FISIKA KIMIA
PERUBAHAN KEADAAN
(TRANSFORMASI FISIKA CAMPURAN SEDERHANA)
DOSEN PENGAMPU
Saiyidah Mahtari, M.Pd.
OLEH
KELOMPOK 2
Marlina 1610121220011
Muhammad Hafiz Ridho 1610121210015
Muhammad Lutfi 1610121110005
Wardhatul Jannah 1610121120012
i
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
penulis panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah tentang “Perubahan Keadaan (Transformasi Fisika Campuran Sederhana)”.
Makalah ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapat bantuan dari
berbagai pihak terutama dari Ibu Saiyidah Mahtari, M.Pd. selaku dosen pengampu mata
kuliah Fisika Kimia sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya, oleh karena itu dengan
tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar penulis dapat
memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan
pengetahuan terhadap pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mendidih, membeku, dan perubahan dari grafit menjadi intan merupakan
contoh-contoh perubahan fase tanpa perubahan komposisi. Cara alternatif untuk
menyatakan arah perubahan ini berasal dari kecenderungan sistem terisolasi yang
mengandung zat dan linkungannya untuk berubah searah dengan pertambahan
entropi. Walaupun suatu zat mungkin lebih teratur dan entropinya berkurang, seperti
ketika zat itu membeku, ada kenaikan entropi pada lingkugannya (sebagai hasil dari
pelepasan kalor kepadanya) dan secara keseluruhan, entropi sistem global terisolasi
bernilai lebih besar. Misalnya, pada temperatur dan tekanan normal, potensial kimia
grafit lebih rendah daripada potensial kimia intan, sehingga ada kecenderungan
termodinamik untuk intan berubah menjadi grafit. Uraian di atas merupakan
perubahan keadaan untuk zat murni. Sekarang bagaimana kalau perubahan keadaan
campuran sederhana. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai perubahan keadaan
campuran sederhan, maka disusunlah makalah “Perubahan Keadaan: Transformasi
Fisika Campuran Sederhana” ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat diambil beberapa rumusan masalah
yaitu:
1. Bagaimana gambaran termodinamika tentang campuran?
2. Bagaimana gambaran cairan atsiri yang berkenaan dengan diagram tekanan uap,
diagram temperatur-komposisi dan cairan tak campur?
3. Bagaimana larutan nyata pada aktivitas pelarut dan aktivitas zat pelarut?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui gambaran termodinamika tentang campuran.
2. Mengetahui gambaran cairan atsiri yang berkenaan dengan diagram tekanan uap,
diagram temperatur-komposisi dan cairan tak campur.
3. Mengetahui larutan nyata pada aktivitas pelarut dan aktivitas zat pelarut.
1
BAB I
PEMBAHASAN
2
cm3 mol-1 adalah volume molar parsial air dalam etanol murni, yaitu
volume campuran yang dapat dianggap berasal dari satu komponen.
Volume molar parsial komponen suatu campuran berubah-ubah
bergantung pada komposisi, karena lingkungan setiap jenis molekul berubah
jika komposisinya berubah dari A murni ke B murni.
Gambar 1. Volume
molar parsial air dan
etanol pada temperatur
25℃. Perhatikanlah
perbedaan skala (air
disebelah kiri, etanol
disebelah kanan)
3
Dengan argumentasi yang sama, yang menghasilkan persamaan 3,
fungsi Gibbs total campuran adalah:
𝐺 = 𝑛𝐴 𝜇𝐴 + 𝑛𝐵 𝜇𝐵 (5)
Dengan 𝜇𝐴 dan 𝜇𝐵 sebagai potensial kimia pada komposisi campuran.
