Kemolaran
Di buku-buku tertentu kita bisa lihat bahwa kemolaran merupakan bagian yang
lebih khusus dari konsentrasi. Konsentrasi komponen I dalam larutan, Ci
didefinisikan sebagai:
ni
Ci = (1.2)
V
dengan V menyatakan volume larutan. Dalam satuan SI, konsentrasi mempunyai
satuan mol/m3. berdasarkan konvensi, konsentrasi bisa juga dinyatakan dengan
menggunakan tanda kurung persegi, [.]. orang kimia biasanya menggunakan istilah
kemolaran, M yakni jumlah mol terlarut dalam satu liter larutan. Jadi kemolaran
secara khusus merupakan konsentrasi molar dengan satuan mol per liter atau mol
per dm3.
Kemolalan
Kemolalan i, mi didefinisikan sebagai jumlah mol i dalam sejumlah massa pelarut.
Jika suatu larutan menggandung nB mol terlarut B dan nA mol pelarut A, maka
massa pelarut, wA = nA MA, dengan MA menyatakan massa molar pelarut (bukan
massa molekul relative atau Mr-nya). Massa molekul relative tidak mempunyai
satuan sementara massa molar mempunyai satuan massa per mol. Satuan untuk MA
biasanya gram per mol atau kilogram per mol.
Kemolalan terlarut B dinyatakan dengan :
nB nB
mB = = (1.3)
WA nAM A
Orang kimia hampir selalu menggunakan satuan satuan mol per kilogram untuk
satuan kemolalan, dengan demikian maka satuan molar pelarut. MA yang cocok
adalah kg/mol. Pada persamaan (1.3) sebenarnya untuk kemolalan bisa saja
digunakan satuan mol per gram atau mmol per gram atau mmol per kilogram. Akan
tetapi umumnya kita menggunakan satuan mol per kilogram.
Persen massa
Persen massa suatu terlarut B dalam larutan didefinisikan dengan :
wB
% massa B = x100% (1.4)
w
Dengan wB massa terlarut B dan w massa total larutan
massa terlarut
% massa = x 100%
massa laru tan
massa terlarut
= x 100%
massa (terlarut pelarut )
wB
Fraksi massa B dinyatakan dengan
w
Sekarang kita akan bandingkan kegunaannya. Persen massa mempunyai
keuntungan dalam hal massa molar terlarut yang tidak perlu diketahui. Keuntungan
lainnya, persen massa terlarut dalam larutan tidak dipengaruhi oleh suhu, karena
definisinya dinyatakan dalam bentuk massa. Fraksi mol umumnya tidak digunakan
untuk menyatakan konsentrasi larutan. Akan tetapi konsep ini sangat berguna
misalnya dalam menentukan tekanan parsial gas dan juga dalam membicarakan
tekanan uap dari larutan. Kemolaran merupakan satuan konsentrasi yang paling
umum digunakan. Keuntungannya adalah dalam membuatnya. Pada umumnya
lebih mudah untuk mengukur volum larutan dengan menggunakan labu ukur yang
telah dikalibrasi dengan teliti dibandingkan dengan menimbang pelarut.
Kerugiannya terutama adalah bahwa kemolaan bergantung pada suhu, karena V
merupakan fungsi T dan P. kerugian lainnya adalah melalui kemolaran tidak
terungkap banyaknya pelarut yang ada. Kemolalan, tidak bergantung pada suhu
karena didefinisikan sebagai perbandingan jumlah mol terlarut dengan berat pelarut.
Untuk alasa ini, kemolalan dipilih sebagai satuan konsentrasi dalam kajian yang
melibatkan perubahan suhu seperti dalam sifat koligatif larutan.
V(H2O)/cm3
V/cm3
75 50 25 0
100
99
98
97
96
0 25 50 75 100
Gambar 1.1.
Volum larutan yang terbentuk dari pencampuran sevolum etanol murni, Vet
dengan (100 cm3 – Vet) air murni pada 200C, 1 atm
(Dari Levine, Ira N,. (1995) Physical Chemistry. Fourth Edition. New York: McGraw-Hill Kogakusha)
Oleh karena volum molar parsial bergantung pada komposisi larutan, maka
volum molar parsial suatu komponen lalu didefinisikan sebagai perubahan volum
suatu larutan jika 1 mol komponen tersebut dilarutkan pada T dan P tetap ke dalam
sejumlah besar larutan dengan komposisi tertentu yang dengan penambahan
komponen tersebut komposisinya tidak berubah. Jadi jika kita ingin menentukan
volum molar etanol dalam 20% mol larutan etanol dalam air, maka kita harus
menambahkan 1 mol etanol ke dalam sejumlah besar larutan etanol 20% dan
perubahan volum yang terjadi merupakan volum molar.
Volum molar parsial komponen A, VA dalam setiap larutan merupakan
peningkatan volum larutan untuk 1 mol A yang ditambahkan pada T, P dan
komposisi tertentu. Karena V A merupakan perubahan volum yang disebabkan
perubahan jumlah A, nA pada T, P, dan jumlah B, nB yang tetap , maka volum
molar parsial A didefinisikan sebagai :
V
V A (1.5)
A T , P , nB
n
Berdasarkan persamaan (1.8) yang secara fisik berarti peningkatan volum larutan
tanpa terjadi perubahan dalam komposisinya (dengan demikian volum molar parsial
A dan B juga nilainya tertentu atau dengan kata lain V A tidak bergantung pada nA
V = nA V A + nB V B = n V i i
Volum molar parsial dapat ditentukan melalui cara lereng. Untuk larutan yang
terdiri dari zat A dan zat B, V B dapat diukur dengan cara menyiapkan larutan-
larutan (pada T,P yang diinginkan) yang mengandung jumlah mol komponen A
yang sama dan tertentu nilainya (misalnya 1 kg) tetapi dengan jumlah nB yang
bervariasi. Lalu diukur volumenya kemudian alurkan V larutan, terhadap nB. Dari
V
defenisi V B , V B = maka lereng atau kemiringan dari kurva V terhadap
n B T , P ,n A
Jika V B sudah ditentukan dengan cara lereng tadi, maka V A dapat ditentukan
dengan menggunakan persamaan (1.10).
V n B VB
V A =
nA
Penentuan besaran molar parsial melalui cara lereng ini agak kurang teliti
tetapi cukup memadai untuk survey yang cepat. Penentuan volum molar parsial
umumnya dilakukan dengan cara intercept. Suatu besaran yang disebut rata-rata
volum molar larutan, V m , didefinisikan sebagai volum larutan dibagi dengan
jumlah mol total dari semua komponen dalam larutan. Untuk larutan biner,
V
Vm = , sehingga V = V m (nA + nB) dan
n A nB
V Vm
V A = V m + (nA + nB) (1.11)
n
n A T , P ,nB A T , P , nB
Derivatif terhadap nA diubah menjadi derivatif terhadap fraksi mol xB .
Vm d Vm x B
=
n
A nB dx B n A nB
nB x B nB
Karena xB = , maka = - dan dengan demikian
n A nB n A B (n A n B ) 2
Persamaan (1.11) menjadi :
nB d Vm
V A = Vm -
(n A n B ) dx B
d Vm
V m = xB + VA (1.12)
dx B
Penerapan dari persamaan ini dapat dilihat pada gambar 1.2, yang mana rata-
rata volum molar larutan, V m dialurkan terhadap fraksi mol B, xB. Garis S1S2
dihubungkan dengan fraksi mol tertentu, xB. Intersept O1S1 pada xB=0 adalah V A,
volum molar parsial A pada komposisi tertentu, xB. Coba sendiri untuk
membuktikan bahwa intersept terhadap sumbu tegak lainnya, O2S2 adalah volum
molar B, V B.
S2
A1 A2
S1
O1 O2
0 X’b 1
Fraksi mol B, xb
Gambar 1.2
Penentuan volum molar dengan intersep
Volum molar parsial etanol dan air yang telah diukur pada berbagai rentang
konsentrasi larutan, dari x etanol = 0 sampai dengan x etanol = 1 dapat dilihat pada
grafik.
58
56 etanol
54
52
18 air
16
14
Gambar 1.3. Volum molar parsial air dan etanol dalam larutan pada
berbagai komposisi
J J J J
dJ = dT + dP + dn1 + dn2 + …
T P.n1 .n2 P T .n1 .n2 n1 T .P..n1 .n2 n2 T .P..n1 .n2
Pada T, P tetap :
J J
dJ = dn1 + dn2 +
n1 T .P..n1 .n2 n2 T .P..n1 .n2
J
= ∑ (i j) (1.13)
ni T .P..n1 ...
J
dengan = Ji , besaran molar parsial dari komponen dengan
ni T .P..n1 ...
dJ = J 1 dn1 + J 2 dn2 +
dan hasil integrasinya :
J = n1 J 1 + n2 J 2 + = n J
i
i i (1.14)
Jika J = V , maka persamaan (1.14) untuk system dua komponen berubah menjadi
persamaan (1.10). Jika J adalah energi Gibbs, G, maka energi Gibbs larutan dua
komponen:
G = n1 G1 + n2 G 2
G = n1 1 + n2 2
1 = G i = energi Gibbs molar parsial zat 1
Perhatikan bahwa besaran molar parsial didefinisikan pada T,P dan nj i tetap. Jadi
untuk energi Gibbs, besaran molar parsial komponen i, G i didefinisikan sebagai
G
G i = 1 = G i sama dengan i . Akan tetapi untuk besaran
ni T .P..nj ii
termodinamika yang lain seperti U, A, dan H, ternyata besaran molar parsialnya
tidak sama dengan potensial kimianya.
Sebagai contoh untuk energi dalam U, besaran molar parsialnya didefinisikan
dengan :
U
U = (1.15)
i T .P..nj ii
n
U
sementara i = (1.16)
ni S .V ..nj ii
(lihat lagi penurunannya di buku Kimia Fisika I)
Pada persamaan (1.16) S dan V yang tetap. Bandingkan dengan persamaan
(1.15) dimana variable yang tetap adalah T dan P. Dengan demikian maka i U i ,
Gunmix ni Gi ni i (T , P)
i i
Gmix G Gunmix
RT ni ln xi (1.26)
Karena 0 < xi < 1, maka ln xi < 0 dan Gmix < 0, artinya proses pelarutan berlangsung
dengan spontan pada T,P tetap (isothermal, isobar).
Untuk menentukan S mix dan Vmix , sebaiknya ingat kembali persamaan
G
fundamental dG SdT VdP. Dari persamaan tersebut : s dan
T P
G
V . Dengan demikian :
P T
Gmix
S mix
T Pi ,ni
Gmix
dan Vmix
P T
Berdasarkan Persamaan (1.26) S mix R ni ln xi (1,27)
Karena ln xi negatif, maka ∆Smix untuk larutan ideal berharga positif, artinya system
dalam larutan menjadi semakin tidak teratur.
Untuk menentukan ∆Vmix, dan ∆Hmix kita dapat menggunakan persamaan
G
(1.26) dan (1.27). Karena Vmix , maka untuk proses pencampuran :
P T .ni
Gmix
Vmix
P T .ni
Untuk larutan ideal, dari persamaan (1.26) terlihat bahwa ∆Gmix bergantung pada T
dan fraksi mol tetapi tidak bergantung pada P. Oleh karena itu
Gmix
berharga nol, sehingga
P T .ni
∆Vmix = 0 (1.28)
Jadi pada proses pembentukan larutan ideal dari komponen-komponennya
tidak terjadi perubahan volum. Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa dalam
larutan ideal selain antaraksi antar molekulnya sama, volumnya juga sama, sehingga
ketika dicampurkan tidak ada perubahan volum.
Karena antaraksi antar molekul pada larutan ideal adalaj sama, maka
diharapkan kalor pencampurannya akan berharga nol. Untuk itu kita gunakan
persamaan G H TS pada T tetap untuk menentukan ∆Hmix sehingga :
H mix Gmix TS mix
= RT ni ln xi RT ni ln xi (1.29)
∆Hmix = 0
Jadi tidak ada kalor yang diserap maupun yang dilepaskan pada saat pembentukan
larutan ideal pada T,P tetap.
1.3.4.
Kebanyakan larutan bersifat tak ideal. Ada yang menyimpang secara positif,
ada juga yang menyimpang secara negatif dari hukum Raoult. Penyimpangan positif
dari hukum Raoult terjadi pada larutan yang tekanan uapnya lebih besar dari yang
dinyatakan hukum Raoult dan penyimpangan negatif terjadi pada larutan yang
tekanan uapnya lebih kecil daripada yang dinyatakan dengan hukum Raoult.
Penyimpangan positif dari hukum Raoult terjadi karena gaya tarik molekul
terlarut dan molekul pelarut dalam larutan lebih kecil daripada gaya tarik antara
molekul-molekul pelarut murninya. Akibatnya ada kecendrungan yang lebih besar
dari molekul-molekul tersebutr untuk berada di fasa uapnya. Hasilnya tekanan uap
parsial masing-masing di atas larutan lebih besar dari yang diramalkan dengan hukum
Raoult dan tekanan total dari larutan pun menjadi lebih besar dari yang diharapkan.
Sebaliknya penyimpangan negatif dari hukum Raoult terjadi karena gaya tarik
terlarut-pelarut lebih besar daripada gaya tarik terlarut-terlarut dan pelarut-pelarut.
Artinya kedua zat lebih senang berada di dalam larutannya. Akibatnya tekanan parsial
di atas larutan lebih kecil daripada yang dinyatakan dengan hukum Raoult sehingga
tekanan uap totalnya juga lebih kecil daripada yang diharapkan dan terjadi
penyimpangan negatif.
Contoh sistem yang menyimpang secara positif dari hukum Raoult adalah
sistem aseton – karbondisulfida (Gambar 1.5a.); dan contoh sistem yang menyimpang
secara negatif dari hukum Raoult adalah sistem aseton – kloroform (Gambar 1.5b.)
Gambar 1.5.
a) Penyimpangan positif Hukum Raoult
b) Penyimpangan negatif Hukum Raoult
(Dari Castellan,.1983.physical Chemestry. Third edition.Massachasetts:addison Wesley)
Ada hal yang menarik dari Gambar 1.5a. untuk lebih jelasnya gambar tersebut
akan diambil sebagian yakni untuk tekanan parsial karbondisulfidanya saja seperti
pada Gambar 1.6. berikut.
Gambar 1.6. Kurva tekanan parsial karbondisulfida terhadap komposisi untuk
sistem aseton – karbondisulfida
(Dari Castellan,.1983.physical Chemestry. Third edition.Massachasetts:addison Wesley)
parsialnya linier :
PCS 2 k CS 2 xCS 2 (1.30)
kemiringan hukum Raoult. Zat terlarut memenuhi Hukum Henry (Persamaan 1.30)
dengan k CS 2 , tetapan hukum Henry untuk CS2. Jadi dari kurva tekanan uap tersebut
P CS 2 = k CS 2 sekitar x CS 2 = 0
Nilai tetapan Henry untuk beberapa gas dalam air pada 298 K dapat dilihat pada
Tabel 1.1
Table 1.1
Tetapan Henry beberapa gas dalam air pada 250C
Gas k/(torr)
H2 5,54 x 107
He 1,12 x 108
Ar 2,80 x 107
N2 6,80 x 107
O2 3,27 x 107
CO2 1,24 x 106
H2S 4,27 x 105
Dalam beberapa buku dapat dilihat bahwa untuk k digunakan satuan tekanan-1,
seperti torr-1 atau atm-1. Untuk kasus seperti ini, Hukum Henry yang dinyatakan
1 1
dengan : Pj k j x j . dapat diubah menjadi p j x j . dengan k j jadi k j yang
kj kj'
sehingga xj (di kedua persamaan tersebut) tidak mempunyai satuan. Perlu diketahui
juga bahwa jika larutan ideal, maka k akan sama dengan P* dan hukum Henry maupn
hukum Raoult dapat menjadi sama.
Untuk system yang mengalami penyimpangan negative dari hukum Roult
seperti system aseton-kloroform (Gambar 1.5b) tekanan uapnya mempunyai nilai
minimal yang letaknya di bawah tekanan uap murni masing-masing komponen.
Untuk system ini garis hukum Henry terletak di bawah garis hukum Raoult.
