan timur provinsi Banten, yaitu
kota Cilegon, kota Serang, bagian utara kabupaten Serang, Kota
Tangerang dan Kabupaten Tangerang merupakan wilayah indus-
tri.16 Sementara itu, wilayah selatan provinsi yang mencakup
Lebak, Pandeglang, dan bagian selatan Serang adalah area pertain-
an dan miskin. Kebanyakan pesantren, lanjut Masaaki dan Hamid,
hidup di wilayah Selatan.17 Masyarakat merasa bahwa mereka
disisihkan atau diberi status yang lebih rendah dan diperlakukan
seperti anak tiri (dianaktirikan) jika dibandingkan dengan wila-
yah-wilayah lain di provinsi tersebut.18 Inilah yang menjadi alasan
material (ekonomi)19 pembentukan provinsi Banten.
Wilayah provinsi Banten menguasai ujung pulau Jawa
yang sebelumnya merupakan seperlima area tanah dan populasi
provinsi Jawa Barat.20Sekilas saja bisa diketahui, menurut Quinn,
Banten memiliki sumber daya ekonomi yang besar dan potensial.21
Dalam persepktif oligarkis,22 sumber daya ekonomi inilah menjadi
daya tarik bagi para elite Banten untuk mendapatkan akses

15
Quinn, “Coming Apart,” 166.
16
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 113-14.
17
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 113-14.
18
Quinn, “Coming Apart,” 166.
19
Winters, Oligarchy, 18.
20
Quinn, “Coming Apart,” 165.
21
Quinn, “Coming Apart,” 165.
22
Jeffrey A. Winters, Oligarchy (New York: Cambridge Univer-
sity Press, 2011), 18.
222 Oligarki dan Demokrasi...

meraupnya. Bagi yang berhasil, sumber daya kekuasaan material23


itu mentransformasikan mereka menjadi elite oligark dan bagi
yang kurang berhasil, tetap mempertahankan mereka sebagai elite.
Dialektika elite dan oligark di Banten cukup menarik perhartian
para sarjana.
Setengah provinsi sebelah utara, Quinn (2003) mendes-
kripsikan, terbentang sepanjang pantai mulai dari pinggiran kota
Jakarta sebelah barat hingga selat Sunda. Begitu juga dengan
bandara internasional Soekarno-Hatta, area manufaktur ringan
Tangerang dan kompleks pabrik baja dan kimia di Cilegon. Jalan
raya utama menjulur yang menghubungkan Jakarta dengan Merak
merupakan titik penyeberangan super sibuk ke pulau Sumatera.
Sepanjang selat Sunda ke arah selatan terletak sebuah area sangat
terkenal dengan beberapa objek wisata bagi wisatawan. Pantai
Carita dan daerah-daerah tetangganya berkembang pesat sebagai
resort pantai yang sangat menarik bagi wisatawan kaya asal
Jakarta. Di selat Sunda terdapat pulau kecil Krakatau yang
membara dan pintu gerbang pulau Sabesi dan Sangian. Di pojok
barat daya, Taman Nasional Ujung Kulon jadi magnet tersendiri
bagi pengunjung yang tertarik dengan sisa-sisa terakhir dari fauna
dan flora Jawa yang liar. Di pedalaman, masyarakat Baduy yang
murni dari pengaruh modernitas menwarkan sebuah lintasan
budaya yang memiliki hubungan dengan masa pra-Islam di Jawa
masa lampau.24
Hasrat untuk memisahkan Banten dari provinsi Jawa
Barat bukanlah hal baru. Sebagai daerah otonom, menurut Syarif
Hidayat (2007), Banten sebenarnya sudah punya sejarah panjang
selama masa kesultanan (1552-1809).25 Akan tetapi, selama
penjajahan Belanda, dengan penghapusan Kesultanan Banten, area

23
Winters, Oligarchy, 18.
24
Quinn, “Coming Apart,” 165.
25
Syarif Hidayat, “Shadow State? Business and Politics in the
Province of Banten,” dalam Renegotiating Boundaries: Local Politicss in
post-Suharto Indonesia, eds. Henk Schulte Nordholt dan Gerry van
Klinken (Leiden: KITLV Press, 2007), 206.
Ahmad Munjin 223

Banten kehilangan otonominya pada 1817. Banten pun berubah


dari kesultanan menjadi keresidenan.26
Beberapa sarjana melihat dua alasan utama pendirian
provinsi tersebut, yakni motif material dan nonmaterial. Oleh
karena itu, motif-motif pendirian provinsi Banten menunjukkan
motif material yang menjadi sumber daya kekuasaan oligarkis
tidak absen dalam percaturan pemekaran suatu wilayah. Di antara
sarjana yang melihat motif material sekaligus nonmaterial adalah
Syarif Hidayat (2009). Menurut dia, dengan berlakunya Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah,27
rezim Soeharto memecah Banten menjadi beberapa kabupaten di
bawah Provinsi Jawa Barat. Pemecahan ini membawa implikasi
tersendiri bagi Banten dengan berbagai kerugiannya. Salah satu
buktinya adalah level pendidikan (motif nonmaterial) dan kesejah-
teraan masyarakat Banten (motif material) menjadi yang terendah
di Jawa Barat hingga berakhirnya masa Orde Baru.28 “Semua itu,
dapat membantu menjelaskan gerakan untuk mendirikan provinsi
Banten yang terpisah dari Jawa Barat, yang sebenarnya sudah
dimulai pada akhir 1950-an.”29
Selain alasan material, Quinn (2003) juga memberikan
sederet alasan nonmaterial perihal pendirian Banten sebagai
provinsi baru, yaitu: persepsi masyarakat luas di kawasan ini
menunjukkan bahwa Banten merupakan sebuah entitas budaya
dan pemerintahan yang berbeda. Persepsi ini sudah diwariskan
dari masa penjajahan Belanda yang saat itu Banten merupakan
keresidenan terpisah. Oleh karena itu, menurut Quinn, Banten

26
Khatib Mansur, Perjuangan Rakyat Banten menuju Provinsi
(Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2001), 531.
27
Lihat Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.
28
Mansur, Perjuangan Rakyat Banten, 166-7.
29
Hidayat, “Shadow State,” 206.
224 Oligarki dan Demokrasi...

memiliki atribut karakter, sejarah, dan organisasi sosial yang


unik.30
Pada akhir 1960-an, selama pergolakan tahun-tahun awal
Orde Baru, kampanye sudah dibingkai untuk mendirikan sebuah
provinsi Banten hingga pada akhirnya menelan kegagalan.31
Seiring lengsernya Soeharto pada Mei 1998 dan berlangsungnya
pembuatan Rancangan Undang-undang Otonomi Daerah di bawah
pemerintahan Habibie, isu status provinsi untuk Banten pun
kembali menjadi agenda.32Setelah terkubur selama rezim Orde
Baru, keinginan untuk mendirikan sebuah provinsi muncul kem-
bali pada awal 1999.
Oleh karena itu, sejumlah organisasi dibentuk. Paling
tidak, ada tiga organisasi penting, yaitu Komite Pembentukan
Provinsi Banten pimpinan Uwes Qorny; Kelompok Kerja Pemben-
tukan Provinsi Banten (Pokja PBB) yang dipimpin oleh H. Irsyad
Djuwaeli; dan Badan Koordinasi Pembentukan Provinsi Banten
yang diketuai oleh H. Tb. Triyana Sjam‘un. Para tokoh masyara-
kat dan elemen-elemen lain dari masyarakat termasuk jawara dan
pengusaha turut bergabung, dan mengatur strategi baik formal
maupun informal. Semuanya bekerja bersama-sama dalam satu
irama.33
Chasan Sochib merupakan representasi jawara yang
tergabung dalam pembentukan provinsi Banten yang merupakan
semangat dari momentum pascareformasi 1998. Padahal, pada
awalnya, Sochib sendiri kurang memberikan dukungan terhadap
reformasi yang berakhir pada lengsernya Soeharto sebagai presi-
den. Dengan alasannya sendiri, Sohib juga, pada awalnya, kurang
mendukung pemisahan Banten dari provinsi Jawa Barat. Akibat-

30
E. Gobee, Sumitro dan Ranneft, “The Bantam Report,” dalam
Harry J. Benda dan Ruth T. McVey (Eds.), The Communist Uprisings of
1926-1927 in Indonesia: Key Documents (Ithaca: Cornell University,
1960), 22 seperti dikutip Quinn, “Coming Apart,” 165.
31
Quinn, “Coming Apart,” 165.
32
Quinn, “Coming Apart,” 165.
33
Hidayat, “Shadow State,” 206.
Ahmad Munjin 225

nya, para mahasiswa mengkritik Sochib terutama karena kedeka-


tannya dengan Soeharto. Dia merespons, “Anda tahu, Pak Harto
[Soeharto] masih presiden kita. Kita harus menghormatinya!”34
Namun demikian, era reformasi berdampak luas di Banten.
Para mahasiswa di seluruh negeri melakukan gerakan protes mela-
wan Soeharto dan rezimnya, menuntut pengunduran dirinya dan
reformasi pemerintahan. Sikap Sochib pun berubah saat Soeharto
mengundurkan diri.Ketika mahasiswa melawannya mengikuti
momentum reformasi, akhirnya, Sochib terjun ke gelombang re-
formasi seraya mengatakan, “Pak Harto benar-benar mengundur-
kan diri. Setelah pengunduran dirinya, saya akhirnya memutuskan
sikap saya. Pak Harto mengundurkan diri setelah kontemplasi
yang panjang. Sekarang, saya juga pasti akanmendukung refor-
masi.”35 Dengan kata lain, menurut Masaaki dan Hamid, sesaat
setelah Soeharto mengundurkan diri menunjukkan bahwa Sochib
sudah berubah pikiran setelah melakukan banyak pertimbangan
yang bijaksana. Akhirnya, Sochib pun bisa mengubah pikirannya
untuk mendukung reformasi.36
Angin pun terus bertiup untuk Chasan Sochib. Gerakan
untuk memisahkan Banten dari provinsi Jawa Barat bermula pada
Februari 1999. Alasan Sochib pada mulanya kurang mendukung
rencana tersebut, Masaaki dan Hamid menengarai karena perusa-
haannya masih terlibat dalam sebuah proyek konstruksi jalan skala
besar di kabupaten Tasikmalaya. Perusahaan Sochib masih dikon-
trak oleh pemerintah provinsi Jawa Barat. Akan tetapi, ketika dia
menyadari bahwa gerakan pemisahan sudah berakar dalam dan
dukungan meluas di Banten, Sochib menjadi pendukung yang
antusias. Dia menjadi penasihat umum Badan Koordinasi Pem-
bentukan Provinsi Banten (Bakor PPB) pada Februari 2000. Bakor
merupakan organisasi untuk mempromosikan pendirian provinsi
baru tersebut. Mobilisasi masa, dana, dan kampanye lobi diarah-

34
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 119.
35
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 119.
36
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 119.
226 Oligarki dan Demokrasi...

kan kepada pemerintahan pusat yang pada akhinya menghasilkan


buah. Pada Oktober 2000, undang-undang pendirian provinsi
Banten sudah disahkan di DPR. Ribuan masyarakat Banten
menyambut perubahan tersebut dan Sochib, dengan cerdas, sudah
memastikan bahwa dia sudah berada dalam posisi berjasa dalam
pengesahan undang-undang tersebut.37
Setelah pemilihan umum 7 Juni 1999 dan berikutnya
diselenggarakan pemilu baru, secara demokratis terpilihlah parle-
men. Panitia Khusus (Pansus) pun tebentuk diDPR untuk menyu-
sun rancangan pembentukan provinsi Banten. Dengan dukungan
yang tegas dari empat DPRD Banten dan persetujuan dari Surjadi
Sudirja, Menteri Dalam Negeri era Presiden Abdurrahman Wahid
yang notabene orang Banten, pembentukan provinsi Banten
disetujui oleh DPR pada Mei 2000.Provinsi tersebut secara formal
diresmikan empat bulan kemudian, September.38 Jalan panjang
masyarakat Banten untuk mencapai ambisi mereka sampailah
pada klimaknya pada 4 Oktober 2000, ketika Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) RI meloloskan Undang-undang Pembentukan
Provinsi Banten, yakni Undang-undang Nomor 23 Tahun 2000.39
Quinn menegaskan, masyarkat Bantenmemiliki hasrat
untuk punya akses langsung terhadap sumber daya ekonomi
daerah (alasan material). Keinginan tersebut merupakan salah satu
mesin yang menggerakkan kampanye untuk provinsi baru. Akan
tetapi, hal ini bukanlah berarti satu-satunya pemantikatau bahkan
bukanlah pertimbangan yang utama. Pelimpahan anggaran dan
kekuasaan kebijakan ke pemerintah daerah, lanjut Quinn, justru
memperlemah gagasan pembentukan provinsi tersebut sebagai
lokus utama kekuasaan ekonomi. Dorongan pemisahan Banten
dari Jawa Barattersebut, kata dia, lebih karena faktor-faktor
historical-cultural yang tampak sudah ada paling tidak sebagai-

37
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 119.
38
Quinn, “Coming Apart,” 165.
39
Hidayat, “Shadow State,” 206.
Ahmad Munjin 227

mana sebanyak dukungan untuk mengampanyekan keinginan


anggaran dan otonomi politik yang lebih besar.40
Selain alasan material, terdapat kepercayaan diri yang luas
bahwa status barunya sebagai provinsi akan mengembalikan ke-
banggaan pada identitas dan pusaka Banten. Ini juga akan mem-
berikan momentum yang lebih besar atas usaha-usaha untuk
memberantas kemiskinan di wilayah tersebut. Identitas Banten
yang unik tampak melekat dalam empat ranah utama: sejarah,
agama, bahasa, dan persepsinya tentang karakter khusus masyara-
kat Banten.41
Provinsi Banten juga dipromosikan sebagai pewaris perda-
gangan besar42 dari Banten lama. Banten lama yang merupakan
benteng mengesankan sebagian masih bisa tetap bisa disaksikan di
pantai Banten Lama sekitar 20 kilometer dari Serang. Pada tahun
1500-an, Banten memperluas pengaruhnya hingga sebagian besar
Jawa Barat dan Sumatera Selatan. Banten mencapai puncak ke-
kuasaan komersialnya pada pertengahan 1600-an ketika populasi
mencapai kisaran 150.000. Lebih jauh, Banten Lama merupakan
kota terbesar dan pelabuhan terpenting di kepulauan Asia Tengga-
ra saat itu.43
Kebanyakan masyarakat Bantenjuga percaya bahwa kota
Banten memainkan peranan penting dalam penyebaran agama
Islam di pulau Jawa.44 Setelah penaklukannya oleh negara Islam
Demak pada 1527, Banten menjadi pusat religiusitas dan kesarja-
naan. Masyarakat Banten juga secara khusus bangga dengan

40
Quinn, “Coming Apart,” 166.
41
Quinn, “Coming Apart,” 166.
42
Lihat juga Claude Guillot, “Urban Patterns and Polities in
Malay Trading Cities, Fifteenth through Seventeenth Centuries,” Indo-
nesia 80 (Oktober 2005): 39-51.
43
Quinn, “Coming Apart,” 166. Lihat juga, Guillot, 1990.
44
Lihat juga Andi M. Faisal Bakti, “Islam and Nation Formation
in Indonesia” (Tesis Master of Arts (M.A.), the Faculty of Graduate
Studies and Research, Institute of Islamic Studies, McGill University,
1993), 11.
228 Oligarki dan Demokrasi...

masjid kuno yang terletak di pusat Banten Lama yang dibangun


seperti sedia kala pada1560-an. Bersama dengan makam suci di
dekatnya, masjid kuno tetap merupakan salah satu pusat ziarah
Islam yang sangat penting di Indonesia. Hari ini, sebagian kala-
ngan memandang bahwa status Banten sebagai provinsi baru
merupakan platform bagi peningkatan aspirasi-aspirasi keagama-
an, termasuk implementasi perda syariat.45
Imajinasi umum masyarakat Banten melihat diri mereka
sebagai orang yang berpikiran merdeka. Sebagian akan bangga
menuturkan cerita tentang beberapa pemberontakan leluhur mere-
ka terhadap kerajaan Belanda. Karakter masyarakat Banten dike-
nal menyatu dalam stereotip tentang jawara. Dua ratus tahun lalu,
istilah ini menunjukkan sebuah kategori sosial tentang anak muda
yang bekerja serabutan.46 Selama banyak sekali pemberontakan
pada abad 19, jawara menjadi tentara bayaran dengan kualitas
kepemimpinan dan keberanian melawan hukum. Mereka dianggap
menguasai magic yang mewarnai seni bela diri pencak silat. Akan
tetapi, pihak Belanda menganggap mereka sebagai penyamun dan
penjahat. Masyarakat Bantensecara jelas melihat jawara dengan
cahaya yang lebih simpatik bahkan seringkali romantis.47
Sekarang, menurut Quinn, istilah jawara sering diterapkan
secara lebih longgar pada pemimpin tingkat desa dan orang kuat
lokal yang menyatu dengan lembaga Islam.48 Meski nada proble-
matik berlebihan melekat pada istilah jawara, provinsi baru
Banten sudah dijuluki sebagai Bumi Jawara baik oleh masyarakat
Banten sendiri maupun oleh orang luar.49 Ironisnya, bahkan mung-
kin tak terelakkan, sejak pembentukan provinsi tersebut, beberapa
komponen wilayah Banten sudah dituduh menelantarkan pemerin-

45
Quinn, “Coming Apart,” 166.
46
Sartono Kartodirjo, Modern Indonesia, Tradition and Trans-
formation: A Socio-Historical Perspective (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1984), 204.
47
Quinn, “Coming Apart,” 166-7.
48
Quinn, “Coming Apart,” 167.
49
Quinn, “Coming Apart,” 167.
Ahmad Munjin 229

tahan baru di Serang. Sebagai contoh, pada September 2002,


pemerintah kota Tangerang mengeluhkan pemerintahan provinsi
dengan penuh kepahitan. Pemerintahan provinsi dinilai tidak me-
nyalurkan secara patut miliaran rupiah dalam dana pembangunan
dan rehabilitasi banjir. Dalam pemerintahan kota, bahkan ada
pembicaraan gelap tentang pemisahan diri dari Banten.50 Sebagai
rangkuman, lihat Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Motif Material dan Nonmaterial


Pembentukan Provinsi Banten
No. Motif Material Motif Nonmaterial
(1) (2) (3)
Bahasa (Indonesia, Sunda, dan
Undang-undang Nomor 25 Jawa Banten) menjadi salah satu
tahun 1999 tentang isu. Di masa lampau, para
1 Perimbangan Keuangan penutur bahasa Jawa tersinggung
antara Pemerintah Pusat dan dengan sikap anti-bias bahasa
Daerah; Jawa di antara para pejabat
provinsi Jawa Barat;
Di pedalaman, masyarakat Baduy
Banten menguasai area dan
yang murni dari pengaruh
populasi provinsi Jawa
modernitas menawarkan sebuah
2 Barat yang menjadi sumber
lintasan budaya yang memiliki
daya ekonomi yang besar
hubungan dengan masa pra-Islam
dan potensial;
di Jawa masa lampau;
Di bawah pemerintahan Jawa
Barat level pendidikan menjadi
Bandara Internasional
3 yang terendah di Jawa Barat
Soekarno-Hatta;
hingga berakhirnya masa Orde
Baru;
Persepsi masyarakat luas
Area manufaktur ringan menunjukan bahwa Banten
4
Tangerang; merupakan sebuah entitas budaya
dan pemerintahan yang

50
Quinn, “Coming Apart,” 167.
230 Oligarki dan Demokrasi...

Lanjutan Tabel 4.1.


(1) (2) (3)
berbeda dari Jawa Barat;
Faktor-faktor historikal-kultural
yang menjadi dorongan
Kompleks pabrik baja dan pemisahan provinsi paling tidak
5
kimia di Cilegon; sama kuatnya dengan kampanye
otonomi anggaran dan politik
yang lebih besar;
Status baru sebagai provinsi
diyakini akan mengembalikan
Jalan raya utama yang kebanggaan pada identitas dan
menghubungkan Jakarta pusaka Banten; Identitas Banten
6 dengan Merak merupakan yang unik melekat melekat dalam
titik penyeberangan super empat ranah utama, yaitu sejarah,
sibuk ke pulau Sumatera; agama, bahasa, dan persepsinya
tentang karakter khusus
masyarakat Banten;
Kebanyakan masyarakat Banten
percaya bahwa Banten
memainkan peranan penting
Sepanjang selat Sunda ke dalam penyebaran agama Islam di
arah Selatan terletak sebuah pulau Jawa sebagai pusat
7 area sangat terkenal dengan religiusitas dan kesarjanaan
beberapa objek wisata bagi sehingga provinsi baru bagi
wisatawan; sebagian kalangan menjadi wadah
aspirasi-aspirasi keagamaan
termasuk implementasi perda
syariat;
Pantai Carita dan daerah-
daerah tetangganya Imajinasi umum masyarakat
berkembang pesat sebagai Banten melihat diri mereka
8
resort pantai yang sangat sebagai orang yang berpikiran
menarik bagi wisatawan merdeka;
kaya asal Jakarta;
Taman Nasional Ujung Sebagian masyarakat Banten
9 Kulon menjadi magnet bagi bangga menuturkan cerita
pengunjung yang tertarik beberapa pemberontakan
Ahmad Munjin 231

Lanjutan Tabel 4.1.


(1) (2) (3)
dengan sisa-sisa terakhir
leluhur mereka terhadap
dari fauna dan flora Jawa
penjajahan Belanda;
yang liar;
Di bawah pemerintahan
Jawa Barat level
kesejahteraan masyarakat Karakter masyarakat Banten
10 Banten menjadi yang dikenal menyatu dengan stereotip
terendah di Jawa Barat tentang jawara; dan
hingga berakhirnya masa
Orde Baru;
Masyarakat Banten
memiliki hasrat untuk punya
Undang-undang Nomor 22 tahun
11 akses langsung terhadap
1999 tentang Otonomi Daerah.
sumber daya ekonomi
daerah;
Pemerintahan Jawa Barat
dipersepsikan telah
melakukan pengabaian
terhadap Banten. Meski
12 aset-aset ekonomi Banten
berlimpah ruah, empat
kabupaten masih merupakan
yang termiskin di Jawa
Barat;
Banten sebagai provinsi
diyakini akan memberikan
momentum yang lebih besar
13
atas usaha-usaha untuk
memberantas kemiskinan di
wilayah tersebut; dan
Provinsi Banten
dipromosikan sebagai
14
pewaris perdagangan besar
dari Banten Lama.
232 Oligarki dan Demokrasi...

Dari pemaparan Tabel 4.1. di atas, alasan material


(ekonomi) menjadi salah satu motif penting pembentukan provinsi
Banten. Motif tersebut memang bukanlah yang utama, karena
terdapat alasan sosial budaya yang sudah berakar jauh ke tahun
1950-an. Akan tetapi, alasan material bisa dibuktikan dengan
terbitnya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perim-
bangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang
mendasari otonomi daerah dari sisi keuangan.51 Alasan material
inilah yang juga menjadi salah satu landasan pembentukan provin-
si Banten.

B. Ketimpangan Ekonomi sebagai Prasyarat Oligarki


Ketidaksetaraan material menjadi prasyarat mutlak ter-
bentuknya sistem pemerintahan oligarkis. Carl Joachim Friedrich
(1937),52 Jeffrey A. Winters dan Benjamin I. Page (2009)53 menya-
takan kekuasaan oligarkis terbentuk dan terdefinisikan oleh terja-
dinya akumulasi kekayaan secara besar-besaran di tangan seke-
lompok masyarakat yang relatif kecil (sedikit). Menurut Winters
dan Page, kekayaan tersebut menjadi sumber daya kekuasaan
(politis) yang mengejawantah dalam harta benda dan hak milik.54
Friedrich,55Winters56 dan Page57 percaya bahwa ketidaksetaraan
materi yang ekstrem itulah, terutama saat kesejahteraan masyara-

51
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
52
Carl Joachim Friedrich, “Oligarchy,” dalam Encylopaedia of
the Social Sciences, volume XI-XII, ed. Edwin R.A. Seligman (New
York: The Macmillan Company, 1937),463.
53
Jeffrey A. Winters dan Benjamin I. Page, “Oligarchy in the
United States?” Perspectives on Politics 7 (2009): 732.
54
Winters dan Page, “Oligarchy in the United States?” 732.
55
Friedrich, “Oligarchy,” 464.
56
Jeffreys A. Winters, “Oligarchy and Democracy in Indonesia,”
Indonesia 96 (Oktober 2013): 12.
57
Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 744.
Ahmad Munjin 233

kat secara keseluruhan sedang mengalami penurunan, secara nis-


caya menghasilkan ketidaksetaraan politik yang ekstrem pula.
Oleh karena itu, untuk melacak ketimpangan ekonomi
tersebut, pada subbab ini, peneliti menjelaskan beberapa topik,
yaitu: pertama, stratifikasi material58 atau ketimpangan ekonomi
di provinsi Banten terutama lebarnya gap pertumbuhan ekonomi
antara Banten sebelah utara dan selatan dan kedua, rasio yang me-
ngukur ketimpangan, yaitu the Gini Coefficient dan data-data
makroekonomi lainnya. Data-data tersebut diharapkan bisa menje-
laskan pembentukan sistem oligarkisdi provinsi Banten dari sisi
makroekonomi dan belum menunjuk pada oligark tertentu sebagai
individu. Tujuannya, untuk mencari jawaban apakah sistem peme-
rintah oligarkis tercipta atau tidak yang ditandai oleh stratifikasi
material. Namun demikian, untuk memberikan konteks pada topik
tersebut peneliti terlebih dahulu menghadirkan data tren partum-
buhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Banten
dari Badan Pusat Statistik (BPS) sejak 2000 hingga 2016.

1. Tren Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Banten 2000-2016


Secara ekonomi makro, PDRB merupakan pendekatan
untuk menunjukkan tingkat kesejahteraan regional. Data tersebut
dihasilkan oleh institusi tertentu pada wilayah tertentu. Sebagai
contoh, di Banten terdapat industri baja terbesar di Asia Teng-
gara, yakni PT Krakatau Steel Tbk, produsen getah polipropilena,
yakni PT Chandra Asri Petrochemical Tbk, dan industri sepatu
terbesar di Asia Tenggara, yakni PT Nikomas Gemilang. Chandra
Asri merupakan industri kimia terbesar nomor tiga di Asia. Akan
tetapi, surplus usahanya lari ke luar negeri karena holdingcom-
pany-nya tidak bertempat di Banten. Akibatnya, efek kesejahte-
raan perusahaan tersebut bagi masyarakat Banten tidak signifikan.
Apalagi, jika penduduk sekitar tidak dapat mengakses untuk men-
jadi faktor produksi pada industri tersebut. Paling bagus, pendu-

58
Jeffrey A. Winters, Oligarchy (New York: Cambridge Univer-
sity Press, 2011), 7.
234 Oligarki dan Demokrasi...

duk sekitar hanya menjadi karyawan dan itu pun tergantung pada
level posisi dari karyawan tersebut. Industri memang memilik
multiflier effect ke Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
atau akomodasi bagi masyarakat setempat tapi tidak signifikan
jika dibandingkan dengan surplus yang didapat oleh perusahaan
induknya di luar negeri.59 Grafik 4.1 menunjukkan tren pertum-
buhan ekonomi Banten sejak berdiri sebagai provinsi pada tahun
2000 hingga tahun 2016. Lalu, pertumbuhan daerah tersebut
dibandingkan dengan tren pertumbuhan ekonomi nasional dalam
rentang tahun yang sama.

Grafik 4.1. Tren Pertumbuhan Ekonomi Banten 2000-2016

Tren Pertumbuhan Ekonomi Banten 2000-


2016
Pertumbuhan PDRB Banten (%)
Pertumbuhan PDB Indonesia (%)

6.56 7.03 6.83 6.67


5.88 5.5
5.63 5.6 5.57 6.3 5.77
6.04 6.1 6.1 6.5 6.23 5.58 5.02
5.51 4.88
5.45.26
4.86
4.53 3.95 3.66 5.07 5.13 4.71
4.5 5.02
3.32 4.11 4.1

Sumber: Data diolah dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten
dan Berita Resmi Statistik BPS Pusat.
Dari Grafik 4.1. terlihat bahwa sejak berdiri sebagai pro-
vinsi pada tahun 2000 hingga 2016, pertumbuhan ekonomi Banten
mengalami tren kenaikan seiring dengan pertumbuhan ekonomi

59
Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Neraca
Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang,
Senin, 30 Oktober 2017.
Ahmad Munjin 235

nasional. Bahkan, meski secara tren selaras dengan pertumbuhan


Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, secara posisi persenta-
senya berada di atas nasional. Hanya pada tahun 2000, 2007, dan
2008, pertumbuhan ekonomi Banten berada di bawah angka
nasional. Dalam konteks ini, pertumbuhan ekonomi Banten lebih
baik dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi nasio-
nal. Namun demikian, dalam lima tahun terakhir, seiring dengan
melandainya ekonomi nasional, Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) Banten juga tumbuh melambat yang dipicu oleh ketidak-
pastian ekonomi global.
Pada tahun 2016, PDRB Provinsi Banten atas dasar harga
berlaku sebesar Rp516,33 triliun60 dari Rp477,94 triliun pada
2015.61 Tiga sektor utama penyumbang PDRB Provinsi Banten
terbesar, yaitu: pertama, sektor industri pengolahan sebesar
Rp168,39 triliun (32,61%) dari Rp134,33 triliun rupiah (33,48%)
pada 2015;62kedua, sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi
mobil dan sepeda motor sebesar Rp61,64 triliun (11,94%) dari
Rp49,15 triliun (12,08%) pada 2015; dan ketiga, sektor transpor-
tasi dan pergudangan sebesar Rp55,34 triliun (10,72%) dari
Rp23,56 triliun (10,22%) pada 2015.63
Pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten pada tahun 2016
mencapai 5,26 persen.64 Angka tersebut lebih lambat dibanding-
kan pertumbuhan ekonomi di tahun 2015 (5,40%), tahun 2014
(5,51%), dan tahun 2013 (6,67%). Pada tahun 2016, wilayah di
provinsi Banten dengan PDRB tertinggi, yaitu Kota Tangerang
sebesar Rp136,08 triliun dari Rp126,12 triliun pada 2015.
Sedangkan kabupaten Pandeglang merupakan wilayah dengan

60
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, Provinsi Banten
dalam Angka 2017 (Serang: BPS Provinsi Banten, 2017), 448.
61
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, Provinsi Banten
dalam Angka 2016 (Serang: BPS Provinsi Banten, 2016), 440.
62
BPS, Banten dalam Angka 2016, 440.
63
BPS, Banten dalam Angka 2016, 440.
64
BPS, Banten dalam Angka 2017, 448.
236 Oligarki dan Demokrasi...

PDRB terendah, yaitu sebesar Rp22,17 triliun dari Rp20,28 triliun


pada 2015.65

Grafik 4.2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi


Banten (Triliun Rupiah) atas Dasar Harga Kontan 2010 dan Harga
Berlaku Tahun 2012-201666
600

500

400

300 Harga Konstan 2010


Harga Berlaku
200

100

0
2012 2013 2014 2015* 2016**

*Angka BPS sementara


**Angka BPS sangat sementara
Sumber: Data diolah dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten.
Grafik 4.2. menunjukkan Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) Provinsi Banten (Triliun Rupiah) atas Dasar Harga
Kontan 2010 dan Harga Berlaku Tahun 2012-2016. Angkanya
terus mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir dari
Rp310,38 triliun pada 201267 menjadi Rp387,59 triliun pada
201668 berdasarkan harga konstan 2010. Bahkan jika diukur
berdasarkan harga berlaku, tren kenaikannya sangat pesat dari

65
BPS, Banten dalam Angka 2016, 440.
66
BPS Provinsi Banten, Banten dalam Angka 2017, 448-453 dan
BPS Provinsi Banten, Banten dalam Angka 2016, 440-445.
67
BPS, Banten dalam Angka 2016, 443 dan 445.
68
BPS, Banten dalam Angka 2017, 451 dan 453.
Ahmad Munjin 237

Rp338,22 triliun pada 201269 menjadi Rp516,32 triliun pada


2016.70 Namun demikian, data tersebut baru menjelaskan sumber
daya kekuasaan material71 yang menjadi basis kekuasaan oligarkis
dari sisi makroekonomi dan belum menjelaskan apakah oligarki di
Provinsi Banten terbentuk atau tidak. Sebab, yang menjelaskan
pembentukan sistem pemerintahan oligarkis adalah stratifikasi
material72 atau ketimpangan ekonomi yang ekstrem. Oleh karena
itu, pada subbab berikutnya, peneliti menjelaskan ketimpangan
ekonomi di Provinsi Banten. Sekali lagi, data PDRB di atas hanya
memberikan konteks pada ketimpangan ekonomi tersebut yang
menjadi prasyarat pembentukan sistem pemerintahan oligarkis.
Perkembangan ekonomi Banten berdasarkan harga kons-
tan sebelum Banten menjadi provinsi terpisah dari Jawa Barat
hingga berdiri sendiri mengalami rentetan yang panjang. Di dalam
rentetan tersebut terdapat perubahan metodologi hingga tiga kali.
Karena perubahan metodologi itu, data-data yang dihasilkan bisa
digunakan untuk analisis tapi harus teliti. Sebab, untuk tahun
2000 ke belakang, PDRB menggunakan harga konstan tahun dasar
1993. Sedangkan untuk 2000-2010 menggunakan tahun dasar
2000. Untuk 2010 ke atas, menggunakan tahun dasar 2010. Untuk
menghitung pertumbuhan ekonomi, BPS masih menggunakan
tahun dasar. Sekarang, BPS sedang merancang dan dibantu pihak
dari Australia untuk menyusun pertumbuhan ekonomi yang dasar-
nya adalah tahun sebelumnya. “Jadi, nanti pertumbuhan ekonomi
akan didasarkan pada dasar tahun sebelumnya. Saat ini, dasar
tahunnya masih 10 tahun sekali.”73
Banten memisahkan diri dari Jawa Barat pada tahun 2000
dan PDRB-nya menggunakan tahun dasar 1993. Oleh karena itu,
69
BPS, Banten dalam Angka 2016, 442 dan 444 .
70
BPS, Banten dalam Angka 2017, 450 dan 452.
71
Winters, Oligarchy, 18-20.
72
Winters, Oligarchy, 7.
73
Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Neraca
Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang,
Senin, 30 Oktober 2017.
238 Oligarki dan Demokrasi...

ada kemungkinan pertumbuhan ekonomi pada tahun tersebut


(2000) sudah mencapai 7%. Begitu masuk ke 2010-2011 bisa jatuh
ke 4%. Akan tetapi, karena perbedaan tahun dasar tadi, angka 4%
tidak menggambarkan kondisi riil sehingga jika dianalisis menjadi
bias. Kenapa menggunakan perbedaan tahun dasar, karena harga
komoditas dan ekonomi juga terus berkembang. Sesuai usul Perse-
rikatan Bangsa-bangsa (PBB), PDRB saat ini diukur menggunakan
tahun dasar 2010. “Bahkan ada rencana, untuk 2019 menggunakan
tahun dasar 2016. Menjadi lebih pendek, 5 tahun sekali, hingga
nantinya per tahun sekali yang menjadi tahun dasar penyusunan
PDRB.”74

2. Stratifikasi Material di Provinsi Banten


Dari sisi demokratisasi ekonomi yang merefleksikan tipis-
nya ketimpangan, secara statistik yang bisa dibaca dan diukur
adalah ketimpangan berdasarkan Gini Coefisien Ratio yang biasa
disebut indeks gini. Indeks gini menunjukkan kadar ketimpangan
atau stratifikasi material tersebut. Jika angkanya mendekati 0
menunjukkan tingak ketimpangan yang tipis dan jika mendekati
angka 0,45 menunjukkan ketimpangan yang berada pada level
bahaya.75 Indeks gini pada level bahaya mendindikasikan adanya
stratifikasi material76 yang esktrem dan memenuhi syarat pem-
bentukan sistem pemerintahan oligarkis. Grafik 4.3. menunjukkan
tren kenaikan ketimpangan tersebut di provinsi Banten.

74
Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Nera-
ca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang,
Senin, 30 Oktober 2017.
75
Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Neraca
Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang,
Senin, 30 Oktober 2017.
76
Winters, Oligarchy, 7.
Ahmad Munjin 239

Grafik 4.3. Rasio Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Banten


Rasio Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Banten

Indeks Gini

0.42 0.4 0.42 0.39 0.39


0.37 0.34 0.37 0.38 0.39
0.33 0.36 0.36

2002 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Sumber: Diolah dari data Gini Coefisien Ratio Badan Pusat Statistik
(BPS) Provinsi Banten.

Dari Grafik 4.3. terlihat ketimpangan pendapatan yang


menggambarkan bahwa kalangan atas merupakan penikmat terbe-
sar pertumbuhan ekonomi di provinsi Banten. Ketimpangan pen-
dapatan antar penduduk yang diukur dengan indeks Gini cende-
rung mengalamai kenaikan yang berarti semakin timpang. Padahal
sejatinya pertumbuhan ekonomi dapat dinikmati secara merata
oleh semua kelompok penduduk bukan sebaliknya di mana per-
tumbuhan ekonomi lebih banyak dinikmati kalangan atas. Indeks
Gini mencapai 0,39, yakni mendekati titik bahaya 0,45.77 Dengan
demikian, berdasarkan indeks Gini, sistem oligarkis terus tercipta
di provinsi Banten karena rasio ketimpangannya mendekati
ekstrem.
Selain pada Indeks Gini, ketimpangan juga bisa dilihat
dari nilai absolut PDRB per kabupaten/kota yang jaraknya sangat
terlihat jauh78 (lihat Grafik 4.4.).
77
BPS Provinsi Banten.
78
Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Neraca
Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang,
Senin, 30 Oktober 2017.
240 Oligarki dan Demokrasi...

Grafik 4.4. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas Dasar


Harga Berlaku Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten
(Triliun Rupiah) Tahun 2012-2016
160
Kota Tangerang
140
Kab. Tangerang
120

100 Kota Cilegon

80
Kab. Serang
60
Kota Tangerang
40 Selatan

20 Kota Serang

0 Kab. Lebak
2012 2013 2014 2015* 2016*

*Angka BPS sementara


**Angka BPS sangat sementara
Sumber: Diolah dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten.

Grafik 4.4. menggambarkan Produk Domestik Regional


Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku menurut Kabupaten/Kota
di Provinsi Banten dalam triliun rupiah sejak tahun 2012 hingga
2016. Grafik tersebut menunjukkan bahwa Kota Serang, Kabupa-
ten Lebak, dan Kabupaten Pandeglang berada di posisi tiga teren-
dah secara konsisten sejak 2012. Di lain sisi, Kota Tangerang,
Kabupaten Tangerang dan Kota Cilegon selalu menempati posisi
tiga teratas nilai nominal PDRB. Sementara itu, Kabupaten
Serang dan Kota Tangerang Selatan selalu berada di posisi tengah
secara konsisten. Dari sisi tren pertumbuhan pun, Kota Tangerang
jauh lebih pesat dibandingkan tiga wilayah, yakni Kota Serang,
Kabupaten Lebak, dan Pandeglang yang meski mengalami per-
tumbuhan tapi lambat. Dengan demikian, ketimpangan terlihat
Ahmad Munjin 241

ekstrem antara Kabupaten/Kota yang berada di wilayah utara


Banten dan wilayah selatan.
Ketimpangan ekonomi ditandai oleh dua komponen utama
di Banten, yakni wilayah industri di wilayah utara yang relatif
kaya dan wilayah pertanian di selatan yang relatif miskin. Banten
sebelah utara yang merupakan wilayah industri, yaitu: Kabupaten
Serang, Kota Serang. Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang,
Kota Tangerang Selatan, dan Kabupaten Cilegon. Sementara itu,
Banten sebelah selatan: Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten
Lebak. Meski masuk kategori wilayah industri, Kota Serang di-
sebut sebagai ‘bak beton’, yang hanya berfungsi sebagai penyang-
ga di mana ekonomi lebih banyak digerakkan oleh sektor jasa.
Saat Serang melepaskan diri dari Kabupaten, Kota Serang sebe-
narnya bisa dikatakan tidak memiliki apa-apa. Secara teritori, kota
ini dipisahkan oleh Walangkaka dan Kabupaten Serang. “Ada
industri di Walangkaka, tapi sedikit. Kalau tidak ada Walangkaka,
Kota Serang payah karena hanya mengandalkan royalti. Itu akibat
dari pemekaran yang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor
politis.”79
Selain faktor industri, menurut BPS Provinsi Banten,
stratifikasi material80 juga salah satunya dipicu oleh adanya sense
yang timpang antara pekerja migran dan non-migran. Perusahaan-
perusahaan di Banten tidak mengutamakan penduduk setempat
dalam pengangkatan karyawan. Jika pihak industri membuka
lowongan pekerjaan, mereka enggan untuk memprosesnya karena
semua pelamar berasal dari daerah setempat. Faktanya pun, BPS
Provinsi Banten mempunyai pengalaman menguji para pelamar
pekerjaan dari Universitas Tirtayasa (Untirta) yang hasilnya mem-
perlihatkan adanya ketimpangan pengetahunan dan kecakapan
(lack of knowledge and skills) antara migran dan nonmigran.

79
Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Neraca
Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang,
Senin, 30 Oktober 2017.
80
Winters, Oligarchy, 7.
242 Oligarki dan Demokrasi...

Kondisi ini diperparah oleh faktor budaya di mana nonmigran


punya ketergantungan terhadap keluarga sehingga tidak ada upaya
untuk kerja keras dalam meraih pekerjaan yang layak. Di lain sisi,
migran lebih terdorong oleh situasi di perantauan untuk kerja ke-
ras dalam mempertahankan diri. Pada kenyataannya, pada level
industri juga terdapat diskriminasi.81
Pada akhirnya, pemerintah provinsi Banten mengeluarkan
Peraturan Daerah (Perda) yang mengharuskan industri mengang-
kat penduduk setempat minimal 5% dari total karyawan. Akan
tetapi, berdasarkan survei BPS, implementasi Perda tersebut tidak
berjalan. Tetap saja calon karyawan asal Jawa dan Lampung ber-
bondong-bondong membuat KTP sebagai warga lokal dengan
membayar lebih mahal dan menjadi karyawan. Kesempatan 5%
untuk warga lokal pun terhapus. Akibatnya, terjadilah persaingan
yang tidak sehat karena migran berani untuk membayar mahal
dalam proses pembuatan KTP lokal. Karena terjadi perbedaan
faktor produksi dan akses ke sumber-sumber ekonomi, ketimpa-
ngan ekonomi tidak bisa dihindari. Jadi, gini coefisien dan PDRB
merupakan indikasi yang paling gampang untuk menunjukkan
ketimpangan di Provinsi Banten.82
Meski begitu, untuk melihat industri sebagai faktor utama
ketimpangan, PDRB bisa dipisahkan antara industri dan tanpa
industri. Jika PDRB dihitung tanpa industri untuk semua kabupa-
ten/kota, angkanya relatif homogen mulai dari Pandeglang hingga
Tangerang. “Begitu industri dimasukkan ke dalam komponen

81
Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Neraca
Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang,
Senin, 30 Oktober 2017.
82
Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Neraca
Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang,
Senin, 30 Oktober 2017.
Ahmad Munjin 243

PDRB, terlihat sangat jomplang sehingga coefisien gini-nya lang-


sung melebar.”83 Lihat Grafik 4.5.

Grafik 4.5. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)


tanpa Komponen Industri atas Dasar Harga Berlaku
Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten
(Triliun Rupiah) Tahun 2012-2016
100
90 Kab. Pandeglang

80
Kab. Lebak
70
60 Kab. Tangerang
50
40 Kab. Serang

30
Kota Tangerang
20
10 Kota Cilegon
0
2012 2013 2014 2015 2016

Sumber: Data diolah dari Provinsi Banten dalam Angka, Kabupaten/Kota


di Provinsi Banten dalam Angka, PDRB Kabupaten/Kota, dan
Data Statistik Kabupaten/Kota Tahun 2015, 2016, dan 2017.
Setelah industri manufaktur dikeluarkan dari komponen
PDRB, Grafik 4.5. tetap memperlihatkan tren ketimpangan penda-
patan antara Banten di wilayah utara dan wilayah selatan. Kota
Tangerang memimpin PDRB tertinggi tanpa komponen industri
jauh di atas Kabupaten Tangerang yang menempati rangking
kedua. Sementara itu, Kota Tangerang Selatan menempati rang-

83
Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Neraca
Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang,
Senin, 30 Oktober 2017.
244 Oligarki dan Demokrasi...

king ketiga. Di lain sisi, Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeg-


lang menempati PDRB tanpa industri terendah disusul Kota
Serang, Kabupaten Serang, dan Kota Cilegon. Dari grafik ini,
kabupaten/kota yang relatif homogen dari sisi PDRB tanpa indus-
tri adalah lima kabupatan/kota yang disebutkan terakhir. Dari sisi
ini, secara makroekonomi, Kota Tangerang, Kabupaten Tange-
rang, dan Kota Tangerang Selatan memiliki sumber daya kekua-
saan material84 terbesar yang menjadi basis kekuasaan oligarkis
dibandingkan lima kabupaten/kota lainnya di Provinsi Banten.
Semua itu menggambarkan ketimpangan atau stratifikasi materi-
al85 di tanah para jawara itu dari sudut pandang makroekonomi.
Akan tetapi, data-data tersebut belum mengerucut pada siapa saja
yang menjadi aktor oligarki. Data berikutnya adalah pengeluaran
per kapita (lihat Grafik 4.6.).

Grafik 4.6. Pengeluaran per Kapita yang Disesuaikan


Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten
(Juta Rupiah/Tahun), 2013-2016
16
Kota Tangerang
14 Selatan

12 Kota Serang

10
Kota Cilegon
8
6 Kota Tangerang
4
2 Kab. Serang

0
Kab. Tangerang
2013 2014 2015 2016

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, Provinsi Banten


dalam Angka 2017 (Serang: BPS Provinsi Banten, 2017), 166.

84
Winters, Oligarchy, 18-20.
85
Winters, Oligarchy, 7.
Ahmad Munjin 245

Grafik 4.6. menggambarkan pengeluaran per kapita yang


disesuaikan menurut kabupaten/kota di provinsi Banten dalam
juta rupiah per tahun sejak 2013 hingga 2016. Pengeluaran diteo-
rikan sama dengan pendapatan. Sebab, orang tidak mungkin mela-
kukan pengeluaran konsumsi jika tidak memiliki pendapatan.86
Angkanya menunjukkan, Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pan-
deglang menempati pengeluaran per kapita terendah. Di lain sisi,
Kota Tangerang Selatan dan Kota Tangerang menempati penge-
luaran per kapita tertinggi, hampir dua kali lipat pengeluaran
terendah. Data pengeluaran ini juga jelas memperlihatkan adanya
ketimpangan. Selanjutnya, data PDRB per kapita (lihat Grafik
4.7.).

Grafik 4.7. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita


(Juta Rupiah) di Provinsi Banten Tahun 2016

PDRB per Kapita


250
200
150
100
50 PDRB per Kapita
0

Sumber: Nur Rodiana dan Ulfah Sofiah, Statistik Daerah Kabupaten


Pandeglang 2017, ed. Tri Tjahjo Purnomo (Pandeglang: Badan
Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Pandeglang, 2017), 21.

86
Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Neraca
Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang,
Senin, 30 Oktober 2017.
246 Oligarki dan Demokrasi...

Dengan melihat pada Grafik 4.7., dalam konteks Banten


secara keseluruhan, penduduk Kota Cilegon mengalami konsen-
transi sumber daya kekuasaan material87 yang ekstrem berdasar-
kan PDRB per kapita tahun 20116 dibandingkan tujuh kabupa-
ten/kota lainnya. Dari sisi ini, secara makro ekonomi, Kota
Cilegon potensial lebih banyak memiliki oligark dibandingkan
kabupaten/kota lainnya di Provinsi Banten. Sebab, akumulasi
kekayaan terkonsentrasi pada kota tersebut jika dibaca dalam
konteks Banten secara keseluruhan bukan Cilegon saja. Jika hanya
fokus pada kota Cilegon, harus dilihat seberapa banyak penduduk
miskin di wilayah tersebut. Jika banyak, menandakan terjadinya
ketimpangan ekstrem yang mendefinisikan terjadinya sistem
oligarkis di kota Cilegon saja. Untuk itu, lihat Grafik 4.8. berikut
ini:

Grafik 4.8. Jumlah Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di


Provinsi Banten (ribu orang), 2013-2016
250

200

150

100
2014
50 2015
0 2016

Sumber: Bidang Integrasi Pengolahan dan Diseminasi Statistik, Badan


Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, Provinsi Banten dalam
Angka 2017 (Serang: BPS Provinsi Banten, 2017), 152.

87
Winters, Oligarchy, 18-20.
Ahmad Munjin 247

Grafik 4.8. menggambarkan jumlah penduduk miskin


menurut kabupaten/kota di Provinsi Banten dalam ribu orang
sejak tahun 2013 hingga 2016. Yang patut ‘dicurigai’ dari grafik
tersebut adalah tingginya angka kemiskinan di Kabupaten Tange-
rang. Sebab, kabupaten ini dari sisi PDRB menempati urutan
tertinggi dibandingkan wilayah-wilayah lain. Jika pertumbuhan
ekonomi tinggi tapi angka kemiskinan juga tinggi, menandakan
bahwa pertumbuhan hanya dinikmati oleh segelintir orang dari
kelas menengah atas. Ini juga jadi pertanda adanya stratifikasi
material yang menjadi syarat terbentuknya sistem oligarkis di
Kabupaten Tangerang secara makroekonomi.
Yang perlu dicermati berikutnya adalah Kota Tangerang
yang angka kemiskinannya hampir menyamai Kabupaten Pandeg-
lang dan Kabupaten Lebak yang merupakan wilayah dengan
PDRB terendah. Padahal, seperti halnya Kabupaten Tangerang,
Kota Tangerang menempati urutan PDRB tertinggi. Dari sisi ini,
Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang potensial oligarkis
karena terciptanya ketimpangan. Sedangkan Kota Cilegon me-
nempati jumlah penduduk miskin terendah. Padahal, PDRB per
kapita Kota Cilegon merupakan yang tertinggi. Kondisi ini me-
nandakan sumber daya kekuasaan material di Cilegon relatif
terdistribusi secara merata sehingga prasyarat sistem oligarkis
tidak terpenuhi jika semata melihat wilayah tersebut. Jika Cilegon
dilihat dalam konteks Banten secara keseluruhan, ceritanya justru
berbeda. Cilegon menempati akumulasi sumber daya kekuasaan
terbesar dibandingkan wilayah lain di Banten sehingga para
penduduknya potensial menjadi para oligark.
Seiring data-data di atas yang dilihat sebagai struktur eko-
nomi di provinsi Banten, BPS menentukan elite ekonomi tidak
pada klan tertentu sebagaimana diberitakan media massa. BPS
lebih melihat kepada siapa pemegang produksi terbesar. Dalam
konteks ini adalah kalangan industri. Dari sisi ini, kalangan indus-
trilah yang menguasai sumber daya kekuasaan material88 terbesar.

88
Winters, Oligarchy, 18-20.
248 Oligarki dan Demokrasi...

Sebab, dari struktur PDRB terlihat 56% ekonomi Banten digerak-


kan oleh industri. Ekspor dan impor terbesar Banten juga merupa-
kan komoditas industri. Para pelaku industribanyak mengimpor,
lalu diolah di Banten, setelah nilai tambahnya naik lalu dijual
kembali. Keadaan tersebut sebenarnya dinilai baikdi awal tapi,
jika dibiarkan terus, ekonomi akan sangat tergantung pada kondisi
luar negeri. Jika Banten tidak bisa menciptakan produk sebagai
substitusi impor, lambat laun tapi pasti ekonomi Banten akan
mengalami stagnasi. Sejatinya, industri yang ada di Banten dia-
rahkan ke industri yang bahan bakunya terdapat di Banten, bukan
impor. Bisa saja UMKMdomestik yang pelakunya merupakan
penduduk lokal mendukung industri yang ada. “Jika tidak ada
substitusi impor, saat di luar guncang, akan berpengaruh ke
Banten yang terbukti pada krisis 1997-1998, di mana beberapa
perusahaan gulung tikar di Tangerang, Cilegon, dan Cikande. Para
karyawan yang di-PHK kembali bertani, membuat bisnis bunga
dan macam-macam.”89
Kemudian, untuk menunjuk para pelaku industri itu seba-
gai aktor oligark di Banten dengan pertimbangan kekuasaan
mereka atas sumber daya material,90 mayoritas mereka merupakan
investor luar, bukan penduduk Banten. Berdasarkan data Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sebanyak 80% Penana-
man Modal Dalam Negeri (PMDN) merupakan investor non-
Banten. Banten merupakan tempat tujuan investasi favorit nomor
5 di mana Banten masuk ke dalam koridor Jawa-Bali sebagai
tujuan investasi. Dari sisi lokasi, Banten sebenarnya diutungkan.
Bahkan sejak zaman Banten prakemerdekaan sudah diuntungkan
karena wilayah ini strategis.91

89
Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Neraca
Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang,
Senin, 30 Oktober 2017.
90
Winters, Oligarchy, 18-20.
91
Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Neraca
Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang,
Senin, 30 Oktober 2017.
Ahmad Munjin 249

Dengan melihat data Gini Coefisien Ratio, PDRB atas


dasar harga berlaku menurut kabupaten/kota di provinsi Banten
(triliun rupiah) tahun 2012-2016, PDRB tanpa komponen industri
atas dasar harga berlaku menurut kabupaten/kota di provinsi
banten (triliun rupiah) tahun 2012-2016, pengeluaran per kapita
yang disesuaikan menurut kabupaten/kota di provinsi Banten (juta
rupiah/tahun), 2013-2016, PDRB per kapita (juta rupiah) di
provinsi Banten tahun 2016, dan jumlah penduduk miskin menurut
kabupaten/kota di provinsi Banten (ribu orang) sejak 2013 hingga
2016 ketimpangan sumber daya kekuasaan material92 jelas tercipta
di provinsi Banten. Stratifikasi material yang paling ekstrem ter-
jadi antara Banten wilayah utara terutama kabupaten Tangerang
dan kota Tangerang dan wilayah selatan, terutama kabupaten
Lebak dan kabupaten Pandeglang.
Jika dilihat per wilayah, Kota Cilegon memiliki sumber
daya material yang relatif merata dibandingkan kabupaten/kota
lainnya. Oleh karena itu, potensi terciptanya sistem pemerintahan
oligarkis di Cilegon relatif kecil. Sebab, Cilegon memiliki PDRB
per kapita tertinggi dengan tingkat kemiskinan terendah. Di lain
sisi, kota Tangerang dan kabupaten Tangerang menempati rang-
king PDRB tertinggitapi tingkat kemiskinan juga tinggi Kabupa-
ten Tangerang bahkan menempati angka kemiskinan tertinggi.
Oleh karena itu, bisa ditafsirkan, tingginya pendapatan wilayah
tersebut tidak dinikmati oleh sebagian besar warganya. Yang perlu
dicermati adalah Kota Tangerang dengan PDRB tertinggi tapi
tingkat kemiskinannya hampir menyamai kabupaten Lebak dan
Pandeglang yang notabene memiliki PDRB terendah. Itu juga me-
nunjukkan ketimpangan sumber daya material di Kota Tangerang.
Sementara itu, tingginya tingkat kemiskinan di Lebak dan Pan-
deglang sejalan dengan tingkat PDRB-nya yang menempati posisi
terendah di provinsi Banten. Jika Cilegon memiliki sumber daya
material yang relatif merata, Lebak dan Pandeglang memiliki
kurangnya sumber daya material yang relatif merata. Namun

92
Winters, Oligarchy, 7.
250 Oligarki dan Demokrasi...

demikian, alih-alih Lebak dan Pandeglang tidak memiliki potensi


oligarkis, kedua kabupaten ini sangat rentan terbentuknya sistem
oligarkis jika terdapat segelintir orang yang memiliki kekayaan
yang sangat ekstrem.
Di atas semua itu, berdasarkan data-data yang menunjuk-
kan ketimpangan di atas, dari sudut pandang makroekonomi, stra-
tifikasi material di provinsi Bantencenderung memenuhi syarat
terbentuknya pemerintahan oligarkis. Apakah provinsi Banten
otomatis tidak demokratis, jawabannya benar secara ekonomi tapi
belum tentu secara politik karena harus dilihat profil sumber daya
kekuasaannya yang melekat pada para pemangku kekuasaan
politik. Jika profil kekuasaannya berbasis material yang ekstrem,
bisa dinyatakan oligarkis. Jika basis kekuasaanya elite, yakni
mobilisasi, jabatan resmi, hak politik formal, dan koersif, maka
dinyatakan demokratis. Sebab, demokrasi menghendaki partisipasi
hak politik secara luas sedangkan oligarki menghendaki konsen-
trasi kekayaan.
Oleh karena itu, meski Banten memenuhi syarat sebagai
pemerintahan oligarkis dari sisi sumber daya material, Indeks
Demokrasi Indonesia (IDI) Provinsi Banten mengalami perbaikan
dalam setahun terakhir (lihat Grafik 4.9.) meskipun masih dalam
kategori ‘sedang’.
Ahmad Munjin 251

Grafik 4.9. Perkembangan IDI Provinsi Banten, 2009-2016

Perkembangan IDI Provinsi Banten, 2009-2016

80
60
40
20 IDI Banten
0
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016

Sumber: BPS Provinsi Banten, “Indeks Demokrasi Indonesia (IDI)


Banten 2016,” Berita Resmi Statistik Provinsi Banten, no.
54/09/36/Th.XI, 14 September 2017, 2.

