Anda di halaman 1dari 20

13.

Termodinamika dalam Larutan


13.1. Jenis-jenis Larutan
Larutan merupakan campuran homogen dari dua zat atau lebih. Suatu larutan
terdiri dari zat terlarut (solute) dan pelarut (solvent). Zat yang jumlahnya banyak
biasanya disebut pelarut, sementara zat yang jumlahnya sedikit disebut zat terlarut.
Tetapi hal ini tidak mutlak. Bisa saja dipilih zat yang lebih sedikit sebagai pelarut,
tergantung pada keperluannya, tetapi disini akan digunakan pengertian yang biasa
digunakan untuk pelarut dan terlarut.
Suatu larutan sudah pasti berfasa tunggal. Berdasarkan wujud dari pelarutnya,
suatu larutan dapat digolongkan ke dalam larutan padat, cair ataupun gas. Zat terlarut
dalam ketiga fasa larutan tersebut juga dapat berupa gas, cair ataupun padat.
Campuran gas selalu membentuk larutan karena semua gas dapat saling campur
dalam berbagai perbandingan.
Berdasarkan kemampuannya untuk menghantarkan arus listrik, larutan
digolongkan ke dalam larutan elektrolit dan larutan non elektrolit. Larutan elektrolit
adalah larutan yang dapat menghantarkan arus listrik yang selama penghantarannya
disertai dengan terjadinya reaksi redoks. Larutan non elektrolit adalah larutan yang
tidak dapat menghantarkan arus listrik. Berdasarkan pandangan termodinamika
larutan dapat dikelompokkan ke dalam larutan ideal dan tak ideal.
Pada bab ini akan dikaji termodinamika larutan ideal dan tak ideal dan larutan
non elektrolit, sifat koligatifnya, kelarutan terlarut melalui hukum Henry dan
distribusi terlarut dalam dua pelarut yang tidak saling melarutkan (hukum distribusi
Nernst). Tetapi sebelumnya akan diuraikan terlebih dahulu cara menyatakan
komposisi zat dalam suatu larutan .

13.2. Komposisi Larutan


Setiap kajian kuantitatif tentang larutan memerlukan pengetahuan mengenai
komposisinya atau lebih khusus lagi mengenai konsentrasinya, yakni banyaknya zat
terlarut yang ada dalam suatu larutan. Kimiawan biasa menggunakan cara yang
berbeda dalam menyatakan komposisi larutan,dengan kelebihan dan kekurangannya
masing-masing. Pada bagian ini akan diuraikan empat cara dalam menyatakan
komposisi larutan yakni fraksi mol, molaritas, molalitas dan persen berat.

1
Selama membicarakan larutan, kita nyatakan pelarut dengan huruf A
a. Fraksi Mol (x)
Konsep ini sudah sering digunakan ketika mempelajari Kimia Fisika II :
Termodinamika, terutama ketika membicarakan tekanan parsial gas, dan pada
pembuatan diagram fasa dalam kesetimbangan fasa. Fraksi mol komponen i dalam
larutan didefinisikan sebagai :

xi = ni (55)
n
ni merupakan jumlah mol komponen i dan n menyatakan jumlah mol semua
komponen dalam larutan. fraksi mol tidak mempunyai satuan.

b.Kemolaran
Di buku-buku tertentu kita bisa lihat bahwa kemolaran merupakan bagian yang lebih
khusus dari konsentrasi. Konsentrasi komponen i dalam larutan, Ci didefinsikan
sebagai :