c. Persamaan Gibbs-Duhem
Jika komposisi berubah sangat sedikit, kita dapat mengharapkan G
berubah sebesar:
𝑑𝐺 = 𝜇𝐴 𝑑𝑛𝐴 + 𝜇𝐵 𝑑𝑛𝐵 + 𝑛𝐴 𝑑𝜇𝐴 + 𝑛𝐵 𝑑𝜇𝐵
Walaupun demikian, pada tekanan dan temperatur tetap:
𝑛𝐴 𝑑𝜇𝐴 + 𝑛𝑏 𝑑𝜇𝐵 = 0
Persamaan ini merupakan kasus khusus persamaan Gibbs-Duhem:
∑ 𝑛𝐽 𝑑𝜇𝑗 = 0 (6)
𝐽
4
𝐺𝑖 = 𝑛𝐴 𝜇𝐴 + 𝑛𝐵 𝜇𝐵
𝑃𝐴 𝑃
= 𝑛𝐴 (𝜇𝐴𝑜 + 𝑅𝑇 𝑙𝑛 ) + 𝑛𝐵 (𝜇 𝑜
𝐵 + 𝑅𝑇 𝑙𝑛 )
𝑃𝑜 𝑃𝑜
Sesudah pencampuran, setiap gas memberikan tekanan parsial 𝑃𝐽 ,
dengan 𝑝𝐴 + 𝑝𝐵 = 𝑝. Fungsi Gibbs total berubah menjadi:
𝑃𝐴 𝑃𝐵
𝐺𝑓 = 𝑛𝐴 (𝜇𝐴𝑜 + 𝑅𝑇 𝑙𝑛 𝑜
) + 𝑛𝐵 (𝜇𝐵𝑜 + 𝑅𝑇 𝑙𝑛 𝑜 )
𝑃 𝑃
Selisih 𝐺𝑓 − 𝐺𝑖 adalah fungsi Gibbs pencampuran ∆𝐺𝑚𝑖𝑥 , yaitu
𝑃𝐴 𝑃𝐵
∆𝐺𝑚𝑖𝑥 = 𝑛𝐴 𝑅𝑇 𝑙𝑛 + 𝑛𝐵 𝑅𝑇 𝑙𝑛
𝑃 𝑃
Kita dapat menggantikan 𝑛𝐽 dengan 𝑥𝐽 𝑛 dan menggunakan hukum
𝑃𝐽
Dalton untuk menuliskan ⁄ = 𝑋𝐽 untuk setiap komponen yang
𝑃
menghasilkan
∆𝐺𝑚𝑖𝑥 = 𝑛𝑅𝑇(𝑥𝐴 𝑙𝑛𝑥𝐴 + 𝑥𝐵 𝑙𝑛𝑥𝐵 ) (7)
Karena fraksi mol tidak pernah lebih dari 1, maka logaritma
persamaan ini bernilai negatif, dan ∆𝐺𝑚𝑖𝑥 < 0. Artinya gas sempurna
bercampur secara spontan dengan segala proporsi.
b. Fungsi pencampuran termodinamik yang lain
Ungkapan kuantitatif untuk ∆𝐺𝑚𝑖𝑥 memungkinkan kita menghitung
5
untuk pencampuran seluruhnya berasal dari kenaikan entropi sistem (karena
∆𝐻𝑚𝑖𝑥 = 0, maka entropi lingkungan tidak berubah).
Perubahan volume yang menyertai pencampuran, ∆𝑉𝑚𝑖𝑥 , dapat
6
Gambar 2. (a) Tekanan uap
total dan kedua tekanan uap
parsial dari campuran biner
ideal, sebanding fraksi mol
komponen-komponennya. (b)
Dua cairan yang serupa, dalam
hal ini benzena dan toluena
(metil benzena), perilaku
hampir ideal.
7
3). Campuran yang mentaati hukum Henry bersifat ideal, dalam arti yang
berbeda dengan campuran yang mentaati hukum Raoult, dan disebut larutan
encer ideal.
Gambar 3. Jika suatu komponen
(pelarut) mendekati murni,
komponen itu berperilaku sesuai
dengan hukum Raoult dan
mempunyai tekanan uap yang
sebanding dengan fraksi mol,
dengan kemiringan kurvanya 𝑝∗ .
5. Campuran cairan
a. Fungsi pencampuran ideal
Fungsi Gibbs pencampuran dua cairan untuk membentuk larutan ideal
dihitung dengan cara yang sama seperti untuk dua gas. Jika cairan terpisah,
fungsi Gibbs totalnya adalah:
𝐺𝑖 = 𝑛𝐴 𝜇𝐴∗ (𝑙) + 𝑛𝐵 𝜇𝐵∗ (𝑙)
Jika cairan itu dicampur, potensial kimia masing-masing dapat
diketahui dari persamaan 11, dan fungsi Gibbs totalnya adalah:
𝐺𝑓 = 𝑛𝐴 {𝜇𝐴∗ (𝑙) + 𝑅𝑇 ln 𝑥𝐴 } + 𝑛𝐵 {𝜇𝐵∗ (𝑙) + 𝑅𝑇 ln 𝑥𝐵 }
Konsekuensinya, fungsi Gibbs pencampuran adalah
∆𝐺𝑚𝑖𝑥 = 𝑛𝑅𝑇(𝑥𝐴 ln 𝑥𝐴 + 𝑥𝐵 ln 𝑥𝐵 ) (13)
Dengan 𝑛 = 𝑛𝐴 + 𝑛𝐵 .
Persamaan 13 ini sama dengan persamaan untuk dua gas sempurna,
dan semua kesimpulan untuk gas tersebut berlaku pula di sini: pendorong
terjadinya pencampuran adalah naiknya entropi sistem ketika partikel-
partikel bercampur, entalpi dan energi dalam pencampuran bernilai nol, dan
tidak ada perubahan volume.
