Anda di halaman 1dari 166

PEMBAGIAN MATERI KELOMPOK

KIMIA FISIKA 2 SEMESTER GENAP 2017 2018


KELOMPOK MATERI
1 JENIS LARUTAN, KOMPOSISI LARUTAN,
TERMODINAMIKA LARUTAN, LARUTAN IDEAL,
TERMODINAMIKA PENCAMPURAN LARUTAN IDEAL
2 HUKUM HENRY, HUKUM DISTRIBUSI NERNST,
3 SIFAT KOLIGATIF,
4 LARUTAN NYATA (TAK IDEAL), PENENTUAN
KEAKTIFAN DAN KOEFISIEN KEAKTIFAN, SIFAT
KOLIGATIF LARUTAN NYATA,
5
6
7
8
1. LARUTAN NON ELEKTROLIT
1.1 Jenis-jenis Larutan
Larutan merupakan campuran homogen dari dua zat atau lebih. Suatu larutan
terdiri dari zat terlarut (solute) dan pelarut (solvent). Zat yang jumlahnya banyak
disebut pelarut, sementara zat yang jumlahnya sedikit disebut zat terlarut. Tetapi ini
tidak mutlak. Bisa saja dipilih zat yang lebih sedikit sebagai pelarut, tergantung
pada keperluannya, tetapi disini akan digunakan pengertian yang biasa digunakan
untuk pelarut dan terlarut.
Suatu larutan sudah pasti berfasa tunggal. Berdasarkan wujud dari pelarutnya,
suatu larutan dapat digolongkan ke dalam larutan padat, cair ataupun gas. Zat
terlarut dalam ketiga fasa larutan tersebut juga dapat berupa gas, cair ataupun padat.
Campuran gas selalu membentuk larutan karena semua gas dapat saling campur
dalam berbagai perbandingan.
Berdasarkan kemampuannya untuk meghantarkan arus listrik, larutan
digolongkan ke dalam larutan elektrolit dan larutan non elektrolit. Larutan elektrolit
adalah larutan yang dapat menghantarkan arus listrik yang selama penghantarannya
disertai dengan terjadinya reaksi redoks. Larutan non elektrolit adalah larutan yang
tidak dapat menghantarkan arus listrik. Berdasarkan pandangan termodinamika
larutan dapat dikelompokkan ke dalam larutan ideal dan tak ideal.
Pada bab ini akan dikaji termodinamika larutan ideal dan tak ideal dari larutan
non elektrolit, sifat koligatifnya, kelarutan terlarut melalui hokum Henry dan
distribusi terlarut dalam dua pelarut yang tidak salingmelarutkan (hukum distribusi
Nernst). Tetapi sebelumnya akan diuraikan terlebih dahulu cara menyatakan
komposisi zat dalam suatu larutan.

1.2 Komposisi Larutan


Setiap kajian kuantitatif tentang larutan memerlukan pengetahuan mengenai
komposisinya atau lebih khusus lagi mengenai konsentrasinya, yakni banyaknya zat
terlarut yang ada dalam suatu larutan. Orang kimia menggunakan cara yang berbeda
dalam menyatakan komposisi larutan, dengan kelebihan dan kekurangannya
masing-masing. Pada bagian ini akan diuraikan empat cara dalam menyatakan
komposisi larutan yakni fraksi mol, molaritas, molalitas dan persen berat. Selama
membicarakan larutan, kita nyatakan pelarut dengan huruf A.

Fraksi Mol (x)


Konsep ini sudah sering digunakan ketika mempelajari Kimia Fisika I, terutama
ketika membicarakan tekanan parsial gas dan pada pembuatan diagram fasa. Fraksi
mol komponen I dalam larutan didefinisikan sebagai :
ni
xi = (1.1)
n
ni merupakan jumlah mol komponen i dan n menyatakan jumlah mol semua
komponen dalam larutan. Fraksi mol tidak mempunyai satuan.

Kemolaran
Di buku-buku tertentu kita bisa lihat bahwa kemolaran merupakan bagian yang
lebih khusus dari konsentrasi. Konsentrasi komponen I dalam larutan, Ci
didefinisikan sebagai:
ni
Ci = (1.2)
V
dengan V menyatakan volume larutan. Dalam satuan SI, konsentrasi mempunyai
satuan mol/m3. berdasarkan konvensi, konsentrasi bisa juga dinyatakan dengan
menggunakan tanda kurung persegi, [.]. orang kimia biasanya menggunakan istilah
kemolaran, M yakni jumlah mol terlarut dalam satu liter larutan. Jadi kemolaran
secara khusus merupakan konsentrasi molar dengan satuan mol per liter atau mol
per dm3.

Kemolalan
Kemolalan i, mi didefinisikan sebagai jumlah mol i dalam sejumlah massa pelarut.
Jika suatu larutan menggandung nB mol terlarut B dan nA mol pelarut A, maka
massa pelarut, wA = nA MA, dengan MA menyatakan massa molar pelarut (bukan
massa molekul relative atau Mr-nya). Massa molekul relative tidak mempunyai
satuan sementara massa molar mempunyai satuan massa per mol. Satuan untuk MA
biasanya gram per mol atau kilogram per mol.
Kemolalan terlarut B dinyatakan dengan :
nB nB
mB = = (1.3)
WA nAM A
Orang kimia hampir selalu menggunakan satuan satuan mol per kilogram untuk
satuan kemolalan, dengan demikian maka satuan molar pelarut. MA yang cocok
adalah kg/mol. Pada persamaan (1.3) sebenarnya untuk kemolalan bisa saja
digunakan satuan mol per gram atau mmol per gram atau mmol per kilogram. Akan
tetapi umumnya kita menggunakan satuan mol per kilogram.
Persen massa
Persen massa suatu terlarut B dalam larutan didefinisikan dengan :
wB
% massa B = x100% (1.4)
w
Dengan wB massa terlarut B dan w massa total larutan
massa terlarut
% massa = x 100%
massa laru tan
massa terlarut
= x 100%
massa (terlarut  pelarut )

wB
Fraksi massa B dinyatakan dengan
w
Sekarang kita akan bandingkan kegunaannya. Persen massa mempunyai
keuntungan dalam hal massa molar terlarut yang tidak perlu diketahui. Keuntungan
lainnya, persen massa terlarut dalam larutan tidak dipengaruhi oleh suhu, karena
definisinya dinyatakan dalam bentuk massa. Fraksi mol umumnya tidak digunakan
untuk menyatakan konsentrasi larutan. Akan tetapi konsep ini sangat berguna
misalnya dalam menentukan tekanan parsial gas dan juga dalam membicarakan
tekanan uap dari larutan. Kemolaran merupakan satuan konsentrasi yang paling
umum digunakan. Keuntungannya adalah dalam membuatnya. Pada umumnya
lebih mudah untuk mengukur volum larutan dengan menggunakan labu ukur yang
telah dikalibrasi dengan teliti dibandingkan dengan menimbang pelarut.
Kerugiannya terutama adalah bahwa kemolaan bergantung pada suhu, karena V
merupakan fungsi T dan P. kerugian lainnya adalah melalui kemolaran tidak
terungkap banyaknya pelarut yang ada. Kemolalan, tidak bergantung pada suhu
karena didefinisikan sebagai perbandingan jumlah mol terlarut dengan berat pelarut.
Untuk alasa ini, kemolalan dipilih sebagai satuan konsentrasi dalam kajian yang
melibatkan perubahan suhu seperti dalam sifat koligatif larutan.

1.3. Termodinamika Larutan


1.3.1. Besaran Molar Parsial
Sifat-sifat suatu larutan bergantung pada suhu, tekanan dan komposisi larutan
tersebut. Dalam membicarakan sifat-sifat larutan perlu dipelajari besaran molar
parsialnya. Contoh yang paling sederhana untuk memahami konsep ini adalah
melalui besaran volum molar parsial.
Kita tinjau sejumlah air murni pada 298,16 K dan 1 atm. Kerapatan air pada
keadaan ini adalah ρ = 0,997 g cm-3. Seperti kita ketahui bahwa,
massa w massa
ρ=  atau V 
volum V 
Untuk mencari volum molar (volum suatu zat) dari data kerapatan, maka massa
yang digunakan adalah, massa molar, M, massa dari 1 mol zat tersebut. Untuk air
(H2O) massa molarnya adalah 18,0 g/mol, sehingga volum molar air murni, V* pada
298,16 K dan 1 atm adalah :
M air 18,0 g mol 1
V * air  
 air 0,997 g cm 3
= 18,1 cm3 mol-1
= 0,018 L mol-1
Jika kita tambahkan 1 mol air pada sejumlah air, maka volumnya akan bertambah
sebesar 0,018 liter. Peningkatan volum ini sesuai dengan volum molar air. Volum
suatu zat merupakan besaran ekstensif, akan tetapi volum molarnya adalah
bersaran intensif. Oleh karena itu berapapun jumlah air yang kita miliki, volum
molarnya pada 298,16 K dan 1 atm berharga sama, yakni 0,018 liter.
Hal yang berbeda akan terjadi jika kita memasukkan 1 mol (0,018 L) air pada
sejumlah besar etanol. Peningkatan volum yang terjadi hanya 0,014 liter. Volum
sebesar 0,014 liter ini merupakan volum molar parsial dan air dalam etanol pada
komposisi tertentu, yakni, volum dari 1 mol air dalam sejumlah besar etanol pada
komposisi tersebut. Demikian pula jika kita tinjau sejumlah besar etanol pada
298,16 K dan 1 atm, dengan kerapatan ρ = 0,785 g cm-3, maka kita tambahkan 1
mol etanol ke dalamnya, terjadi pertambahan volum sebesar 58,7 cm3 = 0,0587
liter, yakni sesuai dengan volum molar etanol pada kondisi tersebut. (Metanol = 46,1
g mol-1). Akan tetapi jika 1 mol etanol ini (0,0587 L) kita tambahkan pada sejumlah
besar air, peningkatan volum yang terjadi hanya 0,0542 liter. Jadi volum molar
parsial dari etanol pada komposisi tersebut adalah 0,0542 liter.
Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa volum total dari suatu larutan
yang mengandung dua komponen tidak dapat dituliskan sebagai penjumlahan dari
volum masing-masing komponen A dan B, jadi :
V ≠ VA + VB
Sebagai contoh jika 50,0 cm3 air dicampurkan dengan 50,0 cm3 etanol pada 200C
dan 1 atm, ternyata volum larutan yang diperoleh bukan 100 cm3 melainkan hanya
96,5 cm3 (lihat gambar 1.1). Perbedaan ini disebabkan oleh karena ada perbedaan
gaya antarmolekul dalam larutan dan dalam komponen murninya, dan adanya
perbedaan penataan molekul dalam larutan dan dalam komponen murninya yang
disebabkan oleh perbedaan ukuran dan bentuk molekul dari komponen yang
dicampurkan.

V(H2O)/cm3
V/cm3
75 50 25 0
100

99

98

97

96

0 25 50 75 100

Gambar 1.1.
Volum larutan yang terbentuk dari pencampuran sevolum etanol murni, Vet
dengan (100 cm3 – Vet) air murni pada 200C, 1 atm
(Dari Levine, Ira N,. (1995) Physical Chemistry. Fourth Edition. New York: McGraw-Hill Kogakusha)
Oleh karena volum molar parsial bergantung pada komposisi larutan, maka
volum molar parsial suatu komponen lalu didefinisikan sebagai perubahan volum
suatu larutan jika 1 mol komponen tersebut dilarutkan pada T dan P tetap ke dalam
sejumlah besar larutan dengan komposisi tertentu yang dengan penambahan
komponen tersebut komposisinya tidak berubah. Jadi jika kita ingin menentukan
volum molar etanol dalam 20% mol larutan etanol dalam air, maka kita harus
menambahkan 1 mol etanol ke dalam sejumlah besar larutan etanol 20% dan
perubahan volum yang terjadi merupakan volum molar.
Volum molar parsial komponen A, VA dalam setiap larutan merupakan
peningkatan volum larutan untuk 1 mol A yang ditambahkan pada T, P dan
komposisi tertentu. Karena V A merupakan perubahan volum yang disebabkan
perubahan jumlah A, nA pada T, P, dan jumlah B, nB yang tetap , maka volum
molar parsial A didefinisikan sebagai :
 V 
V A    (1.5)

 A  T , P , nB
n

Demikian pula halnya dengan volum molar parsial komponen B,


 V 
VB    (1.6)
 n B  T , P ,n A
Pada T dan P tetap, volum suatu larutan yang terdiri dari komponen A dan B
merupakan fungsi dari nA dan nB.
V = V (nA, nB) (1.7)
Jika sejumlah kecil A, dnA dan sejumlah B, dnB ditambahkan ke dalam larutan,
peningkatan volum larutan dinyatakan dengan diferensial dari persamaan (1.7).
 V   V 
dV =   dnA +   dnB (1.8)
 n A  T , P ,nB  n B  T , P ,n A
Subsitusi Persamaan (1.5) dan persamaan (1.6) ke dalam persamaan (1.8)
menghasilkan
dV = V A dnA + V B dnB = V dn
i
i i (1.9)

Berdasarkan persamaan (1.8) yang secara fisik berarti peningkatan volum larutan
tanpa terjadi perubahan dalam komposisinya (dengan demikian volum molar parsial
A dan B juga nilainya tertentu atau dengan kata lain V A tidak bergantung pada nA

dan V B tidak bergantung nB), maka diperoleh :

V = nA V A + nB V B = n V i i

Volum molar parsial dapat ditentukan melalui cara lereng. Untuk larutan yang
terdiri dari zat A dan zat B, V B dapat diukur dengan cara menyiapkan larutan-
larutan (pada T,P yang diinginkan) yang mengandung jumlah mol komponen A
yang sama dan tertentu nilainya (misalnya 1 kg) tetapi dengan jumlah nB yang
bervariasi. Lalu diukur volumenya kemudian alurkan V larutan, terhadap nB. Dari
 V 
defenisi V B , V B =   maka lereng atau kemiringan dari kurva V terhadap
 n B  T , P ,n A

nB disetiap komposisi merupakan V B pada komposisi tersebut.

Jika V B sudah ditentukan dengan cara lereng tadi, maka V A dapat ditentukan
dengan menggunakan persamaan (1.10).
 V  n B VB 
V A =  

 nA 
Penentuan besaran molar parsial melalui cara lereng ini agak kurang teliti
tetapi cukup memadai untuk survey yang cepat. Penentuan volum molar parsial
umumnya dilakukan dengan cara intercept. Suatu besaran yang disebut rata-rata
volum molar larutan, V m , didefinisikan sebagai volum larutan dibagi dengan
jumlah mol total dari semua komponen dalam larutan. Untuk larutan biner,
V
Vm = , sehingga V = V m (nA + nB) dan
n A  nB
 V   Vm 
V A    = V m + (nA + nB)   (1.11)
 n 
 n A  T , P ,nB  A  T , P , nB
Derivatif terhadap nA diubah menjadi derivatif terhadap fraksi mol xB .
 Vm  d Vm  x B 
  =  
 n 
 A  nB dx B  n A  nB

nB  x B  nB
Karena xB = , maka   = - dan dengan demikian
n A  nB  n A  B (n A  n B ) 2
Persamaan (1.11) menjadi :
nB d Vm
V A = Vm -
(n A  n B ) dx B

d Vm
V m = xB + VA (1.12)
dx B

Penerapan dari persamaan ini dapat dilihat pada gambar 1.2, yang mana rata-

rata volum molar larutan, V m dialurkan terhadap fraksi mol B, xB. Garis S1S2

dihubungkan dengan fraksi mol tertentu, xB. Intersept O1S1 pada xB=0 adalah V A,
volum molar parsial A pada komposisi tertentu, xB. Coba sendiri untuk
membuktikan bahwa intersept terhadap sumbu tegak lainnya, O2S2 adalah volum
molar B, V B.

S2

A1 A2

S1
O1 O2
0 X’b 1
Fraksi mol B, xb

Gambar 1.2
Penentuan volum molar dengan intersep

Volum molar parsial etanol dan air yang telah diukur pada berbagai rentang
konsentrasi larutan, dari x etanol = 0 sampai dengan x etanol = 1 dapat dilihat pada
grafik.

58
56 etanol
54
52

18 air
16
14

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1

Gambar 1.3. Volum molar parsial air dan etanol dalam larutan pada
berbagai komposisi

Perubahan volum pada proses pencampuran (pembentukan larutan) dari


komponen – komponen murninya pada T dan P tetap dinyatakan dengan :  Vmix =
V – V* , dengan V adalah volum larutan dan V* volum total komponen – komponen
murninya sebelum dicampur pada T dan P. Dari persamaan (1.10) dapat kita lihat
bahwa volum larutan yang terdiri dari komponen A dan B merupakan jumlah mol A
dikalikan volum molar parsial A ditambah jumlah mol B dikalikan volum molar
parsial B.
Besaran molar parsial untuk sifat – sifat termodinamika yang lainnya dapat
dipahami dengan cara yang sama seperti halnya volum. Karena sifat – sifat
ekstensif seperti V, U, S, H, A, dan G dapat dikaji sebagai fungsi dari T, P, n1, n2
dan seterusnya, maka untuk setiap sifat ekstensif J, diferensial totalnya adalah :

 J   J   J   J 
dJ =   dT +   dP +   dn1 +   dn2 + …
 T  P.n1 .n2  P  T .n1 .n2  n1  T .P..n1 .n2  n2  T .P..n1 .n2
Pada T, P tetap :
 J   J 
dJ =   dn1 +   dn2 + 
 n1  T .P..n1 .n2  n2  T .P..n1 .n2

 J 
= ∑   (i j) (1.13)
 ni  T .P..n1 ...

 J 
dengan   = Ji , besaran molar parsial dari komponen dengan
 ni  T .P..n1 ...

dJ = J 1 dn1 + J 2 dn2 + 
dan hasil integrasinya :
J = n1 J 1 + n2 J 2 +  = n J
i
i i (1.14)

Jika J = V , maka persamaan (1.14) untuk system dua komponen berubah menjadi
persamaan (1.10). Jika J adalah energi Gibbs, G, maka energi Gibbs larutan dua
komponen:
G = n1 G1 + n2 G 2

G = n1 1 + n2  2
1 = G i = energi Gibbs molar parsial zat 1
Perhatikan bahwa besaran molar parsial didefinisikan pada T,P dan nj  i tetap. Jadi
untuk energi Gibbs, besaran molar parsial komponen i, G i didefinisikan sebagai

 G 
G i =    1 = G i sama dengan  i . Akan tetapi untuk besaran
 ni  T .P..nj ii
termodinamika yang lain seperti U, A, dan H, ternyata besaran molar parsialnya
tidak sama dengan potensial kimianya.
Sebagai contoh untuk energi dalam U, besaran molar parsialnya didefinisikan
dengan :
 U 
U =   (1.15)

 i  T .P..nj ii
n

 U 
sementara  i =   (1.16)
 ni  S .V ..nj ii
(lihat lagi penurunannya di buku Kimia Fisika I)
Pada persamaan (1.16) S dan V yang tetap. Bandingkan dengan persamaan
(1.15) dimana variable yang tetap adalah T dan P. Dengan demikian maka  i  U i ,

kecuali untuk energi Gibbs  i = Gi .

1.3.2. Larutan Ideal


Konsep gas ideal yang telah diuraikan di buku Kimia Fisika I, memegang
peranan penting dalam termodinamika gas. Banyak hal dalam praktek yang
diperlakukan dengan pendekatan gas ideal, dan system yang menyimpang dari
keidealan diuraikan dengan cara membandingkannya dengan keadaan ideal. Konsep
yang mirip dengan keidealan gas digunakan sebagai pemandu dalam menguraikan
teori larutan. Gas yang ideal diartikan sebagai gas yang tidak mempunyai gaya
antaraksi antara partikel-partikel gasnya, sementara larutan ideal didefinisikan
sebagai larutan yang mempunyai antaraksi yang sama antara partikel-partikelnya.
Milsalnya untuk larutan dua komponen A dan B, B dan B, A dan A, semuanya
sama dalam larutan ideal, juga volum dan ukuran molekul masing-masing spesi
adalah sama.
Untuk larutan ideal, kecenderungan A untuk pergi ke fasa uap sebanding
dengan fraksi mol A,xA, dalam larutan:
PA = k x A (1.17)
dengan k tetapan kesebandingan. Jika xA = 1, maka PA = PoA, tekanan uap murni A.
Dengan demikian persamaan (1.17) berubah menjadi
PA = x A P oA (1.18)
Pada tahun 1886, Francois Raoult melaporkan data tekanan parsial
komponen-komponen dalam berbagai larutan yang mendekati persamaan (1.18),
yang kemudian dikenal sebagai hukum Raoult. Jadi suatu larutan yang ideal
didefinisikan sebagai larutan yang memenuhi hukum Raoult pada semua rentang
konsentrasi. Keidealan dalam larutan menghendaki keseragaman/kesamaan dalam
gaya antar molekul dari komponen-komponennya dan ini hanya dapat dicapai jika
komponen-komponen tersebut sangat mirip sifat-sifatnya. Sebagai contoh adalah
larutan system benzene-toluen yang kurva tekanan uap terhadap komposisinya
dapat dilihat pada gambar 1.4.

Gambar 1.4. Kurva tekanan uap terhadap komposisi


untuk system benzene-toluen
Jika komponen B ditambahkan pada A murni maka tekanan uap A akan turun,
dan persamaan (1.18) dapat dituliskan dalam bentuk penurunan tekanan uap
relatifnya:
PA  PA*
= xA – 1 = - xB (1.19)
PA*
Persamaan (1.17) di atas terutama berguna untuk larutan dengan zat terlarut
yang tak mudah menguap (involatil) dalam pelarut yang mudah menguap (volatil)
dan dimanfaatkan untuk menentukan massa molar terlarut.
Sekarang kita kaji implikasi hukum Raoult terhadap potensial kimia setiap
komponen dalam larutan, µi ≡ Ği. Pada kesetimbangan antara cairan (atau padatan)
dalam larutan dengan uapnya, maka µi = µi uap, dengan µi potensial kimia komponen
i dalam larutan dan µi uap potensial kimia komponen i dalam uapnya di atas larutan.
Jika uapnya diasumsikan sebagai campuran gas ideal maka:
Pi
 i uap =  io uap + RT ln (1.20)
P0
Dengan µoi,uao potensial kimia gas ideal pada keadaan standar pada suhu T dan
tekanan standar Po (1 atm) dan Pi tekanan parsial dari uap i di atas larutan.
Substitusikan persamaan (1.20) ke dalam persamaan µi = µi,uap menghasilkan :
Pi
 i =  io uap + RT ln (1.21)
P0
dan dengan menggunakan hokum Raoult, maka:
Pi
 i =  io uap + RT ln xi
P0
Pi
atau  i =  io uap + RT ln xi + RT ln (1.22)
P0

Jika cairannya i murni, maka xi = 1 dan Persamaan (1.22) menjadi :


Pi
 io =  io uap + RT ln (1.23)
P0
dengan µoi potensial kimia i cairan murninya
Substitusi Persamaan (1.23) ke dalam persamaan (1.22) menghasilkan :
µi = µoi + RT ln xi (1.24)
Dengan µi = potensial komponen i dalam larutan dengan fraksi mol xi pada T dan P
tertentu, µoi = potensial kimia komponen i murni. Pada suhu, T dan tekanan P
keadaan standar dari komponen i dalam larutan ideal adalah cairan atau padatan i
murni pada suhu T dan tekanan P dari larutan. Jadi µoi = µoi. Oleh karena itu
persamaan (1.24) menjadi :
µi = µoi + RT ln xi dengan µoi = µoi (1.25)
Jadi untuk larutan ideal, potensial kimia untuk setiap komponennya
memenuhi Persamaan (1.25). Ini merupakan definisi (dasar) termodinamika untuk
larutan ideal.

1.3.3 Termodinamika Pencampuran Larutan Ideal


Pada proses pencampuran sejumlah n1 , n2 ,.....ni mol cairan murni yang
asalnya terpisah membentuk larutan ideal pada T,P tertentu, dapat kita turunkan ∆G,
∆V, ∆S dan ∆H pencampurannya.
Energi Gibbs, G dari larutan ideal :
G   ni  i   ni  i (T , P )  RT  ni ln xi
i

Sementara energi Gibbs komponen-komponennya sebelum dicampurkan, pada T,P


tetap adalah :

Gunmix   ni Gi   ni  i (T , P)
i i

Gmix  G  Gunmix

 RT  ni ln xi (1.26)
Karena 0 < xi < 1, maka ln xi < 0 dan Gmix < 0, artinya proses pelarutan berlangsung
dengan spontan pada T,P tetap (isothermal, isobar).
Untuk menentukan S mix dan Vmix , sebaiknya ingat kembali persamaan

 G 
fundamental dG   SdT  VdP. Dari persamaan tersebut : s    dan
 T  P

 G 
V   . Dengan demikian :
 P T

 Gmix 
S mix   
 T  Pi ,ni

 Gmix 
dan Vmix   
 P T
Berdasarkan Persamaan (1.26) S mix   R  ni ln xi (1,27)

Karena ln xi negatif, maka ∆Smix untuk larutan ideal berharga positif, artinya system
dalam larutan menjadi semakin tidak teratur.
Untuk menentukan ∆Vmix, dan ∆Hmix kita dapat menggunakan persamaan
 G 
(1.26) dan (1.27). Karena Vmix    , maka untuk proses pencampuran :
 P  T .ni

 Gmix 
Vmix   
 P  T .ni
Untuk larutan ideal, dari persamaan (1.26) terlihat bahwa ∆Gmix bergantung pada T
dan fraksi mol tetapi tidak bergantung pada P. Oleh karena itu
 Gmix 
  berharga nol, sehingga
 P  T .ni
∆Vmix = 0 (1.28)
Jadi pada proses pembentukan larutan ideal dari komponen-komponennya
tidak terjadi perubahan volum. Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa dalam
larutan ideal selain antaraksi antar molekulnya sama, volumnya juga sama, sehingga
ketika dicampurkan tidak ada perubahan volum.
Karena antaraksi antar molekul pada larutan ideal adalaj sama, maka
diharapkan kalor pencampurannya akan berharga nol. Untuk itu kita gunakan
persamaan G  H  TS pada T tetap untuk menentukan ∆Hmix sehingga :
H mix  Gmix  TS mix

= RT  ni ln xi  RT  ni ln xi (1.29)
∆Hmix = 0
Jadi tidak ada kalor yang diserap maupun yang dilepaskan pada saat pembentukan
larutan ideal pada T,P tetap.

1.3.4.
Kebanyakan larutan bersifat tak ideal. Ada yang menyimpang secara positif,
ada juga yang menyimpang secara negatif dari hukum Raoult. Penyimpangan positif
dari hukum Raoult terjadi pada larutan yang tekanan uapnya lebih besar dari yang
dinyatakan hukum Raoult dan penyimpangan negatif terjadi pada larutan yang
tekanan uapnya lebih kecil daripada yang dinyatakan dengan hukum Raoult.
Penyimpangan positif dari hukum Raoult terjadi karena gaya tarik molekul
terlarut dan molekul pelarut dalam larutan lebih kecil daripada gaya tarik antara
molekul-molekul pelarut murninya. Akibatnya ada kecendrungan yang lebih besar
dari molekul-molekul tersebutr untuk berada di fasa uapnya. Hasilnya tekanan uap
parsial masing-masing di atas larutan lebih besar dari yang diramalkan dengan hukum
Raoult dan tekanan total dari larutan pun menjadi lebih besar dari yang diharapkan.
Sebaliknya penyimpangan negatif dari hukum Raoult terjadi karena gaya tarik
terlarut-pelarut lebih besar daripada gaya tarik terlarut-terlarut dan pelarut-pelarut.
Artinya kedua zat lebih senang berada di dalam larutannya. Akibatnya tekanan parsial
di atas larutan lebih kecil daripada yang dinyatakan dengan hukum Raoult sehingga
tekanan uap totalnya juga lebih kecil daripada yang diharapkan dan terjadi
penyimpangan negatif.
Contoh sistem yang menyimpang secara positif dari hukum Raoult adalah
sistem aseton – karbondisulfida (Gambar 1.5a.); dan contoh sistem yang menyimpang
secara negatif dari hukum Raoult adalah sistem aseton – kloroform (Gambar 1.5b.)

Gambar 1.5.
a) Penyimpangan positif Hukum Raoult
b) Penyimpangan negatif Hukum Raoult
(Dari Castellan,.1983.physical Chemestry. Third edition.Massachasetts:addison Wesley)

Ada hal yang menarik dari Gambar 1.5a. untuk lebih jelasnya gambar tersebut
akan diambil sebagian yakni untuk tekanan parsial karbondisulfidanya saja seperti
pada Gambar 1.6. berikut.
Gambar 1.6. Kurva tekanan parsial karbondisulfida terhadap komposisi untuk
sistem aseton – karbondisulfida
(Dari Castellan,.1983.physical Chemestry. Third edition.Massachasetts:addison Wesley)

Di daerah sekitar xCS 2  1, ketika CS2 sebagai pelarut, kurva tekanan

parsialnya mendekati garis hukum Raoult. Akan tetapi di daerah sekitar


xCS 2  0, ketika CS2 sebagai terlarut (ada dalam konsentrasi rendah) kurva tekanan

parsialnya linier :
PCS 2  k CS 2 xCS 2 (1.30)

Dengan k CS 2 suatu tetapan. Kemiringan garis di daerah ini berbeda dengan

kemiringan hukum Raoult. Zat terlarut memenuhi Hukum Henry (Persamaan 1.30)
dengan k CS 2 , tetapan hukum Henry untuk CS2. Jadi dari kurva tekanan uap tersebut

dapat dinyatakan bahwa :


PCS 2  xCS 2 sekitar x CS 2 = 1

P CS 2 = k CS 2 sekitar x CS 2 = 0

Nilai tetapan Henry untuk beberapa gas dalam air pada 298 K dapat dilihat pada
Tabel 1.1
Table 1.1
Tetapan Henry beberapa gas dalam air pada 250C
Gas k/(torr)
H2 5,54 x 107
He 1,12 x 108
Ar 2,80 x 107
N2 6,80 x 107
O2 3,27 x 107
CO2 1,24 x 106
H2S 4,27 x 105

Dalam beberapa buku dapat dilihat bahwa untuk k digunakan satuan tekanan-1,
seperti torr-1 atau atm-1. Untuk kasus seperti ini, Hukum Henry yang dinyatakan
1 1
dengan : Pj  k j x j . dapat diubah menjadi p j  x j . dengan k j  jadi k j yang
kj kj'

mempunyai satuan tekanan dapat diubah menjadi k j dengan satuan (tekanan)-1

sehingga xj (di kedua persamaan tersebut) tidak mempunyai satuan. Perlu diketahui
juga bahwa jika larutan ideal, maka k akan sama dengan P* dan hukum Henry maupn
hukum Raoult dapat menjadi sama.
Untuk system yang mengalami penyimpangan negative dari hukum Roult
seperti system aseton-kloroform (Gambar 1.5b) tekanan uapnya mempunyai nilai
minimal yang letaknya di bawah tekanan uap murni masing-masing komponen.
Untuk system ini garis hukum Henry terletak di bawah garis hukum Raoult.
Dari uraian di atas dapat dibedakan bahwa untuk larutan ideal encer, pelarut
mengikuti hukum Raoult : Pi  xi Pi  (Perhatikan hukum Raout jangan tertukar

dengan persamaan Dalton : Pi  xi P , dengan xi = fraksi mol komponen I di fasa uap,

P = tekanan total) dan terlarut mengikuti hukum Henry : Pj  k j x j . Dan perlu

dicatat bahwa pada hukum Raoult dan hukum Henry xi adalah fraksi mol pelarut
dalam larutan dan xj adalah fraksi mol terlarut juga dalam larutan. Hukum Henry
biasanya dihubungkan dengan kelarutan gas dalam cairan, akan tetapi sebenarnya
Hukum Henry dapat pula digunakan untuk larutan-larutan yang mengandung zat
terlarut bukan gas yang volatil.
Ada beberapa keterbatasan pada hukum Henry. Yang pertama adalah hukum
ini hanya berlaku untuk larutan yang encer, yang kedua adalah tidak ada reaksi kimia
antara zat terlarut dengan pelarut, karena jika ada reaksi kimia maka kelarutannya
dapat terlihat sangat besar. Contoh gas-gas seperti itu CO2, H2S, NH3, SO2 dan HCl
mempunyai kelarutan yang sangat besar dalam air karena terjadi reaksi dengan
pelarut. Jadi dalam hal-hal seperti ini hukum Henry tidak dapat lagi digunakan.