Ci = ni (56)
V
Dengan V menyatakan volume larutan. Dalam satuan SI, konsentrasi mempunyai
satuan mol/m3. Berdasarkan konvensi, konsentrasi bisa juga dinyatakan dengan
menggunakan tanda kurung persegi, (B). Kimiawan biasa menggunakan istilah
kemolaran, M yakni jumlah mol terlarut dalam satu liter larutan. Jadi kemolaran
secara khusus merupakan konsentrasi molar dengan satuan mol per liter atau mol per
dm3.
c. Kemolalan
Kemolalan i, mi didefinisikan sebagai jumlah mol i dalam sejumlah massa pelarut.
Jika suatu larutan mengandung nB mol terlarut B dan nA mol pelarut A, maka massa
pelarut, wA =m nAMA, dengan MA menyatakan massa molar pelarut (bukan massa
molekul relatif atau Mr-nya). Massa molekul relatif tidak mempunyai satuan
sementara masa molar mempunyai satuan massa per mol. Satuan MA biasanya gram
per mol atau kilogram per mol.
Kemolalan terlarut B dinyatakan dengan :
wA nAM A
mB = nB = nB

2
(
5
7
)

3
Kimiawan hampir selalu menggunakan satuan mol per kilogram untuk satuan
kemolalan, dengan demikian maka satuan massa molar pelarut, MA yang cocok
adalah kg/mol. Pada Persamaan (1.3) sebenarnya untuk kemolalan bisa saja
digunakan satuan mol per gram atau mmol per gram atau mmol per kilogram. Akant
etapi umumnya kita menggunakan satuan mol per kilogram.

d. Persen Massa
Persen massa suatu terlarut B dalam larutan didefinisikan dengan :
wB
% massa B = x 100% (58)
w
Dengan wB massa terlarut B dan w massa total larutan

%massa = massa terlarut x 100%


massa laru tan

= massa terlarut x 100%


massa (terlarut  pelarut)
wB
Fraksi massa B dinyatakan dengan
w
Pada bagian ini kita akan bandingkan kegunaannya. Persen massa mempunyai
keuntungan dalam hal massa molar terlarut yang tidak perlu diketahui. Keuntungan
lainnya, persen massa terlarut dalam larutan tidak dipengaruhi oleh suhu, karena
definisinya dinyatakan dalam bentuk massa. Fraksi mol umumnya tidak digunakan
untuk menyatakan konsentrasi larutan. Akan tetapi konsep ini sangat berguna
misalnya dalam menentukan tekanan parsial gas dan juga dalam membicarakan
tekanan uap dari larutan. Kemolaran merupakan satuan konsentrasi yang paling
umum digunakan. Keuntungannya adalah dalam membuatnya. Pada umumnya lebih
mudah untuk mengukur volum larutan dengan menggunakan labu ukur yang telah
dikalibrasi dengan teliti dibandingkan dengan menimbang pelarut. Kerugiannya
terutama adalah bahwa kemolaran bergantung pada suhu, karena V merupakan
fungsi T dan P. kerugian lainnya adalah melalui komolaran tidak terungkap
banyaknya pelarut yang ada. Kemolalan, tidak bergantung pada suhu karena
didefinisikan sebagai perbandingan jumlah mol terlarut dengan berat pelarut. Untuk
alasan ini kemolalan dipilih sebagai satuan konsentrasi dalam kajian yang melibatkan
perubahan suhu, seperti dalam sifat koligatif larutan.

4
Berkaitan dengan pembahasan Termodinamika Larutan, maka yang perlu
dibicarakan dalam bagian ini antara lain adalah:
e. Besaran Molar Parsial
Sifat-sifat suatu larutan bergantung pada suhu, tekanan dan komposisi larutan
tersebut. Dalam membicarakan sifat-sifat larutan perlu dipelajari besaran molar
parsialnya. Contoh yang paling sederhana untuk memahami konsep ini adalah
melalui besaran volum molar parsial.
Kita tinjau sejumlah air murni pada 298,16 K dan 1 atm. Kerapatan air pada
keadaan ini adalah p = 0,997 g cm-3. Seperti kita ketahui bahwa :
w
massa atau V = massa
ρ = volum -
V ρ
untuk mencari volum molar (volum 1 mol zat) dari data kerapatan, maka massa yang
digunakan adalah massa molar, M, massa dari 1 mol zat tersebut. Untuk air (H2O)

massa molarnya adalah 18,0 g/mol, sehingga volum molar air murni, V * pada
*

298,16 K dan 1 atm adalah :