8
b. Fungsi kelebihan
Larutan nyata terdiri atas partikel-partikel yang interaksi A – A, A –
B, dan B – B semua berbeda. Jika cairan bercampur, selain ada perubahan
entalpi ada juga kontribusi tambahan pada perubahan entropi, yang berasal
dari berkumpulnya partikel-partikel sejenis yang tidak bercampur secara
bebas dengan yang lain. Jika perubahan entalpinya besar dan positif (dan
pencampuran bersifat endoterm), atau jika perubahan entropinya kecil dan
negatif (karena penyusunan ulang partikel yang menghasilkan campuran
teratur) maka fungsi Gibbs pencampuran dapat positif. Dalam hal ini,
pemisahan terjadi secara spontan dan cairan mungkin tidak tercampur.
Gambar 4. Fungsi
kelebihan eksperimen
pada temperature
25℃. (a) 𝐻 𝐸 untuk
benzene/sikloheksana.
(b) 𝑉𝐸 untuk
tetrakhloroetena/siklop
entana.
6. Sifat koligatif
Sifat-sifat koligatif larutan ialah sifat-sifat larutan yang hanya ditentukan
oleh jumlah partikel dalam larutan dan tidak tergantung jenis partikelnya.
9
a. Ciri-ciri umum sifat koligatif
Kita membuat dua asumsi. Asumsi pertama: zat terlarut tidak mudah
menguap, sehingga tidak memberi kontribusi pada uapnya. Asumsi kedua:
zat terlarut tidak larut dalam pelarut padat.
Sifat koligatif berasal dari pengurangan potensial kimia pelarut cair
akibat adanya zat terlarut. Potensial kimia uap dan padatan tak berubah
dengan adanya zat terlarut yang tak larut dan tak mudah menguap. Gambar 5
menunjukkan bahwa kesetimbangan cair uap terjadi pada temperatur lebih
tinggi (maka titik didih naik) dan kesetimbangan padat cair terjadi pada
temperature lebih rendah (maka titik beku turun)
10
Persamaan ini tersusun ulang menjadi:
𝜇𝐴∗ (𝑔) − 𝜇𝐴∗ (𝑙) ∆𝐺𝑣𝑎𝑝
ln(1 − 𝑥𝐵 ) = =
𝑅𝑇 𝑅𝑇
Dengan ∆𝐺𝑣𝑎𝑝 sebagai fungsi Gibbs penguapan pelarut murni dan 𝑥𝐵
adalah fraksi mol zat terlarut; kita sudah menggunakan 𝑥𝐴 + 𝑥𝐵 = 1.
Sekarang kita menuliskan
∆𝐺𝑣𝑎𝑝 = ∆𝐻𝑣𝑎𝑝 − 𝑇 ∆𝑆𝑣𝑎𝑝
Dan mengabaikan kebergantungan yang kecil dari ∆𝐻 dan ∆𝑆
terhadap temperatur. Jadi, pada fraksi mol umum 𝑥𝐵 ,
∆𝐺𝑣𝑎𝑝 ∆𝐻𝑣𝑎𝑝 ∆𝑆𝑣𝑎𝑝
ln(1 − 𝑥𝐵 ) = = −
𝑅𝑇 𝑅𝑇 𝑅
Jika 𝑥𝐵 = 0, titik didihnya adalah titik didih cairan, 𝑇 ∗ , dan
∆𝐺𝑣𝑎𝑝 ∆𝐻𝑣𝑎𝑝 ∆𝑆𝑣𝑎𝑝
ln 1 = = −
𝑅𝑇 ∗ 𝑅 𝑅
Karena ln 1 = 0, selisih kedua persamaan ini adalah
∆𝐻𝑣𝑎𝑝 1 1
ln(1 − 𝑥𝐵 ) = ( − ∗)
𝑅 𝑇 𝑇
Sekarang, kita mengandaikan bahwa jumlah zat terlarut sangat kecil,
sehingga 𝑥𝐵 ≪ 1. Hal ini memungkinkan kita menuliskan ln(1 − 𝑥𝐵 ) ≈
−𝑥𝐵 , sehingga diperoleh
∆𝐻𝑣𝑎𝑝 1 1
𝑥𝐵 = ( ∗− )
𝑅 𝑇 𝑇
11
Dengan 𝐾𝑏 sebagai konstanta ebulioskopi pelarut dan 𝑚𝐵 sebagai
molalitas larutan (yaitu jumlah mol zat terlarut per kilogram pelarut).