Grafik 4.9. mengambarkan IDI Banten 2016 mencapai


angka 71,36 dalam skala 0 sampai 100. Angka ini mengalami
peningkatan dibandingkan dengan angka IDI Banten 2015 yang
sebesar 68,46. Meskipun sedikit mengalami perubahan, tingkat
demokrasi di Banten masih termasuk dalam kategori ‘sedang.’93
Perubahan angka IDI dari 2015-2016 dipengaruhi oleh tiga aspek
demokrasi, yakni pertama, Kebebasan Sipil yang naik 9,19 poin
(dari 74,28 menjadi 83,47); kedua, Hak-hak Politik yang naik 4,58

93
Klasifikasi tingkat demokrasi dikelompokkan menjadi tiga
kategori, yakni “baik” (indeks › 80), “sedang” (indeks 60-80), dan
“buruk” (indeks ‹ 60). Lihat BPS Provinsi Banten, “Indeks Demokrasi
Indonesia (Idi) Banten 2016,” Berita Resmi Statistik Provinsi Banten,
No. 54/09/36/Th.XI, 14 September 2017, 1.
252 Oligarki dan Demokrasi...

poin (dari 63,72 menjadi 68,30), dan ketiga, Lembaga-lembaga


Demokrasi yang turun 7,67 poin (dari 68,66 menjadi 60,99).94
Pencapaian angka IDI Banten dari tahun 2009 hingga
2016 mengalami fluktuasi. Pada awal mula dihitung tahun 2009,
capaian IDI Banten hanya sebesar 67,98. Angka ini terus menga-
lami perubahan hingga mencapai momen tertingginya pada tahun
2014 sebesar 75,50; walaupun pada akhirnya kembali turun
menjadi 68,46 di tahun 2015 dan meningkat kembali pada tahun
2016 sebesar 71,36. Fluktuasi angka IDI adalah cerminan situasi
dinamika demokrasi di Banten. IDI sebagai sebuah alat ukur
perkembangan demokrasi yang khas Indonesia memang dirancang
untuk sensitif terhadap naik-turunnya kondisi demokrasi. IDI disu-
sun secara cermat berdasarkan kejadian (evidence-based) sehingga
potret yang dihasilkan merupakan refleksi realitas yang terjadi.95
Demokrasi politik mengacu pada tersebarnya kekuasaan
politik formal yang didasarkan atas hak-hak, prosedur-prosedur,
dan level-level partisipasi umum.96 Jika ekonomi tersebar merata,
berarti tercipta demokratisasi ekonomi. Jika sebaliknya, yang ter-
cipta adalah oligarki. Sistem ini mengacu pada terkonsentrasinya
kekuasaan material yang didasarkan pada penegakan klaim-klaim
atau hak-hak atas kepemilikan atau kekayaan.97 Jika kekuasaan
material tersebar secara merata yang berarti demokratisasi ekono-
mi berjalan, oligarki pun tidak ada. Bahkan, kalaupun terjadi kon-
sentrasi kekayaan yang ekstrem pada suatu wilayah, secara formal
demokrasi tetap berjalan. Dari sisi ini, oligarki bertentangan
dengan demokrasi ekonomi tapi sejalan dengan demokrasi politik
formal, bukan subtansial.

94
BPS Provinsi Banten, “Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Ban-
ten 2016,” Berita Resmi Statistik Provinsi Banten, No. 54/09/36/Th.XI,
14 September 2017, 1.
95
BPS Provinsi Banten, “Indeks Demokrasi Indonesia (Idi)
Banten 2016,” Berita Resmi Statistik Provinsi Banten, No. 54/09/36/
Th.XI, 14 September 2017, 1.
96
Winters, Oligarchy, 39.
97
Winters, Oligarchy, 39.
Ahmad Munjin 253

3. Sumber Daya Material Kiai dan Jawara dalam Struktur


Ekonomi di Provinsi Banten
Lantas, di manakah posisi kelompok jawara dan kiai yang
menjadi fokus utama penelitian ini dalam struktur ekonomi di
Provinsi Banten? Jika melihat data BPS Provinsi Banten tahun
2016, secara statistik kedua informal leader98 itu masuk ke dalam
kategori pengeluaran konsumsi lembaga non-profit (LNPRT)99
dalam PDRB menurut pengeluaran. Dari sudut pandang sumber
daya kekuasaan material,100 kontribusi LNPRT tidak signifikan
terhadap PDRB. Meski angkanya mencapai Rp2,38 triliun, kontri-
businya hanya 0,46% dari nilai total PDRB Provinsi Banten tahun
2016 sebesar Rp516,32 triliun.101Pada lembaga non-profit terdapat
pengeluaran konsumsi lembaga keagamaan, lembaga sosial, dan
organisasi kemasyarakatan di mana kiai dan jawara termasuk di
dalamnya. Sebab, di dalam lembaga keagamaan di antaranya ter-
dapat pondok pesantren.102

98
Abdul Hamid, “The Kiai in Banten: Shifting Roles in Cha-
nging Times,” dalam Islam in Contention: Rethinking Islam and State in
Indonesia, eds. Ota Atsushi, Okamoto Masaaki, dan Ahmad Suaedy
(Jakarta: Wahid Institute, Kyoto: Center for Southeast Asian Studies
(CSEAS), Taiwan: Center for Asia-Pacific Area Studies (CAPAS),
2010), 438.
99
PDB menurut pengeluaran mengalami perubahan klasifikasi di
mana pengeluaran konsumsi Lembaga Non Profit yang Melayani Rumah
Tangga (LNPRT) yang sebelumnya termasuk bagian dari pengeluaran
konsumsi rumah tangga menjadi komponen terpisah. Oleh karena itu,
klasifikasi PDB menurut pengeluaran dirinci menjadi 7 komponen, yaitu
komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga, pengeluaran konsumsi
LNPRT, pengeluaran konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap
bruto, perubahan inventori, ekspor barang dan jasa, dan impor barang dan
jasa. Lihat BPS Provinsi Banten, Banten dalam Angka 2017, 443.
100
Winters, Oligarchy, 18-20.
101
BPS Provinsi Banten, Banten dalam Angka 2017, 450.
102
Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Nera-
ca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang,
Senin, 30 Oktober 2017.
254 Oligarki dan Demokrasi...

Namun demikian, meski kontribusi LNPRT terhadap


PDRB tidak signifikan, profil sumber daya kekuasaan seorang kiai
secara kelembagaan melalui pondok pesantren, jauh lebih besar
dibandingkan jawara. Sebab, 80% pengeluaran lembaga non-profit
diisi oleh pondok pesantren. Sementara itu, jawara masuk ke da-
lam kelompok seni budaya dan organisasi kemasyarakatan (ormas)
yang kontribusninya tidak mencapai 0,1%.103 Jadi, jika mengacu
pada LNPRT, secara makroekonomi, sumber daya kekuasaan
material104 kiai dengan pondok pesantrennya lebih dominan diban-
dingkan jawara. Bahkan, pertumbuhan LNPRT bisa lebih tinggi
daripada konsumsi pemerintah atau mengalahkan ekspor yang
hanya tumbuh 2%. “LNPRT bisa tumbuh 12% terutama pada saat
musim-musim acara keagamaan meskipun dari sisi kontribusinya
terhadap PDRB kecil karena penggalangan dana untuk acara
keagamaan lebih bersifat seiklasnya dan semampunya.”105
Kesulitan BPS dalam melakukan survei ke pesantren
adalah jawaban dari pimpinan pondok yang tidak eksplisit dalam
menyebutkan nilai nominal rupiah atau angka. Jika surveyor berta-
nya kepada kiai, “Pak Kiai, mohon maaf, ini survei rutin. Mohon
maaf, pondok ini, triwulan ini, pengeluaran untuk bahan bakar
berapa?” Jawab kiai, “Wah Masha Alla>h.. Saaya-aya bae (seada-
nya saja), kumaha (bagaimana) Allah. Aya dipake (kalau ada
digunakan), teu aya wayahna (kalau tidak ada, harus diterima),
pake (pakai) lilin.” “Pak kiai kemarin muludan (melaksanakan
acara maulid Nabi)?” Jawab kiai, “Muludan.” Ada acara? “Ada.”
“Berapa Pak Kiai menghabiskan biaya?” Jawab kiai, “Enggak
tahu, walla>hu ’A‘lam, datang sorangan (sendiri).” Akan tetapi,
untuk pondok modern, pesantren memiliki catatan akuntasi keua-

103
Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Nera-
ca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang,
Senin, 30 Oktober 2017.
104
Winters, Oligarchy, 18-20.
105
Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Nera-
ca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang,
Senin, 30 Oktober 2017.
Ahmad Munjin 255

ngan (accounting) yang rapi sehingga BPS bisa langsung menda-


patkan datanya. Masalahnya, pesantren tradisional (salafiyah)
justru lebih banyak, yakni 80% dibandingkan pondok modern.
Padahal, perputaran uang di pondok pesantren sangat besar.106
Pesantren dihitung sebagai institusi ekonomi karena lem-
baga tersebut membuthkan suplai, seperti beras, padi, kerbau, dan
energi sehingga pesantren bisa menggerakan sektor lapangan
usaha, termasuk industri. Sebab, pesantren juga membutuhkan
mixer, tenda, tenaga kerja, dan lain-lain yang semuanya harus
dihitung secara ekonomi. “Jika di Banten hanya ada dua sektor
yakni industri dan para kiai, dan pesantren tidak memiliki akti-
vitas ekonomi, permintaan industri pun akan mati karena tidak
bisa menjual barang. Untuk apa industri melakukan produksi jika
tidak ada permintaan.”107
Oleh karena itu, jika para kiai itu bersatu, pertama, secara
nilai ekonomi mengalahkan para jawara. Kedua, dari sisi fungsi
ekonomi, jawara selalu hanya berada di posisi pejabat teras,
seperti satpam atau koordinator satpam. Kondisi ini kontras
dengan para kiai, yang terkadang berada di belakang dewan
direksi, seperti jabatan di dewan syariah. Bahkan, ketiga, kiai
berperan penting dalam jaringan (network) produksi dan distri-
busi. Sebagai contoh, industri makanan gula yang akan mendistri-
busikan produknya ke industri kue. Di sini, peran kiai sangat
besar, yakni memastikan bahwa gula yang didistribusikan tersebut
masuk ke dalam jaringan industri yang halal dan layak konsumsi.
Begitu juga saat mengeluarkan produk, industri harus memiliki
sertifikat halal dari para kiai melalui Majelis Ulama Indonesia

106
Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Nera-
ca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang,
Senin, 30 Oktober 2017.
107
Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Nera-
ca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang,
Senin, 30 Oktober 2017.
256 Oligarki dan Demokrasi...

(MUI). Dari sisi fatwa dan sertifikat halal, peran dan fungsi kiai
dalam industri penting dan dominan 100%.108
Biaya sertifikat-sertifikat termasuk sertifikat halal dari
MUI merupakan fixed investasi yang difaktorkan ke dalam
Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) dalam PDRB. Sebab,
untuk menerbitkan suatu sertifikat yang berpengaruh dalam faktor
produksi dan distribusi sebuah industri otomatis membutuhkan
biaya riset. Sebagai contoh, industri kayu di Banten tidak bisa
melakukan ekspor ke Amerika Serikat jika tidak memiliki sertifi-
kat bahwa kayu tersebut merupakan hasil tanaman industri.
Sertifikat halal merupakan salah satu di antaranya. Begitu juga
dengan makanan yang tidak bisa dijual bebas tanpa sertifikat halal
dari MUI.109 Jadi, secara makroekonomi, nilai seorang kiai lebih
besar dibandingkan jawara. Dengan jumlah ribuan pondok pesan-
tren, secara ekonomi peran kiai sangat sentral. Akan tetapi, karena
bersifat makro nilai ekonomi pondok pesantren secara kelemba-
gaan tidak bisa diklaim sebagai nilai ekonomi kiai sebagai pribadi
dalam perhitungan mikro.110
Jika dihitung secara mikro sumber daya seorang jawara
terntu lebih besar dibandingkan kiai. Dalam konteks ini jawara
diperhitungkan sebagai individu, seperti yang direpresentasikan
oleh keluarga jawara Chasan Sochib yang menyandang status
ganda sebagai jawara-pengusaha, bukan jawara pada umumnya.
Jawara-pengusaha memiliki sumber daya materal yang kuat
karena menguasai sektor konstruksi, sebagai pemilik. Meskipun,
fungsi jawara di konstruksi itu tetap berawal dari jawara sebagai

108
Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Nera-
ca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang,
Senin, 30 Oktober 2017.
109
Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Nera-
ca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang,
Senin, 30 Oktober 2017.
110
Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Nera-
ca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang,
Senin, 30 Oktober 2017.
Ahmad Munjin 257

‘pejabat teras’, di mana jawara berperan sebagai centeng, satpam,


dan jawara yang mengamankan wilayah. Akan tetapi, secara
ekonomi posisi ini sebenarnya tidak bisa bertahan lama. Sebab,
ekonomi nantinya berkembang dan terus berubah seperti sekarang
yang mengarah ke transaksi online. “Jawara tidak bisa memainkan
peran pada transaksi online. Di lain sisi, banyak kiai sekarang
yang sudah mengerti transaksi online. Abuya Cidahu saja sudah
menyarankan santrinya untuk membuka www (world wide
web).”111
Selain gambaran sumber daya kekuasaan material112 di
atas, kiai melalui pondok pesantrennya juga memiliki sumber daya
kekuasaan mobilisasi113 baik dari sisi jumlah pondok maupun
jumlah santri yang berusia pemilih. Data pondok pesantren, kiai
dan santri sering dijadikan alat politik oleh para politikus dalam
Pilkada. “Mereka meminta bantuan ke Pemda Rp100 juta per
pondok pesantren. Lalu, politikus meminta bantuan kepada kiai
dan para santri untuk didoakan dan para santri juga disuruh kiai
untuk mencoblos politikus tersebut dalam Pilkada.”114Dengan
jumlah 1.682 pondok pesantren di Banten,115 secara politik, profil
kekuasaan para kiai sebenarnya sangat besar jika mereka bersatu.
Bahkan, jika mengacu pada data Departemen Agama, pondok
pesantren di provinsi Banten pada 2008/2009 berjumlah sebanyak
2.514.116 Sebab, jumlah pesantren tersebut bisa menjadi sumber

111
Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi
Neraca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di
Serang, Senin, 30 Oktober 2017.
112
Winters, Oligarchy, 18-20.
113
Winters, Oligarchy, 15-18.
114
Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Nera-
ca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang,
Senin, 30 Oktober 2017.
115
Hamid, “Kiai in Banten,” 421.
116
Bagian Perencanaan dan DataSetditjen Pendidikan Islam
Departemen Agama Republik Indonesia, “Daftar Jumlah Santri dan
Nama Kyai Tahun 2008/2009.”
258 Oligarki dan Demokrasi...

daya kekuasaan mobilisasi politik117 bagi para kiai yang juga


besar. Apalagi, rata-rata santri adalah berusia pemilih.
Dari sisi profil kekuasaan seperti itu, yang seharusnya
berkuasa secara politik di Banten adalah para kiai dengan basis
kekuasaan mobilisasinya118 yang signifikan jika mereka bersatu.
Masalahnya, alih-alih mereka bersatu membangun satu kekuatan
mobilisasi119 politik melalui pondok pesantrennya, para kiai justru
menjadi objek dari entitas politik lain, seperti jawara-pengusaha120
yang memiliki profil sumber daya kekuasaan material121 yang
besar. Salah satu kelanggengan Ratu Atut Chosiyah dalam kekua-
saan hingga terus menjabat pada periode berikutnya dari wakil
hingga menjadi gubernur dua kali adalah karena kedekatannya
juga dengan para kiai. “Kelebihan warga lokal di sini adalah
ketika dia sudah mengaku sebagai saudara, dia akan berkorban
melebihi pengorbanan kepada saudara kandungnya. Begitu juga
dengan politik. Jika politikus mendapat dukungan dari ‘barisan
sorban,’ pemilih cenderung panatik terhadap apa yang menjadi
pilihan kiai.”122
Dari pembahasan subbab ini peneliti menarik benang
merah bahwa secara kelembagaan dan makroekonomi baik dari
sisi sumber daya kekuasaan mobilisasi123 maupun sumber daya
kekuasaan material,124 peran kiai jauh lebih besar dibandingkan
jawara pada umumnya. Bahkan, secara individu pun, kiai bisa

117
Winters, Oligarchy, 15-18.
118
Winters, Oligarchy, 15-18.
119
Winters, Oligarchy, 15-18.
120
Leo Agustino, “Dinasti Politik Pascaotonomi Orde Baru:
Pengalaman Banten,” Prisma: Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi29, No.
3 (Juli 2010): 110.
121
Winters, Oligarchy, 18-20.
122
Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Nera-
ca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang,
Senin, 30 Oktober 2017.
123
Winters, Oligarchy, 15-18.
124
Winters, Oligarchy, 18-20.
Ahmad Munjin 259

lebih unggul dibandingkan jawara. Sebab, dari sisi pekerjaan, rata-


rata jawara hanya bekerja sebagai pejabat teras, seperti satpam
atau centeng sedangkan kiai bisa berada di belakang dewan direksi
dalam susunan komisaris dan direksi suatu perusahaan di Provinsi
Banten. Akan tetapi, jika kiai dibandingkan dengan jawara terten-
tu (bukan secara kelembagaan) sebagaimana terefleksi dalam
LNPRT, yakni keluarga jawara yang punya status ganda (jawara-
pengusaha), Tubagus Chasan Sochib misalnya, profil kekuasaan
materialnya tentu jauh lebih rendah. Apalagi, kekayaan yang diref-
leksikan oleh pengeluaran konsumsi pesantren tidak bisa diklaim
sebagai milik kiai.
Dari sisi jumlah pondok pesantern, profil kekuasaan kiai
secara kelembagaan jauh lebih unggul dari sisi mobilisasinya
sedangkan jawara-pengusaha lebih unggul dari sisi sumber daya
kekuasaan materialnya. Itulah alasan profil kekuasaan kiai dan
jawara harus dilihat secara kelembagaan dan secara pribadi atau
individu. Secara individu pun harus dilihat apakah jawara-kiai
pada umumnya atau jawara-kiai tertentu. Perihal profil kekuasaan
seorang jawara-pengusaha, akan dibahas pada subbab berikutya.

C. Keluarga Jawara Chasan Sochib sebagai Oligark di Banten


Aristoteles membedakan prinsip oligarki, yakni kekayaan
(wealth) dengan kebajikan (virtue) yang menjadi prinsip aristo-
krasi.125Pada subbab ini, peneliti menjelaskan prinsip oligarki
tersebut pada para anggota keluarga besar Tubagus Chasan
Sochib. Penjelasan terutama mengenai hak milik dan kekayaan
sebagai sumber daya kekuasaan yang mengukur kadar oligarki
mereka yang direpresentasikan oleh Indeks Kekuasaan Material
(Material Power Index/MPI).

125
Friedrich, “Oligarchy,” 463.
260 Oligarki dan Demokrasi...

1. Para Ahli Waris Tubagus Chasan Sochib


Jika mengacu pada teori sumber daya kekuasaan,126
keluarga Chasan Sochib tidak hanya menggunakan sumber daya
materialnya yang menjadi basis kekuasaan oligarkis dalam meraih
tampuk kekuasaan. Akan tetapi, keluarga tersebut juga menggu-
nakan sumber daya kekuasaan koersif127 yang menjadi salah satu
basis kekuasaan elite. Sementara itu, jika meminjam bahasa
Richard Robison dan Vedi R Hadiz, jenis Oligarki keluarga Sochib
adalah politico-business families, yakni keluarga-keluarga yang
mengandung unsur-unsur bisnis dan politik.128
Meskipun demikian, menurut Winters, politico business
families itu belum tentu masuk ke dalam kategori oligark jika
tidak mencapai stratifikasi material yang ekstrem129 hingga ribuan
kali. Oleh karena itu, perlu ditegaskan di sini, semua oligark
dipastikan merupakan orang kaya, tapi tidak semua orang kaya
merupakan oligark sebagaimana semua oligark merupakan elite
tapi tidak semua elite adalah oligark. Jika kekuasaan dipegang
oleh para elite yang tidak kaya ekstrem, sistemnya disebut demo-
krasi dan jika kekuasaan dipegang oleh sedikit orang terkaya,
sistemnya disebut oligarki. Sebelum menjelaskan seberapa besar
kadar oligarki dari para anggota keluarga besar Tubagus Chasan
Sochib, peneliti melihat terlebih dahulu siapa saja yang menjadi
ahli waris Chasan Sochib yang kelak menjelma menjadi para
oligark. Secara umum, kekayaan yang menjadi sumber daya
kekuasaan oligarkis para anggota keluarga Tubagus Chasan
Sochib diklaim sebagai warisan dari ayahnya130 (lihat Bagan 4.1).

126
Winters, Oligarchy, 11-20.
127
Winters, Oligarchy, 15.
128
Richard Robison dan Vedi R. Hadiz, Reorganising Power in
Indonesia: The Politic of Oligarchy in an Age of Markets (London:
Routledge Curzon, 2004), xii.
129
Winters, Oligarchy, 281.
130
Rakhmatullah, “Harta Berlimpah, Keluarga Atut Klaim
Warisan Ayahnya,” Sindonews.com, Sabtu, 12 Oktober 2013, diakses 24
Ahmad Munjin 261

Bagan 4.1. Silsilah Ahli Waris Tubagus Chasan Sochib

Tubagus Chasan Sochib

Wasi‘ah Binti Samsudin Ratu Atut Chosiyah*


(Istri Pertama, Menikah
2-11-1960)
Ratu Tatu Chasanah*

Tubagus Chaeri Wardana

Chaeriyah (Istri Kedua, Ratu Heni Chendrayani


Menikah 21 Mei 1968)

Ratu Wawat Cherawati

Tubagus Hafid Habibullah

Tubagus Ari Chaerudin

Ratu Hera Herawati

Januari 2017, http://nasional.sindo news.com/read/793800/13/harta-


berlimpah-keluarga-atut-klaim-warisan-ayahnya-1381564726.
262 Oligarki dan Demokrasi...

Lanjutan Bagan 4.1

Ratu Rapi‘ah Binti Tubagus Haerul Jaman*


Tubagus Suhaemi (Istri
Ketiga, Menikah 2 Mei Ratu Lilis Karyawati
1969)
Ratu Iloh Rohayati

Tubagus Hendru Zaman

Ratu Ria Mariana


Imas Masnawiyah Binti
Ahmad Saca (Istri Ratu Ipah Chudaefah
Keempat, Menikah 6 Juni
1969) Ratu Yayat Nurhayati

Tubagus Aan Andriawan


Heryani Binti H.A.
Yuhana* (Istri Kelima, Tubagus Erhan Hazrumi
Menikah 30 Mei 1988)
Ratu Irianti

Bambang Saepullah

Tubagus Febi Feriana


Fahmi

Tubagus Bambang
Ratna Komalasari** (Istri
Chaeruman
Keenam, Menikah 8 April
1991)
Ratu Aeliya Nurchayati

Tubagus Taufik Hidayat


Ahmad Munjin 263

* Pewaris resmi Tubagus Chasan Sochib yang menduduki jabatan politik dan
sudah memberikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara
(LHKPN) kepada KPK.
** Pewaris resmi Tubagus Chasan Sochib yang menduduki jabatan politik tapi
belum memberikan LHKPN kepada KPK.Sumber: Diolah dari Direktori Pu-
tusan Mahkamah Agung Republik IndonesiatentangPenetapan Ahli Waris
Tubagus Chasan Sochib.

Bagan 4.1 menunjukkan sebanyak 29 pewaris resmi Tuba-


gus Chasan Sochib, yang terdiri dari enam istri dan 23 anak. Dari
jumlah tersebut, empat di antaranya menempati jabatan politik
sehingga berkewajiban melaporkan LHKPN kepada KPK. Mereka
adalah Ratu Atut Chosiyah, Tubagus Haerul Jaman, Ratu Tatu
Chasanah, dan Ratna Komalasari. Hanya saja, Ratna Koma-lasari
belum melaporkan total kekayaannya melalui LHKPN kepada
KPK sehingga sumber daya kekuasaan materialnya tidak masuk
dalam analisis pada subbab ini. Selebihnya, para anggota keluarga
besar Chasan Sochib bukan pewaris langsung, melainkan dalam
hubungannya sebagai menantu dan cucu.

2. Kadar Oligarki para Anggota Keluarga Besar Chasan Sochib


Prasyarat utama terbentuknya oligarki adalah stratifikasi
material yang ekstrem.131 Stratifikasi tersebut terbentuk akibat
terjadinya konsentrasi kekayaan dan hak milik pada orang atau
kelompok tertentu yang secara niscaya selalu tumbuh menjadi
golongan kecil132 dalam suatu masyarakat. Winters dan Page me-
nyatakan terdapat tiga aspek kekayaan material yang menyebab-
kan harta benda bisa melayani kebutuhan sumber daya kekuasan
politis secara unik dan tetap dalam banyak peradaban manusia.133
Pertama, kekayaan secara umum terkonsentrasi di antara
sangat sedikit warga negara yang dalam konteks penelitian ini
adalah keluarga besar jawara Tubagus Chasan Sochib; Kedua,

131
Winters, Oligarchy, 7.
132
Jeffrey A. Winters dan Benjamin I. Page, “Oligarchy in the
United States?” Perspective on Politics no. 4 (Desember 2009): 732.
133
Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732.
264 Oligarki dan Demokrasi...

kekayaan material dalam bentuk apapun (uang di bank, kepemili-


kan saham perusahaan-perusahaan, kepemilikan tanah). Kekayaan
material keluarga besar jawara dapat ditelusuri pada Laporan
Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang diterbitkan
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut Winters dan
Page, kekayaan material tersebut hampir di semua tempat dan
waktusecara mudah bisa diterjemahkan ke dalam pengaruh politik
yang subtansial. Ketiga, kepemilikan kekayaan material disertai
dengan satu set kepentingan-kepentingan politik. Kepentingan-
kepentingan untuk melanggengkan dan melindungi kekayaan ter-
sebut; kepentingan-kepentingan untuk menentukan penggunaan-
nya secara bebas dalam berbagai tujuan; dan kepentingan-kepen-
tingan untuk memperoleh kekayaan yang lebih banyak lagi.134
Sejalan dengan stratifikasi material yang mengukur ketim-
pangan sebagai prasyarat oligarki, kadar oligarki seseorang diru-
muskan, yakni total kekayaan orang atau sekelompok orang yang
menjadi basis sumber daya kekuasaan materialnya dibagi dengan
pendapatan per kapita (income per capita) sehingga menghasilkan
indeks kekuasaan material/Material Power Index (MPI).135 Namun
demikian, pada level regional (provinsi atau kabupaten/kota),
tidak ada data yang benar-benar menggambarkan pendapatan per
kapita. Angka income per capita, hanya tersedia di level nasional.
Pada level regional, ada pendekatan, yaitu Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) dibagi jumlah penduduk pada pertenga-
han tahun, yang disebut sebagai PDRB per kapita. “PDRB per
kapita merupakan the best from the worst. Pendekatan yang ada
saat ini hanya itu. Oleh karena itu, rumus MPI oligarki, menjadi
total kekayaan dibagi pendapatan per kapita bisa diganti dengan
PDRB per capita.”136

134
Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732.
135
Winters, Oligarchy, 78.
136
Dengan demikian, pendekatan untuk mengukur pendapatan
per kapita di tingkat regional adalah PDRB per kapita. Sebab, untuk
mengukur pendapatan per kapita pada level regional Banten adalah tidak
adanya ketersedian data secara terus-menerus terutama perihal transfer
Ahmad Munjin 265

Oleh karena itu, untuk mengukur kadar oligarki para


anggota keluarga besar Tubagus Chasan Sochib, pertama-tama
peneliti melihat total kekayaannya melalui LHKPN yang dilapor-
kan ke KPK. Setelah itu, nilai totalnya dibagi dengan angka
PDRB per kapita dengan tahun yang sama pada saat LHKPN
tersebut dilaporkan. Hasil bagi tersebut menunjukkan kadar indeks
oligarki mereka. Secara teori, di atas 2000 kali masuk kategori
oligark.
Ratu Atut Chosiyah adalah anak pertama Chasan Sochib
dari istri pertama Wasiah Binti Samsudin. Sochib menikahi
Wasiah pada 2 November 1960 di Serang dan bercerai pada tahun
1991.137 Pada mulanya, Atut menjabat sebagai wakil gubernur
pada 2001. Pada 1 Oktober 2002, dia melaporkan harta kekayaan-
nya ke KPK sebesar Rp17.870.707.822.138 Jika angka ini dibagi
dengan PDRB per kapita masyarakat Banten pada tahun berikut-
nya, 2003139 yakni Rp5.123.720, indeks kekuasaan material (mate-
rial power index) Ratu Atut sebesar3.487kali. Kariernya naik

income dan transfer out. Pihak yang memiliki data tersebut adalah Oto-
ritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia. Untuk level regional,
transaksi perbankan sulit diagregasi.Wawancara pribadi dengan Adam
Sofian, Kepala Seksi Neraca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Pro-
vinsi Banten, Senin, 30 Oktober 2017.
137
Berdasarkan Surat Mahkamah Agung, Chasan Sochib memili-
ki 25 ahli waris dari enam istri.
138
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara Ratu Atut Chosiyah,” Tambahan Berita
Negara R.I. Tanggal 7/2-2003 no. 11, 24.
139
Income per kapita didekati dengan PDRB per kapita. Sebab,
data income per capita hanya tersedia pada level nasional. Yang tersedia
di level regional adalah PDRB per kapita. Itupun, untuk BPS Kabupaten
Serang hanya mencatat PDRB per kapita hingga tahun 2003. Sehingga,
PDRB tahun sebelumnya, termasuk 2002 untuk pembanding kekayaan
Ratu Atut Chosiyah tidak tersedia. Lihat Seksi Statistik Neraca Wilayah
BPS Kabupaten Serang, Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten
Serang Menurut Lapangan Usaha 2005 (Serang: Badan Pusat Statistik
Kabupaten Serang, 2006), 43.
266 Oligarki dan Demokrasi...

menjadi Pelaksana Tugas (Plt.) Gubernur Banten pada Oktober


2005. Pada 2006, LHKPN yang dilaporkan Ratu Atut Chosiyah ke
KPK mencapai Rp41.937.757.809140 yang merepresentasikan MPI
sebesar 5.943 kali dari hasil pembagian dengan PDRB per kapita
berdasarkan harga berlaku kabupaten Serangpada tahun yang sama
sebesar Rp7.056.030.141 Puncaknya, ia berhasil menduduki jabatan
Gubernur Provinsi Banten periode 2007-2012 dan 2012-2017.
Pada 2011, total kekayaan Atut menyusut sebesar Rp1.058.718.
750 menjadi Rp40.879.039.059.142Oleh karena itu, indeks
kekuasaan materialnya berkurang menjadi 4.146kali setelah dibagi
dengan PDRB per kapita 2011 atas dasar harga berlakukabupaaten
Serang sebesar Rp9.857.589,25.143

140
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara Ratu Atut Chosiyah: Perubahan atas
Laporan Harta Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya,” Tambahan
Berita Negara R.I. Tanggal 20 September 2011 no 75, 20.
141
Seksi Statistik Neraca Wilayah dan Analisis Statistik, Produk
Domestik Regional Bruto Kabupaten Serang 2007 (Serang: Badan Pusat
Statistik Kabupaten Serang, 2008), 72.
142
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara Ratu Atut Chosiyah: Perubahan atas
Laporan Harta Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya,” Tambahan
Berita Negara R.I. Tanggal 8 Agustus 2014, no. 63, 13.
143
Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik, Produk Do-
mestik Regional Bruto Kabupaten Serang Menurut Lapangan Usaha
2012 (Serang: Badan Pusat Statistik Kabupaten Serang, 2013), 85.
Ahmad Munjin 267

Tabel 4.2. Material Power Index (MPI) Ratu Atut Chosiyah

N Total Kekayaan PDRB per


Tahun Jabatan MPI (x)
o (Rupiah) Kapita (Rupiah)

Wakil
1 2002 Gubernur 17.870.707.822 5.123.720 3.487
2002-2007
Gubernur
2 2006 Periode 41.937.757.809 7.056.030 5.943
2007-2012
Gubernur
3 2011 40.879.039.059 9.857.589,25 4.146
2012-2017
Sumber: Data diolah dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara
Negara (LHKPN) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dan PDRB per kapita Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi
Banten.

Tabel 4.2. memperlihatkan terjadinya konsentransi keka-


yaan pada Ratu Atut Chosiyah mulai 2002 hingga 2011. Akibat-
nya, terjadi stratifikasi material yang terefleksi pada Material
Power Index (MPI) sebesar 3.487 pada 2002, 5.943 pada 2006, dan
4.146 pada 2011 yang merupakan hasil pembagian antara total
kekayaan dengan PDRB per kapita masyarakat Banten pada
tahun-tahun tersebut. Stratifikasi material inilah yang mendefi-
nisikan Ratu Atut sebagai oligark.
Anak Chasan Sochib berikutnya adalah Tubagus Haerul
Jaman yang lahir di Serang, Banten, 17 Maret 1968 dari buah
pernikahannya dengan Ratu Rapi’ah binti Tb. Suhaemi, pada 2
Mei 1969.144 Oleh karena itu, Jaman merupakan adik tiri mantan
Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Dia adalah Wali Kota
Serang yang menjabat sejak 25 Maret 2011 dan terpilih kembali
untuk periode 2013-2018. Sebelum menjabat wali kota, dia adalah
Wakil Walikota Serang periode 2008-2013. Pada 2008, dia

144
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia ten-
tang ahli waris Tubagus Chasan Sochib halaman 6.
268 Oligarki dan Demokrasi...

melaporkan harta kekayaan sebesar Rp2.492.245.676.145 Angka ini


jauh lebih kecil dibandingkan kakak tirinya, Atut Chosiyah. Jika
dibandingkan dengan PDRB per kapita kota Serang pada 2008
senilai Rp8.827.770,146 indeks kekuasaan material Haerul Jaman
sebesar 282,31 kali. Pada saat mencalonkan diri sebagai Walikota
Serang periode 2013-2018, dia melaporkan harta kekayaan pada
2013 sebesar Rp2.222.754.271.147 Jika dibagi dengan PDRB per
kapita kota Serang 2013 sebesar Rp28,310.000,148 indeks kekuasa-
an materialnya sebesar 78,51 kali.
Kemudian, pada 24 Mei 2016, Haerul Jaman kembali
melaporkan LHKPN sebesar Rp14.874.940.086.149 Jika dibagi
dengan PDRB per kapita kota Serang tahun 2016, sebesar
Rp36.530.000,150 indeks kekuasaan material Haerul Jaman sebesar
407,19 kali. Saat pencalonannya sebagai Wakil Gubernur Provinsi
Banten periode 2017-2022, Haerul Jaman melaporkan LHKPN

145
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara Tubagus Haerul Jaman,” Tambahan
Berita Negara R.I. Tanggal 2 Juni 2009, no. 44, 2.
146
Seksi Statistik Neraca Wilayah dan Analisis Statistik, Produk
Domestik Regional Bruto Kota Serang 2009 (Serang: Badan Pusat Sta-
tistik Kota Serang, 2010), 65.
147
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara Tubagus Haerul Jaman: Perubahan atas
Laporan Harta Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya,” Tambahan
Berita Negara R.I. Tanggal 15 April 2014, no. 30, 3.
148
Sari Rahayu,Produk Domestik Regional Bruto Kota Serang
Menurut Lapangan Usaha 2010-2014, ed.R. Achmad Widijanto (Serang:
Badan Pusat Statistik Kota Serang, 2015), 76.
149
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama: Tubagus Haerul Jaman:
Perubahan atas Laporan Harta Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya,”
Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 7 Oktober 2016, no. 80, 3.
150
Aprias Eko Wulandari, Produk Domestik Regional Bruto
Menurut Lapangan Usaha Kota Serang 2012-2016, ed. Dadang Ahdiat
(Serang:Badan Pusat Statistik Kota Serang, 2017), 74.
Ahmad Munjin 269

pada 22 September 2016 sebesar Rp14.868.439.318.151 Setelah


dibagi dengan PDRB per kapita kota Serang tahun 2016, sebesar
Rp36.530.000,152 indeks kekuasaan material Haerul Jaman beri-
kutnya sebesar 407,01 kali.
Ratu Tatu Chasanah, adik Ratu Atut Chosiyah, merupa-
kan anak Chasan Sochib dari pernikahannya dengan Wasiah binti
Samsudin.153 Ratu Tatu, lahir di Serang, Banten, 23 Juli 1967. Dia
menjabat Bupati Serang periode 2016-2021 sejak 17 Februari
2016. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Wakil Bupati Serang
periode 2010-2015, mendampingi Bupati Taufik Nuriman. Pada 8
Februari 2010, Ratu Tatu Chasanah melaporkan harta kekayaan
dalam LHKPN sebesar Rp9.083.632.000.154 Jika dibagi dengan
PDRB per kapita Kabupaten Serang pada 2010 sebesar
Rp24.020.000,155 indeks kekuasaan material Ratu Tatu Chasanah
sebesar 378,16 kali. Lalu, pada saat mencalonkan diri sebagai
bupati Serang, Ratu Tatu melaporkan harta kekayaan sebesar
Rp7.725.318.471156 pada 27 Juli 2015. Angka ini mengalami

151
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama: Tubagus Haerul Jaman:
Perubahan atas Laporan Harta Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya,”
Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 4 November 2016, no. 88, 3.
152
Aprias Eko Wulandari, Produk Domestik Regional Bruto Me-
nurut Lapangan Usaha Kota Serang 2012-2016, ed. Dadang Ahdiat
(Serang:Badan Pusat Statistik Kota Serang, 2017), 74.
153
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
tentang ahli waris Tubagus Chasan Sochib halaman 5.
154
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara Ratu Tatu Chasanah: Perubahan atas
Laporan Harta Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya,” Tambahan
Berita Negara R.I. Tanggal 15 April 2016, no. 30, 9.
155
Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik, Produk
Domestik Regional Bruto Kabupaten SerangMenurut Lapangan Usaha
2010-2014 (Serang: BPS Kabupaten Serang, 2015), 46.
156
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama: Ratu Tatu Chasanah: Peru-
270 Oligarki dan Demokrasi...

penurunan sebesar Rp1.358.313.529 atau 14,9%. Setelah dibagi


dengan PDRB per kapita kabupaten Serang pada tahun 2015
senilai Rp38.450.000,157 ditemukan indeks kekuasaan material
Ratu Tatu Chasanah di level 200,91 kali.
Anggota keluarga Chasan Sochib berikutnya adalah
Heryani binti H.A. Yuhana. Heryani merupakan istri kelima
Sochib yang dinikahinya pada 30 Mei 1988 di Pandeglang.158 Istri
kelima ini menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Pandeg-
lang periode 2009-2014. Kemudian, dia terpilih menjadi wakil
bupati Pandeglang periode 2011-2016. Pada 15 Juli 2010, Heryani
melaporkan LHKPN sebesar Rp26.512.375.402.159 Jika dibagi
dengan angka PDRB per kapita kabupaten Pandeglang 2010
sebesar Rp7.563.000,34,160 ditemukan indeks kekuasaan material
Heryani sebesar 3.505 kali. Pada 1 April 2015, Heryani kembali
melaporkan LHKPN sebesar Rp26.384.540.145.161 Angka tersebut
dibagi dengan PDRB per kapita Kabupaten Pandeglang di tahun

bahan atas Laporan Harta Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya,”


Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 15 April 2016, no. 30, 9.
157
Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik, Produk Domes-
tik Regional Bruto Kabupaten Serang Menurut Lapangan Usaha 2012-
2016 (Serang: BPS Kabupaten Serang, 2017), 46.
158
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia ten-
tang ahli waris Tubagus Chasan Sochib halaman 7.
159
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama Heryani,” Tambahan Berita
Negara R.I. Tanggal 12 Februari 2013, no 13, 3.
160
Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik, Produk Domes-
tik Regional Bruto Pandeglang Menurut Lapangan Usaha 2010-2011
(Pandeglang: Badan Pusat Statistik Kabupaten Pandeglang, 2012), 77.
161
Komisi Pemberantasan Korupsi, “Pengumuman Harta Keka-
yaan Penyelenggara Negara atas Nama: Heryani: Perubahan atas Laporan
Harta Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya,” Tambahan Berita
Negara R.I. Tanggal16 Agustus 2016, no. 65, 5.
Ahmad Munjin 271

yang sama sebesar Rp17.020.000,162 maka indeks kekuasaan


material Heryani sebesar 1550 kali.
Airin Rachmi Diany adalah menantu Chasan Sochib. Dia
adalah walikota Tangerang Selatan periode 2011-2016 dan terpilih
kembali untuk periode 2016-2021. Pada 24 Agustus 2010, Airin
melaporkan LHKPN sebesar Rp103.944.292.628.163 Jika dibagi
dengan PDRB per kapita kota Tangerang Selatan tahun 2010
sebesar Rp23.510.000,164 indeks kekuasaan material Airin Rachmi
Diany sebesar 4.421 kali pada tahun tersebut. Pada saat mencalon-
kan kembali sebagai wali kota Tangerang Selatan untuk periode
2016-2021, pada 23 Juli 2015, Airin melaporkan LHKPN sebesar
Rp84.005.292.628.165 Angka ini turun sebesar Rp19.939.000.000
atau 19,18% dibandingkan LHKPN sebelumnya. Jika dibagi
dengan angka PDRB per kapita kota Tangerang Selatan pada 2015
sebesar Rp36,300.000,166 ditemukan indeks kekuasaan material
Airin Rachmi Diany sebesar 2.314 kali.
Anggota keluarga besar Chasan Sochib berikutnya adalah
Hikmat Tomet yang memiliki hubungan keluarga dengan Sochib
sebagai menantu. Tomet merupakan suami dari mantan gubernur
162
Nur Rodiana, Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten
Pandeglang 2012-2016, ed. Tri Tjahjo Purnomo (Pandeglang: Badan
Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Pandeglang, 2017), 76.
163
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama: Airin Rachmi Diany,”
Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 24 April 2012, no. 33, 7.
164
Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik,Produk Domes-
tik Regional Bruto Kota Tangerang Selatan Menurut Lapangan Usaha
2010-2014 (Setu: Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan, 2015),
77.
165
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama: Airin Rachmi Diany: Peru-
bahan atas Laporan Harta Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya,”
Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 15 April 2016, no. 30, 13.
166
Kusumapuri, Produk Domestik Regional Bruto Kota Tange-
rang Selatan Menurut Lapangan Usaha 2012-2016, ed. Heru Susanto
(Setu: Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan, 2017), 77.
272 Oligarki dan Demokrasi...

Banten, Ratu Atut Chosiyah. Tomet lahir di Bandung, 5 Juni 1955


dan meninggal di Jakarta, 9 November 2013 pada umur 58 tahun.
Pada pemilu 2009 ia mencalonkan diri sebagai anggota DPR dan
berhasil mendapatkan 96.446 suara. Ia kemudian resmi menjadi
anggota DPR periode 2009-2014 mewakili daerah pemilihan
(dapil) Banten II dan bertugas di Komisi V DPR RI.Hikmat juga
adalah Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar
Provinsi Banten untuk masa bakti 2009–2014. Ia terpilih sebagai
Ketua DPD Partai secara aklamasi menggantikan ketua sebelum-
nya Mamat Rahayu Abdullah pada Musyawarah Daerah tahun
2009. Sebelumnya Hikmat Tomet tercatat pernah menjabat seba-
gai Komisaris Utama PT. Andiara Abad pada 2000. Adapun
Dekranasda yang dipimpinnya menjadi salah satu penerima hibah
dari pemerintah Banten sebesar Rp 750 juta pada 2011 lalu. Badan
Pemeriksa Keuangan mencium ketidakberesan pada penebaran
hibah tersebut. Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Aliansi
Independen Peduli Publik (Alipp) menduga melimpahnya hibah
dan bantuan sosial itu berkaitan dengan rencana Atut mencalon-
kan diri lagi sebagai gubernur pada 2011. Di antara total kekayaan
yang dilaporkannya pada 2010, Hikmat Tomet menyimpan tanah
dan bangunan yang berjumlah 49 unit, senilai Rp 19,6 miliar.
Kendaraan yang berjumlah 9 unit senilai Rp4,3 miliar. Kemudian
juga terdapat saham di empat perusahaan senilai Rp3,8 miliar.
Serta uang tabungan senilai Rp1 miliar. Selain menjabat sebagai
anggota DPR, Hikmat juga adalah Ketua Dewan Pimpinan Daerah
(DPD) Partai Golkar Provinsi Banten untuk masa bakti 2009–
2014.167

167
“Ini Profil Hikmat Tomet, Suami Atut,” Tempo.co, Sabtu, 9
November 2013. Artikel diakses Jumat, 17 Maret 2017 dari https://m.
tempo.co/read/news/2013/11/09/058528374/ini-profil-hikmat-tomet-
suami-atut
Ahmad Munjin 273

Pada 30 Oktober 2009, Tomet melaporkan LHKPN


sebesar Rp33.857.421.285.168 Angka dibagi dengan PDRB per
kapita provinsi Banten 2009 senilai Rp13.600.230,169 maka
ditemukan indeks kekuasaan material Hikmat Tomet sebesar
2.489 kali.
Andika Hazrumy yang lahir di Bandung, 16 Desember
1985 juga merupakan anggota keluarga besar Sochib. Andika
merupakan anak pertama mantan Gubernur Banten Ratu Atut
Chosiyah sehingga otomatis memiliki hubungan sebagai cucu
dengan Sochib. Dia adalah direktur utama PT Andika Pradana
Utama periode 2000-2005; Sejak 2004 hingga sekarang dia
menjabat komisaris utama PT Pelayaran Sinar Ciomas Pratama;
Mulai 2007 hingga sekarang ia menjabat komisaris utama PT Ratu
Bidakara Hotel; Dia juga merupakan anggota DPD/MPR RI untuk
periode 2009-2014; Ia juga menjabat Wakil Ketua Panitia
Akuntabilitas Publik (PAP) DPD-RI untuk periode 2011-2012;
Anggota Komisi III DPR-RI Fraksi Partai Golkar untuk periode
2014-2019; dan anggota BURT DPR-RI untuk periode 2014-2019.
Terakhir, Andika terpilih menjadi wakil gubernur provinsi Banten
periode 2017-2022.
Pada 1 Desember 2009, Andika melaporkan LHKPN
kepada KPK sebesar Rp19.698.171.940.170 Angka tersebut dibagi
dengan PDRB per kapita kabupaten Serang pada 2009 sebesar

168
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama: Hikmat Tomet,” Tambahan
Berita Negara R.I. Tanggal 2 Juli 2010, no 53, 6.
169
Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik, Buku Saku
PDRB Provinsi Banten, Kabupatan/Kota se-Banten, Provinsi se-Jawa
dan PDB Indonesia 2008-2009 (Serang: BPS Provinsi Banten, 2010),
118.
170
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama: Andika Hazrumy ,” Tam-
bahan Berita Negara R.I. Tanggal 26 Maret 2010, no. 25, 4.
274 Oligarki dan Demokrasi...

Rp8.301.490,171 maka ditemukan indeks kekuasaan materialnya


sebesar 2.372 kali. Pada 31 Desember 2015, Andika melaporkan
LHKPN ke KPK yang merupakan perubahan atas laporan sebe-
lumnya, sebesar Rp20.744.339.190.172 Jumlah LKPN ini sesuai
dengan angka yang tertera dalam Daftar Pengumuman LHKPN
Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah periode
2017-2022 Pemerintah Provinsi Banten yang disampaikan oleh
KPK pada 16 November 2016 kepada Komisi Pemilihan Umum
(KPU) Provinsi Banten sebagai penyelenggara Pilkada serentak
tahun 2017. Jika dibandingkan dengan LHKPN sebelumnya, angka
tersebut lebih besar Rp1.046.167.250 atau sebesar 5,31%. Jika
dibagi dengan PDRB per kapita kabupaten Serang pada 2015
sebesar Rp38,450.000,173 ditemukan indeks kekuasaan material
Andika Hazrumy sebesar 539,51 kali pada tahun tersebut.
Anggota keluarga besar Chasan Sochib berikutnya adalah
Aden Abdul Khaliq. Dia merupakan menantu Sochib karena
merupakan suami dari Ratu Lilis Karyarwati. Aden merupakan
anggota DPRD Provinsi Banten periode 2009-2014. Dia juga
merupakan calon Bupati Tangerang periode 2013-2018. Seiring
pencalonan bupati tersebut, pada 27 September 2012, Aden

171
Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik,Produk Domes-
tik Regional Bruto Kabupaten Serang 2010MenurutLapangan Usaha
(Serang: BPS Kabupaten Serang, 2011), 49.
172
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama: Andika Hazrumy: Peruba-
han atas Laporan Harta Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya,” Tam-
bahan Berita Negara R.I. Tanggal 1 November 2016, no. 87, 11. Lihat
juga, surat Komisi Pembertasan Korupsi (KPK) kepada Komisi Pemili-
han Umum (KPU) Provinsi Banten sebagai penyelenggara Pilkada
Serentak Tahun 2017, Nomor B-9476/10-12/11/2016, perihal Pengumu-
man Laporan Harta Kekayaan Calon Kepala Daerah, tanggal 16
November 2016.
173
Seksi Neraca Wilayah, PDRB Kabupaten Serang 2012-2016,
46.
Ahmad Munjin 275

melaporkan LHKPN sebesar Rp14.510.904.419.174 Angka ini


dibagi dengan PDRB per kapitakabupaten Tangerang tahun 2012
sebesar Rp23.660.000,175 maka ditemukan indeks kekuasaan
material Aden Abdul Khaliq sebesar 613,3 kali.
Ratna Komalasari juga merupakan anggota keluarga besar
Chasan Sochib. Ratna merupakan istri Sochib yang dinikahinya
pada 8 April 1991 dan otomatis menjadi ibu tiri Atut Chosiyah.
Ratna merupakan anggota DPRD Kota Serang untuk periode
2009-2014. Dia juga merupakan ketua Persatuan Artis Film
Indonesia (Perfi) Banten. Seberapa besar kekuasaan materialnya,
hingga 19 Maret 2017, nama Ratna Komalasari belum tercantum
dalam aplikasi LHKPN KPK sehingga tidak terdeteksi seberapa
besar total kekayaan yang dimilikinya untuk menghitung indeks
kekuasaan materialnya yang mengukur seberapa besar kekuasaan
oligarkisnya.
Begitu juga dengan Ade Rossi Chaerunnisa yang meru-
pakan cucu menantu Chasan Sochib. Ade Rossi merupakan istri
Andika Hazrumy dan menjabat sebagai anggota DPRD Kota
Serang untuk periode 2014-2019. Ade juga menjabat sebagai
ketua KONI Serang, ketua Himpunan Pendidik dan Tenaga
Kependidikan Anak Usia Dini (Himpaudi) Banten dan Ketua
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak
(P2TP2A) Banten. Nama Ade Rossi belum tercatat dalam aplikasi
LHKPN KPK sehingga tidak diketahui seberapa besar total
kekayaan yang dimilikinya. Ratu Lilis Karyawati, anak Chasan
Sochib dan merupakan adik Tiri Atut Chosiyah. Lilis adalah ketua
DPD II Golkar Kota Serang 2009-2014 dan dia tidak melaporkan
LHKPN ke KPK.

174
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama: Aden Abdul Khaliq,”
Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 6 Maret 2015, no. 19, 2.
175
Rohmad Chamdani, Produk Domestik Regional Bruto Kabu-
paten Tangerang Menurut Lapangan Usaha 2012-2016 (Tangerang:
Badan Pusat Statistik Kabupaten Tangerang, 2017), 86.
276 Oligarki dan Demokrasi...

