Anda di halaman 1dari 11

Anastesi

A. Pengertian Anestesi
Anestesi berarti “hilangnya rasa atau sensasi”. Istilah yang digunakan para ahli
saraf dengan maksud untuk menyatakan bahwa terjadi kehilangan rasa secara
patologis pada bagian tubuh tertentu, atau bagian tubuh yang dikehendaki.
Anestesi regional merupakan suatu metode yang lebih bersifat sebagai analgesik.
Anestesi regional hanya menghilangkan nyeri tetapi pasien tetap dalam keadaan
sadar. Oleh sebab itu, teknik ini tidak memenuhi trias anestesi karena hanya
menghilangkan persepsi nyeri saja.
B. Pengolongan Anestesi Regional
Jenis Anestesi Regional menurut Pramono (2017) digolongkan sebagai berikut :
1. Anestesi Spinal
Penyuntikan anestesi lokal ke dalam ruang subaraknoid disegmen lumbal 3-4
atau lumbal 4-5. Untuk mencapai ruang subaraknoid, jarum spinal menembus
kulit subkutan lalu menembus ligamentum supraspinosum, ligamen
interspinosum, ligamentum flavum, ruang epidural, durameter, dan ruang
subaraknoid. Tanda dicapainya ruang subaraknoid adalah dengan keluarnya liquor
cerebrospinalis (LCS). Menurut Latief (2010) anestesi spinal menjadi pilihan
untuk operasi abdomen bawah dan ekstermitas bawah. Teknik anestesi ini popular
karena sederhana, efektif, aman terhadap sistem saraf, konsentrasi obat dalam
plasma yang tidak berbahaya serta mempunyai analgesi yang kuat namun pasien
masih tetap sadar, relaksasi otot cukup, perdarahan luka operasi lebih sedikit,
aspirasi dengan lambung penuh lebih kecil, pemulihan saluran cerna lebih cepat
(Longdong, 2011). Anestesi spinal memiliki komplikasi. Beberapa komplikasi
yaitu hipotensi terjadi 20-70% pasien, nyeri punggung 25% pasien, kegagalan
tindakan spinal 3-17% pasien dan post dural punture headache di Indonesia
insidensinya sekitar 10% pada pasien paska spinal anestesi (Tato, 2017).
2. Anestesi Epidural
Anestesi yang menempatkan obat di ruang epidural (peridural, ekstradural).
Ruang ini berada di antara ligamentum flavum dan durameter. Bagian atas
berbatasan dengan foramen magnum di dasar tengkorak dan bagian bawah dengan
selaput sakrokoksigeal. Kedalaman ruang rata-rata 5 mm dan di bagian posterior
kedalaman maksimal terletak pada daerah lumbal. Anestetik lokal di ruang
epidural bekerja langsung pada saraf spinal yang terletak di bagian lateral. Onset
kerja anestesi epidural lebih lambat dibanding anestesi spinal. Kualitas blokade
sensoris dan motoriknya lebih lemah.
3. Anestesi Kaudal
Anestesi kaudal sebenarnya sama dengan anestesi epidural, karena kanalis
kaudalis adalah kepanjangan dari ruang epidural dan obat ditempatkan di ruang
kaudal melalui hiatus sakralis. Hiatus sakralis ditutup oleh ligamentum
sakrokoksigeal. Ruang kaudal berisi saraf sakral, pleksus venosus, felum
terminale, dan kantong dura. Teknik ini biasanya dilakukan pada pasien anakanak
karena bentuk anatominya yang lebih mudah ditemukan dibandingkan daerah
sekitar perineum dan anorektal, misalnya hemoroid dan fistula perianal.
C. Indikasi dan Kontraindikasi Spinal Anestesi
 Menurut Latief (2010) indikasi dari tindakan spinal anestesi sebagai
berikut:
1) Pembedahan pada ektermitas bawah
2) Pembedahan pada daerah panggul
3) Tindakan sekitar rektum-perineum
4) Pembedahan perut bagian bawah
5) Pembedahan obstetri-ginekologi
6) Pembedahan urologi
7) Pada bedah abdomen bagian atas dan bedah pediatrik, dikombinasikan
dengan anestesi umum ringan
 Kontraindikasi
Menurut Morgan (2013) kontraindikasi spinal anestesi digolongkan
sebagai berikut :
 Kontraindikasi absolut
a) Pasien menolak
b) Infeksi pada tempat daerah penyuntikan
c) Hipovolemia berat, syok
d) Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
e) Tekanan intrakranial meninggi
f) Fasilitas resusitasi minim
g) Kurang pengalaman / tanpa didampingi konsultan
anestesia
 Kontraindikasi relatif
a) Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)
b) Infeksi sekitar tempat suntikan
c) Kelainan neurologis
d) Kelainan psikis
e) Penyakit jantung
f) Hipovolemia ringan
g) Nyeri punggung kronis
h) Pasien tidak kooperatif
 Kontraindikasi kontroversial
a) Tempat penyuntikan yang sama pada operasi sebelumnya
b) Ketidakmampuan komunikasi dengan pasien
c) Komplikasi operasi
d) Operasi yang lama
e) Kehilangan darah yang banyak
f) Manuver pada kompromi pernapasan
D. Obat
Obat obatan yang paling sering digunakan dalam anestesi spinal ini :
1. Lidokain 2 %, berat jenis 1.006, sifat isobarik, dosis 20-100 mg ( 2-
5ml)
2. Lidokain 5% dalam dekstros 7.5%, berat jenis 1.003, sifat hiperbarik,
dosis 20-50 mg (1-2ml)
3. Bupivakain 0.5% dalam air, berat jenis 1.005, sifat isobarik, dosis 5-20
mg
4. Bupivakain 0.5% dalam dekstros 8.25%, berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik, dosis 5-15 mg (1-3ml)
5. Efedrin
Penggunaan efedrin intravena sebagai pencegahan sebelum
terjadi hipotensi lebih dianjurkan dari pada memberikan efedrin
sebagai terapi pada hipotensi yang telah terjadi.Pemberian efedrin
intramuskuler sebagai tindakan pencegahan hipotensi mempunyai
absorbsi dan efek puncak yang tidak dapat diperkirakan, karena obat
ini tidak selalu dapat mencegah hipotensi tetapi dapat menimbulkan
hipertensi reaktif. Penelitian Gajraj dkk menyimpulkan bahwa
pemberian efedrin secara continuous infusion 5 mg/menit selama 2
menit pertama dan 1 mg/menit selama 18 menit berikutnya efetif untuk
mencegah dan mengatasi hipotensi setelah anestesi spinal dan lebih
efektif dibandingkan preload dengan kristaloid 15 ml/kgBB.
6. Preload
Beberapa penelitian membuktikan bahwa preload cairan, baik
itu kristaloid ataupun koloid dapat mengurangi insiden hipotensi
