Anda di halaman 1dari 16

PENGEMBANGAN BUDAYA RELIGIUS MELALUI KEGIATAN

PEMBIASAN KOMISARIAT IPNU IPPNU MTs MA’ARIF NU 1


CILONGOK KECAMATAN CILONGOK KABUPATEN BANYUMAS

Akhmad Syarif Hidayatullah


MTs Ma’arif NU 1 Cilongok

Abstrak: Latar belakang dikembangkannya budaya religius melalui kegiatan


pembiasaan di Komisariat IPNU IPPNU MTs Ma’arif NU 1 Cilongok karena
selama ini kegiatan pembiasan bertumpu pada guru dan organiasi sekolah
intra yang kurang berkembang pada kegiatan keagamaan. Selain itu, usaha
keras dari madrasah untuk menjaga religiusitas peserta didik yang harus
menghadapi gempuran globalisasi dan interaksi sosial di luar madrasah.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang pengembangan
budaya religius melalui kegiatan komisariat IPNU IPPNU di MTs Ma’arif NU
1 Cilongok.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian riset lapangan yang bersifat
deskriptif kualitatif yaitu penulis melakukan penelitian langsung di lapangan
untuk memperoleh data atau informasi secara langsung dengan mendatangi
lokasi responden. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan
teknik observasi (pengamatan), interview (wawancara), dokumentasi dan
gabungan keempatnya. Tujuan jenis penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif karena ditujukan untuk menganalisis dan menyajikan keadaan yang
sebenarnya terjadi di lokasi penelitian mengenai pengembangan budaya religius
melalui kegiatan komisariat IPNU IPPNU di MTs Ma’arif NU 1 Cilongok.
Hasil dari penelitian tentang pengembangan budaya religius melalui kegiatan
komisariat IPNU IPPNU di MTs Ma’arif NU 1 Cilongok adalah PK IPNU
IPPNU MTs Ma’arif NU 1 Cilongok memiliki program kerja yang sangat
mendukung madrasah dalam menciptakan budaya religius di madrasah,
adanya pengawasan dan pendampingan dari pembina, guru, dan pemangku
jabatan struktural madrasah, perkembangan remaja awal menjadi faktor
pendukung kegiatan pembiasaan berjalan dengan baik, kegiatan pembiasaan
menjadi wadah pengurus IPNU IPPNU untuk menjalani peran pemimpin
dan rekan dalam organisasi, tingkat pelanggaran siswa yang relatif rendah,
terjaganya prestasi akademik dan non akademik, serta kepuasan dari jenjang

Dwija Inspira ISSN: 2614-5359 209


pendidikan lanjutan pada mutu siswa MTs yang lebih religius menjadi salah
satu indikator keberhasilan.
Kata Kunci: Pembiasaan, Budaya Religius

Abstract: The background of the development of religious culture through


habituation activities at IPNU IPPNU Commissariat MTs Ma’arif NU 1 Cilongok
is because so far, the refraction activities are based on teachers and intra-school
organizations that are less developed in religious activities. In addition, the
hard work of the madrasa to maintain the students’religiosity must stifle the
onslaught of globalization and social interaction outside the madrasa. This
study aims to provide an overview of the development of religious culture
through the activities of the IPPNU IPNU commissariat at MTs Ma’arif NU 1
Cilongok.
This research uses descriptive qualitative field research, where the author
conducts direct research in the field to obtain data or information directly by
visiting the location of the respondents. Data collection techniques are carried
out using observation techniques, interviews, documentation and a combination
of the four. The purpose of this type of research is descriptive research because
it is intended to analyze and present the actual situation that occurred at the
location of the study regarding the development of religious culture through
the activities of IPPNU IPNU commissariat at MTs Ma’arif NU 1 Cilongok.
The result of research on the development of religious culture through the IPNU
IPNU commissariat activities at MTs Ma’arif NU 1 Cilongok are IPNU IPPNU
PK MTs Ma’arif NU 1 Cilongok has a work program that strongly supports
madrasa in creating religious culture, supervision and assistance from coaches,
teachers, and structural madrasa posters, Early adolescent development becomes
a supporting factor for habituation activities to run well, habituation activities
become a place for IPPNU IPNU administrators to carry out the roles of leaders
and colleagues in the organization, relatively low levels of student violations,
maintained academic achievement and non-academic, and satisfaction from the
advanced education level on the quality of the more religious MTs students is
one indicator of success.
Keywords: Habitualism, Religious Culture

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 20 tahun
2003 pasal 1 telah dirumuskan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang

210 Dwija Inspira ISSN: 2614-5359


diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UUD 1945, 2002 : 24). Melalui
pengertian pendidikan di atas, kita dapat melihat bahwa ruang lingkup dan tujuan
pendidikan sangat luas. Hal ini ditunjukan melalui aktifitas pendidikan yang
berusaha mengembangkan segenap potensi yang dimiliki oleh peserta didik.
Lebih lanjut UU Sisdiknas menjelaskan bahwa Pendidikan nasional adalah
pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional
Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman (UU No.20 Tahun 2003,
2003 : 2). Penjelasan ini menyebutkan bahwa akar dari Pendidikan Nasional yaitu
nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan zaman. Salah satu akar Pendidikan Nasional adalah nilai-nilai agama.
Agama menjadi salah satu pondasi stabilitas bangsa Indonesia. Indonesia yang
beranekaragam budaya dan agama menjadikan negara ini sebagai salah satu negara
dengan tingkat toleransi antar umat agama yang baik. Pendidikan agama yang sudah
terpolarisasi pada masing-masing tokohnya menjadikan para pemeluknya dapat
mendalami ilmu agama secara baik dan intensif. Ketika masing-masing individu
agama atau komunitas agama sudah memiliki pendalaman ilmu agama yang baik
maka sedikit kemungkinan terjadinya konflik antar agama dan baik antar individu
maupun kelompok dapat saling berinteraksi dalam bingkai kemanusiaan, persatuan,
dan kenegaraan.
Islam merupakan agama yang mayoritas dianut oleh bangsa Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia
yang beragama Islam adalah 207.176.162 jiwa atau jika dipersentasekan 87,18 % dari
total penduduk Indonesia yang berjumlah 237.641.326 jiwa (BPS, 2010).
Besarnya umat Islam di Indonesia tidak serta merta menjadikan setiap warga
negara memiliki akhlak yang baik. Tidak sedikit kalangan muslim melakukan
tindakan negatif di masyarakat baik berupa pelanggaran ringan hingga pada kasus
upaya pembunuhan terhadap suatu kelompok manusia. Hal seperti ini tidak hanya
terjadi pada kalangan dewasa tetapi sudah merambah pada tingkat remaja bahkan
anak-anak.
Fenomena di atas salah satunya mengakar pada penurunan moral dan akhlak
generasi muda. Hal ini menjadi keprihatinan segenap elemen bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, saat ini sedang digalakkan kegiatan-kegiatan berbalut agama yang
mengarah pada pembinaan mental dan akhlak generasi muda.
Persentase kenakalan remaja terbesar terjadi pada anak usia belajar yaitu 12-18
tahun. Bentuk-bentuk kenakalan remaja sangat beragam mulai dari sekedar tidak
hormat kepada orang tua dan guru hingga mengarah pada pelanggaran hukum.

Dwija Inspira ISSN: 2614-5359 211


Oleh karena itu, upaya-upaya pencegahan harus diterapkan di berbagai lingkungan
salah satunya yaitu lingkungan lembaga pendidikan.
Kegiatan pencegahan terhadap penurunan moral peserta didik tidak hanya
dilakukan secara kondisional atau insidental, tetapi harus benar-benar terprogram
dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh mengingat kondisi generasi muda saat ini
yang cukup memprihatinkan. Kesungguhan lembaga pendidikan dalam mencegah
penurunan akhlak dapat diwujudkan dalam bentuk kebijakan pimpinan lembaga
pendidikan, program kerja organisasi siswa ataupun juga kegiatan swadaya warga
sekolah/madrasah.
Sekolah/madrasah pada umumnya memiliki program-program unggulan
dalam usaha meningkatkan akhlak peserta didik. Di beberapa sekolah/madrasah
menganggap hal ini sangat penting bagi peserta didik baik selama menjalani masa
pendidikan di sekolah/madrash tersebut maupun sebagai tolok ukur keberhasilan
sekolah/madrasah dalam membina akhlak dan agama peserta didik.
Akhlak peserta didik dipengaruhi oleh kualitas spiritual atau religiusitas
peserta didik. Peserta didik yang memiliki pengamalan nilai-nilai agama yang baik,
berpotensi besar akan memiliki akhlak yang baik pula jika dibandingkan dengan
peserta didik yang memiliki pengamalan nilai-nilai agama yang kurang baik. Hal
ini karena kualitas spiritual seseorang akan beriringan dengan perwujudan akhlak
individu.
Bentuk konkrit sekolah/madrasah dalam menjaga akhlak dan pengamalan
nilai-nilai agama adalah melalui penciptaan suasana religus. Yang dimaksud
dengan penciptaan suasana religius di sekolah adalah penciptaan suasana atau
iklim kehidupan keagamaan Islam yang dampaknya ialah berkembangnya suatu
pandangan hidup yang bernafas atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama Islam
yang diwujudkan dalam sikap hidup serta keterampilan hidup oleh para warga
sekolah (Muhaimin, 2005 : 61).
Menurut Muhaimin, religius dalam konteks pendidikan agama Islam ada yang
bersifat vertikal dan ada yang bersifat horizontal. Penciptaan suasana religius yang
bersifat vertikal dapat diwujudkan dalam kegiatan shalat berjamaah, puasa senin
kamis, doa bersama ketika akan/telah meraih sukses tertentu, menegakkan komitmen
dan loyalitas moral force di sekolah dan lain-lain. Sedangkan penciptaaan suasana
religius yang bersifat horizontal lebih mendudukkan sekolah sebagai institusi sosial,
yang jika dilihat dari struktur hubungan antara manusianya dapat diklasifikasikan
kedalam tiga hubungan, yaitu hubungan atasan bawahan, hubungan profesional,
hubungan sederajat atau suka rela (Muhaimin, 2005 : 62).
Menurut Benny Prasetya yang mengutip dari Muhaimin, pengembangan budaya
agama dalam komunitas madrasah/sekolah berarti bagaimana mengembangkan