18,0 g mol 1
V * air = Mair
ρair = 0,997 g cm3

= 18,1 cm3 mol-1


= 0,018 L m ol-1
Jika kita tambahkan 1 mol air pada sejumlah air, maka volumenya akan bertambah
sebesar 0,018 liter. Peningkatan volum ini sesuai dengan volum molar air. Volums
uatu zat merupakan besaran ekstensif, akan tetapi volum molarnya adalah besaran
intensif. Oleh karena itu berapapun jumlah air yang kita miliki, volum molarnya pada
298,16 K dan 1 atm berharga sama, yakni 0,018 liter.
Hal yang berbeda akan terjadi jika kita memasukkan 1 mol (0,018 L) air pada
sejumlah besar etanol. Yang terjadi adalah peningkatan volum hanya sebesar 0,014
liter. Volum sebesar 0,014 liter ini merupakan volum molar parsial dari air dalam
etanol pada komposisi tertentu, yakni, volum dari 1 mol air dalam sejumlah besar
etanol pada komposisi tersebut. demikian pula jika kita tinjau sejumlah besar etanol
pada 298,16 K dan 1 atm, dengan kerapatan  = 0,785 g cm3, m aka kalau kita
tambahkan 1 mol etanol ke dalamnya, terjadi pertambahan volum sebesar 58,7 cm3 =
0,0587 liter, yakni sesuai dengan volum molar etanol pada kondisi tersebut (Metanol =

5
46,1 g mol-1. akan tetapi jika 1 mol etanol ini (0,0589 L) kita tambahkan pada
sejumlah besar air, peningkatan volum yang terjadi hanya 0,0542 liter. jadi volum
molar parsial dari etanol pada komposisi tersebut adalah 0,0542 liter.
Berdasarkan uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa volum total dari suatu
larutan yang mengandung dua komponen tidak dapat dituliskan sebagai penjumlahan
dari volum masing-masing komponen A dan B jadi :
V  VA + VB
Sebagai contoh jika 50,0 cm3 air dicampurkan dengan 50,0 cm3 etanol pada 20°C dan
1 atm, ternyata volum larutan yang diperoleh bukan 100 cm3 melainkan hanya 96,5
cm3 (lihat gambar 1.1). perbedaan ini disebabkan oleh karena ada perbedaan gaya
antarmolekul dalam larutan dan dalam komponen murninya, dan adanya perbedaan
penataan molekul dalam larutan dan dalam komponen murninya yang disebabkan
oleh perbedaan ukuran dan bentuk molekul dari komponen yang dicampurkan.
Oleh karena volum molar parsial bergantung pada komposisi larutan, maka
volum molar parsial suatu komponen lalu didefinisikan sebagai perubahan volum
suatu larutan jika 1 mol komponen lalu didefinisikan sebagai perubahan volum suatu
larutan jika 1 mol komponen tersebut dilarutkan pada T dan P tetap ke dalam
sejumlah besar larutan dengan komposisi tertentu yang dengan penambahan
komponen tersebut komposisinya tidak berubah. Jadi jika kita ingin menentukan
volum molar etanol dalam 20% mol larutan etanol dalam air, maka kita harus
menambahkan 1 mol etanol ke dalam sejumlah besar larutan etanol 20% dan
perubahan volum yang terjadi merupakan volum molar parsial etanol dalam larutan
etanol 20%.
Volum molar parsial komponen A, V dalam setiap larutan merupakan
A

peningkatan volum larutan untuk 1 mol A yang ditambahkan pada T, P dan

komposisi tertentu. Karena VA merupakan perubahan volum yang disebabkan


perubahan jumlah A, nA pada T, P dan jumlah B, nB yang tetap, maka volum molar
parsial A didefinisikan sebagai :

VA =  n
V  (59)
 
 A T .P.n
B

Demikian pula halnya dengan volum molar parsial komponen B.