karena peningkatan volume sirkulasi dapat mencegah/ mengurangi
terjadinya hipovolemi relatif oleh karena blok simpatis pada spinal
anestesi. Kristaloid adalah suatu kelompok cairan, tanpa penambahan
solusio atau non ionik ke dalam air, misalnya NaCl 0,9 %, RL. Cairan
ini tidak mengandung partikel ionik karena itu tidak terbatas dalam
ruang intravascular. Preload yang paling sering dipakai saat ini adalah
cairan laktat karena merupakan cairan isotonik yang paling mirip
ekstraselluler.Koloid adalah cairan yang mengandung partikel onkotik
sehingga menghasilkan tekanan osmotic yang tinggi terutama dalam
ruang intravaskuler. Macam-macam koloid adalah darah, albumin,
gelatin, dekstran dan kanji hidroksitil.
Alasan mengapa preload kristaloid tidak berhasil mencegah
hipotensi pada anestesi spinal adalah karena kristaloid memiliki waktu
paruh intravaskuler yang pendek yaitu kurang dari 1 jam. Penggunaan
kristaloid untuk preload pada anestesi spinal mulai dikenal dan
menjadi praktek yang dilakukan secara luas sejak dua penelitian
pemberian preload kristaloid sebesar 10-15 ml/kgBB sebelum anestesi
spinal.
7. Petidine
Petidin adalah zat sintetik yang formulanya sangat
berbedadengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping
yang mendekati sama. Secara kimia, petidin adalah etil- 1metil-
fenilpiperidin-4-karboksilat. Petidin menimbulkan efek analgesia,
sedasi, euphoria, depresi nafas, dan efek sentral lainnya.
Absorbsi petidin berlangsung baik dengan pemberian cara
apapun. Kadar puncak dalam plsama biasanya dicapai dalam waktu 45
menit dan kadar yang dicapai antar individu yang sangat bervariasi.
Waktu paruh petidin yaitu 5 jam dengan durasi analgesinya pada
penggunaan klinis adalah 3-5 jam.11,12 Petidin hanya digunakan
untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa keadaan klinis, biasanya
petidin dipilih dengan dasar masa kerjanya yang lebih pendek.
8. TRAMADOL
Salah satu komplikasi pasca anestesi umum yang sering
ditemui di ruang pemulihan pasca operasi adalah menggigil dengan
angka kejadian sebesar 40 %. Selain menimbulkan ketidaknyamanan
dan memperberat nyeri pasca operasi, menggigil juga dapat
berkembang menjadi komplikasi yang serius. Hal ini dikarenakan
adanya peningkatan laju metabolik yang ditandai dengan peningkatan
kebutuhan O2 dan produksi CO2 mencapai dua sampai tiga kali.
Selanjutnya sebagai kompensasi dari kejadian tersebut, tubuh akan
meningkatkan laju nadi, tekanan darah dan cardiac output. Keadaan ini
tak menguntungkan bagi pasien gangguan fungsi kardiovaskuler dan
pulmonal ataupun pasien dengan usia tua karena bila ventilasi dan
kerja jantung tidak meningkat secara proporsional dapat berakibat
terjadinya asidosis respiratorik. Oleh sebab itu, menggigil harus segera
dicegah dan diatasi.
Menggigil pasca anestesi dapat dicegah dengan memberikan
obat yang dikenal efektif dalam mencegah dan mengatasi menggigil.
Salah satunya adalah tramadol. Mekanisme kerja tramadol dengan
inhibisi pengambilan kembali (reuptake) noradrenalin dan serotonin 5-
HT (5-hidroksitriptimin) diujung saraf, bekerja terutama pada reseptor
µ-opioid agonist dan juga memiliki efek pada reseptor κ meskipun
lemah. Seluruh mekanisme tersebut akan mempengaruhi mekanisme
pengaturan suhu sehingga tramadol dapat digunakan sebagai obat
dalam mencegah menggigil.
9. Ketorolac
NSAID jenis ketorolac paling banyak digunakan sebagai
analgesik pasca operasi orthopedi karena ketorolac memiliki efek
analgesik kuat bila diberikan intramuskular maupun intravena.
Ketorolac berguna untuk memberikan analgesik pasca operasi derajat
sedang sampai berat sebagai obat tunggal maupun sebagai suplemen
dalam penggunaan opioid.
Efektivitas ketorolac 30 mg sebanding dengan morfin 10 mg
atau meperidine 100 mg, onsetnya sekitar 10 menit, durasi kerja sekitar
6 sampai 8 jam, dan efek sampingnya lebih ringan, tidak ada depresi
ventilasi atau kardiovaskular, dan hanya memiliki sedikit atau tidak
ada efek pada dinamika saluran empedu, menjadikan obat ini lebih
berguna sebagai analgesik ketika tidak diinginkan spasme saluran
empedu. Hal tersebut berbeda dengan opioid yang menimbulkan
spasme pada saluran empedu. Ketorolac dosis harian total maksimal 90
mg (UK, Italia, Spanyol, Berlgia, Swiss, Indonesia) atau 120 mg (US,
Meksiko, Kanada, Finlandia, Swedia). Dosis terbagi rata tiap 8 jam.
Pemberian dosis harian multipel yang terus-menerus secara
intramuskular ataupun intravena tidak boleh lebih dari lima hari karena
efek samping dapat meningkat pada penggunaan jangka panjang antara
lain ulkus, perdarahan saluran cerna dan perforasi, hemoragis pasca
bedah, gagal ginjal akut, dan reaksi anafilaktoid.
10. Fentanyl
Fentanyl intravena merupakan analgesik intrabedah. Analgesik
intrabedah ini bertujuan untuk mengurangi kebutuhan analgesik opioid
pasca operasi. Fentanyl adalah suatu agonis opioid sintetik derivate
fenilpiperidin. Sebagai suatu analgesik, fentanyl mempunyai kekuatan
75 hingga 125 kali dibandingkan morfin. Dosis tunggal fentanyl yang
diberikan secara intravena memiliki onset yang lebih cepat dan durasi
kerja lebih pendek dibandingkan pada morfin, sekitar 3-5 menit untuk
onset dan 30-60 menit untuk durasi kerjanya.7 Injeksi opioid seperti
fentanyl sebelum stimulasi operasi dapat menurunkan jumlah opioid
yang diperlukan selanjutnya dalam periode pasca operasi untuk
memberikan efek analgesik.7 Efek samping dari fentanyl mirip seperti
yang dijelaskan untuk morfin. Depresi pernapasan persisten atau
berulang akibat fentanyl adalah masalah yang potensial pasca operasi.
Sehingga hanya sering dipakai sebagai analgesik intrabedah bukan
pascabedah.