Anggota keluarga besar Chasan Sochib lainnya adalah


Tanto Warsono Arban. Pria kelahiran Bandung pada 12 Januari
1983 itu merupakan cucu menantu Sochib dan menantu mantan
Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Tanto merupakan anggota
DPRD Provinsi Banten periode 2014-2016. Dia juga mencalonkan
diri sebagai calon Wakil Bupati Pandeglang dan terpilih menjadi
Wakil Bupati Pandeglang periode 2016-2021 yang menduduki
jabatan tersebut sejak 23 Maret 2016. Dia juga merupakan Ketua
Komisi DPRD Provinsi Banten Tahun 2014-2016.
Dari sisi riwayat pekerjaan, Tanto juga menjabat sebagai
Komisaris Utama PT Arban Global Nusantara, Komisaris Utama
PT Arban Media, Direktur Hotel Ratu. Di bidang organisasi,
Tanto juga menjabat Ketua KNPI Banten dan Ketua Himpunan
Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Banten. Ketua DPD KNPI
Banten Tahun 2014-2017. Sementara itu, dari sisi pengalaman
organisasi, Tanto menjabat Ketua HIPMI Banten Tahun 2011-
2014, Wakil Bendahara Partai Golkar, dan Dewan Pembina
KADIN Banten. Pada 31 Desember 2014, Tanto melaporkan harta
kekayaan pada LHKPN KPK sebesar Rp6.370.141.250.176 Angka
ini dibagi dengan pendapatan per kapita kabupaten Pandeglang
sebesar Rp15.320.000,177 indeks kekuasaan material Tanto
Warsono Arban sebesar 415,8 kali.
Indeks kekuasaan seorang anggota keluarga besar Sochib
berikutnya yang terlacak melalui LHKPN adalah Andiara Aprilia
Hikmat. Andiara yang lahir di Bandung, 22 April 1987 merupakan
cucu Sochib, anak Ratu Atut Chosiyah, dan istri Tanto Warsono
Arban. Andiara pernah menduduki jabatan wakil ketua Palang
Merah Indonesia (PMI) tahun 2012. Putri dari Ratu Atut Chosiyah
ini juga pernah aktif di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan
Perempuan dan Anak (P2TP2A) sebagai Kepala Pemberdayaan
dan Pendidikan di Tahun 2011. Dia juga pernah menjadi Direktur

176
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama: Tanto Warsono Arban,”
Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 12 April 2016, no. 29, 4.
177
Rodiana, PDRB Pandeglang 2012-2016, 76.
Ahmad Munjin 277

Utama Ratu Hotel tahun 2009. Dia merupakan anggota DPD RI


asal daerah pemilihan (Dapil) Banten periode 2014-2019. Aprilia
Hikmat terpilih menjadi senator dari provinsi Banten dengan
mengantongi 904.421 suara. Pada 1 Desember 2014, dia melapor-
kan harta kekayaan melalui LHKPN sebesar Rp19.574.952.636.178
Angka ini dibagi dengan PDRB per kapita provinsi Banten senilai
Rp39.980.000,179 maka material power index Andiara Aprilia
Hikmat sebesar 489,61 kali. Sebagai rangkuman, lihat Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Material Power Index (MPI) Anggota Keluarga Besar
Tubagus Chasan Sochib
Total Kekayaan (Rupiah) PDRB per
No MPI
Nama Jabatan kapita
(x)
Tahun Nilai Nominal (Rupiah)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)


Wakil Gubernur
Banten Periode 2002 17.870.707.822 5.123.720 3.487
2002-2007
Ratu
Gubernur
1 Atut
Banten Periode 2006 41.937.757.809 7.056.030 5.943
Chosiyah
2007-2012
(Anak)
Gubernur
Banten Periode 2011 40.879.039.059 9.857.589,25 4.146
2012-2017

Tubagus
Wakil Walikota
Haerul
2 Serang Periode 2008 2.492.245.676 8.827.770 282,31
Jaman
2008-2013
(anak)

178
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama: Andiara Aprilia Hikmat,”
Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 5 April 2016, no. 27, 3.
179
Hendro Prayitno et al., Buku Saku PDRB Provinsi Banten,
PDRB Kabupaten/Kota se-Banten, PDRB Provinsi se-Jawa dan PDB
Indonesia 2014-2015, ed. Budi Prawoto (Serang: BPS Provinsi Banten,
2016), 102.
278 Oligarki dan Demokrasi...

Lanjutan Tabel 4.3


(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Walikota dalam
Sisa Masa
Jabatan Periode
2008-2013
2013 2.222.754.271 28,310.000 78,51
(Calon
Walikota
Serang Periode
2013-2018)
Walikota
Serang Periode 2016 14.874.940.086. 36.530.000 407,19
2013-2018
Calon Wakil
Gubernur
2016 14.868.439.318 36.530.000 407,01
Banten Periode
2017-2022
Anggota
DPRDProvinsi
Banten periode
2009-2014
2010 9.083.632.000 24.020.000 378,16
(Calon Wakil
Bupati Serang
Periode 2010 -
2015)
Wakil Bupati
Ratu Serang (Calon 2015 7.725.318.471 38.450.000 200,9
Tatu Bupati Serang)
3
Chasanah Bupati Serang
(anak) Periode 2016- 2016
2021
Ketua
Masyarakat
Agribisnis dan
Agroindustri
Indonesia
Banten
Ketua PMI
Provinsi Banten
Anggota DPRD
Kabupaten
Pandeglang
4 Heryani
periode 2009- 2010 26.512.375.402 7.563.000,34 3.505
(Istri)
2014.
Ahmad Munjin 279

Lanjutan Tabel 4.3


(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Wakil Bupati
Pandeglang
2015 26.384.540.145 17.020.000 1550
Periode 2011-
2016
Walikota
Tangerang
2010 103.944.292.628 23.510.000 4.421
Selatan Perode
2011-2016
Airin Walikota,
Rachmi Calon Walikota
5 Diany Tangerang 2015 84.005.292.628. 36,300.000 2.314
(Menantu Selatan Periode
) 2016-2021
Walikota
Tangerang
Selatan Periode
2016-2021
Hikmat
Tomet
Anggota DPR
(Menantu
6 RI Periode 2009 33.857.421.285 13.600.230 2.489
/Suami
Ratu Atut 2009-2014
Chosiyah)
Anggota DPD
RI Periode 2009 19.698.171.940 8.301.490 2.372
2009-2014
Anggota DPR
RI Periode
2014-
2019/Calon 2015 20.744.339.190 38,450.000 539,51
Wakil Gubernur
Banten Periode
Andika 2017-2022
7 Hazrumy Wakil Gubernur
(Cucu) Banten Periode
2017-2022
Wakil Ketua
GP Ansor
Ketua Taruna
Tanggap
Bencana
Bendahara
Karang Taruna
Banten
280 Oligarki dan Demokrasi...

Lanjutan Tabel 4.3


(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Anggota DPRD
Provinsi Banten
Periode 2009-
2014/Calon
Aden 2012 14.510.904.419 23.660.000 613,3
Bupati
Abdul
Tangerang
Khaliq
Periode 2013-
(Menantu
2018
8 , suami
Ketua DPD
Ratu
KNPI Banten
Lilis
Ketua
Karyarw
Persatuan
ati)
Basket Seluruh
Indonesia
(Perbasi) Kota
Serang
Anggota DPRD
Ratna
Kota Data belum
Komalas
Serang2009- tersedia
ari
2014.
9 (Istri/Ibu
Ketua
Tiri Atut
Persatuan Artis
Chosiyah
Film Indonesia
)
(Perfi) Banten
Anggota DPRD
Data belum
Kota Serang
tersedia
2009-2014.
Ketua KONI
Serang
Ketua
Ade Himpunan
Rossi Pendidik dan
Chairunn Tenaga
isa (Cucu Kependidikan
10
Menantu, Anak Usia Dini
istri (Himpaudi)
Andika Banten
Hazrumi) Ketua Pusat
Pelayanan
Terpadu
Pemberdayaan
Perempuan dan
Anak (P2TP2A)
Banten
Ahmad Munjin 281

Lanjutan Tabel 4.3


(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Anggota DPRD
Provinsi Banten
2014-2016,
2014 6.370.141.250 15.320.000 415,8
Calon Wakil
Tanto Bupati
Warsono Pandeglang
Arban Wakil Bupati
(Cucu Pandeglang
11 Menantu, 2016-2021
Menantu Ketua KNPI
Atut Banten
Chosiyah Ketua
) Himpunan
Pengusaha
Muda Banten
(Hipmi)
Banten.
Andiara
Aprilia
Hikmat
(Cucu,
Anggota DPD
Anak
RI asal Banten
12 Atut 2014 19.574.952.636 39.980.000 489,61
Periode 2014-
Chosiyah
2019
, Istri
Tanto
Warsono
Arban)

Total Kekayaan Keluarga Besar


13. 268.920.388.401* 42.310.000 6.356
Tubagus Chasan Sochib

* Angka merupakan hasil jumlah dari nilai nominal LHKPN terakhir dari
masing-masing anggota keluarga Tubagus Chasan Sochib, belum
termasuk Ratna Komalasari dan Ade Rossi Chairunnisa.
Sumber: Data diolah dari data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara
Negara (LHKPN), Komisi Pembertasan Korupsi (KPK) dan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita, Badan
Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten.
282 Oligarki dan Demokrasi...

Secara individu di keluarga besar Tubagus Chasan Sochib,


Tabel 4.3. menunjukkan, Ratu Atut Chosiyah merupakan peme-
gang sumber daya kekuasaan material180 terbesar dengan indeks
kekuasaan material (MPI)181 di level 5.943 kali (2006), 4.146 kali
(2011), dan 3.487 kali (2002). Rangking kedua ditempati oleh
Airin Rachmi Diany dengan MPI 4.421 kali (2010), 2.489 kali
(2009), dan 2.314 (2015). Rangking ketiga disandang oleh Heryani
dengan MPI 3.505 kali (2010) dan 1.550 kali (2015). Hikmat
Tomet menempati posisi keempat 2.489 kali (2009). Di posisi
kelima, Andika Hazrumy 2.372 kali (2009) dan 539,51 (2015).
Nama-nama tersebut masuk kategori oligark karena indeks kekua-
saan materialnya berada di atas 2000 kali rata-rata masyarakat di
wilayahnya masing-masing.
Selebihnya, berada di bawah 1000 kali sehingga tidak
terdefinisikan sebagai para oligark, seperti Aden Abdul Khaliq di
angka 613,3 kali (2012); Andiara Aprilia Hikmat di posisi 489,61
kali (2014); Tanto Warsono Arban di posisi 415,8 kali (2014);
Tubagus Haerul Jaman di level 282,31 kali (2008), 78,51 kali
(2013), 407,19 kali (2016) dan 407,01 kali (2016); dan Ratu Tatu
Chasanah di angka 378,16 kali (2010) dan 200,9 kali (2015).
Jadi, dari 12 anggota keluarga Chasan Sochib, dua di anta-
ranya tidak memenuhi kewajibannya untuk melaporkan LHKPN
kepada KPK sehingga hanya 10 yang bisa terlacak besaran sumber
daya materialnya. Dari 10 tersebut, lima di antaranya terkonfir-
masi dan terdefinisikan sebagai oligark. Sedangkan sisanya, tidak
memenuhi syarat untuk didefinisikan sebagai oligark.
Namun demikian, jika ditotal yang merupakan hasil jum-
lah dari nilai nominal LHKPN terakhir dari masing-masing ang-
gota keluarga Tubagus Chasan Sochib, tidak termasuk Ratna
Komalasari dan Ade Rossi Chairunnisa, kekayaan keluarga besar
Tubagus Chasan Sochib yang dilaporkan ke KPK mencapai
Rp268.920.388.401. Setelah dibagi dengan PDRB per kapita

180
Winters, Oligarchy, 18-20.
181
Winters, Oligarchy, 78.
Ahmad Munjin 283

provinsi Banten tahun 2016 senilai Rp42.310.000,182 indeks ke-


kuasaan material keluarga jawara tersebut di posisi 6.356 kali.
Dalam konteks ini, keluarga Chasan Sochib masuk kategori
oligark karena stratifikasi materialnya dibandingkan masyarakat
biasa jauh di atas 2000 kali. Dengan demikian, jika dilihat per
individu, hampir separoh masuk kategori oligark. Tapi, jika dige-
neralisir, yakni satu keluarga besar, mereka semau terdefinisikan
sebagai para oligark.

D. Transformasi Kekayaan Menjadi Tampuk Kekuasaan Oligarkis


Paling tidak, terdapat dua kata kunci penting yang men-
jadi faktor kemenangan keluarga besar Chasan Sochib dalam
memenangkan pertarungan politik. Kedua kata kunci tersebut
adalah uang dan jaringan.183 Uang menandai kekuasaan material184
yang menjadi basis kekuasaan oligarkis dan jaringan menandai
kekuasaan mobilisasi185 yang menjadi basis kekuasaan elite. Dari
sisi ini, tak terbantahkan keluarga besar Sochib mengerahkan dua
sumber kekuasaannya yang utama sekaligus. Namun demikian,
seiring kejawaraan Chasan Sochib, dua sumber daya kekuasaan
tersebut (material dan mobilisasi) kemudian dilengkapi dengan
sumber daya kekuasaan yang lain, yakni koersif186 baik secara
langsung maupun tidak langsung atau simbolik. Pada subbab ini
peneliti menjelaskan tiga sumber daya kekuasaan tersebut—mate-
rial, mobilisasi, dan koersif yang saling menopang para anggota

182
Hendro Prayitno, Adam Sofian, C.M. Rosidah, Buku Saku
PDRB Provinsi Banten, PDRB Kabupaten/Kota se-Banten, PDRB Pro-
vinsi se-Jawa dan PDB Indonesia 2015-2016, ed. Budi Prawoto (Serang:
Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2017), 102.
183
Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara
Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019,
di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017.
184
Winters, Oligarchy, 18-20.
185
Winters, Oligarchy, 15-18.
186
Winters, Oligarchy, 15.
284 Oligarki dan Demokrasi...

keluarga besar Chasan Sochib dalam memenangkan kancah kekua-


saan dan mendefinisikan mereka sebagai para oligark.

1. Peran Tb. Chasan Sochib sebagai Oligark di Balik Layar


Kesuksesan dalam bisnis yang menjadi profil kekuasaan
material dan mendefinisikan Chasan Sochib sebagai oligark men-
jadikannya sangat kuat (powerful) secara politik. Menurut Fitron
Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun
2013-2014, kemenangan Ratu Atut Chosiyah dalam tiga kali
Pilkada tidak terlepas dari pengaruh jaringan yang dimiliki ayah-
nya, Tb. Chasan Sochib. Kader ayahnya bukan hanya lahir
menjadi orang penting tapi juga menjadi pejabat dan pengusaha.
Hampir semua pengusaha atau orang kaya di Banten berhulu pada
hasil didikan Tb. Chasan Sochib. Oleh karena itu, anggota
keluarga Tb. Chasan Sochib yang mencalonkan diri dalam Pilkada
memiliki daya topang yang lebih kuat pada level akar rumput
(grassroot). Sebab, Tb. Chasan Sochib selain sebagai tokoh
berpengaruh, juga sebagai kontraktor yang memiliki dana sangat
mumpuni. “Dia dan kadernya merupakan kontraktor. Saat dia
dapat jalan, ada beberapa karyawan yang ikut sama dia. Itulah
jaringan, itulah network. Itulah jaringan yang riil dari semua
lapisan mulai dari jaringan bisnis hingga lembaga keagamaan
dengan menyumbang pondok pesantren sehingga semua orang
merasa hidup bersama dia.”187
Tiga bulan setelah Banten diresmikan menjadi provinsi
pada 18 November 2000188 dan setelah terbentuk pada 4 Oktober

187
Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara
Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019,
di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017.
188
Daerah Provinsi Banten adalah pecahan dari Provinsi Jawa
Barat. Terbentuk pada tanggal 4 Oktober 2000 sebagai hasil dari Dekla-
rasi Rakyat Banten pada tanggal 18 Juli 1999 berdasarkan UU Nomor 23
tahun 2000. Pada tanggal 18 November 2000 dilakukan peresmian Pro-
vinsi Banten dan dikepalai olah Gubernur pertama H. Hakamudin Djamal
Ahmad Munjin 285

2000, beberapa langkah diambil untuk melengkapi aparat pemerin-


tahan formal. Pada awal Maret 2001, Panitia Pengisian Keanggo-
taan (PKK) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Banten
terbentuk di bawah kepemimpinan Hassan Alaydrus untuk menen-
tukan jumlah kursi dan komposisinya.189 Pada bulan berikutnya,
April 2001, Tb. Chasan Sochibdiangkat menjadi salah satu dari
lima anggota komisi pengawas yang merepresentasikan masya-
rakat sipil. Komite ini mengawasi komisi lain yang memiliki hak
untuk menentukan keputusan final parlemen berdasarkan hasil
pemilu 1999.Dalam konteks ini, menurut Masaaki dan Hamid,
tidak begitu jelas sejauh mana Sochib menggunakan pengaruhnya
dalam proses-proses pemilihan. Akan tetapi, disebutkan bahwa
materialbersuku Jawa, Dharmono K. Lawidari Partai Demokrasi
Indonesia-Perjuangan (PDI-P), terpilih menjadi Ketua DPRD
Banten190 karena pengaruh Tb. Chasan Sochib.191
Setelah DPRD provinsi Banten periode 2001-2004 terben-
tuk, langkah selanjutnya dan tugas pertamanya adalah memilih
gubernur dan wakil gubernur periode 2001-2006.192 Proses pemi-
lihan dimulai pada 16 September 2001 dan berakhir pada 3

untuk menjalankan roda pemerintahan sampai terpilihnya gubernur


definitif.
189
Untuk bagaimana cara kerja Panitia Pengisian Keanggotaan
(PKK) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan formasi DPRD
provinsi Banten yang terbentuk periode 2001-2004, lihat Hidayat, “Sha-
dow State,” 208-9.
190
Unutuk tabel distribusi kursi DPRDProvinsi Banten, lihat
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 121.
191
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 121-22.
192
Secara teknis, pemilihan gubernur dan wakil gubernur Banten,
terdiri darilimatahapan: pendaftaran awal dari kandidat yang prospektif;
penyaringan bakal calon tahap I; penyaringan tahap II; pemilihan tiket
definitif bagi calon-calon gubernur dan wakil gubernur; dan terakhir,
pemilihan paket gubenur dan wakil gubernur (hari-H). Lihat Hidayat,
“Shadow State,” 212.
286 Oligarki dan Demokrasi...

Desember 2001.193 Menurut Syarif Hidayat, proses pemilihan


gubernur dan wakil gubernur telah memunculkan kekuatan sosial
yang menjadi basis sumber daya kekuasaan elite,194 kekuatan
ekonomi (kekuasan material) yang menjadi basis sumber daya
kekuasaan oligarkis,195 dan kekuatan politik yang bermacam-ma-
cam. Akan tetapi, kekuatan yang utama muncul dan terus bekerja
saat itu adalah jawara-pengusaha. Pada kepengusahaan jawara
inilah melekat karakteristik oligarkis196 selain sumber daya kekua-
saan elite197 yang sudah mereka miliki secara bersamaan. Pemili-
han gubernur tersebut menjadi momentum penting bagi mereka198
dan semua sumber daya kekuasaannya.
Yang menarik, beberapa tokoh masyarakat Banten yang
sudah lebih awal berperan utama dalam perjuangan pendirian
Banten sebagai provinsi justru menghilang selama proses pemili-
han. Di antara mereka adalah Triyana Sjam’un, Ketua Umum
Badan Koordinasi Pembentukan Provinsi Banten (Bakor PPB);
Uwes Qorni, seorang pelopor dalam gerakan pendirian provinsi
Banten dan Ketua Umum Komite Pembentukan Provinsi Banten
(KPPB); dan Moch. Ali Yahya, perumus dan pengusul rancangan
Undang-undang DPR tentang pendirian Provinsi Banten. Sebalik-
nya, Tb. Chasan Sochib dengan sumber daya kekuasaan elite199
dan oligarkis200 sekaligus yang merupakan tokoh jawara-pengu-
saha yang selama periode perjuangan pendirian provinsi Banten
lebih sering berperan di balik layar,201 justru muncul sebagai
kekuatan dominan.202

193
Hidayat, “Shadow State,” 209.
194
Winters, Oligarchy, 13
195
Winters, Oligarchy, 18-20
196
Winters, Oligarchy, 13
197
Winters, Oligarchy, 13
198
Hidayat, “Shadow State,” 212.
199
Winters, Oligarchy, 13
200
Winters, Oligarchy, 18-20.
201
“In all ages, whatever the form and name of government, be it
monarchy, republic, or democracy, an oligarchy lurks behind the facade .”
Ahmad Munjin 287

Pendaftaran awal bagi bakal calon untuk gubernur dan


wakil gubernur dimulai pada 16 September 2001. Syarif Hidayat
mengakui dinamika politik lokal sejak pembukaan hingga hari-H,
yakni pemilihan paket gubernur dan wakil gubernur, sulit dipre-
diksi. PDI-P menominasikan Mamas Chaeruddin, Ketua DPD
PDI-P Provinsi Banten, sebagai kandidat gubernur. Golkar menga-
jukan Moch. Aly Yahya, anggota fraksi Golkar di DPR RI, sebagai
calon untuk gubernur dan Hj. Atut Chosiyah (pengusaha perem-
puan) untuk wakil gubernur. Sementara itu, PPP menominasikan
Djoko Munandar, Ketua Dewan Pimpinan Daerah PPP Provinsi
Banten, sebagai kandidatnya untuk gubernur. Kemudian, koalisi
tiga partai lain, yakni Partai Keadilan (PK), Partai Amanat
Nasional (PAN), dan Partai Bulan Bintang (PBB) menominasikan
Triyana Sjam’un, pengusaha dan tokoh dalam perjuangan pendi-
rian provinsi Banten, sebagai kandidatnya untuk gubernur.203 Tb.
Chasan Sochib tidak berada di antara bakal calon.
Menurut Syarif Hidayat, ini merupakan bagian dari stra-
tegi untuk pemenangan. Rumor-rumor sudah meluas bahwa
Chasan Sochib punya ambisi untuk mengendalikan momentum
pasca-Banten Nomor Satu (gubernur). Untuk menyangkal rumor
ini, Tb. Chasan Sochib secara formal tidaklah terdaftar sebagai
kandidat gubernur. Namun demikian, di balik layar, Sochib,
sebagai tokoh jawara sudah mengerahkan berbagai sumber daya
kekuasaannya.204 Salah satunya, dia melakukan mobilisasi masa
(kekuasan moblisasi)205 mengiringi tiket kandidat tertentu. Seba-
gai tokoh Partai Golkar, Sochib jelas memiliki kewajiban untuk

Lihat Ronald Syme, The Roman Revolution (Oxford: Oxford University


Press, 1939), 7. Bedakan dengan Winters, Oligarchy, 72.
202
Hidayat, “Shadow State,” 212.
203
Iwan Kusuma Hamdan et al., Mengawal Aspirasi Masyarakat
Banten menuju Banten Iman dan Taqwa: Memori Pengabdian DPRD
Banten Masa Bakti 2001-2004 (Banten: Sekretariat DPRD Banten,
2004), 119-20.
204
Winters, Oligarchy, 11-20.
205
Winters, Oligarchy, 15-18.
288 Oligarki dan Demokrasi...

mendukung kandidatnya untuk gubernur (Moch. Aly Yahya) dan


wakil gubernur (Atut Chosiyah). Akan tetapi, Sochib, bahkan
punya kepentingan yang lebih besar dalam memastikan pencalo-
nan Atut Chosiyah saat Chasan Sochib dan Atut Chosiyah berbagi
hubungan keluarga yang sangat dekat.206
Lebih jauh Syarif Hidayat menjelaskan, dengan sedikit
politik uang yang menjadi sumber daya kekuasaan material207
Chasan Sochib, tahapan awal ini sudah berlangsung. Berbagai
elemen masyarakat pun bermunculan untuk mendukung kandidat
tersebut. Salah satu bentuk penggunaan kekuasaan mobilisasi208
dari Tb. Chasan Shohib adalah pernyataan dukungan bagi Ratu
Atut Chosiyah yang datang dari asosiasi pencak silat Persatuan
Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia
(PPPSBBI) pada 18 September 2001. Dukungan tersebut datang
dua hari setelah pembukaan pendaftaran bakal calon gubernur dan
wakil gubernur. Surat dukungan tersebut ditandatangani oleh
ketua umum PPPSBBI, H. Tb. Chasan Sochib dan wakil sekretaris
jenderal, M. Suminta Idris.209 Dalam konteks ini, Sochib jelas
sudah mentransformasikan kekuasaan jabatan resmi210 sebagai

206
Hidayat, “Shadow State,” 213.
207
Winters, Oligarchy, 18-20.
208
Winters, Oligarchy, 15-18.
209
Sebagian isi surat tersebut berbunyi, “Kami panitia eksekutif
Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia
(PPPSBBI) dalam kaitannya dengan pemilihan gubernur dan wakil
gubernur provinsi Banten untuk periode 2001-2006, merasa terpanggil
[untuk menyatakan bahwa] pentingnya memilih pemimpin yang tepat,
yang mengerti karakter dan budaya masyarakat Banten serta memiliki
kesadaran persatuan dan integritas masyarakat Banten. Oleh karena itu,
dengan ini kami dari PPPSBBI mendeklarasikan dukungan penuh kami
untuk Ibu Hj. Ratu Atut Chosiyah sebagai calon wakil gubernur provinsi
Banten periode 2001-2006 dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur
yang akan datang.” Lihat Hidayat, “Shadow State,” 213.
210
Winters, Oligarchy, 13-15.
Ahmad Munjin 289

ketua umum menjadi kekuasaan mobilisasi211 melalui para jawara


yang menjadi anggota PPPSBBI.
Surat dukungan tersebut, menurut Syarif Hidayat, telah
menjadi sinyal bahwa jawara berpihak kepada Atut Chosiyah
sebagai calon wakil gubernur dan karena itu juga dukungan bagi
siapapun yang akan menjadi calon gubernur yang punya paket
yang sama dengan Atut Chosiyah. Kondisi ini merefleksikan
sebuah bentuk awal dari keterlibatan jawara dalam proses pemi-
lihan. Berikutnya, keterlibatan mereka cenderung mengarah pada
mobilisasi212 massa dengan dalih ‘melindungi dan menjaga’ pemi-
lihan tersebut. Keterlibatan itu juga mengarah pada intimidasi
yang merefleksikan kekuasaan koersif213 dari para jawara terhadap
para pendukung kandidat lain. Terdapat banyak indikasi, kata
Syarif Hidayat, yang sangat berhubungan dengan strategi-strategi
pemenangan dari Tb. Chasan Sochib.214
Pada tahapan penyaringan215 ketiga, fraksi-fraksi di DPRD
Provinsi Banten menominasikan 5 pasangan calon untuk gubernur
dan wakil gubernur. Kelima pasangan tersebut adalah Pertama,
Djoko Munandar dan Ratu Atut Chosiyah yang dicalonkan oleh
Fraksi Golkar dan PPP; Kedua, Herman Haeruman dan Tb. Mamas
Chaerudin yang dicalonkan oleh fraksi PDI-P; Ketiga, Ace

211
Winters, Oligarchy, 15-18.
212
Winters, Oligarchy, 15-18.
213
Winters, Oligarchy, 15.
214
Hidayat, “Shadow State,” 213-14.
215
Saat penyaringan para calon, tahapan pertama menghasilkan
22 bakal calon untuk gubernur dan 7 untuk wakil gubernur. Jumlah ter-
sebut disaring kembali (tahapan kedua) menjadi 12 calon untuk gubernur
dan wakil gubernur Banten. Hingga tahapan ini, para kandidat belum
ditetapkan berpasangan. Pada putaran ketiga, pada penyaringan tahap
kedua itu, 12 kandidat dipasangkan menjadi berpasangan. Setiap pasa-
ngan dinominasikan oleh satu dari enam fraksi di DPRD provinsi Banten.
Pada sidang pleno 25 September 2001, melalui voting tertutup, DPRD
menetapkan 12 calon untuk gubernur dan wakil gubernur. Hidayat,
“Shadow State,” 214. Lihat juga Hamdan et al., Mengawal Aspirasi, 122.
290 Oligarki dan Demokrasi...

Suhaedi Madsupi dan Tb. Mamas Chaerudin yang dicalonkan oleh


fraksi ABK (Fraksi Amanat Bintang Keadilan); Keempat, Herman
Haeruman dan Hilman Indra yang dicalonkan oleh fraksi ABK;
dan Kelima, Herman Haeruman dan Ade Sudirman yang
dicalonkan oleh fraksi Al Bantani.216
Menurut Syarif Hidayat, hal yang paling mencolok adalah
hilangnya Moch. Aly Yahya sebagai calon gubernur selama penya-
ringan tahap kedua. Tokoh terkenal dalam perjuangan pendirian
provinsi Banten ini hanya mendapatkan 28 suara dalam penyari-
ngan tahap pertama. Bahkan, menurut Syarif Hidayat, ada indikasi
kuat bahwa hilangnya nama Moch. Aly Yahya dari bursa penca-
lonan berkaitan erat dengan skenario yang dibuat oleh Tb. Chasan
Sochib dan tim suksesnya. Sejak awal, Chasan Sochib memiliki
kepentingan besar dengan posisi Banten II (wakil gubernur),
sebagaimana posisi ini relevan dengan Atut Chosiyah yang sedang
diperjuangkannya.217
Paling tidak, terdapat empat alasan Tb. Chasan Sochib
untuk posisi Atut Chosiyah sebagai calon wakil gubernur.
Pertama, posisi calon gubernur dianggap terlalu berat bagi Atut
Chosiyah.218 Terlalu berat dalam pengertian pengalaman dan kapa-
bilitas personalnya. Kedua, sebagai calon gubernur, Atut Chosiyah
akan memberatkan Partai Golkar di mana pencalonannya akan
berpengaruh pada faktor kemenangan nantinya. Ketiga, Golkar
sudah terlanjur mencalonkan Moch. Aly Yahya sebagai gubernur
dan Atut Chosiyah sebagai wakil gubernur. Untuk mengatasi
masalah ini, hal-hal ‘diatur’ sehingga Golkar memutuskan hanya
mengejar posisi wakil gubernur. Dengan demikian, sekarang jelas
alasan penarikan Moch. Aly Yahya dari arena. Apalagi, sejak awal
Moch. Aly Yahya hanya tertarik untuk dicalonkan sebagai
gubenur bukan wakil gubernur.219

216
Hidayat, “Shadow State,” 214.
217
Hidayat, “Shadow State,” 214-15.
218
Hidayat, “Shadow State,” 214-15.
219
Hidayat, “Shadow State,” 215.
Ahmad Munjin 291

Keempat, alasan pencalonan Atut Chosiyah sebagai wakil


gubernur juga sebagai strategi dari Tb. Chasan Sochib untuk
mengantarkan anak sulungnya itu berkuasa tiga periode. Jika
langsung berkuasa jadi gubernur, Atut Chosiyah hanya berpeluang
berkuasa dua periode. Inilah sikap politik Tb. Chasan Sochib yang
sangat visioner, jauh melihat ke depan untuk masa depan
kekuasaan politik dinastinya. Strategi ini juga diikuti oleh anak
Atut Chosiyah, Andika Hazrumy pada Pilkada 2017. Pada dasar-
nya, menurut Masaaki dan Hamid, selama proses pembentukan
Banten sebagai provinsi yang independen, Sochib sudah memper-
lihatkan hasrat yang kuat bahwa Atut Chosiyah menjadi wakil
gubernur pertama dan dikatakan bahwa Sochib tidak peduli siapa
yang akan menjadi gubernurnya.220
Tantangan bagi Golkar dan Tb. Chasan Sochib adalah
memilih calon gubernur lain untuk dipasangkan dengan Atut
Chosiyah. Ini, menurut Syarif Hidayat, merupakan tugas rumit
dan membutuhkan amunisi politik dan ekonomi (sumber daya
kekuasaan material221) yang berat. Sebab, hampir semua calon
gubernur yang sudah lolos pada penyaringan tahap pertama sudah
punya pasangan untuk maju sebagai wakil gubernur. Dalam situasi
ini, Golkar dan Tb. Chasan Sochib menunjukkan kemampuannya.
Setelah perhitungan yang hati-hati, diputuskan bahwa Golkar
harus membentuk sebuah koalisi dengan satu partai lain atau
lebih. Pilihannya antara PPP dan PDI-P. Pada saat yang sama, PPP
belum menentukan nama calon wakil gubernur untuk dipasangkan
dengan Djoko Munandar (kandidat gubernur dari PPP).
Setelah berbagai pendekatan dan kompromi, koalisi
Golkar-PPP terbentuk sehingga calon PPP untuk gubernur, Djoko
Munandar dipasangkan dengan Ratu Atut Chosiyah sebagai calon
wakil gubernur. Menurut Syarif Hidayat, koalisi ini menunjukkan
bahwa Chasan Sochib merupakan kontributor utama untuk men-

220
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 122-23.
221
Winters, Oligarchy, 18-20.
292 Oligarki dan Demokrasi...

danai pemilihan pasangan tersebut.222 Dalam konteks pendanaan


pemilihan inilah sumber daya kekuasaan material223 yang menjadi
basis kekuasaan oligarkis dari Tb. Chasan Sochib sedang bekerja.
Partai Golkar merelakan Moch. Aly Yahya untuk keluar dari kon-
testasi calon gubernur dan hanya memajukan Ratu Atut Chosiyah
sebagai calon wakil gubernur dengan kompensasi pendanaan yang
dibebankan kepada Tb. Chasan Sochib.
Menentukan tiga pasangan calon yang akan maju dalam
putaran akhir, yakni pemilihan itu sendiri menjadi tahapan
selanjutnya. Pada 3 Oktober 2001, tiga pasangan telah terpilih.
Ketiga pasangan tersebut adalah: Pertama, Djoko Munandar dan
Ratu Atut Chosiyah yang dicalonkan oleh PPP dan Golkar; Kedua,
Ace Suhaedi Madsupi dan Tb. Mamas Chaerudin yang dicalonkan
oleh PDI-P; dan Ketiga, Herman Haeruman dan Ade Sudirman
yang dicalonkan oleh fraksi Al Bantani.224
Terpilihnya ketiga pasangan tersebut menimbulkan reaksi
baik positif maupun negatif dari masyarakat. Sebagai contoh, pada
hari setelah tiga pasangan sudah dipilih, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), Aliansi Martabat Perempuan Banten (AMPB)
mengajukan surat penolakan atas pencalonan Ratu Atut Chosiyah
sebagai wakil gubernur Banten. Surat tersebut ditandatangani oleh
Ratu Syarifa Usmah Wahid (Ketua Umum) dan dialamatkan
kepada para anggota DPRD Provinsi Banten.225 Di lain sisi, surat
serupa justru sebagai dukungan untuk pencalonan Ratu Atut
Chosiyah datang dari padepokan pencak silat Perguruan Paku Jung
Kulon Banten Selatan pada hari berikutnya, 5 Oktober 2001.226
Penolakan dan dukungan terhadap Ratu Atut Chosiyah tersebut
merepresentasikan dua sumber daya kekuasaan sekaligus. Perta-

222
Hidayat, “Shadow State,” 215.
223
Winters, Oligarchy, 18-20.
224
Hidayat, “Shadow State,” 215. Lihat juga,Hamdan et al.,
Mengawal Aspirasi,122.
225
Hidayat, “Shadow State,” 215-216.
226
Hidayat, “Shadow State,” 216.
Ahmad Munjin 293

ma, jabatan resmi227 karena ditandatangani oleh ketua umum; dan


Kedua, mobilisasi228 karena membawahi banyak anggota dari
organisasi tersebut.
Gelombang dukungan dan penolakan membesar dan sulit
dikendalikan. DPRD pun coba menangkis berbagai tuntutan,
protes, dan pernyataan-pernyataan penolakan yang diajukan oleh
berbagai elemen masyarakat Banten. Akan tetapi, menurut Syarif
Hidayat, sangatlah sulit menutupi penyimpangan yang muncul
dalam proses pencalonan tersebut. Mengacu pada Undang-undang
no. 22/1999 dan Peraturan Pemerintah no. 151/2000, pasangan
calon untuk gubernur dan wakil gubernur harus sudah dilakukan
oleh masing-masing kandidat dan bukan oleh fraksi-fraksi di
DPRD seperti yang terjadi di Banten. Pelanggaran lain sudah
terjadi pada persyaratan administratif Tb. Mamas Chaerudin,
calon wakil gubernur yang dipasangkan dengan Ace Suhaedi Mad-
supi. Mamas Chaerudin sebenarnya tidak memiliki ijazah sekolah
tinggi atau sederajat sebagaimana diwajibkan dalam Undang-
undang no. 22/1999 dan Peraturan Pemerintah no. 151/2000.229
Untuk memecahkan masalah tersebut, DPRD Provinsi
Banten berkonsultasi dengan Departemen Dalam Negeri yang
merasa bahwa aturan yang digunakan di Banten membutuhkan
koreksi. Kemudaian, pada 12 November 2001, DPRD mengadakan
sidang pleno untuk mendiskusikan revisi atas tata tertib pemilihan
gubernur dan wakil gubernur. Hasil dari revisi tersebut kemudian
diajukan ke Departemen Dalam Negeri untuk ditinjau ulang. Pada
saat yang sama, pendekatan-pendekatan informal juga dilakukan
untuk memperkuat pengajuan revisi tata tertib itu. Menurut Syarif
Hidayat, hal ini dilaporkan oleh salah satu anggota DPRD Pro-
vinsi Banten di mana Tb. Chasan Sochib berperan dalam proses-
proses politik informal. Tb. Chasan Sochib menggunakan sebagian
besar hubungan personalnya, yakni jaringan yang merepresen-

227
Winters, Oligarchy, 13-15.
228
Winters, Oligarchy, 15-18.
229
Hidayat, “Shadow State,” 217.
294 Oligarki dan Demokrasi...

tasikan kekuasaan mobilisasi230 dengan menteri dalam negeri.


Pada saat yang sama, Menteri Dalam Negeri menggunakan kekua-
saan jabatan resminya231 dalam merevisi tata tertib dimaksud.
Pada 24 November 2001, Menteri Dalam Negeri, Hari
Sabarno, mengirimkan surat persetujuan. Konsekuensinya, rapat
Panitia Musyawarah (Panmus) DPRD Banten ditentukan pada 26
November 2001 yang merupakan tahapan akhir. Sementara itu,
pemilihan gubernur dan wakil gubernur Banten dilaksanakan pada
3 Desember 2001.232
Chasan Sochib menggunakan semua sumber daya kekua-
saan yang dimilikinya untuk memenangkan pasangan calon Djoko
Munandar dan Atut Chosiyah. Dirumorkan, sebelum hari H
pemungutan suara, tentu dengan sumber daya materialnya,233 Tb.
Chasan Sochib melakukan suap terhadap para anggota dewan
provinsi Banten.234Pada Desember 2001,pemilihangubernur dan
wakil Gubernur Bantendiselenggarakan melaluiDPRD.Suasana
pada hari-H tersebut semakin tegang. Meski DPDR sudah menja-
min otoritas penuh pada polisi dan militer untuk menangani
keamanan dan meminta mereka untuk membersihkan jawara pada
area dalam rentang radius empat kilometer dari gedung DPRD,
elemen masyarakat ini terus memobilisasi235 masanya. Para jawara
sudah bersiap siaga sejak pukul 06.00 WIB pagi dengan alasan
untuk mengamankan proses pemilihan. Mereka bahkan berkeliaran
di dalam gedung dengan pakaian sipil (pakaian preman).236Para
jawara berseragam hitam dan bersenjata golok yang merepresen-
tasikan kekuasaan koersif237 dari PPPSBBI “mengamankan”

230
Winters, Oligarchy, 15-18.
231
Winters, Oligarchy, 13-15.
232
Hidayat, “Shadow State,” 217.
233
Winters, Oligarchy, 18-20.
234
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 122-23.
235
Winters, Oligarchy, 15-18.
236
Hidayat, “Shadow State,” 217-18. Lihat juga Hamdan et al,
Mengawal Aspirasi, 126.
237
Winters, Oligarchy, 15.
Ahmad Munjin 295

gedung DPRD. Dua hingga tiga jawara “mengawal” tiap-tiap


mobil milik anggota dewan.238
Dalam konteks peran jawara dalam proses pemilihan
tersebut, sangat jelas baik secara langsung ataupun simbolik
jawara menggunakan kekuasaan koersifnya.239 Padahal, menurut
Max Weber, pada era modern kekuasaan koersif sejatinya diambil
alih oleh negara240, yakni polisi dan militer dalam konteks Banten.
Kekuasaan koersif241 itu justru dipertontonkan oleh otoritas
tradisional242Jawara. Kekuasaan koersif243 tersebut pada akhirnya
bertransformasi menjadi kekuasaan mobilisasi244 sehingga berbuah
pada kemenangan pasangan calon yang memiliki dua sumber daya
kekuasaan tersebut. Dengan demikian, uang yang menandakan
kekusaan material245 dan ancaman dan intimidasi dari para jawara
yang manandakan kekuasaan koersif246 ditegaskan Masaaki dan
Hamid, sangat efektif dalam memengaruhi hasil pemungutan suara
bagi dukungan Sochib ini.247 Strategi politik Tb. Chasan Sochib
dengan sumber daya kekuasaan materialnya mengonfirmasi teori
oligark berkuasa di balik layar.248
238
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 122-23.
239
Winters, Oligarchy, 15.
240
“Today, however, we have to say that a state is a human com-
munity that (successfully) claims the monopoly of the legitimate use of
physical force within a given territory .” Max Weber, “Politics as a Voca-
tion,” dalam From Max Weber: Essays in Sociology, eds. H. H. Gerth
dan C. Wright Mills (New York: Oxford University Press, 1946), 78.
241
Winters, Oligarchy, 15.
242
Miriam Budiardjo, dkk., Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan
Wibawa (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991), 14-15.
243
Winters, Oligarchy, 15.
244
Winters, Oligarchy, 15-18.
245
Winters, Oligarchy, 18-20.
246
Winters, Oligarchy, 15.
247
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 122-23.
248
Perihal apakah oligark berkuasa di balik layar atau tidak
bukanlah merupakan perhatian utama bagi Winters. Akan tetapi kasus
Chasan Sohib membuktikan kekuasaan di balik layar tersebut. Winters
296 Oligarki dan Demokrasi...

Walhasil, seorang politisi bersuku Jawa, Djoko Munandar


dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan anak perempuan
Tb. Chasan Sochib, Ratu Atut Chosiyah249 dari Golkar meme-
nangkan pemilihan gubernur dan wakil gubernur tersebut. Meski
Atut Chosiyah tidak berpengalaman dalam politik, Tb. Chasan
Sochib meyakini dan memilihnya karena dia memiliki kekuatan
berpikir dan kepercayaan diri seperti jawara. Pada pemilihan
tersebut, dari enam puluh sembilan suara, pasangan Djoko-Atut
Chosiyah memenangkan tiga puluh tujuh suara—dua belas suara
Golkar, sebelas suara PPP, delapan suara berasal dari fraksi militer
dan polisi, dan sisanya berasal dari fraksi ABK (Amanat, Bintang,
dan Keadilan) dan fraksi Al-Bantani.250 Tampaknya, menurut
Syarif Hidayat, kalahnya pasangan calon dari PDI-P merupakan
kompensasi, yakni untuk mengalokasikan posisi jabatan di legis-
lasi daerah dan eksekutif. Yang perlu diingat adalah Ketua DPRD
Provinsi Banten adalah, Dharmono K. Lawi yang merupakan
politikus PDI-P.251
Kemenangan elektoral tersebut, menurut Masaaki dan
Hamid, tidaklah mungkin terjadi tanpa dukungan finansial yang

berargumen, pemahaman oligark yang selalu berada di balik layar mun-


cul karena pandangan bahwa oligarki tidak bisa menyatu dengan sistem
pemerintahan demokratis sedangkan Winters berpendapat sebaliknya.
Lihat Winters, Oligarchy, 72-73.Bedakan dengan Syme, Roman Revolu-
tion, 7.
249
Atut merupakan anak pertama Sochib dari istri pertamanya,
Hj. Wasiah. Atut dilahirkan di Ciomas, Kabupaten Serang pada 1962.
Dia merupakan lulusan sekolah perbankan di Bandung dan mengopera-
sikan sebuah perusahaan konstruksi ketika ayahnya meminta untuk maju
sebagai wakil gubernur. Lihat Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,”
121-22.
250
Tabel hasil pemilu Gububernur dan Wakil Gubernur Provinsi
Banten tahun 2001, lihat Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 121-
22; Hidayat, “Shadow State,” 217-18; dan Hamdan et al, Mengawal
Aspirasi , 126.
251
Hidayat, “Shadow State,” 218.
Ahmad Munjin 297

menjadi sumber daya kekuasaan material252dari Tb. Chasan Sochib


dan ancaman-ancaman kekerasan dari para jawara yang menjadi
sumber daya kekuasaan koersif253yang dialamatkan kepada para
anggota dewan.254Menurut Syarif Hidayat, di antara mereka yang
paling gembira dan bisa bernafas lega pascapemilihan tahap akhir
tersebut adalah Tb. Chasan Sochib dan tim suksesnya. Setelah
menjadi navigator dalam sebuah proses pemilihan sangat rumit
yang menguras sumber daya ekonomi dan politik yang besar,
akhirnya kandidat mereka meraih kemenangan. Pertanyaan beri-
kutnya adalah bagaimana Chasan Sochib mendapatkan kompen-
sasi atas ‘keringat’ politik dan ekonomi yang telah ia keluarkan
dalam proses pemilihan.255
Ironisnya, Sochib berjuang mendirikan provinsi baru
untuk masyarakat Banten, tapi dia memilih dua etnis luar, Djoko
Munandar dan Darmono K. Lawi (Kader PDIP Provinsi asal suku
Jawa) untuk pos gubernur Banten dan ketua DPRD Provinsi
Banten. Dengan memasang etnis luar pada puncak jabatan,
menurut Masaaki dan Hamid, kekuasaan eksekutif dan legislatif
berada di bawah bayang-bayangnya yang merupakan kompensasi
atas ‘keringat’ politik dan ekonomi dari Tb. Chasan Sochib
sehingga menjadi oligark di balik layar256 dan nyaman mengontrol
Banten pasca-Soeharto.257
Tak tanggung-tanggung, Tb. Chasan Sochib pun bisa
mengintervensi kebijakan-kebijakan pemerintah provinsi baik
dalam hal personel maupun anggaran yang pada muaranya me-
ngejawantah menjadi sumber daya kekuasaan material.258 Dalam
situasi itu, DPRD provinsi menjadi tidak efektif dalam mem-

252
Winters, Oligarchy, 18-20.
253
Winters, Oligarchy, 15.
254
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 122-23.
255
Hidayat, “Shadow State,” 218.
256
Syme, Roman Revolution, 7. Bedakan dengan Winters,
Oligarchy, 72.
257
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 123-24.
258
Winters, Oligarchy, 18-20.
298 Oligarki dan Demokrasi...

bendung intervensi dari Sochib. Wakil Ketua Komisi A yang


membidangi tata kelola pemerintahan dari Partai Keadilan (PK)
bahkan mengatakan dengan penuh penyesalan, “...pemerintahan
provinsi tampaknya takut dalam membuat keputusan kebijakan
meskipun sidang pleno DPRD Provinsi sudah setuju dengan kepu-
tusan tersebut. Kami hanya menunggu persetujuan Rau259 yang
sering terdengar klise di antara pejabat eksekutif provinsi.”260
Rauadalah nama sebuah pasar tradisional di Serang yang
menjadi tempat di mana hampir semua grup bisnis Tb. Chasan
Sochib dan asosiasi-asosiasi bisnisnya bersemayam. Rau merepre-
sentasikan jaringan persekongkolan sosial yang menjelma menjadi
kekuasaan mobilisasi261 Tb. Chasan Sochib, beserta kekuatan
fisiknya, secara efektif memaksakan kehendaknya (kekuasaan
koersif262) terhadap pemerintah daerah. Menghadapi kritisisme
semacam ini perihal kekuasaan sosialnya yang dominan (sebuah
istilah yang digunakan oleh kepala Badan Perencanaan Daerah
Provinsi Banten), Sochib mengatakan, “Tidak masalah dalam
sebuah negara demokratis, apabila muncul kekuatan sosial. Kita
bukanlah negara komunis. Rakyat harus punya kekuasaan di
bawah paradigma baru saat ini.”263
Selain intervensi kebijakan, perusahaan-perusahaan milik
Sochib memenangkan proyek-proyek konstruksi. Di antaranya,
pembangunan gedung Markas Besar Kepolisian Provinsi Banten,
komplek pemerintahan provinsi, dan beberapa jalan raya. Tb.
Chasan Sochib juga memiliki tanah yang dijualnya ke Pemda
dalam jumlah luas yang tidak biasa. Masaaki dan Hamid

259
Pasar Rau adalah pasar induk yang terletak di daerah Serang,
salah satu pasar yang paling ramai, yang setiap hari dikunjungi orang
dari berbagai penjuru Serang bahkan sampai Pandeglang dan Anyer.
Dalam konteks penelitian ini, Rau merujuk pada semua grup bisnis Tb.
Chasan Sochib dan asosiasi-asosiasinya.
260
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 124.
261
Winters, Oligarchy, 15-18.
262
Winters, Oligarchy, 15.
263
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 124.
Ahmad Munjin 299

mencontohkan, Pemda provinsi mendapatkan tanah untuk kantor


pusat kepolisian dari Tb. Chasan Sochib dan yang lain. Harga
pengadaan tanah tersebut senilai Rp231.500 per meter persegi.
Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan harga tanah rata-rata
senilai Rp200.000 per meter persegi. Menurut Tb. Chasan Sochib,
untuk mengontrol lebih dari 60% anggaran, pembangunan dari
proyek-proyek tersebut senilai lebih dari Rp5 miliar. Dalam
banyak kasus, pesaing Sochib tidak diberikan kesempatan sama
sekali untuk mengajukan penawaran untuk berbagai kontrak. Tb.
Chasan Sochib sendiri mengakui bahwa Sinar Ciomas Raya Co.
Ltd. menangani semua proyek senilai lebih dari Rp10 miliar, dan
dia memberikan proyek tersebut kepada para pengikutnya yang
menjadi basis kekuasaan mobilisasinya264 senilai kurang dari
jumlah tersebut.265 Semua proyek tersebut tentu menjadi pundi-
pundi kekayaan Tb. Chasan Sochib yang pada gilirannya bertrans-
formasi menjadi kekuasaan material266 yang menjadi basis kekua-
saan oligarkis.
Sebagai pihak yang terdefinisikan sebagai oligark di
belakang layar, Tb. Chasan Sochib justru dengan bangga menya-
takan, “Saya adalah gubernur jenderal yang sebenarnya. Apabila
dia [Djoko Munandar] melakukan kesalahan dalam memimpin
Banten, saya akan mengoreksinya. Saya yang paling bertanggung-
jawab atas dirinya. Dia naik karena dukungan saya.”267
Kekuasaan Sochib memang tidak terbatas, tapi bagaimana
pun, dia paham bahwa dia mungkin tidak bisa bertindak secara
bebas dari pemerintah pusat di Jakarta. Karena alasan inilah
mengapa dia mengooptasi tokoh pejabat negara penting nasional
yang menjadi basis kekuasaan mobilisasinya268di Jakarta dengan
menunjuk mereka sebagai anggota kehormatan PPPSBBI atau

264
Winters, Oligarchy, 15-18.
265
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 124.
266
Winters, Oligarchy, 18-20.
267
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 124.
268
Winters, Oligarchy, 15-18.
300 Oligarki dan Demokrasi...

dewan penasihat setiap kali mereka bertandang ke Banten. Di


antara mereka yang sudah ditunjuk adalah Da'i Bachtiar (Kapolri),
Taufik Kiemas (suami mantan Presiden Megawati), Guruh
Soekarnoputra (anak laki-laki Soekarno), dan M.A. Rahman (man-
tan Jaksa Agung). Sochib mengelola jaringan yang kuat dengan
Dewan Pengurus Pusat (DPP) Golkar. Pada saat yang sama, Atut
Chosiyah sukses berjibaku membangun hubungan dekat dengan
Jusuf Kalla, wakil ketua umum Golkar, dan dengan dukungan
Kalla pula, Ratu Atut Chosiyah menjadi wakil bendahara DPP
Golkar (2004-2009). Jaringan politik yang kuat dan multilateral
ini, menurut Masaaki dan Hamid, tampaknya mengamankan Tb.
Chasan Sochib dan Atut Chosiyah dari tuduhan korupsi.269 Kedua-
nya sama-sama memanfaatkan sumber daya kekuasaan jabatan
resmi270 mereka yang menduduki posisi politik penting di Jakarta.
Masaaki dan Hamid menyontohkan, bantenlink.com, por-
tal berita online provinsi Banten, menyebutkan dua kasus korupsi
yang melibatkan Tb. Chasan Sochib dan Atut Chosiyah. Satu
kasus terkait korupsi yang berhubungan dengan pengadaan tanah
di Karangsari. Yang lainnya terkait penyalahgunaan dana darurat
yang diperuntukkan untuk mendukung pembelian rumah anggota
dewan. Dalam kasus yang terakhir, gubernur Djoko Munandar,
dan tiga anggota legislatif yakni Dharmono (ketua), Mufrodi
(wakil ketua), dan Muslim Djamaluddin (wakil ketua) terbukti
bersalah. Chosiyah, Chaeron Muchsin (sekretaris daerah), dan
pejabat pemerintah provinsi lain mengikuti pertemuan-pertemuan
selama penentuan bagaimana menggunakan dana darurat, tapi
mereka bebas dari tuntutan. Tergantung pada bagaimana pergan-
tian pasangan politik, bagaimana pun, Sochib dan Atut Chosiyah
bisa dipanggil kapan saja oleh kepolisian ataupun pengadilan. Apa
yang mungkin terjadi apabila petinggi pemerintah pusat menemu-
kan lebih banyak alternatif menarik terhadap pengaruh dan sumber
daya kelompok Rau, atau menekan bahwa jaringan grup Rau

269
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 125.
270
Winters, Oligarchy, 13-15.
Ahmad Munjin 301

sudah melemah dan menjadi relatif tidak efektif. Sochib dan


Chosiyah akan terlihat tidak diperlukan dan hilang apapun protek-
si politiknya dari kecurigaan dan tuntutan pengadilan yang saat
itu mereka nikmati.271
Secara alamiah, menurut Masaaki dan Hamid, mencuat
perlawanan terhadap dominasi grup Rau di Banten. Sebagian man-
tan anggota Bakor membentuk sebuah organisasi anti-Rau yang
bernama M3B (Majelis Musyawarah Masyarakat Banten), akan
tetapi, organisasi ini kemudian tidak efektif. Kemudian, media
masa secara umum menjadi takut untuk terlalu kritis terhadap
Sochib, di mana golok yang merepresentasikan kekuasaan koersif-
nya272akan menjadi ganjaran bagi mereka atas setiap kritik yang
dilontarkan.273
Di atas semua itu, Djoko Munandar dan Ratu Atut
Chosiyah tetap terpilih sebagai pemenang di Pilkada 2001.274
Aparat kelembagaan pun sudah lengkap. Harapan untuk segera
terciptanya Banten yang lebih sejahtera, demokratis, dan religious
terpusat pada dua lembaga penting provinsi tersebut dan terutama
pada gubernur dan wakil gubernur yang baru terpilih275 yang

271
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 125.
272
Winters, Oligarchy, 15.
273
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 125.
274
Djoko Munandar merupakan putra asli Solo, Jawa Tengah.
Posisi terakhirnya sebelum menjadi gubernur adalah wakil bupati Cile-
gon. Saat dia terdaftar sebagai kandidat gubernur Banten yang prospek-
tif, Djoko bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Sementara itu, Ratu Atut Chosiyah adalah seorang pengusaha perempuan
asal Serang dan anak dari Tubagus Chasan Sochib. Atut Chosiyah yang
kelak terdefinisikan sebagai oligark dengan segudang sumber daya mate-
rialnya dinominasikan sebagai wakil gubernur Banten oleh Golkar. Lihat
Hidayat, “Shadow State,” 209.
275
Hidayat, “Shadow State,” 209.
302 Oligarki dan Demokrasi...

berada dalam bayang-bayang kekuasaan seorang oligark di balik


layar.276
Dari pemaparan di atas, meski hanya berperan di balik
layar pada Pilkada 2001, Tb. Chasan Sochib sukses mengerahkan
semua sumber daya kekuasaannya, seperti mobilisasi, koersif,
jabatan resmi, dan tentu hak politik formalnya. Semua kekuasaan
tersebut menjadi basis kekuasaan elite dalam demokrasi. Selain
sumber daya-sumber daya kekuasaan tersebut, Tb. Chasan Sochib
juga mengerahkan kekuasaan material yang menjadi basis kekua-
saan oligarkis. Di antara indikatornya adalah Pertama, mengerah-
kan para jawara anggota PPPSBBI yang merepresentasikan kekua-
saan mobilisasi; Kedua, intimidasi para jawara yang memengaruhi
suara di parlemen yang merepresentasikan kekuasaan koersif;
Ketiga, surat dukungan untuk Ratu Atut Chosiah dari Chasan
Sochib sebagai ketua PPPSBBI yang menandakan kekuasaan
jabatan resmi; Keempat, Chasan Sochib juga menggunakan hak
pilihnya di kotak suara yang mewakili kekuasaan hak politik
formalnya; dan Kelima, indikasi politik uang dan penentuan
pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur di mana Tb. Chasan
Sochib bertanggungjawab secara pendanaan yang menunjukkan
kekuasaan materialnya yang menjadi basis sumber daya kekuasaan
oligarkis. Namun demikian, di antara sumber daya kekuasaan
tersebut, terdapat tiga sumber daya kekuasaan yang menonjol,
yakni mobilisasi, koersif, dan material.