212 Dwija Inspira ISSN: 2614-5359


agama islam di madrasah sebagai pijakan nilai, semangat, sikap, dan perilaku bagi
para aktor madrasah, guru dan tenaga kependidikan lainnya, orang tua murid, dan
peserta didik itu sendiri (Beny Prasetya, 2014 : 476).
Pendidikan agama di sekolah, tidak saja di madrasah atau di sekolah yang
bernuansa islami tetapi juga di sekolah-sekolah umum sangatlah penting untuk
pembinaan dan penyempurnaan pertumbuhan kepribadian anak didik, karena
pendidikan agama melatih anak didik untuk melakukan ibadah yang diajarkan
dalam agama, yaitu praktek-praktek agama yang menghubungkan manusia dengan
Tuhannya. Karena praktek-praktek ibadah itulah yang akan membawa jiwa anak
kepada Tuhannya. Semakin sering dilakukan ibadah, semakin tertanam kepercayaan
dan semakin dekat pula jiwa sang anak terhadap Tuhannya. Disamping praktek
ibadah, anak didik harus dibiasakan mengatur tingkah laku dan sopan santun
baik terhadap orang yang lebih tua maupun terhadap sesama teman sebayannya.
Kepercayaan kepada Tuhan tidak akan sempurna bila isi ajaran-ajaran dari Tuhan
tidak diketahui betul-betul. Anak didik harus ditunjukkan mana yang disuruh dan
mana yang dilarang oleh Tuhannya (Beny Prasetya, 2014 : 476).
Dalam penerapannya pengembangan budaya religius tidak hanya dilaksanakan
di madrasah atau di sekolah yang bernuansa islami tetapi juga di sekolah-sekolah
umum. Hal ini sangat penting karena pelaksanaan pendidikan agama Islam
dibutuhkan pembiasaan atau praktek-praktek agama yang menghubungkan manusia
dengan Tuhannya. Dari proses pembiasaan itulah akan membentuk pendidikan
tauhid pada diri anak, yang akan membawa pada proses kesadaran bahwa apa yang
dilakukan manusia setiap hari akan senantiasa terlihat dan tercatat dengan baik
oleh Allah SWT. Dengan demikian pendidikan agama di sekolah bukan hanya pada
tataran kognitif saja, namun bagaimana membentuk kesadaran pada siswa untuk
melaksanakan dan membudayakan nilai-nilai pendidikan agama dalam kehidupan
sehari-hari (Beny Prasetya, 2014 : 484).
Menurut Fuaduddin, secara edukatif-metodologis, mengasuh dan mendidik anak
memerlukan kiat-kiat atau metode-metode yang sesuai dengan tingkat perkembangan
anak. Namun, ada meotde yang patut digunakan, antara lain : Pertama, pendidikan
melalui kebiasaan. Penanaman nilai-nilai dilakukan dengan kebiasaan melakukan
kegiatan-kegiatan ajaran agama, atau pengenalan ajaran-ajaran pada anak. Kedua,
pendidikan dengan keteladanan. Yaitu orang tua atau guru mencontohkan dengan
mengamalkan ajaran agama terlebih dahulu sehingga anak ataupun siswa bisa
meneladaninya (Fuaduddin, 1999 : 30).
Berdasarkan beberapa pendapat diatas mengenai suasana dan budaya religius
dapat diringkas yakni budaya religius merupakan suasana atau keadaan dimana
agama telah tertanam dalam setiap sendi kehidupan, agama menjadi pijakan

Dwija Inspira ISSN: 2614-5359 213


nilai, sikap, semangat, dan perilaku setiap individu sehingga segala sesuatu yang
dikerjakan senantiasa memiliki nafas agama baik secara vertikal yaitu hubungan
dengan Allah SWT maupun secara horisontal yaitu hubungan dengan sesama ciptaan
Allah SWT. Dengan demikian, internalisasi nilai-nilai religius akan tertanam pada
pribadi seseorang, tanpa perlu instruksi atau aturan yang ketat secara sadar maupun
tidak seseorang akan selalu menjaga perilakunya agar tetap sesuai dengan perintah-
Nya dan sebisa mungkin menjauhi segala larangan-Nya.
Salah satu bentuk program sekolah/madrasah dalam upaya penciptaan suasana
religus adalah program pembiasaan. Secara bahasa, pembiasaan berasal dari kata
biasa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Ebta Setiawan, 2013), biasa adalah
lazim atau umum, seperti sedia kala, sudah merupakan yang tidak terpisahkan dari
kehidupan sehari-hari. Dengan adanya awalan pe- dan akhiran –an menunjukan
arti proses. Sehingga pembiasaan dapat diartikan dengan proses membuat sesuatu/
seseorang menjadi terbiasa. Dalam kaitannya dengan metode pembelajaran dalam
Pendidikan Agama Islam, dapat dikatakan bahwa pembiasaan adalah sebuah cara
yang dapat dilakukan untuk membiasakan peserta didik berfikir, bersikap dan
bertindak sesuai dengan tuntunan ajaran agama Islam.
Menurut Kendra Cherry, Habituation is a decrease in response to a stimulus after
repeated presentations. For example, a new sound in your environment, such as a new
ringtone, may initially draw your attention or even become distracting. Over time, as you
become accustomed to this sound, you pay less attention to the noise and your response to the
sound will diminish. This diminished response is habituation (Kendra Cherry, 2019).
Penjelasan tentang pembiasaan menurut Kendra Cherry diatas kurang lebih
memberi gambaran bahwa pembiasaan yaitu mengurangi respon terhadap stimulus
setelah mendapatkan pengulangan presentasi. Dalam penjelasannya diberikan
contoh, suatu suara yang baru didengar di sekitar kita, seperti nada dering baru,
mungkin awalnya menarik perhatian Anda atau bahkan menjadi mengganggu.
Seiring berjalannya waktu, ketika Anda terbiasa dengan suara ini, Anda kurang
memperhatikan kebisingan tersebut dan respons Anda terhadap suara tersebut akan
berkurang. Tanggapan yang berkurang inilah yang disebut dengan pembiasaan. Jadi,
apabila kita kaitkan dengan program pembelajaran, pembiasaan membawa peserta
didik untuk terbiasa dengan kegiatan-kegiatan pembelajaran sehingga mereka
merasa terbiasa, tidak merasa terbebani, bahkan kemungkinan bisa menjadi mahir.
Beberapa tahun terakhir, banyak lembaga pendidikan yang mencanangkan
program pembiasaan, salah satunya yaitu pembiasaan amaliyah keagamaan. Hal
ini terbukti cukup efektif dalam menanamkan kebiasaan mengamalkan nilai-nilai
agama kepada peserta didik untuk melakukan hal serupa secara mandiri baik di
dalam maupun di luar lingkungan lembaga pendidikan.