Dari uraian di atas dapat dibedakan bahwa untuk larutan ideal encer, pelarut
mengikuti hukum Raoult : Pi xi Pi (Perhatikan hukum Raout jangan tertukar
dicatat bahwa pada hukum Raoult dan hukum Henry xi adalah fraksi mol pelarut
dalam larutan dan xj adalah fraksi mol terlarut juga dalam larutan. Hukum Henry
biasanya dihubungkan dengan kelarutan gas dalam cairan, akan tetapi sebenarnya
Hukum Henry dapat pula digunakan untuk larutan-larutan yang mengandung zat
terlarut bukan gas yang volatil.
Ada beberapa keterbatasan pada hukum Henry. Yang pertama adalah hukum
ini hanya berlaku untuk larutan yang encer, yang kedua adalah tidak ada reaksi kimia
antara zat terlarut dengan pelarut, karena jika ada reaksi kimia maka kelarutannya
dapat terlihat sangat besar. Contoh gas-gas seperti itu CO2, H2S, NH3, SO2 dan HCl
mempunyai kelarutan yang sangat besar dalam air karena terjadi reaksi dengan
pelarut. Jadi dalam hal-hal seperti ini hukum Henry tidak dapat lagi digunakan.
kesetimbangan : 1o RT ln x1 2o RT ln x2
x2
Dan : RT ln 1o 2o (1.31)
x1
Karena 1o dan 2o tidak bergantung pada komposisi, maka pada T tetap,
x2
k (1.32)
x1
Dengan k koefisien distribusi atau koefisien partisi, yang harganya tidak bergantung
pada konsentrasi zat terlarut pada T yang sama. Jika sejumlah tertentu zat terlarut
sudah setimbang dalam dua fasa yang berbeda dan emudia ditambahkan lagi terlarut
kedalamnya, maka terlarut itu akan terdistribusi lagi dalam kedua pelarut sampai
diperoleh keadaan kesetimbangan baru yang konsentrasinya berbeda dengan
konsentrasi sebelum penambahan akan tetapi nilai perbandingan di kedua fasa
berharga tetap,
x2
k
x1
Jika larutan sangat encer, maka fraksi mol sebanding dengan kemolalan atau
kemolaran sehingga:
m2 c2
k' dan k" (1.33)
m1 c1
Dengan k’ dan k” tidak bergantung pada Konsentrasi di kedua fasa. Persamaan (1.32)
pertama kali dikemukakan oleh Nersnt sehingga persamaan tersebut dikenal dengan
hukum distribusi Nersnt. Perlu dicatat bahwa hukum ini hanya berlaku bagi sepesi
molekul yang sama di kedua larutan: Jika terlarut terasosiasi menjadi ion-ionnya atau
molekul yang lebih sederhana atau jika terasosiasi membentuk molekul yang lebih
kompleks, maka hukum distribusi tidak dapat diterapkan pada Konsentrasi totalnya di
kedua fasa melainkan hanya pada Konsentrasi spesi yang sama yang ada dalam kedua
fasa. Jadi jika zat A terlarut dalam satu pelarut tanpa mengalami perubahan,
sementara dalam pelarut lain terjadi asosiasi dan terlarut, misalnya membentuk A2,
maka koefisien partisi untuk distribusi tidak lagi merupakan perbandingan
Konsentrasi total terlarut di kedua fasa melainkan Konsentrasi total terlarut di fasa
satu dibagi dengan Konsentrasi molekul A yang tidak terdisosiasi di fasa lainnya, jadi
dengan perbandingan Konsentrasi dari molekul terlarut yang massa molarnya sama,
dalam hal ini A di kedua pelarut.misalnya I2 dalam air dengan I2 dalam CCl4 bukan I2
dalam air dengan I- dalam CCl4.
Koefisien distribusi, seperti halnya tetapan-tetapan kesetimbangan lainnya
bergantung pada suhu. Sebagai contoh, k untuk distribusi asam benzoat di antara air
dan kloroform adalah 0,564 pada 10oC dan 0,442 pada 40 oC.
Hukum distribusi Nersnt ini terutama digunakan pada proses ekstraksi.
Ekstraksi memegang peranan penting baik di laboratorium maupun industri. Di
laboratorium ekstraksi seringkali dilakukan untuk menghilangkan atau memisahkan
zat terlarut dalam larutan dengan pelarut air yang diekstraksi dengan pelarut lain
seperti eter, kloroform, karbondisulfida atau benzene. Dalam proses ini penting untuk
diketahui berapa banyak pelarut dan berapa kali ekstraksi harus dilakukan agar
diperoleh derajat pemisahan yang diinginkan.
Jika zat terlarut terdistribusi diantara dua pelarut yang tidak saling melarutkan
dan zat terlarut maka dimungkinkan untuk menghitung jumlah terlarut yang dapat
diambil atau diekstraksi melalui sekian kali ekstraksi.
Gunmix ni Gi ni i (T , P)
i i
Gmix G Gunmix
RT ni ln xi (1.26)
Karena 0 < xi < 1, maka ln xi < 0 dan Gmix < 0, artinya proses pelarutan berlangsung
dengan spontan pada T,P tetap (isothermal, isobar).
Untuk menentukan S mix dan Vmix , sebaiknya ingat kembali persamaan
G
fundamental dG SdT VdP. Dari persamaan tersebut : s dan
T P
G
V . Dengan demikian :
P T
Gmix
S mix
T Pi ,ni
Gmix
dan Vmix
P T
Berdasarkan Persamaan (1.26) S mix R ni ln xi (1,27)
Karena ln xi negative, maka ∆Smix untuk larutan ideal berharga positif, artinya system
dalam larutan menjadi semakin tidak teratur.
Untuk menentukan ∆Vmix, dan ∆Hmix kita dapat menggunakan persamaan
G
(1.26) dan (1.27). Karena Vmix , maka untuk proses pencampuran :
P T .ni
Gmix
Vmix
P T .ni
Untuk larutan ideal, dari persamaan (1.26) terlihat bahwa ∆Gmix bergantung pada T
dan fraksi mol tetapi tidak bergantung pada P. Oleh karena itu
Gmix
berharga nol, sehingga
P T .ni
∆Vmix = 0 (1.28)
Jadi pada proses pembentukan larutan ideal dari komponen-komponennya tidak
terjadi perubahan volum. Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa dalam larutan
ideal selain antaraksi antar molekulnya sama, volumnya juga sama, sehingga ketika
dicampurkan tidak ada perubahan volum.
Karena antaraksi antar molekul pada larutan ideal adalaj sama, maka diharapkan
kalor pencampurannya akan berharga nol. Untuk itu kita gunakan persamaan
G H TS pada T tetap untuk menentukan ∆Hmix sehingga :
H mix Gmix TS mix
= RT ni ln xi RT ni ln xi (1.29)
∆Hmix = 0
Jadi tidak ada kalor yang diserap maupun yang dilepaskan pada saat pembentukan
larutan ideal pada T,P tetap.
Gambar 1.5.
c) Penyimpangan positif Hukum Raoult
d) Penyimpangan negatif Hukum Raoult
(Dari Castellan,.1983.physical Chemestry. Third edition.Massachasetts:addison Wesley)
Ada hal yang menarik dari Gambar 1.5a. untuk lebih jelasnya gambar tersebut akan
diambil sebagian yakni untuk tekanan parsial karbondisulfidanya saja seperti pada
Gambar 1.6. berikut.
Gambar 1.6. Kurva tekanan parsial karbondisulfida terhadap komposisi untuk
sistem aseton – karbondisulfida
(Dari Castellan,.1983.physical Chemestry. Third edition.Massachasetts:addison Wesley)
Di daerah sekitar xCS 2 1, ketika CS2 sebagai pelarut, kurva tekanan parsialnya
mendekati garis hukum Raoult. Akan tetapi di daerah sekitar xCS 2 0, ketika CS2
sebagai terlarut (ada dalam konsentrasi rendah) kurva tekanan parsialnya linier :
PCS 2 k CS 2 xCS 2 (1.30)
kemiringan hukum Raoult. Zat terlarut memenuhi Hukum Henry (Persamaan 1.30)
dengan k CS 2 , tetapan hukum Henry untuk CS2. Jadi dari kurva tekanan uap tersebut
P CS 2 = k CS 2 sekitar x CS 2 = 0
Nilai tetapan Henry untuk beberapa gas dalam air pada 298 K dapat dilihat pada
Tabel 1.1
Table 1.1
Tetapan Henry beberapa gas dalam air pada 250C
Gas k/(torr)
H2 5,54 x 107
He 1,12 x 108
Ar 2,80 x 107
N2 6,80 x 107
O2 3,27 x 107
CO2 1,24 x 106
H2S 4,27 x 105
Dalam beberapa buku dapat dilihat bahwa untuk k digunakan satuan tekanan-1,
seperti torr-1 atau atm-1. Untuk kasus seperti ini, Hukum Henry yang dinyatakan
1 1
dengan : Pj k j x j . dapat diubah menjadi p j x j . dengan k j jadi k j yang
kj kj'
sehingga xj (di kedua persamaan tersebut) tidak mempunyai satuan. Perlu diketahui
juga bahwa jika larutan ideal, maka k akan sama dengan P* dan hukum Henry maupn
hukum Raoult dapat menjadi sama.
Untuk system yang mengalami penyimpangan negative dari hukum Roult seperti
system aseton-kloroform (Gambar 1.5b) tekanan uapnya mempunyai nilai minimal
yang letaknya di bawah tekanan uap murni masing-masing komponen. Untuk system
ini garis hukum Henry terletak di bawah garis hukum Raoult.
Dari uraian di atas dapat dibedakan bahwa untuk larutan ideal encer,
pelarut mengikuti hukum Raoult : Pi xi Pi (Perhatikan hukum Raout jangan
perlu dicatat bahwa pada hukum Raoult dan hukum Henry xi adalah fraksi mol
pelarut dalam larutan dan xj adalah fraksi mol terlarut juga dalam larutan. Hukum
Henry biasanya dihubungkan dengan kelarutan gas dalam cairan, akan tetapi
sebenarnya Hukum Henry dapat pula digunakan untuk larutan-larutan yang
mengandung zat terlarut bukan gas yang volatil.
Ada beberapa keterbatasan pada hukum Henry. Yang pertama adalah hukum
ini hanya berlaku untuk larutan yang encer, yang kedua adalah tidak ada reaksi kimia
antara zat terlarut dengan pelarut, karena jika ada reaksi kimia maka kelarutannya
dapat terlihat sangat besar. Contoh gas-gas seperti itu CO2, H2S, NH3, SO2 dan HCl
mempunyai kelarutan yang sangat besar dalam air karena terjadi reaksi dengan
pelarut. Jadi dalam hal-hal seperti ini hukum Henry tidak dapat lagi digunakan.
kesetimbangan : 1o RT ln x1 2o RT ln x2
x2
Dan : RT ln 1o 2o (1.31)
x1
Karena 1o dan 2o tidak bergantung pada komposisi, maka pada T tetap,
x2
k (1.32)
x1
Dengan k koefisien distribusi atau koefisien partisi, yang harganya tidak bergantung
pada konsentrasi zat terlarut pada T yang sama. Jika sejumlah tertentu zat terlarut
sudah setimbang dalam dua fasa yang berbeda dan emudia ditambahkan lagi terlarut
kedalamnya, maka terlarut itu akan terdistribusi lagi dalam kedua pelarut sampai
diperoleh keadaan kesetimbangan baru yang konsentrasinya berbeda dengan
konsentrasi sebelum penambahan akan tetapi nilai perbandingan di kedua fasa
berharga tetap,
x2
k
x1
Jika larutan sangat encer, maka fraksi mol sebanding dengan kemolalan atau
kemolaran sehingga:
m2 c2
k' dan k" (1.33)
m1 c1
Dengan k’ dan k” tidak bergantung pada Konsentrasi di kedua fasa. Persamaan (1.32)
pertama kali dikemukakan oleh Nersnt sehingga persamaan tersebut dikenal dengan
hukum distribusi Nersnt. Perlu dicatat bahwa hukum ini hanya berlaku bagi sepesi
molekul yang sama di kedua larutan: Jika terlarut terdissosiasi menjadi ion-ionnya
atau molekul yang lebih sederhana atau jika terasosiasi membentuk molekul yang
lebih kompleks, maka hukum distribusi tidak dapat diterapkan pada Konsentrasi
totalnya di kedua fasa melainkan hanya pada Konsentrasi spesi yang sama yang ada
dalam kedua fasa. Jadi jika zat A terlarut dalam satu pelarut tanpa mengalami
perubahan, sementara dalam pelarut lain terjadi asosiasi dan terlarut, misalnya
membentuk A2, maka koefisien partisi untuk distribusi tidak lagi merupakan
perbandingan Konsentrasi total terlarut di kedua fasa melainkan Konsentrasi total
terlarut di fasa satu dibagi dengan Konsentrasi molekul A yang tidak terdisosiasi di
fasa lainnya, jadi dengan perbandingan Konsentrasi dari molekul terlarut yang massa
molarnya sama, dalam hal ini A di kedua pelarut.misalnya I2 dalam air dengan I2
dalam CCl4 bukan I2 dalam air dengan I- dalam CCl4.
Koefisien distribusi, seperti halnya tetapan-tetapan kesetimbangan lainnya
bergantung pada suhu. Sebagai contoh, k untuk distribusi asam benzoat di antara air
dan kloroform adalah 0,564 pada 10oC dan 0,442 pada 40 oC.
Hukum distribusi Nersnt ini terutama digunakan pada proses ekstraksi.
Ekstraksi memegang peranan penting baik di laboratorium maupun industri. Di
laboratorium ekstraksi seringkali dilakukan untuk menghilangkan atau memisahkan
zat terlarut dalam larutan dengan pelarut air yang diekstraksi dengan pelarut lain
seperti eter, kloroform, karbondisulfida atau benzene. Dalam proses ini penting untuk
diketahui berapa banyak pelarut dan berapa kali ekstraksi harus dilakukan agar
diperoleh derajat pemisahan yang diinginkan.
Jika zat terlarut terdistribusi diantara dua pelarut yang tidak saling melarutkan
dan zat terlarut maka dimungkinkan untuk menghitung jumlah terlarut yang dapat
diambil atau diekstraksi melalui sekian kali ekstraksi.
Pada bagian ini akan diuraikan beberapa sifat umum dari larutan yakni
penurunan tekanan uap, kenaikan titik didih, penurunan titik beku, dan tekanan
osmosis. Sifat-sifat tersebut dikenal dengan sifat koligatif yakni sifat larutan
yang hanya bergantung pada jumlah zat terlarut relatif terhadap jumlah total zat
dan tidak bergantung pada jenis zat terlarut. Jadi larutan gula 0,01 m
mempunyai sifat koligatif yang sama dengan larutan urea 0,01 m akan sama
dengan larutan yang terdiri dari terlarut urea sebanyak 0,005 m dan gula 0,005
m. sebagian besar sifat larutan adalah sifat non koligatif, seperti viskositas,
kerapatan, daya hantar dan sebagainya.
Potensial kimia pelarut dalam suatu larutan ideal dinyatakan dengan
A * A RT In x A , dengan * A merupakan energi Gibbs molar pelarut cair
murni pada T, P tertentu. Oleh karena itu potensial kimia pelarut dalam larutan
berbeda dengan potensial kimia pelarut murninya. Perubahan ini menyebabkan
terjadinya perubahan sifat koligatif larutan.
Kita tinjau suatu larutan yang terdiri dari pelarut A dan zat terlarut sulit
menguap. Dengan adanya zat terlarut sulit-menguap dapat diartikan bahwa
konstribusi zat terlarut terhadap tekanan uap di atas larutan diabaikan. Hal ini
dipenuhi untuk hampir semua zat terlarut yang padat tetapi tidak untuk terlarut
gas dan cairan. Meskipun terlarut padat tertentu mempunyai tekanan uap yang
tidak dapat diabaikan (seperti naftalen yang tekanan uapnya 1 torr pada 53oC)
akan tetapi fraksi molnya dalam larutan umumnya kecil, sehingga dapat
diabaikan pula kontribusinya terhadap tekanan uap larutan. Oleh karena itu
tekanan uap total P semata-mata disebabkan oleh pelarut saja. Jika larutan ideal,
maka berlaku hukum Raoult :
P PA x A P * A
Karena x A (1 x B ) maka persamaan diatas menjadi :
P (1 xB ) P * A
Titik didih suatu cairan adalah suhu pada saat tekanan uapnya sama
dengan tekanan luar. Dari uraian sebelumnya diketahui bahwa adanya zat
terlarut yang involatil akan menurunkan tekanan uap larutan lebih rendah
daripada pelarut murninya, maka larutan akan mendidih pada suhu yang lebih
tinggi dari pada titik didih pelarut murninya, pada tekanan luar yang sama.
