Anda di halaman 1dari 28

DAFTAR ISI

Halaman Sampul ................................................................................................ i


KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar belakang ........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan .................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................. 2
A. GAMBARAN TERMODINAMIKA TENTANG CAMPURAN.......... 2
1. Persamaan Keadaan .......................................................................... 2
2. Kuantitas Molar Parsial .................................................................... 2
3. Termodinamika Pencampuran .......................................................... 4
4. Potensial Kimia Cairan ..................................................................... 6
5. Campuran Cairan .............................................................................. 8
6. Sifat Koligatif ................................................................................... 9
B. CAMPURAN CAIRAN ATSIRI (MUDAH MENGUAP) .................... 15
1. Diagram Tekanan Uap ...................................................................... 15
2. Diagram Temperatur-Komposisi ...................................................... 19
3. Cairan Tak Campur .......................................................................... 21
C. LARUTAN NYATA .............................................................................. 21
1. Aktivitas Pelarut ............................................................................... 21
2. Aktivitas Zat terlarut ......................................................................... 22
BAB III PENUTUP .......................................................................................... 25
A. Kesimpulan ............................................................................................. 25
B. Saran ....................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 27

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mendidih, membeku, dan perubahan dari grafit menjadi intan merupakan
contoh-contoh perubahan fase tanpa perubahan komposisi. Cara alternatif untuk
menyatakan arah perubahan ini berasal dari kecenderungan sistem terisolasi yang
mengandung zat dan linkungannya untuk berubah searah dengan pertambahan
entropi. Walaupun suatu zat mungkin lebih teratur dan entropinya berkurang, seperti
ketika zat itu membeku, ada kenaikan entropi pada lingkugannya (sebagai hasil dari
pelepasan kalor kepadanya) dan secara keseluruhan, entropi sistem global terisolasi
bernilai lebih besar. Misalnya, pada temperatur dan tekanan normal, potensial kimia
grafit lebih rendah daripada potensial kimia intan, sehingga ada kecenderungan
termodinamik untuk intan berubah menjadi grafit. Uraian di atas merupakan
perubahan keadaan untuk zat murni. Sekarang bagaimana kalau perubahan keadaan
campuran sederhana. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai perubahan keadaan
campuran sederhan, maka disusunlah makalah “Perubahan Keadaan: Transformasi
Fisika Campuran Sederhana” ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat diambil beberapa rumusan masalah
yaitu:
1. Bagaimana gambaran termodinamika tentang campuran?
2. Bagaimana gambaran cairan atsiri yang berkenaan dengan diagram tekanan uap,
diagram temperatur-komposisi dan cairan tak campur?
3. Bagaimana larutan nyata pada aktivitas pelarut dan aktivitas zat pelarut?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui gambaran termodinamika tentang campuran.
2. Mengetahui gambaran cairan atsiri yang berkenaan dengan diagram tekanan uap,
diagram temperatur-komposisi dan cairan tak campur.
3. Mengetahui larutan nyata pada aktivitas pelarut dan aktivitas zat pelarut.

1
BAB I
PEMBAHASAN

A. Gambaran Termodinamika Tentang Campuran


1. Persamaan keadaan
Persamaan keadaan suatu sistem ialah hubungan antara variabel-variabel
keadaan atau koordinat termodinamika sistem itu pada suatu keadaan seimbang.
Keadaan setimbang suatu sistem yang terdiri atas sejumlah gas, ditentukan oleh
tekanannya (p), volumenya (V), suhunya (T), dan massanya (m). Besaran-besaran
seperti inilah yang disebut variabel keadaan atau koordinat termodinamik. Jadi
persamaan keadaan sistem ini secara umum adalah:
𝑓(𝑝, 𝑉, 𝑇, 𝑚) = 0
Jika yang diketahui bukan jumlah massanya melainkan jumlah molnya (n),
maka persamaan keadaan itu secara umum adalah:
𝑓(𝑝, 𝑉, 𝑇, 𝑛) = 0
Untuk satu mol gas persamaan keadaannya menjadi
𝑓(𝑝, 𝑉, 𝑇) = 0
2. Kuantitas molar parsial
Sifat molar parsial yang paling mudah digambarkan adalah “volume molar
parsial” yaitu kontribusi pada volume dari satu komponen dalam sampel terhadap
volume total.
a. Volume molar parsial
Bayangkan suatu volume yang besar dari air murni. Jika lebih lanjut
ditambahkan 1 mol H2O, maka volumenya bertambah 18 cm3 dan kita dapat
mengatakan bahwa 18 cm3 mol-1 adalah volume molar air murni. Walaupun
demikian, jika kita menambahkan 1 mol H2O ke dalam etanol murni yang
volumenya besar, maka pertambahan volumenya hanya 14 cm3. Alasan dari
perbedaan kenaikan volume ini adalah volume yang ditempati oleh sejumlah
tertentu molekul air bergantung pada molekul-molekul yang
mengelilinginya. Begitu banyak etanol yang ada sehingga setiap molekul
H2O dikelilingi oleh etanol murni, kumpulan molekul-molekul itu
menyebabkan etanol hanya menempati ruang sebesar 14 cm3. Kuantitas 14

2
cm3 mol-1 adalah volume molar parsial air dalam etanol murni, yaitu
volume campuran yang dapat dianggap berasal dari satu komponen.
Volume molar parsial komponen suatu campuran berubah-ubah
bergantung pada komposisi, karena lingkungan setiap jenis molekul berubah
jika komposisinya berubah dari A murni ke B murni.

Gambar 1. Volume
molar parsial air dan
etanol pada temperatur
25℃. Perhatikanlah
perbedaan skala (air
disebelah kiri, etanol
disebelah kanan)

Volume molar parsial VJ dari suatu zat J pada beberapa komposisi


umum didefinisikan secara formal sebagai berikut:
𝜕𝑉
𝑉𝐽 = ( ) (1)
𝜕𝑛𝐽 𝑝,𝑇,𝑛′

Dengan 𝑛𝐽 sebagai jumlah (jumlah mol) J dan subskrip n’


menunjukkan bahwa jumlah semua zat lain tetap. Volume molar parsial
adalah kemiringan grafik volume total, ketika jumlah J berubah, sedangkan
tekanan, temperatur, dan jumlah komponen lain tetap. Ketika komposisi
campuran berubah sebesar penambahan 𝑑𝑛𝐴 zat A dan 𝑑𝑛𝐵 zat B, maka
volume total campuran berubah sebesar:
𝜕𝑉 𝜕𝑉
𝑑𝑉 = ( ) 𝑑𝑛𝐴 + ( ) 𝑑𝑛
𝜕𝑛𝐴 𝑝,𝑇,𝑛𝐵 𝜕𝑛𝐵 𝑝,𝑇,𝑛𝐴 𝐵

= 𝑉𝐴 𝑑𝑛𝐴 + 𝑉𝐵 𝑑𝑛𝐵 (2)


Kita dapat menyatakan volume total campuran V, menggunakan:
𝑉 = 𝑉𝐴 𝑛𝐴 + 𝑉𝐵 𝑛𝐵 (3)
b. Fungsi Gibbs molar parsial
Konsep kuantitas molar parsial dapat diperluas menjadi sembarang
fungsi keadaan yang luas. Salah satunya yaitu fungsi Gibbs molar parsial,
yaitu potensial kimia.
𝜕𝐺
𝜇𝐽 = ( ) (4)
𝜕𝑛𝐽 𝑝,𝑇,𝑛′