214 Dwija Inspira ISSN: 2614-5359


Kegiatan pembiasan menjadi media untuk menciptakan budaya religius di
sekolah/madrasah. Tanggungjawab dalam pelaksanaan kegiatan pembiasaan tidak
hanya bertumpu pada guru Pendidikan Agama Islam (PAI) atau jajaran stekholder
sekolah/madrasah, tetapi seluruh warga sekolah/madrasah untuk bersama-sama
komitmen menciptakan budaya religius.
MTs Ma’arif NU 1 Cilongok adalah salah satu lembaga pendidikan di bawah
naungan Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (LP. Ma’arif NU) yang
menerapkan program pembiasaan dalam upaya menciptakan suasana religius
di lingkungan sekolah/madrasah. Menurut Muhaimin yang dikutip oleh Benny
Prasetya, pelaksanaan budaya religius di sekolah mempunyai landasan kokoh yang
normatif religius maupun konstitusional sehingga tidak ada alasan bagi sekolah
untuk mengelak dari usaha tersebut (Beny Prasetya, 2014 : 476).
Program pembiasaan dalam upaya menciptakan budaya religius di MTs Ma’arif
NU 1 Cilongok merupakan program yang telah dikukuhkan oleh pimpinan madrasah
dalam hal ini oleh Kepala Madrasah beserta jajaran pemangku jabatan struktural
madrasah. Program pembiasaan dalam upaya penciptaan budaya religius yang
masih bersifat umum ini kemudian diimplementasikan melalui berbagai komponen
madrasah seperti kegiatan belajar mengajar (KBM), kegiatan intrakurikuler dan
ektrakurikuler, tata tertib madrasah, program kerja organisasi madrasah, dan lain
sebagainya.
Salah satu pelaksana program pembiasaan dalam upaya menciptakan budaya
religius di MTs Ma’arif NU 1 Cilongok adalah organisasi siswa intra madrasah yang
dimiliki yaitu Pimpinan Komisariat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan
Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU). Pimpinan Komisariat Ikatan Pelajar
Nahdlatul Ulama (disingkat PK IPNU) merupakan suatu kesatuan organik yang
memiliki kedudukan sebagai pemegang kepemimpinan organisasi di tingkat sekolah,
pesantren, atau lembaga pendidikan lainnya (Pimpinan Pusat IPNU, 2014 : 89).
Dalam penelitian ini, penulis meneliti program pembiasaan yang diselenggarakan
oleh PK IPNU IPPNU MTs Ma’arif NU 1 Cilongok. Bentuk-bentuk kegiatan
pembiasaan yang diselenggarakan oleh PK IPNU IPPNU MTs Ma’arif NU 1 Cilongok
yaitu Pembacaan Ratib Al Hadad, Pembacaan Asmaul Husna, Tahlil, Sholawat Nariyah,
Tadarus Surat Pendek Pilihan, Amal Jum’at (Koin Madrasah), Shalat Berjamaah, dan
beberapa kegiatan insidental lainnya.
Berdasarkan uraian di atas penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih jauh
tentang pengembangan budaya religius melalui kegiatan pembiasaan PK IPNU
IPPNU MTs Ma’arif NU 1 Cilongok.

Dwija Inspira ISSN: 2614-5359 215


B. KAJIAN TEORI
Pembiasaan merupakan kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang agar
sesuatu tersebut dapat menjadi kebiasaan. Pembiasaan adalah segala sesuatu yang
dilakukan secara berulang untuk membiasakan individu dalam bersikap, berperilaku,
dan berpikir dengan benar. Dalam proses pembiasaan berintikan pengalaman,
sedangkan yang dibiasakan adalah sesuatu yang diamalkan (Anis Ibnatul M., 2013
: 1).
Sedangkan pembiasaan terbentuk melalui pengulangan dan memperoleh
bentuknya yang tetap apabila disertai dengan kepuasan. Anak yang sering mendengar
orang tuanya mengucapkan nama Allah, umpamannya, akan mulai mengenal
nama Allah. Hal itu kemudian mendorong tumbuhnya jiwa keagamaan pada anak
tersebut. Demikian pula anak dapat berdisiplin dengan berlatih mematuhi peraturan
yang secara berulang-ulang di lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan lainnya
(Hery Noer Aly, 1999: 189)
Berdasarkan uraian diatas tentang pengertian pembiasaan, penulis menyimpulkan
bahwa pembiasaan merupakan suatu kegiatan baik dalam bersikap, berperilaku, dan
berpikir yang dilakukan secara berulang-ulang agar individu terbiasa melakukan
kegiatan tersebut dapat secara sadar dan benar. Individu dianggap sudah terbiasa
jika kegiatan yang dia lakukan berulang-ulang itu ringan untuk dilakukan dan sesuai
dengan pengalaman yang didapat selama masa pembiasaan. Hal ini karena inti dari
proses pembiasaan adalah pengalaman dan yang dibiasakan adalah pengamalan.
Sedangkan puncak dari pembiasaan yaitu adanya perubahan sikap, perilaku, dan
cara berpikir individu yang telah mengalami proses pembiasaan.
Penciptaan suasana religius di sekolah adalah pencipataan suasana atau
iklim kehidupan keagamaan Islam yang dampaknya ialah berkembangnya suatu
pandangan hidup yang bernafas atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama Islam
yang diwujudkan dalam sikap hidup serta keterampilan hidup oleh para warga
sekolah (Muhaimin, 2005 : 61).
Budaya religius di lembaga pendidikan merupakan budaya yang tercipta dari
pembiasaan suasana religius yang berlangsung lama dan terus menerus bahkan
sampai muncul kesadaran dari semua anggota lembaga pendidikan untuk melakukan
nilai religius itu. Pijakan awal dari budaya religius adalah adanya religiusitas atau
keberagamaan. Keberagamaan adalah menjalankan agama secara menyeluruh.
Dengan melaksanakan agama secara menyeluruh maka seseorang pasti telah
terinternalisasi nilai-nilai religius (Rizal Sholahudin, 2015 : 69).
Budaya religius merupakan suatu keadaan dimana praktek keberagamaan
terselenggara secara sadar dan menyeluruh tanpa paksaan untuk melaksanakan
dan terus berkembang hingga tercapainya internalisasi nilai-nilai ajaran agama