Kenaikan titik didih dapat dijelaskan dari potensial kimia pelarut dengan
adanya zat terlarut sulit-menguap. Dari Persamaan (1.24) dapat dilihat bahwa
potensial kimia pelarut dalam larutan lebih kecil daripada pelarut murninya
dengan perbedaan sebesar RT In x. Adanya perbedaan ini mengakibatkan titik
didihnya juga berbeda. Hal ini dapat dilihat pada Gambar (1.7). Pada gambar
tersebut nampak kurva potensial kimia pelarut (baik pelarut murni maupun
dalam larutan) pada berbagai suhu.
Gambar 1.7
Hubungan potensial kimia pelarut pada berbagai suhu
Kurva pada Gambar 1.7 tersebut diperoleh dengan menganalisis
persamaan fundamental untuk suatu sistem pada saat kesetimbangan. Untuk
sistem pada saat kesetimbangan, potensial kimia setiap komponen harus sama
di semua tempat dalam sistem tersebut. Jika terdapat beberapa fasa, potensial
kimia masing-masing zat harus sama disetiap fasa dimana zat tersebut ada.
Untuk sistem satu komponen, dengan membagi Persamaan
fundamental : dG = -Sdt + VdP dengan n diperoleh persamaan :
S dT V dP (1.38)
dengan S dan V merupakan entropi molar dan volum molarnya. Dari
Persamaan (1.38) diperoleh :
S (1.39)
T
Turunan pada persamaan merupakan kemiringan kurva µ terhadap T.
Dari hukum ketiga termodinamika kita ketahui bahwa entropi suatu
zat selalu positif. Fakta ini jika dihubungkan dengan Persamaan (1.39)
memperlihatkan bahwa selalu negatif. Jadi aluran µ terhadap T pada
T P
tekanan tetap merupakan suatu kurva dengan kemiringan negatif.
Untuk tiga fasa dari zat tunggal kita peroleh :
Padat
S Padat (1.40.a)
T P
Cair
S Cair (1.40.b)
T P
Gas
S Gas (1.40.c)
T P
Untuk setiap suhu selalu berlaku S Gas S Cair S Padat . Oleh karena entropi
padatan kecil, maka seperti dapat dilihat di Gambar (1.7) kurva µ terhadap T
untuk padatan, mempunyai kemiringan yang sedikit negatif. Sementara kurva µ
terhadap T untuk cairan mempunyai kemiringan yang lebih negatif daripada
padatan karena S Cair S Padat . Kurva µ terhadap T untuk gas, mempunyai
kemiringan sangat negatif karena entropi gas jauh lebih besar daripada cairan
dan padatan. Syarat termodinamika untuk kesetimbangan antar fasa pada
tekanan tetap dapat dengan mudah dilihat dari gambar tersebut. Saat pelelehan,
padatan dan cairan berada bersama–sama dalam keadaan setimbang, syaratnya
padat cair , yakni pada titik perpotongan dari kurva padat dan kurva cair.
Suhu yang sesuai dengan titik temu tersebut adalah Tf, titik lelehnya. Begitu
juga untuk cairan dan gas bersama-sama ada dalam kesetimbangan jika
Cair Gas dan ini berlangsung pada suhu Tb, titik didihnya di titik
perpotongan antara cair dan gas.
Garis-garis tebal pada Gambar 1.7 merupakan kurva µ terhadap T untuk
komponen pelarut murni. Oleh karena terlarut sulit menguap, maka terlarut
tersebut tidak ada pada fasa uapnya, sehingga kurva pelarut dalam fasa gas
sama dengan kurva pelarut murni dalam fasa gas. Sebaliknya, karena larutan
cair mengandung terlarut, maka potensial kimia pelarut dalam larutan lebih
rendah daripada potensial kimia pelarut murni. Kurva garis putus-putus
menunjukkan kurva potensial kimia pelarut di dalam larutan. Pada saat
mendidih terjadi kesetimbangan antara fasa pelarut di fasa cair dan di fasa uap.
Sehingga, potensial kimia pelarut di fasa cair sama dengan potensial kimia
untuk pelarut di fasa gas. Hal ini ditunjukkan oleh titik perpotongan kurva
potensial kimia untuk pelarut di fasa gas dan untuk pelarut di fasa cair dalam
larutan dengan titik didih Tb dan pelarut dalam larutan dengan titik didih Tb’.
Demikian pula halnya saat pembekuan terjadi kesetimbangan antara pelarut di
fasa padat dan fasa cair. Sehingga, potensial kimia pelarut di fasa padat sama
dengan potensial kimia pelarut di fasa cair. Dengan demikian, titik beku dari
pelarut murni dinyatakan dengan Tf dan titik beku larutan T’f . Kita lihat bahwa
titik didih larutan lebih tinggi daripada pelarut murninya, sementara titik
bekunya larutan lebih rendah daripada titik beku pelarut murninya. Dari gambar
juga nampak bahwa perubahan titik beku lebih besar daripada perubahan dalam
titik didih untuk suatu larutan dengan konsentrasi yang sama, karena
kemiringan yang tajam dari kurva µgas terhadap T.
Sekarang akan kita kaji penurunan rumus untuk kenaikan titik didih. Saat
suatu larutan mendidih, uap pelarut berada dalam kesetimbangan dengan pelarut
dalam larutannya. Syarat dari keadaan kesetimbangan tersebut adalah :
A ( g ) A (l ) (1.41)
A ( g ) * A (l )
dan In x A (1.43)
RT
Jika diasumsikan bahwa ∆Hv bukan fungsi suhu, maka nilainya dapat
dikeluarkan dari integrasi sehingga diperoleh :
H v 1 1
In x A
R T T0
H v T T0
(1.48)
R T T0
Berdasarkan fakta bahwa T dan T0 tidak jauh berbeda, (hanya beberapa
derajat), maka diasumsikan T T0 sehingga TT0 T02, dan
H v Tb
In x A x 2 (1.49)
R To
dengan kenaikan titik didih, T b T T0 (lihat batas atas dan bawah untuk
integrasi T).
Persamaan (1.49) memperlihatkan hubungan kenaikan titik didih, ∆T,
dengan konsentrasi pelarut, xA. tetapi biasanya, konsentrasi dinyatakan sebagai
konsentrasi zat terlarut, oleh karena itu Persamaan (1.50) dapat dinyatakan
dengan :
H v Tb
In x A In (1 x B ) (1.50)
R To 2
Jika larutannya sangat encer, maka xB << 1, jadi digunakan pendekatan dengan
x B2 x B3
In1 x B x B A x B . Deret ini dikenal sebagai teorema
2 3
Mclaurin karena xB <<, maka suku kedua dan seterusnya dapat diabaikan
terhadap suku pertama. Anda bias coba mengujinya dengan memasukkan nilai
yang kecil untuk xB (≤ 0,2)
Dengan demikian Persamaan (1.50) dapat ditata ulang menjadi :
RTo2
Tb xb (1.51)
H v
Untuk mengubah fraksi mol xB ke dalam satuan konsentrasi lain yang lebih
praktis seperti kemolalan (mB), maka :
nB
xB
n A nB
nB
Jika larutan encer (nA >> nB), maka nA + nB nA, sehingga xB . Karena
nA
nB
mB (Persamaan (1.50)), maka mol terlarut, nB=mBwA, sehingga
wA
m B wA w w
xB karena n A A , maka A M A sehingga :
nA MA nA
xB = mBMA (1.52)
Substitusi Persamaan (1.52) ke dalam Persamaan (1.51) menghasilkan :
RT 2 M A
Tb _____
mB (1.53)
H v
Karena bagian pertama dari ruas kanan berharga tetap untuk system tertentu,
dan diberi symbol Kb, maka :
Tb K b mB (1.54)
RT 2 M A
Kb disebut tetapan kenaikan titik didih molal. Dengan K b ____
, dan R
H V
tetapan gas, T0 = titik didih pelarut murni, MA massa molar pelarut dan ∆Hv
perubahan entalpi molar penguapan pelarut murni.
Tetapan Kb hanya bergantung pada sifat-sifat dari pelarut murni. Untuk air
dengan M = 18,0152 g/mol, T0 = 373,15 K dan ∆Hv = 40656 J/mol, maka :
Kb
8,31441 J/K mol373,15 K 2 18,052 g/mol *)
1000 g/kg 40656 J/mol
= 0,51299 K kg/mol
*) Catatan : munculnya 1000 g/kg adalah untuk kebutuhan mengubah satuan MA dari
g/mol menjadi kg/mol
Oleh karena titik didih, T0 merupakan fungsi dari tekanan, maka Kb juga
merupakan fungsi dari tekanan. Pengaruhnya memang cukup kecil akan tetapi
untuk pengukuran yang lebih teliti, maka hal ini harus diperhitungkan.
Persamaan Clasius-Clayperon dapat digunakan untuk melihat pengaruh tekanan
terhadap titik didih suatu zat.
Keuntungan dari penggunaan molalitas, karena seperti yang sudah
diungkapkan di bagian 1.1, molalitas tidak bergantung pada suhu, artinya
molalitas harganya tidak berubah dengan perubahan suhu.
Gambar 1.8 memperlihatkan diagram fasa untuk air murni dan larutannya.
Pada gambar tersebut kurva dengan garis penuh adalah untuk air murni dan
kurva garis putus-putus untuk larutannya, dengan penambahan terlarut involatil.
Tekanan uap larutan turun pada berbagai suhu. Sebagai akibat titik didih larutan
pada 1 atm lebih besar daripada titik didih normal air, 373,15 K.
Dengan ∆Tf , penurunan titik beku, T-T0 dan Kf tetapan penurunan titik beku
RT 2 M A
molal dengan persamaan : K f _____
(1.56)
H fus
T0 dalam hal ini adalah titik beku pelarut murni, dan ∆Hfus adalah kalor
pelelehan pelarut murni.
Gejala penurunan titik beku ini dapat pula dipahami dengan mempelajari
Gambar 1.8. Pada 1 atm, titik beku larutan merupakan titik perpotongan kurva
garis putus-putus (antara fasa padat dan cair) dengan garis horizontal pada 1
atm. Yang sangat menarik untuk diketahui adalah bahwa jika pada kenaikan
titik didih, zat terlarutnya harus involatil karena jika terlarutnya volatil maka
yang terjadi bukan kenaikan titik didih tapi penurunan titik didih, sementara itu
untuk penurunan titik beku tidak perlu ada pembatasan pelarut murni. Buktinya
etanol (titik didih 351,65 K) sering digunakan sebagai zat anti beku air, padahal
jika etanol dimasukkan dalam air, maka yang terjadi adalah titik didihnya akan
turun, sebagai contoh etanol 95 % volum dalam air (azeotrop) akan mendidih
pada suhu 351,3 K jika tekanan 1 atm, ada di bawah titik didih normal air,
373,15 K.
Persamaan (1.53) maupun (1.55) dapat digunakan untuk menentukan
massa molar terlarut dalam larutan ideal encer. Secara umum, percobaan
penurunan titik beku jauh lebih mudah dilakukan daripada kenaikan titik didih.
Dengan mengukur ∆Tf, wA, wB dan dengan mengetahui Kf pelarut, cukup untuk
menentukan MB. Dari Persamaan (1.55) nampak bahwa untuk larutan dengan m
tertentu, semakin besar nilai Kf, semakin negatif pula ∆Tf. Hal ini
meningkatkan kemudahan dan ketelitian pengukuran ∆Tf, akibatnya dipilih
larutan yang mempunyai nilai Kf yang besar. Pada Tabel (1.2) dapat dilihat
harga Kb dan Kf untuk beberapa pelarut yang umum digunakan.
Dari tabel itu dapat dilihat pula bahwa tetapan Kb lebih kecil daripada Kf,
oleh karena itu untuk ketelitian percobaan lebih disukai untuk menentukan MB
melalui pengukuran/percobaan penurunan titik beku larutan daripada kenaikan
titik didih.
Pada Gambar (1.9) wadah bagian kiri diisi oleh pelarut murni (misal air),
sementara bagian kanan diisi oleh larutannya (misal larutan gula). Kedua bagian
dipisahkan oleh suatu membran semi permeabel (misal membran selofan), yakni
dalam hal ini membran yang permeabel terhadap molekul pelarut dan tidak
permeabel terhadap molekul-molekul terlarut. Jadi molekul air (baik dari larutan
maupun pelarut murni) dapat melewati membran tersebut, sedangkan molekul-
molekul gula tidak dapat melintasinya.
Awalnya permukaan cairan di kedua bagian sama tinggi, tetapi lama
kelamaan permukaan larutan gula (di bagian kanan) naik sampai ketinggian
tertentu tergantung konsentrasinya. Sesudah tercapai keadaan kesetimbangan,
permukaan cairan di bagian kanan tidak naik lagi. Perbedaan ketinggian pelarut
dan larutannya adalah sebesar h, dan tekanan hidrostatik yang dihasilkan karena
perbedaan ketinggian tersebut disebut dengan tekanan osmotik dari larutan, dan
peristiwanya disebut dengan peristiwa osmosis.
Masalahnya sekarang adalah menurunkan hubungan antara perbedaan
tekanan ini dengan konsentrasi larutan. Mengapa pada peristiwa osmosis,
perpindahan pelarut secara netto berlangsung dari arah pelarut murni ke dalam
larutannya dan bukan sebaliknya? Hal ini dapat ditinjau dari potensial kimia
pelarut di kedua fasa, yakni pelarut murni dan pada larutannya. Potensial kimia
pelarut murni dan potensial kimia pelarut dalam larutannya dapat dibandingkan
dengan menggunakan Persamaan (1.24)
A *A RT In x A
dengan : A = Potensial kimia pelarut di dalam larutan
d
(T , P )
P
V dP (1.57)
* *
( T , P ) ( T , P ) V ( P ) V ( P )
*
( T , P ) ( T , P ) V (1.58)
*
dengan asumsi V konstan, karena volum cairan relative tidak berubah oleh
berubahnya tekanan. Besaran disebut dengan tekanan osmosis. Istilah
tekanan osmosis larutan menunjukkan tekanan yang harus diterapkan pada
larutan untuk meningkatkan potensial kimia pelarutnya sampai pada nilai
potensial kimia cairan pelarut murninya pada 1 atm.
Pada saat kesetimbangan harus dipenuhi criteria kesetimbangan, dalam hal
ini potensial kimia pelarut murni (pada suhu T di bawah tekanan P) sama
dengan potensial kimia pelarut dalam larutan (pada suhu T dibawah tekanan
P ) :
(*T , P ) (T , P ) (1.59)
Oleh karena membran impermeabel terhadap terlarut, maka tidak ada hubungan
kesetimbangan untuk terlarut. Subtitusi Persamaan (1.58) ke dalam
Persamaan (1.59) menghasilkan :
*
(*T , P ) (T , P ) V (1.60)
n
RT B (1.62)
nA
RT n B
*
V nA
nB
RT
V
*
Dengan mengasumsikan volume pelarut = n1 V sama dengan volum larutan
untuk larutan encer, maka :
CRT atau MRT (1.63)
dengan C dan M masing-masing konsentrasi dan kemolalan larutan. Konsentrasi
C dapat diganti dengan kemolaran, M jika satuan yang digunakan mol per liter.
Pada Persamaan (1.63) digunakan satuan konsentrasi dalam molaritas karena
pengukuran tekanan osmotik biasanya dilangsungkan pada suhu tetap. Untuk
larutan yang encer dengan pelarut air, kemolaran dan kemolalan dapat dianggap
sama. Perlu dicatat pula berdasarkan asumsi-asumsi yang digunakan pada
penurunannya, Persamaan (1.63) hanya berlaku untuk larutan ideal encer.