3
Dengan argumentasi yang sama, yang menghasilkan persamaan 3,
fungsi Gibbs total campuran adalah:
𝐺 = 𝑛𝐴 𝜇𝐴 + 𝑛𝐵 𝜇𝐵 (5)
Dengan 𝜇𝐴 dan 𝜇𝐵 sebagai potensial kimia pada komposisi campuran.
c. Persamaan Gibbs-Duhem
Jika komposisi berubah sangat sedikit, kita dapat mengharapkan G
berubah sebesar:
𝑑𝐺 = 𝜇𝐴 𝑑𝑛𝐴 + 𝜇𝐵 𝑑𝑛𝐵 + 𝑛𝐴 𝑑𝜇𝐴 + 𝑛𝐵 𝑑𝜇𝐵
Walaupun demikian, pada tekanan dan temperatur tetap:
𝑛𝐴 𝑑𝜇𝐴 + 𝑛𝑏 𝑑𝜇𝐵 = 0
Persamaan ini merupakan kasus khusus persamaan Gibbs-Duhem:

∑ 𝑛𝐽 𝑑𝜇𝑗 = 0 (6)
𝐽

Hasil ini mempunyai arti potensial kimia campuran tidak dapat


berubah secara bebas: dalam campuran biner, jika satu komponen bertambah,
komponen yang lain berkurang. Alasan yang sama seperti itu berlaku pada
semua kuantitas molar parsial.
d. Volume molar parsial negatif
Satu peringatan terakhir: volume molar dan entropi molar selalu
positif, tetapi kuantitas molar parsial yang bersangkutan tidak perlu demikian.
Contohnya, volume molar parsial batas MgSO4 (volume molar parsialnya
dalam batas konsentrasi nol) adalah -1,4 cm3 mol-1, yang berarti penambahan
1 mol gas MgSO4 ke dalam air yang volumenya besar menghasilkan
pengurangan volume sebesar 1,4 cm3. Penyusutan terjadi karena garam itu
memutukan struktur air yang terbuka ketika ion-ionnya terhidrasi, sehingga
volumenya sedikit menyusut.
3. Termodinamika pencampuran
a. Fungsi Gibbs pencampuran
Misalkan jumlah dua gas sempurna dalam dua wadah adalah 𝑛𝐴 dan
𝑛𝐵 ; keduanya pada temperatur T dan tekanan p. Pada tahap ini, potensial
kimia kedua gas mempunyai nilai yang “murni” dan fungsi Gibbs sistem total
adalah

4
𝐺𝑖 = 𝑛𝐴 𝜇𝐴 + 𝑛𝐵 𝜇𝐵
𝑃𝐴 𝑃
= 𝑛𝐴 (𝜇𝐴𝑜 + 𝑅𝑇 𝑙𝑛 ) + 𝑛𝐵 (𝜇 𝑜
𝐵 + 𝑅𝑇 𝑙𝑛 )
𝑃𝑜 𝑃𝑜
Sesudah pencampuran, setiap gas memberikan tekanan parsial 𝑃𝐽 ,
dengan 𝑝𝐴 + 𝑝𝐵 = 𝑝. Fungsi Gibbs total berubah menjadi:
𝑃𝐴 𝑃𝐵
𝐺𝑓 = 𝑛𝐴 (𝜇𝐴𝑜 + 𝑅𝑇 𝑙𝑛 𝑜
) + 𝑛𝐵 (𝜇𝐵𝑜 + 𝑅𝑇 𝑙𝑛 𝑜 )
𝑃 𝑃
Selisih 𝐺𝑓 − 𝐺𝑖 adalah fungsi Gibbs pencampuran ∆𝐺𝑚𝑖𝑥 , yaitu
𝑃𝐴 𝑃𝐵
∆𝐺𝑚𝑖𝑥 = 𝑛𝐴 𝑅𝑇 𝑙𝑛 + 𝑛𝐵 𝑅𝑇 𝑙𝑛
𝑃 𝑃
Kita dapat menggantikan 𝑛𝐽 dengan 𝑥𝐽 𝑛 dan menggunakan hukum
𝑃𝐽
Dalton untuk menuliskan ⁄ = 𝑋𝐽 untuk setiap komponen yang
𝑃
menghasilkan
∆𝐺𝑚𝑖𝑥 = 𝑛𝑅𝑇(𝑥𝐴 𝑙𝑛𝑥𝐴 + 𝑥𝐵 𝑙𝑛𝑥𝐵 ) (7)
Karena fraksi mol tidak pernah lebih dari 1, maka logaritma
persamaan ini bernilai negatif, dan ∆𝐺𝑚𝑖𝑥 < 0. Artinya gas sempurna
bercampur secara spontan dengan segala proporsi.
b. Fungsi pencampuran termodinamik yang lain
Ungkapan kuantitatif untuk ∆𝐺𝑚𝑖𝑥 memungkinkan kita menghitung

entropi pencampuran ∆𝑆𝑚𝑖𝑥 . Karena (𝜕𝐺⁄𝜕𝑇) = −𝑆, maka dari


𝑝,𝑛

persamaan 7, untuk campuran gas sempurna


𝜕∆𝐺𝑚𝑖𝑥
∆𝑆𝑚𝑖𝑥 = − ( )
𝜕𝑇 𝑝,𝑛𝐴 ,𝑛𝐵

= −𝑛𝑅(𝑥𝐴 𝑙𝑛𝑥𝐴 + 𝑥𝐵 𝑙𝑛𝑥𝐵 ) (8)


Karena ln 𝑥 < 0, maka ∆𝑆𝑚𝑖𝑥 > 0. Inilah yang kita harapkan jika satu
gas tersebar ke dalam gas lain dan sistem itu menjadi lebih kacau balau.
Entropi pencampuran ∆𝑯𝒎𝒊𝒙 dari dua gas sempurna bias diketahui dari
∆𝐺 = ∆𝐻 − 𝑇 ∆𝑆 (karena ∆𝑇 = 0 untuk proses isotermal). Dari persamaan 7
dan 8, kita mendapatkan:
∆𝐻𝑚𝑖𝑥 = 0 (𝑝, 𝑇 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝)
Entalpi pencampuran bernilai nol, seperti yang kita harapkan untuk
sistem yang antar partikel-partikelnya tidak ada interaksi. Jadi, pendorong

5
untuk pencampuran seluruhnya berasal dari kenaikan entropi sistem (karena
∆𝐻𝑚𝑖𝑥 = 0, maka entropi lingkungan tidak berubah).
Perubahan volume yang menyertai pencampuran, ∆𝑉𝑚𝑖𝑥 , dapat

diketahui dengan menggunakan (𝜕𝐺⁄𝜕𝑃) = 𝑉. Karena untuk gas


𝑇,𝑛

sempurna ∆𝐺𝑚𝑖𝑥 tidak bergantung pada tekanan, maka:


∆𝑉𝑚𝑖𝑥 = 0 (𝑝, 𝑇 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝)
Ini juga memang diharapkan untuk sistem tanpa interaksi. Karena
tidak ada perubahan volume maupun entalpi pencampuran, dan pada tekanan
tetap ∆𝐻 = ∆𝑈 + 𝑝 ∆𝑉, maka energi dalam pencampuran ∆𝑈𝑚𝑖𝑥 juga nol:
∆𝑈𝑚𝑖𝑥 = 0 (𝑝, 𝑇 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝)
4. Potensial kimia cairan
a. Larutan ideal
Kimia memberi notasi kuantitas yang berhubungan dengan zat murni
dengan superskrip *, sehingga potensial kimia campuran murni A adalah
𝜇𝐴∗ (𝑙). Karena tekanan uap cairan murni adalah 𝑃𝐴∗ maka potensial kimia A
𝑝∗
dalam uap adalah 𝜇𝐴𝑜 + 𝑅𝑇 𝑙𝑛 ( 𝐴⁄𝑝𝑜 ). Pada kesetimbangan, kedua potensial

kimia ini sama, sehingga kita dapat menuliskan:


𝑃𝐴∗
𝜇𝐴∗ (𝑙) = 𝜇𝐴𝑜 + 𝑅𝑇 𝑙𝑛 𝑜
𝑃
Jika zat lain juga ada dalam cairan, potensial kimia A dalam cairan
adalah 𝜇𝐴 (𝑙) dan tekanan uapnya adalah 𝑃𝐴 . Dalam hal ini,
𝑃𝐴
𝜇𝐴 (𝑙) = 𝜇𝐴𝑜 + 𝑅𝑇 𝑙𝑛
𝑃𝑜
Selanjutnya, kita gabungkan dua persamaan untuk menghilangkan
potensial kimia standar gas, dan diperoleh
𝑃𝐴
𝜇𝐴 (𝑙) = 𝜇𝐴∗ + 𝑅𝑇 𝑙𝑛 (9)
𝑃𝐴∗
Ahli kimia Perancis Francois Raoult menemukan bahwa
𝑃𝐴
perbandingan ⁄𝑃∗ sebanding dengan fraksi mol A dalam cairan. Hukum
𝐴

Raoult sama hubungan ini biasanya ditulis:


𝑃𝐴 = 𝑥𝐴 𝑃𝐴∗ (10)

6
Gambar 2. (a) Tekanan uap
total dan kedua tekanan uap
parsial dari campuran biner
ideal, sebanding fraksi mol
komponen-komponennya. (b)
Dua cairan yang serupa, dalam
hal ini benzena dan toluena
(metil benzena), perilaku
hampir ideal.

Bentuk grafiknya dapat anda lihat pada Gambar 2a. Beberapa


campuran mentaati hukum Raoult dengan sangat baik,khususnya jika sifat
kimia komponen-komponennya serupa (Gambar 2b). Campuran yang
mentaati hukum tersebut di seluruh rentang komposisinya dari A murni
sampai B murni disebut larutan ideal. Jika menuliskan persamaan yang
berhubungan dengan larutan ideal, kita akan memberinya tanda dengan
superskrip o, seperti pada persamaan 10.
Untuk larutan ideal, sebagai kelanjutan dari persamaan 9 dan 10,
𝜇𝐴 (𝑙) = 𝜇𝐴∗ (𝑙) + 𝑅𝑇 ln 𝑥𝐴 (11)
b. Larutan encer ideal
Dalam larutan ideal, zat terlarut seperti juga pelarutnya, memenuhi
hukum Raoult. Walaupun demikian, dalam larutan nyata dengan konsentrasi
rendah, walaupun tekanan uap zat terlarut sebanding dengan fraksi molnya,
kemungkinan kurvanya tidak sama dengan tekanan uap zat murni (Gambar
3). Kebergantungan linear tetapi berbeda ini ditentukan oleh ahli kimia
Inggris, William Henry, dan sekarang disebut Hukum Henry.
𝑝𝐵 = 𝑥𝐵 𝐾𝐵 (12)
𝑥𝐵 adalah fraksi mol zat terlarut dan 𝐾𝐵 adalah konstanta (dengan
dimensi tekanan) yang dipilih supaya grafik tekanan uap B terhadap fraksi
molnya merupakan garis singgung kurva eksperimen pada 𝑥𝐵 = 0 (Gambar

7
3). Campuran yang mentaati hukum Henry bersifat ideal, dalam arti yang
berbeda dengan campuran yang mentaati hukum Raoult, dan disebut larutan
encer ideal.
Gambar 3. Jika suatu komponen
(pelarut) mendekati murni,
komponen itu berperilaku sesuai
dengan hukum Raoult dan
mempunyai tekanan uap yang
sebanding dengan fraksi mol,
dengan kemiringan kurvanya 𝑝∗ .

5. Campuran cairan
a. Fungsi pencampuran ideal
Fungsi Gibbs pencampuran dua cairan untuk membentuk larutan ideal
dihitung dengan cara yang sama seperti untuk dua gas. Jika cairan terpisah,
fungsi Gibbs totalnya adalah:
𝐺𝑖 = 𝑛𝐴 𝜇𝐴∗ (𝑙) + 𝑛𝐵 𝜇𝐵∗ (𝑙)
Jika cairan itu dicampur, potensial kimia masing-masing dapat
diketahui dari persamaan 11, dan fungsi Gibbs totalnya adalah:
𝐺𝑓 = 𝑛𝐴 {𝜇𝐴∗ (𝑙) + 𝑅𝑇 ln 𝑥𝐴 } + 𝑛𝐵 {𝜇𝐵∗ (𝑙) + 𝑅𝑇 ln 𝑥𝐵 }
Konsekuensinya, fungsi Gibbs pencampuran adalah
∆𝐺𝑚𝑖𝑥 = 𝑛𝑅𝑇(𝑥𝐴 ln 𝑥𝐴 + 𝑥𝐵 ln 𝑥𝐵 ) (13)
Dengan 𝑛 = 𝑛𝐴 + 𝑛𝐵 .
Persamaan 13 ini sama dengan persamaan untuk dua gas sempurna,
dan semua kesimpulan untuk gas tersebut berlaku pula di sini: pendorong
terjadinya pencampuran adalah naiknya entropi sistem ketika partikel-
partikel bercampur, entalpi dan energi dalam pencampuran bernilai nol, dan
tidak ada perubahan volume.

8
b. Fungsi kelebihan
Larutan nyata terdiri atas partikel-partikel yang interaksi A – A, A –
B, dan B – B semua berbeda. Jika cairan bercampur, selain ada perubahan
entalpi ada juga kontribusi tambahan pada perubahan entropi, yang berasal
dari berkumpulnya partikel-partikel sejenis yang tidak bercampur secara
bebas dengan yang lain. Jika perubahan entalpinya besar dan positif (dan
pencampuran bersifat endoterm), atau jika perubahan entropinya kecil dan
negatif (karena penyusunan ulang partikel yang menghasilkan campuran
teratur) maka fungsi Gibbs pencampuran dapat positif. Dalam hal ini,
pemisahan terjadi secara spontan dan cairan mungkin tidak tercampur.

Gambar 4. Fungsi
kelebihan eksperimen
pada temperature
25℃. (a) 𝐻 𝐸 untuk
benzene/sikloheksana.
(b) 𝑉𝐸 untuk
tetrakhloroetena/siklop
entana.

Alternatif lain, cairan-cairan itu mungkin tercampur sebagian, yang


berarti bahwa cairan itu hanya tercampur pada rentang komposisi tertentu.
Sifat termodinamika larutan nyata dapat dinyatakan berkenaan dengan fungi
kelebihan (GE, SE, dan sebagainya), yaitu selisih antara fungsi pencampuran
termodinamika yang diamati dengan fungsi untuk larutan ideal. Sebagai
contohnya dalam hal ini kelebihan entropi,
𝑆 𝐸 = ∆𝑆𝑚𝑖𝑥 + 𝑛𝑅(𝑥𝐴 ln +𝑥𝐵 ln 𝑥𝐵 ) (14)
Penyimpangan fungsi kelebihan dari nol menunjukkan sampai di
mana larutan itu tak ideal. Dalam hubungan ini, sistem model yang berguna
adalah larutan biasa, di mana 𝐻 𝐸 ≠ 0 tetapi 𝑆 𝐸 = 0.

6. Sifat koligatif
Sifat-sifat koligatif larutan ialah sifat-sifat larutan yang hanya ditentukan
oleh jumlah partikel dalam larutan dan tidak tergantung jenis partikelnya.