216 Dwija Inspira ISSN: 2614-5359


Islam serta menjadi pandangan hidup untuk senantiasa menjaga sikap, perilaku,
dan pikiran agar tetap selaras dengan keimanan dan ketaqwaan. Budaya religius
di lembaga pendidikan tercipta manakala setiap warga sekolah/madrasah memiliki
kesadaran dalam mengamalakan ajaran agama Islam dan menempatkan nilai-nilai
ajaran agama Islam sebagai way of life sehingga akan terwujud suasana yang religius
di lembaga pendidikan.
Bentuk budaya religius tidak hanya berupa praktek pengamalan ibadah semata,
namun esensi dari religiusitas itu senantiasa tertanam dalam berbagai kegiatan yang
diwujudkan baik yang sifatnya individu, interaksi sosial, maupun interkasi dengan
lingkungan atau alam. Jadi, budaya religius tidak dimaknai sempit hanya sebatas
pengamalan praktek peribadatana saja, akan tetapi lebih luas lagi karena agama
bukan hanya sekedar menjembatani hubungan makhluk dengan Tuhannya, namun
juga terhadap dirinya dan makhluk-Nya.
Dari dua pengertian tentang pembiasaan dan budaya religius, penulis
menyimpulkan bahwa kegiatan pembiasaan dalam usaha mengembangkan budaya
religius di lembaga pendidikan merupakan suatu program kegiatan pada lembaga
pendidikan dalam usaha menciptakan suasana kebaragamaan yang dilandasi dengan
kesadaran untuk mengamalkan ajaran agama Islam sehingga nilai-nilai ajaran
agama Islam menjadi pandangan hidup dan senantiasa melekat dalam bersikap,
berperilaku, dan berpikir setiap warga sekolah/madrasah. Usaha menciptakan
suasana keberagamaan ini diimplementasikan melalui misi, program kerja lembaga
pendidikan hingga sampai pada kegiatan pembiasan di kelas maupun organisasi
siswa sehingga program pembiasaan dalam mengembangkan budaya religius yang
dicanangkan benar-benar terstruktur dan sistematis.

C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang bersifat deskriptif kualitatif.
Dalam hal ini peneliti menggunakan pendekatan studi kasus, sebuah strategi
penelitian dimana di dalamnya peneliti menyelidiki secara cermat suatu program,
peristiwa, aktifitas, proses, atau sekelompok individu (John W. Creswell, 2010 : 20).
Dalam hal ini peneliti berupaya meneliti pengembangan budaya religius melalui
kegiatan pembiasan PK IPNU IPPNU di MTs Ma’arif NU 1 Cilongok.
Berdasarkan tujuan, jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif karena
ditujukan untuk menganalisis dan menyajikan keadaan yang sebenarnya terjadi di
lokasi penelitian mengenai kegiatan pembiasan PK IPNU IPPNU di MTs Ma’arif NU
1 Cilongok. Sedangkan berdasarkan data yang dikumpulkan dan diolah nantinya,
penelitian ini kualitatif karena tidak menggunakan data statistik atau angka-angka
dalam bentuk susunan kalimat.

Dwija Inspira ISSN: 2614-5359 217


Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada
filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah
(sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen
kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan snowball,
teknik pengumpulan dengan triangulasi (gabungan), analisi data bersifat induktif/
kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada
generalisasi (Sugiyono, 2012: 15)

D. PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan diperoleh data tentang kegiatan
pembiasan PK IPNU IPPNU di MTs Ma’arif NU 1 Cilongok. Data ini merupakan hasil
wawancara, observasi dan dokumentasi yang penulis lakukan di MTs Ma’arif NU 1
Cilongok Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas.
PK IPNU IPPNU MTs Ma’arif NU 1 Cilongok merupakan organisasi siswa intra
sekolah/madrasah yang menjadi salah satu pelaksana program pembiasaan keagamaan
yang dicanangkan oleh sekolah/madrasah. Pada setiap masa jabatan, PK IPNU
IPPNU MTs Ma’arif NU 1 Cilongok memiliki keleluasaan dalam mengembangkan
program pembiasaan keagamaan. Keleluasaan itu diwujudkan dalam program kerja
organisasi yang terbagi menjadi program kerja tahunan, bulanan, mingguan, harian,
dan insidental (sewaktu-waktu).
PK IPNU IPPNU MTs Ma’arif NU 1 Cilongok sebenarnya telah lama ada di
madrasah tersebut. Namun sudah cukup lama vakum tanpa kepengurusan hingga
pada tahun 2017. Terbentuk kembali atas prakarsa Firdos Prio Gunawan, M.Pd (Wakil
Kepala Urusan Kesiswaan) bekerjasama dengan Pimpinan Anak Cabang (PAC) IPNU
IPPNU Kecamatan Cilongok. Selama masa vakum itu, banyak kegiatan keagamaan
yang kurang sesuai dengan bidang garap organisasi siswa yang ada. Selain itu
kegelisahan beberapa guru dan pemangku jabatan struktural akan terkikisnya ruh
ajaran agama Islam dan amaliyah NU di MTs Ma’arif NU 1 Cilongok.
Kekhawatiran itu bukan tanpa sebab, faktor pergaulan bebas, penggunaan
internet yang semakin bebas, lingkungan madrasah yang relatif ramai dengan
interaksi sosial, degradasi moral peserta didik, dan lain sebagainya. Oleh karena
itu, banyak yang menyambut positif dengan terbentuk kembali kepengurusan PK
IPNU IPPNU MTs Ma’arif NU 1 Cilongok dengan pembina yang mumpuni di bidang
organisasi, agama, dan pengetahuan umum yaitu Abdul Haris, S.Pd (Pembina IPNU)
dan Eka Sakti Susilowati, S.Pd (Pembina IPPNU).
Melalui proses pembinaan yang intensif, pengurus IPNU IPPNU dapat leluasa
menyusun program kerja selama satu periode. Pada periode 2018/2019 ini penulis