1.3 Hukum Distribusi Nernst


Untuk dua pelarut yang tidak saling melarutkan, seperti air dan
karbontetraklorida, ketika dicampurkan akan terbentuk dua fasa yang terpisah. Jika ke
dalamnya ditambahkan zat terlarut yang dapat larut dikedua fasa tersebut, seperti
iodium yang dapat larut dalam air dan CCl4, maka zat akan terdistribusi di kedua
pelarut (yang berbeda fasa) tersebut, sampai tercapai keadaan kesetimbangan. Pada
saat tersebut potensial kimia zat di fasa 1 sama dengan potensial kimianya di fasa 2,
1   2 .
Jika kedua larutan encer ideal, maka  i   io  RT ln xi , sehingga saat

kesetimbangan : 1o  RT ln x1   2o  RT ln x2

x2
Dan : RT ln  1o   2o (1.31)
x1

Karena 1o dan  2o tidak bergantung pada komposisi, maka pada T tetap,

x2
k (1.32)
x1
Dengan k koefisien distribusi atau koefisien partisi, yang harganya tidak bergantung
pada konsentrasi zat terlarut pada T yang sama. Jika sejumlah tertentu zat terlarut
sudah setimbang dalam dua fasa yang berbeda dan emudia ditambahkan lagi terlarut
kedalamnya, maka terlarut itu akan terdistribusi lagi dalam kedua pelarut sampai
diperoleh keadaan kesetimbangan baru yang konsentrasinya berbeda dengan
konsentrasi sebelum penambahan akan tetapi nilai perbandingan di kedua fasa
berharga tetap,
x2
k
x1
Jika larutan sangat encer, maka fraksi mol sebanding dengan kemolalan atau
kemolaran sehingga:
m2 c2
k' dan k"  (1.33)
m1 c1
Dengan k’ dan k” tidak bergantung pada Konsentrasi di kedua fasa. Persamaan (1.32)
pertama kali dikemukakan oleh Nersnt sehingga persamaan tersebut dikenal dengan
hukum distribusi Nersnt. Perlu dicatat bahwa hukum ini hanya berlaku bagi sepesi
molekul yang sama di kedua larutan: Jika terlarut terasosiasi menjadi ion-ionnya atau
molekul yang lebih sederhana atau jika terasosiasi membentuk molekul yang lebih
kompleks, maka hukum distribusi tidak dapat diterapkan pada Konsentrasi totalnya di
kedua fasa melainkan hanya pada Konsentrasi spesi yang sama yang ada dalam kedua
fasa. Jadi jika zat A terlarut dalam satu pelarut tanpa mengalami perubahan,
sementara dalam pelarut lain terjadi asosiasi dan terlarut, misalnya membentuk A2,
maka koefisien partisi untuk distribusi tidak lagi merupakan perbandingan
Konsentrasi total terlarut di kedua fasa melainkan Konsentrasi total terlarut di fasa
satu dibagi dengan Konsentrasi molekul A yang tidak terdisosiasi di fasa lainnya, jadi
dengan perbandingan Konsentrasi dari molekul terlarut yang massa molarnya sama,
dalam hal ini A di kedua pelarut.misalnya I2 dalam air dengan I2 dalam CCl4 bukan I2
dalam air dengan I- dalam CCl4.
Koefisien distribusi, seperti halnya tetapan-tetapan kesetimbangan lainnya
bergantung pada suhu. Sebagai contoh, k untuk distribusi asam benzoat di antara air
dan kloroform adalah 0,564 pada 10oC dan 0,442 pada 40 oC.
Hukum distribusi Nersnt ini terutama digunakan pada proses ekstraksi.
Ekstraksi memegang peranan penting baik di laboratorium maupun industri. Di
laboratorium ekstraksi seringkali dilakukan untuk menghilangkan atau memisahkan
zat terlarut dalam larutan dengan pelarut air yang diekstraksi dengan pelarut lain
seperti eter, kloroform, karbondisulfida atau benzene. Dalam proses ini penting untuk
diketahui berapa banyak pelarut dan berapa kali ekstraksi harus dilakukan agar
diperoleh derajat pemisahan yang diinginkan.
Jika zat terlarut terdistribusi diantara dua pelarut yang tidak saling melarutkan
dan zat terlarut maka dimungkinkan untuk menghitung jumlah terlarut yang dapat
diambil atau diekstraksi melalui sekian kali ekstraksi.

1.3.3 Termodinamika Pencampuran Larutan Ideal


Pada proses pencampuran sejumlah n1 , n2 ,.....ni mol cairan murni yang
asalnya terpisah membentuk larutan ideal pada T,P tertentu, dapat kita turunkan ∆G,
∆V, ∆S dan ∆H pencampurannya.
Energi Gibbs, G dari larutan ideal :
G   ni  i   ni  i (T , P )  RT  ni ln xi
i

Sementara energi Gibbs komponen-komponennya sebelum dicampurkan, pada T,P


tetap adalah :

Gunmix   ni Gi   ni  i (T , P)
i i

Gmix  G  Gunmix

 RT  ni ln xi (1.26)

Karena 0 < xi < 1, maka ln xi < 0 dan Gmix < 0, artinya proses pelarutan berlangsung
dengan spontan pada T,P tetap (isothermal, isobar).
Untuk menentukan S mix dan Vmix , sebaiknya ingat kembali persamaan

 G 
fundamental dG   SdT  VdP. Dari persamaan tersebut : s    dan
 T  P

 G 
V    . Dengan demikian :
 P  T

 Gmix 
S mix   
 T  Pi ,ni

 Gmix 
dan Vmix   
 P  T
Berdasarkan Persamaan (1.26) S mix   R  ni ln xi (1,27)

Karena ln xi negative, maka ∆Smix untuk larutan ideal berharga positif, artinya system
dalam larutan menjadi semakin tidak teratur.
Untuk menentukan ∆Vmix, dan ∆Hmix kita dapat menggunakan persamaan
 G 
(1.26) dan (1.27). Karena Vmix    , maka untuk proses pencampuran :
 P  T .ni

 Gmix 
Vmix   
 P  T .ni
Untuk larutan ideal, dari persamaan (1.26) terlihat bahwa ∆Gmix bergantung pada T
dan fraksi mol tetapi tidak bergantung pada P. Oleh karena itu
 Gmix 
  berharga nol, sehingga
 P  T .ni
∆Vmix = 0 (1.28)
Jadi pada proses pembentukan larutan ideal dari komponen-komponennya tidak
terjadi perubahan volum. Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa dalam larutan
ideal selain antaraksi antar molekulnya sama, volumnya juga sama, sehingga ketika
dicampurkan tidak ada perubahan volum.
Karena antaraksi antar molekul pada larutan ideal adalaj sama, maka diharapkan
kalor pencampurannya akan berharga nol. Untuk itu kita gunakan persamaan
G  H  TS pada T tetap untuk menentukan ∆Hmix sehingga :
H mix  Gmix  TS mix

= RT  ni ln xi  RT  ni ln xi (1.29)
∆Hmix = 0
Jadi tidak ada kalor yang diserap maupun yang dilepaskan pada saat pembentukan
larutan ideal pada T,P tetap.

1.3.4. Hukum Henry


Kebanyakan larutan bersifat tak ideal. Ada yang menyimpang secara positif,
ada juga yang menyimpang secara negatif dari hukum Raoult. Penyimpangan positif
dari hukum Raoult terjadi pada larutan yang tekanan uapnya lebih besar dari yang
dinyatakan hukum Raoult dan penyimpangan negatif terjadi pada larutan yang
tekanan uapnya lebih kecil daripada yang dinyatakan dengan hukum Raoult.
Penyimpangan positif dari hukum Raoult terjadi karena gaya tarik molekul
terlarut dan molekul pelarut dalam larutan lebih kecil daripada gaya tarik antara
molekul-molekul pelarut murninya. Akibatnya ada kecendrungan yang lebih besar
dari molekul-molekul tersebutr untuk berada di fasa uapnya. Hasilnya tekanan uap
parsial masing-masing di atas larutan lebih besar dari yang diramalkan dengan hukum
Raoult dan tekanan total dari larutan pun menjadi lebih besar dari yang diharapkan.
Sebaliknya penyimpangan negatif dari hukum Raoult terjadi karena gaya tarik
terlarut-pelarut lebih besar daripada gaya tarik terlarut-terlarut dan pelarut-pelarut.
Artinya kedua zat lebih senang berada di dalam larutannya. Akibatnya tekanan parsial
di atas larutan lebih kecil daripada yang dinyatakan dengan hukum Raoult sehingga
tekanan uap totalnya juga lebih kecil daripada yang diharapkan dan terjadi
penyimpangan negatif.
Contoh sistem yang menyimpang secara positif dari hukum Raoult adalah
sistem aseton – karbondisulfida (Gambar 1.5a.); dan contoh sistem yang menyimpang
secara negatif dari hukum Raoult adalah sistem aseton – kloroform (Gambar 1.5b.)

Gambar 1.5.
c) Penyimpangan positif Hukum Raoult
d) Penyimpangan negatif Hukum Raoult
(Dari Castellan,.1983.physical Chemestry. Third edition.Massachasetts:addison Wesley)

Ada hal yang menarik dari Gambar 1.5a. untuk lebih jelasnya gambar tersebut akan
diambil sebagian yakni untuk tekanan parsial karbondisulfidanya saja seperti pada
Gambar 1.6. berikut.
Gambar 1.6. Kurva tekanan parsial karbondisulfida terhadap komposisi untuk
sistem aseton – karbondisulfida
(Dari Castellan,.1983.physical Chemestry. Third edition.Massachasetts:addison Wesley)

Di daerah sekitar xCS 2  1, ketika CS2 sebagai pelarut, kurva tekanan parsialnya

mendekati garis hukum Raoult. Akan tetapi di daerah sekitar xCS 2  0, ketika CS2

sebagai terlarut (ada dalam konsentrasi rendah) kurva tekanan parsialnya linier :
PCS 2  k CS 2 xCS 2 (1.30)

Dengan k CS 2 suatu tetapan. Kemiringan garis di daerah ini berbeda dengan

kemiringan hukum Raoult. Zat terlarut memenuhi Hukum Henry (Persamaan 1.30)
dengan k CS 2 , tetapan hukum Henry untuk CS2. Jadi dari kurva tekanan uap tersebut

dapat dinyatakan bahwa :


PCS 2  xCS 2 sekitar x CS 2 = 1

P CS 2 = k CS 2 sekitar x CS 2 = 0
Nilai tetapan Henry untuk beberapa gas dalam air pada 298 K dapat dilihat pada
Tabel 1.1

Table 1.1
Tetapan Henry beberapa gas dalam air pada 250C
Gas k/(torr)
H2 5,54 x 107
He 1,12 x 108
Ar 2,80 x 107
N2 6,80 x 107
O2 3,27 x 107
CO2 1,24 x 106
H2S 4,27 x 105

Dalam beberapa buku dapat dilihat bahwa untuk k digunakan satuan tekanan-1,
seperti torr-1 atau atm-1. Untuk kasus seperti ini, Hukum Henry yang dinyatakan
1 1
dengan : Pj  k j x j . dapat diubah menjadi p j  x j . dengan k j  jadi k j yang
kj kj'

mempunyai satuan tekanan dapat diubah menjadi k j dengan satuan (tekanan)-1

sehingga xj (di kedua persamaan tersebut) tidak mempunyai satuan. Perlu diketahui
juga bahwa jika larutan ideal, maka k akan sama dengan P* dan hukum Henry maupn
hukum Raoult dapat menjadi sama.
Untuk system yang mengalami penyimpangan negative dari hukum Roult seperti
system aseton-kloroform (Gambar 1.5b) tekanan uapnya mempunyai nilai minimal
yang letaknya di bawah tekanan uap murni masing-masing komponen. Untuk system
ini garis hukum Henry terletak di bawah garis hukum Raoult.
Dari uraian di atas dapat dibedakan bahwa untuk larutan ideal encer,
pelarut mengikuti hukum Raoult : Pi  xi Pi  (Perhatikan hukum Raout jangan

tertukar dengan persamaan Dalton : Pi  xi P , dengan xi = fraksi mol komponen I di


fasa uap, P = tekanan total) dan terlarut mengikuti hukum Henry : Pj  k j x j . Dan

perlu dicatat bahwa pada hukum Raoult dan hukum Henry xi adalah fraksi mol
pelarut dalam larutan dan xj adalah fraksi mol terlarut juga dalam larutan. Hukum
Henry biasanya dihubungkan dengan kelarutan gas dalam cairan, akan tetapi
sebenarnya Hukum Henry dapat pula digunakan untuk larutan-larutan yang
mengandung zat terlarut bukan gas yang volatil.
Ada beberapa keterbatasan pada hukum Henry. Yang pertama adalah hukum
ini hanya berlaku untuk larutan yang encer, yang kedua adalah tidak ada reaksi kimia
antara zat terlarut dengan pelarut, karena jika ada reaksi kimia maka kelarutannya
dapat terlihat sangat besar. Contoh gas-gas seperti itu CO2, H2S, NH3, SO2 dan HCl
mempunyai kelarutan yang sangat besar dalam air karena terjadi reaksi dengan
pelarut. Jadi dalam hal-hal seperti ini hukum Henry tidak dapat lagi digunakan.

1.4 Hukum Distribusi Nernst


Untuk dua pelarut yang tidak saling melarutkan, seperti air dan
karbontetraklorida, ketika dicampurkan akan terbentuk dua fasa yang terpisah. Jika ke
dalamnya ditambahkan zat terlarut yang dapat larut dikedua fasa tersebut, seperti
iodium yang dapat larut dalam air dan CCl4, maka zat akan terdistribusi di kedua
pelarut (yang berbeda fasa) tersebut, sampai tercapai keadaan kesetimbangan. Pada
saat tersebut potensial kimia zat di fasa 1 sama dengan potensial kimianya di fasa 2,
1   2 .
Jika kedua larutan encer ideal, maka  i   io  RT ln xi , sehingga saat

kesetimbangan : 1o  RT ln x1   2o  RT ln x2

x2
Dan : RT ln  1o   2o (1.31)
x1

Karena 1o dan  2o tidak bergantung pada komposisi, maka pada T tetap,

x2
k (1.32)
x1
Dengan k koefisien distribusi atau koefisien partisi, yang harganya tidak bergantung
pada konsentrasi zat terlarut pada T yang sama. Jika sejumlah tertentu zat terlarut
sudah setimbang dalam dua fasa yang berbeda dan emudia ditambahkan lagi terlarut
kedalamnya, maka terlarut itu akan terdistribusi lagi dalam kedua pelarut sampai
diperoleh keadaan kesetimbangan baru yang konsentrasinya berbeda dengan
konsentrasi sebelum penambahan akan tetapi nilai perbandingan di kedua fasa
berharga tetap,
x2
k
x1
Jika larutan sangat encer, maka fraksi mol sebanding dengan kemolalan atau
kemolaran sehingga:
m2 c2
k' dan k"  (1.33)
m1 c1
Dengan k’ dan k” tidak bergantung pada Konsentrasi di kedua fasa. Persamaan (1.32)
pertama kali dikemukakan oleh Nersnt sehingga persamaan tersebut dikenal dengan
hukum distribusi Nersnt. Perlu dicatat bahwa hukum ini hanya berlaku bagi sepesi
molekul yang sama di kedua larutan: Jika terlarut terdissosiasi menjadi ion-ionnya
atau molekul yang lebih sederhana atau jika terasosiasi membentuk molekul yang
lebih kompleks, maka hukum distribusi tidak dapat diterapkan pada Konsentrasi
totalnya di kedua fasa melainkan hanya pada Konsentrasi spesi yang sama yang ada
dalam kedua fasa. Jadi jika zat A terlarut dalam satu pelarut tanpa mengalami
perubahan, sementara dalam pelarut lain terjadi asosiasi dan terlarut, misalnya
membentuk A2, maka koefisien partisi untuk distribusi tidak lagi merupakan
perbandingan Konsentrasi total terlarut di kedua fasa melainkan Konsentrasi total
terlarut di fasa satu dibagi dengan Konsentrasi molekul A yang tidak terdisosiasi di
fasa lainnya, jadi dengan perbandingan Konsentrasi dari molekul terlarut yang massa
molarnya sama, dalam hal ini A di kedua pelarut.misalnya I2 dalam air dengan I2
dalam CCl4 bukan I2 dalam air dengan I- dalam CCl4.
Koefisien distribusi, seperti halnya tetapan-tetapan kesetimbangan lainnya
bergantung pada suhu. Sebagai contoh, k untuk distribusi asam benzoat di antara air
dan kloroform adalah 0,564 pada 10oC dan 0,442 pada 40 oC.
Hukum distribusi Nersnt ini terutama digunakan pada proses ekstraksi.
Ekstraksi memegang peranan penting baik di laboratorium maupun industri. Di
laboratorium ekstraksi seringkali dilakukan untuk menghilangkan atau memisahkan
zat terlarut dalam larutan dengan pelarut air yang diekstraksi dengan pelarut lain
seperti eter, kloroform, karbondisulfida atau benzene. Dalam proses ini penting untuk
diketahui berapa banyak pelarut dan berapa kali ekstraksi harus dilakukan agar
diperoleh derajat pemisahan yang diinginkan.
Jika zat terlarut terdistribusi diantara dua pelarut yang tidak saling melarutkan
dan zat terlarut maka dimungkinkan untuk menghitung jumlah terlarut yang dapat
diambil atau diekstraksi melalui sekian kali ekstraksi.

1.5. Sifat Koligatif

Pada bagian ini akan diuraikan beberapa sifat umum dari larutan yakni
penurunan tekanan uap, kenaikan titik didih, penurunan titik beku, dan tekanan
osmosis. Sifat-sifat tersebut dikenal dengan sifat koligatif yakni sifat larutan
yang hanya bergantung pada jumlah zat terlarut relatif terhadap jumlah total zat
dan tidak bergantung pada jenis zat terlarut. Jadi larutan gula 0,01 m
mempunyai sifat koligatif yang sama dengan larutan urea 0,01 m akan sama
dengan larutan yang terdiri dari terlarut urea sebanyak 0,005 m dan gula 0,005
m. sebagian besar sifat larutan adalah sifat non koligatif, seperti viskositas,
kerapatan, daya hantar dan sebagainya.
Potensial kimia pelarut dalam suatu larutan ideal dinyatakan dengan
 A   * A  RT In x A , dengan  * A merupakan energi Gibbs molar pelarut cair
murni pada T, P tertentu. Oleh karena itu potensial kimia pelarut dalam larutan
berbeda dengan potensial kimia pelarut murninya. Perubahan ini menyebabkan
terjadinya perubahan sifat koligatif larutan.

1.5.1. Penurunan Tekanan Uap

Kita tinjau suatu larutan yang terdiri dari pelarut A dan zat terlarut sulit
menguap. Dengan adanya zat terlarut sulit-menguap dapat diartikan bahwa
konstribusi zat terlarut terhadap tekanan uap di atas larutan diabaikan. Hal ini
dipenuhi untuk hampir semua zat terlarut yang padat tetapi tidak untuk terlarut
gas dan cairan. Meskipun terlarut padat tertentu mempunyai tekanan uap yang
tidak dapat diabaikan (seperti naftalen yang tekanan uapnya 1 torr pada 53oC)
akan tetapi fraksi molnya dalam larutan umumnya kecil, sehingga dapat
diabaikan pula kontribusinya terhadap tekanan uap larutan. Oleh karena itu
tekanan uap total P semata-mata disebabkan oleh pelarut saja. Jika larutan ideal,
maka berlaku hukum Raoult :

P  PA  x A P * A
Karena x A  (1  x B ) maka persamaan diatas menjadi :

P  (1  xB ) P * A

Penataulangan persamaan terakhir menghasilkan :


P  P  P * A   xB P * A (1.37)

Dengan P merupakan penurunan tekanan uap dari pelarut murninya yang


sebanding dengan fraksi mol terlarut dalam larutan dan tidak tergantung pada
sifat dari zat terlarut B. Jika ada beberapa terlarut B,C,… maka :
1  x A  x B  xC  ..... dan P  x B  xC  ....PA* .
Persamaan (1.37) dapat digunakan untuk menghitung penurunan tekanan
uap dan tekanan uap larutan dengan terlarut sulit menguap; atau jika penurunan
tekanan uap diketahui, dapat dihitung massa molar dari zat terlarut yang sulit
menguap tersebut.

1.5.2. Kenaikan Titik Didih

Titik didih suatu cairan adalah suhu pada saat tekanan uapnya sama
dengan tekanan luar. Dari uraian sebelumnya diketahui bahwa adanya zat
terlarut yang involatil akan menurunkan tekanan uap larutan lebih rendah
daripada pelarut murninya, maka larutan akan mendidih pada suhu yang lebih
tinggi dari pada titik didih pelarut murninya, pada tekanan luar yang sama.
Kenaikan titik didih dapat dijelaskan dari potensial kimia pelarut dengan
adanya zat terlarut sulit-menguap. Dari Persamaan (1.24) dapat dilihat bahwa
potensial kimia pelarut dalam larutan lebih kecil daripada pelarut murninya
dengan perbedaan sebesar RT In x. Adanya perbedaan ini mengakibatkan titik
didihnya juga berbeda. Hal ini dapat dilihat pada Gambar (1.7). Pada gambar
tersebut nampak kurva potensial kimia pelarut (baik pelarut murni maupun
dalam larutan) pada berbagai suhu.

Gambar 1.7
Hubungan potensial kimia pelarut pada berbagai suhu
Kurva pada Gambar 1.7 tersebut diperoleh dengan menganalisis
persamaan fundamental untuk suatu sistem pada saat kesetimbangan. Untuk
sistem pada saat kesetimbangan, potensial kimia setiap komponen harus sama
di semua tempat dalam sistem tersebut. Jika terdapat beberapa fasa, potensial
kimia masing-masing zat harus sama disetiap fasa dimana zat tersebut ada.
Untuk sistem satu komponen, dengan membagi Persamaan
fundamental : dG = -Sdt + VdP dengan n diperoleh persamaan :

 
   S dT  V dP (1.38)
 
dengan S dan V merupakan entropi molar dan volum molarnya. Dari
Persamaan (1.38) diperoleh :
   
   S (1.39)
 T 
Turunan pada persamaan merupakan kemiringan kurva µ terhadap T.
Dari hukum ketiga termodinamika kita ketahui bahwa entropi suatu
zat selalu positif. Fakta ini jika dihubungkan dengan Persamaan (1.39)
  
memperlihatkan bahwa   selalu negatif. Jadi aluran µ terhadap T pada
 T  P
tekanan tetap merupakan suatu kurva dengan kemiringan negatif.
Untuk tiga fasa dari zat tunggal kita peroleh :
  Padat  
    S Padat (1.40.a)
 T  P

  Cair  
    S Cair (1.40.b)
 T  P

  Gas  
    S Gas (1.40.c)
 T  P
  
Untuk setiap suhu selalu berlaku S Gas  S Cair  S Padat . Oleh karena entropi
padatan kecil, maka seperti dapat dilihat di Gambar (1.7) kurva µ terhadap T
untuk padatan, mempunyai kemiringan yang sedikit negatif. Sementara kurva µ
terhadap T untuk cairan mempunyai kemiringan yang lebih negatif daripada
 
padatan karena S Cair  S Padat . Kurva µ terhadap T untuk gas, mempunyai
kemiringan sangat negatif karena entropi gas jauh lebih besar daripada cairan
dan padatan. Syarat termodinamika untuk kesetimbangan antar fasa pada
tekanan tetap dapat dengan mudah dilihat dari gambar tersebut. Saat pelelehan,
padatan dan cairan berada bersama–sama dalam keadaan setimbang, syaratnya
 padat   cair , yakni pada titik perpotongan dari kurva padat dan kurva cair.
Suhu yang sesuai dengan titik temu tersebut adalah Tf, titik lelehnya. Begitu
juga untuk cairan dan gas bersama-sama ada dalam kesetimbangan jika
 Cair   Gas dan ini berlangsung pada suhu Tb, titik didihnya di titik
perpotongan antara cair dan gas.
Garis-garis tebal pada Gambar 1.7 merupakan kurva µ terhadap T untuk
komponen pelarut murni. Oleh karena terlarut sulit menguap, maka terlarut
tersebut tidak ada pada fasa uapnya, sehingga kurva pelarut dalam fasa gas
sama dengan kurva pelarut murni dalam fasa gas. Sebaliknya, karena larutan
cair mengandung terlarut, maka potensial kimia pelarut dalam larutan lebih
rendah daripada potensial kimia pelarut murni. Kurva garis putus-putus
menunjukkan kurva potensial kimia pelarut di dalam larutan. Pada saat
mendidih terjadi kesetimbangan antara fasa pelarut di fasa cair dan di fasa uap.
Sehingga, potensial kimia pelarut di fasa cair sama dengan potensial kimia
untuk pelarut di fasa gas. Hal ini ditunjukkan oleh titik perpotongan kurva
potensial kimia untuk pelarut di fasa gas dan untuk pelarut di fasa cair dalam
larutan dengan titik didih Tb dan pelarut dalam larutan dengan titik didih Tb’.
Demikian pula halnya saat pembekuan terjadi kesetimbangan antara pelarut di
fasa padat dan fasa cair. Sehingga, potensial kimia pelarut di fasa padat sama
dengan potensial kimia pelarut di fasa cair. Dengan demikian, titik beku dari
pelarut murni dinyatakan dengan Tf dan titik beku larutan T’f . Kita lihat bahwa
titik didih larutan lebih tinggi daripada pelarut murninya, sementara titik
bekunya larutan lebih rendah daripada titik beku pelarut murninya. Dari gambar
juga nampak bahwa perubahan titik beku lebih besar daripada perubahan dalam
titik didih untuk suatu larutan dengan konsentrasi yang sama, karena
kemiringan yang tajam dari kurva µgas terhadap T.
Sekarang akan kita kaji penurunan rumus untuk kenaikan titik didih. Saat
suatu larutan mendidih, uap pelarut berada dalam kesetimbangan dengan pelarut
dalam larutannya. Syarat dari keadaan kesetimbangan tersebut adalah :
 A ( g )   A (l ) (1.41)

Jika larutannya ideal, maka  A (l )   * A (l )  RT In x A sehingga


Persamaan (1.41) berubah menjadi :
 A ( g )   * A (l )  RT In x A (1.42)

 A ( g )   * A (l )
dan In x A  (1.43)
RT

Untuk peristiwa penguapan zat (A) sebagai pelarut :


Pelarut A (cair) → Pelarut A (gas)

Maka energi Gibbs penguapannya adalah :


_____ ___ ___
GVap  G ( gas)  G (l )
_____
GVap   ( g )   (l ) (1.44)

Oleh karena dalam Persamaan (1.43) µA(g) merupakan potensial kimia


pelarut di fasa gas (murni, karena terlarut involatil) dan µA(l) merupakan
____
potensial kimia pelarut murni, maka  A ( g )   A (l )  G Vap , energi Gibbs
penguapan molar dari pelarut. Dengan demikian, Persamaan (1.43) dapat
ditulis:
_____
GVap
In x A  (1.45)
RT
Untuk melihat bagaimana pengaruh banyaknya zat terlarut terhadap suhu, maka
persamaan (1.45) diturunkan terhadap T, sehingga diperoleh :
  Gv  

d In x A 1   T  

 (1.46)
dT R T 
 
 P
Gv
 
T  H v
Dengan menggunakan Persamaan Gibbs-Helmholtz,  =- , pada
T T2
P (tekanan) tetap, maka Persamaan (1.46) menjadi :
d In x A H v
=-
dT RT 2
H v
Atau d In x A   dT (1.47)
RT 2
Dengan H v entalpi molar penguapan pelarut murninya.
Untuk memperoleh hubungan antara x dan T, kita integrasikan Persamaan
(1.47) di antara batas T dan To, yaitu titik didih larutan dan titik didih pelarut
murninya. Oleh karena itu fraksi mol pelarut adalah x pada T dan 1 pada To,
sehingga:
____
In x T
H v
In ld In x A  T  RT 2 dT
o

Jika diasumsikan bahwa ∆Hv bukan fungsi suhu, maka nilainya dapat
dikeluarkan dari integrasi sehingga diperoleh :
H v 1 1 
In x A    
R  T T0 

H v  T  T0 
   (1.48)
R  T T0 
Berdasarkan fakta bahwa T dan T0 tidak jauh berbeda, (hanya beberapa
derajat), maka diasumsikan T  T0 sehingga TT0  T02, dan
H v Tb
In x A   x 2 (1.49)
R To

dengan kenaikan titik didih, T b T  T0 (lihat batas atas dan bawah untuk
integrasi T).
Persamaan (1.49) memperlihatkan hubungan kenaikan titik didih, ∆T,
dengan konsentrasi pelarut, xA. tetapi biasanya, konsentrasi dinyatakan sebagai
konsentrasi zat terlarut, oleh karena itu Persamaan (1.50) dapat dinyatakan
dengan :
H v Tb
In x A  In (1  x B )   (1.50)
R To 2

Jika larutannya sangat encer, maka xB << 1, jadi digunakan pendekatan dengan
x B2 x B3
In1  x B    x B    A  x B . Deret ini dikenal sebagai teorema
2 3
Mclaurin karena xB <<, maka suku kedua dan seterusnya dapat diabaikan
terhadap suku pertama. Anda bias coba mengujinya dengan memasukkan nilai
yang kecil untuk xB (≤ 0,2)
Dengan demikian Persamaan (1.50) dapat ditata ulang menjadi :
RTo2
Tb  xb (1.51)
H v
Untuk mengubah fraksi mol xB ke dalam satuan konsentrasi lain yang lebih
praktis seperti kemolalan (mB), maka :
nB
xB 
n A  nB
nB
Jika larutan encer (nA >> nB), maka nA + nB  nA, sehingga xB  . Karena
nA

nB
mB  (Persamaan (1.50)), maka mol terlarut, nB=mBwA, sehingga
wA

m B wA w w
xB  karena n A  A , maka A  M A sehingga :
nA MA nA
xB = mBMA (1.52)
Substitusi Persamaan (1.52) ke dalam Persamaan (1.51) menghasilkan :
RT 2 M A
Tb  _____
mB (1.53)
H v
Karena bagian pertama dari ruas kanan berharga tetap untuk system tertentu,
dan diberi symbol Kb, maka :
Tb  K b mB (1.54)

RT 2 M A
Kb disebut tetapan kenaikan titik didih molal. Dengan K b  ____
, dan R
H V
tetapan gas, T0 = titik didih pelarut murni, MA massa molar pelarut dan ∆Hv
perubahan entalpi molar penguapan pelarut murni.