11. Ondansentron
Saat ini, ondansetron merupakan obat yang sedang populer dan
diyakini dapat mencegah hipotensi dan bradikardi pada pasien yang
memperoleh anestesi spinal. Ondansetron adalah antagonis reseptor 5-
HT3 selektif yang digunakan sebagai antiemetik (mual dan muntah)
setelah operasi dan radioterapi. Reseptor serotonin tipe 5-HT3
ditemukan pada kedua saraf vagal terminal perifer dan terpusat di zona
pemicu kemoreseptor pada area postrema (FDA, 2011). Ondansetron
bekerja di nukleus traktus solitarius pada reseptor 5-HT3, memblok
kemorefleks bradikardi dan menginhibisi barorefleks serta respon BJR
(Dergacheva et al., 2009; Rashad and Farmawy, 2013; Griddine dan
Bush, 2019).
Pada penelitian Rashad dan Farmawy, disimpulkan bahwa
pasien yang mendapat ondansetron 4 mg intravena sebelum blok
subaraknoid secara signifikan menurunkan kejadian hipotensi dan
penggunaan vasopressor dan preloading ondansetron intravena 4 atau 6
mg dan loading cairan secara cepat dapat menurunkan insidensi
hipotensi dan mual serta menstabilkan hemodinamik (Meng, 2014,
Trabelsi, 2015). Blok pada simpatis pada anestesi spinal menyebabkan
penurunan resistensi vaskular sistemik, sehingga menyebabkan
penurunan preload dan terjadinya hipotensi. Penurunan preload
menstimulasi kemoreseptor dan mekanoreseptor pada dinding ventrikel
yang juga merupakan serotonin sensitif yang menstimulasi BJR.
Stimulasi reseptor serotonin perifer 5-hydroxytryptamine (5-HT3)
mengaktifkan refleks BJR. Ondansetron merupakan antagonis selektif
3 reseptor 5-HT3. Reseptor serotonin 5-HT3 ditemukan pada kedua
saraf vagal terminal perifer dan terpusat di zona pemicu kemoreseptor
pada area postrema (Tubog, Kane dan Pugh, 2017).