218 Dwija Inspira ISSN: 2614-5359


mendapatkan data program kerja yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan yang
tercantum pada tabel berikut :
No Program Kerja Kegiatan
1 Tahunan Silaturahmi Ulama NU Lokal
Peringatan Hari Besar Islam
Amaliyah Ramadhan
2 Bulanan Ziaroh Wali dan Tokoh NU Lokal
Pembacaan Al Barzanji
Istighotsah
3 Mingguan Jum’at Bersih
Kuliah Tujuh Menit (Jum’at dan Sabtu)
Penggalangan Koin Madrasah (Jum’at)
Pebiasaan Pagi (Asmaul Husna, Ratib Al Hadad, Surat
4 Harian
Pendek Pilihan)
Sholat Dhuha Berjamaah
Sholat Dhuhur Berjamaah
Pembiasaan Setelah Istirahat (Sholawat Nariyah)
Pembiasaan Menjelang Pulang (Asmaul Husna)
5 Insidental Pengajian (MTs Bersholawat)

Tabel 1 : Program Kerja Kegiatan Keagamaan PK IPNU IPPNU MTs Ma’arif NU 1 Cilongok
Masa Khidmat 2018/2019

Berdasarkan tabel diatas yang termasuk kegiatan pembiasaan keagamaan


terdapat pada program kerja mingguan dan harian. Hal ini didasarkan pada
intensitas kegiatan yang diulang secara pasti dan jelas pada rentang waktu yang
sudah ditentukan sehingga pengulangan kegiatan tersebut sejalan dengan pengertian
tentang pembiasaan.
Pemilihan kegiatan diatas bukan tanpa alasan, namun telah diplenokan dengan
pembina sehingga arah dan teknis kegiatannya senantiasa terpantau dengan baik
serta tujuan untuk mengembangkan budaya religius di MTs dapat tercapai. Menurut
Abdul Haris, S.Pd, pemilihan kegiatan pembiasaan yang ada untuk membiasakan
peserta didik dalam mengamalkan ajaran agama Islam ahlussunnah wal jamaah dan
menanamkan pentingnya doa dalam kehidupan. (Wawancara pada 15 Mei 2019)
Berdasarkan hasil observasi penulis pada 9 April 2019, penulis menyaksikan
proses pembiasaan pagi pada hari itu yaitu pembacaan Ratib Al Hadad. Petugas piket
dari PK IPNU IPPNU memberi arahan dan memimpin pembacaan Ratib Al Hadad
melalui alat pengeras dari ruang Tata Usaha (TU) yang telah tersambung ke seluruh

Dwija Inspira ISSN: 2614-5359 219


kelas. Para guru yang mengampu mata pelajaran jam ke-1 datang lebih awal di kelas
untuk mendampingi peserta didik dalam melaksanakan pembiasaan pagi.
Setelah pembiasaan pagi selesai, kemudian dilanjutkan dengan Kegiatan Belajar
Mengajar (KBM) hingga istirahat ke-1. Pada saat istirahat ke-1, pengurus IPNU IPPNU
mengarahkan seluruh siswa di kelas yang terjadwal untuk menjalankan sholat dhuha
berjamaah di masjid. Sholat Dhuha berjamaah ini dilaksanakan dengan pemantauan
dari pembina IPNU IPPNU dan guru mendapat jadwal pendampingan. Menurut
Firdos Prio Gunawan, M.Pd, dalam visi MTs tercantum “Bertaqwa, Berilmu Amaliyah,
dan Beramal Illahiyah”. Berlandaskan visi tersebut, maka pembiasaan yang ada di MTs
jelas harus mengarah ke visi tersebut. Hal ini diharapkan sebagai bentuk syiar dan
memupuk nilai-nilai keislmanan pada peserta didik sehingga tertanam religiusitas
dalam diri sehingga kelak dapat mengaplikasikannya di lingkungan masyarakat.
(Wawancara pada 16 Mei 2019)
Observasi pada 17 Mei 2019 penulis menjumpai pelaksanaan pembiasaan pada
hari jumat yaitu pembiasaan pagi membaca Q.S Yaasin, Penggalangan Koin Madrasah
saat jam pelajaran ke-1, Sholat Dhuha Berjamaah saat istirahat, Pembacaan Sholawat
Nariyah sebanyak 3 kali saat istirahat, dan jadwal kultum setelah jam pelajaran selesai
yang diisi oleh pengurus IPNU IPPNU kemudian dilanjutkan dengan pembacaan
Asmaul Husna. Semua kegiatan tersebut selalu mendapat pendampingan baik oleh guru
mapel atau wali kelas ketika di kelas maupun guru piket ketika kegiatan dilakukan
di luar MTs. Dengan adanya pendampinga ini, tidak ditemukan penyimpangan oleh
peserta didik untuk menghindar dari kegiatan kecuali jika ada halangan.
Menurut Eka Sakti Susilowati, S.Pd, untuk mengukur hasil yang dicapai dari
program pembiasaan yang dilakukan dapat dilihat dari sebagian kelas VII dan
seluruh kelas IX. Hal ini karena mereka telah melaksanakan pembiasaan cukup lama,
sehingga pengamalan pembiasaan itu sedikit banyak telah melekat dan telah terbiasa
untuk melaksanakan tanpa harus mengingat jadwal dan paksaan dari guru atau
pengurus IPNU IPPNU. Peran pengurus IPNU IPPNU sangat vital, mereka belajar
menyusun program kerja, memikirkan teknis pelaksanaan program kerja, mencari
solusi jika program kerja terkendala di lapangan dan tentunya mereka belajar untuk
memimpin dirinya sendiri dan teman-temannya. (Wawancara pada 15 Mei 2019)
Hasil observasi dan wawancara di atas telah sejalan dengan pengertian pembiasaan
yaitu pembiasaan merupakan kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang agar
sesuatu tersebut dapat menjadi kebiasaan. Pembiasaan adalah segala sesuatu yang
dilakukan secara berulang untuk membiasakan individu dalam bersikap, berperilaku,
dan berpikir dengan benar. Dalam proses pembiasaan berintikan pengalaman,
sedangkan yang dibiasakan adalah sesuatu yang diamalkan (Anis Ibnatul M., 2013
: 1). PK IPNU IPPNU MTs Ma’arif NU 1 Cilongok dengan arahan dari pembinanya

