Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

KIMIA FISIKA
“PERSAMAAN CLAUSIUS CLAPEYRON”

Oleh :
Gusti Nurfajriah
06101181823017

Dosen Pengampuh :
Dr. Effendi, M.Si

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Saya
ucapkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada Saya, sehingga Saya dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini
merupakan sebuah tugas dalam mata kuliah Kimia Fisika yang Saya buat guna menunjang proses
belajar yang kini tengah dijalani.
Dalam menyelesaikan makalah ini Saya mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak
yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, kepada Bapak Dr. Effendi, M.Si. selaku
dosen pengampu mata kuliah Kimia Fisika. Akhirnya Saya berharap semoga Allah SWT
memberikan imbalan yang Setimpal kepada mereka yang memberikan bantuan dan dapat
menjadikan sebuah bantuan ini sebagai ibadah. Aamiin Yaa Rabbal Alamin.
Terlepas dari semua itu, Saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka Saya
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar dapat Saya perbaiki makalah ini.
Sebelumnya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan Saya
memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dimasa depan.

Palembang, 05 Juli 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... i


DAFTAR ISI................................................................................................................................... ii
BAB I .............................................................................................................................................. 3
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 3
A. Latar Belakang ................................................................................................................. 3
B. Rumusan Masalah ............................................................................................................ 3
C. Tujuan............................................................................................................................... 3
BAB II............................................................................................................................................. 4
PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 4
A. Pergantian Orde Pertama Persamaan Clausius Clapeyron ............................................... 4
1. Peleburan ...................................................................................................................... 6
2. Penguapan ..................................................................................................................... 8
3. Sublimasi .................................................................................................................... 15
B. Persamaan Clausius Clapeyron ...................................................................................... 18
C. Penerapan Persamaan Clausius Clapeyron Dalam Kehidupan Sehari-hari ................... 20
BAB III ......................................................................................................................................... 24
PENUTUP..................................................................................................................................... 24
A. Kesimpulan..................................................................................................................... 24
B. Saran ............................................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 25

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada saat pergantian fase terkenal proses yang terjadi yaitu proses peleburan, penguapan,
dan sublimasi. Proses peleburan , penguapan, dan sublimasi ini merupakan proses yang
sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Jika dilihat secara sederhana proses peleburan,
penguapan , dan sublimasi merupakan proses yang sederhana juga. Karena proses pergantian
fase ini sudah pernah dipelajari sewaktu duduk di bangku sekolah dasar dengan materi
penguapan, peleburan, dan sublimasi yang masih sangat sederhana. Dilanjutkan pada waktu
pembelajaran di bangku sekolah menengah dengan proses yang sama tentang peleburan,
penguapan, dan sublimasi namun dengan materi yang lebih mandalam dan lebih rumit lagi.
Namun dalam termodinamika proses peleburan , penguapan, dan sublimasi ini dilihat secara
lebih mendalam. Sehingga proses yang lebih rumit tentang ketiga proses tersebut akan
dibahas lebih mendalam lagi. Dalam termodinamika juga mulai dikenal istilah-istilah baru
mengenai pergantian fase. Istilah-istilah baru yang dikenal dalam pergantian fase tersebut
seperti perubahan bentuk Kristal, yang temperature dan tekanannya tetap, sedangkan entropi
dan volumenya tetap. Oleh Karena itu proses pergantian fase dalam termodinamika akan
sangat menarik untuk dibahas.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pergantian orde pertama persamaan Clausius Clapeyron ?
2. Bagaimana persamaan Clausius Clapeyron ?
3. Bagaimana penerapan persamaan Clausius Clapeyron dalam kehidupan sehari-hari ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pergantian orde pertama persamaan Clausius Clapeyron
2. Untuk mengetahui persamaan Clausius Clapeyron
3. Untuk mengetahui penerapan persamaan Clausius Clapeyron dalam kehidupan sehari-
hari

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pergantian Orde Pertama Persamaan Clausius Clapeyron


Pada pergantian fase yang terkenal (peleburan, penguapan, dan sublimasi) dan juga pada
pergantian fase yang kurang terkenal (perubahan bentuk Kristal), temperatur dan tekanannnya
selalu tetap, sedangkan entropi dan volumnya berubah. Tinjaulah n0 mol bahan dalam fase i
dengan entropi molar s(i) dan volum molar v(i). keduanya, s(i) dan v(i), adalah fungsi dari T dan P
sehingga selalu tetap selama pergantian fase berlangsung sampai semua bahan dalam fase f
dengan entropi molar s(f) dan volum molar v(f). (Perbedaan fase ditunjukan oleh tikalas supaya
kita bias menyediakan pemakaian tikalas intuk memberi perincian keadaan yang berbeda dari
fase yang sama atau zat yang berbeda). Ambil x sama dengan bagian fase mula-mula yang sudah
diubah menjadi fase akhir pada setiap saat. Jadi entropi dan volum campuran pada setiap saat.
Jadi entropi dan volum campuran pada setiap saat, yaitu S dan V, ialah
𝑆 = 𝑛0 (1 − 𝑥)𝑠 (𝑖) + 𝑛0 𝑥𝑠 (𝑓)
dan 𝑉 = 𝑛0 (1 − 𝑥)𝑠 (𝑖) + 𝑛0 𝑥𝑠 (𝑓)
Terlihat S serta V merupakan fungsi linear dari x. Jika pergantian fase terjadi secara
terbalikkan, kalor (biasa dienal sebagai kalo laten) yang dipindahkan per molnya ialah.
𝑙 = 𝑇(𝑠 (𝑓) − 𝑠 (𝑖)
Jadi, keberadaan kalor laten mengandung arti bahwa terdapat perubahan entropi. Karena
𝑑𝑔 = −𝑠 𝑑𝑇 + 𝑣 𝑑𝑃,
𝜕𝑔
𝑠 = −( ) ,
𝜕𝑃 𝑃
𝜕𝑔
dan 𝑣 = (𝜕𝑃) ,
𝑇

kita dapat mencirikan pergantian fase yang terkenal dengan salah satu pernyataan yang setara
berikut ini:
1. Terdapat perubahan entropi dan volum
2. Turunan pertama fungsi Gibbs berubah secara takmalar