12. Morfin
Indikasi utama pada pengunaan opioid neuraksial adalah pada
penatalaksanaan nyeri pascabedah ortopedi, intraabdomen, bedah
thoraks dan perianal (Freye & Levy, 2008). Morfin sebagai prototype
dari agonis opioid, memberi efek analgesia, euphoria, sedasi dan
penurunan konsentrasi, dengan sensasi lain berupa mual, rasa hangat
pada tubuh, ekstremitas terasa berat, mulut terasa kering, dan gatal
terutama di area kulit sekitar hidung.
Pada keadaan nyeri, bahkan dengan dosis kecil morfin dapat
meningkatkan ambang nyeri dan merubah persepsi dari stimulasi
noxious sehingga tidak terasa nyeri. Morfin lebih efektif
menghilangkan nyeri tumpul kontinyu dibanding nyeri tajam yang
intermitten. Efektif dalam menekan nyeri yang berasal dari viscera
serupa pada nyeri otot rangka, sendi dan struktur integumental.
Analgesia lebih kuat jika diberikan sebelum stimulus nyeri terjadi
(Stoelting & Hillier, 2006b). Kecepatan dan tingkatan pergerakan ke
cephalad/rostral pada pemberian intratekal dari opioid tergantung dari
solubilitasnya terhadap lemak, fentanyl yang lipofilik lebih cepat
penetrasi kedalam medulla spinalis jika dibandingkan dengan morfin
yang hidrofilik, tetapi bioavailabilitas morfin yang lebih tinggi
terhadap CSF memperlihatkan blok yang lebih tinggi. Berkaitan
dengan kecepatan clearance, pKa, ikatan protein dan waktu eliminasi
dari morfin memperlihatkan lama kerja morfin di medulla.
Pemberian opioid baik secara sistemik maupun neuraksial
berkaitan dengan efek yang menguntungkan, beserta potensi
komplikasi dan efek sampingnya. Tingginya insidensi efek samping,
termasuk somnolence, mual dan muntah, pruritus dan depresi napas,
pada pemberian relatif besar dosis morfin intrateka. Efek samping
Opioid Depresi napas Berdasarkan protokol yang ada: pada keadaan
kesadaran menurun, bradikardi, atau hipoksemia, pasien diberi
suplemen O2 sampai kesadaran membaik. Indikasi pemberian
naloxone pada keadaan somnolen dan depresi napas yang terjadi tidak
respon terhadap terapi sebelumnya. Naloxone (0,4 mg dalam 9 ml
NaCl 0,9%, atau 40 µg/ml) 1-2 ml diulangi 2-3 menit sampai terlihat
adanya respon
Benang Slik