9
a. Ciri-ciri umum sifat koligatif
Kita membuat dua asumsi. Asumsi pertama: zat terlarut tidak mudah
menguap, sehingga tidak memberi kontribusi pada uapnya. Asumsi kedua:
zat terlarut tidak larut dalam pelarut padat.
Sifat koligatif berasal dari pengurangan potensial kimia pelarut cair
akibat adanya zat terlarut. Potensial kimia uap dan padatan tak berubah
dengan adanya zat terlarut yang tak larut dan tak mudah menguap. Gambar 5
menunjukkan bahwa kesetimbangan cair uap terjadi pada temperatur lebih
tinggi (maka titik didih naik) dan kesetimbangan padat cair terjadi pada
temperature lebih rendah (maka titik beku turun)

Gambar 5. Potensial kimia


pelarut dengan adanya zat
terlarut.

Dasar secara fisik dari penurunan potensial kimia bukanlah energi


interaksi dari zat terlarut dan partikel-partikel pelarut, karena penurunannya
ini juga terjadi pada larutan ideal (yang mempunyai entalpi pencampuran
nol). Jika bukan efek entalpi, pasti ini merupakan efek entropi. Efek zat
terlarut muncul dalam bentuk turunnya tekanan uap dan naiknya titik didih.
Begitu juga pengacakan yang meningkat pada larutan mengurangi
kecenderungan untuk membeku dan temperatur yang lebih rendah harus
dicapai sebelum kesetimbangan antara padatan dan larutan terjadi. Dengan
demikian, titik beku turun.
b. Kenaikan titik didih
Kesetimbangan heterogen yang diperhatikan ketika membahas
pendidihan adalah antara uap larut dan pelarut di dalam larutan (Gambar 6).
Kita memberi notasi pelarut dengan A dan zat terlarut dengan B.
Kesetimbangan dicapai pada temperatur, yaitu
𝜇𝐴∗ (𝑔) = 𝜇𝐴∗ (𝑔) + 𝑅𝑇 ln 𝑥𝐴

10
Persamaan ini tersusun ulang menjadi:
𝜇𝐴∗ (𝑔) − 𝜇𝐴∗ (𝑙) ∆𝐺𝑣𝑎𝑝
ln(1 − 𝑥𝐵 ) = =
𝑅𝑇 𝑅𝑇
Dengan ∆𝐺𝑣𝑎𝑝 sebagai fungsi Gibbs penguapan pelarut murni dan 𝑥𝐵
adalah fraksi mol zat terlarut; kita sudah menggunakan 𝑥𝐴 + 𝑥𝐵 = 1.
Sekarang kita menuliskan
∆𝐺𝑣𝑎𝑝 = ∆𝐻𝑣𝑎𝑝 − 𝑇 ∆𝑆𝑣𝑎𝑝
Dan mengabaikan kebergantungan yang kecil dari ∆𝐻 dan ∆𝑆
terhadap temperatur. Jadi, pada fraksi mol umum 𝑥𝐵 ,
∆𝐺𝑣𝑎𝑝 ∆𝐻𝑣𝑎𝑝 ∆𝑆𝑣𝑎𝑝
ln(1 − 𝑥𝐵 ) = = −
𝑅𝑇 𝑅𝑇 𝑅
Jika 𝑥𝐵 = 0, titik didihnya adalah titik didih cairan, 𝑇 ∗ , dan
∆𝐺𝑣𝑎𝑝 ∆𝐻𝑣𝑎𝑝 ∆𝑆𝑣𝑎𝑝
ln 1 = = −
𝑅𝑇 ∗ 𝑅 𝑅
Karena ln 1 = 0, selisih kedua persamaan ini adalah
∆𝐻𝑣𝑎𝑝 1 1
ln(1 − 𝑥𝐵 ) = ( − ∗)
𝑅 𝑇 𝑇
Sekarang, kita mengandaikan bahwa jumlah zat terlarut sangat kecil,
sehingga 𝑥𝐵 ≪ 1. Hal ini memungkinkan kita menuliskan ln(1 − 𝑥𝐵 ) ≈
−𝑥𝐵 , sehingga diperoleh
∆𝐻𝑣𝑎𝑝 1 1
𝑥𝐵 = ( ∗− )
𝑅 𝑇 𝑇

Karena 𝑇 ≈ 𝑇 ∗ , kita juga dapat menuliskan


1 1 𝑇 − 𝑇 ∗ ∆𝑇
− = ≈ ∗2 , ∆𝑇 = 𝑇 − 𝑇 ∗
𝑇∗ 𝑇 𝑇𝑇 ∗ 𝑇
Yang menghasilkan
2
𝑅𝑇 ∗
∆𝑇 = ( )𝑥 (15 a)
∆𝐻𝑣𝑎𝑝 𝐵
Persamaan 15 untuk kenaikan titik didih ∆𝑇 tidak mengacu ke jenis
zat terlarutnya, melainkan hanya ke fraksi molnya. Untuk larutan encer,
kenaikan titik didih dapat dituliskan sebagai:
∆𝑇 = 𝐾𝑏 𝑚𝐵 (15 b)

11
Dengan 𝐾𝑏 sebagai konstanta ebulioskopi pelarut dan 𝑚𝐵 sebagai
molalitas larutan (yaitu jumlah mol zat terlarut per kilogram pelarut).

Gambar 6. Kesetimbangan
heterogen yang menyangkut
perhitungan kenaikan titik
didih, antara A dalam uap
murni dan A dalam campuran.

c. Penurunan titik beku


Kesetimbangan heterogen yang kita perhatikan sekarang adalah antara
pelarut padat murni dan larutan dengan zat terlarutnya pada fraksi mol 𝑥𝐵
(Gambar 7). Pada titik beku, potensial kimia A dalam kedua fasa itu sama
𝜇𝐴∗ (𝑠) = 𝜇𝐴∗ (𝑙) + 𝑅𝑇 ln 𝑥𝐴

Gambar 7. Kesetimbangan heterogen yang


menyangkut perhitungan penurunan titik
beku, antara A dalam padatan murni dan A
dalam campuran.

Hanya selisih antara perhitungan ini dan perhitungan sebelumnyalah


yang muncul dari potensial kimia padatan di tempat uap. Oleh karena itu, kita
dapat menulis hasilnya secara langsung dari persamaan 15.
2
𝑅𝑇 ∗
∆𝑇 = ( ) (16 a)
∆𝐻𝑓𝑢𝑠
𝑥𝐵

Dengan ∆𝑇 menyatakan penurunan titik beku, yaitu 𝑇 ∗ − 𝑇, ∆𝐻𝑓𝑢𝑠


sebagai entalpi peleburan pelarut. Penurunan yang besar teramati pada pelarut
yang entalpi peleburannya rendah dan titik lelehnya tinggi. Jika larutan encer,
fraksi mol sebanding dengan molalitas, dan kita dapat menuliskan:
∆𝑇 = 𝐾𝑡 𝑚𝐵 (16 b)
𝐾𝑓 adalah konstanta krioskopi.
d. Kelarutan

12
Jika zat terlarut padat dibiarkan dalam kontak dengan suatu pelarut
maka zat itu melarut sampai larutan menjadi jenuh. Kejenuhan berarti
kesetimbangan, dan pada kesetimbangan, potensial kimia zat padat murni,
𝜇𝐵∗ (𝑠) sama dengan potensial kimia B dalam larutan 𝜇𝐵
𝜇𝐵 = 𝜇𝐵∗ (𝑙) + 𝑅𝑇 ln 𝑥𝐵
Maka kita dapat menuliskan:
𝜇𝐵∗ (𝑠) = 𝜇𝐵∗ (𝑙) + 𝑅𝑇 ln 𝑥𝐵
Persamaan ini sama dengan persamaan awal dari subbab terakhir,
hanya saja kuantitasnya merujuk pada zat terlarut B, bukan pelarut A.