4
Setiap perubahan fase yang memenuhi persyaratan tersebut dikenal sebagai pergantian fase
orde pertama. Untuk perubahan fase seperti itu, variasi temperatur dari G, S, V, dan Cp
diperlihatkan pada empat grafik kasar dalam gambar 10.1.
Pergantian fase dapat dianggap terjadi secara terbalikkan dalam dua arah. Grafik keempat
yang memperlihatkan kelakuan Cp sangatlah penting karena Cp dari campuran dua fase selama
terjadi pergantian fase menjadi tak terhinggaI. Hal ini berlaku karena pergantian terjadi pada
Tdan P yang tetap. Bila P tetap, dT = 0; atau bila T tetap, dP = 0. Jadi,
𝜕𝑠 1 𝜕𝑉 1 𝜕𝑉
𝐶𝑝 = 𝑇 ( ) = ∞, 𝛽= ( ) = ∞, =− ( ) = ∞.
𝜕𝑇 𝑝 𝑉 𝜕𝑇 𝑝 𝑉 𝜕𝑇 𝑝
Namun, perlu diperhatikan bahwa pernyataan itu hanya benar bila kedua fase itu ada.
Seperti diperlihatkan dalam gambar 10.1d, Cp fase 1 tetap berhingga sampai temperatur
pergantian tercapai. Dalam gambar tersebut tidak terlihat adanya antisipasi terjadinya pergantian
fase dengan menaiknya Cp sebelum temperature ini tercapai. Hal seperti ini selalu benar untuk
pergantian fase orde pertama, tetapi tidak untuk segala jenis pergantian lainnya.
Persamaan T dS kedua memberikan hasil yang taktertentu bila diterapkan pada
pergantian fase orde-pertama. Untuk suatu bagian kecil berlaku,
𝑇 𝑑𝑆 = 𝐶𝑝 𝑑𝑇 − 𝑇𝑉𝛽 𝑑𝑃
dengan 𝐶𝑝 = ∞ dan 𝑑𝑇 = 0; dan juga 𝛽 = ∞ dan 𝑑𝑃 = 0.
Namun, persamaan T dS yang pertama bias diintegrasi melalui pergantian fase. Bila 1
mol zat diubah secara terbalikkan, isotherm, dan isobar, dari fase (i) ke fase (f), persamaan T dS
nya yaitu
𝜕𝑃
𝑇 𝑑𝑠 = 𝑐𝑣 𝑑𝑇 + 𝑇 ( ) 𝑑𝑣
𝜕𝑇 𝑣
Dapat diintegrasi dengan pengertian bahwa berbagai P dan T ketika terjadi pergantian
fase memenuhi hubungan yang menyatakan bahwa P merupakan fungsi dari T saja, tak
𝜕𝑃 𝑑𝑃
bergantung pada V, sehingga (𝜕𝑇 ) = 𝑑𝑇
𝑣
𝑑𝑃
Jadi, 𝑇(𝑠 (𝑓) − 𝑠 (𝑖) ) = 𝑇 𝑑𝑇 (𝑣 (𝑓) − 𝑣 (𝑖)

Ruas kiri persamaan ini adalah kalor laten per mol, sehingga
𝑑𝑃 1
= 𝑣(𝑓) −𝑣(𝑖) (10.1)
𝑑𝑇

5
Persamaan 10.1 dikenal sebagai persamaan Clapeyron dan berlaku untuk setiap
perubahan fase orde-pertama atau pergantian yang berlangsung pada T dan P tetap. Sangatlah
bermanfaat bagi kita untuk menurunkan persamaan Clapeyron dengan cara lain. Fungsi Gibbs
tetap selama suatu proses terbalikkan berlangsung pada temperatur dan tekanan tetap. Jadi suatu
perubahan fase pada T dan P,
𝑔(𝑖) = 𝑔(𝑓)
Dan untuk perubahan fase pada 𝑇 + 𝑑𝑇 dan 𝑃 + 𝑑𝑃
𝑔(𝑖) + 𝑑𝑔(𝑖) = 𝑔(𝑓) + 𝑑𝑔(𝑓)
Dengan mengurangkannya, kita dapatkan
𝑑𝑔(𝑖) = 𝑑𝑔(𝑓)
Atau −𝑠 (𝑖) 𝑑𝑇 + 𝑣 (𝑖) 𝑑𝑃 = −𝑠 (𝑓) 𝑑𝑇 + 𝑣 (𝑓) 𝑑𝑃
𝑑𝑃 𝑠 (𝑓) −𝑠 (𝑖)
Jadi = 𝑣(𝑓)−𝑣(𝑖) ,
𝑑𝑇
𝑑𝑃 1
Dan akhirnya, = 𝑇 (𝑣(𝑓) −𝑣(𝑖))
𝑑𝑇

Dalam membahas pergantian fase, kita perlu menunjukkan dengan cara sederhana fase
awal dan akhir kalor pergantian yang bersesuaian. Notasi yang dipakai dalam buku ini adalah
sebagai berikut. Lambang yang menggambarkan setiap sifat fase padat akan bertanda aksen; fase
cair akan bertanda dwi-aksen, dan fase uap triaksen. Jadi v’ menyatakan volum molar padatan ,
v” untuk cairan, dan v”’ untuk uap. Kalor lebur (leleh) per mol ialah 𝑙𝐹 , kalor penguapan
(pendidihan) 𝑙𝑉 , dan kalor sublimasi 𝑙𝑆 .
1. Peleburan
Metode paling sederhana untuk mengukur kalor lebur zat padat ialah dengan
mengirimkan energi listrik dengan laju tetap dan mengukur temperaturnya pada selang waktu
yang memudahkan. Dengan rajah temperatur terhadap waktu, diperoleh kurva pemanasan; di sini
pergantian fase muncul sebagai garis lurus pada temperatur tetap yang panjangnya ∆𝝉, diukur
sepanjang sumbu waktu. Radarnya, perlindungannya, penjagaannya dan seterusnya tepat sama
dengan pengukuran kapasitas kalor. Jika terdapat n mol zat padat yang melebur dalam waktu ∆𝝉
dengan pemberian energy listrik yang lajunya 𝜀𝐼, maka
𝜀𝐼 ∆𝜏
𝑙𝐹 =
𝑛