2. Pilkada Langsung 2006 dan Dominasi Kelompok Rau


Pilkada langsung pertama untuk gubernur provinsi dilak-
sanakan di Banten pada November 2006. Menurut Masaaki dan
Hamid, pemilu ini memunculkan pendatang yang potensial dari
dominasi kelompok Rau.277 Kelompok Rau merujuk kepada Tb.
Chasan Sochib dan asosiasi-asosiasi bisnisnya yang bermarkas di
pasar Rau, Serang. Kelompok Rau merepresentasikan jenis oligar-
276
Syme, Roman Revolution, 7. Bedakan dengan Winters,
Oligarchy, 72.
277
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 126.
Ahmad Munjin 303

ki yang disematkan kepada Tb. Chasan Sochib, yakni oligarki


sultanistik278 di mana satu oligark (Tb. Chasan Sochib) memba-
wahi dan mengendalikan oligark-oligark lain (asosiasi-asosiasi
bisnisnya). Belum lagi jabatan Tb. Chasan Sochib sebagai Ketua
Kadin Provinsi Banten yang juga secara otomatis membawahi
pengusaha-pengusaha lainnya.
Dari sudut pandang sumber daya kekuasaan,279 kelompok
Rau memiliki profil kekuasaan material280 karena merupakan grup
dan asosiasi bisnis dan mobilisasi281 sekaligus karena kelompok
tersebut juga merupakan jaringan politik. Pada Pilkada Langsung
2006, kelompok Rau dengan profil kekuasaan material dan
mobilisasinya itu sudah memiliki persiapan yang sangat baik.
Beberapa tahun sebelum pemilihan, gubernur Djoko Munandar
sudah dipenjara karena kasus korupsi dan pada saat yang sama
Ratu Atut Chosiyah menjadi penjabat Gubernur. Limpahan
jabatan tersebut membuat Ratu Atut Chosiyah leluasa dalam
memobilisasi birokrasi provinsi untuk memastikan kemenangan-
nya dalam pemilihan langsung 2006.282
Empat pasangan calon maju dalam pemilihan. Kelompok
Rau tentu mendukung penjabat gubernur yakni anak perempuan
Tb. Chasan Sochib, Ratu Atut Chosiyah.Undang-undang Otonomi
Daerah yang baru, No. 33/2003, menetapkan bahwa setiap
pasangan calon gubernur dan wakil gubernur harus didukung oleh
partai politik. Kelompok Rau mencari dukungan terutama dari
pertai terbesar di provinsi Banten, Golkar pimpinan Jusuf Kalla,
dan partai ketiga terbesar di provinsi Banten, yakni PDI-P,
pimpinan mantan Presiden Megawati.283
Menurut Masaaki dan Hamid, beberapa kader Golkar
provinsi secara jelas menentang Atut Chosiyah karena minimnya
278
Winters, Oligarchy, 135-207.
279
Winters, Oligarchy, 11-20.
280
Winters, Oligarchy, 18-20.
281
Winters, Oligarchy, 15-18.
282
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 126.
283
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 126.
304 Oligarki dan Demokrasi...

dia dalam hal kepemimpinan. Namun demikian, keputusan akhir


tidak ditentukan oleh Golkar tingkat provinsi melainkan oleh
Dewan Pimpinan Pusat. Golkar memprioritaskan akurasi hasil
survei dan menggunakan dua agen survei, yakni Lembaga Survei
Indonesia (LSI) pimpinan Saiful Mujani dan Lingkaran Survei
Indonesia (LSI) pimpinan Denny JA, pecahan LSI Saiful Mujani.
Hasil survei pada 2005 memperlihatkan dukungan tertinggi untuk
Atut Chosiyah sekitar 20 persen. Di posisi kedua, ditempati
Marissa Haque, aktris terkenal dan di tempat ketiga, Triyana
Sjam’un, seorang pengusaha kaya.284
Sebagian anggota DPP Golkar coba untuk mendukung
Triyana Sjam’un menggantikan Atut Chosiyah untuk merobohkan
dominasi kelompok Rau. Triyana merupakan ‘cengceman’ faksi
Ical (Aburizal Bakrie) dalam Golkar. Lalu, anggota DPP Golkar
pusat untuk provinsi Banten diganti dari Tajuddin Nursaid
menjadi Agus Gumiwang Kartasasmita, anak Ginandjar Kartasas-
mita, seorang sekutu Ical. Ical merupakan pengusaha paling sukses
yang didukung oleh Ginandjar, seorang teknokrat berpengaruh
selama Orde Baru. Pada 2001, Ginandjar Kartasasmita adalah
Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang bertanggungjawab
masalah kebijakan-kebijakan otonomi daerah. Anak Ginanjar
adalah milik kubu Ical. Oleh karena itu, mungkin perubahan
tersebut didorong oleh kelompok Ical untuk memastikan duku-
ngan potensial Golkar bagi Tryana.285
Para pendukung Tryana bergerak untuk menambah popu-
laritasnya di level provinsi. Akan tetapi, survei kedua pada Januari
2006 memperlihatkan, Ratu Atut Chosiyah masih menempati
rangking dukungan tertinggi sebesar 20% dibandingkan peringkat
dukungan untuk Tryana yang hanya 8%. Berdasarkan pada ren-
dahnya tingkat keterpilihan, para pendukung Tryana menyarankan
agar Tryana memilih Marissa Haque yang populer sebagai calon
wakil gubernur atas dasar asumsi bahwa kombinasi pemilih mere-

284
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 127.
285
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 127.
Ahmad Munjin 305

ka bisa menandingi pemilih Atut Chosiyah. Tryana menolak


strategi ini dan dukungan untuk pencalonannya di Golkar pun
menyusut.286
Pada 2 Juli 2006, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Golkar
mengadakan konvensi untuk memastikan calon-calon gubernur.
Akan tetapi, komite konvensi hanya mengizinkan Ratu Atut
Chosiyah untuk maju. Calon-calon potensial lainnya, seperti dua
anggota Golkar dari DPR RI, yakni Moch. Aly Yahya dan Irsjad
Djuwaeli, ditarik dari pertarungan. Moch. Aly Yahya sudah me-
ngambil formulir pendaftaran, tapi tidak menyerahkannya kem-
bali. Dua anggota DPP Golkar, Agung Laksono dan Ginandjar
Kartasasmita, melakukan intervensi dalam proses-proses seleksi
pada level provinsi.287
Negasi yang tidak demokratis ini menimbulkan reaksi
keras dari beberapa kader provinsi. Sam Rachmat, salah satu ang-
gota tim seleksi, mengadakan konferensi pers untuk mengkritik
proses-proses tersebut dan pada akhirnya dipaksa mundur dari
DPD Golkar. Oleh karena itu, tidak mengejutkan, konvensi Golkar
memilih Ratu Atut Chosiyah sebagai calon tunggal Golkar dalam
pertarungan gubernur Banten secara aklamasi. Sam Rachmat tidak
dipecat melainkan dipasang sebagai kepala tim provinsi untuk
memastikan kemenangan Ratu Atut Chosiyah. Menurut Masaaki
dan Hamid, kelompok Rauyang memiliki profil kekuasaan mate-
rial288 dan mobilisasi289 ini sangat trampil dalam negosiasi-nego-
siasinya dengan anggota partai yang dianggap bandel. Sam
Rachmat pun, pada akhirnya, tidak punya pilihan lain kecuali
mendukung Ratu Atut Chosiyah dengan risiko kehilangan muka
jika Chosiyah kalah dalam pemilihan.290

286
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 127.
287
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 127-128.
288
Winters, Oligarchy, 18-20.
289
Winters, Oligarchy, 15-18.
290
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 127-128.
306 Oligarki dan Demokrasi...

Kelompok Rau juga, lanjut Masaaki dan Hamid, dengan


lihai mengintervensi proses-proses pembuatan keputusan PDI-P.
Anggota DPR asal PDI-P, Marissa Haque menghendaki untuk
maju untuk Pilgub dan punya dukungan kuat dari DPD Provinsi.
Marissa merupakan aktris terkenal dan suaminya Ikang Fauzi
merupakan penyanyi rok masyhur asal Kabupaten Lebak. Popula-
ritas mereka yang bisa dibaca sebagai sumber daya kekuasaan
mobilisasi291dianggap menjanjikan untuk menjadi sumber daya
penting dalam pemilihan. Rapat Kerja Daerah Khusus (Rakerda-
sus) DPD PDI-P Provinsi diadakan pada 5 April 2006 untuk
menentukan calon gubernur dan wakil gubernur dari PDI-P. Atut
Chosiyah memenangkan 714 suara sedangkan Marissa hanya men-
dapatkan 543 suara yang artinya anggota parlemen PDI-P kalah
dari kader Golkar.292
Menurut Marissa, kekecewaan ini sangat mungkin karena
beberapa kader PDI-P Provinsi dikuasai oleh kelompok Rau yang
memiliki profil kekuasaan mobilisasi293 dan material294 dan jual
beli suara yang merepresentasikan kekuasaan material295 cukup
efektif dalam meyakinkan pihak lain non-anggota kelompok Rau
untuk mendukung Ratu Atut Chosiyah.296 Dalam konteks ini,
tampak jelas oligark yang direpresentasikan oleh kelompok Rau
berhasil memengaruhi sumber daya kekuasaan lain, yakni mobili-
sasi melalui Rakerdasus. Secara teori, menurut Winters, jika
berkuasa di balik layar, motif kekuasaan oligark menyebar ke
sumber daya-sumber daya kekuasaan yang lain. Sedangkan jika
oligark berkuasa langsung, motif kekuasaanya lebih fokus pada

291
Winters, Oligarchy, 15-18.
292
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 128.
293
Winters, Oligarchy, 15-18.
294
Winters, Oligarchy, 18-20.
295
Winters, Oligarchy, 18-20.
296
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 128.
Ahmad Munjin 307

akumulasi kekayaan yang menjadi sumber daya kekuasaan mate-


rialnya.297
Marissa pun menolak hasil konvensi dengan mengatakan,
“alasan utama menolak hasil konvensi adalah bahwa proses-proses
Rakerdasus sarat dengan politik uang dan hasilnya sepenuhnya
berbeda denga aspirasi anggota DPD PDIP Provinsi yang aktif.”
Pada akhirnya, DPP PDI-P memilih Ratu Atut Chosiyah sebagai
calon gubernur tunggal dari PDI-P.298
Dua partai lain juga mendukung Atut Chosiyah: dua partai
Islam, yakni Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Bintang
Reformasi (PBR); satu partai Kristen, yakni Partai Damai Sejah-
tera (PDS); dan dua partai nasionalis, yakni Partai Karya Peduli
Bangsa (PKPB) dan Partai Patriot. Konflik di internal PBR pun
tak terelakan. DPD Provinsi PBR sudah menyeleksi enam calon
gubernur. Akan tetapi, Ketua Umum PBR K.H. Zainuddin M.Z.
yang juga merupakan penceramah berpengaruh yang tentu saja
bisa ditafsirkan sebagai kekuasaan mobilisasi299, mengadakan
rapat pleno di rumah Ratu Atut Chosiyah dan menolak enam
kandidat. Zainuddin menominasikan Atut Chosiyah menggantikan
calon gubernur PBR, meskipun Atut Chosiyah bukanlah salah satu
dari enam kandidat PBR yang sudah dipilih oleh DPD Provinsi.300
Pekerjaan selanjutnya adalah menemukan pasangan Ratu
Atut Chosiyah. Kelompok Rau dengan sukses mendapatkan
dukungan dari tujuh partai. Ketujuh partai tersebut menguasai 37
dari 75 kursi kursi DPRD Provinsi Banten. Tantangan berikutnya
dari kelompok Rau adalah menentukan siapa yang akan menjadi
pasangan Atut Chosiyah untuk maju. Seseorang yang berasal dari
Tangerang dinilai merupakan pilihan ideal. Sebab, lebih dari
setengah pemilih berada di wilayah ini. Padahal, bagaimanapun,

297
Jeffrey A. Winters dan Benjamin I. Page, “Oligarchy in the
United States?” Perspectives on Politics 7 (2009):732.
298
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 128.
299
Winters, Oligarchy, 15-18.
300
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 128.
308 Oligarki dan Demokrasi...

pengaruh kelompok Rau di wilayah Tangerang cukup lemah. Apa-


lagi, wilayah Tangerang sangat heterogen secara etnis dan urban.
Oleh karena itu, jaringan birokrat provinsi dan jaringan jawara
yang merepresentasikan kekuasaan mobilisasi301 dan bisa dimobi-
lisasi oleh kelompok Rau tidak akan selalu efektif di wilayah
Tangerang. Belum lagi dengan jumlah pemilih mengambang di
daerah ini merupakan mayoritas.302
Masalah lainnya bagi kelompok Rau adalah bahwa Bupati
Kabupaten Tangerang, Ismet Iskandar dan Walikota Tangerang
Wahidin Halim kompak dalam kekecewaan mereka terhadap
kepemimpinan dan kebijakan dari pelaksana tugas gubernur Atut
Chosiyah. Oleh karena itu, mereka coba bersama-sama menemu-
kan seseorang yang lebih baik sebagai representasi dari kepenti-
ngan ekonomi politik masyarakat Tangerang sebagai gubernur dan
wakil gubernur. Pertama-tama, Wahidin bermaksud mencalonkan
dirinya dan beberapa kandidat lain, termasuk Atut Chosiyah,
bahkan diminta untuk menjadi calon pasangan wakil gubernurnya.
Intinya, Wahidin menginginkan dirinya sebagai gubernur. Akan
tetapi, pada akhirnya, dia mengundurkan diri dari semua pencalo-
nan terutama karena dia memperkirakan dirinya tidak akan meme-
nangkan pemilihan. Lalu, Wahidin dengan berkoordinasi dengan
Ismet, mengizinkan Kepala Badan Perencanaan Daerah (Bapeda)
Tangerang, Benyamin Davnie untuk maju dalam pemilu sebagai
pasangan Triyana. Triyana yang lahir di Kabupaten Pandeglang
membutuhkan dukungan dari wilayah Tangerang. Tim Triyana-
Benyamin mewakili semangat yang cukup mengancam bagi
kelompok Rau.303
Kelompok Rau pada mulanya cenderung memilih mantan
bupati Tangerang yang terkenal, Zakaria Machmud, sebagai
pasangan Atut Chosiyah tapi pada akhirnya memilih H.M.
Masduki, mantan kepala departemen sosial provinsi Jawa Barat.
Masduki terpilih karena dia telah menjadi camat beberapa kali di
301
Winters, Oligarchy, 15-18.
302
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 128.
303
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 128-29.
Ahmad Munjin 309

wilayah Tangerang. Masduki juga merupakan anak dari ulama


terkenal lokal dan merupakan saudara dari Benyamin yang juga
bisa dibaca sebagai kekuasaan mobilisasi304sehingga diharapkan
bisa memenangkan beberapa bagian dari konstituennya. Pada 1
September 2006, DPD Golkar Provinsi Banten secara formal
menetapkan Masduki sebagai pasangan wakil gubernur untuk Atut
Chosiyah. Partai-partai lain pun mengikuti. Pada 6 September
2006, pasangan Atut-Masduki dideklarasikan secara resmi bersa-
maan dengan pendaftaran pasangan tersebut ke panitia pemilihan
provinsi.305

3. Ratu Atut Chosiyah dan Pemilih Pragmatis


Besarnya sumber daya kekuasaan material Ratu Atut
Chosiyah yang terefleksi pada Material Power Index (MPI)
sebesar 3.487 kali (2002), 5.943 kali (2006), dan 4.146 (2011)
mendapat momentum yang pas dari profil pemilih pragmatis di
Banten. Oleh karena itu, sangat logis, kekuasaan material306 seba-
gai basis sumber daya kekuasaan oligarkis pun menjelma menjadi
senjata utama dalam memenangkan Pilkada. Menurut Ketua Tim
Sukses Ratu Atut Chosiyah, berdasarkan riset internal, untuk
tingkat provinsi, 65 persen masyarakat Banten adalah tipe pemilih
pragmatis. Mereka siap menukar hak suara dengan uang. Hanya 35
persen yang bisa dikatakan sebagai pemilih rasional sehingga
mereka benar-benar mempertimbangkan dan memutuskan kualitas
dari para calon saat pemilihan gubernur. Karena pemilih rasional
lebih sedikit dibandingkan pemilih pragmatis, bisa dipahami
mengapa jumlah uang yang menjadi salah satu basis kekuasaan
material307sangat menentukan dalam pemenangan Pilgub.308

304
Winters, Oligarchy, 15-18.
305
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 129.
306
Winters, Oligarchy, 18-20.
307
Winters, Oligarchy, 18-20.
308
Masaaki dan Hamid, “Jawarain Power,” 130.
310 Oligarki dan Demokrasi...

Menurut Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu


Atut Chosiyah Tahun 2013-2014, selain uang yang menjadi basis
kekuasaan materialnya,309 Atut Chosiyah memiliki kekuatan jari-
ngan yang diwariskan ayahnya, Tb. Chasan Sochib. Pada mulanya,
Atut Chosiyah menjadi calon Wakil Gubernur, kemudian Geber-
nurnya meninggal dan Atut Chosiyah diangkat menjadi gubernur.
Setelah itu, sistem pemilihannya diubah menjadi Pilkada lang-
sung. Atut Chosiyah memiliki uang dan jaringan yang kuat. “Di
lain sisi, lawannya tidak punya uang dan tidak punya jaringan
yang kuat. Akhirnya, yang menang siapa? Jadi, yang menang ada-
lah yang punya uang dan yang punya jaringan.”310
Lebih jauh Fitron menjelaskan, Tb. Chasan Sochib pada
awalnya adalah keluarga pengusaha dan bukan keluarga politikus.
Tidak ada satu pun dari keluarga Tb. Chasan Sochib yang
merupakan pejabat. Apalagi, pejabat dulu dipilih oleh partai. Tb.
Chasan Sochib baru terjun ke dunia politik sejak Banten menjadi
provinsi tahun 2000. Setelah calon gubernur dan wakil gubernur,
DPRD, dan DPR dipilih langsung oleh masyarakat, baru mereka
terjun langsung ke kancah politik. Masyarakat mengenal keluarga
tersebut sebagai keluarga yang dermawan, sehingga suara tumpah
ke keluarga Tb. Chasan Sochib311 yang terjun ke dunia politik.
Kedermawanan tersebut memperlihatkan kekuasaan material312
keluarga besar tersebut sedang bekerja. Pada saat yang sama,
pemilih bersikap pragmatis sehingga suara mengalir ke keluarga
Tb. Chasan Sochib.

309
Winters, Oligarchy, 18-20.
310
Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara
Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019,
di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017.
311
Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara
Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019,
di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017.
312
Winters, Oligarchy, 18-20.
Ahmad Munjin 311

Salah satu bukti sumber daya kekuasaan material313 yang


mengejawantah dalam pemenangan Pilkada, sebagaimana dinyata-
kan Masaaki dan Hamid, adalah kapitalisasi terhadap materialis-
me pemilih tersebut. Hal ini merupakan salah satu dari karakte-
ristik kampanye yang paling signifikan dari pasangan Atut
Chosiyah-Masduki pada pemilihan calon gubernur dan wakil
gubernur 2006. Oleh karena itu, hukum oligarki berlaku, yaitu
hanya orang kaya yang mampu untuk memutuskan apa yang baik
dan apa yang buruk untuk orang-orang yang tidak punya akses
terhadap sumber daya material.314 Sebab, sebagian besar masalah
yang urgen untuk orang-orang miskin di pelosok adalah memberi
makan diri sendiri dan keluarganya. Masaki dan Hamid menegas-
kan penilaian moral merupakan hal nomor berikutnya demi beras
untuk bertahan hidup.315
Tim Pemenangan Atut Chosiyah-Masduki sangat menger-
ti konsep non-ideologis yang merepresentasikan kekuasaan
material316 ini. ‘Penaklukan beras’ cukup ampuh untuk menarik
pemilih. Orang-orang hutan yang paling membutuhkan ‘beras’ di
wilayah-wilayah pelosok menjadi target dari tim pemenangan.
Tim pun membagikan uang kepada mereka tanpa menimbulkan
tuduhan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Apalagi, Bawas-
lu tercipta dari kelompok masyarakat kelas menengah yang tidak
berani memeriksa wilayah-wilayah pedalaman yang jauh. Bawaslu
juga tidak punya kekuasaan untuk menginvestigasi legalitas atau
ilegalitas dari taktik kampanye masing-masing kandidat.317
Kemudian, menurut Masaaki dan Hamid, tim Atut
Chosiyah-Masduki mengadopsi sistem jual beli suara.Tim memilih
lima orang sebagai peminta suara untuk setiap tempat pemungu-
tan suara (TPS) dan memberikan setiap orang dengan uang pelican

313
Winters, Oligarchy, 18-20.
314
Winters, Oligarchy, 18-20.
315
Masaaki dan Hamid, “Jawarain Power,” 130.
316
Winters, Oligarchy, 18-20.
317
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 130.
312 Oligarki dan Demokrasi...

kampanye yang didasarkan pada nomor pemilih yang mereka


harapkan dibeli. Apabila jumlah suara untuk Atut yang diberikan
di TPS melampaui jumlah yang diharapkan, sejumlah uang sisa
tidak perlu dikembalikan ke dana kampanye. Begitu juga dengan
serangan fajar di mana pembeli suara saat dini hari pada hari
pemilihan merupakan hal lumrah terjadi.318
Pasangan Atut-Masduki menurut dugaan Masaaki dan
Hamid menghabiskan dana kampanye sebesar Rp300 miliar atau
sekitar US$33 juta secara total pada Pilkada 2006. Sebanyak 70
persen di antaranya dalam bentuk proyek-proyek pemerintah pro-
vinsi yang diklaim sebagai hasil kerja Atut Chosiyah dan diarah-
kan untuk mendukung pasangan tersebut.319 Demikianlah sumber
daya kekuasaan material320 Atut Chosiyah beroperasi pada Pilgub
tersebut.
Di lain sisi, PKS menjadi lawan yang tangguh pada Pilgub
tersebut. Menurut Masaaki dan Hamid, lawan terkuat kelompok
Rau adalah kandidat dari partai kedua terbesar di Provinsi Banten,
yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS).321 Betapai tidak, proporsi
pemilih yang didapat oleh PKS di Banten naik pesat dari 2,6
persen pada 1999 menjadi 11,9 persen pada 2004. PKS menarik
pemilih bukan hanya bagi masyarakat perkotaan kelas menengah
tapi juga masyarakat urban kelas pekerja, dengan daya cengkram
di wilayah Tangerang dan Cilegon. Para anggota utama PKS
dicirikan dengan usia mereka yang tigapuluhan dan secara politik
tidak berpengalaman dalam hal memegang jabatan publik. Oleh

318
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 130.
319
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 131.
320
Winters, Oligarchy, 18-20.
321
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) didirikan oleh kelompok
dakwah Islam yang terutama bisa ditemukan di universitas-universitas
besar seperti Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung. PKS
yang memiliki sistem pengembangan kepemimpinan memperluas konsti-
tuennya terutama di wilayah-wilayah perkotaan dengan intensi untuk
memengaruhi moral politik. Lihat Masaaki dan Hamid, “Jawara in
Power,” 129.
Ahmad Munjin 313

karena itu, PKS mencari calon gubernur yang kapabel dari luar
jajarannya, untuk dipasangkan dengan anggota PKS sebagai kan-
didat wakil gubernur. PKS membutuhkan pemimpin yang berpe-
ngalaman untuk membantu ekspansi politik partai dan memberi-
kan keredibitasnya. Pemilihan gubernur Banten menjadi kesem-
patan baik pertama untuk bangun setelah kesuksesan PKS dalam
kampanye walikota di Depok.322
PKS pun melakukan pendekatan kepada Wahidin Halim.
Wahidin Halim, seorang birokrat karir dan alumni Universitas
Indonesia, memiliki segudang pengalaman yang terkait dengan
organisasi-organisasi Islam yang merepresentasikan profil kekua-
saan mobilisasinya.323 Wahidin sangat terkenal di kalangan warga
kota Tangerang karena pendekatannya yang populis terhadap
warga dan kesalehannya. Ketika pemerintah kota Tangerang
mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) No. 8/2005, melawan
prostitusi, yang bercita rasa syariat Islam, dirumorkan sebagai
bagian dari atur strategi Wahidin Halim yang menggunakan
kekuasaan jabatan resminya324 itu untuk mendapatkan dukungan
dari PKS dalam pencalonannya sebagai gubernur. Akhirnya, ba-
gaimanapun, Wahidin Halim ditolak untuk maju karena lemahnya
dukungan finansial atau kekuasaan material325dan kemungkinan
kekalahannya oleh petahana.326
PKS akhirnya mendekati Marissa setelah PDI-P memilih
Atut Chosiyah. Pilihan PKS tersebut didasarkan pada kalkulasi
bahwa Marissa sudah mendapatkan dukungan subtansial di antara
pemilih perkotaan dan popularitas Marissa sebagai aktris terkenal
yang menjadi profil kekuasaan mobilisasinya327bisa menarik
pemilih dari daerah terpencil. Marissa pun menerima tawaran
tersebut dengan ketentuan dia akan maju dalam Pilgub sebagai
322
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 129.
323
Winters, Oligarchy, 15-18.
324
Winters, Oligarchy, 13-15.
325
Winters, Oligarchy, 18-20.
326
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 129-30.
327
Winters, Oligarchy, 15-18.
314 Oligarki dan Demokrasi...

wakil gubernur dan Zulkieflimansyah,328 seorang kader PKS, akan


menjadi pasangannya sebagai calon gubernur. PKS berharap pasa-
ngan Zulkiefli-Marissa menjadi penantang berat melawan pasa-
ngan Ratu Atut Chosiyah-H.M. Masduki.329

4. Relawan Banten Bersatu (RBB): Kekuasaan Material,


Mobilisasi, dan Koersif
Seiring besarnya sumber daya kekuasaan material yang
dimilikinya, Tb. Chasan Sochib mengonsolidasikan simpul-simpul
kekuatan lain yang memiliki sumber daya kekuasaan mobilisasi
dan koersif sekaligus. Hal ini membuktikan teori Winters tentang
sumber daya kekuasaan material yang memengaruhi sumber daya-
sumber daya kekuasaan lain.330 Dalam konteks Tb. Chasan Sochib
ini adalah kekuasaan mobilisasi dan koersif. Masaaki dan Hamid
memperlihatkan itu, bahwa pada Oktober 2005, sebuah organisasi
sosial yang disebut Relawan Banten Bersatu (RBB) diinisiasi oleh
Tb. Chasan Sochib. Inisiatif ini didukung oleh tujuh belas organi-
sasi lainnya, termasuk di antaranya Lulu Kaking, Ketua Pemuda
Pancasila Provinsi Banten dan Partai Patriot serta Aep Saefudin,
sekretaris jenderal Persatuan Pendekar Pesilatan Seni Budaya
Banten Indonesia (PPPSBBI).331
RBB yang diinisiasi Tb. Chasan Sochib jelas memiliki
profil sumber daya kekusaan mobilisasi.332 Apalagi, organisasi
tersebut didukung oleh tujuh belas organisasi lainnya dengan pro-
fil kekuasaan yang sama. Belum lagi dengan PPPSBBI yang

328
Zulkieflimansyah lahir di Nusa Tenggara Barat pada 1972 dan
merupakan dosen ilmu manajemen di Universitas Indonesia. Zulkiefli-
mansyah menyandang dua gelar masters dan meraih gelar doktor di
Inggris. Dia terpilih sebagai anggota DPR pada 2004 dari PKS. Lihat
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 130.
329
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 130.
330
Winters dan Page, “Oligarchy in the USA?” 732.
331
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 131.
332
Winters, Oligarchy, 15-18.
Ahmad Munjin 315

merepresentasikan kekuasaan koersif333 dan mobilisasi334 sekali-


gus. Alasan formal pendirian organisasi ini disebutkan Masaaki
dan Hamid, menjadi fakta bahwa reformasi sudah menyimpang
dari tujuan awalnya. Menurut para pendirinya, RBB dibentuk
untuk melawan ancaman disintegrasi nasional dan berbagai bias
penafsiran terhadap motto nasional, Bhineka Tunggal Ika. RBB
dilaporkan ingin menjadi dasar bagi perjuangan jiwa, semangat,
dan nilai-nilai 1945 (Jiwa Semangat Nilai ’45) yang sudah
ditempa selama revolusi Indonesia untuk kemerdekaan 1945-1949.
Platform formal RBB ini cukup mirip dengan platform PPPSBBI
dan memperlihatkan pengaruh-pengaruh dari Orde Baru.335
Enam bulan kemudian, tujuan RBB sebenarnya terkuak.
Komandan sebenarnya dari organisasi ini bukanlah Tb. Chasan
Sochib maupun pendukung yang tujuh belas, melainkan putranya,
yakni Tb. Chaeri Wardana. Dia sudah menyelesaikan studi mana-
jemen di sebuah universitas di Australia. Wardana coba mengon-
solidasikan jawara dan memadukan mereka ke organisasi baru ini
yang pada muaranya adalah sumber daya kekuasaan mobilisasi336
dari RBB. Betapa tidak, RBB mengoordinasikan organisasi-
organisasi jawara paling berpengaruh, yakni PPPSBBI dan Badan
Pembina Potensi Keluarga Besar Banten (BPPKB) agar memilih
calon gubernur Ratu Atut Chosiyah.337
BPPKB sudah berdiri sejak 8 Juli 1998. Pendiri dan Ketua
Umum BPPKB adalah Noer Indradjaja, S.H., yang pada 2006
merupakan ketua divisi hukum Sunter Agung Co. Ltd dan
kemudian mendirikan perusahaan baru, Melawai Jaya Realty Co,
Ltd. Sunter Agung merupakan perusahaan induk grup bisnis
Agung Podomoro. Sementara itu, Melaway Jaya Realty adalah
sebuah perusahaan grup Agung Podomoro. Grup ini jelas mengu-

333
Winters, Oligarchy, 15.
334
Winters, Oligarchy, 15-18.
335
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 131.
336
Winters, Oligarchy, 15-18.
337
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 131-32.
316 Oligarki dan Demokrasi...

asai sumber daya kekuasaan material338 yang menjadi basis


kekuasaan oligarki. Grup ini mengelola 27 proyek properti dalam
skala besar di Jakarta dan sekitarnya dengan total modal Rp15
triliun. Ketika Noer Indradjaja mendirikan BPPKB yakni sebuah
entitas Banten berbasis organisasi, delapan keluarga dari kabupa-
ten Pandeglang juga bergabung. Menurut pimpinannya, BPPKB
berkembang cepat dengan keanggotaan mencapai 8,7 juta hingga
Februari 2006 dan cabang-cabang hampir di semua provinsi di
seluruh Indonesia. Klaim ini menurut Masaaki dan Hamid
mungkin berlebihan. Sumber BPPKB mengklaim bahwa pihaknya
memiliki jutaan anggota yang merepresentasikan kekuasaan
mobilisasi339 yang berdomisili di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan
Bekasi. Area pengaruh organisasi ini di Jakarta meliputi Jakarta
Barat dan Jakarta Utara termasuk Pelabuhan Tanjung Priok.
Wilayah-wilayah tersebut masih merupakan batas-batas untuk
pengembang perumahan (real estate). BPPKB juga membangun
Pos Komando (Posko) untuk menunjukkan kehadiran dan kekua-
saan mereka di seluruh kota. Apabila tokoh mereka benar, kemudi-
an dalam konteks keanggotaan, BPPKB sudah melampaui organi-
sasi-organisasi Banten lain yang sudah beroperasi di Jakarta
seperti Warga Banten dan PPPSBBI.340
RBB mulai berjalan pada Maret 2006 dan pendiriannya
secara resmi dideklarasikan pada Mei 2006. Struktur keorganisa-
sian RBB cukup unik, yang terdiri dari dua pilar: kader (dewan
eksekutif) dan keluarga. Dengan demikian, organisasi ini mengan-
dalkan baik struktur organisasi modern maupun maupun jaringan
keluarga yang tradisional. Tampaknya, menurut Masaaki dan
Hamid, jaringan keluarga berfungsi untuk mengontrol kader. RBB
memiliki koordinator-koordinator bahkan hingga tingkat desa.
Upacara perayaan pendirian RBB pada Mei 2006 secara esensial
merupakan pertunjukkan kekuatan mobilisasi,341dengan kata lain,

338
Winters, Oligarchy, 18-20.
339
Winters, Oligarchy, 15-18.
340
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 131-32.
341
Winters, Oligarchy, 15-18.
Ahmad Munjin 317

untuk menunjukkan dukungan bagi pencalonan pasangan Atut


Chosiyah-Masduki. Upacara ini diikuti oleh para oligarkdan
orang-orang kuat lokal (local strongman) sebagai representasi
kekuasaan koersif342 yang berpakaian berwarna hitam. Mereka
mencerminkan dukungan bagi Ratu Atut Chosiyah di mana penga-
ruh koneksi keluarga sangat jelas tak bisa dimungkiri. Aep
Saefuddin dari PPPSBBI menantang keberanian mereka dengan
mempertanyakan taktik ini: “Apakah Anda yakin bahwa kita bisa
menjaga kondisi pascapemilu tetap terkontrol apabila kita gagal
memenangkan Atut Chosiyah dalam pemilihan gubernur?”343
Pada Februari 2007, pascapemilu, seorang kader RBB
menjelaskan situasinya yang secara jelas memperlihatkan karakter
RBB dan jawara secara umum.
“... Inti semangat dari RBB adalah BPPKB dan PPPSBBI. Apabila
PPPSBBI dan BPPKB bertindak terpisah, hal ini tidaklah baik.
Citra mereka akan rusak. Di masa depan, pemikiran yang matang
dan pendekatan emosional tanpa kekerasan rupanya bisa menjadi
pilihan lebih cerdas. Kami benar-benar berharap bisa memperlihat-
kan bahwa karakteristik orang Banten adalah keras tapi tidak
kasar. Apabila seseorang berlaku sopan kepada kita, kita juga akan
memperlakukannya dengan sopan.Akan tetapi, bila seseorang
menipu kami, kita akan mengambil tindak kekerasan dalam beru-
rusan dengan dia. Itulah alasan mengapa kami bersiap sedia
menghadapi seseorang atau kelompok [yang kritis terhadap kesuk-
sesan Atut Chosiyah] ketika panitia pemilihan provinsi mengu-
mumkan bahwa Atut Chosiyah memenangkan pemilihan kemarin.
Kelompok manapun yang mengusik konstitusi akan berhadapan
dengan rakyat Banten, dalam kasus ini, RBB. RBB mendapat
dukungan dari PPPSBBI dan BPPKB serta yang lainnya termasuk
118 perguruan pencak silat.” 344

342
Winters, Oligarchy, 15
343
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 132.
344
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 132.
318 Oligarki dan Demokrasi...

Pernyataan tersebut jelas memperlihatkan kekuasaan


mobilisasi345 dan koersif346 sekaligus. Semua itu, menurut Masaa-
ki dan Hamid, menunjukkan empat hal: Pertama, PPPSBBI dan
BPPKB berkolaborasi (kekuasaan mobilisasi) untuk mendukung
Atut Chosiyah; Kedua, masyarakat Banten terutama jawara
dianggap keras (kekuasaan koersif); Ketiga, jawara tidak akan
segan untuk menggunakan kekerasan (kekuasaan koersif) ketika
mereka merasa dilecehkan; dan Keempat, jawara mungkin meng-
gunakan langkah-langkah yang lebih damai dalam memecahkan
permasalahan di masa depan jika memungkinkan. Pesan jelasnya
adalah jawara yang berasal dari PPPSBBI maupun dari BPPKB
dipersiapkan untuk dimobilisasi apabila Ratu Atut Chosiyah
menghadapi kesulitan.347

5. Ratu Atut Chosiyah dan Gaya Kepemimpinan Akomodatif


Uang sebagai kekuasaan material memiliki keluwesan luar
biasa sehingga menjadi sangat penting dalam politik.348Saking
luwesnya, uang menjadi modal kapital bagi Ratu Atut Chosiyah
untuk menerapkan gaya kepemimpinan akomodatifdan bertrans-
formasi menjadi kekuasaan mobilisasi yang besar. Salah satu buah
dari gaya akomodatif tersebut adalah dukungan politik dari kiai
kepada jawara. Ini menjadi salah satu kunci kesuksesan Ratu Atut
Chosiyah meraih tampuk kekuasaan. Sebab, secara demografi,
mayoritas masyarakat Banten adalah santri. Ada tali temali yang
masih tinggi antara referensi masyarakat dan kiai sebagai patron-
client.349 Orang yang digugu, didengar, dan dijadikan rujukan
sehingga dalam ilmu politik disebut vote getter adalah tokoh
masyarakat. Salah satunya adalah kiai. Tb. Chasan Sochib meng-

345
Winters, Oligarchy, 15-18.
346
Winters, Oligarchy, 15
347
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 132.
348
Winters, Oligarchy,18.
349
James C. Scott, “Patron-Client Politics and Political Change
in Southeast Asia,” The American Political Science Review 66 no. 1
(Maret 1972): 92.
Ahmad Munjin 319

organisir kiai dan dia sendiri pernah menjadi Ketua Satkar Ulama
di Golkar.350
Di masa kepemimpinannya, Ratu Atut Chosiyah sangat
akrab dan cukup bergaul dengan Forum Pondok Pesantren. Pro-
gram-programnya pun banyak memihak kepada pondok pesantren.
Bantuan dalam bentuk hibah sangat mudah didapat pada masa
Atut Chosiyah. Akibatnya, Atut disukai oleh para kiai. Entah
motifnya apa, yang jelas di zaman Atut Chosiyah, pondok pesan-
tren merasa terfasilitasi. Para kiai mendapatkan dana miliaran
rupiah untuk program Forum Silaturahim Pondok Pesantren.
Penggunaan dana tersebut diatur dan diprogramkan oleh pondok
pesantren. Oleh karena itu, para kiai merasa menikmati proses-
proses politik yang dilakukan oleh keluarga jawara Tb. Chasan
Sochib. Itulah yang kemudian, para kiai tetap memberikan duku-
ngannya untuk Ratu Atut Chosiyah. Hal itu menunjukkan bahwa
keluarga jawara Tb. Chasan Sochib sangat mengerti organisasi.351
Secara kelembagaan, dukungan kepada Ratu Atut Chosi-
yah di antaranya datang dari Pondok Pesantren Annizhomiyyah,
Labuan, Banten. Akan tetapi, menurut K.H. Tb. A. Khatibul
Umam, Pengasuh Pondok Pesantren Annizhomiyyah, dukungan
tersebut bukan karena dana hibah melainkan karena hubungan
kedekatan di organisasi politik, Partai Golkar dengan keluarga
Chasan Sochib yang juga membesarkan Partai Golkar.352

350
Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara
Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019,
di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017.
351
Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara
Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019,
di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017.
352
Wawancara pribadi dengan K.H. Tb. A. Khatibul Umam,
Pengasuh Pondok Pesantren Annizhomiyyah di Kampung Jaha Desa
Sukamaju, Kec. Labuan, Kab. Pandeglang Banten, Senin, 30 Juli 2018.
320 Oligarki dan Demokrasi...

Banyak pondok pesantren dirangkul oleh keluarga itu


karena alasan kedekatan seiring dukungan saat Pemilu Legislatif
dan Pemilihan Gubernur. Di antaranya adalah Pesantren Bismillah
di Ciomas, Serang. Pesantren tersebut selalu mendapatkan dana
hibah setiap kali digulirkan. Bantuan itu otomatis berbuah duku-
ngan suara secara penuh dari semua santri saat pemilu. Saat Ratu
Atut berkuasa, dana hibah digulirkan antara Rp1 miliar hingga
Rp2 miliar untuk pondok pesantren dan madrasah. Dari dana
tersebut, yang diambil oleh madrasah atau pesantren dalam
kisaran Rp200 juta hingga Rp300 juta. Akan tetapi, pada akhirnya
Ratu Atut Chosiyah terjerat hukum--dipenjara setelah proses KPK
dan Kejaksaan Tinggi Provinsi Banten. “Annizhomyah tidak
terima itu karena memang mungkin akhirnya akan terjerat hukum.
Ini menjadi pembelajaran. Bersyukur pesantren Annizhomyah
tidak mengambil dana hibah tersebut.”353
Pesantren Annizhomiyyah tidak dirangkul dalam penger-
tian dana hibah. Sebab, pesantren ini sudah memberikan dukungan
karena alasan kepartaian. Sebab, ayah dari pengasuh pesantren
(K.H. Tb. Rafe’i Ali) sudah merupakan bagian dari Golkar,
sehingga tidak lagi dirangkul oleh keluarga Tb. Chasan Sochib.
Begitu juga hubungan kakak pengasuh (Tb. Ace Hasan Sadzily,
anggota DPR Fraksi Golkar) dengan keluarga Rau sebatas kepar-
taian di Golkar. Pengasuh memang berfoto dengan Ade Rossi
Chairunnisa, karena menghadiri undangan Dewan Pimpinan
Daerah (DPD) Golkar Banten. Orang mengira pengasuh dekat
secara pribadi, padahal sebatas kepartaian. Setiap pemilihan, di
satu sisi, calon yang berasal dari Golkar selalu didukung. Secara
khusus Annizhomiyah banyak membantu keluarga Tb. Chasan
Sochib dalam hal pemilihan. Secara kelembagaan, pondok pesan-
tren ini sudah puluhan tahun menjadi pendukung Partai Golkar
termasuk mendukung Ratu Atut Chosiyah dan Andika Hazrumy.
Di lain sisi, timbal balik dari mereka tidak diminta dan ternyata
353
Wawancara pribadi dengan K.H. Tb. A. Khatibul Umam,
Pengasuh Pondok Pesantren Annizhomiyyah di Kampung Jaha Desa
Sukamaju, Kec. Labuan, Kab. Pandeglang Banten, Senin, 30 Juli 2018.
Ahmad Munjin 321

mereka tidak peduli. Sampai sekarang, belum ada kontribusi


kepada pesantren Annizhomiyah dalam bentuk materi. Keluarga
Rau belum pernah memberikan bantuan, bangunan, tidak pernah
memberikan apapun ke pesantren Annizomiyah.354
Sementara itu, K.H. Ma'ruf Amin, Pengasuh Pondok
Pesantren An-Nawawi, Tanara, Banten dan Ketua Umum Majelis
Ulama Indonesia (MUI) enggan memberikan komentar saat
dimintai pandangannya tentang hubungan kiai dan jawara di
Banten. Dia mengaku dirinya sangat kurang dalam berinteraksi
dengan para jawara, karena lebih sering tinggal di Jakarta.
“Massak, mau wawancara hubungan kiai dan jawara Banten
dengan saya.”355
Selain pondok pesantren, keorganisasian jawara dan
kependekaran diorganisir oleh mereka. Organisasi-organisasi
tersebut mendapatkan dana pembinaan. Juru bicara Ratu Atut
Chosiyah membantah anggapan dana pembinaan tersebut sebagai
money politics. Masuk kategori money politics jika diberikan
sesaat dalam jangka pendek dengan tujuan jual beli suara jelang
Pilkada. Berbeda dengan pembinaan yang memang prosesnya
terjadi sejak lama. Dana pembinaan lebih merupakan strategi
akomodatifdari kepemimpinan Ratu Atut Chosiyah.356
Kepemimpinannya mengakomodasi dan menjalin stabili-
tas hubungan dengan para stakeholders dan lembaga-lembaga.
Melalui dana pembinaan, dia menjadi dekat dengan organisasi-

354
Wawancara pribadi dengan K.H. Tb. A. Khatibul Umam,
Pengasuh Pondok Pesantren Annizhomiyyah di Kampung Jaha Desa
Sukamaju, Kec. Labuan, Kab. Pandeglang Banten, Senin, 30 Juli 2018.
355
Wawancara pribadi dengan K.H. Ma'ruf Amin, Pengasuh
Pondok Pesantren An-Nawawi, Tanara, Banten dan Ketua Umum Maje-
lis Ulama Indonesia (MUI) melalui sambungan telepon di Jakarta, 31 Juli
2018.
356
Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara
Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019,
di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017.
322 Oligarki dan Demokrasi...

organisasi keislaman. Dana pembinaan bukanlah gratifikasi instan


seperti dalam pengertian money politics. Ratu Atut Chosiyah te-
lah melakukannya melalui proses pembinaan dan kedekatan secara
organisatoris. Semua pihak dia akomodir. Kepada organisasi war-
tawan, dia memberikan dukungan penuh. Dia lebih memberikan
cashprograms kepada banyak pihak. Ratu Atut memberikan ang-
garan kepada semua pihak yang mengajukan program. Ratu Atut
Chosiyah sangat sadar, mengerti, dan mengetahui secara demogra-
fi siapa yang harus dia rangkul. Dia mengandeng organisasi orang-
orang Makassar di Banten dengan memberikan dukungan angga-
ran sehingga berkembang. Begitu juga dengan organisasi Tiong-
hoa. Dia berikan akomodasi secara anggaran untuk tumbuh dan
bergerak. Hal serupa dilakukan kepada masyarakat Batak. Semua
lini pun mendapatkan dana pembinaan.
Asumsi yang dikhawatirkan adalah Ratu Atut memiliki
gaya kepemimpinan bagi-bagi uang sesaat jelang Pilkada, padahal
ada proses panjang. Buktinya, ketika ditahan sehingga down
secara mental, Ratu Atut Chosiyah masih mendapat dukungan.
Sebab, ada banyak akomodasi dia berikan dari sisi program.Sikap
akomodatif (acomodative style) itu menjadi gaya kepemimpinan-
nya. Sikap itu juga kemudian dominan menjadi faktor dalam
pemenangan meraih kekuasaan di saat Pilkada. Namun demikian,
dalam pandangan umum di lain sisi, Ratu Atut Chosiyah kurang
visionerdalam pembangunan. Buktinya, Banten memang tidak
banyak mengalami perubahan. Dia dianggap kurang fokus dalam
pembangunan bersifat fisik.357
Ratu Atut Chosiyah juga akomodatif dan adaptif (bisa
juga dibaca sebagai kooptasi) terhadap para intelektual muda.
Sikap tersebut direpresentasikan oleh Tb. Chaeri Wardana, adik
Ratu Atut Chosiyah sebagai penerus peran Tb. Chasan Sochib.
Menurut Masaaki dan Hamid, Tb. Chaeri Wardana mengerti betul

357
Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara
Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019,
di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017.
Ahmad Munjin 323

bahwa kekuatan sosial jawara dengan kekuasaan koersifnya358


tidak selalu efektif dalam memenangkan pemilihan langsung.
Unjuk kekuatan bisa mengakibatkan sebuah reaksi yang justru
negatif dan kontra produktif terhadap Atut Chosiyah. Oleh karena
itu, pada 10 Maret 2005, Tb. Chaeri Wardana mendirikan organi-
sasi baru, Lembaga Banten Bersatu (LBB). Organisasi ini meru-
pakan think tank dan didisain untuk membantu Atut Chosiyah
memenangkan pemilihan.359Dalam konteks ini, Wardana sedang
memberdayakan kekuasaan materialnya360 untuk merangkul
sumber daya-sumber daya kekuasaan lain, yakni orang-orang yang
memiliki profil kekuasaan jabatan resmi dan organisasinya yang
tentu melekat padanya profil kekuasaan mobilisasi.
Tak tanggung-tanggung, Wardana merekrut enam puluh
anggota yang sebagian besar dari mereka merupakan aktivis inte-
lektual. Sebagai contoh, Ferry Muchlis Ariefmuzzaman, meru-
pakan mantan ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang
Ciputat, Tangerang. Yang lainnya termasuk Komarudin dan
Hamied, aktivis HMI di Ciputat; Erdi Bachtiar, seorang aktivis
dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Ahmad
Jazuli, wakil direktur Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI)
cabang Provinsi Banten. Kader-kader muda dari Pondok Pesantren
Modern Daar El Qolam di Gintung juga gabung LBB. Kebanyakan
dari mahasiswa-mahasiswa muda itu berasal dari wilayah Tange-
rang. Jelas, Wardana mengikuti strategi untuk mendapatkan pemi-
lih rasional di Tangerang melalui para intelektual muda. Denny
JA, seorang pollster, direktur eksekutif Lingkaran Survei Indone-
sia juga diajak untuk bertindak sebagai konsultan tim pemenangan
pemilihan Atut-Masduki.361
LBB pada awalnya memanfaatkan jaringan RBB untuk
memobilisasi masa dan memasang poster-poster dan banners

358
Winters, Oligarchy, 15.
359
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 132-34.
360
Winters, Oligarchy, 18-20.
361
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 132-34.
324 Oligarki dan Demokrasi...

Atut-Masduki. RBB memiliki koordinator-koordinator di level


kecamatan dan desa. Belakangan, bagaimana pun, ketika Wardana
menyadari buruknya kinerja koordinator RBB tingkat kecamatan
dan desa, dia membangun koneksi sendiri pada level tersebut di
sana. Wardana memasukkan anggota keluarga Tb. Chasan Sochib
sebagai koordinator. Mereka diharapkan mengontrol dana kampa-
nye di level masyarakat untuk memasang poster dan banner kam-
panye serta memobilisasi362 masyarakat pada level akar rumput.363
Tugas LBB yang paling penting adalah memformulasikan
strategi kampanye termasuk pendanaan, logistik (kekuasaan mate-
rial364), kegiatan-kegiatan, dan program. Selain itu, LBB mem-
promosikan karakter positif dari Atut Chosiyah-Masduki. Sebagai
contoh, LBB mencetak 1,7 juta kopi kalender 2006 berfoto Atut
sebagai penjabat gubernur dan mulai mendistribusikannya pada
Oktober 2005.365
LBB menggunakan setiap kesempatan dan institusi untuk
memublikasikan penjabat gubernur Atut Chosiyah. Agah M. Noor,
kepala divisi program LBB dan koordinator proyek-proyek peme-
rintah provinsi dijuluki oleh birokrat provinsi sebagai “sekretaris
regional empat” karena keahlian koordinasinya (kekuasaan mobili-
sasi366). Semua proyek provinsi dilabeli Atut Chosiyah, secara
paksa sehingga menciptakan citra tentang Atut Chosiyah terhadap
alam pikiran pemilih. Uang, materi, dan keuntungankeuntungan
dari proyek-proyek pemerintah (kekuasaan material367) selalu
dikaitkan dengan Atut Chosiyah. Agah juga memprakarsai apa
yang disebut dengan kegiatan-kegiatan Santa Clause. Ketika
departemen di provinsi memulai program pembangunan yang
disebut “safari pembangunan”, Atut Chosiyah sendiri mengunju-
ngi lokasi dan membagikan makanan dan barang-barang lain

362
Winters, Oligarchy, 15-18.
363
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 134.
364
Winters, Oligarchy, 18-20.
365
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 134.
366
Winters, Oligarchy, 15-18.
367
Winters, Oligarchy, 18-20.
Ahmad Munjin 325

(kekuasaan material368) sesuai dengan kebutuhan masyarakat.


Sementara itu, departemen lainnya wajib memberikan Rp10-25
juta (kekuasaan material369) untuk program tersebut. Semua itu,
menurut Masaaki dan Hamid memberikan efek bola salju dan
masyarakat penerima mendapatkan keuntungan yang besar dari
setiap program tersebut. Kotak-kotak “Christmas” Atut Chosiyah
sangat populer dan efektif dalam mendapatkan simpati anggota
masyarakat perdesaan. Hampir semua masyarakat itu memilih
Atut Chosiyah pada hari pemilihan menurut sumber yang tidak
mau disebut namanya dan menempati jabatan tinggi di peme-
rintahan provinsi.370
Kemudian, sebuah event organizer yang sudah direkrut
oleh Susilo Bambang Yudhoyono selama kampanye pemilihan
presiden (Pilpres) dan material fotografer Indonesia paling
terkenal bekerja sama untuk menghasilkan setelan yang sangat
baik untuk Atut Chosiyah. Oleh karena itu, Atut Chosiyah akan
diterima dengan baik oleh masyarakat perdesaan. Istri Wardana,
Airin Rachmi Diany, seorang aktris juga turut membantu. LBB
secara intensif memproduksi dan membagikan propaganda positif
untuk Atut Chosiyah. Ratu Atut Chosiyah dipublikasikan dengan
kuat sebagai seorang wanita dan ibu ideal yang membaktikan
dirinya untuk aktivitas-aktivitas sosial dan keagamaan. Untuk
memajukan usaha ini, Agah mengintervensi aktivitas biro hubu-
ngan masyarakat provinsi dengan memesan bahwa desain iklan
LBB pemerintah provinsi dipublikasikan secara lokal. Tiga koran
lokal yang memuat iklan tersebut menarik perhatian masyarakat
terhadap penjabat gubernur Atut Chosiyah.371
Di atas semua itu, Masaaki dan Hamid menyimpulkan,
sumber daya politik tim Atut Chosiyah merupakan materialisme
sosial, penyuapan, birokrasi berorientasi Atut Chosiyah, dan

368
Winters, Oligarchy, 18-20.
369
Winters, Oligarchy, 18-20.
370
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 134.
371
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 135.
326 Oligarki dan Demokrasi...

mempermak Atut Chosiyah sebaik-baiknya. Tim tersebut diper-


kuat oleh pengaruh organisasi kembar RBB dan LBB yang menye-
diakan kekuatan fisik dan kaum muda, dan kekuasaan intelektual
secara terpisah.372
Singkat cerita, pasangan Atut Chosiyah-H.M. Masduki
behasil menjadi pemenang dengan margin tipis pada pemilihan
yang dilakukan pada 6 November 2007. Pasangan tersebut menga-
lahkanZulkiefli-Marissa dengan margin yang tipis pada kisaran 7
persen. Atut-Masduki menyapu kemenangan di kabupaten Lebak
dan Pandeglang dan menang tipis di kabupaten Serang dan
Tangerang; Pasangan Atut-Masduki kalah dari Zulkiefli-Marissa
di Cilegon dan Kota Tangerang. Hasil ini sebenarnya nyaris sama
dengan prediksi polling oleh dua LSI.373
Terlepas dari prediksi polling tersebut, tim Atut-Masduki
sudah berekspektasi untuk menang dengan mudah. Lalu, mengapa
petahana hanya menang dengan margin tipis? Pertama-tama,
menurut Masaaki dan Hamid, meluasnya ketidakpuasan terhadap
hegemoni lokal dari kelompok Rau di provinsi Banten. Akan
tetapi mengapa, apabila banyak elitelokal yang tidak puas dengan
pemerintahan Atut Chosiyah, petahana sama sekali memenangkan
pemilihan? Pertama, tentu sumber daya politik Atut Chosiyah
yang merupakan paduan dari sumber daya kekuasaan material374,
mobilisasi375 dan koersif376 tidak ada bandingannya. Kedua, popu-
laritas Marissa tidak bisa mengalahkan beras dan bingkisan-
bingkisan lain yang merefleksikan sumber daya kekuasaan mate-
rial yang dibagikan secara cuma-cuma kepada orang hutan di
daerah-daerah terpencil. Ketiga, pasangan Tryana-Benyamin tidak
membagikan uang kampanye yang menjadi sumber daya
kekuasaan material kepada tim sukses sebanyak yang diharapkan
para pendukungnya. Tryana sendiri menekankan ‘politik bersih’

372
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 135.
373
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 135.
374
Winters, Oligarchy, 18-20.
375
Winters, Oligarchy, 15-18.
376
Winters, Oligarchy, 15.
Ahmad Munjin 327

dalam kampanye pemilunya. Alhasil, menurut Masaaki dan


Hamid, kurangnya dana (kekuasaan material) berakibat pada sedi-
kitnya pemilih. Tanpa uang yang menjadi sumber daya kekuasaan
material, Masaaki dan Hamid menegaskan, tim sukses tidak cukup
termotivasi untuk mengumpulkan suara untuk pasangan Tryana-
Benyamin.377
Di atas semua itu, jika mengacu pada teori sumber daya
kekuasaan,378 keluraga Chasan Sochib tidak hanya menggunakan
sumber daya materialnya yang menjadi basis kekuasaan oligarkis
dalam meraih tampuk kekuasaan. Keluarga tersebut juga meng-
gunakan sumber daya kekuasaan lain, seperti mobilisasi379 dan
koersif380 yang menjadi basis kekuasaan elite dalam sistem demo-
krasi. Sementara itu, jika meminjam bahasa Richard Robison dan
Vedi R. Hadiz, jenis Oligarki keluarga Sochib adalah politico-
business families, yakni keluarga-keluarga yang mengandung
unsur-unsur bisnis dan politik.381 Meskipun, menurut Winters,
politico business families itu belum tentu masuk ke dalam kate-
gori oligark jika tidak mencapai stratifikasi material yang eks-
trem382 hingga ribuan kali.
Oleh karena itu, perlu ditegaskan di sini, semua oligark
dipastikan merupakan orang kaya, tapi tidak semua orang kaya
merupakan oligark sebagaimana semua oligark merupakan elite
tapi tidak semua elite adalah oligark.