Sama halnya seperti rumusan-rumusan sifat koligatif lainnya, Persamaan
(1.63) juga dapat digunakan untuk menentukan massa molar telarut dari
pengukuran tekanan osmotik larutannya. Jika wB, massa terlarut dengan massa
molar MB, dilarutkan dalam sevolum larutan V, maka :
wB RT
atau
M BV
wB RT
MB (1.64)
V
iid io RT ln xi (1.65)
Dengan io potensial kimia komponen I pada keadaan standar, dan x i fraksi mol i
dalam larutan.
Komponen-komponen pada larutan tak ideal dibicarakan sifatnya berdasarkan
penyimpangannyan dari larutan ideal. Untuk memudahkan membandingkan sifat
tersebut, maka dipilih suatu pernyataan mengenai potensial kimia tak ideal io dalam
bentuk yang sangat mirip dengan potensial kimia ideal seperti pada persamaan (1.65)
di atas. Untuk tiap komponen i dengan io . untuk itu didefinisikan keaktifan i, ai
dalam setiap larutan nonelektrolit tak ideal melalui rumusan :
i io RT ln ai (1.66)
i murni, maka xi =1, jika demikian maka I ,i = 1. Untuk larutan ideal : I ,i xi= 1
Ketika xi mendekati pada T,P tetap, potensial kimia i mendekati karena larutan
menjadi I murni. Karena itu limit xi → 1 pada persamaan 1.68 adalah
i I*,i RT ln I .i xi atau ln I ,i 0 dan ln I ,i 1
Perhatikan bahwa limit pada persamaan (1.73) yang diambil ketika fraksi mol
pelarut, x A menuju 1 (dan dengan demikian xi 0 ) sangat berbeda dari persamaan
(1.71), dimana limit yang diambil adalah ketika xi 1 . kita pilih keadaan standar
konvensi II yang konsisten dengan persamaan (1.72) sebagai berikut : dengan
mengambil i pada persamaan (1.64)sama dengan io dan dengan menggunakan
pada keadaan standar. Ketika xA mendekati 1 dan fraksi mol terlarut kecil, maka
dengn persamaan (1.73) koefisien aktifitas II ,i mendekati 1. kita pilih keadaan
standar untuk setiap pelarut sebagai keadaan fiktif hipotesis sebagai berikut. Jika zat
terlarut berupa gas atau padat, pemilihan keadaan standar didasarkan pada postulat :
Jika xi→0 atau xA →1, 2 1
ai = i xi ai xi
Pada larutan yang sangat encer : keaktifan konsentrasi (atau xi)
Dalam keadaan standar ai = 1
xi→0, ai = xi
ai = 1 jika xi = 1
Jadi keadaan standar bagi zat terlarut dalam larutan diambil larutan dengan
konsentrasi (xi = 1) yang sifat-sifatnya seperti larutan pada pengenceran tak hingga
yang sifarnya seperti larutan ideal. Ini adalah larutan fiktif tidak ada.
Koefisien aktifitas perlu ditentukan karena dengan diketahuinya koefisien
aktifitas, maka dapat diketahui poten sial kimianya i Dari potensial kimia, sifat-
konvensi I sebagai standar, dengn menggunkann data tekanan uap kita gunakan
nilainya. :
Pi = aI,i P *i (1.74)
Pi
Dengan demikian a I ,i pada ekanan uap parsial i di atas larutan tekanan uap
Pi *
murni I pada suhu larutan. Pi dapat pula ditentukan jika komposisi di fasa uap dan
tekanan total uap P. diketahui pada suhu tertentu Pi * berharga tetap. Sehingga dari
persamaan (1.72) dapat dilihat bahwa keaktifan suatu zat dalam larutan sebanding
dengan tekanan parsial Pi dalam larutan .
Pi I ,i xi , I Pi * atau xi ,v P I ,i xi , I Pi * (1.75)
dengan xi ,v fraksi mol I di fasa uap, xi ,l fraksi mol i di fasa larutan, P tekanan uap
dari larutan. Untuk larutan dua komponen uap dapat diperoleh dengan
mengkondensasikan uap tersebut dan menganalisisnya.
Konvensi II
Persamaan Gibbs-Duhem
Koefisien keaktifan terlarut yang tidak menguap dapat dicari dari data tekanan uap
dengan menggunakan persamaan Gibbs-Duhem. Diferensial total dari persamaan
G= n
i
i i , kita peroleh perubahan G dari larutan.
n d
i
i i SdT VdP 0 (1.76)
n d
i
i i 0 (1.77)
dx A
d ln x A )
xA
Demikian pula halnya dengan B :
dx B
d B RTd ln B RT
xB
Subtitusi d A dan d B kedalam persamaan (1.79) dan kemudian membaginya
dengan RT menghasilkan :
x A d ln A dx A x B d ln B dx B 0
Karena xA + xB = 1, maka dx A dx B 0 dan persamaan terakhir menjadi
x
: d ln B A d ln A (1.80)
xB
Integrasi di antara 1 dan 2 dengan memilih konvensi II, diperoleh :
2
xA
ln II , B , 2 ln II , B1 d ln II , A (1.81)
1
1 x A
xA
dan kemudian alurkan terhadap ln II , A . Luas di bawah kurva dari x A = 1
1 xA
xA
sampai x A, 2 merupakan - ln II , B , 2 . Tapi karena ∞ ketika x A 1, luas
1 xA
daerah di bawah kurva akan tak hingga. Untuk mencegah hal tersebut, mka integrasi
jangan pada x A 1 tapi pada x A 1 C , dimana C cukup kecil untuk II , B tetap
berharga 1 pada x A 1 C .
dengan A sebagai pelarut. Akan tetapi, untuk larutan padat atau gas dalam cairan,
potensial kimia terlarut biasanya dinyatakan dalam bentuk kemolalan atau kemolaran.
ni
Kemolalan terlarut I dinyatakan dengan mi (Persamaan 1.3).
nAM A
xi
Pembagian pembilang dan penyebut dengan n total menghasilkan mi dan
xAM A
i o II .i RT ln II .i mi x A M A m o / m o
i o II .i RT ln M A m o RT ln x A II .i mi / m o (1.82)
terakhir sesuai. Kita dapat mengambil log hanya dari bilangan tak bersatuan. Harga
MAmo tidak mempunyai satuan. Sebagai contoh, untuk H2O, MAmo = (18 g/mol)(1
mol/kg) = 0,018.
pernyataan bagi μi dalam bentuk mi yang mempunyai bentuk yang sama seperti
Pada persamaan di atas γm.i disebut sebagai koefisien keaktifan skala kemolalan dari
terlarut i dan μom.i sebagai potensial kimia skala kemolalan pada keadaan standar dari
komponen i.
Yang menjadi permasalahan sekarang adalah apa dan bagaimana keadaan standar
bagi skala kemolalan. Dari Persamaan (1.85) μi sama dengan μom.i (keadaan standar)
dengan γm.i mi/mo = 1. Keadaan standar kemolalan dipilih sebagai mi=mo=1 mol/kg.
Dengan demikian γm.i=1 pada keadaan standar. Keadaan standar bagi terlarut dalam
skala kemolalan adalah keadaan fiktif (pada T dan P larutan) dengan mi=1 mol/kg dan
γm.i=1.
A o A RT ln A A, A o A , A 1 ketika A 1 (1.87)
C .i 1 ketika A 1, Co ≡ 1 mol/dm3.
pada asumsi sifat ideal dari larutan. Persamaan ini sangat baik diterapkan untuk
dengan konsentrasi yang lebih pekat atau larutan-larutan yang menyimpang dari
2. LARUTAN ELEKTROLIT
Pada bab sebelumnya sudah dikaji larutan non elektrolit dan sifat-sifatnya.
Akan tetapi hal ini belum cukup, karena banyak system-sistem kimia berupa larutan
yang mengandung berbagai jenis ion. Oleh karena itu larutan seperti ini perlu untuk
Elektrolit adalah suatu zat yang dapat menghasilkan ion-ion dalam larutan,
lemah. Sebagai contoh, dengan air sebagai pelarut, NH3, CO2, dan CH3COOH
termasuk elektrolit lemah, sementara NaCl, HCl, dan KNO3 merupakan elektrolit
kuat.
Klasifikasi lain yang didasarkan pada struktur adalah elektrolit sebenarnya
(sejati) dan elektrolit yang potensial sebagai elektrolit. Elektrolit sejati dalam keadaan
sejati. Kristal NaCl, CuSO4, atau MgS terdiri dari ion positif dan negative. Jika kristal
ion dilarutkan dalam suatu pelarut, ikatan antar ion putus dan ion-ionnya masuk ke
dalam larutan sebagai ion tersolvasi. Pada keadaan tersebut, setiap ion dikelilingi oleh
suatu lapisan yang terdiri dari beberapa molekul pelarut yang ikut bersama-sama
dengan ion ketika ion tersebut berpindah (bergerak). Jika pelarutnya air, maka
dari molekul-molekul yang tidak bermuatan akan tetapi ketika dilarutkan dalam suatu
pelarut, maka zat tersebut bereaksi dengan pelarut (sampai cakupan tertentu)
Untuk elektrolit kuat seperti HCl, kesetimbangan terletak jauh kearah kanan, untuk
elektrolit lemah seperti asam asetat kesetimbangan jauh terletak kearah kiri, kecuali
Karena ada gaya antaraksi yang sangat kuat antara ion-ion dalam larutan
elektrolit, maka larutan elektrolit sulit dikatakan sebagai larutan ideal, meskipun
untuk konsentrasi yang cukup encer. Sebagai bahan perbandingan, perhatikan tabel
berikut.
Tabel 2.1.
Dari tabel di atas nampak bahwa untuk larutan elektrolit, pada konsentrasi encer
sekalipun (mi = 0,0010) koefisien keaktifan menyimpang sangat jauh dari satu. Oleh
karena itu, digunakan keaktifan pada rumusan-rumusan (yang telah diturunkan) untuk
diterapkan
pada larutan elektrolit yang sulit menguap. Jadi tekanan uap untuk pelarut A dalam
larutan elektrolit :
PA = aA PoA (2.1)
Dengan asumsi uap bersifat ideal, P tidak terlalu tinggi. Jika uap tak ideal maka
∆P = PA - PoA (2.2)
= (aA – 1)PoA
Karena larutan tidak ideal, maka potensial kimia pelarut dalam larutan, μA
dinyatakan dengan :
A (lar) o A (l ) RT ln a A
Karena keadaan standar untuk pelarut adalah cairan pelarut murninya, maka
A (lar) o A (l ) RT ln a A (2.4)
Saat mendidih potensial kimia pelarut di fasa larutan sama dengan potensial kimia
(murni).
A (l ) RT ln a A o . A.v (2.6)
o A.v o l G vap. A
ln a A (2.7)
RT RT
H vap. A
2 Tb
ln a A
RT 2
(2.8)
1 Tb o
Jika keadaan 1 adalah A murni, maka a A.1 1, dan keadaan 2, a A.2 ditulis sebagai
a A , maka :
H vap. A 1 1
ln a A o , dengan catatan H vap bukan fungsi suhu (T)
R Tb Tb
H vap. A Tb o Tb
ln a A , karena Tb tidak berbeda jauh dengan Tbo
R Tb o 2
H vap. A Tb
ln a A (2.9)
R Tb o 2
Untuk kebutuhan praktis ketika bekerja dengan larutan elektrolit (kuat) didefenisikan
ln a A oA A
(2.10)
M Ami RTM Ami
diperoleh:
H uap. A Tb
M Ami
R(Tb o ) 2
R(Tb o ) 2 M Ami
Tb Kbmi (2.11)
H vap. A
Jadi kenaikan titik didih juga dapat digunakan untuk menentukan aktifitas dan
Dengan cara yang sama coba turunkan sendiri bahwa untuk penurunan titik
beku diperoleh:
R(Tf o ) 2 M Ami
T f K f mi (2.12)
H fus. A
RT
ln A A (2.13)
VA
RTni
dan jika digunakan , maka . Jadi sifat koligatif dapat
n A V m. A
digunakan untuk menentukan keaktifan dan koefisien keaktifan melalui .
2.2. Penghantar Listrik dalam Larutan
2.2.1. Mekanisme Penghantar Listrik
Aliran listrik melalui suatu konduktor (penghantar) melibatkan perpindahan
elektron dari potensial negatif yang tinggi ke potensial lainnya yang lebih rendah.
Mekanisme dari transfer ini tidak sama untuk berbagai konduktor. Dalam penghantar
elektronik, seperti padatan dan lelehan logam, penghantar berlangsung melalui
perpindahan elektron langsung melalui penghantar dengan pengaruh dari potensial
yang diterapkan. Dalam hal ini atom-atom penyusun penghantar tidak terlibat dalam
proses tersebut. Akan tetapi pada penghantar elektrolik, yang mencakup larutan
elektrolik dan lelehan garam-garam, penghantar berlangsung melalui perpindahan
ion-ion baik positif maupun negatif menuju elektroda-elektroda. Migrasi ini tidak
hanya melibatkan perpindahan listrik dari satu elektroda ke elektroda lain tetapi juga
melibatkan adanya transport materi dari satu bagian konduktor ke bagian lainnya.
Aliran listrik pada penghantar elektronik ini selalu disertai dengan perubahan kimia
pada elektroda-elektrodanya dan reaksinya bersifat khas dan tertentu bergantung pada
zat-zat penyusun konduktor tersebut dan juga jenis elektrodanya.
Mekanisme dari aliran listrik melalui konduktor elektrolit ini mungkin akan
lebih baik untuk dipahami melalui contoh berikut.
B
(DC)
- +
D A
Elektroda Cu
Cu2+(aq)
SO42-(aq)
2.2.2. Coulometer
Jumlah listrik yang mengalir melalui sirkuit dapat dianalisis dari jumlah zat
yang terlibat dalam reaksi. Alat yang digunakan untuk tujuan ini adalah coulometer,
dengan menerapkan hukum faraday tentang elektrolisis. Faraday menemukan
bahwa massa zat yang terlibat dalam reaksi pada elektroda berbanding lurus
dengan jumlah listrik yang mengalir pada larutan (lelehan) elektrolit. Dengan
demikian jika diketahui massa salah satu zat yang berubah selama elektrolisis, maka
jumlah listrik yang mengalir pada larutannya dapat ditentukan. Demikian pula
sebaliknya, jika jumlah listrik yang mengalir diketahui, maka dapat dihitung jumlah
zat yang berubah selama proses elektrolisis.
Untuk menentukan jumlah listrik yang mengalir dalam suatu sel, coulometer
disusun secara seri dengan sel tersebut dan dibiarkan sepanjang arus dialirkan.
Kemudian jumlah perubahan kimia yang disebabkan oleh arus listrik tersebut
ditentukan dengan cara-cara yang sesuai.
Coulometer perak umumnya dipakai untuk pekerjaan-pekerjaan yang teliti.
Coulometer ini terdiri dari cawan platina yang juga difungsikan sebagai katoda dan
perak murni sebagai anoda. Elektrolitnya merupakan larutan perak nitrat. Sebelum
elektrolisis, cawan platina ditimbang. baru kemudian selnya dipasangkan. Sesudah
elektrolisis, elektrolitnya didekantasi dengan hati-hati dan endapan perak pada cawan
dicuci dengan air suling kemudian dikeringkan dan ditimbang. Dari kenaikan berat
ini kemudian dihitung jumlah listrik yang mengalir melelui coulometer. Coulometer
ini dapat memberikan hasil dengan tingkat ketelitian di atas 0,05 persen.
Coulometer lain juga yang menghasilkan ketepatan yang tinggi adalah
coulometer iodium. Pada coulometer ini digunakan larutan kalium iodida dengan
elektroda inert. Dengan adanya arus listrik yang mengalir akan terbentuk iodium,
yang jumlahnya dapat ditentukan melalui titrasi dengan larutan natrim tiosulfat
standar. Dari volume dan konsentrasi larutan NaS2O3 dapat diketahui jumlah mol
Na2S2O3. Dengan menggunakan persamaan reaksi setara saat titrasi dapat ditentukan
jumlah mol I2 total hasil elektrolisis. I2 ini terbentuk saat arus listrik dialirkan
kedalam larutan KI. Dengan mengetahui jumlah mol I2, maka dapat ditentukan
jumlah mol elektron yang mengalir, dengan demikian jumlah listrik yang mengalir
dapat ditentukan.