6
Jika TM menyatakan titik lebur normal suatu zat padat dan 𝑙𝐹𝑀 adalah kalor laten
peleburan pada titik lebur normal, maka perubahan entropi yang berkaitan dengan perubahan
𝑙𝐹𝑀
pada temperatur ini ialah , dinyatakan dalam satuan R. Perubahan entropi ini didaftarkan
𝑅 𝑇𝑀

dalam tabel 10.1 untuk 15 zat padat non logam dan 15 logam, dan dapat dilihat bahwa logam
𝑙𝐹𝑀
menunjukkan keteraturan lebih banyak daripada nonlogam. Secara kasar, adalah sekitar 1
𝑅 𝑇𝑀

untuk logam.
Berbagai harga tekanan dan temperature terjadinya keberadaan bersama antara fase padat
dan cair dalam kesetimbangan menentukan kurva peleburan dan salah satu tugas ahli percobaan
ialah menentukan persamaan kurva ini. Dalam daerah temperatur rendah, temperature dan
tekanan lebur seringkali diukur dengan metode kapiler tersumbat seperti yang terlihat dalam
gambar 10.2.
Bahan dalam fase gas dimampatkan sehingga bertekanan tinggi dan dipaksa masuk ke
dalam kapiler baja yang sebagian dibenamkan dalam bak berisi cairan yang temperaturnya dapat
diatur menurut keinginan kita dengan cara memilih cairan serta tekanannya. Dua buah
manometer, M1 dipasang sebelum bak dan M2 sesudahnya, terhubungkan dengan kapiler.
Tekanan lebur yang berkaitan dengan temperatur bak sama dengan pembacaan maksimum pada
M2. Empat kurva peleburan dari neon, argon, krypton, dan xenon diperlihatkan dalam gambar
10.3.
Dalam tahun 1929, F. E. Simon dan G. Glatzel mengusulkan suatu persamaan yang
cukup berhasil untuk menyatakan data pada kurva peleburan, sebagai berikut:
𝑇 𝑐
𝑃 − 𝑃𝑇𝑃 = 𝑎 [( ) − 1]
𝑇𝑇𝑃
Dengan TTP dan PTP menyatakan koordinat titik tripel, dan a serta c adalah tetapan yang
bergantung pada zatnya. Pada temperatur tinggi PTP diabaikan, sehingga persamaan yang biasa
dipakai berbentuk
𝑃 𝑇 𝑐
=( ) −1
𝑎 𝑇𝑇𝑃
Harga a dan c untuk empat jenis gas mulia yang terkondensasi yang diperlihatkan dalam
gambar 10.3 didaftarkan dalam tabel 10.2, dan harga untuk zat padat lainnya telah diberikan oleh
S. E. Babb.
Tabel 10.2 Parameter peleburan untuk gas mulia yang terkondensasi
7
Gas Mulia yang terpadatkan TTP, K PTP, kPa a, MPa c
Ne 24,6 43,2 103,6 1,6
Ar 83,8 69,0 227,0 1,5
Kr 116 73,3 305,0 1,4
Xe 161 81,7 345,5 1,31

Kemiringan kurva peleburan berharga negatif untuk zat seperti es I yang menciut ketika
mencair. Kelakuan ini juga diperlihatkan oleh Bi, Ge, Si, dan Ga, serta harga T yang diperlukan
dalam persamaan Simon kurang dari pada TTP. Akibat- nya harga a menjadi negatif. Berbagai
harga a dan c untuk keempat bentuk es diperlihatkan dalam gambar 10.4. Dalam gambar 10.5
diperlihatkan berapa besar tekanan dan temperature yang diperlukan untuk menghasilkan karbon
gas dan cairan dan juga bentuk padatan Kristal dan intan.
Teori mengenai proses yang sebenarnya terjadi bila suatu zat padat melebur telah
menarik perhatian fisikawan selama bertahun-tahun. Teori yang mula-mula diusulkan oleh
Lindermann menyatakan bahwa zat padat melebur bila amplitude getaran kisi menjadi cukup
besar untuk mematahkan gaya tari memegang kisi itu; dalam kalimat yang lebih mudah, ‘Dalam
peleburan, zat padat mengguncangkan dirinya sehingga pecah’. Dengan pandangan ini,
Lindermann menurunkan rumus:
𝑚𝑣 2⁄3 𝛩2
(10.3)
𝑇𝑀
Dengan m dan v merupakan berat molekul dan volum molar, 𝛩 temperatur karakteristik
Debye, dan TM temperature lebur. Hubungan ini dipenuhi cukup baik oleh berbagai logam dan
non logam, tetapi ada beberapa yang menyimpang secara radikal dari rumus itu . Hal ini
menunjukkan bahwa proses bukan semata-mata persoalan getaran kisi saja. Dislokasi dan
lowongan dalam kisi Kristal, demikian juga kuantitas yang meberi spesifikasi pada hukum gaya
antar molekul pada padatan dan cairan, semuanya dianggap memainkan peranan. Berdasarkan
gagasan seperti itu dapat diletakkan sedikit dasar teoritis untuk persamaan Simon.

2. Penguapan
Kalor penguapan cairan dengan titik didih normal dari 250 K sampai sekitar 550 K pada
umumnya diukur langsung dengan calorimeter seperti yang diperlihatkan dalam gambar 10.6.

8
Contoh cairan L2 dimasukkan kedalam tabung kecil dan kedalamnya dicelupkan kumparan
pemanas kecil R2. Tabung ini dilingkungi oleh bejana yang berisi campuran udara dan uap cairan
L2. Dengan memilih cairan L1 yang cocok dan mempertahankannya pada temperature didihnya
dengan memakai kumparan pemanas R1 dalam udara dengan tekanan yang sesuai, temperature
dalam bejana dapat dipertahankan menurut yang dikehendaki. Pada temperature terpilih ini,
cairan L2 dalam kesetimbangan dengan uapnya. Tabung kecil berisi L2 berhubungan dengan
tabung lain di luarnya (tidak tergambar) yang biasa dipertahankan pada temperature yang
diinginkan oleh gawai pemanas atau pendingin yang dikendalikan secara terpisah
Jika temperature tabung luar dipertahankan pada temperature yang kurang dari pada L2,
maka suatu gradient tekanan timbul, dan sejumlah cairan L2 tersuling. Dengan mempertahankan
arus kecil I dalam kumparan pemanas R2, temperature L2 dipertahankan sama dengan
lingkungannya, dan energy yang diperlukan untuk menguapkannya tersedia. Dengan demikian
terjadi penyulingan tunak dari L2 ke dalam tabung luar, dengan kalor penguapan disediakan oleh
kumparan pemanas R2, dan kalor pengembun diambil oleh lingkungan tabung luar itu. Tambahan
lagi, seluruh energy yang diberikan oleh pemanas R2 dipakai untuk menguapkan L2, karena tidak
ada kalor yang hilang antara tabung dalam dengan sekelilingnya. Akibatnya, jika n mol
teruapkan pada waktu t, kalor penguapan per mol ialah
𝜀𝐼𝜏
Iv = 𝑛
Tabel 10.3 Data Penguapan *
Zat T,K T/TC IV,J/ IV/TC, P, v’’’-v’’, P(v’’’-v’’)
mol J/ kPa 1/ mol /T
mol . J/mol.K
K
N2 63,15 0,500 5956 47,18 12,53 41,35 8,20
TC = 126,25 K 77,35 0,613 5536 43,85 101,3 6,042 7,91
PC = 3,396 MPa 94 0,745 4869 38,57 499,5 1,317 7,00
104 0,824 4292 34,00 1016 0,624 6,10
111 0,879 3754 29,73 1554 0,374 5,24
116 0,919 3244 26,70 2047 0,251 4,43
120 0,950 2681 21,24 2515 0,172 3,60
124 0,982 1818 14,40 3057 0,097 2,39