Sebelum membandingkan materi absorbable dan non-absorbable, informasi mengenai


beberapa sifat benang jahit akan menentukan efeknya terhadap jaringan serta prosedur
penjahitan. Secara garis besar, material benang jahit memiliki sifat-sifat berikut:

1. Kemampuannya untuk diserap dalam tubuh: absorbable dan non-absorbable


2. Asal materi benang jahit: natural dan sintetik
3. Jumlah helaian benang: multifilament dan monofilament

Material benang berbahan dasar material alami, saat ini mulai kurang disukai karena dapat
menimbulkan reaksi inflamasi yang lebih kuat dibandingkan material sintetik, sehingga
berpotensi menimbulkan bekas luka (scar) yang kurang baik.

 Sifat Benang Multifilament dan Monofilament

Benang absorbable dan non-absorbable pada saat ini tersedia dalam bentuk multifilament
dan monofilament. Benang multifilament dan monofilament memiliki kelebihan dan
kelemahannya masing-masing.Benang monofilament dapat melewati jaringan secara mulus
dan dipercaya memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk menjadi tempat berkembang
biaknya bakteri dibandingkan dengan benang multifilament. Oleh karena itu, memilih benang
monofilament diyakini dapat mengurangi risiko terjadinya infeksi pada luka. Di sisi lain,
simpul pada benang monofilament cenderung lebih mudah terbuka dibandingkan dengan
benang multifilament. Selain itu, apabila jahitan dibuat dalam kondisi tension (tegangan
tinggi), maka benang monofilament lebih mudah mengiris jaringan sehingga jaringan mudah
robek
 Perbandingan Material Absorbable dan Non-Absorbable
Benang absorbable dan non-absorbable dapat ditemukan di pasaran dalam berbagai
sediaan. Kedua benang tersebut dapat berasal dari material alami dan sintetis, serta berupa
benang multifilament atau monofilament.
Bentuk Ujung Jarum Bedah
1. Taper point needles Berfungsi untuk jaringan yg lembut dan mudah untuk ditembus.
2. Conventional cutting needles Berfungsi untuk dua pemotongan tepi yang berlawanan,
dengan yang ketiga pada kurva didalamnya. Perubahan dalam lintas-bagian dari sebuah
segitiga memotong ujung ke pipih.
3. Tapercut needles : Bentuk lancip dengan ujung memotong seperti dua jarum dalam satu.
Berfungsi untuk jaringan yang alot (keras),
4. Ethiguard*Blunt point needles : Bentuk lancip, berfungsi untuk untuk pembedahan
(diseksi) tumpul dan menjahit jaringan rapuh (jaringan yg mudah rusak bila dijahit).
5. Reverse cutting needles Berfungsi untuk jaringan keras/alot yang susah ditembus
6. Precision point needles Berfungsi untuk bedah plastik atau bedah kosmetik. Memotong
ujung electropolished untuk ditambahkan ketajaman.
7. Precision cosmetic-conventional cutting prime needles Berfungsi untuk bedah plastik atau
bedah kosmetik. Ujung konvensional memotong dan meningkatkan ketajaman geometri
utama.
8. Conventional spatula : visibilitas titik di bawah berfungsi untuk memberikan kontrol pada
kedalaman penetrasi
9. Visi-Black*Needle titik jarum lancip ramping dengan warna hitam berfungsi untuk
meningkatkan visibilitas dan penetrasi.
10. Micro-point*Reverse cutting needle : Pemotongan tepi, berfungsi untuk operasi mata.
Sangat halus dan sangat tajam untuk operasi mata
11. Micro-point*Spatula needles : Profil tipis, datar, dirancang khusus untuk operasi segmen
anterior mata
12. CS Ultima*Spatula needle Berfungsi untuk mengurangi tepi sudut, memberikan penetrasi
yang lebih baik. Siap memfasilitasi rotasi simpul pada operasi mata.
13. Sabreloc*Spatula needle : Memotong sisi tepi berbentuk spatula. Berfungsi untuk lapisan
jaringan sklera atau kornea.Titik jarum spatula terpusat untuk stabilitas maksimum jarum di
sklera tipis. Empat tepi berjarak sama dan pasti tepat memberikan kontrol yang lebih besar

Anda mungkin juga menyukai