Coulometer lain yang dapat juga digunakan adalah coulometer tembaga. Akan
tetapi hasilnya tidak terlalu akurat. Coulometer ini terdiri dari elektroda-elektroda
tembaga dalam suatu larutan tembaga sulfat. Dari jumlah endapan tembaga yang
terbentuk selama arus listrik mengalir dapat ditentukan jumlah listrik yang mengalir
pada sel tersebut.
E F
D C
v v
G H
A B
l
Gambar 2.2.
Sel elektrolisis dengan jarak elektroda sejauh l
Pada kedua elektroda diterapkan beda potensial V. Jika jumlah kation N ,
kecepatanya v dan muatannya z e , maka jumlah anion N , kecepatannya v dan
muatannya z e , dengan e jumlah listrik yang sesuai dengan satuan muatan. Pada
waktu dt , kation bergerak sejauh v dt dan semua kation pada jarak sejauh ini dari
elektroda negatif akan mencapai elektroda tersebut dalam waktu dt atau dengan kata
lain semua kation yang menempati volume ABCDEFGH akan mencapai elektroda
negatif pada waktu dt . Jumlah kation yang ada pada sevolume tersebut merupakan
fraksi dari semua kation yang ada, v dt / l N . Dengan demikan muatan positif,
dQ yang melewati bidang pararel menuju elektroda negatif pada waktu dt =
z ev dtN
muatan per ion x banyak ion, adalah dan kuat arus yang dibawa kation ; i
l
=Q/t
z ev N
I (2.15)
l
Sama halnya dengan kation, kontribusi anion terhadap kuat arus dinyatakan
dengan :
z ev N
I (2.16)
l
Dengan demikan total kuat arus yang dibawa kedua ion adalah :
I I I (2.17)
Syarat elektronetralitas larutan harus dipenuhi yakni muatan total kation sama
dengan muatan total anion :
N z N z (2.18)
v
(2.20)
v v
v
v v
dengan t dan t masing-masing merupakan bilangan angkut atau bilangan hantaran
dari kation dan anion yakni fraksi dari total arus yang dibawa oleh masing-masing ion
dalam larutan. Pembagian persamaan (2.20) dengan (2.21) menghasilkan:
t v
(2.22)
t v
Jadi bilangan angkut ion atau fraksi dari arus total yang diangkut oleh ion
berbanding lurus dengan kecepatannya. Jika kecepatan sama, v sama dengan v
maka t dan t kedua ion memberikan kontribusi yang sama terhadap transfer arus
listrik. Jika v tidak sama dengan v maka t tidak akan sama dengan t dan kedua
ion ini akan membawa porsi dari arus total yang berbeda pula. Akan tetapi jumlah
keduanya selalu 1.
++++++ ++++++ ++
- - - - - - - - - - - - - -
++++++ ++++++ ++
- - - - - - - - - - - - - -
Situasi ion-ion sebelum aliran arus listrik dinyatakan secara skematis pada
keadaan I. Untuk memudahkan, masing-masing ion dianggap bermuatan satu dan
pada contoh ini diasumsikan sebelum listrik mengalir masing-masing bagian
mempunyai lima ion positif dan lima ion negatif. Jika empat elektron dialirkan ke
dalam sel, empat ion positif di daerah katoda akan menerima elektron dari elektroda
dan dinetralkan. Di daerah anoda empat ion negetif menjadi netral. Hasil perubahan
ini digambarkan dengan keadaan II. Ketika perubahan-perubahan ini terjadi pada
masing-masing elektroda, ion-ion dalam larutan berpindah. Jika kecepatan kation dan
anion sama, maka masing-masing membawa setengan dari arus, jadi dua kation (ion
positif) pindah dari anoda ke katoda (dari kutub (+), anoda ke kutub negatif (-),
katoda), dan dua anion (ion negatif) dari kutub negatif (-), katoda ke kutub positif (+),
anoda, akibatnya dua ion positif pindah dari bagian anoda ke bagian tengah dan dua
ion positif dari tengah pindah ke bagian katoda. Secara bersamaan, dua ion negatif
dari katoda pindah ke tengah dan dua ion negatif dari tengah pindah ke bagian anoda.
Hasil akhir dari perubahan ini digambarkan dengan keadaan III. Dari gambar tersebut
nampak bahwa konsentrasi di bagian tengah tidak dipengaruhi oleh aliran listrik,
sebaliknya konsentrasi di bagian anoda dan katoda keduanya berkurang dalam hal ini
kebetulan pengurangannya sama, yakni dua muatan listrik.
Situasi akan berbeda jika kecepatan ion-ion tidak sama. Ketika empat elektron
dialirkan ke dalam sel, sama seperti sebelumnya, empat ion-ion (ion (+) dan (-)) akan
dinetralkan. Jika kecepatan kation tiga kali lebih cepat dari anion, maka kation akan
membawa arus tiga kali lebih banyak daripada anion. Tiga ion positif harus pindah
dari anoda ke tengah dan dari tengah ke daerah katoda. Pada saat yang bersamaan,
hanya satu anion yang meninggalkan daerah katoda ke daerah tengah, dan hanya satu
yang meninggalkan daerah tengah ke anoda. Dari gambar III’, terlihat kembali bahwa
daerah tengah tidak mengalami perubahan konsentrasi. Tetapi daerah-daerah sekitar
elektroda mengalami perubahan konsentrasi, dengan hasil akhir yang berbeda (pada
III dan III’) karena perbedaan kecepatan anion dan kation.
Berdasarkan hal tersebut dapat dinyatakan bahwa jika kecepatan anion dan kation
sama, maka hilangnya konsentrai kation karena perpindahannya dari daerah anoda
sama dengan hilangnya konsentrasi anion karena perpindahannya dari daerah katoda.
Akan tetapi jika v : v = 3 : 1, hilangnya konsentrasi kation karena perpindahannya
dari naoda adalah tiga kali hilangnya konsentrasi anion yang pindah dari daerah
katoda.
Peralatan yang digunakan untuk menentukan bilangan angkut dengan cara
Hittorf diperlihatkan pada gambar 2.4
- +
M B
- +
Katoda Anoda
Tengah
Sel ini terdiri dari tiga bagian yang terpisah. Dasar dari metode ini adalah
perubahan jumlah elektrolit baik di daerah anoda maupun katoda bergantung pada
reaksi elektrolisis dan jumlah ion yang berimigrasi (masuk atau keluar) selama proses
penghantaran arus listrik.
Untuk menentukan jumlah listrik yang mengalir, maka sel Hittrof
dihubungkan secara seri dengan coulometer C, dan kemudian dihubungkan dengan
sumber arus B dan tahan geser R. Milliammeter M berguna untuk mengatur arus
sesuai dengan yang diinginkan dan membuat perkiraan kasar tentang jumlah listrik
yang mengalir melalui sel. Sel diisi dengan elektrolit dengan konsentrasi awal yang
sudah diketahui dan arus listrik dialirkan. Larutan dielektrolisis cukup lama untuk
sampai diperoleh perubahan konsentrasi yang cukup nyata di sekitar elektroda. Arus
kemudian dihentikan dan larutan dari salah satu bagian elektroda atau dari kedua
bagian elektroda secara terpisah dikeluarkan, ditimbang dan dianalisis. Jumlah listrik
Q, yang mengalir melalui sel dapat diperoleh dari coulometer.
Untuk memperjelas kajian dan analisis kuantitatif mengenai bilangan angkut
dengan cara Hittorf kita tinjau suatu sistem seperti yang diperlihatkan pada gambar
2.4. Dengan mengetahui jumlah masing-masing ion pada keadaan awal dan keadaan
akhir serta jumlah listrik total yang mengalir dapat ditentukan jumlah ion-ion yang
pindah. Dengan mengetahui salah satu ion yang pindah baik di katoda (K) maupun
anoda (A), dapat ditentukan bilangan angkutnya karena ion yang pindah tersebut
membawa jumlah listrik yang tertentu.
Qi
Untuk kation : t i
Q
Q
Untuk anion : t i
Q
Atau jika t . telah diketahui, t dapat ditentukan dengan menggunakan hubungan .
t t 1 . Demikian pula sebaliknya.
Penjelasan berikut didasarkan pada aliran listrik melalui sel Hittorf yang diisi
dengan larutan perak nitrat, AgNO3 dengan elektroda perak, Ag.
Apakah reaksi elektroda pada metode Hittorf harus melibatkan ion-ion dari
elektrolit? Bagaimana jika elektroda yang digunakan pada contoh terakhir (larutan
NaCl) diganti dengan platina? Hal ini akan dibahas pada contoh soal 2.2.
Lengkapnya tujuan dari daerah bagian II yakni bagian tengah, menjadi jelas
dari contoh terakhir diatas. Analisis dilakukan didasarkan pada asumsi bahwa hanya
ion-ion Na+ dan Cl- yang mengangkut arus melewati garis atau batas I-II dsan II-III
padahal reaksi elektroda menghasilkan ion H+ dan OH-. Jika terjadi pencampuran di
bagian anoda dan bagian katoda selama elektrolisis, maka ion-ion hasil reaksi
elektroda ini akan mengangkut bagian dari arus. Akibatnya penerimaan dan
kehilangan ion-ion Na+ dan Cl- akan lebih kecil daripada yang diharapkan dan
analisis keseluruhan akan salah. Cara untuk menguji hasil atau produk elektrolisis
mencapai daerah II atau tidak, dalam hal ini adalah dengan menguji pH dari bagian
tengah apakah berubah atau tidak.
Analisis setiap bagian pada contoh-contoh di atas dinyatakan dengan jumlah
yang diterima atau yang hilang selama elektrolisis. Konsentrasi tidak masuk secara
langsung, padahal bilangan angkut bergantung pada konsentrasi. Oleh karena itu
diharapkan agar selama elektrolisis tidak terjadi perubahan komposisi yang terlalu
besar tapi cukup untuk dapat dianalisis perubahannya. Jadi jumlah listrik yang
dialirkan melalui sel disarankan lebih kecil dari satu faraday.
Hal penting yang harus diperhatikan saat menganalisis jumlah ion-ion dalam
larutan (keadaan awal dan akhir) harus dalam sejumlah pelarut yang sama saat awal
dan akhir, karena jika jumlah pelarut berbeda, maka perbedaan ini menyebabkan
jumlah ion-ionnya juga berbeda yang bukan disebabkan reaksi dan kepindahan, jadi
hindari perbedaan jumlah terlarut karena beda jumlah pelarut.
- +
-
Coulometer perak
+
Q
t
Q
Tabel 2.2
Hantaran Jenis KCl pada Berbagai Konsentrasi
C/(mol dm-3) 0 0,001 0,01 0,1 1
/(Ω-1 cm-1) 0 0,000147 0,00141 0,0129 0,112
(2.31)
m
C
Istilah lain yakni hantaran ekivalen, dulu sering digunakan. Dalam hal ini
hantaran dinyatakan dalam bentuk jumlah muatan individual yang diangkut. Sebagai
contoh untuk larutan elektrolit uniekivalen seperti larutan KCl atau NaCl, setiap ion
membawa satu satuan muatan sehingga hantaran ekivalen sama dengan hantaran
molar. Untuk larutan elektrolit divalen seperti MgSO4, setiap ion membawa dua
satuan muatan, sehingga hantaran ekivalennya setengah dari hantaran molarnya.
m m
Dengan kata lain hubungan antra keduanya dinyatakan dengan : eq
z v zv
Kebergantungan Hantaran Molar terhadap Konsentrasi
Berdasarkan hantarannya, elektrolit dibedakan menjadi dua, yakni elektrolit
kuat dan elektrolit lemah. Elektrolit kuat seperti garam-garam dan sebagian asam-
asam seperti asam nitrat, sulfat, klorida mempunyai hantaran molar yang tinggi dan
dengan pengenceran mengalami kenaikan yang tidak terlalu besar, sementara
elektrolit lemah seperti asam asetat dan asam-asam organik lainya mempunyai
hantaran yang jauh lebih rendah pada konsentrasi tinggi, tetapi nilainya meningkat
tajam dengan semakin encernya larutan (lihat gambar 2.9).
Untuk elektrolit kuat yang tidak mengandung asosiasi ion, konsentrasi ionnya
berbanding lurus dengan konsentrasi elektrolitnya, jadi dapat dilihat bahwa
pembagian dengan C akan menghasilkan suatu besaran yang tidak bergantung
pada konsentrasi. Akan tetapi, m untuk larutan seperti NaCl, KBr dan sebagainya
dalam air berubah dengan berubahnya konsentrasi. Hal ini terjadi karena ada antar
aksi di antara ion-ion yang mempengaruhi hantran jenisnya, . Interaksi ini berubah
dengan berubahnya konsentrasi.
Dari Tabel 2.3 ditemukan pola menarik yang muncul jika kita menelusuri
perbedaan m diantara dua elekrolit yang mengandung anion atau kation yang
sama jenisnya. Sebagai contoh :
( KCl ) ( NaCl ) 23,4 1mol 1cm2
( KNO3 ) ( NaNO3 ) 23,4 1mol 1cm2
Berdasarkan Persamaan (2.33) :
Untuk KCl (KCl ) = k cl
(KCl ) - (NaCl ) = k cl - ( Na cl )
= K Na
= 23,4 Ώ 1 mol 1cm2
1l 1
terhadap menghasilkan : atau . Karena gradien
C C A l CA
v N z e v N ze
potensial, E = , dan I = , maka rumusan tersebut dapat pula
l l
dituliskan sebagai berikut :
v N z e v N z e
E
CAl
Karena N+ = n+NA = v+nNA dan N- = n-NA = v-nNA maka persamaan di atas
menjadi :
v nN A z e v N z e
E
CAl
dengan mensubstitusikan NAe = F CAl = CV = n, maka diperoleh :
v nN A z e v N z e
E
n
v Fz v Fz
v v
z v F , dengan gradien potensial, E
E E l
z v F u u
Hantaran molar ion-ion didefinisikan sebagai :
z Fu dan z Fu (2.34)
maka : v v
u dan u (2.35)
z F z F
dengan u dan u -disebut sebagai mobilitas kation dan anion. Jadi jika daya hantar
ionnya besar, maka mobilitasnya juga besar. Pada konsentrasi elektrolit tertentu,
mobilitas ion juga tertentu dan berbeda harganya pada konsentrasi yang berbeda.
Mobilitas bergantung pada konsentrasi. Hasil percobaan memperlihatkan bahwa turun
dengan naiknya konsentrasi. Hal ini disebabkan oleh gaya tarik antar ion.
Pada larutan NaCl 0,20 mol/dm3 pada 25 0C dan 1 atm, diperoleh Λ(Cl-) =
65,1 x 10-5 cm2V-1S-1. Nilainya sedikit berbeda dengan Λ(Cl-) dalam larutan KCl 0,20
mol/dm3. Nilainya 65,6 x 10-5 cm2V-1S-1. Hal ini terjadi karena ada sedikit perbedaan
perbedaan pada antaraksi Na+ - Cl- dibandingkan dengan antaraksi K+ - Cl-.
Hasil percobaan mobilitas ion yang diekstrapolasi pada pengenceran tak
hingga untuk beberapa ion dalam air pada 25 0C dan 1 atm adalah sebagai berikut:
Pada pengenceran tak hingga, gaya antar ion tidak ada, sehingga u (Cl-)
mempunyai nilai yang sama baik dalam larutan NaCl, KCl dan seterusnya.
Untuk ion-ion anorganik dapat dilihat bahwa u dalam larutannya dengan
pelarut air pada 25 0C dan 1 atm ada pada rentang 40 sampai 80 cm2V-1S-1. Akan
tetapi untuk H3O+ dan OH- mempunyai nilai yang jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan ion-ion lainya. Hal ini karena dalam pelarut air terjadi mekanisme jumping
proton pada H3O+. proton pindah dari H3O+ ke molekul H2O tetanggganya dan
prosesnya menghasilkan efek yang sama seperti pergerakkan H3O+ melalui larutan
dari satu bagian (+) berpindah ke bagian lain (-) melalui perpindahan sebagai berikut.
Satu proton dipindahkan dari ion H3O+ ke molekul air didekatnya, sehingga molekul
berubah menjadi H3O+. Proses ini berlangsung berulang-ulang, H3O+ yang baru
terbentuk memindahkan protonnya ke molekul air berikutnya dan seterusnya. Proses
yang sama terjadi untuk ion hidroksil:
Mobilitas yang tinggi dari OH- disebabkan oleh transfer proton dari molekul H2O ke
ion OH- yang ekivalen dengan pergerakkan OH- dalam arah yang berlawanan. Proses
transfer ini menghasilkan muatan positif yang lebih cepat dibandingkan dengan jika
ion H3O+ tersebut terdorong pindah melalui larutan seperti yang terjadi pada ion-ion
lainya.