9
Ar 83,78 0,555 6463 42,84 68,75 9,834 8,07
TC = 150,86 K 87,29 0,579 6375 42,26 101,3 6,882 7,99
PC = 4,898 MPa 106 0,703 5760 38,18 507,4 1,523 7,29
117 0,776 5245 34,77 1022 0,758 6,62
124 0,822 4825 31,98 1499 0,501 6,06
130 0,862 4390 29,10 2020 0,352 5,47
135 0,895 3950 26,18 2545 0,259 4,88
139 0,921 3539 23,46 3032 0,198 4,32
CO 72,4 0,516 6429 45,85 30,4 19,047 8,00
TC = 140,23 K 81,63 0,582 6040 43,07 101,3 6,325 7,85
PC = 3,498 MPa 99 0,706 5124 36,54 506,5 1,304 6,67
109 0,777 4490 32,02 1012 0,650 6,04
115 0,820 4131 29,46 1418 0,450 5,55
121 0,863 3522 25,12 2026 0,279 4,67
126 0,899 2802 19,98 2535 0,185 3,72
130 0,927 1990 14,19 3039 0,109 2,55

Hal yang lebih menarik adalah cairan kriogenik dengan titik didih normal disekitar 100 K
atau kurang. Untuk cairan ini, orang harus memilih informasi yang terdapat dalam buku
pegangan keteknikan-yaitu tekanan, entropi, entalpi, dan volum, dari cairan jenuh serta uap jenuh
pada temperature titik tripel hinggatitik kritis. Beberapa table seperti ini sekarang tersedia, dan
kalor penguapan bisa diperoleh dengan melakukan pengurangan h’’’ – h’’. dalam table 10.3
disajikan data penguapan untuk beberapa cairan sederhana yang diperoleh dari table
termodinamik yang disusun oleh Vargaftik.
Dalam gambar 10.7, kalor penguapan Iv yang dibagi oleh temperature kritis TC telah
dirajah terhadap kuantitas P (v’’’ – v’’)/T dari sekitar 0,5 TC hingga 0,98 TC. Kita telah melihat
bahwa titik-titik untuk lima macam gas terletak pada suatu garis yang sama sehingga kita bisa
menganggap bahwa titik-titik serupa itu, untuk cairan sederhan lainnya, terletak pada garis lurus
yang sama. Dengan istilah ‘sederhana’ dimaksudkan cairan seperti Kr, Xe, O2 yang molekulnya
tidak memiliki momen dwikutub (atau hanya kecil saja) dan tidak Menyangkut fase cair dan fase
uap. Dengan menentukan kemiringan garis dalam gambar 10.7, yaitu 5,4, kita bisa melukiskan

10
Iv/Tc T
= 5.4 ( Untuk 0,5 < Tc < 1)
P(vᶬ−vᶯ)/T

Gambar 10.7 Hukum keadaan yang bersesuaian berlaku untuk temperature tereduksi
antara 0,5 hingga 1
Hubungan ini dapat dipandang sebagai hukum keadaan yang bersesuai. Namun, dalam
bentuk yang sekarang, rumus itu mempunyai kegunaan yang terbatas karena melibatkan
pengetahuan tentang begitu banyak kuantitas. Jadi, sangat menarik bagi kita untuk memeriksa
akibat dari kesebandingan yang aneh ini. Mula-mula kita tuliskan persamaan Clapeyron dalam
bentuk.
𝑑𝑃/𝑃 Iv 𝐼𝑣/𝑇𝑐)𝑇𝑐
= =
𝑑𝑇/𝑇² P(υᶬ − υᶯ)/T 𝑃(𝑣ᶬ − 𝑣ᶯ)/𝑇
11
Perhatikan bahwa ruas kanannya sama dengan 5,4 Tc. Persamaan yang dihasilkan, yaitu
𝑑𝑃 𝑑𝑇
= 5,4𝑇𝑐
𝑃 𝑇²
Bisa diintegrasi dari T ke Tc dan dari Pke Pc, asal saja T/Tc tidak kurang dari pada 0,5. Jadi,
𝑃𝑐 1 1
ln = 5,4𝑇𝑐 ( − )
𝑃 𝑇 𝑇𝑐
atau
𝑃 𝑇𝑐 𝑇
ln 𝑃𝑐 = 5,4 ( 1 − 𝑇 )( Untuk 0,5 < 𝑇𝑐 < 1 ). (10.5)
Persamaan (10.5) merupakan hukum keadaan bersesuaian yang sejati, dinyatakan dalam
temperatur tereduksi dan tekanan tereduksi. Persamaan itu mula-mula diusulkan oleh E. A.
Guggenheim yang merajah logaritma tekanan uap tereduksi terhadap kebalikan temperatur
tereduksi untuk tujuh cairan sederhana seperti yang terlihat dalam gambar 10.8. Titik-titik itu
terlihat terletak dengan baik pada suatu garis lurus yang persamaannya
𝑃 𝑇𝑐 𝑇
𝑙𝑛 𝑃𝑐 = 5,3 (1 − 𝑇 ) (Untuk 0,55 < 𝑇𝑐 < 1
Dan kecocokan numerik dengan persamaan (10.5) sangat memuaskan. Bisa diterima
bahwa cairan yang molekulnya mempunyai momen dwikutub listrik yang besar dan saling
menimbulkan gaya akan memenuhi hukum keadaan yang bersesuaian dengan bilangan tetap
yang berbeda.