6
VB =  n
V  (60)
 
 B T .P.n
A

Pada T dan P tetap, volum suatu larutan yang terdiri dari komponen A dan B
merupakan fungsi dari nA dan nB.
V = V (nA, nB) (61)
Jika sejumlah kecil A, dnA dan sejumlah B, dnB ditambahkan ke dalam larutan,
peningkatan volum larutan dinyatakan dengan diferensial dari persamaan (61).

dV =  V  dnA +  V 
dnB (62)
n  n 
 A T .P.n  B T .P.n
B A

Substitusi Persamaan (60) dan Persamaan (61) ke dalam Persamaan (62)


menghasilkan

dV = VA dnA + VB dnB =
Vi dni
i
(63)

Berdasarkan persamaan (1.8) yang secara fisik brarti peningkatan volum larutan
tanpa terjadi perubahan dalam komposisinya (dengan demikian volum molar parsial

A dan B juga nilainya tertentu atau dengan kata lain VA tidak bergantung pada nA

dan VB tidak bergantung nB), maka diperoleh :

(64)
V = nA + nB = 
VA VB niVi

Volum molar parsial dapat ditentukan melalui cara lereng. Untuk larutan yang
terdiri ari zat A dan zat B, VB dapat diukur dengan cara menyiapkan larutan-larutan

(pada T, P yang diinginkan) yang mengandung jumlah mol komponen A yang sama
dan tertentu nilainya (misalnya 1 kg) tetapi dengan jumlah nB yang bervariasi. Lalu

diukur volumenya kemudian alurkan V larutan, terhadap nB. Dari definisi VB , VB


  V 
n
maka lereng atau kemiringan dari kurva V terhadap nB di setiap
 
 B T .P.n
A

komposisi merupakan VB pada komposisi tersebut.

Jika VB sudah ditentukan dengan cara lereng tadi, maka VA dapat ditentukan
dengan menggunakan Persamaan (1.10).

7
(V  nBVB )
VA = n
A

Penentuan besaran molar parsial melalui cara lereng ini agak kurang teliti tetapi
cukup memadai untuk survey yang cepat. Penentuan volum molar parsial, umumnya
dilakukan dengan cara intercept. Suatu besaran yang disebut rata-rata volum molar

larutan, Vm , didefinisikan sebagai volum larutan dibagi dengan jumlah mol total dari
semua komponen dalam larutan. Untuk larutan biner.
V
Vm = , sehingga V = Vm (nA + nB) dan
nA  nB
 V   Vm 
VA =   Vm + (nA + nB)   (65)
 A n A n
n
.T .
BP
 .T .P
B

Derivatif terhadap nA diubah menjadi derivatif terhadap fraksi mol xB.


 Vm  dv m  xB 
  =  
 A n dxB  A n
n B
n B

nB  xB  nB
Karena xB = , maka  = dan dengan demikian
nA  nB  A (nA  nB ) 2
n B
Persamaan (65) menjadi :
nB dV m
V A= V m - (66)
(nA  nB ) 2 dxB

dV m
V m = xB +V A
dxB

Penerapan dari persamaan ini dapat dilihat pada pembahasan berikutnya, yang

mana rata-rata volum molar larutan V m dialurkan terhadap fraksi mol B, xB. garis
S1S2 digambarkan sebagai garis singgung dari kurva di titik P, yang bersesuaian
f. Larutan ideal
Konsep gas ideal yang telah diuraikan di buku bagian depan materi Kimia
Fisika II, memegang peranan penting dalam termodinamika gas. Banyak hal dalam
praktek yang diperlukan dengan pendekatan gas ideal, dan sistem yang menyimpang
dari keidealan diuraikan dengan cara membandingkannya dengan keadaan ideal.