220 Dwija Inspira ISSN: 2614-5359


dapat menyelenggarakan kegiatan pembiasaan keagamaan secara baik, kerjasama
dengan jajaran pengampu jabatan struktural madrasah menjadikan program kerja
yang dicanangkan selaras dengan visi misi madrasah.
Firdos Prio Gunawan, M.Pd mengungkapkan bahwa susana religius akan
terasa sekali ketika sedang berlangsung kegiatan pembiasaan. Susana begitu damai
layaknya dalam suasana pondok pesantren. Siswa kelas VII yang heterogen, tidak
hanya berasal dari Madrasah Ibtidaiyah (MI) akan dibiasakan dengan kegiatan
pembiasaan keagamaan. Lebih lanjut beliau mengemukakan bahwa untuk melihat
hasil dari program pembiasaan itu dapat dilihat pada sebagian kelas VIII dan hampir
seluruh siswa kelas IX. Mereka telah mengalami perubahan sikap dan perilaku, baik
dalam menjalankan amaliyah maupun hubungan dengan guru dan teman sebayanya.
Indikator keberhasilan dari program pembiasaan keagamaan ini dapat dibuktikan
dengan tingkat pelanggaran siswa yang relatif rendah, terjaganya prestasi akademik
dan non akademik seperti pidato, debat, kompetisi pengetahuan keagamaan, serat
kepuasan dari sekolah/madrasah lanjutan akan mutu siswa MTs yang lebih religius.
(Wawancara pada 16 Mei 2019)
Dari hasil penelitian berdasarkan observasi dan wawancara yang telah dilakukan
peneliti dalam pengembangan budaya religius melalui kegiatan pembiasan komisariat
IPNU IPPNU MTs Ma’arif NU 1 Cilongok dan berdasarkan uraian yang telah penulis
kemukakan diatas, maka dapat kemukakan bahwa pengembangan budaya religius
yang dilakukan oleh PK IPNU IPPNU MTs Ma’arif NU 1 Cilongok adalah sebagai
berikut:
1. PK IPNU IPPNU MTs Ma’arif NU 1 Cilongok sebagai pelopor dan pelaksana
program pembiasaan
PK IPNU IPPNU MTs Ma’arif NU 1 Cilongok dikatakan sebagai pelopor karena
mereka menyusun dan mengusulkan bentuk-bentuk kegiatan pembiasaan yang
kemudian diplenokan bersama pembina dihadapan Waka Kesiswaan untuk
ditetapkan menjadi program kerja. Mereka juga disebut pelaksana kegiatan
pembiasaan karena mereka mempunyai peran penting dalam pelaksanaan
kegiatan ini. Mereka harus menyusun jadwal, mengontrol jalannya kegiatan,
menjaga solidaritas dan soliditas dengan pengurus lainnya, dan menjaga arah
dan slur kegiatan agar sesuai dengan hasil yang diharapkan.
Pada setiap masa jabatannya, program kerja yang berkaitan dengan kegiatan
pembiasaan ini tidak berbeda jauh bahkan tetap. Yang sedikit membedakan hanya
teknis pelaksaannya yang disesuaikan dengan perkembangan dan situasi kondisi
MTs. Dengan demikian, eksistensi ajaran islam dan NU akan terus terjaga dalam
usaha mengembangan budaya religius pada setiap masanya.