Tetapan Kb hanya bergantung pada sifat-sifat dari pelarut murni. Untuk air
dengan M = 18,0152 g/mol, T0 = 373,15 K dan ∆Hv = 40656 J/mol, maka :

Kb 
8,31441 J/K mol373,15 K 2 18,052 g/mol  *)
1000 g/kg 40656 J/mol 
= 0,51299 K kg/mol
*) Catatan : munculnya 1000 g/kg adalah untuk kebutuhan mengubah satuan MA dari
g/mol menjadi kg/mol
Oleh karena titik didih, T0 merupakan fungsi dari tekanan, maka Kb juga
merupakan fungsi dari tekanan. Pengaruhnya memang cukup kecil akan tetapi
untuk pengukuran yang lebih teliti, maka hal ini harus diperhitungkan.
Persamaan Clasius-Clayperon dapat digunakan untuk melihat pengaruh tekanan
terhadap titik didih suatu zat.
Keuntungan dari penggunaan molalitas, karena seperti yang sudah
diungkapkan di bagian 1.1, molalitas tidak bergantung pada suhu, artinya
molalitas harganya tidak berubah dengan perubahan suhu.
Gambar 1.8 memperlihatkan diagram fasa untuk air murni dan larutannya.
Pada gambar tersebut kurva dengan garis penuh adalah untuk air murni dan
kurva garis putus-putus untuk larutannya, dengan penambahan terlarut involatil.
Tekanan uap larutan turun pada berbagai suhu. Sebagai akibat titik didih larutan
pada 1 atm lebih besar daripada titik didih normal air, 373,15 K.

Gambar 1.8. Diagram fasa air murni dan larutannya

1.5.3. Penurunan Titik Beku

Kajian termodinamika untuk penurunan titik beku paralel dengan


kenaikan titik didih. Ketika suatu larutan membeku, jika diasumsikan padatan
yang terpisah membeku dari larutan hanya mengandung pelarut saja tanpa
terlarut maka kurva potensial kimia untuk padatan (baik padatan pelarut murni
maupun dalam larutannya) adalah sama (lihat Gambar 1.8.). Akibatnya, kurva
garis penuh untuk padatan dan kurva putus-putus untuk pelarut dalam larutan
sekarang berpotongan di suatu titik di bawah titik beku pelarut murni. Dengan
cara yang sama, seperti untuk kenaikan titik didih, cobalah turunkan sendiri
bahwa penurunan titik beku mempunyai rumusan :
Tf   K f m (1.55)

Dengan ∆Tf , penurunan titik beku, T-T0 dan Kf tetapan penurunan titik beku
RT 2 M A
molal dengan persamaan : K f  _____
(1.56)
H fus

T0 dalam hal ini adalah titik beku pelarut murni, dan ∆Hfus adalah kalor
pelelehan pelarut murni.
Gejala penurunan titik beku ini dapat pula dipahami dengan mempelajari
Gambar 1.8. Pada 1 atm, titik beku larutan merupakan titik perpotongan kurva
garis putus-putus (antara fasa padat dan cair) dengan garis horizontal pada 1
atm. Yang sangat menarik untuk diketahui adalah bahwa jika pada kenaikan
titik didih, zat terlarutnya harus involatil karena jika terlarutnya volatil maka
yang terjadi bukan kenaikan titik didih tapi penurunan titik didih, sementara itu
untuk penurunan titik beku tidak perlu ada pembatasan pelarut murni. Buktinya
etanol (titik didih 351,65 K) sering digunakan sebagai zat anti beku air, padahal
jika etanol dimasukkan dalam air, maka yang terjadi adalah titik didihnya akan
turun, sebagai contoh etanol 95 % volum dalam air (azeotrop) akan mendidih
pada suhu 351,3 K jika tekanan 1 atm, ada di bawah titik didih normal air,
373,15 K.
Persamaan (1.53) maupun (1.55) dapat digunakan untuk menentukan
massa molar terlarut dalam larutan ideal encer. Secara umum, percobaan
penurunan titik beku jauh lebih mudah dilakukan daripada kenaikan titik didih.
Dengan mengukur ∆Tf, wA, wB dan dengan mengetahui Kf pelarut, cukup untuk
menentukan MB. Dari Persamaan (1.55) nampak bahwa untuk larutan dengan m
tertentu, semakin besar nilai Kf, semakin negatif pula ∆Tf. Hal ini
meningkatkan kemudahan dan ketelitian pengukuran ∆Tf, akibatnya dipilih
larutan yang mempunyai nilai Kf yang besar. Pada Tabel (1.2) dapat dilihat
harga Kb dan Kf untuk beberapa pelarut yang umum digunakan.

Tabel 1.2. Harga Kb dan Kf Beberapa Pelarut


Pelarut Kb / K kg mol-1 Kf /K kg mol-1
Air 0,51 1,86
Benzen 2,53 5,12
Asam asetat 2,93 3,90

Dari tabel itu dapat dilihat pula bahwa tetapan Kb lebih kecil daripada Kf,
oleh karena itu untuk ketelitian percobaan lebih disukai untuk menentukan MB
melalui pengukuran/percobaan penurunan titik beku larutan daripada kenaikan
titik didih.

1.5.4. Tekanan Osmosis

Fenomena tekanan osmosis dapat dipahami dengan meninjau Gambar 1.9.

Gambar 1.9. Tekanan Osmosis

Pada Gambar (1.9) wadah bagian kiri diisi oleh pelarut murni (misal air),
sementara bagian kanan diisi oleh larutannya (misal larutan gula). Kedua bagian
dipisahkan oleh suatu membran semi permeabel (misal membran selofan), yakni
dalam hal ini membran yang permeabel terhadap molekul pelarut dan tidak
permeabel terhadap molekul-molekul terlarut. Jadi molekul air (baik dari larutan
maupun pelarut murni) dapat melewati membran tersebut, sedangkan molekul-
molekul gula tidak dapat melintasinya.
Awalnya permukaan cairan di kedua bagian sama tinggi, tetapi lama
kelamaan permukaan larutan gula (di bagian kanan) naik sampai ketinggian
tertentu tergantung konsentrasinya. Sesudah tercapai keadaan kesetimbangan,
permukaan cairan di bagian kanan tidak naik lagi. Perbedaan ketinggian pelarut
dan larutannya adalah sebesar h, dan tekanan hidrostatik yang dihasilkan karena
perbedaan ketinggian tersebut disebut dengan tekanan osmotik dari larutan, dan
peristiwanya disebut dengan peristiwa osmosis.
Masalahnya sekarang adalah menurunkan hubungan antara perbedaan
tekanan ini dengan konsentrasi larutan. Mengapa pada peristiwa osmosis,
perpindahan pelarut secara netto berlangsung dari arah pelarut murni ke dalam
larutannya dan bukan sebaliknya? Hal ini dapat ditinjau dari potensial kimia
pelarut di kedua fasa, yakni pelarut murni dan pada larutannya. Potensial kimia
pelarut murni dan potensial kimia pelarut dalam larutannya dapat dibandingkan
dengan menggunakan Persamaan (1.24)
 A   *A  RT In x A
dengan : A = Potensial kimia pelarut di dalam larutan

 *A = Potensial kimia pelarut murni


xA = Fraksi mol pelarut dalam larutan

Berdasarkan persamaan tersebut, karena 0 < xA < 1, maka In xA berharga


negatif, akibatnya  A <  *A . Jadi potensial kimia pelarut murni lebih besar
daripada potensial kimia pelarut dalam larutan. Oleh karena itu secara spontan
akan lebih banyak molekul air (pelarut) dari pelarut murni berpindah melalui
membran semipermeabel ke dalam larutannya, sampai tercapai keadaan
kesetimbangan.
Keadaan kesetimbangan tercapainya ketika laju aliran molekul dari pelarut
murni sama dengan laju aliran molekul pelarut dari larutannya. Hal ini diperoleh
melalui perbedaan tekanan hidrostatik di kedua sisi (bagian) wadah. Adanya
tekanan ekstra ini akan meningkatkan potensial kimia pelarut dalam larutannya.
 A sampai nilainya sama dengan potensial kimia pelarut dalam pelarut murni
 *A .
Untuk melihat sampai sejauh mana pengaruh tekanan terhadap potensial
kimia pada suhu tetap, kita tinjau kembali persamaan fundamental :
dG   S dT  VdP
Dari persamaan tersebut diperoleh :
 G 
  V
 P  T
Persamaan yang sama untuk perubahan potensial kimia komponen pelarut
murni dalam larutan karena perubahan tekanan pada suhu tetap :
  *   *
   V
 P  T
 *
Dengan V , volum molar pelarut murni. Peningkatan potensial kimia
dengan naiknya tekanan dari P (tekanan atmosfir) ke (P +  ) dapat dinyatakan
dengan :
 ( T , P  ) P   *

 d 
 (T , P )

P
V dP (1.57)

 *  *
 ( T , P  )   ( T , P )  V ( P   )  V ( P )
 *
 ( T , P  )   ( T , P )  V  (1.58)
 *
dengan asumsi V konstan, karena volum cairan relative tidak berubah oleh
berubahnya tekanan. Besaran  disebut dengan tekanan osmosis. Istilah
tekanan osmosis larutan menunjukkan tekanan yang harus diterapkan pada
larutan untuk meningkatkan potensial kimia pelarutnya sampai pada nilai
potensial kimia cairan pelarut murninya pada 1 atm.
Pada saat kesetimbangan harus dipenuhi criteria kesetimbangan, dalam hal
ini potensial kimia pelarut murni (pada suhu T di bawah tekanan P) sama
dengan potensial kimia pelarut dalam larutan (pada suhu T dibawah tekanan
P  ) :
 (*T , P )   (T , P  ) (1.59)

Oleh karena membran impermeabel terhadap terlarut, maka tidak ada hubungan
kesetimbangan untuk  terlarut. Subtitusi Persamaan (1.58) ke dalam
Persamaan (1.59) menghasilkan :
 *
 (*T , P )   (T , P  )  V (1.60)

Dengan menggunakan Persamaan (1.24) untuk ruas kanan pada Persamaa


(1.60) menghasilkan :
 *
 (*T , P )   * (T , P )
 RT In x  V  (1.61)

dengan x, fraksi mol pelarut dalam larutan


Untuk memperoleh hubungan antara konsentrasi terlarut (dalam satuan
kemolalan) dengan tekanan osmotik,  , maka kita gunakan pendekatan yang
sama seperti yang sudah diuraikan untuk kenaikab titik didih.
In x  In1  x B 
  x B ( untuk xB << 1) atau larutan encer
nB n
Kemudian x B   B (n A  n B ) . Dengan nA dan nB masing-masing
n A  nB n A
mol pelarut dan terlarut. Persamaan (1.59) dengan demikian menjadi :
 *
 V  RT x B

n 
 RT  B  (1.62)
 nA 
RT n B
  *
V nA
nB
 RT
V
 *
Dengan mengasumsikan volume pelarut = n1 V sama dengan volum larutan
untuk larutan encer, maka :
  CRT atau   MRT (1.63)
dengan C dan M masing-masing konsentrasi dan kemolalan larutan. Konsentrasi
C dapat diganti dengan kemolaran, M jika satuan yang digunakan mol per liter.
Pada Persamaan (1.63) digunakan satuan konsentrasi dalam molaritas karena
pengukuran tekanan osmotik biasanya dilangsungkan pada suhu tetap. Untuk
larutan yang encer dengan pelarut air, kemolaran dan kemolalan dapat dianggap
sama. Perlu dicatat pula berdasarkan asumsi-asumsi yang digunakan pada
penurunannya, Persamaan (1.63) hanya berlaku untuk larutan ideal encer.
Sama halnya seperti rumusan-rumusan sifat koligatif lainnya, Persamaan
(1.63) juga dapat digunakan untuk menentukan massa molar telarut dari
pengukuran tekanan osmotik larutannya. Jika wB, massa terlarut dengan massa
molar MB, dilarutkan dalam sevolum larutan V, maka :
wB RT
 atau
M BV
wB RT
MB  (1.64)
V

Larutan yang sama, mempunyai titik beku = - 0,0006oC. Berdasarkan


contoh soal dan fakta tentang titik beku untuk larutan yang sama, terlihat bahwa
pengukuran tekanan osmotik merupakan cara yang lebih sensitid dalam
menentukan massa molar terlarut dibandingkan cara penurunan titik beku,
karena ketinggian 77,8 mm lebih mudah diukur daripada suhu – 0,0006oC.
Osmosis memegang peranan penting dalam sistem kimia dan sistem
biologi. Beberapa contoh akan dibahas secara sepintas. Dua larutan dikatakan
isotonik jika tekanan osmosisnya sama. Jika dua larutan mempunyai tekana
osmotik yang berbeda, larutan yang lebih pekat disebut hipertonik dan larutan
yang lebih encer disebur hipotonik. Untuk mempelajari kandungan atau isi dari
sel darah merah yan g diliputi membran semipermeabel maka para ahli
biokimia menggunakan suatu cara yang disebut dengan hemolisis. Pada proses
ini sel darah merah dimasukkan ke dalam larutan hipertonik. Hal ini akan
mengakibatkan air dari larutan hipotonik tadi masuk ke dalam sel. Sel akan
menggembung dan bahkan pecah, dengan mengeluarkan hemoglobin dan
molekul-molekul protein lainnya yang terdapat dalam sel darah merah.
Sebaliknya jika sel dimasukkan ke dalam larutan yang hipertonik, maka air
dalam sel akan keluar dan masuk ke dalam larutan yang hipertonik tadi melalui
peristiwa osmosis. Proses terakhir ini disebut dengan krenasi yang dapat
menyebabkan sel mengerut dan kehilangan fungsinya. Oleh karena itu,
makanan yang dimasukkan melalui pembuluh darah harus dilengkapi dengan
garam yang isotonik dengan darah. Terapi oral rehidrasi untuk anak-anak yang
mengalami diare merupakan penerapan lain dari konsep ini.
Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, jika tekanan sebesar  diterapkan
pada larutan yang dipisahkan dengan pelarut murninya oleh membran
semipermeabel, maka tercapai keadaan kesetimbangan antara larutan dan pelarut
murni. Jika tekanan pada larutan kurang (lebih kecil) dari pada P   , maka 
pelarut dalam larutan lebih kecil daripada pelarut murninya dan secara netto akan ada
aliran pelarut dari pelarut murni ke dalam larutannya, yang prosesnya disebut dengan
osmosis. Akan tetapi jika tekanan pada larutan dinaikkan melebihi P   , maka 
pelarut dalam larutan lebih besar daripada  pelarut dalam pelarut murni, maka
secara netto akan ada aliran pelarut dari dalam larutan ke dalam pelarut murninya.
Fenomena ini disebut dengan osmosis balik. Osmosis balik dapat digunakan untuk
desalinasi air laut. Dalam hal ini diperlukan membran yang hampir semipermeabel
terhadap ion-ion garam, cukup kuat untuk menahan pecahan tekanan dan permeable
terhadap air.

1.6 Larutan Nyata (Tak Ideal)


Pada umumnya larutan bersifat tak ideal. Masalah yang muncul ketika
membicarakan larutan tak ideal adalah bagaimana menyatakan potensial kimia untuk
komponen-komponen pelarut dan terlarut dalam larutan tersebut. Hal ini penting
mengingat potensial kimia merupakan kunci dari termodinamika. Banyak sifat-sifat
termodinamika dapat diturunkan dari µi.
Untuk larutan ideal atau larutan cair atau padat encer non elektrolit potensial
kimia setiap komponen dinyatakan dengan :

 iid   io  RT ln xi (1.65)

Dengan  io potensial kimia komponen I pada keadaan standar, dan x i fraksi mol i
dalam larutan.
Komponen-komponen pada larutan tak ideal dibicarakan sifatnya berdasarkan
penyimpangannyan dari larutan ideal. Untuk memudahkan membandingkan sifat
tersebut, maka dipilih suatu pernyataan mengenai potensial kimia tak ideal  io dalam
bentuk yang sangat mirip dengan potensial kimia ideal seperti pada persamaan (1.65)
di atas. Untuk tiap komponen i dengan  io . untuk itu didefinisikan keaktifan i, ai
dalam setiap larutan nonelektrolit tak ideal melalui rumusan :
 i   io  RT ln ai (1.66)

Berdasarkan persamaan (1.66) keaktifan menggantikan faksi mol xi pada  i


pada larutan tak ideal. Dari persamaan (1.65) dan (1.66) dapat dilihat bahwa ai = xi
untuk larutan ideal atau larutan encer ideal. Jika komponen i dalam larutan ada dalam
keadaan standar maka  i   i0 dan dari persamaan (1.66), pada keadaan tersebut ai

sama dengan satu (a io = 1), jadi pada keadaan standar ai = 1.


Selisih atau perbedaan antara potensial kimia larutan nyata pada persamaan
(1.66), dan larutan ideal pada persamaan (1.65) adalah :
RT ln ai – RT ln xi = RT ln (ai/xi)
Jadi perbandingan ai/xi merupakan suatu ukuran penyimpangan dari prilaku ideal.
Oleh karena itu didefinisikan koefisien keaktifan komponen i, γi sebagai γ = ai/xi
sehingga
ai = γixi (1.67)
Untuk mlengkapi definisi dari ai dan γ (persamaan 1.66 dan 1.67), kita harus
menyatakan kadaan standar dari masing-masing komponen larutan. Ada dua konvensi
mengenai standar yang digunakan, yakni :
konvensi I. Untuk suatu larutan yang fraksi mol semua komponen-komponennya
dapat bevariasi dalam rentang yang cukup tinggi, biasanya digunakan konvensi
I.Kasus yang paling umum adalah larutan dari dua buah cairan atau lebih (misal : air
dengan etanol). Keadaan standar berdasarkan konvensi I untuk setiap komponen I
dalam larutan diambil cairan murni i pada suhu dan tekanan larutan.
 Io.i   i* T , P  (1.68)
dengan subskrip I menyatakan pemilihan keadaaan standar dengan konvensi I, tanda
derajat menunjukkan keadaan standar dan tanda bintang menyatakan zat murninya.
Konvensi I sama dengan konvensi yang digunakan untuk menyatakan keadaan
standar larutan ideal (lihat bagian 1.4).
 iid   io  RT ln xi

Keadaan standar : i murni, maka xi = 1, ln xi = 0,  id =  io


Untuk larutan nyata :
 i   Io,i  RT ln  I .i xi (1.69)

Pada keadaan standar :  i   Io.i , ln  I .i xi = 0,  I .i xi =1

i murni, maka xi =1, jika demikian maka  I ,i = 1. Untuk larutan ideal :  I ,i xi= 1

Untuk larutan tak ideal, penyimpangan  I ,i dari 1 merupakan ukuran

penyimpangan sifat larutan dari sifat larutan ideal.


Berdasarkan persamaan (1.68) dan (1.69)
 i   I*,i  RT ln  I .i xi (1.70)

Ketika xi mendekati pada T,P tetap, potensial kimia  i mendekati karena larutan
menjadi I murni. Karena itu limit xi → 1 pada persamaan 1.68 adalah
 i   I*,i  RT ln  I .i xi atau ln  I ,i  0 dan ln  I ,i  1

 I ,i →1 ketika xi→1 (1.71)

Jadi koefisien keaktifan I (berdasarkan konvensi I) menuju 1 ketika larutan mendekati


murni
Konvensi II. Konvensi II digunakan jika kita ingin memperlakukan komponen
larutan pelarut berbeda dengan komponen lainnya terlarut. Kasus umum adalah
larutan dari padatan atau gas dalam pelarut cair.
Keadaan standar konvensi II dari pelarut adalah cairan murni A pada T dan P
larutan. Dengan  IIo , A   *A T , P  maka persamaan (1.69) menjadi
 A   *A  RT ln  II , A x A . dengan mengambil limit dari persamaan ketika kita

peroleh lihat pada persamaan (1.71), jadi :


 IIo , A   *A T , P ,  II , A  1 ketika xA→ 1 (1.72)

Untuk setiap pelarut i  A, konvensi II memilih keadaan standar sedemikian rupa


dengan menuju pada limit pengenceran tak hingga :
 II ,i  1 ketika xA→ 1 (1.73)

Perhatikan bahwa limit pada persamaan (1.73) yang diambil ketika fraksi mol
pelarut, x A menuju 1 (dan dengan demikian xi  0 ) sangat berbeda dari persamaan

(1.71), dimana limit yang diambil adalah ketika xi  1 . kita pilih keadaan standar
konvensi II yang konsisten dengan persamaan (1.72) sebagai berikut : dengan
mengambil  i pada persamaan (1.64)sama dengan  io dan dengan menggunakan

definisi (1.65) maka kita peroleh 0 = RT ln  i xi sehingga  II ,i xi harus sama 1 dengan

pada keadaan standar. Ketika xA mendekati 1 dan fraksi mol terlarut kecil, maka
dengn persamaan (1.73) koefisien aktifitas  II ,i mendekati 1. kita pilih keadaan

standar untuk setiap pelarut sebagai keadaan fiktif hipotesis sebagai berikut. Jika zat
terlarut berupa gas atau padat, pemilihan keadaan standar didasarkan pada postulat :
Jika xi→0 atau xA →1,  2  1
ai =  i xi  ai  xi
Pada larutan yang sangat encer : keaktifan  konsentrasi (atau xi)
Dalam keadaan standar ai = 1
xi→0, ai = xi
ai = 1 jika xi = 1
Jadi keadaan standar bagi zat terlarut dalam larutan diambil larutan dengan
konsentrasi (xi = 1) yang sifat-sifatnya seperti larutan pada pengenceran tak hingga
yang sifarnya seperti larutan ideal. Ini adalah larutan fiktif tidak ada.
Koefisien aktifitas perlu ditentukan karena dengan diketahuinya koefisien
aktifitas, maka dapat diketahui poten sial kimianya  i Dari potensial kimia, sifat-

sifat termodinamika larutan dapat ditentukan .

Penentuan keaktifan dan koefisien keaktifan


Koefisien keaktifan biasa ditentukan dari data pada keseimbangan fasa, yang
paling umum adalah dari pengukuran tekanan uapnya.
Konvensi I
Untuk mengukur keaktifan a I ,i dan koefisien keaktifan dengan menggunakan

konvensi I sebagai standar, dengn menggunkann data tekanan uap kita gunakan
nilainya. :
Pi = aI,i P *i (1.74)

Pi
Dengan demikian a I ,i  pada ekanan uap parsial i di atas larutan tekanan uap
Pi *
murni I pada suhu larutan. Pi dapat pula ditentukan jika komposisi di fasa uap dan
tekanan total uap P. diketahui pada suhu tertentu Pi * berharga tetap. Sehingga dari
persamaan (1.72) dapat dilihat bahwa keaktifan suatu zat dalam larutan sebanding
dengan tekanan parsial Pi dalam larutan .
Pi   I ,i xi , I Pi * atau xi ,v P   I ,i xi , I Pi * (1.75)

dengan xi ,v fraksi mol I di fasa uap, xi ,l fraksi mol i di fasa larutan, P tekanan uap

dari larutan. Untuk larutan dua komponen uap dapat diperoleh dengan
mengkondensasikan uap tersebut dan menganalisisnya.

Konvensi II
Persamaan Gibbs-Duhem
Koefisien keaktifan terlarut yang tidak menguap dapat dicari dari data tekanan uap
dengan menggunakan persamaan Gibbs-Duhem. Diferensial total dari persamaan
G= n 
i
i i , kita peroleh perubahan G dari larutan.

dG  d  ni  i   d ni  i    nd i   i dni    ni d i    i dni


i i i i

Dengan menggunakan persamaan :


dG   SdT  VdP    i dni diperoleh
i

 n d
i
i i  SdT  VdP  0 (1.76)

Persaman (1.76) adalah persamaan Gibbs-Duhem. Penerapannya yang paling sering


dilakukan adalah pada proses dengan kondisi T dan P tetap, sehingga persamaan
(1.76) menjadi :

 n d
i
i i 0 (1.77)

Koefisien Keaktifan terlarut nonvolatile


Untuk larutan dengan terlarut padat dalam cairan, tekanan uap terlarut sangat
kecil dan tidak diukur, sehingga tidak dapat digunakan untuk mencari koefisien
keaktifan terlarut. Pengukuran tekanan uap sebagai fungsi dari komposisi
menghasilkan PA, tekanan parsial pelarut. Dengan demikian koefisien keaktifan
pelarut  A pada berbagai komposisi dapat dihitung. Koefisien keaktifan terlarut
kemudian dicari dengan menggunakan persamaan Gibbs-Duhem.
Untuk larutan dua komponen, yakni pelarut A dengan terlarut B persamaan
Gibbs-Duhem pada T,P tetap (persamaan 1.77):
n A d A  nB d B  0 (1.78)
Pembagian persamaan (1.78) dengan (nA + nB) menghasilkan :
x A d A  x B d B  0 (1.79)
Berdasarkan persamaan (1.69) :
 A   Ao  RT ln  A  RT ln x A
dx A
Dan pada T,P tetap: d A  RTd ln  A  RT (ingat kembali bahwa
xA

dx A
d ln x A  )
xA
Demikian pula halnya dengan B :
dx B
d B  RTd ln  B  RT
xB
Subtitusi d A dan d B kedalam persamaan (1.79) dan kemudian membaginya
dengan RT menghasilkan :
x A d ln  A  dx A  x B d ln B  dx B  0
Karena xA + xB = 1, maka dx A  dx B  0 dan persamaan terakhir menjadi

x 
: d ln  B    A  d ln  A (1.80)
 xB 
Integrasi di antara 1 dan 2 dengan memilih konvensi II, diperoleh :
2
xA
ln  II , B , 2  ln  II , B1    d ln  II , A (1.81)
1
1  x A

Jika diambil keadaan 1 sebagai A murni,  II , B ,1  1 (persamaan 1.81) dan ln  II , B ,1  0

xA
dan kemudian alurkan terhadap ln  II , A . Luas di bawah kurva dari x A = 1
1  xA

xA
sampai x A, 2 merupakan - ln  II , B , 2 . Tapi karena  ∞ ketika x A  1, luas
1  xA
daerah di bawah kurva akan tak hingga. Untuk mencegah hal tersebut, mka integrasi
jangan pada x A  1 tapi pada x A  1  C , dimana C cukup kecil untuk  II , B tetap

berharga 1 pada x A  1  C .

Koefisien keaktifan pada kemolalan dan konsentrasi molar


Sampai sejauh ini, komposisi larutan yang dinyatakan dengan menggunakan

fraksi mol dan potensial kimia terlarut I dinyatakan dengan :

 i   o II .i  RT ln  II .i xi dengan  II .B.2 1 (1.81)

dengan A sebagai pelarut. Akan tetapi, untuk larutan padat atau gas dalam cairan,

potensial kimia terlarut biasanya dinyatakan dalam bentuk kemolalan atau kemolaran.

ni
Kemolalan terlarut I dinyatakan dengan mi  (Persamaan 1.3).
nAM A

xi
Pembagian pembilang dan penyebut dengan n total menghasilkan mi  dan
xAM A

xi  mi x A M A dengan demikian pernyataan untuk μi menjadi :

 i   o II .i  RT ln  II .i mi x A M A m o / m o 

 i   o II .i  RT ln M A m o  RT ln x A II .i mi / m o  (1.82)

dengan mo didefenisikan sebagai mo≡1 mol/kg. Kebutuhan mengalikan dan membagi

logaritma dengan mo adalah untuk menjaga agar satuan-satuan pada persamaan

terakhir sesuai. Kita dapat mengambil log hanya dari bilangan tak bersatuan. Harga

MAmo tidak mempunyai satuan. Sebagai contoh, untuk H2O, MAmo = (18 g/mol)(1

mol/kg) = 0,018.

Sekarang kita defenisikan μom.i dan γm.i sebagai :

Dengan defenisi ini, μi menjadi :

 i   o .m.i  RT ln  m .i mi / m o , mo≡ 1 mol/kg, i≠A (1.85)

 m.i  1 ketika A 1 (1.86)


Tujuan dari pendefenisian pada Persamaan (1.84) adalah untuk menghasilkan

pernyataan bagi μi dalam bentuk mi yang mempunyai bentuk yang sama seperti

pernyataan μi dalam bentuk xi.

Pada persamaan di atas γm.i disebut sebagai koefisien keaktifan skala kemolalan dari

terlarut i dan μom.i sebagai potensial kimia skala kemolalan pada keadaan standar dari

komponen i.

Yang menjadi permasalahan sekarang adalah apa dan bagaimana keadaan standar

bagi skala kemolalan. Dari Persamaan (1.85) μi sama dengan μom.i (keadaan standar)

dengan γm.i mi/mo = 1. Keadaan standar kemolalan dipilih sebagai mi=mo=1 mol/kg.