12
Gambar 10.8 Hukum keadaan yang bersesuaian untuk cairan sederhana. (E. A. Guggenheim,
Thermodynamics, Interscience, 1967)
Terdapat akibat yang menarik lainnya dari hukum keadaan yang bersesuaian seperti
diberikan dalam persamaan (10.5) yang bisa jelas jika kita membatasi diri pada daerah
temperatur yang kecil yang cukup jauh dari titik kritis. Dengan demikian kita diizinkan untuk
memandang Iv sebagai suatu tetapan, katakanlah, sekitar titik didih normalnya. Dalam daerah
ini, jika dibandingkan dengan v’’’ , v’’ dapat diabaikan, dan tekanan uapnya cukup kecil untuk
dihampiri leh persamaan keadaan gas ideal, atau v’’’ = RT/P. Dalam kondisi ini, persamaan
Clapeyron menjadi
𝑑𝑃 𝐼𝑣 𝐼𝑣 𝑑 ln 𝑃 𝑑 ln(𝑃⁄𝑃𝑐 )
= 𝑅𝑇 2 /𝑃, atau =− =−
𝑃 𝑅 𝑑 (1⁄𝑇 ) 𝑑 (1⁄𝑇 )

13
Jika persamaan ini kita integrasi melalui selang temperatur kecil sekitar Tᵦ , dengan Iv
memiliki harga tetap Ivᵦ , kita dapatkan
𝑃 𝐼𝑣ᵦ
𝑙𝑛 𝑃𝑐 = 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝𝑎𝑛 − ` (10.6)
𝑅𝑇

Dalam tabel 10.4, titik didih normal dari 14 cairan sederhana didaftar bersama dengan
titik kritisnya, serta titik didih normal tereduksinya Tᵦ/Tc, terlihat terletak antara 0,57 dan 0,61
yang masih termasuk dalam selang hukum keadaan yang bersesuaian. Jadi dengan
membandingkan persamaan (10.5) dan (10.6) kita dapatkan
𝐼𝑣ᵦ
= 5,4𝑇𝑐 (10.7)
𝑅
Tabel 10.4 Kalor penguapan pada titik didih normal, Ivᵦ*
Cairan Tᵦ , Tc, Tᵦ/Tc Ivᵦ , Ivᵦ/R, Ivᵦ/RTᵦ
K K KJ/kmol K
Ne 27,1 44,5 0,609 2112 254 9,4
N₂ 77,3 126 0,613 5583 671 8,7
CO 81,7 133 0,614 6051 728 8,9
F₂ 85,2 144 0,592 6046 727 8,5
Ar 90,2 151 0,578 6288 757 8,7
O₂ 90,2 154 0,586 6833 822 9,1
CH₄ 111 191 0,581 8797 1058 9,5
Kr 120 209 0,574 9812 1180 9,8
Xe 165 290 0,569 12.644 1521 9,2
C₂H₄ 175 283 0,601 14.680 1766 10,4
C₂H₆ 185 308 0,601 16.241 1953 10,6
HCL 188 325 0,578 16.183 1946 10,4
HBr 206 363 0,567 17.618 2119 10,3
CL₂ 238 417 0,570 18.408 2214 9,3

 Diambil dari Kuzman Raznjevic, Handbook of Thermodynamic Tables and Charts,


MoGraw-Hill, New York, 1976.

Dengan memakai data dalam tabel 10.4, grafik Ivᵦ/R terhadap Tc diperlihatkan dalam
gambar 10.9, dan lagi-lagi suatu garis lurus diperoleh untuk 14 cairan sederhana. Kemiringan
garis ini ialah 5,8, hampir sesuai dengan harga yang diharapkan (kesesuaiannya lebih baik lagi
jika hanya ditinjau sembilan cairan yang pertama).

14
Gambar 10.9 hukum keadaan yang bersesuaian untuk kalor penguapan cairan sederhana
pada temperatur tereduksi sekitar 0,6

Karena titik didih tereduksi dari banyak cairan berada di sekitar 0,6 , persamaan (10.7)
dapat dipandang sebagai hukum keadaan yang bersesuaian, dengan pernyataan
𝑇
Ivᵦ( pada 𝑇𝑐 ~ 0,6 ) = 5,4RTc

Dengan mengacu pada tabel 10.4 , perhatikan bahwa hasil bagi yang dicantumkan dalam
kolom terakhir tidak tetap, tetapi naik terhadap Tᵦ. Namun, kenaikannya cukup kecil sehingga
hampiran kasar didapatkan dengan mengambil Iv/RTᵦ sekitar 9 – suatu kaidah kerja yang dikenal
sebagai kaidah Trouton yang sangat berguna bila Tc belum diketahui.

3. Sublimasi
Sublimasi; persamaan Kirchhoff
Persamaan Clapeyron untuk sublimasi ialah
𝑑𝑃 𝑙𝑠
+ 𝑇(𝑣′′′ −𝑣′ ) ,
𝑑𝑇

Keterangan :

15
𝑣 ′′′ = volume molar uap
𝑣 ′ = volume polar padatan
Sublimasi biasanya terjadi pada tekanan renda,uapnya bisa dipandang sebagai gas
ideal,sehingga
𝑅𝑇
𝑣 ′′′ ≈
𝑃
Karena P kecil, 𝑣 ′′′ menjadi besar,benar – benar jauh lebih besar daripada volume molar
padatan,sehingga 𝑣 ′ bisa diabaikan,atau
𝑣 ′′′− 𝑣 ′ ≈ 𝑣 ′′′
Persamaan Clapeyron bisa ditulis
𝑑𝑃/𝑃
𝑙𝑠 = R 𝑑𝑇/𝑇 2
𝑑 𝐼𝑛 𝑃
= -R 1
𝑑( )
𝑇