8
Konsep yang mirip dengan keidealan gas digunakan sebagai pemandu dalam

9
menguraikan teori larutan. Gas yang ideal diartikan sebagai gas yang tidak
mempunyai gaya antaraksi antara partikel-partikel gasnya, sementara larutan ideal
didefinisikan sebagai larutan yang mempunyai antaraksi yang sama antara partikel-
partikelnya. Misalnya untuk larutan dua komponen A dan B, gaya antar molekul
antara A dan B, B dan B, serta A dan A, semuanya sama dalam larutan ideal, juga
volum dan ukuran molekul masing-masing spesi adalah sama.
Untuk larutan ideal, kecenderungan A untuk pergi ke fasa uap sebanding
dengan fraksi mol A, xA dalam larutan :
PA = k xA (67)
Dengan k tetapan kesebandingan. Jika xA = 1, maka PA = P* , tekanan uap murni A.
A

Dengan demikian persamaan (1.17) berubah menjadi


PA = xA P *
(68)
A

Pada tahun 1886, Francois Raoult melaporkan data tekanan parsial komponen-
komponen dalam berbagai larutan yang mendekati Persamaan (68), yang kemudian
dikenal sebagai hukum Raoult. Jadi suatu larutan yang ideal didefinisikan sebagai
larutan yang memenuhi hukum Raoult pada semua rentang konsentrasi. Keidealan
dalam larutan menghendaki keseragaman/kesamaan dalam gaya antar molekul dan
komponen-komponennya dan ini hanya dapat dicapai jika komponen-komponen
tersebut sangat mirip sifat-sifatnya. Sebagai contoh adalah larutan sistem benzen-
toluen yang kurva tekanan uap ter hadap komposisinya dapat dilihat pada Gambar
11.

Gambar 11. Kurva tekanan uap terhadap komposisi


untuk sistem benzen-toluen

10
Jika komponen B ditambahkan pada A murni maka tekanan uap A akan turun,
dan persamaan (68) dapat dituliskan dalam bentuk penurunan tekanan uap relatifnya
:
*
PA  A
= xA – 1 = -xn (69)
*
PA
Persamaan (69) di atas terutama berguna untuk larutan dengan zat terlarut yang
tak mudah menguap (involatil) dalam pelarut yang mudah menguap (volatil) dan
dimanfaatkan untuk menentukan massa molar terlarut.
Sekarang kita kaji implikasi hukum Raoult terhadap potensial kimia setiap
komponen dalam larutan, i  Gi . Pada kesetimbangan antara cairan (atau padatan)

dalam larutan dengan uapnya maka i = i uap, dengan i potensial kimia komponen i

dalam larutan dan i uap potensial kimia komponen i dalam uapnya di atas larutan.
Jika uapnya diasumsikan sebagai campuran gas ideal maka :
Pi
i. uap =  (70)
+ RT In
 i. P

Dengan  
potensial kimia gas ideal pada keadaan standar pada suhu T dan
i.

tekanan standar P° (1 atm) dan Pi tekanan parsial dari uap i di atas larutan. Substitusi
Persamaan (70) ke dalam persamaan I = i. uap menghasilkan :

 Pi
i . uap
+ RT In (71)
i =
P
Dan dengan menggunakan hukum Raoult, maka :
*
i = i . uap + RT In P i
P
 *
atau i =  i . + RT In Pi (72)
uap P

jika cairannya i murni, maka xi = 1 dan Persamaan (72) menjadi :


*
 * = i . uap + RT In P i (73)
i
P
Dengan  *
potensial kimia i cairan murninya
i

Sustitusi Persamaan (72) ke dalam Persamaan (73) menghasilkan :