Gambar 6. Kesetimbangan
heterogen yang menyangkut
perhitungan kenaikan titik
didih, antara A dalam uap
murni dan A dalam campuran.
12
Jika zat terlarut padat dibiarkan dalam kontak dengan suatu pelarut
maka zat itu melarut sampai larutan menjadi jenuh. Kejenuhan berarti
kesetimbangan, dan pada kesetimbangan, potensial kimia zat padat murni,
𝜇𝐵∗ (𝑠) sama dengan potensial kimia B dalam larutan 𝜇𝐵
𝜇𝐵 = 𝜇𝐵∗ (𝑙) + 𝑅𝑇 ln 𝑥𝐵
Maka kita dapat menuliskan:
𝜇𝐵∗ (𝑠) = 𝜇𝐵∗ (𝑙) + 𝑅𝑇 ln 𝑥𝐵
Persamaan ini sama dengan persamaan awal dari subbab terakhir,
hanya saja kuantitasnya merujuk pada zat terlarut B, bukan pelarut A.
Gambar 8. Kesetimbangan
heterogen yang berkaitan
dengan perhitungan kelarutan
adalah antara padatan murni B
dan B dalam campuran.
Titik awalnya sama, tetapi tujuannya berbeda. Sekarang ini, kita akan
mencari fraksi mol B dalam larutan pada kesetimbangan, jika temperaturnya
T. Oleh karena itu, kita susun ulang persamaan terakhir menjadi:
𝜇𝐵∗ (𝑠) − 𝜇𝐵∗ (𝑙) ∆𝐺𝑓𝑢𝑠
ln 𝑥𝐵 = =−
𝑅𝑇 𝑅𝑇
−∆𝐻𝑓𝑢𝑠 ∆𝑆𝑓𝑢𝑠
= +
𝑅𝑇 𝑅
Pada titik leleh pada zat terlarut, 𝑇 ∗ , kita tahu bahwa ∆𝐺𝑓𝑢𝑠 = 0,
∆𝐺𝑓𝑢𝑠
sehingga ⁄ ∗ = 0 juga, dan ini dapat ditambahkan ke sisi sebelah
𝑅𝑇
kanan. Dengan menganggap entalpi dan entropi pelelehan tetap pada rentang
temperatur tertentu, dan dengan cara yang sama seperti sebelumnya, kita
memperoleh
−∆𝐻𝑓𝑢𝑠 1 1
ln 𝑥𝐵 = ( − ∗) (17)
𝑅 𝑇 𝑇
Persamaan ini memperlihatkan bahwa kelarutan B turun secara
eksponensial jika temperatur diturunkan dari titik lelehnya. Lagi pula, zat
terlarut dengan titik leleh tinggi dan entalpi pelelehan besar mempunyai
kelarutan yang rendah pada temperatur normal.
13
e. Osmosis
Bentuk yang sederhananya terpapar pada Gambar 9. Tekanan
berlawanan berasal dari bagian atas larutan yang dihasilkan oleh osmosis itu
sendiri. Kesetimbangan dicapai jika tekanan hidrostatis kolom larutan sama
dengan tekanan osmosis. Pada kesetimbangan, kedua tekanan itu harus sama,
dan kita dapat menuliskan:
𝜇𝐴∗ (𝑝) = 𝜇𝐴 (𝑥𝐴 , 𝑝 + ∏)
Adanya zat terlarut diperhitungkan dengan cara biasa:
𝜇𝐴 (𝑥𝐴 , 𝑝 + ∏) = 𝜇𝐴∗ (𝑝 + ∏) + 𝑅𝑇 ln 𝑥𝐴
Cara memperhitungkan efek tekanan:
𝑝+∏
𝜇𝐴∗ (𝑝 + ∏) = 𝜇𝐴∗ (𝑝) + ∫ 𝑉𝑚 𝑑𝑃
𝑝
14
𝑅𝑇 𝑥𝐵 = ∏𝑉𝑚
𝑛
Jika larutan itu encer, 𝑥𝐵 ≈ 𝐵⁄𝑛𝐴 . Lebih lanjut, karena 𝑛𝐴 𝑉𝑚 = 𝑉,
yaitu volume total pelarut, maka persamaan ini disederhanakan menjadi
persamaan van’t Hoff:
∏𝑉 = 𝑛𝐵 𝑅𝑇 (19 a)
𝑛𝐵
Karena ⁄𝑉 = [𝐵], yaitu konsentrasi molar zat terlarut, bentuk
sederhana dari persamaan ini adalah:
∏ = [𝐵]𝑅𝑇 (19 b)
Ketika molekul-molekul besar ini melarut menghasilkan larutan yang
jauh lebih ideal, dianggap bahwa persamaan van’t Hoff hanyalah suku
pertama dari deret yang menyerupai persamaan varial:
∏ = [𝐵]𝑅𝑇 + {1 + 𝐵[𝐵] + ⋯ } (19 c)
Suku-suku tambahan memperhitungkan ketakidealan tersebut.