𝑑 log 𝑃
= - 2,30 R 1 ,
𝑑( )
𝑇

Sehingga dapat dilihat bahwa 𝑙𝑆 sama dengan – 2,30 R kali kemiringan kurva yang
diperoleh bila log P dirajah terhadap 1/T. Tekanan uap padatan biasanya diukur untuk selang
temperatur yang kecil. Dalam selang ini grafik log P terhadap 1/T praktis merupakan garis lurus,
atau
𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝𝑎𝑛
log 𝑃 = − + 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝𝑎𝑛.
𝑇
Menurunkan persamaan Kirchhoff untuk kalor sublimasi suatu sistem kimia diberikan oleh
𝑑ℎ = 𝑇 𝑑𝑠 + 𝑣 𝑑𝑃
Masukkan persamaan T d s kedua,kita dapatkan
𝜕𝑣
𝑑ℎ = 𝑐𝑝 𝑑𝑇 + [𝑣 − 𝑇 ( ) ] 𝑑𝑃
𝜕𝑇 𝑝
= 𝑐𝑝 𝑑𝑇 + 𝑣 (1 − 𝛽𝑇) 𝑑𝑃
Perubahan entalpi yang berlebihan antara dua keadaan 𝑃𝑖 𝑇𝑖 dan 𝑃𝑓 𝑇𝑓 ialah
𝑓 𝑓
ℎ𝑓 − ℎ𝑖 ∫ 𝑐𝑝 𝑑𝑇 + ∫ 𝑣 (1 − 𝛽𝑇) 𝑑𝑃.
𝑖 𝑖

kita terapkan persamaan ini pada zat padat yang keadaan awalnya 𝑖 ′ pada tekanan nol dan pada
temperatur nol mutlak,yang keadaannya akhirnya 𝑓 ′

16
Gambar 10.10 Bagian permukaan PVT di bawah titik tripel
Merupakan zat padat jenuh (zat padat yang hampir bersublimasi) yang digambarkan oleh
suatu titik pada kurva padatan-jenuh dibawah titik tripel. Kedua keadaan ini diperlihatkan pada
permukaan P VT dalam gambar 10.10. untuk menghitung perubahan entalpi dari 𝑖 ′ ke 𝑓 ′ ,kita bisa
mengintegrasi sepanjang lintasan terbalikan dari 𝑖 ′ ke 𝑓 ′ . Lintasan yang paling enak dipakai
digambarkan dengan dua langkah 𝑖 ′ → 𝐴 dan 𝐴 → 𝑓 ′ ,yang pertama merupakan proses isoterm
pada nol mutlak dan yang kedua merupakan proses isobar pada tekanan P. Dengan memberi
tanda entalpi akhir dengan ℎ′ dan entalpi awal dengan ℎ0′ .
𝐴 𝑖′

ℎ − ℎ0′ = ∫ 𝑣 (1 − 𝛽𝑇)𝑑𝑃 + ∫ 𝑐𝑝 𝑑𝑇
𝑖′ 𝐴
𝑃 𝑇
= ∫0 𝑣 ′ 𝑑𝑃 + ∫0 𝑐𝑃′ 𝑑𝑇,
Keterangan :
𝑣 ′ = volum molar zat padat pada nol mutlak
𝑐𝑝′ = kapasitas kalor molar pada tekanan P tetap.
Sekarang,tekanan pada sebuah titik pada kurva sublimasi untuk hampir semua zat padat
biasanya amat kecil. Misalnya, untuk es biasa berkisar antara 0 hingga sekitar 650 Pa; untuk
kadmium dari 0 hingga 15 Pa. Jadi, jika kita batasi pemakaian rumus ini zat padat pada
𝑃
temperatur dengan tekanan uap amat kecil,kita dapat mengabaikan ∫0 𝑣 ′ dP,dan
𝑇
ℎ′ = ∫0 𝑐𝑝′ 𝑑𝑇 + ℎ0′ (10.8)
Karena 𝑐𝑝′ suatu zat padat tidak berubah banyak terhadap tekanan,harga 𝑐𝑝′ pada tekanan
atmosfer dapat dipakai dalam integral di atas. Entalpi uap jenuh yang ditujukan dalam gambar

17
10.10 dapat dihitung berdasarkan anggapan bahwa uap jenuh pada tekanan rendah berkelakuan
𝜕ℎ
seperti gas ideal. Kembali ke persamaan umum 𝑐𝑃 = (𝜕𝑇) 𝑝 dan mengingat bahwa entalpi gas

ideal sebagai fungsi dari temperatur saja,kita dapatkan


𝑑ℎ′′′ = 𝑐𝑝′′′ 𝑑𝑇.
Dengan mengintegrasi dari nol mutlak hingga T,kita dapatkan
𝑇
ℎ′′′ = ∫0 𝑐𝑝′′′ + 𝑑𝑇 + ℎ0′′′ (10.9)
Dengan ℎ0′′′ menyatakan entalpi molar uap jenuh pada nol mutlak.
Sekarang, ditinjau sublimasi keterbalikan 1 mol zat padat pada temperatur T dan tekanan P yang
bersesuaian dengan transisi dari 𝑓 ′ ke 𝑓 ′′′ dalam gambar 10.10.
Kita dapatkan 𝑙𝑠 = ℎ′′′ − ℎ′
𝑇 𝑇
= ∫ 𝑐𝑝′′′ 𝑑𝑇 − ∫ 𝑐𝑝′ 𝑑𝑇 + ℎ0′′′ − ℎ0′ .
0 0

Karena kedua ntegral itu mendekati nol ketika T mendekati nol,maka


𝑙𝑠 → ℎ0′′′ − ℎ0′ ketika T → 0,
Dan ℎ0′′′ adalah kalor sublimasi pada nol mutlak dan dineri lambang 𝑙0 . Jadi,

𝑇 𝑇
𝑙𝑠 = ∫ 𝑐𝑝′′′ 𝑑𝑇 − ∫ 𝑐𝑝′ 𝑑𝑇 + 𝑙0
0 0
(10.10)
Persamaan di atas dikenal sebagai persamaan Kirchhoff. Persamaaan ini hanya
merupakan hampiran,dan dibatasi oleh persyaratan bahwa tekanannya rendah dan uap jenuh
berkelakuan seperti gas ideal.

B. Persamaan Clausius Clapeyron


Persamaan Clausius Clapeyron merupakan sebuah hubungan yang penting mengenai
hubungan tekanan, suhu, perubahan entalpi, dan volume jenis yang dihubungkan dengan
perubahan fase. Terdapat beberapa sifat termodinamik yang tidak dapat diukur secara langsung
contohnya adalah perubahan entalpi. Menurut persamaan Clausius, perubahan entalpi dapat
dihitung berdasarkan pada pengukuran tekanan, suhu, dan volume jenis. Persamaan Clausius
Clapeyron secara mudah dapat diturunkan dari persamaan Maxwell untuk dua fase dalaqm
kesetimbangan.