Gambar 8. Kesetimbangan
heterogen yang berkaitan
dengan perhitungan kelarutan
adalah antara padatan murni B
dan B dalam campuran.

Titik awalnya sama, tetapi tujuannya berbeda. Sekarang ini, kita akan
mencari fraksi mol B dalam larutan pada kesetimbangan, jika temperaturnya
T. Oleh karena itu, kita susun ulang persamaan terakhir menjadi:
𝜇𝐵∗ (𝑠) − 𝜇𝐵∗ (𝑙) ∆𝐺𝑓𝑢𝑠
ln 𝑥𝐵 = =−
𝑅𝑇 𝑅𝑇
−∆𝐻𝑓𝑢𝑠 ∆𝑆𝑓𝑢𝑠
= +
𝑅𝑇 𝑅
Pada titik leleh pada zat terlarut, 𝑇 ∗ , kita tahu bahwa ∆𝐺𝑓𝑢𝑠 = 0,
∆𝐺𝑓𝑢𝑠
sehingga ⁄ ∗ = 0 juga, dan ini dapat ditambahkan ke sisi sebelah
𝑅𝑇
kanan. Dengan menganggap entalpi dan entropi pelelehan tetap pada rentang
temperatur tertentu, dan dengan cara yang sama seperti sebelumnya, kita
memperoleh
−∆𝐻𝑓𝑢𝑠 1 1
ln 𝑥𝐵 = ( − ∗) (17)
𝑅 𝑇 𝑇
Persamaan ini memperlihatkan bahwa kelarutan B turun secara
eksponensial jika temperatur diturunkan dari titik lelehnya. Lagi pula, zat
terlarut dengan titik leleh tinggi dan entalpi pelelehan besar mempunyai
kelarutan yang rendah pada temperatur normal.

13
e. Osmosis
Bentuk yang sederhananya terpapar pada Gambar 9. Tekanan
berlawanan berasal dari bagian atas larutan yang dihasilkan oleh osmosis itu
sendiri. Kesetimbangan dicapai jika tekanan hidrostatis kolom larutan sama
dengan tekanan osmosis. Pada kesetimbangan, kedua tekanan itu harus sama,
dan kita dapat menuliskan:
𝜇𝐴∗ (𝑝) = 𝜇𝐴 (𝑥𝐴 , 𝑝 + ∏)
Adanya zat terlarut diperhitungkan dengan cara biasa:
𝜇𝐴 (𝑥𝐴 , 𝑝 + ∏) = 𝜇𝐴∗ (𝑝 + ∏) + 𝑅𝑇 ln 𝑥𝐴
Cara memperhitungkan efek tekanan:
𝑝+∏
𝜇𝐴∗ (𝑝 + ∏) = 𝜇𝐴∗ (𝑝) + ∫ 𝑉𝑚 𝑑𝑃
𝑝

Dengan 𝑉𝑚 sebagai volume molar pelarut murni. Jika ketiga


persamaan itu digabungkan, kita peroleh:
𝑝+∏
−𝑅𝑇 ln 𝑥𝐴 = ∫ 𝑉𝑚 𝑑𝑝 (18)
𝑝

Gambar 9. (a) Kesetimbangan


yang berkaitan dengan tekanan
osmosis ∏ adalah antara pelarut
murni A pada tekanan p pada satu
sisi membran semipermeable,
dengan A sebagai komponen
sempurna pada sisi lain
membrane, yang tekanannya
adalah 𝑝 + ∏. (b) Dalam versi
yang sederhana, A ada pada
kesetimbangan pada kedua sisi
membran pada saat sudah cukup
banyak pelarut yang mengalir ke
dalam larutan sehingga
menimbulkan perbedaan tekanan
hidrostatia.

Untuk larutan encer, ln 𝑥𝐴 dapat digantikan dengan ln(1 − 𝑥𝐵 ) ≈


−𝑥𝐵 . Kita juga dapat menganggap bahwa rentang tekanan dalam integral
sangat kecil sehingga volume molar pelarut merupakan konstanta. Dengan
demikian, 𝑉𝑚 dapat dikeluarkan dari integral, sehingga menghasilkan

14
𝑅𝑇 𝑥𝐵 = ∏𝑉𝑚
𝑛
Jika larutan itu encer, 𝑥𝐵 ≈ 𝐵⁄𝑛𝐴 . Lebih lanjut, karena 𝑛𝐴 𝑉𝑚 = 𝑉,
yaitu volume total pelarut, maka persamaan ini disederhanakan menjadi
persamaan van’t Hoff:
∏𝑉 = 𝑛𝐵 𝑅𝑇 (19 a)
𝑛𝐵
Karena ⁄𝑉 = [𝐵], yaitu konsentrasi molar zat terlarut, bentuk
sederhana dari persamaan ini adalah:
∏ = [𝐵]𝑅𝑇 (19 b)
Ketika molekul-molekul besar ini melarut menghasilkan larutan yang
jauh lebih ideal, dianggap bahwa persamaan van’t Hoff hanyalah suku
pertama dari deret yang menyerupai persamaan varial:
∏ = [𝐵]𝑅𝑇 + {1 + 𝐵[𝐵] + ⋯ } (19 c)
Suku-suku tambahan memperhitungkan ketakidealan tersebut.

Tekanan osmosis diukur pada segugus konsentrasi, dan alur dari ⁄[𝐵]

terhadap [𝐵] digunakan untuk mengetahui massa molar B.


B. Campuran Cairan Atsiri (Mudah Menguap)
1. Diagram tekanan uap
Dalam larutan ideal dua cairan, tekanan uap komponen-komponennya
berhubungan dengan komposisinya, berdasarkan hukum Raoult:
𝑝𝐴 = 𝑥𝐴 𝑝𝐴∗ 𝑝𝐵 = 𝑥𝐵 𝑝𝐵∗ (20 a)
Dengan 𝑝𝐴∗ menyatakan tekanan uap A murni dan 𝑝𝐵∗ menyatakan tekanan
uap B murni. Oleh karena itu, tekanan uap campuran total p adalah:
𝑝 = 𝑝𝐴 + 𝑝𝐵 = 𝑥𝐴 𝑝𝐴∗ + 𝑥𝐵 𝑝𝐵∗
= 𝑝𝐵∗ + (𝑝𝐴∗ − 𝑝𝐵∗ )𝑥𝐴 (20 b)
Persamaan ini memperlihatkan bahwa tekanan uap total (pada beberapa
temperatur tertentu) berubah secara linear berdasarkan komposisinya dari 𝑝𝐵∗ ke
𝑝𝐴∗ (Gambar 10).

15
Gambar 10.
Kebergantungan tekanan
uap total campuran biner
pada fraksi mol A dalam
cairan, jika hukum Raoult
dipenuhi.