∏
Tekanan osmosis diukur pada segugus konsentrasi, dan alur dari ⁄[𝐵]
15
Gambar 10.
Kebergantungan tekanan
uap total campuran biner
pada fraksi mol A dalam
cairan, jika hukum Raoult
dipenuhi.
Semua titik di atas garis (tekanan yang mengenai sistem melebihi tekanan
uapnya) sesuai dengan cairan yang merupakan fase stabil. Semua titik di bawah
garis sesuai dengan uap yang stabil.
a. Komposisi uap
Komposisi cairan dan uap dalam kesetimbangan tidak perlu sama. Hal
ini dapat dipastikan sebagai berikut. Tekanan parsial komponen bisa didapat
dengan persamaan 20 a. Selanjutnya, dari hukum Dalton fraksi mol dalam
gas. 𝑦𝐴 dan 𝑦𝐵 , adalah:
𝑝𝐴 𝑝𝐵
𝑦𝐴 = 𝑦𝐵 = (21 a)
𝑝 𝑝
Tekanan parsial dan tekanan total dapat dinyatakan dalam fraksi mol
cairan menggunakan persamaan 20, yang menghasilkan:
𝑥𝐴 𝑝𝐴∗
𝑦𝐴 = ∗ 𝑦𝐵 = 1 − 𝑦𝐴 (21 b)
𝑝𝐵 + (𝑝𝐴∗ − 𝑝𝐵∗ )𝑥𝐴
Sekarang kita harus memperlihatkan bahwa jika A adalah komponen
yang lebih atsiri maka fraksi mol dalam uap adalah 𝑦𝐴 lebih besar daripada
fraksi mol dalam cairan 𝑥𝐴 . Gambar 11 memperlihatkan kebergantungan 𝑦𝐴
𝑝𝐴∗
pada 𝑥𝐴 untuk berbagai nilai ⁄𝑝∗ > 1.
𝐵
16
Persamaan 21 memperlihatkan kebergantungan tekanan uap total
terhadap komposisi cairan. Kita dapat menghubugkan tekanan uap dengan
komposisi uap itu sendiri, dengan menggunakan hukum Dalton. Hasilnya:
𝑝𝐴∗ 𝑝𝐵∗
𝑝= (22)
𝑝𝐴∗ + (𝑝𝐵∗ − 𝑝𝐴∗ )𝑦𝐴
b. Penafsiran diagram
Kita dapat menggunakan kedua diagram itu untuk membahas
kesetimbangan fase campuran. Namun demikian, jika kita tertarik kepada
distilasi, komposisi uap dan cairan sama pentingnya. Oleh karena itu, lebih
baik untuk menggabungkan kedua diagram itu. Hasilnya adalah Gambar 13,
di mana sumbu komposisi dinamai 𝑧𝐴 , yaitu fraksi mol keseluruhan A di
dalam sistem. Pada dan di atas garis atas, hanya cairan yang ada, maka 𝑧𝐴 =
𝑥𝐴 ; pada dan di bawah garis bawah hanya uap yang ada maka 𝑧𝐴 = 𝑦𝐴 .
Titik pada daerah terang dari diagram itu tidak hanya menunjukkan
mengenai adanya cairan dan uap secara kualitatif, melainkan juga jumlah
relatif masing-masing secara kuantitatif. Misalkan komposisi keseluruhan
𝑧𝐴 = 𝑎 dan tekanan = 𝑝3. Karena titik (𝑎, 𝑝3 ) terletak dalam sektor terang,
kita segera tahu bahwa kedua fase ada dalam kesetimbangan.
17
Gambar 13. Kebergantungan
tekanan uap total larutan ideal,
pada fraksi mol A dalam sistem
keseluruhan.
c. Aturan tuas
Untuk menemukan jumlah relatif, kita mengukur jarak l dan l’
sepanjang garis hubung mendatar (tie line), dan kemudian menggunakan
aturan tuas (Gambar 14)
𝑛′ 𝑙 ′ = 𝑛𝑙 (23)
Dengan n sebagai jumlah cairan dan n’ sebagai jumlah uap. Dalam
2 2
kasus sekarang ini, karena 𝑙 ′ = 3 𝑙, maka jumlah cairan sekitar 3 jumlah uap.