Titrasi Konduktometri
Pengukuran daya hantar dapat digunakan untuk menentukan titik akhir titrasi
sebagai contoh kita tinjau titrasi asam basa. Pertama kita kaji dulu titrasi asam kuat
seperti asam klorida (HCl) oleh basa kuat seperti NaOH. Seperti yang telah diuraikan
sebelumnya, daya hantar H+ dan OH- jauh lebih besar dari pada kation-kation dan
anion-anion lainya. Sebelum ditambah basa, larutan HCl mengandung banyak ion H+
yang menyebabkan daya hantar larutan tersebut tinggi. Ketika ditambahkan basa ion
H+ dari HCl akan bereaksi dengan OH- dari NaOH membentuk air. Dan H+ yang
bereaksi (dalam larutan) digantikan oleh Na+ (dari basa) yang daya hantaranya lebih
rendah. Akibatnya daya hantar larutan turun. Demikian seterusnya sampai
penambahan basa mencapai titik ekivalen. Penambahan basa selanjutnya akan
meningkatkan kembali daya hantar karena larutan sekarang kelebihan Na + dan OH- .
Jika daya hantar larutan selama titrasi dialurkan terhadap volume larutan NaOH yang
ditambahkan akan diperoleh grafik (a) seperti yang terdapat pada gambar 2.9
Ketika ditambahkan basa, maka H+ dari asam tersebut akan bereaksi dengan OH- dari
basa membentuk air. Jadi keberadaan H+ yang bereaksi digantikan oleh Na+ yang
daya hantarnya lebih rendah dari H+. Jika hanya itu yang terjadi, seharusnya daya
hantarnya turun. Akan tetapi fakta menunjukkan daya hantarnya ternyata naik,
meskipun tidak terlalu tajam. Hal ini disebabkan oleh reaksi ionisasi CH3COOH
merupakan reaksi kesetimbangan maka berkurangnya H+ (karena sudah bereaksi
dengan OH-) akan menyebabkan reaksi kesetimbangan (2.36) akan bergeser ke arah
kanan, yakni ke arah pembentukan H+ sampai tercapai keadaan kesetimbangan yang
baru. Dengan demikian kurva titrasinya tidak turun melainkan naik sepanjang garis
DE. Jika semua asam telah dinetralkan, penambahan basa berlebih akan
menyebabkan kenaikan daya hantar larutan dengan cukup tajam sesuai dengan garis
DF. Sebenarnya perpotongan kedua garis tersebut tidak setajam yang digambarkan
melainkan bentuk agak melengkung. Perpotongan yang tidak tajam ini disebabkan
terjadinya hidrolisis dan garam yang terbentuk ketika terjadi netralisasi. Akan tetapi
ini tidak jadi masalah karena bagian kurva yang lurus dapat diperpanjang untuk
memperoleh titik ekivalen yang benar. Bentuk kurva titrasi yang digambarkan di atas
hanya diterapkan untuk kondisi-kondisi di atas yang khas (untuk HCl-NaOH dan
CH3COOH- NaOH ). Jika kekuatan relatif asam berubah, begitu pula kurva titrasinya.
Akan tetapi bukan berarti titrasi konduktorimetri hanya berlaku untuk asam-basa saja
melainkan banyak titrasi yang dengan cara titrasi biasa, misalnya ketika tidak
diperoleh indikator yang cocok. Jadi cara ini dapat diterapkan pada titrasi apa saja
yang memberikan perubahan tajam pada daya hantarnya di titik ekivalen. Misalnya
pada titrasi larutan perak nitrat dengan natrium klorida, dengan reaksi pengendapan :
Ag+ + Cl- AgCl
Ion Na+ menggantikan ion Ag+ dalam larutan. Daya hantar ion Na+ hampir sama
dengan daya hantar ion Ag+. Dengan sendirinya hal ini akan memberikan daya hantar
yang relatif tidak berubah. Akibatnya aluran daya hantar terhadap volum titran
mendekati horizontal. Akan tetapi setelah titik ekivalen dilampaui, daya hantar
meningkat dengan tajam akibat bertambahnya ion-ion dalam larutan. Dengan
demikian titik akhir dapat ditentukan dengan mudah.
( garam) ( garam)
C s
Dengan s kelarutan barium sulfat (BaSO4). Karena kita bekerja dengan garam yang
sukar larut, konsentrasi larutannya rendah sehingga sifatnya dapat dianggap sama
dengan larutan pada pengenceran tak hingga. Dengan demikian dapat kita asumsikan
bahwa sehingga :
s (2.38)
Nilai dapat diperoleh dari data hantaran molar ion-ionnya pada pengenceran tak
hinggga (table 2.3). Jadi dari persamaan (2.38) dapat kita tentukan kelarutan dari
BaSO4 dalam air. Dengan mengetahui kelarutannya, selanjutnya dapat dihitung hasil
kali kelarutannya melalui persamaan :
Ksp = [Ba2+] [SO42-]
Penentuan Tetapan Disosiasi
Pada konsentrasi tertentu, elektrolit lemah hanya terdisosiasi sebagian dengan
derajat disosiasi, α. Pada tahun 1887 Arrhenius menyatakan bahwa α berhubungan
dengan hantaran molarnya melalui persamaan :
(2.39)
Ostwald menggunakan persamaan (2.39) di atas untuk menentukan tetapan
kesetimbangan disosiasi. Kita tinjau asam lemah HA dengan konsentrasi C mol/L :
HA ↔ H+ + A-
Saat kesetimbnagan tercapai [HA] = C (1 - α), [H+] = Cα dan [A-] = Cα.
Berdasarkan definisi, tetapan kesetimbangannya :
[ H ][ A ] C 2 2
K
[ HA] C (1 )
Dengan menggunakan Persamaan (2.39) diperoleh :
C2
K atau
( ) (2.40)
K K C2
2
1
Perkalian persamaan terakhir dengan dan menata ulang persamaan akan
K
2
1 1 C
diperoleh : (2.41)
K
2
Dengan demikian harga K dapat diperoleh langsung melaui persamaan (2.40) asal
harga diketahui, atau untuk lebih teliti digunakan persamaan (2.41) dengan
1 1
mengalurkan terhadap C . Perpotongan dengan terhadap C menghasilkan
1 1
dan kemiringan dama dengan . Jadi dari nilai kemiringan dan
K
2
i disebut koefesien keaktifan yang dapat memiliki bentuk berbeda sesuai dengan
satuan konsentrasi yang digunakan. Potensial kimia ( i ) dari satu spesi dapat
diungkapkan dalam bentuk :
i ( io ) x RT ln xi i (2.43a)
Potensial kimia elektrolit, i sebagai keseluruhan potensial kimia kation dan anion ,
v v v
(2.47)
dengan v = v v
v dan v masing – masing koefisien kation dan anion. Sebagai contoh, untuk CaCl2,
1 2 3
3 2 dan 3 .
Untuk menyederhanakan persamaan (2.46) didefenisikan pula :
io v 0 v o (2.48)
Dan keaktifan ion rerata (a2) didefinisikan sebagai :
a v av av
(2.49)
sehingga Persamaan (2.46) menjadi :
i io RT ln av
i io RT ln v m v m v
= io RT ln v mi (2.51)
masing – masing ion kita tidak dapat mengukur atau secara individual. Karena
itu persamaan Debye-Huckel kita nyatakan dalam bentuk koefesien keaktifan rata –
rata, . Dengan mengambil bentuk log dari ( )v yang didefenisikan sebagai
v v
, diperoleh :
v ln v ln
ln
v
Karena elektrolit M v X v secara listrik netral, maka :
v+z+ + v-z- = 0
Perkalian Persamaan (2.56) dengan z+ menghasilkan v+z+2 = - v- z - z+ dan perkalian
Persamaan (2.56) dengan z – menghasilkan v-z -2 = -v+ z+ z -.
Penjumlahan keduanya menghasilkan :
v z v z z z (v v ) z z (v v )
2 2
(2.57)
Karena z negative. Subtitusi Persamaan Debye-Huckel (2.50) ke dalam persamaan
(2.54) yang diikuti dengan penggunaan persamaan (2.57) menghasilkan :
AI m1 / 2
ln z z (2.58)
1 BaI m1 / 2
997,05 kg/m3 untuk air pada 25oC dan 1 atm ke dalam persamaan (2.58), maka :
A = 1,1744 (Kg/mol)1/2, B = 3,285 x 109 (kg/mol)1/2m-1.
Dengan mensubsitusikan nilai – nilai A dan B ke dalam Persamaan (2.58) dan
membagi A dengan 2,3026 untuk mengubahnya ke dalam bentuk log, kita peroleh :
1/ 2
Im
log 0,510 z z mo
(2.59)
1 0,328(a / Ao )( I m / m o )1 / 2
dengan 1 Ao = 10-10 m dan mo = 1 mol/kg. I m Pada persamaan (2.59) mempunyai
satuan mol/kg, dan diameter ion, a, mempunyai satuan panjang, sehingga tidak
mempunyai satuan.
Untuk larutan yang sangat encer, I m sangat kecil dan suku kedua dalam penyebut
persamaan (2.59) dapat diabaikan dibandingkan dengan 1. Karena itu untuk larutan
yang sangat encer :
log z z AI m1 / 2 (2.60)
dan untuk larutan yang sangat encer dengan pelarut air pada 25oC :
log 0,510 z z ( I m / mo )1 / 2
Untuk elektrolit 2 : 2, ini sesuai dengan molalitas 0,01/4 0,002. Persamaan Debye-
Huckel yang lebih lengkap diperlukan untuk menentukan i dari larutan
I m 0,1 mol / kg. Pada kekuatan ion tertentu, teori ini berlaku senakin baik ketika
3COOH u
Dengan dan adalah koefesien keaktifan ion dan u adalah koefesien koefesien
keaktifan asam asetat tak terdisosiasi. Dalam larutan encer, molekul tak terdisosiasi
akan bersifat ideal (koefesien keaktifan = 1), tetapi dan akan berbeda cukup
jauh dari satu karena interaksi elektrostatik . Dengan m,engganti oleh dan
2
log
H CH 3COO log K o
2 log
CH 3COOH
yang selanjutnya dapat kita tulis :
c 2
log log K o 2 log (2.62)
1
Dengan c adalah kosentrasi α adalah derajat disosiasi, yang dapat ditentukan dari
pengukuran hantaran. Oleh karena itu, sisi kiri persamaan dapat dihitung untuk
berbagai kosentrasi dan harga – harga tersebut sama dengan log K o 2 log . Jika
kita gunakan persamaan DHLL, log dapat diganti dengan ungkapan DHLL. Jika
larutan hanya mengandung asam asetat, kekuatan ionnya, I diberikan oleh :
I
1
2
c 12 c (1) 2 c , karena pada larutan dengan pelarut air yang
sangat encer ci mi .
Jika ada ion lainnya, maka kontribusinya harus ditambahkan. Selanjutnya biasa
dilakukan plot sisi kiri persamaan (2.62) terhadap 1 = 0. memberikan harga Ko,
seperti yang tampak pada gambar 2.14.
Sel elektrokimia terdiri dari sepasang elektroda yang dicelupkan ke dalam suatu
lelehan atau larutan ion dan dihubungkan dengan penghantar logam pada rangkaian
luar. Sel elektrokimia dapat berupa sel galvani dan sel elektrolisis.
Sel Galvani atau sel volta adalah elektrokimia yang dapat menghasilkan
energi listrik yang disebabkan oleh terjadinya reaksi redoks yang spontan, sedangkan
sel elektrolisis adalah sel elektrokimia yang menyebabkan terjadinya reaksi redoks
yang semula tidakl spontan dengan adanya listrik dari luar.
Setengah-sel yang satu terdiri dari logam seng yang dicelupkan ke dalam larutan seng
(II) sulfat dan setengah-sel yang lainnya terdiri dari logam tembaga yang dicelupkan
ke dalam larutan tembaga (II) sulfat. Kedua larutan dipisahkan dengan membran
berpori. Jika kedua elektrodanya dihubungkan dengan sirkuit luar, dihasilkan arus
listrik yang dapat dibuktikan dengan menyimpangnya sedikit jarum galvanometer
yang dipasang pada rangkaian luar dari sel tersebut. Sel yang tampak pada gambar
3.1 disebut sel Daniell. Karena dialah yang yang pertama kali mengembangkannya.
Ketika sel Daniell digunakan sebagai sumber listrik terjadi perubahan dari Zn
menjadi Zn2+ yang larut.
Zn(s) Zn2+(aq) + 2e (reaksi oksidasi)
Hal ini dapat diketahui dari semakin berkurangnya massa logam Zn. Di sisi lain,
elektroda Cu semakin bertambah massanya karena terjadi pengendapan Cu dari Cu 2+
dalam larutan.
Cu2+ (aq) + 2e Cu(s)
Pada sel tersebut elektroda Zn bertindak sebagai anoda dan elektroda Cu
sebagai katoda. (Ingat kembali bahwa pada sel elektrokimia, baik sel galvanic
maupun sel elektrolisis, anoda adalah tempat terjadinya reaksi oksidasi dan katoda
merupakan elektroda tempat terjadinya reaksi reduksi. Untuk memudahkan
mengingat : perhatikan huruf pertama dari kata oksidasi dan kata anoda. Huruf o dan
a sama-sama merupakan huruf vocal. Sementara huruf pertama dari kata reduksi (r)
dan katoda (k) sama-sama huruf konsonan).
Ketika Daniell digunakan, terjadi arus electron dari elektroda seng (Zn) ke
elektroda tembaga (Cu) pada rangkaian luar. Kita ketahui bahwa dalam fisika ada
konvensi yang menyatakan bahwa pada suatu sumber arus, arus listrik mengalir dari
kutub positif ke kutub negative pada rangkaian luar, atau electron mengalir dari kutub
negative ke kutub positif. Pada sel Daniell yang sedang digunakan aliran electron
terjadi dari elektroda seng (Zn) ke elektroda tembaga (Cu). Oleh karena itu logam
seng bertindak sebagai kutub negative dan logam tembaga sebagai kutub positif
bersamaan dengan itu pada larutan dalam sel tersebut terjadi perpindahan sebagian
ion Zn2+ dari kiri ke kanan karena dalam larutan sebelah kiri terjadi kelebihan ion
Zn2+ dibandingkan ion SO42- yang ada. Sementara itu ion SO42- mengalir dari kanan
ke kiri karena sisi kanan kelebihan ion SO42- dibandingkan dengan ion Cu2+. Reaksi
total yang terjadi pada sel Daniell adalah :
Zn(s) + Cu2+ (aq) Zn2+(aq) + Cu(s)
Reaksi tersebut merupakan reaksi redoks spontan yang dapat digunakan untuk
memproduksi listrik melalui rangkaian sel elektrokimia.
Sel Daniell sering pula dimodifikasi seperti yang terlihat pada Gambar 3.2 kedua
setengah sel dihubungkan dengan jembatan garam.
Gambar 3.2
Sel Daniell dengan jembatan garam
Jembatan garam biasanya berupa tabung berbentuk U yang diisi dengan agar
yang dijenuhkan dengan KCl. Jembatan garam berfungsi untuk menjaga penentralan
muatan listrik pada larutan. Karena konsentrasi larutan elektrolit pada jembatan
garam lebih tinggi dari pada konsentrasi di kedua bagian elektroda, maka ion negative
dari jembatan garam masuk ke salah satu setengah-sel yang kelebihan muatan
negative.
Dengan adanya jembatan garam terjadi aliran electron yang kontinyu melalui kawat
pada rangkaian luar dan aliran ion-ion melaui larutan sebagai akibat dari reaksi
spontan yang terjadi pada kedua elektroda.