11
i = * + RT In xi (74)
i

12
Dengan i = potensial komponen i dalam larutan dengan fraksi mol xi pada T dan P

tertentu, * i= potensial kimia komponen i murni. Pada suhu T dan tekanan P keadaan
standar dari komponen i dalam larutan ideal adalah cairan atau padatan i murni pada
suhu T dan tekanan P dari larutan. Jadi  o =  * . Oleh karena itu persamaan (74)
i i

menjadi :
i =  o - RT In xi dengan  o = (75)
*
i i i

Jadi untuk larutan ideal, potensial kimia untuk setiap komponennya memenuhi
Persamaan (75). ini merupakan definisi (dasar) termodinamika untuk larutan ideal.

g. Termodinamika Pencampuran Larutan Ideal


Pada proses pencampuran sejumlah n1, n2, … ni mol cairan murni yang asalnya
terpisah membentuk larutan ideal pada T.P tertentu, dapat kita turunkan G, V, S
dan H pencampurannya.
Energi Gibbs, G dari larutan ideal :

G = n
i
i μi =  ni
*
i (T .P) + RT
n i In xi

Sementara energi Gibbs komponen-komponennya sebelum dicampurkan, pada T.P


tetap adalah :
Gunmix =  n G* =  n μ
i i i
*
(T. P)
i
i i

Gmix = G - Gunmix

= RT n i
i In xi (76)

Karena 0 < xi < 1, maka In xi < 0 dan Gmix < 0, artinya proses pelarutan berlangsung
dengan spontan pada T. P tetap (isotermal, isobar).
Untuk menentukan Smix dan Vmix, sebaiknya ingat kembali persamaan
 G
fundamental dG = -SdT + VdP. Dari persamaan tersebut : S = -
 dan
 
T
 P
 G
. Dengan demikian :
V =  
  P T
Smix =  Gmix 

 13
 
Pi.ni
T

14
 Gmix 
dan Vmix =-
 
  T
Berdasarkan Persamaan (76) Smix untuk larutan ideal berharga positif, artinya
sistem dalam larutan menjadi semakin tidak teratur.
Untuk menentukan Vmix dan Hmix kita dapat menggunakan yang ada, karena
 G
V = , m aka untuk proses pencampuran :

 
T T . ni

Vmix =
 Gmix 

 T . ni
P 
Untuk larutan ideal, dari persamaan (1.26) terlihat bahwa Gmix bergantung pada T
 Gmix 
dan fraksi mol tetapi tidak bergantung pada P. oleh karena itu

 T . ni

berharga nol, sehingga


P
Vmix = 0 (77)
Jadi pada proses pembentukan larutan ideal dari komponen-komponennya tidak
terjadi perubahan volum. Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa dalam larutan
ideal selain antaraksi antar molekulnya sama, volumenya juga sama, sehingga ketika
dicampurkan tidak ada perubahan volum.

14. Termodinamika Sel Elektrokimia


14.1. Energi Gibbs
Kontribusi awal terhadap termodinamika sel elektroda kimia diberikan oleh
Joule (1840) yang memberikan kesimpulan bahwa :
Panas (1 Icat) yang diproduksi berbanding lurus terhadap kuadrat arus I2 dan
resistensi R. dan karena juga berbanding lurus terhadap waktu (t), Joule
menunjukkan bahwa panas berbanding lurus terhadap :
I2 Rt
Karena : R = V/I
Maka panas (kalor) berbanding lurus terhadap

15
VIt

16
q = VIt
dengan satuan : q = Joule (J) = kg m2 s2
V = Volt (V) = kg m2 s-3 A-1
I = Amper (A)
t = Detik (s)
Hubungan di atas adalah benar. Tapi terjadi kesalahan fatal dengan
menafsirkan bahwa panas yang diproduksi tersebut adalah panas reaksi. (Joule,
Helmholtz, William Thomson).
Penafsiran yang benar diberikan oleh Willard Gibbs (1878) bahwa panas yang
dihasilkan merupakan perubahan bentuk dari kerja yang dilakukan sel (wlistrik).
wlistrik = QV = (It) (IR) = I2Rt

Kerja yang dilakukan oleh sel elektrokimia sama dengan penurunan energi Gibbs,
yaitu kerja maksimum di luar kerja –PV.