18
2. Diagram temperatur komposisi
a. Distilasi campuran
Penggunaan diagram temperatur-komposisi meliputi penafsiran
seperti yang sudah kita lihat pada diagram tekanan-komposisi. Bayangkan
apa yang terjadi jika cairan dengan komposisi a dipanaskan. Mula-mula
keadaannya adalah 𝑎1 . Cairan ini mendidih ketika temperatur mencapai 𝑇2 .
Kemudian, cairan mempunyai komposisi 𝑎2 , dan uap (yang hanya ada
sedikit) mempunyai komposisi 𝑎2′ . Uap lebih banyak mengandung komponen
A yang lebih mudah menguap, seperti yang kita harapkan. Dari lokasi 𝑎2′ kita
dapat menyatakan komposisi uap pada titik didih. Dari lokasi garis hubung
yang menghubungkan 𝑎2 dan 𝑎2′ kita dapat membaca temperatur didih
campuran cairan semula.
Dalam destilasi sederhana, uapnya diambil dan dikondensasi. Jika
dalam bentuk contoh ini uap diambil dan dikondensasi seluruhnya, tetesan
merupakan cairan dengan komposisi 𝑎3 , yang lebih banyak mengandung
komponen yang lebih atsiri daripada cairan semula. Pada destilasi terfraksi,
siklus pendidihan dan kondensasi diulang-ulang secara berurutan. Kita dapat
mengikuti perubahan yang terjadi dengan melihat apa yang terjadi jika
kondensat dengan komposisi 𝑎3 dipanaskan kembali. Diagram fase
memperlihatkan bahwa campuran ini mendidih pada 𝑇4 dan menghasilkan
19
uap dengan komposisi 𝑎4 yang bahkan lebih kaya lagi akan komponen yang
lebih atsiri. Uap ini diambil dan tetesan pertama berkondensasi menjadi
cairan dengan komposisi 𝑎5 . Siklus ini dapat diulang-ulang sampai akhirnya,
A yang hampir murni.
b. Azeotrop
Penyimpangan dari keidealan tidak selalu begitu kuat untuk
menghasilkan nilai maksimum atau nilai minimum dalam batas-batas fase.
Tetapi jika ini terjadi, timbul konsekuensi penting untuk distilasi. Perhatikan
cairan dengan komposisi a di sebelah kiri maksimum dalam Gambar 16. Uap
(pada 𝑎2′ ) dari campuran didih (pada 𝑎2 ) lebih kaya akan B. Jika uap diambil
(dan dikondensasikan di tempat lain), sisa cairannya akan mempunyai
komposisi 𝑎3 dan komposisi uapnya adalah 𝑎3′ . Jika uap itu diambil
komposisi cairan didih bergeser ke 𝑎4 dan uapnya ke 𝑎4′ . Oleh karena itu,
dengan berlanjutnya penguapan, komposisi sisa cairan bergeser menuju A,
karena B diambil. Titik didih cairan naik, dan uapnya menjadi lebih kaya akan
A. Jika sudah banyak B yang menguap, sehingga cairan mencapai komposisi
b, uap mempunyai komposisi yang sama dengan cairan. Kemudian
penguapan terjadi tanpa perubahan komposisi. Cairan ini disebut membentuk
azeotrop (yang berasal dari kata Yunani, yang artinya “mendidih tapa
perubahan”).
Jika komposisi azeotrop sudah dicapai, distilasi tidak dapat
memisahkan kedua cairan karena komposisi kondensat sama dengan
komposisi cairan. Salah satu contoh pembentukan azeotrop adalah asam
khlorida/air, yang bersifat azeotrop pada komposisi 80 persen (massa) air dan
mendidih tanpa berubah pada temperatur 108,6oC.
20
Gambar 16. Azeotrope dengan
titik didih tinggi. Jika campuran
pada a1, didestilasi terfraksi,
komposisi sisa cairan berubah
menuju b, tetapi tidak lebih dari
itu.
C. Larutan Nyata
1. Aktivitas pelarut
Bentuk umum potensial kimia zat terlarut atau pelarut (nyata atau ideal)
adalah:
𝑝𝐴
𝜇𝐴 (𝑙) = 𝜇𝐴∗ (𝑙) + 𝑅𝑇 ln (24)
𝑝𝐴∗
Dengan 𝑝𝐴∗ menyatakan tekanan uap A murni dan 𝑝𝐴 adalah tekanan uapnya jika
berada dalam bentuk campuran. Dalam hal ini larutan ideal, baik pelarut maupun
zat terlarut memenuhi hukum Raoult pada semua konsenrtasi dan kita dapat
menuliskan
𝜇𝐴 (𝑙) = 𝜇𝐴∗ (𝑙) + 𝑅𝑇 ln 𝑥𝐴
Keadaan standar pelarut atau zat terlarut adalah cairan murni (pada tekanan 1
bar), dan diperoleh jika 𝑥𝐴 = 1. Jika larutan tidak memenuhi hukum Raoult,
bentuk persamaan terakhir dapat dipertahankan dengan menuliskan
𝜇𝐴 (𝑙) = 𝜇𝐴∗ (𝑙) + 𝑅𝑇 ln 𝑎𝐴 (25 a)
21
𝑎𝐴 adalah aktivitas A, sejenis fraksi mol “efektif” seperti halnya fugasitas adalah
suatu tekanan efektif.