Jika kedua elektrolit pada sel dipisahkan sama sekali tanpa adanya jembatan
garam, maka dapat dilihat bahwa aliran electron akan segera berhenti. Hal ini terjadi
karena pada kedua elektroda terjadi ketidaknetralan listrik, di satu bagian kelebihan
muatan positif dan dibagian lain kelebihan muatan negative. Dengan adanya jembatan
garam dapat terjadi penetralan muatan listrik di setiap elektroda melalui difusi ion-
ion, akan tetapi kedua larutan elektroda tetap dapat dijaga untuk tidak saling
bercampur bebas, sebab kalau dibiarkan bercampur maka ion Cu2+ akan bereaksi
langsung dengan elektroda Zn, dan electron tidak akan mengalir melalui kawat pada
rangkaian luar.
Penggunaan agar-agar mempunyai keuntungan, diantaranya menjaga agar
larutan elektrolit di satu bagian elektroda tidak mengalir ke elektroda lainya saat
permukaan kedua elektroda larutan elektrolit di kedua elektrolit berbeda.
Hal berikutnya yang bisa kita pertanyakan adakah sel Daniell dijadikan sebagai sel
elektrolisis ?
Reaksi sebaliknya dari sel Daniell yakni reaksi Zn2+(aq) + Cu(s) Zn(s) + Cu2+ (aq)
adalah reaksi redoks yang tidak spontan. Reaksi tersebut dapat terjadi jika pada sel
Daniell diterapkan beda potensial listrik dari luar yang besarnya melebihi potensial
sel Daniell. Dengan demikian aliran electron pada rangkaian luar dan aliran ion-ion
dalam larutan elektrolit berlawanan dengan aliran ion dan electron pada sel Daniell
sebagai sel volta. Perhatikan dengan teliti dan bandingkan Gambar 3.1. (Sel Daniell
sebagai sel volta) dan Gambar 3.3. (Elekrolisis pada Sel Daniell).
Elektroda yang dihubungkan dengan kutub negative sumber arus searah akan mejadi
kutub negative sel dan elektroda yang dihubungkan dengan kutub positif sumber arus
searah akan menjadi kutub positif dari sel. Ion-ion Na+ akan bergerak menuju kutub
negative dan pada elektroda tersebut terjadi reaksi :
Na+ (l) + e Na(s) (reduksi)
Ion-ion Cl- bergerak menuju elektroda positif dan pada elektroda tersebut terjadi
reaksi :
2Cl- (l) Cl2 (g) + 2e (oksidasi)
Karena pada elektroda negative terjadi reaksi reduksi maka elektroda tersebut
merupakan katoda. Pada elektroda positif terjadi reaksi oksidasi. Oleh karena itu
elektroda tersebut merupakan anoda.
Pt Fe2+, Fe3+ H+ H2 Pt
Karena yang dituliskan terlebih dulu (elektroda sebelah kiri) dalam notasi
tersebut adalah anoda, maka reaksi yang terjadi pada elektroda sebelah kiri adalah
oksidasi dan elektroda yang dituliska berikutnya (elektroda kanan) adalah katoda
maka reaksi yang terjadi pada elektroda kanan adalah reaksi reduksi.
Untuk sel dengan notasi :
Reaksinya adalah :
Zn(s) Zn2+(aq) + 2e (reaksi oksidasi)
Cu 2+
(aq) + 2e Cu(s) (reaksi reduksi)
Pada sel Galvani seperti sel Daniell, electron mengalir melaui rangkaian luar
karena adanya beda potensial di antara kedua elektrodanya. Sel ini dapat dibuat
berperilaku reversible dengan cara mengimbangi potensialnya dengan suatu potensial
eksternal sehingga tidak ada aliran arus. Saat potensial listrik tersebut benar-benar
diimbang, sel tersebut bereaksi reversible dan potensialnya dirujuk sebagai emf
(electromotive force) atau potensial sel (cell voltage). Hal ini bisa dilakukan dengan
menggunakan suatu potensimeter.
Rangkaian potensiometer dapat dilihat pada Gambar 3.5. berikut :
Karena potensial sel merupakan beda potensial antara kedua elektroda pada
sel saat sel tersebut bereaksi reversible dan reaksi reversible dapat dicapai saat arus
yang lewat sama dengan nol, maka arus listrik yang keluar dari sel harus diimbangi
oleh arus sel kerja yang mempunyai potensial yang lebih besar dari potensial sel yang
akan diukur. Jadi kutub sel galvani harus dipasang sedemikian rupa sehingga arusnya
berlawanan dengan kutub-kutub listrik dari luar seperti yang terlihat pada Gambar
3.5.
Sel kerja dihubungkan dengan kawat yang homogen (BC) yang mempunyai
tahanan yang tinggi. Sel yang akan diukur, Sx dihubungkan dengan B dan
galvanometer G. kontak peluncur (tanda panah) digeser sedemikian rupa sampai
galvanometer menunjukkan tak ada arus yang mengalir, missal di titik D. pada titik
ini, potensial sel kerja sepanjang BD diimbangi dengan tepat oleh potensial dari sel
X, Ex. Dengan mengetahui kuat arus yang mengalir (diukur dengan ammeter di titik
A), dan tahanan jenis (ρ) serta luas penampang kawat tahanan BC maka potensial sel
X dapat dihitung melaui persamaan :
Ex = IRx
= I ρ (l/A)
Akan tetapi cara tersebut hamper tidak pernah dilakukan karena ρ dan
terutama luas penampang tahanan (A) tidak diketahui. Cara yang biasa dilakukan
adalah dengan mengkalibrasi kawat tahanan BC dengan sel standar yang sudah
diketahui potensialnya. Caranya sama seperti tadi, tapi sel yang digunakan bukan sel
X melainkan sel standar. Misalkan diperoleh jarak saat tidak ada arus mengalir ke
dalam sel standar adalah BE, yang sesuai dengan E sel standar = Is.Rs . Kita jangan
mengubah-ubah lagi kuat arus ke dalam sel satndar dari DC-PS, lalu kita ganti sel
standar dengan sel X, dengan cara yang sama ukur jarak kawat tahanan saat tak ada
arus melalui sel X, missal jarak yang diperoleh oleh BF, yang sesuai dengan E sel X.
Karena I dari DC-PS sama ketika digunakan saat mengukur E sel X dan E sel standar,
maka :
Is = Ix, sehingga :
E sel standar E
= X
Rs RX
RX
Atau EX = x ES
RS
l
Karena R = ρ , dan kawat homogen (ρX = ρS dan AX = AS ), maka :
A
lX
EX = x ES
lS
BF
EX = x ES
BE
Sebelumnya sudah dikemukakan bahwa untuk mengkalibrasi kawat tahanan pada
potensiometer diperlukan sel standar. Suatu sel dapat dijadikan sel standar jika
potensialnya tidak berubah oleh waktu, tidak rusak jika dialirkan arus listrik ke
dalamnya, bersifat reversible dan mempunyai koefisien suhu dari potensial sel yang
rendah. Sel yang sangat mendekati sifat-sifat tersebut adalah sel Weston yang
bentuknya nampak seperti Gambar 3.6. di bawah ini :
Reaksi dalam arah yang dituliskan terjadi jika sel bertindak sebagai sumber arus,
sementara reaksi sebaliknya terjadi jika arus dari luar dialirkan ke dalam sel.
Sel Weston di atas disebut juga sebagai sel Weston jenuh. Potensial dari sel ini pada
suhu toC mengikuti persamaan :
Et
= 1,01830 – 4,06 x 10-5 (t - 20) – 9,5 x 10-7 (t - 20)2
V
Sel Weston yang tidak jenuh biasanya digunakan sebagai sel standar sekunder dengan
potensial mendekati 1,0186 V pada suhu 20 oC.
Dan sebaliknya jika elektron masuk ke dalam elektroda ini terjadi reaksi yang
sebaliknya.
Zn2+(aq) + 2e → Zn(s)
Tetapi jika elektroda Zn trersebut dicelupkan ke dalam larutan KCl, tidak dapat
terbentuk elektroda yang reversible karena saat ada elektron keluar dari elektroda ini
terjadi setengah reaksi:
Zn(s) → Zn2+(aq) + 2e-
Akan tetapi saat ada elektron yang masuk ke dalam elektroda ini, yang terjadi adalah
setengah reaksi :
2H2O + 2e → H2 + 2OH-
Pada elektroda ini logam L ada dalam kesetimbangan dengan larutan yang
mengandung ion LZ+. Setengah reaksinya ditulis :
LZ+ + ze- → L
Contoh dari elektroda ini diantaranya Cu2+ │Cu; Zn2+│ Zn, Ag+ │Ag, Pb2+ │ Pb
Logam-logam yang dapat mengalami reaksi lain selain dari reaksi setengah sel yang
diharapkan tidak dapat digunakan. Jadi logam-logam yang dapat bereaksi dengan
pelarut tidak dapat digunakan. Logam-logam golongan IA dan IIA seperti Na dan
Ca dapat bereaksi dengan air, oleh karena itu tidak dapat digunakan. Seng dapat
bereaksi dengan larutan yang bersifat asam. Logam-logam tertentu perlu diaerasi
dengan N2 atau He untuk mencegah oksidasi logam dengan oksigen yang larut.
Elektroda amalgam
Amalgam adalah larutan dari logam dengan cairan Hg. Pada elektroda ini amalgam
dari logam L berkesetimbangan dengan larutan yang mengadung ion LZ+ , dengan
reaksi :
LZ+ + ze- → L(Hg)
Dalam hal ini raksa sama sekali tidak terlibat dalam reaksi elektroda. Logam aktif
seperti Na, K, Ca, dan sebagainya bisa digunakan dalam elektroda amalgam.
Elektroda kalomel
Elektroda ini dapat dilihat pada gambar 3.7. pada elektroda ini , raksa (Hg)
ada dalam keadaan kontak dengan raksa (1) klorida , Hg2Cl2 (kalomel) yang
dicelupkan ke dalam larutan KCl 0,01 M atau KCl jenuh.
Jika diset dengan elektroda hidrogen :
Pt, H2 (1 bar) │H+ ║ Cl- │Hg2Cl2 (s) │Hg
Reaksi elektroda :
Reaksi di anoda : ½ H2 → H+ + e-
Reaksi di katoda : ½ Hg2Cl2 (s) + e → Hg + Cl-
Potensial sel pada keadaan standar 0,337 Volt, sehingga Eo kalomel = 0,337 V
Jika digunakan KCl jenuh pada 25oC memberikan E= 0,2412 V
Gambar 3.7. elektroda kalomel
Elektroda Gas
Pada elektroda ini gas hidrogen, H2 berkesetimbangan denan ionnya , H+. Reaks
reversibelnya adalah :
2H+ + 2e- → H2
Elektroda ini dipresentasikan dengan :
Pt│ H2 (g) │ H+ (aq)
Gambar 3,8. elektroda hidrogen
Elektroda redoks
Sebetulnya semua elektroda melibatkan setengah reaksi oksidasi-reduksi. Tapi istilah
untuk elektroda redoks biasanya hanya digunakan elektroda yang setengah reaksi
Redoksnya melibatkan dua spesi yang ada dalam larutan yang sama. Contoh dari
elektroda ini adalah Pt yang dicelpkan ke dalam larutan yang mengandung ion-ion
Fe2+ dan Fe3+ yang gambarnya tampak seperti pada gambar 3.9 berikut.
Elektroda gelas terdiri dari membran yang sanga tipis yang terbuat dari gelas yang
permeabel terhadap ion H+. Elektroda Ag│AgCl dicelupkan ke dalam larutan buffer
yang menandung ion Cl-. Kadang-kadang digunakan juga elektroda kalomel untuk
menmgganti elktroda Ag││AgCl. Elektroda gelas terutama digunakan pada
pengukuran pH.
E sel E Ka E Ki
E sel ECa E H 2
Jika aCu 2 1 diperoleh Esel untuk sel diatas adalah 0,337 V, jadi
Nilai potensial elektroda bukan nilai mutlak, melainkan relatif terhadap elektroda
hidrogen. Karena potensial elektroda dari elektroda X didefinisikan dengan
menggunakan sel dengan elektroda X bertindak sebagai katoda (ada di sebelah kanan
pada notasi sel), maka potensial elektroda standar dari elektroda X sesuai dengan
reaksi reduksi yang terjadi pada elektroda tersebut. Oleh karena itu semua potensial
elektroda standar adalah potensial reduksi.
E o
Zn 2 / Zn
0,762V
Jika potensial elektroda berharga positif, artinya elektroda tersebut lebih mudah
mengalami reduksi H+, dan jika potensial elektroda berharga negatif artinya elektroda
tersebut untuk mengalami reduksi dibanfdingkan dengan H+.
Potensial elektroda sering kali disebutsebagai potensial elektroda tunggal,
sebenarnya kata ini tidak tepat karena kita tahu bahwa elektroda tunggal tidak dapat
diukur.
Kita dapat mengfhitung potensial sel yang melibatkan dua elektroda, misalnya
untuk sel : Zn│Zn2+ (a=1)║Cu2+ (a=1)│Cu, dengan
Cu2+ + 2e → Cu Eo= -0,34 V
Zn2+ + 2e → Zn Eo= -0,76 V
Reaksi di anoda : Zn → Zn2+ + 2e
Reaksi di katoda : Cu2+ + 2e → Cu
Kerja yang dilakukan oleh sel elektrokimia sama dengan penurunan energi Gibbs,
yaitu kerja maksimum diluar kerja –PV.
Ini dapat diilustrasikan dengan sel berikut:
Pt|H2|H+||Cu2+|Cu
Reaksi di anoda H2 2H+ + 2e-
Reaksi di katoda Cu2+ + 2e- Cu
Reaksi keseluruhan H2 + Cu2+ 2H+ + Cu
Saat 1 mol H2 bereaksi dengan 1 mol Cu2+, 2 mol elektron mengalir melalui
rangkaian luar. Menurut Hukum Faraday , ini berarti terjadi aliran listrik sebesar {(2
mol)(6,02 x 1023 mol-1)(1,6 x 10-19C)} = 2 x 96,485 C listrik. Potensial sel tersebut
adalah + 0,3419 V, sehingga kerja listrik yang dihasilkan adalah :
wlistrik = QV
= 2 x 96,485 C x 0,3419 V = 6,598 x 104 J
Kerja dilakukan sistem. Karena kerja yang dilakukan oleh sel elektrokimia sama
dengan penurunan energi Gibbs maka:
ΔG = -6,598 x 1014 J
Secara umum :
ΔG = -nFE
aA + bB = yY + zZ
RT a yaz
Eo = + ln Ya Zb
nF a AaB eq
RT
Eo = ln K
nF
RT a yaz
E = Eo - ln Ya Zb (Persamaan Nernst,1889)
nF a AaB
Untuk sel:
Pt,H2 (I bar)| H+(aq)|| Cu2+|Cu
Dengan reaksi :
H2 + Cu2+ 2H+ + Cu
Maka :
2
o aH
ΔG = ΔG + RT ln
a Cu 2
maka :
2
RT a
-nFE = -nFEo + ln H
nF a Cu 2
2
RT a
E = Eo - ln H
nF a Cu 2
E
Koefisien suhu dari potensial sel yakni dapat digunakan untuk menentukan
T
besaran-besaran termodinamika lain seperti ΔS dan ΔH.
Dari persamaan fundamental : dG = -SdT + VdP, maka :
G G
=-S atau S = -
T P T P
G G
=V atau V=
P T P T
G
ΔS = -
T P
(nFE )
ΔS = -
T P
E
ΔS = nF
T P
ΔH = ΔG + TΔS
E
ΔH = -nFE + nFT
T P
E
ΔH = -nF E T
T P
E
Harga (koefisien suhu) diperoleh melalui pengukuran E pada berbagai
T P
suhu dengan P tetap.
Sel elektrokimia atau lebih spesifik lagi sel galvanic diklasifikasikan sebagai
berikut :
3.6.1. Sel Kimia
Pada set ini kedua elektroda yang digunakan berbeda sehingga reaksi
elektrokimia pada kedua setengah-sel berbeda dan reaksi keseluruhannya
merupakan reaksi kimia. Sel kimia terdiri dad set kimia tanpa perpindahan
(without transference) clan set kimia denoan perpindahan (with transference).
Pada set ini, elektroda yang satu reversibel terhadap kation clan elevtroda lainnya
reversibel terhadzp anion dari elektrolit yang digunakan. Contoh :
1) Jika elektrolitnya larutan HCI, elektroda yang satu harus reversibel terhadap
ion H+ dan elektroda lainnya harus reversibel terhadap ion CI".