Semua titik di atas garis (tekanan yang mengenai sistem melebihi tekanan
uapnya) sesuai dengan cairan yang merupakan fase stabil. Semua titik di bawah
garis sesuai dengan uap yang stabil.
a. Komposisi uap
Komposisi cairan dan uap dalam kesetimbangan tidak perlu sama. Hal
ini dapat dipastikan sebagai berikut. Tekanan parsial komponen bisa didapat
dengan persamaan 20 a. Selanjutnya, dari hukum Dalton fraksi mol dalam
gas. 𝑦𝐴 dan 𝑦𝐵 , adalah:
𝑝𝐴 𝑝𝐵
𝑦𝐴 = 𝑦𝐵 = (21 a)
𝑝 𝑝
Tekanan parsial dan tekanan total dapat dinyatakan dalam fraksi mol
cairan menggunakan persamaan 20, yang menghasilkan:
𝑥𝐴 𝑝𝐴∗
𝑦𝐴 = ∗ 𝑦𝐵 = 1 − 𝑦𝐴 (21 b)
𝑝𝐵 + (𝑝𝐴∗ − 𝑝𝐵∗ )𝑥𝐴
Sekarang kita harus memperlihatkan bahwa jika A adalah komponen
yang lebih atsiri maka fraksi mol dalam uap adalah 𝑦𝐴 lebih besar daripada
fraksi mol dalam cairan 𝑥𝐴 . Gambar 11 memperlihatkan kebergantungan 𝑦𝐴
𝑝𝐴∗
pada 𝑥𝐴 untuk berbagai nilai ⁄𝑝∗ > 1.
𝐵

Gambar 11. Fraksi mol


A dalam uap larutan
ideal biner dinyatakan
dalam fraksi molnya
dalam cairan.

16
Persamaan 21 memperlihatkan kebergantungan tekanan uap total
terhadap komposisi cairan. Kita dapat menghubugkan tekanan uap dengan
komposisi uap itu sendiri, dengan menggunakan hukum Dalton. Hasilnya:
𝑝𝐴∗ 𝑝𝐵∗
𝑝= (22)
𝑝𝐴∗ + (𝑝𝐵∗ − 𝑝𝐴∗ )𝑦𝐴

Gambar 12. Kebergantungan


tekanan uap sistem yang
sama seperti dalam Gambar
11, tetapi dinyatakan dalam
fraksi mol A dalam uap.

b. Penafsiran diagram
Kita dapat menggunakan kedua diagram itu untuk membahas
kesetimbangan fase campuran. Namun demikian, jika kita tertarik kepada
distilasi, komposisi uap dan cairan sama pentingnya. Oleh karena itu, lebih
baik untuk menggabungkan kedua diagram itu. Hasilnya adalah Gambar 13,
di mana sumbu komposisi dinamai 𝑧𝐴 , yaitu fraksi mol keseluruhan A di
dalam sistem. Pada dan di atas garis atas, hanya cairan yang ada, maka 𝑧𝐴 =
𝑥𝐴 ; pada dan di bawah garis bawah hanya uap yang ada maka 𝑧𝐴 = 𝑦𝐴 .
Titik pada daerah terang dari diagram itu tidak hanya menunjukkan
mengenai adanya cairan dan uap secara kualitatif, melainkan juga jumlah
relatif masing-masing secara kuantitatif. Misalkan komposisi keseluruhan
𝑧𝐴 = 𝑎 dan tekanan = 𝑝3. Karena titik (𝑎, 𝑝3 ) terletak dalam sektor terang,
kita segera tahu bahwa kedua fase ada dalam kesetimbangan.

17
Gambar 13. Kebergantungan
tekanan uap total larutan ideal,
pada fraksi mol A dalam sistem
keseluruhan.

c. Aturan tuas
Untuk menemukan jumlah relatif, kita mengukur jarak l dan l’
sepanjang garis hubung mendatar (tie line), dan kemudian menggunakan
aturan tuas (Gambar 14)
𝑛′ 𝑙 ′ = 𝑛𝑙 (23)
Dengan n sebagai jumlah cairan dan n’ sebagai jumlah uap. Dalam
2 2
kasus sekarang ini, karena 𝑙 ′ = 3 𝑙, maka jumlah cairan sekitar 3 jumlah uap.

Untuk membuktikan aturan tuas, kita menuliskan 𝑛′′ = 𝑛 + 𝑛′ dan jumlah


keseluruhan 𝐴 = 𝑛′′ 𝑧𝐴 . Jumlah keseluruhan A juga adalah jumlahnya dalam
kedua fase:
𝑛′′ 𝑧𝐴 = 𝑛𝑥𝐴 + 𝑛′ 𝑦𝐴
Juga karena
𝑛′ 𝑧𝐴 = 𝑛𝑧𝐴 + 𝑛′ 𝑧𝐴
Dengan menyamakan kedua persamaan tersebut, dihasilkan
𝑛′ (𝑧𝐴 − 𝑦𝐴 ) = 𝑛(𝑥𝐴 − 𝑧𝐴 )
Atau:
𝑛′ 𝑙 ′ = 𝑛𝑙
Seperti yang dibuktikan.

Gambar 14. Aturan tuas. Jarak l


dan l’ digunakan untuk mencari
perbandingan jumlah uap dan
cairan yang ada pada
kesetimbangan.

18
2. Diagram temperatur komposisi

Gambar 15. Diagram


temperatur-komposisi yang
sesuai dengan campuran
ideal, dengan A lebih mudah
menguap dari B.

a. Distilasi campuran
Penggunaan diagram temperatur-komposisi meliputi penafsiran
seperti yang sudah kita lihat pada diagram tekanan-komposisi. Bayangkan
apa yang terjadi jika cairan dengan komposisi a dipanaskan. Mula-mula
keadaannya adalah 𝑎1 . Cairan ini mendidih ketika temperatur mencapai 𝑇2 .
Kemudian, cairan mempunyai komposisi 𝑎2 , dan uap (yang hanya ada
sedikit) mempunyai komposisi 𝑎2′ . Uap lebih banyak mengandung komponen
A yang lebih mudah menguap, seperti yang kita harapkan. Dari lokasi 𝑎2′ kita
dapat menyatakan komposisi uap pada titik didih. Dari lokasi garis hubung
yang menghubungkan 𝑎2 dan 𝑎2′ kita dapat membaca temperatur didih
campuran cairan semula.
Dalam destilasi sederhana, uapnya diambil dan dikondensasi. Jika
dalam bentuk contoh ini uap diambil dan dikondensasi seluruhnya, tetesan
merupakan cairan dengan komposisi 𝑎3 , yang lebih banyak mengandung
komponen yang lebih atsiri daripada cairan semula. Pada destilasi terfraksi,
siklus pendidihan dan kondensasi diulang-ulang secara berurutan. Kita dapat
mengikuti perubahan yang terjadi dengan melihat apa yang terjadi jika
kondensat dengan komposisi 𝑎3 dipanaskan kembali. Diagram fase
memperlihatkan bahwa campuran ini mendidih pada 𝑇4 dan menghasilkan

19
uap dengan komposisi 𝑎4 yang bahkan lebih kaya lagi akan komponen yang
lebih atsiri. Uap ini diambil dan tetesan pertama berkondensasi menjadi
cairan dengan komposisi 𝑎5 . Siklus ini dapat diulang-ulang sampai akhirnya,
A yang hampir murni.
b. Azeotrop
Penyimpangan dari keidealan tidak selalu begitu kuat untuk
menghasilkan nilai maksimum atau nilai minimum dalam batas-batas fase.
Tetapi jika ini terjadi, timbul konsekuensi penting untuk distilasi. Perhatikan
cairan dengan komposisi a di sebelah kiri maksimum dalam Gambar 16. Uap
(pada 𝑎2′ ) dari campuran didih (pada 𝑎2 ) lebih kaya akan B. Jika uap diambil
(dan dikondensasikan di tempat lain), sisa cairannya akan mempunyai
komposisi 𝑎3 dan komposisi uapnya adalah 𝑎3′ . Jika uap itu diambil
komposisi cairan didih bergeser ke 𝑎4 dan uapnya ke 𝑎4′ . Oleh karena itu,
dengan berlanjutnya penguapan, komposisi sisa cairan bergeser menuju A,
karena B diambil. Titik didih cairan naik, dan uapnya menjadi lebih kaya akan
A. Jika sudah banyak B yang menguap, sehingga cairan mencapai komposisi
b, uap mempunyai komposisi yang sama dengan cairan. Kemudian
penguapan terjadi tanpa perubahan komposisi. Cairan ini disebut membentuk
azeotrop (yang berasal dari kata Yunani, yang artinya “mendidih tapa
perubahan”).
Jika komposisi azeotrop sudah dicapai, distilasi tidak dapat
memisahkan kedua cairan karena komposisi kondensat sama dengan
komposisi cairan. Salah satu contoh pembentukan azeotrop adalah asam
khlorida/air, yang bersifat azeotrop pada komposisi 80 persen (massa) air dan
mendidih tanpa berubah pada temperatur 108,6oC.