377
Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 135.
378
Winters, Oligarchy, 11-20.
379
Winters, Oligarchy, 15-18.
380
Winters, Oligarchy, 15.
381
Richard Robison dan Vedi R. Hadiz, Reorganising Power in
Indonesia: The Politic of Oligarchy in an Age of Markets (London:
Routledge Curzon, 2004), 3. Lihat juga R. William Liddle, “Marx atau
Machiavelli? Menuju Demokrasi Bermutu di Indonesia dan Amerika,”
Orasi Ilmiah dalam rangka Nurcholish Madjid Memorial Lecture V,
Kamis, 8 Desember 2011, di aula Nurcholish Madjid, Universitas Para-
madina, Jakarta.
382
Winters, Oligarchy, 281.
328 Oligarki dan Demokrasi...

Jika kekuasaan dipegang oleh para elite yang tidak kaya ekstrem,
sistemnya disebut demokrasi dan jika kekuasaan dipegang oleh
sedikit orang terkaya, sistemnya disebut oligarki.
Walhasil, keluarga besar Tb. Chasan Sochib memiliki tiga
sumber daya kekuasaan yang utama: Pertama, kekayaan sebagai
sumber daya kekuasaan material383 yang mendefinisikannya seb-
agai oligark; Kedua, jaringan baik bisnis maupun politik sebagai
sumber daya kekuasaan mobilisasi; dan Ketiga, kejawaraannya
sebagai kekuatan kultural yang secara simbolik mengejawantah
menjadi sumber daya kekuasaan koersif.384 Ketiga sumber daya
kekuasaan tersebut saling menopang dan saling mengokohkan satu
sama lain secara dinamis dan menjadi alat politik yang ampuh
dalam memenangkan kontestasi untuk memperebutkan tampuk
kekuasaan.

E. Politico-Business Oligarchy dan Politik Pertahanan Harta


Uang menjadi pangkal utama sumber daya kekuasaan
keluarga besar Tb. Chasan Sochib. Sumber daya tersebut kemudi-
an bertransformasi menjadi besarnya kekuasaan mobilisasi dan
menjadi alat ampuh dalam mendominasi kekuasaan di Provinsi
Banten. Pada subbab ini, peneliti akan fokus pada faktor uang
yang menjadi sumber daya kekuasaan material385 (wealth power)
mereka. Pertama, bagaimana mereka mendapatkan uang; Kedua,
perusahaan apa saja yang menjadi mesin uang mereka; Ketiga,
bagaimana mereka menggunakan uang tersebut sehingga memiliki
jaringan politik dan bisnis yang kuat dan berbuah menjadi kekua-
saan; dan Keempat, bagaimana hubungan antara perusahaan-
perusahaan tersebut dengan jabatan politik mereka sehingga ber-
muara pada konsentrasi kekayaan sekaligus kekuasaan.
Semua itu akan dipotret dalam kerangka Richard Robison
dan Vedi R. Hadiz dengan apa yang mereka sebut sebagai

383
Winters, Oligarchy, 18-20.
384
Winters, Oligarchy, 15.
385
Winters, Oligarchy, 18-20.
Ahmad Munjin 329

politico-business oligarchy,386 yakni oligark yang memiliki unsur-


unsur politik sekaligus bisnis. Kerangka semacam itu disebut
Jeffrey A. Winters sebagai politik pertahanan harta (wealth
defense) yang menjadi motif utama kekuasaan oligarkis dan
bermuara pada rezim pertahanan harta.387 Dalam konteks Banten,
politico-business oligarchy dan rezim pertahanan harta itu adalah
jawara-pengusaha yang mengejawantah dalam keluarga besar Tb.
Chasan Sochib.

1. Dari Kekayaan ke Jaringan Bisnis dan Politik


Jauh sebelum terdefinisikan sebagai politico-business
oligarch dan menjalankan politik pertahanan harta, Tb. Chasan
Sochib bekerja sebagaimana orangbekerja pada umumnya (busi-
ness as usual). Pada awalnya, dia bekerja mengatur para buruh
kasar di Jakarta dan bongkar muat di pelabuhan Tanjung Priok.
Kemudian, dia kembali ke Banten. Saat itu, produksi baja di
Cilegon bangkit dan tumbuh menjadi kawasan industri. Tb.
Chasan Sochib mencoba peruntungan menjadi perantara spekulasi
tanah di Banten.388 Selain itu, dia juga memberikan jasa pengawa-
lan bisnis beras dan jagung antarpulau Jawa-Sumatera. Lalu,
Sochib mulai merintis bisnisnya sendiri menjadi penyedia kebu-
tuhan logistik untuk divisi militer Kodam VI Siliwangi sejak
1967.389 Pada saat yang sama, Kodam Siliwangi butuh orang lokal

386
Robison dan Hadiz, Reorganising Power, 53.
387
Menurut Jeffrey A. Winters, pada era modern, politik pertaha-
nan harta mengalami pergeseran dari pertahanan hak milik menjadi
pertahanan pendapatan. Sebab, sebagaimana warga negara miskin, pada
era modern hak milik orang-orang terkaya sudah dijamin oleh negara.
Lihat Winters, Oligarchy, 20-26.
388
Rudnyckyj, “Islamic Ethics,” 70-71.
389
Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, “Dinasti Tb. Chasan
Sochib: Gubernur Jenderal dari Banten,” Konstelasi, Edisi ke-31 April
2011. Artikel diakses 6 Juli 2013, dari http://www.p2d.org/ index.php/
kon/52-31-april-2011/273-dinasti-h-tb-chasan-sochib--gubernur-jenderal-
dari-banten.html.
330 Oligarki dan Demokrasi...

untuk menjadi perpanjangan tangan di daerah. Sebab, Banten baik


sebelum ataupun sesudah tragedi 1965 sangat rawan dipengaruhi
oleh kekuatan komunis. Atas dalih kepentingan politik, keamanan,
dan ekonomi di Banten, Sochib mendapatkan banyak keistime-
waan dari Kodam VI Siliwangi dan pemerintah Jawa Barat.
Sebagian besar proyek pemerintah khususnya di bidang konstruksi
banyak diberikan kepada Sochib. Di sinilah bisnisnya mulai berje-
jaring dengan kekuasaan (politico-business). Dia pun mendirikan
perusahaan konstruksi PT Sinar Ciomas Raya pada 1967.390
Proyek-proyek yang berjejaring dengan kekuasaan terse-
but menjadi mesin uang Tb. Chasan Sochib. Langkah selanjutnya,
Sochib mentransformasikan uang tersebut menjadi jaringan
sehingga menjadi kekuasaan mobilisasi yang besar. Salah satu
caranya, dia selalu mengadakan pertunjukan seni tradisional seper-
ti jaipongan dan debus setiap kali pencairan dana proyek. Dia juga
membagi-bagikan uang kepada semua pihak yang terlibat dalam
pertunjukan tersebut. Pada akhirnya, masyarakat mengenal keluar-
ga Sochib sebagai orang dermawan.391
Selain jaringan yang bersifat taktis (jangka pendek) dan
pragmatis, Sochib juga memperkokoh jaringan bisnis. Dia menja-
lankan strategi (jangka panjang) berkelanjutan dengan mengkader
dari nol banyak pengusaha di Banten. Dari kader-kader tersebut,
Sochib mendapatkan dua keuntungan. Pertama, keuntungan jari-
ngan bisnis (kekuasaan mobilisasi dan material)392 dan Kedua,
keuntungan uang (kekuasaan material). Sebab, Sochib mendapat-

390
Max Lane, Decentralization and Its Discontents: An Essay on
Class, Political Agency and National Perspective in Indonesian Politics
[Iseas Monograph Series] (Singapura: Institute of Southeast Asian
Studies (Iseas), 2014), 64-65. Lihat juga Masaaki dan Hamid, “Jawara in
Power,” 119.
391
Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara
Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019,
di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017.
392
Winters, Oligarchy, 11-20.
Ahmad Munjin 331

kan bagi hasil dari keuntungan proyek-proyek yang dikerjakan


oleh kader-kadernya. Oleh para peneliti dan pengamat, bagi hasil
inilah kemudian disebut pemerasan proyek393 dalam bentuk fee
atau setoran394 kepada jawara sehingga menjadi ekonomi berbiaya
tinggi (high cost economy)395 bagi siapapun yang ingin menja-
lankan usaha sektor konstruksidi Banten. Angkanya variatif, mulai
dari 10% untuk proyek APBD dan 11% untuk proyek APBN.
Bahkan belakangan, setelah keluarga tersebut berada di puncak
kekuasaan legislatif dan eksekutif, setoran tersebut diminta di
muka. Besarannya pun melonjak—ada yang menyebut 20%
bahkan 30%. Lalu, 10% kepada pimpinan proyek dari nilai proyek
untuk kontraktor di luar jaringan bisnisnya. Pada akhirnya, tanpa
memiliki perusahaan pun, Sochib dan keluarga besarnya sudah
mendapatkan keuntungan besar.396
Pascareformasi 1998, tuntutan otonomi daerah menguat
dan berujung pada ‘perceraian’ wilayah Banten dari provinsi Jawa
Barat. Banten sebagai provinsi pun terbentuk di penghujung 2000.
Pada 2001, Ratu Atut Chosiyah, anak pertama Tb. Chasan Sochib
dari istri pertama, terpilih menjadi wakil gubernur Banten
mendampingi Djoko Munandar dalam Pilkada yang dipilih lewat
DPRD. Sochib ditengarai telah melakukan money politics dan
mengerahkan kekuasaan koersifnya melalui kekuatan jawara

393
Syarif Hidayat, “Shadow State? Business and Politics in the
Province of Banten,” dalam Renegotiating Boundaries: Local Politicss in
post-Suharto Indonesia, eds. Henk Schulte Nordholt dan Gerry van
Klinken (Leiden: KITLV Press, 2007), 218.
394
Asrori S. Karni dan Gandi Achmad, “Keluarga Pemain Ang-
garan Banten,” Gatra, 23 Oktober 2013, 26-30.
395
Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Nera-
ca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, Senin, 30
Oktober 2017.
396
Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara
Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019,
di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017.
332 Oligarki dan Demokrasi...

dalam memenangkan Pilkada untuk pertama kalinya di provinsi


baru tersebut.

2. Regenerasi Politik dan Strategi Berkuasa Tiga Periode


Salah satu strategi politik pertahanan harta keluarga besar
Tb. Chasan Sochib adalah mempertahankan kekuasaan. Salah
satunya adalah melakukan regenerasi politik. Tubagus Chaeiri
Wardana, adik Ratu Atut Chosiyah, memiliki peran besar sebagai
oligark di balik layar. Salah satu anggota keluarga Atut Chosiyah
yang sudah dirancang menjelang pemilu 2014 adalah Andika
Hazrumy, putra sulung Atut Chosiyah. Akan tetapi, Andika Haz-
rumy tidak lagi dipasang untuk merebut kursi Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) seperti pada Pemilu 2009. Medan tempur calon
‘senator’ itu diwariskan kepada adiknya, yang memulai politik
praktisnya sebagai calon tetap anggota DPD 2014-2019 asal
daerah pemilihan (Dapil) Banten. Suami Andiara, Tanto Warsono
Arban, juga didorong terjun sebagai caleg Golkar untuk DPRD
Provinsi Banten dari Dapil Tangerang Selatan, daerah yang
dipimpin bibinya, Airin Rachmi Diany.
Kenyataanya, meski masih berstatus sebagai anggota DPR
periode 2014-2019, Andika mengikuti pola yang telah dilakukan
ibunya. Dia dipasang menjadi calon wakil gubernur Banten
mendampingi Wahidin Halim yang secara umur sudah relatif tua
pada Pilkada 2017. Pasangan calon ini pun memenangkan Pilkada.
Apakah akan mengikuti pola ibunya, Ratu Atut Chosiyah di mana
posisi wakil gubernur merupakan strategi untuk dapat berkuasa
lebih lama, lebih dari dua periode. Hanya waktu yang akan
membuktikannya.
Jauh sebelum 2017, pada Pemilu 2009, Andika mempe-
roleh suara tertinggi DPD sebanyak 760.654 asal Banten. Pada
Pemilu 2014, Andika diplot sebagai caleg DPRdaerah pemilihan
(Dapil) Banten I, yakni mencakup Pandeglang dan Lebak. Pada
pemilu empat tahun sebelumnya, suara Partai Golkar di dapil
tersebut kurang menggembirakan. Dari enam kursi yang dipere-
butkan, Golkar hanya mendapatkan satu, yakni Mamat Rahayu
Ahmad Munjin 333

Abdullah dengan suara terendah kedua. Partai Demokrat dan PPP


sama-sama merebut dua kursi. Mamat Rahayu kemudian pindah
ke Partai Nasdem, dan masuklah Andika sebagai pengganti.397
Modal suara besar Andika pada 2009 diharapkan dapat mendong-
krak suara Golkar di dapil ini. Apalagi, posisi Demokrat dominan.
Sebab, Bupati Lebak berasal dari Demokrat. Pilkada Lebak pada
Agustus 2013 dimenangkan oleh kader Demokrat, Iti Octavia,
anak bupati sebelumnya, Mulyadi Jayabaya.Jagoan Golkar, Amir
Hamzah, yang berada di peringkat kedua, meminta Mahkamah
Konstitusi (MK) memerintahkan Pilkada ulang.
Golkar pada awalnya merupakan kendaraan politik utama
keluarga besar Atut Chosiyah. Panel hakim MK pimpinan Akil
Mochtar, mantan politisi Golkar, pada 1 Oktober 2013, memutus-
kan Pilkada ulang di Lebak. Selain itu, Lebak juga bersama
dengan Pandeglang merupakan dapil Banten I yang digarap oleh
Andika Hazrumy masih dalam kendali klan Haji Kasan—sapaan
mendiang Tb. Chasan Sochib. Sementara itu, istri kelima Haji
Kasan, Heryani Yuhana menjabat sebagai Wakil Bupati Pandeg-
lang. Pada 2013, Istri Andika, Ade Rossi Chairunnisa naik pang-
kat dari Wakil Ketua DPRD Kota Serang menjadi caleg DPR RI
dapil Kota Serang, daerah yang dipimpin paman iparnya, Tubagus
Haerul Jaman, adik Atut Chosiyah beda ibu. Saat itu, Suami Atut,
Hikmat Tomet, masih diplot sebagai caleg Golkar nomor 1 Banten
II, yakni Serang dan Cilegon. Padahal, Tomet baru terserang
stroke dan jarang hadir dalam rapat Komisi V DPR.398
Dalam strategi penempatan saudara dan kroni Atut
Chosiyah, pada jabatan-jabatan politis tersebut, Wawan, panggi-
lan akrab Tb. Chaeri Wardana berperan aktif. Salah satu stra-
teginya adalah dimulai dari jabatan wakil baik bupati, wali kota,
ataupun gubernur. Atut pada awalnya merupakan wakil gubernur;
Haerul Jaman sebelumnya merupakan wakil wali kota Serang;

397
Asrori S. Karni dan Gandi Achmad, “Ujung Tanduk Dinasti
Atut,” Gatra, 16 Oktober 2013, 25.
398
Karni dan Achmad, “Ujung Tanduk,” 25.
334 Oligarki dan Demokrasi...

Airin Rachmi Diany memulai dengan mencalonkan diri sebagai


wakil bupati di Tangerang; Adik Atut Chosiyah, Tatu Chasanah
merupakan wakil bupati Serang; dan ibu tiri Atut Chosiyah,
Heryani menjadi wakil bupati Pandeglang. Pada Pilgub 2017 pun,
Andika Hazrumy dipasang sebagai wakil. Dengan menjabat posisi
wakil, mereka sudah mulai berkuasa dan kekuasaannya berlang-
sung lebih lama. Jika langsung menjadi bupati, wali kota, atau
gubernur, kekuasaan tersebut hanya sampai dua periode. Dengan
cara menjadi wakil terlebih dahulu, mereka bisa berkuasa tiga
periode.399
Selain regenerasi politik keluarga, Tb. Chaeri Wardana juga
turut mengatur penempatan pejabat di pemerintahan provinsi
Banten. Itulah gambaran politik pertahanan harta keluarga besar
Tubagus Chasan Sochib melalui regenerasi politik dan pengaturan
penempatan pejabat. Akumulasi kekuasaan tersebut merupakan
hilir dari dua variabel uang dan jaringan yang dimiliki oleh Tb.
Chasan Sochib sebelumnya. Secara perlahan tapi pasti oligark dan
oligarki pun terbentuk dari dinasti tersebut. Tidak ada orang yang
bisa menggantikan mereka. Sebab, keluarga Tb. Chasan Sochib
sudah terlanjur established. Mereka terbukti sukses menancapkan
kukunya di beberapa kabupaten/kota di Provinsi Banten.400 Tak
tanggung-tanggung, keluarga tersebut menguasai semua lini
kekuasaan baik eksekutif ataupun legislatif. Mulai dari jabatan
gubenur hingga bupati dan wali kota di Provinsi Banten. Mereka
juga berkuasa di DPR dan DPD hingga DPRD. Semuanya meng-
gunakan Partai Golkar sebagai kendaraan untuk mendapatkan
kekuasaan. Mereka juga berkuasa pada organisasi-organisasi
bentukan pemerintah, seperti Kadin, Karang Taruna, dan KNPI.
Kekuasaan uang dan bisnis keluarga Tb. Chasan Sochip
pun semakin menggurita. Jika pada mulanya bisnis berjejaring

399
Karni dan Achmad, “Ujung Tanduk,” 26.
400
Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara
Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019,
di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017.
Ahmad Munjin 335

dengan pemerintah pusat melalui Kodam VI Siliwangi dan


Pemprov Jabar, sekarang berjejaring dengan Pemda Banten yang
notabene berada dalam kekuasaan para anggota keluarga besar
tersebut. Di sinilah terjadi polico-business oligarchy401dan politik
pertahanan harta. Pada awalnya, keluarga tersebut ditopang oleh
perusahaan milik Tb. Chasan SochibPT Sinar Ciomas Raya dan
perusahaan lain yang menjadi jaringan bisnisnya. Setelah mereka
berkuasa, bisnis keluarga pun semakin ekspansif (lihat Bagan
4.2.).

401
Robison dan Hadiz, Reorganising Power, 53.
336 Oligarki dan Demokrasi...

Bagan 4.2. Jaringan Perusahaan Keluarga Besar Tb. Chasan Sochib


Oligark di Balik Layar

Tb. Chasan Sochib PT Sinar Ciomas Raya

Ratu Atut Chosiyah PT Sinar Ciomas Wahana Putra

Tubagus Haerul Jaman PT Ginding Mas Wahana Nusa

Ratu Tatu Chasanah


PT Unifikasi Profesional Media
Consultant
Heryani

PT Profesional Indonesia Lantera


Airin Rachmi Diany Raga

Andika Hazrumy
PT Andika Pradana Utama

Hikmat Tomet
PT Pelayaran Sinar Ciomas Pratama

Aden Abdul Khaliq


PT Hotel Ratu Bidakara

Ratna Komalasari PT Putra Perdana Jaya

Ade Rossi Chairunnisa PT Bali Pacific Pragama

Tanto Warsono Arban PT Buana Wardana Utama

Andiara Aprilia Hikmat PT Arban Global Nusantara

Tb. Chaeri Wardana PT Arban Media

Tb. Chasan Sochib Tb. Chaeri Wardana

Sumber: Diolah dari Indonesia Corruption Watch (ICW) dan sumber lain
Ahmad Munjin 337

 Garis penghubung menjelaskan jabatan atau peran masing-


masing anggota keluarga Tb. Chasan Sochib pada perusa-
haan-perusahaan tersebut sejauh dapat dilacak baik sebagai
pendiri, direktur utama, komisaris utama, direktur, komisa-
ris, atau pemegang saham. Garis putus-putus menunjukkan
peran pada perusahaan-perusahan tersebut secara tidak
langsung tapi sangat menentukan.

Paling tidak, terdapat sepuluh perusahaan yang berada


dalam kendali langsung keluarga Ratu Atut Chosiyah.402 Peru-
sahan-perusahaan tersebut adalah (1) PT Sinar Ciomas Wahana
Putra; (2) PT Ginding Mas Wahana Nusa; (3) PT Unifikasi Profe-
sional Media Consultant; (4) PT Profesional Indonesia Lantera
Raga; (5) PT Andika Pradana Utama; (6) PT Pelayaran Sinar
Ciomas Pratama; (7) PT Hotel Ratu Bidakara; (8) PT Putra
Perdana Jaya; (9) PT Bali Pacific Pragama; dan (10) PTBuana
Wardana Utama. Kesepuluh perusahaan tersebut ditambah dua
perusahaan milik Tanto Warsono Arban, menantu Ratu Atut
Chosiyah, yaitu PT Arban Global Nusantra dan PT Arban Media.
Oleh karena itu, Tanto dan Andiara Aprilia Hikmat bukan semata
disatukan oleh pernikahan biologis tapi juga oleh penyatuan dua
politico business oligarchy.
Antara entitas kekuasaan dan esntitas bisnis tersebut
memiliki hubungan timbal balik yang saling menguntungkan.
Uang digunakan untuk mendapatkan kekuasaan, kekuasaan digu-
nakan untuk mendapatkan uang. Sebagai contoh, PT Hotel Ratu
Bidakara di Jl K.H. Abdul Hadi, Serang. Berdasarkan akta notaris
tercatat nama Andiara Aprilia Hikmat, putri bungsu Ratu Atut,
sebagai direktur utama. Sementara direkturnya adalah Tanto War-
sono Arban (suami Andiara). Lalu ada juga nama Andika Hazrumy
(anak pertama Atut) sebagai komisaris, serta Ade Rossi Chaerun-
nisa (istri Andika) sebagai komisaris. Hotel Ratu Bidakara

402
Asrori S. Karni dan Gandi Achmad, “Keluarga Pemain Ang-
garan Banten,” Gatra, 23 Oktober 2013, 26-30.
338 Oligarki dan Demokrasi...

bernaung sebagai anak perusahaan PT Sinar Ciomas Raya Utama.


Perusahaan yang bergerak di bidang konstruksidan didirikan oleh
Ayah Atut, Tb. Chasan Sochib. Sejak berdiri pada 16 Mei 2011,
Hotel Ratu laris dipakai oleh pemerintah provinsi untuk menye-
lenggarakan berbagai macam agenda, mulai dari rapat, pemberian
penghargaan, dan acara seremonial lainnya. Tak heran, dalam satu
tahun, hotel itu berubah kelas dari bintang tiga menjadi bintang
empat. "Sejak hotel didirikan, setiap kegiatan SKPD di lingku-
ngan Pemprov Banten hampir pasti dilakukan di hotel itu.403

3. Empat Pilar Kendali dan Dominasi Keluarga Ratu Atut


Chosiyah
Selama Ratu Atut Chosiyah berkuasa, terdapat empat
pilar kendali dan menjadi pijakan bagi keluarga untuk berkuasa
dominan. Keempat pilar tersebut adalah Pemda, Kadin, Golkar,
dan Ormas. Proyek APBD dan APBN di Banten berada dalam
monopoli perusahaan keluarga gubernur sekaligus jaringan kartel-
nya. Pendapatan Provinsi Banten memang membaik, tapi alokasi-
nya berantakan.404Beberapa modus keluarga Ratu Atut Chosiyah
mendapatkan proyek pengadaan barang dan jasa di Banten.
Pertama, melalui perusahaan yang dikuasai keluarga Atut secara
langsung. Kedua, melalui perusahaan lain yang menjadi bagian
kartel Atut. Untuk modus pertama, perusahaan langsung keluarga
Atut mendapatkan 52 proyek di Kementerian Pekerjaan Umum
(PU) dan Pemprov Banten dengan total nilai kontrak Rp723,333
miliar. Dari Proyek Kementerian PU selama 2008-2013, dime-
nangi 33 proyek dengan total nilai Rp478,728 miliar. Dari proyek

403
Anonim, “Cerita tentang Hotel Bintang Empat Milik Keluar-
ga Atut di Banten,” Detik.com, Senin 14 Oktober 2013, diakses tanggal
31 Juli 2018 dari https://news.detik.com /berita/ 2385794/cerita-tentang-
hotel-bintang-empat-milik-keluarga-atut-di-banten.
404
Asrori S. Karni dan Gandi Achmad, “Keluarga Pemain Ang-
garan Banten,” Gatra, 23 Oktober 2013, 26-30.
Ahmad Munjin 339

Pemprov Banten selama 2011-2013, setidaknya dimenangi 19


proyek dengan total nilai kontrak Rp244,604 miliar.405
Untuk modus kedua, pada 2012, setidaknya 24 perusahaan
yang diduga merupakan bagian kartel Atut mendapatkan 110
proyek Pemprov Banten dengan total nilai kontrak Rp346,287
miliar. Sedangkan proyek di Kementerian PU, selama 2011-2013,
perusahaan kartel tersebut mendapatkan 13 proyek dengan nilai
total Rp78,794 miliar. Secara keseluruhan, pada Kementerian PU
dan Pemprov Banten diguga perusahaan yang dikendalikan
langsung Atut Chosiyah sekeluarga dan kartelnya mendapat 175
proyek dengan total nilai kontrak Rp1,148 triliun. Itu baru dari
kementerian PU dan Pemprov Banten, belum kementerian atau
lembaga lain dan kabupaten/kota di Banten. Semua itu, menun-
jukkan gurita bisnis keluarga Atut yang menjadi basis sumber
daya kekuasaan material (oligarkis)406 menguasai proyek penga-
daan barang dan jasa di Banten. Rezim politik selalu identik
dengan kekuasaan dan uang.407
Tb. Chaeri Wardana memiliki banyak kasus hukum yang
harus diusut. Di antaranya adalah dana pengadaan alat kesehatan
tahun 2004-2005 dan mark up pembangunan gedung Provinsi
Banten Rp62 miliar. Data tersebut mengacu kepada BPK, tapi
anehnya BPK tidak melaporkannya ke KPK. Seorang birokrat di
Banten bertutur, siapa pun yang ingin menggarap proyek di
Banten, harus setor 30% kepada jawara sebelum proses tender.
Setelah Chasan Sochib wafat, perannya sebagai oligark di balik
layar diteruskan kepada Wawan. Baru penjajakan saja harus setor
30% dan setelah deal tambah lagi 10% ke pimpinan proyek.
Hasilnya adalah sepanjang jalan Cilegon-Anyer belum lama diper-
baiki sudah kembali rusak.408 Inilah yang menurut Winters, bahwa

405
Karni dan Achmad, “Keluarga Pemain Anggaran,” 28.
406
Winters, Oligarchy, 18-20.
407
Karni dan Achmad, “Keluarga Pemain Anggaran,” 28.
408
Karni dan Achmad, “Keluarga Pemain Anggaran,” 28-29.
340 Oligarki dan Demokrasi...

karakteristik dari oligark adalah ekstraktif dan eksploitatif—


Banjir dari atas tapi hanya tetesan yang sampai ke bawah.409
Bila penguasaan atas pilar Pemda, Golkar, dan Kadin
rentan penyalahgunaan dalam pengadaan barang dan jasa, sedang-
kan kendali atas ormas membuat mereka rawan menyimpangkan
bantuan sosial (Bansos). Laporan Uday Suhada, warga Banten
kepada KPK tahun 2011 menyebutkan dari Rp340 miliar dana
hibah, sebesar Rp51 miliar mengucur tidak jelas. Ada beberapa
modus. Pertama, pemotongan dana hibah dan Bansos sehingga
tidak utuh hingga tangan penerima; Kedua, ada indikasi sejumlah
lembaga atau organisasi fiktif yang menerima hibah; Dari 221
pihak penerima hibah dan bansos tahun 2011, 62 lembaga diduga
fiktif. Ketiga, sebagian besar lembaga atau organisasi penerima
dana hibah dan bansos dipimpin keluarga Atut Chosiyah (modus
KKN). Secara politik penyaluran anggaran hibah dan bansos
digunakan untuk kepentingan Atut jelang pemilihan gubernur
2011.410
Dari sisi fiskal, pendapatan provinsi Banten terus naik.
Pada 2013, APBD Banten hampir Rp5,7 triliun. Tahun 2013,
Rp4,8 triliun, dan tahun 2011 Rp3,8 triliun. Dana perimbangan
untuk Banten lebih kecil dari pendapatan asli daerah (PAD) yang
rata-rata 77% dari total APBD. Tahun 2013, dari APBD Rp5,7
triliun, PAD-nya bisa mencapai Rp3,7 triliun. Data-data tersebut
menunjukkan Banten secara fiskal dari sisi pendapatan sudah
masuk kategori mandiri. Akan tetapi, masalahnya adalah faktor
sosial411—kesenjangan sosial dan ekonomi di Banten. Inilah pra-
syarat oligarki yang terpenuhi sebagaimana dinyatakan Carl

409
Jeffrey A. Winters, “Oligarchy and the Jokowi Administra-
tion,” Kuliah Umum Jurusan Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri
Jakarta, Senin, 8 Juni 2015.
410
Karni dan Achmad, “Keluarga Pemain Anggaran,” 29.
411
Karni dan Achmad, “Keluarga Pemain Anggaran,” 29.
Ahmad Munjin 341

Joachim Friedrich (1937),412 Jeffrey A. Winters dan Benjamin I.


Page (2009).413 Buktinya, tingkat pengangguran terbuka (TPT) di
Banten paling tinggi di Indonesia, yakni 10,10%. Angka kemis-
kinan masih 5,7%. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Banten
paling rendah se-Jawa dan Sumatera. Ini menunjukkan karakte-
ristik dari oligark, yakni input besar tapi output kecil. Ada perse-
lingkuhan dalam politik anggaran Banten. Modusnya, pertama,
perusahaan-perusahaan Wawan dan keluarga besarnya mengambil
banyak proyek APBD dan APBN di wilayah kekuasaan mereka.
Mereka memonopoli semua proyek di Provinsi Banten. Kedua,
menggunakan pihak ketiga atau mitra. Mitra tersebut wajib
memberikan 20% total nilai proyek kepada keluarga Atut. Bahkan
kadang wajib dibayar di muka. Potongan proyek tersebut masuk
ke kantong keluarga. Pada 2011, hasil LHP BPK memperlihatkan,
belanja modal Banten sebesar Rp800 miliar untuk infrastruktur.
Potongan 20% dari dana proyek tersebut sudah mencapai Rp160
miliar.414
Perusahaan utama yang dijadikan “mesin cuci uang” klan
Atut Chosiyah adahal PT Bali Pacific Pragama yang dikelola
langsung Wawan yang berkantor di lantai XII nomor 5 Gedung
The East, Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Kejanggalan alokasi
APBD dan APBN Banten sudah tercium setiap tahun oleh BPK.
Beberapa kasus masuk proses hukum. Di antaranya, proyek pem-
bangunan RSUD Balaraja yang juga menyenggol nama Airin
Rachmi Diany, istri Tb. Chaeri Wardana (Wawan). Begitu juga
dengan kasus normalisasi sungai Cilemer senilai Rp24 miliar yang
dinyatakan fiktif. Sepeninggal Chasan Sochib, Wawan jadi pene-
rus dan pemain sentral. Semua bisnis dikoordinasikan Wawan.
Ketika Wawan ditangkap, disebut-sebut sebagai awal keruntuhan
412
Carl Joachim Friedrich, “Oligarchy,” dalam Encylopaedia of
the Social Sciences, volume XI-XII, ed. Edwin R.A. Seligman (New
York: The Macmillan Company, 1937),463.
413
Jeffrey A. Winters dan Benjamin I. Page, “Oligarchy in the
United States?” Perspectives on Politics 7 (2009): 732.
414
Karni dan Achmad, “Keluarga Pemain Anggaran,” 29-30.
342 Oligarki dan Demokrasi...

dinasti Atut Chosiyah. Sebagian besar sumur dinasti Atut Chosi-


yah adalah proyek APBD dan ABPN di Banten. Hasilnya adalah
pengelolaan alokasi anggaran Banten kacau. Yang prioritas diabai-
kan tapi yang tersier dikerjakan. Contohnya, Banten ngotot
membangun Bandara Banten Selatan. Dicurigai di situ banyak
tanah mereka. Mereka juga ngotot membangun Bank Banten yang
menyedot dana Rp1 triliun.415
Selain berperan di balik layar dalam regenerasi politik
keluarga dan penempatan pejabat daerah, Wawan berperan dalam
proyek-proyek pemerintah. Semua itu merupakan politik untuk
pertahanan harta melalui keterlibatan Tubagus Chaeri Wardana
dalam penyusunan dan pelaksanaan skema pembangungan daerah
Banten. Dari sisi ini, tampak jelas sumber daya kekuasan mate-
rial416 digunakan untuk mendapatkan kekuasaan dan kekuasaan
digunakan untuk mendapatkan harta dengan keterlibatan dalam
proyek-proyek pemerintah daerah. Pada saat yang sama, harta juga
digunakan untuk pertahanan kekuasaan politik, yang salah satunya
bentuknya adalah penyuapan terhadap hakim MK.
Semua kondisi tersebut, di mana peran Chaeri Wardana
sangat besar mengingatkan publik pada peran mendiang Chasan
Sochib saat anaknya Atut Chosiyah mulai berkuasa sebagai wakil
gubernur. Menurut Syarif Hidayat, sudah dikhawatirkan banyak
pihak beberapa bulan setelah lembaga legislatif dan eksekutif
terbentuk di Provinsi Banten. “Sikap mayoritas informan cende-
rung pesimistik ketika mengevaluasi kinerja pemerintahan pro-
vinsi dan tampak tak antusias dengan masa depan Banten.”417
Betapa tidak, pemerintahan provinsi nyaris pincang total dalam
menjalankan fungsi formalnya karena kekuatan informal mampu
mengontrol gubernur.
Saat itu, Banten memiliki semacam pemerintahan swasta
yang dipimpin oleh Tubagus Chasan Sochib. Pemerintahan swasta
ini sangat berpengaruh terhadap masalah ekonomi pemerintahan
415
Karni dan Achmad, “Keluarga Pemain Anggaran,” 30.
416
Winters, Oligarchy, 18-20.
417
Hidayat, “Shadow State,” 209-210.
Ahmad Munjin 343

provinsi. “Pemerintahan swasta” ini diduga memonopoli hampir


semua proyek-proyek pemerintah daerah dan menekan pemerintah
provinsi untuk mengakomodasi kepentingannya saat perancangan
anggaran pembangunan proyek tahunan. Bahkan informasi yang
lebih penting, menurut Syarif Hidayat, adanya praktik-praktik
informal di dalam birokrasi lokal di mana kekuasaan Chasan
Sochib bisa menentukan mutasi birokrat sebagaimana dilakukan
oleh Chaeri Wardana sebagai penerus ayahnya. Ayip Muchfi
merupakan sekretaris daerah (Sekda) pertama Provinsi Banten.
Dia ditunjuk langsung setelah Hakamudin Jamal ditunjuk sebagai
penjabat Gubernur Banten. Akan tetapi, begitu Djoko Munandar
dan Atut Chosiyah menjadi gubernur dan wakil gubernur, Ayip
dipecat tanpa prosedur yang sah.418 Tampaknya, lanjut Syarif
Hidayat, penggantian Sekda berhubungan dengan konflik pribadi
yang panjang antara Ayip dengan Chasan Sochib. Indikasi awal
itu menunjukkan bahwa kekuatan ekonomi dan politik informal419
mendominasi Pemda Banten.420

418
Hidayat, “Shadow State,” 210.
419
Menurut Harriss-White, paling tidak, terdapat dua definisi
untuk istilah ‘informal economy\’. Pertama, aktivitas-aktivitas bisnis atau
individu dan/atau sebuah perusahaan yang tidak terdaftar di pemerinta-
han sehingga pajak tidak dibayarkan. Kedua, sikap dari lembaga-lembaga
formal baik negara maupun swasta untuk menghindari control dari regu-
lator. Bentuk informal ekonomi yang kedua ini termasuk di dalamnya
penghindaran pajak, penyalahgunaan kebijakan publik, korupsi, kolusi,
dan pemaksaan privatisasisi aset-aset negara. Harriss-White telah meng-
aplikasikan pendekatan dengan apa yang disebutnya sebagai ‘social
structure of accumulation’ di mana struktur sosial menjadi salah satu
faktor yang menentukan dalam akumulasi ekonomi. Akumulasi jenis ini
menjadi motif atau karakteristik utama dari kekuasaan oligarkis. Dia
mengidentifikasi empat dimensi struktur sosial, yakni kelas, kasta,
jender, dan ruang. Mayoritas transaksi ekonomi diambil alih melalui eko-
nomi informal yang berlangsung dalam suasana kekeluargaan yang lebih
didasarkan pada reputasi dibandingkan hukum formal dan juga sering
kali diiringi dengan elemen-elemen atau ancaman kekerasan. Lihat
Barbara Harriss-White, India Working: Essays on Society and Economy
344 Oligarki dan Demokrasi...

Syarif Hidayat mencatat empat karakteristik umum dari


praktik informal market dan shadow state. Pertama, mereka ber-
kembang sebagai konsekuensi dari kerusakan lembaga-lembaga
formal (negara), khususnya saat disertai dengan krisis ekonomi;
Kedua, akumulasi keuntungan politik dan ekonomi jangka pendek
di luar kerangka aturan formal merupakan tujuan utama dari
transaksi informal market. Setiap partai memaksimalkan sumber-
sumber dayanya untuk kemudian memperdagangkannya di pasar
informal; Ketiga, modus operandi atau mekanisme kerja dari
informal market dan shadow state bisa diklasifikasikan menjadi
dua kategori: manipulasi kebijakan publik dan menggunakan jari-
ngan persekutuan individu ataupun kelembagaan. Keempat, aktor-
aktornya berasal baik dari negara maupun masyarakat.421 Perihal
aktor-aktor tersebut, Henk Schulte Nordholt (2003) menyebutkan
para pelaku bisnis, politikus partai, dan bahkan geng kriminal.422
Syarif Hidayat menggunakan keempat pendekatan tersebut untuk
membaca praktik-praktik pemerintahan lokal di Banten.423
Menurut Uday Suhada, juru bicara Aliansi Banten Meng-
gugat yang pernah melaporkan penyimpangan dinasti politik Atut
Chosiyah ke KPK pada 2011, Tubagus Chaeri Wardana alias
Wawan merupakan orang yang terlibat aktif dalam penyusunan
dan pelaksanaan skema pembangunan daerah di provinsi Banten.
Wawan mengatur semua pelaksanaan tender proyek di pemerin-
tahan provinsi Banten. Untuk mendapatkan proyek pemerintah
provinsi Banten pelaksana harus setor di muka ke Wawan sebesar
20% hingga 30% dari anggaran proyek tersebut.424

[Series of Contemporary South Asia 8] (Cambridge: Cambridge Univer-


sity Press, 2003), 4-6; lihat juga Hidayat, “Shadow State,” 210.
420
Hidayat, “Shadow State,” 210.
421
Hidayat, “Shadow State,” 212.
422
Henk Schulte Nordholt, “Renegotiating Boundaries: Access,
Agency and Identity in post-Soeharto Indonesia,” Bijdragen tot de Taal-,
Land- en Volkenkunde 159 (2003): 550-89.
423
Hidayat, “Shadow State,” 212.
424
Karni dan Achmad, “Ujung Tanduk,” 26.
Ahmad Munjin 345

Pada 2011, Aliansi Banten Menggugat melaporkan ke


KPK, dari Rp340 miliar dana hibah, sebesar Rp51 miliar di anta-
ranya mengucur tidak jelas. Aliansi melihat beberapa modus,
pertama, pemotongan dana hibah dan bansos sehingga tidak utuh
di tangan penerima. Kedua, terdapat indikasi penerima hibah
adalah sejumlah lembaga atau organisasi fiktif. Dari 221 pihak
penerima hibah dan bansos 2011, menurut penelusuran tim dari
Aliansi Banten Menggugat terdapat 62 yang diduga fiktif. Ketiga,
sebagian besar lembaga atau organisasi penerima dana hibah dan
bansos dipimpin oleh keluarga dan kerabat Atut Chosiyah yang
menunjukkan adanya modus KKN. Secara politik, menurut Uday,
sebagian dana tersebut digunakan untuk kepentingan Atut men-
jelang pemilihan gubernur 2011.425
Teguh Imam Prasetya, dosen FISIP Universtitas Tirtaya-
sa, Banten menilai naiknya keluarga Atut dalam banyak posisi
politik di Banten merupakan hasil dari sandiwara demokrasi, yang
menggunakan kombinasi politik uang yang merupakan sumber
daya kekuasaan material,426 intervensi, dan intimidasi birokrasi427
yang merepresentasikan kekuasaan koersif.428 Wawan menjadi
pintu masuk bagi siapa saja yang ingin berbisnis di Banten. Dia
juga mengatur berbagai skenario mengamankan posisi jabatan
keluarga. “Wawan mewarisi kecerdikan Chasan,” kata Teguh.429
Sepak terjang Tb. Chaeri Wardanadalam menguasai berba-
gai proyek APBD Banten dan proyek APBN yang digelontorkan
ke Provinsi Banten sangat dominan. Bukan hanya itu, keberadaan
Tb. Chaeri Wardana sangat ditakuti dan disegani oleh semua
pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten. Dia
bisa mengintervensi kebijakan di internal birokrasi Pemprov

425
Karni dan Achmad, “Ujung Tanduk,” 26.
426
Winters, Oligarchy, 18-20.
427
Karni dan Achmad, “Ujung Tanduk,” 26.
428
Winters, Oligarchy, 15.
429
Karni dan Achmad, “Ujung Tanduk,” 26.
346 Oligarki dan Demokrasi...

Banten,430 lantaran para pejabat tersebut punya utang budi kepada


Tb. Chaeri Wardana. Di antaranya adalah jasa Tb. Chaeri Warda-
na yang membuat mereka punya jabatan di awal-awal pendirian
provinsi Banten. Ketika Tb. Chaeri Wardana meminta jatah
proyek yang nilainya miliaran rupiah, mereka pun otomatis tidak
kuasa untuk menolak. Kondisi ini sudah menjadi lingkaran setan.
Pejabat-pejabat daerah di Provinsi Banten seakan-akan menjadi
sapi perahbagi kepentingan Tb. Chaeri Wardana dan klan Ratu
Atut Chosiyah.431
Di antara intervensi dari Tb. Chaeri Wardana adalah
penempatan pejabat eselon II, III dan IV di hampir semua Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemprov Banten. Tidak ada yang
luput dari intervensi dari adik kandung Gubernur Banten saat itu,
Ratu Atut Chosiyah.Untuk menempatkan pejabat eselon II pada
SKPD yang dianggap besar dan “basah” mutlak harus atas perse-
tujuan Tb. Chaeri Wardana. Di antara SKPD tersebut adalah
Dinas Bina Marga dan Tata Ruang (DBMTR) Banten, Dinas
Kesehatan (Dinkes) Banten, Dinas Pendidikan Banten, dan Dinas
Sumber Daya Air dan Permukiman (DSDAP). Akibat intervensi
tersebut, Tb. Chaeri Wardana pun dikenal dengan julukan kepala
Badan Pertimbangan Jabatan dan Pangkat (Baperjakat) swasta.
Dalam konteks ini, Tb. Chaeri Wardana jelas mendapatkan wewe-
nang melalui jalur tidak resmi (informal) dari kakaknya Gubernur
Ratu Atut Chosiyah untuk menentukan pejabat yang dianggap
pantas menjadi kepala dinas di masing-masing SKPD besar dan
basah.432

430
Laurens Dami, “Inilah Sepak Terjang Adik Atut Dalam
Memonopoli Proyek di Banten,” Suara Pembaruan, Sabtu, 19 Oktober
2013, diakses Senin, 13 Agustus 2018, http://sp.beritasatu.com/home/
inilah-sepak-terjang-adik-atut-dalam-memonopoli-proyek-di-
banten/43653.
431
Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten
Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018.
432
Dami, “Inilah Sepak Terjang Adik Atut.”
Ahmad Munjin 347

Oleh karena itu, hanya pejabat yang loyal, bisa diatur dan
bisa diajak kerja sama yang dianggap layak untuk menduduki
posisi kepala dinas di berbagai SKPD tersebut. Tujuannya adalah
agar semua proyek yang dikerjakan Tb. Chaeri Wardana bersama
kroninya berjalan lancar. Hampir semua proyek yang didanai
APBD di terutama empat dinas besar dikuasainya. Bukan hanya
proyek APBD, tetapi juga proyek APBN. Dinas lain yang proyek-
nya juga dikuasai Tb. Chaeri Wardana antara lain Dinas Pertam-
bangan dan Energi (Distamben) Banten, Dinas Pertanian dan
Peternakan (Distanak) Banten, Dinas Kelautan dan Perikanan
(DKP) dan Dinas Kehutanan, dan Perkebunan (Dishutbun) Ban-
ten. Tb. Chaeri Wardana tidak bekerja sendirian. Dia memiliki
sejumlah anak buahyang dipercayakan untuk mengelola perusaha-
an dan ditunjuk sebagai direktur utama (Dirut) di sejumlah peru-
sahaan miliknya. Sebagian perusahaan milik Tb. Chaeri Wardana
dibuat atas namanya sendiri, istrinya, bahkan anaknya. Namun ada
beberapa perusahaan miliknya yang sengaja dibuat atas nama
orang lain atau anak buahnya. Tb. Chaeri Wardana alias Wawan
itu dilibatkan dalam menyusun skema pembangunan di Pemprov
Banten. Bahkan Wawan juga dilibatkan dalam rapat Baperjakat.
Lebih jauh, Tb. Chaeri Wardana juga bekerja sama dengan pihak
anggota DPRD Banten untuk mengamankan seluruh proyek yang
dikuasainya.433
Praktik seperti ini sudah berlangsung lama sejak kakaknya
Ratut Atut Chosiyah masih menjabat sebagai wakil gubernur
Banten. Perannya semakin besar, ketika kakaknya Ratu Atut
Chosiyah menjabat sebagai Plt Gubernur Banten pada tahun 2006.
Ratu Atut Chosiyah kemudian terpilih kembali menjadi gubernur
untuk periode 2007-2012 dan terpilih kembali untuk periode
kedua, 2012-2017. Sebelum masa jabatannya berakhir, Atut pun
ditetapkan sebagai tersangka korupsi pada 2013. Sebelum terjerat
hukum, sebagian besar proyek yang dikerjakan adik Atut itu

433
Dami, “Inilah Sepak Terjang Adik Atut.”
348 Oligarki dan Demokrasi...

bersama kroninya selalu menjadi langganan temuan dalam


Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK.434

434
Dami, “Inilah Sepak Terjang Adik Atut.”
Ahmad Munjin 349

Bagan 4.3. Peran Tb. Chaeri Wardana sebagai Oligark


di Balik Layar
Pilar Jaringan Dominasi Gubernur
Atut Chosiyah

Pemda Kadin Golkar Ormas

Ratu Atut Chosiyah mendelegasikan wewenang kepada Tb. Chaeri Wardana


sehingga mendapat julukan “kepala Badan Pertimbangan Jabatan dan Pangkat
(Baperjakat) swasta.” Ini menunjukkan perannya sebagai “oligark di Balik
Layar”. Dia menjalankan politik pertahanan harta.

Tb. Chaeri Wardana menentukan penempatan pejabat eselon II, III dan IV di
hampir semua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemprov Banten.

Dinas Bina Marga dan Tata


Ruang (DBMTR)
Tb. Chaeri Wardana
menempatkan pejabat eselon II Dinas Kesehatan (Dinkes)
pada SKPD yang dianggap
besar dan “basah”.Hanya Dinas Pendidikan Banten
pejabat yang loyal, bisa diatur
dan bisa diajak kerja sama
yang dianggap layak untuk Dinas Sumber Daya Air dan
menduduki posisi kepala dinas Permukiman (DSDAP)
SKPD tersebut.Tujuannya
adalah agar semua proyek yang Dinas Pertambangan dan
dikerjakan Wawan bersama Energi (Distamben)
kroninya di SKPD tersebut
berjalan lancar. Proyek
dikerjakan oleh perusahaan Dinas Pertanian dan
milik keluarga, milik keluarga Peternakan (Distanak)
atas nama orang lain atau
perusahaan bukan milik Dinas Kelautan dan Perikanan
keluarga (pihak ketiga, mitra, (DKP)
atau kartel. Sumber dana:
APBN dan APBD Dinas Kehutanan, dan
Perkebunan (Dishutbun)

Rezim Pertahanan Harta

Sumber: Diolah dari Laurens Dami, “Inilah Sepak Terjang Adik


Atut dalam Memonopoli Proyek di Banten,” Suara
Pembaruan, Sabtu, 19 Oktober 2013
350 Oligarki dan Demokrasi...