Dengan demikian γm.i=1 pada keadaan standar. Keadaan standar bagi terlarut dalam

skala kemolalan adalah keadaan fiktif (pada T dan P larutan) dengan mi=1 mol/kg dan

γm.i=1.

Meski untuk terlarut digunakan Persamaan (1.85), untuk pelarut tetap

digunakan skala fraksi mol.

 A   o A  RT ln  A  A,  A   o A ,  A  1 ketika  A  1 (1.87)

 C .i  1 ketika  A  1, Co ≡ 1 mol/dm3.

Bentuk persamaannya sama dengan Persamaan (1.84) dan Persamaan (1.85).

Dari Persamaan (1.85) dan (1.86) diperoleh keaktifan dalam :

a m.i   m.i mi / m o dan a c.i   c.i ci / c o (1.88)

1.7. Sifat Koligatif Larutan Nyata


Persamaan-persamaan yang sudah diturunkan sebelumnya, didasarkan

pada asumsi sifat ideal dari larutan. Persamaan ini sangat baik diterapkan untuk

larutan-larutan encer (umumnya dengan χB < 0,2 m). Untuk larutan-larutan

dengan konsentrasi yang lebih pekat atau larutan-larutan yang menyimpang dari

keadaan ideal, maka kita harus mengganti konsentrasi dengan keaktifan.

Dengan demikian melalui sifat koligatif larutan dapat ditentukan koefisien

keaktifan pelarut dan terlarut dalam larutan.

2. LARUTAN ELEKTROLIT
Pada bab sebelumnya sudah dikaji larutan non elektrolit dan sifat-sifatnya.

Akan tetapi hal ini belum cukup, karena banyak system-sistem kimia berupa larutan

yang mengandung berbagai jenis ion. Oleh karena itu larutan seperti ini perlu untuk

dipelajari secara terpisah dari larutan non elektrolit.

Elektrolit adalah suatu zat yang dapat menghasilkan ion-ion dalam larutan,

yang ditunjukkan dengan sifat larutannya yang dapat menghantarkan listrik.

Berdasarkan daya hantarnya, elektrolit diklasifikasikan ke dalam elektrolit kuat dan

lemah. Sebagai contoh, dengan air sebagai pelarut, NH3, CO2, dan CH3COOH

termasuk elektrolit lemah, sementara NaCl, HCl, dan KNO3 merupakan elektrolit

kuat.
Klasifikasi lain yang didasarkan pada struktur adalah elektrolit sebenarnya

(sejati) dan elektrolit yang potensial sebagai elektrolit. Elektrolit sejati dalam keadaan

murninya terdiri atas ion-ion. Garam-garam pada umumnya merupakan elektrolit

sejati. Kristal NaCl, CuSO4, atau MgS terdiri dari ion positif dan negative. Jika kristal

ion dilarutkan dalam suatu pelarut, ikatan antar ion putus dan ion-ionnya masuk ke

dalam larutan sebagai ion tersolvasi. Pada keadaan tersebut, setiap ion dikelilingi oleh

suatu lapisan yang terdiri dari beberapa molekul pelarut yang ikut bersama-sama

dengan ion ketika ion tersebut berpindah (bergerak). Jika pelarutnya air, maka

solvasinya disebut dengan hidrasi.

Elektrolit yang potensial sebagai elektrolit dalam keadaan murninya terdiri

dari molekul-molekul yang tidak bermuatan akan tetapi ketika dilarutkan dalam suatu

pelarut, maka zat tersebut bereaksi dengan pelarut (sampai cakupan tertentu)

menghasilkan ion-ion. Misalnya molekul asam asetat bereaksi dengan air

menghasilkan ion hidronium dan ion asetat sesuai dengan persamaan:

CH3COOH + H2 O H3O+ + CH3COO-

Molekul hydrogen klorida bereaksi dengan air sesuai dengan persamaan :

HCl + H2 O H3O+ + Cl-

Untuk elektrolit kuat seperti HCl, kesetimbangan terletak jauh kearah kanan, untuk

elektrolit lemah seperti asam asetat kesetimbangan jauh terletak kearah kiri, kecuali

dalam larutan yang sangat encer.


Pada bab ini akan dipelajari sifat-sifat larutan elektrolit berupa sifat koligatif,

hantaran ion, disosiasi dan termodinamika larutan elektrolit.

2.1. Sifat Koligatif Larutan Elektrolit

Karena ada gaya antaraksi yang sangat kuat antara ion-ion dalam larutan

elektrolit, maka larutan elektrolit sulit dikatakan sebagai larutan ideal, meskipun

untuk konsentrasi yang cukup encer. Sebagai bahan perbandingan, perhatikan tabel

berikut.

Tabel 2.1.

Koefisien Keaktifan Larutan

mi/mo CaCl2 CuSO4 CH3(CH2)2OH


0,001 0,8880 0,7400 0,9999
0,010 0,7290 0,4400 0,9988
0,100 0,5170 0,1540 0,9880

Dari tabel di atas nampak bahwa untuk larutan elektrolit, pada konsentrasi encer

sekalipun (mi = 0,0010) koefisien keaktifan menyimpang sangat jauh dari satu. Oleh

karena itu, digunakan keaktifan pada rumusan-rumusan (yang telah diturunkan) untuk

sifat koligatif larutan.

2.1.1. Penurunan Tekanan Uap


Prosedur yang sama (untuk larutan non elektrolit yang sulit menguap)

diterapkan

pada larutan elektrolit yang sulit menguap. Jadi tekanan uap untuk pelarut A dalam

larutan elektrolit :

PA = aA PoA (2.1)

Dengan asumsi uap bersifat ideal, P tidak terlalu tinggi. Jika uap tak ideal maka

tekanan uap diganti dengan fugasitas. Perubahan tekanan uap, ∆P dibandingkan

dengan tekanan uap murninya adalah :

∆P = PA - PoA (2.2)

= (aA – 1)PoA

= (γAχA – 1)PoA (2.3)

Jadi melalui pengukuran tekanan uap larutan dapat ditentukan,  A . Dengan

menggunakan persamaan Gibbs-Duhem dapat dicari γ dari terlarut.

2.1.2 Kenaikan Titik Didih

Karena larutan tidak ideal, maka potensial kimia pelarut dalam larutan, μA

dinyatakan dengan :

 A (lar)   o A (l )  RT ln a A

Karena keadaan standar untuk pelarut adalah cairan pelarut murninya, maka

 A (lar)   o A (l )  RT ln a A (2.4)

Saat mendidih potensial kimia pelarut di fasa larutan sama dengan potensial kimia

pelarut di fasa uap.  A (lar )   A.v (2.5)


Karena terlarut tidak menguap, maka di fasa uap hanya ada uap pelarutnya saja

(murni).

 A (l )  RT ln a A   o . A.v (2.6)

 o A.v   o l G vap. A
ln a A   (2.7)
RT RT

H vap. A
2 Tb

 ln a A 
RT 2
(2.8)
1 Tb o

Jika keadaan 1 adalah A murni, maka a A.1  1, dan keadaan 2, a A.2 ditulis sebagai

a A , maka :

H vap. A  1 1 
ln a A    o  , dengan catatan H vap bukan fungsi suhu (T)
R  Tb Tb 

H vap. A  Tb o  Tb 
ln a A    , karena Tb tidak berbeda jauh dengan Tbo
R  Tb o 2  
H vap. A  Tb 
ln a A     (2.9)
R  Tb o 2   

Untuk kebutuhan praktis ketika bekerja dengan larutan elektrolit (kuat) didefenisikan

koefisien osmotic praktis (bagi pelarut),  (phi) :

ln a A oA  A
  (2.10)
M Ami RTM Ami

Dengan  jumlah koefisien stoikiometris dari elektrolit. Untuk elektrolit :


 
M  X     M z    X z dengan       
Jika Persamaan (2.10) digunakan dan disubstitusikan ke Persamaan (2.9), maka

diperoleh:

H uap. A Tb
 M Ami  
R(Tb o ) 2

R(Tb o ) 2 M Ami
Tb   Kbmi (2.11)
H vap. A

  i , faktor van’t Hoff

Jadi kenaikan titik didih juga dapat digunakan untuk menentukan aktifitas dan

koefisien aktifitas melalui  .

2.1.3. Penurunan Titik Beku

Dengan cara yang sama coba turunkan sendiri bahwa untuk penurunan titik

beku diperoleh:

R(Tf o ) 2 M Ami
T f     K f mi (2.12)
H fus. A

2.1.4. Tekanan Osmosis

Coba turunkan sendiri untuk tekanan osmosis larutan nyata berlaku :

RT
  ln  A  A (2.13)
VA

RTni
dan jika digunakan  , maka  . Jadi sifat koligatif dapat
n A V m. A
digunakan untuk menentukan keaktifan dan koefisien keaktifan melalui  .
2.2. Penghantar Listrik dalam Larutan
2.2.1. Mekanisme Penghantar Listrik
Aliran listrik melalui suatu konduktor (penghantar) melibatkan perpindahan
elektron dari potensial negatif yang tinggi ke potensial lainnya yang lebih rendah.
Mekanisme dari transfer ini tidak sama untuk berbagai konduktor. Dalam penghantar
elektronik, seperti padatan dan lelehan logam, penghantar berlangsung melalui
perpindahan elektron langsung melalui penghantar dengan pengaruh dari potensial
yang diterapkan. Dalam hal ini atom-atom penyusun penghantar tidak terlibat dalam
proses tersebut. Akan tetapi pada penghantar elektrolik, yang mencakup larutan
elektrolik dan lelehan garam-garam, penghantar berlangsung melalui perpindahan
ion-ion baik positif maupun negatif menuju elektroda-elektroda. Migrasi ini tidak
hanya melibatkan perpindahan listrik dari satu elektroda ke elektroda lain tetapi juga
melibatkan adanya transport materi dari satu bagian konduktor ke bagian lainnya.
Aliran listrik pada penghantar elektronik ini selalu disertai dengan perubahan kimia
pada elektroda-elektrodanya dan reaksinya bersifat khas dan tertentu bergantung pada
zat-zat penyusun konduktor tersebut dan juga jenis elektrodanya.
Mekanisme dari aliran listrik melalui konduktor elektrolit ini mungkin akan
lebih baik untuk dipahami melalui contoh berikut.
B
(DC)
- +

D A

Elektroda Cu

Cu2+(aq)
SO42-(aq)

Gambar 2.1. Sel Elektrolisis yang terdiri dari elektroda Cu


Yang tercelup kedalam larutan CuSO4
Kita tinjau suatu sel (gambar 2.1) yang terdiri atas dua buah elektroda tembaga (Cu),
yang dihubungkan dengan sumber arus searah B dan kedua elektroda tersebut
dicelupkan ke dalam larutan tembaga (II) sulfat, CuSO4. Elektroda D dihubungkan
dengan kutub negatif (-) dari B dan elektroda A dihubungkan dengan kutub positif
(+) dari B. Dalam larutan terdapat ion-ion Cu2+ dan SO42-. Jika rangkaian
disambungkan terjadi arus listrik yang juga mengalir melalui larutan. Hal ini
mengakibatkan terjadinya pelarutan tembaga di elektroda A. Elektroda D (yang
dihubungkan dengan kutub negatif sumber arus B) bermuatan negatif karena kaya
dengan elektron dari B. Elektron-elektron ini bergabung dengan ion tembaga dalam
larutan memebentuk endapan Cu pada elektroda D. Reaksinya dapat dituliskan :
Cu2+ + 2e- Cu
Karena reaksi pada elaktroda D ini reaksi reduksi, maka elektroda D disebut
dengan katoda. Elektroda A dengan demikian merupakan anoda, tempat terjadinya
reaksi oksidasi. Reaksi oksidasi yang terjadi adalah :
Cu Cu2+ + 2e-
Kita lihat bahwa dua elektron di katoda digunakan untuk bereaksi membentuk
Cu dan secara bersamaan dua elektron keluar dari anoda karena terjadinya perubahan
dari Cu membentuk Cu2+. Hasil nettonya adalah transfer dua elektron pada sirkuit
luar dari anado ke katoda.
Saat sirkuit ditutup, ion positif atau kation akan bergerak ke katoda dan ion
negatif atau anion akan bergerak ke anoda. Karena ion-ion ini bermuatan, maka
gerakannya akan menyebabkan arus listrik. Proses mengalirnya arus listrik melalui
konduktor elektrolit yang disertai dengan perubahan kimia ini disebut elektrolisis.
Dari uraian di atas tentang mekanisme elektrolisis dapat disimpulkan bahwa
elektron masuk dan keluar dari larutan terjadi melalui perubahan kimia pada
elektroda-elektrodanya.

2.2.2. Coulometer
Jumlah listrik yang mengalir melalui sirkuit dapat dianalisis dari jumlah zat
yang terlibat dalam reaksi. Alat yang digunakan untuk tujuan ini adalah coulometer,
dengan menerapkan hukum faraday tentang elektrolisis. Faraday menemukan
bahwa massa zat yang terlibat dalam reaksi pada elektroda berbanding lurus
dengan jumlah listrik yang mengalir pada larutan (lelehan) elektrolit. Dengan
demikian jika diketahui massa salah satu zat yang berubah selama elektrolisis, maka
jumlah listrik yang mengalir pada larutannya dapat ditentukan. Demikian pula
sebaliknya, jika jumlah listrik yang mengalir diketahui, maka dapat dihitung jumlah
zat yang berubah selama proses elektrolisis.
Untuk menentukan jumlah listrik yang mengalir dalam suatu sel, coulometer
disusun secara seri dengan sel tersebut dan dibiarkan sepanjang arus dialirkan.
Kemudian jumlah perubahan kimia yang disebabkan oleh arus listrik tersebut
ditentukan dengan cara-cara yang sesuai.
Coulometer perak umumnya dipakai untuk pekerjaan-pekerjaan yang teliti.
Coulometer ini terdiri dari cawan platina yang juga difungsikan sebagai katoda dan
perak murni sebagai anoda. Elektrolitnya merupakan larutan perak nitrat. Sebelum
elektrolisis, cawan platina ditimbang. baru kemudian selnya dipasangkan. Sesudah
elektrolisis, elektrolitnya didekantasi dengan hati-hati dan endapan perak pada cawan
dicuci dengan air suling kemudian dikeringkan dan ditimbang. Dari kenaikan berat
ini kemudian dihitung jumlah listrik yang mengalir melelui coulometer. Coulometer
ini dapat memberikan hasil dengan tingkat ketelitian di atas 0,05 persen.
Coulometer lain juga yang menghasilkan ketepatan yang tinggi adalah
coulometer iodium. Pada coulometer ini digunakan larutan kalium iodida dengan
elektroda inert. Dengan adanya arus listrik yang mengalir akan terbentuk iodium,
yang jumlahnya dapat ditentukan melalui titrasi dengan larutan natrim tiosulfat
standar. Dari volume dan konsentrasi larutan NaS2O3 dapat diketahui jumlah mol
Na2S2O3. Dengan menggunakan persamaan reaksi setara saat titrasi dapat ditentukan
jumlah mol I2 total hasil elektrolisis. I2 ini terbentuk saat arus listrik dialirkan
kedalam larutan KI. Dengan mengetahui jumlah mol I2, maka dapat ditentukan
jumlah mol elektron yang mengalir, dengan demikian jumlah listrik yang mengalir
dapat ditentukan.
Coulometer lain yang dapat juga digunakan adalah coulometer tembaga. Akan
tetapi hasilnya tidak terlalu akurat. Coulometer ini terdiri dari elektroda-elektroda
tembaga dalam suatu larutan tembaga sulfat. Dari jumlah endapan tembaga yang
terbentuk selama arus listrik mengalir dapat ditentukan jumlah listrik yang mengalir
pada sel tersebut.

2.2.3. Bilangan Angkut


Seperti telah diuraikan sebelumnya, arus listrik dihantarkan oleh larutan
melalui perpindahan ion-ion positif dan negatif dalam larutan tersebut. Akan tetapi
fraksi dari arus total yang dibawa oleh masing-masing ion tidaklah sama. Misalnya
dalam larutan encer magnesium sulfat, ion magnesium membawa 0.38 dari total arus
listrik, sementara ion sulfat membawa sisanya yakni 0,62 bagian dari total arus
listrik. Demikian pula halnya dalam larutan asam nitrat encer, ion nitrat hanya
membawa 0.16 bagian dari arus total, sementara ion hidrogen 0.84. ion sulfat dan ion
hidrogen dalam dua larutan diatas membawa fraksi arus total yang lebih besar
dibandingkan dengan pasangan ionnya dalam masing-masing larutan tersebut kerena
ion-ion tesebut bergerak lebih cepat dari ion-ion lainnya yang ada. Jika kedua ion
dalam larutan bergerak dengan kecepatan yang sama, maka masing-masing ion akan
membawa jumlah listrik yang sama pada waktu tertentu. Akan tetapi jika kecepatan
ion-ion ini tidak sama, maka dalam periode waktu tertentu, ion yang lebih cepat akan
membawa fraksi arus yang lebih besar. Fraksi dari arus total yang dibawa oleh
masing-masing ion dalam larutan disebut juga dengan bilangan angkut.
Qi
ti  (2.14)
Q
Hubungan kuantitatif antara fraksi arus yang dibawa oleh ion dan kecepatanya
akan diuraikan sebagai berikut. Kita tinjau dua pelat pararel yang terpisah sejauh l ,
yang diisi sevolume larutan elektrolit (Gambar 2.2).

E F

D C
v v

G H

A B

l
Gambar 2.2.
Sel elektrolisis dengan jarak elektroda sejauh l
Pada kedua elektroda diterapkan beda potensial V. Jika jumlah kation N  ,
kecepatanya v dan muatannya z  e , maka jumlah anion N  , kecepatannya v  dan

muatannya z  e , dengan e jumlah listrik yang sesuai dengan satuan muatan. Pada
waktu dt , kation bergerak sejauh v dt dan semua kation pada jarak sejauh ini dari
elektroda negatif akan mencapai elektroda tersebut dalam waktu dt atau dengan kata
lain semua kation yang menempati volume ABCDEFGH akan mencapai elektroda
negatif pada waktu dt . Jumlah kation yang ada pada sevolume tersebut merupakan
fraksi dari semua kation yang ada, v dt / l  N  . Dengan demikan muatan positif,
dQ yang melewati bidang pararel menuju elektroda negatif pada waktu dt =
z  ev dtN 
muatan per ion x banyak ion, adalah dan kuat arus yang dibawa kation ; i
l
=Q/t
z  ev N 
I  (2.15)
l

Sama halnya dengan kation, kontribusi anion terhadap kuat arus dinyatakan
dengan :
z  ev N 
I  (2.16)
l
Dengan demikan total kuat arus yang dibawa kedua ion adalah :
I  I  I (2.17)
Syarat elektronetralitas larutan harus dipenuhi yakni muatan total kation sama
dengan muatan total anion :
N  z  N  z (2.18)

Oleh karena itu :


z  N  ev  z  N  ev z  N  ev  z  N  e v 
I 
l l
z  N  ev   v  
I (2.19)
l

Berdasarkan hubungan dQ  Idt , bilangan angkut, t i yang didefinisikan


sebagai fraksi dari arus total yang dibawa oleh masing-masing ion dalam larutan
Qi
ti 
Q
Ii
Dapat pula diungkapkan dalam bentuk t i  , karena dt -nya sama. Dengan
I
demikian berdasarkan persamaan (2.15) dan (2.19), fraksi dari arus total yang dibawa
oleh kation adalah :
I z e v N 
t  
I z N  e(v  v )

v
 (2.20)
v  v 

Sementara fraksi arus total yang dibawa oleh anion adalah :


I zev N  z  ev N 
t    (2.21)
I z  N  e(v   v  ) z  N  e(v   v  )

v

v  v 
dengan t  dan t  masing-masing merupakan bilangan angkut atau bilangan hantaran
dari kation dan anion yakni fraksi dari total arus yang dibawa oleh masing-masing ion
dalam larutan. Pembagian persamaan (2.20) dengan (2.21) menghasilkan:
t  v
 (2.22)
t  v
Jadi bilangan angkut ion atau fraksi dari arus total yang diangkut oleh ion
berbanding lurus dengan kecepatannya. Jika kecepatan sama, v sama dengan v 

maka t  dan t  kedua ion memberikan kontribusi yang sama terhadap transfer arus
listrik. Jika v tidak sama dengan v  maka t  tidak akan sama dengan t  dan kedua
ion ini akan membawa porsi dari arus total yang berbeda pula. Akan tetapi jumlah
keduanya selalu 1.

Penentuan Bilangan Angkut


Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menentukan bilangan angkut.
Pada bagian ini akan diuraikan penentuan bilangan angkut dengan cara Hittorf dan
cara gerakan batas (moving boundary).

Penentuan Bilangan Angkut Dengan Cara Hittorf

Penentuan bilangan angkut dengan cara Hittorf didasarkan pada perubahan


konsentrasi elektrolit di sekitar elektroda-elektroda yang disebabkan oleh aliran listrik
melalui elektrolit. Prinsip dari cara Hittorf ini adalah dengan membagi sel ke dalam
tiga bagian yakni daerah anoda, tengah dan katoda yang diilustrasikan melalui
gambar 2.3
+ -

Anoda Tengah Katoda

++++++ ++++++ ++++++


- - - - - - - - - - - - - - - - - -

++++++ ++++++ ++
- - - - - - - - - - - - - -

++++ ++++++ ++++


- - - - - - - - - - -- - -

++++++ ++++++ ++++++


- - - - - - - - - - - - - - - - - -

++++++ ++++++ ++
- - - - - - - - - - - - - -

+++ ++++++ +++++


- - - - - - - - - - - - - -

Gambar 2.3. Prinsip Cara Hittorf untuk


menentukan bilangan angkut.

Situasi ion-ion sebelum aliran arus listrik dinyatakan secara skematis pada
keadaan I. Untuk memudahkan, masing-masing ion dianggap bermuatan satu dan
pada contoh ini diasumsikan sebelum listrik mengalir masing-masing bagian
mempunyai lima ion positif dan lima ion negatif. Jika empat elektron dialirkan ke
dalam sel, empat ion positif di daerah katoda akan menerima elektron dari elektroda
dan dinetralkan. Di daerah anoda empat ion negetif menjadi netral. Hasil perubahan
ini digambarkan dengan keadaan II. Ketika perubahan-perubahan ini terjadi pada
masing-masing elektroda, ion-ion dalam larutan berpindah. Jika kecepatan kation dan
anion sama, maka masing-masing membawa setengan dari arus, jadi dua kation (ion
positif) pindah dari anoda ke katoda (dari kutub (+), anoda ke kutub negatif (-),
katoda), dan dua anion (ion negatif) dari kutub negatif (-), katoda ke kutub positif (+),
anoda, akibatnya dua ion positif pindah dari bagian anoda ke bagian tengah dan dua
ion positif dari tengah pindah ke bagian katoda. Secara bersamaan, dua ion negatif
dari katoda pindah ke tengah dan dua ion negatif dari tengah pindah ke bagian anoda.
Hasil akhir dari perubahan ini digambarkan dengan keadaan III. Dari gambar tersebut
nampak bahwa konsentrasi di bagian tengah tidak dipengaruhi oleh aliran listrik,
sebaliknya konsentrasi di bagian anoda dan katoda keduanya berkurang dalam hal ini
kebetulan pengurangannya sama, yakni dua muatan listrik.
Situasi akan berbeda jika kecepatan ion-ion tidak sama. Ketika empat elektron
dialirkan ke dalam sel, sama seperti sebelumnya, empat ion-ion (ion (+) dan (-)) akan
dinetralkan. Jika kecepatan kation tiga kali lebih cepat dari anion, maka kation akan
membawa arus tiga kali lebih banyak daripada anion. Tiga ion positif harus pindah
dari anoda ke tengah dan dari tengah ke daerah katoda. Pada saat yang bersamaan,
hanya satu anion yang meninggalkan daerah katoda ke daerah tengah, dan hanya satu
yang meninggalkan daerah tengah ke anoda. Dari gambar III’, terlihat kembali bahwa
daerah tengah tidak mengalami perubahan konsentrasi. Tetapi daerah-daerah sekitar
elektroda mengalami perubahan konsentrasi, dengan hasil akhir yang berbeda (pada
III dan III’) karena perbedaan kecepatan anion dan kation.
Berdasarkan hal tersebut dapat dinyatakan bahwa jika kecepatan anion dan kation
sama, maka hilangnya konsentrai kation karena perpindahannya dari daerah anoda
sama dengan hilangnya konsentrasi anion karena perpindahannya dari daerah katoda.
Akan tetapi jika v : v = 3 : 1, hilangnya konsentrasi kation karena perpindahannya
dari naoda adalah tiga kali hilangnya konsentrasi anion yang pindah dari daerah
katoda.
Peralatan yang digunakan untuk menentukan bilangan angkut dengan cara
Hittorf diperlihatkan pada gambar 2.4
- +

M B
- +

Katoda Anoda

Tengah

Gambar 2.4. Sell Hittorf

Sel ini terdiri dari tiga bagian yang terpisah. Dasar dari metode ini adalah
perubahan jumlah elektrolit baik di daerah anoda maupun katoda bergantung pada
reaksi elektrolisis dan jumlah ion yang berimigrasi (masuk atau keluar) selama proses
penghantaran arus listrik.
Untuk menentukan jumlah listrik yang mengalir, maka sel Hittrof
dihubungkan secara seri dengan coulometer C, dan kemudian dihubungkan dengan
sumber arus B dan tahan geser R. Milliammeter M berguna untuk mengatur arus
sesuai dengan yang diinginkan dan membuat perkiraan kasar tentang jumlah listrik
yang mengalir melalui sel. Sel diisi dengan elektrolit dengan konsentrasi awal yang
sudah diketahui dan arus listrik dialirkan. Larutan dielektrolisis cukup lama untuk
sampai diperoleh perubahan konsentrasi yang cukup nyata di sekitar elektroda. Arus
kemudian dihentikan dan larutan dari salah satu bagian elektroda atau dari kedua
bagian elektroda secara terpisah dikeluarkan, ditimbang dan dianalisis. Jumlah listrik
Q, yang mengalir melalui sel dapat diperoleh dari coulometer.
Untuk memperjelas kajian dan analisis kuantitatif mengenai bilangan angkut
dengan cara Hittorf kita tinjau suatu sistem seperti yang diperlihatkan pada gambar
2.4. Dengan mengetahui jumlah masing-masing ion pada keadaan awal dan keadaan
akhir serta jumlah listrik total yang mengalir dapat ditentukan jumlah ion-ion yang
pindah. Dengan mengetahui salah satu ion yang pindah baik di katoda (K) maupun
anoda (A), dapat ditentukan bilangan angkutnya karena ion yang pindah tersebut
membawa jumlah listrik yang tertentu.
Qi
Untuk kation : t i 
Q
Q
Untuk anion : t i 
Q
Atau jika t . telah diketahui, t  dapat ditentukan dengan menggunakan hubungan .
t   t   1 . Demikian pula sebaliknya.
Penjelasan berikut didasarkan pada aliran listrik melalui sel Hittorf yang diisi
dengan larutan perak nitrat, AgNO3 dengan elektroda perak, Ag.

Analisis larutan saat arus dialirkan pada sel :


Reaksi yang terjadi di anoda (A) adalah reaksi oksidasi berikut :
Ag(s) Ag+(aq) + e
Dengan demikian terjadi penambahan ion Ag+ pada larutan di daerah anoda.
Reaksi yang terjadi di katoda adalah reaksi reduksi : Ag+(aq) + e Ag(s), sehingga
Ag+ pada larutan di daerah katoda akan berkurang karena membentuk endapan Ag.
Pertambahan Ag+ akibat reaksi oksidasi dan pengurangan Ag+ akibat reaksi reduksi
sebanding dengan jumlah elektron yang telah mengalir yang dapat diketahui dari
coulometer.
Migrasi ion-ion akan terjadi sedemikian rupa menuju ke arah elektroda yang
saling berlawanan tanda dengan ion-ion tersebut. Jadi kation (ion positif) akan
berpindah dari daerah anoda (+) ke daerah katoda (-), dan anion (ion negatif) akan
berpindah dari daerah katoda (-) ke daerah anoda (+). Dengan demikian dapat kita
telusuri jumlah Ag+ maupun NO-3 yang ada baik di daerah katoda maupun anoda
pada keadaan akhir sesudah elektrolisis.
Jumlah ion Ag+ yang bereaksi sebanding dengan jumlah elektron yang
dialirkan. Dari rumusan-rumusan di atas tentukan jumlah kation atau anion dengan
pindah yang membawa arusnya masing-masing.
Dengan mengetahui hal ini maka jumlah mol ion yang pindah menjadi jumlah
listrik yang pindah dapat dengan mudah diubah sebagai Q+ atau Q-. Daerah tengah
tidak mengalami perubahan karena migrasi ion dari dan ke anoda diimbangi oleh
jumlah yang sama migrasi ion ke dan dari katoda.
Jika t  telah diketahui, t  dapat ditentukan dari hubungan t   t   1 atau
sebaliknya. yang sering menjadi masalah adalah menentukan Q+ dan Q-. Jika telah
diketahui banyaknya masing-masing ion yang pindah. Hal ini dapat lebih mudah
dipahami dengan menggunakan konsep muatan (absolut) dimulai dari elektron. Dari
percobaan tetes minyak millikan, satu elektron mempunyai muatan (absolut) sebesar
e , yakni 1,602 x 10-19 Coulomb jika elektronnya 1 mol, NA = bilangan Avogadro =
6,02 x 1023 elektron maka muatan yang dibawanya adalah :
elektron C
 6,02 x10 23 x1,602 x10 19
mol elektron
 96485coulomb / mol
 1F / mol
Jadi muatan listrik yang dibawa oleh 1 mol elektron adalah 96,485 C atau 1 F.
Untuk ion H+, yang mempunyai muatan 1+, maka muatannya (absolut) sama dengan
muatan elektron yakni 1,602 x 10-19 C dan muatan dari 1 mol H+ sama dengan
muatan dari 1 mol elektron yakni 1 F. Satu ion Mz+ mempunyai muatan (absolut)
sebesar z e Coulomb dan satu mol Mz+ membawa muatan sebesar
z  eN A  z  96.489 Coulomb atau z  Faraday. Jika Mz+ sebanyak n mol, maka
muatan (absolut) yang dibawa adalah Faraday.
Dengan mengetahui Q dari Coulometer dan Q+ atau Q- dari ion-ion yang
pindah dapat ditentukan t  atau t  . Analisis pada contoh di atas dapat diterapkan
pada setiap sel yang mengandung elektrolit tunggal dengan elektroda yang
menghasilkan atau mengurangi kation dari elektrolit. Jadi analisis yang sama dapat
diterapkan pada sel seperti yang terdapat pada gambar 2.4 yang diisi larutan CuSO4
dengan elektroda tembaga.
Alternatif lainnya bisa saja digunakan elektroda yang reversibel terhadap
anion, yakni reaksi elektrodanya dapat menghasilkan dan mengurangi anion. Hal ini
dapat terjadi jika misalnya sel diisi dengan larutan NaCl dengan elektroda perak-
perak klorida (Ag-AgCl) yakni elektroda perak yang dilapisi perak klorida. Saat
listrik dialirkan di anoda terjadi oksidasi Ag menjadi Ag+ dalam bentuk padatan
AgCl. Saat Ag+ hasil reaksi bertemu Cl- dari larutan NaCl terbentuk endapan AgCl
(AgCl merupakan garam yang sukar larut). Reaksi yang terjadi di anoda dengan
demikian :
Ag(s) + Cl-(aq)  AgCl(s) + e
Dan di katoda terjadi reaksi sebaliknya yakni reduksi Ag+ (dalam bentuk AgCl)
membentuk logam Ag :
AgCl(s) + e  Ag(s) + Cl-(aq)
Migrasi (perpindahan) ion-ion Na+ terjadi dari anoda (+) ke katoda (-) dan ion-ion Cl-
dari katoda (-) ke anoda (+). Analisis terhadap larutan di daerah anoda (+) dapat
dilakukan terhadap Na+ maupun Cl- bebas yang larut dalam larutan (bukan sebagai
AgCl padat).