Dwija Inspira ISSN: 2614-5359 221


2. Pengawasan dan pendampingan kegiatan oleh pembina, guru, dan pemangku
jabatan struktural madrasah
Seperti yang telah dipaparkan di atas, pembina, guru, dan pemangku jabatan
struktural madrasah memiliki peran kontrol, evaluasi, dan stimulasi pada
proses pelaksanaan kegiatan pembiasaan ini. Dengan adanya pengawasan akan
meminimalisir pelanggaran oleh peserta didik, mengantisipasi ketidaksesuaian
rencana program kegiatan dengan pelaksanaan, dan ada sedikit efek memaksa
kepada peserta didik untuk mengikuti setiap kegiatan pembiasaan sehingga lama
kelamaan akan terbiasa.
Disamping pengawasan, diperlukan pula pendampingan dari pembina, guru,
dan pemangku jabatan struktural madrasah. Pendampingan ini memiliki peran
penting manakala terjadi penyimpangan siswa dalam melaksanakan pembiasaan
yang tidak bisa diatasi oleh pengurus IPNU IPPNU, pemecahan masalah yang
kompleks, meningkatkan motivasi dan kepercayaan diri pengurus IPNU IPPNU
dan peserta didik, dan menjaga stabilitas dan kondusifitas pelaksanaan kegiatan.
Dengan adanya keterlibatan pembina, guru, dan pemangku jabatan struktural
madrasah pelaksanaan kegiatan akan senantiasa on the track yaitu mewujudkan
budaya religius di MTs Ma’arif NU 1 Cilongok seperti yang tertuang dalam visi
dan misi madrasah. Usia pengurus IPNU IPPNU yang masih dalam kategori
remaja awal masih memerlukan dukungan, pendampingan, dan pengawasan
yang lebih intens dari pembina dan guru.
3. Pengaruh teman sebaya menjadi salah satu faktor pendukung
Pemilihan PK IPNU IPPNU sebagai pelaksana kegiatan pembiasaan sangat efektif
dalam menunjang keberhasilan kegiatan ini. Faktor teman sebaya menjadi salah
satu kunci penting dalam melakukan pendekatan untuk bersama melaksanakan
kegiatan pembiasaan. Pengurus IPNU IPPNU belajar menjadi contoh bagi teman-
temannya dengan tampil memimpin dan mengajak sehingga tidak terkesan
menggurui.
Pada perkembangan remaja awal seorang anak cenderung suka berkerumun dan
menghabiskan waktu bersama dengan teman sebaya, hal ini menjadikan salah satu
faktor pendukung kegiatan pembiasan berjalan dengan baik. Selain itu, banyak
sumber menyebutkan bahwa sikap keagamaan remaja awal mulai menemukan
arti percaya dan yakin atas kepercayaan yang dianut. Dengan kegiatan pembiasaan
maka akan semakin tumbuh keimanan dan ketaqwaan setiap siswa sehingga
budaya religius bukan hal yang mustahil untuk diwujudkan.

222 Dwija Inspira ISSN: 2614-5359


E. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan diatas, maka kesimpulan
yang dapat diperoleh dari hasil penelitian pengembangan budaya religius melalui
kegiatan pembiasan komisariat IPNU IPPNU MTs Ma’arif NU 1 Cilongok adalah :
1. PK IPNU IPPNU MTs Ma’arif NU 1 Cilongok memiliki program kerja yang sangat
mendukung dalam menciptakan budaya religius di madrasah.
2. Pembina, guru, dan pemangku jabatan struktural madrasah senantiasa mengawasi
dan mendampingi pengurus dan seluruh siswa dalam melaksanakan kegiatan
pembiasaan.
3. Perkembangan remaja awal turut menjadi faktor pendukung kegiatan pembiasaan
berjalan dengan baik.
4. Kegiatan pembiasaan menjadi wadah pengurus IPNU IPPNU untuk menjalani
peran pemimpin dan rekan dalam organisasi.
5. Indikator keberhasilan dari program pembiasaan yaitu tingkat pelanggaran
siswa yang relatif rendah, terjaganya prestasi akademik dan non akademik, serta
kepuasan dari jenjang pendidikan lanjutan pada mutu siswa MTs yang lebih
religius.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad, dkk. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung. Pedagogia Press

Aly, Hery Noer. 1999. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Logos.

Arikunto, Suharsimi. 2013. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta.


Rineka Cipta.

Badan Pusat Statistik. Sensus Penduduk 2010. Jakarta, Indonesia: Badan Pusat Statistik.
Laman : http://sp2010.bps.go.id.

Cherry, Kendra Cherry. Maret 2019. When and Why Does Habituation Occur?. Artikel :
https://www.verywellmind.com/what-is-habituation-2795233.

Creswell, John W. 2010. Research Design. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Fuaduddin. 1999. Pengasuhan Anak dalam Keluarga Islami. Jakarta: Lembaga Kajian
Agama Islam dan Jender Depag.

LP. Ma’arif NU. Profil LP.Ma’arif NU. Laman: http://www.maarif-nu.or.id/Profil.aspx

Dwija Inspira ISSN: 2614-5359 223


M. Ibnatul, Anis, Dkk. 2013. Pendidikan Nasionalisme melalui Pembiasaan di SD Negeri
Kuningan 02 Semarang Utara. Jurnal: UNNES.

Mahpur, Masruchan. 2015. Pembiasaan Perilaku Islami di Sekolah (Studi Multi Kasus di
SMA Negeri 1 Trenggalek dan SMA Hasan Munahir Trenggalek). Tesis : IAIN
Tulungagung.

Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama. 2014. Peraturan Organisasi &
Peraturan Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama. Jakarta.

Prasetya, Benny. 2014. Pengembangan Budaya Religius di Sekolah. Jurnal : Edukasi Vol.
02 No. 01 Edisi Juni 2014.

Sholihudin, Rizal. 2015. Strategi Guru PAI dalam menerapkan Budaya Religius (Studi Multi
Situs di SMKN 1 Doko dan SMK PGRI Wlingi Blitar), Tesis : IAIN Tulungagung.

Setiawan, Ebta. 2010-2013. Aplikasi : KBBI Offline Versi 1.5.1.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung. Alfabeta.

UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sinar Grafika.

UUD 1945. 2002. UUD 1945 Hasil Amandemen ke-IV Tahun 2002. Surakarta: al-Hikmah.

PK IPNU IPPNU MTs Ma’arif NU 1 Cilongok. Dokumen Program Kerja Masa


Khidmat 2018/2019.

224 Dwija Inspira ISSN: 2614-5359

Anda mungkin juga menyukai