Ini dapat diilustrasikan dengan sel berikut :


Pt|H2|H+||Cu2+|Cu
Reaksi di anoda H2  2H+ + 2e-
Reaksi di katoda Cu2+ + 2e-  Cu
Reaksi keseluruhan H2 + Cu2+  2H+ +
Cu
Saat 1 mol H2 bereaksi dengan 1 mol Cu2+, 2 mol elektron mengalir melalui
rangkaian luar. Menurut Hukum Faraday, ini berarti terjadi aliran listrik sebesar {(2
mol)(6,02 x 1023 mol-1)(1,6 x 10-19C)} = 2 x 96.485 C listrik. Potensial sel tersebut
adalah +0.3419 V, sehingga kerja listrik yang dihasilkan adalah :
wlistrik = QV
= 2 x 96.485C x 0,3419 V = 6,598 x 104 J

Kerja dilakukan sistem. Karena kerja yang dilakukan oleh sel elektrokimia sama
dengan penurunan energi Gibbs maka :
G = -6.598 x 104 J
Secara umum :
G = -nFE

17
dan pada keadaan standar :
G° = -nFE°
Melalui hubungan tersebut dapat pula ditentukan kriteria kespontanan melalui E.
suatu proses dikatakan spontan jika G < 0. Dari persamaan G = -nFE, dengan
demikian reaksi spontan jika E > 0 dan tidak spontan jika  > 0 atau E < 0. Dan
reaksi ada dalam kesetimbangan saat G = 0 atau E = 0. Oleh akrena itu potensial sel
pada keadaan standar dapat digunakan untuk menentukan tetapan kesetimbangan
melalui perubahabne negri Gibbs.
Untuk reaksi berikut :
aA + bB = yY + zZ
perubahan energi Gibbs untuk reaksi tersebut adalah :
 y z 
G = G° + RT In  aYa bZ
a a 
 A B 
Saat kesetimbangan G = 0
 a y az 
G° = -RT In Ya bZ  dengan menggunakan G° = -nFE° maka
a a 
 A B cq

RT
E° = + nF  y z 
 a
In  aYa abZ 
 A B cq
RT
E° = In K
nF

14.2 Persamaan Nernst


Secara umum untuk reaksi :
aA + bB = yY + zZ
 y z 
G = G° + RT In  aYa bZ
a a 
 A B 
Dan melalui hubungan G = -nFE, diperoleh :

 y z
R
E = E° - nF a (Persamaan Nernst, 1889)
In aYa abZ 

 A B

18
Untuk sel :

Pt, H2 (1 bar)|H+(aq)| |Cu2+ (aq)|C u


Dengan reaksi :
H2 + Cu2+  2H+ + Cu
Maka :
an. 2
G = G° + RT In
aCu 2
Karena aCu = 1 dan H2 pada 1 bar dapat diasumsikan ideal, sehingga afH2 = PH2, maka
:
RT a .2
-nFE = -nFE° + In H
nF aCu 2
RT a
E = E° - .2
In H
nF a 2
C

14.3. Koefisien Suhu dari Potensial Sel


E
Koefisien suhu dari potensial sel yakni
T dapat digunakan untuk menentukan
besaran-besaran termodinamika lain seperti S dan H.
Dari persamaan fundamental : dG = -SdT + VdP, maka :
 G  G 
 = -S atau S = - T
  
 T P  P
 G  G 
 = V atau V =
 P
 P T  T

Dengan demikian perubahan entropi :


 G 
S= - T
  P

  (nFE) 
S= -  
  P
 E 
S= nF T
 P

19
Dan perubahan entalpi :
H = G + TS
 E 
H = nFE + nFT T
 P
 E 
H = -nF E T
 
  P
 E 
Harga  (koefisien suhu) diperoleh melalui pengukuran E pada berbagai suhu
T
 P
dengan P tetap.

20

Anda mungkin juga menyukai