Analisis terhadap larutan di daerah Anoda (+) :


Na+ yang ada di daerah anoda = Na+ mula-mula – Na+ yang pindah dari anoda ke
Katoda
Cl- yang ada di daerah anoda = Cl- mula-mula-Cl- karena reaksi + Cl- yang pindah
ke anoda

Analisis terhadap larutan di daerah Katoda (-) :


Na+ yang ada di daerah katoda = Na+ mula-mula – Na+ yang pindah dari anoda ke
Katoda
Cl- yang ada di daerah katoda = Cl- mula-mula + Cl- yang pindah -Cl- yang pindah
dari katoda ke anoda

Apakah reaksi elektroda pada metode Hittorf harus melibatkan ion-ion dari
elektrolit? Bagaimana jika elektroda yang digunakan pada contoh terakhir (larutan
NaCl) diganti dengan platina? Hal ini akan dibahas pada contoh soal 2.2.
Lengkapnya tujuan dari daerah bagian II yakni bagian tengah, menjadi jelas
dari contoh terakhir diatas. Analisis dilakukan didasarkan pada asumsi bahwa hanya
ion-ion Na+ dan Cl- yang mengangkut arus melewati garis atau batas I-II dsan II-III
padahal reaksi elektroda menghasilkan ion H+ dan OH-. Jika terjadi pencampuran di
bagian anoda dan bagian katoda selama elektrolisis, maka ion-ion hasil reaksi
elektroda ini akan mengangkut bagian dari arus. Akibatnya penerimaan dan
kehilangan ion-ion Na+ dan Cl- akan lebih kecil daripada yang diharapkan dan
analisis keseluruhan akan salah. Cara untuk menguji hasil atau produk elektrolisis
mencapai daerah II atau tidak, dalam hal ini adalah dengan menguji pH dari bagian
tengah apakah berubah atau tidak.
Analisis setiap bagian pada contoh-contoh di atas dinyatakan dengan jumlah
yang diterima atau yang hilang selama elektrolisis. Konsentrasi tidak masuk secara
langsung, padahal bilangan angkut bergantung pada konsentrasi. Oleh karena itu
diharapkan agar selama elektrolisis tidak terjadi perubahan komposisi yang terlalu
besar tapi cukup untuk dapat dianalisis perubahannya. Jadi jumlah listrik yang
dialirkan melalui sel disarankan lebih kecil dari satu faraday.
Hal penting yang harus diperhatikan saat menganalisis jumlah ion-ion dalam
larutan (keadaan awal dan akhir) harus dalam sejumlah pelarut yang sama saat awal
dan akhir, karena jika jumlah pelarut berbeda, maka perbedaan ini menyebabkan
jumlah ion-ionnya juga berbeda yang bukan disebabkan reaksi dan kepindahan, jadi
hindari perbedaan jumlah terlarut karena beda jumlah pelarut.

Penentuan Bilangan Angkut Dengan Cara Pergerakan Batas (moving


Boundary)
Jika penentuan bilangan angkut dengan cara Hittorf didasarkan pada
penambahan konsentrasi larutan disekitar elektrodanya, maka cara gerakan batas
(moving boundary method) didasarkan pada pergerakan ion-ion ketika beda potensial
diterapkan. Pergerakan ion ini pada perbatasan dua larutan elektrolit yang berbeda
dapat langsung diamati. Alat yang digunakan untuk keperluan tersebut sama dengan
cara Hittorf, kecuali selnya dapat dilihat pada gambar berikut.
DC

- +
-

Coulometer perak
+

Gambar 2.5. Sel elektrolisis untuk penentuan bilangan


angkut dengan cara gerakan batas

Elektrolit yang dipelajari dimasukkan ke dalam alat sebagai lapisan atas,


sementara lapisan bawahnya merupakan larutan suatu garam dengan anion yang sama
dan kationnya harus mempunyai mobilitas yang lebih kecil dari kation elektrolit yang
dipelajari. Sebagai contoh jika larutan KCl yang akan dipelajari, digunakan sebagai
lapisan atas dan lapisan bawahnya bisa menggunakan larutan CdCl2. Mobilitas Cd2+
lebih kecil daripada K+. Saat arus dialirkan anion, Cl- bergerak turun ke anoda,
sementara K+ dan Cd2+ bergerak naik ke katoda. Saat ion K+ naik tempatnya
digantikan oleh Cd2+, karena itu perbatasan antara kedua larutan juga bergerak naik.
Dengan mengetahui volume yang dilewati perbatasan yang bergerak tadi untuk
sejumlah listrik yang dilewatkan ke dalam sel dapat dihitung bilangan angkut K+.
Misalnya volum yang dilewati gerakan perbatasan adalah dari a ke b. Jumlah listrik
yang dialirkan saat pergerakan pindah dari a ke b tersebut sebesar Q (dapat ditentukan
dari Coulometer). Jika konsentrasi larutan KCl adalah C, maka konsentrasi K+ juga C.
Berarti K+ yang berpindah dari a ke b adalah sebesar V x C. Dengan mengetahui
jumlah mol K+ yang pindah dapat dihitung jumlah muatan yang diangkutnya, Q+.
Dengan demikian maka t  dapat ditentukan :

Q
t 
Q

2.2.4 Hantaran Larutan


Dari uraian sebelumnya, kita ketahui bahwa penghantaran listrik merupakan
suatu fenomena transport, yakni perpindahan sesuatu yang bermuatan (baik dalam
bentuk elektron maupun ion) melalui sistem. Oleh karena itu hukum-hukum atau
persamaan-persamaan yang berlaku untuk penghantar logam juga berlaku untuk
penghantar yang lainnya, termasuk larutan elektrolit.
Salah satu persamaan penting dalam membicarakan hantaran listrik adalah:

I ( 2.27)
R
yang dikenal sebagai Hukum Ohm. Pada persamaan tersebut, I merupakan kuat arus
yang mengalir melalui medium (konduktor), ΔΦ beda potensial listrik sepanjang
medium dan R tahanan dari medium. Dalam system SI, kuat arus dinyatakan dalam
ampere (A), perbedaan potensial dalam volt (V) dan tahanan dalam ohm (Ω).
Tahanan sepanjang medium bergantung pada ukuran dari konduktor. Untuk
konduktor dengan luas penampang yang sama :
 .l
R (2.28)
A
l merupakan panjang, A luas penampang dan ρ disebut tahanan jenis, karena satuan
R adalah ohm (Ω), satuan l adalah cm atau m dan satuan A adalah cm2 atau m2, maka
satuan untuk ρ adalah Ω cm atau Ω m. Tahanan jenis merupakan sifat khas dari zat
penyusun konduktor. Kebalikan dari tahanan adalah hantaran, L dan kebalikan dari
tahanan jenis adalah hantaran jenis atau daya hantar jenis, dari symbol huruf yunani,
 (dibaca: kappa) :
1 1 A A
L  x  (2.29)
R  l l
Hantaran mempunyai satuan Ω-1 hantaran jenis mempunyai satuan Ω-1 cm-1 atau Ω-
1
m-1. Dalam sistem SI, hantaran mempunyai satuan siemens, S (S = Ω-1)

Pengukuran Hantaran Jenis Larutan


Hantaran jenis larutan elektrolit tidak dapat diukur langsung, yang dapat
diukur langsung adalah tahanan dari suatu larutan elektrolit. Selanjutnya hantaran
jenis dapat digunakan dengan menggunakan persamaan (2.29).
Tahanan, R, dari suatu larutan elektrolit tidak dapat diukur dengan baik jika
digunakan arus searah, karena akan terjadi peristiwa elektrolisis yang menyebabkan
perubahan konsentrasi elektrolit dan penumpukan hasil elektrolisis pada elektroda
akan mengubah tahanan larutan. Untuk menghilangkan hal tersebut, digunakan arus
bolak-balik. Elektroda yang digunakan adalah platina yang dilapisi platina hitam. Sel
hantaran (disimpan pada penangas dengan T tetap) ditempatkan di satu sisi dari
jembatan Wheatstone (Gambar 2.6).
Tahanan 3 diatur sedemikian rupa sampai tidak ada arus yang mengalir
melalui detektor di antara titik C dan D. Dengan demikian titik C dan D mempunyai
potensial yang sama. Saat setimbang, dari Hukum Ohm (Persamaan 2.27),

I maka  AD  I1R1 ;  AC  I 3 R3 ; DB  I1R2 ; dan CB  I 3 R ,(dengan R tahanan
R
dari sel), karena

C   D , maka  AC   AD dan  DB   CB sehingga I 1 R1  I 3 R3 dan I 1 R2  I 3 R .


Pembagian persamaan kedua dengan yang pertama menghasilkan :
R2 R
 atau
R1 R3
R2 R3
R
R1
Setelah diperoleh R maka hantaran jenis dapat ditentukan dengan
1
menggunakan persamaan (2.29) dengan   sedangkan A dan l masing-masing luas

l
permukaan dan jarak antar elektroda. Tetapan sel, ksel didefinisikan sebagai
A
k sel
sehinggga  .
R
Tetapan sel biasanya tidak ditentukan dari pengukuran l dan A (karena elektroda-
elektrodanya sudah tertentu, tetapi dilakukan dengan mengukur R suatu larutan
elektrolit (biasanya larutan KCl) dengan hantaran jenis yang sudah diketahui nilai
 yang akurat untuk larutan KCl pada berbagai konsentrasi telah ditentukan melalui
eksperimen dalam sel yang ukurannya diketahui dengan teliti. Pada 25oC dan 1 atm,
nilai  untuk larutan KCl (dalam pelarut air) pada berbagai konsentrasi dapat dilihat
pada table 2.2 .

Tabel 2.2
Hantaran Jenis KCl pada Berbagai Konsentrasi
C/(mol dm-3) 0 0,001 0,01 0,1 1
 /(Ω-1 cm-1) 0 0,000147 0,00141 0,0129 0,112

Untuk memaksimumkan kepekaan dalam pengukuran larutan dengan hantaran


tinggi diperlukan suatu sel dengan tetapan sel yang tinggi. Sel yang demikian
merupakan jenis sel seperti yang ditunjukkan oleh gambar (2.7) dengan elektroda
kecil yang dipisahkan oleh jarak yang besar. Untuk pengukuran larutan dengan
hantaran yang kecil, l/A harus sekecil mungkin seperti pada gambar (2.8).
Pada pengukuran hantaran jenis elektrolit ini, perlu digunakan pelarut yang
sangat murni, karena adanya pengotor meskipun sedikit dapat mempengaruhi k secara
signifikan. Untuk memperoleh hantaran jenis elektrolit, maka hantaran jenis pelarut
murni harus dikurangkan terhadap larutannya.
Hantaran Molar
Meskipun hantaran jenis dapat diukur dengan mudah, tetapi besaran ini tidak
biasa digunakan dalam membahas proses penghantaran dalam suatu larutan elektrolit.
Suatu larutan dengan konsentrasi yang berbeda akan mempunyai hantaran jenis yang
berbeda karena sevolume larutan dengan konsentrasi yang berbeda mengandung
jumlah ion yang berbeda. Karena itu untuk memperoleh ukuran kemampuan
mengangkut listrik dari sejumlah tertentu elektrolit, didefinisikan hantaran molar,
m .

 (2.31)
m 
C

dengan C konsentrasi elektrolit. (Perhatikan bahwa hantaran molar bukan hantaran


jenis per mol, melainkan hantaran jenis per satuan konsentrasi molar). Sebagai
contoh, untuk larutan KCl 1 M, dengan  = 0,112 Ω-1cm-1 pada 25 0C dan 1 atm,
maka :
0,112 1cm1 0,112 1 (10 2 m) 1
 m ( KCl )  
1moldm3 1mol (10 1 m) 3
 0,0112 1m 2 mol 1
atau 1,12 x 10 2  1cm2 mol 1

Istilah lain yakni hantaran ekivalen, dulu sering digunakan. Dalam hal ini
hantaran dinyatakan dalam bentuk jumlah muatan individual yang diangkut. Sebagai
contoh untuk larutan elektrolit uniekivalen seperti larutan KCl atau NaCl, setiap ion
membawa satu satuan muatan sehingga hantaran ekivalen sama dengan hantaran
molar. Untuk larutan elektrolit divalen seperti MgSO4, setiap ion membawa dua
satuan muatan, sehingga hantaran ekivalennya setengah dari hantaran molarnya.
m m
Dengan kata lain hubungan antra keduanya dinyatakan dengan :  eq  
z v zv
Kebergantungan Hantaran Molar terhadap Konsentrasi
Berdasarkan hantarannya, elektrolit dibedakan menjadi dua, yakni elektrolit
kuat dan elektrolit lemah. Elektrolit kuat seperti garam-garam dan sebagian asam-
asam seperti asam nitrat, sulfat, klorida mempunyai hantaran molar yang tinggi dan
dengan pengenceran mengalami kenaikan yang tidak terlalu besar, sementara
elektrolit lemah seperti asam asetat dan asam-asam organik lainya mempunyai
hantaran yang jauh lebih rendah pada konsentrasi tinggi, tetapi nilainya meningkat
tajam dengan semakin encernya larutan (lihat gambar 2.9).
Untuk elektrolit kuat yang tidak mengandung asosiasi ion, konsentrasi ionnya
berbanding lurus dengan konsentrasi elektrolitnya, jadi dapat dilihat bahwa
pembagian  dengan C akan menghasilkan suatu besaran yang tidak bergantung
pada konsentrasi. Akan tetapi,  m untuk larutan seperti NaCl, KBr dan sebagainya
dalam air berubah dengan berubahnya konsentrasi. Hal ini terjadi karena ada antar
aksi di antara ion-ion yang mempengaruhi hantran jenisnya,  . Interaksi ini berubah
dengan berubahnya konsentrasi.

Gambar 2.9. Hantaran molar elektrolit dalam pelarut air


Terhadap akar pengkat dua dari kosentrasi pada 298,15 K
(Dari Moore, water J,.1986. Basic Physical Chemistry. New Delhi. Prentice – Hall of
India)
Nilai  m yang diekstrapolasi pada konsentrasi nol disebut dengan hantaran

molar pada pengenceran tak hingga,  m . Ekstrapolasi dapat dengan mudah dilakukan
untuk elektrolit kuat, tetapi untuk elektrolit lemah tidak demikian, karena
kenaikannya yang sangat tajam pasa konsentrasi sangat rendah (pengenceran tak
hingga), dimana pengukuran melalui percobaan tak mungkin dilakukan.
Kebergantungan hantaran molar terhadap konsentrasi untuk larutan elektrolit kuat
dapat dinyatakan dalam persamaan empiris berikut:

m  m  B C (2.32)

dengan, B suatu tetapan. Jika  m untuk elektrolit kuat dapat diperoleh melalui grafik
 
 m terhadap C , bagaimanakah cara menentukan  m untuk elektrolit lemah ?
Menurut Kohlrausch, pada pengenceran tak hingga dimana disosiasi untuk
semua elektrolit berlangsung sempurna dan semua gaya antar ion hilang, masing-
masing ion dalam larutan bergerak bebas dan tidak bergantung pada ion pasangannya.
Kontribusi terhadap daya hantar molar hanya bergantung pada sifat dari ionnya
tersebut. Jadi daya hantar molar setiap elektrolit pada pengenceran tak hingga
merupakan jumlah dari daya hantar molar ion-ionnya pada pengenceran tak hingga.
  
 m  v  m   v m (2.33)
Bukti validitas pernyataan ini dapat dilihat dari Tabel 2.3.
Tabel 2.3, Hantaran Molar pada Pengenceran Tak Hingga
untuk Beberapa Elektrolit dalam Air Pada 298 K
Elektrolit Am/(Ω-1 mol-1 cm2) Elektrolit Am/(Ω-1 mol-1 cm2)
HCl 426,16 LiNO3 110,14
CH3COOH 390,71 NaNO3 121,56
LiCl 115,03 KNO3 144,96
NaCl 126,45 CuSO4 267,24
AgCl 137,20 CH3COONa 91,00
KCl 149,85

Dari Tabel 2.3 ditemukan pola menarik yang muncul jika kita menelusuri

perbedaan m diantara dua elekrolit yang mengandung anion atau kation yang
sama jenisnya. Sebagai contoh :
 ( KCl )   ( NaCl )  23,4 1mol 1cm2
 ( KNO3 )   ( NaNO3 )  23,4 1mol 1cm2
Berdasarkan Persamaan (2.33) :
Untuk KCl  (KCl ) =  k    cl 

Untuk NaCl  (NaCl ) =  Na    cl 

 (KCl ) -  (NaCl ) =  k    cl  - (  Na    cl  )

=  K    Na 
= 23,4 Ώ 1 mol 1cm2

Temuan penting dari Kohlrausch di atas, memungkinkan kita untuk


mengestimasi  elektrolit lemah dari garam-garamnya yang merupakan elektrolit

kuat, sebagai contoh untuk elektrolit lemah seperti asam asetat, HAc,  m dapat
ditentukan sebagai berikut:

 m (HAc) =  (NaAc) +  (HCl) -  (NaCl)

= (91,00 + 426,16 – 126,45) Ώ 1 mol 1cm2


= 390,71  1mol 1cm2
Mobilitas Ion
Seperti telah diuraikan sebelumnya kuat arus dalam suatu larutan elektrolit
merupakan penjumlahan dari kuat arus yang diangkut oleh masing-masing ion
(Persamaan 2.17). Kontribusi setiap ion terhadap kuat arus telah ditentukan
(Persamaan 2.18 dan 2.19). Hantaran larutan sesuai dengan persamaan (2.29) adalah :
A 
L = K dan dengan menggunakan hantaran molar :  , maka
l C
A
  C sehingga persamaan untuk L menjadi : L = C .
l
 1 1
Berdasarkan hukum Ohm,   IR atau R = atau L = 
I R 
atau
1 A I I l
 L = 1, diperoleh :     . Substitusi persamaan ini
R l   A

 1l  1
terhadap   menghasilkan :   atau   . Karena gradien
C C  A l CA

 v N  z e  v N  ze
potensial, E = , dan I = , maka rumusan tersebut dapat pula
l l
dituliskan sebagai berikut :

v N  z e  v N  z e
E 
CAl
Karena N+ = n+NA = v+nNA dan N- = n-NA = v-nNA maka persamaan di atas
menjadi :
v   nN A z  e  v   N  z  e
E 
CAl
dengan mensubstitusikan NAe = F CAl = CV = n, maka diperoleh :
v   nN A z  e  v   N  z  e
E 
n
 v   Fz   v   Fz 

v v  
  z  v  F     , dengan gradien potensial, E 
E E l
  z  v  F u   u  
Hantaran molar ion-ion didefinisikan sebagai :
  z  Fu  dan   z  Fu  (2.34)
maka :   v    v  
 
u  dan u  (2.35)
z F z F

dengan u  dan u -disebut sebagai mobilitas kation dan anion. Jadi jika daya hantar
ionnya besar, maka mobilitasnya juga besar. Pada konsentrasi elektrolit tertentu,
mobilitas ion juga tertentu dan berbeda harganya pada konsentrasi yang berbeda.
Mobilitas bergantung pada konsentrasi. Hasil percobaan memperlihatkan bahwa turun
dengan naiknya konsentrasi. Hal ini disebabkan oleh gaya tarik antar ion.
Pada larutan NaCl 0,20 mol/dm3 pada 25 0C dan 1 atm, diperoleh Λ(Cl-) =
65,1 x 10-5 cm2V-1S-1. Nilainya sedikit berbeda dengan Λ(Cl-) dalam larutan KCl 0,20
mol/dm3. Nilainya 65,6 x 10-5 cm2V-1S-1. Hal ini terjadi karena ada sedikit perbedaan
perbedaan pada antaraksi Na+ - Cl- dibandingkan dengan antaraksi K+ - Cl-.
Hasil percobaan mobilitas ion yang diekstrapolasi pada pengenceran tak
hingga untuk beberapa ion dalam air pada 25 0C dan 1 atm adalah sebagai berikut:

Ion H3O+ Li+ Na+ Mg2+ OH- Cl- Br- NO3-


10 5 u  / cm2V 1 S 1 363 40,2 51,9 55,0 206 79,1 81,0 74,0

Pada pengenceran tak hingga, gaya antar ion tidak ada, sehingga u  (Cl-)
mempunyai nilai yang sama baik dalam larutan NaCl, KCl dan seterusnya.
Untuk ion-ion anorganik dapat dilihat bahwa u  dalam larutannya dengan
pelarut air pada 25 0C dan 1 atm ada pada rentang 40 sampai 80 cm2V-1S-1. Akan
tetapi untuk H3O+ dan OH- mempunyai nilai yang jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan ion-ion lainya. Hal ini karena dalam pelarut air terjadi mekanisme jumping
proton pada H3O+. proton pindah dari H3O+ ke molekul H2O tetanggganya dan
prosesnya menghasilkan efek yang sama seperti pergerakkan H3O+ melalui larutan
dari satu bagian (+) berpindah ke bagian lain (-) melalui perpindahan sebagai berikut.

Satu proton dipindahkan dari ion H3O+ ke molekul air didekatnya, sehingga molekul
berubah menjadi H3O+. Proses ini berlangsung berulang-ulang, H3O+ yang baru
terbentuk memindahkan protonnya ke molekul air berikutnya dan seterusnya. Proses
yang sama terjadi untuk ion hidroksil:
Mobilitas yang tinggi dari OH- disebabkan oleh transfer proton dari molekul H2O ke
ion OH- yang ekivalen dengan pergerakkan OH- dalam arah yang berlawanan. Proses
transfer ini menghasilkan muatan positif yang lebih cepat dibandingkan dengan jika
ion H3O+ tersebut terdorong pindah melalui larutan seperti yang terjadi pada ion-ion
lainya.

2.2.5 Penerapan dari Pengukuran Daya Hantar


Pengukuran daya hantar yang relatif mudah dan akurat dapat diterapkan
dalam banyak hal. Berikut akan diuraikan tiga contoh penerapannya, yakni pada
titrasi yang disebut dengan titrasi konduktometri, penentuan kelarutan dan penentuan
tetapan disosiasi elektrolit lemah. Penerapan lain yang lebih praktis adalah
digunakannya pengukuran daya hantar untuk memonitor air murni yang diperoleh
dari deionisasi air melalui resin pertukaran ion.

Titrasi Konduktometri
Pengukuran daya hantar dapat digunakan untuk menentukan titik akhir titrasi
sebagai contoh kita tinjau titrasi asam basa. Pertama kita kaji dulu titrasi asam kuat
seperti asam klorida (HCl) oleh basa kuat seperti NaOH. Seperti yang telah diuraikan
sebelumnya, daya hantar H+ dan OH- jauh lebih besar dari pada kation-kation dan
anion-anion lainya. Sebelum ditambah basa, larutan HCl mengandung banyak ion H+
yang menyebabkan daya hantar larutan tersebut tinggi. Ketika ditambahkan basa ion
H+ dari HCl akan bereaksi dengan OH- dari NaOH membentuk air. Dan H+ yang
bereaksi (dalam larutan) digantikan oleh Na+ (dari basa) yang daya hantaranya lebih
rendah. Akibatnya daya hantar larutan turun. Demikian seterusnya sampai
penambahan basa mencapai titik ekivalen. Penambahan basa selanjutnya akan
meningkatkan kembali daya hantar karena larutan sekarang kelebihan Na + dan OH- .
Jika daya hantar larutan selama titrasi dialurkan terhadap volume larutan NaOH yang
ditambahkan akan diperoleh grafik (a) seperti yang terdapat pada gambar 2.9

Grafik yang menurun sepanjang AB menunjukkan daya hantar campuran


garam dan asam, titik B menunjukkan daya hantar garam tanpa kelebihan asam
maupun basa, artinya titik tersebut merupakan titik ekivalen. Garis BC menunjukkan
daya hantar campuran garam dan kelebihan basa.
Jika asam yang dititrasi asam lemah seperti asam asetat maka bentuk
kurvanya akan berbeda, dan secara umum digambarkan dengan kurva (b) pada
gambar 2.9. Sebelum penambahan basa, daya hantarnya rendah (titik D) karena
asamnya asam lemah (jumlah ion-ion yang ada dalam larutan sedikit), dengan
ionisasi :
CH3COOH(aq) H+(aq) + CH3COO-(aq) (2.36)

Ketika ditambahkan basa, maka H+ dari asam tersebut akan bereaksi dengan OH- dari
basa membentuk air. Jadi keberadaan H+ yang bereaksi digantikan oleh Na+ yang
daya hantarnya lebih rendah dari H+. Jika hanya itu yang terjadi, seharusnya daya
hantarnya turun. Akan tetapi fakta menunjukkan daya hantarnya ternyata naik,
meskipun tidak terlalu tajam. Hal ini disebabkan oleh reaksi ionisasi CH3COOH
merupakan reaksi kesetimbangan maka berkurangnya H+ (karena sudah bereaksi
dengan OH-) akan menyebabkan reaksi kesetimbangan (2.36) akan bergeser ke arah
kanan, yakni ke arah pembentukan H+ sampai tercapai keadaan kesetimbangan yang
baru. Dengan demikian kurva titrasinya tidak turun melainkan naik sepanjang garis
DE. Jika semua asam telah dinetralkan, penambahan basa berlebih akan
menyebabkan kenaikan daya hantar larutan dengan cukup tajam sesuai dengan garis
DF. Sebenarnya perpotongan kedua garis tersebut tidak setajam yang digambarkan
melainkan bentuk agak melengkung. Perpotongan yang tidak tajam ini disebabkan
terjadinya hidrolisis dan garam yang terbentuk ketika terjadi netralisasi. Akan tetapi
ini tidak jadi masalah karena bagian kurva yang lurus dapat diperpanjang untuk
memperoleh titik ekivalen yang benar. Bentuk kurva titrasi yang digambarkan di atas
hanya diterapkan untuk kondisi-kondisi di atas yang khas (untuk HCl-NaOH dan
CH3COOH- NaOH ). Jika kekuatan relatif asam berubah, begitu pula kurva titrasinya.
Akan tetapi bukan berarti titrasi konduktorimetri hanya berlaku untuk asam-basa saja
melainkan banyak titrasi yang dengan cara titrasi biasa, misalnya ketika tidak
diperoleh indikator yang cocok. Jadi cara ini dapat diterapkan pada titrasi apa saja
yang memberikan perubahan tajam pada daya hantarnya di titik ekivalen. Misalnya
pada titrasi larutan perak nitrat dengan natrium klorida, dengan reaksi pengendapan :
Ag+ + Cl- AgCl
Ion Na+ menggantikan ion Ag+ dalam larutan. Daya hantar ion Na+ hampir sama
dengan daya hantar ion Ag+. Dengan sendirinya hal ini akan memberikan daya hantar
yang relatif tidak berubah. Akibatnya aluran daya hantar terhadap volum titran
mendekati horizontal. Akan tetapi setelah titik ekivalen dilampaui, daya hantar
meningkat dengan tajam akibat bertambahnya ion-ion dalam larutan. Dengan
demikian titik akhir dapat ditentukan dengan mudah.

Penentuan Hasil Kali Kelarutan


Kelarutan (dengan demikian juga hasil kali kelarutan) garam-garam yang
sukar larut dapat ditentukan melalui pengukuran daya hantarnya. Sebagai contoh kita
pelajari kelarutan barium sulfat. Pertama-tama kita buat larutan jenuh dari garam
tersebut dalam air yang hantaran jenisnya diketahui. Kemudian hantaran jenis larutan
jenuhnya diukur. Selisih hantaran jenis yang dihasilkan merupakan hantaran jenis
untuk garamnya sendiri, yakni :
:  ( garam)   (laru tan jenuh garamtersebut dalam air )   ( air ) (2.37)

Berdasarkan  ( garam) daya hantar molarnya dapat dituliskan :

 ( garam)  ( garam)
 
C s

Dengan s kelarutan barium sulfat (BaSO4). Karena kita bekerja dengan garam yang
sukar larut, konsentrasi larutannya rendah sehingga sifatnya dapat dianggap sama
dengan larutan pada pengenceran tak hingga. Dengan demikian dapat kita asumsikan
bahwa    sehingga :

s (2.38)

Nilai  dapat diperoleh dari data hantaran molar ion-ionnya pada pengenceran tak
hinggga (table 2.3). Jadi dari persamaan (2.38) dapat kita tentukan kelarutan dari
BaSO4 dalam air. Dengan mengetahui kelarutannya, selanjutnya dapat dihitung hasil
kali kelarutannya melalui persamaan :
Ksp = [Ba2+] [SO42-]
Penentuan Tetapan Disosiasi
Pada konsentrasi tertentu, elektrolit lemah hanya terdisosiasi sebagian dengan
derajat disosiasi, α. Pada tahun 1887 Arrhenius menyatakan bahwa α berhubungan
dengan hantaran molarnya melalui persamaan :

 (2.39)

Ostwald menggunakan persamaan (2.39) di atas untuk menentukan tetapan
kesetimbangan disosiasi. Kita tinjau asam lemah HA dengan konsentrasi C mol/L :
HA ↔ H+ + A-
Saat kesetimbnagan tercapai [HA] = C (1 - α), [H+] = Cα dan [A-] = Cα.
Berdasarkan definisi, tetapan kesetimbangannya :
[ H  ][ A ] C 2 2
K 
[ HA] C (1   )
Dengan menggunakan Persamaan (2.39) diperoleh :
C2
K atau
 (  ) (2.40)
K  K  C2
2

1
Perkalian persamaan terakhir dengan dan menata ulang persamaan akan
K 
2

1 1 C
diperoleh :    (2.41)
  K
2

Dengan demikian harga K dapat diperoleh langsung melaui persamaan (2.40) asal
harga  diketahui, atau untuk lebih teliti digunakan persamaan (2.41) dengan
1 1
mengalurkan terhadap C . Perpotongan dengan terhadap C menghasilkan
 
1 1
dan kemiringan dama dengan . Jadi dari nilai kemiringan dan
 K 
2

perpotongan tersebut, dapat diperoleh  danK .