Proyek yang dikerjakan Tb. Chaeri Wardana dan kroninya


selalu bermasalah. Sebab, dia diduga menarik fee sebesar 20-30
persen dari setiap proyek tersebut jika dikerjakan oleh pengusaha
lain. “Ironisnya, dari berbagai kasus dugaan korupsi yang berkai-
tan dengan proyek Wawan selalu mengendap di kepolisian atau
kejaksaan,” tegas seorang aktivis anti korupsi, Uday Suhada,
Direktur Eksekutif Aliansi Lembaga Independen Peduli Publik
(Alipp).435
Selain intervensi jabatan dan proyek pada level SKPD,
dalam konteks politik pertahanan harta yang menjadi sumber daya
material untuk pertahanan kekuasaan adalah aksi suap terhadap
hakim. Tb. Chaeri Wardana berusaha mempertahankan kekuasaan
politik dari partai tempat mereka bernaung, Golkar. Salah satu
kasusnya adalah Tb. Chaeri Wardana, bendahara Partai Golkar
Banten dan kakaknya Gubernur Bantensaat itu, Ratu Atut Chosi-
yah bertemu Hakim Konstitusi Akil Mochtar di Singapura. Chaeri
Wardana dituduh menyuap Akil Rp1 miliar untuk mengabulkan
gugatan calon bupati Lebak Amir Hamzah. Calon dari Partai
Golkar ini mempersoalkan kemenangan Iti Octavia dan menuntut
pemilihan ulang. Pada pertemuan tersebut, Akil, Atut, dan Chaeri
Wardana diduga mengatur putusan Mahkamah Konstitusi.436
Pada 24 September 2013, Akil memimpin sidang gugatan
hasil pemilihan Bupati Lebak dengan agenda mendengarkan saksi-
saksi. Sepekan kemudaian, panel hakim yang dipimpin Akil me-
mutuskan pemilihan Bupati Lebak diulang—cocok dengan tun-
tutan kubu Atut yang menyokong Amir Hamzah. Hakim konsti-
tusi menilai banyak kecurangan dalam perhitungan kertas suara.
Menurut Tempo, pertemuan Singapura sesungguhnya tak hanya
mengatur putusan sengketa hasil pemilihan bupati Lebak. Mereka

435
Laurens Dami, “Inilah Sepak Terjang Adik Atut Dalam Me-
monopoli Proyek di Banten,” Suara Pembaruan, Sabtu, 19 Oktober 2013,
diakses Senin, 13 Agustus 2018, http://sp.beritasatu.com/home/inilah-
sepak-terjang-adik-atut-dalam-memonopoli-proyek-di-banten/43653.
436
Bagja Hidayat, Maria Hasugian, dan Reza Aditya, “Antara
Boston, Singapura, dan Kuningan,” Tempo, 27 Oktober 2013, 44-46.
Ahmad Munjin 351

juga membicarakan putusan gugatan pemilihan Wali Kota


Tangerang dan Serang—dua wilayah di Banten. Di Tangerang,
pada pemilihan 31 Agustus, calon Golkar kalah oleh rivalnya dari
Demokrat. Adapun hasil pemilihan Bupati Serang, 5 September
2013, perlu diamankan karena pemenangnya adalah adik Gubernur
Atut, Tubagus Haerul Jaman.437
Dalam oligarki, menurut Winters, orang ‘di balik layar’
bukanlah faktor penting.438 Sebab, faktor penting dalam oligarki
adalah akumulasi kekayaan hingga mencapai ribuan kali kekayaan
orang-orang biasa (stratifikasi material).439Akan tetapi, peran
Tubagus Chaeri Wardana yang merupakan orang di balik layar di-
nasti politik Atut Chosiyah sepeninggal Tubagus Chasan Sochib,
sangat menentukan. Chaeri Wardana sangat berperan penting
dalam proses akumulasi kekuasaan politik dan ekonomi dari dinas-
ti keluarga jawara tersebut. Wawan tidak suka muncul ke permu-
kaan. Akan tetapi, urusan transaksi proyek di provinsi Banten
merupakan urusannya. Dia yang mengatur semuanya dan merupa-
kan tokoh di balik layar yang luar biasa. Hingga saat pencalonan
istrinya, Airin Rachmi Diany, Wawan tidak mau dikenal. Akan
tetapi, intervensi Wawan sangat besar baik di sektor ekonomi
maupun birokrasi Banten. Kadin Banten berada di bawah koordi-
nasi Wawan. Proyek-proyek APBD provinsi harus di-acc Wawan.
Dari Wawan baru ke Atut. Tidak bisa masuk Banten sebelum
masuk pintu Wawan.440 Dalam penentuan pejabat, bahkan Atut
Chosiyah tidak bisa menentukannya sendiri melainkan harus men-

437
Hidayat, Hasugian, dan Aditya, “Antara Boston,” 44.
438
Pendapat Winters tersebut berbeda dengan MatthiasGelzer
1969 [1912] dan terutama Ronald Syme (1939). Lihat Winters, Oligar-
chy, 72. Bedakan dengan Matthias Gelzer, The Roman Nobility, terj.
Robin Seager (Oxford: Basil Blackwell, 1969). Lihat juga Ronald Syme,
The Roman Revolution (Oxford: Oxford University Press, 1939), 7. “In
all ages, whatever the form and name of government, be it monarchy,
republic, or democracy, an oligarchy lurks behind the facade.”
439
Winters, Oligarchy, 83-85
440
Karni dan Achmad, “Ujung Tanduk,” 26-27.
352 Oligarki dan Demokrasi...

dapat persetujuan dari Wawan. Padahal, Atut sudah mempunya


nama tertentu untuk ditempatkan pada jabatan tertentu yang dini-
lainya layak dan kredibel.441 Politik ancaman dan intervensi sudah
menjadi rahasia umum di Banten. “Yang menjadi pemenang dalam
tender proyek-proyek di Pemda Banten adalah siapa yang paling
tajam goloknya.”442Seorang birokrat bertutur, siapa pun yang
ingin menggarap proyek di Banten harus setor 30% kepada jawara
sebelum proses tender. Setelah deal, tambah lagi 10% ke pimpinan
proyek. Setelah Chasan Sochib wafat pada 2011, bos jawara dite-
ruskan kepada Wawan.443
Banyak kasus hukum Tb. Chaeri Wardana belum tuntas
ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah satu-
nya adalah praktik Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang
melibatkan banyak pihak. Banyak orang disinyalir terlibat patgu-
lipat dengan Tb. Chaeri Wardana. Contoh kasat mata adalah Airin
Rachmi Diany, istri Tb. Chaeri Wardana dan Wali Kota Tange-
rang Selatan. Airin diyakini terlibat dalam praktik pencucian uang
tersebut. Paling tidak, dia turut membantu memberikan akses
kepada Tb. Chaeri Wardana sehingga banyak proyek digarap oleh
Wardana. Airin juga diduga ikut menikmati hasil korupsi. Bukti-
nya, Airin banyak mengoleksi mobil-mobil mewah. Ini menunjuk-
kan belum semua aset dia dan suaminya Tb. Chaeri Wardanayang
terkait dengan kasus korupsi disita oleh KPK. Termasuk juga aset-
aset tanah dan aset-aset lain baik bergerak ataupun tidak bergerak
di tangan pihak ketiga. Aset-asetnya masih banyak dan tersebar.
Yang dimaksud pihak ketiga adalah anggota DPRD Provinsi dan

441
Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi
Neraca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, Senin,
30 Oktober 2017.
442
Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi
Neraca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, Senin,
30 Oktober 2017.
443
Karni dan Achmad, “Ujung Tanduk,” 27-28.
Ahmad Munjin 353

pejabat-pejabat di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pro-


vinsi Banten.444
Kasus Tb. Chaeri Wardana selanjutnya adalah akses dana
hibah. Kasus ini tidak langsung melalui Tb. Chaeri Wardana me-
lainkan melalui kerabat-kerabatnya yang sudah memiliki jaringan
luas di Banten. Contohnya adalah dana hibah untuk PMI yang
dikuasai oleh istrinya Andika, Ade Rossi Chairunnisa. Pencairan
dananya diketahui dalam jumlah sangat besar. Begitu juga dengan
organisasi semipemerintah, seperti Karang Taruna, Himpaudi, dan
Kadin. Kadin masih dipegang betul oleh Tb. Chaeri Wardana
walaupun tidak secara langsung.KPK didesak untuk menuntaskan
semua kasus Tb. Chaeri Wardana dan Ratu Atut Chosiyah. Penun-
tasan kasus mereka dinilai sebagai pintu masuk untuk menahan
kekuasaan dinasti yang hegemonik dan monopolis. Yang ditangani
KPK saat ini baru kasus-kasus biasa, seperti korupsi alat-alat
kesehatan (Alkes), Rumah Sakit, penyuapan Akil Muchtar, Ketua
MK, dan pemerasan. Sedangkan untuk kasus TPPU masih belum
tuntas.445Dalam kasus ini, KPK sudah menetapkan Tb. Chaeri
Wardana sebagai tersangka.446
Setelah Tb. Chaeri Wardana dipenjara, praktik Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme (KKN)-nya masih berlanjuthingga seka-
rang. Akan tetapi, praktik tersebut tidak secara langsung dan
terang-terangan mengatasnamakan Tb. Chaeri Wardana melainkan
pihak ketiga sehingga membutuhkan penghubung. Meski tidak
secara langsung, praktik tersebut tetap berada dalam kontrol dan
pengawasan Tb, Chaeri Wardana dari balik penjara. Gubernur
Banten Wahidin Halim sudah mengakui bahwa Tb. Chaeri

444
Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten
Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018.
445
Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten
Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018.
446
Reza Jurnaliston, "Kasus TPPU Wawan, KPK Periksa Kepala
DPKAD Banten," Kompas.com, Senin, 23 Juli 2018, diakses Minggu, 12
Agustus 2018, https://nasional.kompas.com/read/2018/07/23/10255771/
kasus-tppu-wawan-kpk-periksa-kepala-dpkad-banten.
354 Oligarki dan Demokrasi...

Wardana masih bermain proyek di SKPD-SKPD atau OPD-OPD


(Organisasi Perangkat Daerah) di Banten dengan menggunakan
perusahaan kontraktor lain. Dia tidak bisa lagi menggunakan peru-
sahaan keluarga klan Ratu Atut Chosiyah karena akan otomatis
diketahui oleh KPK.447
“Saya dengar dia menggunakan bendera dari luar daerah Banten
untuk bisa mengambil proyek-proyek melalui cara kongkalikong
dengan oknum dinas. Terungkapnya jual beli fasilitas di Suka-
miskin membuktikan bahwa Tb. Chaeri Wardana masih sering
keluar-masuk lapas, dan banyak pejabat-pejabat di Banten yang
sering berkunjung ke sana. Bukan hanya sekadar silaturrahmi, tapi
juga merka membicarakan soal proyek—dari awal perencanaan
dan seterusnya. Dari kamar Lapas Tb. Chaeri Wardana juga diam-
bil berkas-berkasnya oleh KPK. Saya yakin ada nama-nama peru-
sahaan yang ikut bermain di Banten.”448
Soal penjengukan Tb. Chaeri Wardana oleh Organisasi
Perangkat Daerah (OPD) Provinsi Banten yang diduga melan-
jutkan bisnis patgulipatnya, merupakan wewenang pihak Kemen-
kumham melalui Lapas. Soal terdakwa Tb. Chaeri Wardana yang
diduga melakukan itu, kalau di KPK sejauh ada pengaduan dari
masyarakat. Progress-nya pun hanya bisa di-update kepada penga-
duan tidak bisa diinformasikan kepada publik karena belum
berkekuatan hukum tetap (inkracht).449
Peran Tb. Chaeri Wardana sebagai oligark di balik layar
dari klan Ratu Atut Chosiyah masih berjalan. Kalaupun kasus jual
beli fasilitas mewah di penjara Sukamiskin, Bandung sudah lewat,
seiring waktu Tb. Chaeri Wardana diyakini akan kembali berulah.
Banten Bersih dan kalangan LSM lainnya meminta Tb. Chaeri
Wardana dipindahkan ke Nusakambangan untuk memutus mata

447
Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten
Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018.
448
Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten
Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018.
449
Wawancara pribadi dengan Febri Diansyah, Juru Bicara Ko-
misi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Selasa, 7 Agustus 2018.
Ahmad Munjin 355

rantai praktik-praktik koruptif yang selama ini terjadi di Banten.


Dengan cara itu, mereka akan sulit berhubungan dan berkomuni-
kasi. Tb. Chaeri Wardana juga akan mengalami kesulitan untuk
keluar-masuk Nusakambangan. Menurut pihak KPK, desakan
kepada otoritas antikorupsi itu perihal pemindahan Tb. Chaeri
Wardana dari Lapas Sukamiskin, di Bandung ke Pulau Nusakam-
bangan merupakan kewenangan pihak Lapas, bukan KPK.450
Jika tidak dipindahkan, masalahnya adalah SKPD yang
belakangan disebut OPD masih berisi orang-orang yang loyal
kepada Ratu Atut Chosiyah dan Tb. Chaeri Wardana.Namun
demikian, para kepala dinas di SKPD itu juga tidak akan gegabah
berhubungan dengan Tb. Chaeri Wardana. Hanya saja, kalau kasus
jual beli fasilitas mewah di Lapas Sukamiskin Bandung sudah
mulai terlupakan, mereka diprediksi akan memulai kembali aksi
patgulipatnya.451
Di atas semua itu, dengan regenerasi politik yang diikuti
dengan intervensi atas putusan hukum terkait pemenang Pilkada
dan penguasaan atas proyek-proyek pemerintah daerah, keluarga
besar Tubagus Chasan Sochib yang terdefinisikan sebagai oligark
mengonfirmasi efek oligarki, yaitu ketimpangan ekonomi dan
politik yang ekstrem. Hal ini terbukti dari empat kabupaten dan
empat kota di provinsi Banten, hanya Lebak dan kota Tangerang
yang belum jatuh ke tangan dinasti Ratu Atut Chosiyah melalui
jaringan Golkar yang telah membuat Chaeri Wardana bersikeras
dan menyuap Mahkamah Konstitusi (MK). Untuk memudahkan
pemahaman, lihat Bagan 4.4.

450
Wawancara pribadi dengan Febri Diansyah, Juru Bicara Ko-
misi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Selasa, 7 Agustus 2018.
451
Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten
Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018.
356 Oligarki dan Demokrasi...

Bagan 4.4. Alur Politico-Business Oligarchy dan Politik


Pertahanan Harta Keluarga Tb. Chasan Sochib
Business as Usual

Bisnis Berjejaring Tb. Chasan Sochib mendirikan


Kekuasaan PT Sinar Ciomas Raya pada 1967

Ratu Atut Chosiyah

Uang (Kekuasaan
Material/Wealth Power) Tubagus Haerul Jaman

Ratu Tatu Chasanah

Bisnis
Jaringan Heryani
(Kekuasaan
Mobilisasi) Politik
Airin Rachmi Diany

Andika Hazrumy
Kekuasaan Eksekutif
(Oligark dan
Oligarki) Legislatif Hikmat Tomet

Aden Abdul Khaliq

Politico-Business
Oligarchy dan Ratna Komalasari
PT Sinar Ciomas Wahana Putra;
Politik Pertahanan PT Ginding Mas Wahana Nusa;
Harta PT Unifikasi Profesional Media
Consultant; PT Profesional
Indonesia Lantera Raga; PT
Ade Rossi Chairunnisa
Andika Pradana Utama; PT
Pelayaran Sinar Ciomas Pratama;
PT Ratu Hotel; PT Putra Perdana Tanto Warsono Arban
Jaya; PT Bali Pacific Pragama;
Konsentrasi dan PT Buana Wardana Utama.
Kekayaan dan
Kekuasaan Andiara Aprilia Hikmat

Sumber: Diolah dari pembahasan subbab E di atas, Politico-Business Oligarchy


dan Politik Pertahanan Harta
Ahmad Munjin 357

Bagan 4.4. memberikan benang merah bahwa konsentrasi


kekayaan dan kekuasaan yang ekstrem pada keluarga Tb. Chasan
Sochib tidak diraih dengan proses yang instan melainkan berakar
jauh ke masa-masa awal pemerintahan Orde Baru. Dari pekerjaan
biasa (business as usual) bertransformasi menjadi bisnis berjeja-
ring kekuasaan melalui Kodam VI Siliwangi, Pemerintah Jawa
Barat, dan jaringan Golkar. Dari sinilah, Tb. Chasan Sochib mulai
mengakumulasi uang yang menjadi sumber daya kekuasaan mate-
rial (wealth power). Uang kemudian ditransformasikan menjadi
jaringan bisnis dan politik sehingga menjadi sumber daya kekua-
saan mobilisasi. Dengan modal uang dan jaringan, banyak anggota
keluarga Sochib yang mendapatkan kekuasaan baik eksekutif
maupun legislatif dengan basis kekuasaan oligarkis. Mereka pun
terdefinisikan sebagai politico-business oligarchy, yakni politik
dari para oligark yang memiliki unsur-unsur bisnis. Politik perta-
hanan harta pun terjadi—politik dimanfaatkan untuk mendapat-
kan uang dan uang digunakan untuk menopang kelanggengan
politik. Konsentrasi kekayaan dan kekuasaan pun tak terelakkan
pada keluarga mereka sehingga terjadi monopoli baik ekonomi
ataupun politik.

4. Faktor Penentu Kemenangan Airin Rachmi Diany dan Andika


Hazrumy
Pascapenetapan Ratu Atut Chosiyah452 dan Tb. Chaeri
Wardana453 sebagai tersangka, kalangan media menganggap hal

452
KPK menetapkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah
sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait penanganan
sengketa pilkada Lebak. Hal itu disampaikan Ketua KPK Abra-
ham Samad dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta
Selatan, Selasa, 17 Desember 2013. Icha Rastika, "KPK Resmi
Tetapkan Ratu Atut sebagai Tersangka Kasus Pilkada Lebak,"
Kompas.com, Selasa, 17 Desember 2013, diakses Senin, 13 Agus-
tus 2018, https://nasional. kompas.com/read/2013/12/17/1419516/
358 Oligarki dan Demokrasi...

itu sebagai ujung tanduk kekuasaan klan Ratu Atut Chosiyah.454


Akan tetapi, fakta yang terjadi justru sebaliknya. Kekuasaan
mereka masih langgeng, ditandai dengan terpilihnya Airin Rachmi
Diany sebagai wali kota Tangerang Selatan 2016-2021 untuk
periode kedua dan Andika Hazrumy, anak Ratu Atut Chosiyah
sebagai wakil gubernur Banten periode 2017-2022. Secara umum,
faktor utama kemenangan keluarga Tb. Chasan Sochib dalam
pemilihan sehingga melanggengkan kekuasaan klan adalah masih
besarnya sumber daya logistik dan alokatif yang mereka miliki.
Meski sudah dipenjara, sumber daya material455yang dimiliki
masih sangat luar biasa besar. Sumber daya kekuasaan berbasis
kekayaan dan hak milik tersebut masih menjadi alat ampuh untuk
memenangkan Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada). Logistik merupakan salah satu modal utama
baik dalam Pilkada ataupun Pileg. Terbukti beberapa kabupaten/
kota masih mereka kuasai, termasuk kota Tangerang Selatan
hingga kabupaten Pandeglang.456

KPK.Resmi.Tetapkan.Ratu.Atut.sebagai.Tersangka.Kasus.Pilkada
.Lebak.
453
KPK secara resmi menetapkan Ratu Atut Chosiyah dan
adiknya Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan sebagai tersangka
terkait kasus dugaan korupsi dalam proyek pengadaan alat kese-
hatan (alkes) di Provinsi Banten tahun 2011-2013 setelah dikelu-
arkannya Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) pada Senin, 6
Januari 2014. Adinda Ade Mustami, “KPK Tetapkan Atut dan
Wawan sebagai Tersangka,” Kontan.co.id, Selasa, 7 Januari 2014,
diakses Senin, 13 Agustus 2018, https://nasional.kontan.co.id/
news/kpk-tetapkan-atut-dan-wawan-sebagai-tersangka.
454
Asrori S. Karni dan Gandi Achmad, “Ujung Tanduk Dinasti
Atut,” Gatra, 16 Oktober 2013, 25-27. Lihat juga Ratna Nuraini, “Pra-
hara Mendera Dinasti Abah Chasan,” Inilah Review, 20 Oktober 2013,
36-37.
455
Winters, Oligarchy, 18-20.
456
Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten
Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018.
Ahmad Munjin 359

Persoalan langgengnya kekuasaan oligarki dinasti di Banten


sudah terlanjur mengakar dan menggurita. Kekuatan mereka sebe-
narnya sudah terbangun terlebih dahulu sejak era mendiang Tb.
Chasan Sochib. “Sekarang, meraka sedang menikmati hasilnya.”457
Tb. Chasan Sochib memiliki uang yang mumpuni. Pada saat yang
sama, dia juga memiliki banyak kader yang menjadi jaringannya,
yaitu orang-orang yang hidup atas jasanya. Para pengusaha yang
dulu dia kader, sekarang sudah menjadi bos dan memiliki banyak
karyawan. Pada saat yang sama, sistem Pilkada berubah dari sis-
tem perwakilan menjadi dipilih langsung. Untuk memenangkan
Pilkada langsung itu jelas membutuhkan biaya operasional dan
jaringan. Keluarga Tb. Chasan Shohib menguasai dua variabel
penting itu --uang dan networking.458
Sementara itu, money politics459 dalam pengertian vulgar,
mungkin saja ada dalam proses-proses pemilihan. Akan tetapi, hal
itu bukan variabel utama dan penting bagi kesuksesan mereka.
Dalam konteks uang dan jaringan, klan tersebut belum punya
lawan setimpal. Triana Sjam’un datang dengan gagasan dan uang
tetapi tidak punya jaringan terbukti dia kalah. Marissa Haque
datang membawa gagasan dan jaringan tapi tidak punya uang,
juga kalah. Padahal, Marissa, punya jaringan sebagai sosok popu-
ler. Dua variabel uang dan jaringan inilah yang dimiliki oleh para
anggota keluarga Tb. Chasan Sochib. Akibatnya, secara perlahan
oligarki dinasti terbentuk. Tidak ada orang yang bisa mengganti-
kan mereka. Sebab, keluarga Chasan Sochib sudah terlanjur
established. Lambat laun, mereka juga menancapkan kukunya di

457
Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten
Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018.
458
Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara
Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019,
di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017.
459
Christian Chua, “Chinese Big Business in Indonesia: The
State of Capital” (Disertasi Doktor, National University of Singapore,
2006), 170-171.
360 Oligarki dan Demokrasi...

beberapa kabupaten/kota di Provinsi Banten. Pola kepemilikan


uang dan jaringan sebagai strategi pemenangan pemilu berlaku
bagi semua anggota keluarga Tb. Chasan Sochib yang berkecim-
pung di arena politik. Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga
Ratu Atut Chosiyahmerupakan bagian dari mereka dan menjadi
konsultan politik. Fitron melihat bagaimana cara mereka bekerja
untuk memenangkan pertarungan.460
Selain dua variabel tersebut, mereka juga bekerja keras
untuk memenangkan Pilkada, seperti rapat sampai subuh dan
berkeliling menemui konstituen hingga berbagai pelosok. Uang,
jaringan, dan kerja keras diperkuat dengan sikap mereka yang juga
terlebih dahulu adaptif terhadap ilmu pengetahuan. Mereka
menyadari pentingnya aspek ilmu sehingga memiliki survei inter-
nal. Pertarungan Pilkada mereka benar-benar didampingi dengan
survei. Semua ahli dalam bidang vote getter direkrut.461Keluarga
tersebut merekrut semua orang yang memiliki gagasan dan
kapasitas. Itulah faktor-faktor yang menjelaskan mengapa Airin
Rachmi Diany kembali terpilih menjadi Wali Kota Tangerang
Selatan. Padahal, suaminya terjerat hukum dan nama baiknya ter-
gerus oleh pemberitaan negatif di media massa. Begitu juga
dengan Andika Hazrumy yang terpilih menjadi wakil Gubernur
Banten. Padahal, nama baik ibunya Ratu Atut Chosiyah sedang
berada di titik nadir karena berada di penjara. Faktor uang,
jaringan, kerja keras, dan adaptif terhadap pengetahuan menjadi
jawaban kemenangan mereka.462

460
Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara
Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019,
di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017.
461
Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara
Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019,
di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017.
462
Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara
Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan
Ahmad Munjin 361

Sikap adaptif tersebut juga ditandai dengan keluarga ter-


sebut yang terdidik. Di antaranya, Airin Rachmi Diany, seorang
ahli ilmu hukum dan kenotariatan. Begitu juga dengan Andika
Hazrumy yang sedang dalam penyelesaian program doktor ilmu
sosial.463 Pada Sabtu 7 April 2018, bahkan Andika Hazrumy dilan-
tik sebagai Ketua Ikatan Alumni Pascasarjana Universitas Pasun-
dan (Unpas). Andika yang kini berusia 33 tahun adalah lulusan
Program Magister Ilmu Administrasi dan Kebijakan Publik Uni-
versitas Pasundan dan sekarang sedang menempuh program doktor
Ilmu Sosial di universitas yang sama.464

a. Faktor Kunci Kemenangan Airin Rachmi Diany di


Pilwalkot 2015
Selain alasan umum yang disebutkan di atas, terdapat
beberapa faktor spesifik menjadi penopang kemenangan Airin
Rachmi Diany dalam pemilihan umum Wali Kota (Pilwalkot)
Tangerang Selatan 2015. Pilwalkot dilaksanakan pada 9 Desember
2015 untuk memilih Wali kota dan Wakil Wali kotaTangerang
Selatan periode 2016-2021. Pertama yang menjadi salah satu
kuncinya adalah keberhasilan dia melepaskan diri dari bayang-
bayang suaminya, Tb. Chaeri Wardana dan kakak iparnya, Ratu
Atut Chosiyah yang terjerat kasus korupsi. Personal branding
Airin berhasil meyakinkan masyarakat pemilih bahwa dia bukan
faktor statusnya sebagai istri Tb. Chaeri Wardana (Wawan) dan
adik ipar Ratu Atut Chosiyah. Dia didesain sebagai wanita dari

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019,


di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017.
463
Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara
Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019,
di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017.
464
Nimda, “Wakil Gubernur Banten Jadi Ketua Ikatan Alumni
Pascasarjana Unpas,” Unpas.ac.id, Selasa, 10 April 2018, diakses Senin,
13 Agustus 2018, http://www.unpas.ac.id/wakil-gubernur-banten-jadi-
ketua-ikatan-alumni-pascasarjana-unpas/.
362 Oligarki dan Demokrasi...

keturunan baik-baik. Dalam konteks kasus korupsi yang dilakukan


suaminya, Airin justru dikesankan sebagai korban. Airin pun
menjelma menjadi sosok ibu yang perlu mendapat simpati dan iba.
Sebab, dia tabah di tengah terpaan sentimen negatif yang begitu
hebat. Semakin diserang dengan kata kunci oligarki, dinasti, dan
korupsi465 oleh lawan politiknya saat itu, semakin menumbuhkan
harapan rasa simpatik terhadap Airin.
Kedua, pada saat yang sama, Airin bisa menunjukkan
kualitas dan kapasitas dirinya. Airin dinilai berhasil dalam me-
mimpin kota Tangerang Selatan di periode pertama(2011-2016)
karena banyak terobosan-terobosan yang dilakukannya. Oleh kare-
na itu, masyarakat Tangerang Selatan sebenarnya rasional. Airin
pun pada akhirnya, tidak bisa dikaitkan dengan politik oligarki
dinasti secara langsung meskipun suami dan kakak iparnya terjerat
kasus korupsi. Jadi, Airin dan Wawan-Atut dikesankan sebagai
dua hal yang berbeda.466
Kondisi tersebut kontras dengan Vera Nurlaela dalam
Pemilihan Wali Kota Seranguntuk periode 2018-2023. Vera
adalah istri Tb. Haerul Jaman, wali kota Serang dua periodeyang
merupakan adik Ratu Atut Chosiyah beda ibu. Vera yang berduet
dengan Nurhasan dinilai tidak memiliki pengalaman dan tidak
punya kapasitas. Masyarakatpun enggan memilihnya sehingga
kalah dalam Pilwalkot Serang 2018. Kekalahan Vera memberikan
pelajaran, yaitu situasi atau momentum yang bisa menghentikan
dinasti atau klan Ratu Atut Chosiyahadalah ketika masyarakat

465
Penantang Airin-Davnie saat itu, salah satunya adalah pasa-
ngan calon wali kota TangerangSelatan, IkhsanModjo dan Arsid. Pasa-
ngan ini dalam baliho kampanye mereka menuliskan serangan kepada
Airin dengan jargon, “Merdeka itu bebas dari korupsi dan oligarki.” Saat
itu, suami Airin, Tb. Chaeri Wardana sedang dalam proses hukum di
Komisi Pembarantasan Korupsi (KPK).
466
Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem-
baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang
Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus,
2018.
Ahmad Munjin 363

bersikap rasional dan sadar. Kekalahan itu memperlihatkan sikap


masyarakat yang mulai kritis terhadap dinasti. Jadi, saat kepe-
mimpinan tidak memberikan kontribusi kesejahteraan kepada
masyarakat, dinasti atau klan akan mendapatkan sanksi untuk
tidak dipilih di pemilihan periode berikutnya.Padahal, berdasarkan
hasil survei,tingkat elektabilitas Vera-Nurhasan sangat tinggi.
Oleh karena itu, ada peluang untuk menghentikan dominasi ke-
kuasaan klan tersebut.467Kekalahan tersebut juga diduga karena
kurang harmonisnya hubungan Tb. Haerul Jaman dengan Ratu
Atut Chosiyah dan Tb. Chaeri Wardana sehingga tidak banyak
mendapatkan akses logistik.468
Ketiga, alasan lain kemenangan Airin adalah faktor pemi-
lih bapak-bapak. Airin Rachmi Diany merupakan sosok perem-
puan cantik. Alasan ini tampak seperti guyonan. Akan tetapi,
faktanya banyak pertimbangan dari bapak-bapak yang melihat
faktor geulistersebut. Kecantikan turut menentukan kemenangan.
Jadi, secara personality, Airin sangat menarik masyarakat pemilih.
Dia cantik, bertutur lemah lembut, dan lebih tenang ketika meng-
hadapi berbagai serangan kontestan lain. Hal ini bisa jadi meru-
pakan buah dari Airin yang merupakan finalis Puteri Indonesia.
Faktor pribadi yang cantik seperti itu terjadi juga di Pilbup Pan-
deglang tahun 2015. Irna Nuralita, istri Achmad Dimyati Nataku-
sumah, terpilih karena faktor cantik. Pasangan calon (paslon)
nomor urut 2 Irna Nuralita-Tanto Warsono Arban yang diusung 9
partai politik (parpol) itu keluar sebagai pemenang Pilkada
Kabupaten Pandeglang.469 Faktor perempuan yang cantik menjadi

467
Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem-
baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang
Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus,
2018.
468
Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten
Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018.
469
Laurens Dami, “Pasangan Irna-Tanto Menangi Pilkada Pan-
deglang,” BeritaSatu, Jumat, 18 Desember 2015, diakses Sabtu, 11 Agus-
364 Oligarki dan Demokrasi...

salah satu daya tarik bagi masyarakat pemilih. Bukan hanya di


Tangerang Selatan dan Pandeglang, di Luwu Utara juga terpilih
karena faktor cantik.470 Indah Putri Indriani, terpilih sebagai bupa-
ti Luwu Utara periode 2016-2021.

b. Faktor Keterpilihan Andika Hazrumy di Pilgub Banten


2017
Pasangan Wahidin Halim-Andika Hazrumy yang diusung
oleh tujuh Parpol terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur
Banten periode 2017-2021. Pasangan tersebut unggul 50,95 per-
senatas pasangan Rano Karno-Embay Mulya Syarief.Keunggulan
yang hanya terpaut tipis kurang dari satu persen tersebut lebih
ditopang oleh faktor pasangannya, Wahidin Halim (gubernur). Hal
ini terbukti dengan kemenangan mayoritas dari pasangan tersebut
di Kota Tangerang. Penduduk kota Tangerang merupakan yang
terbanyak sehingga bisa mengalahkan daerah-daerah lain di
Banten. Kekalahan Wahidin Halim di tempat-tempat lain, terkom-
pensasioleh kemenangan mutlak di kota Tangerang. Itulah yang
kemudian meyelematkan Wahidin Halim-Andika Hazrumy untuk
menjadi pemenang. Dari sisi ini, faktor Andika jelas tidak signifi-
kan. Jika dibagi kantong-kantong suara, Wahidin di wilayah timur
Banten dan Andika di wilayah barat, ternyata hampir semua
wilayah di Banten bagian barat mengalami kekalahan. Ini mem-
buktikan Andika tidak menang di wilayah barat Banten. Satu-
satunya yang menang mutlak ternyata di kantong suara Wahidin,
yakni Kota Tangerang.471

tus 2018, http://www.beritasatu.com/ aktual/333070-pasangan-irnatanto-


menangi-pilkada-pandeglang.html.
470
Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem-
baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang
Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus,
2018.
471
Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem-
baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang
Ahmad Munjin 365

Meski kalah di kantong-kantong suara Andika, taktik dan


strategi Tim Pemenangan secara keseluruhan termasuk Parpol,
dinilai berhasil. Tim dianggap sukses dalam mendulang suara pe-
milih, terutama suara early voters. Pilihan baru biasanya diten-
tukan pada detik-detik terakhir. Selain itu, keberhasilan ini juga
didukung oleh kepiawaian tim media sosial Wahidin-Andika
dalam mensosialisasikan Paslon. Kemenangan dipengaruhi oleh
kemampuan tim lapangan dalam menjaga daerah-daerah tradisi
partai-partai pendukung Wahidin-Andika di Banten. Kemenangan
ini menunjukkan masih kuatnya dukungan politik pada dinasti
Ratu Atut Chosiyah. Dia notabene merupakan orang tua dari
Andika Hazrumy, sekaligus mantan Gubernur Banten. Suara dapat
diraih terutama di daerah-daerah yang dipimpin oleh keluarga dari
klan Ratu Atut Chosiyah.472 Semua itu, digenapi oleh kemenangan
mutlak di kota Tangerang yang berpenduduk paling banyak di
Banten.
Di atas semua itu, kemenangan Airin dan Andika menun-
jukkan penguasaan atas berbagai sektor logistik (sumber daya
kekuasaan material) oleh klan Ratu Atut Chosiyah. Yang bisa
direbut, mereka rebut. Klan ini tidak memberikan kesempatan
kepada pihak lain untuk pengelolaan dana-dana Pemda Provinsi
Banten. Akibatnya, perkembangan korupsi di Provinsi Banten
masih jauh dari menggembirakan. Klan Ratu Atut bahkan dipre-
diksibisa berkuasa hingga 80 tahun ke depan. Meski Ratu Atut
dan Tb. Chaeri Wardana sudah dipenjara, agenda-agenda dari klan
tersebut tetap berjalan. Mereka berkuasa di berbagai macam
sektor, baik eksekutif maupun legislatif. Begitu juga dengan
penguasaan terhadap organisasi-organisasi bentukan pemerintah

Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus,


2018.
472
Dendy Fachreinsyah, “Pengamat: Ada 3 Faktor yang Buat
Wahidin-Andika Unggul,” RRI.co.id, Rabu, 15 Februari 2017, diakses
Minggu, 13 Agustus 2018, http://www.rri.co.id/post/berita/361686/
pilkada_serentak/pengamat_ada_3_faktor_yang_buat_wahidinandika_un
ggul.html.
366 Oligarki dan Demokrasi...

baik bersifat bisnis ataupun sosial. “Intinya, semua akses mereka


kuasai.”473
Jika tidak ada yang coba melakukan perlawanan atau
pengungkapan kasus korupsi lain oleh KPK, klan Ratu Atut
Chosiyah diprediksi akan mulus hingga 80 tahun ke depan dari
generasi ke generasi--mulai dari anak, cucu, kemudian cicit dan
seterusnya. Jika anak-anak mereka sudah berumur 17 tahun, bisa
jadi mereka bukan hanya memiliki hak untuk memilihtapi juga
hak untuk dipilih.474Sekarang, Andika Hazrumy menjadi wakil
gubernur; Ade Rossi Chairunnisa menjabat ketua DPRD Provinsi
Banten; Andiara Aprilia Hikmat nantinya bisa menjadi Bupati;
dan begitu seterusnya termasuk anak-anak, cucu-cucu, hingga
cicit-cicit mereka. Kekuasaan dan bisnis mereka yang sudah me-
nggurita menjadi daya dukungnya. Tidak ada niat sedikitpun dari
mereka untuk melepaskan kekuasaan. Tidak ada niat untuk mem-
berikan kesempatan kepada mereka yang baik, memiliki integritas,
kapabilitas dan kapasitas untuk memimpin Banten.475Publik ting-
gal melihat, apakah Andika Hazrumy akan terpilih kembali di
pemilihan mendatang. Begitu juga dengan klan Atut lainnya pada
level legislatif (dewan), seperti DPR, DPRD, dan DPD.476
Menghentikan dominasi dinasti ini juga merupakan
keinginan kelas menengah perkotaan. Di kalangan kelas mene-
ngah, masyarakat kritis dan LSM berkeinginan untuk menghen-
tikan dominasi mereka. Hanya saja, keinginan kelas menengah
tersebut tidak mendapat dukungan dari kalangan masyarakat

473
Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten
Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018.
474
Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten
Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018.
475
Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten
Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018.
476
Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lemba-
ga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang
Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus,
2018.
Ahmad Munjin 367

awamyang tidak tahu persoalan dan isu kekuasaan dinasti.


Masyarakat awam cenderung pragmatis sehingga faktor oligarki
dinasti tidak menjadi perhatian utama mereka—ada perhatian tapi
di posisi nomor 2 atau 3 atau bahkan nomor kesekian.Saat Pilgub
Provinsi Banten 2017, masyarakat dihadapkan pada dua pilihan:
dinasti atau PKI. Masyarakat awam cenderung memilih dinasti.
Isu yang merebak saat itu, Rano Karno didukung oleh PKI. “Itu
isu yang dikembangkan.”477
Sekarang, dikabarkan hubungan Gubernur-Wagub sedang
tidak harmonis. Di satu sisi, hal ini dibaca sebagai akibat dari
perlawanan Wahidin Halim terhadap klan Ratu Atut sehingga
masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Di lain sisi, Wagub mulai
‘menggoyang’ supremasi gubernur. Pola yang dilakukan oleh
Wakil Gubernur Andika Hazrumi ini hampir mirip dengan yang
dilakukan ibunya Ratu Atut Chosiyah. Saat menjadi Wagub, Atut
menunggu gubernur jatuh sebelum dia kemudian menggantikan-
nya sebagai penjabat. Wahidin-Andika pun tinggal menunggu
siapa yang jatuh terlebih dahulu. Sebelumnya, KPK pernah berjan-
ji akan mengumumkan Cagub-Cawagub yang akan ditetapkan
sebagai tersangka. Dalam konteks ini, Andika Hazrumy, Wakil
Gubernur Banten juga diduga terlibat dalam praktik korupsi pada
zaman ibunya.478Menurut KPK, cagub-cawagub yang terlibat ko-
rupsi memang akan diumumkan. Akan tetapi, mereka yang sudah
ditetapkan sebagai tersangka sesuai dengan peraturan yang berla-
ku.479
Kuncinya sekarang berada di tangan KPK sebagaimana
terbongkarnya kasus korupsi Ratu Atut Chosiyah dan Tb. Chaeri

477
Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem-
baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang
Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus,
2018.
478
Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten
Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018.
479
Wawancara pribadi dengan Febri Diansyah, Juru Bicara Ko-
misi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Selasa, 7 Agustus 2018.
368 Oligarki dan Demokrasi...

Wardana. Meski LSM sering membuat laporan kepada KPK, bukti


permulaan kadang belum cukup.480Menurut pihak KPK, tim dari
otoritas antirasuah itu sudah masuk ke Provinsi Banten untuk
melakukan koordinasi dan supervisi pencegahan tindakan korupsi.
Tim serupa memiliki tugas untuk melakukan pembenahan dan
perbaikan proses goodgavernancedi sejumlah daerah termasuk di
Banten—mulai dari pembenahan sistemhingga lain-lainnya.
“Progress-nya sejauh ini, ada beberapa hal yang belum dilakukan
dan ada beberapa hal yang sudah dilakukan. Untuk hasilnya,
belum bisa kami rilis. Nanti akan kami rinci lebih lanjut di waktu
yang terpisah.”481
Masyarakat tetap menunggu momentum saat klan Ratu
Atut Chosiyah bisa berakhir. Saat itulah, yang menjadi kepala
daerah adalah orang-orang hebat, punya integritas, pendidikan
yang memadai, dan kemampuan untuk mengurusi rakyatnya.
Bukan berkuasa untuk kepentingan keluarga dan klannya.482
Sementara itu, masyarakat sipil (civil society) menunjukkan kon-
disi agak miris. Sebelum pencalonan gubernur dan wakil gubernur
2017, masyarakat sipil bersatu dan bersuara lantang anti-dinasti.
Sekarang, suara lantang tersebut mengalami fragmentasi. Wahidin
Halimyang dulu anti-dinasti malah bersanding dengan dinasti dan
tentu saja membawa gerbong LSM-nya.Masyarakat sipil terkoop-
tasi oleh dinasti dan menjadi pihak yang berkuasa. Di lain sisi,
masyarakat sipil lainnya terus melakukan perlawanan, seperti
Banten Bersih dan Golagong melalui Rumah Dunia. Golagong
adalah tokoh sentral di Banten yang paling keras melawan dinasti.
Berbagai elemen masyarakat sipil terus menyampaikan perkem-

480
Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten
Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018.
481
Wawancara pribadi dengan Febri Diansyah, Juru Bicara Ko-
misi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Selasa, 7 Agustus 2018.
482
Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten
Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018.
Ahmad Munjin 369

bangan pengawasan tindakan koruptif ke KPK baik dalam kegia-


tan formal ataupun informal.483
Merespons perlawanan dari masyarakat sipil, klan Ratu
Atut Chosiyah sekarang dalam posisi bertahan. Mereka tidak
melakukan counter attack terhadap masyarakat sipil. Soal jual beli
fasilitas mewah di Sukamiskin, mereka tidak melakukan counter-
issue. Mereka hanya memantau dan tidak melakukan serangan
balik ke elemen masyarakat sipil, seperti LSM. Kondisi ini ber-
beda dengan keadaan saat Ratu Atut Chosiyah berkuasa. “Jika
saat itu berbicara seperti ini, saya diteror, didatangi jawara bergo-
lok. Teman-teman LSM yang kritis dikejar-kejar, seperti Gola-
gong diancam mau diserang oleh pendekar-pendekar. Termasuk
juga aktivis lainnya, seperti Uday Suhada dari Alipp. Dia punya
pengalaman dan banyak data. Mereka menggunakan pola-pola ke-
kerasan, termasuk juga isu-isu santet.”484
Di mana-mana, politik oligarki dinasti bisa bertahan
manakala mereka bisa meningkatkan kualitas kepemimpinannya.
Dia punya kapasitas pribadi dan mampu membawa kesejahteraan
bagi masyarakatnya. Di Amerika Serikat, John Fitzgerald Kenne-
dy, presiden ke 35 menjadi contoh. Dia seorang oligark tapi
memiliki kualitas yang bagus. Ketika memimpin berhasil mense-
jahterakan, masyarakat pun tidak akan protes. Problem oligarki
dinasti di Indonesia adalah kekuasaan yang tidak dibarengi dengan
kapasitas dan kualitas pribadi serta kemampuan memimpin untuk
mensejahterakan masyarakat.485
Pada dinasti atau klan Ratu Atut Chosiyah, baru Airin
Rachmi Diany yang dinilai paling mendekati kapasitas dan kuali-

483
Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten
Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018.
484
Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten
Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018.
485
Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem-
baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang
Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus,
2018.
370 Oligarki dan Demokrasi...

tas pemimpin. Keberhasilan Airin tersebut juga didukung oleh


kecakapan wakilnya, Benjamin Davnie. Dia seorang teknokrat dan
mantan kepala Bappeda Kota Tangerang dan merupakan anak
didik Wahidin Halim. Davnie mengetahui bagaimana memproses
pembangunan. Bisa jadi, di balik kehebatan wali kota terdapat
wakil walikota yang hebat. Benjamin Davnie yang lowprofileitu
jadi contoh nyata. Keberhasilan pun disematkan kepada Airin.
Secara kasat mata, kepemimpinan Airin di Tangerang Selatan
diapresiasi. Seorang wali kota perempuan yang kemudian berhasil.
Airin dinilai bisa memberikan warna terhadap dinasti politik di
Banten sehingga pengaruh klan tidak lagi terlalu negatif untuk
dirinya.486 Meski begitu, lokus kekuasaan klan Ratu Atut
Chosiyah masih berada di tangan Tb. Chaeri Wardana atas restu
Ratu Atut Chosiyah. Pejabat-pejabat Banten tetap akan datang ke
Lapas Ratu Atut di Tangerang dan Tb. Chaeri Wardana di Lapas
Sukamiskin, Bandung. Ratu Atut-Tb. Chaeri Wardana alias
Wawan adalah 11-12.487
Menurut Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu
Atut Chosiyah, setelah berhasil mempertahankan dan memenang-
kan estafet kekuasaan, satu hal yang penting bagi klan Atut
Chosiyah sekarang adalah melakukan reformasi internal (internal-
reform). Itulah deklarasi mereka setelah klan ini mendapatkan
‘musibah’, yakni Ratu Atut dan Tb. Chaeri Wardana yang terjerat
hukum. Mereka diklaim belajar dari kesalahan yang sudah mereka
lakukan. Bahwa mereka mendominasi kekuasaan, itu semacam
hukum alam yang berjalan dengan sendirinya. Kepemilikan uang,
networking, kerja keras, sikap adaptif terhadap ilmu pengetahuan
dan survei mengantarkan mereka pada kekuasaan.

486
Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem-
baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang
Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus,
2018.
487
Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten
Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018.
Ahmad Munjin 371

“...salahnya apa mereka dominan, wong mereka juga kerja keras


dan sama-sama melakukan kampanye secara fair. Tapi, kemudian
hanya moralitas kepatutan yang seharusnya menghentikan mereka.
Tidak patut, kekuasaan di suatu daerah hanya dikuasai oleh satu
keluarga. Dan, manusia semua sama. Punya ambisi. Sedangkan
ambisi itu jauh lebih panjang umurnya daripada umur manusia itu
488
sendiri, yang tidak hanya dimiliki mereka sebenarnya.
Fitron menegaskan, demokrasi di Indonesia masih ramah
terhadap dominasi kekuasaan oligarkis berbasis sumber daya
kekuasaan material atau wealth power. Dengan alasan Hak Asasi
Manusia (HAM) sistem politik di Tanah Air hanya membatasi
seseorang untuk menjabat dua periode kekuasaan. Akan tetapi,
boleh dilanjutkan oleh anggota keluarganya yang lain sehingga
memungkinkan terciptanya politik oligarki dinasti, yakni kekua-
saan yang dipegang oleh segelintir orang terkaya dan didasarkan
pada garis keturunan. Itu tidak ada larangan di Indonesia. Oligarki
tumbuh dan berkembang di alam demokrasi yang kondusif. Jika
sebelumnya aturan dirancang melarang politik dinasti, sekarang
larangan tersebut ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Akibatnya, demokrasi yang dianut ini sangat ramah terhadap
oligarki. Tren ini bukan hanya terjadi di Provinsi Banten. Cara
menghentikannya adalah melalui kemampuan politisi lain untuk
bisa melakukan pendidikan politik kepada masyarakat dan me-
nyadarkannya. Akan tetapi, jika kemudian ternyata para oligark
yang justru lebih adaptif dan belajar menjadi pemimpin baik,
mereka punya uang, jaringan, kemampuan, jangan heran jika mere-
ka dominan. Sebab, pada awalnya, para oligark juga tidak sehebat
sekarang. Lama-kelamaan mereka belajar. Adaptif terhadap ilmu
pengetahuan, mereka kuliah hingga jenjang S3 (Doktor) seperti
yang sebentar lagi bakal diraih oleh Andika Hazrumy. Pemerin-

488
Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara
Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019,
di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017.
372 Oligarki dan Demokrasi...

tahan Airin Rachmi Diany juga dinilai bagus dan dia sendiri
merupakan orang yang sangat terdidik.489
Semua itu bersandar pada pilar utama yang menopang
langgengnya kekuasaan klan Ratu Atut Chosiyah, yaitu faktor
mengguritanya sumber daya kekuasaan material490 yang mereka
miliki. Di satu sisi, keluarga mereka bergerak di bidang bisnis
sehingga menguasai ekonomi secara monopoli melalui proyek-
proyek di Provinsi Banten. Itulah yang membuat mereka mengua-
sai sumber daya material. Di lain sisi, kecenderungan masyarakat
Banten adalah pragmatis. Terjadilah apa yang disebut simbiosis
mutualisme. Para pemilih di Provinsi Banten cenderung tidak
melihat siapa calon atau partai pengusungnya tetapi sejauh mana
calon tersebut memberikan keuntungan material kepada mereka.
Sikap pragmatis tersebut terkonfirmasi saat klan Ratu Atut
Chosiyah bukan hanya memenangkan pemilihan melalui satu
partai, yakni Golkar tetapi juga terpilih melalui partai lain. Kondi-
si ini menunjukkan bahwa keterpilihan calon dari klan Ratu Atut
Chosiyah tidak terkait dengan ideologi ataupun partai melainkan
karena mereka mampu membeli suara (political buying). Itulah
mengapa perilaku political buying491 sangat tinggi di Banten.492

489
Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara
Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019,
di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017.
490
Winters, Oligarchy, 18-20.
491
Pedro C. Vicente menyebut political buying dengan istilah
vote-buying yang didefinisikan sebagai pemberian atau hadiah yang
diberikan kepada para pemilih sebelum pemilihan berlangsung untuk
ditukar atau dengan imbalan suara mereka ( gifts given to voters before
the elections in exchange for their votes). Lihat Pedro C. Vicente, “A
Model of Vote-Buying with an Incumbency Advantage,” Makalah dan
Hasil-hasil Eksperimen Januari 2013, diakses 3 Juni 2014, http://www.
pedrovicente .org/vb.pdf.
492
Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem-
baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang
Ahmad Munjin 373

Akan tetapi, jika klan tersebut dinilai kurang berhasil


dalam memimpin pemerintahan, terutama masyarakat perkotaan
menjadi sadar, rasional, dan cerdas. Masyarakat bisa melakukan
resistensi atau penolakan. Hasil pemilihan wali kota Serang yang
diumumkan secara resmi pada 5 Juli 2018 menjadi contoh konkrit.
Istri Walikota Serang Tubagus Hairul Jaman, Vera Nurlaela, yang
juga merupakan adik ipar dari Ratu Atut Chosiyah berduet dengan
Nurhasan ternyata tidak terpilih.493 Padahal, partai pengusung
lebih banyak dibandingkan pemenangnya. Kekalahan tersebut
memberikan pelajaran bahwa kalaupun dengan besarnya sumber
daya material,494 mengooptasi semua lini, jika klan gagal me-
mimpin daerahnya, masyarakat rasional akan melakukan perlawa-
nan. Kalaupun menang, meraka tidak akan unggul mutlak.495
Ada beberapa kasus di tempat lain, di mana besarnya
sumber daya kekuasaan material mengalami kekalahan. Makassar
sebagai salah satu contoh. Pasangan calon Munafri Arifuddin dan
Andi Rachmatika Dewi mengalami kekalahan.496 Ironisnya, keka-
lahan tersebut melawan kotak kosong. Padahal, Munafri merupa-
kan keponakan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan sudah memborong
mayoritas partai. Kekalahan ini juga menunjukkan perlawanan

Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus,


2018.
493
Rasyid Ridho, “Adik Ipar Ratu Atut Keok di Pilkada Kota
Serang 2018,” Okezone News,Kamis 5 Juli 2018, diakses pada Jumat, 10
Agustus 2018, https://news.okezone.com/read/2018/07/05/340/1918355/
adik-ipar-ratu-atut-keok-di-pilkada-kota-serang-2018.
494
Winters, Oligarchy, 18-20.
495
Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem-
baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang
Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus,
2018.
496
Teuku Muhammad Valdy, “Ketika Kotak Kosong Jadi Juara
di Makassar,” KumparanNews, Kamis, 28 Juni 2018, diakses Jumat, 10
Agustus 2018, https://kumparan.com/@kumparannews/ketika-kotak-
kosong-menang-jadi-juara-di-makassar-27431110790534150.
374 Oligarki dan Demokrasi...

masyarakat terhadap politik hegomoni berbasis kekuasaan mate-


rial dari klan Jusuf Kallla dan Aksa Mahmud. Di Banten pun, di
wilayah perkotaan, politik dinasti mengalami perlawanan, seperti
di kota Serang dan kota Cilegon. Kecuali di wilayah-wilayah
kabupaten karena masyarakatnya cenderung permisif terhadap
politcal buying. Sebab, penduduk kabupaten masih cenderung
miskin. Oleh karena itu, jika politik dinasti tidak diimbangi
dengan prestasi, dia akan gagal.
“Itu jadi tesis saya. Saya sebenarnya tidak menentang politik di-
nasti, selama mereka bersih dan berhasil memimpin. Saya menen-
tang politik dinasti ketika dia gagal melakukan tugasnya. Gagal
melakukan kepemimpinan yang mensejahterakan. Saya apresiasi
Airin, tapi saya tidak mengapresiasi untuk Haerul Jaman. Sebab,
dia tidak melakukan pekerjaan atau tugas-tugas wali kota sebagai-
mana mestinya. Dia gagal.”497
Dari sisi sumber daya logistiknya, klan Ratu Atut
Chosiyah masih sangat kuat. Guyonannya, bahkan tak terbatas
(unlimited) sehingga mereka bisa melakukan perluasan kekuasaan
(proliferasi) bukan hanya di satu partai (Golkar) melainkan me-
nyebar di partai-partai lain, seperti Gerindra, PAN, dan lain-lain.
Mereka juga, bukan hanya menguasai jabatan di level DPRD, tapi
juga DPR dan DPD. Begitu juga pada level eksekutif, mulai bupati
dan walikota hingga wakil gubernur dan gubernur. Mereka luar
biasa ekspansif menempatkan orang-orangnya. Dalam pemilihan
langsung, tidak bisa dipungkiri siapa yang punya uang dia yang
terpilih. Klan Ratu Atut Chosiyah memiliki banyak powerre-
sources.498 Terbukti, mereka paling banyak memasang iklan dalam
bentuk pamflet, banner, baliho dan spanduk.499
497
Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem-
baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang
Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus,
2018.
498
Winters, Oligarchy, 11-20.
499
Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem-
baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang
Ahmad Munjin 375

Lili Romli, intelektual asal Serang, Banten termasuk pihak


yang kurang optimistis dengan kualitas demokrasi di Banten.
Akan tetapi, ada geliat dari kelompok-kelompok kritis di Banten,
seperti LSM-LSM dan anak-anak muda yang punya kepedulian
tinggi terhadap demokrasi. Begitu juga dengan media masa lokal
yang terus melakukan kritik. Atas dasar itu, perkembangan de-
mokrasi di Banten diyakini akan tumbuh dan berkembang. Hanya
saja, tumbuh-kembangnya memang tidak secepat kilat. Problem-
nya sekarang adalah belum ada lawan yang setimpal untuk
melawan hegemoni klan Ratu Atut Chosiyah di Banten. Sebelum
Pilgub 2017, Wahidin Halim diharapkan melakukan perlawanan
terhadap hegemoni. Akan tetapi, dia kemudian justru berkompro-
mi dengan dinasti. Meski begitu, bisa juga Wahidin bergabung
dalam rangka mencegah hegemoni dinasti politik di Banten
meskipun dilakukan secara diam-diam. Dikabarkan, Wahidin
Halim-Andika Hazrumi mengalami pecah kongsi di pemerintahan.
Hal itu bisa saja menjadi sinyal perlawanan terhadap hegemoni
oligarki dinasti. Tidak mau tunduk dan patuh meski dia berpasa-
ngan dengan dinasti politik. Jika itu yang terjadi, diharapkan
Wahidin konsisten melakukan perlawanannya.500
Secara prosedural, oligarki dinasti tidak bertentangan
dengan demokrasi. Hanya kepatutan moralitas dan sikap menahan
diri seseorang yang bisa menghentikan kekuasaan mereka. Apala-
gi, tren ini bukan hanya terjadi pada keluarga Ratu Atut Chosiyah.
Di mana-mana juga sama. Gubernur Sumsel Alex Noerdinjuga
dulu menginginkan anaknya untuk melanjutkan kekuasaan.501

Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus,


2018.
500
Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem-
baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang
Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus,
2018.
501
Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara
Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan
376 Oligarki dan Demokrasi...