20
Gambar 16. Azeotrope dengan
titik didih tinggi. Jika campuran
pada a1, didestilasi terfraksi,
komposisi sisa cairan berubah
menuju b, tetapi tidak lebih dari
itu.

3. Cairan tak campur


Karena cairan itu tidak campur, kita dapat memandang “campuran” ini
terurai dengan setiap komponennya ada pada bejana terpisah (Gambar 15). Jika
tekanan uap kedua komponen murni adalah 𝑝𝐴 dan 𝑝𝐵 , maka tekanan uap total
adalah 𝑝 = 𝑝𝐴 + 𝑝𝐵 dan campuran mendidih jika 𝑝 = 1 𝑎𝑡𝑚.

Gambar 17. Destilasi dua


cairan tak-campur dapat
dianggap destilasi
gabungan komponen-
komponen terpisah.

C. Larutan Nyata
1. Aktivitas pelarut
Bentuk umum potensial kimia zat terlarut atau pelarut (nyata atau ideal)
adalah:
𝑝𝐴
𝜇𝐴 (𝑙) = 𝜇𝐴∗ (𝑙) + 𝑅𝑇 ln (24)
𝑝𝐴∗
Dengan 𝑝𝐴∗ menyatakan tekanan uap A murni dan 𝑝𝐴 adalah tekanan uapnya jika
berada dalam bentuk campuran. Dalam hal ini larutan ideal, baik pelarut maupun
zat terlarut memenuhi hukum Raoult pada semua konsenrtasi dan kita dapat
menuliskan
𝜇𝐴 (𝑙) = 𝜇𝐴∗ (𝑙) + 𝑅𝑇 ln 𝑥𝐴
Keadaan standar pelarut atau zat terlarut adalah cairan murni (pada tekanan 1
bar), dan diperoleh jika 𝑥𝐴 = 1. Jika larutan tidak memenuhi hukum Raoult,
bentuk persamaan terakhir dapat dipertahankan dengan menuliskan
𝜇𝐴 (𝑙) = 𝜇𝐴∗ (𝑙) + 𝑅𝑇 ln 𝑎𝐴 (25 a)

21
𝑎𝐴 adalah aktivitas A, sejenis fraksi mol “efektif” seperti halnya fugasitas adalah
suatu tekanan efektif.
Karena persamaan 24 berlaku untuk larutan nyata maupun ideal
(hampirannya adalah penggunaan tekanan bukan fugasitas), kita dapat
menyimpulkan bahwa:
𝑝𝐴
𝑎𝐴 = (25 b)
𝑝𝐴∗
Oleh karena itu, aktivitas suatu komponen dalam campuran dapat
ditentukan secara eksperimen dengan mengukur tekanan uapnya.
𝑝𝐴
Karena semua pelarut makin mematuhi hukum Raoult (bahwa ⁄𝑝∗ =
𝐴

𝑥𝐴 ) ketika konsentrasi zat terlarut mendekati nol maka aktivitas pelarut


mendekati fraksi mol ketika 𝑥𝐴 → 1:
𝑎𝐴 → 𝑥𝐴 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑘𝑎 𝑥𝐴 → 1
Seperti halnya gas nyata, cara yang tepat untuk menyatakan pertemuan ini adalah
memperkenalkan koefisien aktivitas 𝜸 dengan definisi:
𝑎𝐴 = 𝛾𝐴 𝑥𝐴 𝛾𝐴 → 1 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑘𝑎 𝑥𝐴 → 1 (25 c)
Dengan demikian potensial kimia pelarut adalah
𝜇𝐴 = 𝜇𝐴∗ + 𝑅𝑇 ln 𝑥𝐴 + 𝑅𝑇 ln 𝛾𝐴
Persamaan yang hampir menyerupai persamaan untuk potensial kimia untuk gas
nyata. Keadaan standar pelarut, pelarut cairan murni pada tekanan 1 bar,
diperoleh jika 𝑥𝐴 = 1.
2. Aktivitas zat terlarut
a. Zat tak terlarut encer ideal
Zat terlarut B yang memenuhi hukum Henry mempunyai tekanan uap
yang dinyatakan oleh: 𝑝𝐵 = 𝐾𝐵 𝑥𝐵 , dengan 𝐾𝐵 sebagai konstanta empiris.
Dalam hal ini, potensial kimia B adalah
𝑝𝐵
𝜇𝐵 = 𝜇𝐵∗ + 𝑅𝑇 ln
𝑝𝐵∗
𝐾𝐵
= 𝜇𝐵∗ + 𝑅𝑇 ln + 𝑅𝑇 ln 𝑥𝐵
𝑝𝐵∗
𝐾𝐵 dan 𝑝𝐵∗ adalah konstanta yang merupakan sifat khas zat terlarut. Dengan
demikian, suku kedua dapat digabungkan dengan suku pertama,
menghasilkan potensial kimia standar yang baru, yang diberi notasi 𝜇 † :

22
𝐾𝐵
𝜇𝐵 = 𝜇𝐵† + 𝑅𝑇 ln 𝑥𝐵 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝜇𝐵† = 𝜇𝐵∗ + 𝑅𝑇 ln
𝑝𝐵∗
b. Zat terlarut nyata
Sekarang kita terima penyimpangan dari encer ideal: perilaku hukum
Henry. Untuk aktivitas pelarut, kita memasukkan 𝑎𝐴 sebagai pengganti 𝑥𝐴
dalam hukum Raoult dan memperoleh persamaan 25 a untuk potensial kimia.
Untuk zat terlarut, kita memasukkan 𝑎𝐵 sebagai pengganti 𝑥𝐵 ke dalam
hukum Henry dan memperoleh:
𝜇𝑏 = 𝜇𝐵† + 𝑅𝑇 ln 𝑥𝐴 (26 a)
Pada tahap terakhir ini, keadaan standar tak berubah, dan semua
penyimpangan dari keidealan ditampung dalam aktivitas 𝑎𝐵 . Nilai aktivitas
pada segala konsentrasi dapat diperoleh dengan cara yang sama seperti untuk
pelarut, tetapi sebagai pengganti persamaan 25 b, kita gunakan
𝑃𝐵
𝑎𝐵 = (26 b)
𝐾𝐵
Seperti halnya dengan pelarut, sangatlah bijaksana untuk memperkenalkan
koefisien aktifitas
𝑎𝐵 = 𝛾𝐵 𝑥𝐵 (26 c)
Sekarang semua penyimpangan dari keidealan ditampung dalam
koefisien aktifitas 𝛾𝐵 . Karena zat terlarut memenuhi hukum Henry ketika
konsentrasinya menuju nol, maka:
𝑎𝐵 → 𝑥𝐵 𝑑𝑎𝑛 𝛾𝐵 → 1 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑘𝑎 𝑥𝐵 → 0
Penyimpangan zat terlarut dari keidealan menghilang pada saat
konsentrasi nol, tetapi untuk pelarut penyimpangan menghilang ketika
mendekati kemurnian.
c. Aktivitas berkenaan dengan molalitas
Mula-mula, kita perhatikan bahwa dalam larutan encer jumlah zat
terlarut jauh lebih sedikit dari jumlah pelarut (𝑛𝐵 ≪ 𝑛𝐴 ), sehingga untuk
𝑛
pendekatan yang baik 𝑥𝐵 = 𝐵⁄𝑛𝐴 . Karena 𝑛𝐵 sebanding dengan molalitas
𝑚𝐵 , kita dapat menuliskan:
𝑘𝑚𝐵
𝑥𝐵 = 𝑚𝑜 = 1 𝑚𝑜𝑙 𝑘𝑔−1
𝑚𝑂