18
Hubungan persamaan Maxwell
𝜕𝑝 𝜕𝑠
( ) =( )
𝜕𝑇 𝑣 𝜕𝑣 𝑇

Zat murni berubah dari keadaan cairan jenuh ke keadaan uap jenuh berlangsung pada
suhu konstan karena kalor yang diserap digunakan untuk berubah fase, tidak untuk menaikkan
suhu. Tekanan dan suhu tidak bergantung pada volume pada daerah jenuh, maka dapat
dituliskan:
𝜕𝑝 𝜕𝑝
( ) =
𝜕𝑇 𝑣 𝜕𝑇
Dari hukum pertama untuk zat yang mengalami perubahan fase,
𝑄 = ∆𝑢 − 𝑊
= 𝑢𝑔 − 𝑢𝑓 + 𝑝(𝑣𝑔 − 𝑣𝑓 )
= ℎ𝑔 − ℎ𝑓 = ℎ𝑓𝑔
Kalor yang diserap per satuan massa pada tekanan konstan sama dengan,
𝑞 = 𝑇𝑠𝑓𝑔
Dan
ℎ𝑓𝑔
𝑠𝑓𝑔 = 𝑇

𝜕𝑠 𝑠𝑔 − 𝑠𝑓 𝑠𝑓𝑔
( ) = =
𝜕𝑣 𝑇 𝑣𝑔 − 𝑣𝑓 ℎ𝑓𝑔
Dari hubungan-hubungan di atas, didapat suatu persamaan Clausius Clapeyron:
𝑑𝑃 𝑠𝑔 − 𝑠𝑓 𝑠𝑓𝑔 𝑑𝑃 ℎ𝑓𝑔 ℎ𝑓𝑔
= = 𝑑𝑎𝑛 = =
𝑑𝑇 𝑣𝑔 − 𝑣𝑓 𝑣𝑓𝑔 𝑑𝑇 𝑇(𝑣𝑔 − 𝑣𝑓 ) 𝑇𝑣𝑓𝑔

Persamaan di atas disebut persamaan Clausius Clapeyron yang menyatakan kemiringan


garis kesetimbangan dalam digram p-T. Jadi hfg dapat ditentukan dari kemiringan kurva tekanan
uap dan volume jenis cairan jenuh dan uap jenuh pda suhu yang ditentukan. Terdapat beberapa
perubahan fase berbeda yang dapat terjadi pada suhu dan tekanan konstan. Jika dua fase ditandai
dengan superskrip ‘ dan ‘’, kita dapat menuliskan persamaan Clausius Clapeyron dalam bentuk
umum

19
𝑑𝑃 𝑠 ′′ − 𝑠 ′ 𝑑𝑃 ℎ′′ − ℎ′
= ′′ 𝑑𝑎𝑛 =
𝑑𝑇 𝑣 − 𝑣 ′ 𝑑𝑇 𝑇(𝑣 ′′ − 𝑣 ′ )

Jadi untuk perubahan keadaan zat murni dari keadaan padatan jenuh ke keadaan cairan jenuh yng
berlangsung pada suhu konstan, dapat dituliskan:
𝑑𝑃 ℎ𝑠𝑓 ℎ𝑠𝑓
= =
𝑑𝑇 𝑇(𝑣𝑓 − 𝑣𝑠 ) 𝑇𝑣𝑠𝑓

C. Penerapan Persamaan Clausius Clapeyron Dalam Kehidupan Sehari-hari


Rudolf Clausius adalah orang yang pertama yang mencetuskan hukum kedua
termodinamika. Persamaan clausius clapeyron yang muncul menjelaskan hubungan antara
tekanan dan suhu di dua tahapan yang substansi yang berada dalam keseimbangan. Persamaan
ini menjelaskan sebagai entropy kuantitas yang lain tetap selama perubahan volume dan suhu
dalam siklus Carnot sebagai awal sebagai 1850 kertas, tetapi ia tidak nama ini konsep penting
pada waktu itu. Masih tanpa konsep nama Clausius dirumuskan, dalam sebuah riwayat dari 1854,
dengan dasar dari teori konsep pengukuran transformasi persamaan derajatnya ia kemudian
disebut entropy. Dalam sebuah karya yang diterbitkan dalam konsep 1865 adalah nama yang
jelas untuk pertama kalinya. Dalam makalah 1865 Clausius menyatakan Pertama dan Kedua
hukum termodinamika dalam formulir berikut:

1. Energi dari semesta adalah konstan.


2. Entropy dari semesta cenderung maksimal.

Rudolf Clausius menyatakan dalam makalah nya yang berjudul Über bewegende Kraft
der Wärme pada 18 Februari 1850 dan diterbitkan di Annalen der Physik yang digunakan sebagai
suatu properti dari sistem, entropi, dimana ini dapat digunakan dalam menentukan apakah hukum
kedua termodinamika dilanggar dalam situasi tertentu. Berikut merupakan pernyataan clausius:
“ adalah tidak mungkin untuk membuat suatu alat yang beroperasi berdasarkan suatu siklus
yang efek satu-satunya adalah perpindahan kalor dari suatu benda yang lebih dingin ke benda
yang panas”.