Posisi wakil gubernur Banten dipegang oleh Andika Hazrumy,


anak Ratu Atut Chosiyah. Adik Andika, Andiara Aprilia Hikmat
sedang mempersiapkan diri untuk maju pencalonan menjadi ang-
gota DPD. Begitu juga dengan menantu dan para anggota keluarga
lainnya. Mencalonkan diri sebagai kepala daerah, anggota DPD,
DPRD, dan DPR tidak ada yang melarang karena merupakan hak
setiap warga negara. Hak setiap orang untuk memilih dan dipilih.
Yang menjadi pertanyaan lumrah setiap orang adalah mereka
terpilih dengan cara-cara yang kotor, seperti money politics.
Mereka juga menggunakan akses di pemerintahan untuk menda-
patkan kekuasaan dan kekayaan. Dana-dana hibah masih diguna-
kan untuk modal logistik politik, seperti Pileg tahun 2019.502
Secara substansial, kekuatan material yang melakukan
political buying jelas mencederai kualitas demokrasi baik dari sisi
partisipasi ataupun kontestasi atau kompetisi. Kalau mengguna-
kan teori partisipasi503Samuel P.Huntington dan Joan M. Nelson,
terdapat dua partisipasi, yaitu pemilih otonom dan pemilih
dimobilisasi. Pertama, partisipasi politik otonom, yaitu partisipasi
politik yang dilaksanakan tanpa paksaandan berdasarkan kemauan
partisipan secara mandiri.Partisipan berpartisipasi secara sukarela
tanpa adayang menggerakan atau memaksa. Kedua, partisipasi
politik mobilisasi, yaitu partisipasi politik yang digerakan oleh
pihak-pihak diluar partisipan. Partisipan melaksanakan partisipa-

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019,


di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017.
502
Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten
Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018.
503
Political participation is activities designed by private citi-
zens to influence government decision making (Partisipasi politik adalah
kegiatan yang dilakukan oleh pribadi warga negara untuk memengaruhi
pengambilan kebijakan pemerintah). Lihat Amir H. Ahanchian, ulasan
tentang No Easy Choice, Political Participation In Developing Countries,
oleh Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, Western Political
Quarterly 31, no. 1 (Maret 1978): 136-7.
Ahmad Munjin 377

sinya tidak berdasarkan kemauan danaspirasinya sendiri.504 Dari


sisi ini, masyarakat Banten sebagai pemilih jelas tidak otonom
melainkan dimobilisasi atau digerakkan melalui uang. Walhasil,
partisipasi mereka tidak murni.505
Dari sisi kontestasi dan kompetisi, demokrasi menghen-
daki keadilan dan keseimbangan. Di Provinsi Banten, kontestasi
tersebut berlangsung tidak seimbang. Dalam banyak kasus, di satu
sisi, klan Ratu Atut Chosiyah mencipkan blok dengan dukungan
dari banyak partai. Di lain sisi, calon lain diusung oleh sangat
sedikit partai. Oleh karena itu, kontestasi itu menjadi tidak
berimbang. Tidak imbangnya kontestasi termasuk juga dipicu oleh
timpangnya sumber daya kekuasaan material--yang satu mengua-
sai sumber daya ekonomi sebesar-besarnya sedangkan yang lain
tidak. Itulah yang kemudian membuat demokrasi cacat secara
substantif.506
Secara prosedural memang terjadi pemilihan. Akan tetapi,
mereka kemudian menghalalkan segala cara. Salah satunya dengan
political buying. Apalagi, masyarakat Banten memang permisif
dengan money politics. Tidak malu-malu lagi mengafirmasi de-
ngan mengatakan ya saat menjawab pertanyaan apakah Anda akan
memilih kandidat yang memberi uang. Di Banten, berdasarkan
survei-survei, jumlah masyarakat pemilih yang sangat permisif
dengan politik uang mencapai 65%. Hal ini ditunjukkan juga oleh
disertasi Burhanuddin Muhtadi. Sikap permisif itu memang wajar

504
Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, No Easy Choice:
Political Participation in Developing Countries (Cambridge: Harvard
University Press, 1976), 7-10.
505
Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem-
baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang
Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus,
2018.
506
Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem-
baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang
Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus,
2018.
378 Oligarki dan Demokrasi...

karena mayoritas masyarakat Banten masih miskin.507 Tingginya


tingkat kemiskinan menguntungkan klan Ratu Atut Chosiyah
dengan menguritanya profil sumber daya kekuasaan material yang
dimilikinya. Bisa jadi, kemiskinan di provinsi ujung barat pulau
Jawa itu dibiarkan tinggi demi kelanggengan kekuasaan dinasti
atau klan tersebut.
Pembahasan bab IV di atas menunjukkan secara hampir
sempurna beroperasinya teori oligarki Jeffrey A. Winters seperti
yang sudah dibahas pada bab II. Pertama, oligarki terbentuk saat
adanya ketidaksetaraan materi yang ekstrem (stratifikasi mate-
rial). Semua data menunjukkan ketimpangan tersebut, seperti
Gini Coefisien Ratio; PDRB atas dasar harga berlaku menurut
kabupaten/kota di provinsi Banten (triliun rupiah) tahun 2012-
2016; PDRB tanpa komponen industri atas dasar harga berlaku
menurut kabupaten/kota di provinsi banten (triliun rupiah) tahun
2012-2016; Pengeluaran per kapita yang disesuaikan menurut
kabupaten/kota di provinsi Banten (juta rupiah/tahun), 2013-2016;
PDRB per kapita (juta rupiah) di provinsi Banten tahun 2016; dan
jumlah penduduk miskin menurut kabupaten/kota di provinsi
Banten (ribu orang) sejak 2013 hingga 2016.Stratifikasi material
yang paling ekstrem terjadi antara Banten wilayah utara terutama
kabupaten Tangerang dan kota Tangerang dan wilayah selatan,
kabupaten Lebak dan kabupaten Pandeglang.
Kedua, ketidaksetaraan material menciptakan para oligark
dan sistem oligarkis. Para anggota keluarga Tb. Chasan Sochib
terkonfirmasi sebagai para oligark di Banten. Keluarga ini menca-
pai kadar oligarki yang dibuktikan dengan indeks kekuasaan mate-
rial sebesar 6.355 kali. Para oligark tentu bukan hanya pada
keluarga tersebut di Banten. Dalam penelitian ini, klan Ratu Atut
Chosiyah hanya merupakan salah satu sampel. Mereka terbukti
menciptkan sistem pemerintahan oligarkis karena sumber daya

507
Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem-
baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang
Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus,
2018.
Ahmad Munjin 379

kekuasaan mereka ditopang oleh wealth power yang sudah terba-


ngun sejak awal-awal pemerintahan rezim Orde Baru.
Ketiga, mereka juga terkonfirmasi sebagai politico busi-
ness oligarchy dan menjalankan politik pertahanan harta. Setelah
perusahaan Tb. Chasan Sochib memiliki jaringan dengan kekuasa-
an pada era Orde Baru, proyek pun melimpah sehingga menjadi
mesin uang. Uang tersebut digunakan untuk membangun jaringan
baik bisnis ataupun politik. Tibanya era reformasi, dengan modal
uang dan jaringan, memberikan ruang bagi para anggota keluarga
Tb. Chasan Sochib untuk berkuasa melalui jalur demokratis. Di
sinilah terjadi politik pertahanan harta. Melalui kekuasaan mereka
mendapatkan proyek-proyek perusahaan mereka, dan uang yang
dihasilkan digunakan untuk mobilisasi politik. Begitu juga seba-
liknya. Tak tanggung-tanggung, mereka juga mengintervensi hu-
kum. Terjadilah apa yang disebut rezim pertahanan harta. Sebab,
motif kekuasaan oligarkis adalah kekayaan yang didasarkan pada
penegakan klaim terhadap hak milik.
Keempat, kasus Banten membuktikan efek oligarki, yaitu
ketidaksetaraan materi yang ekstrem menciptakan ketidaksetaraan
politik yang ekstrem pula. Indeks kekuasaan material sebesar
6.355 kali yang menunjukkan ketimpangan tajam dibandingkan
masyarkat biasa telah memicu dominasi kekuasaan politik mereka.
Dari empat kabupaten dan empat kota di provinsi Banten, hanya
Kabupaten Lebak dan kota Tangerang yang belum jatuh ke tangan
dinasti Ratu Atut Chosiyah. []
380 Oligarki dan Demokrasi...
Ahmad Munjin 381

Bab V
PENUTUP

Berdasarkan uraian dan analisis pada bab-bab sebelumnya,


peneliti mengemukakan kesimpulan, refleksi, implikasi, dan reko-
mendasi dari hasil penelitian ini sebagai berikut:

A. Kesimpulan
Hasil temuan dalam penelitian ini menyimpulkan tentang
besarnya dominasi kekuasaan material yang menjadi basis sumber
daya kekuasaan oligarkisdalam sistem demokrasi di Banten.
Kesimpulan tersebut ditarik dari temuan-temuan berikut ini:
Pertama, dengan melihat profil sumber daya kekuasaan, di
satu sisi, kiai mendominasi sumber daya kekuasaan elite yang
menjadi basis kekuasaan demokratis, seperti kekuasaan mobilisasi,
hak politik formal, dan jabatan resmi. Akan tetapi, profil kiai
lemah dari sisi kekuasaan material sejak era kolonial hingga era
reformasi. Meski kiai secara kelembagaan (pondok pesantren)
mendominasi kekuasaan material hingga 86%, tidak bisa diklaim
sebagai kekuasaan seorang kiai pada level individu.Di lain sisi,
profil kekuasaan jawara mendominasi kekuasaan material, koersif,
dan mobilisasi. Kekuasaan seorang jawara direpresentasikan oleh
kepengusahaan jawara dan jaringan bisnisnya. Kondisi itu membu-
at kekayaan terkonsentrasi pada mereka hingga mencapai indeks
kekuasaan material 6.355 kali dibandingkan masyarakat biasa.
Adapun kekuasaan koersif dimiliki oleh sifat kejawaraannya yang
melekat unsur kekerasan ataupun pemaksaan baik secara langsung
ataupun tidak langsung (simbolik). Dari sisi kekuasaan mobilisasi
baik kiai ataupun jawara, keduanya sama-sama besar. Kekuasaan
mobilisasi kiai direpresentasikan oleh wewenang kharismatiknya
sebagai pemimpin agama yang sakral dan jaringan ribuan pesan-
tren di Banten. Sedangkan kekuasaan mobilisasi jawara direpre-
sentasikan oleh otoritas tradisionalnya sebagai pemimpin dariga-
382 Oligarki dan Demokrasi...

ma yang profan dan jaringan bisnisnya yang ekspansif. Sementara


itu, dari sisi hak politik formal yang menganut prinisp one person
one vote, baik kiai maupun jawara sama-sama memilikinya. Se-
bab, sumber daya kekuasaan ini adalah paling merata bagi setiap
orang.
Kedua, dominasi sumber daya material oleh keluarga besar
Tb. Chasan Sochib menjadi senjata ampuh dalam menciptakan
sistem kekuasaan oligarkis di Banten. Kekuasaan material mereka
dibuktikan denganIndeks Kekuasaan Material/Material Power
Index (MPI) yang secara individu ditunjukkan sebagai berikut:
Ratu Atut Chosiyah merupakan pemegang sumber daya kekuasaan
material terbesar di keluarga tersebut dengan MPI di level 5.943
kali (2006), 4.146 kali (2011), dan 3.487 kali (2002). Rangking
kedua ditempati oleh Airin Rachmi Diany dengan MPI 4.421 kali
(2010), 2.489 kali (2009), dan 2.314 (2015). Rangking ketiga
disandang oleh Heryani dengan MPI 3.505 kali (2010) dan 1.550
kali (2015). Hikmat Tomet menempati posisi keempat 2.489 kali
(2009). Di posisi kelima, Andika Hazrumy 2.372 kali (2009) dan
539,51 (2015). Ampuhnya kekuasaan material dalam memenang-
kan kekuasaan karena sumber daya tersebut berhasil mengooptasi
sumber daya-sumber daya kekuasaan lain seperti besarnya kekua-
saan mobilisasi yang dimiliki para kiai. Kondisi ini diperkuat oleh
profil pemilih yang bersikap pragmatis.Kekuasaan material yang
disandang para jawara berbuah tingginya akumulasi suara dalam
pemilihan. Semua itu terjadi dalam konteks Provinsi Banten yang
memenuhi syarat terciptanya sistem pemerintahan oligarkis, yaitu
tajamnya ketimpangan ekonomi. Walhasil, dari empat kabupaten
dan empat kota di provinsi Banten, hanya Lebak dan kota Tange-
rang yang belum jatuh ke tangan dinasti Ratu Atut Chosiyah.
Ketidaksetaraan materi yang ekstrem memicu ketidaksetaraan
politik yang ekstrem pula.

B. Refleksi, Implikasi, dan Rekomendasi


Berdasarkan hasil penelitian ini, refleksi, implikasi, dan
rekomendasi yang dapat diberikan sebagai berikut:
Ahmad Munjin 383

Penemuan dari penelitian ini mendukung pandangan


bahwa money is power sehingga semakin kaya semakin berkuasa.
Implikasinya, para oligark yang mendominasi sumber daya kekua-
saan material berpeluang lebih besar memenangkan kontestasi
politik dalam demokrasi yang menggunakan prinsipone person one
vote. Akibatnya, dalam konteks Banten, para kiai yang memiliki
sumber daya kekuasaan mobilisasi yang besar dimanfaatkan oleh
para jawara yang menguasai besarnya sumber daya kekuasaan
material untuk memenangkan suara dalam pemilu.Padahal, jawara
pada mulanya merupakan pelayan kiai. “Pelayan” bukan hanya
dalam pengertian tekstual atau leterlek (letterlijk), tapi juga dalam
pengertian menjalankan dan memperjuangkan nilai-nilai kebena-
ran, kebaikan, dan kebajikan yang diajarkan oleh kiai, seperti
tolong menolong, amanah, akuntabel, kapabel, kredibel, dan trans-
paran.
Kekuasaan jenis inilah yang mengurangi kualitas partisi-
pasi sehingga memicu apa yang disebut sebagai defisit demokrasi.
Sebab, demokrasi menghendaki adanya kompetisi dan kontestasi
yang seimbang, selain terlibatnya partisipasi seluruh masyarakat.
Demokrasi juga membutuhkan partisipasi yang otonom (autono-
mous participation) bukan partisipasi yang dimobilisasi (mobilised
participation) oleh uang seperti political buying, vote-buying, atau
money politics dari pihak yang memilik profil sumber daya kekua-
saan wealth power. Partisipasi politik yang dimobilisasi oleh uang
merupakan cacat demokrasi yang nyata.
Masalahnya, kebanyakan masyarakat Banten masih dalam
kategori miskin sehingga permisif terhadap jual beli suara. Hanya
wilayah-wilayah perkotaan yang relatif kaya sehingga lebih rasio-
nal dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di wilayah
kabupaten. Kemiskinan yang melahirkan sikap permisif tersebut
otomatis sangat menguntungkan bagi para oligark dengan sumber
daya kekuasaan materialnya (wealth power) yang besar dalam
memenangkan tampuk kekuasaan. Celakanya, jika para oligark
dengan segaja dan sadar membiarkan atau bahkan mengelola
kemiskinan tersebut demi kelanggengan kekuasaan mereka. Alih-
384 Oligarki dan Demokrasi...

alih demokrasi bisa mendekatkan jurang pemisah antara “si


miskin” dan “si kaya”, justru ketimpangan semakin menjadi-jadi
akibat berkuasanya para oligark melalui jalur dan prosedur demo-
kratis. Dalam kasus Banten, klan Ratu Atut Chosiyah bahkan
diprediksi banyak pihak bisa berkuasa hingga 80 tahun ke depan.
Itu bukanlah suatu hal yang mustahil jika anak, cucu, dan cicit
terus merebut kekuasaan dengan dalih hak untuk memilih dan hak
untuk dipilih. Namun demikian, harapan muncul dari kelas mene-
ngah perkotaan yang kritis terhadap dominasi kekuasaan oligarkis.
Jika para oligark dari dinasti Banten gagal memimpin, mereka
akan mendapat hukuman dari para pemilih kritis di perkotaan
untuk tidak dipilih pada periode berikutnya sehingga kelangge-
ngan kekuasaan dinasti oligarkis bisa tersendat.
Kondisi itu menunjukkan oligarki dan demokrasi memiliki
hubungan yang kontradiktif tapi menyatu. Oleh karena itu, jika
provinsi Banten ingin benar-benar demokratis baik secara politik
maupun ekonomi, peneliti merekomendasikan peran sentral para
kiai sebagai representasi masyarakat sipil (civil society). Para kiai
harus menolak semua sikap kooptasi dari kelompok lain yang me-
miliki dominasi atas sumber daya kekuasaan material. Apalagi,
kiai hanya dijadikan ‘penghias atau janur kuning’ saat pesta demo-
krasi tapi ditinggalkan setelah penguasa terpilih. Para kiai dengan
sumber daya kekuasaan mobilisasinya yang besar harus bersatu
dalam memilih pemimpin yang jujur dan akuntabel bukan pemim-
pin yang semata berorientasi material sebagaimana terjadi pada
para oligark.
Untuk penelitian selanjutnya, penulis merekomendasikan
penelitian kuantitatif yang mengonfirmasi hubungan antara sum-
ber daya kekuasaan baik oligarki maupun elite dengan tingkat
keterpilihan calon dalam Pilkada di Banten. Penilitian tersebut
akan memberikan kontribusi penting bagi perkembangan demo-
krasi di Banten pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. []
Ahmad Munjin 385

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’a>n al-Kari>m
Abdillah, Masykuri. Islam dan Dinamika Sosial Politik di
Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011.
---------. Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual
Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993.
Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2004.
Acton, Lord (John Emerich Edward Dalberg-Acton). Essays on
Freedom and Power. Boston, Mass.: The Beacon Press,
1949.
Agustino, Leo. “Dinasti Politik Pascaotonomi Orde Baru: Penga-
laman Banten.” Prisma: Majalah Pemikiran Sosial
Ekonomi29, no. 3 (Juli 2010): 102-16.
Ahbel-Rappe, Sara dan Rachana Kamtekar, eds. A Companion to
Socrates. Malden, MA, Oxford, dan Victoria: Blackwell
Publishing Ltd., 2006.
Ahmad, Abdul Aziz. “Catatan Pembubaran HTI: Kanan, Kiri, dan
Oligarki.” Gatra, 17 Mei 2017.
Ahanchian, Amir H. Ulasan tentang No Easy Choice: Political
Participation in Developing Countries.Ditulis oleh Samuel
P. Huntington dan Joan M. Nelson.Western Political
Quarterly 31, no. 1 (Maret 1978): 136-7.
Anonim. “Cerita tentang Hotel Bintang Empat Milik Keluarga
Atut di Banten.” Detik.com, Senin 14 Oktober 2013,
diakses tanggal 31 Juli 2018 dari https://news.detik.com/
berita/2385794/cerita-tentang-hotel-bintang-empat-milik-
keluarga-atut-di-banten.
Antons, Anton Aprianto, Handriani P, Maya Nawangwulan, dan
Subkhan. “Klan Chasan Diduga Punya Harta Seperempat
Triliun.” Tempo.co. Dirilis pada Senin, 4 November 2013.
Diakses pada Rabu, 24 Agustus 2016. http://haji.tempo.co
386 Oligarki dan Demokrasi...

/konten_berita/politik/2013/11/04/52 6970/Klan-Chasan-
Diduga-Punya-Harta-Ratusan-Miliar.
“Airin, Adik Ipar Gubernur Banten Kalah di Pilkada Tangerang.”
Radar Banten, Senin, 21 Januari 2008.
Argyres, Nicholas dan Vai-Lam Mui, “Rules of Engagement,
Informal Leaders, and the Political Economy of Organi-
zational Dissent,” makalah disampaikan pada pertemuan
tahunan the Strategic Management Society, the Society
for the Advancement of Behavioral Economics, the
Western Economic Association, the International Society
for New Institutional Economics, and the Informs College
on Organization Science, Juli 2000, 22.
Ariyadi, Tb. Iman. “Kiai dan Jawara dalam Politik Banten.” Gatra,
6 November 2013.
---------. “Peran Kiai dalam Pemilihan Gubernur Provinsi Banten
2011.” Disertasi doktor Unitversitas Indonesia, 2014.
Artis. “Eksistensi Partai Politik dan Pemilu Langsung dalam
Konteks Demokrasi di Indonesia.” Jurnal Sosial Budaya
9, no. 1 (Januari-Juli 2012): 59-80.
Artati, Sudiarti. “Perubahan Peran Ulama dalam Masyarakat
Serang: Studi Kasus Dua Pesantren di Kabupaten Serang,
Banten, Jawa Barat.” Tesis Magister Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1988.
Aspinal, Edward. “The Power of Property: Oligarchy and
Democracy in World History,” ulasan tentang Oligarchy,
Jeffrey A. Winters, Taiwan Journal of Democracy 8, no. 1
(Juli 2012): 169-173.
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten. “Indeks Demokrasi
Indonesia (IDI) Banten 2016.” Berita Resmi Statistik
Provinsi Banten, no. 54/09/36/Th.XI, 14 September 2017.
Bagian Perencanaan dan Data Setditjen Pendidikan Islam
Departemen Agama Republik Indonesia. “Daftar Jumlah
Santri dan Nama Kyai Tahun 2008/2009 Provinsi
Banten.”
Ahmad Munjin 387

Bakti, Andi M. Faisal. “Islam and Nation Formation in Indone-


sia.” Tesis Master of Arts (M.A.), the Faculty of Graduate
Studies and Research, Institute of Islamic Studies, McGill
University, 1993.
Bellamy, Richard. “Vilfredo Pareto 1848-1923.” Dalam The
Routledge Dictionary of Twentieth-Century Political
Thinkers, diedit oleh Robert Benewick dan Philip Green,
197-8. London dan New York: Routledge, 1998.
----------. “Gaetano Mosca 1858-1941.” Dalam The Routledge
Dictionary of Twentieth-Century Political Thinkers,
diedit oleh Robert Benewick dan Philip Green, 182-3.
London dan New York: Routledge, 1998.
Bidang Integrasi Pengolahan dan Diseminasi Statistik, Badan
Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten. Provinsi Banten
dalam Angka 2017. Serang: BPS Provinsi Banten, 2017.
Bidang Integrasi Pengolahan dan Diseminasi Statistik, Badan
Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten. Provinsi Banten
dalam Angka 2016. Serang: BPS Provinsi Banten, 2016.
Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik. Produk Domestik
Regional Bruto Kabupaten Serang Menurut Lapangan
Usaha 2012. Serang: Badan Pusat Statistik Kabupaten
Serang, 2013.
Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik. Produk Domestik
Regional Bruto Kabupaten Serang Menurut Lapangan
Usaha 2010-2014. Serang: BPS Kabupaten Serang, 2015.
Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik. Buku Saku PDRB
Provinsi Banten, Kabupatan/Kota se-Banten, Provinsi se-
Jawa dan PDB Indonesia 2008-2009. Serang: BPS
Provinsi Banten, 2010.
Blomley, Nicholas. “Law, Property, and the Geography of
Violence: The Frontier, the Survey, and the Grid.” Annals
of the Association of American Geographers 93, no. 1
(Maret 2003): 121-141.
Bogaards, Matthijs. Ulasantentang Oligarchy, JeffreyA. Winters,
Acta Politica 47, no. 3 (2012): 324–26.
388 Oligarki dan Demokrasi...

Budiardjo, Miriam, Soelaeman Soemardi, Benedict R.O.G. Ander-


son, Koentjaraningrat, Soemarsaid Moertono, dan A.
Rahman Zainuddin.Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan
Wibawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991.
Bukha>ri>, Al-Ima>m Abi> ‘Abdilla>h Muh}ammad ibn Isma>‘i>l ibn
Ibra>hi>m ibn al-Mughi>rah al-Ju‘fi> al-. S}ah}i>h} al-Ima>m al-
Bukha>ri> (Al-Ja>mi‘ al-S}ah}i>h}), Jilid VIII. Beirut: Da>r T{awq
al-Naja>h, 1422 H.
Cohen, G. A. Self-Ownership, Freedom, and Equality. Cambridge:
Cambridge University Press, 1995.
Chamdani, Rohmad. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten
Tangerang Menurut Lapangan Usaha 2012-2016.
Tangerang: Badan Pusat Statistik Kabupaten Tangerang,
2017.
Chua, Christian. “Chinese Big Business in Indonesia: The State of
Capital.” Disertasi Doktor, National University of
Singapore, 2006.
Cooper, John M. dan D. S. Hutchinson, eds. Plato: Complete
Works. Indianapolis dan Cambridge: Hackett Publishing
Company, 1997.
“Dynasty.” Entri dalam Cambridge Advanced Learner’s Dictio-
nary. Cambridge: Cambridge University Press, 2003.
Dami, Laurens. “Inilah Sepak Terjang Adik Atut dalam Memono-
poli Proyek di Banten.” Suara Pembaruan, Sabtu, 19
Oktober 2013. Diakses Senin, 13 Agustus 2018.
http://sp.beritasatu.com/home/inilah-sepak-terjang-adik-
atut-dalam-memonopoli-proyek-di-banten/43653.
---------. “Pasangan Irna-Tanto Menangi Pilkada Pandeglang.”
BeritaSatu, Jumat, 18 Desember 2015. Diakses Sabtu, 11
Agustus 2018, http://www.beritasatu.com/ aktual/333070-
pasangan-irnatanto-menangi-pilkada-pandeglang.html.
Dahl, RobertA. Dilemas of Pluralist Democracy: Autonomy vs.
Control. New Haven and London: Yale University Press,
1982.
Ahmad Munjin 389

Darmadi, Dadi. “The Geger Banten of 1888: An Anthropological


Perspective of 19th Century Millenarianism in Indonesia.”
Heritage of Nusantara: International Journal of Religious
Literature and Heritage 4, no. 1 (Juni 2015): 65-84.
Dasuki, Hafidzh, et al., Alquran dan Tafsirnya, Jilid III. Yogya-
karta: Universitas Islam Indonesia, 1995.
Dhofier, Zamarkhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Panda-
ngan Hidup Kiai. Jakarta: LP3ES, 1985.
Dimyati, Murtadho. Manakib Abuya Cidahu dalam Pesona Lang-
kah di Dua Alam. Pandeglang: Tanpa Nama Penerbit,
2008.
Djuwaeli, Irsjad. Membawa Mathla‘ul Anwar ke Abad XXI .
Jakarta: Pengurus Besar Mathla‘ul Anwar, 1997.
Doneson, Daniel Adam. “The Contest of Regimes and the
Problem of Justice: Political Lessons from Aristotle's
Politics.” Disertasi Ph.D the University of Chicago, 2006.
Drucker, Peter F. A Functioning Society: Selections from Sixty-
Five Years of Writing on Community, Society, and Polity.
New Brunswick dan London: Transaction Publishers,
2003.
Fachreinsyah, Dendy. “Pengamat: Ada 3 Faktor yang Buat
Wahidin-Andika Unggul.” RRI.co.id, Rabu, 15 Februari
2017. Diakses Minggu, 13 Agustus 2018.http://www.rri.
co.id/post/berita/361686/pilkada_serentak/pengamat
ada_3 faktor_yang_buat_wahidinandika_unggul.html.
Faeth, Margaret Ann. “Power, Authority and Influence: A Com-
parative Study of the Behavioral Influence Tactics Used
by Lay and Ordained Leaders in the Episcopal Church.”
Disertasi PhD Virginia Polytechnic Institute and State
University, 2004.
Fatah, Eep Saefulloh. Zaman Kesempatan: Agenda-agenda Besar
Demokratisasi Pasca-Orde Baru. Bandung: Penerbit
Mizan, 2000.
Femia, Joseph V. Pareto and Political Theory. London dan New
York: Routledge, 2006.
390 Oligarki dan Demokrasi...

Feith, Herbert. The Decline of Constitutional Democracy in


Indonesia. Jakarta dan Kuala Lumpur: Equinox Publis-
hing, 2007.
Flick, Uwe, Ernst von Kardorff, dan Ines Steinke, eds. A Compa-
nion to Qualitative Research. London: Sage Publications,
2004.
Ford, Michele dan Thomas B. Pepinsky, eds. Beyond Oligarchy:
Wealth, Power, and Contemporary Indonesian Politics.
Ithaca, New York: Cornell University Press, 2014.
Friedrich, Carl Joachim. “Oligarchy.” Dalam Encylopaedia of the
Social Sciences, volume XI-XII, ed. Edwin R.A. Seligman,
462-64. New York: The Macmillan Company, 1937.
Fukuoka, Yuki. “Oligarchy and Democracy in Post-Suharto
Indonesia.” Political Studies Review 11 ( 2013): 52-64.
Gelzer, Matthias. The Roman Nobility. Diterjemahkan oleh Robin
Seager. Oxford: Basil Blackwell, 1969.
Giddens, Anthony. A Contemporary Critique of Historical
Materialism: Power, Property, and the State. Berkeley dan
Los Angeles: University of California Press, 1981.
Giglioli, M.F.N. Ulasan tentang Oligarchy, Jeffrey A. Winters,
Constellations 19, no. 4 (Desember 2012): 624-26.
Gobee, E., Sumitro dan Ranneft. “The Bantam Report.” Dalam
The Communist Uprisings of 1926-1927 in Indonesia: Key
Documents, diedit oleh Harry J. Benda dan Ruth T.
McVey. Ithaca: Cornell University, 1960.
Guillot, Claude. Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII,
diterjemahkan oleh Hendra Setiawan dkk. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, École Française d’Extrê-
me-Orient, Forum Jakarta-Paris, dan Pusat Penelitian dan
Pengembangan Arkeologi Nasional, 2008.
---------, “Urban Patterns and Polities in Malay Trading Cities,
Fifteenth through Seventeenth Centuries.” Indonesia 80
(Oktober 2005): 39-51.
Ahmad Munjin 391

Hadiz, Vedi R. dan Richard Robison. “The Political Economy of


Oligarchy and the Reorganization of Power.” Indonesia,
no. 96 (Oktober 2013): 35-57.
Hamid, Abdul. “The Kiai in Banten: Shifting Roles in Changing
Times.” Dalam Islam in Contention: Rethingking Islam
and State in Indonesia, diedit oleh Ota Atsushi, Okamoto
Masaaki, dan Ahmad Suaedy, 421-43. Jakarta: Wahid
Institute, Kyoto: Center for Southeast Asian Studies
(CSEAS), Taiwan: Center for Asia-Pacific Area Studies
(CAPAS), 2010.
Hanan, Djayadi. Ulasan tentang Beyond Oligarchy: Wealth,
Power, and Contemporary Indonesian Politics. Diedit oleh
Michele Ford dan Thomas B. Pepinsky.Contemporary
Southeast Asia 36, no. 3 (2014): 489–92.
H{anbal, Al-Ima>m al-H{a>fiz} Abi> ‘Abdilla>h Ah{mad ibn. Musnad al-
Ima>m al-H{a>fiz} Abi> ‘Abdilla>h Ah}mad ibn H{anbal. Riyad:
Bait al-Afka>r al-Dawli>yah li al-Nashr wa al-Tawzi>‘, 1998.
Harriss-White, Barbara. India Working: Essays on Society and
Economy [Series of Contemporary South Asia 8].
Cambridge: Cambridge University Press, 2003.
Hidayat, Syarif. “Pilkada, Money Politics and the Dangers of
“Informal Governance” Practices.” Dalam Deepening
Democracy in Indonesia? Direct Elections for Local
Leaders (Pilkada), diedit oleh Maribeth Erb dan Priyam-
budi Sulistiyanto, 125-46. Singapura: Institute of Sout-
heast Asian Studies, 2009.
Hidayat, Bagja, Maria Hasugian, dan Reza Aditya. “Antara
Boston, Singapura, dan Kuningan.” Tempo, 27 Oktober
2013.
--------, “Shadow State? Business and Politics in the Province of
Banten.” Dalam Renegotiating Boundaries: Local Politics
in post-Suharto Indonesia, diedit oleh Henk Schulte
Nordholt dan Gerry van Klinken, 203-24. Leiden: KITLV
Press, 2007.
392 Oligarki dan Demokrasi...

Hox, Joop J. dan Hennie R. Boeije, “Data Collection, Primary vs.


Secondary.” Dalam Encyclopedia of Social Measurement,
Volume I, ed. Kimberly Kemp-Leonard. Tanpa Tempat
Terbit: Elsevier Inc., 2005.
Hudaeri, Mohamad. “Tasbih dan Golok: Studi tentang Kharisma
Kiai dan Jawara di Banten.” Laporan Penelitian Departe-
men Agama, 2007.
Huntington, Samuel P. dan Joan M. Nelson. No Easy Choice:
Political Participation in Developing Countries. Cambrid-
ge: Harvard University Press, 1976.
Ichsan, A. Syalaby. “Selain Atut, Puluhan Daerah Jalankan Politik
Dinasti,” Republika, 18 Oktober 2013, diakses 19 Oktober
2013, http://www.republika.co.id/ berita/nasional/hukum/
13/10/19/muvdp8-selain-atut-puluhan-daerah-jalankan-
politik-dinasti.
Indikator Politik Indonesia, “Sikap dan Perilaku Pemilih terhadap
Politik Uang.” Survei Dapil September-Oktober 2013 dan
Survei Nasional Maret 2013.
Irfani, Fahmi. Jawara Banten: Sebuah Kajian Sosial, Politik, dan
Budaya. Jakarta: Young Progressive Muslim (YPM) Press,
2011.
Irwin, Sarah dan Mandy Winterston. “Debates in Qualitative
Secondary Analysis: Critical Reflections.” Timescapes
Working Paper Series: an Economic and Social Research
Council (ESRC) Qualitative Longitudinal Study, no. 4
(2011): 1-23.
Ja>ru>d, Sulayma>n ibn Da>wud ibn al-. Musnad ’Abi> Da>wud al-
T{aya>lisi>. Da>r Hijr: Hijr li al-T{aba>‘ah wa al-Nashr wa al-
Tawzi>‘ wa al-I‘la>n, 1999.
“Jazuli-Airin Resmi Gugat Pilkada Tangerang,” Okezone, Selasa,
29 Januari 2008, artikel diakses tanggal 31 Mei 2014 dari
http://news.okezone.com/read/2008/ 01/29/1/79230/jazuli-
airin-resmi-gugat-pilkada-tangerang.
Jurnaliston, Reza. "Kasus TPPU Wawan, KPK Periksa Kepala
DPKAD Banten." Kompas.com, Senin, 23 Juli 2018.
Ahmad Munjin 393

Diakses Minggu, 12 Agustus 2018. https://nasional.


kompas.com/read/2018/07/23/10255771/kasus-tppu-
wawan-kpk-periksa-kepala-dpkad-banten.
Karni, Asrori S. dan Gandi Achmad. “Ujung Tanduk Dinasti
Atut.” Gatra, 16 Oktober 2013.
---------. “Keluarga Pemain Anggaran Banten.” Gatra, 23 Oktober
2013.
Kartodirdjo, Sartono. The Peasants Revolt of Banten in 1888, Its
Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Social
Movements in Indonesia. Dordrecht: Springer Science+
Business Media Dordrecht, 1966.
---------. Modern Indonesia, Tradition & Transformation: A Socio-
Historical Perspective. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1984.
Kaya>li, ‘Abd al-Waha>b al-. Mawsu>‘ah al-Siya>sah (Beirut: al-
Muassasah al-‘Arabi>yah li al-Dira>sa>t wa al-Nashr, 1985.
Keane, John. “Noberto Bobbio 1909-n/a.” Dalam The Routledge
Dictionary of Twentieth-Century Political Thinkers,
diedit oleh Robert Benewick dan Philip Green 27-9.
London dan New York: Routledge, 1998.
Kellermann, Michael. “Power Resources Theory and Inequality in
the Canadian Provinces.” Makalah dipresentasikan pada
the Harvard Comparative Political Economy Workshop,
Cambridge, MA., 7-8 Oktober 2005.
Keputusan Presiden Republik IndonesiaNomor 18 Tahun 2000
tentangPedoman Pelaksanaan PengadaanBarang/Jasa
Instansi Pemerintah
Khaldu>n, ‘Abd al-Rah{ma>n ibn. Muqaddimah ibn Khaldu>n. Beirut:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>>yyah, 1993.
Khalik, Abu Tholib. “Pemimpin non-Muslim dalam Perspektif Ibn
Taimiyah.” Analisis: Jurnal Studi Keislaman, 14, no. 1
(Juni 2014): 59-89.
Khan, Shamus Rahman. “The Sociology of Elites.” The Annual
Review of Sociology no. 38 (Mei 2012):361–77.
394 Oligarki dan Demokrasi...

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Pengumuman Harta


Kekayaan Penyelenggara Negara Ratu Atut Chosiyah.”
Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 7/2-2003 no. 11.
---------. “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara
Ratu Atut Chosiyah: Perubahan atas Laporan Harta
Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya.” Tambahan
Berita Negara R.I. Tanggal 20 September 2011 no. 75.
---------. “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara
Ratu Atut Chosiyah: Perubahan atas Laporan Harta
Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya.” Tambahan
Berita Negara R.I. Tanggal 8 Agustus 2014, no. 63.
---------. “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara
Tubagus Haerul Jaman: Perubahan atas Laporan Harta
Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya.” Tambahan
Berita Negara R.I. Tanggal 15 April 2014, no. 30.
---------. “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara
Ratu Tatu Chasanah: Perubahan atas Laporan Harta Keka-
yaan yang Dilaporkan Sebelumnya.” Tambahan Berita
Negara R.I. Tanggal 15 April 2016, no. 30.
---------. “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara
atas Nama: Heryani.” Tambahan Berita Negara R.I.
Tanggal 12 Februari 2013, no 13.
---------. Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara atas
Nama: Airin Rachmi Diany.” Tambahan Berita Negara
R.I. Tanggal 24 April 2012, no. 33.
---------. “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara
atas Nama: Airin Rachmi Diany: Perubahan atas Laporan
Harta Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya.” Tamba-
han Berita Negara R.I. Tanggal 15 April 2016, no. 30.
---------. “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara
atas Nama: Hikmat Tomet.” Tambahan Berita Negara R.I.
Tanggal 2 Juli 2010, no 53.
---------. “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara
atas Nama: Andika Hazrumy.” Tambahan Berita Negara
R.I. Tanggal 26 Maret 2010, no. 25.
Ahmad Munjin 395

---------. “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara


atas Nama: Andika Hazrumy: Perubahan atas Laporan
Harta Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya.” Tamba-
han Berita Negara R.I. Tanggal 1 November 2016, no. 87.
---------. “Pengumuman Laporan Harta Kekayaan Calon Kepala
Daerah.” Surat yang ditujukan kepada Komisi Pemilihan
Umum (KPU) Provinsi Banten sebagai penyelenggara
Pilkada Serentak Tahun 2017, Nomor B-9476/10-12/11/
2016, tanggal 16 November 2016.
---------. “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara
atas Nama: Aden Abdul Khaliq.” Tambahan Berita
Negara R.I. Tanggal 6 Maret 2015, no. 19.
---------. “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara
atas Nama: Tanto Warsono Arban.” Tambahan Berita
Negara R.I. Tanggal 12 April 2016, no. 29.
---------. “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara
atas Nama: Andiara Aprilia Hikmat.” Tambahan Berita
Negara R.I. Tanggal 5 April 2016, no. 27.
---------. “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara
atas Nama: Heryani: Perubahan atas Laporan Harta
Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya.” Tambahan
Berita Negara R.I. Tanggal 16 Agustus 2016, no. 65.
---------. “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara
atas Nama: Tubagus Haerul Jaman: Perubahan atas
Laporan Harta Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya.”
Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 7 Oktober 2016,
no. 80.
Korpi, Walter. “Power Resources Approach vs. Action and
Conflict: On Causal and Intentional Explanations inthe
Study of Power.” Sociological Theory3, no. 2 (Musim
Gugur, 1985): 31-45.
---------dan Joakim Palme. “New Politics and Class Politics in the
Context of Austerity and Globalization: Welfare State
Regress in 18 Countries,1975-95.” American Political
Science Review 97, no. 3 (Agustus 2003): 425-446.
396 Oligarki dan Demokrasi...

Kpundeh, Sahr John. Politics and Corruption in Africa: A Case


Study of Sieara Leone. Lanham, Md.: University Press of
America, 1995.
Krueger, Anne O. “The Political Economy of the Rent-Seeking
Society.” The American Economic Review 64, no. 3 (Juni
1974): 291-303.
Kurnia, Asep dan Ahmad Sihabudin. Saatnya Baduy Bicara.
Jakarta: PT Bumi Aksara dan Untirta, 2010.
Kusumapuri. Produk Domestik Regional Bruto Kota Tangerang
Selatan Menurut Lapangan Usaha 2012-2016. Diedit oleh
Heru Susanto (Setu: Badan Pusat Statistik Kota
Tangerang Selatan, 2017.
Lane, Max. Decentralization and Its Discontents: An Essay on
Class, Political Agency and National Perspective in
Indonesian Politics (Iseas Monograph Series). Singapura:
Institute of Southeast Asian Studies (Iseas), 2014.
Latif, Yudi. “Keluar dari Krisis Demokrasi” Orasi Poltik dalam
acara Syukuran dan Peluncuran Buku Satu Dasawarsa
Perhimpunan BAKUMSU (Bantuan Hukum & Advokasi
Rakyat Sumatera Utara) dengan Tema ‘Kratos Minus
Demos, Demokrasi Indonesia: Catatan dari Bawah’,
Medan, 4 Mei 2012.
Liddle, R. William. “Marx atau Machiavelli? Menuju Demokrasi
Bermutu di Indonesia dan Amerika” Orasi Ilmiah dalam
rangka Nurcholish Madjid Memorial Lecture V, Kamis, 8
Desember 2011, di aula Nurcholish Madjid, Universitas
Paramadina, Jakarta.
---------. “Improving the Quality of Democracy in Indonesia:
Toward a Theory of Action,” Indonesia 96 (Oktober
2013): 59-80.
Lubis, Amany. Sistem Pemerintahan Oligarki dalam Sejarah
Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.
Lubis, Nina Herlina. “Religious Thoughts and Practices of the
Kaum Ménak: Strengthening Traditional Power.” Studia
Ahmad Munjin 397

Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies 10, no. 2


(2003): 1-30.
Mahkamah Konstitusi. “Putusan Akhir Nomor 209-210/PHPU.D-
VIII/2010 dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan
Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kota
Tangerang Selatan Tahun 2010”
Manser, Martin H. Oxford Learner’s Pocket Dictionary, New
Edition. Oxford: Oxford University Press, 1991.
Mansur, Khatib. Perjuangan Rakyat Banten menuju Propinsi.
Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2001.
Muhtadi, Burhanuddin. “Politik Uang dan Dinamika Elektoral di
Indonesia: Sebuah Kajian Awal Interaksi antara Indentitas
Kepartaian dan Patron-Klien.” Jurnal Penelitian Politik
10, no. 1 (Juni 2013): 41-58.
Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma
Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2006.
Maranoes, Ariel.“Kemenangan Atut-Rano Terancam Gagal”,
artikel diakses pada 6 Juli 2013 dari http://news.liputan6.
com/read/359656/kemenan gan-atut-rano-terancam-gagal
Masaaki, Okamoto and Abdul Hamid. “Jawara in Power, 1999-
2007.” Indonesia 86 (2008): 109-192.
---------. “The Rise of the “Realistic” Islamist Party: PKS in
Indonesia,” Dalam Islam in Contention: Rethingking
Islam and State in Indonesia, diedit oleh Ota Atsushi,
Okamoto Masaaki, dan Ahmad Suaedy, 219-53. Jakarta:
Wahid Institute, Kyoto: Center for Southeast Asian
Studies (CSEAS), Taiwan: Center for Asia-Pacific Area
Studies (CAPAS), 2010.
---------. “Local Politics in Decentralized Indonesia: The Governor
General of Banten Province.” IIAS Newsletter 34 (Juli
2004): 23.
Maulana, Delly. “Fenomena Dekokratisasi Lokal di Provinsi
Banten.” Jurnal Administrasi Negara 2, no. 2 (Mei-
Agustus 2013): 19-23.
398 Oligarki dan Demokrasi...

Michrob, Halwany dan A. Mudjahid Chudari. Catatan Masa Lalu


Banten. Serang: Saudara, 1993.
Mujani, Saiful. “Religious Democrats: Democratic Culture and
Muslim Political Participation in Post-Suharto Indonesia.”
Disertasi Ph.D, the Ohio State University, 2003.
Mulyana. “Panwaslu Banten Awasi Ketat Kecurangan Politik
Uang”, artikel diakses pada 6 Juli 2013 dari http://banten.
antaranews.com/berita/16746/ panwaslu-banten-awasi-
ketat-kecurangan-politik-uang
Mulyatari, Dwi. “Buku Putih Masa Pendudukan Jepang.” Ulasan
tentang War, Nationalism and Peasants: Java under the
Japanese Occupation 1942-1945, ditulis oleh Shigeru
Sato, Wacana 2, no. 1 (April, 2000): 140-44.
Muslim, Asep, Lala M. Kolopaking, Arya H. Dharmawan dan
Endriatmo Soetarto. “Dinamika Peran Sosial Politik
Ulama dan Jawara di Pandeglang Banten.” Mimbar 31, no.
2 (Desember, 2015): 461-474.
Nasa>’i>, al-Ima>m ’Abi> ‘Abd al-Rah}ma>n Ah}mad ibn Shu‘ayb al-.
Kita>b al-Sunan al-Kubra>. Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah,
2001.
Naysa>bu>ri>, al-Ima>m Abi> al-Husai>n Muslim ibn al-Hajja>j ibn
Muslim al-Qushai>ri> al-. S{ah}i>h} Muslim (Alja>mi‘ al-S}ah}i>h)}:
Kita>b al-Zaka>h.
Naysa>bu>ri>, al-Ima>m al-H{a>fiz} ’Abi> ‘Abdilla>h al-H{a>kim al-. Al-
Mustadrak ‘ala> al-S}ahi>h}ayn. Kairo: Da>r al-H{aramayn li al-
T{aba‘ah wa al-Nashr wa al-Tawji>‘, 1997.
Nasution, S. Metode Penelitian Ilmiah: Usul Tesis, Desain Peneli-
tian, Hipotesis, Validitas, Sampling, Populasi, Observasi,
Wawancara dan Angket. Jakarta: Bumi Aksara, 2012.
Nimda. “Wakil Gubernur Banten Jadi Ketua Ikatan Alumni
Pascasarjana Unpas.” Unpas.ac.id, Selasa, 10 April 2018.
Diakses Senin, 13 Agustus 2018. http://www.unpas.ac.id/
wakil-gubernur-banten-jadi-ketua-ikatan-alumni-
pascasarjana-unpas/.
Ahmad Munjin 399

Nordholt, Henk Schulte. “Renegotiating Boundaries: Access,


Agency and Identity in post-Soeharto Indonesia.”
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 159 (2003):
550-89.
--------, “The Jago in the Shadow: Crime and ‘Order’ in the
Colonial State in Java.” Diterjemahkan oleh Ernst van
Lennep. RIMA (Review of Indonesian and Malaysian
Affairs): a Semi-Annual Survey of Political, Economic,
Social and Cultural Aspects of Indonesia and Malaysia25,
no. 1(Juni-Agustus, 1991): 74-91.
Nuraini, Ratna. “Prahara Mendera Dinasti Abah Chasan.” Inilah
Review, 20 Oktober 2013.
Nugraha, Fajar Kuala. “Pemilukada: Menguatnya Politik Oligarki
Lombok Timur Tahun 2013.” Jurnal Mahasiswa Ilmu
Pemerintahan 1, no. 2 (2014): 1-15.
O’Donnell, Guillermo. “Another Institutionalization: Latin
America and Elsewhere,” Working Paper #222 The Helen
Kellogg Institute for International Studies (Maret 1996).
Ogbazghi, Petros B. “Personal Rule in Africa: The Case of
Eritrea.” African Studies Quarterly 12, no. 2 (2011): 1-25.
Olson, Mancur. “Dictatorship, Democracy, and Development.”
The American Political Science Review 87, no. 3
(September 1993): 567-576.
Paige, Jeffery M. “The Social Origins of Dictatorship Democracy
and Socialist Revolution in Central America,” Makalah
disampaikan pada Pertemuan Tahunan the American
Sociological Association, San Franscisco, California, 8
Agustus, 1989, 3.
Polinsky, A. Mitchell dan Steven Shavell. “Enforcement Costs
and the Optimal Magnitude and Probability of Fines.” The
Journal of Law and Economics 35, no. 1 (April, 1992):
133-148.
Perhimpunan Pendidikan Demokrasi. “Dinasti Tb. Chasan
Sochib: Sang Gubernur Jenderal dari Banten”, Konstelasi,
Edisi ke-31 April 2011. Artikel diakses 6 Juli 2013, dari
400 Oligarki dan Demokrasi...

http://www.p2d.org/index.php/kon/52-31-april-2011/273-
dinasti-h-tb-chasan-sochib-sang-gubernur-jenderal-dari-
banten.html.
“Pilkada Banten Dinilai Terburuk se-Indonesia”, artikel diakses
pada 6 Juli 2013 dari http://www.tempo.co/read/news/
2011/10/27/179363638/ Pilkada-Banten-Dinilai-Terburuk-
Se-Indonesia
Prattico, Ludovico. “Governance of Open Source Software
Foundations: Who Holds the Power?” Technology Inno-
vation Management Review (Desember 2012): 37-42.
Prayitno, Hendro, Adam Sofian, Teuku M. Madinah, dan C.M.
Rosidah. Buku Saku PDRB Provinsi Banten, PDRB
Kabupaten/Kota se-Banten, PDRB Provinsi se-Jawa dan
PDB Indonesia 2014-2015. Diedit oleh Budi Prawoto.
Serang: BPS Provinsi Banten, 2016.
---------, Adam Sofian, dan C.M. Rosidah. Buku Saku PDRB
Provinsi Banten, PDRB Kabupaten/Kota se-Banten,
PDRB Provinsi se-Jawa dan PDB Indonesia 2015-2016.
Diedit oleh Budi Prawoto. Serang: Badan Pusat Statistik
Provinsi Banten, 2017.
Prentiss, Anna Marie, Thomas A. Foor, Guy Cross, Lucille E.
Harris, dan Michael Wanzenried. “The Cultural Evolution
of Material Wealth-Based Inequality at Bridge River,
British Columbia.” American Antiquity 77, no. 3, (2012):
542–564.
Purnomo, Nurmulia Rekso. “Kisah Tokoh Silat yang Jadi Tangan
Kanan Chasan Sochib.” Tribunnews.com. Dirilis pada
Jumat, 18 Oktober 2013. Diakses pada Senin, 22 Agustus
2016, http://www.tribunnews.com/nasional/20 13/10/18/
kisah-tokoh-silat-yang-jadi-tangan-kanan-chasan-sochib.
---------. “Kondisi Kantor Perusahaan Milik Chasan Sochib Kini.”
Tribunnews.com. Dirilis pada Jumat, 18 Oktober 2013.
Diakses pada Senin, 22 Agustus 2016. http://www.tribun
news.com/nasional/2013/10/18/kondisi-kantor-perusaha
an-milik-chasan-sochib-kini.
Ahmad Munjin 401

Quinn, George. “Coming Apart and Staying Together at the


Centre: Debates Over Provincial Status in Java and
Madura.” Dalam Local Power and Politics in Indonesia:
Decentralication and Democratisation, diedit oleh Edward
Aspinall and Greg Fealy, 164-78. Pasir Panjang, Singa-
pura: Institute of Southeast Asian Studies (Iseas), 2003.
Raaflaub, Kurt A. “Thucydides on Democracy and Oligarchy,”
dalam Brill’s Companion to Thucydides, eds. Antonios
Rengakos dan Antonis Tsakmakis, 189-222. Leiden dan
Boston: Brill, 2006.
Rahayu, Sari. Produk Domestik Regional Bruto Kota Serang
Menurut Lapangan Usaha 2010-2014. Diedit oleh R.
Achmad Widijanto. Serang: Badan Pusat Statistik Kota
Serang, 2015.
Rahmatullah. “Peran Kiai dalam Pilkada Kabupaten Pandeglang.”
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Mahasiswa
Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada (UGM), 2008.
Rakhmatullah. “Harta Berlimpah, Keluarga Atut Klaim Warisan
Ayahnya.” Sindonews.com, Sabtu, 12 Oktober 2013.
Diakses 24 Januari 2017. http://nasional.sindonews.com/
read/793800/13/harta-berlimpah-keluarga-atut-klaim-
warisan-ayahnya-1381564726.
Rahnema, Saeed dan Haideh Moghissi. “Clerical Oligarchy and
the Question of “Democracy” in Iran,” Monthly Review
52, no. 10 (Maret 2001): 28-40.
Rastika, Icha. "KPK Resmi Tetapkan Ratu Atut sebagai
Tersangka Kasus Pilkada Lebak." Kompas.com, Selasa, 17
Desember 2013. Diakses Senin, 13 Agustus 2018.https://
nasional.kompas.com/read/2013/12/17/1419516/KPK.Res
mi.Tetapkan.Ratu.Atut.sebagai.Tersangka.Kasus.Pilkada.
Lebak.
Reno, William. Corruption and State Politics in Sierra Leone.
Cambridge/New York: Cambridge University Press, 1995.
Ridho, Rasyid. “Adik Ipar Ratu Atut Keok di Pilkada Kota Serang
2018,” Okezone News,Kamis 5 Juli 2018. Diakses pada
402 Oligarki dan Demokrasi...

Jumat, 10 Agustus 2018. https://news.okezone.com/read/


2018/07/05/340/1918355/adik-ipar-ratu-atut-keok-di-
pilkada-kota-serang-2018.
Robison, Richard and Vedi R. Hadiz. Reorganising Power in
Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets.
London: RoutledgeCurzon, 2004.
Rodiana, Nur dan Ulfah Sofiah. Statistik Daerah Kabupaten Pan-
deglang 2017. Diedit oleh Tri Tjahjo Purnomo. Pandeg-
lang: Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Pandeglang,
2017.
---------. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Pandeglang
2012-2016. Diedit oleh Tri Tjahjo Purnomo. Pandeglang:
Badan Pusat Statistik Kabupaten Pandeglang, 2017.
Romli, Lili. “Jawara Banten: Konteks Historis, Kedudukan dan
Peranannya.” Dalam Politik dan Perubahan: Antara Refor-
masi Politik di Indonesia dan Politik Baru di Malaysia,
diedit oleh Leo Agustino. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009.
Rosidin, Dindin Nurul. “Quo Vadis Mathla‘ul Anwar.” Makalah
disampaikan pada Rapat Kerja Nasional Mathla‘ul Anwar
di Batam, 2007.
Rothstein, Bo, Marcus Samanni, dan Jan Teorell. “Explaining the
Welfare State: Power Resources vs. The Qualtity of
Government,” European Political Science Review: Euro-
pean Consortium for Political Research (Tanpa Bulan dan
Tahun Terbit), 1-28.
Rizal, M. “Klan Atut dari Jawara Beralih ke Uang,” artikel diakses
tanggal 3 Juli 2013, dari http://news.detik.com/read/2011/
09/12/145200/1723198/159/ klan-atut-dari-jawara-beralih-
ke-uang.
Rudnyckyj, Daromir Antonovych. “Islamic Ethics and Spiritual
Economy in Contemporary Indonesia.” Disertasi Ph.D.,
Universitas California, Berkeley, 2006.
S{an‘a>ni>, al-Ha>fiz} al-Kabi>r ’Abi> Bakr ‘Abd al-Razza>q ibn Ham-
ma>m al-. Al-Mus}annaf. Beirut: Al-Majlis al-‘Ilmi>, 1970.
Ahmad Munjin 403

Scott, James C. “Patron-Client Politics and Political Change in


Southeast Asia.” The American Political Science Review
66, no. 1 (Maret 1972): 91-113.
Seksi Statistik Neraca Wilayah, Badan Pusat Statistik (BPS)
Kabupaten Serang. Produk Domestik Regional Bruto
Kabupaten Serang Menurut Lapangan Usaha 2005.
Serang: Badan Pusat Statistik Kabupaten Serang, 2006.
Seksi Statistik Neraca Wilayah dan Analisis Statistik. Produk
Domestik Regional Bruto Kabupaten Serang 2007.
Serang: Badan Pusat Statistik Kabupaten Serang, 2008.
Seksi Statistik Neraca Wilayah dan Analisis Statistik. Produk
Domestik Regional Bruto Kota Serang 2009. Serang:
Badan Pusat Statistik Kota Serang, 2010.
Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik. Produk Domestik
Regional Bruto Kabupaten Serang Menurut Lapangan
Usaha 2012-2016. Serang: BPS Kabupaten Serang, 2017.
Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik. Produk Domestik
Regional Bruto Pandeglang Menurut Lapangan Usaha
2010-2011. Pandeglang: Badan Pusat Statistik Kabupaten
Pandeglang, 2012.
Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik. Produk Domestik
Regional Bruto Kota Tangerang Selatan Menurut Lapa-
ngan Usaha 2010-2014 (Setu: Badan Pusat Statistik Kota
Tangerang Selatan, 2015.
Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik. Produk Domestik
Regional Bruto Kabupaten Serang 2010 Menurut
Lapangan Usaha. Serang: BPS Kabupaten Serang, 2011.
Sharma, Subhash. “The Dynamics of Women’s Empowerment: A
Critical Appraisal.” Social Change 47, no. 3 (Agustus
2017): 387-405.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Kese-
rasian al-Qur’an volume 15. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Shils, Edward. “Angkatan Bersenjata dalam Pembangunan Politik
Negara-negara Baru.” Dalam Elite dalam Perspektif
404 Oligarki dan Demokrasi...

Sejarah, disunting oleh Sartono Kartodirdjo, 177-220.