Karena persamaan 24 berlaku untuk larutan nyata maupun ideal
(hampirannya adalah penggunaan tekanan bukan fugasitas), kita dapat
menyimpulkan bahwa:
𝑝𝐴
𝑎𝐴 = (25 b)
𝑝𝐴∗
Oleh karena itu, aktivitas suatu komponen dalam campuran dapat
ditentukan secara eksperimen dengan mengukur tekanan uapnya.
𝑝𝐴
Karena semua pelarut makin mematuhi hukum Raoult (bahwa ⁄𝑝∗ =
𝐴
22
𝐾𝐵
𝜇𝐵 = 𝜇𝐵† + 𝑅𝑇 ln 𝑥𝐵 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝜇𝐵† = 𝜇𝐵∗ + 𝑅𝑇 ln
𝑝𝐵∗
b. Zat terlarut nyata
Sekarang kita terima penyimpangan dari encer ideal: perilaku hukum
Henry. Untuk aktivitas pelarut, kita memasukkan 𝑎𝐴 sebagai pengganti 𝑥𝐴
dalam hukum Raoult dan memperoleh persamaan 25 a untuk potensial kimia.
Untuk zat terlarut, kita memasukkan 𝑎𝐵 sebagai pengganti 𝑥𝐵 ke dalam
hukum Henry dan memperoleh:
𝜇𝑏 = 𝜇𝐵† + 𝑅𝑇 ln 𝑥𝐴 (26 a)
Pada tahap terakhir ini, keadaan standar tak berubah, dan semua
penyimpangan dari keidealan ditampung dalam aktivitas 𝑎𝐵 . Nilai aktivitas
pada segala konsentrasi dapat diperoleh dengan cara yang sama seperti untuk
pelarut, tetapi sebagai pengganti persamaan 25 b, kita gunakan
𝑃𝐵
𝑎𝐵 = (26 b)
𝐾𝐵
Seperti halnya dengan pelarut, sangatlah bijaksana untuk memperkenalkan
koefisien aktifitas
𝑎𝐵 = 𝛾𝐵 𝑥𝐵 (26 c)
Sekarang semua penyimpangan dari keidealan ditampung dalam
koefisien aktifitas 𝛾𝐵 . Karena zat terlarut memenuhi hukum Henry ketika
konsentrasinya menuju nol, maka:
𝑎𝐵 → 𝑥𝐵 𝑑𝑎𝑛 𝛾𝐵 → 1 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑘𝑎 𝑥𝐵 → 0
Penyimpangan zat terlarut dari keidealan menghilang pada saat
konsentrasi nol, tetapi untuk pelarut penyimpangan menghilang ketika
mendekati kemurnian.
c. Aktivitas berkenaan dengan molalitas
Mula-mula, kita perhatikan bahwa dalam larutan encer jumlah zat
terlarut jauh lebih sedikit dari jumlah pelarut (𝑛𝐵 ≪ 𝑛𝐴 ), sehingga untuk
𝑛
pendekatan yang baik 𝑥𝐵 = 𝐵⁄𝑛𝐴 . Karena 𝑛𝐵 sebanding dengan molalitas
𝑚𝐵 , kita dapat menuliskan:
𝑘𝑚𝐵
𝑥𝐵 = 𝑚𝑜 = 1 𝑚𝑜𝑙 𝑘𝑔−1
𝑚𝑂
23
k adalah konstanta dan 𝑚𝑜 dimasukkan supaya sisi sebelah kanan tidak
berdimensi (satuan-satuan dihilangkan dengan m sendiri). Oleh karena itu,
untuk larutan encer ideal, kita dapat menuliskan:
𝑚𝐵
𝜇𝐵 = 𝜇𝐵† + 𝑅𝑇 ln 𝑘 + ln
𝑚𝑜
Sekarang, kita menentukan potensial kimia standar baru dengan
menggunakan ln 𝑘 dan 𝜇:
𝜇𝐵𝑜 = 𝜇𝐵† + 𝑅𝑇 ln 𝑘
Yang memungkinkan kita menuliskan:
𝑚𝐵
𝜇𝐵 = 𝜇𝐵𝑜 + 𝑅𝑇 ln 𝑜
𝑚
Menurut definisi itu, potensial kimia zat terlarut mempunyai nilai
standar 𝜇𝐵𝑜 , jika molalitas B sama dengan 𝑚𝑜 (yaitu pada 1 mol kg-1).