20
Pernyataan tersebut berlaku untuk sebuah refrigator (atau sebuah pompa kalor). Dinyatakan
bahwa adalah tidak mungkin untuk membuat sebuah refrigator yang memindahkan energi dari
benda yang lebih dingin ke benda yang lebih panas tanpa adanya masukan usaha.
Pompa Kalor (Heat Pump)
Heat pump atau pompa kalor adalah suatu sistem yang dapat menyerap kalor dari suatu
tempat kemudian membuangnya di tempat lain. Pompa kalor dapat digunakan sebagai pendingin
jika memanfaatkan sisi penyerapan kalor , inilah yang disebut dengan sistem
refrigerasi. Sebaliknya pompa kalor juga dapat digunakan sebagai pemanas jika memanfaatkan
sisi pembuangan kalornya. Contoh sederhana pompa kalor adalah air conditioner. Air
conditioner menyerap kalor yang ada diruangan kemudian membuangnya ke luar ruangan.
Untuk memahami prinsip pompa kalor maka analogi pompa air dapat digunakan karena
secara prinsip keduanya tidak berbeda. Air secara alami akan mengalir dari tempat yang tinggi
ke tempat yang rendah. Untuk mengalirkan air dari tempat yang rendah ke tempat yang tinggi
dibutuhkan suatu alat (pompa) dan usaha/kerja/energi dari luar (mekanik). Dengan
menggunakan pompa maka air yang ada di tempat yang lebih dapat dihisap dan dikeluarkan di
tempat yang lebih tinggi.
Pada kalor pun terjadi hal yang sama. Kalor secara alami mengalir/berpindah dari
temperatur yang tinggi ke temperatur yang rendah. Tinggi atau rendahnya temperatur merupakan
salah satu indikasi besarnya energi kalor yang dimiliki suatu zat. Semakin tinggi temperatur
maka semakin tinggi energi kalornya. Untuk memindahkan kalor dari tempat yang
temperaturnya lebih rendah maka dibutuhkan sistem pompa kalor. Seperti halnya pompa air,
untuk menyerap kalor dan membuang kalor dibutuhkan kerja/usaha/energi dari luar. Biasanya
proses pompa kalor digambarkan seperti dibawah ini.

21
Gambar 12. Proses Pompa Kalor

Dimana Ts adalah suhu lingkungan, Tc adalah temperatur pada sisi penyerapan kalor, Th
adalah temperatur pada sisi pembuangan kalor, W adalah kerja dari luar, Qc adalah kalor yang
terserap dan Qh adalah kalor yang dibuang.
Pada saat tidak ada W yang bekerja maka temperatur Ts, Tc, dan Th adalah sama
(Ts=Th=Tc) dan tidak ada proses perpindahan kalor diantaranya. Begitu ada kerja W dijalankan
maka Tc menjadi lebih rendah dibandingkan dengan Ts. Oleh karena itu energi kalor yang berada
di sekitarnya terserap oleh sistem ini. Kalor yang terserap ini dibuang ke sisi Qh sehingga
temperatur Th menjadi lebih besar dari Ts. Pada keadaan ini maka Tc < Ts < Th. Hubungan antara
kalor yang diserap dan dibuang mengikuti persamaan:
Qh = Qc + W
Untuk menunjukkan sebarapa baik performa dari suatu pompa kalor, maka dikenal
dengan istilah COP (Coefficient of Performance) atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan
koefisien kinerja. COP ini merupakan perbandingan antara output yang digunakan dengan input
yang diberikan. Pada pompa kalor, input adalah kerja dan output dapat merupakan penyerapan
kalor atau pembuangan kalor. Jika pompa kalor digunakan sebagai pendingin (Refrigerasi) maka
output adalah penyerapan kalor. Sebaliknya, jika pompa kalor digunakan sebagai pemanas
(heater) maka outputnya adalah pembuangan kalor. Oleh karena itu COP diekspresikan dengan:
- Untuk pendingin:
COP = Qc / W
oleh karena W = Qh – Qc
22
maka:

Qc
COP = Qh – Qc

- Untuk Pemanas
COP = Qh / W
Qh
Atau COP = Qh – Qc

Dua jenis sistem pompa kalor yang sudah di komersilkan secara luas adalah sistem
refrigerasi kompresi uap (SRKU) dan thermoelectric. SRKU merupakan sistem yang paling
banyak ditemui di dalam kehidupan sehari-hari, sepeti Air conditioner (AC) dan lemari es.
Keunggulan dari SRKU adalah COPnya yang sangat tinggi. Hal inilah yang menyebabkan
teknologi ini belum bisa digantikan oleh teknolgi lain. Walaupun demikian, SRKU
membutuhkan banyak komponen dan kurang bisa diterapkan di tempat yang kecil.
Jenis pompa kalor thermoelectric sering dijumpai sebagai pendingin elektronik seperti
prosesor. Keunggulan teknologi ini adalah ukurannya yang kecil , sangat mudah diterapkan dan
cukup dicatu dengan listrik searah (DC). Namun COPnya masih sangat kecil dibandingkan
dengan SRKU.

23
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam proses pergantian fase terjadi tiga peristiwa yang terkenal yaitu peleburan,
penguapan, dan sublimasi. Adapun proses yang kurang terkenal pun terjadi dalam proses
pergantian fase misalnya perubahan bentuk Kristal, dengan temperature dan tekanannya
selalu tetap, sedangkan entropi dan volume nya berubah. Adapun dalam termodinamika
proses peleburan, penguapan, dan sublimasi telah membahas lebih lanjut mengenai zat yang
lebih kompleks dari proses pergantian fase yang sebelumnya sudah dikenal. Misalnya proses
peleburan yang membahas mengenai kalor lebur zat padat yang merupakan bahasan yang
lebih kompleks dari proses pergantian fase yang sudah jadi pengetahuan sebelumnya.
Dalam pergantian fase orde pertama terdapat salah satu pernyataan yang setara yaitu
terdapat perubahan entropi dan volum, dan turunan pertama fungsi gibbs beubah secara
taklamar. Apabila terdapat perubahan fase yang memenuhi persyaratan dari pernyataan
tersebut maka hal tersebut merupakan pergantian fase orde pertama. Pergantian fase
mengenai peleburan kalor, penguapan dan sublimasi kalor pada suatu zat merupakan bentuk
kompleks dari pergantian fase.

B. Saran
Dengan adanya makalah sederhana ini, penyusun mengharapkan agar para pembaca
dapat memahami materi persamaan Clausius Clapeyron ini dengan mudah. Saran dari
penyusun agar para pembaca dapat menguasai materi singkat dalam makalah ini dengan baik,
kemudian dilanjutkan dengan pelatihan soal sesuai materi yang berhubungan agar semakin
menguasai materi.

24
DAFTAR PUSTAKA

Mark W. Zemansky,Ph.D. & Richard H. Dittman, Ph.D. 1986. Kalor dan Termodinamika.
Bandung : ITB,277-308.
Lewis, Gilbert Newton dan Merle Randall. 1961. Thermodinamics. Barkeley: Mcgraw-Hill Book
Company, 151-156.
Rosenberg, Klotz. 1916. Chemical Thermodynamics. Menlo Park: The Benjamin/ Cummings
Publishing Company Inc, 196-197.
Schaum. 2008. Termodinamika Teknik. Jakarta : Erlangga.

25

Anda mungkin juga menyukai