Jakarta: LP3ES, 1983.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-
Press), 1993.
Smith, Daniel A. Ulasan tentang Corruption and State Politics in
Sierra Leone, ditulis oleh William Reno dan ulasan
tentang Politics and Corruption in Africa: A Case Study
of Sieara Leone, ditulis Sahr John Kpundeh. Africa Today
44, no. 3 (Juli-September 1997): 362-65.
Sopian, Najmu L. “Political Dynasties and the Emergence of
Local Oligarchs in Post-Suharto Indonesia and the
Philippines.” Paper diajukan untuk memenuhi persyaratan
kuliah tentang Politics of Southeast Asia pada the
Department of Political Science, Northwestern University,
2014.
Spakovsky, Hans A. von dan Elizabeth H. Slattery. “One Person,
One Vote: Advancing Electoral Equality, Not Equality of
Representation.” Legal Memorandum no. 161 (10
September 2015): 1-5.
Strauss, Leo dan Joseph Cropsey, eds. History of Political Philo-
sophy. Chicago dan London: The University of Chicago
Press, 1987.
Suharto. “Banten Masa Revolusi 1945-1949: Proses Integrasi
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Disertasi
Doktor, Universitas Indonesia, 2001.
Sulistyo, Hermawan. “Electoral Politic in Indonesia: A Hard Way
to Democracy.” Dalam Electoral politics in Southeast &
East Asia, diedit oleh Aurel Croissant, 75-99. Singapora:
Friedrich-Ebert-Stiftung, 2002.
Suwayda>n, T}a>riq al-. Silsilat Qashash al-’Anbiya>’: Qishat Nu>h}
Syamsuddin, M. Dien. Islam dan Politik Era Orde Baru. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 2001.
Syme, Ronald. The Roman Revolution. Oxford: Oxford Univer-
sity Press, 1939.
Ahmad Munjin 405

“The Failed States Index 2013,” data diakses tanggal 7 Juli 2013
dari http://ffp.states index.org/rankings-2013-sortable
T{abra>ni>, al-H{a>fiz} ’Abi> al-Qa>sim Sulayma>n ibn ’Ah}mad al-. Al-
Mu‘jam al-Kabi>r. Kairo: Maktabah ibn Taymi>yah, 1983.
Taymi>yah, Ibn. Al-Siya>sah al-Shar‘iyyah fi> Is}la>hi al-Ra>‘i> wa al-
Ra‘i>yah, Tanpa Tempat Terbit: Da>r al-Ka>tib al-‘Arabi>,
Tanpa Tahun Terbit.
Tihami, M.A. “Kiai dan Jawara di Banten: Studi tentang Agama,
Magi, dan Kepemimpinan di Desa Pasanggrahan Serang,
Banten,” Tesis Magister, Universitas Indonesia, 1992.
---------, ed. Refleksi Pemikiran Fiqh: Mensyukuri 70 Tahun Prof.
K.H. Abdul Wahab Affif, M.A. Serang: Sengpho Founda-
tion, 2006.
Tim Raksa Ajar Indonesia. Kata pengantar pada terjemahan
Sala>lim al-Fud}ala>’: Menapaki Tangga-tangga Keutamaan
Hidup, oleh Imam Nawawi Al-Bantani, 21-22.Serang:
Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Banten, 2017.
Tirmidhi>, al-Ima>m al-Ha>fiz} Muh}ammad ibn ‘I<sa> ibn Sawrah al-
.Sunan al-Tirmidhi>. Riyad: Maktabah al-Ma‘a>rif li al-
Nashr wa al-Tawji>‘, 1417 H.
Turmudi, Endang. Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan. Yogya-
karta: LKIS, 2003.
Ullah, AKM Ahsan dan Ahmed Shafiqul Huque. Asian Immigrans
in North America with HIV/AIDS: Stigma, Vulnerabili-
ties, and Human Rights. London: Springer, 2014.
Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974
tentangPokok-pokok Pemerintahan di Daerah.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2000
tentang Pembentukan Propinsi Banten.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2007
tentang Pembentukan Kota Serang di Provinsi Banten.
406 Oligarki dan Demokrasi...

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2008


tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan di Provinsi
Banten.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD).
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah.
Valdy, Teuku Muhammad. “Ketika Kotak Kosong Jadi Juara di
Makassar.” KumparanNews, Kamis, 28 Juni 2018. Diakses
Jumat, 10 Agustus 2018. https://kumparan.com/@kumparan
news/ketika-kotak-kosong-menang-jadi-juara-di-
makassar-27431110790534150.
Vicente, Pedro C. “A Model of Vote-Buying with an Incumbency
Advantage.” Makalah dan Hasil-hasil Eksperimen Januari
2013. Artikel diakses 3 Juni 2014 dari http://www.
pedrovicente .org/vb.pdf.
Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Neraca
Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten,
Senin, 30 Oktober 2017.
Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara
Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Provinsi Banten Periode 2014-2019, di Serang-Banten,
Kamis, 14 Desember 2017.
Wawancara pribadi dengan K.H. Tb. A. Khatibul Umam,
Pengasuh Pondok Pesantren Annizhomiyyah di Kampung
Jaha Desa Sukamaju, Kec. Labuan, Kab. Pandeglang
Banten, Senin, 30 Juli 2018.
Wawancara pribadi dengan K.H. Ma'ruf Amin, Pengasuh Pondok
Pesantren An-Nawawi, Tanara, Banten dan Ketua Umum
Ahmad Munjin 407

Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui sambungan


telepon di Jakarta, Selasa, 31 Juli 2018.
Wawancara pribadi dengan Febri Diansyah, Juru Bicara Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Selasa, 7
Agustus 2018.
Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten Bersih
melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus,
2018.
Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten
bidang Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di
Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018.
Weber, Max. “Politics as a Vocation.” Dalam From Max Weber:
Essays in Sociology, diedit dan diterjemahkan oleh H. H.
Gerth dan C. Wright Mills, 77-128. New York: Oxford
University Press, 1946.
Widoyoko, J. Danang. Oligarki dan Korupsi Politik Indonesia:
Strategi Memutus Oligarki dan Reproduksi Korupsi
Politik. Malang: Setara Press, 2013.
Williams, Michael C. Communism, Religion, and Revolt in
Banten. Athens: Ohio University Center for International
Studies, 1990.
Winters, Jeffrey A. Oligarchy. New York: Cambridge University
Press, 2011.
---------, dan Benjamin I. Page. “Oligarchy in the United States?”
Perspectives on Politics 7 (2009): 731-751.
---------, “Oligarchy and Democracy.” The American Interest 7,
no. 2 (Desember 2011): 18-27.
---------, “Oligarchy and Democracy in Indonesia.” Indonesia 96
(Oktober 2013): 11-33.
---------, pesan e-mail kepada peneliti, 22 Juli 2018.
Wolfe, Joel D. “Robert Michels 1876-1936.” Dalam The
Routledge Dictionary of Twentieth-Century Political
Thinkers, diedit oleh Robert Benewick dan Philip Green,
174-5. London dan New York: Routledge, 1998.
408 Oligarki dan Demokrasi...

Wright, Erik Olin, ed. Approaches to Class Analysis. Cambridge:


Cambridge University Press, 2005.
Wulandari, Aprias Eko. Produk Domestik Regional Bruto Menu-
rut Lapangan Usaha Kota Serang 2012-2016. Diedit oleh
Dadang Ahdiat. Serang: Badan Pusat Statistik Kota
Serang, 2017.
Ahmad Munjin 409

GLOSARIUM

Demokrasi Bentuk pemerintahan di mana


semua warga negaranya memiliki
hak setara dalam pengambilan kepu-
tusan yang dapat mengubah hidup
mereka. Demokrasi mengizinkan
warga negara berpartisipasi—baik
secara langsung atau melalui perwa-
kilan—dalam perumusan, pengem-
bangan, dan pembuatan hukum.
Definisi lain dari demokrasi adalah
sebuah metode untuk mencapai
keputusan bersama tanpa kekerasan
dengan melibatkan partisipasi me-
nyeluruh dari pihak-pihak atau ke-
lompok-kelompok berkepentingan.
Elite Mereka yang memiliki kontrol atau
akses yang sangat tak sepadan atau
ekstrem terhadap sumber daya eko-
nomi, sosial, budaya, politik, atau
pengetahuan (knowledge capital).
Hak Politik Formal Sumber daya kekuasaan yang paling
tak langka dan paling tersebar di
tingkat individu dalam keadaan ada-
nya hak pilih bagi semua orang dan
sedikitnya rintangan untuk berparti-
sipasi dalam politik. Hak politik ini
dianggap sebagai kebebasan liberal
karena mencakup satu suara untuk
setiap orang, kebebasan berpenda-
410 Oligarki dan Demokrasi...

pat tanpa ditindas, dan kesempatan


mendapatkan akses terhadap infor-
masi yang dimiliki semua orang
dalam masyarakat. Hak politik baru
menjadi benar-benar penting di
antara individu kalau bersifat makin
ekslusif, baik secara formal maupun
praktik.
Hubungan Patron-Client Sebuah hubungan pertukaran antar
peran, yakni sebuah kasus khusus
dalam ikatan dyadic (dua-orang)
yang melibatkan pertemanan instru-
mental secara luas di mana seorang
individu dari status sosioekonomi
yang lebih tinggi (patron) menggu-
nakan pengaruh dan sumber daya-
nya untuk memberikan perlindu-
ngan atau berbagai manfaat atau
keduanya, terhadap seorang indivi-
du yang status sosioekonominya
lebih rendah (client). Pada giliran-
nya, client memberikan imbalan
dengan menawarkan dukungan dan
bantuan secara umum, termasuk
pelayanan personal kepada patron.
Dalam literatur antropologi, patron-
client berhubungan dengan beberapa
istilah seperti clientelism, dyadic
contract, personal network, dan
action-set.
Jawara Suatu golongan sosial yang me-
ngandalkan keberanian dan kekua-
tan fisik, agresif, terbuka (blak-
blakan) dan sompral (tutur kata
Ahmad Munjin 411

yang keras). Untuk menunjang


keandalan fisiknya itu, jawara mem-
butuhkan magi walaupun dalam
bentuk yang paling mudah, misal-
nya jimat, rajah dan sebagainya
yang kesemuanya itu paling banyak
diperoleh dari kiai.Dalam konteks
kekinian, jawara didefinisikan seba-
gai pemimpin informal darigama
yang bersifat profandan dilengkapi
dengan kecakapan ilmu bela diri
serta memiliki sumber daya kekua-
saan material yang ekspansif.
Kekuasaan Jabatan Resmi Sumber daya kekuasaan yang bera-
sal dari jabatan resmi yang tinggi di
pemerintahan, organisasi besar baik
sekuler maupun agama, atau jabatan
di perusahaan baik swasta maupun
perusahaan negara. Sumber daya
kekuasaan tersebut punya pengaruh
dramatis pada profil kekuasaan
segelintir individu. Pada zaman
modern, organisasi-organisasi terse-
but adalah badan berdasarkan aturan
yang mengonsentrasikan kekuasaan
dengan menghimpun sumber daya
keuangan, jejaring operasi, dan pe-
ngelompokan anggota atau bawahan
yang bisa dipimpin, dilibatkan, atau
diperintah melalui kelembagaan.
Kekuasaan Koersif Pengaruh atau kapasitas individu
atau kelompok terhadap yang lain
atas dasar atau dengan cara pemak-
saan dan kekerasaan.
412 Oligarki dan Demokrasi...

Kekuasaan Material Sumber daya kekuasaan yang bera-


sal dari kekayaan. Kekayaan mende-
finisikan oligark, menggerakkan
politik dan proses oligarki. Sumber
daya kekuasaan material menyedia-
kan dasar untuk tegaknya oligark
sebagai pelaku politik yang tang-
guh. Sumber daya material menge-
jawantah dalam berbagai bentuk.
Yang paling luwes adalah uang
tunai. Kekayaan sudah lama dikena-
li sebagai sumber kekuasaan ekono-
mi, sosial, dan politik. Orang bisa
menjadi sama sekali tak berkuasa
kalau tidak punya kekayaan. Kelu-
wesan luar biasa kekuasaan material
itulah yang menjadikannya sangat
penting dalam politik. Kekuasaan
material yang bisa membeli pertaha-
nan kekayaan, baik dalam bentuk
kemampuan pemaksaan atau me-
nyewa jasa pertahanan dari profe-
sional yang ahli.
Kekuasaan Mobilisasi Kapasitas individu untuk mengge-
rakkan atau memengaruhi yang
lain—kemampuan memimpin orang,
meyakinkan pengikut, menciptakan
jejaring, menghidupkan gerakan,
memancing tanggapan, dan meng-
inspirasi orang untuk bertindak (ter-
masuk membuat mereka mengambil
risiko dan berkorban).
Ahmad Munjin 413

Kiai Pemimpin agama (Islam) yang sak-


ral dan memiliki otoritas serta
legitimasi kharismatis yang luas.
Ménak Istilah yang digunakan dalam buda-
ya Sunda untuk merujuk pada sese-
orang yang dijunjung tinggi, terma-
suk aristokrasi dan para pejabat
tinggi.
Oligarki Kompleks Sebuah sistem pemerintahan di
mana hampir semua kekuasaan poli-
tik dipegang oleh segelintir orang
kaya yang membuat kebijakan ma-
syarakat umum. Kebijakan tersebut
hanya menguntungkan mereka sen-
diri secara finansial dan kurang atau
sama sekali tidak memperhatikan
kepentingan sebagian besar warga
negaranya.
Oligarki Panglima Oligarki yang perpecahannya antar-
oligark berada pada tingkat terting-
gi. Kalaupun ada persekutuan bersi-
fat tak stabil dalam konteks persai-
ngan keras yang selalu berubah.
Tiap sosok otoritas unggul yang
muncul di antara para oligark hanya
bisa mendominasi untuk sementara.
Konflik dan ancaman umumnya ber-
sifat lateral antar-oligark panglima.
Klaim atas wilayah sumber kekaya-
an, sumber daya, dan populasi ba-
wahan tumpang tindih dan menjadi
bahan seteru. Pengumpulan kekaya-
an dengan cepat paling banyak
terjadi melalui penaklukan, walau
414 Oligarki dan Demokrasi...

para oligark panglima juga me-


ngambil surplus dari produsen pri-
mer. Sumber daya pemaksaan dan
material terjalin amat erat bagi
oligark panglima sehingga nyaris
tak terpisahkan. Kapasitas pemaksa
ada untuk pertahanan kekayaan, dan
kekayaan digunakan untuk meme-
lihara kapasitas pemaksa.
Oligarki Penguasa Kolektif Para oligark yang masih berperan
besar secara pribadi dalam pelaksa-
naan kekerasan, namun berkuasa
secara kolektif dan melalui lembaga
yang memiliki norma atau aturan
main.
Oligarki Sipil Oligark yang sepenuhnya tak ber-
senjata dan tidak berkuasa langsung.
Kekuasaan bersifat sporadis selaku
tokoh politik individual, bukan
dalam kapasitas oligarkis. Bedanya
dengan sultanistik, pada oligarki
sipil, yang menggantikan individu
tunggal sebagai pelaksana pemaksa-
an yang mempertahankan harta oli-
garki, adalah adanya lembaga pela-
ku yang dikendalikan oleh hukum.
Oligarki Sultanistik Oligarki yang terbentuk ketika ter-
jadi monopoli sarana pemaksaan
berada di tangan satu oligark, bukan
negara terlembaga yang dibatasi
hukum. Di dalamnya, marak hubu-
ngan patron-klien dengan norma
perilaku dan kewajiban tertentu
yang terkait dengannya. Akan
Ahmad Munjin 415

tetapi, penegakan hukum tidak ada


atau beroperasi sebagai sistem ke-
kuasaan hukum yang bersifat
pribadi.
Oligarki Kekuasan yang dijalankan oleh para
warga negara terkaya yang selalu
tumbuh menjadi golongan kecil.
Partisipasi politik Kegiatan yang dilakukan oleh pri-
badi warga negara untuk memenga-
ruhi pengambilan kebijakan peme-
rintah.
Partisipasi politik mobilisasi Partisipasi politik yang digerakan
oleh pihak-pihak di luar partisipan.
Partisipan melaksanakan partisipa-
sinya tidak berdasarkan kemauan
dan aspirasinya sendiri.
Partisipasi politik otonom Partisipasi politik yang dilaksana-
kan tanpa paksaan dan berdasarkan
kemauan partisipan secara mandiri.
Partisipan berpartisipasi secara su-
karela tanpa ada yang menggerakan
atau memaksa.
Pemimpin informal Seseorang yang karena latar bela-
kang pribadi yang kuat mewarnai
dirinya, memiliki kualitas subyektif
atau obyektif yang memungkin-
kannya tampil dalam kedudukan di
luar struktur organisasi resmi. Akan
tetapi, ia dapat memengaruhi kela-
kuan dan tindakan suatu kelompok
masyarakat, baik dalam arti positif
maupun negatif. Dalam masyarakat
muslim pemimpin informal dimak-
416 Oligarki dan Demokrasi...

sud bisa ulama, kiai, ustaz, atau


tokoh masyarakat.
Personal Rule Tipe sistem politik yang khusus di
mana persaingan dan perjuangan
lebih ditentukan oleh seorang indi-
vidu yang berkuasa secara penuh
dan segaja dibandingkan ditentu-
kan oleh lembaga-lembaga, ideo-
logi-ideologi, kebijakan-kebijakan
publik, dan kelompok-kelompok
kepentingan pada umumnya. Orang
yang berkuasa penuh secara sengaja
itu sangat fundamental dalam mem-
bentuk kehidupan politik.
Proyek Klasifikasi K-1 Kualifikasi dari usaha kecil milik
pelaksana konstruksi yang mensya-
ratkan kekayaan bersih lebih dari
Rp50 juta sampai dengan Rp200
juta.
Sumber Daya Kekuasaan Segala sesuatu yang bisa digunakan
atau dimanfaatkan untuk memenga-
ruhi hasil.
Vote-buying Pemberian atau hadiah yang dibe-
rikan kepada para pemilih sebelum
pemilihan berlangsung untuk ditu-
kar atau dengan imbalan suara
mereka.
Xenopobia Sensasi rasa takut atau fobia terha-
dap seseorang atau kelompok orang
tertentu yang dianggap aneh atau
asing.
Ahmad Munjin 417

INDEKS

Abdul Aziz Ahmad, 56 Alquran, 14, 30, 31, 88, 89, 91, 92,
Abdurrahman Wahid, 178, 187, 226 93, 94, 95, 96, 97, 99, 104, 107,
ABK, 199, 200, 201, 202, 203, 290, 389
296 al-shu>ra, 97
Ace Suhaedi Madsupi, 290, 292, al-silm, 97
293 al-ta‘addudiyyah, 97
Achmad Chatib, 130, 132, 133, al-ukhuwwah, 97
135, 136 amanah, 95, 103, 104, 108
action-set, 48, 162, 410 Amany Lubis, 41
Acton, 85 AMPB, 292
Adam Sofian, 197, 234, 237, 238, Annizhomiyyah, 319, 320, 321, 406
239, 241, 242, 243, 245, 248, anti-Barat, 118, 127, 213
253, 254, 255, 256, 257, 258, anti-Belanda, 118
265, 283, 352, 400, 406 antropologi, 26, 48, 162, 410
ADB, 164 APBD, 194, 199, 351
Ade Sudirman, 290, 292 Aprilia Hikmat, 276, 277, 281, 282,
Afrika Selatan, 6 395
Agah M. Noor, 324 aqil baligh, 102
agama, 10, 14, 23, 29, 37, 40, 44, Arban, 276, 281, 282, 332, 395
56, 83, 90, 91, 94, 112, 113, 116, aristokrasi, 44, 66, 80, 84, 87, 88,
117, 128, 132, 143, 153, 179, 100
182, 188, 210, 213, 227, 230, Aristoteles, 39, 40, 44, 52, 63, 66,
381, 411 67, 69, 82, 89, 90
Agung Podomoro, 315 arkhein, 36
Agustino, 23, 24, 25 as}a>bi>yah, 105
Ahbel-Rappe, 36, 38 Aspinall, 72, 78, 79
Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah, 114 Baduy, 12, 222, 229, 396
Ahmad Jazuli, 323 Bakor PPB, 286
Akil Mochtar, 333, 350 bandit, 122
akuntan, 54 Bangka Belitung, 218
al-‘ada>lah, 97 Bangkalan, 11
al-ama>nah, 97 Banten, 1, 11, 12, 15, 16, 17, 18,
al-hurriyyah, 97 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27,
Alipp, 272 28, 30, 32, 33, 109, 110, 111,
al-kulliya>t al-khams, 94 112, 113, 114, 115, 116, 117,
al-musa>wah, 97 118, 119, 120, 121, 123, 124,
125, 126, 127, 128, 129, 130,
131, 132, 133, 134, 135, 136,
418 Oligarki dan Demokrasi...

137, 139, 141, 142, 143, 144, BPS, 27, 219, 220, 221, 233, 234,
146, 147, 148, 150, 151, 153, 235, 236, 237, 238, 239, 240,
154, 157, 158, 159, 160, 161, 241, 242, 243, 244, 245, 246,
163, 168, 170, 172, 173, 174, 247, 248, 251, 252, 253, 254,
175, 177, 178, 179, 180, 181, 255, 256, 257, 258, 265, 267,
182, 183, 184, 186, 187, 188, 269, 270, 271, 273, 274, 277,
189, 190, 191, 192, 193, 194, 281, 352, 386, 387, 400, 402,
195, 198, 199, 200, 201, 202, 403, 406
203, 204, 206, 207, 208, 209, broker budaya, 181
210, 211, 212, 213, 217, 218, broker politik, 150, 181, 188, 193
219, 220, 221, 222, 223, 224, Buehler, 78
225, 226, 227, 228, 229, 230, Bukha>ri, 97
231, 232, 233, 234, 235, 236, BUMN, 158
237, 238, 239, 240, 241, 242, Burhanuddin Muhtadi, 17, 165, 166
243, 244, 245, 246, 247, 248, Burke, 87
249, 250, 251, 252, 253, 254, BURT, 273
255, 256, 257, 258, 259, 264, cacat demokrasi, 6
265, 267, 268, 269, 272, 273, campaign expenditure, 13
274, 275, 276, 277, 278, 279, CAPAS, 110, 119, 253, 391, 397
280, 281, 283, 284, 285, 286, Caraway, 72, 78
287, 288, 289, 290, 291, 292, Caringin, 117, 118
293, 294, 295, 296, 297, 298, Ce Mamat, 133
299, 300, 301, 302, 303, 304, Ceger Bekasi, 118
305, 307, 309, 310, 312, 314, Chairunnisa, 280, 281, 282
315, 316, 317, 318, 323, 326, Chasanah, 11, 263, 269, 278, 282,
329, 331, 332, 333, 334, 342, 334, 394
344, 345, 350, 351, 352, 381, China, 7
382, 383, 384, 385, 386, 387, Chosiyah, 11, 28, 160, 170, 179,
389, 390, 391, 392, 393, 395, 180, 184, 192, 193, 208, 209,
397, 398, 399, 400, 402, 404, 258, 263, 265, 266, 267, 269,
405, 406, 407, 430 272, 273, 275, 276, 277, 279,
Banten bantahan, 131 280, 281, 282, 283, 284, 287,
Banten FSPP, 180, 208 288, 289, 290, 291, 292, 294,
Bellamy, 51, 80, 81, 86, 89, 387 296, 300, 301, 303, 304, 305,
Benjamin Davnie, 179 306, 307, 308, 309, 310, 311,
bias-bias pluralisme, 83 312, 313, 315, 317, 318, 322,
Birma, 41 324, 325, 326, 332, 333, 342,
BKPM, 248 343, 344, 345, 350, 351, 382,
Blomley, 42 394, 406
Boeije, 28 Christian Chua, 359
bourgeois socialism, 51, 86 Ciomas, 114, 163, 174, 186, 218,
BPK, 198 273, 296, 299
BPPKB, 315, 317, 318 clerical oligarchy, 41
Ahmad Munjin 419

clientelism, 48, 162, 410 Djoko Munandar, 15, 287, 289,


coercive power, 57 291, 292, 294, 296, 297, 299,
Cohen, 43 300, 301, 303, 343
complex oligarchy. See oligarki DPD, 13, 177, 272, 273, 275, 276,
kompleks 277, 279, 280, 281, 287, 304,
Cooper, 38, 89, 91 305, 306, 307, 309, 332, 406
Cropsey, 38, 39, 87, 89, 91 DPP, 300, 304, 305, 307
CSEAS, 110, 119, 253, 391, 397 DPR, 13, 116, 149, 177, 198, 226,
Daerah Istimewa Yogyakarta, 218 272, 273, 279, 286, 287, 305,
Dahlian pluralistic, 83 306, 310, 314, 332, 333, 406
Dapil, 13, 277, 332, 392 DPRD, 13, 145, 168, 177, 181, 182,
darigama, 112, 113, 128, 214, 381 198, 199, 200, 201, 202, 207,
Darmadi, 110, 111, 112, 389 209, 226, 270, 274, 275, 276,
das sein, 30 278, 280, 281, 283, 284, 285,
das sollen, 30 287, 289, 292, 293, 294, 296,
DASK, 194 297, 307, 310, 332, 333, 406
data kuantitatif, 27 dyadic contract, 48, 162, 410
data primer, 28 Economist Inteligence Unit, 6
data sekunder, 25, 28 Edmund Scott, 124
de facto, 38 eksogen, 32, 109, 161
definisi etimologis, 37 elite, 8, 9, 19, 24, 25, 29, 31, 35,
definisi terminologis, 37, 40 37, 39, 40, 50, 51, 52, 53, 54, 55,
demagogi, 100 56, 58, 59, 64, 67, 72, 73, 78, 79,
demagogic plutocracies, 53 81, 84, 86, 88, 89, 92, 93, 98,
Democracy Kills, 7 107
demokrasi, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 13, 17, empiris, 31, 35, 73, 74, 78, 89
18, 19, 20, 21, 25, 26, 30, 31, 33, enforcement costs, 43
35, 36, 44, 49, 50, 51, 52, 53, 62, Erdi Bachtiar, 323
63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, etnisitas, 83
73, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, eufemisme, 165
87, 88, 100, 104, 106, 107, 108 Failed State Index, 6
demokrasi dan oligarki, 67, 68 Farabi, 100, 101
demokrasi elektoral, 64, 69, 70 Fatah, 2
demokrasi prosedural, 7, 13 fatwa, 178, 210, 256
despotic, 8 Femia, 53
DI/TII, 134, 148 feodal, 7, 9, 37, 40
dialektika historis, 50 Ferry Muchlis Ariefmuzzaman, 323
Diany, 11, 271, 279, 282, 325, 332, FISIP, 190, 207, 345, 429
334, 351, 382, 394 Fitron Nur Ikhsan, 164, 165, 170,
Dimyati Natakusumah, 178, 210 171, 172, 196, 197, 198, 283,
Dinasti Mamluk, 41 284, 310, 406
Djago, 120 FKKTM, 179, 208
Flick, 27
420 Oligarki dan Demokrasi...

Ford, 72, 77, 78 hak-hak asasi manusia (HAM), 78


fragmentasi, 77 HAM, 78
Friedrich, 38, 41, 42, 44, 89, 90, Hamid, 23, 25
232, 341 Hamied, 323
FSPPS, 180, 184, 209 Hamzah, 333, 350
furifikasi Islam, 119 Hanan, 77, 78, 79
Gapensi, 167, 168 Hawksley, 7
gay, 83 Hazrumy, 273, 274, 275, 279, 280,
gerakan kelas bawah, 78 282, 291, 332, 333, 382, 394,
gerakan-gerakan sosial, 75, 78 395
Gerth, 57, 295 Hegel, 50
Ghazali >, 100 held against others, 43
Ghazali>,, 100 Herman Haeruman, 289, 292
Giddens, 50 Heryani, 12, 270, 278, 282, 333,
Golkar, 139, 141, 142, 143, 144, 334, 382, 394, 395
145, 146, 147, 149, 150, 151, Hidayat, 159, 169, 193, 194, 195,
152, 153, 154, 155, 156, 157, 196, 199, 200, 201, 202, 203,
159, 160, 174, 177, 179, 180, 204, 205, 218, 222, 223, 224,
182, 189, 206, 210, 272, 273, 226, 285, 286, 287, 288, 289,
275, 276, 287, 289, 290, 291, 290, 291, 292, 293, 294, 296,
292, 296, 300, 301, 303, 304, 297, 301, 331, 342, 343, 344,
305, 306, 309, 332, 333, 350, 350, 351, 391
351, 355 HM Masduki, 179
golongan kecil, 36, 40 HMI, 323, 429
Gorontalo, 218 Hotel Ratu, 276
gubernur jenderal, 17, 192, 206, Hox, 28
299 HTI, 56, 385
Guillermo O’Donnell, 166 Hu>d, 91, 92, 94
Guillot, 124, 125, 227, 390 hubungan sibernetik., 22
h}ima>yat al-‘aql, 94 hukum besi elistisme, 52
h}ima>yat al-amwa>l, 94 hukum besi oligarki, 51, 52
h}ima>yat al-di>n, 94 Hutchinson, 38, 89, 91
h}ima>yat al-nafs, 94 IAIN, 145
h}ima>yat al-nasl, 94 Ibn Abi Rabi’, 100, 101
Hadis, 30, 88, 97, 98, 107 Ibn Khaldu>n, 14, 99, 100, 105
hadis qudsi, 97 Ibn Taymi>yah, 15, 100
Hadiz, 3, 12, 24, 39, 63, 64, 72, 73, Ical, 304
74, 75, 84, 85, 87, 89, 91 ICW, 272
haji, 111, 169, 385 identitas ras, 10, 44
Haji Tubagus Kaking, 160 IDI, 250, 251, 252, 386
hak milik, 37, 41, 42, 43, 59, 94, Imam Nawawi Al-Bantani, 118,
103, 104, 105, 232 405
hak politik, 46, 56, 79 Imperial Rome, 4
Ahmad Munjin 421

INC, 430 jago, 122


Incas, 42 Jaman, 11, 263, 267, 268, 269, 277,
IndeksDemokrasi Global, 6 282, 333, 351, 394, 395
Indonesia, 1, 2, 3, 5, 6, 7, 8, 10, 12, janur kuning, 183, 188, 384
13, 14, 17, 18, 22, 23, 24, 26, 30, Java underground, 119
39, 41, 44, 60, 62, 63, 64, 69, 71, Jawa Barat, 12, 133, 142, 161, 163,
72, 73, 74, 75, 77, 78, 79, 84, 88, 168, 174, 190, 191, 211, 218,
92, 95, 96, 100, 110, 116, 118, 219, 221, 222, 223, 224, 225,
119, 120, 124, 127, 129, 130, 226, 227, 229, 230, 231, 237,
131, 132, 133, 134, 135, 138, 308, 330, 386, 429, 431
139, 140, 142, 143, 145, 147, Jawa Tengah, 11, 218, 301
148, 150, 151, 152, 153, 155, Jawa Timur, 11, 218
157, 159, 160, 161, 163, 166, jawara, 12, 16, 20, 22, 23, 24, 25
167, 169, 173, 174, 176, 188, jawara tulen, 170, 172, 189, 211
190, 192, 193, 217, 218, 219, jawara-pengusaha, 170, 189, 204,
220, 222, 223, 224, 227, 228, 211, 256, 258, 259, 286
229, 232, 250, 251, 252, 253, Jerman, 42, 51
255, 257, 260, 263, 265, 267, K.H. Abd Gaffar Tirtayasa, 118
269, 270, 272, 273, 275, 276, K.H. Ahmad Dahlan, 118
277, 278, 280, 283, 285, 288, K.H. Arsyad Thowil, 118
304, 312, 313, 314, 315, 316, K.H. Asnawi, 118
323, 325, 327, 331, 344, 384, K.H. Hasyim Asyari, 118
385, 386, 387, 389, 390, 391, K.H. Ilyas, 118
392, 393, 396, 397, 398, 399, K.H. Jahari, 118
400, 401, 402, 404, 405, 406, K.H. Kholil Bangkalan, 118
407, 430, 431 K.H. Ma'ruf Amin, 321, 407
informal leader, 16, 110, 111, 115, K.H. Najihun, 118
138, 214, 253 K.H. Tb. A. Khatibul Umam, 319,
informal politics, 166 320, 321, 406
interaksionisme simbolik, 27 K.H. Tubagus Bakri, 118
intimidasi, 120, 123, 194, 205, 207, K.H. Tubagus Muhammad Asnawi,
289, 295, 302, 345 118
Irak, 41 Kabupaten Lebak, 240, 241, 244,
Irfani, 16, 23, 24 245, 247, 306
Irsjad Djuwaeli, 149, 155, 180, 209, Kabupaten Pandeglang, 245, 270,
305 271, 402, 403
Irsyad Djuwaeli, 179, 224 Kabupaten Serang, 142, 168, 220,
Irwin, 28 240, 241, 244, 265, 266, 269,
islamisasi, 117, 128 270, 274, 296, 386, 387, 403
Italia, 42, 51, 80, 86 Kabupaten Tangerang, 221, 240,
J. Danang Widoyoko, 41, 63, 64 241, 243, 247, 249, 275, 308,
jabatan resmi, 56, 79, 132, 411 388
jagabaya, 122 kadigjayaan, 113
422 Oligarki dan Demokrasi...

Kadin, 167, 168, 170, 173, 202, kesukuan, 10, 14, 44, 98
203, 205, 303, 351 keterpandangan (noble birth), 10,
kafir, 14, 91, 98, 106 44
Kamboja, 8 ketidaksetaraan kapitalis, 43
Kamtekar, 36, 38 kewanitaan, 83
Kardorff, 27 KH, 130, 132, 133, 135, 136, 142,
kaum ménak, 111 145, 149, 154, 156, 177, 178,
Kaya>li, 36, 38 179, 182, 187, 208, 209, 210
Kazakhstan, 6 KH Datep, 178
KBBI, 88 KH Irsyad Djuwaeli, 177
keadilan, 4, 7, 85, 95, 97, 102, 108 KH Ujang Rapiudin, 182, 210
keadilan sosial, 95 Khaldu>n, 14, 99, 100, 105
kebajikan (virtue), 44 Khaliq, 274, 275, 280, 282, 395
kebebasan, 43, 56, 67, 83, 85, 94, Kiai Aminuddin Ibrahim, 178
97, 115, 134, 409, 430 Kiai Haji Wasid, 117, 128, 213
kebijakan syariah, 78 Kiai Khozinul Asror, 180, 209
kekayaan (wealth), 44 Kiai Muhtadi Dimyati, 178, 182
kekerasan fisik, 120 Kiai Salman, 177, 192
kekuasaan komite eksekutif, 55 Kiai Salman Al Faris, 177, 192
kekuasaan material, 19, 21, 26, 31, Kiai Subroni Mansyur, 192
50, 56, 58, 64, 68, 69, 70, 77 Kiai Syahrir Abror, 192
kekuasaan mobilisasi, 56, 79 Kiai Wahab Afif, 177
kekuasaan pemaksaan (koersif), 56, kiyai, 20, 22
57 KKN, 199, 345
kelas, 13, 25, 31, 47, 51, 52, 54, 55, kleptokratik, 8
62, 67, 72, 78, 79, 80, 81, 84, 86, KNI, 133
101 KNPI, 276, 280, 281, 323
kelompok Rau, 300, 302, 303, 304, Kodam VI Siliwangi, 161, 329
305, 306, 307, 308, 312, 326 Komalasari, 263, 275, 280, 281,
kemajemukan, 97 282
kemerdekaan, 95 Komarudin, 323
Kemp-Leonard, 28 konsolidasi, 5, 123
kemusyrikan, 94 Konstituante, 116
kepala desa, 103, 120, 122, 123, konsultan, 47, 54
126 Korea, 41
kepala negara, 102, 103, 104 Korpi, 42
kepemilikan saham, 45, 264 Kota Cilegon, 240, 244, 246, 247,
kepemilikan tanah, 9, 45, 264 249
kepercayaan dan akuntabilitas, 97 Kota Serang, 11, 157, 220, 240,
keprihatinan lintas sektoral, 83 241, 244, 267, 268, 269, 275,
Kepulauan Riau, 218 280, 333, 401, 403, 406, 408
kesejahteraan umum, 94 Kota Tangerang, 220, 221, 235,
kesetaraan yuridis formal, 83 240, 241, 243, 245, 247, 249,
Ahmad Munjin 423

271, 326, 351, 396, 397, 403, magi, 23, 113, 126
406 Majelis Taklim, 180, 209
Kota Tangerang Selatan, 240, 241, mala’, 92, 93
243, 271, 396, 403 maling teriak maling, 201
KPK, 27, 29, 191, 212, 263, 264, Maluku Utara, 218
265, 266, 267, 268, 269, 270, Mardiyanto, 220
271, 273, 274, 275, 276, 277, Marissa Haque, 179, 304, 306
281, 282, 344, 345, 394 Marx, 12, 50, 52, 63, 72, 327
KPPB, 286 Marxis, 72
KPU, 18, 274, 395 Mas Ahmad Daniri, 179
KTP, 242 Mas Santoso, 168
kualitas luhur, 101 masa pra-Islam, 222, 229
kualitatif, 26, 27, 90 Masaaki, 23, 25
Kudus, 118 Masykuri Abdillah, 96
La Ode Asrarudin, 180 Material Power Index, 25, 90
Labuan, 319, 320, 321, 406 material power resources, 5, 25
Lakpesdam NU, 178 materialisme historis, 50
Laos, 41 Mathla’ul Anwar, 148, 149, 152,
Latif, 5, 6, 7 180, 209
LBB, 323, 324, 325, 326 Maulana Muhamad, 124
legitimasi tradisional, 15, 20, 25 Mawardi, 100
lembaga-lembaga demokratis, 82 Melaway Jaya Realty, 315
level-level pragmentasi politik, 72 metode kuantitatif sederhana, 27
LHKPN, 27, 28, 191, 212, 263, Michels, 37, 38, 50, 51, 52, 53, 81,
264, 265, 266, 267, 268, 269, 82, 87, 89, 407
270, 271, 273, 275, 276, 281, Mietzner, 72, 77
282 Mills, 57, 295
Libanon, 41, 430 MK, 333, 342, 355
liberal, 53, 80, 83 modal sosial, 20, 41, 206
Liddle, 12, 63, 72, 73, 74, 75, 76, Modus operandi, 207
77, 84, 107, 327 Moghissi, 37, 40, 401
Lingkaran Survei Indonesia, 304, money is power, 5
323 money politics, 13, 18
lingkungan, 83 monoteisme, 94
LNPRT, 253, 254, 259 Moore, 13, 79
loba, 101, 102 moralitas, 83, 86
local strongmen, 23 Mosca, 50, 51, 80, 81, 89
LSI, 304, 326 MPI, 259, 264, 266, 267, 277, 282,
LSM, 158, 292 309, 382
Lubis, 37, 41 Mu>sa, 92
M3B, 301 Muchtar Mandala, 182
Machiavelli, 12, 63, 72, 327, 396 Mudhar, 105
madrasah, 179 MUI, 178, 210, 256
424 Oligarki dan Demokrasi...

multiflier effect, 234 Pabuaran, 114, 218


Mulyana, 26, 27, 29 Page, 7, 10, 36, 37, 40, 42, 44, 45,
mushtaq, 95 46, 47, 48, 50, 53, 82, 83, 84, 89,
musyawarah, 96, 108 93, 105, 232, 263, 264, 307, 341
Nafsirin Hadi, 148, 149, 152 Pakistan, 9, 41
Nahdlatul Ulama, 145, 178 PAN, 179, 287
no bourgeoisie, no democracy, 79 Pandeglang, 11, 132, 139, 147, 148,
noninferensial, 27 178, 179, 181, 182, 187, 209,
normatif, 14, 31, 35, 88, 89, 93, 108 210, 220, 221, 235, 240, 241,
NU, 139, 145, 180, 181, 209 242, 244, 245, 247, 249, 270,
Nu>h, 92 271, 276, 278, 279, 281, 298,
Nugraha, 48, 49, 56 308, 316, 326, 332, 333, 334,
oligark, 2, 9, 10, 14, 18, 19, 20, 21, 389, 398, 401, 402, 403
25, 33, 42, 44, 45, 47, 48, 49, 50, Pangeran Mandalika, 124, 129
53, 55, 56, 58, 59, 60, 61, 62, 63, PAP, 273
64, 67, 68, 69, 70, 71, 73, 77, 79, Papua Nugini, 6
82, 83, 84, 85, 89, 93, 104, 105, Pareto, 50, 51, 53, 80, 81, 86, 89,
107 387
oligarkhia, 36 Parkindo, 139
Oligarki, 2, 3, 10, 12, 20, 35, 36, Parmusi, 139, 143
37, 39, 40, 41, 42, 46, 48, 49, 50, Partai Islam Perti, 139
55, 56, 59, 60, 62, 63, 64, 65, 72, Partai Nahdlatul Ulama, 139
79, 85, 86, 88, 89, 95, 97, 100, participation power, 70, 71, 135
106, 107, 125, 128, 137, 155, patrimonialisme, 166
210, 232, 260, 263, 327, 396, patron-client, 23, 48, 53, 74, 162,
399, 407, 413, 414, 415 167, 410
oligarki dan demokrasi, 49, 65, 68, PBB, 179, 202, 224, 238, 287, 307
82, 83, 84 PCC, 200
oligarki kompleks, 3, 39, 63, 72, 73, PDB, 5, 8, 27, 74, 235, 253, 273,
75, 84, 85 277, 283, 387, 400
oligarki militer, 41 PDI, 143, 144, 146, 285, 287, 289,
oligarki panglima (waring), 60 291, 292, 296, 303, 306, 307,
oligarki penguasa kolektif (ruling), 313
60 PDI-P, 287, 296, 306, 307
oligarki sipil (civil), 60, 61 PDRB, 233, 235, 236, 237, 239,
oligarki sultanistik (sultanistic), 60 240, 242, 243, 245, 246, 247,
oligoi, 36 248, 249, 253, 254, 256, 264,
Olson, 162, 399 265, 267, 268, 269, 270, 271,
one person one vote, 7, 64, 68, 71 273, 274, 275, 276, 277, 281,
opium, 122, 123 282, 283, 387, 400
Orde Baru, 2, 3, 23, 24, 39, 63, 72, pelobi, 54
73, 74, 75, 76, 78, 84 pemahaman ilmiah dan
otonomi daerah, 2, 7, 24, 26 metodologis, 28
Ahmad Munjin 425

pemberontakan, 111, 116, 117, 118, PKB, 178, 182, 187, 207, 210
119, 123, 124, 127, 128, 130, PKI, 119, 130, 136, 157
131, 133, 136, 213, 218, 228, PKK, 285
230 PKRI, 139
pemberontakan komunis, 119, 213 PKS, 110, 179, 202, 312, 313, 314,
pemerasan proyek, 193, 199, 200, 397
201, 202 Plato, 38, 67, 89, 91, 100
pemerintahan perwakilan, 55 plutokratik, 8
Pemilihan Langsung, 197 PMDN, 248
Pemilu, 48 PMII, 323
Pemilukada, 48, 56 PMTB, 256
penanaman opium kolonial, 123 PNI, 139, 143
pencurian ternak, 120, 121 Polinsky, 43
pendekar, 141, 202 politeisme, 94
pengacara, 54 Pondok Pesantren Modern Daar El
Pengadaan Langsung, 196 Qolam, 323
penipuan pajak tanah, 120 popular socialism, 86
Penunjukan Langsung, 197 PPP, 143, 144, 145, 146, 147, 150,
penyitaan dengan paksa, 45, 105 153, 154, 155, 178, 179, 210,
Pepinsky, 72, 75, 77, 78 287, 289, 291, 292, 296, 301,
Perda, 242, 313 333
perdamaian, 95, 97 PPPSBBI, 143, 153, 157, 158, 159,
perdamaian abadi, 95 163, 168, 170, 174, 175, 189,
Perdana Menteri Hun Sen, 8 288, 294, 299, 302, 314, 315,
permusyawaratan, 97 316, 317, 318
persamaan, 31, 65, 83, 96, 97, 108 praktik monopolistik, 193
persaudaraan, 14, 97 premanisme proyek, 198, 199, 200,
personal network, 48, 162, 410 202, 203, 204, 207
personal rule, 76 Prentiss, 46
perspektif teoretis, 29 prinsip persamaan, 96
pertahanan harta, 45, 50, 61 priyayi, 111, 112
pertahanan kekayaan, 19, 44, 50, Produk Domestik Bruto (PDB), 5,
53, 58, 60, 61, 104 8, 74, 233
pertahanan pendapatan, 45, 50, 61 program keagamaan, 179
pesantren, 114, 117, 143, 145, 146, proletariat, 52, 72
147, 148, 150, 153, 160, 179, prosedur administratif, 194
180, 181, 186, 192, 209, 221, Protes-protes jalanan, 78
253, 254, 255, 256, 257, 259, proyek infrastruktur, 193
284, 381 PSII, 139, 143
Pesantren An-Nawawi, 321, 407 PT Arban Global Nusantara, 276
Peta, 130, 220 PT Arban Media, 276
PHK, 248 PT Kalimaya, 160
PK, 287, 298 PT Krakatau Steel Tbk, 157, 233
426 Oligarki dan Demokrasi...

PT Nikomas Gemilang, 233 segelintir orang, 3, 35, 37, 38, 39,


PT Pelayaran Sinar Ciomas 40, 51, 58, 64, 66, 68, 69, 70, 82,
Pratama, 273 85, 86, 88, 89, 91, 92, 98, 101
PT Ratu Bidakara Hotel, 273 Sekda, 343
PT Sinar Ciomas, 141, 158, 163, selat Sunda, 222, 230
330, 356 self-ownership, 43
Purwakarta, 118 senjata, 57, 83
Quinn, 218, 219, 220, 221, 222, sentralisasi kekuasaan, 123, 203
223, 224, 226, 227, 228, 229, Serang, 11, 22, 110, 113, 118, 133,
401 139, 142, 143, 144, 145, 146,
Quraish, 89, 90, 94, 98, 99, 102, 160, 168, 173, 174, 189, 190,
105 207, 219, 220, 221, 227, 229,
Rabi’, 100 234, 235, 237, 238, 239, 240,
Rahnema, 37, 40, 41 241, 242, 243, 244, 245, 246,
rakus, 101, 102 248, 253, 254, 255, 256, 257,
rakyat jelata, 52, 79 258, 265, 266, 267, 268, 269,
ras, 37, 40, 42, 83 270, 273, 274, 275, 277, 278,
rasional-legal, 15, 16 280, 283, 284, 298, 301, 302,
RBB, 314, 315, 316, 317, 323, 326 310, 326, 333, 351, 386, 387,
redistribusi hukum kepemilikan, 398, 400, 401, 403, 405, 406,
45, 105 408
rent-seeking activities, 162 Shavell, 43
rezim pertahanan harta, 54 Shihab, 89, 90, 97, 98, 99
Robert A. Dahl, 83 Shu‘ayb, 92
Robison, 3, 12, 39, 63, 64, 72, 73, sikap konfrontatif, 201
74, 75, 84, 85, 87, 89, 91 sistem budaya, 22, 25
Roma, 4, 62 sistem sosial, 22, 25
Romli, 24 Sjadzali, 99, 100, 101, 102, 103,
rules of the game, 166 104, 105, 106
S{a>lih, 92 Slattery, 46
santri, 31, 109, 147, 151, 180, 181, slavery society, 5
183, 186, 209, 211, 257 Sochib, 16, 17
Sarekat Islam, 119, 130 Soeharto, 2, 23, 69, 72, 74, 75, 76,
Satkar Jawara, 143, 153, 189, 210 84
Satkar Ulama, 142, 143, 144, 150, Sokrates, 38, 89, 90
153, 154, 157, 173, 179, 184, Sopian, 24
192, 208, 210, 212, 215 Spakovsky, 46
Satpam, 192 SPD, 51
SBY, 6 stationarybandits, 162
Scott, 48, 162, 318 status quo, 100, 106
security provider, 121 Steinke, 27
Strauss, 38, 39, 87, 89, 91
Sudan, 41
Ahmad Munjin 427

Sultan Rafiuddin, 117 the predatory patronage’, 24


sumber data primer, 28 the Social Democratic Party of
sumber data sekunder, 28 Germany, 51
sumber daya alokatif, 5, 50 theory of action, 22
Sumber daya kekuasaan berasal Thucydides, 67, 401
dari non material, 55 Tihami, 22, 23, 25
sumber daya kekuasaan material, Timor Leste, 6
14, 20, 22, 25, 26, 42, 58, 64, 77, TKR, 133
93 TNI, 159
sumber daya koersif, 75 tolong-menolong, 96, 108
sumberdaya kekuasaan dari jabatan Tomet, 271, 272, 273, 279, 282,
resmi, 54 333, 382, 394
syarat-syarat pemimpin, 101, 106 true natural aristocracy, 87
tada>ruj, 106 Tryana Sjam’un, 179, 180, 208
Taman Nasional Ujung Kulon, 222, u>li>gharshi>yyah, 36
230 uang di bank, 45, 264
Tanara, Banten, 321, 407 Uci Sanusi, 168
Tangerang, 11, 118, 220, 222, 229, ulama, 31, 37, 40, 89, 106, 108,
240, 241, 242, 243, 245, 247, 111, 116, 123, 128, 129, 131,
248, 249, 271, 274, 275, 279, 136, 139, 142, 154, 157, 184,
280, 307, 308, 312, 313, 316, 193, 309
323, 326, 332, 334, 351, 355, UMKM, 234, 248
382, 386, 388, 392, 396, 403, Uni Emirat Arab, 41
431 Untirta, 12, 241, 396
Tangerang Selatan, 11 upah minimum, 78
Tanjung Priok, 160, 175, 316, 329 vote buying, 13
Taymi>yah, 15, 100 wara>’, 102
Tebuireng, 118 Wardana, 315, 322, 323, 324, 325,
Tempo, 169, 173, 272, 350, 385, 332, 334, 342, 343, 344, 350,
391, 430 351, 355
tender, 141, 156, 164, 170, 194, wealth power, 70, 71, 135
195, 196, 197, 205, 207, 212, Weber, 16, 57, 295
344, 352 Weberian, 76
teori ‘democracytrap’, 7 wewenang kharismatik, 16
teori aksi, 22, 31, 72, 75, 84, 107 wewenang tradisional, 16
teori pluralisme, 72 Winter, 42, 44, 46, 47, 82
tesis oligarki, 31, 72, 77, 79 Winters, 1, 2, 3, 4, 5, 7, 10, 18, 29,
Thailand, 6 36, 37, 39, 40, 42, 43, 44, 45, 46,
The Fund for Peace dan Foreign 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55,
Policy Magazine, 6 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64,
the Golden Horde, 42 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 79, 82,
the new predator, 190 83, 84, 89, 90, 93, 105, 106, 107,
the old predator, 190 116, 119, 123, 129, 131, 132,
428 Oligarki dan Demokrasi...

140, 142, 146, 176, 179, 183, Yordania, 41


184, 187, 188, 221, 222, 232, Yunani, 36, 38, 42, 100, 107
233, 237, 249, 252, 263, 264, zalim, 8, 102, 106
307, 329, 340, 341, 411 zaman penjajahan Belanda, 23
Winterston, 28 Zulkieflimansyah, 179, 180, 184,
Wolfe, 37, 38, 51, 52, 81, 82, 87, 208, 314
89, 407
Ahmad Munjin 429

BIOGRAFI PENULIS

Ahmad Munjin lahir di Sukabumi Jawa Barat, 2


Januari 1981. Ia adalah alumni Sekolah Dasar
Negeri 3 Bantarpanjang, Kec. Jampangtengah,
Kab. Sukabumi Jawa Barat (1988-1995). Ia
melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah (MTs.)
Pondok Modern Assalam Sukabumi (1995-
1998) dan Madrasah Aliyah Keagamaan Negeri
(MAKN) Pondok Pesantren Darussalam Ciamis
(1998-2001).
Menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) pada Program
Studi Pemikiran Politik Islam, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
(2001-2007). Program studi tersebut merupakan cikal bakal berdi-
rinya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. FISIP resmi
berdiri pada Juli 2009. Ia menulis skripsi, Constitutional Monar-
chy and the Formation of Modern Nation State: A Study of Jordan
Government System.
Ia juga Koordinator Bidang Keilmuan Himpunan Mahasis-
wa Islam (HMI) Cabang Ciputat, Komisariat Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat (2003-2004). Aktif diskusi sosiologi pada Forum
Mahasiswa Ciputat (Formaci) dan diskusi filsafat pada Indonesian
Studies and Advocacy Center (ISAC) dalam kurun 2001-2005.
Tercatat sebagai mahasiswa ekstensi untuk studi episte-
mologi pada Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta
(2004). Pada saat yang sama, ia kursus bahasa Perancis di Centre
Culturel Français (CCF)de Jakarta yang sekarang berubah nama
menjadi Institut Français d'Indonésie (IFI).
Sejak Februari 2006 hingga Agustus 2007, ia menjadi
kontributor untuk penulisan opini di media massa atas nama Pusat
Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina.
Tugas utamanya adalah menulis opini atas nama PSIK untuk
430 Oligarki dan Demokrasi...

sejumlah media massa. Selain itu, ia turut juga memprakarsai


diskusi-diskusi ilmiah di PSIK mengenai kebebasan beragama,
politik, filsafat, keislaman dan keindonesiaan.
Sejak September 2007, ia bergabung dengan perusahaan
media onlineInilah.com (www.inilah.com) di bawah naungan PT
Indonesia News Center (INC). Ia menjadi wartawan dengan
jabatan terakhir Asisten Redaktur untuk desk pasar modal dan
ekonomi. Desk yang diembannya saat ini sama sekali tidak linier
dengan program studi yang ia tekuni sebelumnya meskipun pada
awalnya bertugas pada desk politik.
Seiring berjalannya waktu, Inilah.com berekspansi dengan
mendirikan Inilah Koran di Bandung. Koran tersebut terbit per-
dana pada 10 November 2011. Tiga bulan sebelumnya, perusahaan
mendirikan majalah ekonomi dan bisnis mingguan Inilah
REVIEW. Kelahirannya terbit untuk edisi perdana, 15-21 Agustus
2011. Ia menjadi penulis tetap untuk rubrik pasar modal pada
majalah tersebut.
Sejak Agustus 2013, ia meneruskan studi ke jenjang ma-
gister, pada Program Studi Pengkajian Islam konsentrasi bidang
Agama dan Politik, Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta. Ia menulis
tesis Oligarki dan Demokrasi: Kajian Sumber Daya Kekuasaan
Kiai dan Jawara di Banten.

Tulisan-tulisan opini yang dipublikasikan:


1. Fundamentalisme dan Konflik Israel-Libanon (Bisnis
Indonesia, 7 September 2006);
2. Relasi Islam-Vatikan (Koran Tempo, 22 September 2006);
3. Puasa dan Pembebasan (Suara Karya, 3 Oktober 2006);
4. Puasa dan Transformasi Sosial di Indonesia (Suara Karya,
20 Oktober 2006);
5. Arus Balik dan Urbanisasi (Jurnal Nasional, 30 Oktober
2006);
6. Menyoal Kedatangan Bush (Suara Pembaruan, 16
November 2006);
Ahmad Munjin 431

7. Ledakan Sosial dalam Lumpur Lapindo (Duta


Masyarakat, 27 November 2006);
8. Pluralisme Peradaban Modern (Tangerang Tribun, 15
Februari 2007);
9. Kejujuran dan Rapuhnya Integritas Elite (Suara Karya, 23
Mei 2007);
10. Neo-Liberalism atau Old-Liberalism? (Satelit News, 24
Mei 2007); dan
11. Tuhan dalam Ruang Publik (Media Indonesia, 5 Juni
2007).

Pendidikan Formal
1. Sekolah Dasar Negeri 3 Bantarpanjang, Kec. Jampang-
tengah, Kab. Sukabumi Jawa Barat (1988-1995) dengan
STTB No. 02 OA oa 0234945;
2. Madrasah Tsanawiyah Pondok Modern Assalam Suka-
bumi Jawa Barat (1995-1998) dengan STTB No.EIV/MTs
754/043809/98;
3. Madrasah Aliyah Keagamaan Negeri (MAKN) Darussa-
lam Ciamis Jawa Barat (1998-2001) dengan STTB
No.EIV/i/MA17101/0079/2001; dan
4. Program Studi Pemikiran Politik Islam, Fakultas Ushulu-
ddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta (2001-2007) dengan gelar akademik
Sarjana Sosial (S.Sos). Nomor Ijazah ER 010477 dengan
yudisium Kumlaude.[]

Anda mungkin juga menyukai