Sekarang, seperti sebelum ini, kita memasukkan penyimpangan dari
keidealan dengan memperkenalkan aktivitas yang tidak berdimensi 𝑎𝐵 .
Koefisien aktivitas yang tidak berdimensi 𝛾𝐵 , dan menuliskan
𝛾𝐵 𝑚𝐵
𝛼𝐵 = 𝛾𝐵 → 1 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑘𝑎 𝑚𝐵 → 0 (27 a)
𝑚𝑜
Dalam tahap terakhir ini, keadaan standar tidak berubah, dan seperti
sebelumnya, semua penyimpangan dari keidealan ditampung dalam koefisien
aktivitas 𝛾𝐵 . Maka kita sampai pada bentuk ringkas berikut untuk potensial
kimia zat terlarut nyata pada segala molalitas.
𝜇 = 𝜇 𝑜 + 𝑅𝑇 ln 𝑎 (27 b)
24
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut dalam disimpulkan bahwa
1. sifat molar parsial yang paling mudah digambarkan adalah “volume molar
parsial” yaitu kontribusi pada volume dari satu komponen dalam sampel
𝜕𝑉
terhadap volume total. Yang dihitung dengan persamaan 𝑉𝐽 = (𝜕𝑛 ) .
𝐽 𝑝,𝑇,𝑛′
2. Untuk larutan ideal dapat didefinisikan seluruh cairan yang mentaati hukum
Raoult di seluruh rentang komposisinya dari A murni ke B murni adapun
untuk larutan encer dapat didefinisikan campuran yang mentaati hukum Henry
bersifat ideal, dalam arti yang berbeda dengan campuran yang mentaati
hukum Raoult. Untuk fungsi pencampuran ideal, ∆𝐺𝑚𝑖𝑥 = 𝑛𝑅𝑇(𝑥𝐴 ln 𝑥𝐴 +
𝑥𝐵 ln 𝑥𝐵 ). Sedangkan yang dimaksud fungsi kelebihan adalah yaitu selisih
antara fungsi pencampuran termodinamika yang diamati dengan fungsi untuk
larutan ideal.
3. Adapun yang dimaksud sifat koligatif ialah sifat-sifat larutan yang hanya
ditentukan oleh jumlah partikel dalam larutan dan tidak tergantung jenis
partikelnya. Untuk kenaikan titik didih ∆𝑇 = 𝐾𝑏 𝑚𝐵 , penurunan titik beku
∆𝑇 = 𝐾𝑡 𝑚𝐵 , dan tekanan osmosa berkenaan dengan persamaan van’t Hoff
−∆𝐻𝑓𝑢𝑠 1 1
∏𝑉 = 𝑛𝐵 𝑅𝑇. Kemudian, perkiraan kelaruan zat ln 𝑥𝐵 = (𝑇 − 𝑇 ∗).
𝑅
4. Cairan atsiri dapat dikatakan sebagai cairan yang mudah menguap dan
interpretasinya berkenaan dengan aturan tuas 𝑛′ 𝑙 ′ = 𝑛𝑙. Untuk melakukan
25
destilasi pada tekanan tetap dengan menaikkan temperatur diperlukan
temperatur-komposisi yang batas-batasnya memperlihatkan fase-fase yang
berada dalam kesetimbangan pada berbagai temperatur. Begitu pula dengan
azeotrop dan cairan tak-campur yang memerlukan diagram temperatur-
komposisi.
5. Untuk pemerian larutan nyata berkenaan dengan aktivitas pelarut dan zat
terlarut menggunakan 𝜇𝐴 (𝑙) = 𝜇𝐴∗ (𝑙) + 𝑅𝑇 ln 𝑎𝐴 . Untuk aktivitas pelarut dan
𝑝
koefisien aktivitas berkenaan dengan hukum Raoult yakni 𝑎𝐴 = 𝑝𝐴∗ , sedangkan
𝐴
𝑃
aktivitas zat terlarut bekenaan dengan hukum Henry yakni 𝑎𝐵 = 𝐾𝐵 .
𝐵
B. Saran
Untuk pembaca, diharapkan makalah ini dapat dijadikan sebagai salah satu
rujukan berkaitan materi perubahan keadaan: transformasi fisika campuran
sederhana. Diharapkan pula pembaca cermat dalam menyaring, memilah, dan
bijaksana dalam menerapkan pengetahuan yang dibahas di makalah ini. Penyusun
berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca semua.
26
DAFTAR PUSTAKA
27