23
k adalah konstanta dan 𝑚𝑜 dimasukkan supaya sisi sebelah kanan tidak
berdimensi (satuan-satuan dihilangkan dengan m sendiri). Oleh karena itu,
untuk larutan encer ideal, kita dapat menuliskan:
𝑚𝐵
𝜇𝐵 = 𝜇𝐵† + 𝑅𝑇 ln 𝑘 + ln
𝑚𝑜
Sekarang, kita menentukan potensial kimia standar baru dengan
menggunakan ln 𝑘 dan 𝜇:
𝜇𝐵𝑜 = 𝜇𝐵† + 𝑅𝑇 ln 𝑘
Yang memungkinkan kita menuliskan:
𝑚𝐵
𝜇𝐵 = 𝜇𝐵𝑜 + 𝑅𝑇 ln 𝑜
𝑚
Menurut definisi itu, potensial kimia zat terlarut mempunyai nilai
standar 𝜇𝐵𝑜 , jika molalitas B sama dengan 𝑚𝑜 (yaitu pada 1 mol kg-1).
Sekarang, seperti sebelum ini, kita memasukkan penyimpangan dari
keidealan dengan memperkenalkan aktivitas yang tidak berdimensi 𝑎𝐵 .
Koefisien aktivitas yang tidak berdimensi 𝛾𝐵 , dan menuliskan
𝛾𝐵 𝑚𝐵
𝛼𝐵 = 𝛾𝐵 → 1 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑘𝑎 𝑚𝐵 → 0 (27 a)
𝑚𝑜
Dalam tahap terakhir ini, keadaan standar tidak berubah, dan seperti
sebelumnya, semua penyimpangan dari keidealan ditampung dalam koefisien
aktivitas 𝛾𝐵 . Maka kita sampai pada bentuk ringkas berikut untuk potensial
kimia zat terlarut nyata pada segala molalitas.
𝜇 = 𝜇 𝑜 + 𝑅𝑇 ln 𝑎 (27 b)

24
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut dalam disimpulkan bahwa
1. sifat molar parsial yang paling mudah digambarkan adalah “volume molar
parsial” yaitu kontribusi pada volume dari satu komponen dalam sampel
𝜕𝑉
terhadap volume total. Yang dihitung dengan persamaan 𝑉𝐽 = (𝜕𝑛 ) .
𝐽 𝑝,𝑇,𝑛′

Adapun untuk volume total campuran, yakni 𝑉 = 𝑉𝐴 𝑛𝐴 + 𝑉𝐵 𝑛𝐵 dengan fungsi


Gibbs 𝐺 = 𝑛𝐴 𝜇𝐴 + 𝑛𝐵 𝜇𝐵 . Persamaan Gibbs-Duhem ∑𝐽 𝑛𝐽 𝑑𝜇𝑗 = 0 yang
menghubungkan perubahan potensial kimia semua zat dalam campuran.
Fungsi Gibbs pencampuran ∆𝐺𝑚𝑖𝑥 = 𝑛𝑅𝑇(𝑥𝐴 𝑙𝑛𝑥𝐴 + 𝑥𝐵 𝑙𝑛𝑥𝐵 ) dan entropi
pencampurannya
∆𝑆𝑚𝑖𝑥 = −𝑛𝑅(𝑥𝐴 𝑙𝑛𝑥𝐴 + 𝑥𝐵 𝑙𝑛𝑥𝐵 ). Potensial kimia cairan berkenaan dengan
𝑃
tekanan parsial uapnya 𝜇𝐴 (𝑙) = 𝜇𝐴∗ + 𝑅𝑇 𝑙𝑛 𝑃𝐴∗ dan Hukum Raoult 𝑃𝐴 = 𝑥𝐴 𝑃𝐴∗ .
𝐴

2. Untuk larutan ideal dapat didefinisikan seluruh cairan yang mentaati hukum
Raoult di seluruh rentang komposisinya dari A murni ke B murni adapun
untuk larutan encer dapat didefinisikan campuran yang mentaati hukum Henry
bersifat ideal, dalam arti yang berbeda dengan campuran yang mentaati
hukum Raoult. Untuk fungsi pencampuran ideal, ∆𝐺𝑚𝑖𝑥 = 𝑛𝑅𝑇(𝑥𝐴 ln 𝑥𝐴 +
𝑥𝐵 ln 𝑥𝐵 ). Sedangkan yang dimaksud fungsi kelebihan adalah yaitu selisih
antara fungsi pencampuran termodinamika yang diamati dengan fungsi untuk
larutan ideal.
3. Adapun yang dimaksud sifat koligatif ialah sifat-sifat larutan yang hanya
ditentukan oleh jumlah partikel dalam larutan dan tidak tergantung jenis
partikelnya. Untuk kenaikan titik didih ∆𝑇 = 𝐾𝑏 𝑚𝐵 , penurunan titik beku
∆𝑇 = 𝐾𝑡 𝑚𝐵 , dan tekanan osmosa berkenaan dengan persamaan van’t Hoff
−∆𝐻𝑓𝑢𝑠 1 1
∏𝑉 = 𝑛𝐵 𝑅𝑇. Kemudian, perkiraan kelaruan zat ln 𝑥𝐵 = (𝑇 − 𝑇 ∗).
𝑅

4. Cairan atsiri dapat dikatakan sebagai cairan yang mudah menguap dan
interpretasinya berkenaan dengan aturan tuas 𝑛′ 𝑙 ′ = 𝑛𝑙. Untuk melakukan

25
destilasi pada tekanan tetap dengan menaikkan temperatur diperlukan
temperatur-komposisi yang batas-batasnya memperlihatkan fase-fase yang
berada dalam kesetimbangan pada berbagai temperatur. Begitu pula dengan
azeotrop dan cairan tak-campur yang memerlukan diagram temperatur-
komposisi.
5. Untuk pemerian larutan nyata berkenaan dengan aktivitas pelarut dan zat
terlarut menggunakan 𝜇𝐴 (𝑙) = 𝜇𝐴∗ (𝑙) + 𝑅𝑇 ln 𝑎𝐴 . Untuk aktivitas pelarut dan
𝑝
koefisien aktivitas berkenaan dengan hukum Raoult yakni 𝑎𝐴 = 𝑝𝐴∗ , sedangkan
𝐴

𝑃
aktivitas zat terlarut bekenaan dengan hukum Henry yakni 𝑎𝐵 = 𝐾𝐵 .
𝐵

B. Saran
Untuk pembaca, diharapkan makalah ini dapat dijadikan sebagai salah satu
rujukan berkaitan materi perubahan keadaan: transformasi fisika campuran
sederhana. Diharapkan pula pembaca cermat dalam menyaring, memilah, dan
bijaksana dalam menerapkan pengetahuan yang dibahas di makalah ini. Penyusun
berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca semua.

26
DAFTAR PUSTAKA

Atkins, P. W. 1999. Kimia Fisika Jilid I Edisi Keempat. Jakarta: Erlangga.

Mahardika, Andi Ichsan. 2015. Termodinamika. Surabaya: PT Revka Petra Media.

27

Anda mungkin juga menyukai