Cara ini memerlukan data hantaran molar untuk elektrolit lemah tersebut pada
berbagai konsentrasi. Setelah  diketahui, maka α pada berbagai konsentrasi dapat
ditentukan melalui persamaan (2.39).

2.3 Keaktifan Ion Larutan


Karena sifat-sifat suatu larutan dipengaruhi oleh hadirnya ion lain yang
berinteraksi secara elektrostatik, kecuali pada pelarutan tak hingga, konsentrasi
merupakan parameter yang tak memuaskan untuk digunakan dalam prediksi
kontribusi ion-ion tersebut terhadap sifat keseluruhan dari larutan. Yang kita
butuhkan di sini adalah besaran yang selaras dengan konsentrasi, yaitu jumlah
sebenarnya ion yang ada yang mengungkapkan kemampuannya menentukan sifat-
sifat untuk ambil bagian dalam suatu reaksi kimia atau mempengaruhi posisi
kesetimbangan. Parameter tersebut disebut sebagai keaktifan, a dan dihubungkan
terhadap konsentrasi, C oleh hubungan sederhana yakni :
ai   i .Ci (2.42)

 i disebut koefesien keaktifan yang dapat memiliki bentuk berbeda sesuai dengan
satuan konsentrasi yang digunakan. Potensial kimia (  i ) dari satu spesi dapat
diungkapkan dalam bentuk :
i  ( io ) x  RT ln xi i (2.43a)

i  ( io )c  RT ln ci i (2.43b)

i  ( io )c  RT ln ci i (2.43c)


Dengan : x = fraksi mol
c = kemolaran
m = kemolalan
Untuk elektrolit, potensial kimia kation dan anion yang dinyatakan dalam skala
kemolalan :
    0  RT ln x   (2.44.a)
dan       RT ln x   
0
(2.44.b)

Potensial kimia elektrolit,  i sebagai keseluruhan potensial kimia kation dan anion ,

  dan   dinyatakan dengan :


i = v     v    (2.45)
Subtitusi persamaan (2.44a dan b) ke dalam persamaan (2.45) menghasilkan :
i = v o  v o  v RT ln m   v RT ln m 
(2.46)

= v  o  v  o +RTln        m 
v v v
m v 

karena  dan   tidak dapat ditentukan secara eksperimen, maka koefesien


keaktifan ion tunggal   dan   tidak dapat diukur. Oleh karena itu didefenisikan
koefesien keaktifan rata – rata,   dari elektrolit M v , X v sebagai :

  v    v  v
 
(2.47)
dengan v = v  v

v dan v masing – masing koefisien kation dan anion. Sebagai contoh, untuk CaCl2,
1 2 3
  3    2 dan     3  .
Untuk menyederhanakan persamaan (2.46) didefenisikan pula :
io  v  0   v o (2.48)
Dan keaktifan ion rerata (a2) didefinisikan sebagai :
a v  av av
 
(2.49)
sehingga Persamaan (2.46) menjadi :
i  io  RT ln av

Penentuan Koefisien Keaktifan Elektrolit


Pada bab sebelumnya sudah diuraikan penentuan koefisien keaktifan terlarut
non elektrolit yang tidak mudah menguap dengan menggunakan persamaan Gibbs-
Duhem. Cara yang sama dapat digunakan untuk menentukan koefisien keaktifan
elektrolit yang tidak menguap. Uraian dibatasi hanya untuk elektrolit kuat i dengan
rumus Mv+ . Xv-.
Potensial kimia pelarut dapat dinyatakan dalam bentuk skala fraksi mol :
 A   *A  RT ln a A
Tekanan uap untuk pelarut dalam larutan elektrolit, dinyatakan dengan :
PA  a A PA* (2.50)
Karena terlarut diasumsikan tidak mudah menguap, maka P A sama dengan tekanan
uap dari larutan dan persamaan (2.50) dapat digunakan untuk mentukan keaktifan dan
koefisien keaktifan pelarut melalui pengukuran tekanan uap. Dengan menggunakan
potensial kimia untuk pelarut :  A   *A  RT ln  x. A  A dan potensial kimia untuk
larutan elektrolit sebagai terlarut (persamaan 2.46) dan dengan menggunakan
persamaan (2.47) dan (2.48) maka potensial kimia elektrolit,  i menjadi :


 i   io  RT ln   v m v m v
 

=  io  RT ln v    mi  (2.51)

dengan vv  vv 


Dari  A dan  i dapat diturunkan  A dan  i yang kemudian disubstitusikan ke
dalam persamaan Gibbs-Duhem :
nA A  ni i  0

Intergrasinya menghasilkan koefisien keaktifan elektrolit,  i sebagai fungsi dari


komposisi. Jadi dari koefisien keaktifan pelarut sebagai fungsi komposisi dapat
ditentukan koefisien keaktifan elektrolit. Koefisien keaktifan juga dapat ditentukan
dari data sel elektrokimia (bab 3).
Teori Debye-Huckel untuk Larutan Elektrolit
Pada tahun 1923, Deybe-Huckel mulai dari model yang sangat sederhana
untuk larutan elektrolit dan menggunakan mekanika statistik untuk menurunkan
pernyataan teoritis untuk koefisien aktivitas ion   dan   . Dalam model tersebut,
ion-ion dianggap sebagai bola keras yang seukuran diameternya. Selanjutnya Deybe-
Huckel mengasumsikan bahwa larutan sangat encer. Pembatasan ini
menyederhanakan matematikanya. Pada pengenceran yang sangat tinggi,
penyimpangan dari keadaan encer ideal datang dari gaya coulomb berupa gaya atraksi
dan tolakkan di antara ion-ion. Setiap ion dikelilingi oleh suatu atmosfer molekul-
molekul pelarut dan ion-ionnya. Secara rata-rata, setiap ion positif akan dikelilingi
oleh lebih banyak ion negatif dari pada ion positif. Deybe-Huckel menggunakan
hukum distribusi Boltzman dari mekanika statistik untuk mencari rata-rata distribusi
muatan di sekitar suatu ion.
Koefisien keaktifan kemudian ditentukan sebagai berikut. Larutan elektrolit
dijaga pada T dan P tetap. Pertama-tama antar ion yang satu dengan yang lain
dianggap tidak bermuatan dan tidak ada antar aksi di antra ion-ion tersebut auat
dengan kata lain larutan bersifat ideal. Kemudian secara reversible semua muatan ion
ditingkatkan dari nol sampai nilai yang ada dalam larutan elektrolit. Kerja listrik yang
dilakukan pada proses ini dinotasikan dengan Wel. Pada proses T dan P konstan,
G  Wnon PV dalam hal iniW non PV  wel . Deybe-Huckel menghitung Wel dari
masing-masing energi potensial elektrostatik dari antaraksi masing-masing ion
dengan rata-rata distribusi muatan yang mengelilinginya selama proses tersebut.
Karena proses dimulai dari larutan encer ideal dan berakhir dengan keadaan nyata
larutan, ∆G adalah G - Gid dengan G energi Gibbs nyata dari larutan dan Gid adalah
energi Gibbs larutan jika ideal - encer. Karena itu G - Gid = wel

G id diketahui dari G id   n j  j dan G - Gid diketahui dari perhitungan wel.


id

Dengan demikian G larutan dapat diketahui. Dengan menentukan G dan


n
G dapat diperoleh   dan   , sehingga koefisien keaktifan,   dan   , dapat
n
diketahui.
Hasil akhir Debye-Huckel diperoleh :
1/ 2 1/ 2
z 2 AI m z 2 AI m
ln     , ln     (2.50)
1  BaI m 1  BaI m
1/ 2 1/ 2

dengan A, B dan Im masing-masing adalah :


3/ 2
 e2 
A (2N A  A ) 1/ 2   (2.51)
 4 0  r KT 
 ,A 
1/ 2
 2N A  A 
B  e 
 (2.52)
  0  r , A KT 
I m  1 / 2 z j m j
2
(2.53)
j

Pada persamaan – persamaan tersebut, a merupakan diameter ion rata – rata


  dan   masing – masing koefesien keaktifan skala kemolalan untuk ion – ion
M 2 dan X 2 , NA tetapan Avogadro, k tetapan Boltzman, e unit muatan listrik,  o ,

permitivitas vakum,  A , kerapatan pelarut,  r , A, tetapan dielektrik pelarut, T suhu

absolut, I m disebut sebagai kekuatan ionis skala kemolalan, penjumlahannya


dilakukan terhadap semua ion – ion dalam larutan dengan mj, kemolalan ion j dengan
muatan zj.
Meskipun teori Debye-Huckel memberikan koefesien keaktifan,  dari

masing – masing ion kita tidak dapat mengukur   atau   secara individual. Karena
itu persamaan Debye-Huckel kita nyatakan dalam bentuk koefesien keaktifan rata –
rata,   . Dengan mengambil bentuk log dari (   )v yang didefenisikan sebagai

  v   v
 
, diperoleh :
v  ln    v  ln  
ln   
v
Karena elektrolit M v X v secara listrik netral, maka :

v+z+ + v-z- = 0
Perkalian Persamaan (2.56) dengan z+ menghasilkan v+z+2 = - v- z - z+ dan perkalian
Persamaan (2.56) dengan z – menghasilkan v-z -2 = -v+ z+ z -.
Penjumlahan keduanya menghasilkan :

v  z   v  z    z  z  (v   v  )  z  z  (v   v  )
2 2

(2.57)
Karena z  negative. Subtitusi Persamaan Debye-Huckel (2.50) ke dalam persamaan
(2.54) yang diikuti dengan penggunaan persamaan (2.57) menghasilkan :
AI m1 / 2
ln     z  z  (2.58)
1  BaI m1 / 2

Dengan menggunakan nilai – nilai SI untuk N A , k , e, dan  o dan  r = 78,38,

  997,05 kg/m3 untuk air pada 25oC dan 1 atm ke dalam persamaan (2.58), maka :
A = 1,1744 (Kg/mol)1/2, B = 3,285 x 109 (kg/mol)1/2m-1.
Dengan mensubsitusikan nilai – nilai A dan B ke dalam Persamaan (2.58) dan
membagi A dengan 2,3026 untuk mengubahnya ke dalam bentuk log, kita peroleh :
1/ 2
 Im 
 
log     0,510 z  z   mo 
(2.59)
1  0,328(a / Ao )( I m / m o )1 / 2
dengan 1 Ao = 10-10 m dan mo = 1 mol/kg. I m Pada persamaan (2.59) mempunyai

satuan mol/kg, dan diameter ion, a, mempunyai satuan panjang, sehingga   tidak
mempunyai satuan.
Untuk larutan yang sangat encer, I m sangat kecil dan suku kedua dalam penyebut
persamaan (2.59) dapat diabaikan dibandingkan dengan 1. Karena itu untuk larutan
yang sangat encer :
log     z  z  AI m1 / 2 (2.60)

dan untuk larutan yang sangat encer dengan pelarut air pada 25oC :
log    0,510 z  z  ( I m / mo )1 / 2

Persamaan (2.60) disebut sebagai Hukum Debye-Huckel terbatas (Debye-Huckel


Limiting Law, DHLL), karena hanya berlaku pada limit pengenceran tak hingga.
Untuk mengetahui sampai sejauh mana teori Debye-Huckel berlaku kita lihat
data eksperimen  i pada berbagai I m (Gambar 2.10). Dari gambar tersebut dapat
dilihat bahwa teori Debye-Huckel memberikan hasil yang sesuai dengan data
eksperimen ketika I m  0. Persamaan (2.60) cukup akurat saat I m  0,01 mol / kg.

Untuk elektrolit 2 : 2, ini sesuai dengan molalitas 0,01/4  0,002. Persamaan Debye-
Huckel yang lebih lengkap diperlukan untuk menentukan  i dari larutan

I m  0,1 mol / kg. Pada kekuatan ion tertentu, teori ini berlaku senakin baik ketika

 z  z  semakin kecil. Sebagai contoh, pada I m  0,1 mol / kg teori Debye-Huckel

lebih reliable untuk elektrolit 1 : 1 dibandingkan untuk elektrolit 2 : 2.


Penerapan DHLL pada Penentuan Konstanta Kesetimbangan Ion
Tetapan Kesetimbangan Asam Lemah
Penentuan tetapan kesetimbangan dapat membantu perhitungan koefisien keaktifan
dan sebaliknya. Prosedurnya dapat diilustrasikan dengan merujuk kepada disosiasi
asam asetat, CH3COOH
CH3COOH(aq) H+(aq) + CH3COO-(aq)
Tetrapan kesetimbangannya dinyatakan dengan :
aCH COO  a H 
Ka  3

aCH 3COOH (2.61)


K a  H CH
CH 3COO   
 

3COOH  u

Dengan   dan   adalah koefesien keaktifan ion dan  u adalah koefesien koefesien
keaktifan asam asetat tak terdisosiasi. Dalam larutan encer, molekul tak terdisosiasi
akan bersifat ideal (koefesien keaktifan = 1), tetapi   dan   akan berbeda cukup

jauh dari satu karena interaksi elektrostatik . Dengan m,engganti     oleh   dan
2

dengan mengambil bentuk logaritma Persamaan (2.61) menjadi :

log 
 
 H  CH 3COO    log K o
 2 log  
 CH 3COOH 


yang selanjutnya dapat kita tulis :
 c 2 
log    log K o  2 log   (2.62)
 1   
Dengan c adalah kosentrasi α adalah derajat disosiasi, yang dapat ditentukan dari
pengukuran hantaran. Oleh karena itu, sisi kiri persamaan dapat dihitung untuk
berbagai kosentrasi dan harga – harga tersebut sama dengan log K o  2 log   . Jika
kita gunakan persamaan DHLL, log   dapat diganti dengan ungkapan DHLL. Jika
larutan hanya mengandung asam asetat, kekuatan ionnya, I diberikan oleh :
I
1
2
 
c 12  c (1) 2  c , karena pada larutan dengan pelarut air yang
sangat encer ci  mi .
Jika ada ion lainnya, maka kontribusinya harus ditambahkan. Selanjutnya biasa
dilakukan plot sisi kiri persamaan (2.62) terhadap 1 = 0. memberikan harga Ko,
seperti yang tampak pada gambar 2.14.

Tetapan Hasil Kali Kelarutan


Di tingkat pertama, hasil kali kelarutan biasanya diungkapkan dalam bentuk
konsentrasi, tanpa melibatkan koefisien keaktifan, atau keaktifan. Sekarang kita akan
lihat suatu contoh, dalam hal ini hasil kali kelarutan untuk perak klorida, bahwa
pengungkapan dengan keaktifan akan lebih akurat.

AgCl(s) ↔ Ag+(aq) + Cl-(aq)


  
K sp  a Ag  aCl   Ag  Cl     
  
 Ag  Cl   
2

log 10 K sp  log Ag Cl   2 log


10
 
10 
untuk suatu larutan yang tidak memiliki ion senama, kelarutannya adalah :
   
s  Ag   Cl 
log 10 s 2  log 10 K sp  2 log 10  
1
log 10 s  log 10 K sp  log 10  
2
Sepanjang DHLL terpenuhi kita dapat memplot harga log s terhadapa I1/2 seperti yang
tampak pada gambar 2.12. Ekstrapolasi terhadap kekuatan ion nol, memberikan harga
log   = 0, dan memberikan harga ½ log Ksp yang diperoleh sebagai titik potong. Dari
harga tersebut tetapan hasil kelarutan termodinamika Ksp sebenarnya dapat dihitung.
MID SEMESTER …………………………
3. ELEKTROKIMIA

Elektrokimia adalah bagian dari ilmu kimia yang mempelajari hubungan


antara reaksi kimia dan aliran listrik. Aliran listrik merupakan aliran sesuatu yang
bermuatan seperti electron. Reaksi kimia manakah yang berhubungan dengan adanya
aliran electron? Reaksi yang berhubungan dengan adanya aliran electron adalah
reaksi yang melibatkan pelepasan dan penerimaan electron yang kita kenal dengan
reaksi oksidasi dan redukai atau redoks.
Reaksi redoks ada yang spontan ( G  0 ) ada yang tidak spontan ( G  0 ).
Reaksi redoks spontan dapat dirancang untuk menghasilkan arus listrik yang dapat
digunakan untuk menghasilkan kerja mekanik, cahaya dan sebagainya. Reaksi redoks
tidak spontan dapat dilangsungkan dengan menambahkan energi listrik dari luar. Alat
yang dapat digunakan untuk melangsungkan keduanya disebut sel elektrokimia.

3.1 Sel Elektrokimia

Sel elektrokimia terdiri dari sepasang elektroda yang dicelupkan ke dalam suatu
lelehan atau larutan ion dan dihubungkan dengan penghantar logam pada rangkaian
luar. Sel elektrokimia dapat berupa sel galvani dan sel elektrolisis.
Sel Galvani atau sel volta adalah elektrokimia yang dapat menghasilkan
energi listrik yang disebabkan oleh terjadinya reaksi redoks yang spontan, sedangkan
sel elektrolisis adalah sel elektrokimia yang menyebabkan terjadinya reaksi redoks
yang semula tidakl spontan dengan adanya listrik dari luar.

3.1.1 Sel Galvani


Seperti yang sudah diuraikan di atas, sel galvani mensyaratkan terjadinya
reaksi redoks spontan yang kemudian dirangkai sedemikian rupa agar menghasilkan
arus yang dapat menghasilkan kerja.
Untuk memahami sel galvanic marilah kita pelajari dulu reaksi redoks
spontan. Salah satu contoh reaksi redoks spontan adalah reaksi antara logam seng
dengan larutan tembaga (II) sulfat. Jika logam seng yang berwarna abu-abu mengkilat
dicelupkan ke dalam larutan tembaga (II) sulfat yang berwarna biru, lambat laun
permukaan logam seng akan menempel logam tembaga yang berwarna merah
kecoklatan, sementara warna biru dari larutan memudar. Tembaga yang menempel
pada logam seng berasal dari larutannya (sebagai ion tembaga (II). Cu2+ yang
memberikan warna biru dalam pelarut air), sementara logam seng membentuk ion
yang larut dalam air dengan tidak memberikan warna pada larutannya. Reaksi
tersebut dapat dinyatakan dengan persamaan :
Zn(s) + Cu2+ (aq)  Zn2+(aq) + Cu(s)
Dari persamaan reaksi di atas dapat dilihat bahwa logam seng mengalami oksidasi
membentuk ion seng (II). Reaksi ini disertai dengan pelepasan electron:
Zn(s)  Zn2+(aq) + 2e
Ion tembaga (II) membentuk logamnya dengan menerima electron:
Cu2+ (aq) + 2e  Cu(s)
Jika reaksi dilangsungkan dengan cara di atas, electron yang dilepaskan dari reaksi
oksidasi langsung digunakan untuk reaksi reduksi pada permukaan logam Zn.
Electron tidak berkesempatan untuk menghasilkan arus listrik yang dapat
menghasilkan kerja. Dalam sel galvani, electron dirancang untuk mengalir pada
rangkaian luar sehingga dapat menghasilkan kerja. Untuk maksud tersebut maka
reaksi oksidasinya harus dipisahkan dari reaksi reduksinya membentuk sel seperti
tampak pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1. Sel Daniell

Setengah-sel yang satu terdiri dari logam seng yang dicelupkan ke dalam larutan seng
(II) sulfat dan setengah-sel yang lainnya terdiri dari logam tembaga yang dicelupkan
ke dalam larutan tembaga (II) sulfat. Kedua larutan dipisahkan dengan membran
berpori. Jika kedua elektrodanya dihubungkan dengan sirkuit luar, dihasilkan arus
listrik yang dapat dibuktikan dengan menyimpangnya sedikit jarum galvanometer
yang dipasang pada rangkaian luar dari sel tersebut. Sel yang tampak pada gambar
3.1 disebut sel Daniell. Karena dialah yang yang pertama kali mengembangkannya.
Ketika sel Daniell digunakan sebagai sumber listrik terjadi perubahan dari Zn
menjadi Zn2+ yang larut.
Zn(s)  Zn2+(aq) + 2e (reaksi oksidasi)
Hal ini dapat diketahui dari semakin berkurangnya massa logam Zn. Di sisi lain,
elektroda Cu semakin bertambah massanya karena terjadi pengendapan Cu dari Cu 2+
dalam larutan.
Cu2+ (aq) + 2e  Cu(s)
Pada sel tersebut elektroda Zn bertindak sebagai anoda dan elektroda Cu
sebagai katoda. (Ingat kembali bahwa pada sel elektrokimia, baik sel galvanic
maupun sel elektrolisis, anoda adalah tempat terjadinya reaksi oksidasi dan katoda
merupakan elektroda tempat terjadinya reaksi reduksi. Untuk memudahkan
mengingat : perhatikan huruf pertama dari kata oksidasi dan kata anoda. Huruf o dan
a sama-sama merupakan huruf vocal. Sementara huruf pertama dari kata reduksi (r)
dan katoda (k) sama-sama huruf konsonan).
Ketika Daniell digunakan, terjadi arus electron dari elektroda seng (Zn) ke
elektroda tembaga (Cu) pada rangkaian luar. Kita ketahui bahwa dalam fisika ada
konvensi yang menyatakan bahwa pada suatu sumber arus, arus listrik mengalir dari
kutub positif ke kutub negative pada rangkaian luar, atau electron mengalir dari kutub
negative ke kutub positif. Pada sel Daniell yang sedang digunakan aliran electron
terjadi dari elektroda seng (Zn) ke elektroda tembaga (Cu). Oleh karena itu logam
seng bertindak sebagai kutub negative dan logam tembaga sebagai kutub positif
bersamaan dengan itu pada larutan dalam sel tersebut terjadi perpindahan sebagian
ion Zn2+ dari kiri ke kanan karena dalam larutan sebelah kiri terjadi kelebihan ion
Zn2+ dibandingkan ion SO42- yang ada. Sementara itu ion SO42- mengalir dari kanan
ke kiri karena sisi kanan kelebihan ion SO42- dibandingkan dengan ion Cu2+. Reaksi
total yang terjadi pada sel Daniell adalah :
Zn(s) + Cu2+ (aq)  Zn2+(aq) + Cu(s)
Reaksi tersebut merupakan reaksi redoks spontan yang dapat digunakan untuk
memproduksi listrik melalui rangkaian sel elektrokimia.
Sel Daniell sering pula dimodifikasi seperti yang terlihat pada Gambar 3.2 kedua
setengah sel dihubungkan dengan jembatan garam.

Gambar 3.2
Sel Daniell dengan jembatan garam

Jembatan garam biasanya berupa tabung berbentuk U yang diisi dengan agar
yang dijenuhkan dengan KCl. Jembatan garam berfungsi untuk menjaga penentralan
muatan listrik pada larutan. Karena konsentrasi larutan elektrolit pada jembatan
garam lebih tinggi dari pada konsentrasi di kedua bagian elektroda, maka ion negative
dari jembatan garam masuk ke salah satu setengah-sel yang kelebihan muatan
negative.
Dengan adanya jembatan garam terjadi aliran electron yang kontinyu melalui kawat
pada rangkaian luar dan aliran ion-ion melaui larutan sebagai akibat dari reaksi
spontan yang terjadi pada kedua elektroda.
Jika kedua elektrolit pada sel dipisahkan sama sekali tanpa adanya jembatan
garam, maka dapat dilihat bahwa aliran electron akan segera berhenti. Hal ini terjadi
karena pada kedua elektroda terjadi ketidaknetralan listrik, di satu bagian kelebihan
muatan positif dan dibagian lain kelebihan muatan negative. Dengan adanya jembatan
garam dapat terjadi penetralan muatan listrik di setiap elektroda melalui difusi ion-
ion, akan tetapi kedua larutan elektroda tetap dapat dijaga untuk tidak saling
bercampur bebas, sebab kalau dibiarkan bercampur maka ion Cu2+ akan bereaksi
langsung dengan elektroda Zn, dan electron tidak akan mengalir melalui kawat pada
rangkaian luar.
Penggunaan agar-agar mempunyai keuntungan, diantaranya menjaga agar
larutan elektrolit di satu bagian elektroda tidak mengalir ke elektroda lainya saat
permukaan kedua elektroda larutan elektrolit di kedua elektrolit berbeda.
Hal berikutnya yang bisa kita pertanyakan adakah sel Daniell dijadikan sebagai sel
elektrolisis ?

3.1.2. Sel Elektrolisis


Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya sel elektrolisis adalah sel elektrokimia yang
menimbulkan terjadinya reaksi redoks tak spontan dengan adanya energi listrik dari
luar.

Reaksi sebaliknya dari sel Daniell yakni reaksi Zn2+(aq) + Cu(s)  Zn(s) + Cu2+ (aq)

adalah reaksi redoks yang tidak spontan. Reaksi tersebut dapat terjadi jika pada sel
Daniell diterapkan beda potensial listrik dari luar yang besarnya melebihi potensial
sel Daniell. Dengan demikian aliran electron pada rangkaian luar dan aliran ion-ion
dalam larutan elektrolit berlawanan dengan aliran ion dan electron pada sel Daniell
sebagai sel volta. Perhatikan dengan teliti dan bandingkan Gambar 3.1. (Sel Daniell
sebagai sel volta) dan Gambar 3.3. (Elekrolisis pada Sel Daniell).

Gambar 3.3 Elektrolisis pada sel Daniell


Dari uraian tersebut dapat kita lihat bahwa selvolta seperti sel Daniell dapat
dijadikan sebagai sel elektrolisis asal dipenuhi kriteriannya.
Jadi gambaran di atas dapat kita lihat bahwa sel elektrolisis tidak selalu terjadi dalam
satu wadah dengan satu elektrolit dan dua elektroda yang sama, tapi dapat juga terjadi
dalam dua wadah dengan dua elektrolit yang berbeda dan juga dengan elektroda yang
berbeda. Biasanya sel elektrolisis terdiri dari satu wadah dengan dua elektroda yang
sama, contohnya adalah elektrolisis lelehan NaCl dengan elektroda Platina (Gambar
3.4)
Gambar 3.4
Elektrolisis lelehan NaCl dengan elektroda Pt

Elektroda yang dihubungkan dengan kutub negative sumber arus searah akan mejadi
kutub negative sel dan elektroda yang dihubungkan dengan kutub positif sumber arus
searah akan menjadi kutub positif dari sel. Ion-ion Na+ akan bergerak menuju kutub
negative dan pada elektroda tersebut terjadi reaksi :
Na+ (l) + e  Na(s) (reduksi)
Ion-ion Cl- bergerak menuju elektroda positif dan pada elektroda tersebut terjadi
reaksi :
2Cl- (l)  Cl2 (g) + 2e (oksidasi)
Karena pada elektroda negative terjadi reaksi reduksi maka elektroda tersebut
merupakan katoda. Pada elektroda positif terjadi reaksi oksidasi. Oleh karena itu
elektroda tersebut merupakan anoda.