Pada sel ini terjadi kontak antara dua larutan dengan konsentrasi bcrbeda
atau ion-ion berbeda atau keduanya. Pada perbatasan kedua cairan/liquid
junction timbul beda potensial yang disebut liquid junction potential atau
potensial perbatasan, E j , yang tetjadi karena difusi ion-ion melalui perbatasan
kedua larutan. Pada proses ini in-ion yang cepat akan mendahului yang lambat
akibatnya terjadi pemisahan muatan yang menimbulkan beda potensial, Ej yang
terukur Bersama-sama dengan potensial elektroda sehingga potensial sel akan
sama dengan beda potensial kedua elektroda ditambah dengan potensial
junction.
Esel = Ekanan – Ekiri + Ej
Karena E j tidak dapat diukur, tersendiri (terpisah), maka sel kimia dengan
perpindahan tidak cocok untuk mengevaluasi besaran-besaran tcrmodinamika.
Kontribusi Ej pada potensiai sel dapat diperkecil dengan menggunakan
jembatan garam, laratan ienuh suatu garam, (misalnya yang biasa digunakan
adalah KCl) dalam agar-agar. Adanya jembatan garam menyebabkan adanya
pertemuan dua elektrolit ini menyebabkan munculnya potensial perbatasan di
kedua elektrolit, tapi potensial perbatasan antara larutan KCl pckat dalam agar -
agar dengan larutan encer pada setengah sel sangat kecil. Hal ini terjadi karena
larutan KCl yang digunakan pekat sehingga potensial perbatasan terutama
ditentukan oleh ion-ion dari larutan tersebut , sementara ion-ion dari larutan
encer memberikan kontribusi yang dapat diabaikan terhadap potensial
perbatasan. Meskipun demikian, untuk mengidentifikasi bagaimana
pengurangannya secara tepat sampai saat ini masih belum jelas. Hal ini diduga
karena kecepatan kation dua anion yang sama menyebabkan junction potential
antara kedua larutan dengan jembatan garam mempunyai arah yang berlawana n
sehingga saling meniadakan. Jika Ej ditiadakan, maka untuk sel yang semula
dituliskan seperti Zn|Zn 2+ Cd 2+ |Cd berubah menjadi : Zn|Zn 2+ ||Cd2+ |Cd
Zn Zn2+ + 2e
Cd2+ + 2e Cd
Zn + Cd 2+ Zn2+ + Cd
Persamaan Nernst-nya :
RT a 2
E = Eo - ln Zn
F aCd 2
RT m 2 2
= Eo - ln Zn Zn
F mCd 2 Cd 2
Pada 25 o C, E O = 0,359 V dan hasil percobaan untuk ZnCl 2 0,5 m, γ ± = 0,376
dan untuk CdSO 4 0,1 m, γ± = 0,137.
= 0,352 V
transfer materi dari satu bagian ke bagian lainnya. Pada sel ini yang berbeda
hanyalah konsentrasi, bukan jenis elektroda dan elektrolitnya.
= (x-x) V = 0 V
Sel konsentrasi terdiri dari sel konsentrasi elektroda dan sel konsentrasi
elektrolit.
Sel Konsentrasi Elektroda
Sel ini hanya berbeda pada konsentrasi elektrodanya saja dan tidak pada
jenis elektroda serta elektrolit yang digunakan. Pada sel ini proses pengaliran
electron disebabkan oleh perbedaan konsentrasi elektroda. Reaksi total
merupakan perpindahan materi elektroda yang satu ke elektroda yang lain.
Elektroda gas dan amalgam masuk ke dalam klasifikasi ini.
Sel konsentrasi elektroda yang terdiri dari elektroda gas dapat diilustrasikan
sebagai berikut :
Pt | H 2 (P 1 ) | HCl | H 2 (P 2 ) | Pt
H2 (P 1 ) 2H+ + 2e
2H+ + 2e H 2 (P 2 )
H2 (P 1 ) H2 (P 2 )
Reaksi keseluruhan yang terjadi bukan reaksi kimia melainkan hanya transfer
gas hydrogen dari tekanan satu ke hydrogen pada tekanan yang lain. E O untuk
sel di atas berharga nol, karena elektroda kanan dan kiri sama, tetapi E tidak
sama dengan nol.
RT P2
E=- ln
nF P1
0,0257 P2
=- ln
2 P1
Dapat dilihat bahwa transfer hydrogen akan terjadi spontan (E = 0) dari yang
bertekanan tinggi (P 1 ) ke tekanan yang lebih rendah (P 2 ).
Sel ini dapat dibuat dari amalgam dengan logam yang sama pada dua
konsentrasi yang berbeda dari. Sebagai contoh adalah sel :
Kanan : Pb 2+ + 2e → Pb(a 2 )
Kiri : Pb(a1 ) → Pb 2+ + 2e
Secara keseluruhan tak ada reaksi kimia yang terjadi, dan reaksi terdiri dari
transfer timbale dari suatu amalgam yang berkonsentrasi tertentu ke
konsentrasi lainnya. Disini E o = 0, dan potensial sel dengan demikian adalah :
RT a 2
E=- ln
nF a1
0,0257 a 2
=- ln
2 a1
RT
Dan potensial sel : E 1 = E o - ln a1
F
Dengan meninjau kembali sel yang sama tetapi dengan aktivitas HCl yang
berbeda: Pt|H 2 (g, 1 atm)|HCl(a 2 )|AgCl(s)|Ag(s)
RT
Potensial sel : E 1 = E o - ln a 2
F
HCl(a2 ) HCl(a1 )
Potensialnya adalah :
E = E1 – E2
RT RT
= E0 - ln a 1 – E0 + ln a2
F F
RT a
= - ln 1
F a2
RT a
E= ln 2
F a1
Pada sel ini akan terjadi perpindahan spontan HCl dari larutan yang
aktivitasnya tinggi ke aktivitas rendah, atau E akan positif jika a 2 > a1 .
Pada sel ini terdapat pertemuan dua cairan/larutan elektrolit yang sama
(jenisnya) dengan konsentrasi berbeda.
Reaksi :
t + H+ (a1 ) → t + H + (a2 )
Perubahan total :
t t
RT (a H ) 2 (a Cl ) 2
E wt =- ln
F (a H )1t (a Cl )1t
RT (a HCl ) 2
E wt = - t + ln
F (a HCl )1
RT (a ) 22
= - t+ ln
F (a )12
2t RT (a ) 2
= - ln
F (a )1
Potensial Sel :
RT (a Cl ) 2
E wt = E O - ln
F (a Cl )1
RT (a ) 2
E wt = - ln
F (a )1
E wt = E wot + E j
Ej = E wt - E wot
2t RT (a ) 22 RT (a ) 2
Ej = - ln 2
+ ln
F (a )1 F (a )1
RT (a ) 2
Ej = (1 – 2t + ) ln
F (a )1
Contoh:
Reaksi keseluruhan
RT
∆G = ∆G o + ln (a H xaCl )
nF
RT
E = Eo - ln (a H xaCl )
nF
Maka : m + = m - = m
RT RT
Dan E = E o - ln m 2 - ln
nF nF
v v
Dari defenisi : v v
2 RT RT
E = Eo - ln m - ln 2
nF nF
2 RT 2 RT
E = Eo - ln m - ln
nF nF
2 RT 2 RT
E + ln m = E o - ln
nF nF
Dengan mengukur E pada berbagai molalitas HCl, harga bagian kiri persamaan
dapat dihitung. Plot harga-harga tersebut terhadap m memberikan profil grafik
berikut.
ln = - Z+ IZ-I A I
Jadi :
2 RT 2 RT
E + ln m = E o - A I
nF nF
I = ½ mi Z i2 sehingga I m
2 RT 2 RT
E + ln m = E o + A m
nF nF
Dengan mengukur E pada berbagai molalitas HCl, harga ruas kiri persamaan di
2 RT
atas dapat dihitung. Plot harga E + ln m terhadap m memberikan profil
nF
grafik berikut.
Elektroda kiri : ½H 2 → H + + e
Elektroda kanan : AgCl (s) + e → Ag + Cl -
RT
E = Eo - ln (a H xaCl )
nF
n =1
RT
E = Eo - ln (a H xaCl )
F
RT RT
E = Eo - ln (mH mCl ) - ln ( H Cl )
nF nF
RT
E = Eo - ln (mH H mCl Cl )
nF
HA = H + + A -+
m H m A H A
Ka
mHA HA
mHA HA
mH H Ka
m A A
Dengan demikian
RT mHA HA mCl Cl
E = Eo - ln Ka
F m A A
RT mHA mCl RT HA Cl RT
E = Eo - ln - ln - ln Ka
F m A F
A
F
RT mHA mCl RT
E - Eo + ln = - RT ln HA Cl - ln Ka
F m A
F A F
F mHA mCl
(E - E o ) ln = - ln HA Cl - ln Ka
RT m
A A
m Cl- = m 3
m A- = m 2 + m H+
m HA = m 1 – m H+
Data yang kita peroleh melalui eksperimen adalah data E pada berbagai
konsentrasi NaCl. Pada konsentrasi elektrolit tertentu harga kuat ionis(I) juga
tertentu. Dengan demikian kita dapat plot ruas kiri terhadap kekuatan ion,
sebagai berikut:
Karena untuk larutan encer γ HA dapat dianggap 1 dan dengan DHLL yakni
ln = - A Z+ I dan ln = - A Z- I atau ln = - A Z+Z- I , pada I = 0
maka koefisien keaktifan ion-ionnya sama dengan satu dan suku pertama ruas
kanan = 0. ekstrapolasi terhadap I = 0 kita dapat intercept sebagai –ln Ka.
Dengan demikian harga Ka dapat ditentukan.
3.7.4. Pengukuran Ph
Aplikasi pengukuran emf yang sudah sangat luas digunakan adalah pada
pengukuran pH dari berbagai larutan. Ada dua elektroda yang akan diuraikan
pada penentuan pH ini yakni elektroda hidrogen dan elektroda gelas.
Untuk sel :
Reaksinya adalah:
potensial selnya :
RT a H X aCl
Ex = E jx + E o -
ln 1/ 2
F pH2
= E jx + E o -
RT
F
{ ln (a H ) x ln aCl ln p H 2
1/ 2
} (1)
jika larutan x diganti dengan larutan standar, S, maka potensial selnya :
Es = E js + E o -
RT
F
{ ln (a H ) s ln aCl ln p H 2
1/ 2
} (2)
RT
Ex - Es = E j,x – Ej,s - { ln (a H ) x ln( a H ) s }
F
Atau:
2,303RT
Ex - Es = E j,x – Ej,s - { log (a H ) x log( a H ) s } (3)
F
E x Es E j ,s E j , x
pH(x) – pH(s) = 1
(4)
2,303RTF 2,303RTF 1
E x Es
pH(x) = pH(s) + (5)
2,303RTF 1
E x Es
pH(x) = pH(s) + (6)
2,303RTF 1
4. KINETIKA KIMIA
4.1 Pendahuluan
Sebelum kita masuk ke dalam konsep laju reaksi, terlebih dahulu kita lihat
tentang laju konsumsi dan laju pembentukan.
Kajian kinetika berkaitan dengan laju perubahan konsentrai pereaksi dan
produk, data reaksi berlangsung, jumlah pereaksi berkurang sedangkan jumlah
produk meningkat. Dalam hal ini, terjadi pengkonsumsian pereaksi dan pembentukan
produk. Pengungkapan laju reaksi kimia bisa didasarkan pada pereaksi atau pada
produk. Sebagai ilustrasi, kita lihat reaksi antara pereaksi A dan B menghasilkan
produk Y yang dapat dipresentasikan oleh persamaan reaksi berikut :
A + 3B 2Y
Laju konsumsi A (vA) diberikan oleh
Dan, dari stoikiometri reaksi kita dapat dipahami bahwa laju berkurangnya A
adalah 1/3 kali laju berkurangnya B dan ½ kali laju terbetuknya produk Y :
Harus dibedakan antara tanpa subskrip (yang artinya laju reaksi)dan v dengan
subskrip ( dan yang lainnya, yang artinya laju konsumsi atau pembentukan).
Karena koefisien stoikiometri, dan akibatnya koefisien reaksi, bergantung pada cara
reaksi dituliskan (H2 + Br2 2HBr atau ½ H2 + ½ Br2 HBr) saat laju
reaksi diberikan, stoikiometri harus dinyatakan.
v1 k i HI 2
1
(4.14)
v k AB (4.17)
Satuan k adalah dm3mol-1s-1.
Tugas pertama dalam kerja kinetika suatu reaksi kimia adalah mengukur
laju pada berbagai kondisi eksperimen dan menentukan bagaimana laju
dipengaruhi oleh konsentrasi pereaksi, produk reaksi, dan oleh zat lain
(misalnya inhibitor) yang dapat mempengaruhi laju. Ada dua cara utama untuk
bekerja dengan masalah demikian yaitu metode integrasi dan metode
differensial.
Dalam cara integrasi, kita mulai dari suatu persamaan laju yang kita
pikirkan atau perkirakan dapat digunakan. Misalnya kita duga suatu reaksi
adalah orde 1 (coba-coba),
dC
kC (4.18)
dt
dengan C adalah konsentrasi pereaksi pereaksi. Dengan melakukan intehrasi,
kita mengubah hubungan di atas menjadi suatu ungkapan yang memberikan
hubungan antara C dan waktu k, dan kemudian membandingkan dengan variasi
eksperimen C dan t, jika kita peroleh hasil percocokan yang baik, dengan
prosedur grafik sederhana kita kemudian dapat menentukan tetapan laju. Jika
hasil pencocokan tidak baik, kita perlu coba persamaan laju lainnya sampai
diperoleh hasil pencocokan yang memuaskan.
Metode lainnya, yaitu metode deferensal, memanfaatkan persamaan laju
dalam bentuk deferensial, tak diintegralkan. Harga dC/dt diperoleh dari suatu
plot C terhadap t dengan mengambil slop (kemiringan atau tangent), dan secara
langsung dibandingkan dengan persamaan laju.
k a o x
dx
(4.19)
dt
x t
dx
0 ao x k 0 dt (4.20)
Ina o x 0 k t 0
x t
(4.21)
ao
In kt (4.22)
a0 x
x a o 1 e kt (4.23)
a o x ao e kt (4.24)
ao Slop = k
In
(a o x)
Gambar 4.1
Reaksi Orde 2
Ada dua kemungkinan reaksi orde 2 :
2A →Z (I)
A+B→ Z (II)
x
kdt (4.26.a)
a0 (a 0 x)
Atau
dx 1
kt (4.26.b)
( a 0 x) a0
1 dx dx
kdt
( a0 b0 )
0
( a x ( b0 x )
1 x dx dx tr
k d
( a0 b0 ) 0
( a0 x (b0 x ) 0
1
( a0 b0 )
ln( a0 x ) ln( b 0 x kt
t
0
1 b (a x)
ln 0 0 kt (4.28)
(a0 b0 ) a0 (b0 x)
Profil plot dari persamaan laju untuk tipe pertama (26.a) diberikan pada gambar
4.2
(a o x)
In
(bo x) Slop = k
Gambar 4.2
Waktu Paruh
Waktu paruh, t ½ , dari reaksi adalah waktu yang diperlukan agar
konsentrasi pereaksi mencapai jumlah separuhnya dari jumlah semula. Untuk
reaksi orde 1 :
a o x ao e kt (4.29)
ao
ln kt
ao ao x
saat k t 1 x 1 a o , sehingga
2 2
ao
ln kt
a
ao o
2
dan kita peroleh
ln 2
t1 (4.30)
2 k
Metode Diferensial
Metode ini pertama kali disarankan Van’t Hoff. Metode tersebut
menyangkut penentuan laju secara langsung melalui pengukuran slop-slop
(tangen-tangen) terhadap kurva eksperimen konsentrasi waktu dan
memasukkannya ke dalam persamaan dalam bentuk yang berbeda-beda.
Ide dari metode ini adalah sebagai berikut :
Laju suatu reaksi yang berorde n yang hanya melibatkan suatu jenis
pereaksi adalah proporsional terhadap pangkat n dari konsentrasinya,
dC
v kC n (4.31)
dt
ln v = ln k + ln Ct (4.32)
plot ln ln v terhadap ln C pada persamaan (4.32) memberikan slop n dan
intersept in v.
Slop = n
In v
In k
Gambar 4.3