3.1.3 Notasi sel dan Reaksi sel


Informasi yang lengkap dari suatu sel elektrokimia dapat dituliskan secara
singkat dengan notasi sel. Dari notasi sel dapat diketahui jenis elektrolit yang kontak
dengan elektroda termasuk konsentrasi ion-ionnya, anoda dan katodanya serta
pereaksi dan hasil reaksi setiap setengah-sel.
Pada notasi sel, setengah-sel anoda dituliskan terlebih dahulu, diikuti dengan
setengah-sel katoda. Satu garis vertical menggambarkan batas fasa. Garis vertical
putus-putus sering digunakan untuk menyatakan batas antara dua cairan yang saling
melarutkan. Dua spesi yang ada dalam fasa yang sama dipisahkan dengan tanda
koma. Garis vertical rangkap dua digunakan untuk menyatakan adanya jembatan
garam. Untuk larutan, konsentrasinya dinyatakan di dalam tanda kurung setelah
penulisan rumus kimianya. Sebagai berikut :
Zn(s) Zn2+ (1,00 m) Cu2+ (1,00 m) Cu(s)

Zn(s) Zn2+ (1,00 m) Cu2+ (1,00 m) Cu(s)

Pt Fe2+, Fe3+ H+ H2 Pt

Karena yang dituliskan terlebih dulu (elektroda sebelah kiri) dalam notasi
tersebut adalah anoda, maka reaksi yang terjadi pada elektroda sebelah kiri adalah
oksidasi dan elektroda yang dituliska berikutnya (elektroda kanan) adalah katoda
maka reaksi yang terjadi pada elektroda kanan adalah reaksi reduksi.
Untuk sel dengan notasi :

Zn(s) Zn2+ (1,00 m) Cu2+ (1,00 m) Cu(s)

Reaksinya adalah :
Zn(s)  Zn2+(aq) + 2e (reaksi oksidasi)
Cu 2+
(aq) + 2e  Cu(s) (reaksi reduksi)

Zn(s) + Cu2+ (aq)  Zn2+(aq) + Cu(s)


3.2 EMF dan Pengukurannya

Pada sel Galvani seperti sel Daniell, electron mengalir melaui rangkaian luar
karena adanya beda potensial di antara kedua elektrodanya. Sel ini dapat dibuat
berperilaku reversible dengan cara mengimbangi potensialnya dengan suatu potensial
eksternal sehingga tidak ada aliran arus. Saat potensial listrik tersebut benar-benar
diimbang, sel tersebut bereaksi reversible dan potensialnya dirujuk sebagai emf
(electromotive force) atau potensial sel (cell voltage). Hal ini bisa dilakukan dengan
menggunakan suatu potensimeter.
Rangkaian potensiometer dapat dilihat pada Gambar 3.5. berikut :

Gambar 3.5. Rangkaian potensiometer

Karena potensial sel merupakan beda potensial antara kedua elektroda pada
sel saat sel tersebut bereaksi reversible dan reaksi reversible dapat dicapai saat arus
yang lewat sama dengan nol, maka arus listrik yang keluar dari sel harus diimbangi
oleh arus sel kerja yang mempunyai potensial yang lebih besar dari potensial sel yang
akan diukur. Jadi kutub sel galvani harus dipasang sedemikian rupa sehingga arusnya
berlawanan dengan kutub-kutub listrik dari luar seperti yang terlihat pada Gambar
3.5.
Sel kerja dihubungkan dengan kawat yang homogen (BC) yang mempunyai
tahanan yang tinggi. Sel yang akan diukur, Sx dihubungkan dengan B dan
galvanometer G. kontak peluncur (tanda panah) digeser sedemikian rupa sampai
galvanometer menunjukkan tak ada arus yang mengalir, missal di titik D. pada titik
ini, potensial sel kerja sepanjang BD diimbangi dengan tepat oleh potensial dari sel
X, Ex. Dengan mengetahui kuat arus yang mengalir (diukur dengan ammeter di titik
A), dan tahanan jenis (ρ) serta luas penampang kawat tahanan BC maka potensial sel
X dapat dihitung melaui persamaan :
Ex = IRx
= I ρ (l/A)

Akan tetapi cara tersebut hamper tidak pernah dilakukan karena ρ dan
terutama luas penampang tahanan (A) tidak diketahui. Cara yang biasa dilakukan
adalah dengan mengkalibrasi kawat tahanan BC dengan sel standar yang sudah
diketahui potensialnya. Caranya sama seperti tadi, tapi sel yang digunakan bukan sel
X melainkan sel standar. Misalkan diperoleh jarak saat tidak ada arus mengalir ke
dalam sel standar adalah BE, yang sesuai dengan E sel standar = Is.Rs . Kita jangan
mengubah-ubah lagi kuat arus ke dalam sel satndar dari DC-PS, lalu kita ganti sel
standar dengan sel X, dengan cara yang sama ukur jarak kawat tahanan saat tak ada
arus melalui sel X, missal jarak yang diperoleh oleh BF, yang sesuai dengan E sel X.
Karena I dari DC-PS sama ketika digunakan saat mengukur E sel X dan E sel standar,
maka :
Is = Ix, sehingga :
E sel standar E
= X
Rs RX

RX
Atau EX = x ES
RS
l
Karena R = ρ , dan kawat homogen (ρX = ρS dan AX = AS ), maka :
A
lX
EX = x ES
lS

BF
EX = x ES
BE
Sebelumnya sudah dikemukakan bahwa untuk mengkalibrasi kawat tahanan pada
potensiometer diperlukan sel standar. Suatu sel dapat dijadikan sel standar jika
potensialnya tidak berubah oleh waktu, tidak rusak jika dialirkan arus listrik ke
dalamnya, bersifat reversible dan mempunyai koefisien suhu dari potensial sel yang
rendah. Sel yang sangat mendekati sifat-sifat tersebut adalah sel Weston yang
bentuknya nampak seperti Gambar 3.6. di bawah ini :

Gambar 3.6. Sel Weston


Sel ini terdiri dari tabung kaca berbentuk huruf H. Elektroda yang satu merupakan
amalgam dari cadmium. Elektroda lainnya adalah raksa yang tertutup pasta raksa (I)
sulfat dan raksa. Di atas kedua elektroda ditaburkan kristal padat cadmium sulfat
sebagai hidratnya CdSO4.8/3 H2O. larutan elektrolit yang digunakan adalah larutan
CdSO4. Kontak dengan zat aktif dilakukan melalui kawat platina yang dilas dibawah
kaki tabung.
Sel ini bekerja berdasarkan reaksi reversible berikut :
Cd(S) + Hg2SO4(S) + 8/3 H2O(l) = CdSO4.8/3 H2O(S) + 2Hg(l)

Reaksi dalam arah yang dituliskan terjadi jika sel bertindak sebagai sumber arus,
sementara reaksi sebaliknya terjadi jika arus dari luar dialirkan ke dalam sel.
Sel Weston di atas disebut juga sebagai sel Weston jenuh. Potensial dari sel ini pada
suhu toC mengikuti persamaan :
Et
= 1,01830 – 4,06 x 10-5 (t - 20) – 9,5 x 10-7 (t - 20)2
V
Sel Weston yang tidak jenuh biasanya digunakan sebagai sel standar sekunder dengan
potensial mendekati 1,0186 V pada suhu 20 oC.

Potensial sel dan potensial elektroda


Potensial elektroda tidak dapat diukur. Yang dapat diukur adalah potensial selnya.
Yakni perbedaan potensial dari kedua elektroda penyusun sel tersebut.
Berdasarkan konvensi IUPAC, potensial sel didefinisikan sebagai:
Esel = Ekanan – Ekiri
Dengan Esel potensial sel, Ekanan potensial elektroda sebelah kanan (dalam bentuk
reduksi), Ekiri potensial elektroda (oksidasi) untuk elektroda sebelah kiri seperti yang
tercantum dalam notasi selnya.
Karena elektroda sebelah kanan merupakan katoda dan elektroda sebelah kiri
merupakan anoda maka potensial sel dapat dituliskan sebagai :
Esel = Ekatoda – Eanoda

3.3 Jenis-jenis Elektroda Reversible


Kereversibelan pada elektroda dapat diperoleh jika pada elektroda terdapat
semua pereaksi dan hasil reaksi dari setengah reaksi elektroda. Contoh elektroda
reversibel adalah logam Zn yang dicelupkan ke dalam larutan yang megandung Zn2+
(misalnya dari larutan ZnSO4). Ketika elektron keluar dari elektroda ini, setengah
reaksi yang terjadi adalah :
Zn (s) → Zn2+ (aq) + 2e

Dan sebaliknya jika elektron masuk ke dalam elektroda ini terjadi reaksi yang
sebaliknya.
Zn2+(aq) + 2e → Zn(s)

Tetapi jika elektroda Zn trersebut dicelupkan ke dalam larutan KCl, tidak dapat
terbentuk elektroda yang reversible karena saat ada elektron keluar dari elektroda ini
terjadi setengah reaksi:
Zn(s) → Zn2+(aq) + 2e-

Akan tetapi saat ada elektron yang masuk ke dalam elektroda ini, yang terjadi adalah
setengah reaksi :
2H2O + 2e → H2 + 2OH-

Dan bukan reaksi :


Zn2+ (aq) + 2e- → Zn(s)
Karena larutan yang digunakan tidak mengandung Zn2+. Jadi dalam hal ini
kereversibelan memerlukan adanya Zn2+ yang cukup dalam larutan di sekitar
elektroda Zn.

Elektroda logam- ion logam

Pada elektroda ini logam L ada dalam kesetimbangan dengan larutan yang
mengandung ion LZ+. Setengah reaksinya ditulis :
LZ+ + ze- → L
Contoh dari elektroda ini diantaranya Cu2+ │Cu; Zn2+│ Zn, Ag+ │Ag, Pb2+ │ Pb
Logam-logam yang dapat mengalami reaksi lain selain dari reaksi setengah sel yang
diharapkan tidak dapat digunakan. Jadi logam-logam yang dapat bereaksi dengan
pelarut tidak dapat digunakan. Logam-logam golongan IA dan IIA seperti Na dan
Ca dapat bereaksi dengan air, oleh karena itu tidak dapat digunakan. Seng dapat
bereaksi dengan larutan yang bersifat asam. Logam-logam tertentu perlu diaerasi
dengan N2 atau He untuk mencegah oksidasi logam dengan oksigen yang larut.

Elektroda amalgam
Amalgam adalah larutan dari logam dengan cairan Hg. Pada elektroda ini amalgam
dari logam L berkesetimbangan dengan larutan yang mengadung ion LZ+ , dengan
reaksi :
LZ+ + ze- → L(Hg)
Dalam hal ini raksa sama sekali tidak terlibat dalam reaksi elektroda. Logam aktif
seperti Na, K, Ca, dan sebagainya bisa digunakan dalam elektroda amalgam.

Elektroda logam-garamnya yang tak larut.


Pada elektroda ini logam L kontak dengan garamnya yang sangat sukar larut (LV+XV-)
dan dengan larutannya yang jenuh dengan garam tersebut serta mengandung garam
yang larut (atau asam) yang mengandung Xz+. Contoh dari dari elektroda ini adalah
elektroda perak-perak klorida, elektroda kalomel, dan elektroda timbal-timbal sulfat

Elektroda perak-perak klorida


Pada elektroda ini , logam perak kontak dngan padatan perak klorida yang
merupakan garam yang sangat sukar larut. Keseluruhannya dicelupkan ke dalam
larutasn kalium klorida (KCl).
Elektroda ini dipresentasikan dengan :
Ag │AgCl (s)│ Cl-
Jika kita set elektroda ini dengan elektroda hiodrogen memberikan :
Pt, H2(1 bar) │H+ (a=1) ║Cl- (a=1) │AgCl(s) │ Ag
Pada 25oC nmemberikan potensial sel 0,22233 volt. Karena Eo = Eokanan – Eo Kiri dan
Eokiri adalah lektroda hidrogen dengan Eo= 0 V maka Eo kanan (potensial elektroda
standar Ag- AgCl) adalah 0,22233 Volt.
Reaksi elektrodanya :
½ H2 → H+ + e-
AgCl(s) + e- →Ag + Cl-
Reaksi keseluruhannya :
½ H2 + AgCl(s) → H+ + Cl- + Ag

Elektroda kalomel
Elektroda ini dapat dilihat pada gambar 3.7. pada elektroda ini , raksa (Hg)
ada dalam keadaan kontak dengan raksa (1) klorida , Hg2Cl2 (kalomel) yang
dicelupkan ke dalam larutan KCl 0,01 M atau KCl jenuh.
Jika diset dengan elektroda hidrogen :
Pt, H2 (1 bar) │H+ ║ Cl- │Hg2Cl2 (s) │Hg
Reaksi elektroda :
Reaksi di anoda : ½ H2 → H+ + e-
Reaksi di katoda : ½ Hg2Cl2 (s) + e → Hg + Cl-

Reaksi keseluruhan : ½ H2 + ½ Hg2Cl2(s) → H+ + Cl- + Hg

Potensial sel pada keadaan standar 0,337 Volt, sehingga Eo kalomel = 0,337 V
Jika digunakan KCl jenuh pada 25oC memberikan E= 0,2412 V
Gambar 3.7. elektroda kalomel

Elektroda Gas

Pada elektroda gas, gas berkesetimbangan dengan ionnya dalam larutan.


Contoh dari elektroda ini adalah elektroda hidrogen dan elektroda klor. Elektroda
hidrogen dapat dilihat pada gambar 3.8. berikut :

Pada elektroda ini gas hidrogen, H2 berkesetimbangan denan ionnya , H+. Reaks
reversibelnya adalah :
2H+ + 2e- → H2
Elektroda ini dipresentasikan dengan :
Pt│ H2 (g) │ H+ (aq)
Gambar 3,8. elektroda hidrogen

Elektroda redoks
Sebetulnya semua elektroda melibatkan setengah reaksi oksidasi-reduksi. Tapi istilah
untuk elektroda redoks biasanya hanya digunakan elektroda yang setengah reaksi
Redoksnya melibatkan dua spesi yang ada dalam larutan yang sama. Contoh dari
elektroda ini adalah Pt yang dicelpkan ke dalam larutan yang mengandung ion-ion
Fe2+ dan Fe3+ yang gambarnya tampak seperti pada gambar 3.9 berikut.

Gambar 3.9. elektroda redoks


Dengan setengah reaksi : Fe 3+
+ e-  Fe2+. Notasi setengah selnya adalah
Pt│Fe3+,Fe2+
contoh lainnya untuk elektroda redoks adalah Pt│MnO4-, Mn2+

Elektroda membran selektif ion


Elektroda ini mengandung membran gelas, kristal atau cairan yang
mempunyai sifat berikut : perbedaaan potensial antara membran dan elektrolit yang
kontak dengan membran tersebut ditentukan oleh aktivitas dari ion tertentu.
Elektroda membran yang paling tua dan yang paling benyak digunakan adalah
elektroda gelas. Elektroda ini dikatakan selektif ion karena hanya spesifik untuk ion
H+. Elektroda ion dapat dilihat pada gambar 3.10

Gambar 3.10. elektroda gelas

Elektroda gelas terdiri dari membran yang sanga tipis yang terbuat dari gelas yang
permeabel terhadap ion H+. Elektroda Ag│AgCl dicelupkan ke dalam larutan buffer
yang menandung ion Cl-. Kadang-kadang digunakan juga elektroda kalomel untuk
menmgganti elktroda Ag││AgCl. Elektroda gelas terutama digunakan pada
pengukuran pH.

Potensial Elektroda Standar


Potensial elektroda standar tidak dapat diukur. Yang dapat diukur adalah beda
potensial dari kedua elektroda (dalam satu sel). Untuk itu perlu suatu elektroda yang
potensialnya diketahui dan ini tidak ada. Dalam hal ini dipilih elektroda hidrogren
standar sebagai pembanding, dengan konvensi bahwa elektroda ini mempunyai
potensial sama d engan nol.
Untuk mengetahui potensial dari suatu elektroda, maka disusun suatu sel yang
terdiri dari elektroda tersebut dipasangkan dengan elektroda hidrogen standar
(standard Hydrogen Electrode). Keadaan standar untuk suatu elektroda adalah jika
aktivitas ionnya sama dengan satu, dan jika melibatkan gas fugasitasnya juga satu.
Jadi elektroda hidrogen pada keadaan standar jika fugasitas gas H2 =1, dan aktivitas
ion H+=1
Potensial suatu elektroda X didefinisikan sebagai potensial sel yang dibentuk dari
elektroda tesebut dengan lektroda hidrogen standar, dengan elektroda X selalu
bertindak sebagai katoda. IUPAC memilih menempatkan elektroda hidrogen pada sisi
kiri, dan emf dari elektroda lainnya diambil sebagai emf sel tersebut. Hanya emf yang
demikian, pada kondisi standar disebut sebagai potensial elektroda standar atau
potensial reduksi standar.
Sebagai contoh potensial elektroda Cu2+/Cu adalah Ex, untuk sel
Pt│H2(1 bar)│H+( a H   1) ║Cu2+│Cu

E sel  E Ka  E Ki

E sel  ECa  E H 2

Karena E H 2 pada PH 2  1 bar dan a H   1 adalah nol, maka:


E sel  ECu

Jika aCu 2   1 diperoleh Esel untuk sel diatas adalah 0,337 V, jadi

ECu  0,337  E o  0,337 V


Ini menunjukkan adan kecenderungan yang lebih besar untuk proses :

Cu2+ + 2e → Cu daripada 2H+ +2e → H2

Nilai potensial elektroda bukan nilai mutlak, melainkan relatif terhadap elektroda
hidrogen. Karena potensial elektroda dari elektroda X didefinisikan dengan
menggunakan sel dengan elektroda X bertindak sebagai katoda (ada di sebelah kanan
pada notasi sel), maka potensial elektroda standar dari elektroda X sesuai dengan
reaksi reduksi yang terjadi pada elektroda tersebut. Oleh karena itu semua potensial
elektroda standar adalah potensial reduksi.

Dari definisi : E sel  E kanan  E kiri


Kanan dan kiri disini hanya berhubugan dengan notasi sel, tidak berhubungan dengan
susunan fisik sel tersebut di laboratorium.
Jadi yang diukur di laboratorium dengan potensiometer adalah emf dari sel
sebagai nolta atau sel galvani, dengan potensial sel>0. sebagai contoh untuk sel yang
terdiri dari elektroda seng dan elektroda hidrogen dri pengukuran diketahui bahwa
elektron mengalir dari seng melalui rangkaian luar ke elektroda hidrogen dengan
potensial sel pada keadaan standar 0,762 V.
Zn → Zn2+ + 2e

(H- + e H2) x2

Zn + 2H+ → Zn 2+ + 2H2 Eo = 0,762 V


E o  EHo / / H  EZn
o
2
/ Zn
2

E o
Zn 2  / Zn
 0,762V

Artinya ada kecenderungan yang lebih besar untuk proses :


Zn → Zn2+ + 2e dari pada H2 → 2H+ + 2e

Jika potensial elektroda berharga positif, artinya elektroda tersebut lebih mudah
mengalami reduksi H+, dan jika potensial elektroda berharga negatif artinya elektroda
tersebut untuk mengalami reduksi dibanfdingkan dengan H+.
Potensial elektroda sering kali disebutsebagai potensial elektroda tunggal,
sebenarnya kata ini tidak tepat karena kita tahu bahwa elektroda tunggal tidak dapat
diukur.
Kita dapat mengfhitung potensial sel yang melibatkan dua elektroda, misalnya
untuk sel : Zn│Zn2+ (a=1)║Cu2+ (a=1)│Cu, dengan
Cu2+ + 2e → Cu Eo= -0,34 V
Zn2+ + 2e → Zn Eo= -0,76 V
Reaksi di anoda : Zn → Zn2+ + 2e
Reaksi di katoda : Cu2+ + 2e → Cu

Reaksi Keseluruhan : Cu2+ + Zn →Zn2+ + Cu


Potensial sel :
Esel  Ekatoda  Eanoda
= 0,34 V – (-0,76 V)
= 1,1 V
Potensial setengah sel adalah suatu sifat intensif. Ingat bahwa dalam penulisan reaksi
sel elektroda, tak ada perbedaan apakah ditulis untuik 1 elelktron ataupun lebih. Jadi
untuk reaksi elektroda hidrogen dapat ditulis :
2H+ + 2e → H2 atau H+ +e → ½ H2

Tetapi dalam menuliskan pproses keseluruhan kita harus menyeimbangkan


elektronnya.
Jadi untuk sel : Pt, H2 (1 bar)│H+ (a =1)║Cu2+ (a=1)│Cu
Reaksi elektroda dapat ditulis :

H2 → 2H+ +2e dan Cu2+ +2e → Cu


Sehingga keseluruhan prosesnya adalah :
H2 + Cu2+ → 2H+ + Cu
Proses ini didasari pelewatan 2 elektron pada rangkaian luar
Kita dapat menuliskannya (sama baiknya) sebagai :
1/2 H2 → H+ + e dan 1/2Cu2+ + e → ½ Cu
Dengan reaksi kese;luruhan
1/2H2 + 1/2Cu2+ → H+ + 1/2Cu
Dalam proses ini setiap 0,5 mol Cu2+ hilang 0,5 mol Cu muncul, 1 mol electron lewat
dari elektroda kiri ke kanan.

3.5. Termodinamika Sel Elektrokimia


3.5.1. Energi Gibbs
Kontribusi awal terhadap termodinamika sel elektroda kimia diberikan oleh
Joule (1840) yang memberikan kesimpulan bahwa :
Panas (Heat) yang diproduksi berbanding lurus terhadap kuadrat arus I2 dan resistensi
R. Dan karena juga berbanding lurus terhadap waktu (t). Joule menunjukkan bahwa
panas berbanding lurus terhadap :
I2Rt
Karena : R = V/I
maka panas (kalor) berbanding lurus terhadap
V/t
q = V/t

dengan satuan: q = Joule(J) = kg m2s-2

V = Volt (V) = kg2 s-3 A-1


I = Ampere (A)
t = Detik (s)

Hubungan di atas adalah benar. Tapi terjadi kesalahan fatal dengan


menafsirkan bahwa panas yang diproduksi tersebut adalah panas reaksi. (Joule,
Helmholtz, william Thomson).
Penafsiran yang benar diberikan oleh Willard Gibbbs (1878) bahwa panas yang
dihasilkan merupakan perubahan bentuk kerja dari yang dilakukkan sel (wlistrik).

wlistrik = QV = (It)(IR) = I2Rt

Kerja yang dilakukan oleh sel elektrokimia sama dengan penurunan energi Gibbs,
yaitu kerja maksimum diluar kerja –PV.
Ini dapat diilustrasikan dengan sel berikut:
Pt|H2|H+||Cu2+|Cu
Reaksi di anoda H2 2H+ + 2e-
Reaksi di katoda Cu2+ + 2e- Cu
Reaksi keseluruhan H2 + Cu2+ 2H+ + Cu

Saat 1 mol H2 bereaksi dengan 1 mol Cu2+, 2 mol elektron mengalir melalui
rangkaian luar. Menurut Hukum Faraday , ini berarti terjadi aliran listrik sebesar {(2
mol)(6,02 x 1023 mol-1)(1,6 x 10-19C)} = 2 x 96,485 C listrik. Potensial sel tersebut
adalah + 0,3419 V, sehingga kerja listrik yang dihasilkan adalah :

wlistrik = QV
= 2 x 96,485 C x 0,3419 V = 6,598 x 104 J

Kerja dilakukan sistem. Karena kerja yang dilakukan oleh sel elektrokimia sama
dengan penurunan energi Gibbs maka:

ΔG = -6,598 x 1014 J
Secara umum :
ΔG = -nFE

dan pada keadaan standar :


ΔG o = -nFEo
Melalui hubungan tersebut dapat pula ditentukan kriteria kespontanan melalui E.
Suatu proses dikatakan spontan jika ΔG < 0. Dari persamaan ΔG = -nFE, dengan
demikian reaksi spontan jika E > 0 dan tidak spontan jika ΔG > 0 atau E < 0. Dan
reaksi ada dalam kesetimbangan saat ΔG = 0 atau E = 0. Oleh karena itu potensial sel
pada keadaan standar dapat digunakan untuk menentukan tetapan kesetimbangan
melalui perubahan energi Gibbs.
Untuk reaksi berikut:

aA + bB = yY + zZ

Perubahan energi Gibbs untuk reaksi tersebut adalah :


 a yaz 
ΔG = ΔGo + RT ln  Ya Zb 
 a AaB 
Saat kesetimbangan ΔG = 0,
 aYy a Zz 
ΔG = -RT ln  a b
o
 , dengan menggunakan ΔGo = -nFEo maka
 a AaB  eq

RT  a yaz 
Eo = + ln  Ya Zb 
nF  a AaB  eq
RT
Eo = ln K
nF

3.5.2 Persamaan Nernst


Secara umum untuk reaksi :
aA + bB = yY + zZ
 a yaz 
ΔG = ΔGo + RT ln  Ya Zb 
 a AaB 

dan melalui hubungan ΔG = -nFE, diperoleh :

RT  a yaz 
E = Eo - ln  Ya Zb  (Persamaan Nernst,1889)
nF  a AaB 

Untuk sel:
Pt,H2 (I bar)| H+(aq)|| Cu2+|Cu

Dengan reaksi :
H2 + Cu2+ 2H+ + Cu

Maka :
2
o aH 
ΔG = ΔG + RT ln
a Cu 2 

Karena aCu = 1 dan f H2 pada 1 bar dapat diasumsikan ideal, sehingga a f H2 = PH 2

maka :
2
RT a 
-nFE = -nFEo + ln H
nF a Cu 2 
2
RT a 
E = Eo - ln H
nF a Cu 2 

3.5.3. Koefisien suhu dari potensial Sel

E
Koefisien suhu dari potensial sel yakni dapat digunakan untuk menentukan
T
besaran-besaran termodinamika lain seperti ΔS dan ΔH.
Dari persamaan fundamental : dG = -SdT + VdP, maka :

 G   G 
  =-S atau S = - 
 T  P  T  P

 G   G 
  =V atau V=  
 P  T  P  T

Dengan demikian perubahan entropi:

 G 
ΔS = -  
 T  P

 (nFE ) 
ΔS = -  
 T  P
 E 
ΔS = nF  
 T  P

Dari perubahan entalpi :

ΔH = ΔG + TΔS
 E 
ΔH = -nFE + nFT  
 T  P

 E 
ΔH = -nF  E  T 
 T  P

 E 
Harga   (koefisien suhu) diperoleh melalui pengukuran E pada berbagai
 T  P
suhu dengan P tetap.

3.6. Jenis-jenis Sel Elektrokimia

Sel elektrokimia atau lebih spesifik lagi sel galvanic diklasifikasikan sebagai
berikut :
3.6.1. Sel Kimia

Pada set ini kedua elektroda yang digunakan berbeda sehingga reaksi
elektrokimia pada kedua setengah-sel berbeda dan reaksi keseluruhannya
merupakan reaksi kimia. Sel kimia terdiri dad set kimia tanpa perpindahan
(without transference) clan set kimia denoan perpindahan (with transference).

Sel Kimia Tanpa Perpindahan

Pada set ini, elektroda yang satu reversibel terhadap kation clan elevtroda lainnya
reversibel terhadzp anion dari elektrolit yang digunakan. Contoh :

1) Jika elektrolitnya larutan HCI, elektroda yang satu harus reversibel terhadap
ion H+ dan elektroda lainnya harus reversibel terhadap ion CI".

 Elektroda yang reversibel terhadap H + : elektroda hidrogen

 Elektroda yang reversibel terhadap Cl - : elektroda klor, kalomel atau perak-


perak klorida.
2) Jika elektrolitnya ZnBr2, maka

 Elektroda yang reversibel terhadap Zn 2+ : elektroda Zn

 Elcktroda yang reversibel terhadap Br - : elektroda Br2, Ag/AgBr, Hg-


HgBr2 .

3) Apa elektrodanya jika elektrolitnya larutan CdSO 4 ?

Sel Yang memenuhi contoh (1) di atas misalnya:

Pt|H2 (gf H2 )|HCI(aHCl )|AgCl(s) |Ag(s)


Reaksinya adalah :

Reaksi oksidasi: 1/2H2 (g,fH2 ) → H+ (aH+) + e

Reaksi reduksi : AgCI(s) + e → Ag(s) + Cl -(aCl- )

Re3ksi sel: 1/2H 2 (g,f H2 ) + AgCI(s) → H + (aH+ ) + Ag(s) + CI - (aCl- )

Sel kimia tanpa perpindahan biasa digunakan untuk penentuan potensial


clektroda standar dan penentuan koefisien aktivitas elektrolit.

Sel Kimia dengan Perpindahan

Pada sel ini terjadi kontak antara dua larutan dengan konsentrasi bcrbeda
atau ion-ion berbeda atau keduanya. Pada perbatasan kedua cairan/liquid
junction timbul beda potensial yang disebut liquid junction potential atau
potensial perbatasan, E j , yang tetjadi karena difusi ion-ion melalui perbatasan
kedua larutan. Pada proses ini in-ion yang cepat akan mendahului yang lambat
akibatnya terjadi pemisahan muatan yang menimbulkan beda potensial, Ej yang
terukur Bersama-sama dengan potensial elektroda sehingga potensial sel akan
sama dengan beda potensial kedua elektroda ditambah dengan potensial
junction.
Esel = Ekanan – Ekiri + Ej
Karena E j tidak dapat diukur, tersendiri (terpisah), maka sel kimia dengan
perpindahan tidak cocok untuk mengevaluasi besaran-besaran tcrmodinamika.
Kontribusi Ej pada potensiai sel dapat diperkecil dengan menggunakan
jembatan garam, laratan ienuh suatu garam, (misalnya yang biasa digunakan
adalah KCl) dalam agar-agar. Adanya jembatan garam menyebabkan adanya
pertemuan dua elektrolit ini menyebabkan munculnya potensial perbatasan di
kedua elektrolit, tapi potensial perbatasan antara larutan KCl pckat dalam agar -
agar dengan larutan encer pada setengah sel sangat kecil. Hal ini terjadi karena
larutan KCl yang digunakan pekat sehingga potensial perbatasan terutama
ditentukan oleh ion-ion dari larutan tersebut , sementara ion-ion dari larutan
encer memberikan kontribusi yang dapat diabaikan terhadap potensial
perbatasan. Meskipun demikian, untuk mengidentifikasi bagaimana
pengurangannya secara tepat sampai saat ini masih belum jelas. Hal ini diduga
karena kecepatan kation dua anion yang sama menyebabkan junction potential
antara kedua larutan dengan jembatan garam mempunyai arah yang berlawana n
sehingga saling meniadakan. Jika Ej ditiadakan, maka untuk sel yang semula
dituliskan seperti Zn|Zn 2+ Cd 2+ |Cd berubah menjadi : Zn|Zn 2+ ||Cd2+ |Cd

Contoh penentuan Esel kimia dengan perpindahan untuk sel :

Zn|ZnCl 2 (m = 0,5)||CdSO 4 (m = 0,1)|Cd

Zn Zn2+ + 2e

Cd2+ + 2e Cd

Zn + Cd 2+ Zn2+ + Cd

Persamaan Nernst-nya :
RT a 2
E = Eo - ln Zn
 F aCd 2
RT m 2  2
= Eo - ln Zn Zn
 F mCd 2  Cd 2
Pada 25 o C, E O = 0,359 V dan hasil percobaan untuk ZnCl 2 0,5 m, γ ± = 0,376
dan untuk CdSO 4 0,1 m, γ± = 0,137.

Dengan mengansumsikan koefisien rata-rata = koefisien aktivitas ion-ionnya,


0,591 0,5 x0,376
maka : E = 0,359 – log
2 0,1x0,137

= 0,352 V

3.6.2 SeL Konsentrasi

Pada sel konsentrasi reaksi keseluruhan dari sel tersebut


merupakan

transfer materi dari satu bagian ke bagian lainnya. Pada sel ini yang berbeda
hanyalah konsentrasi, bukan jenis elektroda dan elektrolitnya.

Pada sel konsentrasi, karena jenis elektroda dan elektrolit di


kedua bagian (anoda dan katoda) sama, maka potensial elektroda standarnya
juga sama. Dengan demikian potensial selnya pada keadaan standar, E o, sama
dengan nol.

E osel = E okatoda - Eoanoda

= (x-x) V = 0 V

Ingat, E o ≠ E, kecuali pada keadaan standar.

Sel konsentrasi terdiri dari sel konsentrasi elektroda dan sel konsentrasi
elektrolit.
Sel Konsentrasi Elektroda

Sel ini hanya berbeda pada konsentrasi elektrodanya saja dan tidak pada
jenis elektroda serta elektrolit yang digunakan. Pada sel ini proses pengaliran
electron disebabkan oleh perbedaan konsentrasi elektroda. Reaksi total
merupakan perpindahan materi elektroda yang satu ke elektroda yang lain.
Elektroda gas dan amalgam masuk ke dalam klasifikasi ini.

Sel Konsentrasi Elektroda Gas

Sel konsentrasi elektroda yang terdiri dari elektroda gas dapat diilustrasikan
sebagai berikut :

Pt | H 2 (P 1 ) | HCl | H 2 (P 2 ) | Pt

Reaksi yang terjadi :

H2 (P 1 ) 2H+ + 2e

2H+ + 2e H 2 (P 2 )

H2 (P 1 ) H2 (P 2 )

Reaksi keseluruhan yang terjadi bukan reaksi kimia melainkan hanya transfer
gas hydrogen dari tekanan satu ke hydrogen pada tekanan yang lain. E O untuk
sel di atas berharga nol, karena elektroda kanan dan kiri sama, tetapi E tidak
sama dengan nol.

RT P2
E=- ln
nF P1
0,0257 P2
=- ln
2 P1

Dapat dilihat bahwa transfer hydrogen akan terjadi spontan (E = 0) dari yang
bertekanan tinggi (P 1 ) ke tekanan yang lebih rendah (P 2 ).

Sel Konsentrasi Elektroda Amalgam

Sel ini dapat dibuat dari amalgam dengan logam yang sama pada dua
konsentrasi yang berbeda dari. Sebagai contoh adalah sel :

Pb(Hg)(a 1 )/Pb 2+ (a)/Pb(Hg)(a 2 )

Dengan reaksi elektroda :

Kanan : Pb 2+ + 2e → Pb(a 2 )

Kiri : Pb(a1 ) → Pb 2+ + 2e

Keseluruhan : Pb(a1 ) → Pb(a 2 )

Secara keseluruhan tak ada reaksi kimia yang terjadi, dan reaksi terdiri dari
transfer timbale dari suatu amalgam yang berkonsentrasi tertentu ke
konsentrasi lainnya. Disini E o = 0, dan potensial sel dengan demikian adalah :

RT a 2
E=- ln
nF a1

0,0257 a 2
=- ln
2 a1

Timbal akan cenderung berpindah melalui proses elektrokimia secara spontan


dari amalgam dengan aktivitas tinggi ke aktivitas rendah.
Artinya, jika a 1 > a2 maka E berharga positif dan reaksi berlangsung seperti
arah yang ditunjukkan dan jika a 1 < a2 maka E berharga negative dan proses
berlangsung sebaliknya.

Sel Konsentrasi Elektrolit Tanpa Perpindahan

Pada sel ini yang berbeda hanyalah konsentrasi elektrolitnya, sedangkan


jenis elektroda dan elektrolit yang digunakannya sama. Pada sel ini tentu tidak
terdapat pertemuan atau perbatasan cairan, karena dengan adanya perbatasan
atau pertemuan dua cairan atau larutan elektrolit akan menimbulkan
perpindahan, sedangkan sel ini adalah sel konsentrasi elektrolit tanpa
perpindahan.

Tinjau sel kimia tanpa perpindahan, seperti :

Pt|H 2 (g, 1 atm)|HCl(a 1 )|AgCl(s)|Ag(s)

Dengan reaksi sel : ½ H 2 (g, 1 atm) + AgCl (s) Ag(s) + HCl(a 1 )

RT
Dan potensial sel : E 1 = E o - ln a1
F

Dengan meninjau kembali sel yang sama tetapi dengan aktivitas HCl yang
berbeda: Pt|H 2 (g, 1 atm)|HCl(a 2 )|AgCl(s)|Ag(s)

Reaksi sel : ½ H 2 (g, 1 atm) + AgCl (s) Ag(s) + HCl(a 2 )

RT
Potensial sel : E 1 = E o - ln a 2
F

Dengan menggabungkan kedua sel tersebut secara berlawanan, maka akan


diperoleh :

Pt|H 2 (g, 1 atm)|HCl(a 1 )|AgCl(s)|Ag(s) Ag(s)|AgCl(s)| HCl(a 2 ) |H 2 (g, 1


atm)|Pt
Dengan reaksi :

½ H 2 (g, 1 atm) + AgCl (s) Ag(s) + HCl(a 1 )

Ag(s) + HCl(a 2 ) ½ H 2 (g, 1 atm) + AgCl (s)

HCl(a2 ) HCl(a1 )

Potensialnya adalah :

E = E1 – E2

RT RT
= E0 - ln a 1 – E0 + ln a2
F F

RT a
= - ln 1
F a2

RT a
E= ln 2
F a1

Pada sel ini akan terjadi perpindahan spontan HCl dari larutan yang
aktivitasnya tinggi ke aktivitas rendah, atau E akan positif jika a 2 > a1 .

Sel Konsentrasi Eleketrolit Dengan Perpindahan

Pada sel ini terdapat pertemuan dua cairan/larutan elektrolit yang sama
(jenisnya) dengan konsentrasi berbeda.

Contoh : Ag|AgCl|Cl -(a 1 )|Cl - (a2 ) AgCl(s)|Ag

Reaksi :

Anoda : Ag(s) + Cl - (a1 ) AgCl(s) + e -


Katoda : AgCl(s) + e - Ag(s) + Cl - (a2 )

Reaksi Sel : Cl -(a1 ) Cl -(a2 )

Berdasarkan reaksi tersebut tampak bahwa konsentrasi ion Cl - di anoda


berkurang karena membentuk AgCl sedangkan di katoda sebaliknya, terjadi
penambahan konsentrsai ion Cl - . Akibatnya di perbatasan kedua larutan, untuk
setiap IF listrik yang keluar sel terjadi perpindahan H + dari kiri ke kanan dan
perpindahan Cl - dari kanan ke kiri dengan membawa fraksi arus sebesar
bilangan angkutnya masing-masing. Dengan demikian di perbatasan cairan
terjadi perpindahan ion-ion :

Fraksi muatan, t + dibawa oleh ion H+ dari a 1 ke a2 :

t + H+ (a1 ) → t + H + (a2 )

dan fraksi muatan, t- Cl - dari a 2 ke a1 :

t -Cl - (a2 ) → t -Cl - (a1 )

Perubahan total :

t + H+ (a1 ) + Cl - (a1 ) + t -Cl -(a2 ) → t + H+ (a2 ) + Cl -(a2 ) + t -Cl - (a1 )


Karena t + + t - = 1, kita dapat mengubah t- menjadi (1 – t + ) atau t + menjadi (1 –
t -). Supaya sederhana, jika reaksi sel melibatkan ion negative maka ubah t -
menjadi (1 – t + ) dan sebaliknya jika reaksi melibatkan ion positif maka ubah t +
menjadi (1-t - ). Karena pada sel di atas reaksi sel melibatkan ion negative, Cl - ,
maka perubahan total menjadi :

t + H+ (a1 ) + Cl - (a1 ) + t -Cl -(a2 ) – t + Cl - (a2 ) → t + H+ (a2 ) + Cl - (a2 ) + Cl -(a1 ) - t + Cl -


(a1 ) t + H+ (a1 ) + t + Cl - (a1 ) → t + H+ (a2 ) + t + Cl -(a2 )
Potensial sel, karena E o = 0 V, maka potensial sel dengan perpindahan (E wt ) :

t t
RT (a H  ) 2 (a Cl  ) 2
E wt =- ln
F (a H  )1t  (a Cl  )1t 

RT (a HCl ) 2
E wt = - t + ln
F (a HCl )1

RT (a  ) 22
= - t+ ln
F (a  )12

2t  RT (a  ) 2
= - ln
F (a  )1

Jika perbatasan tidak mempunyai kontribusi pada potensial sel, maka


perubahan hanya merupakan kontribusi elektroda:

Cl -(a1 ) Cl -(a2 ) (sel tanpa perpindahan, without transference,wot)

Potensial Sel :

RT (a Cl  ) 2
E wt = E O - ln
F (a Cl  )1

RT (a  ) 2
E wt = - ln
F (a  )1

E wt = E wot + E j

Ej = E wt - E wot

2t  RT (a  ) 22 RT (a  ) 2
Ej = - ln 2
+ ln
F (a  )1 F (a  )1
RT (a  ) 2
Ej = (1 – 2t + ) ln
F (a  )1

Jika t + = 0,5, E j sangat kecil

3.7. Aplikasi Pengukuran Potensial Sel

3.7.1. Penentuan Potensial Elektroda Standar Dan Penentuan Koefisien


Keaktifan Elektrolit
Seperti yang sudah dinyatakan sebelumnya, sel kimia tanpa
perpindahan biasa digunakan untuk penentuan potensial elektroda standar dan
penentuan koefisien keaktifan elektrolit.

Contoh:

Pt|H 2 (g, f H2 )|HCl(a HCl )|AgCl(s)|Ag

Dengan reaksi elektroda :

½H2 → H + + e dan AgCl (s) + e → Ag + Cl -

Reaksi keseluruhan

½H2 + AgCl (s) → H + + Ag + Cl -

Dan perubahan energi Gibbs jika f H2 = 1 adalah :

RT
∆G = ∆G o + ln (a H  xaCl  )
nF

RT
E = Eo - ln (a H  xaCl  )
nF

Karena a  m   dan a  m 


RT
E = Eo - ln m m    
nF

Untuk HCl (aq) → H + (aq) + Cl -(aq)

Maka : m + = m - = m

RT RT
Dan E = E o - ln m 2 - ln    
nF nF

v v 
Dari defenisi :     v  v

v + = 1 dan v - = 1 maka  2      atau       

2 RT RT
E = Eo - ln m - ln  2
nF nF

2 RT 2 RT
E = Eo - ln m - ln  
nF nF

2 RT 2 RT
E + ln m = E o - ln  
nF nF

Dengan mengukur E pada berbagai molalitas HCl, harga bagian kiri persamaan
dapat dihitung. Plot harga-harga tersebut terhadap m memberikan profil grafik
berikut.

Dengan menerapkan persamaan DHLL (Debye-Huckel Llimiting Law):

ln   = - Z+ IZ-I A I

untuk elektrolit 1 : 1 maka lnγ± = -A I

Jadi :

2 RT 2 RT
E + ln m = E o - A I
nF nF
I = ½  mi Z i2 sehingga I  m

2 RT 2 RT
E + ln m = E o + A m
nF nF

Dengan mengukur E pada berbagai molalitas HCl, harga ruas kiri persamaan di
2 RT
atas dapat dihitung. Plot harga E + ln m terhadap m memberikan profil
nF
grafik berikut.

Ekstrapolasi m ½ terhadap harga nol menghasilkan E o , yakni potensial sel pada


keadaan standar. Potensial elektroda standar dari AgCl | Ag dapat ditentukan
o
dari hubungan : E sel  E AgCl
o
Ag
 E Ho 2 dengan E Ho 2 = 0V

3.7.2.Tetapan Kesetimbangan Asam Lemah

Konstanta kesetimbangan asam lemah seperti asam asetat (HA) dapat


dilakukan dengan menggunakan sel berikut:

Pt,H 2 |(1 bar)HA(m 1 ), NaA(m 2 ),NaCl(m 3 ) |AgCl(s)|Ag

Elektroda kiri : ½H 2 → H + + e
Elektroda kanan : AgCl (s) + e → Ag + Cl -

Reaksi keseluruhan : ½H 2 + AgCl (s) → H + + Ag + Cl -

RT
E = Eo - ln (a H  xaCl  )
nF

n =1

RT
E = Eo - ln (a H  xaCl  )
F

Dengan a  m   dan a  m 

RT RT
E = Eo - ln (mH  mCl  ) - ln ( H   Cl  )
nF nF

RT
E = Eo - ln (mH   H  mCl   Cl  )
nF

Eo untuk sel tersebut adalah potensial elektroda standar untuk elektroda Ag -


AgCl(0,2224 volt), karena E osel = E okanan – Eokiri = E AgCl
o
Ag
 E Ho 2 dengan E Ho 2 =

0V. Secara sederhana reaksi disosiasi HA :

HA = H + + A -+

Konstanta disosiasinya adalah :

m H  m A H A
 
Ka 
mHA  HA

mHA HA
mH   H   Ka
m A  A 

Dengan demikian
RT  mHA HA mCl   Cl  
E = Eo - ln Ka 
F  m A  A  

RT  mHA mCl   RT   HA  Cl   RT
E = Eo - ln - ln  - ln Ka
F  m A  F   
  A
 F

RT  mHA mCl       RT
E - Eo + ln  = - RT ln  HA Cl - ln Ka
F  m A 
 F   A  F

F  mHA mCl      
(E - E o )  ln   = - ln  HA Cl  - ln Ka
RT  m      
 A   A 

Kita tahu dari data:

m Cl- = m 3

m A- = m 2 + m H+

m HA = m 1 – m H+

Karena m H+ << m 2 , maka m A- = m 2

Dan m H+ << m 1 , maka m HA = m 1

Maka ruas kiri dari persamaan dapat dihitung.

Data yang kita peroleh melalui eksperimen adalah data E pada berbagai
konsentrasi NaCl. Pada konsentrasi elektrolit tertentu harga kuat ionis(I) juga
tertentu. Dengan demikian kita dapat plot ruas kiri terhadap kekuatan ion,
sebagai berikut:
Karena untuk larutan encer γ HA dapat dianggap 1 dan dengan DHLL yakni
ln   = - A Z+ I dan ln   = - A Z- I atau ln   = - A Z+Z- I , pada I = 0
maka koefisien keaktifan ion-ionnya sama dengan satu dan suku pertama ruas
kanan = 0. ekstrapolasi terhadap I = 0 kita dapat intercept sebagai –ln Ka.
Dengan demikian harga Ka dapat ditentukan.

3.7.3.Hasil Kali Kelarutan


Hasil kali kelarutan garam yang sukar larut dapat dilakukan melalui sel
elekltrokimia. Sebagai contoh untuk menentukan Ksp AgCl kita memerl ukan
sel dengan konsentrasi keseluruhan : AgCl (s) = Ag+ (aq) + Cl - (aq). Sel yang
demikian adalah :
Ag| Ag+ | Cl - |AgCl (s) | Ag (s)
Setengah reaksinya adalah
Ag Ag + + e dan
AgCl (s) + e Ag + Cl -
Dengan reaksi keseluruhan : AgCl (s) Ag+ + Cl -
Dari tabel elektroda standar diperoleh :
Eo = 0,222 V – 0,799 V = -0,577 V
Nilai E o dapat digunakan untuk menentukan tetapan kesetimbangan dari reaksi
sel tersebut. Ingat lagi bahwa :
 G =  Go + RT ln Qa
Saat setimbang ,  G = 0, sehingga :
 Go = RT ln K a
Untuk reaksi di atas K a = Ksp = a Ag+ aCl -
ln K a = nFE o/ RT
= (1) (96.500 C mol -1 ) (-0,577 V)/ {(8,314 J mol -1 K-1 )(298 K)}
= -22,47
Ka = 1,76 . 10 -10

3.7.4. Pengukuran Ph

Aplikasi pengukuran emf yang sudah sangat luas digunakan adalah pada
pengukuran pH dari berbagai larutan. Ada dua elektroda yang akan diuraikan
pada penentuan pH ini yakni elektroda hidrogen dan elektroda gelas.

Saat mengukur pH dengan menggunakan elektroda hidrogen, elektroda


ini dipasangkan dengan elektroda lain seperti Ag|AgCl atau kalomel.

Untuk sel :

Pt|H 2(g) |lar x|KCl(jenuh)|Hg 2 Cl 2(s) |Hg/Pt

Reaksinya adalah:

½H2(g) + ½Hg2 Cl 2(s) Hg (l) + H+ (aq,x) + Cl - (aq)

potensial selnya :

RT a H  X aCl 
Ex = E jx + E o -
 
ln 1/ 2
F pH2

= E jx + E o -
RT
F
 
{ ln (a H  ) x  ln aCl   ln p H 2
1/ 2
} (1)
jika larutan x diganti dengan larutan standar, S, maka potensial selnya :

Es = E js + E o -
RT
F
 
{ ln (a H  ) s  ln aCl   ln p H 2
1/ 2
} (2)

Jika persamaan (2) dikurangkan terhadap persamaan (1) akan diperoleh :

RT
Ex - Es = E j,x – Ej,s - { ln (a H  ) x  ln( a H  ) s }
F

Atau:

2,303RT
Ex - Es = E j,x – Ej,s - { log (a H  ) x  log( a H  ) s } (3)
F

Dengan menggunakan definisi pH = - log a H+ terhadap persamaan (3) diperoleh


:

E x  Es E j ,s  E j , x
pH(x) – pH(s) = 1
 (4)
2,303RTF 2,303RTF 1

jika diasumsikan potensial cairan-perbatasan (junction), E j,x diantara larutan x


dan elektroda kalomel sama dengan potensial perbatasan E j,s diantara larutan S
dan elektroda kalomel, maka E j,s  Ej,x dan persamaan (4) berubah menjadi :

E x  Es
pH(x) = pH(s) + (5)
2,303RTF 1

Penggunaan elektroda hidrogen untuk mengukur pH tidak praktis, oleh karena


itu lebih sering digunakan elektroda gelas sebagai pengganti elektroda
hidrogen. Untuk itu akan diperoleh:

E x  Es
pH(x) = pH(s) + (6)
2,303RTF 1

Ternyata diperoleh persamaan yang sama dengan persamaan (5).


Sel untuk mengukur pH dengan menggunakan elektroda gelas yang
dipasangkan dengan elektroda kalomel dapat dilihat pada gambar berikut :

4. KINETIKA KIMIA
4.1 Pendahuluan

Dalam keseharian, kita cukup akrab dengan proses-proses kimiawi.


Mungkin kita pernah berpikir mengapa (1) kayu dapat terbakar dalam atmosfer tetapi
gelas dan batu tidak, (2) udara tidak mempengaruhi perak, emas, platina atau logam-
logam mulia, (3) sistem pencernaan manusia dapat mencerna nasi, (4) ada unsur-
unsur lainnya yang bereaksi secara cepat dengan logam-logam alkali tetapi unsur-
unsur lainnya bersifat inert. Kesemua hal tersebut membangkitkan pertanyaan yang
mendasar, yaitu mengapa reaksi kimia berlangsung? Hal ini dapat dijelaskan
secara termodinamik dengan memperhitungkan energi-energi pereaksi.
Pertanyaan lain yang juga berkaitan dengan suatu reaksi kimia adalah
seberapa cepat suatu reaksi kimia berlangsung. Jika suatu reaksi kimia berjalan secara
pelan, dapatkah reaksi tersebut dipercepat. Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan
dengan laju atau kecepatan reaksi, dan kondisi yang mempengaruhi laju merupakan
kajian dalam kinetika reaksi.
Kecenderungan dapat berlangsung atau tidaknya suatu reaksi kimia dapat
diperoleh melalui penerapan termodinamika kimia. Walaupun demikian,
termodinamika tidak berbicara tentang laju suatu reaksi kimia.
Untuk menunjukkan bagaimana kendali termodinamika dan kendali kinetika
berbeda, marilah perhatikan reaksi berikut :
2 H2 + O2 2 H2 O
Reaksi tersebut secara termodinamika adalah mungkin, tetapi, pada kondisi biasa
reaksi tersebut secara praktis tidak terjadi, terlalu lambat. Dalam perjalanannya untuk
menjadi produk, pereaksi harus melalui energi perintang. Salah satu cara untuk
mengantarkan pereaksi ke posisi puncak perintang adalah dengan menambahkan
katalis. Begitu katalis dilibatkan, reaksi tersebut akan terjadi dengan kecepatan sangat
tinggi.
Kinetika kimia menyelidiki secara rinci energi-energi perintang tersebut
melalui pengkajian ketergantungan laju reaksi terhadap konsentrasi, suhu dan
tekanan. Kinetika kimia melengkapi termodinamika melalui pemberian informasi
tentang laju reaksi kimia. Kajian tentang laju reaksi memberikan suatu wawasan ke
dalam mekanismenya, apakah reaksi tersebut berlangsung dalam satu tahap atau
dalam sederetan tahapan. Kajian kinetika kimia betul-betul penting dalam memahami
tabiat suatu sistem kimia.
Hukum aksi massa menyediakan suatu dasar kuantitatif untuk penelaahan
kinetika. L. Wilhelmy adalah mungkin orang pertama yang menyelidiki inverse
sukrosa dalam sebuah polarimeter pada suhu tetap sampai pada kesimpulan bahwa
laju berkurangnya konsentrasi sukrosa pada pada setiap saat adalah berbanding lurus
terhadap jumlah sukrosa yang tak-terkonversi pada saat tersebut.
Kinerja tersebut diikuti oleh Bertholet dan St. Giles, tahun 1862, pada kajian
kesetimbangan antara asam asetat, etanol, etil eter dan air. Pada tahun 1863, cato
Guldgerg dan peter Waage tampil dengan tulisan penting mereka tentang hukum ini
“laju suatu reaksi adalah berbanding langsung terhadap perkalian dari massa aktif
reaksi”. Yang dimaksud dengan massa aktif adalah konsentrasi molekul, yaitu jumlah
mol zat per datuan volume.
Reaksi kimia dapat terjadi dalam satu tahap atau melalui beberapa tahap.
Reaksi yang berlangsung dalam beberapa tahap dicakup dalam kajian mekanisme
reaksi komposit.
Keterlibatan foton dalam reaksi kimia telah memperluas khazanah kajian
kinetika kimia. Hal semacam ini dikaji dalam bagian fotokimia.
Perlu juga diungkapkan bahwa dalam tulisan ini hanya dibicarakan reaksi-
reaksi yang dikontrol oleh energi pengaktifan, tidak menyangkut reaksi-reaksi yang
dikontrol oleh difusi. Dengan kata lain bahwa kontribusi difusi terhadap laju global
diabaikan.

4.2 Laju Konsumsi dan Pembentukan

Sebelum kita masuk ke dalam konsep laju reaksi, terlebih dahulu kita lihat
tentang laju konsumsi dan laju pembentukan.
Kajian kinetika berkaitan dengan laju perubahan konsentrai pereaksi dan
produk, data reaksi berlangsung, jumlah pereaksi berkurang sedangkan jumlah
produk meningkat. Dalam hal ini, terjadi pengkonsumsian pereaksi dan pembentukan
produk. Pengungkapan laju reaksi kimia bisa didasarkan pada pereaksi atau pada
produk. Sebagai ilustrasi, kita lihat reaksi antara pereaksi A dan B menghasilkan
produk Y yang dapat dipresentasikan oleh persamaan reaksi berikut :
A + 3B 2Y
Laju konsumsi A (vA) diberikan oleh

Laju pembentukan Y (vy) diberikan sebagai

Dan, dari stoikiometri reaksi kita dapat dipahami bahwa laju berkurangnya A
adalah 1/3 kali laju berkurangnya B dan ½ kali laju terbetuknya produk Y :

Secara individual , , dan akan tidak jelas sebagai laju reaksi.

4.3 Laju Reaksi

Laju reaksi didefinisikan sebagai turunan cakupan reaksi, ni = ξ , ni = dξ


terhadap waktu dibagi dengan volume.

Jika volum adalah konstan, maka dapat diganti dengan perubahan


konsentrasi, dCi sehingga

Dengan adalah koefisien stoikiometri pereaksi .


Jumlah (laju) tidak bergantung terhadap pereaksi atau produk yang mana
yang dipilih. Untuk reaksi
aA + bB yY + zZ
yang terjadi pada volum konstan, laju reaksi adalah.
1 d A 1 d B 1 d Y  1 d Z 
v   
a dt b dt y dt z dt
Turunan konsentrasi pereaksi terhadap waktu adalah negative karena
merupakan laju konsumsi, sedangkan untuk produk adalah positif karena merupakan
laju produksi atau pembentukan. Jadi

Harus dibedakan antara tanpa subskrip (yang artinya laju reaksi)dan v dengan
subskrip ( dan yang lainnya, yang artinya laju konsumsi atau pembentukan).
Karena koefisien stoikiometri, dan akibatnya koefisien reaksi, bergantung pada cara
reaksi dituliskan (H2 + Br2 2HBr atau ½ H2 + ½ Br2 HBr) saat laju
reaksi diberikan, stoikiometri harus dinyatakan.

4.4 Persamaan Laju Empirik

Untuk reaksi kimia yang dapat direpresentasikan dengan


aA + bB yY + zZ
laju konsumsinya untuk pereaksi A dapat diungkapkan secara empiric

Dengan , α, β, tidak bergantung pada konsentrasi dan waktu.


Sementara itu, laju produksi Z dapat diberikan sebagai

Dimana tidak harus sama dengan .


Laju reaksinya diberikan sebagai

Dimana , , dan tidak harus sama.


Untuk reaksi
A + 2B 3Z

4.5. Orde Reaksi

Pada ungkapan di atas, α dan β disebut sebagai orde parsial terhadap


masing-masing A dan B orde reaksi menyatakan jumlah eksperimen dan tidak
harus bulat. Jumlah orde parsial, α + β + ……, dikenal sebagai orde total, yang
biasanya diberi simbol n.
Contoh :
H2 + I2  2 HI
v1  k i H 2 I 2  (4.13)

v1  k i HI 2
1
(4.14)

4.6. Tetapan Laju dan Koefisien Laju

Tetapan k yang muncul pada persamaan-persamaan terdahulu disebut


sebagai tetapan laju atau koefisien laju. Untuk reaksi yang dipercaya elementer,
k biasanya disebut tetapan laju. Dan, untuk reaksi yang terjadi dengan lebih dari
satu tahap, k disebut sebagai koefisien laju.
Satuan tetapan atau koefisien laju bergantung pada orde reaksi. Untuk
reaksi orde 1,
v  k A (4.15)
Satuan v adalah mol dm-3s-1 dan [A] adalah mol dm-3, sehingga satuan
satuan dari k untuk reaksi orde satu adalah s-1.
Untuk reaksi orde 2 :
v  k A 
2
(4.16)

v  k AB (4.17)
Satuan k adalah dm3mol-1s-1.

4.7. Penentuan Orde dan Tetapan Laju

Tugas pertama dalam kerja kinetika suatu reaksi kimia adalah mengukur
laju pada berbagai kondisi eksperimen dan menentukan bagaimana laju
dipengaruhi oleh konsentrasi pereaksi, produk reaksi, dan oleh zat lain
(misalnya inhibitor) yang dapat mempengaruhi laju. Ada dua cara utama untuk
bekerja dengan masalah demikian yaitu metode integrasi dan metode
differensial.
Dalam cara integrasi, kita mulai dari suatu persamaan laju yang kita
pikirkan atau perkirakan dapat digunakan. Misalnya kita duga suatu reaksi
adalah orde 1 (coba-coba),
dC
  kC (4.18)
dt
dengan C adalah konsentrasi pereaksi pereaksi. Dengan melakukan intehrasi,
kita mengubah hubungan di atas menjadi suatu ungkapan yang memberikan
hubungan antara C dan waktu k, dan kemudian membandingkan dengan variasi
eksperimen C dan t, jika kita peroleh hasil percocokan yang baik, dengan
prosedur grafik sederhana kita kemudian dapat menentukan tetapan laju. Jika
hasil pencocokan tidak baik, kita perlu coba persamaan laju lainnya sampai
diperoleh hasil pencocokan yang memuaskan.
Metode lainnya, yaitu metode deferensal, memanfaatkan persamaan laju
dalam bentuk deferensial, tak diintegralkan. Harga dC/dt diperoleh dari suatu
plot C terhadap t dengan mengambil slop (kemiringan atau tangent), dan secara
langsung dibandingkan dengan persamaan laju.

4.8. Metode Integrasi


Reaksi Orde 1 :
A →Z
saat t = 0, [A] = ao dan [Z] = 0

saat t = t, [Z] = x, dan [A] = (a o  x)


perubahan konsentrasi A adalah dA/dt, dan untuk reaksi orde 1
dA  d a o  x 
   k a o  x 
dt dt

 k a o  x 
dx
(4.19)
dt
x t
dx
0 ao  x   k 0 dt (4.20)

 Ina o  x 0  k t 0
x t
(4.21)

ao
In  kt (4.22)
a0  x 

x  a o 1  e  kt  (4.23)

a o  x  ao e  kt (4.24)

Persamaan (24) menunjukkan bahwa konsentrasi pereaksi, (a0 – x), berkurang


secara eksponensial terhadap waktu, dari suatu nilai awal a0 menuju nilai akhir
nol.
Persamaan orde 1 dapat dicobakan dan tetapan laju dievaluasi dengan
prosedur grafik, yang memberikan profil grafik seperti gambar 4.1

ao Slop = k
In
(a o  x)
Gambar 4.1

Reaksi Orde 2
Ada dua kemungkinan reaksi orde 2 :

2A →Z (I)

A+B→ Z (II)

Untuk jenis pertama


dx
 k ( a0  x ) 2 (4.25)
dt
dx
 kdt
( a 0  x) 2
x t
dx

o ( a0  x) 2
 k  dt
0

x
 kdt (4.26.a)
a0 (a 0  x)

Atau

dx 1
 kt  (4.26.b)
( a 0  x) a0

Untuk Jenis Kedua


dx 2
 k ( a0  x ) (b0  x ) (4.27)
dt
dx
 kdt
( a0  x )(b0  x )
1 dx t
  k  dt
0 ( a0  x )(b0  x ) 0
1 A B
 
( a0  x )(b0  x ) ( a0  x ) (b  x )
1  A(b0  x )  B ( a0  x )
1
x  b0  1  B ( a0  b0 )  B 
( a0  b0 )
1
x  a0  1  A(b0  a0 )  A 
(b0  a0 )
1 dx 1 dx
  kdt
( a0  b0 ) ( a0  x ) ( a0  b0 ) (b0  x )

1   dx dx 
    kdt
( a0  b0 ) 
 0
( a  x ( b0  x ) 
1 x   dx dx  tr
  k d
( a0  b0 ) 0 
 ( a0  x (b0  x )  0

1
( a0  b0 )
ln( a0  x )  ln( b 0  x   kt
t
0

1 b (a  x)
ln 0 0  kt (4.28)
(a0  b0 ) a0 (b0  x)

Profil plot dari persamaan laju untuk tipe pertama (26.a) diberikan pada gambar
4.2
(a o  x)
In
(bo  x) Slop = k

Gambar 4.2

Waktu Paruh
Waktu paruh, t ½ , dari reaksi adalah waktu yang diperlukan agar
konsentrasi pereaksi mencapai jumlah separuhnya dari jumlah semula. Untuk
reaksi orde 1 :
a o  x  ao e  kt (4.29)

ao
ln  kt
ao ao  x 

saat k  t 1  x  1 a o , sehingga
2 2
ao
ln  kt
 a 
 ao  o 
 2
dan kita peroleh
ln 2
t1  (4.30)
2 k
Metode Diferensial
Metode ini pertama kali disarankan Van’t Hoff. Metode tersebut
menyangkut penentuan laju secara langsung melalui pengukuran slop-slop
(tangen-tangen) terhadap kurva eksperimen konsentrasi waktu dan
memasukkannya ke dalam persamaan dalam bentuk yang berbeda-beda.
Ide dari metode ini adalah sebagai berikut :
Laju suatu reaksi yang berorde n yang hanya melibatkan suatu jenis
pereaksi adalah proporsional terhadap pangkat n dari konsentrasinya,
dC
v kC n (4.31)
dt
ln v = ln k + ln Ct (4.32)
plot ln ln v terhadap ln C pada persamaan (4.32) memberikan slop n dan
intersept in v.

Slop = n

In v

In k

Gambar 4.3

Anda mungkin juga menyukai